Post on 24-Oct-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular.
Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga
pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya
antar propinsi, kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular
yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam
berdarah dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan
penyakit lainnya.
Tabel 1.1 Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003
No Pasien Rawat Inap %
1 Diare dan gastroenteritis infeksi tertentu 8,02 Demam berdarah dengue 3,73 Penyakit kehamilan dan persalinan lainnya 2,94 Demam tifoid dan paratifoid 2,75 Cedera intrakanial 2,06 Tuberkulosis paru 1,97 Demam yang sebabnya tidak tahu 1,98 Diabetes Melietus 1,9
9Cedera YDT lainnya, YYT dan daerah
badan multiple1,8
10 Pneumonia 1,6
Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit
infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA), malaria, diare, polio dan penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu
yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit
jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan kanker. Indonesia juga
1
menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue (DBD),
HIV/AIDS, chikunguya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) dan Flu
Burung. Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia
menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden).
Kebijakan penanggulangan penyakit menular khususnya dalam
penanggulangan wabah telah diatur dalam bentuk peraturan perundangan, yaitu
UU No 4 Tahun 1984 tentang Penyakit Menular serta Peraturan Pemerintah No.
40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular. Peraturan tersebut
pada intinya mengatur (1) tata cara penetapan dan pencabutan penetapan daerah
wabah , (2) upaya penanggulangan, (3) peran serta masyarakat, (4) pengelolaan
bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit, (5) ganti rugi dan
penghargaan, (6) pembiayaan penanggulangan wabah, serta (7) pelaporan.
Salah satu penyakit menular yang merupakan masalah kesehatan masyarakat
dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi adalah penyakit demam
berdarah dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di wilayah tropis. Daerah endemis tersebar di sebagian
besar wilayah Indonesia, dan berulang kali menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB) disertai kematian yang banyak. Penyakit yang ditularkan melalui
nyamuk Aedes aegypti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan
domestic maupun iklim, demografi, sosial ekonomi dan perilaku. Berbagai
penelitian mengenai factor risiko terhadap kejadian DBD telah dilakukan oleh
beberapa peneliti dengan memberikan hasil yang selaras maupun yang
kontradiktif. Walaupun demikian, pada umumnya kajian menunjukkan bahwa
pengendalian DBD perlu dilakukan secara komprehensif dari berbagai aspek
baik medis maupun sosial, dengan keterlibatan petugas kesehatan maupun
pemberdayaan masyarakat.
Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya
terkendali, tetapi bahkan semakin mewabah. Sejak Januari sampai 17 Maret
2004, kejadian luar biasa (KLB) DBD di Indonesia telah menyerang 39.938
2
orang dengan angka kematian 1,3 persen. Meskipun dibandingkan dengan KLB
1968 angka kematiannya jauh telah menurun, sebenarnya angka kematian masih
terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Singapura (0,1 persen), India (0,2
persen), Vietnam (0,3 persen), Thailand (0,3 persen), Malaysia (0,9 persen), dan
Filipina (1 persen).
Dalam KLB 2004 tercatat angka kejadian (incidence rate) 15 per 100.000
penduduk, padahal tujuan program pemberantasan DBD dalam Indonesia Sehat
2010 adalah menurunkan angka kejadian di bawah 5 per 100.000 penduduk
pada tahun 2010. DBD masih sulit diberantas karena tidak tersedianya vaksin
dan kurangnya peran serta masyarakat. Ketiadaan vaksin merupakan
penghambat utama eradikasi DBD. Meskipun demikian, saat ini perkembangan
vaksin masih memerlukan penelitian lebih lanjut agar dapat digunakan ke
manusia. Pemerintah sejak tahun 1993 telah berusaha membina peran serta
masyarakat melalui berbagai kelompok kerja pemberantasan DBD di desa atau
kelurahan. Gerakan pemberantasan sarang nyamuk dengan instrumen 3M
(menguras, menutup, dan mengubur) sudah sering disosialisasikan namun
hasilnya belum menggembirakan. Gerakan3M selama 30 menit setiap minggu
juga dicanangkan. Semuanya menyadari bahwa strategi hanya dapat diperoleh
dengan melaksanakan analisis situasi berdasarkan aspek epidemiologi,
entomologi, pengetahuan, dan sikap masyarakat.
