Post on 12-Mar-2019
1
MODEL PENGEMBANGAN AGROFORESTRI BERBASIS
JELUTUNG RAWA UNTUK MEREHABILITASI LAHAN GAMBUT
Oleh:
Marinus Kristiadi Harun
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin,
Banjarbaru, KalimantanSelatan. E-mail: marinuskh@yahoo.co.id
ABSTRACT
Salah satu masalah lingkungan di lahan gambut adalah tingginya laju degradasi lahan
dan deforestasi. Pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa menjadi salah satu
solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini memerlukan adanya
keterpaduan unsur-unsur yang membentuk sistem pengembangan, yakni: subsistem hulu,
subsistem tengah, subsistem hilir dan subsistem pendukung. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis model pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa untuk
merehabilitasi lahan gambut terdegradasi. Parameter yang diteliti mencakup design (pola)
agroforestri berbasis jelutung rawa di lahan gambut, performansi pertumbuhan jelutung rawa
pada berbagai pola agroforestri di lahan gambut dan kelembagaan pengembangan jelutung
rawa untuk merehabilitasi lahan gambut. Data primer diperoleh melalui pendekatan
wawancara dengan informan, wawancara mendalam dengan informan kunci, observasi dan
pengukuran langsung di lapangan serta Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders.
Penelitian ini dilakukan di Desa Mantaren, Desa Jabiren dan Desa Tumbang Nusa, yang
termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau serta Kelurahan Kalampangan, yang termasuk
wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Desa-desa tersebut dipilih sebagai
lokasi dalam penelitian ini karena jelutung rawa telah dikembangkan dengan berbagai pola
agroforestri khas masing-masing tipologi lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di
masing-masing tipologi lahan gambut telah berkembang beberapa pola agroforestri. Pada
tipologi lahan gambut tipis pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang dapat
dikelompokkan menjadi 3, yakni: alleycropping dengan teknik gundukan, alleycropping
dengan teknik surjan dan agrosilvofishery dengan teknik surjan. Pola agroforestri di lahan
gambut tebal yang telah berkembang secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yakni:
mixed cropping dengan teknik petak berparit dan alleycropping dengan teknik petak berparit.
Performansi pertumbuhan jelutung pada berbagai pola agroforestri menunjukkan riap tinggi
batang mencapai 86,55 – 127,94 cm per tahun dan riap diameter batang mencapai 1,56 – 2,15
cm per tahun. Kelembagaan pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforesri dapat
dilakukan dengan sistem kebersamaan ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan
dengan mempertimbangkan kearifan lokal.
Kata kunci: jelutung rawa, sistem agroforestri, kemitraan, sistem kebersamaan ekonomi,
rehabilitasi, lahan gambut.
2
PENDAHULUAN
Kondisi terkini lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah
dikuatirkan tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologinya secara optimal, karena upaya
yang mengarah kepada perubahan ekosistemnya masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai
dengan adanya kerusakan lahan gambut yang telah mencapai lebih dari 35% (Limin, 2004).
Lahan gambut yang terdegradasi tersebut pada perkembangannya menjadi lahan terlantar,
yang pada musim kemarau sangat rawan kebakaran. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan
terganggunya keseimbangan ekologi dan menurunnya fungsi produksi. Lahan gambut
terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan kegiatan penanaman (rehabilitasi dan
penghijauan).
Salah satu teknologi pengelolaan lahan gambut yang dapat diterapkan untuk
menjawab tantangan di atas adalah sistem agroforestri berbasis jenis lokal (indigenuos tree
species). Penerapan sistem ini diharapkan dapat menjembatani kepentingan ekonomi petani
lokal dengan kepentingan kelestarian lingkungan lahan gambut. Faktor lain yang turut
menentukan keberhasilan upaya memulihkan lahan gambut terdegradasi adalah pemilihan
jenis yang tepat dari aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Salah satu jenis yang
memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung rawa. Jenis ini mempunyai nama ilmiah Dyera
polyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii Hook F. yang merupakan salah
satu jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jelutung rawa merupakan jenis
pohon endemik, sebab di dunia hanya terdapat di dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia.
Jenis pohon ini di Indonesia hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Jenis jelutung
saat ini mulai banyak digunakan dalam pengembangan hutan tanaman indutri (HTI) di lahan
gambut. Kayunya memiliki sifat-sifat yang sangat baik untuk bahan baku industri pensil dan
getahnya sebagai bahan baku industri permen karet (Daryono, 2000). Makalah ini bertujuan
untuk membahas model pengembangan agroforestri berbasis jelutung rawa untuk
memulihkan kondisi lahan gambut yang terdegradasi.
3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di empat desa utama, yakni: Desa Jabiren, Desa Mentaren,
Desa Tumbang Nusa, yang termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kelurahan
Kalampangan, yang termasuk wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah.
Keempat desa tersebut dipilih sebagai desa utama dalam penelitian ini karena jelutung rawa
telah dikembangkan dengan berbagai pola agroforestri khas masing-masing tipologi lahan.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Maret Tahun 2011.
