Post on 05-Oct-2021
PELAKSANAAN KESELAMATAN PASIEN DI INSTALASI
RAWAT INAP RUMAH SAKIT METHODIST KOTA
MEDAN TAHUN 2019
SKRIPSI
Oleh
PUTRI ASINA YOHANA
NIM. 151000523
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PELAKSANAAN KESELAMATAN PASIEN DI INSTALASI
RAWAT INAP RUMAH SAKIT METHODIST KOTA
MEDAN TAHUN 2019
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
PUTRI ASINA YOHANA
NIM. 151000523
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
Telah diuji dan dipertahankan
Pada tanggal : 3 September 2019
TIM PENGUJI SKRIPSI
Ketua : dr. Fauzi, S.K.M.
Anggota : 1. Roymond H. Simamora, S.Kep., Ners., M.Kep.
2. Puteri Citra Cinta Asyura Nasution, S.K.M., M.P.H.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
Pernyataan Keaslian Skripsi
Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul
“Pelaksanaan Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Methodist Kota Medan Tahun 2019” beserta seluruh isinya adalah benar karya
saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-
cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat
keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam
daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang
dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap
etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian
karya saya ini.
Medan, September 2019
Putri Asina Yohana
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
Abstrak
Rumah sakit merupakan tempat perawatan kesehatan yang memiliki pelayanan
kesehatan yang sangat kompleks. Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 menyebutkan bahwa setiap fasilitas
pelayanan kesehatan harus menyelenggarakan keselamatan pasien. Rumah sakit
wajib melakukan akreditasi dan keselamatan pasien adalah salah satu indikatornya.
Namun berdasarkan data dari Tim Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien dan Tim
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi pada tahun 2018 pelaksanaan sasaran
keselamatan pasien di Rumah Sakit Methodist Kota Medan masih ada yang belum
mencapai standar yang ditetapkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pelaksanaan keselamatan pasien setelah dilakukan akreditasi. Jenis penelitian
adalah kualitatif dengan desain fenomonologi. Penentuan informan menggunakan
purposive sampling, yaitu sebanyak 11 orang. Data diperoleh melalui wawancara
mendalam, observasi dan telaah dokumen. Proses analisa data dilakukan dengan
metode Colaizzi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan jumlah
perawat sudah cukup, kemampuan perawat dalam melakukan keselamatan pasien
sudah cukup baik, sarana dan prasarana masih ada yang belum tersedia.
Pemenuhan regulasi sudah lengkap, sosialisai dan pelatihan belum dilakukan
secara berkala dan berkesinambungan. Hambatan dalam pelaksanaan keselamatan
pasien adalah tenaga kesehatan masih kurang taat, kurang kesadaran dan kurang
motivasi. Pelaksanaan komunikasi masih ada yang belum sesuai metode SBAR
dan TBaK, belum disiplin melakukan penandaan lokasi operasi, masih ada
petugas kesehatan cuci tangan belum sesuai 6 langkah dan five moment.
Pencapaian sasaran keselamatan pasien belum maksimal karena pelaksanaannya
masih ada yang belum sesuai dengan standar. Saran bagi rumah sakit untuk
melakukan penyediaan sarana prasarana dan meningkatkan komitmen pimpinan
beserta semua petugas. Bagi Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit untuk
memberikan sosialisasi secara rutin dan memberikan penghargaan atau sanksi bagi
petugas kesehatan dalam melakukan patient safety.
Kata kunci: Sasaran keselamatan pasien, rumah sakit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
Abstract
The hospital is a place of health care that has complex health services. Indonesia
Minister of Health policy regulations number 11 on 2017 states that each health
service facility must maintain patient safety. Hospitals must carry out
accreditation and patient safety is one of the indicators. However, based on data
from the Tim Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien and Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi in 2018 the implementation of patient safety targets at the
Medan City Methodist Hospital still has not reached the set standards. The
purpose of this research was to determine the implementation of patient safety
after accreditation has done. This type of research is qualitative with a
phenomenological design. Determination of informants using purposive sampling,
namely as many as 11 people. Data obtained through interviews, observations,
and document review. The process of analyzing data is done by the Colaizzi
method. The results showed that the availability of nurses was sufficient, the
ability of nurses in patient safety was quite good, facilities and infrastructure were
still not available. Compliance with regulations is complete, socialization and
training have not been conducted regularly and on a continuous basis. The
obstacle in patient safety is that health workers are still lacking in obedience and
less of motivation. The implementation of communication is not in accordance
with the SBAR and TBaK methods, not yet disciplined in marking locations, there
are still health workers washing their hands not appropriate according to six steps
and five moments. Achievement of patient safety goals is not optimal because there
are still implementation that is not as it should be. Advice for hospitals to provide
infrastructure, and increase the commitment of the leadership and all officers. For
the Hospital Patient Safety Team to provide regular outreach and provide awards
or sanctions for health workers in conducting patient safety.
Keywords: Hospital, patient safety goals
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang bejudul “Pelaksanaan Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Methodist Kota Medan Tahun 2019”. Skripsi ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Selama penyusunan skripsi ini mulai dari awal hingga akhir penulis telah
mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-
besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes. selaku Ketua Departemen Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
4. dr. Fauzi, S.K.M. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu,
memberikan bimbingan, saran, masukan dan arahan kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Roymond H. Simamora, S.Kep., Ners, M.Kep. selaku dosen penguji I (satu)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
dan Puteri Citra Cinta Asyura Nasution S.K.M., M.P.H. selaku dosen penguji
II (dua) yang telah memberikan masukan dan kritikan untuk kesempurnaan
skripsi ini.
6. Umi Salmah, S.K.M., M.Kes. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah
membimbing penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kesehatan
Masyarakat USU.
7. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU yang telah banyak membantu dan
memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.
8. dr. Hendra W. Djuang, MARS selaku Direktur Rumah Sakit Methodist Medan
yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian
dan memberikan informasi data untuk kelancaran skripsi ini.
9. Teristimewa untuk orang tua (Togar Manullang dan Merly Simamora) yang
telah memberikan doa, kasih sayang yang begitu besar, kesabaran dalam
mendidik dan memberi dukungan kepada penulis.
10. Terkhusus untuk saudara dan saudari (Christian Hizkia, Widya Raitina dan
Timothy Exaudi) yang selalu mendoakan dan memberi dukungan kepada
penulis.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyajian
skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk
perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa selalu
memberikan rahmat dan kasih-Nya kepada semua pihak yang telah membantu dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
mendukung penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan kontribusi yang positif terutama dalam kemajuan ilmu pengetahuan
dan bermanfaaat bagi pembaca.
Medan, September 2019
Putri Asina Yohana
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
Daftar Isi
Halaman
Halaman Persetujuan i
Halaman Penetapan Tim Penguji ii
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xii
Daftar Lampiran xiii
Daftar Istilah xiv
Riwayat Hidup xv
Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 9
Tujuan Penelitian 9
Tujuan umum 9
Tujuan khusus 9
Manfaat Penelitian 10
Tinjauan Pustaka 12
Keselamatan Pasien (Patient Safety) 12
Definisi keselamatan pasien 12
Tujuan keselamatan pasien 13
Manfaat program keselamatan pasien 13
Standar keselamatan pasien 14
Sasaran keselamatan pasien 15
Sembilan solusi keselamatan pasien 20
Langkah-langkah keselamatan pasien 22
Insiden Keselamatan Pasien 24
Sistem Pelaporan Insiden 24
Alur pelaporan insiden secara internal 25
Alur pelaporan insiden secara eksternal 26
Rumah Sakit 26
Definisi rumah sakit 26
Tugas dan fungsi rumah sakit 26
Pengkategorisasian rumah sakit kelas C 27
Akreditasi Rumah Sakit 30
Pendekatan Secara Komprehensif dalam Mengkaji Keselamatan Pasien 31
Landasan Teori 35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
x
Kerangka Berpikir 37
Metode Penelitian 39
Jenis Penelitian 39
Lokasi dan Waktu Penelitian 39
Lokasi penelitian 39
Waktu penelitian 39
Subjek Penelitian 40
Definisi Konsep 40
Metode Pengumpulan Data 42
Instrumen penelitian 42
Metode Analisis Data 43
Hasil Penelitian dan Pembahasan 45
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 45
Karakteristik Informan 47
Pelaksanaan Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap 48
Rumah Sakit Methodist
Tema 1. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan keselamatan pasien 48
Tema 2. Melakukan komunikasi yang efektif 64
Tema 3. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang 74
benar, dan pembedahan pada pasien yang benar
Tema 4. Risiko infeksi akibat perawatan kesehatan 81
Tema 5. Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien 88
Keterbatasan Penelitian 94
Kesimpulan dan Saran 95
Kesimpulan 95
Saran 96
Daftar Pustaka 98
Lampiran 103
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xi
Daftar Tabel
No. Judul Halaman
1 Informan Penelitian 40
2 Data Sumber Daya Manusia di Rumah Sakit Methodist 47
3 Karakteristik Informan Penelitian 47
4 Hasil Observasi Sarana Prasarana Keselamatan Pasien 54
5 Hasil Observasi Dokumen Regulasi Keselamatan Pasien 57
6 Hasil Observasi Pelaksanaan Komunikasi Efektif 72
7 Hasil Observasi Pelaksanaan Verifikasi Pra-Operasi 78
8 Hasil Observasi Pelaksanaan Penandaan Lokasi Operasi 80
9 Hasil Observasi Pelaksanaan Cuci Tangan 85
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xii
Daftar Gambar
No. Judul Halaman
1 The Swiss Cheese Odel menurut James Reason 36
2 Kerangka berpikir 37
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiii
Daftar Lampiran
Lampiran Judul Halaman
1 Pedoman Wawancara 103
2 Pedoman Observasi 105
3 Dokumentasi Sarana Prasarana Keselamatan Pasien 108
4 Dokumentasi Bukti Pelaksanaan Keselamatan Pasien 115
5 Dokumentasi Wawancara dengan Informan 117
6 Matriks Wawancara 120
7 Hasil Wawancara kepada Informan 137
8 Surat Penelitian ke Rumah Sakit Methodist 149
9 Surat Selesai Penelitian dari Rumah Sakit Methodist 150
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiv
Daftar Istilah
AIDS Acquired Immuno Defeciency Syndrome
Depkes Departemen Kesehatan
IOM Institute of Medicine
KARS Komisi Akreditasi Rumah Sakit
KKPRS Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
KNC Kejadian Nyaris Cedera
KP Keselamatan Pasien
KPC Kejadian Potensi Cedera
KTC Kejadian Tidak Cedera
KTD Kejadian Tidak Diharapkan
LASA Look Alike Sound Alike
NORUM Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip
PMKP Panitia Mutu Keselamatan Pasien
PPI Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
RCA Root Cause Analysis
RS Rumah Sakit
SKP Standar Keselamatan Pasien
SNARS Standar Akreditasi Nasional Rumah Sakit
TKPRS Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
WHO World Health Organization
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xv
Riwayat Hidup
Penulis bernama Putri Asina Yohana berumur 21 tahun, dilahirkan di
Doloksanggul pada tanggal 4 Desember 1997. Penulis beragama Kristen Protestan,
anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Togar Simanullang dan
Ibu Merly Simamora.
Pendidikan formal dimulai di sekolah dasar di SD Swasta Santa Maria
Doloksanggul Tahun 2003-2009, sekolah menengah pertama di SMP Swasta
S.R.O. Matiti Tahun 2009-2012, dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2
Lintongnihuta Tahun 2012-2015, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di
Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Medan, September 2019
Putri Asina Yohana
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
Pendahuluan
Latar Belakang
Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit menyediakan
jasa pelayanan perawatan kesehatan yang sangat kompleks, efektif dan terdiri dari
berbagai disiplin ilmu. Keadaan pelayanan perawatan kesehatan yang kompleks
apabila tindakan tidak dilakukan sesuai dengan yang seharusnya dan sistem
pelayanan yang tidak baik akan menimbulkan kesalahan dan dapat mencederai
pasien. Pasien mencari fasilitas pelayanan kesehatan mengharapkan kesembuhan
dan mendapat perawatan kesehatan yang lebih aman dan bebas dari cedera.
Rumah sakit menyediakan perawatan kesehatan yang berkualitas dan
mengupayakan keamanan, keselamatan pasien, pengunjung dan petugas
(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 4 Tahun 2018). World
Health Organization (2016) mengemukakan bahwa saat ini berfokus kepada
keselamatan pasien dan memprioritaskanya sebagai masalah kesehatan dengan
menerapkan keselamatan pasien agar pasien dan mereka yang merawatnya
memililki keyakinan bebas dari bahaya di dalam setiap sistem perawatan
kesehatan.
Program keselamatan pasien menjadi masalah global berawal dari
penelitian The Harvad Medical Practice Study I di Amerika Serikat (Cahyono,
2008). Riset yang dilakukan Brenan dkk tahun 1984 The Harvad Medical Practice
Study I di New York pada 30.121 catatan medis responden dari 51 rumah sakit
ditemukan angka Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) 3,7% pada pasien rawat inap
yang 27,6% diantaranya akibat kelalaian dan KTD yang dapat dicegah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
sebesar 58%. Riset yang dilakukan terkait insiden dalam praktik kedokteran yang
representatif baik hingga saat ini yaitu penelitian di Utah dan Colorado tahun
1992, dan di Australia tahun1992 termasuk The Harvad Medical Practice Study I
(Cahyono, 2008). Berdasarkan pada penelitian Utah and Colorado Study, Harvad
Medical Practice Study, dan Quality in Australian Health Care Study, penelitian
ini dilakukan pada 14.700-30.121 catatan medis, insiden KTD tertinggi terjadi di
New South Wales dan Australia Selatan, New York dan terendah di Utah dan
Colorado. Risiko terjadi insiden tidak diharapkan pada pasien di rawat inap
sebesar 2,9% sampai 16,6%, dan dampak yang diakibatkan KTD memiliki risiko
meninggal 4,9 sampai 13,6% dan mengalami cedera permanen risikonya 2,6
sampai 8,9%. Kejadian tidak diharapkan disebabkan faktor kelalaian berkisar
antara 27 sampai 32,6% dan 51 sampai 58% KTD dapat dicegah. Kenyataan dari
peristiwa yang terjadi inilah mendorong munculnya gerakan keselamatan pasien
(Brenan, 1991; Leape, 1991; Thomas, 2000; Wilson, 1995).
Laporan masalah kesehatan yang dibuat Institute of Medicine (IOM) tahun
1999 membuat estimasi bahwa kematian pada pasien rawat inap mencapai jumlah
tertinggi yaitu 44.000 sampai 98.000 orang akibat kesalahan medis, dibandingkan
dengan kecelakaan jalan raya sebanyak 43,458 orang, akibat kanker payudara
sebanyak 42.297 orang dan penyakit AIDS sebanyak 16.516 orang yang terjadi
setiap tahunnya di rumah sakit Amerika Serikat (Institute of Medicine, 2000). Riset
yang dilakukan Hogan dkk. (2015) di rumah sakit Inggris tahun 2009, 2012 dan
2013 proporsi kematian yang dapat dicegah adalah 3,6% pada 100 kematian di
rumah sakit. Riset yang dilakukan Makary dan Daniel (2016) tingkat kematian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
rata-rata akibat kesalahan medis sebesar 251.454 dalam setahun dan
memperkirakan kesalahan medis adalah penyebab terbesar ketiga kematian di
Amerika Serikat sehingga membutuhkan perhatian yang lebih besar. Penelitian
yang dilakukan Robb, Loe, Maharaj, Hamblin, dan Seddon (2017) di New Zealand
menemukan 28% pasien mengalami satu atau lebih bahaya terkait obat dan akibat
lama hari perawatan dan bahaya (65%) terjadi selama rawat inap.
Menurut National Patient Safety Foundation (2015) setelah 15 tahun
terakhir munculnya laporan To Err is Human yang dibuat oleh Institute of
Medicine, keselamatan pasien saat ini sudah mengarah pada peningkatan dari
tahun sebelumnya. Pendapat ini dikemukakan oleh para ahli dengan adanya
perawatan kesehatan masa kini lebih aman daripada masa lalu. Dibuktikannya
dengan terdapat berbagai kemajuan positif seperti pembuatan standar, peningkatan
keamanan obat, dan upaya untuk meningkatkan budaya keselamatan pasien.
Namun, keselamatan pasien masih awal dalam evolusinya perlu dilakukan
reformasi sistem perawatan kesehatan. Meningkatkan keselamatan pasien adalah
masalah kesehatan masyarakat yang kompleks dan serius karena memiliki
tantangan yang berkelanjutan sehingga membutuhkan pekerjaan dari berbagai
disiplin ilmu untuk dipecahkan, ditangani dengan respon lebih luas dan harus tetap
menjadi prioritas utama.
World Health Organization (2018) mengemukakan bahwa angka insiden
keselamatan pasien sanggat tinggi dibandingkan denggan angka kecelakaan pada
pesawat. Perbandingan yang dapat dilihat kemungkinan 1 dari 1 juta orang terluka
saat bepergian dengan pesawat dan 1 dari 300 pasien cedera selama mendapatkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
perawatan kesehatan. Fakta yang terjadi terkait perawatan kesehatan antara lain di
Negara berpenghasilan tinggi dirugikan saat menerima perawatan kesehatan
sebanyak 1 dari 10 pasien dan 50% kerugian dapat dicegah. Setiap tahun sekitar
3,2 juta pasien terinfeksi dari perawatan kesehatan di seluruh Uni Eropa dan
37.000 di antaranya meninggal.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) berinisiatif
membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit dan diterbitkannya panduan
nasional keselamatan pasien rumah sakit menjadi awal munculnya keselamatan
pasien (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Sistem pelaporan
terkait keselamatan pasien belum berjalan dengan baik sehingga data insiden
keselamatan pasien belum dapat ditentukan dengan tepat, namun diperkirakan
kasusnya melebihi kasus internasional dan ditemukan adanya peningkatan laporan
aduan malapraktik (Depkes RI, 2006). Berdasarkan penelitian Utarini (2011) dari
4.500 rekam medis yang dilakukan di 15 rumah sakit ruangan rawat inap
ditemukan angka KTD yang mempunyai variasi, yakni 4,1% sampai 91,6% akibat
kesalahan obat dan 8,0% sampai 98,2% akibat kesalahan diagnosis.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Indonesia tahun 2011
menemukan insiden KNC 18,35% dan KTD sebanyak 14,41% akibat proses klinik
9,26%, pasien jatuh 5,15% dan medikasi 9,26% (Wardhani, 2017). Data 5 tahun
terakhir total jumlah pengaduan terhadap ketidakpuasan kinerja profesi kedokteran
kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDI) pada tahun
2015-2017 total pengaduan sebanyak 154 aduan (Anggraeni, 2017).
Institusi rumah sakit menggunakan berbagai cara meningkatkan mutu pela-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
yanan kesehatannya, upaya yang dilakukan salah satunya menerapkan keselamatan
pasien yang dilakukan secara jelas dan terarah (Sabarguna, 2009). Akreditasi
Rumah Sakit yang dilakukan saat ini sudah berfokus terhadap pelayanan kepada
pasien. Rumusan tentang 6 Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) yang mengacu dari
Joint Commission International (JCI), yang menjadi standar di Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1 dibentuk oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit
(KARS) beserta Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan merumuskan (Komisi
Akreditasi Rumah Sakit, 2017). Berdasarkan dari hasil studi penelitian yang
dilakukan proses akreditasi yang berpusat pada pasien menjamin peningkatan
kualitas, keamanan suatu organisasi kesehatan, dan peningkatan kepuasan pasien.
Pelaksanaan akreditasi dapat meningkatkan kepemimpinan, sistem peningkatan
kinerja dan budaya keselamatan pasien yang dapat mengendalikan terjadinya
infeksi dan mengurangi terjadinya kejadian tidak diharapkan (Kim, 2011;
Mousavi, dkk, 2016; Frush, dkk, 2018)
Hasil penelitian yang dilakukan Keles, Kandou, dan Tilaar (2015) di
RSUD Dr. Sam Ratulangi Tondano menyatakan bahwa pelaksanaan setiap sasaran
keselamatan pasien telah berpedoman kepada standar akreditasi rumah sakit versi
2012 sedangkan pelaksanaan pengurangan risiko infeksi dan pasien jatuh belum
berpedoman kepada standar akreditasi rumah sakit versi 2012. Penelitian yang
dilakukan Dewi, Arso, Septo, Fatmasari, dan Eka (2019) di Rumah Sakit Wava
Husada menyatakan bahwa pelaksanaan tepat lokasi, prosedur benar, operasi pada
pasien yang benar berpedoman kepada standar operasional, sedangkan
pelaksanaan identifaksi pasien, komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan
obat-obatan yang perlu diwaspadai, pengurangan risiko infeksi dan pengurangan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
risiko pasien jatuh tidak berpedoman kepada standar operasional pelayanan yang
dimiliki. Beberapa fasilitas infrastruktur yang tidak segera diperbaiki atau diganti
dan kurangnya kesadaran dan komitmen perawat untuk memberikan pelayanan
sesuai yang ditetapkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pasaribu (2018) di Rumah Sakit
Santa Elisabeth hasil penelitian menyatakan bahwa pelaksanaan program
keselamatan pasien di ruang rawat inap belum berjalan dengan maksimal. Dilihat
dari kurangnya kepatuhan dan kesadaran perawat dalam melakukan pengecekan
gelang pasien, perawat yang masih lupa memberikan stempel readback, masih
banyak petugas medis dan non-medis yang kurang patuh dalam menjaga
kebersihan tangan pada saat sebelum dan sesudah memberikan tindakan kepada
pasien, belum dijalankannya metode asesmen risiko terhadap pasien rawat inap,
perawat tidak rutin diberikan pengarahan atau sosialisasi, serta masih ada sarana
yang belum tersedia.
Indonesia belum membudayakan keselamatan pasien dilihat dari rendahnya
laporan insiden keselamatan pasien. Berdasarkan data Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (KKPRS, 2011) jumlah laporan insiden berdasarkan provinsi
triwulan I di Provinsi Banten memiliki persentasi jumlah laporan insiden tertinggi
yaitu 23 insiden (67%), diikuti DKI Jakarta 5 insiden (15%), Lampung 3 insiden
(9%), terdapat 2 insiden (6%) tidak ada data, dan yang terakhir Provinsi Jawa
Timur 1 insiden (3%). Berdasarkan uraian data tersebut Provinsi Sumatera Utara
belum ada melaporkan data laporan insiden yang terjadi termasuk Kota Medan.
Berdasarkan data KKPRS pada tahun 2011 jumlah laporan insiden berda-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
sarkan kepemilikan RS pada triwulan I laporan insiden paling tinggi terdapat di
rumah sakit swasta 28 insiden (82%), rumah sakit pemerintah daerah 6 insiden
(18%), sedangkan rumah sakit pemerintah pusat, dan rumah sakit TNI/Polri tidak
ada terjadi insiden. Jumlah laporan insiden berdasarkan jenis RS Triwulan 1
insiden tertinggi terdapat di RS Umum 27 insiden (79%), RS Khusus 4 insiden
(12%) dan tidak ada data ada 3 insiden (9%). Berdasarkan daftar akreditasi rumah
sakit yang dibuat oleh KARS, Rumah Sakit Umum Methodist adalah salah satu
dari 4 rumah sakit umum swasta yang memiliki status akreditasi lulus Utama di
Kota Medan.
Berdasarkan data dari Laporan Triwulan dan Validasi Data PMKP Rumah
Sakit Umum Methodist Medan (Oktober-Desember 2018), Rumah Sakit Umum
Methodist Medan sudah menerapkan keselamatan pasien salah satunya sudah
melaksanakan sasaran keselamatan pasien dan ditemukan tiga dari 6 sasaran
keselamatan pasien berada dibawah standar (<100%) yang ditetapkan oleh rumah
sakit dan KARS. Rumah Sakit Umum Methodist ditemukan pernah terjadi insiden
yang terdata, terlihat dan terlaporkan yaitu ditemukan pasien yang tidak
dipasangkan gelang identitas karena perawat lupa dan kesalahan memberikan dosis
obat kepada pasien. Rumah Sakit Methodist merupakan rumah sakit kelas C dan
memiliki daya tampung 124 tempat tidur.
Berdasarkan survei pendahuluan dengan telaah dokumen di Rumah Sakit
Methodist Tim Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) adalah organisasi
yang terkait di dalam pelaksanaan keselamatan pasien di Rumah Sakit Methodist
dan bertanggung jawab langsung kepada direktur yang dibentuk pada tahun 2018.
Pencapaian Standar Keselamatan Pasien (SKP) berdasarkan indikatornya antara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
lain kepatuhan dokter dan kepatuhan perawat dalam melakukan identifikasi pasien
secara benar (100%), memverifikasi perintah pada kedatangan pertama ≤ 24 jam
(65,23 %), kepatuhan pelabelan obat high alert dan obat LASA (100%), kepatuhan
pelaksanaan lokasi yang benar, tepat prosedur, pemberian tanda operasi dan
pasien operasi yang benar (72,03), kepatuhan perawat rawat inap dalam
melakukan hand hygiene (69%) dan insiden pasien jatuh selama perawatan rawat
inap (0%).
Berdasarkan data dari Laporan Pelaksanaan Program PPI Rumah Sakit
Umum Methodist Medan Triwulan I Periode Januari sampai dengan Maret 2019
ketersediaan fasilitas kebersihan tangan masih ditemukan adanya tisu yang
kosong, sabun cair kosong, dan wastafel belum bebas dari peralatan yang tidak
tepat seperti sampah. Perawat, dokter, dan tenaga lainnya seperti petugas
kebersihan masih belum patuh untuk mencuci tangan dengan hand sanitizer
sebelum ataupun sesudah memberikan tindakan kepada pasien. Berdasarkan
laporan monitoring dan evaluasi bulan November-Desember tahun 2018 tentang
kepatuhan pengisian surgery safety checklist di kamar bedah sebagian perawat
belum tepat dalam melakukan pengisian. Ditemukan beberapa dokter bedah dan
dokter anestesi lupa menandatangani surgery safety checklist.
Pelaksanaan keselamatan pasien terkait monitoring dan evaluasi belum
maksimal dilakukan karena kurangnya komitmen dalam melakukannya dan belum
menjadikannya sebagai prioritas. Sistem pelaporan keselamatan pasien juga belum
berjalan maksimal karena belum ada tim khusus untuk mengerjakannya,
kurangnya sosialisasi sehingga mengakibatkan minimnya data pelaporan insiden,
namun sudah memiliki regulasi. Rumah Sakit Methodist juga telah mengupayakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
pelaksanaan keselamatan pasien dengan melakukan sosialisasi, pelatihan,
membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit dan adanya dokumen regulasi
terkait pelaksanaan keselamatan pasien.
Hasil dari pengamatan, wawancara, dan data yang diperoleh ditemukan
pernah terjadi insiden dan pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di rumah sakit
(<100%) belum memenuhi standar yang ditetapkan. Rumah sakit diwajibkan
melakukan akreditasi dan pelaksanaan keselamatan pasien adalah salah satu
indikatornya. Namun dalam pelaksanaanya belum mencapai standar yang
ditetapkan sehingga mendorong peneliti untuk menganalisis tentang sejauh mana
“Pelaksanaan Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Methodist
Tahun 2019”.
Perumusan Masalah
Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien belum mencapai standar yang
ditetapkan oleh rumah sakit. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang
menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan
keselamatan pasien di instalasi rawat inap Rumah Sakit Methodist Kota Medan
Tahun 2019.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum. Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran pelaksanan keselamatan pasien di instalasi rawat inap
Rumah Sakit Methodist Kota Medan Tahun 2019.
Tujuan Khusus. Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan keadaan sumber daya manusia di instalasi rawat inap Rumah
Sakit Methodist
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
2. Mendeskripsikan ketersediaan sarana prasarana di instalasi rawat inap Rumah
Sakit Methodist
3. Mendeskripsikan ketersediaan kebijakan dan prosedur di instalasi rawat inap
Rumah Sakit Methodist
4. Mendeskripsikan penerapan komunikasi efektif di instalasi rawat inap Rumah
Sakit Methodist
5. Mendeskripsikan penerapan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang
benar, dan pembedahan pada pasien yang benar di instalasi rawat inap Rumah
Sakit Methodist
6. Mendeskripsikan penerapan pengurangan risiko infeksi akibat perawatan
kesehatan di instalasi rawat inap Rumah Sakit Methodist
7. Mengetahui pencapaian sasaran keselamatan pasien di instalasi rawat inap
Rumah Sakit Methodist
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi Rumah Sakit. Menjadi bahan pertimbangan dan informasi bagi pihak ru-
mah sakit agar pelaksanaan keselamatan pasien rumah sakit khususnya ruang
rawat inap dilaksanakan sesuai standar untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan.
2. Lingkungan Akademik. Menjadi sumber informasi dan bahan rujukan oleh
peneliti selanjutnya dalam memperkaya studi mengenai penyelenggaraan
program keselamatan pasien di ruang rawat inap.
3. Bagi Peneliti. Menjadi media dalam mengaplikasikan teori dan ilmu yang
diterima selama mengikuti pendidikan di Program Sarjana Universitas
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
Sumatera Utara serta mengembangkan wawasan, penalaran dan pengalaman
penelitian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
Tinjauan Pustaka
Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Definisi keselamatan pasien. Acuan dalam melakukan perawatan
kesehatan dengan tidak mencederai dan menyebabkan kerugian kepada pasien
serta dijadikan standar meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit merupakan
definisi keselamatan pasien (Simamora, 2018). Keselamatan pasien adalah bebas
dari kelalaian akibat tidak mengerjakan kegiatan yang seharusnya atau
mengerjakan kegiatan yang tidak seharusnya dilakukan dan suatu bentuk
pertanggungjawaban rumah sakit kepada pasien dan masyarakat untuk
menciptakan kondisi yang aman (Wardhani, 2017).
World Health Organization patient safety mengemukakan keselamatan
pasien adalah kondisi aman dari insiden yang tidak dapat dicegah selama proses
perawatan kesehatan pasien (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Keselamatan pasien merupakan penerapan penyelesaian untuk mengurangi
timbulnya risiko dan mencegah timbulnya cacat yang disebabkan oleh kelalaian
akibat tidak mengerjakan kegiatan yang seharusnya atau mengerjakan kegiatan
yang tidak seharusnya dikerjakan serta suatu metode yang melakukan perawatan
pasien bebas dari cedera, yang terdiri dari identifikasi dan pengelolan risiko,
asesemen risiko, analisis insiden dan pelaporan, mempelajarinya dan melakukan
langkah selanjutnya (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 11
Tahun 2017). Keselamatan pasien yaitu terhindar dari kejadian yang dapat dicegah
atau yang mungkin akan terjadi (cedera fisik/sosial/psikologis, penyakit, kematian,
cacat dll), dan keadaan pasien aman di dalam perawatan kesehatan yang diberikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
rumah sakit (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2015)
Metode perawatan pasien bebas dari cedera yang terdiri dari pengelolan
keadaan pasien yang membahayakan dan identifikasi, asesemen risiko, analisis
insiden dan pelaporan, keterampilan mempelajari insiden dan melakukan langkah
selanjutnya serta penerapan penyelesaian untuk mengurangi terjadinya keadaan
yang merugikan pasien serta untuk mengurangi timbulnya risiko dan mencegah
timbulnya cacat yang disebabkan oleh kelalaian akibat tidak mengerjakan
kegiatan yang seharusnya atau mengerjakan kegiatan yang tidak seharusnya
dikerjakan merupakan definisi dari keselamatan pasien rumah sakit (Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2015).
Tujuan keselamatan pasien. Mengembangkan pertangggungjawaban
rumah sakit kepada pasien dan masyarakat, menciptakan kebiasaan melakukan
keselamatan pasien, terselanggaranya rencana penanggulangan untuk
menanggulangi terjadinya terjadinya insiden, dan mengurangi angka Kejadian Tak
Diharapkan merupakan tujuan penerapan sistem keselamatan pasien (Simamora,
2018).
Manfaat program keselamatan pasien. Rumah sakit menerapkan
program keselamatan pasien memberikan berbagai manfaat antara lain:
1. Industri yang menawarkan “Green Product” atau produk yang aman dalam
berbagai transaksi akan menjadi produk yang laris dan dicari masyarakat;
2. Perusahaan dan asuransi menetapkan rumah sakit yang menerapkan
keselamatan pasien sebagai penyedia kesehatan bagi karyawan atau mereka,
juga sama seperti halnya keinginan masyarakat dalam mencari rumah sakit
yang aman;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
3. Kewajiban rumah sakit memberikan perawatan kesehatan dengan aman yang
dinilai melalui proses akreditasi.
Standar keselamatan pasien. Rumah sakit wajib menerapkan standar
keselamatan pasien dan pemberian nilai menggunakan Instrumen Akreditasi
Rumah Sakit (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Uraian tujuh
standar keselamatan pasien menurut Priyoto dan Widyastuti (2014) adalah sebagai
berikut:
1. Hak Pasien
Kewenangan pasien dan keluarganya memperoleh penjelasan terkait
rancangan dan hasil perawatan terkait peluang timbulnya insiden merupakan hak
pasien.
2. Mendidik pasien dan keluarga
Ilmu yang dibutuhkan oleh pasien dan keluarga saat perawatan kesehatan
ataupun ilmu yang diperlukan sesudah pasien pulang ke rumah atau pergi ke
pelayanan kesehatan lain merupakan pendidikan pada pasien dan keluarga dengan
standar membimbing pasien dan keluarganya terkait tanggung jawab dan
kewajiban pasien selama perawatan pasien yang diberikan rumah sakit.
3. Kontinuitas pelayanan dan keselamatan pasien
Kontinuitas pelayanan yang dilakukan kepada pasien dan yang
memerlukan bantuan diberikan secara berkelanjutan atau bersifat terus menerus
dengan standar mempertahankan pengorganisasian diantara unit dan tenaga
pelayanan dan kontinuitas pelayanan.
4. Menggunakan sistem peningkatan kemampuan untuk melaksanakan evaluasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
dan rencana meningkatkan keselamatan pasien
Meningkatkan kinerja dan keselamatan pasien oleh rumah sakit
menggunakan metode CARL (Capabilty, Accesibility, Readness, Leverage), Feed
Back/Timbal Balik, dan Follow Up/Tindak Lanjut melalui standar membuat sistem
baru atau membenahi proses, mengawasi dan menilai kinerja dengan
mengumpulkan data, analisis insiden secara mendalam, dan melaksanakan
transformasi untuk mengembangkan keselamatan pasien beserta kinerjanya.
4. Peran pemimpin di dalam mengembangkan keselamatan pasien
Pemimpin menggerakkan dan mempertahankan pelaksanaan keselamatan
pasien secara terpadu dengan melaksanakan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien di Rumah Sakit.
5. Mendidik pekerja terkait keselamatan pasien
Mempunyai prosedur pendidikan, penyesuaian dan pelatihan untuk setiap
jabatan terkait keselamatan pasien merupakan standar mendidik pekerja.
6. Komunikasi adalah kunci pada pekerja demi tercapainya keselamatan pasien
Standar pelaksanaan komunikasi adalah rumah sakit memprogramkan dan
membuat prosedur administrasi informasi keselamatan pasien demi melengkapi
keperluan informasi eksternal dan internal.
