Post on 28-Jan-2016
description
BAB II
PEMBAHASAN
Pertayaan penting yang dimunculkan oleh para psikolog politik tentang keyakinan
politik orang Amerika menyangkut tentang isu beberapa toleran orang Amerika terhadap
pandangan-pandangan yang bertentangan dengan yang dimilikinya. Tidak perlu dikatakan,
dalam suatu demokrasi, hal ini merupakan sebuah masalah yang sangat penting, karena cita-
cita demokrasi tergantung pada suatu pemikiran bahwa bahkan pandangan-pandangan yang
sangat tidak populer dapat diekspresikan tanpa ketakutan akan pembalasan dendam atau
represi.
A. Keyakinan, Nilai, Ideologi, Sikap, dan Skema
Istilah keyakinan didefinisikan sebagai asosiasi yang diciptakan oleh orang-
orang antara sebuah objek dan atribut-atributnya (Eagly & Chaiken, 1998). Definisi
keyakinan lain yang berguna adalah “komponen kognitif yang ,menyusun pemahaman
kita tentang keadaan hal-hal” (Glynn, Herbst, O’Keefe, & Shapiro, 1999: 104). Ketika
keyakinan dikelompokkan bersama-sama, kami menyebutnya suatu sistem
keyakinan. Kebanyakan orang di Amerika, misalnya, memiliki suatu sistem
keyakinan tentang demokrasi yang mencakup keyakinan-keyakinan seperti
“kebebasan berbicara merupakan suatu keharusan”, “orang-orang memiliki suatu hak
untuk memutuskan siapa yang memegang kekuasaan politik”, dan “seleruh warga
negara harus memiliki hak untuk memberikan suara”.
Nilai erat berkaitan, namun memiliki suatu komponen ideal. Keyakinan
mencerminkan apa yang kita pikirkan sebagai benar; nilai mencerminkan apa yang
kita harapkan terjadi, bahkan ketika saat ini tidak benar. Rokeach (1973) berpendapat
bahwa ada dua jenis nilai, yaitu:
1. Nilai akhir (terminal values), yaitu tujuan-tujuan
2. Nilai instrumental, yang menyetujui cara-cara untuk mencapai tujuan-tujusn
tersebut.
Sebagai contoh, orang Amerika menginginkan sebuah masyarakat yang aman dan
menginginkan polisi memelihara hukum dan ketertiban. Ini merupakan suatu nilai
akhir, suatu perhatian terhadap kesejateraan orang-orang.
Nilai dan keyakinan erat berkaitan, dan ketika kita merujuk pada nilai dan
sistem keyakinan politik, kami menyebutnya suatu ideologi, yaitu merupakan “suatu
struktur yang sangat rumit, tersusun rapat, dan berkecakupan luas” dari sikap-sikap
dan keyakinan-keyakinan (Campbell, Converse, Miller & Stokes, 1964: 11). Nilai dan
ideologi politik orang Amerika berakar dari liberalisme Lockean (yakni ide-ide
filosofis John Locke) dan, meskipun sikap tentang banyak isu telah berubah dari
waktu ke waktu, nilai ini sebagian besar tetap sama, bahkan setelah lebih dari 200
tahun (McClosky & Zaller, 1984).
Sebuah konsep pokok dalam studi psikologi yang digunakan disini adalah
sikap, yaitu suatu sistem yang berlangsung lama, yang terdiri dari keyakinan positif
atau negatif, perasaan dan emosi afektif, serta kecenderungan tindakan yang menyusul
perihal suatu objek sikap, yaitu entitas yang sedang dievaluasi.
Konsep sikap memiliki tradisi yang panjang dalam studi mengenai opini
publik, namun diperkenalkan suatu konsep skema yang lebih akhir. Skema
didefinisikan sebagai suatu “struktur kohnitif yang mewakili pengetahuan tentang
suatu konsep atau jenis stimulus, termasuk atribut-atributnya dan hubungan-hubungan
diantara atrubut-atribut tersebut” (Fiske & Taylor, 1991: 8).
B. Kecanggihan Politik dan Pemberian Suara Di Amerika
Diawali pada akhir 1940-an, para peniliti yang bersenjatakan survei-survei
berangkat untuk menyelidiki karakteristik sikap politik orang Amerika. Mereka
tertarik tidak hanya pada seberapa canggih orang Amerika, namun juga pada
konsisten internal sikap-sikap mereka. Suatu demokrasi yang berfungsi menuntut
warga negara untuk membuat keputusan yang terinformasikan ketika mereka
memberikan suara.
a. Aliran Michigan
Studi pelopor tentang kecanggihan politik orang Amerika, The American Voter
(Campbell, Converse, Miller & Stokes, 1960, 1964), mengecilkan hati orang-orang
yang meyakini demokrasi seharusnya ditemukan pada warga negara yang berminat
pada, yang terinformasikan dan berfikir secara seksama tentang prinsip-prinsip
demokrasi dan isu-isu politik hari ini. Karena The American Voter didasarkan pada
hasil-hasil survei dari survei Research Center di University of Michigan, modelnya
tentang para pemberi suara Amerika dikenal sebagai aliran Michigan, atau model
Michigan. Secara spesifik, para peneliti tersebut berminat untuk mengetahui apakah
orang-orang memiliki nilai-nilai yang secara konsisten liberal atau konservatif,
apakah nilai-nilai tersebut berkaitan dengan identifikasi dan loyalitas partai mereka,
dan dengan preferensi kebijakan mereka, serta bagaimana cara mereka menentukan
kepada siapa suara mereka akan diberikan.
