Pemilihan Model Organisasi dalam Mewujudkan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance

Post on 25-Jan-2017

30 views 0 download

Transcript of Pemilihan Model Organisasi dalam Mewujudkan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance

Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:https://www.researchgate.net/publication/311910302

PemilihanModelOrganisasidalamMewujudkanPrinsip-PrinsipGoodCorporateGovernance

WorkingPaperinJurnalEkonomiMalaysia·February2009

DOI:10.13140/RG.2.2.22405.55526

CITATIONS

0

READS

283

1author:

Someoftheauthorsofthispublicationarealsoworkingontheserelatedprojects:

TheProblemsofImplementingScientificApproachFacedbyCivicsandCitizenshipEducation

TeacheratSMPNegeri1GrujuganViewproject

InternationalPerspectiveofCivicsandCitizenshipEducationViewproject

ManikSukoco

UniversitasNegeriYogyakarta

22PUBLICATIONS0CITATIONS

SEEPROFILE

AllcontentfollowingthispagewasuploadedbyManikSukocoon26December2016.

Theuserhasrequestedenhancementofthedownloadedfile.

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 78

PEMILIHAN MODEL ORGANISASI DALAM MEWUJUDKAN

PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Manik Sukoco

Universitas Negeri Malang

itsmanik@fastmail.net

Abstract

The inability to implement the principles of good corporate governance (GCG) as demonstrated

in the surveys is due to a number of constraints which can be classified into three; namely internal

constraints, external constraints, and constraints coming from the structure of ownership. Internal

constraints cover the commitment of leaders and workers, the level of understanding of GCG principles

from leaders and workers, good example from leaders, the corporate culture supporting the

implementation of GCG principles, effectiveness of internal control system, and formality trap

(implementing CG only to meet regulations). The issues in the internal constraints mentioned are related

to the internal functions of the company. As a business organization, corporation is unable to achieve its

goal to successfully implement GCG principles since it is not support by its internal elements of the

organizations. In order to fix the internal functions, it is necessary to diagnostic the corporation by the

model of organization. In this case, we must used some criteria to choose the most approritate model to

fix the internal functions, since there are ten models that we can use to diagnostic the organization.

Based on some criteria we can conclude that Pascale’s Adaptation is the most appropriate model to fix

internal functions. Pacsale’s Adaptation model can depict the relationship between condition of every

elements of organization with the successful implementation of GCG principles.

Keywords: Good Corporate Governance Principles, Models of Organization

Abstrak

Ketidakmampuan penerapan prinsip good corporate governance (GSC) didemonstrasikan

dalam survei dengan konstrain yang diklasifikasikan dalam 3 konstrain yaitu konstrain internal,

konstrain eksternal dan konstrain yang berasal dari struktur pemilik. Konstrain internal meliputi

komitmen pemimpin dan pekerja, tingkat pemahaman prinsip GCG oleh pemimpin dan pekerja,

keefektifan sistem kontrol internal dan formality trap (implementasi CG hanya untuk memenuhi regulasi).

Konstrain internal yang disebutkan berkaitan dengan fungsi internal perusahaan. Sebagai sebuah

organisasi bisnis, korporasi tidak mampu mencapai tujuan menerapkan GCG dengan sukses bila tidak

didukung elemen internal organisasi. Untuk membentuk fungsi internal diperlukan diagnosa korporasi

dengan model organisasi. Dalam hal ini, penulis menggunakan beberapa kriteria untuk memilih model

yang paling tepat dari 10 model yang ada. Dari beberapa kriteria dapat disimpulkan bahwa Adaptasi

Pascal merupakan model yang paling tepat. Model ini dapat menggambarkan hubungan antara kondisi

tiap elemen organisasi dengan kesuksesan implementasi prinsip GCG.

Kata kunci: Prinsip Good Corporate Governance, model organisasi

PENDAHULUAN

Di Asia, termasuk Indonesia,

corporate governance (CG) mulai banyak

diperbincangkan pada pertengahan tahun

1997, yaitu saat krisis ekonomi melanda

negara-negara tersebut (Indaryanto, 2004).

Berbeda dengan pelaksanaan CG di negara-

negara maju, Black pada tahun 2001

menyatakan bahwa di negara-negara yang

sedang berkembang (seperti di Asia)

pelaksanaan CG mempunyai variasi yang

besar. Besarnya variasi tersebut

menyebabkan CG merupakan faktor yang

berdampak signifikan untuk meningkatkan

nilai saham dari perusahaan (Black, Jang,

dan Kim, 2003).

Kondisi pelaksanaan CG oleh

perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat

digambarkan sebagai berikut:

1. Hasil survai yang dilakukan oleh Credit

Lyonnaise Securities (CLSA) sejak

tahun 2001 sampai dengan tahun 2007

memberikan nilai yang rendah kepada

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 79

perusahaan-perusahaan di Indonesia

dalam mewujudkan prinsip-prinsip

good corporate governance (GCG),

bahkan jika dibandingkan dengan

negara-negara Asia lainnya. Secara

garis besar, pelaksanaan survai tersebut

dapat dibagi dua. Pada tahun 2001

sampai dengan tahun 2003, CLSA

melakukan penilaian terhadap

perlaksanaan CG berdasarkan pada

tujuh dimensi berikut: (i) disiplin,

(ii) transparansi, (iii) kemandirian, (iv)

akuntabilitas, (v) tanggung jawab, (vi)

keadilan, dan (vii) kepedulian sosial.

Pada tahun 2004 sampai dengan 2007,

CLSA melakukan kerjasama dengan

Asian Corporate Governance

Association (ACGA) dalam menilai

pelaksanaan CG oleh perusahaan-

perusahaan di kawasan Asia. Berbeda

dengan tiga tahun sebelumnya, kali ini

penilaian pelaksanaan CG didasarkan

pada lima dimensi makro, yaitu: (i)

hukum dan peraturan, (ii) penegakkan

hukum dan peraturan baik oleh

regulator maupun oleh pasar, (iii)

lingkungan politik, (iv) standar-standar

akuntansi dan auditing serta (v) budaya

CG.

