Post on 10-Mar-2019
TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Energi
Ayam memerlukan energi untuk proses -proses fisiologis
seperti bernafas, sirkulasi darah, absorpsi zat-zat makan-
an, pergerakan, reproduksi, mengatur suhu badan dan seba-
gainya (Card, 1962). Menurut Scott et al. (1976) dan NRC
(1977)' untuk ransum unggas, pengukuran nilai energi meta-
bolis dari bahan makanan.paling banyak dilakukan dan paling
praktis, sebab energi metabolis selain energi untuk pro-
duksi, juga energi untuk hidup pokok, ~ertumbuhant Perge-
rakan dan sebagainya.
Besarnya energi net0 kurang lebih 70- 90 persen da-
ri energi dalam ransum (Bell dan Freeman, 1971). Scott et
al. (1976), ~turkie (1976) dan Wahju (1985) menyatakan bahwa - energi yang dimetaboliskan sebagian hilang selama metabolis-
me berlangsung, sisanya dinamakan energi neto. Energi net0
ini yang dipakai untuk hidup pokok, seperti aktivitas, me-
ngatur panas badan dan untuk produksi telur, lemak, pertum-
buhan dan sebagainya. Energi untuk hidup -pokok ya-ng harus
dipenuhi lebih dahulu, setelah itu baru untuk yang lainnya.
Card (1972) mengemukakan bahwa energi untuk hidup pokok
kurang lebih 75 persen dari energi metabolis, sedangkan Scott
et al. (1976) menyatakan bahwa kebutuhan energi net0 82 per- -- sen dari energi metabolis. Energi untuk aktivitas kurang
lebih 37 persen dari energi hidup pokok, bagi ayam yang di-
kandangkan di kandang sistom sangkar (cage) dan 50 persen
bagi sistem serasah (litter).
Kebutuhan energi pada unggas sangat dipengaruhi ke-
adaan temperatur lingkungan, karena temperatur lingkungan
sangat menentukan kebutuhan energi untuk hidup pokok
(Balnave, 1978). Costa (1978) melaporkan bahwa kebutuhan
energi untuk rnemproduksi satu kilogram telur pada daerah
beriklim panas lebih rendah daripada daerah beriklim di-
ngin. Ini disebabkan kebutuhan energi untuk hidup pokok
di daerah panas relatif rendah. Kebutuhan energi untuk
produksi telur saja sangat sedikit pengaruhnya terhadap
temperatur lingkungan (Bierly et al., 1978). Menurut
Scott (1976) ayam yang diberi ransurn dengan tingkat energi
2850 kkal EM/kg, akan mengkonsumsi energi melebihi kebu-
tuhan. Akan tetapi apabila diberi ransurn dengan tingkat
energi 2 650 kkal EM/kg, maka konsumsi energi lebih rendah
dari kebutuhan. Ruhyat (1982) melaporkan bahwa pada ayam
tipe medium pemberian ransum dengan tingkat energi 2 650
kkal EM/kg, pada ayam yang dikandangkan pada kandang sis-
tern sangkar, masih terlihat adanya kelebihan konsumsi
energi. Tingkat energi 2650 kkal EM/kg dan 2850 kkal EM/
kg ransum pada dua galur petelur tipe medium tidak berbeda
nyata terhadap produksi telur, tetapi tingkat energi 2650
kkal EM/kg lebih cocok untuk petelur tipe medium di daerah
tropik daripada 2850 kkal E~/kg.
Sugandi (1973) melaporkan bahwa untuk petelur tipe
ringan perbedaan tingkat energi 2 6 5 0 1 2 850 dan 3 0 5 0 k k a l
EM/kg ransum tidak nyata mempengaruhi produksi telur. De-
mikian pula CresweLl (1979) mengemukakan bahwa kisaran
tingkat energi dalam ransum antara 2 500 sampai 3000 kkal
EM/kg tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur.
Hill et al. (1956) melaporkan bahwa pada musim dingin
produksi telur tertinggi dihasilkan dari ransum dengan
tingkat energi tinggi dan produksi telur terendah dari ran-
sum dengan tingkat energi rendah, sedangkan pada musim gu-
gur, musim semi dan musim panasl produksi telur tidak nyata
dipengaruhi oleh tingkat energi dalam ransum. MacIntyre
dan Aitken (1957) mengemukakan bahwa kandungan energi dalam
ransum tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur, bo-
bot telur, kualitas putih telur dan adanya bintik darah dan
bintik daging dalam telur. Pepper et al. (1959) menyatakan
pula bahwa produksi telur dan efisiensi penggunaan ransum
tidak nyata dipengaruhi oleh tingkat energi dalam ransum.
Grover et al. (1972), pada ayam persilangan antara
Rhode Island Red x Barred Plymouth Rock dan pada pengan-
dangan dengan sistem sanqkar, produksi telur akan menurun
dengan naiknya tingkat energi dalam ransum. Pengaruh penu-
runan produksi telur ini tidak langsung, melainkan karena
dengan kenaikan energi dalam ransum maka konsumsi ransum
berkurang, demikian pula konsumsi proteinnya sehingga me-
nyebabkan produksi telur turun. Sugandi (1973) melaporkan
bahwa, ransum yang berkadar energi tinggi cenderung untuk
memproduksi telur yang besar-besar dan mempunyai daya cer-
na ransum efisien karena kadar serat kasar rendah.
Tokinson et g . (1968) menyatakan bahwa konsumsi ener- . gi 341 kkal/ekor/hari sudah cukup untuk merangsang produksi
dan besar telur yang memadai. Menurut Karunajeewa (1972)
untuk merangsang produksi dan besar telur yang optimal, me-
merlukan konsumsi energi 316 kkal/ekor/hari. Untuk petelur
tipe medium dan tipe berat yang dipelihara pada temperatur
lingkungan 6 5 sampai 70°F kebutuhan energi 333 kkal dan 360
kkal/ekor/hari (North, 1972).
Untuk petelur tipe ringan di daerah tropik agar ber-
produksi secara maksimal kebutuhan energi metabolis 265
sampai 280 kkal/ekor/hari (Williamson dan Payne, 1978).
Ruhyat (1982) melaporkan bahwa pada pemberian ransum seca-
ra ad libitum, konsumsi energi untuk galur Shaver dan Su-
per-Harco adalah 335.05 kkal dan 340.61 kkal/ekor/hari.
Jackson et g. (1969) menyatakan bahwa penirobunan le- mak tubuh pada petelur disebabkan karena petelur rnampu
mengkonsumsi energi sebanyak 10 sar.ipai 15 persen melebihi
kebutuhan. Menurut Sugandi (1973), pada petelur tipe ri-
ngan sanggup mengatur konsumsi energi secara teliti, se-
hingga tidak terjadi penimbunan lemak. Petelur yang meng-
9
konsumsi energi berlebih tersebut terutama pada petelur
tipe medium dan tipe berat (Balnave, 1978).
Hafez dan Dyer (1969) melaporkan bahwa petelur yang
mengkonsumsi energi berlebihan mempunyai kadar lemak hati
yang tinggi. Bila lemak hati sudah tertimbun maka sel le-
mak tersebut akan berinfiltrasi ke dalam hati. Penyakit
ini disebut FLHS (Fatty Liver Haemorragic Syndrom). Ayam
yang menderita penyakit ini biasanya mati secara tiba-
tiba, karena terjadi perdarahan pada hati. Snetsinger
(1980) mengemukakan bahwa petelur yang produksinya sudah
melewati puncak produksi, maka apabila mengkonsumsi energi
berlebih, 80 persen dari energi tersebut dirubah menjadi
lemak tubuh.