Idealnya, oarang-orang harus mengetahui apa itu nilai liberal dan nilai
konservatif, posisi-posisi apa pada isu-isu politik penting yang merupakan posiisi
liberal dan posisi konservatif, partai mana yang mewakili prinsip liberal dan partai
mana yang mewaliki prinsip konservatif, dan kandidat-kandidat mana yang
mempertahankan isu-isu mana. Sebagai contoh, seseorang yang menentang
pemerintahan besar (suatu sikap ideologi konservatif) seharusnya juga memiliki suatu
kelekatan dengan partai Republik (suatu partai konserbatif di AS), memberikan suara
untuk kandidat-kandidat yang mendukung pandangan yang sama, dan menjadi
anggota dari kelompok-kelompok yang mendapatkan manfaat dari pemerintah
minimal. Selain itu, orang terebut seharusnya menyukai posisi konservatif lainnya
pada isu-isu yang lain, seperti perpajakan, hak-hak buruh, kekuasaan federal versus
negara, dan seterusnya. Jenis orang ini dapat dibenarkan untuk disebut ideologue.
Seorang ideologue liberal akan sama konsisten dengan sikap-sikap liberal sehubungan
dengan partai (Partai Demokrat), isu-isu, dan preferensi-preferensi kandidat. Seorang
ideologue dianggap sebagai seorang yang canggih secara polotis, dalam arti bahwa
orang yang demikian agaknya mengetahui hal-hal politik, dapat memahami dan
memproses informasi politik secara konsisten, dan akan membuat pilihan politik yang
sesuai dengan kepentingan pribadi, kelompok, dan berbasis nilai yang dimiliki.
Akan tetapi, yang dilaporkan oleh penulis The American Voter (Campbell et
al,. 1964) adalah bahwa sangat sedikit orang Amerika yang cocok dengan profil
sorang ideologue, yaitu seorang yang memahami perbedaan antara prinsip liberal dan
prinsip konservatif, dan yang akan menempatkan setiap partai dan isu disepanjang
dimensi-dimensi liberal dan konservatif. Mereka melakukan survei yang didalamnya
menanyakan kepada orang-orang yang mereka sukai dan tidak sukai mengenai partai-
partai dan kandidat-kandidat, serta mengodean survei tersebut perihal karakteristik
responsnya. Jika responden mengekspresikan kesukaan dan ketidaksukaan perihal
prinsip-prinsip ideologi,maka orang tersebut dianggap sebagai ideologue. Mereka
mengklisifikasikan orang-orang kedalam salah satu dari beberapa kemungkinan level
konseptualisasi, atas dasar sikap utama yang digunakan untuk mengekspresikan
kesukaan dan ketidaksukaan tentang partai-partai dan kandidat-kandidat. Level
konseptualisasi responden yang kedua disebut “hampir-ideologue”. Orang-orang ini
mengklaim mengetahui perbedaan antara prinsip liberal dan prinsip konservatif,
namun kurang percaya diri, dan kurang mampu mengartikulasikan, prinsip-prinsip
tersebut. Level konseptualisasi berikutnya, level “kelompok manfaat”, yang ditempati
oleh orang-orang yang memandang isu-isu politik dalam konteks manfaat-manfaat
konkret bagi kelompok mereka, dibandingkan dengan manfaat-manfaat bagi
kelompok lainnya dalam masyarakat. Pada level ini “ada sedikit pemahaman tentang
rencana-rencana jangka panjang bagi perbaikan sosial, atau tentang filosofi dasar
yang berakat dalam sikap-sikap terhadap perubahan atau konsepsi-konsepsi abstrak
tentang struktur atau hubungan sebab akibat sosial dan ekonomi”. Level keempat
ditempati oleh orang-orang “karakteristik masa” (nature of times), yang tidak
memiliki konsepsi tentang ideologi, tidak ada pengenalan terhadap kelompok
kepentingan, dan yang ketika meraka memang berfikir tentang polotik, hanya
memikirkan perihal apakah masa baik atau buruk bagi diri mereka sendiri dan
keluarga mereka. Masa baik berarti bahwa partai presiden tersebut adalah baik; masa
buruk berarti bahwa partai politik presiden tersebut seharusnya diihukum.