Gambar 1Gambaran Pelaksanaan CG

oleh Perusahaan-perusahaan di Kawasan

Asia Selama Tahun 2001 – 2006

Secara keseluruhan, hasil survai dari

CLSA dapat digambarkan sebagaimana

tampak dalam Gambar 1.

2. Hasil penelitian Sulistyanto dan

Nugraheni menunjukkan bahwa

pelaksanaan CG belum mampu

mengurangi manipulasi laporan-laporan

keuangan yang dipublikasikan oleh

perusahaan-perusahaan terbuka yang

terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ)

(Sulistyanto dan Wibisono, 2003)

Kedua kondisi di atas menunjukkan

bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia

belum mampu melaksanakan CG dengan

sungguh-sungguh sehingga perusahaan

mampu mewujudkan prinsip-prinsip GCG

dengan baik. Penyebabnya, terdapat

sejumlah kendala yang dihadapi oleh

perusahaan-perusahaan tersebut pada saat

perusahaan berupaya untuk mewujudkan

prinsip-prinsip GCG. Kendala ini dapat

dibagi tiga, yaitu kendala internal, kendala

eksternal, dan kendala yang berasal dari

struktur kepemilikan.

Kendala internal meliputi kurangnya

komitmen dari pimpinan dan karyawan

perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman

pimpinan dan karyawan perusahaan tentang

prinsip-prinsip GCG, kurangnya panutan

atau teladan yang diberikan oleh pimpinan,

belum adanya budaya perusahaan yang

mendukung terwujudnya prinsip-prinsip

GCG, serta belum efektifnya sistem

pengendalian internal (Djatmiko, 2004;

Poeradisastra, 2005; The Indonesian

Institute for Corporate Governance, 2007).

Kendala eksternal dalam pelaksanaan

CG terkait dengan perangkat hukum, aturan

dan penegakannya. Fuady pada tahun 2003

mengakui bahwa peraturan mengenai pasar

modal di Indonesia masih sederhana untuk

kondisi pasar yang cukup kompleks dan

peraturan yang masih sederhana tersebut

belum ditegakkan sepenuhnya atau tingkat

penegakannya masih sangat lemah

(Patriadi, 2001). Lemahnya penegakan

hukum pada pasar modal dapat dilihat dari

ringannya sanksi yang diberikan oleh

Bapepam kepada pihak-pihak yang

melakukan pelanggaran dibandingkan

dengan kerugian akibat pelanggaran itu

sendiri; bahkan, Bapepam pernah tidak

mengenakan sanksi apapun kepada

sejumlah emiten yang tidak membayar

denda selama tiga tahun berturut-turut

(Winasis, Abdullah, dan Sibuea, 2004).

Kendala yang ketiga adalah

kendala yang berasal dari struktur

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

2001 2002 2003 2004 2005 2007

Tahun

Sko

r C

G

Singapura

Malaysia

India

Thailand

Taiwan

Cina

Korea

Pilipina

Indonesia

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 80

kepemilikan. Berdasarkan prosentasi

kepemilikan dalam saham, kepemilikan

terhadap perusahaan dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu kepemilikan yang

terkonsentrasi dan kepemilikan yang

menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi

terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki

secara dominan oleh seseorang atau

sekelompok orang saja (40,00% atau lebih).

Kepemilikan yang menyebar terjadi pada

saat suatu perusahaan dimiliki oleh

pemegang saham yang banyak dengan

jumlah saham yang kecil-kecil (satu

pemegang saham hanya memiliki saham

sebesar 5,00% atau kurang). Salah satu

dampak negatif yang ditimbulkan oleh

struktur kepemilikan adalah perusahaan

tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan

dengan baik karena pemegang saham yang

terkonsentrasi pada seseorang atau

sekelompok orang dapat menggunakan

sumber daya perusahaan secara dominan

sehingga dapat mengurangi nilai

perusahaan (Pinteris, 2002). Sama seperti

halnya kendala eksternal, dampak negatif

yang ditimbulkan dari struktur kepemilikan

dapat diatasi jika perusahaan memiliki

sistem pengendalian internal yang efektif,

seperti mempunyai sistem yang menjamin

pendistribusian hak-hak dan tanggung

jawab secara adil diantara berbagai

partisipan dalam organisasi (Dewan

Komisaris, Dewan Direksi, manajer,

pemegang saham, serta pemangku

kepentingan lainnya), dan dampak negatif

ini juga akan hilang jika dalam stuktur

organisasinya, perusahaan mempunyai

Komisaris Independen dengan jumlah

tertentu dan memenuhi kualifikasi yang

ditentukan (syarat-syarat yang ditentukan

untuk menjadi Komisaris Independen).

Keberadaan Komisaris Independen ini

diharapkan mampu mendorong dan

menciptakan iklim yang lebih independen,

obyektif, dan menempatkan keadilan

sebagai prinsip utama yang memperhatikan

kepentingan pemegang saham minoritas

dan pemangku kepentingan lainnya. Peran

Komisaris Independen ini diharapkan

mampu mendorong diterapkannya prinsip

dan praktik CG pada perusahaan-

perusahaan publik di Indonesia, termasuk

BUMN (Zaini, 2002). Upaya perusahaan

untuk menghadirkan sistem pengendalian

internal yang efektif tersebut terkait dengan

upaya perusahaan untuk mengatasi kendala

internalnya. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa dampak negatif dari

struktur kepemilikan akan hilang jika

perusahaan mampu mengatasi

permasalahan yang terkait dengan kendala

internalnya.