Sasaran keselamatan pasien. Sasaran keselamatan pasien di rumah sakit
dilakukan untuk menggerakkan pemeriksaan dengan jelas pada komponen yang
bermasalah terkait perawatan kesehatan dan menerangkan bukti serta
penyelesaiannya (Simamora, 2018). World Health Organization membentuk
sasaran keselamatan pasien sebagai pedoman lembaga akreditasi untuk menilai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
kinerja keselamatan pasien dan dibuat sebagai indikator sistem pelayanan
kesehatan yang lebih aman di rumah sakit (Wardhani, 2017).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 11 Tahun 2017
mengerakkan pembaruan spesifik merupakan tujuan pelaksanaan SKP. Menurut
Permenkes No. 11 tahun 2017 tentang keselamatan pasien uraian enam sasaran
meliputi:
Identifikasi pasien dengan benar. Mengidentifikasi pasien menjadi
individu yang memperoleh pengobatan atau pelayanan dan menyesuaikannya
merupakan tujuan sasaran ini. Regulasi dan proses didesain untuk memperbarui
prosedur identifikasi, terkhusus prosedur untuk identifikasi pasien saat
memberikan darah, obat, mengambil spesimen dan darah bagi pengamatan klinis
atau meganjurkan berobat atau perbuatan lainnya. Prosedur dan regulasi
mendeskripsikan pemakaian dua tanda berbeda di tempat yang berbeda, meliputi
pelayanan rawat jalan atau ambulatory, kamar operasi atau unit gawat darurat
termasuk identifikasi pasien koma.
Tindakan yang dilaksanakan antara lain pasien diidentifikasi tidak
memakai nomor ruangan atau tempat dan dengan pemakaian dua identitas.
Identifikasi pasien sebelum memberikan darah,dan obat. Identifikasi sebelum
menerima spesimen lain dan darah untuk pengamatan klinis. Identifikasi sebelum
memberikan tindakan dan obat.
Meningkatkan komunikasi yang efektif. Meminimalisir kesalahan dan
meningkatkan keselamatan pasien dilakukan dengan komunikasi yang akurat,
efekti, tepat waktu, jelas, lengkap dan dapat dimengerti penerima. Fasilitas
pelayanan kesehatan meningkatkan prosedur atau regulasi untuk perintah lisan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
lewat telepon dituulis komprehensif hasil pemeriksaan atau instruksi yang
diterima. Penerima membaca ulang hasil pemeriksaan atau instruksi dan
mengonfirmasi yang ditulis dan membaca ulang dengan benar untuk obat-obatan
(Look-Alike Sound, atau Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip) dilaksanakan
pengejaan kembali.
Tindakan yang dilaksanakan antara lain instruksi lisan hasil pemerikasaan
atau lewat telepon ditulis komprehensif untuk penerima. Instruksi lisan dan hasil
pemeriksaan atau melalui telepon secara menyeluruh dibaca ulang penerima.
Instruksi atau hasil pemeriksaan dilakukan konfirmasi oleh pemberi instruksi atau
hasil pemeriksaaan.
Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwsapadai.
Pelaksanaan manajemen obat yang tepat dilakukan agar menjamin keselamatan
pasien. Obat yang memiliki persentasi tinggi mengakibatkan timbulnya kesalahan,
begitu juga obat yang ucapan mirip/tampak mirip (NORUM atau LASA).
Pengembangan regulasi untuk membuat daftar obat yang perlu diwaspadai
dilakukan di instansi pelayanan kesehatan. Prosedur yang dilakukan identifikasi
tempat yang memerlukan elektrolit konsentrat menurut klinis seperti yang
diberlakukan sebagai acuan dan praktek professional di kamar operasi atau IGD,
serta ditetapkan proses memberikan label yang jelas serta penyimpanannya.
Tindakan yang dilakukan meliputi prosedur atau regulasi ditingkatkan su-
paya termuat cara mengidentifikasi, tempat, memberikan label, dan menyimpan
obat yang diwaspadai. Prosedur dan regulasi dilaksanakan. Elektrolit konsentrat
jika diperlukan menurut klinis diperbolehkan diletakkkan di unit pelayanan pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
Penyimpanan elektrolit konsentrat di unit pelayanan pasien diberikan label dengan
jelas, dan diletakkan di tempat yang dibatasi.
Memastikan lokasi pembedahan, prosedur, dan pembedahan pada pasien
yang benar. Kejadian yang dikuatirkan dan sering timbul di fasilitas pelayanan
kesehatan ialah salah lokasi, prosedur, dan pasien operasi. Hal ini diakibatkan
pasien tidak atau kurang dilibatkan saat menandai lokasi, tidak ada proses
memeriksa tempat operasi dan komunikasi tidak efektif. Pelaksanaan berupa bukti
dengan Surgical Safety Checklist penting diterapkan. Penandaan lokasi operasi
dengan pelibatan pasien dan tanda yang mudah diketahui. Tanda tersebut dipakai
dengan tetap, dan dilakukan oleh orang yang akan melakukan tindakan, pasien
dalam keadaan terbangun dan tersadar, dan lebih bagus jika dapat dilihat sampai
pasien akan diberi tindakan dan memakai selimut. Tujuan verifikasi pra-operatif
ialah memvalidasi pasien, lokasi, dan prosedur yang benar. Hasil pemeriksaan,
surat dan foto dapat dipastikan ada, dilakukan pelabelan, dan terpampang.
Mengecek keadaan alat khusus atau bahan yang diperlukan.
Sebelum tindakan dilakukan Time out dilaksanakan di lokasi tindakan akan
dilaksanakan. Tindakan yang dilaksanakan antara lain fasilitas pelayanan
digunakan tanda yang dapat dipahami dan jelas untuk mengidentifikasi tempat
operasi dan pelibatan pasien selama penandaan. Menchecklist atau cara lain
selama verifikasi pre-operasi tepat prosedur, pasien, dan lokasi dan semua berkas
serta alat yang dibutuhkan ada, fungsional dan tepat. Melakukan dan mencatat
proses sembelum time out sebelum dilakukan tindakan bedah oleh tim operasi.
Mengembanggkan prosedur dan regulasi untuk membantu pelakanaan tepat lokasi,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
prosedur, pasien serta proses medis dan pelaksanaan pengobatan gigi di luar kamar
operasi dilakukan secara seragam.
Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan. Mencegah dan
mengendalikan infeksi ialah hambatan praktisi pada banyak sistem pelayanan
kesehatan dan kekuatiran bagi pasien atau para professional asuhan perawatan
dalam meningkatkan dana untuk menangani infeksi terkait perawatan kesehatan.
Infeksi dalam pelayanan kesehatan yang sering dijumpai ialah infeksi di aliran
darah, saluran kemih (pemasangan kateter), dan pneumonia (terkait keadaan
ventilasi). Fokus pengurangan infeksi ialah melakukan cuci tangan yang benar.
WHO mengeluarkan pedoman hand hygiene sebagai acuan. Institusi pelayanan
kesehatan memiliki prosedur kerja sam tim untuk mengembangkan regulasi/proses
yang disesuaikan atau beracuan pada pedoman kebersihan tangan.
Tindakan yang dilaksanakan meliputi antara lain mengambil atau
menyesuaikan pedoman kebersihan tangan yang baru dibuat dan dipahami.
Program kebersihan tangan dilakukan dengan efektif. Mengembangkan prosedur
atau regulasi mencapai pengurangan risiko infeksi di dalam perawatan kesehatan.
Pengurangan risiko jatuh. Instansi layanan kesehatan butuh dilakukan
evaluasi risiko pasien jatuh dan melakukan tindakan pencegahan risiko cedera
apabila jatuh. Evaluasi terdiri dari telaah obat, riwayat jatuh, dan mengonsumsi
alkohol, alat bantu berjalan yang dipakai, serta pengamatan kepada gaya jalan dan
proporsi pasien.
Tindakan yang dilaksanakan terdiri dari penerapan prosedur asesmen awal
risiko dan dilakukan asesmen kembali pada pasien apabila muncul perubahan kon-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
disi. Melalukan prosedur yang ditetapkan bagi pasien yang berisiko.
Sembilan solusi keselamatan pasien. World Health Organization
membuat 9 (Sembilan) solusi keselamatan pasien untuk menjawab permasalahan
dan sasaran keselamatan pasien (Wardhani, 2017). Uraian Sembilan solusi
keselamatan pasien menurut Wardhani (2017) meliputi:
1. Perhatikan rupa, ucapan dan nama obat mirip
Identifikasi dan peringatan nama obat yang mirip dilakukan untuk
mengurangi potensi insiden dengan membuat daftar nama obat yang diidentifikasi
memiliki kemiripan penyebutan. Kebijakan untuk mencegah kesalahan akibat
kemiripan nama dan rupa obat diantaranya adalah menulis, mengeja nama obat,
dan mengkonfirmasikan kembali atau dengan memberikan penanda untuk
membedakan dan pelibatan pasien.
2. Identifikasi pasien
Kebijakan, prosedur, pendidikan dan pelatihan kepada staff merupakan
taktik untuk mencegah kesalahan identifikasi. Proses memastikan ketepatan
identitas pasien sejak awal dan mekanisme konfirmasi pada setiap titik dan transisi
pelayanan merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan.
3. Komunikasi benar saat serah terima
Panjangnya rantai sistem pelayanan kesehatan merupakan proses kompleks
yang melibatkan interaksi tahapan, sub sistem, petugas bahkan antar sistem
pelayanan menunjukkan banyaknya proses transisi yang diterima pasien dalam
satu episode perawatan dan meningkatkan risiko insiden.
4. Melakukan prosedur operasi yang tepat pada sisi (bagian tubuh) yang tepat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
Kesalahan sisi operasi merupakan kejadian sentinel dengan dampak
terberat. Solusi yang dapat dibuat adalah dengan membuat strategi dan kebijakan
keselamatan pembedahan kepada dokter operator, petugas, dokter operator, pasien,
dan Tim OK.
5. Kewaspadaan dan pengendalian penggunaan cairan elektrolit konsentrat tinggi
Insiden karena larutan elektrolit konsentrat tinggi merupakan salah satu
kejadian sentinel yang harus diwaspadai. Rumah sakit harus menetapkan kebijakan
penggunaan obat pada kondisi kegawatan yang memerlukan kecepatan.
6. Memastikan ketepatan pengobatan pada saat transisi pelayanan
Kesalahan pengobatan merupakan kejadian yang tidak diharapkan tertinggi
yang dapat terjadi disetiap tahapan pengobatan, mulai dari permintaan, penulisan
resep, penyerahan obat, pemberian obat pada pasien dan monitoring. Strategi yang
dilakukan adalah melakukan rekonsiliasi riwayat obat baik saat pasien masuk,
maupun keluar pada setiap titik pelayanan baik didalam organisasi maupun antar
organisasi dan adanya perlibatan pasien.
7. Menghindari kesalahan menghubungkan kateter (selang), syringe, dan tube
(kanul)
Kebijakan yang dibuat untuk mengurangi kesalahan adalah peraturan yang
melarang pasien, keluarga maupun petugas non klinis untuk memasang dan
melepas segala bentuk kanul, selang, dan syringe. Adanya penandaan dan
peringatan dipasang untuk cairan atau saluran yang bersifat risiko tinggi. Petugas
menerapkan prosedur cek dan ricek sebelum melepas dan memasang kembali
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
semua bentuk saluran. Setiap terjadi pemindahan pasien dilakukan kajian dan
rekonsiliasi secara tertulis yang ditransformasikan antar petugas.
8. Penggunaan injeksi sekali pakai
Strategi yang dapat diterapkan untuk menguranginya ada dua yaitu
penggunaan peralatan injeksi sekali pakai dan penerapan prosedur antiseptik.
Strategi tersebut dilengkapi dengan standar pengelolaan limbah peralatan injeksi.
Melibatkan pasien melalui pemberian informasi, komunikasi yang adekuat dan
peningkatan literasi serta keterlibatan pasien terbukti dapat meningkatkan praktik
pelayanan kesehatan yang lebih aman.
9. Penerapan prosedur hand hygiene untuk mencegah infeksi nosokomial
Infeksi nosokomial atau infeksi terkait pelayanan kesehatan menjadi
ukuran mutu pada pelayanan kesehatan. Salah satu strategi penting untuk
menghambat transmisi mikroba adalah dengan melakukan prosedur hand hygiene.
Langkah-langkah keselamatan pasien. The National Patient Safety
Agency (NPSA) mendukung penerapan keselamatan pasien dengan membuat tujuh
langkah menuju keselamatan pasien. Uraian tujuh langkah menuju keslamatan
pasien menurut Cahyono (2008) terdiri dari:
1. Membangun budaya keselamatan pasien
Organisasi yang kompak, acuan timbulnya tindakan di organisasi, dan
menggapai visi organisasi ialah fungsi dari budaya berunsurkan nilai atau
keyakinan. Memberikan laporan dan menyelidiki insiden tanpa menyalahkan,
melihat kesalahan secara sistem, bekerja secara tim, dan pelibatan pasien saat
mengambil keputusan medis merupakan maksud dari nilai dan keyakinan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
2. Pimpinan dan dukungan terhadap staf
Penggerak perubahan merupakan tanggung jawab seorang pimpinan.
Pemimpin membuat tujuan yang jelas dan kuat serta melibatkan setiap orang
tentang keselamatan pasien di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Integrasi aktivitas manajemen risiko
Proses manajemen melaksanakan pengidentifikasian kesalahan selama
perawatan, menyelidiki penyebabnya, menganalisis serta memastikan tindakan
pencegahan insiden merupakan manajemen risiko medis.
4. Membangun sistem pelaporan
Menetapkan skala pengutamaan penyelesaian masalah, belajar dari laporan,
mengevaluasi dan memonitoring program yang gagal atau berhasil merupakan
metode pelaporan yang baik dimana tepat waktu, tidak memberikan sanksi,
orientasi sistem, dan dianalisa para ahli.
5. Melibatkan dan berkomuniksi dengan pasien dan publik
Komunikasi efektif antara dokter dngan pasien dapat mengoptimalkan
diagnosis penyakit, utuk menghindari kesenjangan pengetahuan, membangun
kepercayaan dan mencegah dan mengurangi risiko tuntutan medikolegal.
6. Berbagi dan belajar dari pengalaman terkait keselamatan pasien
Pendekatan reaktif penyelidikan sistem untuk mengidentifikasi penyebab
insden dan memilih tindakan pencegahan ialah Root Cause Analysis (RCA) atau
analisis akar masalah. Sementara pendekatan pro-aktif, rumah sakit perlu
mengembangkan Metode Failure Mode and Effects Analysis (FMEA).
7. Implementasi solusi untuk mencegah kerugian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
Melakukan akreditasi, menstandarisasi prosedur, pemanfaatan teknologi,
kebijakan terkait paramedis dan staf medis, mengembangkan cara melaporkan, dan
mendesain lingkungan kerja yang aman ialah upaya mengoptimalkan program
keselamatan pasien.
Insiden Keselamatan Pasien
Keadaan atau kejadian yang dapat menimbulkan harm (cedera, penyakit,
kematian, cacat, dan lain-lain) yang seharusnya dapat dicegah ialah definisi
insiden keselamatan pasien menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(2015). Jenis insiden menurut Wardhani (2017) dikelompokkan menjadi lima jenis
antara lain kejadian nyaris cedera (KNC), kejadian tidak cedera (KTC), kondisi
potensial cedera (KPC), kejadian sentinel dan kejadian tidak diharapkan (KTD).
Definisi jenis insiden berdasarkan Pedoman Pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien (IKP) (2015) antara lain yaitu insiden yang terjadi pada pasien
karena melakukan atau tidak melakukan tindakan sehingga mencederai pasien dan
bukan karena keadaan pasien disebut Kejadian Tidak Diharapkan (KTD). Kejadian
tidak mencederai pasien karena belum terkena pasien disebut Kejadian Nyaris
Cedera (KNC). Kejadian tidak mencederai pasien tetapi telah terkena pasien
karena faktor keberuntungan disebut Kejadian Tidak Cedera (KTC). Keadaan
dimana belum terjadi insiden tetapi berpotensi timbul cedera disebut Kondisi
Potensial Cedera (KPC). Timbul cedera parah atau kematian akibat kejadian tidak
diharapkan disebut Kejadian Sentinel.
Sistem Pelaporan Insiden
Kegiatan yang dilaksanakan untuk menyimpan dokumen laporan insiden,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
mengidentifikasi risiko, menganalisis dan mencari penyelesaian untuk dipelajari
merupakan definisi pelaporan insiden (Simamora, 2018). Melaporkan dengan
mencatat insiden yang menimpa pasien disebut laporan insiden keselamatan pasien
secara internal. Melaporkan tanpa menyebut nama dengan cara elektronik ke
KKPRS dari setiap jenis insiden, setelah dilaksanakan menganalisa penyebanya,
rencana dan penyelesaiannya merupakan pelaporan insiden keselamatan pasien
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) secara eksternal (KKPRS,
2015).
Alur pelaporan insiden di rumah sakit berdasarkan Pedoman Pelaporan
Insiden Keselamatan Pasien tahun 2015 ada dua yaitu secara internal dan
eksternal.
Alur pelaporan insiden secara internal. Alur yang dilakukan secara
internal antara lain yaitu apabila terjadi suatu insiden di rumah sakit segera
ditangani untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan. Lalu menyusun laporan
insiden melalui pengisian Formulir Laporan Insiden. Pelapor menyerahkannya
kepada kepala. penyelidikan laporan dan melaksanakan grading risiko dilakukan
oleh kepala. Cara investigasi dan penganalisaan yang akan dilaksanakan
ditetapkan dari hasil grading. Tim Keselamatan Pasien di Rumah Sakit diberikan
laporan hasil penyelidikan dan laporan insiden. Dilakukan analisa ulang untuk
menetapkan perlu tidaknya investigasi lanjutan (RCA) melalui Regrading.
Tim KP di RS melaksanakan Analisa akar masalah jika grade
Kuning/Merah. Penyusunan laporan dan rencana dalam memperbaiki dan
mempelajari petunjuk/Safety alert untuk pencegahan oleh Tim KP di RS.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
Pelaporan kepada Direksi terkait hasil analisa akar masalah, rencana kerja, dan
usulan. Dilakukan umpan baliik pada unit kerja terkait serta pelatihan pada seluruh
unit di rumah sakit untuk memperbaiki dan mempelajarinya. Analisa kejadian
dibuat di setiap unit. Tim KP melakukan monitoring dan mengevaluasinya.
Alur pelaporan insiden secara eksternal. Terdapat rencana dan
penyelesaian oleh Tim KP di RS (internal)/Pimpinan RS dari hasil laporan
penyelidikan/analisa akar masalah. Melaksanakan entry data (e-reporting) dari
laporan untuk dikirim ke KKPRS via website resmi KKPRS.
Rumah Sakit
Definisi rumah sakit. Fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan
perawatan kesehatan individu dengan paripurna yang memberikan pelayanan
rawat jalan, gawat darurat dan rawat inap merupakan definisi rumah sakit. Institusi
pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan pada semua jenis penyakit dan
ilmu disebut rumah sakit umum (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2009).
Tugas dan fungsi rumah sakit. Menyediakan perawatan kesehatan
individu dengan paripurna ialah tugas ruamh sakit. Rumah sakit mempunyai fungsi
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 terdiri
dari:
1. Meningkatan dan memelihara kesehatan individu secara paripurna;
2. Melaksanaan pelayanan obat dan penyembuhan kesehatan sesuai standar;
3. Melaksanaan studi dan mengembangan serta memilah teknologi ilmu
kesehatan melalui pengamatan etika pengetahuan kesehatan;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
4. Melaksanaan pelatihan dan edukasi tenaga kerja untuk mengembangkan
keahlian saat memberikan perawatan kesehatan.
Pengkategorisasian rumah sakit kelas C. Menyediakan pelayanan paling
minimal meliputi pelayanan medis, keperawatan dan kebidanan, kefarmasian,
penunjang nonklinik, penunjung klinik, dan rawat inap dimiliki oleh rumah sakit
umum kelas C (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun
2014).
Syarat dan ketentuan rumah sakit umum kelas C. Rumah Sakit Umum
kelas C berdasarkan Permenkes No. 56 tahun 2014 menyediakan pelayanan paling
sedikit meliputi:
1. Pelayanan Medis
Rumah sakit menyediakan pelayanan medis minimal buka selama 24 jam
sehari yaitu gawat darurat. Medis umum yang terdiri dari medis gigi mulut, medis
dasar, kesehatan anak dan ibu dan keluarga berencana. Medis spesialis dasar
terdiri dari pelayanan bedah, penyakit dalam, obstetri dan ginekologi, dan
kesehatan anak. Medis spesialis penunjang terdiri dari anestesi, patologi klinik dan
radiologi. Medis spesialis mulut dan gigi minimal memiliki satu pelayanan.
2. Farmasi
Alat kesehatan, farmasi klinik, bahan medis habis pakai, dan pengelolaan
sediaan farmasi disediakan oleh bagian farmasi.
3. Perawatan dan Kebidanan
Pelayanan keperawatan dan kebidanan diberikan rumah sakit.
4. Penunjang Klinik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
Perawatan khusus sesuai jenis penyakit dan semua golongan umur, bank
darah, gizi, rekam medis, dan strelisasi instrumen merupakan penunjang klinik.
5. Penunjang Nonklinik
Jasa boga/dapur, laundry/linen, manajemen limbah, ambulans, gudang,
teknik dan penjagan fasilitas, bentuk komunikasi dan informasi, pemulasasaran
jenajah, penanggulangan kebakaran, manajemen gas medis, dan manajemen air
bersih terdiri dari penunjang nonklinik.
6. Rawat Inap
Fasilitas di rawat inap yang disediakan di Rumah Sakit Umum Tipe C
seperti:
a. Rumah sakit swasta memiliki jumlah tempat tidur rawatan kelas III minimal
20% (dua puluh persen) dari seluruh tempat tidur;
b. Rumah sakit pemerintah memiliki jumlah tempat tidur rawatan kelas III
minimal 30% (tiga puluh pesen) dari seluruh tempat tidur;
c. Rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta memiliki jumlah tempat tidur
rawatan khusus sebesar 5% (lima persen) dari seluruh tempat tidur.
Sumber daya manusia. Sumber daya manusia di RSU kelas C berdasar-
kan Permenkes RI No. 56 tahun 2014 meliputi:
1. Tenaga Medis
Rumah sakit memiliki tenaga medis minimal 9 (Sembilan) dokter umum
medis dasar, 2 (dua) dokter spesialis medis spesialis dasar, 2 (dua) dokter gigi
umum untuk medis gigi mulut, 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk spesialis gigi
mulut, dan 1 (satu) dokter spesialis tiap jenis medis spesialis penunjang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
2. Tenaga Kefarmasian
Rumah sakit memiliki tenaga kefarmasian minimal 1 (satu) orang apoteker
menjadi kepala instalasi farmasi, 4 (empat) orang apoteker di rawat inap dibantu
minimal 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian, 2 (dua) apoteker bekerja di
rawat inap dibantu minimal 4 (empat) orang tenaga teknis kefarmasian, dan 1
(satu) orang apoteker menjadi koordinator penerimaan, produksi dan distribusi.
3. Tenaga Keperawatan
Rumah sakit memerlukan tenaga keperawatan dihitung dengan
perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat tidur.
4. Tenaga Nonkesehatan dan Tenaga Kesehatan Lain
Rumah sakit butuh tenaga kesehatan lain dan tenaga non kesehatan yang
jumlahnya dikondisikan dengan keperluan pelayanan di rumah sakit.
Peralatan rumah sakit. Peralatan RS Umum kelas C harus sesuai dengan
standar yang ditetapkan minimal memiliki alat medis untuk instalasi rawat inap,
gawat darurat, rawat jalan, rawat khusus, rawat operasi, radiologi, farmasi,
persalinan, instalasi gizi, kamar jenazah, rehabilitasi medis, laboratorium klinik
dan pelayanan darah menurut Permenkes RI No. 56 tahun 2014.
Rawat inap. Gambaran kompleksitas dalam layananan medis di rumah
sakit. Pasien masuk ke rumah sakit akan menjalani berbagai prosedur medis,
berinteraksi dengan alat kedokteran dari yang sederhana hingga yang rumit dan
canggih, berinteraksi dengan banyak dokter, perawat, tenaga farmasi, asisten
apoteker, bagian gizi, petugas laboratorium, petugas radiologi dan sebagainya.
Pasien yang dirawat inap dapat melalui beberapa pintu pelayanan, bisa langsung
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
ke bagian registrasi, poliklinik, atau dari bagian gawat darurat.
Pada tahap pertama, dokter akan melakukan anamnesis (wawancara) dan
pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter di bangsal. Pasien masuk ke ruang rawat
inap. Dokter di bangsal yang merawat berkewajiban mengumpulkan data klinis
dan memberikan pengobatan sesuai dengan penyakitnya. Setelah diagnosis
penyakit dokter akan memberikan obat. Obat itu bisa lebih dari 2 jenis dan
memiliki efek samping. Maka dalam pemberian obat harus mengikuti lima prinsip
benar dan proses pemberian obat keputusan dokter mengenai obat harus benar,
tulisan harus jelas. Setelah itu, resep obat dibawa oleh petugas dan dibaca serta
disiapkan oleh bagian farmasi.
Prosedur yang dilalui dalam pemeriksaan laboratorium, darah harus
diambil dengann cara, pengolahan, penulisan dan pelaporan secara benar. Apabila
pasien memerlukan tindakan transfusi semua prosedur harus dilalui secara benar.
Apabila pasien menjalani operasi maka persiapan operasi, tepat lokasi, prosedur
operasi, monitoring operasi, dan pasca-operasi harus dilakukan sesuai prosedur.
Rumah sakit bisa berkapasitas 300 sampai 400 tempat tidur dan pasien yang harus
dilayani sangat banyak, pasien bisa berinteraksi dalam proses pelayanan medis
yang sangat kompleks (Cahyono, 2008).
Akreditasi Rumah Sakit
Penerimaan kualitas pelayanan rumah sakit, setelah dilakukan penilaian
bahwa rumah sakit telah memenuhi standar akreditasi disebut akreditasi rumah
sakit (Permenkes RI No. 34 Tahun 2017). Berdasarkan Permenkes RI No. 34
Tahun 2017 tujuan dilakukan akreditasi ialah:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
1. Peninggkatan pengamanan untuk masyarakat, tenaga kerja di rumah sakit dan
institusi rumah sakit
2. Peningkatan kualitas pelayanan dan melakukan keselamatan pasien rumah
sakit
3. Peningkatan profesionalisme Rumah Sakit Indonesia di mata Internasional
4. Membantu pemerintah di bidang kesehatan
Pengkategorisasian standar nasional akreditasi rumah sakit edisi 1 dibuat
menurut peranan penting di organisasi perumahsakitan. Standar dikategorisasikan
sesuai peranan yang terlibat dengan pemberian pelayanan bagi pasien, juga usaha
membentuk organisasi rumah sakit yang efektif, aman, dan terkelola dengan baik.
Ketentuan melakukan akreditasi beracuan pada tingkat ketaatan kepada standar di
rumah sakit. Pengkategorisasian standar nasional akreditasi rumah sakit edisi 1
terdiri dari sasaran keselamatan pasien, standar pelayanan berfokus pasien, standar
manajemen rumah sakit dan program nasional.
Skor elemen penilaian survei akreditasi rumah sakit berdasarkan KARS,
(2018), dimana setiap elemen penilaian pada standar dinilai sebagai berikut:
1. Skor 10 (terpenuhi lengkap) = 80%-100%
2. Skor 5 (terpenuhi sebagian) = 20%-79%
3. Skor 0 (tidak terpenuhi) = <20%
Prinsip skor Elemen Penilaian yang diambil dari JCI adalah konsisten dan
relevansi dengan pelayanan pasien, baik ditingkat pimpinan manajemen maupun
staf operasional.
Pendekatan Secara Komprehensif dalam Mengkaji Keselamatan Pasien
Struktur, proses, peralatan dan teknologi, lingkungan, orang dan budaya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
merupakan penelaahan keselamatan pasien denggan menggunakan pendekatan
komprehensif menurut Simamora (2018). Uraian pendekatan komprehensif dalam
mengkaji keselamatan pasien terdiri dari:
a. Struktur
Pengkajian dari segi struktur antara lain terdiri dari prosedur dan regulasi,
fasilitas, dan persediaan. Kebijakan dan regulasi dibentuk rumah sakit sebagai
acuan memberikan perawatan kesehatan dengan melakukan pertimbangan.
Pengadaan fasilitas perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan keamanan.
Persediaan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam melakukan perawatan kesehatan
sudah harus tersedia dan perlu dilakukan monitoring dan evaluasi agar mendukung
terlaksananya keselamatan pasien.
b. Lingkungan
Pengkajian keselamatan pasien dari segi lingkungan antara lain terdiri dari
pencahayaan dan permukaan, temperatur, ergonomi dan fungsional, kebisingan,
dan penempatan material. Keadaan pencahayaan dan permukaan dalam lingkungan
kerja dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Kondisi temperatur harus
diperhatikan di beberapa ruangan tertentu seperti ruang operasi karena dapat
mempengaruhi kegiatan yang dilakukan. Keadaan lingkungan yang bising dapat
menyebabkan adanya pengalihan perhatian sehingga petugas kesehatan tidak fokus
dalam memberikan pelayanan kesehatan. Faktor ergonomi dalam melakukan
pemindahan pasien dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera apabila tidak
menggunakan teknik yang benar. Penempatan material di ruangan disesuaikan
menurut fungsinya sehingga dapat menggambarkan keselamatan seperti dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
pengaturan tempat tidur, jenis dan penyimpanan alat.
c. Peralatan dan teknologi
Pengkajian keselamatan pasien dari segi peralatan dan teknologi antara lain
terdiri dari fungsional dan keamanannya. Dilihat dari segi fungsional peralatan dan
teknologi, petugas kesehatan dituntut untuk mampu mengetahui penggunaan dan
bentuk dari alat yang digunakan. Peralatan cangih yang berkembang dengan cepat
perlu didesain sesuai penggunaanya agar aman. Meningkatkan keselamatan pasien
juga dibutuhkan kegiatan untuk melatih cara menggunakan alat secara benar dan
tepat.
d. Proses
Pengkajian keselamatan pasien dari segi proses terdiri dari metode kerja,
karakteristik risiko tinggi, waktu, dan efisiensi. Metode kerja memerlukan
prosedur berlandaskan studi yang memadai dan dijelaskan dengan benar memiliki
dampak kepada konsistensi setiap orang untuk tidak menyebabkan kesalahan.
Keadaan yang sanggat berisiko menyebabkan timbulnya kesalahan atau lupa
seperti melaksanakan beban rencana perawatan yang banyak menyebabkan
kelelahan, dan dapat lupa sehingga perlu suatu sistem pengingat untuk mengurangi
kesalahan. Waktu merupakan suatu hal yang penting dan berdampak untuk
keselamatan pasien seperti pada keadaan tertentu dalam melakukan tindakan yang
tepat, diagnosis yang benar, pengobatan yang tepat dan menentukan pasien
selamat atau tidak dapat ditentukan oleh waktu. Efisiensi kemampuan para petugas
kesehatan dalam melakukan tindakan yang benar dan tepat perlu diperhatikan agar
menghindari terjadinya cedera pada pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
e. Orang
Pengkajian keselamatan pasien dari segi orang terdiri dari sikap dan
motivasi, keadaan fisik, kesehatan emosional dan mental, interaksi manusia
dengan teknologi dan lingkungan, dan keadaan komunikasi, kognitif, dan
interpretasi. Faktor yang mempengaruhi baik buruknya kinerja seseorang disebut
sikap dan motivasi. Kesehatan fisik merupakan kondisi yang dialami seseorang
yang dapat berdampak kepada kinerja yang diberikan. Keadaan kesehatan fisik
individu seperti kelelahan, sakit dan kurang tidur mengakibatkan berkurangnya
kesiagaan dan waktu kerja. Keadaan yang memengaruhi fokus akan keperluan dan
persoalan pasien menimbulkan kesalahan melakukan tindakan dipengaruhi
kesehatan mental dan emosional.
Fokus dalam keselamatan pasien karena perkembangan dalam ilmu
kesehatan yang semakin meningkat merupakan keadaan interaksi manusia kepada
teknologi dan lingkungan. Pelaksanaan keselamatan pasien dipengaruhi faktor
kognitif, komunikasi, dan interpretasi seseorang. Pengetahuan tentang akar
timbulnya kesalahan mempengaruhi dalam melakukan tindakan, memecahkan
masalah, dan mengomunikasikan informasi merupakan bagian kognitif individu.
f. Budaya
Pengkajian keselamatan pasien dari segi budaya berpengaruh terhadap
pemahaman kesalahan dan keselamatan pasien yang terdiri dari keamanan dan
jalur komunikasi. Filosopi keselamatan pasien untuk memberikan pelayanan yang
aman tergantung pada filosopi dan nilai dari pimpinan. Alur pelaporan butuh
dilakukan karena apabila timbul insiden bisa dilaporkan pada ketua dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
ditindaklanjuti. Budaya melaporkan sering terhambat karena adanya budaya
blaming. Budaya menyalahkan (Blaming) merupakan fenomena yang umum
terjadi dan dapat dihilangkan dengan menyusun jalur komunikasi yang jelas.
Metode kepemimpinan dan kebiasaan menyusun regulasi, membuat rencana dan
mengatur tenaga kerja, juga waktu kerja, stress, manajemen kelelahan, sakit dan
beban kerja juga termasuk salah satu faktor budaya.
Landasan Teori
Institute of Medicine (IOM) dalam laporanya mengenai masalah kesalahan
medis menyimpulan penyebab KTD lebih banyak kesalahan diakibatkan oleh
sistem daripada individu. Pendekatan sistem dalam mencari penyebab dan
pemecahan suatu KTD atau cedera medis tidak hanya faktor personal, melainkan
juga faktor team work, workplace dan peralatan, task (SOP, pedoman),
kepemimpinan dan proses manajerial serta bagaimana komitmen manajerial dalam
program. Teori secara sistem yang lebih banyak dipakai untuk menjelaskan
bagaimana suatu insiden terjadi adalah Teori yang dibuat James Reason dengan
sebutan “Swiss Cheese” (Cahyono, 2008).
Rumah sakit menurut James Reason dalam buku Cahyono (2008),
menerapkan suatu sistem pengaman atau sistem barier demi menghindari kerugian
(KTD). Kejadian tidak diharapkan terjadi apabila metode penghambat tidak
berperan atau terjadi kelalaian atau penyimpangan. Hampir semua KTD terjadi
melibatkan kombinasi dari kegagalan sistem pertahanan atau penghambat, keadaan
yang potensial cedera, kegagalan aktif/kegagalan petugas, dan keadaan laten
(kelalaian manajemen dan organisasi) merupakan penjelasan teori James Reason.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
Reason menggambarkan bagaimana insiden atau kecelakaan dapat terjadi dengan
menggunakan model Swiss cheese atau model kue keju Swiss.
Gambar 1. The Swiss Cheese Odel menurut James Reason
Irisan Swiss cheese (diumpakan menjadi bentuk hambatan atau metode
pertahanan akibat kelalaian manusia) dalam kondisi lengkap tanpa ada bolongan.
Wujud nyata dari potongan Swiss cheese seperti dari organisasi (kepemimpinan,
manajemen, regulasi, dan prosedur), pengendalian yang aman, keadaan lingkungan
sesuai keselamatan pasien (kerja sama kelompok, alat-alat, komunikasi, serta
lingkungan menenangkan dan bebas dari cedera), dan sikap yang menjunjung
keselamatan pasien (disiplin, profesional, ketaatan pada regulasi).