Data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara dengan informan, wawancara
mendalam dengan informan kunci, observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta
Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders. Pengumpulan data untuk menyusun
design agroforestri berbasis jelutung rawa menggunakan metode diagnosis & design (metode
D&D). Metode ini digunakan untuk mengungkap permasalahan penggunaan lahan serta
untuk menyusun rancangan pemecahannya dalam sistem agroforestri. Tahapan D&D untuk
agroforestri mengikuti Raintree, 1990.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Pengembangan Jelutung Rawa dengan Sistem Agroforestri
Pola agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani lokal di lahan gambut
mempunyai karakteristik yang spesifik (khas). Pola yang telah dikembangkan oleh petani
tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan lebih lanjut. Aspek penting
budidaya jelutung rawa dengan sistem agroforestri di lahan gambut dangkal (ketebalan
gambut 50-100 cm) oleh petani lokal yang perlu diperhatikan meliputi: penyiapan lahan,
pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Tabel 1 menjelaskan pola
agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dangkal.
4
Tabel 1 Pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut tipis (dangkal)
Pola Agroforestri Deskripsi Singkat (Susunan Komponen) Komponen Utama
Alley cropping dengan
teknik gundukan
(tongkongan).
Tanaman padi ditanam pada lorong yang terbentuk dari baris
tanaman pohon yang ditanam dengan teknik gundukan
(tongkongan).
Pohon: karet, jelutung.
Tanaman semusim: padi
lokal/tahun.
Alley cropping dengan
teknik surjan.
Lahan dibagi menjadi tabukan yang ditanami padi lokal (padi
tahun) dan bagian guludan yang ditanami tanaman keras
(karet dan atau jelutung).
Pohon: karet, jelutung.
Tanaman semusim: padi
lokal (tahun).
Agrosilvofishery dengan
teknik surjan.
Lahan dibagi menjadi tabukan yang berfungsi sebagai kolam
ikan peliharaan maupun beje (kolam perangkap ikan) dan
bagian guludan yang ditanami tanaman keras (jelutung,
durian, gaharu, karet dan mangga kueni) serta tanaman buah-
buahan (salak pondoh).
Pohon: karet, jelutung,
gaharu, mangga kueni, dan
durian.
Tanaman buah-buahan:
salak pondoh. Kolam ikan
dan beje.
Gambar 1 menampilkan profil pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang
di lahan gambut tipis.
Gambar 1 Sistem agroforestri di lahan gambut tipis.
Aspek-aspek penting budidaya jelutung rawa dengan sistem agroforestri di lahan
gambut dalam (ketebalan gambut 200-300 cm) meliputi penyiapan lahan, penanaman,
pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Tabel 2 menjelaskan pola
agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dalam (tebal).
5
Tabel 2 Pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dalam (tebal)
Pola Agroforestri Deskripsi Singkat (Susunan Komponen) Komponen Utama
Mixed cropping dengan
teknik petak berparit.
Lahan budidaya dikelilingi parit drainase dengan ukuran
50 cm – 100 cm untuk lebar dan kedalamannya. Tanaman
yang ditanam adalah rambutan dan jelutung rawa yang
ditanam per jalur secara selang-seling. Jarak tanam
rambutan dan jelutung 7 m x 7 m. Nenas ditanam
disekeliling parit drainase.
Pohon: jelutung rawa dan
rambutan. Tanaman
semusim nenas.
Alley cropping dengan
teknik petak berparit.
Lahan dibagi kedalam petak-petak yang dibatasi parit.
Petak dengan luas lebih sempit untuk pohon sedangkan
yang lebih luas untuk tanaman pangan.
Pohon: jelutung rawa.
Tanaman semusim: sayur-
sayuran (jagung, sawi,
kacang panjang, daun
bawang, dll).
Gambar 2 menampilkan profil pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang
di lahan gambut tebal.
Gambar 2 Sistem agroforestri di lahan gambut tebal. Mixedcropping (kiri) dan
alleycropping (kanan).
Pengembangan jenis jelutung dengan sistem agroforestri untuk memulihkan lahan
gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah, diprioritaskan pada lahan gambut yang
telah dikonversi tetapi kurang sesuai untuk tanaman pertanian dan perkebunan.
Pengembangannya berdasarkan sistem agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani
lokal, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik wanatani (agroforestri), wanamina
(silvofishery), wanaternak (silvopasture), maupun kombinasinya, yakni tanaman semusim-
pohon-ternak (agrosilvopasture) atau tanaman semusim-pohon-ikan (agrosilvofishery)
tergantung dari sumberdaya dominan yang terdapat di lokasi pengembangan. Penerapan
teknik agroforestri pada pengembangan jenis jelutung rawa dimaksudkan untuk diversifikasi
komoditi, usaha dan pendapatan sehingga akan dapat meningkatkan minat petani untuk
membudidayakan jelutung rawa yang berjangka panjang. Pengembangan jelutung rawa
dengan sistem agroforestri harus melalui suatu kegiatan diagnostik untuk melihat kebutuhan
masyarakat dan designing untuk memolakan pertanamannya melalui partisipasi aktif agar
6
bisa dipraktekkan oleh petani setempat. Berdasarkan sistem agroforestri yang telah
dikembangkan oleh petani lokal maka dapat dibuat pola-pola pengembangan jelutung rawa
dengan sistem agroforestri di lahan gambut seperti tercantum pada Tabel berikut.
Tabel 3 Sistem silvopastoral dan agrisilvopastoral berbasis jelutung rawa yang dapat
diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut
Pola
Agroforestri
Deskripsi singkat
(susunan komponen)
Komponen
Utama
Kesesuaian
Agro-ekologis
Sistem Silvopastoral
1. Jelutung pada ranch atau
padang rumput.
Jelutung rawa tersebar tidak teratur
atau tersusun dengan sebaran tertentu.
Jelutung rawa dan
tanaman HMT
Daerah penggembalaan yang
ekstensif.