Permasalahan dalam kendala internal

terkait dengan fungsi dari sejumlah elemen

yang terdapat di dalam organisasi

perusahaan. Perusahaan sebagai suatu

organisasi bisnis1 tidak dapat mencapai

tujuannya untuk mewujudkan prinsip-

prinsip GCG karena tidak didukung oleh

fungsi dari sejumlah elemen yang terdapat

di dalamnya. Dalam hal ini, untuk

membenahi fungsi dari sejumlah elemen

yang terdapat di dalam oragniasi

perusahaan, diperlukan model organisasi.

Model organisasi merupakan representasi

dari suatu organisasi yang membantu

seseorang untuk lebih memahami secara

jelas dan cepat apa yang diamati dalam

organisasi tersebut. Secara lebih rinci,

Burke menjelaskan berbagai kegunaan dari

model organisasi: (i) model membantu

untuk meningkatkan pemahaman tentang

perilaku organisasi, (ii) model membantu

untuk mengelompokkan data tentang

organisasi, (iii) model membantu

menginterpretasikan data tentang

organisasi, dan (iv) model membantu untuk

memberikan bahasa yang umum serta

singkat tentang organisasi (Falletta, 2005).

Menurut Falleta (2005), sejak tahun 1976

sampai dengan tahun 1992 terdapat

beberapa model organisasi yang telah

1 Perusahaan merupakan organisasi bisnis. Hal ini dinyatakan oleh Blau dan Scott pada tahun 1962. Secara lebih rinci, Blau dan Scoot pada tahun 1962

mengklasifikasikan organisasi dalam empat jenis: (i)

mutual-benefit organization (organisasi yang anggota-anggotanya yang saling memberikan keuntungan satu sama

lain seperti partai dan serikat kerja), (ii) business

organizations (organisasi yang tujuan utamanya mencapai keuntungan, seperti perusahaan, bank, pabrik), (iii)

service organizations (organisasi yang bertujuan, secara

terus menerus, memberikan pelayanan tertentu untuk orang-orang tertentu pula seperti sekolah, rumah sakit dan social

care institutions), serta (iv) commonweal organizations

(organisasi yang bertujuan memberikan pelayanan untuk komunitas lokal dan juga umum, seperti organisasi

pemerintahan, tentara, dan polisi) (Des Grades, 2004).

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 81

dikembangkan oleh pakar. Secara rinci,

model-model tersebut adalah: (i)

Weisbord’s Six Box Model pada tahun

1976, (ii) Congruence Model for

Organizational Analysis pada tahun 1977,

(iii) McKinsey 7-S Model (Model 7-S dari

McKinsey) pada tahun 1980 dan 1981, (iv)

Tichny’ s Technical Political Culture (TPC)

Framework pada tahun 1983, (v) High

Performance Programming pada tahun

1984, (vi) Diagnosing Individual and

Group Behaviour pada tahun 1987, dan

(vii) Burke-Litwin Model of Organizational

Performance and Change pada tahun 1992.

Pada tahun 1990, Model 7-S dari McKinsey

dikembangkan oleh Pascale menjadi Model

Pascale’s Adaptation (Pascale, 1990) dan

pada tahun 1994, Model 7-S dari McKinsey

dikembangkan lagi oleh D’Aveni menjadi

New 7-S (D’ Aveni, 1994). Disamping

kesembilan model tersebut, akhir-akhir ini

berkembang pula sebuah model yang

memberikan perspektif sistem untuk

memahami kinerja yang dicapai oleh suatu

organisasi. Model tersebut adalah Malcolm

Baldrige Criteria for Performance

Excellence (MBCtPE). MBCtPE pertama

kali dikembangkan pada tahun 1987 oleh U.

S Congress dalam rangka mengadopsi

prinsip-prinsip manajemen pengendalian

kualitas (TQM) (NIST,2003). Dengan

demikian, sejak tahun 1976 sampai dengan

tahun 1994 terdapat 10 (sepuluh) model

organisasi.

Sehubungan dengan cukup banyaknya

model organisasi yang dapat digunakan

untuk membenahi fungsi-fungsi internal

organisasi, maka yang menjadi pertanyaan

dalam penelitian ini adalah model mana

yang paling tepat untuk membenahi fungsi

internal organisasi sehingga model tersebut

dapat menggambarkan dengan jelas

hubungan antara kondisi dari setiap

elemen organisasi dengan terwujudnya

prinsip-prinsip GCG dengan baik?

TINJAUAN PUSTAKA

Organisasi Sebagai Suatu Sistem yang

Terbuka

Organisasi sebagai suatu sistem yang

terbuka mengacu pada pandangan yang

dikemukakan oleh teori organisasi moderen

yang berkembang sejak tahun 1950-an.

Dalam teori ini, organisasi cenderung

dipandang sebagai berikut: (i) organisasi

merupakan suatu sistem yang terbuka, (ii)

di dalam organisasi terjadi transformasi

masukan yang menghasilkan keluaran

tertentu, masukan diperoleh dari

lingkungannya sedangkan keluaran akan

diberikan organisasi kepada lingkungannya,

(iii) di dalam organisasi terdapat elemen-

elemen yang penting yang saling

berhubungan satu sama lain, serta (iv)

organisasi memiliki tujuan dan batasan

tertentu yang membedakan organisasi

tersebut dari lingkungannya. Pandangan

tentang organisasi yang dikemukan oleh

teori organisasi moderen tersebut, terutama

memberikan wawasan kepada manajemen

untuk memandang organisasi secara

keseluruhan maupun sebagai bagian dari

lingkungan eksternal (Reksohadiprodjo dan

Handoko, 2004).

Secara lengkap, penggambaran

organisasi sebagai suatu sistem yang

terbuka dapat dilihat pada Gambar 2.

berikut.