Level terakhir adalah “ketiadaan konten isu”-level hadiah boobie (hadiah gurauan
untuk mereka yang kalah atau memilki skor terendah). Orang-orang ini, 22,5% tidak
mengetahui apapun tentang isu-isu politik dan melaukan pendekatan politik hanya
dalam konteks keanggotaan partai (tanpa ada pemahaman tentang posisi partai
tersebut pada isu-isu) atau daya tarik kandidat (rupa, religi, atau ketulusan, ketimbang
posisi-posisi isu) ketika mereka memiliki apaupun menyerupai sebuah pendapat
politik. Sedikit diantara orang-orang yang berada pada level konseptualisasi ini yang
merasakan pentingnya memberikan suara.
Secara khusus, The Changing American Voter (Nie, Verba & Petrocik, 1976),
meliputi pemilihan umum dari 1952 hingga 1976, dan menemukan bahwa sejalan
dengan politik menjadi lebih menarik pada tahun 1960-an, level konseptualisasi
meningkat perihal jumlah pada level tertinggi (mereka mengidentifikasikan 31%
ideologue), serta level konsistensi isu (yakni, orang-orang cebderung secara konsisten
mengambil posisi liberal atau posisi konservatif pada sejumlah isu). Sikap politik
orang Amerika tidak memiliki suatu komponen negatif yang cukup canggih untuk
memahami abstraksi (pemisahan) sepeerti liiberalisme dan konservatisme.
Sikap-sikap yang memang dimiliki oleh orang Amerika tidak dibatasi
(constrained) atau konsisten, juga tidak stabil (stable), yaitu sama dari waktu ke
waktu (Converse, 1964). Perihal batas, hal ini berarti bahwa orang-orang tidak secara
konsisten tidak memiliki sikap liberal atau sikap konservatif: mereka mungkin
konservatif pada satu isu dan liberallisme pada isu lainnya. Tanpa suatu pedoman
ideologi pokok, kurangnya batas yang demikian tidaklah mengejutkan, namun
implikasinya dalam konteks kecanggihan politik orang Amerika adalah kontroversial.
Perihal stabilitas, Converse (1964) memperhatikan bahwa respon-respon terhadap
pertanyaan-pertanyaan tentang sikap untuk orang-orang tertentu tetap sangat stabil,
namun untuk orang lainnya, respon-respon tersebut berubah dengan suatu pola yang
tampaknya acak, Ia menyebut hal ini perubahan sikap model hitam dan putih.
Para penulis The American Voter, dan yang lainnya termasuk aliran Michigan,
menyajikan suatu model sikap-sikap politik, dan hubungan sikap-sikap satu sama lain,
yang menggambarkan sebab-sebab pemberian suara tersebut. Model ini disebut
corong kausalitas, dan model ini membedakan antara faktor-faktor atau sikap-sikap
jangka panjang yang mempengaruhui bagaimana orang Amerika memberikan suara
meraka (antara lain kelekatan dengan sebuah partai, atau identifikasi partai, dan
kelompok kepentingan) dan faktor-faktor jangka pendek (isu-isu dak karakteristik
pribadi kandidat-kandidat yang penting saat ini).
Identifikasi partai memiliki suatu pengaruh kuat terhadap bagaimana cara
orang-orang memberikan suara mereka, khususnya pada orang-orang yang secara
intens mengidentifikasikan diri dengan partai mereka. Identifikasi partai diigunakan
untuk menyaring informasi dan mewarnai interpretasi pemilih tentang isu-isu dan
kandidat-kandidat.
Aliran Michigan mengembangkan sebuah rumus untuk menganalisis dampak
keanggotaan partisan, isu-isu, dan karakteristik kandidat pada setiap pemilihan unum.
Karena keanggotaan partisan merupakan suatu faktor jangkan panjang yang
memengaruhui pemberian suara, mereka berfikir bahwa suatu pemilihan umum yang
di dalamnya orang-orang memberikan suara menurut identifikasi partainya, dan yang
didalamnya para independen terbagi rata antara kedua partai, bisa dianggap sebagai
suatu dasar, atau suatu pemilihan umum tipikal yang ideal. Mereka melebel pemilihan
umum yang demikian sebagai pemberiian suara normal (normal vote)
(Converse. 1966). Para analisis pilihan rasional, yang bukan para Psikolog politik,
berpendapat bahwa orang-rang memberikan suara atas dasar isu-isu dalam konteks
perhitungan kepentingan pribadi, dan bahwa keanggotaan partisan itu sendiri
merupakan sebuah kolase dari kekuatan-kekuatan jangka pendek dan jangka panjang.
b. Aliran Maksimalis
Model Michigan bukan merupak akhir kata tentang kecanggihan pemilih amerika.