Kebutuhan Protein
Berg dan Bearse (1957) dari hasil penelitiannya mela-
porkan bahwa pada pemberian ransum dengan tingkat protein
14, 16, dan 18 persen dan energi metabolis 1100 kkal/lb dan
1450 kkal/lb pada empat galur petelur tipe ringan, dengan
hasil sebagai berikut : Pada ransum dengan tingkat energi
tinggi dan protein rendah, produksi telur menurun, tetapi
pada tingkat energi tinggi dengan protein 16 persen dan 18
persen, produksi telur sama. Pada tingkat protein 16 per-
sen dalam ransum, tingkat energi tidak nyata mempengaruhi
produksi telur,
Kebutuhan protein untuk mernproduksi telur tergantung
pada beberapa faktor yaitu tingkat energi dalam ransum,
galur ayam, tingginya tingkat produksi, tipe kandang, umur
ayam, temperatur lingkungan, cekaman akibat keadaan ling-
kungan yang berbeda, kualitas protein yang terkandung da-
lam ransum (Thornton dan Whittet, 1960). Reid dan Majorino
(1980) menyatakan bahwa dengan menaikkan tingkat energi
rnetabolis 2.42 kkal menjadi 3.08 kkal/kg ransum pada ting-
kat protein 14 persen, maka produksi telur menurun. Pada
tingkat protein 16 dan 18 persen dalarn ransun kenaikan
energi rnetabolis akan menaikkan produksi telur.
Pada pemberian ransum dengan tingkat protein 15, 20
dan 25 persen dan tingkat energi net0 750 kkal atau 960
kkal/kg, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi
telur. Hanya kebutuhan ransum untuk memproduksi satu lu-
sin telur berkurang, pada ransum yang berenergi tinggi
(McDaniels et al., 1959). Demikian pula dari hasil pene-
litian Robblee dan Clandinin (19591 melaporkan bahwa pada
pemberian ransum dengan tingkat protein 15 dan 17 persen
pada kalkun bibit, maka tingkat energi tidak berpengaruh
nyata terhadap laju produksi telur, fertilitas dan daya
tetas telur.
Imbangan energi dan protein yang paling efisien dalam
r a n s u m petelur, rnenurut Karunajeewa (1972) ialah 2840 kkal
EM/kg dan 15 persen. Demikian pula NRC (1977) menyatakan
bahwa kombinasi energi dan protein yang terbaik dalam ran-
sum petelur 2 8 5 0 kkal EM/kg dan 15 persen, sedangkan im-
bangan energi protein dalam ransum untuk ayam petelur tipe
ringan di daerah tropik yang paling efisien yaitu 2 8 5 0
kkal EM/kg dan 18 persen (Sugandi, 1973).
Interaksi antara galur dan tingkat protein dalam ran-
sum berpengaruh sangat nyata terhadap bobot badan, produk-
si telur, bobot telur, efisiensi penggunaan makanan, HU
dan tebal kerabang (Deaton dan Quesenberry, 1965). Demiki-
an pula Harms et al. (1966) mengemukakan bahwa interaksi
antara galur dan tingkat protein dalam ransum, nyata mempe-
ngaruhi bobot badan. Pada ayam New Hamshire tingkat pro-
tein dalam ransum nyata mempengaruhi kenaikan bobot badan
sedangkan kebutuhan protein dalam ransum petelur dipenga-
ruhi oleh produksi dan bobot telur, efisiensi penggunaan
makanan dan pertambahan bobot badan,
Robert dan Denton (1964) melaporkan bahwa kebutuhan
minimal konsumsi protein untuk Rhode Island Red (RIR) 20
gram dan untuk Barred Plymounth Rock 17 gram per ekor per
hari, sedangkan New Hamshire membutuhkan 33 gram/ekor/hari.
Dilaporkannya pula bahwa rataan konsumsi protein yang di-
perlukan untuk mencapai performans yang optimal dipenga-
ruhi oleh beberapa Faktor. seperti galur, bobot badan,
tingkat produksi telur, kandungan energi dan protein dalam
ransum, kandungan asam-asam amino dan temperatur lingkung-
an. Sharpe dan Morris (1965) menyatakan bahwa kebutuhan
protein dalam ransum untuk ayam persilangan RIR x Light
Sussex adalah 12.5 persen, sedangkan untuk ayam White
Leghorn 16.5 persen agar berproduksi secara maksimal.
Speers dan Balloun (1967) mengemukakan bahwa kebutuh-
an protein untuk memproduksi telur secara maksimal pada
beberapa galur petelur White Leghorn berbeda. Miller dan
Smith (1975) menyatakan bahwa pada petelur White Leghorn
yang diberi tiga macam ransum dengan tingkat protein 10,
12.5 dan 15 persen, maka produksi telur tertinggi dan per-
tambahan bobot badan terbesar pada tingkat protein 15 per-
sen. Kebutuhan protein dalam ransum untuk petelur Hubbard
Golden Comet lebih besar dari rataan kebutuhan protein ba-
gi petelur berkerabang coklat lainnya, sebab Hubbard Golden
Comet berbadan kecil sehingga konsumsi ransum sedikit.
Heuser (1936) menyatakan bahwa pemberian ransum dengan
tingkat protein 16 persen adalah tingkat yang optimal un-
tuk petelur. Demikian pula Reid et al. (1951), melaporkan
bahwa performans yang optimal bagi petelur dapat dicapai
apabila diberi ransum dengan tingkat protein lebih dari
15 persen. Ousterhout (1981) mengemukakan bahwa pada pe-
telur yang diberi ransum dengan tingkat 15, 16, 17 dan 18
persen dan tingkat energi sama, tidak berpengaruh nya-
ta terhadap produksi telur. Hamilton (1978) menyatakan
bahwa pada petelur White Leghorn yang dipelihara dalam
kandang sistem sangkar, pemberian tingkat protein 15 dan
17 persen dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap
produksi telur.
Selama musim panas, tingkat protein 15 persen dalam
ransum sudah cukup untuk memproduksi telur (Heywang et al., 1955) Menurut Hochreich et al. (1957) efisiensi - penggunaan makanan lebih baik pada ransum yang mengandung
protein tinggi daripada protein rendah. Lebih lanjut di-
kemukakannya bahwa untuk mempertahankan produksi telur
maksimal diperlukan kandungan protein 17 persen dalam ran-
sum. Reid (1976) melaporkan bahwa pada pemberian ransum
dengan tingkat protein 13.5 sampai 19.5 persen tidak ber-
pengaruh nyata terhadap produksi telur, dan dilaporkannya
pula bahwa apabila ayam diberi ransum dengan tingkat pro-
tein 10 dan 11.5 persen kematian mencapai 55.3 dan 31.1
persen.
Miller et al. (1957) menyatakan bahwa dengan pemberi-
an protein 13 sampai 15 persen dalam ransum petelur sudah
cukup untuk produksi telur. Demikian pula Shutze (1969)
mengemukakan bahwa untuk rnenghasilkan bobot telur dan pro-
duksi telur yang optimal, maka ransum yang diberikan mem-
butuhkan tingkat protein 13 sampai 18 persen, dan dikemu-
kakannya pula bahwa selama petelur berproduksi maka ran-
sumnya mernbutuhkan protein 15 sampai 16 persen.
Lee et al. (1944) melaporkan bahwa kebutuhan protein
bagi petelur untuk berproduksi secara optimal ialah 15
sampai 16 persen. Scott et al. (1976) menyatakan bahwa ke-
butuhan protein tersebut sudah cukup dengan 15 persen.
Kebutuhan protein untuk petelur maksimum 17 persen dan mi-
nimum 11 persen, tetapi ini masih ter.gantung pada tempera-
tur lingkungan dan kandungan energi dalam ransum tersebut
(Harms et al., 1962).
Menurut Haberman (1956), penggunaan makanan yang efi-
sien dapat dicapai bila ransum tersebut mengandung protein
15.5 sampai 17 persen. Ayam yang diberi ransum dengan ka-
dar protein 15 persen ditambah dengan 0.23 persen metionin
mempunyai performans yang sama dengan ransum yang mengan-
dung 17 persen protein (Karunajeewa, 1972). Fernandes et
al. (1973) mengemukakan bahwa pemberian protein 13 persen - dalam ransum dengan ditambah lisin dan metionin, dapat
menghasilkan produksi dan besar telur yang sama dengan
protein 15, 17 atau 18 persen.