Gambar 2. Organisasi sebagai sistem terbuka

dari Kast dan Rosenzweig pada tahun 1986

(Kreitner dan Kinicki, 2004)

Dalam perkembangannya,

pandangan tentang organisasi sebagai suatu

sistem terbuka yang dikemukakan oleh teori

organisasi moderen telah digunakan oleh

beberapa pakar untuk membuat model-

model organisasi.

o Budaya

o Filosofi

o Tujuan keseluruhan

o Tujuan kelompok

o Tujuan individu

o SDM

o Sikap

o Persepsi

o Motivasi

o Dinamika kelompok

o Kepemimpinan

o Komunikasi

o Hubungan antar personil

o Penetapan tujuan

o Perenancanaan

o Penyusunan sumber daya

o Pengorganisasi

o Pengimplementasian

o Pengontrolan

Subsistem tujuan dan

nilai-nilaiSubsistem teknis

o Pengetahuan-

pentetahuan

o Teknik-teknik

o Fasilitas-

fasilitas

o Peralatan

Subsistem budaya

Subsistem

psikologi

o Tugas-tugas

o Aliran Kerja

o Kelompok-

kelompok kerja

o Kewenangan

o Aliran informasi

o Prosedur-prosedur

o Aturan-aturan

Subsistem manajerial

Output

o Produk

o Jasa

o Kepuasan

manusia

o Keberlangsung-

an dan

pertumbuhan

organisasi

o Keuntungan

sosial

Input

o Material

o Uang

o Usaha-usaha

manusia

o Informasi

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 82

Karateristik Sistem dari Sepuluh Model

Organisasi

Sebagaimana telah disinggung pada

Bagian Pendahuluan, sejak tahun 1976

sampai dengan tahun 1994 terdapat 10

(sepuluh) model organisasi. Model-model

ini dapat pula disebut sebagai model sistem

dari organisasi, karena pada dasarnya,

model-model ini terkait dengan

penggambaran organisasi sebagai suatu

sistem yang terbuka dengan berbagai

elemen yang membentuknya.

Sebagai suatu sistem, karateristik

dari kesepuluh model tersebut dapat rinci

berdasarkan sejumlah faktor yang

membentuknya dan menurut Daellenbach

(1994), faktor-faktor yang membentuk

karateristik dari suatu sistem dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Pengamat (observer): siapa yang

tertarik pada sistem?

2. Tujuan (purpose): mengapa

mendefinisikan sistem?

3. Lingkungan (environment): hal-hal

yang terdapat di luar sistem yang

menentukan batas-batas dari sistem.

4. Input (inputs): hal-hal yang

mempengaruhi sistem tetapi tidak

dipengaruhi oleh sistem; input dapat

berupa seseuatu yang dapat

dikendalikan atau tidak dapat

dikendalikan oleh sistem (variabel atau

parameter keputusan).

5. Output (outputs): hal-hal yang

dipengaruhi oleh sistem, termasuk

ukuran dari kesuksesan.

6. Komponen atau elemen (components):

hal-hal yang terdapat di dalam sistem.

7. Hubungan atau proses transformasi

(relationship/ transformation process):

hubungan antara input, output, dan

komponen-komponen dari sistem.

Selanjutnya, berdasarkan faktor-faktor

yang menjadi karateristik dari suatu sistem

tersebut, kesepuluh model yang telah

diuraikan dalam Bagian Pendahuluan dapat

dirinci sebagaimana tampak dalam Tabel 2.

PEMILIHAN MODEL ORGANISASI

Kriteria Pemilihan Model

Kriteria adalah serangkaian standar

yang dapat digunakan untuk memilih

sesuatu, sehingga suatu keputusan dapat

dibuat setelah suatu subyek

diidentifikasikan

(www.indiana.edu/~iuaudit/ glossary.

html,2005). Dengan kata lain, kriteria

adalah standar yang dapat digunakan untuk

membedakan satu subyek terhadap subyek

lainnya sehingga dapat dihasilkan suatu

keputusan. Berdasarkan kondisi ini, faktor-

faktor yang menggambarkan karakteristik

dari setiap model sistem organisasi (siapa

pengamat dari sistem, tujuan sistem,

lingkungan sistem, input, output, dan

komponen sistem, serta hubungan atau

proses transformasi di dalam sistem), dapat

dibedakan menjadi faktor-faktor yang dapat

digunakan sebagai kriteria dan faktor-faktor

yang tidak dapat digunakan sebagai kriteria

untuk memilih model sistem organisasi

yang dapat menggambarkan dengan jelas

hubungan antara kondisi dari setiap elemen

organisasi dengan terwujudnya prinsip-

prinsip GCG. Dalam hal ini, hanya faktor-

faktor yang dapat membedakan dengan

jelas antara satu model sistem organisasi

dengan model organisasi lainnya yang

dapat digunakan sebagai kriteria.

Berikut adalah faktor-faktor yang

tidak dapat digunakan sebagai kriteria

untuk memilih model sistem organisasi:

Pengamat. Pengamat tidak dapat

digunakan sebagai kriteria untuk memilih

model sistem organisasi. Pengamat dari

seluruh model sistem organisasi adalah

mereka yang akan mengambil keputusan

untuk memecahkan masalah yang terkait

dengan organisasi. Adanya pandangan

tentang kesamaan pengamat bagi seluruh

model, menyebabkan faktor pengamat tidak

dapat dijadikan sebagai kriteria untuk

memilih model atau sebagai kriteria yang

membedakan satu model dengan model

yang lainnya.