Apabila di irisan kue terdapat lubang dinyatakan bahwa metode pertahanan
tidak berperan maksimal dan menjelaskan prosedur dan regulasi keamanan tidak
ada atau tidak dilakukan, alat-alat mengalami kegagalan akibat kurangnya
pemeliharan, kinerja tim terhambat dan kemampuan pekerja belum sesuai
prosedur. Tidak berfungsinya satu barier atau timbulnya lebih dari satu lubang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
tidak membuat insiden. Apabila semua pertahanan terbentuk garis dari lubang
maka muncul insiden.
Kerangka Berpikir
p
Gambar 2. Kerangka berpikir
Kerangka berpikir penelitian menggambarkan adanya indikator input,
proses, dan output. Berdasarkan pendekatan komprehensif dalam pengkajian
keselamatan pasien salah satunya adalah struktur yang terdiri dari kebijakan,
prosedur organisasi, fasilitas dan persediaan. Termasuk juga model Swiss Chesee
Odel menurut James Reason wujud nyata dari mekanisme pertahanan terhadap
kesalahan adalah berbentuk akibat dari organisasi (kepemimpinan, prosedur
manajemen, kebijakan dan prosedur), keadaan lingkungan, pengamatan, dan sikap
yang menjunjung keselamatan pasien. Berdasarkan dari kedua hal tersebut yang
diambil menjadi indikator input adalah ketersediaan dan kemampuan sumber daya
Input Proses Output
Pelaksanaan Sasaran
Keselamatan Pasien
1. Meningkatkan
Komunikasi yang Efektif
2. Memastikan lokasi
pembedahan yang benar,
prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien
yang benar
3. Mengurangi risiko infeksi
akibat perawatan
kesehatan
Pencapaian
sasaran
keselamatan
pasien di Rumah
Sakit Methodist
Medan (Standar
RS dan KARS)
1. Sumber
Daya
Manusia
2. Sarana dan
prasarana
3. Kebijakan
dan prosedur
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
manusia, ketersediaan sarana dan prasarana, dan adanya prosedur dan kebijakan
tentang pelaksanaan keselamatan pasien di rumah sakit. Indikator input
mempengaruhi penyelenggaran pelaksanaan keselamatan pasien salah satunya
adalah pelaksanaan sasaran keselamatan pasien.
Aspek proses pada studi ini adalah pelaksanaan sasaran keselamatan
pasien. Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien yang dibahas adalah komunikasi
efektif, memastikan tepat lokasi, prosedur, pembedahan pada pasien yang benar
dan pengurangan risiko infeksi. Faktor input dan proses yang ada di dalam suatu
sistem akan menghasilkan output yaitu pencapaian sasaran keselamatan pasien di
Rumah Sakit Methodist Medan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualititatif
dengan menggunakan desain fenomenologi yang disajikan dalam bentuk
deskriptif. Desain fenomenologi digunakan untuk memahami atau menggali fakta
yang dialami atau perilaku tertentu individu atau kelompok individu serta hal-hal
yang mendasari suatu perasaan, pendapat, kejadian, dan hubungan
(Kusumawardani, 2015).
Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dapat menafsirkan dan
menguraikan data yang bersangkutan dengan situasi, proses, pengalaman, sikap
serta pandangan yang terjadi, pertentangan antara dua keadaan atau lebih,
hubungan antar variabel yang timbul, perbedaan antar fakta yang ada serta
pengaruhnya terhadap suatu kondisi yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas
dan lebih mendalam tentang pelaksanaan keselamatan pasien di instalasi rawat
inap Rumah Sakit Methodist.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian. Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Methodist
terletak di Jalan M. H. Thamrin No. 105, Medan Kota, Kota Medan, Sumatera
Utara. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan dari laporan triwulan dan
validasi data panitia mutu dan keselamatan pasien Rumah Sakit Methodist Medan
Tahun 2018 yaitu 3 dari 6 sasaran keselamatan pasien belum mencapai target
100%.
Waktu penelitian. Waktu dalam penilitian ini dilaksanakan pada bulan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
Februari sampai dengan Juli Tahun 2019.
Subjek Penelitian
Informan penelitian adalah orang yang memberikan informasi baik tentang
dirinya ataupun orang lain atau suatu kejadian atau suatu hal kepada peneliti atau
pewawancara mendalam. Kategori informan dalam penelitian ini adalah sebagai
sumber informasi dan pengetahuan bagi peneliti, baik sumber informasi tentang
dirinya sendiri, tentang orang lain atau tentang kejadian (Afrizal, 2014).
Informan dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan metode teknik
purposive, yaitu teknik yang dilakukan untuk memilih informan berdasarkan
kriteria tertentu. Kriteria yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah orang yang
bersedia, bertanggung jawab dan yang terlibat dalam pelaksanaan keselamatan
pasien di instalasi rawat inap Rumah Sakit Methodist. Jumlah informan dalam
penelitian berkembang sesuai dengan berjalannya penelitian sampai data yang di
dapatkan jenuh atau tidak ada informasi baru yang bermakna. Pemilihan Informan
terkait pelaksanaan keselamatan pasien di instalasi rawat inap Rumah Sakit
Methodist yang dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan.
Tabel 1
Informan Penelitian
Nama Jumlah
Tim Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien 1 orang
IPCN 1 orang
Dokter Bedah 1 orang
Kepala Ruang Instalasi Rawat Inap 3 orang
Perawat Pelaksana Instalasi Rawat Inap 3 orang
Perawat Ruang Operasi 1 orang
Definisi Konsep
1. Input dalam penelitian terdiri dari:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
a. Sumber daya manusia adalah ketersediaan jumlah sumber daya manusia
dan kemampuannya dalam pelaksanaan keselamatan pasien.
b. Ketersediaan sarana dan prasarana adalah segala sesuatu yang dapat
dipakai sebagai alat yang mendukung dan dibutuhkan untuk memudahkan
dalam pelaksanaan keselamatan pasien di unit rawat inap.
c. Kebijakan dan prosedur adalah kebijakan dan prosedur yang sudah
dibentuk dan dibuat rumah sakit sebagai acuan dalam memberikan
pelayanan kesehatan terkait dengan keselamatan pasien.
2. Proses dalam penelitian terdiri dari:
a. Meningkatkan Komunikasi yang Efektif adalah proses mengirim dan
menerima pesan (informasi, ide, gagasan, pernyataan) yang dilakukan dua
arah antara tenaga keperawatan dan dokter, antar tenaga keperawatan
serta antara tenaga keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya di dalam
melaksankan kegiatan yang berkaitan dengan keselamatan pasien di unit
rawat inap.
b. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang benar adalah proses pelayanan bedah
memastikan penandaan lokasi pembedahan yang benar dengan prosedur
yang benar dan pada pasien yang benar.
c. Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan adalah upaya yang
dilakukan oleh rumah sakit untuk mengurangi risiko infeksi dengan
menerapkan program Hand Hygiene. Hand Hygiene adalah suatu upaya
atau tindakan membersihkan tangan, baik dengan menggunakan sabun
antiseptik di bawah air mengalir atau dengan menggunakan handrub ber-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
basis alkohol dengan langkah-langkah yang sistematik sesuai urutan,
sehingga dapat mengurangi jumlah bakteri yang berada pada tangan yang
bertujuan untuk menurunkan risiko infeksi karena sering kontak antara
petugas dan pasien.
3. Output penelitian ialah pencapaian pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di
Rumah Sakit Methodist Medan sesuai dengan standar yang ditetapkan Rumah
Sakit atau dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit.
Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara
mendalam, observasi, dan dokumentasi. Wawancara mendalam dlakukan terhadap
para informan dengan berpedoman pada panduan wawancara yang telah
dipersiapkan untuk menggali variabel-variabel penelitian. Observasi adalah cara
memperoleh data tentang fakta yang sebenarnya terjadi. Teknik pengumpulan data
dengan dokumen merupakan pelengkap dari pengunaan metode wawancara dan
observasi juga untuk melakukan penelurusan dokumen-dokumen yang terkait
dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2013).
Instrumen penelitian. Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang
digunakan untuk menngukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Pada
penelitian kualitatif, instrumen utama penelitiannya adalah peneliti sendiri dengan
menggunakan alat bantu pedoman wawancara. Proses wawancara kemudian ditulis
dengan menggunakan alat tulis dan direkam dengan alat perekam suara dan
dilakukan foto sebagai dokumentasi sebagai bukti penelitian berlangsung yang
tentunya dengan persetujuan dari informan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
Metode Analisis Data
Adapun tahapan proses analisa data menurut Saryono (2017)
menggunakan langkah-langkah dari Colaizzi adalah sebagai berikut:
1. Memiliki gambaran yang jelas tentang fenomena yang diteliti.
2. Mencatat data yang diperoleh yaitu hasil wawancara dengan partisipan
transkripsi dilakukan dengan cara merubah dari rekaman suara menjadi bentuk
terulis secara verbatim dan hasil catatan lapangan yang dibuat selama proses
wawancara terhadap partisipan sebagai tambahan untuk analisis selanjutnya.
3. Membaca hasil transkrip secara berulang-ulang sebanyak 4-5 kali dari semua
partisipan agar peneliti lebih memahami pernyataan-pernyataan partisipan.
4. Membaca transkrip untuk memperoleh ide yang dimaksud partisipan yaitu
berupa kata kunci dari setiap pernyataan partisipan, yang kemudian diberi
garis bawah pada pernyataan yang penting agar bias dikelompokkan.
5. Menentukan arti setiap penyataan penting dari semua partisipan dan
pernyataan yang berhubungan.
6. Melakukan pengelompokan data kedalam berbagai kategori untuk selanjutnya
dipahami secara utuh dan menentukan tema-tema utama yang muncul.
7. Peneliti mengitegrasikan hasil secara keseluruhan kedalam bentuk deskripsi
naratif mendalam tentang penelitan yang diteliti.
8. Peneliti kembali ke partisipan untuk klarifikasi data hasil wawancara berupa
transkrip yang telah dibuat kepada partisipan,untuk memberikan kesempatan
kepada partisipan menambahkan informasi yang belum diberikan pada saat
wawancara pertama atau infomasi yang tidak ingin dipublikasikan dalam
penelitian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
9. Data baru yang diperoleh saat dilakukan validasi kepada partisipan
dihubungkan ke dalam transkrip yang telah disusun peneliti berdasarkan
persepsi partisipan, pada langkah ini peneliti mendapatkan data baru yang
digabungkan pada data hasil wawancara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Methodist di resmikan pada tanggal 16 Oktober 1976 atas
prakarsa dari sejumlah tokoh – tokoh jemaat Gloria dan bantuan dari beberapa
dokter di saat antara lain dr. J. E. Sudibyo (Alm) dan diresmikan oleh Almarhum
Bishop J. Gultom. Pada waktu peresmian, RSM ( Rumah Sakit Methodist )
mempunyai fasilitas 79 tempat tidur dengan 4 disiplin utama antara lain Bagian
Penyakit Dalam, Bagian Bedah, Bagian Penyakit Anak dan Bagian Kebidanan
serta disiplin-disiplin lainnya seperti Penyakit Mata, THT dan sebagainya.
Motto Rumah Sakit Umum Methodist Kota Medan adalah Melayani
dengan Kasih. Visi Rumah Sakit Umum Methodist Kota Medan adalah
meningkatkan dan mempertahankan pelayanan kesehatan yang bermutu di Tahun
2022. Misi Rumah Sakit Umum Methodist Kota Medan adalah:
1. Memberikan pelayanan Rumah Sakit yang prima
2. Melengkapi sarana dan prasarana Rumah Sakit secara bertahap
3. Meningkatkan profesionalisme
4. Melaksanakan akreditasi
5. Meningkatkan peran Rumah Sakit sebagai tempat pelatihan, pendidikan
dibidang kesehatan
Rumah Sakit Umum Methodist Kota Medan memiliki nilai dan tujuan yaitu
terwujudnya kesehatan masyarakat yang setingi-tingginya melalui layanan umum
dengan pelayanan professional dan prima dengan pendekatan pemeliharaan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
(kuratif), pemulihan kesehatan (rehabiltatif) yang dilakukan secara menyeluruh
dengan peraturan perundang-undangan serta tuntuan Iman, Pengharapan dan Kasih
dengan tidak memandang agama, golongan, dan kedudukan. Selain melayani
pasien umum, Rumah Sakit Methodist juga melayani pasien BPJS Kesehatan,
BPJS Tenaga Kerja, Jasa Raharja dan asuransi-asuransi lainnya.
Rumah Sakit Umum Methodist Kota Medan beralamat di Jl. MH. Thamrin
No. 105 Medan. Rumah Sakit Umum Methodist Kota Medan adalah salah satu
Rumah Sakit Swasta Kelas C pada tanggal 30 Maret 2012. Rumah Sakit Methodist
juga pernah melaksanakan Akreditasi Rumah Sakit versi 2007 pada Tahun 2012
dengan memperoleh lulus Akreditasi 5 Dasar pada tanggal 29 Juni 2012. Rumah
Sakit Methodist melakukan penilaian Akreditasi versi SNARS Edisi I Tahun 2018
dan telah Lulus dengan kelulusan Tingkat Utama (Bintang Empat) pada 14 Januari
2019.
Rumah Sakit Umum Methodist Kota Medan mempunyai beberapa fasilias
antara lain memiliki Instalasi Gawat Darurat (IGD), laboratorium, radiologi,
endoskopi, ruang bedah, unit haemodialisa, klinik spesialis dan tempat tidur.
Tempat tidur yang tersedia di Rumah Sakit Umum Methodist adalah sebanyak
124 tempat tidur dengan kriteria kamar kelas VVIP sebanyak 12 tempat tidur,
kamar kelas VIP sebanyak 18 tempat tidur, kamar kelas I sebanyak 26 tempat
tidur, kamar kelas II sebanyak 12 tempat tidur, kamar kelas III sebanyak 47 tempat
tidur dan ICU sebanyak 9 tempat tidur. Sedangkan jika dilihat dari segi tenaga
kesehatannya, RSU Methodist Medan memiliki jumlah dokter sebanyak 40 dokter
dengan 28 diantaranya adalah dokter spesialis, 12 dokter umum dan jumlah
perawat sebanyak 98 orang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
Tabel 2
Data Sumber Daya Manusia di Rumah Sakit Methodist
Profesi Jumlah
Dokter Spesialis Penyakit Dalam 4 orang
Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah 2 orang
Dokter Spesialis Anak 3 orang
Dokter Spesialis Bedah Umum 2 orang
Dokter Spesialis Kandungan 1 orang
Dokter Spesialis Syaraf 1 orang
Dokter Spesialis Bedah Ortopedi 3 orang
Dokter Spesialis Bedah Urologi 1 orang
Dokter Spesialis Paru 1 orang
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa 2 orang
Dokter Spesialis THT 2 orang
Dokter Spesialis Mata 1 orang
Dokter Spesialis Anestesi 4 orang
Dokter Spesialis Patologi Klinik 1 orang
Dokter Umum/Jaga 12 orang
Perawat 98 orang
Sumber: Profil Rumah Sakit Methodist Tahun 2018
Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini adalah 10 informan yang terdiri dari 1 Ketua
Tim PMKP, 1 Dokter Bedah, 1 IPCN, 3 Kepala Ruangan, 3 perawat ruangan, dan
1 kepala ruang operasi. Karakteristik dari masing-masing informan pada penelitian
ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 3
Karakteristik Informan Penelitian
Informan Nama Pendidikan Jabatan
I dr. Hadi Putra, M. Kes S2 Ketua Tim PMKP
II dr. Bambang Prayugo, Sp. B S2 Dokter Bedah Umum
III Redine M. Harianja, S.Kep, Ners S1 IPCN
IV Ritawati Simamora, S. Kep S1 Kepala Ruang Naomi
V Eva Gustina Sinaga, S. Kep S1 Kepala Ruang Ester
VI Desti Marida Purba, S. Kep S1 Kepala Ruang Rebecca
VII Moriance Simamora D3 Perawat Ruang Naomi
VIII R. Maria Sapta P, S. Kep, Ners S1 Perawat Ruang Ester
IX Kayani Manurung D3 Perawat Ruang Rebecca
X Mery Sirait D3 Kepala Ruang Operasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
Pelaksanaan Keselamatan Pasien di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Methodist
Pelaksanaan keselamatan pasien penting dilakukan di Rumah Sakit untuk
mencegah terjadinya cedera pada pasien, memberikan perawatan pasien yang
aman, dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Penelitian ini untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan keselamatan pasien di Instalasi Rawat Inap
Rumah Sakit Methodist Kota Medan dengan membahas pelaksanaan keselamatan
pasien di instalasi rawat inap, mengetahui pelaksanaan komunikasi efektif,
mengetahui pelaksanaan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi dan
pelaksanaan pengurangan risiko infeksi.
Penelitian ini juga didukung dengan peran dari petugas kesehatan yaitu
Ketua Tim PMKP. IPCN, Dokter Bedah, Kepala Ruangan dan Perawat di Rumah
Sakit Methodist yang membahas bagaimana pengalaman petugas keehatan tersebut
dalam melaksanakan keselamatan pasien. Tema yang teridentifikasi dari hasil
wawancara pelaksanaan keselamatan pasien di instalasi rawat inap Rumah Sakit
Methodist Medan adalah sebanyak 4 tema yaitu faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan keselamatan pasien, meningkatkan komunikasi yang efektif,
memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan
pada pasien yang benar, pengurangan risiko infeksi akibat perawatan kesehatan
dan pelaksanaan sasaran keselamatan pasien.
Tema 1. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan keselamatan pasien.
Berbagai jawaban dikemukakan oleh informan terkait faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan keselamatan pasien. Informan diberikan pertanyaan mengenai
bagaimana persepsi informan ketika diberikan pertanyaan terkait sumber daya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
manusia, sarana dan prasarana, regulasi, monitoring dan evaluasi, dan hambatan
yang pernah dialami dalam pelaksanaan keselamatan pasien.
Ketersediaan sumber daya manusia. Sumber daya utama melaksanakan
suatu program seperti keselamatan pasien adalah staf atau pegawai. Terdapat tiga
informan mengatakan bahwa ketersediaan ketersediaan sumber daya manusia di
dalam melaksanakan keselamatan pasien seperti perawat pelaksana, masih kurang.
Berikut ini ungkapan informan penelitian:
“Ketersediaan untuk SDM belum cukup. Kita masih kurang
dengan kondisi bed 124 bed, perawat kita cuman 50 masih.”
(Informan I)
“Kalo dari segi jumlah tenaga sih kita masih kurang.” (Informan
VI)
“Kalau jumlah perawat kurang karena susah mendapatkan STR
sekarang.” (Informan IX)
Menurut dua informan lainya menyatakan bahwa ketersediaan SDM sudah
mencukupi sejak dilakukanya akreditasi. Pernyataan informan diungkapkan
sebagai berikut:
“Kalo SDM sudah mencukupi, kalau kemarinkan memang agak
kurang tapi kalau SDM udah cukuplah itu apalagi udah ini,
semenjak akreditasi udah bagus.” (Informan IV,V)
Kegagalan yang sering terjadi dalam pelaksanaan suatu program kebijakan
salah satunya disebabkan oleh staf atau pegawai yang tidak cukup memadai atau
mencukupi. Penambahan jumlah staf tidak cukup dalam menyelesaikan
pelaksanaan suatu program, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dalam
melaksanakan suatu program. Menurut Manullang (2004) sarana penting dan
sarana utama dari setiap manajer untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai ter-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
lebih dahulu adalah manusia.
Sumber daya manusia di Rumah Sakit Umum Kelas C berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit terdiri dari tenaga medis yaitu dokter spesialis untuk setiap
jenis pelayanan medis dasar adalah 2 orang, dan tenaga keperawatan yang
dibutuhkan dihitung dengan perbandingan 2 (dua) perawat untuk 3 (tiga) tempat
tidur. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti terkait ketersediaan
tenaga kesehatan dalam melaksanakan keselamatan pasien didapatkan bahwa
jumlah perawat masih kurang. Tenaga keperawatan dirasa masih kurang dalam
melakukan pelaksanaan keselamatan pasien. Pendidikan terakhir perawat di
Rumah Sakit Methodist antara lain yaitu pendidikan D-III sebanyak 56 orang,
Sarjana Keperawatan sebanyak 23 orang dan Ners sebanyak 5 orang dengan
jumlah tempat tidur sebanyak 124 tempat tidur. Tenaga keperawatan sudah cukup
dari total ketentuan yaitu sebanyak 98 orang perawat namun dalam pendistribusian
tugas perlu ditata kembali. Penugasan perawat dalam pelaksanaan keselamatan
pasien masih dirasakan kurang dari segi pengaturan dan kurangnya pendistirbusian
setiap ruangan, kurang sesuai antara banyaknya pasien dan jenis pasien. Setiap
ruangan sudah memiliki 1 kepala ruangan dan 1 pengawas, hanya pembagian dan
pengaturan tugasnya masih perlu di ditata kembali karena seharusnya untuk
patient safety membutuhkan satu orang melakukan tugasnya secara full time.
Tenaga perawat minimal memiliki pendidikan D-III untuk memberikan
pelayanan kepada pasien. Perawat di Rumah Sakit Methodist lebih banyak
memiliki pendidikan terakhir D-III dibandingkan dengan Sarjana Keperawatan dan
jumlah Ners masih kurang yaitu sebanyak 5 orang oleh karena itu tenaga Sarjana
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
Keperawatan perlu ditingkatkan dari D-III. Ners memiliki banyak tugas untuk
mengatur, diperlukan minimal 1 Ners di setiap ruangan. Pelaksanaan patient safety
setidaknya memiliki 2 Ners karena apabila salah satu perawat tidak dapat hadir
dapat digantikan perawat lainnya. Rumah Sakit Methodist memiliki 11 sampai 12
perawat di satu bangsal. Setiap pergantian shift yang bertugas 3 sampai 4 perawat
dan jumlah rata-rata pasien yang dirawat pada tanggal 1-25 Juli 2019 adalah
sebanyak 5-7 orang di setiap ruangan. Berdasarkan Permenkes No. 56 Tahun 2014
jumlah perawat yang dibutuhkan adalah 2 perawat berbanding dengan 3 tempat
tidur. Total keseluruhan jumlah perawat tidak kurang, namun perlu dilakukan
pengaturan pendistribusian perawat di masing-masing rawatan berdasarkan jumlah
pasien, dilakukan rotasi dan pembinaan pada perawat.
Kemampuan sumber daya manusia. Terdapat empat informan yang di
wawancarai mengatakan bahwa kemampuan para perawat sudah baik dalam
melaksanakan keselamatan pasien karena sudah lama bekerja di rumah sakit tetapi
masih kurang pelatihan. Berikut ini ungkapan informan penelitian:
“Kemampuan sudah pada baik.” (Informan VI,IX)
“Kemampuan sudah baik. Karena rata-rata 7, 6 tahun jadi ya
pasti udah bisa.” (Informan IV)
“Kemampuan udah bisalah ya tapi kita masih kurang pelatihan.”
(Informan V)
Salah satu informan mengatakan bahwa kemampuan petugas kesehatan
sudah cukup baik karena sudah melakukan pelatihan dan dilihat dari hasil pekerja-
an para petugas kesehatan. Berikut ini ungkapan informan penelitian:
“Ada yang sudah melakukan pelatihan. Kalau mengenai kualitas
lihat dari hasil kerjaan cukup baik.” (Informan I)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti empat informan
mengatakan kemampuan para petugas kesehatan sudah baik, sedangkan satu
informan mengatakan cukup baik. Menurut Hasibuan (2003) sumber daya manusia
adalah kemampuan terpadu dari kecerdasan yang diperoleh sejak lahir dan daya
fisik yang dimiliki individu. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan RI Nomor
36 Tahun 2014 tenaga kesehatan merupakan setiap orang yang bekerja dalam
bidang kesehatan dan memiliki pengetahuan, keterampilan melalui pendidikan
ilmu kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan. Pelaksanaan keselamatan pasien dapat terlaksana
dengan baik juga dipengaruhi oleh kemampuan, keterampilan dan keahlian dalam
melaksanakan program keselamatan pasien.
Menurut Moeheriono (2009) penilaian kinerja dalam 360o terhadap
karyawan adalah menetukan siapa yang harus menilai. Ada beberapa pilihan untuk
menentukan siapa yang menilai, yaitu seperti atasan langsung, rekan sekerja, diri
sendiri, bawahan langsung, dan pelanggan. Penilaian kemampuan dalam penelitian
ini dilakukan oleh atasan langsung, rekan sekerja, dan diri sendiri. Penilaian dari
atasan langsung dilakukan oleh Ketua Tim TKPRS dan Kepala Ruangan, penilaian
dari diri sendiri dan rekan sekerja dilakukan oleh perawat. Berdasarkan hasil
wawancara penilaian dari atasan langsung terkait kemampuan para perawat sudah
cukup baik dan penilaian dari diri sendiri dan rekan sekerja kemampuan mereka
sebagai perawat sudah baik. Pelaksanaan keselamatan pasien mulai di
kembangkan di rumah sakit karena adanya akreditasi. Sasaran keselamatan pasien
menjadi salah satu elemen penilaian dan dibutuhkan kemampuan yang baik agar
dapat mencapai target. Para tenaga kesehatan dituntut untuk melakukan perawatan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
kesehatan yang baik sehingga dilakukan pelatihan untuk meningkatkan
kemampuannya. Tenaga kesehatan di Rumah Sakit Methodist telah memiliki
kemampuan yang cukup baik di dalam melakukan perawatan kesehatan terkait
keselamatan pasien.
Ketersediaan sarana dan prasana. Informan mengungkapkan persepsinya
mengenai keadaaan segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat yang
mendukung dan dibutuhkan untuk memudahkan dalam pelaksanaan keselamatan
pasien. Terdapat dua informan mengatakan bahwa ketersediaan sarana prasarana
terkait keselamatan pasien sudah cukup baik hanya terkendala pada saat terjadi
kekosongan alat petugas malas mengambil ke bagian atas di ruang logistik, tisu di
kamar pasien tidak tersedia karena terkendala di dana. Pernyataan informan
diungkapkan sebagai berikut:
“Sarana prasarana sudah cukup, kendala kalo kosong malas
ambil ke logistik, tisu kosong di kamar pasien karena masih ada
kendala di dana.” (Informan III)
“Kalo dibilang 100% belum, tapi sudah baik.” (Informan VI)
Menurut lima partisipan lainya mengatakan bahwa ketersediaan sarana
prasarana terkait keselamatan pasien sudah lengkap karena baru selesai melakukan
akreditasi, gedung baru dan ada IPCN yang bertugas untuk melakukan monitoring
ketersediaan alat. Berikut ini ungkapan informan penelitian:
“Ketersediaan fasilitas prasana sudah terpenuhi..” (Informan I)
“Sudah tersedia semuanya handrub, hand soap, stempel,
telepon.” (Informan V)
“Ada, sekarang kami baru akreditasi jadi lengkap semuanya.”
(Informan IV)
“Fasilitas nya lengkap, sudah memadai, masih gedung baru.”
(Informan VII,IX)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
Tabel 4
Hasil Observasi Sarana Prasarana Keselamatan Pasien
Sarana/ prasarana Ketersediaan Keterangan
Bel pemanggil
perawat/Nurse Call
Ya Tersedia di dalam dan luar setiap ruangan kamar
pasien, tetapi belum tersedia di setiap tempat tidur
pasien, dengan kondisi dapat digunakan
Telepon Ya Tersedia di bagian nurse station dengan kondisi
dapat digunakan
Stempel TBK Ya Tersedia di bagian nurse station dengan kondisi
dapat digunakan
Spidol Ya Spidol di ruangan menggunakan spidol biasa
dan spidol di kamar operasi sudah menggunakan
spidol kulit.
Formulir Check list
Keselamatan Operasi
Ya Setiap poin di Check list bagi pasien yang akan
melakukan operasi.
Poster program Cuci
Tangan
Ya Tersedia di setiap bagian luar dan dalam ruangan
pasien serta di bagian Nurse Station
Wastafel Ya Tersedia di setiap ruangan pasien dan Nurse Station
serta dapat digunakan
Air Ya Tersedia di setiap wastafel dan kamar mandi
Hand Soap Ya Tersedia di setiap ruangan pasien dan Nurse Station
serta dapat digunakan
Handrub Ya Belum tersedia di setiap tempat tidur pasien, namun
tersedia di setiap dalam, luar bangsal pasien
dan di Nurse Station serta dapat digunakan
Tisu Ya Tersedia di bagian Nurse Station tetapi di ruangan
pasien tidak tersedia
Bak sampah Ya Tersedia di setiap bagian luar dan dalam ruangan
pasien serta di bagian Nurse Station dan dapat
dilihat dengan jelas
Menurut Manullang (2004) untuk melakukan aktivitas membutuhkan uang
untuk membeli peralatan dan digunakan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan
dalam suatu program. Kegagalan atau ketidaklancaran proses manajemen sedikit
banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh perhitungan dan ketelitian dalam
menggunakan uang. Rumah sakit mempunyai staf yang mencukupi dan kompeten,
tetapi tanpa adanya sarana prasarana yang mendukung maka pelaksanaan
keselamatan pasien tidak akan tercapai sesuai standar.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti di Rumah
sakit Methodist Medan, ketersediaan sarana prasarana sebagaian besar sudah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
cukup baik, karena spidol untuk penandaan di ruangan masih menggunakan spidol
biasa belum spidol khusus untuk kulit, dan handrub belum tersedia di setiap
tempat tidur pasien tetapi di setiap dalam dan luar ruangan pasien sudah tersedia,
masih ada tisu di ruangan kamar pasien yang masih kosong karena kendala dana.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Neri, Lestari, dan Yetti (2018)
menunjukkan bahwa setelah penilaian akreditasi pada Tahun 2017 sering terjadi
kekosongan bahan habis pakai seperti handrub dan tisu di rawat inap Bedah dan
non Bedah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pasaribu (2018) mengatakan
pelaksanaan program keselamatan pasien di ruang rawat inap belum berjalan
maksimal karena masih ada sarana yang belum tersedia.
Sarana dan prasarana yang digunakan. Alat-alat yang digunakan para
tenaga kesehatan terkait keselamatan pasien antara lain adalah telepon, buku,
check list keselamatan pasien, handrub, hand soap, tisu, wastafel, air, dan spidol.
Berikut ini ungkapan informan penelitian:
“Wastafel, air mengalir, tisu bersih, sabunnya itu sih, spidol.”
(Informan II)
“Sudah tersedia, semuanya handrub, hand soap, stempel,
telepon.” (Informan V)
“Telepon buku, check list keselamatan pasien, handrub, hand
soap, tisu” (Informan VII)
Menurut Manullang (2004) dalam melakukan kegiatan, manusia
menggunakan alat atau sarana manajemen untuk mencapai tujuan. Berdasarkan
hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit
Methodist Medan, sarana prasarana yang digunakan sudah tersedia dan dapat
digunakan. Sarana dan prasarana yang digunakan adalah wastafel, air mengalir,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
tisu bersih, sabun, spidol, handrub, hand soap, stempel dan telepon. Hal ini juga
sejalan dengan Instrumen Survei Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1
Tahun 2018 sarana dan prasarana yang digunakan dalam pelaksanaan keselamatan
pasien adalah telepon, form penandaan, form surgical safety check list, spidol
untuk penandaan lokasi operasi, sabun, disinfektan, handuk sekali pakai (towel),
handrub untuk setiap tempat tidur.
Regulasi dalam pelaksanaan keselamatan pasien. Terdapat satu informan
yang mengatakan bahwa sosialisasi kurang dilakukan secara menyeluruh dan
masih sebagian sehingga masih ada yang belum mendapatkan sosialisasi regulasi
terkait keselamatan pasien. Pernyataan informan diungkapkan sebagai berikut:
“Ada regulasi, sudah disosialisasikan, sosialisasi kurang, masih
sebagian.” (Informan 9)
Menurut informan lainya regulasi yang ada sudah disosialisisakan, dan
salah satu informan mengetahui jenis SPO-nya karena ikut dalam tim akreditasi
bagian komunikasi. Jenis SPO yang diketahui informan adalah SPO untuk
melapor nilai kritis, pergantian shift, dan SBAR. Berikut ini ungkapan informan:
“SPO itu pedoman juga. Ada, udah disosialisasikan, pasien jatuh
kan.” (Informan IV)
“Ada regulasinya, sudah disosialisaikan, ada SPO melapor nilai
kritis, cara melapor oper shift operan. Apa lagi ya, kalo melapor
keluhan-keluhan pasien itu semuanya ada sih SBAR dan SPO-
nya.” (Informan V)
“Ada, tapi gimana ya ku bilang. Udah di sosialisasikan.”
(Informan VI,IX)
Terdapat empat informan yang mengatakan bahwa regulasi sudah ada dan
sudah dilaksanakan dan sudah ada dibuat laporan pelaksanaanya oleh Tim PMKP.
Salah satu informan ada yang mengetahui regulasi yang ada seperti Kebijakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
Hand Hygeine. Informan ini mengetahui hal ini karena termasuk tim akreditasi
bagian tim PPI. Berikut ini ungkapan informan penelitian:
“Pelaksanaan di PMKP seperti yang di laporkan Januari tahun
2019 untuk regulasi, sop-nya, sudah dijalankan.” (Informan I)
“Regulasinya ada, sudah dilaksanakan.” (Informan II,VII)
“Ada lengkap semua, pedoman, SPO-nya pelaksanaan cuci
tangan, sudah dilaksanakan.” (Informan III)
“Ada sudah dilaksanakan. Aku karena kebetulan di bagian hand
hygiene itulah SPO yang kutau kebjakan hand hygiene.”
(Informan VIII)
Tabel 5
Hasil Observasi Dokumen Regulasi Keselamatan Pasien
Dokumen Kebijakan/Regulasi Keselamatan Pasien Keterangan
Sasaran II Komunikasi Yang Efektif
Surat Keputusan tentang Kebijakan Komunikasi Efektif di
Rumah Sakit Methodist Medan
Tersedia
Standar Prosedur Operasional (SPO) Komunikasi Efektif antar
Professional Pemberi Asuhan
Panduan Pelaporan Nilai Kritis di Rumah Sakit Methodist
Medan
Surat Kebijakan Laboratorium tentang Pelaporan Nilai Kritis di
Rumah Sakit Methodist Medan
Standar Prosedur Operasional (SPO) Pelaporan Nilai Kritis
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Laboratorium
Standar Prosedur Operasional (SPO) Pelaporan Hasil
Pemeriksaan Kritis
Standar Prosedur Operasional (SPO) Pelaporan Hasil Nilai
Kritis Radiologi
Tersedia
Tersedia
Sasaran IV Lokasi Pembedahan yang Benar, Prosedur yang Benar,
dan Pembedahan pada Pasien yang Benar
Surat Kebijakan Panduan Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat
Pasien Operasi di Rumah Sakit Umum Methodist Medan
Panduan Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Operasi di
Rumah Sakit Umum Methodist Medan
Standar Prosedur Operasional (SPO) Pengisian Surgical Safety
Check List
Tersedia
Tersedia
Tersedia
Sasaran V Mengurangi Risiko Infeksi Akibat Perawatan Kesehatan
Surat Kebijakan Pelaksanaan Cuci Tangan di Rumah Sakit
Methodist Medan
Tersedia
Panduan Pelaksanaan Cuci Tangan di Rumah Sakit Methodist
Medan
Standar Prosedur Operasional (SPO) Cuci Tangan
Tersedia
Tersedia
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Regulasi dibuat untuk menjadi sebuah acuan dalam melakukan suatu
tindakan. Regulasi yang telah disusun perlu disosialisasikan dan dibuat pelatihan
agar setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Pemenuhan dokumen Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) sesuai Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1 yaitu.