Berdasarkan data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan, rasio penderita DBD per 100.000 penduduk selama
periode tahun 2001-2005 selalu menunjukkan diatas rasio yang ditargetkan.
Data ini selain menunjukkan kecenderungan makin tingginya penderita DBD
dari tahun ke tahun, juga masih belum optimalnya pengendalian penyakit yang
dilakukan oleh Pemerintah.
Kebijakan penanggulangan penyakit menular telah diatur dalam peraturan
perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi
berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain
3
berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta
(3) adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan.
Berdasarkan hasil penelitian WHO Tahun 2003 dilaporkan bahwa
pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi kendala. Kendala yang
dihadapi antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang
belum dipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga
pelaksanaan surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya
dana pelaksanaan surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya
penggunaan sarana kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans
penyakit seperti pemanfaatan laboratorium dan peralatan.
Permasalahan yang dihadapi dalam penanggulangan wabah terutama
berkaitan dengan aspek manajemen menyangkut kesiapan tenaga lapangan,
dukungan logistik, fasilitas pendukung, dana serta sistem pelaporan.
Berkaitan dengan desentralisasi kewenangan pengelolaan kebijakan
pembangunan (otonomi daerah), adanya regulasi pemerintahan dalam bentuk
UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 dan
33 Tahun 2005 telah memberikan pembagian kewenangan dalam pengelolaan
pemerintahan di daerah. Reformasi pemerintahan tersebut memberi dampak
perubahan cukup signifikan terhadap peran pemerintah dan swasta dalam
program dan pelayanan kesehatan. Adanya otonomi daerah ini juga berpengaruh
terhadap peran dan tanggung jawab Kabupaten/Kota/Propinsi untuk
mengembangkan diri sesuai masalah kesehatan masyarakat, kemampuan SDM
dan sumber dana daerah.
4
BAB II
PENANGGULANGAN PENYAKIT DBD
Penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung
meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan
peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan
transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya diberbagai
wilayah Indonesia.
Jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang
terjangkit dan secara sporadis, selalu menjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar
terjadi pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi dengan IR=35,19 per 100.000
penduduk dan CFR 2.0%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10.17 per
100.000 penduduk, namun pada tahun-tahun berikutnya tampak adanya peningkatan
IR, yaitu 15,99, 21,75, dan 19,24 per 100.000 penduduk berturut- turut pada tahun
2000 sampai 2002. Melihat kondisi tersebut penyakit DBD harus diwaspadai
kemungkinan adanya KLB lima tahunan.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular berbahaya
yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu
singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan shock. Penyakit DBD sering kali
muncul sebagai wabah. Di Asia Tenggara, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada
tahun 1953 di Manila, selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia
sendiri, penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan DKI Jakarta. Pada
awalnya penyakit DBD ini merupakan penyakit perkotaan dan menyerang terutama
anak-anak usia di bawah 5 tahun. Namun, dengan perkembangan waktu penyakit ini
kemudian tidak hanya berjangkit di daerah perkotaan, tetapi juga menyebar ke daerah
pedesaan. Usia penderita juga cenderung bergeser menyerang usia dewasa. Cara
penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang
menggigit penderita DBD kemudian ditularkan kepada orang sehat.
5
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularan penyakit
DBD, yaitu urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan,
kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang menyebabkan
mudahnya lalu lintas manusia antardaerah, adanya pemanasan global yang dapat
mempengaruhi bionomik vector Aedes aegypti. Upaya pemberantasan demam
berdarah terdiri dari 3 hal, yaitu: (1) Peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan
surveilans vektor, (2) Diagnosis dini dan pengobatan dini, (3) Peningkatan upaya
pemberantasan vektor penular penyakit DBD.
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung
jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program dan
masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam
upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan rencana
strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi pemberantasan,
mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan pelatihan dan bantuan teknis,
melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan serta penggerakan masyarakat.
1.1. Kendala Pencegahan DBD
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dewasa.
Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan menggunakan racun serangga
(insektisida) yang disemprotkan atau dengan pengasapan (fogging) bila
dilakukan pada wilayah yang luas. Dengan fogging yang disemprotkan ke
udara, maka nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat
persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Semua insektisida
adalah bahan beracun yang jika penggunaannya tidak tepat dapat mengganggu
kesehatan manusia maupun hewan dan dapat mencemari lingkungan.