1. Lingkungan sistem. Berdasarkan

penggambaran lingkungan dalam

model, model-model dapat dibedakan

menjadi dua. Model-model yang

menggambarkan lingkungan secara

eksplisit dan model-model yang

menggambarkan lingkungan secara

implisit (tidak eksplisit). Akan tetapi

karena tujuan dari pemilihan model ini

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 83

adalah memilih model yang dapat

menggambarkan dengan jelas kondisi

dari setiap elemen organisasi (fungsi-

fungsi internal yang terdapat di dalam

organisasi), maka tidak menjadi

masalah apakah model menggambarkan

lingkungan eksternal secara eksplisit

atau implisit. Dengan kata lain,

berdasarkan kondisi yang perlu

digambarkan dengan jelas oleh model

yang terpilih, penggambaran

lingkungan dalam model bukan

merupakan kriteria atau bahan

pertimbangan yang tepat untuk memilih

model.

2. Eksplisit tidaknya penggambaran

input dan output. Berdasarkan input-

ouputnya, kesepuluh model dapat

dibedakan menjadi dua. Model-model

yang menggambarkan input-outputnya

secara eksplisit dan model-model yang

tidak menggambarkan input-outputnya

eksplisit. Eksplisit atau tidaknya

penggambaran input dan output di

dalam model tidak dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan untuk

memilih model Hal ini disebabkan,

sebagaimana digambarkan dalam

Gambar 2.1, sebagai suatu sistem,

model-model tersebut tetap

memerlukan input dan menghasilkan

output tertentu. Input dapat berupa

sumber daya manusia dan modal,

sedangkan output dapat berupa produk,

jasa, kepuasan manusia,

keberlangsungan pertumbuhan

organisasi, keuntungan sosial, dan

sebagainya.

Dengan demikian, berdasarkan

hasil eliminasi tersebut, hanya ada empat

faktor yang dapat dijadikan sebagai kriteria

untuk memilih model, yaitu ujuan sistem,

cakupan dari output sistem, komponen

sistem, dan hubungan atau proses

transformasi di dalam sistem.

1. Tujuan model vs tujuan pemilihan

model

Sebagaimana tampak dalam Tabel

2.1.,tidak ada satupun model yang

tujuannya sama persih dengan tujuan

pemilihan model yaitu mendapatkan

model organisasi yang dapat

menggambarkan dengan jelas

hubungan antara kondisi dari setiap

elemen organisasi dengan terwujudnya

prinsip-prinsip GCG. Namun demikian,

dilihat dari tujuan awal yang ingin

dicapai oleh setiap model, kesepuluh

model tersebut dapat dibedakan

menjadi model-model yang tujuannya

memang kurang sesuai karena tidak

mampu menggambarkan dengan jelas

hubungan antara kondisi dari setiap

elemen organisasi dengan terwujudnya

prinsip-prinsip GCG dan model-model

yang cukup sesuai karena dapat

menggambarkan dengan cukup jelas

hubungan tersebut.

Model-model yang tujuannya

kurang sesuai karena tidak mampu

menggambarkan dengan jelas

hubungan antara kondisi dari setiap

elemen organisasi dengan terwujudnya

prinsip-prinsip GCG, dapat dirici

sebagai berikut: Weisbord’s Six Model,

Tichy’s TPC Framework, High-

Performance Programming, Malcolm

Baldrige Criteria For Performance

Excellence Diagnosing Individual and

Group Behaviour, serta New 7-S.

Weisbord’s Six Model merupakan

model yang hanya bertujuan untuk

melihat kesenjangan antara apa

yang terjadi dan apa yang

seharusnya terjadi. Secara lebih

rinci model ini bertujuan untuk

memodelkan penyelesaian isu-isu

internal di dalam organisasi,

terutama dengan mencari

kesenjangan antara apa yang terjadi

dan apa yang seharusnya terjadi.

Berdasarkan tujuannya, model ini

kurang tepat untuk dipilih karena

belum dapat menggambarkan

dengan jelas hubungan antara

kondisi dari setiap elemen

organisasi dengan kinerja yang

akan dicapai, yaitu keberhasilan

perusahaan untuk mewujudkan

prinsip-prinsip GCG

Congruence Model for

Organizational Analysis bertujuan

untuk memodelkan dampak

kekongruenan dari berbagai level

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 84

perilaku organisasi (perilaku level

individu, kelompok, dan sistem)

terhadap kinerja individu dan

kinerja yang dicapai organisasi.

Berdasarkan tujuan tersebut, model

kurang tepat untuk dipilih karena

yang ingin digambarkan dalam

model yang terpilih adalah

hubungan antara kondisi dari setiap

elemen organisasi (bukan hubungan

antara berberbagai level perilaku

organisasi) dengan kinerja yang

dicapai organisasi, yaitu

terwujudnya prinsip-prinsip GCG

(bukan dengan kinerja individu).

Tichy’s TPC Framework

merupakan model yang secara

spesifik bertujuan untuk

memodelkan dinamika hubungan

diantara permasalahan teknik,

politik, dan budaya serta

memodelkan hubungan diantara

elemen-elemen organisasi dalam

menyelesaikan dinamika dari

permasalahan teknik, politik, dan

budaya tersebut. Berdasarkan

tujuan tersebut model kurang tepat

untuk dipilih karena yang ingin

digambarkan dalam model yang

terpilih adalah hubungan antara

kondisi dari setiap organisasi

dengan kinerja yang akan dicapai,

yaitu keberhasilan perusahaan

untuk mewujudkan prinsip-prinsip

GCG dan tidak bermaksud untuk

memodelkan dinamika hubungan

diantara permasalahan teknik,

politik, dan budaya yang

berkembang di organisasi.

High-Performance Progamming

merupakan model yang bertujuan

untuk memodelkan perilaku

pimpinan terhadap perfomansi yang

dicapai oleh organisasi Berdasarkan

tujuan tersebut, model kurang tepat

untuk dipilih karena yang ingin

digambarkan dalam model terpilih

adalah hubungan antara kondisi

dari setiap elemen organisasi (tidak

hanya kondisi dari elemen

kepemimpinan) dengan kinerja

yang dicapai, yaitu keberhasilan

perusahaan untuk mewujudkan

prinsip-prinsip GCG.