Lane (1996; juga Lane & Sears, 1964) dan peneliti lainnya memiliki suatu evaluasi
yang lebih optimis tentang kualitas dan kuantitas pengetahuan politik yang dimiliki
dan dicari oleh orang Amerika. Mungkin tantangan psikologi politik terbesar bagi
aliran Michigan adalah aliran Maksimalis. Aliran Maksimalis mempertahankan
bahwa model Michigan tersebut merupakan suatu gambaran minimalis tentang
pandangan dunia politik Amerika. Mereka berpendapat bahwa, mmembahas dalam
cara yang berbeda, orang Amerika jauh lebih canggih secara politis ketimbang apa
yang dipertahankan oleh model Michigan.
Stimson, dan kemudian Neuman (1986), berpendapat bahwa msalah pada
model Michigan adalah bahwa model ini mencoba memperlakukan politik sebagai
satu kelompok, namun dalam realitas terdapat banyak variasi pada publik. Neuman
(1986) mempertahankan bahwa ada tiga publik yaitu:
1. Orang-orang yang memiliki kecanggihan politik (sekitar 5%), yang mengetahui
banyak hal tentang politik dan yang sangat aktif;
2. Mayoritas (sekitar 75% publik), yang memiliki pendidikan tinggi dan, sebenarnya
memilki kemaampuan kognitif, namun sering kali tidak secara kuat termotivasi
untuk menggunakannya dalam dunia politik;
3. Orang-orang yang sesungguhnya apolitis (sekitar 20% populasi), yang tidak akan
pernah berminat untuk melibatkan diri dari kekurangan kapabilitas untuk menjadi
demikian, bahkan jika mereka menginginkannya.
Aliran Maksimalis meragukan premis-premis dasar model Michigan tentang
bagaimana cara orang-orang berfikir tentang politik (komponen kognitif), dan mereka
menambahkan pentingknya afek kedalam proses pemikiran tentang politik
(Sniderman et al., 1991). Argumen mereka mempertahankan bahwa asumsi aliran
Michigan, bahwa orang-orang mengorganisasikan pemikiran politik mereka dalam
suatu cara linier (liberal hingga konservatif), mengalihkan atensi dari bagaimana cara
orang-orang sesungguhnya berfikir tentang politik.
Sniderman dan Tetlock (1986) berpendapat bahwa pandangan minimalis ini
tentang struktur sistem keyakinan mengasumsikan bahwa struktur sistem keyakinan
memang dan seharusnya diorgansasikan pada sebuah garis lurus disepanjang
kontinum liberal-konservatif. Sniderman dan Tetlock (1986) berpendapat bahwa bisa
terdapat banyak ataupun hanya beberapa daerah keyakinan seperti itu, bergantung
secara kognitif, pada gilirannya, bergantung pada seberapa terampil seseorang pada
pemikiran abstrak. Dari perspektif ini, mereka menentukan bahwa sepertiga lainnya
adalah terorganisasikan dengan baik (teratur), sedikitnya dalam konteks nilai-nilai
dasar orang Amerika berkenaan dengan demokrasi dan kapitalisme.
c. Struktur Pengetahuan
Sebuah pendekatan yang berkaitan terhadap konseptualisasi kembali kompleksitas
sikap membahas struktur pengetahuan. Dalam tinjauan teeakhir tentang literatur ini,
McGraw (2000) membagi kedalam tiga katagori, yaitu:
1. Bagaimana cara orang-orang secara mental mengorganisasikan informasi tentang
aktor-aktor politik;
2. Bagaimana struktur-struktur pengetahuan tersebut (misalnya, stereotip tentang
partai-partai politik) mempengaruhi pembelajaran dan keputusa tentang para
kandidat politik, dan;
3. Bagaimana cara sikap-sikap tentang isu-isu direpresentasikan didalam pikiran.
Lavine (2000) membagi literatur ini dengan agak berbeda, Ia berpendapat bahwa satu
kumpulan literatur mempertahankan bahwa sikap-sikap dipengaruhi oleh ingatan
orang-orang, apa yang mereka ingat kembali tentang seorang kandidat ketika mereka
memutuskan kepada siapa suara mereka diberikan dan apa yang mereka pikirkan
tentang isu-isu. Kumpulan literatur lain adalah yang mengulas pemrosesan informasi
online, yang didalamnya orang-orang memelihara sejumlah informasi yang terus
bergerak sejalan dengan mereka mambentuk sikap-sikap tentang isu-isu politik.
Sama halnya, Judd dan Krosnick (1989), bersamaan dengan McGraw dan
Steenbergen (1995), berpendapat bahwa orang-orang memilki jaringan asosiatif,
yaitu struktur pengetahuan yang tertanam didalam ingatan jangka panjang, yang
terdiri dari simpul-simpul yang terhubung satu sama lain, yang membentuk suatu
jaringan asosiasi.
C. Pemrosesan Informasi dan Pemberian Suara
Sebuah pertanyaan pokok yang ditangani oleh penyelidikan struktur
pengetahuan menyangkut tentang bagaimana struktur tersebut digunakan untuk
memproses informasi dan membuat pilihan-pilihan politik, seperti bagaimana cara
mengevaluasi seorang kandidat dan kepada siapa suara diberikan.