Gagalnya atau tidak efektifnya fogging dapat terjadi akibat salahnya lokasi
pengasapan (yang diasapi adalah got-got atau saluran kota yang kotor dan
mampet, bukan sarang nyamuk Aedes aegypti). Selain itu, penggunaan
insektisida yang tidak tepat dosisnya atau tidak tepat jenisnya dapat menjadikan
6
fogging tidak memberikan hasil yang memuaskan atau gagal sama sekali.
Takaran insektisida yang dikurangi (asal bau obat), selain termasuk kategori
korupsi, juga dapat menimbulkan dampak serius di kemudian hari, yaitu
terjadinya kekebalan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida yang
digunakan saat ini. Karena nyamuk dewasa Aedes aegypti berada di dalam
lingkungan rumah tinggal, penggunaan insektisida menjadi rawan keracunan
bagi penghuni dan lingkungan hidup sekitar rumah.
Keberadaan sarang nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah memerlukan
tindakan yang spesifik. Pemberian abate untuk membunuh jentik nyamuk yang
terdapat di dalam air bak kamar mandi atau tandon air bersih lainnya cukup
efektif mencegahnya berkembang biak. Menutup rapat tempat penyimpanan air
bersih dan mengurasnya sesering mungkin akan bermanfaat mengurangi
kesempatan nyamuk untuk bertelur dan berkembang biak. Dari jentik nyamuk
yang hidup di dalam air (tandon air), termasuk kaleng-kaleng berisi air atau bak
mandi, dalam waktu beberapa hari akan tumbuh nyamuk dewasa. Karena itu,
sebelum larva berubah jadi nyamuk dewasa, sarang nyamuk harus segera
dimusnahkan. Gerakan PSN harus dilakukan terus-menerus, sepanjang tahun,
baik di musim hujan maupun di musim kemarau, selama tandon-tandon air
masih dijumpai. PSN harus dilakukan segenap warga. Sebab, jika ada satu
rumah saja tidak melakukan PSN, ia menjadi sumber terbentuknya populasi
nyamuk Aedes aegypti untuk wilayah di sekitarnya. Apalagi nyamuk Aedes
aegypti mampu terbang dalam radius 100 meter dari sarang asalnya.
Fogging ditujukan untuk memberantas nyamuk betina dewasa karena hanya
nyamuk betina yang mengisap darah. Dengan melakukan fogging di sekitar
tempat tinggal penderita, nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap
di tempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Dengan
demikian, penularan virus oleh nyamuk dapat dihentikan segera. Karena itu,
pada waktu ada laporan kasus DBD di satu rumah, seharusnya segera dilakukan
7
fogging terhadap rumah tinggal penderita dan area dengan radius 100 meter di
sekitarnya. Tidak usah menunggu terjadinya KLB atau wabah yang lebih luas.
Selain itu, sebelum seseorang menunjukkan gejala klinis DBD dalam
darahnya sudah beredar virus dengue yang dapat ditularkan kepada orang lain.
Fogging tidak akan berefek lama dan tidak boleh dilakukan terus-menerus
karena insektisida yang digunakan adalah bahan beracun, baik untuk manusia
maupun lingkungan hidup. Karena itu, fogging harus segera diikuti dengan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Hal ini harus dilakukan karena sarang-
sarang nyamu merupakan sumber produksi nyamuk dewasa. Sosialisasi dalam
pelaksanaan PSN dan cara hidup gotong royong harus kembali digalakkan,
misalnya, melalui GGPSN (Gebyar Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk),
sehingga setiap warga dapat saling melindungi diri, keluarga, dan
lingkungannya dari penularan DBD.
Adanya nyamuk Aedes aegypti penular DBD sepanjang tahun di Indonesia
menyebabkan penularan virus dengue juga akan terjadi sepanjang tahun, baik
dimusim penghujan maupun di musim kemarau. Karena itu, jika terdapat
laporan adanya kasus DBD, untuk mencegah penyebaran penyakit, tindakan
yang pertama- tama harus dilakukan adalah memberantas nyamuk dewasa di
lingkungan tempat tinggal penderita dan sekitarnya dengan melakukan fogging,
tanpa menunggu terjadinya KLB. Fogging akan sangat efisien jika dilakukan
pada waktu populasi nyamuk masih rendah. Jika terjadi kegagalan fogging,
harus dicari penyebabnya, apakah telah terjadi resistensi nyamuk terhadap
insektisida yang digunakan, ataukah terjadi "kesalahan teknis" di lapangan.