Diagnosing Individual and Group

Behaviour merupakan model yang

bertujuan untuk memodelkan

keterkaitan antara kinerja di level

kelompok dan individu, termasuk

kualitas kehidupan kerja terhadap

output atau kinerja yang dicapai

organisasi. Berdasarkan tujuannya,

model ini kurang relevan karena

yang ingin digambarkan dalam

model yang terpilih adalah

hubungan antara kondisi dari setiap

elemen organisasi (bukan

keterkaitan antara kinerja di level

kelompok dan individu) dengan

keberhasilan perusahaan untuk

mewujudkan prinsip-prinsip GCG

e.

Model Malcolm Baldrige Criteria

For Performance Excellence

(MBCtPE) merupakan model yang

betujuan untuk memodelkan peran

dari kategori-kategori (elemen-

elemen) yang terdapat dalam

organisasi dalam rangka

mengadopsi prinsip-prinsip

manajemen pengendalian kualitas,

dimana kepemimpinan merupakan

pendorong yang utama yang diikuti

dengan dua pendorong lainnya

yaitu manajemen strategik dan

fokus pada konsumen dan pasar.

Berdasarkan tujuan tersebut, model

kurang tepat untuk dipilih karena

yang ingin digambarkan dalam

model yang terpilih adalah

hubungan antara setiap kondisi

elemen organisasi dengan

terwujudnya prinsip-prinsip GCG,

bukan hanya kondisi dari elemen

kepemimpinan, elemen manajemen

strategik, dan elemen fokus kepada

konsumen dan pasar dengan

terwujudnya prinsip-prinsip GCG

New 7-S merupakan model yang

kurang relevan untuk digunakan,

karena model tidak terkait dengan

elemen-elemen organisasi. New 7-S

lebih menggambarkan cara-cara

untuk melakukan interupsi pada

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 85

kondisi persaingan yang sangat

ketat, sedangkan yang ingin

digambarkan dalam rangka

pembenahan fungsi internal

organisasi adalah kondisi dari

setiap elemen organisasi dengan

kinerja yang akan dicapai, yaitu

keberhasilan perusahaan untuk

mewujudkan prinsip-prinsip GCG.

Berbeda dengan ketujuh model

diatas, tiga model lainnya yaitu, Model

7-S dari McKinsey, Burke-Litwin

Model of Organizational Performance

and Change, dan Model Pascale’s

Adaptation adalah model-model yang

cukup tepat untuk memodelkan

hubungan antara kondisi dari setiap

elemen organisasi dengan terwujudnya

prinsip-prinsip GCG.

Model 7-S dari McKinsey bertujuan

untuk memodelkan kekongruenan

perubahan yang terjadi pada seluruh

elemen organisasi dalam rangka

mencapai output yang diinginkan.

Berdasarkan hal ini, Model 7-S dari

McKinsey dapat digunakan untuk

memodelkan kekongruenan

perubahan kondisi yang terjadi pada

setiap posisi elemen organisasi

dalam rangka mewujudkan prinsip-

prinsip GCG.

Burke-Litwin Model of

Organizational Performance and

Change bertujuan untuk

memodelkan posisi dari elemen-

elemen transformasional dan

elemen-elemen transaksional dalam

menyikapi satu dorongan

perubahan tertentu. Berdasarkan hal

ini, Burke-Litwin Model of

Organizational Performance and

Change dapat digunakan untuk

memodelkan kondisi dari setiap

elemen-elemen organisasi yang

termasuk dalam elemen

transformasional dan elemen

transaksional dalam menyikapi satu

dorongan perubahan, yaitu

mewujudkan prinsip-prinsip GCG.

Model Pascale’s Adaptation

bertujuan untuk memodelkan

wahana perjalanan bagi organisasi,

dimana untuk suatu keadaan, setiap

elemen organisasi dapat dipetakan

pada posisi tertentu yang sesuai

dengan keadaan yang dihadapi oleh

organisasi tersebut. Berdasarkan hal

ini, melalui pemetaaan setiap

elemen organisasi pada posisi

tertentu yang sesuai dengan prinsip-

prinsip GCG, model Pascale’s

Adaptation dapat digunakan untuk

memodelkan hubungan antara

kondisi dari setiap elemen

organisasi dengan terwujudnya

prinsip-prinsip GCG.

2. Cakupan output model vs cakupan

output dari pembenahan fungsi

internal organisasi.

Berdasarkan cakupan outputnya,

kesepuluh model dapat dibedakan

menjadi model-model yang outputnya

adalah kinerja organisasi secara

keseluruhan dan model-model yang

membagi outputnya dalam berbagai

level organisasi (level individu, level

kelompok, dan level organisasi). Dalam

hal pembenahan fungsi internal

organisasi, output yang dituju adalah

kinerja organisasi secara keseluruhan

yaitu terwujudnya prinsip-prinsip GCG.

Berdasarkan hal ini, Weisbord’s Six

Model, Model 7-S dari McKinsey, High

Performance Programming, Malcolm

Baldrige Criteria For Performance

Excellence, Model Pascale’s

Adaptation, dan New 7-S merupakan

model-model yang lebih tepat untuk

dipilih dibandingkan dengan ketiga

model lainnya karena cakupan output

dari model-model tersebut sejalan

dengan cakupan output yang

diharapkan akan dihasilkan dari

pembenahan fungsi internal organisasi.