1. Meningkatkan komunikasi yang efektif
a) Regulasi tentang Komunikasi efektif antar professional pemberi asuhan
b) Regulasi tentang penetapan besaran nilai kritis dan hasil diagnostik kritis
2. Terlaksananya proses tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat pasien yang menjalani
tindakan dan prosedur
a) Regulasi tentang pelaksanaan surgical safety check list
b) Regulasi tentang prosedur Time-Out
3. Dikuranginya risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
a) Regulasi tentang kebersihan tangan (Hand Hygiene)
Rumah Sakit Methodist telah memenuhi regulasi terkait pelaksanaan
keselamatan pasien sesuai dengan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi
1. Regulasi tersebut berupa SK (Surat Keputusan) Direktur Rumah Sakit,
Pedoman/Panduan dan SPO (Standar Prosedur Operasional) terkait pelaksanaan
sasaran keselamatan pasien. Berdasarkan hasil wawancara para informan sudah
mengetahui adanya regulasi terkait sasaran keselamatan pasien melalui sosialisasi
dan sudah dijalankan. Para informan juga mengetahui dokumen terkait
keselamatan pasien yaitu SPO melapor nilai kritis, cara melakukan operan, SBAR,
dan hand hygiene.
Sosialisasi atau pelatihan dalam pelaksanaan keselamatan pasien. Infor-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
man mengatakan bahwa sosialisasi atau pelatihan terkait pelaksanaan keselamatan
pasien dilakukan secara umum di aula yang diikuti oleh setiap unit terkait, dan
seluruh pegawai rumah sakit. Sosialisasi dilakukan dimulai pada saaat persiapan
akreditasi, yang dilakukan setiap minggu ke dua dan dilakukan dua sampai tiga
kali dalam setahun. Pelatihan yang dilakukan yaitu komunikasi menggunakan
SBAR, penandaaan lokasi, dan pengurangan risiko infeksi. Berikut ini ungkapan
informan penelitian:
“Sudah disosialisasikan, sosialisasinya general, setiap unit
terkait. Ada pelatihan setiap minggu ke dua, ke semua pegawai.
Pelatihan ada SBAR, penandaaan lokasi, pengurangan risiko
infeksi.” (Informan I)
“Ada disosialikan secara umum. Sosialisasi pas mau akreditasi,
setahun paling 2-3 kali. Kalo perawat lebih sering lagi.”
(Informan II)
“Ada, pelatihan kami pernah secara umum.” (Informan IV,IX)
“Sosialisasi sudah ada dilakukan secara umum.” (Informan
VII,VIII)
“Sudah di aula untuk melakukan cuci tangan, Kita gak unit kita
global.” (Informan VI)
Terdapat satu informan yaitu IPCN yang mengatakan bahwa sosialisasi
dilakukan secara umum dan internal yaitu didalam rumah sakit tentang bagaimana
melakukan cuci tangan yang benar menggunakan handrub. Sosialisasi juga
digunakan dengan menggunakan media poster yang ditempel di dinding.
Pernyataan informan di ungkapkan sebagai berikut:
“Pelatihan tentang cara melakukan cuci tangan yang benar, pakai
handrub ada dilakukan secara internal, umum, juga ada di
tempel.” (Informan III)
Terdapat salah satu partisipan yang mengatakan pernah dilakukan sosiali-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
si hanya dua kali pada tahun lalu saat menjelang akreditasi dan tidak dilakukan
secara berkesinambungan. Topik sosialisasi yang diberikan yaitu komunikasi,
tepat lokasi dan pelaksanaan cuci tangan. Pernyataan partisipan diungkapkan
sebagai berikut:
“Pernah tapi kemarin aja siap itu gak berkesinambungan lagi,
cuman dua kali kayaknya tahun lalu sebelum akreditasi. Secara
umum, semua perawat, topiknya komunikasi tepat lokasi,
rendahnya cuci tangan ada..” (Informan V)
Pelatihan atau pendidikan diartikan sebagai kegiatan organisasi yang
didesain untuk memperbaiki atau meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap pegawai sesuai dengan kebutuhan sehingga pegawai yang bersangkutan
lebih maju dalam melaksanakan tugas (Manullang, 2004). Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan oleh peneliti sudah ada dilakukan pelatihan dan
sosialisasi secara umum seperti SBAR, penandaaan lokasi, cara melakukan cuci
tangan yang benar menggunakan handrub.
Metode sosialisasi yang dilakukan juga dengan menggunakan media poster
seperti cara cuci tangan yang benar, dan 5 saat (five moment) untuk melakukan
cuci tangan. Sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan belum maksimal karena
hanya dilakukan pada saat menjelang akreditasi dan tidak dilakukan secara
berkesinambungan dan berkala. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Pasaribu (2018) tentang pelaksanaan program keselamatan pasien
(patient safety) di ruang rawat inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun
2018 menunjukkan pelaksanaan program keselamatan pasien di ruang rawat inap
belum berjalan dengan maksimal karena perawat tidak rutin diberikan pengarahan
atau sosialisasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
Hasil penelitian yang dilakukan Setiyani, Zuhrotunida, dan Syahridal
(2016) menunjukkan hasil analisa hubungan pelatihan Patient Safety dengan
implementasi Sasaran Keselamatan Pasien diperoleh nilai p-value = 0,043 maka
terdapat hubungan antara pelatihan Patient Safety dengan Implementasi Sasaran
Keselamatan Pasien. Dari hasil analisa diperoleh nilai OR=13.200 artinya perawat
yang sudah mengikuti pelatihan patient safety memiliki peluang 13.200 kali untuk
mengimplementasikan sasaran keselamatan pasien dengan baik dibandingkan
dengan yang belum mengikuti pelatihan patient safety. Rahasia keberhasilan dari
organisasi yang paling efektif tergantung kepada penerapan latihan bagi tenaga
kerja dalam organisasi tersebut.
Monitoring dan pelaporan. Terdapat empat informan yang mengatakan
bahwa ada dilakukan monitoring dan evaluasi dari Kepala Bidang Keperawatan,
kepala ruang, dan IPCN. Bentuk monitoring dan evaluasi yang dilakukan dengan
check list oleh IPCN, diamati oleh kepala ruang, dan tanda tangan dari pasien atau
keluarga apabila sudah melakukan cuci tangan. Pelaporan monitoring pelaksanaan
cuci tangan dilakukan setiap bulan, jika ditemukan ada kejadian infeksi maka akan
dicatat di formulir surveilans Hais dan dilaporkan. Berikut ini ungkapan informan
penelitian:
“Ada dalam bentuk check list, Auditnya sekali 3 hari. Pembuatan
laporan dilakukan setiap bulan.” (Informan III)
“Ada dilakukan monitoring, ada laporan itu kalo ada kejadian-
kejadian jatuh, infeksi. Kalo ada kejadian kami catat itu, formulir
surveilans Hais.” (Informan IV)
“Mereka melihat, mengamati bagaimana kami melaksanakannya,
dan kalo bukti ya lewat tanda tangan tadi dari pasien kalo
melakukan cuci tangan. Dari karu mengamati. Ada pelaporan
kalau terjadi infeksi.” (Informan VII)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
“Ada, diamati kabid, karu. Dari PMKP, samaku gak ada tapi gak
tau sama yang lain.” (Informan IX)
Menurut dua informan lainya mengatakan monitoring dan evaluasi yang
dilakukan tidak secara berkesinambungan hanya sekali di Tahun 2019, bulan
Maret belum karena kekurangan Sumber Daya Manusia. Pelaporan yang diberikan
kepada direktur terakhir hanya bulan Januari. Berikut ini ungkapan informan
penelitian:
“Ada cuman SDM yang mau lakukan monitoring gak ada.
Monitoring dan evaluasinya untuk 2019 cuman sekali, bulan
Maret belum karena kekurangan SDM yang menjalankan saya
sendiri semua. Laporannya sudah ada, tiap bulan. Pelaporan
teraakhir ke direktur itu Januari selama ini kita belum pernah.”
(Informan I)
“Ada sih monitoringya tapi belum berkesinambungan, kalo cuci
tangan check list, ada juga yang buat laporan juga, ada yang
lihat langsung di status ada gak benar-benar dilakukan metode
SBAR, TBK itu diverifikasi ngak. Ada pelaporannya tapi gak
berkesinambungan, Karena banyak yang harus kita lakukan.”
(Informan V)
Terdapat dua informan yang mengatakan bahwa ada dilakukan monitoring
dan evaluasinya, tetapi pelaporan pelaksanaan komunikasi efektif, pelaksanaan
cuci tangan, tepat lokasi, tepat pasien operasi dan tepat prosedur tidak ada. Berikut
ini ungkapan informan penelitian:
“Ada, ya kalo cuci tangan ya bener gak sesuai prosedur
dilakukan. kalo komunikasi efektif saat berkomunikasi kepada
orang, kepada pasien. Gak ada laporan.” (Informan VI)
“Ada, evaluasinya, ada dibuat laporan gitu gak ada, tapi adalah
kurva SBAR. Ada laporan infeksi nanti dilapor ke IPCN.”
(Informan VIII)
Monitoring atau pengawasan harus dilakukan sebagai bagian dari upaya
untuk mengawasi implementasi kebijakan agar berlangsung dengan baik, dapat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
menjawab permasalahan yang menjadi dasar terbentuknya kebijakan atau untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan adanya monitoring ialah untuk
mengawasi atau memantau pelaksanaan sesuai dengan tujuan, mendeteksi sedini
mungkin kekurangan dan kesalahan, mengubah sistem atau menambahkan sumber
daya yang diperlukan (Ayuningtyas, 2015).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti monitoring
pelaksanaan keselamatan pasien tidak dilakukan secara berkesinambungan karena
kekurangan sumber daya manusia. Pelaporan pelaksanaan keselamatan pasien
belum dilakukan setiap bulan, yang dilaporkan jikalau ada kejadian infeksi dicatat
di formulir surveilans Hais dan pelaporan kepada direktur terakhir kalinya
dilakukan pada bulan Januari. Monitoring dan pelaporan di Rumah Sakit
Methodist belum maksimal karena belum dilakukan berkesinambungan atau rutin
setiap bulan. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien dilakukan
oleh Tim PMKP dan IPCN untuk pelaksanaan pengurangan risiko infeksi.
Hambatan dalam pelaksanaan keselamatan pasien. Suatu kegiatan atau
program tidak luput dari sebuah kendala yang menjadi penghambat terlaksanakan
kegiatan tersebut dengan baik. Terdapat empat informan mengatakan bahwa dalam
pelaksanaan keselamatan pasien tidak memiliki hambatan karena sudah terbiasa
dan untuk meningkatkanya diperlukan pelatihan yang berkesinambungan.
Pernyataan informan diungkapkan sebagai berikut:
“Ya karena dulu baru-baru, adalah. Tapi sekarang gak ada lagi
karena sudah biasa dikerjakan.” (Informan II, VI,VIII)
“Hambatan komunikasi kurasa ngak adalah ya paling untuk
meningkatkannya tadi harus ada pelatihan yang
berkesinambungan sih.” (Informan V)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
Menurut dua informan lainya mengatakan hambatan dalam pelaksanaan
keselamatan pasien adalah malas, kurang taat, kurang menyadari, kurang
sosialisasi dan kurang motivasi.
“Malas, kurang taat, kadang udah taunya semua peraturan tapi
ya kadang malas. Kurang ini aja memang kurang taat aja sama
peraturan.” (Informan IV)
“Kurang menyadari ajalah ya, itu ajjalah, kurang sosialisasi
jugalah memang karena itu kan secara umum. Kurang jugalah,
jadi kurang motivasilah karena ini.” (Informan VII)
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terdapat ham-
batan yang dialami para tenaga kesehatan dalam melakukan keselamatan pasien
seperti pelatihan tidak dilakukan secara berkesinambungan dan berkala, kurangnya
kesadaran, malas, kurang taat kepada peraturan, kurang sosialisasi, dan kurang
motivasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Octaria, Dewi dan
Yuliadi (2014) tentang analisis kesiapan rumah sakit yang telah terakreditasi 12
pelayanan terhadap pemenuhan Standar Akreditasi Versi 2012 didapatkan
hambatan yang dihadapi antara lain pengetahuan akreditasi yang masih kurang,
kurang sosialisasi, fasilitas yang belum lengkap, belum terbentuk tim akreditasi,
kurangnya penerapan dan evaluasi kebijakan dan SOP, kurangnya kesadaran diri
petugas, dan kurang edukasi dari pihak manajemen.
Tema 2. Melakukan komunikasi yang efektif. Komunikasi efektif, yang
tepat waktu, akurat, lengkap, dan jelas akan mengurangi kesalahan, dan
menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Berbagai jawaban dikemukakan
oleh informan mengenai bagaimana persepsi informan dalam melaksanakan
komunikasi di instalasi rawat inap.
Rendahnya pencapaian komunikasi efektif. Komunikasi sangat menentu-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
kan keberhasilan pencapaian tujuan dari pelaksanaan program. Informan dalam
penelitian ini mengatakan rendahnya pencapaian komunikasi efektif adalah karena
perawat belum terbiasa, sosialisasi yang diberikan tidak tepat sasaran dan
berkesinambungan, penyampaian komunikasi kurang efektif, informasi tidak dapat
tersalurkan, kurangnya tenaga kerja perawat, dan pelatihan secara khusus. Berikut
ini ungkapan informan penelitian:
“Masih belum terbiasanya perawat disini untuk mengikuti SOP,
sosialisasi yang kita berikan itu tidak tepat sasaran kan harus
semua, penyampaian sosialisai itu kurang komunikatif, perawat-
perawat yang lama-lama, dalam hal penanggapan untuk hal ini
agak berbeda, jadi agak susah di ubah terkait dalam hal ini.”
(Informan I)
“Jumlah pasien sama jumlah perawat itu gak sama, beban kerja,
gak pernah pelatihan secara khusus tentang itu komunikasi
efektif.” (Informan V)
“Kita kan belum terbiasa, kadang-kadang hanya dok ini, ini.
Kalau menurut komunikasi efektif kan kita harus memperkenalkan
diri, mengucapkan salam, melakukan ini, tapi kadang disitunya,
kurang ini ya langsung ke fokus kadang ke sasarannya gak
langsung dari ini ke ini.“ (Informan IV)
“Dokter juga mau cepat-cepat semuanya, terlalu lama gitu jadi
langsung ke masalah pasien.” (Informan VII)
Setiap rumah sakit diwajibkan untuk melakukan akreditasi. Salah satu yang
menjadi elemen penilaian dalam akreditasi adalah komunikasi efektif di dalam
kelompok kerja sasaran keselamatan pasien. Setiap bab dalam kelompok kerja
harus mencapai standar 100% yang ditetapkan oleh tim akreditasi dan rumah sakit.
Beberapa strategi komunikasi yang tepat untuk memastikan komunikasi yang
efektif telah dikembangkan untuk memastikan akurasi informasi, seperti SBAR
(Situation, Background, Assesment, Recommendation) ketika konsultasi, check
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
back dalam komunikasi melalui telepon, dan Tulis-Baca-Konfirmasi (Wardhani,
2017).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti faktor yang
mempengaruhi rendahnya pelaksanaan komunikasi ialah karena belum terbiasa,
sosialisasi tidak tepat sasaran, kurang komunikatif, sulit mengubah kebiasaan,
beban kerja, tidak ada dilakukan pelatihan khusus, hambatan waktu dan
pelaksanaan komunikasi belum sesuai standar yang telah ditetapkan. Penilaian
pelaksanaan komunikasi di dalam pelaksanaan akreditasi adalah untuk
meningkatkan efektivitas komunikasi verbal dan atau komunikasi melalui telpon
antar profesional pemberi asuhan.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nazri, Juhariah dan Arif
(2015) didapatkan bahwa pengalaman perawat berkomunikasi dengan dokter
melalui telepon di ruang perawatan ICU pada faktor keterbukaan perawat merasa
terburu-buru berkomunikasi dengan dokter (33%). Pada aspek logistik ditemukan
perawat sulit menghubungi dokter merupakan pengalaman yang sering
diungkapkan oleh responden (50%). Terdapat 25% responden mengungkapkan
bahwa perawat merasa tidak cukup waktu untuk mengatakan sesuatu kepada
dokter. Hambatan komunikasi terbanyak yang diungkap oleh perawat adalah
lemahnya kemampuan perawat berkomunikasi.
Komunikasi via telepon. Komunikasi yang dilakukan untuk perintah lisan
lewat telepon adalah mencatat perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh
penerima perintah, kemudian penerima perintah membacakan kembali perintah
atau hasil pemeriksaan dan mengonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
dibaca ulang adalah akurat (Simamora, 2018). Lima dari sembilan informan dalam
penelitian ini mengatakan bahwa komunikasi yang dilakukan via telepon adalah
dengan menggunakan metode SBAR dan TBK. Salah satu informan mengatakan
bahwa metode komunikasi SBAR tidak dituliskan, hanya menggunakan metode
tersebut cara mereka melakukan komunikasi dengan mengucapkan salam,
menyampaikan identitasnya, keluhan atau nilai kritis, obat yang akan dikasih,
terapi terdahulu, tulis di CPPT (Catatan Perawatan Pasien Terintegrasi), lalu
dibaca kembali apa yang disampaikan, konfirmasi, dan stempel TBK. Dokter
menandatangani catatan kurang dari 24 jam. Berikut ini ungkapan informan
penelitian:
“Ditulis lengkap, dibaca ulang dan dikonfirmasi lagi kepada
penerima, di eja kalau ada yang sulit. Kami telepon dan bilang
ini, setelah kita tulis, baca, konfirmasi, kita stempel, nanti kalo
dokternya datang nanti dikonfirmasinya lagi ini. sudah
dilaksanakan kurang dari 24 jam ini dek dikonfirmasi. Ini cara
melapornya juga sudah dilaksanakan sesuai SBAR dan TBK.”
(Informan IV)
“Ada kayak keluhan, atau nilai kritis kan kita via telepon.
ucapkan salam, kita tetap terapkan SBAR itu, kita nanti feed back
lagi, baca kembali, iya katanya, baru kita stempelkan, besoknya
baru kita teken. Teken sama dokter kita verifikasinya kurang dari
24 jam. Kita gak ada catat namanya S, B, A, R, gak ada lagi, kita
cuman catat keluhannya karena sudah bisa.” (Informan V)
“Komunikasi lewat telepon secara SBAR. Diceritakan apa
keluhanya, terus obat yang dikasih, terapi terdahulu, kasih tau
identitasnya. catatan kita stempel, terus tulislah tanggalkan hari
ini nanti verifikasi dari dokternya kurang dari 24 jam.” (Informan
VIII)
Terdapat dua informan I dan VI yaitu Ketua Tim PMKP dan Kepala
Ruangan mengatakan bahwa metode SBAR yang digunakan sesuai dengan
akreditasi SNARS ditulis S, B, A, R-nya dan semua perawat sudah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
menjalankannya. Salah satu informan juga mengatakan ada dilakukan pelaporan
SBAR-nya setiap hari. Berikut ini ungkapan informan penelitian:
“Kita jalankan sistem SBAR, jadi artinya mereka di status nya
sudah ada dan dilaporkan dan setiap hari ada pelaporan SBAR-
nya. Sudah sesuai dengan akreditasi SNARS, untuk S, B, A, R,
SBAR ditulis seperti itu, dan untuk TBK artinya apa sudah mereka
tulis, mereka laksanakan di lapangan itulah TBK.” (Informan I)
“Pakai metode SBAR, dijelaskan satu-satu S, B, A, R-nya, itu ada
kita tulis di CPPT, nanti kan dokter liat pas visit.” (Informan VI)
Terdapat tiga informan yang mengatakan bahwa komunikasi lewat telepon
dilakukan dengan melapor keadaan pasien, dokter memberikan tindakan yang akan
dilakukan, membaca ulang kembali, melakukan pengejaan jika ada kata sulit,
konfirmasi, dan stempel TBK. Pada saat visit dokter memverifikasinya dalam
waktu kurang atau lebih dari 24 jam. Berikut ini ungkapan partisipan penelitian:
“Ditulis, udah diapakan, dibaca ulang lagi ke dokternya dan
dikonfirmasi. Melapor hasil lab ini, bicara mengenai pasien, hasil
labnya, terapinya apa untuk selanjutnya. Ooo TBK ada, stempel
TBK, itu ditandantangi. Gak bisa kita pastikan, ya pas kapan
dokternya visit, kadang lebih kadang kurang dari 24 jam.”
(Informan IX)
“Dok pasien ini, kamar ini langsung gini, terus dikasih
diagnosanya, langsung kepasien terus kita ulangi yang tidak
dimengerti saja yang di eja, di eja alphabet kan.” (Informan VII)
“Dilaporkan kondisi si pasien, keluhannya kondisi klinisnya itu
aja. Saya kasih terapilah, Sebelum tutup telepon dia ngulang
instruksi saya. Ada tanda tangan TBK.” (Informan II)
Teknik komunikasi SBAR merupakan teknik komunikasi yang
memberikan urutan logis, terorganisir dan meningkatkan proses komunikasi untuk
memastikan keselamatan pasien. Komunikasi SBAR adalah komunikasi dengan
menggunakan alat yang logis untuk mengatur informasi sehingga dapat di transfer
kepada orang lain secara akurat dan efisien. Prosedur pelaksanaan komunikasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
efektif dengan SBAR via telepon adalah perawat mengidentifkasi pasien,
melakukan pengkajian keperawatan tuliskan identitas dan kondisi pasien pada
form buku komunikasi pasien, ucapkan salam dan laporkan identitas dan kondisi
pasien saat ini dengan menggunakan teknik SBAR. Perawat membuat laporan
Situation yaitu situasi yang menggambarkan kondisi pasien sehingga perlu
dilaporkan. Background yaitu gambaran riwayat/hal yang berhubungan dengan
kondisi atau masalah pasien saat ini. Penilaian yaitu kesimpulan dari analisa
terhadap gambaran situasi. Rekomendasi yaitu usulan tentang alternatif tindakan
yang akan dilakukan, kapan, dimana. Dokter atau pemberi informasi akan
memberi respon.
Perawat mencatat isi perintah, membaca ulang, pengejaan ulang apabila
perintah mengandung nama obat golongan LASA/NORUM dan obat High Alert,
Daftar obat LASA/NORUM dan High Alert. Pemberi perintah mengonfirmasi
setelah pemberi perintah mendengar pembacaan dan memberikan pernyataan
kebenaran. Pindahkan data SBAR dan instruksi dokter pada status pasien. Tulis
instruksi kemudian stempel TBaK. Ucapkan terima kasih dan salam. Pemberi
informasi mengonfirmasi instruksi maksimal 1x24 jam (Simamora, 2018).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti komunikasi via
telepon telah dilakukan dengan langkah metode komunikasi SBAR dan TBK.
Pelaksanaanya dilakukan dengan menulis di Catatan Perkembangan Pasien
Terintegrasi namun ada juga yang mengatakan tidak menulis metode komunikasi
SBAR karena sudah mampu melakukanya secara lisan. Pelaksanaan komunikasi
via telepon langsung ke keadaan atau situasi (Situation) pasien dan meminta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
rekomendasi (Recomendation) kepada dokter untuk meminta saran terhadap
tindakan yang akan dilakukan kepada pasien. Perawat masih ada yang belum
melakukan teknik komunikasi (Background) yaitu riwayat/hal yang berhubungan
dengan kondisi pasien dan (Assesment) yaitu penilaian terhadap kondisi pasien.
Perawat telah menulis (T) saran dari dokter, membaca kembali (Ba), jikalau ada
istilah yang dapat menimbulkan kesalahan sudah dilakukan pengejaan terhadap
kata tersebut, setelah itu membuat stempel TbaK sebagai bukti dan konfirmasi
instruksi (K) dari dokter telah dilakukan komunikasi via telepon. Pelaksanaan
konfirmasi oleh dokter terkait pelaksanan TBaK bisa kurang atau lebih dari 24
jam. Pelaksanaan komunikasi via telepon di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Methodist telah berjalan dengan baik namun belum maksimal karena masih
terdapat langkah-langkah metode komunikasi SBAR dan TBK belum sesuai
dengan ketentuan seperti masih ada yang belum melaporkan Background,
Assessment pasien dan konfirmasi instruksi lebih dari 24 jam.
Panjangnya rantai sistem dalam dalam suatu pelayanan kesehatan
meningkatkan risiko insiden keselamatan pasien. Keberlanjutan dan akurasi
pelayanan tergantung pada akurasi informasi yang dipindahkan dalam setiap titik
transisi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nazri dkk. (2015)
didapatkan bahwa komunikasi dengan telepon antara perawat dengan dokter
dinilai tidak efektif karena frekuensi implementasi komponen teknik komunikasi
SBAR dan TBaK tidak mencapai 100%. Komponen S (Situation) tercapai 79%
dan komponen B (Background) tercapai 64%. Komponen A (Assessment)
merupakan komponen dengan frekuensi terendah (21%) diantara komponen teknik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
komunikasi SBAR. Pada audit teknik komunikasi TBAK diketahui perawat
melakukan komponen B (Baca Kembali) sebesar 21% dan tidak melakukan
komponen K (Konfirmasi Kembali) dengan frekuensi 0%.
Serah terima pasien. Satu dari delapan informan yaitu Kepala Ruang Ester
mengatakan metode yang digunakan dalam serah terima pasien adalah
menggunakan metode SBAR. Tiga informan mengatakan operan dilakukan dengan
berkumpul, diskusi bersama, baca CPPT dan buku rawatan, baru ke ruangan.
Perawat penangung jawab pasien serah terima dengan perawat penanggung jawab
pasien di shift selanjutnya dan kepala ruangan serah terima dengan penanggung
jawab sore. Serah terima dilakukan di ruangan nurse station dan pergi ke setiap
ruangan pasien. Pernyataaan informan diungkapkan sebagai beikut:
“Kalo disni kan kita diskusi, baca CPPT, baru ke ruangan.
Metode SBAR, Kita kasih tau namanya, diagnosanya, keluhannya,
nanti mau kita oper sama dia, nnti foto ya, foto thorak ya nnti.
pasien ku si a pasien dia si a juga di sore nanti jadi aku operkan
juga sama dia, baru kayak kepala ruangan oper sama
penanggung jawab sore.” (Informan IV,V)
“Operan, ke ruangan pasien, nanti operan di ruangan nanti
dikasih tau juga ke pasien. Semua tim pagi kumpul baca rawatan
lalu pergi ke ruangan.” (Informan IX)
Terdapat tiga informan yang mengatakan bahwa serah terima pasien
dilakukan oleh petugas yang telah selesai berjaga dengan yang tim yang bekerja di
shif selanjutnya dan dipimpin oleh perawat yang bertanggung jawab pada shift
tersebut seperti kepala ruangan rawatan atau perawat yang bertugas. Serah terima
dilakukan dengan membaca buku komunikasi, buku rawatan, buku status, dilihat
siapa yang bertanggung jawab kepada pasien, bertanya jika ada yang ingin ditanya
dan setelah itu pergi ke setiap ruangan pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
“Kita serah terima baca buku komunikasi, buka status baru kita komunikasi.” (Informan VI)
“Pergi ke ruangan ni, hand over dari petugas siang ke sore lah,
kita ada buku catatannya, ya kita istilahnya hand over di ruangan
sama petugas siang ke sore, ganti lagi ke kamar satu lagi.”
(Informan VII)
“Setelah baca buku rawatan, ada yang kurang mengerti di tanya
terus ke pasien. Penanggung jawab yang memiminpin, kalo gini
pagi kan kepala ruangan lah ke penanguung jawab sore.”
(Informan VIII)
Tabel 6
Hasil Observasi Pelaksanaan Komunikasi Efektif
Sasaran II Komunikasi Efektif
Aspek yang di Observasi Keterangan
Timbang terima pasien di di nurse
station
Timbang terima pasien di bed pasien
Dilakukan pada jam 15.00 antara perawat shift pagi
dan sore berkumpul di nurse station
Perawat shift pagi dan sore pergi bersama-sama ke
ruangan pasien melakukan operan di depan pasien
Kembali lagi ke nurse station
Bukti Pelaksanaan tentang Penyampaian
Pesan Verbal atau Lewat Telepon
Bukti Pelaksanaan Serah Terima
Setelah selesai melakukan operan kembali ke nurse
station
Tersedia di buku Catatan Perkembangan Pasien
Terintegrasi (CPTT)
Tersedian di buku serah terima pasien
Serah terima pasien atau Handover adalah salah satu bentuk komunikasi
perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan dan kegiatan yang harus
dilakukan sebelum pergantian dinas. Selain laporan antar dinas dapat juga
disampaikan informasi yang berkaitan dengan rencana kegiatan yang telah atau
belum dilakukan. Serah terima pasien bertujuan untuk mengakurasi,
mereliabilisasi komunikasi tentang tugas perpindahan informasi yang relevan
digunakan untuk keseinambungan dalam keselamatan dan keefektifan dalam
bekerja (Simamora, 2018). Proses timbang terima pasien menurut (Simamora,
2018) antara lain dilakukan pada setiap pergantian dinas dengan waktu yang cukup
panjang agar tidak terburu-buru. Proses timbang terima dipimpin oleh kepala
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
ruangan dan dilaksanakan oleh seluruh perawat yang bertugas maupun yang akan
mengganti shift. Perawat primer malam menyerahkan ke perawat primer
berikutnya yang akan mengganti shift. Timbang terima pertama dilakukan di nurse
station kemudian ke ruangan klien dan kembali lagi ke nurse station. Isi timbang
terima mencakup jumlah klien, masalah keperawatan, intervensi yang sudah dan
belum dilakukan serta pesan khusus bila ada. Setiap klien dilakukan timbang
terima tidak lebih dari 5 menit saat klarifikasi ke klien.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan pada saat serah
terima pasien sudah tersedia buku catatan komunikasi yang berisi nama pasien,
tanggal lahir, nomor rekam medik, dokter, diagnosa, terapi yang akan dilakukan
dan sudah dilakukan. Kepala ruangan memimpin kegiatan serah terima pada
pergantian shift pagi ke sore. Sedangkan kegiatan serah terima pada shift sore ke
malam dipimpin oleh perawat penanggung jawab sore. Proses serah terima yang
dilakukan sudah cukup baik, perawat membaca buku komunikasi, selanjutnya
dilakukan diskusi antar perawat di nurse station, namun perawat shift sore atau
yang akan bertugas selanjutnya belum hadir semua, pada saat serah terima kurang
adanya pimpinan dari kepala ruangan sehingga setiap perawat tidak dapat
mengetahui perkembangan pasien lainya dan kurang interaksi pada saat kumpul di
nurse station. Setelah diskusi, kepala ruangan memimpin semua perawat shift pagi
dan sore untuk pergi ke setiap ruangan pasien untuk melakukan operan dengan
pasien. Setelah melakukan operan kepada pasien kembali lagi ke ruangan nurse
station. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Goraph, Kundre dan Hamel
(2018) tentang hubungan timbang terima (operan shift) dengan kinerja perawat
pelaksana di ruang rawat inap bangsal RSU GMIM Pancaran Kasih Manado
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
bahwa sering kali perawat pelaksana pulang terlebih dahulu atau datang terlambat
sehingga tidak mengikuti timbang terima yang berujung pada miss communication
antar perawat baik tentang identitas pasien maupun intervensi keperawatan
lanjutan bagi pasien sehingga mempengaruhi pemberian asuhan keperawatan
diantaranya berupa ketidaktepatan dalam pemberian tindakan keperawatan
maupun dalam melakukan dokumentasi keperawatan. Penelitian yang dilakukan
oleh Didimus, Indar dan Hamzah (2013) tentang faktor yang berhubungan dengan
kinerja perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Ibnu Sina YBW-UMI Makasar
didapatkan hasil bahwa kepemimpinan, pelatihan, rekan kerja, pengakuan, sistem
imbalan, memiliki hubungan dengan kinerja seorang perawat.
Tema 3. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang
benar, dan pembedahan pada pasien yang benar. Kesalahan sisi operasi
merupakan kejadian sentinel dengan dampak terberat. Kasus ini menggugah
kesadaran pentingnya sistem yang menjamin keselamatan pasien dalam tindakan
pembedahan. Sebuah pemikiran menunjukkan bahwa jika proses identifikasi
dilakukan dengan benar, dan dipindahkan dengan informasi dan pengalihan
tanggung jawab yang lengkap, diperkuat dengan cek dan ricek. Mekanisme ini
dikembangkan menjadi check list keselamatan pembedahan oleh WHO yang
disebut surgical safety check list (Wardhani, 2017). Berbagai jawaban
dikemukakan oleh informan mengenai bagaimana persepsi informan dalam
pelaksanaan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi di instalasi rawat
inap.
Rendahnya pencapaian pelaksanaan tepat lokasi, tepat prosedur, dan
tepat pasien operasi. Terdapat 2 informan yang mengatakan bahwa jarang dilaku-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
kan penandaan pada fisik pasien. Berikut ini ungkapan partisipan penelitian:
“Penandaan lokasi operasi itu gak selamanya kita melakukan itu
misalnya contoh dikasih tandakan itu jarang kita lakukan di
ruangan, tapi tetap kita kog dicek dilihat data-data kita dicek
kembali, lokasi dimana, tepat pasienya. Tapi kalo diruangan
jarang memang di tandai disini. Tapi jarang semua di tandai.”
(Informan IV)
“Tapi jujur ajalah masih banyak itu tidak dilakukan. Gak semua
dokter itu melakukan kegiatan, banyak yang mau secepatnya aja
melakukan tindakan dan tidak di tandainya di atas itu. Masih
banyak lah yang belum disiplin belum melakukan penadaan itu.”
(Informan X)
Terdapat satu informan yang mengatakan bahwa rendahnya pencapaian
pelaksanaan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi diakibatkan
karena masih kurangnya pengawasan dari bagian ruangan dari kepala ruangan,
masih ada beberapa dokter yang enggan untuk melakukan penandaan. Pernyataan
informan diungkapkan sebagai berikut:
“Masih kurangnya pengawasan dari bagian ruangan dari kepala
ruangan, masih ada beberapa dokter yang enggan untuk
melakukan itu.” (Informan I)
Menurut satu informan mengatakan bahwa rendahnya pencapaian
pelaksanaan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi diakibatkan
karena dokumentasi pasien yang akan melakukan operasi tidak terisi semuanya,
ada yang belum terisi, dan Surat Ijin Operasi banyak yang tidak terisi. Pernyataan
informan diungkapkan sebagai berikut:
“Tidak terisi terlalu banyak, jadi dokumentasi kami itu pasti ada
bolong-bolong. tapi sekarang rasaku udah terisi gitu 80%.
Kemarin rendah mungkin karena banyak SIO yang gak terisi.”