Sistem Agrisilvopastoral
1. Apikultur dengan pohon-
pohonan
Jelutung rawa, galam, karet,
rambutan untuk sumber tepungsari bagi lebah madu
Jelutung rawa, galam,
karet, rambutan, jagung dan lebah
madu
Tergantung kepada
kesesuaian dari apikultur.
2. Aquaforestri atau Agrosilvofishery
Jelutung rawa ditanam ditepi kolam ikan.
Jelutung rawa dan tanaman yang disukai
ikan.
Lahan gambut dengan kualitas air yang sesuai
dengan ikan.
Tabel 4 Sistem agrisilvikultur berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk
merehabilitasi lahan gambut
Pola
Agroforestri
Deskripsi singkat
(susunan komponen)
Komponen
Utama
Kesesuaian
Agro-ekologis
1. Pengayaan lahan
bekas perladangan
jelutung rawa dan karet ditanam
agar tumbuh pada fallow phase.
jelutung rawa, karet dan
padi tahun.
Pada lahan perladangan
berpindah.
2. Tumpangsari Pencampuran tegakan dengan
tanaman pertanian pada awal
pertanaman.
jelutung rawa, karet,
pisang dan padi tahun.
Pada pola suksesi dari
pertanaman padi menjadi
perkebunan.
3. Alley cropping Jelutung sebagai pagar, tanaman
pertanian diantaranya, susunan
baris
jelutung rawa,
rambutan, pisang, karet,
ketela pohon, tanaman
sayuran dan padi tahun.
Lahan gambut dengan
tekanan populasi
penduduk (produktif tapi
rentan).
4. Multilayer tree
garden
Multi species, kelompok tanaman
dengan tajuk rapat tanpa susunan
yang jelas.
Jelutung rawa, karet,
durian, pisang,
rambutan dan tanaman
semusim tahan
naungan.
Lahan gambut subur,
murah tenaga kerja dan
tekanan penduduk besar.
5. Tanaman
serbaguna pada
lahan pertanian.
Jelutung rawa tersebar sembarangan
atau tanaman batas lahan dan teras.
Jelutung, karet, tanaman
buah, HMT dan
tanaman pertanian pada
umumnya.
Pada daerah pertanian
subsisten dan ternak.
6. Pekarangan
(Home garden)
Rapat, kombinasi multi tajuk:
jelutung dan tanaman pertanian di
sekitar temapt tinggal.
Jelutung, tanaman
merambat, dan tanaman
pertanian tahan
naunggan.
Lahan gambut dengan
populasi penduduk padat.
7. Jelutung untuk
konservasi dan
reklamasi tanah
Jelutung, karet pada tepi teras,
pelindung dll. Dengan atau tanpa
baris rumput, tanaman kayu pada
reklamasi tanah.
Jelutung rawa, karet dan
tanaman pertanian pada
umumnya.
Pada lahan gambut tebal
yang terlanjur dikonversi
menjadi lahan pertanian.
8. Plantations crop
combinations.
a. Penggabungan multitajuk
(campuran, rapat), pencampuran
tanaman pertanian.
b. Pencampuran tanaman pertanian
dengan pola berseling atau
susuann teratur yang lain.
Jelutung rawa, karet,
rambutan, dan tanaman
semusim tahan
naunggan.
Pada pertanian subsisten
dengan lahan yang
terbatas.
7
c. Pohon peneduh yang tersebar
untuk tanaman pertanian.
d. Intercropping dengan tanaman
pertanian.
9. Selterbelts,
windbreaks, pagar
hidup.
Jelutung rawa pada sekeliling lahan
pertanian.
Jelutung rawa dan
tanaman pertanian
setempat.
Pada daerah yang
berangin.
Performansi Pertumbuhan Jelutung Rawa
Tabel 5 menyajikan data rata-rata diameter batang, tinggi batang, riap pertumbuhan
diameter batang dan riap tinggi batang jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut
dan pola tanam.
Tabel 5 Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan
sistem agroforestri di Provinsi Kalimantan Tengah Lokasi, Tipologi Lahan dan Pola Tanam Umur
(tahun)
Performansi Pertumbuhan Jelutung (cm)
Rata-rata
Diameter
Riap
DB/th
Rata-rata
Tinggi
Riap
Tinggi/th
Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam,
alleycropping I dengan teknik petak berparit
6,00 10,39 1,73 617,13 102,86
Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam,
alleycropping II dengan teknik petak berparit
5,25 8,69 1,66 454,38 86,55
Desa Tumbang Nusa, lahan gambut dalam, mixcropping
dengan teknik petak berparit.
5,30 10,11 1,96 626,70 116,03
Desa Jabiren, lahan gambut dangkal, mixcropping dengan
teknik surjan
5,25 10,11 1,92 671,70 127,94
Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam,
agrosilvofishery teknik surjan.
6,50 11,03 1,60 800,60 120,00
Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam,
alleycropping teknik surjan.