3. Komponen model vs komponen

dalam pembenahan fungsi internal

organisasi

Berdasarkan komponennya, kesepuluh

model dapat dibedakan menjadi model-

model yang membedakan

komponennya dalam berbagai level

organisasi (level individu, level

kelompok, dan level organisasi) dan

model-model yang tidak membedakan

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 86

komponennya dalam berbagai

organisasi. Disamping itu, model-

model juga dapat dibedakan menjadi

model-model yang komponen atau

elemennya terkait dengan elemen

organisasi (seperti struktur, sistem,

kepemimpinan, dan sebagainya) dan

model-model yang komponen atau

elemennya terkait dengan cara

organisasi bertindak (membangun

kecepatan, meningkatkan kepuasan

pemegang saham, dan sebagainya).

Sebagaimana tampak dalam Tabel 2.1,

hanya Diagnosing Individual and

Group Behaviour yang membedakan

komponennya untuk berbagai level

organisasi dan hanya New 7-S yang

komponen atau elemennya

menggambarkan cara dari organisasi

bertindak. Berdasarkan hal tersebut,

dari kesepuluh model organisasi, hanya

Diagnosing Individual and Group

Behaviour dan New 7-S yang kurang

tepat untuk dipilih karena komponen

dari kedua model tersebut tidak sejalan

dengan komponen yang akan

digambarkan dalam pembenahan fungsi

internal organisasi. Komponen yang

akan digambarkan dalam pembenahan

fungsi interrnal organisasi adalah

kondisi dari setiap elemen organisasi,

bukan cara dari setiap elemen

organisasi dan tidak dibedaan menurut

level organisasi.

4. Hubungan atau proses transformasi

vs hubungan atau proses

transformasi dari pembenahan

fungsi internal organisasi

Untuk hubungan atau proses

transformasi antar elemen, model-

model dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu model-model yang hubungan

antar elemennya tidak atau kurang jelas

dan model-model yang hubungan antar

elemennya jelas. Model-model yang

hubungan antara elemennya jelas dapat

dibedakan lagi menjadi: (i) model-

model yang hubungan antar elemennya

hanya bersifat dua arah saja, (ii) model-

model yang membedakan hubungan

antar elemennya menjadi hubungan

yang bersifat satu arah dan dua arah,

tetapi tidak membedakan mana

hubungan yang relatif lebih kuat dari

yang lainnya, dan (iii) model-model

yang membedakan hubungan antar

elemennya menjadi hubungan yang

bersifat satu arah, dua arah, hubungan

yang relatif lebih kuat, dan hubungan

yang relatif lebih lemah.

Model-model yang hubungan antar

elemen atau proses transformasinya

kurang atau tidak jelas, tidak dapat

dipilih sebagai model untuk penelitian

ini. Alasannya, model yang hubungan

antar elemen atau proses transformasi

kurang atau tidak jelas, tidak dapat

memenuhi kriteria mekanisme

transparansi sehingga penelitian ini

tidak dapat membuat hubungan yang

jelas antara posisi elemen-elemen

organisasi dengan terwujudnya prinsip-

prinsip GCG. Siregar pada tahun 1991

menyatakan bahwa suatu model

dikatakan baik jika seseorang dapat

melihat mekanisme suatu model dalam

memecahkan masalah; artinya

seseorang bisa menerangkan kembali

(melakukan rekonstruksi) tanpa ada

yang disembunyikan. Jadi, jika dalam

model tersebut terdapat suatu formula,

maka formula tersebut dapat

diterangkan kembali (Simatupang,

1994).

Dengan demikian, berdasarkan kriteria

kejelasan proses transformasi, terdapat

dua model kurang tepat untuk dipilih

karena tidak dapat menggambarkan

dengan jelas hubungan antara kondisi

setiap elemen organisasi dengan

terwujudnya prinsip-prinsip GCG, yaitu

Weisbord’s Six Box Model dan High

Performance Programming.

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara ringkas, hasil dari pemilihan

model ini dapat dilihat pada Tabel 1.

berikut.

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 87

Tabel 1. Hasil Pemilihan Model

Tanda ceklist (√) yang terdapat

pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa

model cukup tepat untuk dipilih karena

dapat menggambarkan dengan cukup jelas

hubungan antara kondisi dari setiap elemen

organisasi dengan terwujudnya prinsip-

prinsip GCG; sedangkan tanda silang

menyatakan kondisi yang sebaliknya.

Berdasarkan hal ini, Model 7-S dari

McKinsey dan Model Pascale’s merupakan

2 (dua) buah model yang paling tepat untuk

dipilih karena keduanya mempunyai tanda

ceklist (√) yang paling banyak.

Model Pascale’s Adaptation sendiri

merupakan perkembangan lebih lanjut dari

Model 7-S dari McKinsey (Pascale, 1990).

Dibandingkan dengan Model 7-S dari

McKinsey, Model Pascale’s Adaptation

mempunyai kelebihan. Model Pascale’s

Adaptation menggambarkan secara lebih

detil berbagai kondisi yang dihadapi oleh

setiap elemen organisasi. Penggambaran

secara detil ini dilakukan dengan

memberikan kontinum yang memiliki dua

polaritas dalam setiap elemennya. Adanya

kontinum dengan dua polaritas ini

memberikan kemudahan untuk

menunjukkan strategi seperti apa, struktur

seperti apa, sistem seperti apa, staf seperti

apa, corak seperti apa, kecakapan seperti

apa, serta nilai-nilai bersama seperti apa

yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.

Berdasarkan hal ini, dibandingkan dengan

Model 7-S dari McKinsey, Model

Pascale’s Adaptation merupakan model

yang lebih tepat untuk dipilih.

Hasil penelitian ini terbatas pada

memilih satu model yang paling tepat untuk

menggambarkan dengan jelas kondisi dari

setiap elemen organisasi dengan

terwujudnya prinsip-prinsip GCG. Akan

tetapi, dari model yang terpilih, penelitian

ini belum menentukan kondisi elemen

organisasi yang bagaimana yang sesuai

dengan prinsip-prinsip GCG. Berdasarkan

hal ini, penelitian lanjutan dapat dilakuan

dengan mengkaji model yang terpilih secara

lebih dalam sehingga dapat ditentukan

strategi seperti apa, strategi seperti apa,

struktur seperti apa, sistem seperti apa, staf

seperti apa, corak seperti apa, kecakapan

seperti apa, serta nilai-nilai bersama seperti

apa yang sesuai dengan prinsip-prinsip

GCG.