1.2. Tata Laksana Penanggulangan DBD
Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengan
kagiatan Penyelidikan Epidemiologis (PE) dan Penanggulangan Fokus,
sehingga kemungkinan penyebarluasan DBD dapat dibatasi dan KLB dapat
dicegah. Selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan DBD sangat
8
diperlukan peran serta masyarakat, baik untuk membantu kelancaran
pelaksanaan kegiatan pemberantasan maupun dalam memberantas jentik
nyamuk penularnya.
A. Penyelidikan Epidemiolegis (PE) adalah kegiatan pencarian penderita DBD
atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD
di tempat tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk
tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya100 m. Tujuannya
adalah untuk mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta
tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat
penderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui adanya penderita dan
tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular
DBD, dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan
dilakukan.
B. Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular
DBD yang dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk
demam berdarah dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan dan
penyemprotan (pengasapan) menggunakan insektisisda sesuai kriteria.
Tujuannya adalah membatasi penularan DBD dan mencegah terjadinya
KLB di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan rumah/bangunan
sekitarnya serta tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi sumber
penularan DBD lebih lanjut.
9
Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan Penderita DBD di Lapangan)
Ya Tidak
C. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan
yang meliputi : pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor
penular DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian
penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB.
Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di
suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Penilaian Penanggulangan
KLB meliputi penilaian operasional dan penilaian epidemiologi. Penilaian
operasional ditujukan untuk mengetahui persentase (coverage)
10
Penderita/ Tersangka DBD
Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita panas ≥ 3 orang dan ditemukan jentik (≥ 25%)
- Penyuluhan
- PSN DBD
- Fogging radius 200m
- Penyuluhan
- PSN FDBD
- Larvasidasi
- Pemeriksaan jentik
- Pencarian penderita
pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini
dilakukan melalui kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang
direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi dan penyuluhan. Sedangkan
penilaian epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upaya
penanggulangan terhadap jumlah penderita dan kematian DBD dengan cara
membandingkan data kasus/kematian DBD sebelum dan sesudah
penanggulangan KLB.
D. Pemberantasan Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD)
adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular
DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuannya
adalah mengendalikan populasi nyamuk, sehingga penularan DBD dapat
dicegah dan dikurangi. Keberhasilan PSN DBD diukur dengan Angka
Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan
dengan ”3M”, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat
penampungan air, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan air, dan
(3) mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan.
E. Pemeriksaan Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur
oleh petugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau jentik (jumantik).
Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular demam
berdarah dengue termasuk memotivasi keluarga/masyarakat dalam
melaksanakan PSN DBD.
11
1.3. Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD
Masyarakat berperan dalam upaya pemberantasan penyakit DBD. Sebagai
contoh: peran masyarakat dalam kegiatan surveilans penyakit, yaitu masyarakat
dapat mengenali secara dini tanda-tanda penyakit DBD yang menimpa salah
satu anggota keluarga maupun tetangga mereka dan segera merujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat. Sehingga bisa dilakukan penegakan diagnosa
secara dini dan diberikan pertolongan dan pengobatan dini.
Pertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan di
rumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan
memberikan minum sebanyak-banyaknya dengan oralit, the manis, sirup, juice
buah-buahan, pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun
panas yang tidak boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam
salisilat yang dapat memperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan
pertama di atas adalah untuk mempertahankan volume cairan dalam pembuluh
darah penderita sehingga dapat membantu mengurangi angka kematian karena
DBD.
Masyarakat juga berperan dalam upaya pemberantasan vektor yang
merupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalam
rangka mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan
datang. Dalam upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat
berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan
serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Seperti diketahui nyamuk
Aedes aegipty adalah nyamuk domestic yang hidup sangat dekat dengan
pemukiman penduduk seperti halnya Culex. Sehingga upaya pemberantasan dan
pencegahan penyebaran penyakit DBD adalah upaya yang diarahkan untuk
menghilangkan tempat perindukan (breeding places) nyamuk Aedes aegypti
yang ada dalam lingkungan permukiman penduduk. Dengan demikian gerakan
PSN dengan 3M Plus yaitu Menguras tempat-tempat penampungan air minimal
seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik
12
nyamuk Aedes aegypti, Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar
nyamuk Aedes aegypti tidak bisa bertelur di tempat itu, Mengubur/membuang
pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng bekas yang
dapat menampung air hujan.