Miller dan Smith (1975) menyatakan bahwa pada petelur
ripe medium, pemberian ransum dengan tingkat protein 16
dan 17 persen atau 18 persen,. tingkat kepadatan ayam dalam
kandang sistem sangkar tidak mempengaruhi produksi telur.
Menurut Ewing (1963), makin tua umur ayam rnakin ba-
nyak kebutuhan protein bila dibandingkan dengan ayam muda,
tetapi Liwa (1972) melaporkan bahwa tingkat protein 14
persen dalam ransum efisien penggunaannya pada ayam umur
lebih dari 13 bulan. Apabila umur ayam kurang dari 13 bu-
lan maka ransum yang efisien yaitu dengan tingkat protein
16 persen. Lebih lanjut dilaporkannya pula bahwa ayam
berumur 1 0 bulanr peningkatan tingkat protein dalam ransum
dari 14 ke 16 persen sangat nyata (P c 0.01) mempenga-
ruhi produksi dan bobot telur.
Milton dan Ingram (1957) mengatakan bahwa kebutuh-
an protein dalam ransum 18 persen dapat berhasil baik pada
temperatur lingkungan antara 70 sampai 90" F. Ponda dan
Reddy (1976) melaporkan hasil penelitfannya di India bahwa
pada musim panas petelur sebaiknya diberi ransum dengan
tingkat protein 18 persenl sedangkan pada musim dingin cu-
kup dengan 15 persen.
Konsumsi protein untuk petelur tipe medium supaya da-
pat mencapai produksi telur maksimalr harus mengkonsumsi
protein sebanyak 21 gram/ekor/hari. Apabila konsumsi pro-
tein tersebut hanya 16 sampai 17 gram/ekor/hari, maka pro-
duksi telur turun menjadi 50 sampai 60 persen (North, 1972).
Ruhyat (1982) juga melaporkan bahwa pada ayam tipe medium
yang diberi ransum dengan tingkat energi 2 8 5 0 kkal EM/kg , mengkonsumsi protein sebanyak 20.83 grarn/ekor/hari untuk
galur Shaver dan 21.04 gram/ekor/hari untuk galur Super-
Harco. Ransum dengan tingkat energi 2650 kkal EM/kg di-
konsumsi oleh galur Shaver dan Super-Harco berturut-tu-
rut sebanyak 20.92 gram/ekor/hari dan 21.28 grarn/ekor/hari.
Mawi (1975), dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa
pada petelur galur Kimbrown rataan konsumsi protein 21.43
g,ram/ekor/hari pada tingkat energi 2 650 kkal EM/kg dan 21.21
gram/ekor/hari pada ransum dengan tingkat energi 2 8 5 0 kkal
EM/kg. Karunajeewa (1972) mengemukakan bahwa konsumsi pro-
tein sebanyak 17 gram/ekor/hari sudah cukup untuk memperta-
hankan produksi dan bobot telur yang normal.
Menurut Tokinson et al. (1968) untuk mencapai produksi
dan bobot telur yang optimal, dibutuhkan konsumsi protein
16.6 gram. Demikian pula dengan pendapat-pendapat lain ya-
itu N.RC (1977), mengemukakan bahwa pemberian protein 16.5
gram/ekor/hari dengan tingkat energi 2850 kkal EM/kg sudah
rnernadai. Nesheim et al.,(1979) menyatakan bahwa untuk men-
capai produksi telur yang maksirnal, ayam harus mengkonsumsi
protein 17 gram/ekor/hari.
Aitken et al. (1973) melaporkan dari hasil penelitian-
nya terhadap tujuh galur ayam petelur, ternyata rataan ke-
butuhan akan protein 17 gram/ekor/hari, sedangkan untuk ayam
dara, kebutuhan protein 14 sampai 15 gram/ekor/hari (Thayer
et dl., 1974). Menurut Creswell (19791, produksi telur dan - - bobot telur akan menurun apabila konsumsi protein yang op-
timal tidak tercapai. Untuk petelur tipe ringan membutuh-
kan protein 16 sampai 18 grarn/ekor/hari untuk mencapai pro-
duksi telur dan bobot telur yang optimal.
Untuk menstirnulasi produksi telur, pertambahan bobot
badan dan besar telur ransum harus mengandung metionin
0.28 persen, sistin 0.25 persen (Leong dan McGinnis, 1952).
Menurut NRC (1977) kebutuhan zat-zat makanan untuk petelur
adalah metionin 0.27 persen, sistin 0.23 persen, lisin 0.6
persen, riboflavin 2.2 mg, Ca 3.25 persen dan P 0.05 per-
sen. Dinyatakannya pula bahwa ayam petelur yang dipeliha-
ra dalam kandang sistem sangkar lebih banyak membutuhkan
Ca dan P daripada sistem serasah.
Kroutrnan (1972) mengemukakan bahwa untuk memenuhi ke-
butuhan produksi telur, ayarn cukup mengkonsurnsi ransum 105
sampai 110 gram/ekor/hari dengan tingkat protein 15 persen.
Bila konsumsi menurun sampai 85 - 90 grarn/ekor/hari, ran-
sum harus mengandung 18 sampai 19 persen protein dengan
tingkat metionin 0.34 sampai 0.36 persen.
Sugandi (1973) dalarn penelitiannya dengan tingkat
energi 2 8 5 0 kkal EM/kg dan protein 18 persen dalam ransum
mendapatkan konsumsi metionin 489.89 mg, sistin 336.36 mg
dan lisin 1161.96 mg. Jensen et e. (1974) mengemukakan
bahwa konsumsi lisin 666 sarnpai 788 mg/ekor/hari cukup me-
rangsang performans yang optimal.
Kebutuhan Calsiurn dan Phosphor
Norris et al. (1934) menyatakan bahwa ransum yang me-
ngandung Ca 1.5 persen tidak cukup menghasilkan produksi
yang optimal. Untuk mencapai produksi yang diharapkan ke-
butuhan Ca harus ditingkatkan menjadi 2.65 persen, tapi
akhirnya dikatakan pula bahwa kebutuhan Ca cukup 1.8 per-
sen. Menurut Evans et al. (1944), kandungan Ca tiga per-
sen dalam ransum, optimal vntuk pembentukan kerabang yang
baik. Damron dan Harms ('1980) mengemukakan bahwa produk-
si telur lebih baik pada pemberian Ca 3.5 persen daripada
2.5 persen atau enam persen.
~oistert (1960) melaporkan bahwa untuk memperoleh
kualitas kerabang yang optimal, petelur yang dipelihara
dalam kandang sistem sangkar membutuhkan tingkat Ca 2.5
sampai 3.5 persen dalam ransum. Menurut Bergdoll (1968),
petelur yang dikandangkan dalam sistern sangkar, dengan
tingkat produksi telur 80 sampai 90 persen, rnernbutuhkan Ca
lebih kurang 3.75 persen dalam ransum. Untuk petelur yang
dikandangkan dalam sistem serasahmembutuhkan Ca lebib se-
dikit daripada kandang sistem sangkar.
NRC (1971) menyatakan bahwa kebutuhan Ca untuk pete-
lur yang dipelihara pada temperatur 32O C (90°F) yaitu ti-
ga sampai 3.5 persen dalam ransum. Menurut Nesheim et al.
(19791, kebutuhan Ca dalam ransun untuk petelur 3.7 per-
sen, sedangkan menurut NRC (1977) kebutuhan Ca 3.25 persen.
Massengale dan Flatt (1930) menyatakan bahwa kebutuh-
an P untuk petelur' agar memproduksi telur secara optimal
yaitu 0.5 persen. Menurut Miller dan Berse (1934) kebu-
tuhan P untuk petelur 0.8 persen agar mencapai produksi te-
lur yang optimal. Lebih lanjut NRC (1977) mengemukakan
bahwa kebutuhan P untuk petelur 0.5 persen. North (1972)
melaporkan bahwa kebutuhan Ca dan P pada petelur tipe me-
dium yang berumur 20 sampai 40 minggu berturut-turut tiga
dan 0.6 persen, sedang yang berumur lebih dari 40 minggu
3.25 dan 0.6 persen.