6,50 13,98 2,15 716,18 110,18
Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam,
mixcropping teknik surjan
6,50 10,15 1,56 581,58 89,47
Rata-rata 5,9 10,64 1,80 638,32 107,58
Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa riap tinggi tanaman jelutung rawa yang
ditanam dengan sistem agroforestri pada berbagai tipologi lahan gambut adalah 86,55 –
127,94 cm per tahun, sedangkan riap diameternya adalah 1,56 – 2,15 cm per tahun. Hal ini
jika dibandingkan dengan pertumbuhan jelutung rawa pada kondisi alaminya di Pulau
Sumatra, riap diameter jelutung rawa berkisar antara 1,5 - 2,0 cm/tahun (Bastoni dan Riyanto,
1999). Sedangkan pada jelutung rawa yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi intensif
di Pulau Sumatra dapat diperoleh riap diameter 2,0 - 2,5 cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil
pengukuran pertumbuhan jelutung yang dilakukan oleh Balittaman Palembang pada tahun
2001 menunjukkan pada umur 9 tahun, riap tinggi berkisar 164 - 175 cm/tahun, dan riap
diameter berkisar antara 2,18 - 2,38 cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil riap pertumbuhan
jelutung rawa di Pulau Sumatra yang lebih tinggi dari pertumbuhan jelutung rawa yang
dibudidayakan dengan sistem agroforestri pada penelitian ini disebabkan karena lahan
8
gambut yang lebih subur. Hasil penelitian Indrayatie dan Suyanto (2009) menunjukkan
bahwa pada aspek topografis, jelutung rawa menyukai bentuk lahan dataran, artinya wilayah
yang memiliki air tanah dangkal, baik yang terendam secara permanen maupun musiman,
elevasi dataran rendah (< 100 m dpl.), hidup ditempat terbuka tanpa naungan maupun
berasosiasi dengan vegetasi lain. Pada aspek edafis, jelutung rawa dapat hidup pada tanah
mineral (alluvial) maupun tanah organik. Kondisi ini dipresentasikan untuk daerah subsistem
alluvio - marine seperti daerah rawa (swamp), paya pasang surut (marsh), delta, tidal flat;
daerah alluvial sub sistem seperti daerah banjir (flood plain), jalur meander (meander belt);
daerah alluvio – colluvial sub sistem seperti daerah cekungan terisolasi (isolated miniplain);
daerah closed alluvial sub sistem seperti daerah rawa tanpa pengaruh air laut (swamp or
marsh without marine influence).
Konsepsi Kelembagaan Pengembangan Agroforestri Berbasis Jelutung Rawa
Strategi yang dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung
rawa untuk memproduktifrkan lahan gambut mencakup dua hal, yakni: (a) membangun
kelompok tani pengembang sistem agroforestri berkategori kelompok produktif dan (b)
membangun kelembagaan pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem
Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan. Pendekatan yang
dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa di lahan gambut
berprinsip pada 2 aspek berikut. Pertama, pemberdayaan melalui pembangunan kapasitas.
Kedua, mendukung perencanaan dan peningkatan matapencaharian (livelihood). Penyusunan
konsepsi pelibatan petani lokal dalam pengembangan sistem agroforestri di lahan gambut
dilakukan dengan konsep pendekatan pemberdayaan petani lokal. Hal ini dilakukan melalui
pembangunan kapasitas petani lokal yang mendukung perencanaan dan peningkatan
matapencaharian. Proses konsep tersebut dijelaskan pada Gambar 3.
9
Gambar 3 Proses perencanaan pengembangan agroforestri di lahan gambut
Uraian berikut menjelaskan proses perencanaan pengembangan agroforestri di lahan
gambut.
a. Pengkajian Desa Partisipatif (PRA)
Tujuan utama dari PRA dalam pengembangan agroforestri di lahan gambut adalah
untuk menyusun rencana program tersebut di tingkat desa yang memenuhi persyaratan: dapat
diterima petani lokal, secara ekonomi menguntungkan dan berdampak positif bagi
lingkungan. Metode ini dilakukan dengan memobilisasi sumberdaya petani dan alam
setempat, serta lembaga lokal untuk mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan
dan meningkatkan pendapatan masyarakat serta melestarikan sumberdaya alam setempat
(Daniel, et al., 2005). Pendekatan partisipatif dalam kegiatan ini akan memberikan
keuntungan, antara lain: petani peserta program akan lebih energik, lebih komit dan lebih
bertanggung jawab. Agar terjadi pemberdayaan petani lokal dalam kegiatan tersebut maka
perlu adanya dukungan bagi petani lokal untuk mengemukakan pendapatnya, berbagi
pengetahuan dan pengalaman, mengkaji dan menyusun rencana, menciptakan kondisi yang
kondusif dan berfocus pada proses dengan tidak meninggalkan isi proses. Esensi pendekatan
partisipatif adalah seperti puisi karya pujangga klasik Cina, Lao Tzu, berikut.
Datanglah ke desa, tinggallah bersama petani lokal,
Pahami mereka, pahami kebutuhan dan aspirasi mereka,
Ikutlah senang dan sedih bersama mereka,
Tunjukkan cara-cara berorganisasi kepada mereka,
Mulailah dengan apa yang mereka ketahui,
Membangunlah dengan apa yang mereka miliki,
Tingkatkan keterampilan mereka,
Bekerja sambil belajar,
Bimbinglah dengan peragaan dan contoh
10
b. Kelompok Kerja Desa (KKD)
Kelompok Kerja Desa (KKD) merupakan lembaga yang terdiri atas kelompok
peminat program, tenaga ahli lokal, LSM Pendamping dan perangkat pemerintahan desa.