Masyarakat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk dengan
menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot
rumah dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana
lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan
baik agar tidak menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti.
Sejak dulu tidak ada yang berubah dengan bionomik atau perilaku hidup
nyamuk Aedes aegypti sehingga teknologi pemberantasannya pun dari dulu
tidak berubah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD oleh masyarakat sangat besar,
boleh dikatakan lebih dari 90% dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit
DBD. Dan upaya tersebut sangat berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor
lingkungan.
Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3M
Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak,
sehingga dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah
perilaku dan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidup
nyamuk Aedes aegypti aegypti.
Berbagai gerakan yang pernah ada dimasyarakat seperti Gerakan Disiplin
Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat dan
gerakan- gerakan lain serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jika ini dilakukan maka selain
penyakit DBD maka penyakit-penyakit lain yang berbasis lingkungan seperti
leptospirosis, diare dan lain-lain akan ikut terberantas ibaratkan "sekali
merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui...."
13
Keberhasilan Jenderal WC Gorgas memberantas nyamuk Aedes aegypti
untuk memberantas demam kuning (Yellow Fever) lebih dari 100 tahun yang
lalu di Kuba dapat kita ulangi di Indonesia. Teknologi yang digunakan oleh
Jenderal Gorgas adalah gerakan PSN yang dilaksanakan serentak dan secara
besar-besaran di seluruh negeri. Agar gerakan yang dilakukan oleh Jenderal
Gorgas bisa dilakukan di Indonesia diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh
jajaran struktur pemerintahan bersama-sama masyarakat dan swasta.
Berbagai negara yang mempunyai masalah yang sama dengan Indonesia
menggunakan berbagai macam pendekatan dalam melakukan PSN antara lain
Singapura dan Malaysia menggunakan pendekatan hukum yaitu masayarakat
yang rumahnya kedapatan ada jentik Aedes aegypti dihukum dengan membayar
denda. Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan
yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat
kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik Aedes aegypti dan
menempelkan stiker hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan
dan kesehatan. Bagi pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi
peringatan 3 kali untuk membersihan rumah dan lingkungannya dan jika tidak
dilakukan maka orang tersebut dipanggil dan didenda.
Dalam era otonomi dan desentralisasi saat ini Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam mengatur rumah tangganya sendiri dapat melakukan gerakan-gerakan
inovatif seperti yang disebutkan di atas yang didukung dengan berbagai
Peraturan Daerah.
1.4. Kebijakan Penanggulangan Penyakit DBD
Departemen Kesehatan telah melewati pengalaman yang cukup panjang
dalam penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama
pemberantasan DBDadalah pemberantasan nyamuk dewasa melalui
pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang
ditaburkan ke Tempat Penampungan Air (TPA). Kedua metode ini sampai
14
sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan
peningkatan kasus dan bertambahnya jumlah wilayah yang terjangkit DBD.
Mengingat obat dan vaksin untuk membunuh virus dengue belum ada, maka
cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit DBD ialah dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang dilaksanakan oleh
masyarakat/keluarga secara teratur setiap seminggu sekali. Kebijakan dalam
rangka penanggulangan menyebarnya DBD adalah (1) peningkatan perilaku
dalam hidup sehat dan keamandiriian masyarakat terhadap penyakit DBD, (2)
meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap penyakit DBD, (3)
meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program pemberantasan DBD,
dan (4) memantapkan kerjasama lintas sektor/lintas program.
Strategi dalam pelaksanaan kebijakan di atas dilakukan melalui:
1. Pemberdayaan masyarakat, Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD merupakan salah satu
kunci keberhasilan upaya pemberantasan penyakit DBD. Untuk
mendorong meningkatnya peran aktif masyarakat, maka upaya-upaya
KIE, social marketing, advokasi, dan berbagai upaya penyuluhan
kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan
melalui berbagai media massa dan sarana.