DAFTAR PUSTAKA

1. Black, B., Jang, H., dan Kim, W.

(2003), Does Corporate Governance

Affect Firm Value? Evidence from

Korea, Research Paper Series,, KDI

School of Public Policy and

Management, 05/11.

2. Chen, K.C.W, Chen, Z., dan Wei,

K.C.J. (2003), Disclosure, Corporate

Governance, and The Cost of Equity

Capital in Emerging Markets,

Working Paper Series, Social Science

Research Network.

3. D ‘Aveni, R.A. (1994),

Hypercompetition, The Free Press,

New York.

4. Daellenbanch, H.G. (1994), System

and Decision Making, John Wiley &

Sons, Chichester-England.

5. Des Grades (2004), Role Agricultural

Cooperatives in Agricultural

Development- The Case of Menoufiya

Governorate, Disertasi, Rheinischen

Model

Tujuan

model VS

tujuan

pemilihan

model

Cakupan

output

model VS

cakupan

output dari

pembenahan

fungsi

internal

organisasi

Komponen

model VS

komponen

dari

pembenahan

fungsi internal

organisasi

Hubungan/

proses

transformasi

VS hubungan/

proses

transformasi

dalam

pembenahan

fungsi internal

organisasi

Kesimpulan

Jumlah

tanda

X

Jumlah

tanda

Weisbord’s Six

Box Model X √ √ X 2 2 Congruence

Model for

Organizational

Analysis X X √ √ 2 2 McKinsey 7-S

Framework √ √ √ √ 0 4 Tichy’s TPC

Framework X X √ √ 2 2 High -

Performance

Programming X √ √ X 2 2 Diagnosing

Individual and

Group

Behaviour X X X √ 3 1 Malcolm

Baldrige

Criteria For

Performance

Excellence X √ √ √ 1 3 Burke-Litwin

Model of

Organizational

Performance

and Change √ X √ √ 1 3 Pascale’s

Adaptation √ √ √ √ 0 4 New 7-S X √ X √ 2 2

Keterangan

X: model kurang tepat untuk dipilih

√: model cukup tepat untuk dipilih

Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. IV, No 1, Januari 2009 88

Friedrich-Wilhelms-Universitat,

Egypt.

6. Djatmiko, H.E. (2004), Ada

Kemajuan, Banyak Keprihatinan,

SWA, XX, 4.

7. Falletta, S.V. (2005), Organizational

Diagnostic Models: A Review &

Synthesis, Leadersphere Inc.,

http://leadersphere.com/orgmodels.pd

f.

8. Gill, A. (2002), CG Watch :

Corporate Governance in Emerging

Markets, http:// www.clsa.com

9. Gill, A. dan Allen, J. (2003), CG

Watch Corporate Governance in

Asia, http:// www.clsa.com

10. Gill, A. dan Allen, J. (2005), CG

Watch Corporate Governance in

Asia, http:// www.clsa.com

11. Gill, A. dan Allen, J. (2007), CG

Watch Corporate Governance in

Asia, http:// www.clsa.com

12. Indaryanto, K.G. (2004), Konsepsi

Good Corporate Governance, dalam

Suprayitno, G., Indaryanto, K.G,

Yasni, S., Krismatono, D., Rita, L.,

dan Rahayu, R.G., Komitmen

Menengakkan Good corporate

Governance, The Indonesian Institute

for Corporate Governance, Jakarta,

Indonesia.

13. Kreitner, R. dan Kinicki, A. (2004),

Organizational Behaviour, McGraw-

Hill Companies. Inc, New York.

14. NIST (2003), Baldridge National

Quality Program,

www.baldrige.nist.gov

15. Pascale, R. (1990), Managing on the

Edge: How Successful Companies

Use Conflict to Stay Ahead, dalam

Fox, C., McKinsey’s 7-S and

Pascale’s Adaptation Thereof,

http://www.chrisfoxinc.com/7SAndP

ascale. htm.

16. PassMatrix (2004), Module 100:

General Management and

Organization, Samples Modul

Certified Associate Business

Manager, http://www.apbm.

org/pdf/cabm-sample-

modules/100.pdf

17. Patriadi, P. (2004), Segi Hukum

Bisnis dalam Kebijakan Privatisasi

BUMN Melalui Penjualan Saham di

Pasar Modal Indonesia, Kajian

Ekonomi dan Keuangan, 8, 1, 32-75

18. Pinteris, G. (2002), Agency Costs,

Ownership Structure and

Performance in Argentine Banking,

Working Paper, Department of

Economics, University of Illinois.

19. Poeradisastra, T. (2005) : GCG,

Antibiotik yang Ditakuti Perusahaan,

SwaOnline,

http://www.swa.co.id/swamajalah/saj

ian.

20. Reksohadiprodjo, S. dan Handoko, H.

(2004) : Organisasi Perusahaan:

Teori, Struktur dan Perilaku, BPFE,

Yogyakarta.

21. Sulistyanto, S. dan Wibisono, H.

(2003) : Rekayasa Keuangan:

Refleksi Sikap Oportunis Manajer?,

Seri Kajian Ilmiah, 12, 1,

http://artikel.us// hsulistyanto4.html.

22. The Indonesian Institute for

Corporate Governance (2007) :

Corporate Governance Perception

Index (CGPI), http://www.iicg.org

23. Winasis, K.W., Abdullah, dan

Sibuea, P. (2004), Lolosnya Kasus

Indosat,

http://www.majalahtrust.com/hukum.