Lembaga ini berfungsi untuk memfasilitasi, melatih, mendampingi dan mengasistensi
individu petani peminat program (kepala rumah tangga peminat program).
c. Perencanaan Rumah Tangga
Ujung tombak keberhasilan pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut
adalah individu petani (kepala rumah tangga peminat program). Oleh karena itu, pelaksanaan
kegiatan tersebut perlu memperhatikan aspirasi individu petani, utamanya dalam preferensi
jenis pohon yang akan ditanam dan pola tanam yang akan digunakan. Perencanaan
pengembangan agroforestri untuk memproduktifkan lahan gambut tingkat rumah tangga
merupakan mekanisme pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang bottom-up.
d. Konsolidasi
Konsolidasi merupakan tahapan setelah masing-masing individu petani (kepala rumah
tangga peminat program) menyelesaikan usulannya, dan usulan tersebut telah dibahas oleh
kelompok kerja desa (KKD). Selanjutnya KKD akan mengajukan hasil pembahasan kepada
pemerintah. Implementasi pengembangan agroforestri untuk RHL partisipatif di lahan
gambut dilakukan dengan metode seperti tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4 Aksi pengembangan agroforestri di lahan gambut
Uraian berikut menjelaskan proses Aksi pengembangan agroforestri di lahan gambut.
a. Kelompok Peminat Program
Lokasi lahan tempat pengembangan agroforestri lahan gambut di tingkat desa ditentukan
bukan berdasarkan pola hamparan tetapi berdasarkan pada petani peminat program. Petani
2.
Tenaga Ahli
Lokal
4.
Implementasi Aksi Pengembangan
agroforestri di lahan
gambut
1.Kelompok Peminat
Program
3. Kontrak
11
yang berminat mendaftarkan dirinya sebagai petani peserta program yang selanjutnya
bergabung dalam kelompok peminat program.
b. Tenaga Ahli Lokal
Bagi petani di desa, faktor tokoh panutan mempunyai pengaruh besar pada cara pandang dan
cara tindak mereka. Secara umum, petani di desa mencirikan masyarakat yang paternalistik,
dimana faktor karakter tokoh desa akan banyak mempengaruhi dinamika kehidupan mereka
(Pranadji, 2003). Lebih lanjut Pranadji (2003) menjelaskan bahwa ciri paternalistik petani
lokal di pedesaan dapat dipandang sebagai potensi kelembagaan petani di pedesaan untuk
dijadikan energi bagi kemajuan perekonomian (dalam hal ini keberhasilan pengembangan
agroforestri untuk RHL di lahan gambut).
c. Kontrak
Kontrak kerja didasarkan pada kesepakatan musyawarah yang dituangkan dalam surat
kesepakatan bermaterai. Hal ini dimaksudkan agar kesepakatan tersebut mengikat kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan kesepakatan tersebut.
d. Implementasi
Langkah selanjutnya adalah implementasi semua hal yang telah disepakati dalam kontrak
kerja. Pada aspek implementasi faktor keberlanjutan merupakan hal yang pokok.
Keberlanjutan dapat tercipta jika kondisi berikut terpenuhi, yakni: (a) pelatihan bagi petani
peminat program untuk memfasilitasi dan melatih petani yang lainnya; (b) dukungan
keuangan dan teknis membangun kapasitas; (c) mempercepat dan mendukung terbentuknya
institusi lokal yang kuat; (d) pelaksanaan program berprinsip: petani lokal yang memutuskan,
memilih dan mengelola; (e) jaringan kerja antar desa-desa (antar kelompok kerja desa/KKD);
dan (f) desentralisasi budget dan sumberdaya.
Inti dari pembentukan partisipasi petani lokal pada pengembangan agroforestri untuk
kegiatan RHL di lahan gambut adalah bagaimana para pihak pemangku kepentingan
(stakeholders) mampu membangun komunikasi yang sehat dengan mengedepankan nilai-nilai
persamaan hak, kesetaraan, bertanggungjawab, saling menghormati dan menghargai. Selain
itu, Lokasi pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut seharusnya ditentukan
berdasarkan pada petani peminat bukan hamparan lahan dengan alasan sebagai berikut.
Individu petani peminat program (kelompok pehobi) masing-masing telah mempunyai
kesadaran (awareness), ketertarikan (interest), keinginan yang kuat (desire) dan kemampuan
untuk bertindak (action) dalam mensukseskaan kegiatan RHL. Keempat sikap positif tersebut
(AIDA) sangat penting dalam pelaksanaan RHL partisipatif.
12
Kesadaran (awareness) petani muncul didasari oleh beberapa hal mendasar berikut.
Pertama, kesadaran petani untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan seperti erosi,
banjir dan bencana ekologis lainnya. Kedua, kesadaran petani bahwa menanam pohon dapat
menjadi tabungan di hari tua dan anak cucu. Ketiga, kesadaran petani bahwa hutan yang
cenderung semakin berkurang luasannya dan semakin jauh dari pemukiman menyebabkan
mereka akan kesulitan memperoleh kayu baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual.
Keempat, kesadaran petani bahwa penanaman pohon mempunyai peranan menjaga kesuburan
lahan gambut. Sistem perladangan berpindah merupakan bukti nyata peranan pohon dalam
mengembalikan kesuburan tanah.
Ketertarikan (interest) petani untuk berpartisipasi selain ditentukan oleh faktor
internal juga faktor eksternal utamanya pola insentif yang ditawarkan. Dengan karakteristik
petani yang marjinal (subsisten) maka tawaran hasil yang besar merupakan salah satu faktor
pemacu yang sangat memotivasi petani lokal mengembangan agroforestri di lahan gambut.
Keinginan yang kuat (desire) untuk memproduktifkan lahan gambutnya selanjutnya
mendorong petani untuk melakukan aksi (action) untuk mengembangkan agroforestri sesuai
dengan minat dan kebutuhannya. Pemberdayaan petani yang dilakukan harus mencakup lima
aspek pengembangan, yakni: sumberdaya manusia (SDM), organisasi, budidaya (teknis
usaha), keuangan/ekonomi dan kemitraan. Pola pembinaan dan pengembangan seperti
tersebut di atas diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta
mampu mendorong perekonomian petani lokal kearah yang lebih maju.