2. Peningkatan Kemitraan Berwawasan Bebas dari Penyakit DBD, Upaya
pemberantasan penyakit DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sector
kesehatan saja, peran sektor terkait pemberantasan penyakit DBD sangat
menentukan. Oleh sebab itu, maka identifikasi stakeholders baik sebagai
mitra maupun pelaku potensial, merupakan langkah awal dalam
menggalang, meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jaringan
kemitraan diselenggarakan melalui pertemuan berkala, guna
memadukan berbagai sumber daya yang tersedia di masing-masing
15
mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai tahap
pelaksanaan, pemantauan dan penilaian.
3. Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program, SDM yang terampil
dan menguasai IPTEK merupakan salah satu unsur penting dalam
pelaksanaan program P2 DBD. Pengetahuan mengenai Bionomic vektor,
virology dan faktor-faktor perubahan iklim, tata laksana kasus harus
dikuasai karena hal-hal tersebut merupakan landasan dalam
penyususnan kebijaksanaan program P2 DBD.
4. Desentralisasi, Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelola kepada
kabupaten/kota. Penyakit DBD hampir tersebar luas di seluruh Indonesia
kecuali didaerah yang di atas 1000 m diatas permukaan air laut. Angka
kesakitan penyakit ini bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah
lain, dikarenakan perbedaan situasi dan kondisi wilayah.
5. Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan. Meningkatnya mutu
lingkungan hidup dapat mengurangi angka kesakitan penyakit DBD
karena di tempat tempat penampungan air bersih dapat dibersihkan
setiap minggu secara berkesinambungan, sehingga populasi vector
sebagai penular penyakit DBD dapat berkurang. Orientasi, sosialisasi,
dan berbagai kegiatan KIE kepada semua pihak yang terkait perlu
dilaksanakan agar semuanya dapat memahami peran lingkungan dalam
pemberantasan penyakit DBD.
Pokok- pokok program pemberantasan DBD mencakup (1) Kewaspadaan
dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN dengan cara 3M Plus, dan
pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali, (3)
Bulan Bakti gerakan ”3M”, (4) Penanggulangan kasus, dimana Puskesmas
melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi persebaran lebih
luas dan tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6) peningkatan
16
profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann PSN DBD,
(8) Penelitian.
1.5. Kendala Penanggulangan DBD
Kendala penting yang masih terjadi saat ini adalah kurang atau tidak adanya
koordinasi dari instansi-instansi yang seharusnya terkait dalam menangani DBD
sehingga menimbulkan masalah tersendiri di lapangan. Penanganan DBD tidak
semata-mata tugas Dinas Kesehatan, melainkan juga terkait dengan instansi
lainnya. Instansi-instansi yang mengatur tata kota dan permukiman, kebersihan
dan lingkungan hidup, bahkan Dinas Pendidikan, serta instansi penyedia sarana
air bersih (PDAM) juga harus ikut pula berpartisipasi. Sebagai contoh, selama
PDAM belum mampu menyediakan air bersih untuk seluruh penduduk, maka
penduduk masih terpaksa menyiapkan bak mandi dan tandon-tandon air (yang
dapat menjadi sarang nyamuk) untuk menampung air yang sering hanya
menetes bahkan mampet. Karena itu, sarang-sarang nyamuk Aides akan tetap
ada disepanjang tahun, baik di musim penghujan maupun di musim kemarau.
Dengan demikian, populasi nyamuk Aides dewasa yang mempunyai potensi
menyebarkan virus dengue juga akan selalu dijumpai dan menjadi sumber
penularan disepanjang tahun.
Kebijakan desentralisasi juga berpengaruh terhadap koordinasi antara pusat
dan daerah dalam kewenangan penanganan DBD. Kebijakan tersebut terkait
dengan anggaran kesehatan untuk pencegahan serta pemberantasan penyakit
menular, yang memang membutuhkan biaya sangat tinggi. Dengan adanya
kewenangan penanganan yang didaerahkan terkadang menyulitkan dalam
koordinasi penganggaran. Pihak daerah seringkali kewalahan dalam penyediaan
biaya operasional penanganan penyakit karena keterbatasan sumberdaya, baik
dana maupun tenaga. Disisi lain adanya desentralisasi sumber daya yang
dimiliki, pemerintah pusat mengalami kendala dalam pendistribusiannya ke
17
daerah. Hal ini menjadi faktor penghambat praktek penanganan kasus di
lapangan.