(Informan V)
Setiap rumah sakit diwajibkan untuk melakukan akreditasi. Salah satu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
yang menjadi elemen penilaian dalam akreditasi adalah terlaksananya proses tepat-
lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien, yang menjalani tindakan dan prosedur di
dalam kelompok kerja sasaran keselamatan pasien. Maksud dan tujuan
dilakukannya hal ini menurut Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi I
adalah rumah sakit diminta untuk menetapkan prosedur yang seragam antara lain
yaitu dalam hal memberi tanda di tempat operasi, dilakukan verifikasi pra-operasi,
melakukan Time Out sebelum insisi kulit dimulai dan melakukan verifikasi pasca
operasi. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti rendahnya
pencapaian dalam pelaksanaan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien
operasi adalah karena kurangnya pengawasan, dokter enggan dan belum disiplin
melakukan penandaan, dokumen tidak lengkap terisi dan banyak Surat Ijin Operasi
(SIO) yang tidak terisi. Hal inilah yang mengakibatkan rendahnya pencapaian
saasaran ini sehingga perlu ditindak lanjuti untuk meningkatkan pencapaian
sasaran ini dan semakin meningkatkan mutu perawatan kesehatan.
Persiapan verifikasi sebelum operasi. Terdapat 3 informan yang
mengatakan bahwa sebelum operasi persiapan yang perlu diperhatikan adalah
mempersiapkan semua kelengkapan dokumen seperti melakukan identifikasi ulang
pasien, lokasi yang mau operasi, pasien yang tepat, surat persetujuan operasi, foto,
dan injeksi antibiotik. Berikut ini ungkapan partisiapan penelitian:
“Melakukan identifikasi pasien dilihat lokasi yang mau operasi, pasien yang tepat, foto” (Informan 7)
“Operasi apa, harinya tanggalnya, operasinya dibagian mana,
persiapannya apa aja puasa kah ada foto kah, atau ada injeksi
antibiotik.” (Informan VIII)
“Tergantung persiapanya apa yang dibutuhkan oleh dokter,
persiapan operasi, identifikasi ulang.” (Informan IX)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
Terdapat dua informan yang mengatakan bahwa sebelum operasi harus
melakukan informed consent seperti menjelaskan tentang penyakitnya,
penanganan penyakitnya dan risiko yang akan di timbulkan. Saat informed consent
harus ada pasien dan salah satu keluarganya. Berikut ini ungkapan informan
penelitian:
“Ngecek status, periksa pasien, menentukan lokasi, memastikan
lagi lokasi daerah operasi yang mau dilakukan. Ada informed
consent, dijelaskan, ya tentang penyakitnya, penanganan
penyakitnya, tentang risiko operai yang akan dilakukan.”
(Informan II)
“Antar dia ketempat operasi, kita oper juga ke perawat operasi,
diliatlah dimana operasinya, nanti mereka mengulang, kami pun
mengulang, cek namanya, identitasnya pasti, gelang pasiennya.
Disni di cek dan nanti ada juga dicek disana dan nanti di cek
kembali terus di tanda tangan, tunjukan lokasilah tempatnya
dimana. Informed consent harus ada pasien dan salah satu
keluaganya.” (Informan IV)
Menurut dua informan lainnya saat melakukan persiapan sebelum operasi
dilakukan serah terima antar ruangan yaitu antara perawat ruangan dan perawat
kamar operasi. Berikut ini ungkapan partisiapan penelitian:
“Biasa verifikasi dulu, tangal lahir, nomor rekam medik,
dokternya siapa, surat ijn operasinya, anastesinya, persiapan
puasa, cukur, antibiotik, apakah butuh darah. serah terima ke
kamar bedah terus kembali keruangan di check list lagi nanti
semuanya.” (Informan V)
“Benar pasiennya, benar dokternya, benar lokasi operasinya baru
benar dokter nya. serah terima dengan perawat ok, itu di cek lagi
data.” (Informan VI)
“Kan ada formnya, di cek kembali dentitas pasien, keberadaan
pasien kayakmana, dengan segala sesuatu check list-nya itulah
yang ada di form kita. Nah waktu datang pasien serah terima, kita
melakukan disitu sign in nya, time outnya di kamar bedah kalo
udah standby semua sistem, dan pasien kita time outnya.”
(Informan X)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
Tabel 7
Hasil Observasi Pelaksanaan Verifikasi Pra-Operasi
Sasaran IV Lokasi Pembedahan Yang Benar, Prosedur Yang Benar, dan Pembedahan Pada
Pasien Yang Benar
Aspek yang di Observasi Keterangan
Proses verifikasi pra-operasi
Dokter mempelajari rekam medis pasien,
hasil pemeriksan penunjang medik
Sebelum operasi dokter membaca rekam medis
pasien.
Melakukan informed consent
Setelah membaca rekam medis dokter
menginformasikan tentang prosedur, manfaat
dan risiko tindakan operasi kepada pasien dan
keluarga
Berdasarkan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi I tujuan
dilakukanya proses verifikasi pra-operasi antara lain untuk memastikan ketepatan
tempat, prosedur, dan pasien. Memastikan bahwa semua dokumen yang terkait,
foto, dan hasil pemeriksaan yang relevan, diberi label dengan benar dan tersaji.
Memastikan tersedianya peralatan medis khusus dan atau implan yang dibutuhkan.
Berdasarkan wawancara, observasi, dan telaah dokumen yang dilakukan oleh
peneliti bahwa pelaksanaan verifikasi sebelum operasi sudah dilakukan dengan
benar, perawat dan dokter telah memastikan tempat, prosedur, dan pasien.
Dokumen yang terkait sudah dipatikan dan diisi lengkap dan setiap kebutuhan
khusus seperti darah, juga disedikan. Dokter juga telah melakukan informed
consent kepada pasien dan keluaraga. Perawat ruangan juga melakukan serah
terima kepada perawat ruang operasi saat pasien akan melakukan operasi dimana
identitas, kelengkapan dokumen dicek kembali di ruang sebelum kamar operasi
dan juga dilakukan pengisian form check list keselamatan pasien yaitu bagian Sign
In.
Penandaan lokasi operasi. Terdapat 5 informan yang mengatakan bahwa
penandaan dilakukan pada form dan fisik pasien. Penandaan menggunakan spidol
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
yang permanen dengan bentuk tanda panah. Penandaan dilakukan oleh dokter dan
pasien dan keluarganya dilibatkan dalam penandaan apabila bersama keluarganya.
Berikut ini ungkapan partisipan penelitian:
“Iya ada karena harus juga dituliskan di formnya. Penandaan di
ruangan pake spidol yang permanen, tanda panah. Kadang
dilibatkan kadang ngak, ya tergantung kalo ada pas keluarga
pasienya.” (Informan II)
“Selalu ada penanadaan lokasi operasi, di ruangan sama
dokternya. Di fisik dan di form. bentuk panah, terserah dokternya
sih ada juga yang kasih gini. Pakai spidol.” (Informan V)
“Diberi tanda, pake spidol kadang” pakai plester, selalu
dilakukan dokter mengisi form dan sudah di tanda tangani lalu
menandai ke fisik pasien. Pasti, karena gak mungkin ditandai kalo
pasiennya gak tau karena yang dioperasi pasiennya kan.”
(Informan VI)
“Pernah liat di tandain dokter pake spidol, penandaannya itu di
form aja, cuman di tunjukkan lokasinya. pasien dilibatkan.”
(Informan VII)
“Ada di form dan fisik, kebanyakaan sih panah, ada bentuk
lingkaran, penandaanya pake spidol permanen.” (Informan VIII)
Terdapat dua informan yang mengatakan bahwa penandaan di ruangan
tidak ada ke fisik pasien hanya di form operasi, informan mengatakan penandaan
dilakukan di ruang operasi, dan pasien dilibatkan dalam penandaan. Berikut ini
ungkapan informan penelitian:
“Ada dek di form operasi, Belum di tandain di lokasi operasi klo
di fisiknya ya, cuman menunjukkan kaki sebelah kanan kita
operasi. Pasien ya dilibatkan lah dek.” (Informan IV)
“Tidak ada, Ngak soalnya kan ada juga pasiennya gak terima,
penandan itu juga biasa dilakukan di OK. Dilibatkanlah,
dikasitaulah pasiennya.” (Informan IX)
Terdapat satu informan yang mengatakan bahwa penandaan lokasi operasi
pada fisik pasien dilakukan sebanyak dua kali, yang pertama di ruangan pasien
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
ditandai oleh dokter dan di ruang sebelum kamar operasi ditandai oleh perawat.
Informan mengatakan bahwa kalo menurut SPO yang berada di rumah sakit
penandaan dilakukan satu kali, informan berpendapat dilakukan penandaan
kembali untuk mencegah kesalahan. Penandaan dilakukan menggunakan marker di
ruangan sebelum operasi dan di ruangan menggunakan spidol biasa. Pernyataan
informan diungkapkan sebagai berikut:
“Jadi dua sebenarnya dari ruangan udah di tandai, dengan tanda
panahnya, ya kita tandai lagi mengarah panah yang sama juga ke
daerah yang mau dilakukan operasi. Tapi kalo menurut SPO satu.
Perawatlah, daripada salah mending dilakukan. Seharusnya
pakai marker biar seragam, kan tapi dengan keterbatasan ini ya
diruangan masih pakai spidol biasa.” (Informan X)
Tabel 8
Hasil Observasi Pelaksanaan Penandaan Lokasi Operasi
Sasaran IV Lokasi Pembedahan yang Benar, Prosedur yang Benar, dan Pembedahan pada Pasien
yang Benar
Aspek yang di Observasi Keterangan
Penandaan lokasi operasi
Memberikan tanda yang jelas dan dapat
Dokter melakukan penandaan di form dan
dimengerti untuk identifikasi operasi
Melibatkan pasien pada saat penandaan
lokasi operasi
Bukti pelaksanaan penandaan melibatkan
pasien
tidak melakukan penandaan ke fisik pasien
Dokter menunjukkan area yang akan di operasi
kepada pasien dan pasien menandatangani
form penandaan lokasi operasi
Tersedia dalam bentuk form penandaan lokasi
operasi
Bukti Form Pengecekan Kesiapan Tersedia di rekam medis pasien
Berdasarkan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1 pemberian
tanda di tempat dilakukan operasi atau prosedur invasiv melibatkan pasien dan
dilakukan dengan tanda yang tepat serta dapat dikenali. Tanda yang dipakai harus
konsisten digunakan di semua tempat di rumah sakit, harus dilakukan oleh
individu yang melakukan prosedur operasi, saat melakukan pasien sadar dan
terjaga jika mungkin, serta harus masih terlihat jelas setelah pasien sadar. Pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
semua kasus, lokasi tempat operasi harus diberi tanda, termasuk pada sisi lateral,
daerah struktur multipel, jari tangan, jari kaki, lesi, atau tulang belakang.
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokumen yang
dilakukan peneliti pelaksanaan penandaan lokasi operasi belum dilakukan dengan
maksimal. Penandaan lokasi operasi sudah dilakukan di kamar pasien dan di
ruangan sebelum operasi namun masih ada dilakukan di kamar operasi. Penandaan
di form sudah dilakukan namun di fisik atau ditempat sayatan operasi (tindakan
invasiv) belum disiplin untuk melakukan penandaan. Penandaan dilakukan oleh
dokter yang melakukan operasi namun ada juga dilakukan perawat untuk
mencegah kesalahan. Penandaan di ruangan masih ada yang menggunakan spidol
permanen tidak spidol kulit. Tanda yang dipakai tidak konsisten digunakan kadang
bentuk panah dan yang lainya terserah dokternya tetapi yang lebih sering
digunakan adalah tanda panah.
Pasien dilibatkan pada saat penandaan lokasi operasi dengan cara dokter
menunjukkan lokasi operasi dan pasien menandatangani form penandaan lokasi
operasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Neri dkk. (2018)
menunjukkan bahwa capaian pelaksanaan kepastian tepat lokasi, tepat prosedur,
dan tepat pasien operasi adalah sebesar 80% karena proses penandaan lokasi
operasi tidak selalu dilaksanakan di ruangan rawat inap bedah.
Tema 4. Risiko infeksi akibat perawatan kesehatan. Infeksi
nosokomial (INOS) atau infeksi terkait pelayanan kesehatan. Menghambat
transmisi mikroba dengan prosedur hand hygiene merupakan salah satu strategi
penting. Studi membuktikan hand hygiene dapat menurunkan angka INOS.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
Kejadian INOS menurun seiring dengan meningkatnya kesadaran akan hand
hygiene. Hasil review pustaka juga menyimpulkan bahwa hand hygiene mampu
menurunkan angka INOS (Wardhani, 2017). Berbagai jawaban dikemukakan oleh
informan mengenai bagaimana persepsi informan dalam pelaksanaan cuci tangan
di instalasi rawat inap.
Rendahnya pencapaian pelaksanaan pengurangan risiko infeksi akibat
perawatan kesehatan. Terdapat tujuh infoman yang mengatakan bahwa rendahnya
angka pengurangan risiko infeksi akibat perawatan kesehatan di akibatkkan karena
seharusnya dilakukan sosialisasi atau pelatihan pelaksanaan cuci tangan secara
berkala, kurangnya pengawasasn akibat terkendala di SDM yang masih kurang,
beban kerja, kurang kesadaran, tidak ada sanksi yang serius dan kurangnya
kepatuhan untuk melakukan cuci tangan. Berikut ini ungkapan partisipan
penelitian:
“Untuk pengurangan risiko infeksi cuci tangan, seharusnya harus
disosialisakan dan harus dilakukan secara berkala. Kadang
mereka lupa, karena sibuk, pengawasanya itu terkendala dimana
SDM-nya kurang.” (Informan I)
“Kurang kesadaran dalam melaksanakanya, beban kerja, risiko
apabila tidak melakukan kurang, gak ada sanksi yang serius”
(Informan III,IX)
“Karena satu kan kepatuhan, beban kerja, kurang pelatihan jadi
kesadaran tadi masih kurang.” (Informan V)
Menurut dua informan lainnya mengatakan rendahnya angka pengurangan
risiko infeksi akibat perawatan kesehatan di akibatkan karena tidak melakukan
cuci tangan yang efektif yaitu dengan enam langkah. Berikut ini ungkapan
partisipan penelitian:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
“Kadang mau cepat, kadang mau lupa kan mau cuci tangan itu sesuai dengan five moment itu. Udah, cuman kami kurang patuh
aja perawat itu.” (Informan IV)
“Belum diterapkannya masalah cuci tangan efektif ya kan, namun tapi sudah dihimbau untuk melakukan cuci tangan. Sekarang
sudah dilaksanakan.” (Informan VI)
Berdasarkan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi I pencegahan
dan pengendalian infeksi merupakan sebuah tantangan di lingkungan fasilitas
kesehatan. Kenaikan angka infeksi terkait pelayanan kesehatan menjadi
keprihatinan bagi pasien dan petugas kesehatan. Secara umum, infeksi terkait
pelayanan kesehatan terjadi di semua unit layanan kesehatan, termasuk infeksi
saluran kencing disebabkan oleh kateter, infeksi pembuluh atau aliran darah terkait
pemasangan infus baik perifer maupun sentral, dan infeksi paru-patu terkait
penggunaan ventilator.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti rendahnya
pencapaian pengurangan risiko infeksi disebabkan oleh sosialisasi yang dilakukan
tidak berkala, lupa, kekurangan SDM, kurang kesadaran, beban kerja, tidak ada
sanksi yang tegas, pelaksanaan cuci tangan tidak sesuai dengan five moment, dan
kurang patuh. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Neri dkk. (2018)
menunjukkan bahwa capaian pelaksanaan pengurangan risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan sebesar 75% karena kurangnya kepatuhan petugas dalam
mencui tangan. Penelitian yang dilakukan Umboh, Doda, dan Kandou (2017)
tentang Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Perawat
Melaksanakan Hand Hygiene dalam Mencegah Infeksi Nosokomial di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Advent Manado didapatkan bahwa perlu adanya
pemberian sanksi resmi dari manajemen rumah sakit apabila tidak melakukan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
kepatuhan hand hygeine sesuai standar yang berlaku agar keselamatan dan
kesehatan kerja dapat terlaksana dengan baik.
Pelaksanaan cuci tangan. Terdapat empat informan yang mengatakan
bahwa pelaksanaan cuci tangan sudah sesuai ketetapan dari WHO dengan
melakukan cuci tangan yang benar. Terdapat satu informan yang mengatakan
bahwa pelaksanaan cuci tangan menggunakan handrub belum sesuai standar
sedangkan dengan hand soap sudah sesuai dengan standar cuci tangan yang bersih.
Pelaksanaan cuci tangan sudah dilakukan pada 5 saat (five moment) yaitu sebelum
dan sesudah kontak dengan pasien, setelah terkena cairan tubuh pasien, sebelum
tindakan aseptik, dan setelah kontak dengan lingkungan di sekitar pasien. Terdapat
dua informan yang mengatakan pernah lupa untuk melakukan cuci tangan apabila
dalam keadaaan mendesak. Berikut ini ungkapan partisipan penelitian:
“Cuci tangan yang benar sesuai WHO. Dilakukan pada saat five
moment. Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, setelah
terkena cairan tubuh pasien, sebelum tindakan aseptik, dan
setelah kontak dengan lingkungan di sekitar pasien.” (Informan
III)
“Sudah sesuai WHO dengan yang enam langkah. Untuk melakukan yang 6 langkah itu, ngak seharusnya, mau cepat-cepat kadang gak semua kita lakukan itu. Ada juga kita memang yang tidak taat juga. Dilakukan pada 5 saat. Kalo lupa ngak, kita wajibnya melakukan cuci tangan, kita udah ditekankan itu.” (Informan IV)
“Pelaksanaan cuci tangan kita sebelum ke pasien, sesudah ke
pasien, sebelum memberikan tindakan antiseptik, sesudah terkena
cairan pasien dan sesudah kontak dengan pasien. Kalo
pelaksanaan cuci tangan pakai hand soap sudah sesuai standar,
tapi kalo handrub itu kadang gak sesuai standar. Pernah lah lupa,
kalo pasien gawat gak terpikir lagilah. Karena kesadaran lagi,
kalo kita sering pelatihan udah menjadi kebiasaan.” (Informan V)
“Apa yang kita dapat itu yang kita kerjakan. Selalu dilakukan
pada saat 5 momen cuci tangan.” (Informan VI)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
“Sudah sesuai WHO, sesudah, sebelum kontak dengan pasien,
setelah kontak dengan pasien, setelah kontak dengan lingkungan
pasien.” (Informan VII)
“Cuci tangan yang benarlah yang sesuai WHO. Five moment.
Pernah lah, kayak tadi lah karena pasien butuh kita saat itu jadi
gak sempat, waktu gitu dan prioritas jarang lah lupa karena
kebiasaan.” (Informan VIII)
Menurut dua informan pelaksanaan cuci tangan dilakukan sudah sesuai
SPO yang beracuan dari WHO dan di lakukan pada saat sebelum dan sesudah
melakukan tindakan kepada pasien. Berikut ini ungkapan partisipan penelitian:
“Caranya sesuai panduan WHO, sebelum periksa pasien, sesudah
periksa pasien, kalo di kamar operasi sebelum masuk kamar
operasi sama sesudah tindakan. Ngak pernah lupa.” (Informan II)
“Pelaksanan cuci tangan sudah sesuai SPO cuci tangan, sebelum
dan sesudah cuci tangan.” (Informan IX)
Tabel 9
Hasil Observasi Pelaksanaan Cuci Tangan
Sasaran V Mengurangi Risiko Infeksi
Aspek yang di Observasi Keterangan
Pelaksanaan cuci tangan
Mencuci tangan sebelum kontak dengan
pasien
Mencuci tangan sebelum tindakan aseptik
Mencuci tangan setelah terkena cairan
Jarang dilakukan
Dilakukan
Dilakukan
tubuh pasien
Mencuci tangan setelah kontak dengan
pasien
Dilakukan
Mencuci tangan setelah kontak dengan Jarang dilakukan
lingkungan di sekitar pasien
Mencuci tangan dengan langkah cuci
tangan WHO
Bukti Pelaksanaan Program Kebersihan
Tangan (Hand Hygiene)
Bukti pelaksanaan evaluasi upaya
menurunkan infeksi
Jarang dilakukan
Tersedia dalam bentuk Check list
Tersedia dalam bentuk laporan setiap bulan
yang dibuat oleh IPCN
Berdasarkan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi I upaya
terpenting menghilangkan masalah infeksi ini dan infeksi lainya adalah dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
mejaga kebersihan tangan melalui cuci tangan. Pedoman kebersihan tangan (Hand
Hygiene) tersedia dari World Health Organization (WHO). Rumah sakit
mengadopsi pedoman kebersihan tangan dari WHO ini untuk dipublikasikan di
seluruh rumah sakit. Momet of Hand Hygiene adalah sebelum kontak dengan
pasien, sebelum melakukan tindakan aseptik, setelah kontak dengan cairan tubuh
pasien, setelah kontak dengan pasien dan setelah kontak dengan area sekitar
pasien.
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokumen yang
dilakukan peneliti pelaksanaan cuci tangan sudah cukup baik karena pelaksanaan
cuci tangan sudah sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang diacu
dari WHO, namun pelaksanaanya masih ada yang belum sesuai dengan cuci
tangan yang benar yaitu enam langkah juga pada saat mengunakan handrub.
Pelaksanaan cuci tangan masih lebih sering dilakukan pada saat sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien dan belum dilaksanakan sesuai five moment.
Perawat juga masih ada yang lupa untuk melakukan cuci tangan karena keadaan
yang mendesak dan kurangnya kesadaran.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Neri dkk. (2018) menunjukkan
bahwa dari hasil observasi, masih ada petugas baik medis maupun paramedis yang
belum melaksanakan cuci tangan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan (5
momen, 6 langkah), termasuk mengedukasi setiap pasien dan keluarga pasien yang
di rawat di ruangan rawat inap bedah dan non bedah. Penelitian yang dilakukan
Keles, Kandou, dan Tilaar (2015) tentang analisis pelaksanaan standar sasaran
keselamatan pasien di Unit Gawat Darurat RSUD Dr. Sam Ratulangi Tondano
Sesuai dengan Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 menunjukkan bahwa dokter
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
dan perawat belum melakukan 5 momen cuci tangan sesuai dengan pedoman 5
momen cuci tangan dan mencuci tangan sesuai dengan langkah-langkah handrub
belum efektif dilakukan.
Edukasi cuci tangan. Pada saat pasien baru masuk ke ruangan rawatan
kepala ruangan melakukan edukasi tentang pelaksanaan cuci tangan kepada pasien
dan keluarganya dan di setiap kamar juga sudah di tempel poster pelaksanaan cuci
tangan. Rumah sakit juga sudah membuat form terintegrasi pasien dan keluarga
sebagai bukti bahwa ada dilakukan edukasi kepada pasien. Perawat yang
melakukan edukasi kepada pasien dan pasien atau keluarga menandatangani form
untuk sebagai bukti telah dilakukan edukasi kepada pasien. Jikalau ada keluarga
atau anak-anak yang berkunjung dan menyentuh pasien di ingatkan dan ditegur
untuk melakukan cuci tangan. Berikut ini ungkapan partisipan penelitian:
“Kalo pasien baru masuk, kita perkenalkan diri disana, kita kasih tau peraturannya seperti ini, susternya ini, dia juga harus tau
siapa susternya, siapa yang bertanggung jawab di ruangan ini. Sebelum masuk dia kita harus edukasi dia pasien dan keluarganya, disini ada form terintegrasi pasien dan keluarga.
Edukasi sebatas kalo mau masuk cuci tangan ya, caranya seperti ini.” (Informan IV)
“Kita ada form nya, ada edukasinya lengkap di tanda tangai
keluarga sama orang yg kita edukasikan. Kita kan udah edukasi
di dinding pun ada kita tetap tempel. Kita arahkan lagi. Kalo
memang kita lihat ya pasti kita tegur apalagi kalo anak-anak kan
udah kita bilangin.” (Informan V)
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 11 Tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien standar pendidikan kepada pasien dan keluarga dalam
pelaksanaan keselamatan pasien adalah berupa kegiatan mendidik pasien dan
keluarganya dalam asuhan pasien. Kriteria standar pendidikan kepada pasien dan
keluarga meliputi memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap, dan jujur.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga. Mengajukan
pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti. Memahami konsekuensi pelayanan.
Mematuhi nasihat dokter dan menghormati tata tertib fasilitas pelayanan
kesehatan. Memperlihatkan sikap saling menghormati dan tenggang rasa.
Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati. Berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan oleh peneliti ada dilakukan edukasi pada saat pasien baru masuk
yang diberikan oleh perawat.
Form teriintegrasi pasien dan keluarga diisi dan di tandatangani oleh
perawat yang memberikan edukasi dan pasien yang menerima edukasi. Edukasi
yang diberikan adalah cara melakukan cuci tangan dan pada saat kapan dilakukan
cuci tangan Jikalau ada keluarga atau pengunjung yang datang dan menyentuh
pasien diingatkan dan ditegur pada saat dilihat oleh perawat.
Tema 5. Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien. Sasaran keselamatan
pasien berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 11 Tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien terdiri dari enam uraian sasaran yaitu:
1. Identifikasi pasien dengan benar
2. Meningkatkan komunikasi yang efektif
3. Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai
4. Memastikan lokasi pembedahan, prosedur, dan pembedahan pada pasien yang
benar
5. Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan
6. Pengurangan risiko jatuh
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat pelaksanaan 3 sasaran
yang masih berada di bawah standar dari 6 sasaran yang ada karena 3 sasaran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
lainya telah mencapai standar yang telah ditetapkan oleh Rumah Sakit Methodist
yaitu sebesar 100%. Tiga sasaran yang telah mencapai standar ialah pelaksanaan
identifikasi pasien dengan benar, meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus
diwaspadai dan pengurangan risiko jatuh.
Pernyataan informan tekait pelaksanaan identifikasi pasien dengan benar
adalah para petugas kesehatan melakukan identifikasi sesuai SOP dan penilaian
secara lisan dengan melakukan tanya jawab kepada pasien. Berikut pernyataan
informan:
“Perawat sama orang-orang yang memerlukan seperti lab sudah
melakukan sesuai SOP. Kita kemarin paling melakukukan secara apa
tanya jawab secara lisan ke pasienya itu. Apakah sebelum perawat atau
petugas analis melakukan identifkasi. Itu secara lisan untuk menilai
apakah perawat sudah melakukan tindakan identifikasi pasien. Itu
secara lisan.” (Informan I)
Menurut Permenkes No. 11 Tahun 2017 tentang keselamatan pasien dalam
pelaksanaan identifikasi pasien dengan benar upaya yang dilakukan rumah sakit
antara lain ialah pasien diidentifikasi tidak memakai nomor ruangan atau tempat
dan dengan pemakaian dua identitas. Identifikasi pasien sebelum memberikan
darah,dan obat. Identifikasi sebelum menerima spesimen lain dan darah untuk
pengamatan klinis. Identifikasi sebelum memberikan tindakan dan obat.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti petugas
kesehatan di Rumah Sakit Methodist telah melakukan identifikasi pasien sesuai
dengan SOP yang ada dengan melakukan identifikasi pasien sebelum melakukan
tindakan kepada pasien sesuai dengan Permenkes No. 11 Tahun 2017. Rumah
Sakit Methodist juga melakukan penilaian pelaksanaan identifikasi pasien secara
lisan yaitu dengan melakukakan wawancara kepada pasien untuk memastikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
memastikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh perawat telah sesuai dengan
seharusnya.
Pernyataan informan tekait pelaksanaan keamanan obat-obatan yang harus
diwaspadai adalah para petugas kesehatan melakukan pengecekan secara lisan,
penyusunan secara abjad, cara penulisan yang beda dan membuat penulisan label
di kotak penyimpanan. Berikut pernyataan informan:
“Ya kita liat pengecekanlah secara lisan juga. Kita cuman
melihat aja dan mengkoordinasi. Secara lisan aja untuk obat
LASA apakah sesuai atau tidak. Mereka susun secara abjad. Cara
penulisannya yang beda dan warna. Di kotak penyimpanan ada
pelabelannya itu ada tulisan LASA.” (Informan I)
Menurut Permenkes No. 11 Tahun 2017 tentang keselamatan pasien dalam
pelaksanaan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai upaya yang dilakukan
rumah sakit adalah membuat prosedur atau regulasi ditingkatkan supaya termuat
cara mengidentifikasi, tempat, memberikan label, dan menyimpan obat yang
diwaspadai. Prosedur dan regulasi dilaksanakan. Elektrolit konsentrat jika
diperlukan menurut klinis diperbolehkan diletakkkan di unit pelayanan pasien.
Penyimpanan elektrolit konsentrat di unit pelayanan pasien diberikan label dengan
jelas, dan diletakkan di tempat yang dibatasi.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti petugas
kesehatan di Rumah Sakit Methodist di dalam mengupayakan pelaksanaan
keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai sudah sesuai dengan Permenkes No.
11 Tahun 2017 tentang keselamatan pasien dengan membuat kebijakan tentang
penyimpanan dan pelabelan obat. Obat yang teridentifikasi sebagai obat-obatan
yang diwaspadai dilakukan pengecekan kembali pada saat akan digunakan.
Penyusunan obat di farmasi disusun sesuai abjad untuk mempermudah dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
menghindari insiden seperti salah memberikan obat pada saat memberikan
pelayanan. Obat-obatan yang termasuk kriteria LASA/NORUM mempunyai cara
pelabelan seperti penulisan yang berbeda dan dilakukan pewarnaan pada label
untuk membedakannya dengan obat lainnya serta tempat penyimpanannya ada
tulisan LASA.
Pernyataan informan tekait pelaksanaan pengurangan risiko jatuh adalah pada
saat pendaftaran dilakukan penilaian risiko terhadap setiap pasien, setelah di
ruangan Tim TKRS melakukan penilaian di ruangan dan dilakukan penilaian pada
pasien dan fasilitas yang tersedia di ruangan. Berikut pernyataan informan:
“Pendaftaran mereka cuman menilai mereka risiko jatuh sesuai
dengan kriteria, cuman tempelkan itu aja. Sampai di ruangan di
lapor ke tim TKRS baru dia akan masuk ke ruangan menilai. Kalo
ruangan dia masuk itu hijau, pasien baru masuk. Dia nilai
ruangan ini merah maka ini akan jadi merah. Dia akan cek
kelengkapannya itu, dia akan ngatur. IGD cuman
mengidentifikasi pasien risiko jatuh, cuman menempelkan stiker
di gelang. Sampai di ruangan jadi tugas tim TKRS yang
melakukan peninjauan, penilaian ulang. Tim keselamatan pasien
rumah saki punya tugas setiap 2 kali sehari mengontrol ruangan.
Yang mana ruangan itu yang bersiko ya. Contoh ruangan ini
risikonya merah. Berarti harus melihat pasiennya itu siapa risiko
merah disitu di cek sama dia. Dua hari lagi dicek pasienya, jika
sudah tidak ada dinilai ulang ruangan itu apakah ruangan itu
ruangan merah, kuning atau hijau. Itu ada kriteria-kriterianya.
Kalo itu ruangan kuning siapa yang kuning disitu dicek ulang
nanti disana. Atau pun yang sudah hijau dicek dia itu ada pasien
yang baru masuk punya riwayat risiko jatuh tinggi berarti jadi
merah ruanganya. Gelang cuma risiko jatuh merah (tinggi),
kuning (sedang), hijau (rendah) itu penilaianya. Setelah ruangan
kita lihat pasiennya, setelah pasiennya, kita liat fasilitasnya.”
(Informan I)
Menurut Permenkes No. 11 Tahun 2017 tentang keselamatan pasien dalam
pelaksanaan pengurangan risiko jatuh upaya yang dilakukan adalah tindakan yang
dilaksanakan terdiri dari penerapan prosedur asesmen awal risiko dan dilakukan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
asesmen kembali pada pasien apabila muncul perubahan kondisi. Melalukan
prosedur yang ditetapkan bagi pasien yang berisiko. Evaluasi yang dilakukan
terdiri dari telaah obat, riwayat jatuh, mengonsumsi alkohol, alat bantu berjalan
yang dipakai, serta pengamatan kepada gaya jalan dan proporsi pasien.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti Rumah Sakit
Methodist telah membuat suatu kebijakan untuk mencegah terjadinya insiden jatuh
sesuai dengan Permenkes No. 11 Tahun 2017. Pada saat pasien baru masuk
dilakukan penilaian atau identifikasi risiko jatuh sesuai dengan kriteria yang ada
dan dilakukan penempelan stiker ke pasien sesuai risiko yang telah teridentifikasi.
Tim TKPRS yaitu kepala ruangan setiap bangsal melakukan penilaian atau
peninjauan ulang ke ruangan yang akan digunakan pasien baru.
Tim TKPRS melakukan pengontrolan ruangan setiap 2 kali sehari di
ruangan yang memiliki risiko jatuh. Suatu ruangan jika memiliki kategori merah
maka dilakukan pengecekan oleh Tim TKPRS pada pasien yang berisiko. Dua hari
kemudian dicek kembali pasienya, jika pasien sudah pulang dilakukan penilaian
ulang terhadap ruangan tersebut apakah ruangan merah (tinggi), kuning (sedang)
atau hijau (rendah). Jikalau ruangan termasuk kategori hijau dan ada pasien yang
baru masuk punya riwayat risiko jatuh tinggi maka kategori ruangan tersebut
menjadi merah. Setelah dilakukan penilaian pada ruangan dan pasien makan
dilakukan penilaian fasilitas di ruangan teresebut. Jikalau indikator ruangan adalah
merah maka fasilitas di kamar mandi harus memiliki bel dan dicek berfungsi atau
tidak, tempat tidur pasien dekat nurse station, sudah dipasang alat pengikat (re-
strain) ke badan tempat tidur untuk mencegah terjadinya jatuh, tersedia bel di
tempat tidur pasien, memasang pegangan dinding di kamar mandi, dan diberikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
sandal untuk mencegah pasien jatuh. Bagian pendaftaran atau IGD melakukan
identifikasi pasien risiko jatuh, Tim TKPRS melakukan peninjauan untuk
penilaian ulang ruangan, mengidentifikasi pasien dan fasilitas rumah sakit.
Tindakan ini dilakukan rutin oleh Tim TKPRS di Rumah Sakit Methodist untuk
mencegah terjadinya insiden jatuh.
Tiga sasaran yang belum mencapai standar yang ditetapkan oleh Rumah
Sakit Methodist adalah meningkatkan komunikasi yang efektif, terlaksananya
proses lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada
pasien yang benar, dan mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan.
Berdasarkan Permenkes No. 11 Tahun 2017 komunikasi dianggap efektif bila tepat
waktu, akurat, lengkap, tidak mendua (ambiguous), dan diterima oleh penerima
informasi yang bertujuan mengurangi kesalahan-kesalahan dan meningkatkan
keselamatan pasien.
Pelaksanaan komunikasi yang efektif di Rumah Sakit Methodist belum
dilakukan secara masksimal karena masih ada ditemukan tenaga kesehatan yang
melakukan teknik komunikasi SBAR dan TBK belum sesuai dengan yang telah
ditetapkan, konfirmasi instruksi via telepon masih ada lebih dari 24 jam
seharusnya dilakukan konfirmasi kurang dari 24 jam. Pengejaan kata sudah
dilakukan apabila terdapat kata yang dapat menimbulkan kesalahan seperti nama
obat LASA/NORUM. Serah terima pasien sudah dilakukan pada saat pertukaran
shift dan antar unit pelayanan. Pelaksanaan komunikasi di Rumah Sakit Methodist
sudah memiliki regulasi dan perlu dilakukan pelatihan khusus komunikasi agar
meningkatkan kemampuan petugas kesehatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
Berdasarkan Survei SNARS Edisi 1 tujuan pelaksanaan proses lokasi pem-
bedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada pasien yang benar
adalah rumah sakit diminta untuk menetapkan prosedur yang seragam antara lain
seperti memberi tanda di tempat operasi dan melakukan verifikasi pra-operasi.