Kesejahteraan petani lokal dapat terwujud jika empat faktor berikut terpenuhi, yakni:
(1) produktivitas kebun yang setinggi-tingginya, (2) kualitas produksi yang sebaik-baiknya,
(3) adanya diversifikasi usaha baik horizontal maupun vertikal, dan (4) adanya mitra usaha
yang menangani aspek pengolahan, pemasaran dan keuangan. Keempat faktor tersebut dapat
terwujud, bila persyaratan berikut terpenuhi. Pertama, sumberdaya petani yang profesional.
Kedua, kebersamaan, kekompakan dan keharmonisan seluruh petani (warga desa). Ketiga,
kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi melayani kebutuhan petani yang didukung oleh
sistem keuangan yang transparan. Inti dari kegiatan pemberdayaan petani adalah
mengakumulasikan potensi yang dimiliki individu petani (pendekatan dari bawah) untuk
digunakan secara maksimal mewujudkan kesejahteraan mereka.
Dalam konteks pelibatan petani lokal dalam pengembangan agroforestri untuk RHL di
lahan gambut, desain program seharusnya tidak hanya sekedar mengatur aspek teknis, tetapi
juga desain program kegiatan yang dapat menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya
hutan secara ekologis dan sosial ekonomi, yaitu hutan tetap lestari dan petani lokal sejahtera.
13
Oleh karena itu, penetapan tujuan kegiatan dilakukan untuk mendesain program dengan
tujuan dan kegiatan yang menjamin tingkat kelestarian yang tinggi dari penggunaan
sumberdaya lahan gambut dan petani lokal dengan penekanan pada keterlibatan dan peran
serta petani lokal secara aktif.
Keterlibatan dan peran serta petani lokal dalam kegiatan RHL akan sangat tergantung
dari sejauhmana petani lokal merasa dan menerima tanggung jawab terhadap pengelolaan
sumberdaya, yaitu seperti dalam bentuk kesempatan untuk mengontrol dan mengawasi
sumberdaya, dimilikinya bentuk tugas dan kewajiban yang jelas, adanya hak yang jelas,
pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut dan
diperolehnya imbalan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut dan diperolehnya
imbalan yang memadai (Gueye dan Laban, 1990). Uraian berikut menjelaskan tentang kaitan
antara hak, kompetensi (kemampuan), manfaat dan kelembagaan (organisasi) petani lokal
yang kuat sebagai prasyarat penting untuk menjamin peran serta dan tumbuhnya
tanggungjawab dalam pengembangan agroforestri untuk kegiatan RHL di lahan gambut.
a. Kepentingan/Manfaat Ekonomi
Masyarakat akan terlibat dalam kegiatan RHL hanya apabila mereka melihat secara
jelas manfaatnya baik intangible maupun tangible berupa hasil fisik, jasanya ataupun dalam
bentuk penerimaan. Mereka akan membuat perkiraan biaya-manfaat (untung rugi) baik untuk
kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang dalam kontek tujuan ekologis maupun
sosial ekonomi. Karenanya pembangunan dan pengembangan hutan rakyat harus
mempertimbangkan kepentingan ganda (multiple interest) yang dapat dinikmati petani lokal.
Apabila kepentingan ekonomi pembangunan hutan rakyat tidak cukup memadai seperti yang
mereka perkirakan, maka dapat menyebabkan mereka kurang termotivasi mengorbankan
waktu, tenaga ataupun dananya untuk melakukan kegiatan tersebut. Penerimaan finansial dari
pola agroforestri yang dikembangkan erat sekali hubungannya dengan rasa memiliki terhadap
keberadaan jenis tanaman yang ditanamnya.
b. Kompetensi/Kapasitas
Masyarakat akan termotivasi untuk terlibat dalam pengembangan agroforestri untuk
RHL di lahan gambut hanya apabila memiliki kompetensi (pengetahuan atau teknologi)
untuk mengerjakan kegiatan tersebut. Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa kemampuan
analisis untuk melihat situasi dan kondisi aktual (saat ini) dan potensi dimasa depan ataupun
kemampuan untuk melakukan pilihan terbaik dari beragam aktivitas beserta dampaknya. Hal
ini berkaitan dengan pengorganisasian dan pengelolaan aktivitas tersebut. Kompetensi untuk
melakukan pengelolaan tanaman RHL seharusnya didasarkan pada pengetahuan setempat dan
14
dapat diadaptasikan ke kondisi lingkungan yang berubah sebagai tujuan atau sasaran yang
diinginkan. Kompetensi ini dapat dilakukan melalui pelatihan atau bentuk pendidikan
lainnya.
c. Wewenang dan Hak
Apabila dipandang tidak ada jaminan berupa kewenangan dan hak yang mereka dapat
peroleh dari aktivitas yang mereka lakukan, dapat dipastikan mereka akan ragu bahkan
meninggalkan aktivitas tersebut dan beralih ke aktivitas lain yang lebih memberikan jaminan
hasilnya. Pada beberapa kasus terkadang sistem kewenangan dan hak tradisional sedang
dalam proses disintegrasi dimana perlahan tergantikan oleh ketentuan formal yang hanya
memberikan sedikit keleluasaan bagi berkembangnya kewenangan dan hak setempat.