Model jaringan asosistif berpendapat bahwa simpul-simpul dan hubungan-
hubungan dengan kekuatan yang lebih besar mudah dipanggil untuk pemikira dan
pemrosesan informasi ketimbang simpul-simpul dengan hubungan-hubungan yang
lemah (Judd & Krosnick, 1989; McGraw & Steenbergen, 1995). Aksebilitas skema
politik akan mempengaruhi bagaimana cara orang-orang berpikir apa yang mereka
waspadai. Skema yang lebih sering dan yang paling akhir digunakan akan segera
tersedia untuk digunakan kembali (Ottati & Wyer, 1993; Popkin, 1994). Skema
digunakan untuk menyaring informasi, yang menyediakan orang-orang suatu cara
untuk memutuskan informasi mana yang benar,tidak relevan, atau tidak benar. Skema
dan pengetahuan berbasis katagori, yaitu keyakinan-keyakinan yang sudah ada, yang
telah hadir didalam pikiran politik seseorang, juga digunakan sebagai suatu sumber
informasi pengganti ketika informasi saat ini, tentang suatu isu politik atau kandidat,
hilang.
Cara orang-orang memproses informasi politik dengan langkah-langkkah yang
agaknya dijalani oleh orang-orang yang penerimaan informasi, adalah sebagai berikut:
1. Informasi diterima, dan simpul atau skema yang sesuai disiapkan (primed)
2. Informasi dicocokkan dengan struktur pengetahuan dan simpul-simpul yang
sesuai
3. Informasi tersebut dinilai dan disimpan didalam ingatan
4. Evaluasi tersebut ditarik dari ingatan ketika individu diminta untuk membuat
keputusantentang tindakan politik (bagaimana cara memberikan suara, apa yang
dipikirkan tentang suatu kebujakan, dll ) (Anderson, 1983; Brewer, 1988; Fiske &
Pavelchak, 1986; Graber, 1984; Lodge & Stroh, 1995; Ottati & Wyer, 1990).
Delli Carpini dan Keeter (1993, 1996) menemukan bahwa para elite politik
memilki jumlah informasi yang sungguh besar tentang politik dan sistem politik.
Lodge dan Stroh (1995) berpendapat bahwa dengan diperolehnya informasi
digunakan untuk meningkatkan, atau memperbarui, keyakinan-keyakinan tentang
seseorang kandidat atau sebuah partai, dan detail-detail informasi yang spesifik
dilupakan. Kesukaan dan ketidaksukaan dipengaruhi oleh informasi, dan diingat,
namun seseorang mungkin sangat kesulitan untuk menjelaskan apa yang mendasari
kesukaan atau ketiksukaan tersebut. Model pemrosesan informasi berbasis impresi
ini, ingatan, dan evaluasi tentang para kandidat politik berlawanan dengan model-
model yang lebih tradisional, yang mempertahankan bahwa orang-orang menyimpan
bukti yang mendukung evaluasi-evaluasi mereka didalam ingatan.
Sejumlah heuristis, struktur pengetahuan, dan skema yang berbeda-beda
penting dalam pemprosesan informasi politik (Lau, 1986; Ottati & Wyer, 1990; Rahn
et al., 1990). Ada banyak heuristis berbeda yang berfungsi sebagai jalan pintas dalam
pemprosesan informasi dan penilaian-penilaian politik. Fiorina (1981) menyajikan
bukti tentang heuristik pemberian suara yang retrospektif, yang didalamnya para
pemilih membuat keputusan-keputusan tentang para kandidat saat ini untuk perolehan
jabatan berdasarkan kinerja masa lalu para kandidat tersebut.
Heuristik merupakan salah satu bentuk jalan pintas mental, dan skema adalah yang
lainnya. Diantara skema-skema terpenting orang Amerika adalah skema-skema
keanggotaan partisan, isu, dan kandidat. Peran dari masing-masing jenis skema ini
sulit dipisahkan, karena skema-skema ini berinteraksi satu sama lain.
Skema dan sikap tentang isu-isu menyusun tiga elemen penting pandangan
tentang politik orang Amerika. Suatu isu adalah suatu perselisihan tentang kebijakan
publik. Popkin (1994) berpendapat bahwa isu-isu efektif dalam melancarkan suatu
kampanye untuk perolehan jabatan hanya ketika para pemilih melihat hubungan-
hubungan:
Antara isu tersebut dan jabatan tersebut
Antara isu tersebut dan kandidat tersebut
Antara isu tersebut dan manfaat-manfaat yang penting bagi mereka.
Akibatnya, bagaimana cara isu-su dirumuskan oleh para kandidat untuk perolehan
jabatan membuat suatu perbedaan besar perihal apakah iya atau tidak, dan bagaimana
cara publik akan meninjau isu-isu tersebut (Gamson, 1992; Nelson & Oxley, 1999;
Popkin, 1994; Zaller, 1992). Kerangka isu merupakan “definisi, penyusunan, atau
penggambaran alternatif tentang sebuah masalah kebijakan”(Nelson & Oxley, 1999:
1041).