18
BAB III
PEMBAHASAN
1.6. Penanggulangan KLB Penyakit DBD di Indonesia
Memasuki awal tahun 2004 di Indonesia, jumlah kasus DBD mengalami
peningkatan yang cukup bermakna. Sejak tanggal 1 Januari 2004 sampai dengan 5
Maret 2005 secara kumulatif, jumlah kasus DBD yang dilaporkan dan telah ditangani
sebanyak 26.015 kasus, dengan kematian mencapai 389 (CFR = 1,53%). Sedangkan
KLB DBD pada tahun 1998 jumlah penderita 71.776 orang dengan kematian 2.441
jiwa (CFR = 3,4%). Pada tahun 1998 perhatian masyarakat tertuju pada euforia
reformasi sehingga perhatian terhadap KLB DBD kurang. Diharapkan dengan upaya
penanggulangan yang dilakukan, angka kumulatif penderita DBD sampai bulan
Desember 2004 tidak melebihi kumulatif penderita DBD tahun 1998.
Saat ini, peningkatan kasus DBD hanya terjadi di beberapa wilayah seperti DKI
Jakarta, Jawa Barat dan Sulawesi. Beberapa daerah sudah dapat dikendalikan, namun
berbagai upaya masih perlu lebih ditingkatkan untuk menanggulangi meningkatnya
kasus DBD. Gambaran tentang kasus yang terjadi dibeberapa propinsi di Indonesia
dapat dilihat pada lampiran Bulletin ini.
Dari 30 Propinsi se Indonesia, Propinsi yang dilaporkan adanya KLB DBD
sebanyak 12 Provinsi yang meliputi : Nangroe Aceh Darussalam, Banten, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D. I. Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, NTB dan NTT. Departemen Kesehatan menyatakan
telah terjadi KLB DBD Nasional pada tanggal 16 Pebruari 2004, dengan pernyataan
ini diharapkan Pemerintah dapat menggerakkan seluruh sumber daya dan komponen
yang ada di masyarakat untuk menanggulangi KLB DBD secara cepat dan tepat.
Berbagai upaya Pemerintah telah dilakukan untuk menanggulangi KLB DBD ini
melalui :
1. Penyediaan dan peningkatan sarana pelayanan kesehatan di semua rumah
sakit agar mampu memberikan pengobatan kasus - kasus DBD secara cepat
19
dan tepat sehingga angka kematian dapat ditekan serendah - rendahnya. Sejak
tanggal 20 Pebruari 2004 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kesehatan telah
membuat Kebijakan untuk membebaskan biaya bagi penderita DBD yang
tidak mampu yang dirawat di Kelas III di rumah sakit (Nomor
:143/Menkes/II/2004).
2. Melakukan pengasapan (fogging) di lokasi - lokasi yang tinggi prevalensinya
agar penyebaran penyakit dapat segera dikendalikan melalui pemberantasan
vector nyamuk Aedes Aegypti dewasa bersama - sama masyarakat dan sektor
swasta. Fogging dilakukan pada focus - fokus penularan.
3. Melakukan penggerakan masyarakat untuk melaksanakan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) melalui 3 M (menguras bak mandi, menutup tandon
air dan mengubur barang bekas yang dapat menampung air hujan). Di DKI
Jakarta dan beberapa kota di Jawa Tengah, PSN ini diintensifkan melalui
Kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dengan merekrut Juru Pemantau
Jentik (Jumantik).
4. Melaksanakan Pertemuan Nasional Penanggulangan KLB DBD di
Jakarta,pada tanggal 5 Maret 2004 yang dihadiri oleh Pejabat Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan dan Tim
Penggerak PKK Kabupaten/Kota yang menghasilkan kesepakatan -
kesepakatan sebagai berikut:
A. Seluruh instansi pemerintah terkait di Pusat dan Daerah perlu mengambil
langkah cepat dan tepat untuk meredam kepanikan masyarakat dengan:
a. Melaksanakan upaya intensifikasi pencegahan penyebaran kasus DBD
dengan mengutamakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara
serentak dan periodik melalui:
i. Pemberdayaan masyarakat dengan mengaktifkan kembali
(revitalisasi) Pokjanal DBD di Desa/Kelurahan maupun
Kecamatan dengan focus pemberian penyuluhan kesehatan
lingkungan dan pemeriksaan jentik berkala.