Lubis (1963) mengemukakan bahwa kadar lemak yang op-
timal dalam ransum petelur adalah lima persen. Dernikian
pula North (1972) rnenyatakan untuk ransurn petelur tipe
medium yang dipelihara dalam kandang sistern sangkar, se-
baiknya kandungan lemak dalam ransum 4.61 persen, sedang-
kan ada pendapat lain menyatakan bahwa pemberian lemak
tiga sampai delapan persen dalam ransum masih baik untuk
produksi telur (~chaible, 1970).
Lubis (1963) mengemukakan bahwa serat kasar dalam
ransurn ayam tidak boleh melebihi delapan persen. Menurut
pendapat North (19721, untuk petelur tipe medium yang di-
kandangkan dalarn kandang sistern sangkar kandungan serat
kasar dalam ransum sebaiknya 2.5 persen. Ensminger dan
Olentine (1978) menyatakan bahwa untuk petelur yang mempu-
nyai tingkat produksi antara 67 sampai 77 persen, sebaik-
nya kandungan serat kasar dalam ransum 2.5 persen.
Pengaruh Temperatur
Jull (1951) mengemukakan bahwa ayam memproduksi telur
tertinggi, apabila temperatur lingkungan 10 sampai 15.5OC.
Menurut EL ~ o u s h y dan Morle (1978), suhu yang cocok untuk
petelur yaitu sekitar 10 sampai 2 0 ' C n tetapi suhu ling-
kungan yang paling ideal bagi petelur adalah 15OC. Lebih
lanjut El Boushy dan Morle (1978) melaporkan pula bahwa pro-
duksi telur tertinggi dapat dicapai pada suhu 7.2 sampai
12.E°C, sedangkan efisiensi penggunaan ransum terbaik da-
pat dicapai pada suhu 17 sampai 18OC.
Card (1962) menyatakan bahwa suhu lingkungan yang pa-
ling ideal untuk ayam petelur antara 12.8 sampai 23.g°C.
Menurut North (1972), suhu lingkungan yang baik untuk ayam
petelur adalah 6 5 O F sampai 75- F. Bundy et dl. (1978)
melaporkan bahwa suhu lingkungan yang masih bisa ditolelir
oleh petelur yaitu 4.4 sampai 15.5"C, sedangkan NRC (1977)
mengemukakan bahwa suhu lingkungan yang normal untuk pete-
lur 60 sampai 75°F (16-24-C). Demikian pula Nesheim et
al. (1979) mengatakan bahwa suhu optimal untuk ayam pete- - lur berkisar antara 55 sampai dengan 75OF.
Winter dan Funk (1960) dan McArdle (1972) melaporkan
bahwa untuk menghasilkan produksi telur tertinggi, mem-
butuhkan temperatur lingkungan kurang lebih 55°F. Lebih
lanjut Winter dan Funk (1960) melaporkan bahwa apabila tem-
peratur naik, bobot telur berkurang, kerabang tipis, kon-
sumsi air minum bertambah, faeces berair dan ayam susah ber-
nafas.
Pengaruh-pengaruh akibat penurunan ternperatur pada ayam
White Leghorn lebih peka daripada ayam petelur New Hamshire
dan Rhode Island Red (Campos et s., 1962). Rogler et s. (1976) berpendapat bahwa semakin naik temperatur lingkung-
an, maka produksi telur berkurang, bobot telur turun, tebal
kerabang berkurang dan berpengaruh pula terhadap Ca dan C02
dalam darah, tetapi sebaliknya apabila temperatur lingkungan
turun sampai 10°F maka produksi telur, tebal kerabang, kon-
sumsi ransum dan bobot badan akan menurun pula, jengger lu-
ka-luka dan berpengaruh terhadap bobot telur dan HU.
Mengenai pengaruh kelembaban udara terhadap produksi te-
lur Card dan Nesheim (1972) melaporkan bahwa apabila kelem-
baban udara terlalu tinggi disertai pula dengan temperatur
tinggi, maka akan menyebabkan pembuangan uap air berlebihan
dari badan dengan jalan "panting" tidak berhasil baik, kare-
na udara sudah jenuh dengan uap air. Keadaan ini akan meru-
pakan cekaman bagi ayam tersebut sehingga produksi telur akan
menurun. Dan dilaporkannya pula bahwa kelembaban yang ting-
gi disebabkan karena ventilasi kandang kurang baik. Nowland
(1978) mengemukakan bahwa kelembaban relatif yang baik untuk
petelur yaitu sekitar 55 sampai 75 persen.
Konsumsi Ransum
Winter dan Funk (1960) melaporkan bahwa konsumsi ran-
sum pada unggas dipengaruhi oleh bangsa ayam, kecepatan
tumbuh serta imbangan enerqi dan protein dalam ransum. De-
mikian pula Shutze (1969) menyatakan bahwa faktor-faktor
yang rnempengaruhi konsumsi ransum yaitu bobot badan, ga-
lur, tingkat produksi, kandungan energi dalam ransurn, tem-
peratur lingkungan dan tipe kandang.
Bolton et al. (1970) mengemukakan bahwa ayam tipe me-
dium mengkonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan ayam
tipe ringan, ini disebabkan ayam tipe medium memerlu-
kan energi dan protein lebih banyak untuk hidup pokoknya.
Pengaruh tingkat energi terhadap konsumsi ransum ada
beberapa pendapat, MacIntyre dan Aitken (1957) melapor-
kan bahwa konsumsi ransum per ekor per hari dan konsumsi
ransum untuk menghasilkan satu lusin telur pada ransum yanq
berenergi tinggi nyata lebih rendah daripada ransum yang
berenergi rendah. Tiap kenaikan energi neto sebesar 100
kkal/kg ransum, konsumsi ransum berkurang 11 persen. Me-
nurut Hadipurnomo (19731, perbedaan tingkat energi 400 kkal
EM/kg yaitu dari 2 650 sampai dengan 3 0 5 0 kkal EM/kg ran-
sum dengan protein 15 persen, tidak nyata mempengaruhi kon-
sumsi ransum. Carew et al. (1980) rnenyatakan bahwa makin
tinggi tingkat energi dalam ransum, konsumsi ransum makin
berkurang.
MacIntyre dan Aitken (1957) mengemukakan bahwa dengan
meningkatnya kadar protein dalam ransum, konsumsi ransum
sangat nyata meningkat. Berbeda dengan pendapat Dewan dan
Gleaves (1969) yang menyatakan bahwa tingkat protein yang
berbeda dalam ransum tidak nyata mempengaruhi jumlah ran-
sum yang dikonsumsi. Demikian pula Hamilton (1978) mela-
porkan bahwa pernberian ransum dengan tingkat protein yang
berbeda dua persen (dari 15-17%) pada ayam petelur White
Leghorn tidak nyata berpengaruh terhadap konsumsi ransum.
Ivy dan Gleaves (1976) melaporkan bahwa pada tingkat
produksi telur 70.5 persen, ayam mengkonsumsi ransum 128
gram/ekor/hari. Pada ayam White Leghorn pada tingkat pro-
duksi telur 75 persen, konsumsi ransum 105 gram/ekor/hari
(Byerly et al., 1980). Menurut NRC (19771, konsumsi ran-
sum 108 gram/ekor/hari untuk ayam dengan bobot badan dud
kilogram dan produksi telur 70 persen. Demikian pula
North (1972), menyatakan bahwa konsumsi ransum untuk ayam
tipe medium 120 gram/ekor/hari.