Kewenangan dan hak akan hasil, akses dan hak kepemilikan individu ataupun kolektif
sebaiknya dibuat secara eksplisit dalam kerangka ketentuan formal, misalnya dalam bentuk
peraturan pemerintah atau perundangan lainnya.
d. Organisasi Lokal yang Kuat
Organisasi lokal yang kuat sebaiknya juga diikuti pada tingkat individu. Untuk
meningkatkan pengakuan bahwa individu-individu petani pengembang agroforestri dalam
organisasi lokal memiliki kapasitas/kompetisi, sebaiknya kepentingan-kepentingan individu
tersebut di dukung oleh organisasi lokal yang kuat. Pengelolaan agroforestri yang
dikembangkan mendapat dukungan peran serta dan tanggung jawab petani ditingkat lokal
apabila pada tingkat tersebut dipenuhi empat prakondisi yaitu adanya jaminan hak,
dimilikinya pengetahuan/kompetensi, ada jaminan manfaat dan adanya kelembagan lokal
yang kuat.
Sedangkan di tingkat nasional, berjalannya secara efektif instrumen kebijakan yang
terdiri dari peraturan yang menjamin adanya hak, training/pelatihan dan penelitian yang
terus-menerus dan ditetapkan adanya insentif. Apabila dicermati, dalam proses
pengembangan agroforestri, petani lokal sebagai pelaku utama memiliki tanggungjawab yang
besar yaitu melestarikan fungsi hutan, namun pada saat yang sama mereka juga dituntut
untuk mampu meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Padahal, tingkat kelestarian fungsi
hutan dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan memiliki ciri-ciri spesifiknya masing-
masing. Sebagai pelaku atau pengelolaan tanaman RHL, petani lokal harus mengenal ciri-ciri
fungsi hutan yang lestari tersebut, bagaimana kriteria dan indikatornya. Begitu halnya,
kriteria dan indikator petani lokal yang sejahtera perlu dikenali dan diusahakan oleh para
pihak (stakeholders) yang terlibat dalam kegiatan RHL partisipatif. Dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan petani lokal tersebut perlu adanya kemitraan. Kata kemitraan
15
berasal dari kata "mitra" yang berarti teman. Kata teman ini mengajak kita mempersepsikan
hubugan antar personal yang berkelanjutan dan selalu menghasilkan hal yang baik/positif,
sedangkan lawan dari kata teman adalah musuh yang dapat diartikan hubungan antar
makhluk yang terputus dan menghasilkan efek yang negatif. Dasar pemikiran yang perlu kita
pahami sebenarnya adalah perlunya landasan keikhlasan antara kedua pihak untuk menjalin
hubungan kemitraan tersebut. Apabila tidak ada keikhlasan atau kerelaan, maka sebenarnya
hubungan kemitraan tersebut diragukan kekuatan dan ketahanannya. Hubungan kemitraan
yang dilandasai dengan keikhlasan, akan menjadi hubungan kemitraan yang kuat. Kerelaan
atau keikhlasan dalam menjalin hubungan kemitraan akan memotivasi kita memahami,
mengerti dan mencoba mengadaptasi diri sendiri dengan orang lain (teman) sehingga kita
cenderung selalu membuat suasana yang ramah, baik dan kondusif. Kerjasama tersebut
tercipta karena pihak mitra melihat bahwa dengan adanya kebersamaan dalam masyarakat
peluang-peluang usaha akan muncul dengan nilai efisiensi tinggi. Sebagai contoh apabila
produksi dipasarkan secara kolektif, maka kontinyuitas produksi akan tercapai dan pemasaran
akan menguntungkan. Sementara itu dengan kebersamaan pola pikir (motivasi memperbaiki
hidup), kualitas produksi akan meningkat dengan adanya kebersamaan motivasi untuk
mempertinggi nilai tawar (bargaining position). Namun demikian, perlu disadari bahwa pada
hubungan kemitraan yang kuat sekalipun, resiko hubungan kemitraan tersebut lambat laun
akan hilang dapat saja terjadi.
Degradasi hubungan kemitraan dapat disebabkan karena adanya eliminasi sikap saling
yang makin lama semakin diragukan oleh masing-masing pihak yang bermitra. Apalagi
dalam kemitraan usaha dimana setiap pihak sudah meragukan komitmen pihak yang lain
dalam bermitra. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan sistem yang menjamin
bahwa setiap pihak tetap mendapatkan keuntungan materiil maupun moril secara adil. Sistem
tersebut disebut dengan Sistem kebersamaan ekonomi (SKE). Sistem kebersamaan ekonomi
(SKE) adalah suatu sistem yang mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh
laba (profit oriented) dengan menggunakan pendekatan kebersamaan. Pendekatan ini
diperlukan untuk memperkuat rasa kebersamaan masing-masing pihak karena kebersamaan
yang paling kuat apabila kebersamaan tersebut dapat mengakomodir kepentingan ekonomi
masing-masing pihak. Tanpa ada keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing
pihak, maka kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersamaan yang produktif dan tidak
bertahan lama.
Dalam pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut kedepan kiranya perlu
dirancang pola insentif yang memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, menarik minat
16
petani untuk berpartisipasi secara aktif. Kedua, mampu meningkatkan kesejahteraan petani
melalui pemberdayaan potensi yang dimiliki masing-masing individu petani dan
kelompoknya. Insentif kegiatan RHL selama ini lebih banyak didasari oleh keinginan petani
lokal untuk mendapatkan “upah”. Hal ini berakibat, partisipasi petani lokal lebih dilandasi
kepentingan memperoleh keuntungan materi yang bersifat sesaat, sehingga setelah kegiatan
tidak lagi dibiayai oleh proyek (pemerintah) maka kondisi tanaman menjadi kurang terawat.