Pelaksanaan sasaran ini di Rumah Sakit Methodist belum dilakukan secara
maksimal karena dokter belum disiplin untuk melakukan penandaan lokasi operasi
pada fisik pasien namun sudah rutin melakukan penandaan pada form pasien
serta proses verifikasi pra-operasi telah dilakukan sesuai yang seharusnya.
Berdasarkan Survei SNARS Edisi 1 upaya terpenting menghilangkan
masalah infeksi adalah dengan menjaga kebersihan tangan melalui cuci tangan.
Pelaksanaan cuci tangan di Rumah Sakit Methodist belum maksimal karena masih
ada petugas kesehatan melakukan cuci tangan belum sesuai five moment dan enam
langkah cuci tangan menurut WHO. Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien
sudah dilakukan dengan baik namun pencapaianya belum tercapai maksimal
sehingga perlu ditingkatkan agar pelaksanaanya sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan Rumah Sakit dan Tim Akreditasi.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian mengenai Pelaksanaan Keselamatan Pasien di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Methodist Medan adalah kesulitan menemui
beberapa informan untuk memperoleh data yang diperlukan dikarenakan informan
sedang tidak berada di tempat atau memiliki kesibukan melakukan tugasnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketersediaan jumlah perawat sudah cukup. Berdasarkan penilaian kemampuan
yang dilakukan kemampuan perawat dalam melakukan keselamatan pasien
sudah cukup baik.
2. Ketersediaan sarana prasarana yang mendukung pelaksanaan keselamatan
pasien sudah memadai, hanya masih ada yang belum tersedia seperti tisu di
ruangan pasien kosong, penandaan di ruangan belum menggunakan spidol
khusus untuk kulit, dan handrub belum tersedia di setiap tempat tidur pasien.
3. Rumah Sakit Methodist telah memiliki regulasi yang lengkap terkait
pelaksanaan sasaran keselamatan pasien. Sosialisasi atau pelatihan dan
monitoring serta pelaporan terkait pelaksanaan keselamatan pasien belum
dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. Hambatan dalam
pelaksanaan keselamatan pasien antara lain adalah kurang taat, kurang
kesadaran, malas, kurang sosialisasi dan kurang motivasi.
4. Pelaksanaan komunikasi via telepon di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Methodist telah berjalan dengan baik namun belum maksimal karena masih
terdapat langkah-langkah metode komunikasi SBAR dan TBK belum sesuai
dengan ketentuan seperti dalam melaporkan Background, Assessment pasien
dan konfirmasi instruksi lebih dari 24 jam. Pelaksanaan komunikasi pada saat
serah terima pasien sudah dilakukan pada saat pergantian shift dan antar
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
unit.
5. Pelaksanaan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, dan
pembedahan pada pasien yang benar telah berjalan dengan baik namun belum
masksimal karena masih ada yang melakukan penandaan lokasi operasi di
ruang operasi.
6. Pelaksanaan pengurangan resiko infeksi akibat perawatan kesehatan belum
dilakukan secara maksimal karena masih ada petugas kesehatan yang belum
melaksanaan cuci tangan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan yaitu 6
langkah dan five moment.
7. Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien sudah baik namun pencapaiannya
belum tercapai maksimal karena pelaksanaannya masih ada yang belum sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
Saran
1. Bagi Rumah Sakit Methodist Medan:
a. Perlu dilakukan pengaturan pendistribusian perawat di masing-masing
rawatan berdasarkan jumlah pasien, dilakukan rotasi dan pembinaan pada
perawat.
b. Melengkapi penyediaan sarana dan prasarana seperti tisu atau pengering
tangan di ruangan pasien, spidol khusus untuk kulit, dan handrub di setiap
tempat tidur pasien.
c. Meningkatkan komitmen pimpinan dan semua petugas untuk
mengembangkan mutu pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan
keselamatan pasien sesuai dengan panduan nasional keselamatan pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
2. Bagi Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS):
a. Melakukan sosialisasi, pembinaan, monitoring dan evaluasi secara
berkala dan berkesinambungan untuk meningkatkan pemahaman,
kemampuan, dan pembelajaran kepada seluruh staf terkait pelaksanaan
keselamatan pasien.
b. Memberikan penghargaan atau sanksi bagi petugas kesehatan terkait
pelaksanaan keselamatan pasien.
3. Bagi praktisi klinis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Methodist Medan:
a. Mematuhi dan melaksanakan semua SPO, panduan dan petunjuk
pelaksanaan yang berkaitan dengan pemenuhan sasaran keselamatan
pasien yang sudah disosialisasikan.
b. Selalu saling mengingatkan untuk melakukan sasaran keselamatan pasien
sesuai dengan prosedur yang ada.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
Daftar Pustaka
Afrizal. (2014). Metode penelitian kualitatif: sebuah upaya mendukung
penggunaan penelitian kualitatif dalam berbagai disiplin ilmu. Jakarta:
Rajawali Pers.
Anggraeni, Z. (2017, Juli). Tata laksana pengelolaan kasus pelanggaran disiplin
kedokteran. Diakses 18 Maret 2019 dari
http://kki.go.id/assets/data/arsip/ZAAlur_Pengaduan,_Medan_1_Agust_20
17._1.pdf
Ayuningtyas, D. (2015). Kebijakan kesehatan: prinsip dan praktik. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Brenan, T. A., Leape, L. L., Laird, N. M., Hebert, L., Localio, A. R., Lawthers, A.
G., Newhouse, J. P., Weiler, P. C., Hialt, H. H. (1991). Incidence of
adverse events and negligence in hospitalized patients: Result of The
Harvard Medical Practice Study I. The New England Journal of Medicine,
324, 370-376. doi: 10.1056/NEJM199102073240604
Cahyono, J. B. S. B. (2008). Membangun budaya keselamatan pasien dalam
praktik kedokteran. Yogyakarta: Kanisus.
Departemen Kesehatan RI. (2006). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (Patient Safety): Utamakan Keselamatan Pasien. Diakses dari
https://www.google.com/amp/s/dokumen.tips/amp/documents/panduan-
nasional-keselamatan-pasien-rumah-sakit-depkes-ri-2006.html
Departemen Kesehatan RI. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (Patient Safety): Utamakan Keselamatan Pasien. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/resources/download.pdf
Didimus, S., Indar, H., & Hamzah, A. (2013). Faktor yang berhubungan dengan
kinerja perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Ibnu Sina YBW-UMI
Makasar. E-Journal Hasanuddin University, 1-8. Diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/5747
Frush, K., Chamness, C., Olson, B., Hyde. S., Nordlund, C., Phillips, H., &
Holman, R. (2018). National quality program achieves improvements in
safety culture and reduction in preventable harms in community hospitals.
The Joint Commission Journal on Quality and Patient Safety, 44(7), 389-
400. doi:10.1016/j.jcqc.2018.04.008
Goraph, M., Kundre, R., & Hamel, R. (2018). Hubungan timbang terima
(operan shift) dengan kinerja perawat pelaksana di Ruang Rawat Inap
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
Bangsal RSU GMIM Pancaran Kasih Manado. Jurnal Keperawatan, 6(1),
1-6. Diakses dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/index
Hasibuan, H. M. (2003). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Hogan, H., Zipfel, R., Neuburger, J., Hutchings, A., Darzi, A., & Black, N. (2015).
Avoidability of hospital deaths and association with hospital-wide
mortality ratios: retrospective case record review and regression analysis.
BMJ, 351, 1-6. doi:10.1136/bmj.h3239.
Institute of Medicine. (2000). To err is human: Building a safer health system.
Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK225182/
Keles, A. W., Kandou, G. D., Tilaar, C. R. (2015). Analisis pelaksanaan standar
sasaran keselamatan pasien di Unit Gawat Darurat RSUD Dr. Sam
Ratulangi Tondano sesuai dengan akreditasi rumah sakit versi 2012. Jurnal
Ilmu Kesehatan Masyarakat Unsrat, 5(3), 250-256.
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Pedoman Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Utamakan
Keselamatan Pasien (Patient Safety). Diakses dari
https://www.academia.edu/37017556/Buku_Panduan_Nasional_Keselamat
an_Pasien_RS_Rev18okt
Kim, Mi Ran. (2011). Concept analysis of patient safety. J Korean Acad Nurs,
41(1), 1-8. doi: 10.4040/jkan.2011.41.1.1
Komisi Akreditasi Rumah Sakit. (t.t). Daftar Akreditasi Rumah Sakit. Diakses 15
Juni 2019, dari
http://akreditasi.kars.or.id/accreditation/report/report_accredited.php
Komisi Akreditasi Rumah Sakit. (2017). Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
(Edisi 1). Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id/kanalpersi/manajemen_mutu/data/snars_edisi1.p
df
Komisi Akreditasi Rumah Sakit. (2018). Instrumen Survei Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1 Tahun 2018. Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id/kanalpersi/manajemen_mutu/data/snars_edisi1.p
df
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit. (2011). Laporan Insiden Keselamatan pasien Tahun 2011. Diakses dari https://www.google.com/.info/slide
2493781/Laporan-insiden-keselamatan-pasien
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit. (2015). Pedoman Pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien (IKP) (Patient Safety Incident Report). Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id/kanalpersi/website_ikprs/content/pedoman_pelap
oran.pdf
Kusumawardani, N., Soerachman, R., Laksono, A.D., Indrawati, L., Sari, P.H., &
Paramita, A. 2015. Penelitian kualitatif di bidang kesehatan. Jakarta:
Kanisius.
Leape, L. L., Brenan, T. A., Laird, N., & Lawthers. A. G. (1991). The nature of
adverse events in hospitalized patients: results of the Harvard Medical
Practice Study II. The New England Journal of Medicine, 324(6), 377-384.
https://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJM199102073240605?articleTo
ols=true
Makary, Martin & Daniel, Michael. (2016). Medical eror-the third leading cause of
death in The US. BMJ, 353, 1-5. doi: https://doi.org/10.1136/bmj.i2139
Manullang, M. (2004). Dasar-dasar manajemen. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Mousavi, S. M. H., Zeraati. H., Jabbarvand. M., Mokhtareh. H., Asadollahi. A., &
Dargahi. H. (2016). Asesment of patient safety for quality improvement
based on joint commission international accreditation standards in Farabi
Eye Hospital of Tehran University of Medical Sciences. Patient Safety &
Quality Improvement Journal, 4(2), 351-358. Diakses dari
http://psj.mums.ac.ir
Moeheriono. (2009). Pengukuran kinerja berbasis kompetensi. Surabaya: Ghalia
Indonesia.
Neri, R. A., Lestari, Y., & Yetti, H. (2018). Analisis pelaksanaan sasaran
keselamatan pasien di Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Padang
Pariaman. Jurnal Kesehatan Andalas, 7, 48-45.
doi: https://doi.org/10.25077/jka.v7.i0.p48-55.2018
National Patient Safety Foundation. (2015). Free from Harm: Accelerating Patient
Safety Improvement Fifteen Years After to Err is Human. Diakses dari
http://www.ihi.org/resources/Pages/Publications/Free-from-Harm
Accelerating-Patient-Safety-Improvement.aspx
Nazri, F., Juhariah, S., dan Arif, M. (2015). Implemetasi komunikasi efektif
perawat-dokter dengan telepon di Ruang ICU Rumah Sakit Wava Husada. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(2), 174-177. Diakses dari
http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/about/contact
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
Octaria, R. D., Dewi, A., dan Yuliadi, I. (2014). Analisis kesiapan rumah sakit
yang telah terakreditasi 12 pelayanan terhadap pemenuhan standar
akreditasi versi 2012 (Disertasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Diakses dari thesis.umy.ac.id/datapublik/t34116.docx
Pasaribu, R. I. A. (2018). Pelaksanaan program keselamatan pasien (patient
safety) di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun
2018 (Skripsi yang tidak dipublikasikan). Fakultas Kesehatan Masyarakat
USU, Medan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Keselamatan Pasien.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.
Peraturan Pemerintah. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Peraturan Pemerintah. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Priyoto &Widyastuti. Tri. (2014). Kebutuhan dasar keselamatan pasien (Edisi ke-
1). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Robb, G., Loe. E., Maharaj. A., Hamblin. R., & Seddon. M. E. (2017). Medication
related patient harm in New Zealand Hospitals. PubMed, 130(1460), 21-32.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28796769
Rumah Sakit Umum Methodist. (2018). Laporan Pelaksanaan Program PPI
Rumah Sakit Umum Methodist Medan Triwulan I Peroide Januari s/d
Maret 2019. Medan.
Rumah Sakit Umum Methodist. (2018). Laporan Triwulan dan Validasi Data
PMKP Rumah Sakit Umum Methodist Medan (Oktober-Desember 2018).
Medan.
Sabarguna, H. B. S. (2009). Buku pegangan mahasiswa manajemen rumah sakit
pasien (Edisi ke-2). Jakarta: Sagung Seto.
Saryono, & Anggraeni, M. D. (2017). Metodologi penelitian kualitatif dan
kuantitatif dalam bidang kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
102
Setyani, D. M., Zuhrotunida, dan Syahridal. (2016). Implementasi sasaran
keselamatan pasien di Ruang Rawat Inap RSU Kabupaten Tangerang.
Jurnal Kesehatan Fikes Tangerang, 2(2), 59-67.
Simamora, R. H. (2018). Keselamatan pasien melalui timbang terima pasien
berbasis komunikasi efektif: SBAR. Medan: USU Press.
Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Thomas, E. J., Studdert, D., Helen, B., Orav, E., Zeena, T., Williams, E., Howard,
K., Weiler, P., & Brennan, T. (2000). Incidence and types of adverse events
and negligent care in Utah and Colorado. Journal of the Medical Care
Section of the American Public Health Association, 38(3), 261-71.
https://insights.ovid.com/pubmed?pmid=10718351
Umboh, F.J., Doda, D.V., & Kandou, G.D. (2017). Analisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan perawat melaksanakan hand hygiene dalam
mencegah infeksi nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Advent
Manado. Ejournal health, 5(2), 1-20. Diakses dari
https://ejournalhealth.com/index.php/paradigma/article/view/641
Utarini, A. (2011, Juli). Mutu Pelayanan Kesehatan di Indonesia: Sistem Regulasi
yang Responsif. Diakses 15 Juni 2019 dari
https://www.kebijakankesehatanindonesia.net/v13/images/Mutu_pelayanan
_kesehatan_di_Indonesiapidato_pengukuhan_Adi_Utarini_versi_pdf_final.
Wardhani, V. (2017). Buku ajar keselamatan pasien. Malang: UB Press.
Wilson, R.M., Runciman, W. B., Gibberd, R. W., Harrison, B. T., Newby, L., &
Hamilton, J. D. (1995). The qualiy in Australian Health Care Study. The
Medical Journal of Australia, 163(9), 458-459. Diakses dari
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.5694/j.13265377.1995.tb12469
1.x
World Health Organization. (2016). Patient safety assessment manual:second
edition. Diakses dari
http://applications.emro.who.int/dsaf/EMROPUB_2016_EN_18948.pdf?ua
=1
World Health Organization. (2018, Maret). 10 Facts on Patient Safety. Diakses 20
April 2019 dari https://www.who.in t/features/factfiles/patient_safety/en/
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
103
Lampiran 1. Pedoman Wawancara
PEDOMAN WAWANCARA
PELAKSANAAN KESELAMATAN PASIEN DI INSTALASI RAWAT
INAP RUMAH SAKIT METHODIST TAHUN 2019
A. Identitas Informan
1. Nama :
2. Jenis Kelamin :
3. Pendidikan Terakhir :
4. Tanggal Wawancara :
B. Pertanyaan
Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan keselamatan pasien
1. Bagaimana kualitas dan ketersediaan jumlah sumber daya manusia dalam
pelaksanaan keselamatan pasien?
2. Bagaimana ketersediaan fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung
pelaksanaan komunikasi efektif, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien
operasi, dan pengurangan resiko infeksi?
3. Apakah ada regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan komunikasi
efektif, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien operasi, dan pengurangan
resiko infeksi?
4. Apakah ada dilakukan monitoring dan evaluasi terkait pelaksanaan
keselamatan pasien?
5. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan keselama-
tan pasien?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
104
Meningkatkan komunikasi yang efektif
6. Bagaimana pendapat anda terhadap rendahnya pencapaian komunikasi?
7. Bagaimana cara komunikasi yang digunakan via telepon?
8. Bagaimana komunikasi yang dilakukan pada saat serah terima pasien?
Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, dan
pembedahan pada pasien yang benar
9. Bagaimana pendapat anda terhadap rendahnya pencapaian pelaksanaan
tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi?
10. Apakah yang dilakukan saat verifikasi sebelum operasi?
11. Apakah ada dilakukan penandaan lokasi operasi?
Pengurangan resiko infeksi akibat perawatan kesehatan
12. Bagaimana pendapat anda terhadap rendahnya pencapaian pelaksanaan
pengurangan resiko infeksi?
13. Bagaimana pelaksanaan cuci tangan dan dilakukan pada saat kapan?
14. Apakah ada diberikan edukasi cuci tangan kepada pasien terutama
keluarga?
Pencapaian
15. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
identifikasi pasien dengan benar?
16. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai?
17. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
pengurangan resiko jatuh?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
105
Lampiran 2. Pedoman Observasi
PEDOMAN OBSERVASI
PELAKSANAAN KESELAMATAN PASIEN DI INSTALASI RAWAT
INAP RUMAH SAKIT METHODIST TAHUN 2019
I. Observasi Sarana Prasarana Keselamatan Pasien
Sarana/ prasarana Ketersediaan Keterangan
Bel pemanggil
perawat/Nurse Call
Telepon
Stempel TBK
Formulir Check list
Keselamatan Operasi
Poster program Cuci
Tangan
Wastafel
Air
Hand Soap
Handrub
Pengering tangan
Bak sampah
II. Observasi Dokumen Keselamatan Pasien
Dokumen Kebijakan/Regulasi
Keselamatan Pasien
Keterangan
Sasaran II Komunikasi Yang Efektif
1. Surat Keputusan tentang Kebijakan
Komunikasi Efektif di Rumah Sakit
Methodist Medan
2. Standar Prosedur Operasional
(SPO) Komunikasi Efektif antar
Profesional Pemberi Asuhan
3. Panduan Pelaporan Nilai Kritis di
Rumah Sakit Methodist Medan
4. Surat Kebijakan Laboratorium
tentang Pelaporan Nilai Kritis di
Rumah Sakit Methodist Medan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
106
5. Standar Prosedur Operasional
(SPO) Pelaporan Hasil Pemeriksaan
Kritis
6. Standar Prosedur Operasional (SPO)
Pelaporan Hasil Nilai Kritis
Radiologi
7. Standar Prosedur Operasional (SPO)
Pelaporan Nilai Kritis Laboratorium
8. Panduan Rujukan Pasien di Rumah
Sakit Methodist Medan
9. Bukti Pelaksanaan tentang
Penyampaian Pesan Verbal atau
Lewat Telepon
10. Bukti Pelaksanaan Serah Terima
Sasaran IV Lokasi Pembedahan yang
Benar, Prosedur yang Benar, dan
Pembedahan pada Pasien yang Benar
1. Surat Kebijakan Panduan Tepat
Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat
Pasien Operasi di Rumah Sakit
Umum Methodist Medan
2. Panduan Tepat Lokasi, Tepat
Prosedur, Tepat Pasien Operasi di
Rumah Sakit Umum Methodist
Medan
3. Standar Prosedur Operasional (SPO)
Pengisian Surgical Safety Check List
4. Bukti Penandaan Lokasi Operasi
5. Bukti Pelaksanaan Penandaan
Melibatkan Pasien
6. Bukti Form untuk Mencatat
Pengecekan Kesiapan
Sasaran V Mengurangi Resiko Infeksi
Akibat Perawatan Kesehatan
1. Surat Kebijakan Pelaksanaan Cuci
Tangan di Rumah Sakit Methodist
Medan
2. Panduan Pelaksanaan Cuci Tangan
di Rumah Sakit Methodist Medan
3. Standar Prosedur Operasional (SPO)
Cuci Tangan
4. Bukti Pelaksanaan Program
Kebersihan Tangan (Hand Hygiene)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
107
5. Bukti Pelaksanaan Evaluasi Upaya
Menurunkan Infeksi
III. Observasi Pelaksanaan Keselamatan Pasien
Aspek yang di observasi Keterangan
Sasaran II komunikasi efektif Perawat
1. Timbang terima pasien di di nurse
station
2. Timbang terima pasien di bed pasien
3. Kembali lagi ke nurse station
Sasaran IV Lokasi Pembedahan yang
Benar, Prosedur yang Benar, dan
Pembedahan Pada Pasien yang Benar
1. Dokter mempelajari rekam medis
pasien, hasil pemeriksan penunjang
medik
2. Melakukan informed consent
3. Mengimformasikan tentang
prosedur, manfaat dan resiko
tindakan operasi
4. Memberikan tanda yang jelas dan
dapat dimengerti untuk identifikasi
operasi
5. Melibatkan pasien pada saat
penandaan lokasi operasi
Sasaran V Mengurangi Resiko Infeksi
1. Mencuci tangan sebelum kontak
dengan pasien
2. Mencuci tangan sebelum tindakan
aseptik
3. Mencuci tangan setelah terkena
cairan tubuh pasien
4. Mencuci tangan setelah kontak
dengan pasien
5. Mencuci tangan setelah kontak
dengan lingkungan di sekitar pasien
6. Mencuci tangan dengan langkah cuci
tangan WHO
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
108
Lampiran 3. Dokumentasi Sarana Prasarana Keselamatan Pasien
Bel Pemanggil Perawat/Nurse Call
Telepon
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
109
Stempel TBK
Poster Lima Momen Cuci Tangan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
110
Check List Keselamatan Pasien
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
111
Poster Cara Melakukan Cuci Tangan yang Benar
Poster Program Kerbersihan Tangan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
112
Wastafel, Hand Soap, dan Pengering Tangan di Ruangan Nurse Station
Wastafel, dan Hand Soap di Ruangan Pasien
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
113
Handrub
Tempat sampah di dalam Ruangan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
114
Tempat sampah di luar ruangan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
115
Lampiran 4. Dokumentasi Bukti Pelaksanaan Keselamatan Pasien
Form Penandaan Lokasi Operasi
Check list Keselamatan Pasien Operasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
116
Penandaan lokasi operasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
117
Lampiran 5. Dokumentasi Wawancara dengan Informan
Wawancara dengan ketua Tim PMKP
Wawancara dengan dokter bedah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
118
Wawancara dengan IPCN
Wawancara dengan Kepala Ruangan Rawat Inap
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
119
Wawancara dengan Perawat Ruangan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
120
Lampiran 6. Matriks Wawancara
PERNYATAAN SIGNIFIKAN KODING KATEGORI SUB TEMA TEMA
Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan keselamatan
pasien
1. Bagaimana kualitas dan ketersediaan jumlah sumber
daya manusia dalam pelaksanaan keselamatan
pasien?
Responden 1
ketersediaan untuk SDM belum cukup. Kita masih kurang
dengan kondisi bed 124 bed, perawat kita cuman 50 masih.
Ada yang sudah melakukan pelatihan. Kalau mengenai
kualitas lihat dari hasil kerjaan cukup baik.
a. SDM belum
cukup
b. Kualitas cukup
baik
Ketersediaan
dan
kemampuan
SDM
Kualitas dan
ketersediaan Sumber
daya manusia dalam
pelaksanaan
keselamatan pasien
Faktor yang
mempengaruhi
pelaksanaan keselamatan
pasien
Responden 4
SDM sudah cukup, kemampuan sudah baik. Karena rata-rata
7, 6 tahun jadi ya pasti udah bisa.
a. SDM cukup
b. Kemampuan baik
Responden 5
SDM sudah mencukupi, itu apalagi udh ini, semenjak
akreditasi udh bagus. Kemampuan udah bisalah ya tapi kita
masih kurang pelatihan.
a. SDM mencukupi
b. Kemampuan
sudah bisa
c. Kurang pelatihan
Responden 6
Kalo dari segi jumlah tenaga sih kita masih kurang. Kualitas
sudah pada baik
a. Tenaga kurang
b. Kualitas baik
Responden 9
Kalo jumlah perawat kurang karena susah mendapatkan STR
a. Perawat kurang
sekarang. Kemampuan sudah baik. b. Kemampuan baik
2. Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana yang
mendukung pelaksanaan komunikasi efektif,
ketepatan lokasi, prosedur dan pasien operasi, dan
pengurangan resiko infeksi?
Responden 1
Ketersediaan fasilitas prasana sudah terpenuhi.
a. Fasilitas
terpenuhi
Ketersediaan
sarana dan
Ketersediaan alat-alat
yang digunakan
Faktor yang
mempengaruhi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
121
Responden 2
Wastafel, air mengalir, tisu bersih, sabunya itu sih, spidol.
a. W,A,T,Sa,Sp
Responden 3
sarana prasarana sudah cukup, kendala kalo kosong malas
ambil ke logistik, tisu kosong di kamar pasien karena masih
ada kendala di dana
a. Sarana prasarana
sudah cukup
b. Tisu kosong
Responden 4
Ada, sekarang kami baru akreditasi jadi lengkap semuanya
a. Lengkap
Responden 5
Sudah tersedia semuanya handrub, hand soap, stempel,
telepon
a. Sudah tersedia
b. Hd,Hs,St, T
Responden 6
Kalo dibilang 100% belum, tapi sudah baik
a. Sudah baik
Responden 7
Fasilitasnya sudah memadai, masih gedung baru
a. Fasilitasnya
sudah memadai
Responden 8
Telepon, buku, check list keselamatan pasien, handrub, hand
soap, tisu
a. T,B,Hd,Hs, T
Responden 9
Fasilitas lengkap
a. Fasilitas lengkap
3. Apakah ada regulasi yang mengatur tentang
pelaksanaan komunikasi efektif, ketepatan lokasi,
prosedur dan pasien operasi, dan pengurangan resiko
infeksi?
Responden 1
Pelaksanaan di PMKP seperti yang di laporkan Januari tahun
2019 untuk regulasi, sop-nya, sudah dijalankan. Sudah
disosialisasikan, sosialisasinya general, setiap unit terkait. Ada
pelatihan setiap minggu ke dua, ke semua pegawai. Pelatihan
ada SBAR, penandaaan lokasi, pengurangan resiko infeksi.
a. Ada dan sudah
dijalanka
b. Sosialisasi
general
c. Ada pelatihan
Regulasi dan
pelatihan atau
sosialisasi
Regulasi dan
pelatihan atau
sosialisasi yang
mengatur
pelaksanaan
keselamatan pasien
Faktor yang
mempengaruhi
pelaksanaan keselamatan
pasien
Responden 2
Ada, dilaksanakan. Ada disosialisasikan secara umum,
setahun paling 2-3 kali. Kalo perawat lebih sering lagi.
a. Ada,
dilaksanakan
b. Sosialisasi secara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
122
umum
Responden 3
Ada lengkap semua, pedoman, sponya pelaksanaan cuci
tangan, sudah dilaksanakan. Pelatihan tentang cara melakukan
cuci tangan yang benar, pakai handrub ada dilakukan secara
internal, umum, juga ada di tempel.
a. Lengkap,
dilaksanakan
b. Pelatihan
internal, dan di
tempel
Responden 4
SPO itu pedoman. Ada, udah disosialisasikan, pasien jatuh
kan. Ada, kami pernah secara umum.
a. Ada
b. Sosialisasi secara
umum
Responden 5
Ada regulasinya, sudah disosialisasikan, ada SPO melapor
nilai kritis, cara melapor oper shift operan. Apa lagi ya, kalo
melapor keluhan-keluhan pasien itu semuanya ada sih SBAR
dan SPO-nya. Pernah tapi gak berkesinambungan. Secara
umum, topiknya komunikasi tepat lokasi, rendahnya cuci
tangan ada
a. Ada
b. Sudah
disosialisasikan
c. Pelatihan secara
umum
Responden 6
Ada, sudah disosialisasikan, di aula untuk melakukan cuci
tangan secara global.
a. Ada
b. Sosialisasi global
Responden 7
Regulasinya ada, sudah dilaksanakan. Sosialisasi ada secara
umum
a. Ada,
dilaksanakan
b. Sosialisasi secara
umum
Responden 8
Ada sudah dilaksanakan, Aku karena kebetulan di bagian
hand hygiene itulah SPO hand hygiene. Ada sudah
disosialisasikan secara umum.
a. Ada,
dilaksanakan
b. Pelatihan secara
umum
Responden 9
Ada regulasi, sudah disosialisasikan, sosialisasi kurang, masih
sebagian. Ada pelatihan, secara umum
a. Ada
b. Sosialisasi kurang
c. Pelatihan secara
umum
4. Apakah ada dilakukan monitoring dan evaluasi
terkait pelaksanaan keselamatan pasien?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
123
Responden 1
Ada cuman SDM yang mau lakukan monitoring gak ada.
Monitoring dan evaluasinya untuk 2019 cuman sekali, bulan
Maret belum karena kekurangan SDM yang menjalankan saya
sendiri semua. Laporannya sudah ada, tiap bulan. Pelaporan
teraakhir ke direktur itu Januari selama ini kita belum pernah.
a. Ada, hanya sekali
b. Kekurangan
SDM
c. Laporan belum
berjalan
maksimal
Monitoring
dan pelaporan
Monitoring dan
pelaporan dalam
pelaksanaan
Faktor yang
mempengaruhi
pelaksanaan keselamatan
pasien
Responden 3
Ada dalam bentuk check list, Auditnya sekali 3 hari.
Pembuatan laporan dilakukan setiap bulan
a. Ada, dalam
bentuk check list
b. Audit dlkkn
setiap 3 hari
c. Pembuatan
laporan setiap
bulan
Responden 4
Ada dilakukan monitoring, ada laporan itu kalo ada kejadian-
kejadian jatuh, infeksi. Kalo ada kejadian kami catat itu,
formulir surveilans Hais.
a. Dilakukan
monitoring
b. Laporan insiden
dan infeksi
Responden 5
Ada sih monitoringya tapi belum berkesinambungan. Kalau
cuci tangan check list, ada juga yang buat laporan juga, ada
yang lihat langsung di status ada gak benar-benar dilakukan
metode SBAR, TBK itu diverifikasi ngak. Ada pelaporannya
tapi gak berkesinambungan, Karena banyak yang harus kita
lakukan
a. Monitoring
belum
berkesinambunga
n
b. Pelaporan tidak
berkesinambunga
n
Responden 6
Ada, ya kalo cuci tangan ya bener gak sesuai prosedur
dilakukan. Kalau komunikasi efektif saat berkomunikasi
kepada orang, kepada pasien. Gak ada laporan.
a. Ada monitoring
b. Tidak ada laoran
Responden 7
Mereka melihat, mengamati bagaimana kami
a. Ada monitoring
b. Ada pelaporan
melaksanakannya, dan kalo bukti ya lewat tanda tangan tadi
dari pasien kalo melakukan cuci tangan. Dari karu mengamati.
Ada pelaporan kalau terjadi infeksi.
Infeksi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
124
Ada, evaluasinya, ada dibuat laporan gitu gak ada, tapi adalah
kurva SBAR. Ada laporan infeksi nanti dilapor ke IPCN.
a. Ada evaluasi
b. Laporan tidak ada
Responden 9
Ada, diamati kabid, karu. Dari PMKP, samaku gak ada tapi
gak tau sama yang lain
a. Ada monitoring
5. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam
pelaksanaan keselamatan pasien?
Responden 2
Ngak ada
a. Tidak ada Hambatan Hambatan dalam
pelaksanan
keselamatan pasien
Faktor yang
mempengaruhi
pelaksanaan keselamatan
pasien
Responden 4
Malas, kurang taat, kadang udah taunya semua peraturan tapi
ya kadang malas. Kurang ini aja memang kurang taat aja sama
peraturan.
a. Malas, tidak taat.
Responden 5
Hambatan komunikasi kurasa ngak adalah ya paling untuk
meningkatkannya tadi harus ada pelatihan yang
berkesinambungan sih
a. Hambatan tidak
ada
b. Pelatihan yang
berkesinambunga
n
Responden 6
Hambatan tidak ada.
a. Tidak ada
Responden 7
Kurang menyadari ajalah ya, itu ajjalah, kurang sosialisasi
jugalah memang karena itu kan secara umum. Kurang jugalah,
jadi kurang motivasilah karena ini.
a. Kurang
kesadaran,
sosialisasi, dan
motivasi
Responden 8
Sejauh ini ngak ada lagi, sekarang udah terbiasalah
a. Tidak ada
Meningkatkan komunikasi yang efektif
6. Bagaimana pendapat anda terhadap rendahnya
pencapaian komunikasi efektif?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
125
Responden 1
Masih belum terbiasanya perawat disini untuk mengikuti SOP,
sosialisasi yang kita berikan itu tidak tepat sasaran kan harus
semua, penyampaian sosialisai itu kurang komunikatif,
perawat-perawat yang lama-lama, dalam hal penanggapan
untuk hal ini agak berbeda, jadi agak susah di ubah terkait dlm
hal ini
a. Sosialisasi kurang
komunikatif
b. Sulit mengubah
kebiasaan
Rendahnya
pelaksanaan
komunikasi
efektif
Faktor yang
mempengaruhi
rendahnya
pelaksanaan
komunikasi
Melakukan komunikasi
yang efektif
Responden 4
Kita kan belum terbiasa, kadang-kadang hanya dok ini, ini.
Kalau menurut komunikasi efektif kan kita harus
memperkenalkan diri, mengucapkan salam, melakukan ini,
tapi kadang disitunya, kurang ini ya langsung ke fokus kadang
ke sasarannya gak langsung dari ini ke ini.
a. Belum terbiasa
Responden 5
jumlah pasien sama jumlah perawat itu gak sama, beban kerja,
gak pernah pelatihan secara khusus tentang itu komunikasi
efektif
a. Beban kerja
b. Tidak ada
dilakukan
pelatihan khusus
Responden 7
Dokter juga mau cepat-cepat semuanya, terlalu lama gitu jadi
langsung ke masalah pasien.
a. Tidak sesuai
standar
7. Bagaimana cara komunikasi yang digunakan via
telepon?
Responden 1
kita jalankan sistem SBAR, jadi artinya mereka di status nya
sudah ada dan dilaporkan dan setiap hari ada pelaporan
SBAR-nya. Sudah sesuai dengan akreditasi SNARS, untuk S,
B, A, R, SBAR ditulis seperti itu, dan untuk TBK artinya apa
sudah mereka tulis, mereka laksanakan di lapangan itulah
TBK
a. Metode SBAR
b. Ditulis S,B,A,R
dan dilakukan
TBK
Metode SBAR
dan TBK
Komunikasi via
telepon
Melakukan komunikasi
yang efektif
Responden 2
dilaporkan kondisi si pasien, keluhannya kondisi klinisnya itu
aja. Saya kasih terapilah, Sebelum tutup telepon dia ngulang
instruksi saya. Ada tanda tangan TBK.
a. Melaporkan
kondisi, keluhan
b. Diberi terapi,
baca kembali.
c. Tandangan TBK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
126
Responden 4
Ditulis lengkap, dibaca ulang dan dikonfirmasi lagi kepada
penerima, di eja kalau ada yang sulit. Kami telepon dan bilang
ini, setelah kita tulis, baca, konfirmasi, kita stempel, nanti kalo
dokternya datang nanti dikonfirmasinya lagi ini. Sudah
dilaksanakan kurang dari 24 jam ini dek dikonfirmasi. Ini cara
melapornya juga sudah dilaksanakan sesuai SBAR dan TBK.
a. Ditulis, dibaca
ulang,
konfirmasi, eja,
stempel
b. Sesuai SBAR dan
TBK
Responden 5
ada kayak keluhan, atau nilai kritis kan kita via telepon.
ucapkan salam, kita tetap terapkan SBAR itu, kita nanti feed
back lagi, baca kembali, iya katanya, baru kita stempelkan,
besoknya baru kita teken. Teken sama dokter kita
verifikasinya kurang dari 24 jam. Kita gak ada catat namanya
S, B, A, R, gak ada lagi, kita cuman catat keluhannya karena
sudah bisa.
a. Ucapkan salam,
SBAR, feed back,
baca kembali, dan
stempel.