Costa (1978) mengemukakan bahwa ayam tipe medium dan
tipe berat tidak bisa menyesuaikan antara konsumsi ransum
dengan kebutuhan. Konsumsi ransum pada kedua tipe terse-
but cenderung berlebihan terutama pada ayam umur lebih
dari 40 minggu. Wahju (1978) menyatakan bahwa konsumsi
ransum untuk petelur tipe medium 120 sampai 150 grarn/ekor/
hari. Demikian pula Ruhyat (1982) dari hasil penelitian-
nya melaporkan bahwa konsumsi ransum untuk galur Shaver
120'.4 gram, sedangkan galur Super-Harco 122.29 gram/ekor/
hari .
Konsumsi Air Minum
Heywang (1941) menyatakan bahwa banyaknya air yang
diperlukan oleh seekor ayam dipengaruhi oleh susunan ran-
sum, temperatur lingkungan, tingkat produksi telur, bobot
tubuh dan umur. Hadipurnomo (1973) mengemukakan bahwa
naiknya tingkat energi 2 6 5 0 sampai 3050 kkal EM/kg ransum
tidak nyata berpengaruh terhadap k~nsumsi air minum.
Sugandi (1973) menyatakan bahwa dengan ransum yang mengan-
dung energi berkisar antara 2 650 sampai 3 050 kkal EM/kgr
konsumsi air minum akan menurun. Ruhyat (1982) melaporkan
bahwa konsumsi air minum pada tingkat energi 2850kkal EM/
kg ransum nyata (Pc0.05) lebih banyak daripada tingkat
enerqi 2 6 5 0 kkal EM/kg ransum.
Sugandi (1973) melaporkan bahwa pada petelur White
Leghorn yang dipelihara dalam kandang sistem sangkar, ter-
nyata konsumsi air minum pada pemberian ransum dengan ting-
kat protein 10 persen lebih banyak daripada pada pemberian
ransum dengan tingkat protein 15 persen.
Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi air minum ada-
lah kadar garam dalam ransum. Kare dan Biely (1948) me-
laporkan bahwa apabila kandungan garam dalam ransum menca-
pai 5.18 persen, maka ayam akan mati. Menurut Heuser (1955),
petelur yang diberi ransum dengan kadar garam 0.5 sampai 1.0
persen akan menghasilkan pertumbuhan, efisiensi penggunaan
makanan dan produksi telur yang lebih baik daripada ransum
tanpa garam. Demikian pula Winter dan Funk (1960) menyata-
kan bahwa kadar garam yang optimal dalam ransum adalah 0.5
sampai 1.0 persen. Phelp (1969) berpendapat bahwa petelur
membutuhkan garam dalam ransumnya tetapi jangan lebih dari
0.25 persen.
Pengaruh temperatur lingkungan terhadap konsumsi ran-
sum Wilson (1948) mengemukakan bahwa perbandingan banyaknya
konsumsi ransum dengan konsumsi air minum, pada petelur ya-
itu pada temperatur 65OF = 1 : 2, sedangkan pada temperatur
95OF = 1 : 4.7. Fox (1951) melaporkan bahwa pada keadaan
cuaca panas ayam White Leghorn lebih banyak minum daripada
ayam Rhode Island Red dan New Hamshire.
Petelur yang dipelihara pada temperatur lingkungan
2SoC, maka konsumsi air minum meningkat, bobot telur dan
kualitas telur menurun (Hvidsten dan Haugen, 1977). Lebih
jauh Rahman (1979) melaporkan bahwa temperatur air yang
diminum juga mempengaruhi banyaknya konsumsi air. Dila-
porkan pula bahwa temperatur air minum yang ideal yaitu
antara 10 sampai 13-C. Bila temperaturnya antara 32 sam-
pai 35°C maka konsumsi air minum berkurang setengahnya.
Mengenai pengaruh tingkat produksi telur terhadap kon-
sumsi air minum, Jull (1949) menyatakan bahwa petelur dengan
tingkat produksi 180 sampai 240 butir mengkonsumsi air se-
banyak 130 sampai 180 lb. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
kandungan air pada bagian-bagian sebutir telur adalah seba-
gai berikut : sebutir telur dengan kerabangnya mengandung
air 65.6 persen, kuning telur 48.7 persen, kuning dan putih
telur 73.6 persen, sedangkan putih telurnya saja mengandung
87.9 persen. Lipschitz et al. (1967) melaporkan bahwa kon-
sumsi air minum dipengaruhi pula oleh perbedaan seks. Ayam
betina yang sedang berproduksi mengkonsumsi air sebanyak 1.7
kali ayam jantan.
Mongin dan Sauveur (1974) dan Howard (1975) mengemuka-
kan bahwa apabila produksi telur meningkat maka konsumsi air
pun meningkat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ayam yang se-
dang mengalami proses "oviposition" membutuhkan air minum
sebanyak 50 cc per jam dan proses mengsekresi albumen mem-
butuhkan 37 cc per jam. Demikian pula Howard (1975) menya-
takan bahwa konsumsi air minum pada petelur yang sedan9 ber-
produksi sebanyak 3 0 5 . c ~ per hari, sedangkan yang tidak
berproduksi 146 cc per hari.
Heywang (1941) melaporkan bahwa konsumsi air minum me-
ningkat dengan bertambahnya bobot badan ayam tersebut. De-
mikian pula Hamilton (1978) dan Doran et al. (1980) menya-
takan bahwa galur yang berbeda dalam ha1 ini berbeda dalam
bobot badan, tingkat produksi telur dan bobot telur, maka
konsumsi air minumnya juga berbeda. Qureshi (1980) juga
menyatakan bahwa banyaknya konsumsi air dipengaruhi oleh
galur . Medway dan Kare (1959) melaporkan bahwa konsumsi air
minum meningkat dengan bertambahnya umur ayam tersebut.
Menurut Ewing (1963), konsumsi air minum untuk petelur ber-
umur 32 minggu sebanyak 3.6 ml/gram makanan yang dikonsum-
si,
Phelp (1974) melaporkan bahwa ayam yang dikandangkan
dalam sistem sangkar lebih banyak rnengkonsumsi air daripada
kandang sistem serasah. Bentuk dan ukuran tempat air minum
mempengaruhi konsumsi air minum. Bentuk tempat air minum
yang paling coco,k untuk petelur ialah bentuk U atau V de-
rigan ukuran tinggi tiga sentimeter dan lebar lima sampai tu-
juh sentimeter (Rahman, 1979).
Konversi Ransum
Tentang konversi ransum Guenther et &. (1972) menge-
mukakan bahwa tingkat energi dalam ransum memperbaiki kon-
versi ransum. Doran et al. (1980) juga melaporkan bahwa
kenaikan tingkat energi dalam ransum dari 2 7 7 3 sampai
3 013 kkal EM/kgr pada tingkat protein 15 persen akan mem-
perbaiki konversi ransum dari 2.81 menjadi 2.71. Ruhyat
(1982) melaporkan bahwa pemberian ransum dengan tingkat
energi 2650 kkal EM/kg dan 2850 kkal EM/kg tidak berpenga-
ruh nyata terhadap konversi ransum.
Karunajeewa (1972) menyatakan bahwa tingkat protein
dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi
penggunaan ransum. Dinyatakannya pula bahwa tingkat pro-
tein dalam ransum yang paling baik yaitu 15 persen. Demi-
kian pula Reid (1976) melaporkan bahwa kenaikan tingkatpro-
tein dari 13.5 sampai 19.5 persen tidak nyata mempengaruhi
konversi ransum.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Sugandi et al. (1975) yang rnenyatakan bahwa konversi ran-
sum nyata lebih baik pada ransum dengan tingkat protein 18
persen daripada 15 persen dan ransum yang paling efisien
ialah pada tingkat protein 18 persen dengan energi 2850 kkal
EM/kg ransum. Hamilton (1978) juga mengemukakan bahwa pada
pemberian ransum dengan tingkat protein 15 dan 17 persen
serta tingkat energi sama, pada ayam White Leghorn sangat
nyata (P<O.Ol) mempengaruhi konversi ransum.