Hal ini berakibat pada rendahnya keberhasilan tanaman RHL.
Memperhatikan hal tersebut maka untuk menarik minat petani berpartisipasi dalam
kegiatan RHL perlu melakukan upaya berikut. Pertama, lahan lokasi pengembangan
agroforestri di lahan milik tidak harus berupa satu hamparan, tetapi letak lahan bisa saja tidak
dalam satu hamparan tergantung pada kepemilikan lahan oleh petani peminat program.
Kedua, insentif kegiatan pengembangan agroforestri dapat berupa peminjaman uang untuk
modal kerja usaha produktif seperti perbengkelan, peternakan (ayam, itik, kambing, sapi,
dll.), warung makan, penjahit pakaian, dan usaha produktif lainnya. Kesepakatan ini
disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program di atas surat
kesepakatan (MoU) bermeterai. Ketiga, insentif kegiatan RHL dapat berupa pemberian beras
(food for work) untuk petani peserta program yang jumlah ditentukan per bulan. Jumlah beras
yang diterima per bulan dan jangka waktu pemberian beras tersebut ditentukan berdasarkan
luasan lahan dan jumlah batang pohon per ha yang ditanam oleh petani. Kesepakatan ini
disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program di atas surat
kesepakatan (MoU) bermeterai. Keempat, insentif berupa upah langsung sebaiknya dilakukan
dengan mekanisme “beli tanaman tumbuh”. Pada pola ini, mekanisme pemberian upah
dilakukan secara periodik (misalnya per 3 bulan atau per 6 bulan sesuai pertumbuhan
tanaman). Besarnya upah yang diterima petani peserta ditentukan berdasarkan banyaknya
jumlah tanaman yang ditanam yang hidup atau tumbuh. Luas lahan yang ditanami atau
jumlah pohon per ha yang ditanam merupakan hasil kesepakatan atau musyawarah dengan
petani peminat program. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah
dan petani peserta program di atas surat kesepakatan (MoU) bermeterai.
Selain itu, mengingat kondisi ekologi lahan gambut maka praktek pertanian
seharusnya mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut: (1) praktek pertanian
yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan
mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan,
tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang
paling besar; (2) praktek pertanian yang dapat mencari cara pemanfaatan input luar hanya
17
bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan
meningkatkan sumberdaya biologi, fisik dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar,
perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan
lingkungan; (3) praktek pertanian yang tidak bertujuan untuk memaksimalkan produksi
dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai
dalam jangka panjang.
Memperhatikan kondisi petani maka teknologi yang diaplikasikan dalam
pengembangan agroforestri untuk kegiatan RHL di lahan gambut harus berprinsip berikut: (a)
pemahaman akan kebutuhan dan aspirasi petani lokal, (b) fasilitasi/pendampingan tentang
cara-cara berorganisasi kepada petani lokal, (c) paket teknologi yang akan dikembangkan
harus dimulai dari apa yang mereka ketahui, (d) kegiatan dibangun atas dasar apa yang
mereka miliki (potensi SDA dan SDM setempat), (e) asistensi peningkatan kapasitas dan
keterampilan mereka, (f) bekerja sambil belajar, (g) membimbing dengan peragaan dan
contoh.
KESIMPULAN
1. Pola-pola agroforestri berbasis jenis jelutung yang telah dikembangkan oleh petani
setempat dapat diadopsi untuk menunjang keberhasilah RHL di lahan gambut.
2. Performansi pertumbuhan jelutung rawa untuk riap tinggi berkisar antara 86,55 – 127,94
cm per tahun, untuk riap diameter berkisar antara 1,56 – 2,15 cm per tahun.
3. Pengembangan agroforestri berbasis jelutung rawa untuk RHL di gambut dapat
dilakukan dengan sistem kebersamaan ekonomi berdasarkan manajemen kemitraan .
DAFTAR PUSTAKA
Bastoni. 2001. Pertumbuhan hasil dan kualitas tapak hutan tanaman di Sumatera bagian
Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak
dipublikasikan.
Bastoni dan H.D. Riyanto. 1999. Teknik Silvikultur untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Basah Bekas Tebangan di Sumatera Selatan dan Jambi. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan.
Daryono, H. 2000. Teknik Membangun Hutan Tanaman Industri Jenis Jelutung (Dyera spp.).
Informasi Teknis Galam No. 3/98. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Kalimantan
Selatan.
Indrayatie, E.R. dan Suyanto. 2009. Penyusunan Database Digital Karakteristik Habitat
Jelutung (Dyera polyphylla Miq. V. Steenis) di Lahan Basah Kalimantan Selatan.
18
Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan. Manajemen Hutan. Universitas Lambung
Mangkurat (tidak dipublikasikan).
Limin, S.H. 2004. Kondisi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan strategi
pemulihannya. Di dalam A.P. Tampubolon, T.S. Hadi, W. Wardani dan Norliani
[Editor]. Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa
Gambut di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Ilmiah. Palangkaraya, 12 Mei 2004.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. pp 1 – 14.
Raintree, J.B. 1990. Theory and practice of agroforestry diagnosis and design. In: K.G.
Macdiken and N.T. Vergara [Editors]. Agroforestry: Classification and Management.
John Wiley and Sons, Inc. New York.