Responden 6
Pakai metode SBAR, dijelaskan satu-satu S, B, A, R-nya, itu
ada kita tulis di CPPT, nanti kan dokter liat pas visit
a. Metode S,B,A,R
Responden 7
Dok pasien ini, kamar ini langsung gini, terus dikasih
diagnosanya, langsung kepasien terus kita ulangi yang tidak
dimengerti saja yang di eja. di eja alphabet kan.
a. Kasih tau
diagnosa, baca
kembali dan eja
alphabet
Responden 8
Komunikasi lewat telepon secara SBAR. Diceritakan apa
keluhanya, terus obat yang dikasih, terapi terdahulu, kasih tau
identitasnya. catatan kita stempel, terus tulislah tanggalkan
hari ini nnti verifikasi dari dokternya kurang dari 24 jam
a. Komunikasi
SBAR, kasih tau
keluhan, terapi,
identiras dan
stempel
Responden 9
Ditulis, udah diapakan, dibaca ulang lagi ke dokternya dan
dikonfirmasi, stempel TBK, kadang lebih kadang kurang dari
24 jam
a. Ditulis, baca
ulang,
konfirmasi.
b. TBK bisa lebih
atau kurang 24
jam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
127
8. Bagaimana komunikasi yang dilakukan pada saat
serah terima pasien?
Responden 4
Disini dulu kita sebelum keruangan pasien, kita baca dulu
buku komunikasinya baru mereka lihat siapa yang
bertanggung jawab ke pasien satu-satu. Setelah itu kita tetap
ke ruangan memperkenalkan diri, bahwasanya sudah
pergantian shift antara dinas pagi dan sore bahwa
a. Di ruangan, baca
buku, lihat siapa
yang
bertanggungg
jawab, dan
keruangan
memperkenalkan
diri
Diskusi, baca
buku
komunikasi,
Metode
SBAR, operan
antar perawat
penanggung
jawab di
ruangan
pasien
Komunikasi yang
dilakukan pada saat
serah terima pasien
Melakukan komunikasi
yang efektif
Responden 5
Klo disni kan kita diskusi, baca CPPT, baru ke ruangan.
Metode sbar, Kita kasih tau namanya, diagnosanya,
keluhannya, nanti mau kita oper sama dia, nnti foto ya, foto
thorak ya nnti. pasien ku si a pasien dia si a juga di sore nanti
jadi aku operkan juga sama dia, baru kayak kepala ruangan
oper sama penanggung jawab sore
a. Diskusi, baca
buku CPTT, ke
ruangan
b. Metode SBAR
c. Perawat saling
operang dan
kepala ruangan
oper sama
penanggung
jawab sore
Responden 6
Kita serah terima baca buku komunikasi, buka status baru kita
komunikasi.
a. Baca buku
komunikasi, buka
status baru
komunikasi
Responden 7
Pergi ke ruangan ni, hand over dari petugas siang ke sore lah,
kita ada buku catatannya, ya kita istilahnya hand over di
ruangan sama petugas siang ke sore, ganti lagi ke kamar satu
lagi.
a. Baca buku
catatan, ke
ruangan operan
dari petugas siang
ke sore
Responden 8
Setelah baca buku rawatan, ada yang kurang mengerti di tanya
a. Baca buku
rawatan, ditanya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
128
trs ke pasien. Penanggung jawab yang memiminpin, kalo gini
pagi kan kepala ruangan lah ke penangung jawab sore.
yg tidak
mengerti, trs ke
pasien.
Responden 9
Operan, ke ruangan pasien, nanti operan di ruangan nanti
dikasih tau juga ke pasien. Semua tim pagi kumpul baca
rawatan lalu pergi ke ruangan.
a. Kumpul, baca
rawatan, lalu ke
ruangan
Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur
yang benar, dan pembedahan pada pasien yang benar
9. Bagaimana pendapat anda terhadap rendahnya
pencapaian pelaksanaan tepat lokasi, tepat prosedur,
dan tepat pasien operasi?
Responden 1
Masih kurangnya pengawasan dari bagian ruangan dari kepala
ruangan, masih ada beberapa dokter yang engan untuk
melakukan itu.
a. Kurang
pengawasan
b. Dokter enggan
melakukan
penandaan
Responden 4
Penandaan lokasi operasi itu gak selamanya kita melakukan
itu misalnya contoh dikasih tandakan itu jarang kita lakukan di
ruangan, tapi tetap kita kog dicek dilihat data-data kita dicek
kembali, lokasi dimana, tepat pasienya. Tapi kalo diruangan
jarang memang di tandai dsini. Tapi jarang semua di tandai.
a. Jarang dilakukan
penandaan
Faktor yang
mempengaruhi
rendahnya
pelaksanaan
sebelum
operasi
Faktor yang
mempengaruhi
rendahnya
pelaksanaan sebelum
operasi
Memastikan lokasi
pembedahan yang benar,
prosedur yang benar, dan
pembedahan pada pasien
yang benar
Responden 5
tidak terisi terlalu banyak, jadi dokumentasi kami itu pasti ada
bolong-bolong. tapi sekarang rasaku udah terisi gitu 80%.
Kemarin rendah mungkin karena banyak SIO yang gak terisi.
a. Dokumentasi
tidak lengkap
terisi
b. Banyak SIO tidak
terisi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
129
Responden 10
Tapi jujur ajalah masih banyak itu tidak dilakukan. Gak semua
dokter itu melakukan kegiatan, banyak yang mau secepatnya
aja melakukan tindakan dan tidak di tandainya di atas itu.
Masih banyak lah yang belum disiplin belum melakukan
penadaan itu.
a. Belum disiplin
untuk melakukan
penandaan
10. Apakah yang dilakukan saat verifikasi sebelum
operasi?
Responden 2
Ngecek status, periksa pasien, menentukan lokasi, memastikan
lagi lokasi daerah operasi yang mau dilakukan. Ada inform
consent, dijelaskan, ya tentang penyakitnya, penanganan
penyakitnya, tentang resiko operai yang akan dilakukan
a. Kelengkapan
dokumen
b. Informed consent
Kelengkapan
dokumen dan
serah terima
pasien
Pelaksanaan
verifikasi sebelum
operasi
Pelaksanaan sebelum
operasi
Responden 4
Antar dia ketempat operasi, kita oper juga ke perawat operasi,
diliatlah dimana operasinya, nanti mereka mengulang, kami
pun mengulang, cek namanya, identitasnya pasti, gelang
pasiennya. Dsni di cek dan nnti ada juga dicek disana dan
nanti di cek kembali terus di tanda tangan, tunnjukan lokasilah
tempatnya dimana. Inform consent harus ada pasien dan salah
satu keluaganya
a. Operan
b. Cek kembali
dokumen
c. Informed consent
Responden 5
Biasa verifikasi dulu, tangal lahir, no rekam medik, dokternya
siapa, surat ijn operasinya, anastesinya, persiapan puasa,
cukur, antibiotic, apakah butuh darah. serah terima ke kamar
bedah terus kembali keruangan di check list lagi nnti
semuanya.
a. Verifikasi
kelengkapan
dokumen
b. Serah terima
Responden 6
Benar pasiennya, benar dokternya, benar lokasi operasinya
baru benar dokter ny. serah terima dengan perawat ok, itu di
cek lagi data
a. Tepat pasien,
dokter, lokasi
operasi
b. Serah terima
c. Cek kembali
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
130
dokumen
Responden 7
Melakukan identifikasi pasien dilihat lokasi yang mau operasi,
pasien yang tepat, foto.
a. Kelengkapan
dokumen
Responden 8
Operasi apa, harinya tanggalnya, operasinya dibagian mana,
persiapannya apa aja puasa kah ada foto kah, atau ada injeksi
antibiotik
a. Kelengkapan
dokumen
Responden 9
Tergantung perisapanya apa yang dibutuhkan oleh dokter,
persiapan operasi, identifikasi ulang.
a. Identifikasi ulang
Responden 10
Kan ada formnya, di cek kembali dentitas pasien, keberadaan
pasien kayakmana, dengan segala sesuatu check list-nya itulah
yang ada di form kita. Nah waktu datang pasien serah terima,
kita melakukan disitu sign ininya, time outnya di kamar bedah
kalo udh stanby semua sistem, dan pasien kita time outnya.
a. Cek kembali dan
kelengkapan
dokumen
b. Serah terima
11. Apakah ada dilakukan penandaan lokasi operasi?
Responden 1
Penandaan masih ada memang beberapa yang di ok, dokter
melakukan penandaan di ruang pasien, pas penandaan di
jelaskan inform consent, identitas pasien. Penandaannya
jelas,lah, pake spidol, seharusnya itu ada spidol khusus, tapi
spidol khusus itu mahal,
a. Penandaan di OK
dan di ruangan
pasien
b. Penandaan jelas,
spidol biasa
Penandaan
lokasi operasi
Tepat lokasi operasi Memastikan lokasi
pembedahan yang benar,
prosedur yang benar, dan
pembedahan pada pasien
yang benar
Responden 2
Iya ada krn hrs jg dituliskan di formnya. Penandaan di
ruangann
pake spidol yang permanen, tanda panah. Kadang dilibatkan
kadang ngak, ya tergantung klo ada pas keluarga pasienya.
a. Penandaan di
fisik dan form
b. Di ruangan
c. Spidol permanen
d. Keluarga
dilibatkan jika
saat bersama
Responden 4
Ada dek di form operasi, Belum di tandain di lokasi operasi
a. Penandaan di
form
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
131
klo di fisiknya ya, cuman menunjukkan kaki sebelah kanan
kita operasi. Pasien ya dilibatkan lah dek
b. Pasien dilibatkan
Responden 5
Selalu ada penanadaan lokasioperasi, di ruangan sama
dokternya. Di fisik dan di form. Bentuk panah, terserah
dokternya sih ada juga yg kasih gini. Pakai spidol
a. Penandaan di
fisik dan form
b. Bentuk panah,
tergantuk dokter
c. Pakai spidol
Responden 6
Diberi tanda, pake spidol kadang” pakai plester, selalu
dilakukan dokter mengisi form dan sudah di tanda tangani lalu
menandai ke fisik pasien. Pasti, karena gak mungkin ditandai
kalo pasiennya gak tau karena yang dioperasi pasiennya kan
a. Penandaan di
fisik dan form
b. Penandaan
menggunakan
spidol, plester
c. Pasien dilibatkan
Responden 7
pernah liat di tandain dokter pake spidol, penandaannya itu di
form aja, cuman di tunjukkan lokasinya. pasien dilibatkan
a. Penandaan di
Form
b. Spidol
c. Tanda panah
Responden 8
Ada di form dan fisik, kebanyakaan sih panah, ada bentuk
lingkaran, penadana pake spidol permanen
a. Form dan fisik
b. Panah
c. Spidol permanen
Responden 9
Tidak ada, Ngak soalnya kan ada juga pasiennya gak terima,
penandan itu juga biasa dilakukan di OK. Dilibatkanlah,
dikasitaulah pasiennya.
a. Penandaan di
ruang OK
b. Pasien dilibatkan
Responden 10
Jadi dua sebenarnya dari ruangan udah di tandai, dengan tanda
panahnya, ya kita tandai lagi mengarah panah yang sama juga
ke daearah yang mau dilakukan operasi. Tapi kalo menurut
SPO satu. Perawatlah, daripada salah mending dilakukan.
Seharusnya pakai marker biar seragam, kan tpi dengan
keterbatasan ini ya diruangan masih pakai spidol biasa.
a. 2 penandaan di
ruangan dan
sebelum kamar
operasi
b. Ditandai oleh
perawat dan
dokter
c. Spidol kulit di
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
132
ruangan sebelum
kamar operasi
dan di ruangan
pasien
Pengurangan resiko infeksi akibat perawatan kesehatan
12. Bagaimana pendapat anda terhadap rendahnya
pencapaian pelaksanaan pengurangan resiko infeksi?
Responden 1
Untuk pengurangan resiko infeksi cuci tangan, seharusnya
harus disosialisakan dan harus dilakukan secara berkala.
Kadang mereka lupa, karena sibuk, pengawasanya itu
terkendala dimana SDM-nya kurang.
a. Sosialisasi tidak
berkala
b. Lupa dan
kekurangan SDM
Faktor yang
mempengaruhi
rendahnya
pelaksanaan
cuci tangan
Rendahnya
pencapaian
pelaksanaan cuci
tangan
Resiko infeksi akibat
perawatan kesehatan
Responden 3
Kurang kesadaran dalam melaksanakanya, beban kerja, resiko
apabila tidak melakukan kurang, gak ada sanksi yang serius
a. Kurang
kesadaran, beban
kerja.
b. Tidak ada sanksi
Responden 4
Kadang mau cepat, kadang mau lupa kan mau cuci tangan itu
sesuai dengan five moment itu. Udah, cuman kami kurang
patuh aja perawat itu.
a. Tidak sesuai five
moment
b. Kurang patuh
Responden 5
Karena satu kan kepatuhan, beban kerja, kurang pelatihan jadi
kesadaran tadi masih kurang.
a. Kepatuhan, beban
kerja
b. Kurang pelatihan
dan kurang
kesadaran
Responden 6
belum diterapkannya masalah cuci tangan efektif ya kan,
namun tapi sudah dihimbau untuk melakukan cuci tangan.
Sekarang sudah dilaksanakan.
a. Tidak cuci tangan
yang efektif
Responden 7
Satu ya memang krn kita hrs cpt, kurang patuh, kekurangan
tenaga juga nya itu
a. Kurang patuh dan
tenaga
Responden 9 a. Kurang kesadaran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
133
Kurang kesadaran ajanya
13. Bagaimana pelaksanaan cuci tangan dan dilakukan
pada saat kapan?
Responden 2
Caranya ya sesuai panduan yang WHO
Sebelum periksa pasien, sesudah periksa pasien, kalo di kamar
operasi sebelum masuk kamar operasi sama sesudah tindakan.
Ngak pernah lupa.
a. Seuai panduan
WHO
b. Sebelum dan
sesudah kontak
pasien
c. Tidak pernah
lupa
Pelaksanaan
cuci tangan
Pelaksanaan cuci
tangan sesuai standar
Resiko infeksi akibat
perawatan kesehatan
Responden 3
Cuci tangan yang benar sesuai WHO. Dilakukan pada saat five
moment. Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, setelah
terkena cairan tubuh pasien, sebelum tindakan antiseptik, dan
setelah kontak dengan lingkungan di sekitar pasien
Cuci tangan yang
benar sesuai
WHO
a. Five moment
Responden 4
Sudah sesuai WHO dengan yang enam langkah. Untuk
melakukan yang 6 langkah itu, ngak seharusnya, mau cepat-
cepat kadang gak semua kita lakukan itu. Ada juga kita
memang yang tidak taat juga. Dilakukan pada 5 saat. Kalo
lupa ngak, kita wajibnya melakukan cuci tangan, kita udah
ditekankan itu.
a. Sesuai WHO
b. Kadang tidak
sesuai dengan
enam langkah
c. Tidak lupa
Responden 5
Pelaksanan cuci tangan kita sebelum ke pasien, sesudah ke
pasien, sebelum memberikan tindakan antiseptik, sesudah
terkena cairan pasien dan sesudah kontak dengan pasien. Kalo
pelaksanaan cuci tangan pakai hand soap sudah sesuai
standar, tapi kalo handrub itu kadang gak sesuai standar.
Pernah lah lupa, kalo pasien gawat gak terpikir lagilah. Karena
kesadaran lagi, kalo kita sering pelatihan udah menjadi
kebiasaan.
a. Hand soap sesuai
standar, handrub
tidak sesuai
standar
b. Pernah lupa
Responden 6 a. Sesuai dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
134
Apa yang kita dapat itu yang kita kerjakan. Selalu dilakukan
pada saat 5 momen cuci tangan
yang diajarkan
b. Five moment
Responden 7
Sudah sesuai WHO, sesudah, sebelum kontak dengan pasien,
setelah kontak dengan pasien, setelah kontak dengan
lingkungan pasien.
a. Sesuai WHO
b. Five moment
Responden 8
Cuci tangan yang benarlah yang sesuai WHO. Five moment.
Pernah lah, kayak tadi lah karena pasien butuh kita saat itu
jadi gak sempat, waktu gitu dan prioritas jarang lah lupa
karena kebiasaan
a. Sesuai WHO,
cuci tangan yang
benar
b. Pernah lupa
Responden 9
Pelaksanan cuci tangan sudah sesuai SPO cuci tangan,
sebelum dan sesudah cuci tangan
a. Sesuai SPO
b. Sebelum dan
sesudah
14. Apakah ada diberikan edukasi cuci tangan kepada
pasien terutama keluarga?
Responden 4
Kalo pasien baru masuk, kita perkenalkan diri disana, kita
kasih tau peraturannya seperti ini, susternya ini, dia juga harus
tau siapa susternya, siapa yang bertanggung jawab di ruangan
ini. Sebelum masuk dia kita harus edukasi dia pasien dan
keluarganya, disini ada form terintegrasi pasien dan keluarga.
Edukasi sebatas kalo mau masuk cuci tangan ya, caranya
seperti ini.
a. Dilakukan
edukasi
b. Form
teriinteggrasi
pasien dan
keluarga
Edukasi cuci
tangan
Edukasi cuci tangan
kepada pasien dan
keluarga
Resiko infeksi akibat
perawatan kesehatan
Responden 5
Kita ada form nya, ada edukasinya lengkap di tanda tangai
keluarga sama org yg kita edukasikan. Kita khn udah edukasi
di dinding pun ada kita tetap tempel. Kita arahkan lagi. Kalo
memang kita lihat ya pasti kita tegur apalagi kalo anak-anak
kan udah kita bilangin.
a. Ada edukasi
b. Ada form
c. Diberi teguran
Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
pelaksanaan identifikasi pasien dengan benar?
Responden 1 a. Melakukan sesuai Upaya Meningkatkan Pelaksanaan sasaran
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
135
Perawat sama orang-orang yang memerlukan seperti lab sudah
melakukan sesuai SOP. Kita kemarin paling melakukukan
secara apa tanya jawab secara lisan ke pasienya itu. Apakah
sebelum perawat atau petugas analis melakukan identifkasi.
Itu secara lisan untuk menilai apakah perawat sudah
melakukan tindakan identifikasi pasien. Itu secara lisan.
SOP
b. Penilaian secara
lisan dengan
melakukan tanya
jawab kepada
pasien
meningkatkan
pelaksanaan
identifikasi
pasien dengan
benar
pelaksanaan
identifikasi pasien
keselamatan pasien
Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
pelaksanaan keamanan obat-obatan yang harus
diwaspadai?
Responden 1
Ya kita liat pengecekanlah secara lisan juga. Kita cuman
melihat aja dan mengkoordinasi. Secara lisan aja untuk obat
LASA apakah sesuai atau tidak. Mereka susun secara abjad.
Cara penulisannya yang beda dan warna. Di kotak.
penyimpanan ada pelabelannya itu ada tulisan LASA
a. Pengecekan
secara lisan
b. Penyusun
secara abjad
c. Cara penulisan
yang beda
d. Penulisan label di
kotak
penyimpanan
Upaya
meningkatkan
pelaksanaan
keamanan
obat-obatan
yang harus
diwaspadai
Meningkatkan
pelaksanaan
keamanan obat-
obatan yang harus
diwaspadai
Pelaksanaan sasaran
keselamatan pasien
Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
pelaksanaan pengurangan resiko jatuh?
Responden 1
Pendaftaran mereka cuman menilai mereka resiko jatuh sesuai
dengan kriteria, cuman tempelkan itu aja. Sampai di ruangan
di lapor ke tim TKRS baru dia akan masuk ke ruangan
menilai. Kalo ruangan dia masuk itu hijau, pasien baru masuk.
Dia nilai ruangan ini merah maka ini akan jadi merah. Dia
akan cek kelengkapannya itu, dia akan ngatur. IGD cuman
mengidentifikasi pasien resiko jatuh, cuman menempelkan
stiker di gelang. Sampai di ruangan jadi tugas tim TKRS yang
melakukan peninjauan, penilaian ulang. Tim keselamatan
pasien rumah saki punya tugas setiap 2 kali sehari mengontrol
ruangan. Yang mana ruangan itu yang bersiko ya. Contoh
ruangan ini resikonya merah. Berarti harus melihat pasiennya
itu siapa resiko merah disitu di cek sama dia. Dua hari lagi
a. Pendaftaran
penilaian resiko
b. Tim TKRS
melakukan
penilaian di
ruangan
c. Penilaian pada
pasien dan
fasilitas
Upaya
meningkatkan
pelaksanaan
pengurangan
resiko jatuh
Meningkatkan
pelaksanaan
pengurangan resiko
jatuh
Pelaksanaan sasaran
keselamatan pasien
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
136
dicek pasienya, jika sudah tidak ada dinilai ulang ruangan itu
apakah ruangan itu ruangan merah, Kuning atau hijau. Itu ada
kriteria-kriterianya. Kalo itu ruangan kuning siapa yang
kuning disitu dicek ulang nanti disana. Atau pun yang sudah
hijau dicek dia itu ada pasien yang baru masuk punya riwayat
resiko jatuh tinggi berarti jadi merah ruanganya. Gelang cuma
resiko jatuh merah (tinggi), kuning (sedang), hijau (rendah) itu
penilaianya. Setelah ruangan kita lihat pasiennya, setelah
pasiennya, kita liat fasilitasnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
137
Lampiran 7. Hasil Wawancara kepada Informan
Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan keselamatan pasien
1. Bagaimana kualitas dan ketersediaan jumlah sumber daya manusia dalam
pelaksanaan keselamatan pasien?
No. Pernyataan Informan
1. Kalau untuk ketersediaan perbandingan untuk SDM belum cukup karena sesuai dengan
Permenkes minimal IPCN ada 4, ada juga dokter. Kalo perawat kita masih kurang
dalam hal pelayanan kepada pasien, yah, kita masih kurang dengan kondisi bed 124
bed, perawat kita cuman 50 masih. Karena apa, rumah sakit itu kan perbandinganya
dengan tempat tidur disini. Kita ada, ada yang sudah melakukan pelatihan K3, pelatihan
K3 itu ada 4 orang. Kemudian untuk PPI penanggulanganya penyakit infeksi yang
sudah melakukan pelatihan, kalau pelatihan dasarnya itu ada kemarin sekitar 27 orang
yang PPI satu lagi itu yang si retdin itu IPCN kepala penanggulangggan infeksi. Kalau
penangulangan infeksi harus IPCN kalau yang dibawahnya itu angotanya yaitu perawat
dasar itu ada sekitar 30-an orang. Kalau mengenai kualitas, bahwasanya dapat kita lihat
dari hasil kerjaan mereka kan selama ini sih cukup baik sih.
4. SDM sudah cukup. Kalau kemampuan sudah baik karena kami sekarang ini orang-
orang lama ini, karena memang orang baru disini masih terhitunglah istilahnya. Karena
udah sampai 10 tahunan keatas, rata-rata 7, 6 tahun jadi ya pasti udah bisa juga dalam
ini.
5. Kalo SDM sudah mencukupi, kalau kemarin kan memang agak kurang tapi kalau SDM
sudah cukuplah itu apalagi sudah ini, semenjak akreditasi udah bagus. Kemampuan
sudah bisalah ya, tapi kita masih kurang di ini sih di apa namanya masih kurang
pelatihan gitu.
6. Dari segi jumlah tenaga sih kita masih kurang, Kualitas sudah pada baik.
9. Kalo jumlah perawat kurang karena susah mendapatkan STR sekarang. Kemampuan
sudah baik.
2. Bagaimana ketersediaan fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung
pelaksanaan komunikasi efektif, ketepatan lokasi, prosedur dan pasien operasi,
dan pengurangan resiko infeksi?
No. Keterangan
1. Kalo untuk ketersediaan fasilitas prasana sudah terpenuhi. Sudah, 99% sudah adalah,
lengkaplah. Biasanya tugas Retdin ini, dia yang melapor, dia yang melakukan
monitoring evaluasinya tadi. Kekurangan lebih bahan, sejauh ini sudah lengkap.
2. Wastafel, air mengalir, tisu bersih, sabunya itu sih, spidol.
3. Kalo itu sarana prasarana sudah cukup, cuman kendala kalo kosong malas kan ambil ke
atas bagian logistik, tisu kosong di kamar pasien
4 Ada, sekarang kami baru akreditasi jadi lengkap semuanya.
5. Sudah tersedia semuanya handrub, handsoap, stempel, telepon.
5. Sudah tersedia semuanya handrub, handsoap, stempel, telepon.
6. Kalo dibilang 100% belum, tapi sudah baik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
138
7. Fasilitasnya sudah memadai, masih gedung baru.
8. Telepon buku, ceklist keselamatan pasien, handrub, hansoap, tisu.
9. Fasilitas lengkap.
3. Apakah ada regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan komunikasi efektif,
ketepatan lokasi, prosedur dan pasien operasi, dan pengurangan resiko infeksi?
No. Keterangan
1. Sudah ada, sudah dijalankan. Kalo untuk pelaksanaan di PMKP seperti yang kita
laporkan Januari tahun 2019 untuk regulasi, sop-nya, sudah dijalankan. Sudah
disosialisasikan, sosialisasinya general, setiap unit terkait. Kita ada pelatihan, tapi kalo
gak salah Desember 2018 setiap minggu ke dua dilakukan, ada SBAR, penandaaan
lokasi, pengurangan resiko infeksi. Itu kita mulai dari persiapan akreditasi mulai bulan
delapan 2018. Sudah ada sosialisasi kita setiap hari ke semua pegawai rumah sakit
termasuk satpam, termasuk cleaning service, semua pegawai rumah sakit.
2. Ada, dilaksanakan. Ada disosialisasikan secara umum. Sosialisasi pas mau akreditasi,
rutin tapi gak tiap bulan lah, setahun paling 2-3 kali. Kalo perawat lebih sering lagi.
3. Ada lengkap semua, pelaksanaan cuci tangan ada pedoman, spo nya. sudah
dilaksanakan.
Pelatihan ada dilakukan secara internal tentang bagaimana melakukan cuci tangan yang
benar, pakai handrub. Sosialisasi ada secara umum, di setiap ini juga ada di tempel.
4. SPO itu pedoman juga. Ada, udah disosialisasikan, pasien jatuh kan. Ada kami pernah
secara umum.
5. Ada sih regulasinya, sudah disosialisasikan, harusnya ada SPO melapor nilai kritis,
cara melapor oper shift operan. Apa lagi ya, kalo melapor keluhan-keluhan pasien itu
semuanya ada sih SBAR dan SPO-nya. Pernah tapi kemarin aja siap itu gak
berkesinambungan lagi, cuman dua kali kayaknya tahun lalu sebelum akreditasi.
Secara umum, semua perawat, topiknya komunikasi tepat lokasi, rendahnya cuci
tangan ada.
6. Ada, sudah disosialisasikan. Sudah di aula untuk melakukan cuci tangan. Kita gak unit
kita global.
7. Regulasinya ada, sudah dilaksanakan. Sosialisasi ada secara umum di unit ini gak.
8. Ada sudah dilaksanakan. Aku karena kebetulan di bagian hand hygiene itulah SPO
yang kutau kebijakan hand hygiene. Ada sudah disosialisasikan secara umum.
9. Ada regulasi, sudah disosialisasikan, sosialisasi kurang, masih sebagian. Ada pelatihan
secara umum
4. Apakah ada dilakukan monitoring dan evaluasi terkait pelaksanaan
keselamatan pasien?
No. Keterangan
1. Ada cuman SDM-nya gak ada. SDM-nya yang mau lakukan monitoring gak ada,
memang harus ada melakukan evaluasi per 3 bulan, 2 bulan, mereka akan turun ke
lapangan, mereka akan melakukan monitoring dan itu banyak orang untuk melakukan
itu, jadi semua itu terkendala di situ. Monitoring dan evaluasinya untuk 2019 cuman
sekali, bulan Maret belum karena kekurangan SDM yang menjalankan saya sendiri
semua. Kalo untuk pelaksanaan PMKP seperti yang kita laporkan Januari tahun 2019
untuk regulasi, SOP-nya, sudah dijalankan, untuk sekarang ini tetap jalan, karena tapi
pelaporannya itu ada sama bu Carolin, tapi dia lagi cuti. dia yang megang laporannya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
139
Laporannya sudah ada, tiap bulan, ke direktur selama ini kita belum pernah, pelaporan
ke direktur itu Januari, karena kita buat pelaporan itu setengah tahun, kan seharusnya
ada satu bulan, dua bulan tiga bulan, yang tiga bulan belum kita laporkan.
3. Ada dalam bentuk ceklist, Pada saat mereka tidak tau, saya evaluasi. Auditnya sekali 3
hari. Mereka cuman mengamati, saya yang mengaudit menggunakan checklist.
Pembuatan laporan dilakukan setiap bulan.
4. Ada dilakukan monitoring. Kita kan ada laporan itu kalo ada kejadian- kejadian jatuh
pun ada laporannya, kalo yang infeksi kita buat disni di komputer ada catatan
khususnya itulah apa itu, kita pun ada form nya itu, phlebitis, lengkap kami. Kalo ada
kejadian kami catat itu, formulir surveilans Hais, klo ada infeksi kita buat. Kalo infeksi
sih jarang disni dek, ditemukan kalo selama saya disini gak ada, kalo phlebitis pasti iya
adalah satu, dua pasien phlebitis. Iya, ada. Kekamar pasien, kita bilangnya bu ini udah
bengkak infusnya harus diganti ya.
5. Ada sih monitoringya tapi belum berkesinambungan makanya masih belum maksimal
sekali monitoring dan evaluasinya. Biasa kalo cuci tangan checklist, ada juga yang buat
laporan juga, ada yang lihat langsung di status ada gak benar-benar dilakukan metode
SBAR, TBK itu diverifikasi ngak. Tapi kurasa pelaporan nya ini kurasa karena
memang dari unit-unit kayak infeksi dari IPPCN, kalo dari komunkasi misalnya ini ada
ngak komunikasinya berjalan atau ngak tapi sama aja sih dek, gak maksimal
pelaporanya dek. Ada pelaporannya tapi gak yang berkesinambungan, Karena balek
kayak yang tadi karena banyak yang harus kita lakukan, laporan tadi, pasien juga
menunggu. Kayak inilah kita harus melaporkan disana, kita laporkan disini, kita
laporkan lagi ke register. Kalo 20 jangankan duduk gini dek makan aja harus diri. Tiap
bulan, sebenarnya, bukan karu disini yang melaporkan, disini ada tim masing ruangan,
tim yang untuk PMKP dilaporkan dulu. Disini jarang sih terjadi infeksi karena pasien 3
hari udah pulang, ngak pernah 2 bulan ini. Dulu sekali iya kalo sekarang ngak. Kan ada
laporannnya.
6. Ada, ya kalo cuci tangan ya bener gak sesuai prosedur dilakukan. kalo komunikasi
efektif saat berkomunikasi kepada orang, kepada pasien. Gak ada laporan.
7. Mereka melihat, mengamati bagaimana kami melaksanakannya, dan kalo bukti ya
lewat tanda tangan tadi dari pasien kalo melakukan cuci tangan. Dari karu mengamati.
Ada pelaporan kalau terjadi infeksi. Ada laporannya insiden, kalo ada terjadi dibuat
laporanya.
8. Ada, evaluasinya di cek aja, misalnya ada dibuat laporan gitu gak ada, tapi adalah
kurva kalian SBAR kan kak. Checklist mereka ada. Ngak ada. Seharusnya memang
tiap bulan. Kalo infeksi nosokomial, kalo terakhir ini sih ngak sebelum akreditasi itu
banyak. Phlebitis, paling sering sih itu kan. Ada laporan infeksi, kakak itu yang buat,
baru yang buat nanti dilapor ke IPCN.
9. Ada, diamati Kabid, Karu. Dari PMKP, samaku gak ada tapi gak tau sama yang lain.
Ada yang belum ada yang sudah, karena kerja cepat.
5. Apakah ada hambatan yang pernah dialami dalam pelaksanaan keselamatan
pasien?
No. Keterangan
2. Ngak ada.
4. Malas, kurang taat, kadang udah taunya semua peraturan tapi ya kadang malas. Kurang
ini aja memang kurang taat aja sama peraturan.
5. Hambatan komunikasi kurasa ngak adalah ya paling untuk meningkatkannya tadi harus
ada pelatihan yang berkesinambungan sih. Kalo hambatan sampai itu gak bisa
dilakukan itu si ngak ada. Kalo itu ceklist keselamatan pasien gak ada ya. Orang
memang gak pernah dilaporkan pasien jatuh. Yang umum ada tapi kalo untuk khusus
gak ada. Kalo keselamatan operasi ada. Kalo untuk pengurangan resiko infeksi gak ada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
140
ya
6. Hambatan tidak ada.
7. Kurang menyadari ajalah ya, itu ajalah, kurang sosialisasi jugalah memang karena itu
kan secara umum. Kurang jugalah, jadi kurang motivasilah karena ini.
8. Sejauh ini ngak ada lagi, sekarang udah terbiasalah
Meningkatkan komunikasi yang efektif
6. Bagaimana pendapat anda terhadap rendahnya pencapaian komunikasi efektif?
No. Keterangan
1. Masih belum terbiasanya perawat disini untuk mengikuti SOP kita, itu yang pertama.
Yang kedua kemungkinan besar sosialisasi yang kita berikan itu tidak tepat sasaran,
kadang-kadang kita kasih sosialisasi ke perawat yang baru, yang lama gak dapat, kan
harus semua. Yang ketiga bisa juga penyampaian sosialisai itu kurang, kurang
komunikatif jadi yang mendengar kurang paham. Yang ke empat disini rumah sakit
lama ya, perawatnyapun perawat-perawat yang lama-lama semua, dalam hal
penanggapan untuk hal ini agak berbeda. Disini perawat tua semua, dalam hal
menangkap sosialisai itu agak beda karena perawat disini udah 30 tahun 40 tahun,
akhirnya pada saat evaluasi turun. Kalo memang untuk rumah sakit seperti kita ini
kondisinya sudah tua, jadi kalo ada hal yang baru susah menangkapnya. Kalo perawat
yang udah tua fokusnya yang ke dulu-dulu jadi agak susah di ubah terkait dalam hal
ini.
4. Kadang gini, kita kan belum terbiasa dengan, mmm..m gimana ya kalo ngomong itu
ngak sesuai apa, kita kan belum terbiasa dengan ini gitu. Iya gitu penyebabnya, kalau
menurut komunikasi efektif kan bisa aja ni contoh kita harus memperkenalkan diri kita
mengucapkan salam, melakukan ini, tapi kadang disitunya kadang mungkin kurang ini
ya. Kita ya jadi karena ngak terbiasa, kadang-kadang hanya dokter ini, ini langsung ke
fokus kadang ke sasarannya gak langsung dari ini ke ini.