Kodra et al. (1968) dan Aitken et &. (1973) mela-
porkan bahwa galur nyata mempengaruhi konversi ransum. Dan
dilaporkannya pula bahwa galur yang mempunyai bobot badan
besar konversi ransumnya cenderung lebih jelek daripada yang
berbobot badan kecil. Ousterhout (1981) dari hasil peneli-
tiannya mengemukakan bahwa dari m p a t .macam galur White
Leghorn, terbukti galur nyata (Pc0.05) mempengaruhi konver-
si ransum.
Bobot Telur
Mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bo-
bot telur terdapat beberapa pendapat, diantaranya Romanoff
dan Romanoff (1963) dan North (1972)nengemukakan bahwa fak-
tor-faktor yang mempengaruhi bobot telur adalah sifat gene-
tik, umur, bangsa, bobot badan, tingkat produksi dan tempe-
ratur lingkungan. Carew et al. (1976) menyatakan bahwa
tingkat energi dalam ransum tidak nyata mempengaruhi bobot
telur pada ayam tipe medium. Ruhyat (1982) melaporkan bah-
wa pada galur Shaver dengan pemberian ransum pada tingkat
energi 2 850 kkal EM/kg ransum nyata (P < 0.05) memproduksi
telur lebih berat daripada tingkat energi 2 650 kkal EM/kg
ransum. Pada galur Super-Harco perbedaan tingkat energi
dalam ransum tidak nyata mempengaruhi bobot telur.
Aitken et al. (1972) menyatakan bahwa dengan menaikkan
tingkat protein dalam ransum dari 14.5 menjadi 17 persen,
akan mengakibatkan peningkatan produksi telur sebanyak 2.3
persen dan bobot telur 0.7 gram. Demikian pula Oluyemi dan
Harms (1978) menyatakan bahwa dengan menurunnya tingkat
energi dan protein dalam ransum maka bobot telur akan me-
nurun pula. Menurut Creswell (19791, apabila konsumsi pro-
tein tidak mencapai optimal yaitu 16 sampai 18 gram/ekor/
hari, maka produksi dan bobot telur akan menurun.
Thornton et al, (1957) mengemukakan bahwa pada tingkat
protein yang berbeda dari 11 sampai 17 persen tidak berpe-
ngaruh nyata. Dikemukakannya pula bahwa bila lisin ditam-
bahkan ke dalam ransum yang mengandung 17 persen protein dan
ransurn tersebut sudah ditambah metionin, maka bobot telur
akan naik, tetapi bila penambahan lisin tersebut tanpa pe-
.nambahan metionin, maka bobot telur akan menurun. Hamilton
(1978) melaporkan bahwa dengan meningkatnya pemberian pro-
tein dalam ransurn dari 15 sampai 17 persen, tidak berpe-
ngaruh nyata terhadap bobot telur, tetapi bobot telur cen-
derung naik dengan penambahan tingkat protein.
Pepper et al. (1962) mengemukakan bahwa apabila dalam
ransum ayam petelur ditambahkan metionin maka bobot telur
cenderung meningkat, tetapi penambahan glisin ke dalam
ransum petelur, akan mengurangi bobot telur dan berkurang-
nya persentase zat padat dalam albumen (March dan Biely,
1963: . Biely dan March (1964) melaporkan bahwa .bobot telur
yang dihasilkan dari ransum dengan tingkat protein 16 per-
sen ternyata lebih besar daripada ransum dengan tingkat
protein 14 persen. Dilaporkannya pula apabila ransum de-
ngan tingkat 14 persen ditambah dengan lisin dan metionin
akan memproduksi telur lebih besar daripada kalau penambah-
an asam-asam amino tersebut secara terpisah. Keseimbangan
asam-asam amino dari konsumsi protein lebih besar pengaruh-
nya terhadap bobot telur daripada banyaknya konsumsi pro-
tein yang diperlukan untuk berproduksi secara optimal, te-
tapi terhadap albumen dan selaput kulit telur tidak berpe-
ngaruh nyata.
Griffith et s. (1969) mengemukakan bahwa penambahan
choline dan vitamin B dalam ransum nyata meningkatkan bo- 12
bot telur. Demikian pula dengan penambahan vitamin C dalam
ransun1 akan meningkatkan bobot telur dan produksi telur.
Ousterhout (1980) melaporkan bahwa tingkat Ca dalam ransum
petelur mempengaruhi bobot telur yang dihasilkannya, makin
tinggi tingkat Ca dalam ransum, makin rendah bobot telurnya.
Lebih lanjut dinyatakannya bahwa dengan meningkatnya ting-
kat Ca satu persen dalam ransum, akan mengurangi bobot te-
lur sebanyak hanpir 0.4 gram.
MacIntyre dan Aitken (1957) rnenyatakan bahwa rataan
bobot telur ayam Plymouth Rock dan White Leghorn adalah
62 gram dan 58 gram. Bobot telur dari satu galur berva-
riasi sesuai dengan bobot badannya. Ayam-ayam yang mem-
purlyai .bobot badan ringan cenderung merlghasilkan telur
yang kecil (Bolton et dl., 1970). Lebih lanjut Aitken
et al. (1973) rnengemukakan bahwa bobot telur juga dipenga- - - ruhi oleh galur ayam. Togatorop et al. (1977) dari hasil
penelitiannya melaporkan bahwa rataan bobot telur galur
Enya nyata lebih berat daripada galur Kimber, Hyline dan
Babcock.
Cormon dan Huston (1965) menyatakan bahwa rataan bo-
bot telur yang dihasilkan pada temperatur lingkungan 19' C
lebih berat enam gram daripada rataan bobot telur yang di-
hasilkan pada temperatur 30°C. Demikian pula Lillie
al. (1976) mengemukakan bahwa bobot telur dipengaruhi oleh - temperatur lingkungan. Bila temperatur turun, bobot telur
cenderung rneningkat. Meningkatnya temperatur lingkungan
dari 10°C menjadi 28°C) akan menyebabkan penurunan bobot
telur sebesar 0.20 persen dan produksi telur berkurang se-
banyak 0.10 persen.
Menurut Bruckner (1936), terjadinya penurunan bobot
telur dimulai pada waktu temperatur mencapai 65°F (18.33"C).
Lebih lanjut El Boushy dan Morle (1978) melaporkan bahwa
bobot telur tertinggi dicapai pada temperatur 7.2' C sam-
pai 12.8" C. Berbeda dengan pendapat Grover et al. (1980)
menyatakan bahwa bobot telur tidak berbeda nyata antara te-
lur-telur yang dihasilkan pada temperatur lingkungan 16.75OC
dan 22.50°C.
May dan Stadelman (1959) mengemukakan bahwa umur bukan
saja berpengaruh terhadap bobot telur tetapi juga terhadap
bagian-bagian dari telur dan kadar protein telur. Demikian
pula Romanoff dan Romanoff (1963) dan Carew et al. (1976)
mengelnukakan bahwa bobot telur rnakin meningkat dengan ber-,
tambahnya umur ayam.
Tebal Kerabang
Faktor-faktor yang mempengaruhi tebal kerabang menu-
rut Winter dan Funk (1960) dan Jull (19511, adalah umur,
suhu lingkungan, tingkat produksi, penyakit, sifat gene-
tik dan imbangan energi dan protein dalam ransum. Roma-
noff dan Romanoff (1963) rnenyatakan pula bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi tebal kerabang adalah sifat gene-
tik, keadaan iklim dan makanan. Foster dan Weatherup
(1979) mengernukakan bahwa ada hubungan positif antara bo-
bot jenis dengan tebal kerabang, sehingga bobot jenis da-
pat mengestimasi tebal kerabang tanpa harus memecahkan
telur.
Benyamin et al. (19601, melaporkan bahwa tebal kera-
bang yang optimal ialah 0.36 mm. Lebih lanjut Mountney
(1976) rnengemukakan bahwa tebal kerabang minimum yaitu
0.33 mm, apabila kurang dari ketebalan tersebut maka telur
akan rnudah pecah, sehingga rnenyulitkan dalam pengangkutan.
Belyavin dan Boorman (1980) rnengatakan bahwa tebal kera-
bang dengan lapisan cuticula adalah 33.9 f 2.013 rnm x
dan tanpa lapisan cuticula 32.4 2 1.804 rnm x
Menurut Sturkie dan Polin (19541, Ca yang dipakai un-
tuk pembentukan kerabang, sebagian berasal dari makanan yang
telah dicerna dan sebagian lagi diambil dari persediaan Ca
dalam tubuh. Ca dirnobilisasi oleh hormon estrogen dan ke-
lenjar parathyroid dengan bantuan enzim carbonic anhydrase.
NRC (1971) juga mengemukakan apabila Ca tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan pembentukan kerabang, maka Ca diambil
dari tubuh yang disimpan dalam tulang. Proses penbentukan
kerabang dan mobilisasi Ca biasanya terjadi pada malam
hari, sekitar pukul 22.00 sampai pukul 06.00, den~ikian me-
nurut Mongin dan Sauveur (1974).
Card (1962) menyatakan bahwa kerabang terdiri dari 93
hingga 9 8 persen CaC03. Untuk menghasilkan 300 butir te-
lur per tahun bagi petelur dengan bobot badan 2.27 kilo-
gram, maka rnembutuhkan CaC03 sebanyak 1.7 kilogram atau
0.68 kilogram Ca. Lebih jauh Romanoff dan Romanoff (1963)
melaporkan bahwa kandungan mineral yang terdapat dalam ke-
rabang ialah kalsium 2.21 gram, magnesium, 0.02 gram dan
phospor 0.02 gram. Menurut Bundy et al. (1975), kebutuhan
mineral dalam ransum petelur empat kilogram untuk produksi
telur sebanyak 200 butir per tahun. Kerabang yang normal
menurut Sturkie (1976) mengandung 1.6 sampai 2.4 gram Ca.
Tentang tingkat Ca dan P dalam ransum petelur ada be-
berapa pendapat, yaitu : Heuser (1955) menyatakan bah-
wa kebutuhan kalsiun dan phospor adalah 1.65 persen dan
0.6 persen dalam bentuk anorganik, sedangkan P dalam ben-
tuk tersedia 0.4 sampai 0.6 persen sudah cukup untuk mem-
bentuk tebal kerabang yang normal. Tingkat P dan Ca dalam
darah meningkat, masing-masing dari 6.46 hingga 6.82 mg
persen dan 34.3 hingga 34.6 mg persen selama tiga sampai
lima jam. Menurut Kubota et al. (1962) kebutuhan Ca dan P
masing-masing sebanyak 2.125 dan 0.613 persen, sedangkan
menurut Ewing (1963) kebutuhan Ca 2.25 persen dan P 0.6
persen. NRC (1977) melaporkan bahwa kebutuhan Ca dan P
yaitu 2.75 dan 0.6 persen.
Peterson et al. (1960) dari hasil penelitiannya me-
nyimpulkan bahwa untuk menjamin kualitas kerabang yang ba-
ik, rnembutuhkan Ca 3.75 persen dalam ransun, apabila ayam
tersebut dipelihara pada temperatur lingkungan 70°F. Apa-
bila temperatur naik maka dianjurkan tingkat Ca dalam ran-
sum dinaikkan menjadi 4.5 persen. Hal ini berbeda dengan
pendapat Moistert (1960) yang menyatakan bahwa tingkat Ca
dalam ransum petelur maksimum 3.75 persen, sebab bila di-
berikan lebih maka konsumsi ransum akan menurun.
Farreel (1979) mengemukakan bahwa- bila pada suhu ling-
kungan tinggi, konsumsi Ca lebih kurang 2.5 gram/ekor/hari,
maka akan menghasilkan kerabang yang tipis. Untuk mengha-
silkan kerabang yang normal konsumsi Ca sebaiknya 3.25 gram/
ekor/hari. Pada suhu lingkungan tinggil penquapan mening-
kat, sehingga akan terjadi reduksi H C ~ ~ dan C02 dalam da-
rah. Bila H C ~ ~ dalam darah rendah, akibatnya CaC03 yang
terbentuk menjadi lebih sedikit. Lebih lanjut Deaton et al.
(1981) melaporkan bahwa apabila petelur dipelihara pada
suhu lingkungan 15.6 hingga 35.0°C maka tebal kerabang yang
dihasilkan yaitu 0.323 mm dan pada suhu 26.7 hingga 35.O0C,
tebal kerabang 0.314 mm.
Bundy et al, (1975) rnenyatakan bahwa kebutuhan vita-
min D3 yang optimal dalam ransum adalah 800 IU, bila ku-
rang dari jumlah tersebut, maka telur yang dihasilkan akan
berkerabang tipis. Menurut Roland (1978), telur yang di-
keluarkan pada sore hari berkerabang lebih tebal daripada
telur yang dikeluarkan pada pagi hari. Lebih lanjut dike-
mukakan bahwa makin tinggi interval waktu ditelurkan, maka
persentase kerabang makin tinggi. Shen et al. (1981) me-
laporkan bahwa pada ransum yang mengalami defisiensi ter-
hadap vitamin D3 maka produksi telur pun berkurang kurang
lebih 30 persen.
Mengenai pengaruh warna kerabang terhadap tebal kera-
bang menurut Stadelman dan Cotteril (1973), hubungan anta-
ra warna kulit dengan kualitas kerabang tidak nyata. Akan
tetapi Grover et &. (1980) melaporkan bahwa hubungan an-
tara warna kulit telur dan kualitas kerabang sangat nyata.
Menurut Johnson dan Merritt (1955), kualitas telur ya-
itu menilai tinggi putih telur, tebal kerabang dan ada atau
tidak adanya bintik darah atau bintik daging dalam telur,
yang dapat diperbaiki melalui sifat kebakaan. May dan Sta-
delman (1959) menyatakan bahwa galur berpengaruh nyatater-
hadap bobot telur, bobot kerabang, bobot isi telur, bobot
air dan bobot protein dalam telur, Demikian pula Ouster-
hout (1981) melaporkan bahwa galur berpengaruh nyata ter-
hadap produksi telur, efisiensi penggunaan ransum, bobot
telur, kualitas kerabang dan mortalitas.
Parnell (1957) dan Romanoff dan Romanoff (1963) me-
ngemukakan bahwa makin berat bobot ayam, telur yang diha-
silkan semakin berat dan kerbangnya makin tebal. Ada lcore-
lasi positif antara bobot badan dan bobot kerabang (Amerr
1965). Orr dan Flitcher (1973) juga menyatakan, komposisi
fisik telur tergantung pada galur, besar telur, musim dan
umur ayam. Antara besar ayam, bobot telur dan tebal kera-
bang mempunyai korelasi positif.
Rodda (1972) menyatakan bahwa pengaruh urnur ayam ter-
hadap ketebalan kerabang lebih besar daripada pengaruh ga-
lur. Rolland (1979) melaporkan bahwa makin meningkat umur
ayam, makin rendah kualitas kerabang yang disebabkan oleh:
1. Kemampuan ayam untuk mengabsorpsi Ca berkurang.
2. Persediaan Ca dalam tubuh berkurang.
3. Pengaruh genetik untuk meningkatkan produksi telur le-
bih cepat daripada kemampuan ayam tersebut untuk mem-
pertahankan kualitas kerabang.
Pengaruh tipe kandang terhadap kualitas kerabang dan
putih telur tidak nyata (North, 1972). Lebih lanjut dike-
rnukakannya bahwa pada petelur yang dikandangkan pada sis-
tern sangkar maka produksi telur yang dihasilkan lebih ren-
dah, mortalitas lebih rendah, telur lebih besar dan persen-
tase bintik darah lebih rendah. Penyakit ND dan "Infectious
Bronchitis" menurunkan kualitas kerabang (Anygorodi, 1979).
Kualitas Telur
Mengenai penelitian kualitas telur berdasarkan metode
HU Wesley dan Stadelman (1959) menyatakan bahwa cara ini
adalah cara penilaian kualit-as putih telur yang terbaik.
Nilai HU dapat dicari denyan memakai rumus yang dibuat oleh
Haough (1937), dikutip oleh Nesheim et al. (1979) sebagai
berikut :
H U = 100 log ( H - VG (30 w ~ ' ~ ~ - 100) + 1.9) 100
H = tinggi putih telur kental dalam mm.
G = 32.2
W = bobot telur dalam gram
Mengenai pengaruh protein terhadap HU, Harms dan
Douglas (1960) menyatakan bahwa pada pernberian tingkat pro-
tein 14.7 persen dalam ransum maka produksi telur rendah
dan telur yang dihasilkan mempunyai nilai HU tinggi. Pada
tingkat protein 16.7 persen dalam ransum terjadi kebalikan-
nya. Demikian pula Miller dan Whittet (19621, Deaton dan
Quisenberry (1965) dan Sugandi et dl. (1975) melaporkan
bahwa nilai HU dipengaruhi oleh tingkat protein dalam ran-
sum.
Pengaruh tingkat energi dalam ransum terhadap HU, add
beberapa pendapat. Kodra et dl. (1968) mengemukakan bahwa
pada ransum yang mengandung lemak tinggi nyata mempengaruhi
tebal kerabang, tinggi albumen, tinggi kuning telur, bobot
telur dan HU. Akan tetapi menurut Karunajeewa (1972), kua-
litas albumen dan berat jenis telur tidak dipengaruhi oleh
tingkat energi atau protein dalam ransum, melainkan dipenga-
ruhi oleh galur. Dernikian pula Sugandi et al. (1975) dan
Doran et al. (1980) menyatakan bahwa HU tidak dipengaruhi
oleh tingkat energi dalam ransum. Carew et al. (1976) me-
laporkan juga bahwa tingkat energi dalam ransum tidak rnern-
pengaruhi HU, bobot telur, tebal kerabang, bintik darah dan
bintik daging dalam telur.
Mengenai pengaruh pemberian P dalam ransum petelur
terhadap nilai HU, Harms dan Douglas (1960), mengemukakan
bahwa penambahan pemberian P nyata menaikkan HU, tetapi me-
nurunkan produksi telur. Pengurangan pemberian Ca dalam
ransum dari 3.2 persen rnenjadi 2.2 persen pada petelur da-
lam periode produksi, akan nenyebabkan menurunnya tingkat
produksi telur, konsurnsi ransum, efisiensi penggunaan ran-
sum dan bobot jenis telur. Akibat lain adalah mortalitas
dan nilai HU meningkat serta terdapatnya bintik darah da-
lam telur (Hamilton dan Cipera, 1981).
Noles dan Tindell (1967) menyatakan bahwa tidak ada hu-
bungan secara langsung antara HU dengan laju proauksi telur.
Menurut Phelps (1974), defisiensi vitamin A dalam ransum
menyebabkan adanya peningkatan bintik darah dalam telur.Pe-
ningkatan kadar vitamin C dalam ransum sebanyak tiga sam-
pai 10 gram, bisa memperbaiki nilai HU dari 76.77 (sebagai
kontrol) menjadi 80.95 sampai 82.10. Kandungan Fe, Mn,
Zink dan Selenium dalam ransum nyata memperbaiki nilai HU
(Jensen et al., 1978)
Johnson dan Merritt (1955) melaporkan bahwa sifat he-
ritabilitas HU adalah antara 17 hingga 55.persen. Demiki-
an pula Winter dan Funk (1960) mengemukakan bahwa kualitas
telur dipengaruhi oleh galur, makanan dan penyakit. Menu-
rut Rawi dan Amer (1972), nilai HU pada ayam New Hampshire
91.7, pada White Leghorn 89.1 dan pada ayam lokal di Iraq
85.5. Lebih jauh Sunarlim et al. (1980) menyatakan bahwa
pemberian makanan terbatas untuk petelur akan menurunkan
produksi telur dan menaikkan nilai HU.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai HU adalah
umur, musim dan sistem pengandangan, Sturkie dan Polin
(1954) mengemukakan bahwa penurunan nilai HU disebabkan ka-
rena bertambahnya umur ayam yang menghasilkan telur terse-
but. Hal ini terjadi karena penurunan kemampuan fungsi fi-
siologis alat reproduksi. Cumingham et al. (1960) menyata-
kan, umur dan musim berpengaruh terhadap nilai HU;.makin
tua ayam, nilai HU akan menurun.
Menurut Pratas et &. (1976), nilai HU pada kandang
sistem sangkar lebih tinggi daripada sistem serasah. Su-
gandi et al. (1975) melaporkan bahwa nilai HU dari telur
yang dihasilkan di daerah tropis lebih rendah daripada dae-
rah iklim sedang dan dilaporkannya pula bahwa tebal kera-
bang dan nilai HU pada kandang sistern sangkar lebih baik
daripada sistem serasah.
Mortalitas
Mengenai pengaruh galur terhadap mortalitas, Karuna-
jeewa (1972) menyatakan bahwa mortalitas d i antara galur-
galur tidak berbeda nyata, tetapi galur B cenderung lebih
banyak menderita Lymphoid Leucosis sebanyak 11.3 persen se-
dangkan galur lain hanya 6.3 persen. Lebih lanjut dinya-
takannya bahwa mortalitas sangat nyata (P<0.01) lebih ba-
nyak pada ayam yang diberi ransum dengan tingkat energime-
dium daripada energi tinggi. ~ e m s t i a n n ~ a sebanyak 12.5
persen disebabkan karena menderita Lymphoid Leucosis.
Menurut Sugandi (1973) pada petelur tipe ringan pem-
berian ransum dengan tingkat energi 2650 kkal EM/kg dan
2850 kkal EM/kg tidak memperlihatkan pengaruh nyata ter-
hadap mortalitas. Berbeda dengan hasil penelitian Ruhyat
(1982) yang melaporkan bahwa mortalitas pada galur Super-
Harco nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada galur Shaver dan
dilaporkannya pula bahwa mortalitas pada ayam yang diberi
ransum dengan tingkat energi 2 8 5 0 kkal EM/kg nyata (P<0.05)
lebih tinggi daripada tingkat energi 2650 kkal EM/kg.
Pada ayam Barred Plymounth Rock walaupun diberiransum
dengan kadar energi tinggi maupun protein tinggi tidak nya-
ta mempengaruhi mortalitas (MacIntyre dan Aitken, 1957).
North (1972) mengemukakan bahwa angka mortalitas sampai 15
persen per tahun untuk petelur masih dianggap cukup baik.
Menurut Fuller dan Chaney (1974), pada petelur yang diberi
ransum dengan kandungan lemak tinggi, maka angka rnortali-
tasnya tinggi pula. Mortalitas akibat karena kanibal dan
prolapsus nyata lebih tinggi pada ransum yang mengandung
protein tinggi dan energi rendah pada ayam White Leghorn.
Aspek Ekonomi
Sugandi (1973) melaporkan bahwa ransum dengan tingkat
protein 1 5 persen lebih murah daripada tingkat protein 18
persen, pada semua tingkat energi yaitu 2 650, 2 8 5 0 dan 2050
kkal EM/kg ransum. "Income over feed cost" baik berdasar-
kan perhitungan produksi telur "hen day" maupun produksi
telur "hen-housed'' lebih menguntungkan pada ransum yang
mengandung protein 18 persen daripada protein 15 persen. Le-
bih lanjut dilaporkannya pula bahwa pada petelur tipe ri-
ngan yang dipelihara dalam kandang sistem serasah, nilai
"income over feed cost'' tertinggi per ekor per tahun yaitu
dari ransum yang mengandung energi 2 8 5 0 kkal EM/kg dengan
protein 18 persen baik berdasarkan perhitungan produksi
telur "hen-day" maupun "hen-housed".