Banyak diantara pola pemprosesan informasi ini yang digabungkan bersama-
sama dalam How Voters Decide (2006) oleh Lau dan Redlawsk. Mereka mencatat
empat model pengambilan keputusan yang biasanya ditemukan dalaml literatur ilmu
politik, yaitu:
a. Model Pilihan Rasional (Rational Choice), yang didalamnya diasumsikan bahwa
orang-orang secara seksama mengevaluasi seluruh informasi dan membuat pilihan
pemilih berdasarkan kepentingan diri
b. Model Pengambilan Keputusan yang Menegaskan (Confirmatory Decision
Making), suatu model sosialisasi awal dan konsistensi kognitif yang pada
dasarnya disampaikan dalam American Voter, yang didalamnya orang-orang
memulai dengan identifikasi partai seorang kandidat dan kemudian secara pasif
mendapatkan informasi jangka pendek
c. Model Pengambilan Keputusan Cepat dan Sederhana (Fast and Frugal Decision
Making), yang didalamnya orang-orang mencari sedikit informasi spesifik tentang
hal-hal yang penting bagi mereka, dan mengabaikan segala hal lainnya
d. Model Pengambilan Keputusan Semiotomatis Intuitif (Semiautomatic Intuitive
Decision Making), suatu model rasionalitas yang dibatasi, yang didalamnya
orang-orang hanya mendapatkan sebanyak mungkin informasi yang mereka
perlukan untuk membuat keputusan pemberian suara dan tidak lebih dari itu.
Dimulai dengan pemikiran bahwa memproses seluruh informasi adalah melebihi apa
yang mampu dilakukan oleh orang-orang, Lau dan Redlawsk (2006) berpendapat
bahwa ada lima heuristik yang mungkin digunakan oleh para pemilih, yaitu:
a. Heuristis rujukan afek (affect referral) adalah ketika orang-orang memberikan
suara mereka kepada seorang kandidat yang akrab bagi meraka dan sangat mereka
hormati
b. Heuristis persetujan (endorsement) mengacu pada suatu jalan pintas yang
didalamnya orang-orang memilih seorang kandidat yang telah disetujui oleh
orang-orang yang dipercaya oleh pemilih tersebut
c. Heuristis keakraban (familiarity) berperan ketika orang-orang akrab dengan satu
kandidat, namun tidak akrab dengan kandidat lainnya, dan sedikitnya mereka
netral terhadap kandidat tersebut
d. Heurisris kebiasaan (habit) adalah hanya memberikan suara dalam cara yang
sama seperti terakhir kali
e. Heuristis kemungkinan berhasil (viability) adalah pemilihan seorang kandidat
berdasarkan pada kemungkinan bahwa ia akan menang.
Ketika pemilih mengalami konflik antara preferensinya pada satu isu dan
preferensinya pada isu yang lain, mereka dapat menggunakan salah satu dari dua
strategi pengambilan keputusan, yaitu
a. Strategi kompensasi, yang melibatkan penempatan nilai-nilai positif atau negatif
secara sekasama pada masing-masing posisi.
b. Strategi nonkompensasi, yang pada dasarnya menghindari konflik tersebut
dengan cara tidak mendapatkan informasi menyeluruh.
D. Emosi dan Pemberian Suara
Pada 1993, Marcus dan MacKuen memublikasikan sebuah studi yang
menunjukkan pentingnya kecemasan dan antusiasme dalam pembelajaran dan
keterlibatan politik. Mereka berpendapat bahwa orang-orang tidak hanya merespon
para kandidat secara positif atau secara negatif (yakni, valensi), melainkan dengan
emosi-emosi yang spesifik. Dua emosi pokok dalam menanggapi peristiwa politik dan
para kandidat: ketakutan (kecemasan) dan antuasiasme. Antuasiasme mempengaruhi
keputusan kepada siapa suara diberikan, kecemasan meningkatkan pencarian
informasi tentang para kandidat. Ketika orang-orang tidak mengalami kecemasa,
mereka cenderung mengandalkan kebiasaan dalam menentukan bagaimana cara
mereka akan memberikan suara (misalnya, identifikasi partai). Dengan demikian,
kecemasan memiliki suatu peran penting dalam pemprosesan informasi, dan
kecemasan menstimulasi pembelajaran.
Pemilihan Presiden Tahun 2008
Pemilihan umum pada 2008 di AS , yang menghasilkan suatu pemilihan orang
Amerika-Afrika pertama untuk kepresidenan Amerika, memberikan kita suatu
kesempatan untuk membahas elemen kognitif dan elemen emosi dalam pemberian
suara. Demokrat Barack Obama menang dengan 52% suara dari Republikan John
McCain 46% suara. Ribuan orang berlomba melintasi Grant Park di Chicago untuk
menonton Obama pada saat pidato kemenangannya, dan air mata kegembiraan begitu
banyak wajah menunjukkan emosi-emosi kuat yang dirasakan oleh para pendukung
Obama. Tentu saja, faktor-faktor jangka pendek sangat penting dalam menentukan
kebehasilan Obama. Ekonomi yang sedang berada dalam krisis pada Oktober 2008,
dan perang-perang di Afganistan dan Irak, yang terakhir ini ditentang oleh Obama,
semakin tidak populer. Presiden yang sedanng menjabat saat itu, George W. Bush,
adalah presiden yang paling tidak populer sepanjang sejarah, dan meskipun adanya
usaha-usaha John McCain, kampanye McCain tidak mampu memecah asosiasi publik
tentang McCain dengan pemerintahan Bush.
E. Perumusan Media Dan Opini Publik
Orang-orang terbatas perihal waktu dan atensi yang bisa atau ingin diabdikan
untuk politik. Mereka mengandalkan media untuk memberitahukan kepada mereka
isu-isu mana yang memerlukan atensi dan dalam bentuk apa. Hal ini dirujuk sebagai
pengaturan agenda. Studi telah menyelidiki jumlah penerimaan isu yang dilaporkan
dan menemukan korelasi kuat antara kuantitas liputan dan kepentingan yang dikaitkan
oleh publik dengan isu-isu (McCombs & Shaw, 1972).
Penjelasan atas pola ini didasarkan pada konsep psikologi penyiapan
(priming). Karena isu-isu politik jumlahnya banyak dan luar biasa kompleks, orang-
orang memerlukan bantuan dalam memutuskan isu-isu mana yang penting dan aspek-
aspek mana dari isu-isu tersebut yang perlu diperhatikan. Media berita menyediakan
panduan tersebut melalui penyiapan, yaitu menunjukkan kepada publik elemen-
elemen mana yang penting dari isu-isu (Glynn et al., 1999; Iyengar & Kinder, 1987).
Ketika membuat keputusan sehari-hari, orang-orang cenderung satisfice (hanya
memenuhi tuntutan minimum yang diperlukan), yaitu mereka membuat keputusan
yang adekuat ketimbang secara optimal berdasarkan pada pertimbangan penuh atas
seluruh informasi yang relevan. Mereka juga melakukan hal ini ketika membuat
penilaian-penilaian politik. Sekali lagi media mamainkan suatu peran penting dalam
proses penyiapan, karena media menentukan isu-isu mana yang hadir pada bagian
terdepan. Liputan media dapat mempengaruhi kompleksitas kognitif evaluasi publik
tentang isu-isu. Milburn dan McGrail (1992) menemukan bahwa efek dari citra-citra
yang jelas dalam liputan berita adalah penurunan informasi yang diingat kembali oleh
penonton, serta penurunan kompleksitas kognitif pembahasan mereka tentang isu-isu
terkait.
Dalam sebuah argumen yang berkaitan, Patterson (1993) memerhatikan bahwa
para jurnalis beroperasi dengan skema yang berbeda dari skema yang digunakan oleh
para pemilih, yang pada gilirannya menghasilkan suatu pola tertentu dalam
perumusan isu-isu dan kandidat-kandidat pada saat berlangsungnya kampanye;
khususnya ia berpendapat, skema dominan para jurnalis “terstruktur disekitar
pemikiran bahwa politik merupakan sebuah permainan strategi, ketimbang ide-ide
yang berlawanan tentang isu-isu, kebijakan yang tepat, dan masalah prinsip. Di sisi
lain, publik berfungsi dengan skema yang memandang politik sebagai suatu arena
yang didalamnya kebijakan dibahas dan didalmnya para pemimpin dipilih yang akan
mencoba mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tertentu. Namun, Patterson
(1993) berpendapat bahwa karena skema permainan yang dimiliki oleh pers, fokus-
fokus berita mengubur dan mendistorsi substansi informasi yang disalurkan kepada
publik pada saat berlangsungnya kampanye.
Dalam sebuah demokrasi, seperti AS, salah satu masa terpenting yang
didalamnya media mungkin memengaruhi opini publik pada saat berlangsungnya
kampanye. Para kandidat menggunakan media sebagai bagian dari strategi kampanye
mereka untuk menyampaikan pesan kampanye, dan media juga melaporkan tentang
para kandidat, isu-isu, dan kampanye selaku pengamat independen. Dalam sebuah
studi terakhir tentang pemilihan umum 1992, Beck, Dalton, Greene, dan Huckfeldt
(2002) menemukan bahwa tidak ada pola bias yang jelas. Bahkan, mereka
berpendapat bahwa “kapanpun ada favoritesme keanggotaan partisan dalam laporan
atau editorial berita, tampaknya kecil pada kebanyakan kasus. Mayoritas orang yang
terespos acara televisi menerima pesan-pesan yang mendekati keseimbangan merata;
sama halnya, bias-bias dalam liputan surat kabar sering kali sedikit”. Mereka juga
menemukan bahwa orang-orang yang sangat partisipan memersepsikan suatu bias
yang menentang kandidat-kandidat yang mereka sukai, bahkan ketika tidk ada bias
yang demikian.
F. Sosialisasi Politik
Studi-studi awal sosialisasi berfokus pada anak-anak. Studi-studi dilakukan
menyangkut pandangan mereka tentang figur-figur otoritas politik dan menyangkut
perolehan sikap-sikap politik mereka. Figur-figur otoritas pertama yang dikenali oleh
anak-anak, sejalan dengan mereka menyadari politik, adalah presiden dan polisi
(Easton & Dennis, 1973). Seiring anak-anak menjadi dewasa, kemampuan kognitif
mereka meningkat, dan pemikiran mereka tentang pemerintah dapat meningkat dari
istilah-istilah yang kongkret secara pribadi (misalnya, George Washington dan
bendera) ke gagasan-gagasan yang lebih abstrak, seperti institusi dan legislatif. Easton
& Dennis, (1973) berpendapat bahwa anak-anak melalui tahap-tahap sosialisasi
politik, yaitu:
a. Politisasi, yaitu belajar bahwa ada otoritas diluar keluarga dan sekolah;
b. Personalisasi, yaitu menjadi dasar akan otoritas, melalui individu-individu seperti
polisi dan presiden;
c. Idealisasi, yaitu keyakinan bahwa otoritas politik dapat dipercaya dan penuh
kebaikan;
d. Institusionalisasi, yaitu asosiasi dengan objek-objek yang mengalami
depersonalisasi, seperti pemerintahan.
Jennings dan Niemi (1974), misalnya menemukan bahwa para orang tua
menstransmisikan keanggotaan partisan kepada anak-anak mereka, meskipun
kelekatannya cenderung lebih lemah pada anak-anak mereka. Studi-studi sosialisasi
awal menyelidiki anak-anak justru karena mereka berfikir bahwa sosialisasi selesai
pada usia kira-kira 18 tahun, dan iulah sikap-sikap yang dipertahankan sepanjang
siklus kehidupan.
Para penulis juga menawarkan beberapa cara untuk “menciptakan kembali
sosialisasi sebagai suatu area studi yang dapat terus hidup dan bersemangat”, yaitu
dengan cara:
1. Untuk banyak tujuan, lenyapnya apa yang merupakan perbedaan asrtifisial antara
mereka yang berusia dibawah 18 tahun dan mereka yang berusia 18 tahun dan
selanjutnya
2. Jalankan studi sosialisasi baru yang besar, yang dicurahkan sacara khusus bagi
studi tentang perubahan dan perkembangan antargenerasi dan masa muda.
3. Lakukan lebih banyak studi besar tentang masa muda dan lebi banyak melibatkan
diri dalam studi-studi baru pada tahap desain.
4. Lebih menaruh perhatian pada kelas-kelas sekolah menengah (high school) dan
perguruan tinggi (college) dan efek-efek yang dimungkinkan terhadap orang-
orang muda.
5. Berfikir lebih teorotis dan menulis tentang semua aspek sosialisasi.
6. Lakukan lebih banyak penelitian sosialisasi komparatif, terutama jika penelitian
ini berkontribusi bagi pemahaman kita tentang signifikan pembelajaran pada masa
awal kanak-kanak.
Dalam penelitian lain, Sigel (1995) menunjukkan bahw ada empat masalah pada
penelitian sosialisasi yaitu, kurangnya jelelasan konseptual, buruknya pemilihan
subjek, kurangnya atensi terhadap faktor-faktor historis dan budaya, serta metodologi
yang tidak tepat.
G. Toleransi Politik
Studi-studi menunjukkan suatu peningkatan toleransi antara 1954 dan 1973,
ketika studi besar lain (Nunn, Crockett, & Williams, 1978), sebagai usaha replika
terhadap studi Stouffer, dilakukan. Kini, 52% akan mengizinkan seseorang yang
mengaku komunis untuk berbicara di depan umum, dan 65% akan membiarkan
seorang ateis untuk berbicara. Akan tetapi, Sullivan, Piereson, dan Marcus
(1979,1982) berpendapat bahwa, meskipun toleransi terhadap komunis, ateis, dan
sosialis meningkat, hal ini mungkin hanya merupakan hasil dari berkurangnya
persepsi ancaman dari kelompk-kelompok ini.
Sullivan et al. (1982) pada dasarnya membuat suatu argumen bahwa toleransi,
atau kekurangannya, merupakan suatu posisi politik yang terdorong terutama oleh
emosi, ketimbang kognisi. Seseorang hanya dapat menguji tingkat toleransi dengan
mengamati sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok yang tidak disukai oleh
seseorang. Dengan demikian, seseorang yang berada diujung kiri spektrum politik,
yang mengekspresikan suatu keinginan untuk memberikan kebebasan perseorangan
kepada seorang komunis, mungkin tidak mengekspresikan toleransi, karena orang
tersebut sejak awal tidak menyukai para komunis.