20
ii. Intensifikasi pengamatan (surveilans) penyakit DBD dan vektor
dengan dukungan laboratorium yang memadai.
iii. Merekrut warga masyarakat sebagai Juru Pemantau Jentik
(Jumantik) dengan fungsi utama melaksanakan kegiatan
pemantauan jentik, pemberantasan sarang nyamuk secara periodik
dan penyuluhan kesehatan.
iv. Meningkatkan peran media massa dalam penanggulangan KLB
DBD.
b. Mengupayakan Pemanfaatan Sumber Pembiayaan dari Alokasi Dana
Penanggulangan Darurat oleh Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk mendukung pelaksanaan program
penanggulangan KLB DBD.
c. Menyiapkan sumber daya bantuan dari pemerintah Pusat melalui
Departemen Kesehatan dalam penanggulangan KLB meliputi: bantuan
teknis, logistik dan biaya operasional.
d. Melakukan kajian sero - epidemiologis untuk mengetahui penyebaran
virus dengue.
e. Mengupayakan Peraturan Daerah (Perda) Propinsi maupun
Kabupaten/Kota yang mengatur pelaksanaan Pemberantasan Sarang
Nyamuk secara berkala, serentak dan berkesinambungan, guna
mengendalikan penyakit DBD agar tidak menjadi KLB/Wabah.
Penyusunan Perda ini berdasarkan ketentuan dan Peraturan
Perundangan yang berlaku.
21
B. Meningkatkan pelayanan tanggap darurat (emergency) dalam penanganan
penderita KLB DBD dengan:
a. Menyiagakan sarana pelayanan kesehatan seperti: Puskesmas, Rumah
Sakit, PMI dan Laboratorium, baik milik Pemerintah maupun Swasta
untuk mendukung kegiatan penanggulangan KLB DBD.
b. Manajemen sarana pelayanan kesehatan wajib memberikan pelayanan
cepat dan tepat bagi tersangka penderita KLB DBD guna menekan
angka kematian
Pemerintah menyadari bahwa peran serta masyarakat termasuk swasta sangat
penting dalam penanggulangan KLB DBD, untuk itu Departemen Kesehatan
memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas bantuan peran serta
masyarakat termasuk perusahaan swasta dan media massa yang telah peduli ikut serta
berperan aktif bersama - sama dalam penanggulangan KLB DBD antara lain:
1. PT Baygon Indonesia Tbk yang telah memberikan bantuan logistik berupa
barang yang telah didistribusikan ke beberapa wilayah.
2. APNI atas bantuannya mencetak 55.000 lembar Leaflet.
3. Produsen Obat Nyamuk Garuda.
4. Produsen Domestos Nomos yang telah membantu dalam media informasi
melalui Televisi.
5. SCTV yang ikut membantu keluarga penderita DBD melalui SCTV Peduli
dan Posko DBD.
6. PT Bank BNI Tbk.
Diharapkan peran serta aktif masyarakat termasuk swasta akan terus berlanjut
sehingga kegiatan penanggulangan DBD dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
Upaya Pemerintah Pusat melalui Departemen Kesehatan dalam penanggulangan
KLB DBD kali ini untuk mencapai:
22
1. Penanggulangan KLB DBD ditargetkan dapat selesai dalam waktu 3 (tiga)
bulan.
2. Penurunan insidens kasus DBD sebesar 90% dari waktu KLB DBD.
3. Case Fatality Rate (CFR) : < 1%.
4. Angka kasus tahun 2004 kurang dari kasus 2003 (<35.000).
5. Kasus pada tahun 2005 kurang dari 10.000.
23
BAB III
PENUTUP
1.7. KesimpulanPenyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular
berbahaya yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan
kematian dalam waktu singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan shock.
Jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang
terjangkit dan secara sporadis, selalu menjadi KLB setiap tahun. Meskipun
sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya terkendali, tetapi
bahkan semakin mewabah.
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung
jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program dan
masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah
dalam upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan
rencana strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi
pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan
pelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan
serta penggerakan masyarakat.
1.8. SaranPertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan di
rumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan
memberikan minum sebanyak-banyaknya dengan oralit, the manis, sirup, juice
buah-buahan, pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun
panas yang tidak boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam
salisilat yang dapat memperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan
pertama di atas adalah untuk mempertahankan volume cairan dalam pembuluh
darah penderita sehingga dapat membantu mengurangi angka kematian karena
DBD.
24