5. Satu sih sebenarnya jumlah pasien sama jumlah perawat itu gak sama, beban kerja,
sama karena kurang inilah kan sumber daya juga. Karena satu juga karena gak pernah
pelatihan secara khusus tentang itu komunikasi efektif, kan kalo kita biasa jadi bisa.
Kalo komunikasi efektif ini kan memang harus berkesinambungan, gak cuman karena
gara-gara akreditasi.
7. Kadang dokter juga mau cepat-cepat semuanya, cepat ngomongnya, ngapain lagi awak
terlalu panjang bicaranya, memperkenalkan diri, terlalu lama gitu jadi langsung ke
masalah pasien.
7. Bagaimana cara komunikasi yang digunakan via telepon?
No. Keterangan
1. Kalo komunikasi efektif sesuai SNARS tebaru, itu yang sudah kita jalankan sistem
SBAR, jadi artinya mereka di status nya sudah ada dan dilaporkan dan setiap hari ada
pelaporan SBAR-nya, itu semua sudah dijalankan dan selama ini hasil rekam medis itu
sekitar 95% sudah dilakukan, jadi semua perawat sudah menjalankan. Nah sekarang
mereka menjalankan sudah sesuai dengan akreditasi SNARS, untuk S, B, A, R, SBAR
ditulis seperti itu, dan untuk TBK artinya apa sudah mereka tulis, mereka laksanakan di
lapangan itulah TBK.
2. Via telepon, ya dilaporkan kondisi si pasien, keluhannya kondisi klinisnya itu aja. Saya
kasih terapilah sebelum saya datang ke rumah sakit. Sebelum tutup telepon dia ngulang
instruksi saya. Ada tanda tangan tbk. Tergantung kasusnya kalo emergency si
pasiennya ya kurang 24 jam. Kalo bukan kasus emergency ya besoknyalah saya
tandatanganin disitu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
141
4. Ditulis, itulah makanya ada TBK. Ditulis lengkap, dibaca ulang dan dikonfirmasi lagi
kepada penerima, di eja kalau ada yang sulit. Kami telepon dan bilang ini, setelah kita
tulis, baca, konfirmasi, kita stempel, nanti kalo dokternya datang nanti dikonfirmasinya
lagi ini. Iya lah dek nanti dokternya datang kesini untuk menandatangani itu. Memang
harus dan sudah dilaksanakan kurang dari 24 jam ini dek dikonfirmasi. Lapor dokter
Rhidos pasien minta obat tidur tambah untuk penghilang sakit, advisnyakan beri injeksi
1 ampul. Ini nama suster yang melapor, tanggal, jam segini, dokternya udah paraf.
Dokternya juga buat tangal, jamnya, diapun dokternya harus paraf saat visit. Ini cara
melapornya juga sudah dilaksanakan sesuai SBAR dan TBK.
5. Sering, komunikasinya kita tetap ini kan misalnya ini ada kayak keluhan,. atau nilai
kritis kan kita via telepon. Biasalah ya kita ucapkan salam dan segala macamnyalah
kan. Kita tetap terapkan SBAR itu, udah kita nanti lakukan itu, kita nanti feed back
lagi, baca kembali, iya katanya, baru kita stempelkan, besoknya baru kita teken. Teken
sama dokter kita verifikasinya kurang dari 24 jam. Kita gak ada catat namanya S, B, A,
R, gak ada lagi, dulu memang kita pake itu karena kan masih harus belajar kan kayak
tekniknya, tapi sekarang semakin sering kita ulang semakin bisa, jadi sekarang kita
cuman catat keluhannya ini, ini terus kita catat dan kita stempel.
6. Pakai metode SBAR, dijelaskan satu-satu S, B, A, R-nya, itu ada kita tulis di CPPT,
nanti kan dokter liat pas visit.
7. Dok pasien yg ini, kamar ini langsung gini, terus dikasih diagnosanya, terus diajaknya
kita bicara, ngomong itu aja yang hilang, langsung kepasien terus kita ulangi, kita
ulangi ya dok. Itulah TBK kita tulis tiga kali di status sekali, catatan buku perawatan
sekali, dan disini pun sekali lagi. Di eja. Kalo dokternya udah ngerti kadang-kadang
gak dijelaskan lagi, tapi kalo ada bahasa yang susah dimengerti itu baru di eja itu, di
eja alphabet kan, ya kalo dokternya dan perawatnya udah sama-sama ngerti ngak pala
dibilang ejaan gitu, ya tapi di apanya memang di ulang terapinya tapi gak perlu di eja
yg sudah dimengerti, yang tidak dimengerti saja yang di eja.
8. Komunikasi lewat telepon itu secara SBAR. Diceritakan apa keluhanya apa
masalahnya terus obat yang dikasih, terapi terdahulu, kasih tau namanya, semua
identitasnya. Ada, catatan kita stempel, terus tulislah tanggalkan hari ini nanti
verifikasi dari dokternya kurang dari 24 jam.
9. Ditulis, udah diapakan, dibaca ulang lagi ke dokternya dan dikonfirmasi. Melapor hasil
lab ini, bicara mengenai pasien, hasil labnya, terapinya apa untuk selanjutnya. Ooo
TBK ada, stempel TBK, itu ditandantangi. Gak bisa kita pastikan, ya pas kapan
dokternya visit, kadang lebih kadang kurang dari 24 jam.
8. Bagaimana komunikasi yang dilakukan pada saat serah terima pasien?
No. Keterangan
4. Biasa kita kan dek kalo itu ya semua, kan ada perawat penanggung jawab masing-
masing pasien, ya udah operan, kita lihat lah apa memang mau ke pasien ini apa-apa
aja terapinya, ya udah. Kita per shiftnya itu ke ruangan. Disini dulu kita sebelum
keruangan pasien, contohnya kita ini dinas pagi, datanglah dinas sore, buku
komunikasi kan ada kita baca dulu buku komunikasinya baru mereka lihat siapa yang
bertanggung jawab ke pasien satu-satu. Misalnya ni kan, ini istilahnya dia bertanggung
jawab sama satu pasien dia liatlah buku komunikasi apa-apa aja rencana dan tindakan
yang mau dilakukan sore ini, di buku komunikasi. Mungkin ada disuruh cek darah,
mau foto sore ini, dia udah harus tau, sudah tau apa yang kita lakukan setelah itu kita
tetap ke ruangan memperkenalkan diri, bahwasanya sudah pergantian shift antara dinas
pagi dan sore bahwa dinas pagi sudah selesai shiftnya dari jam segini sampai jam 3
sore ini ya sampai jam segini begitu cara komunikasi kami hand over.
5. Ooh serah terima pasien, kita kan tetap ada yang ini kan baca CPPT, kita masih ada
buku rawatan, liat buku rawatan, CPPT, baru ke ruangan. Metode SBAR juga. Kita kan
kasih tau la ini namanya,a ini diagnosanya, ini keluhannya sekarang, kayak nanti
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
142
misalnya ada mau kita oper sama dia, nanti foto ya, foto thorak ya nnti. Kalo disni kan
kita diskusi dulu baru ke ruangan. Kan misalnya nanti pasien ku si a, pasien dia si a
juga, di sore nanti jadi aku operkan juga sama dia, baru kayak kepala ruangan oper
sama penanggung jawab sore kan gitu baru dari sini ke ruangan.
6. Kita serah terima baca buku komunikasi, buka status baru kita komunikasi.
7. Kita kan ini pergi ke ruangan ni, hand over dari petugas siang ke sore lah,
kita ada buku catatannya, ya kita istilahnya hand over di ruangan sama petugas siang
ke sore, ini nanti seperti ini, ini, ganti lagi ke kamar satu lagi gitu.
8. Ya kita masih ada buku ini, jadi kadang mereka baca dulu kan terus ada yang tidak
dimengerti terus di Tanya, ya udah, ke ruangan. Setelah baca buku rawatan, ada yang
kurang mengerti di tanya terus ke pasien. Penanggung jawab yang memiminpin, kalo
gini pagi kan kepala ruangan lah ke penanguung jawab sore.
9. Operan, ke ruangan pasien, nanti operan di ruangan nanti dikasih tau juga ke pasien.
Semua tim pagi kumpul baca rawatan lalu pergi ke ruuangan.
Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, dan
pembedahan pada pasien yang benar
9. Bagaimana pendapat anda terhadap rendahnya pencapaian pelaksanaan tepat
lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi?
No. Keterangan
1. Selama ini memang untuk hal itu kadang-kadang masih kurangnya pengawasan dari
bagian ruangan dari kepala ruangan nya dalam hal itu, itu yang pertama ya. Yang
kedua juga masih ada beberapa dokter yang enggan untuk melakukan itu, karena
menurut mereka itu kurang efektif, kayaknya cuman dua itu aja masalahnya, kalo
sosialisai sudah kita sosialisasikan semua, jadi lebih mengarah ke individu dokternya,
kalo menurun ya itu individu dokternya itu, kadang-kadang lupa dan yang ke dua untuk
melakukan, di OK apa-apa lebih cepat di OK.
4. Kenapa pencapaian tepat lokasi masih rendah, kadang memang ya gimana ya orang
kamar operasi dek yang menjawab itu. Kan kalo penandaaan lokasi operasi kan ada
juga di rawat inap. Kadang gini ya maksdunya, kayak mana ya.Ya tapi kayak yang
kamu bilang kita masih jarang menandai. Kadang gini dek kayak yang kamu bilang,
penandaan lokasi operasi itu gak selamanya kita melakukan itu misalnya contoh
dikasih tandakan itu jarang kita lakukan di ruangan, tapi tetap kita kok dicek dilihat
data-data kita dicek kembali, lokasi dimana, tepat pasienya. Tapi kalo diruangan jarang
memang di tandai dsini. Tapi jarang semua di tandai.
5. Kalo ini kurasa ngak rendahlah karena kemarin dokternya menjelaskan, kan kalo udah
seratus nanti bintang 5 sudah yang jadi akreditasi. Tapi rasaku ngak rendah tapi cuman
penerapanya yang belum 100%.
Satu yang membuat aku merasa itu tidak terisi terlalu banyak yang mau di isi, status
kami ini terlalu banyak yang mau di isi, jadi dokumentasi kami itu pasti ada bolong-
bolong. Kalo menurutku kita perawat kan banyak menulis, kalo dokternya kan pasti
lebih rendah, karena banyak kali yang mau diisi, karena kalo dia operasi segini
bundelanya yang harus di isi, banyak sekali. Jadi terlalai ceklistnya tapi sekarang sih
udah baiklah, udah mulai mengerti, karena ini ceklist operasi ini keluar sebelum
akreditasi jadi kan harus belajar-belajar lagi kan, tapi sekarang rasaku udah terisi
rasaku, sekarang udah lumayan terisi gitu 80% udah terisi. Kemarin rendah mungkin
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
143
karena banyak SIO yang gak terisi.
10. Tapi jujur ajalah masih banyak itu tidak dilakukan. Gak semua dokter itu melakukan
kegiatan, banyak yang mau secepatnya aja dia melakukan tindakan dan tidak di
tandainya di atas itu. Tapi, kalo saya ada pasien saya tandain. Pelaksaanaanya itu masih
beberapa persennya sebenarnya kalo dari tim akreditasi. Padahal kan kalau akreditasi
udah bagus-bagus dibilang. Cuman ya itu lah kayakmana mau ku bilang. Kalo dibilang
sosialisasi, sebelum akreditasi sudah kita sosialisasinya. Itulah mereka semua kan, udah
dari rumah sakit pendidikannya harusnya disini mereka gak dapat didikan lagi, sudah
melaksanakan apa yang didiknya tadi kan, tinggal kita yang disini ini, mendapat ilmu
dari dia. Kalo disana mendapat ilmu, dilakukan seperti ini gitu loh mestinya, masih
banyak lah yang belum disiplin belum melakukan penandaan itu.
10. Apakah yang dilakukan saat verifikasi sebelum operasi?
No. Keterangan
2. Ya ngecek status, periksa pasien, menentukan lokasi, memastikan lagi lokasi daerah
operasi yang mau dilakukan. Status itu ya, cerita kelengkapan sebelum operasi,
laboratorioum, foto. Ada informed consent, dijelaskan, ya tentang penyakitnya,
penanganan penyakitnya, tentang resiko operasi yang akan dilakukan kalo memang itu
operasi, resiko komplikasi, kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada saat operasi
kalo memang operasinya beresiko, keadaan organ-organ vital.
4. Peranya kan gini dek, kita antar dia ketempat operasi disana, kita kan antara perawat,
kita oper juga ke perawat operasi. Kita ada komunikasinya juga ada hand operan juga,
jadi disitu pasien dibaringkan. Kan memang ada ruangan yang memag apa, nahh dari
situ kita sekalian operan mau operasi apa ini, ini, diliatlah dimana operasinya. Kayak di
tangan ni, eceknya fraktur ni, di tangan sebelah mana, kiri atau kanan, kita melihat gitu.
Ada seperti nama, kan diulang lagi, nanti kan mereka mengulang, kami pun mengulang
perawat operasinya, kan mengulang pun mengulang dengan bapak ini kan, umurnya
segini pak. Gitu ditanya lagi ulang nama bapak siapa. Kalo informed consent harus ada
pasien dan salah satu keluaganya. Cek namanya, identitasnya pasti, gelang pasiennya,
di ulang lagi. Disini di cek dan nanti ada juga dicek, disana dan nanti di cek kembali
terus ditandatangan aja, tunjukkan lokasilah tepatnya dimana. Mulai dari awal
pendafataran apapun yang harus diisi harus diisi, disini ada nama dokter dan pemberi
pesan bahwasanya dokter itu harus bertanggung jawab memberi pesan itu.
5. Sebelum operasi kita biasa verifikasi dulu, tanggal lahir, no rekam medik, dokternya
siapa, surat ijin operasinya, anastesinya, persiapan puasa, cukur, anti biotik dan segala
macamnya, apakah butuh darah. Terus itu semua harus kita isi. Terus itulah, ngisi serah
terima ke kamar bedah terus kembali lagi keruangan di checklist lagi nanti semuanya.
6. Benar pasiennya, benar lokasi operasinya baru benar dokter nya, anestesi, tepat lokasi,
ada tanda tangan surat ijin opersi, baru tanda tangan
Ada, pokoknya kita saat serah terima dengan perawat ok, itu di cek lagi, data dari
masing-masing perawat ruangan dan perawat ok. Di ruangan sudah di check list
semuanya.
7. Melakukan identifikasi pasien dilihat lokasi yang mau dioperasi, pasien yang tepat,
foto. Misalnya nanti datang hasil lab kan, lapor lah ke dokter, anestesinya,perawat
operasinya.
8. Operasi apa, harinya, tanggalnya, operasinya dibagian mana, persiapannya apa aja,
puasa kah?, ada foto kah, atau ada injeksi antibiotic.
9. Tergantung persiapanya, apa yang dibutuhkan oleh dokter. Persiapan operasi,
identifikasi ulang.
10. Kan ada formnya, yang tadi itu kan tempat serah terima pasien dengan perawat
ruangan dan perawat, ok. Di cek kembali identitas pasien, keberadaan pasien
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
144
kayakmana, dengan segala sesuatu ceklistnya itulah yang ada di form kita.
Nah waktu datang pasien serah terima, kita melakukan disitu sign in nya, time outnya
di kamar bedah kalo udah stanby semua sistem, dan pasien kita time outnya. Kalo gak
di isi dibalekkanlah dari apa sana kalo gak lengkap,
Sing in, sign out, time out, di isi semua.
11. Apakah ada dilakukan penandaan lokasi operasi?
No. Keterangan
1. Selama ini, penandaan itu seharusnya dilakukan di ruangan, atau sebelum ruang ok ,
tapi untuk hal ini masih ada memang beberapa yang di ok, dokter melakukan
penandaan di ruang pasien, pas penandaan di jelaskan iformed consent, identitas
pasien. Habis itu setelah pasien berada di ruangan operasi ada time out lagi, dijelaskan
semuanya lagi, dokter operasi melakukan anestesi dan sedasi, setelah dilakukan operasi
baru dijelaskanya lagi bahwa operasi telash selesai. Itu sop nya tapi, beberapa dokter
tidak membuat penandaan nya. Jelaslah, pake spidol, sebenarnya menurut yang
seharusnya itu ada spidol khusus, tpi spidol khusus itu mahal.
2. Ada, pake spidol yang permanen, penandaan nya tanda panah. Iya dilakukan pada fisik
langsung. Iya, ada karena harus juga dituliskan di formnya. Penandaan di ruangann.
Kadang dilibatkan kadang ngak, ya tergantung kalo ada pas keluarga pasienya,
dilibatkan. Ya dilibatkan bukan menentukan lokasi operasinya. Ya kalo pas ngak ada
keluarganya, ya gak dilihat cuman ngasih tau sama pasienya aja.
4. Gimana ya dek, belum ditandain di lokasi operasi. Kalo di fisiknya ya
Kayakmanalah, dokternya cuman menunjukkan kaki sebelah kanan, kita operasi entah
kaki kanan atau kiri . Cuman dikasih tau aja, kalo penandaan itu terus terang gak ada
penandaan dilakukan. Kalau penandaan itu terus terang gak ada penandaan dilakukan.
Semuanya udah sam-sama tau itu. Tanda nya itu gak ada, tapi kita udah tau dimna
tepatnya lokasinya. Dokternya juga udah pasti tau itu fraktur femur dekstur. Ini, ya di
tangannya sebelah sini. Sebenarnya, itu pun dari ruangan udah dibuat.
Pasien ya dilibatkan lah dek, kadang kan takutnya salah, yang sebelah mana patahnya
yang sebelah ini, yang mana gitu, pasien nya juga nanti ngomong kalo salah
dibilangnya. Karena kan gak selamanya kita benar, pasti ada juga salahnya posisinya
dimana. Kadang mau juga ikut pasien kalo dia sadar ya dia itu ngomong. Ada dek di
form operasi kan disitu sudah di tandai.
5. Pernah, disini selalu ada penanadaan lokasi operasi, di ruangan sama dokternya. Kalo
selalu, ngak lah ya kalo di gigi. Ya kalo cuman yang gak perlu ditandai misalnya kiri
kanan atau gigi gak perlu ditandai. Di fisik dan di form. Ada di sio dalam bentuk
panah, terserah dokternya sih ada juga yang kasih gini (bulat) ya kan tapi ada yang
kasih panah tapi, lebih banyak kasih panah. Pakai spidol.
6. Diberi tanda, pake spidol kadang-kadang pakai plester, selalu dilakukan dokter mengisi
form dan sudah ditandatangani lalu menandai ke fisik pasien.
Pasti, karena gak mungkin ditandai kalo pasiennya gak tau karena yang dioperasi
pasiennya kan. Penandaan di lakukan di ruangan rawat inap saat dokter visit.
7. Tapi aku juga pernah liat di tandain pake spidol, makanya aku heran, ngapain nya
ditandain pake spidol dia ku bilang. Spidol di gunakanaya kok dicoret-dicoret.
Dokternya menandai. Ada, tapi mungkin sibuk dokternya tinggal ngomong aja jadi
tinggal tang tung. Makanya gak perlu ditandain nanti kan di ruang operasi di tanya,
operasi apa kak, dimana ka terus buktinya juga dari foto, jadi di fisik itu juga gak perlu
ditandai. Penandaan ya, itu di form aja, tandanya tidak ada cuman di tunjukkan
lokasinya
Pasien dilibatkan. Dokternya pun udah begitu, kadang-kadang kan dokter juga yang
apa, yang diduluankan sama pasien gitu misalnya prakteknya gitu, disini dibilangnya
disinilah mau di operasi besok mau di bagian tangan atau kaki.
8. Ada di form dan fisik, kebanyakaan sih panah, ada bentuk lingkaran, penandaan pake
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
145
spidol permanen.
9. Tidak ada, paling-paling nanti operasi misalnya yang di operasi kaki femur sebelah
kanan gitu ajanya, maksudnya langsung ditentukan gitu kebadan pasien. Ngak, soalnya
kan ada juga pasiennya gak terima, penandan itu juga biasa dilakukan di OK.
Dilibatkanlah, dikasitaulah pasiennya. Dokternya sekarang juga udah menerangkan
sama pasiennya, jadi misalnya operasi kaki sebelah kanan yah gitu aja kan, kalo
ditandai itu ngak, karena kalo fraktur kan udah jelas nya itu dioperasi, jadi kan dokter
udah tau jadi gak harus mesti ditandai lagi.
10. Pakai marker. Disitu, dengan tanda panahnya, disini dia mau operasi ya menuju kesitu
lah panahnya begini, kalo disini kita marker. Kalo di ruangan mereka gak punya
marker untuk operasi yang steril, disini dia(pasien) kita baru marker. Seharusnya pakai
marker biar seragam kan, tapi dengan keterbatasan ini ya diruangan masih pakai spidol
biasa. Perawat lah. Ke pasiennya langsung lahh, dimana yang mau di operasi.
Sebenarnya kan kalo menurut teori, satunya sebenarnya. Satu, tapi kan itulah
akreditasi kemarin lah jadi harus dua kali lah. Cuman gak di pertanyakan di sisisi yang
sama atau dua panah dia atau apa sih sebernanya. Tapi kalo di teori dua kan, dua kali
penandaan. Itulah kemarin gak ku tanya pula lagi atau gimana dan aku sendiri pun gak
tau apa jadi dua panah. Tapi kalo menurut SPO kami kan satu. Jadi 2 sebenarnya kami
bikin, ya itu kan dari ruangan udah di tandai, ya kita tandai lagi mengarah panah yang
sama juga ke daearah yang mau dilakukan operasi. Iya kalo itu ku tandain, cuman aku
lupa dia ada gak di tandai di ruangan tapi kalo yang ini ditandain, yang nenek tadi.
Ditandain diruangan, gak taulah saya yang menandain dokter atau perawat. Tapi itu
ada sudah ditandai tadi di ruang serah terima.Tapi gimanalah dari pada kita salah
mending kita lakukan. Yang dioperasi yang mana ? ini, saya tandain ya.
Pengurangan resiko infeksi akibat perawatan kesehatan
12. Bagaimana pendapat anda terhadap rendahnya pencapaian pelaksanaan
pengurangan resiko infeksi?
No. Keterangan
1. Kalo untuk pengurangan resiko infeksi cuci tangan di RS Methodist seharusnya harus
disosialisakan dan harus dilakukan secara berkala, sekarang resiko sudah berkurang
karena ada pengawasan dari rumah sakit, pengawasnya itu terkendala dimana SDM
nya kurang. Sadar tapi kadang-kadang mereka lupa, karena sibuk, sadar dan beberapa
saya lihat mereka sudah bagus setiap mereka mau ke pasien, tapi kadang-kadang
mereka ada yang lupa. Salah satu cara yang paling apa, sosialisasi ulang, dan
sosialisasi ini harus dlkdilakukan secara berkala, dalam jangka waktu 2 minggu sekali,
cuman masalah di sosialisai ini di perawat, di SDM nya . Sosalisasi ini kan gak
mungkin saya sendiri harus ada orang lain, ya itu makanya sosialisi ini. Kalau
sosialisanya terus dan berjangka pasti tercapai.
3. Kurang kesadaran dalam melaksanakanya, beban kerja, resiko kurang gak ada sanksi
yang serius.
4. Bagiamana pengurangan resiko infeksi?
Itu memang udah dilakukan tapi, tapi dibilang istilahnya 100% ngaklah ya. Kalo
memang untuk mengurangi, cuci tangan dulu sebelum apa make ini, handscoon,
sesudah dan sebelum kita cuci tangan. Kalo itu sih udah kita lakukan kalo untuk
prosedur-perosedurnya udah dilakukan. Tapi kita perawat kan kadang mau cepat,
kadang ngak, maksudnya gak 100% lah.
Kadang mau cepat gini, kadang mau lupa kan mau cuci tangan itu sesuai dengan five
moment itu.
Udah, cuman kami kuarang patuh aja perawat-perawat itu. Kalo semua taunya itu dek,
cuman kurang patuh aja.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
146
5. Karena satu kan kepatuhan satu memang apalah dibilang ya, ibaratnya apa lahya ,
memang kepatuhan lah satu ya, toh kalo 20 pasien cuman 2 perawatnya gimana, mau
cuci tangan disini belum siap satu, masih gini dia (praktein), dah nambah satu, itu sih
beban kerja.Dan itu juga sih kita masih kurang apa namanya, pelatihan-pelatihan gitu
ya. Kita gak berkesinambungan latihannya, jadi kurang kesadaran tadi masih kurang.
6. Kalau pada saat November Desember itu kan kita masih blm akrditasi, mungkin untuk
pelaksanaan cuci tangan belum diterapkannya masalah cuci tangan efektif ya kan,
namun tapi sudah dihimbau untuk melakukan cuci tangan. Sekarang sudah
dilaksanakan.
7. Satu ya memang, karena kita harus cepat, kurang patuh, kita mau cepat, dokter mau
cepat, jadi gak ada lagi. Kekurangan tenaga juga nya itu, kalau 2 perawat gimana mau
melakukan nya kan.
9. Kurang kesadaran ajanya.
13. Bagaimana pelaksanaan cuci tangan dan dilakukan pada saat kapan?
No. Keterangan
2. Caranya ya sesuai panduan yang WHO.
Sebelum periksa pasien, sesudah periksa pasien. Kalo di kamar operasi sebelum masuk
kamar operasi sama sesudah tindakan, ngak pernah lupa.
3. Cuci tangan yang benar sesuai WHO. Dilakukan pada saat five moment. Sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien, setelah terkena cairan tubuh pasien, sebelum tindakan
aseptik, dan setelah kontak dengan lingkungan di sekitar pasien.
4. Sudah. Dilakukan pada 5 saat. Itu lah yang ku bilang tadi sebelum melakukan apa kan
kita harus melakukan antiseptic itu. Tapi kan namanya kita perawat kadang kita kan
mau cepat mau ini, maksudnya taatnya gk 100%. Kalau sebelum kontak dengan pasien
rasanya kalo memang kita ke ruangan itu dilakukan. Setelah terkena cairan pasien.
Pastinya, siapa yg mau kena resiko. Sudah sesuai WHO, dengan yang enam langkah.
Ya terus terang dek, kadang kita mau cepat mau apa, kita mau cepat -cepat kadang
memang gak taat kita, kadang memang ada bolong-bolongnya. Kadang gak mesti yang
enam langkah itu kita gini-gini dulu, ngak.Ya biasanya mau cepat ya gini kan pasien
manggil. Makanya gak taat 100% untuk melakukan yang 6 langkah itu, ngak
seharusnya. Mau cepat-cepat kadang memang kan, gak semua harus kita lakukan itu.
Ada juga kita memang yang tidak taat juga. Sebelum dan sesudah itu udah kita
laksanakan, malahan kita udah lebih hygeinis. Kita udah cuci tangan ni sebelum
melakukan tindakan, kami pake handsxcoon lagi keruangan. Kami memang ada
handscoon imphosible sekali pake buang, udah pake handsoon. Dari ruang pasien cuci
tangan lagi apa gak kurang bersih lagi itu, dan tiap ruangan pun kita udah ada handrub,
gk usah cuci tangan pun, ya pakai handrub. Kalo ngak lupa, kita wajibnya melakukan
cuci tangan, kita udah ditekankan itu dek. Kita udah mengoreksi itu di IPCN, itu
keliling dia itu. Habis lah kita kalo ini.
5. Pelaksanan cuci tangan kita sebelum ke pasien,sesudah ke pasien, sebelum
memberikan tindakan antiseptic, sesudah terkena cairan pasien dan sesudah kontak
degan pasien.Tapi itu ada juga kan pakai handrub, sebelum sesudah ke pasien setelah
sampai sini pakai handrub juga. Itu dia kalo pelaksanaan cuci tangan pakai handsoap
kurasa sudah sesuai standar, tapi kalo handrub itu kadang mungkin gak sesuai standar.
Kalo hanndsoap kan kita memang harus ini. Aku kalo ngak handsoap ya handrub.
Karena handrub kan kita gak berfokus ada buih kan, iya kan gitu. Tapi tergantung
kebiasaaan loh, kalo kita udah biasa kita jalan pun bisa gitu loh. Tapi kan gak ada
cerita ke pribadi tapi ke sini.Pernah lah lupa, kalo pasien gawat kan kayak mana ya
dek, gak terpikir lagilah, nyawa lah. Kita udah pernah pulang yang nyorong pas di IGD
kan dek. Karena itu tadi kesadaran lagi, karena kan kalo kita memang sudah sering
pelatihan udah memang diterapkan sadar, itu udah menjadi kebiasaan gitulah.
6. Apa yang kita dapat itu yang kita kerjakan. Selalu dilakukan pada saat 5 momen cuci
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
147
tangan.
7. Sudah sesuai WHO,sesudah, sebelum kontak dengan pasien, setelah kontak dengan
psien, setelah kontak dengan lingkungan pasien.
8. Kalo aku sendiri, karena aku dibagian akreditasi cuci tangan yang benar lah yg sesuai
WHO. Fivemoment. Pernah lah kayak tadi karena pasien ada butuh kita ada saat itu,
jadi gak sempat kan. Waktu gitu dan prioritas, itu aja sih karena jarang lah lupa karena
kebiasaan.
9. Pelaksanan cuci tangan sudah sesuai SPO cuci tangan, sebelum dan sesudah cuci
tangan.
14. Apakah ada diberikan edukasi cuci tangan kepada pasien terutama keluarga?
No. Keterangan
4. Oh itu ada, kalo pasien baru masuk, pasien masuk dari IGD, kita perkenalkan diri
disana, kita kasih atau peraturannya seperti ini-ini, susternya ini, dia juga harus tau
siapa susternya siapa yang bertanggung jawab di ruangan ini sebelum masuk dia. Kita
harus edukasi dia (pasien) dan keluarganya juga. Kami lengkap disni dek, ini ada form
kami melakukan edukasi, ini kan ada tanda tangan suster Rita yang memberkan
edukasi keluarganya, disini ditanda tangani, disini ada dibuat beberapa menit kita
cakap-cakap. Kita edukasi sebatas ini, kalo mau masuk cuci tangan ya, caranya sperti
ini. Formulir terinterasi pasien dan keluarga.
Kalo awal masuk harus di edukasi cuci tangan memang ini dek. Kalo ngak lengkap ini
di pulangkan nanti ini.
5. Kita ada form nya, ada edukasinya lengkap di tanda tangai keluarga sama orang yang
kita edukasikan. Kita kan udah edukasi di dinding pun ada kita tetap tempel. Kita
arahkan lagi. Kalo memang kita lihat, ya pasti kita tegur apalagi kalo anak-anak kan
udah kita bilangin.
16. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
identifikasi pasien dengan benar?
No. Keterangan
1. Perawat sama orang-orang yang memerlukan seperti lab sudah melakukan sesuai SOP
cuman kita untuk menilai rill nya itu ya kita gak ada. Kita kemarin paling melakukukan
secara apa tanya jawab secara lisan ke pasienya itu. Apakah sebelum perawat atau
petugas analis melakukan identifkasi. Ya udah. Tadi bu ada ngak nanya sama ibu
sebelum suntik. Ada. Berarti kan ada, kita ambil secara acak gak mungkin setiap pasien
kita tanya. Ya yang secara acak itu lisan gak ada tulisannya. Apakah bu ini ada tadi
disuntik, ada ditanya namanya, apa aja tadi bu yang dikasih tau. Ya hanya ngomong
gitu. Itu secara lisan untuk menilai apakah perawat sudah melakukan tindakan
identifikasi pasien. Itu secara lisan. Secara tulisan belum ada kita buat, gak mungkin
kita kasih ke semua pasien secara tulisan.
17. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai?
No. Keterangan
1. Kalo pelabelan obat LASA /NORUM itu kan kita lihat di apotik, farmasi. Ya kita liat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
148
pengecekanlah secara lisan juga. Gak mungkin kita buat secara tulisan ini obat gak kan.
Kita cuman melihat aja dan mengkoordinasi. Secara lisan aja untuk obat LASA apakah
sesuai atau tidak, kita gak bisa ngecek bahan obat di apotik karena berapa ribu. Mereka
susun secara abjad. Cara penulisannya yang beda dan ada warna. Ampul dan
bentuknya sama disitu nanti ditulis. Di kotak penyimpanan ada pelabelannya itu. Disini
dia obat seperti paracetamol bentuk dan tulisannya sama disitu tempat
penyimpanannya itu ada tulisan LASA.
18. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan
pengurangan resiko jatuh?
No. Keterangan
1. Biasanya kalo insiden jatuh kita lakukan sesuai SOP. Kita ada tim keselamatan pasien
rumah sakit TKRS. Mereka itu punya tugas setiap 2 kali sehari itu mereka tugasnya itu
mengontrol ruangan. Yang mana ruangan itu yang bersiko ya. Dia akan mengontrol
ruangan. Contoh ruangan ini resikonya merah. Berarti harus melihat pasiennya itu
siapa resiko merah disitu di cek sama dia. Itu timnya. Dua hari lagi dicek pasienya, jika
sudah tidak ada dinilai ulang ruangan itu apakah ruangan itu ruangan merah, Kuning
atau hijau. Itu ada kriteria-kriterianya. Kalo itu ruangan kuning siapa yang kuning
disitu dicek ulang nanti disana. Atau pun yang sudah hijau dicek dia itu ada pasien
yang baru masuk punya riwayat resiko jatuh tinggi berarti jadi merah ruanganya. Per
ruangan. Gelang cuma resiko jatuh merah (tinggi), kuning (sedang), hijau (rendah) itu
penilaianya. Setelah ruangan kita lihat pasiennya, setelah pasiennya, kita liat
fasilitasnya. Kalo itu resiko jatuh tinggi maka ruanganya itu harus punya fasilitas untuk
pasien resiko jatuh tinggi. Contoh kamar mandi harus punya belnya berfungsi atau
tidak, pasiennya itu dekat nurse station tempat tidurnya, terus apakah pasien itu sudah
dipasang strainnya atau tidak. Apakah tempat tidur pasiennya ada belnya. Belnya
berfungsi atau tidak. Apakah pasiennya dikasih sandal untuk tidak jatuh. Itu tugasnya
tim TKRS. Jadi pendaftaran mereka cuman menilai mereka resiko jatuh sesuai dengan
kriteria, cuman tempelkan itu aja. Sampai di ruangan di lapor ke tim TKRS baru dia
akan masuk ke ruangan menilai. Kalo ruangan dia masuk itu hijau, pasien baru masuk.
Dia nilai ruangan ini merah maka ini akan jadi merah. Dia akan cek kelengkapannya
itu, dia akan ngatur. Itulah resiko jatuh dan itu memang terus terang tidak bisa
dijalankan tanpa tim. Dan tidak mungkin satu orang makanya tim TKRS itu semua
kepala ruangan tim TKRS. Mereka yang akan mengecek setiap pasien yang baru
masuk. Itu baru biasa jalan. IGD cuman mengidentifikasi pasien resiko jatuh, cuman
menempelkan stiker di gelang. Sampai di ruangan jadi tugas tim TKRS yang
melakukan peninjauan, penilaian ulang. Gak mungkin orang IGD melakukan penilaian
resiko jatuh gak bisa. UGD fungsinya untuk pasien gawat darurat dan kalo sudah
masuk ruangan tim TKRS yang ambil alih.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
149
Lampiran 8. Surat Penelitian ke Rumah Sakit Methodist
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
150
Lampiran 9. Surat Selesai Penelitian dari Rumah Sakit Methodist
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA