ISBN 978-602-99218-7-8 -...

72

Transcript of ISBN 978-602-99218-7-8 -...

ISBN 978-602-99218-7-8

PROSIDING SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAS Surakarta, 12 Juni 2013 Terbit Tahun 2014 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Dr. Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

ii

Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), 2014 ISBN : 978-602-99218-7-8 Desain Sampul : Tommy Kusuma AP © P3KR 2014 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia Telp : (0251) 8633234 Fax : (0251) 8638111 E-mail: [email protected] Website: http://www.puskonser.or.id/ Dicetak oleh : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

iii

Tim Penyunting

Penanggung Jawab Redaktur

: :

Dr. Nur Sumedi, S.Pi, M.P. Ir. Didik Purwito, M.Sc

Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc

Dr. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, M.Si Dr. Ika Heriansyah, S.Hut, M.Agr

Sekretariat : Lukman Hakim, S.Hut, M.P Ir. Salamah Retnowati, M.Si

Rara Retno K. R., S.H, M.Hum Eko Priyanto, S.P Farika Dian Nuralexa, S.Hut

Zamal Wildan, S.Kom Wahyu Budiarso, S.P Tommy Kusuma AP

iv

KATA PENGANTAR Daya dukung daerah aliran sungai (DAS) adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. Daya dukung DAS harus ditingkatkan sebagai akibat dari terjadinya penurunan daya dukung DAS yang ditandai dengan banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata kehidupan masyarakat. Daerah aliran sungai termasuk kategori dipertahankan atau dipulihkan daya dukungnya tergantung dari kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah. Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah penurunan kualitas DAS di Indonesia sebagai akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan serta meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan. Untuk itu maka pengelolaan DAS merupakan upaya yang sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan yang diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi Terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Dengan terbitnya PP Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, maka Indonesia memiliki acuan sehingga pengelolaan DAS secara terpadu dapat dilaksanakan dan daya dukung DAS dapat dipertahankan. Selain itu dukungan IPTEK di bidang pengelolaan DAS diperlukan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran dan dukungan dalam pengelolaan DAS, Balai Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS (BPTKPDAS) menyelenggarakan Kegiatan Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013. Penyelenggaraan tersebut

v

Bogor, Juni 2014 Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabiltiasi Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002

adalah sebagai bentuk tanggung jawab BPTKPDAS sebagai lembaga litbang yang bergerak di bidang pengelolaan DAS. Penyelenggaraan Kegiatan Seminar Nasional dimaksudkan sebagai wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan bidang pengelolaan DAS yang telah dilaksanakan oleh BPTKPDAS dan instansi lain kepada pengguna. Semoga hasil-hasil tersebut dapat dicermati dan dimanfaatkan oleh parapihak terkait dan diharapkan kegiatan penelitian bidang pengelolaan DAS ke depan dapat ditingkatkan. Dengan demikian Penyelenggaraan Seminar Nasional Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013 dilaksanakan sebagai media untuk menyampaikan hasil-hasil dari kegiatan penelitian oleh BPTKPDAS dan instansi lain agar memperoleh umpan balik dari pengguna. Prosiding Seminar Nasional Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013 ini memuat 12 judul materi yang dibahas dan berasal dari 3 instansi yaitu BPTKPDAS, UNS serta UMS. Dalam pelaksanaan seminar tersebut disepakati rumusan seminar yang merupakan rangkuman keseluruhan dari hasil diskusi. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyaji, Panitia Penyelenggara, Penyunting Prosiding, serta pihak-pihak yang telah mendukung sampai selesainya kegiatan. Semoga Prosiding ini bermanfaat.

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………….......................... v DAFTAR ISI……………………………………………....................... vi PENGARAHAN

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan............... viii

RUMUSAN Rumusan Seminar........................…………………………............... xii

MAKALAH-MAKALAH

1. Aspek Hukum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai / AL Sentot Sudarwanto (UNS)............................................................................................ 1

2. Hubungan Antara Luas Hutan Pinus Dan Aliran Dasar Di Sub DAS Kedungbulus, Kebumen / Irfan Budi Pramono dan Wahyu Wisnu Wijaya (BPKTPDAS).............................................. 18

3. Hubungan Antara Karakteristik Hujan Dan Banjir Di Sub DAS Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri / Irfan Budi Pramono, Gunardjo Tjakarawarsa (BPKTPDAS)........................................... 38

4. Pemanfaatan Citra dari Google Earth dan DEM Aster yang Bebas Diunduh untuk Mendapatkan Beberapa Parameter Lahan / Tyas Mutiara Basuki, Nining Wahyuningrum (BPKTPDAS).................................................................................. 53

5. Kajian Kelembagaan Konservasi Tanah dan Air Di Hulu Sub DAS Gandusuwaduk, Pati – Jawa Tengah / C. Yudilastiantoro (BPKTPDAS).................................................................................. 74

6. Pemetaan Kawasan Rawan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Taman Nasional Bali Barat / Arina Miardini, Nunung Pujinugroho (BPKTPDAS)................... 86

7. Model Pengendalian Banjir Terpadu Berdasarkan Parameter Utama Penyebab Banjir Di DAS Bengawan Solo Hulu / Alif Noor Anna, Suharjo, Yuli Priyana, Rudiyanto (UMS).................. 106

8. Pertumbuhan Tanaman Rehabilitasi Pola Agroforestry Sengon dan Jabon pada Lahan Terdegradasi Di Tlogowungu Pati / Heru Dwi Riyanto, Gunardjo Tjakrawarsa (BPKTPDAS).... 130

vii

9. Nilai Konsumsi Air Beberapa Jenis Pohon Cepat Tumbuh / Agung Budi Supangat, Ugro Hari Murtiono (BPKTPDAS).......... 146

10. Kandungan Hara Dan Tingkat Erosi Pada Lahan Miring Bersolum Dangkal / Nining Wahyuningrum, Tyas Mutiara Basuki (BPKTPDAS) ..................................................................... 163

11. Identifikasi Karakteristik Morfometri Daerah Aliran Sungai Dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis / Agus Wuryanta, Ragil Bambang Winarno Mulyono Putro dan Beny Harjadi] (BPTKPDAS).......... 191

12. Kajian Unsur Hara Tanah pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) di Pantai Berpasir Petanahan Kebumen / Beny Harjadi, Pranatasari Dyah Susanti, Arina Miardini (BPKTPDAS)................................................................... 208

LAMPIRAN

Jadwal Acara....................................................................................... 219

Daftar Peserta..................................................................................... 222 Hasil Diskusi......................................................................................... 227

viii

PENGARAHAN

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Dalam

Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013

Yth. Saudara Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai dan Perhutanan Sosial atau yang mewakili Yth. Saudara Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Yth. Saudara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Yth. Saudara Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi D.I.

Yogyakarta Yth. Saudara Kepala SKPD terkait kehutanan lingkup Provinsi Jawa

Tengah dan Provinsi D.I. Yogyakarta Yth. Para Kepala Dinas Kabupaten yang menangani kehutanan

lingkup Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi D.I. Yogyakarta Yth. Para Kepala Pusat Litbang lingkup Badan Litbang Kehutanan

dan Para Pejabat Struktural Eselon II lingkup Kementerian Kehutanan

Yth. Para Kepala Balai Penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan dan Kepala UPT lingkup Kementerian Kehutanan

Yth. Para Kepala UPT Kementerian dan Kepala UPTD yang terkait dengan Kementerian Kehutanan

Yth. Saudara Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhutani Cepu

Yth. Para Administratur KPH Perum Perhutani Yth. Para Dekan Perguruan Tinggi, Kepala SMA, Ketua Forum dan

Mitra Strategis Kementerian Kehutanan Yth. Saudara Kepala Balai Penelitian Teknologi Kehutanan

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo Yth. Hadirin yang berbahagia.

ix

Assalamu’alaikum Wr.Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, Mengawali sambutan ini, marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmatNya pada hari ini kita dapat menghadiri acara pembukaan Seminar Hasil-Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai tahun 2013 dalam keadaan sehat walafiat. Ekspose hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo ini saya nilai sangat strategis mengingat tiga hal, yakni tahun ini merupakan peringatan 100 tahun litbang kehutanan berkarya di Indonesia; perlunya solusi yang tepat terhadap permasalahan kerusakan dan penurunan daya dukung DAS yang diikuti dengan meningkatnya bencana ekologis dan hidrometeorologi; dan momentum untuk memformulasikan program dan kegiatan litbang BPTKPDAS Solo tahun 2015-2019 yang gayut dengan kebutuhan pengelolaan DAS di Indonesia.

Saudara-saudara sekalian, Sejarah panjang penelitian kehutanan di Indonesia diawali dengan berdirinya Bosbouw Proef Station Voor Het Boswezen di Bogor pada tanggal 16 Mei 1913. Pada era kolonial Belanda, banyak hasil penelitian yang membanggakan yang dihasilkan oleh para peneliti Belanda yang mempunyai disiplin kerja yang tinggi. Hasil penelitian tersebut, antara lain mencakup botani hutan, silvika, silvikultur tanaman Jati, bonita dan konservasi hutan. Hasil penelitian tersebut pada umumnya sangat membantu pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa. Hasil-hasil penelitian tersebut juga dipublikasikan pada majalah ilmiah Tectona, yang merupakan salah satu majalah ilmiah paling bergengsi di dunia pada zaman tersebut. Namun pada era penjajahan Jepang (1942-1945), institusi litbang praktis tidak berkembang karena Jepang tidak memperdulikan pentingnya riset kehutanan dan bahkan mengeksploitasi hutan-hutan jati di Jawa untuk kepentingan perang. Selanjutnya, pada era Kemerdekaan sampai Orde Lama (1945- 1965), institusi litbang tersebut hanya survive dengan nama Balai Penyelidikan Kehutanan dengan hasil penelitian yang kurang signifikan. Pada Awal Orde Baru (1966) sampai dengan pertengahan

x

tahun 2013 ini, organisasi litbang kehutanan secara periodik mengalami perubahan sesuai dengan konstelasi politik pada masa tersebut namun secara umum menunjukkan peningkatan kinerja dari tahun ke tahun, baik kuantitas maupun kualitas output penelitian. Beberapa output litbang yang sangat strategis yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Kehutanan adalah: sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI), teknik silvikultur berbagai jenis hutan tanaman, teknik produksi bibit meranti dengan sistem KOFFCO, bioteknologi dan pemuliaan tanaman jenis-jenis pohon cepat tumbuh, beberapa tabel volume pohon, teknik pengolahan beberapa komoditas HHBK seperti sutera alam dan madu lebah, teknik inokulasi gaharu, teknik produksi mikoriza, teknik penangkaran rusa timor, teknologi pengolahan kayu solid dan kayu komposit, teknik produksi kayu pertukangan dari batang sawit, teknik produksi bambu lamina, teknik produksi briket arang dan cuka kayu, teknik produksi perekat dari tannin kulit kayu, model allometrik biomassa dan input kebijakan mitigasi perubahan iklim dan REDD+. Khusus untuk pengelolaan DAS, beberapa output litbang yang telah dihasilkan oleh BPTKPDAS Solo mencakup: sistem perencanaan pengelolaan DAS, teknik mitigasi banjir dan tanah longsor, panduan sidik cepat degradasi sub DAS, sistem karakterisasi DAS pada beberapa zona ekologi di Jawa dan Sumatera, teknik rehabilitasi lahan kritis, aplikasi citra satelit dan SIG untuk monev DAS dan revisi peta penggunaan lahan, pemodelan hidrologi DAS, sistem analisis neraca ekonomi sumberdaya alam dalam DAS, analisis tipologi sosial dan pengaruhnya terhadap kinerja DAS, implementasi pengelolaan DAS pada skala mikro dan penentuan luas penutupan hutan optimum, khususnya hutan tanaman jati dan pinus berdasarkan parameter hidrologi. Satuan kerja Badan Litbang Kehutanan di luar BPTKPDAS Solo, baik Puskonser dan beberapa Balai Penelitian Kehutanan, juga menghasilkan output litbang di bidang pengelolaan DAS, mencakup peta kesesuaian jenis pohon untuk kegiatan RHL pada beberapa provinsi dan DAS, teknik konservasi tanah dan air, teknik reklamasi lahan bekas tambang emas, batubara, batu kapur feldspar dan timah,

xi

alat deteksi longsor dan teknik pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk penguatan kelembagaan dan kesehatan DAS. Dalam rangka memperingati 100 tahun litbang kehutanan di Indonesia, serangkaian kegiatan diseminasi hasil litbang akan digelar baik di pusat maupun di daerah dan puncaknya adalah penyelenggaraan konferensi internasional INAFOR (Indonesia Forestry Researchers) II dan peluncuran buku Seratus Tahun Litbang Kehutanan di Indonesia pada bulan Agustus 2013. Rangkaian acara tersebut diawali dengan pencanangan 100 tahun litbang kehutanan di Indonesia oleh Menteri Kehutanan pada bulan Maret 2013 di Bogor dan dilanjutkan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 24 April 2013 berupa penandatangan prasasti peringatan 100 tahun dan prasasti revitalisasi laboratorium, penanaman pohon secara simbolis, penyelenggaraan seminar ”Applications and Challenges of Green Economy for Sustainable Development” dan bedah buku konservasi hutan. Kegiatan tersebut diliput secara luas oleh berbagai media massa nasional dan daerah dan sampai saat ini secara berkala dimuat pada rubrik ilmu pengetahuan dan teknologi di harian Kompas dan harian lainnya. Peliputan tersebut dan testimoni para pengguna pada saat penendatanganan prasasti menunjukkan bahwa sesungguhnya sudah banyak output litbang yang bermanfaat dan potensial dikembangkan untuk meningkatkan kinerja pembangunan kehutanan dan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan peringatan 100 tahun tersebut, Badan Litbang Kehutanan telah menetapkan motto, sebagaimana prasasti yang ditandatangani Menteri Kehutanan, yakni: ”Iptek Merupakan Landasan Kebijakan dan Etika Membangun Hutan Lestari dan Peradaban Bangsa”. Motto ini menggambarkan arah penelitian pasca 100 tahun yang mengedepankan produk kebijakan kehutanan dan pencapaian pembangunan kehutanan berkelanjutan yang mengakomodir nilai etika dan sosial budaya bangsa yang mandiri dan unggul. Dalam konteks peringatan Satu Abad inilah BPTKPDAS Solo melakukan diseminasi hasil-hasil penelitian terbarunya kepada para pengguna iptek dan sekaligus mengharapkan umpanbalik dari para peserta seminar dalam rangka memformulasikan kegiatan penelitian ke depan yang gayut dengan kebutuhan pengelolaan DAS.

xii

Saudara-saudara sekalian, Terkait dengan kebutuhan iptek pengelolaan DAS, Indonesia saat ini dihadapkan pada permasalahan lingkungan hidup yang sangat serius yakni fenomena perubahan iklim dan kerusakan DAS. Ke duanya mempunyai interrelasi yang sangat kuat di mana deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global dan pada tataran lokal kerusakan sumberdaya hutan bersamaan dengan meluasnya lahan kritis akibat pengabaian teknik konservasi tanah dan air menyebabkan penurunan daya dukung DAS. Bencana hidrometeorologi yang semakin sering menimpa Indonesia, berupa banjir, tanah longsor dan kekeringan serta kerusakan ekologi berupa erosi dan sedimentasi diyakini dipicu oleh faktor antropogenik berupa intervensi manusia terhadap sumberdaya hutan dan lahan yang berlebihan. Kejadian bencana tersebut menimbulkan kerugian material dan immaterial yang tinggi dan bahkan seringkali menimbulkan korban jiwa. Deforestasi dan degradasi hutan serta kerusakan lahan di luar kawasan hutan yang masif belum sepenuhnya dapat diimbangi oleh kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Meskipun laju kerusakan hutan turun menjadi 450.000 ha/tahun pada periode 2010-2011 dari yang sebelumnya 2,83 juta ha/tahun pada periode 1997 sampai dengan 2000, namun hutan dan lahan kritis yang ada saat ini masih sangat tinggi yakni sekitar 51,67 juta hektar. Sementara itu, kinerja rehabilitasi hutan dan lahan, yang dihitung berdasarkan prestasi RHL sebesar 2.009.881 ha dari tahun 2003-2008, hanya mencapai 500.000 ha/tahun. Kinerja RHL sebesar 500.00 ha/tahun tersebut hanya dapat mengatasi laju kerusakan hutan dan belum dapat mengatasi hutan dan lahan kritis yang ada. Hutan dan lahan kritis tersebut berada pada DAS prioritas di mana di seluruh Indonesia terdapat 458 DAS prioritas di antaranya 282 DAS merupakan prioritas I dan II. Sehubungan dengan itu, Kementerian Kehutanan menetapkan salah dua dari 18 Sasaran Strategis tahun 2010-2014 berupa rencana pengelolaan DAS terpadu sebanyak 108 DAS prioritas; dan tanaman rehabilitasi pada lahan kritis di dalam DAS prioritas seluas 2,5 juta ha.

xiii

Kerusakan DAS, pada umumnya, disebabkan oleh kebutuhan lahan yang semakin tinggi seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya kepentingan pembangunan sektoral dan daerah yang berakibat pada perubahan status, fungsi dan peruntukan kawasan hutan menjadi penggunaan lain. Kerusakan DAS tersebut menunjukkan adanya ketidaktepatan dalam pengelolaan DAS di mana selama ini lebih ditekankan pada aspek biofisik dan kurang pada aspek sosial dan kelembagaan. Permasalahan dalam pengelolaan DAS saat ini adalah pengelolaan sumberdaya alam DAS yang melampaui kapasitasnya atau tidak ramah lingkungan; pertumbuhan penduduk; perkembangan industri serta pembangunan di berbagai bidang berakibat pada peningkatan kebutuhan akan lahan; lapangan kerja yang terbatas mendorong masyarakat mendesak penggunaan lahan di luar batas kemampuannya; konversi lahan; orientasi otonomi daerah yang berwawasan sempit dan semata-mata fokus pada economic development; meningkatnya ego sektoral dan ego kewilayahan yang berakibat pada konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu dan hilir. Untuk itu, upaya pengelolaan DAS yang tepat dengan kondisi administrasi pemerintahan, kelembagaan, sosial kemasyarakatan dan biofisik, menjadi sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Konkritnya, solusi masalah pengelolaan DAS membutuhkan komitmen politik, payung hukum, kerjasama komprehensif dan teknologi Konservasi Tanah dan Air tepat guna yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan DAS tidak bisa lagi melalui pendekatan sektoral, tetapi harus mengedepankan prinsip keterpaduan, yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan para pemangku kepentingan terkait pada lintas wilayah administrasi sesuai dengan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No.33 Tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumberdaya Air dan PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah dengan meningkatkan daya dukung DAS. Oleh karena itu diperlukan suatu

xiv

pengelolaan DAS yang obyektif, rasional dan utuh mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sampai dengan pembinaan dan pengawasan. Untuk menyelenggarakan pengelolaan DAS yang baik perlu dukungan IPTEK di bidang pengelolaan DAS yang adaptif sebagai dasar untuk menjawab permasalahan dinamika politik, sosial, ekonomi dan teknologi yang semakin berkembang. Lebih jauh lagi, solusi masalah pengelolaan DAS perlu dituangkan dalam Kebijakan Prioritas Pembangunan Kehutanan, Program dan Kegiatan yang terukur, realistis dan berkelanjutan, yang kesemuanya diharapkan tertuang dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian Kehutanan dan Ditjen BPDASPS untuk periode berikutnya (2015-2019). Permasalahan utama DAS ke depan akan lebih diwarnai permasalahan eco-resources dengan basis faktor-faktor antropogenik berupa sosial budaya, sikap, perilaku, pendidikan dan kepercayaan. Kerusakan DAS pada dasarnya disebabkan oleh intervensi manusia dan oleh karena itu yang ditangani adalah faktor kemanusiaan itu sendiri. Dalam kaitan ini, Kebijakan Prioritas Pembangunan Kehutanan dapat diarahkan pada Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Peningkatan Daya Dukung DAS dan Program Peningkatan Fungsi dan Daya Dukung DAS Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Adapun kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan, antara lain: penyelenggaraan pengelolaan DAS terpadu pada DAS prioritas; pengembangan kelembagaan dan mekanisme monitoring dan evaluasi DAS; dan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dan reklamasi hutan. Hadirin yang berbahagia, Untuk menyikapi tantangan dalam menjawab kebutuhan masyarakat dalam pengelolaan DAS, maka pada kesempatan ini, kami mengajak hadirin baik pemangku kebijakan maupun praktisi, akademisi dan peneliti untuk berdiskusi dan saling bertukar informasi dan pengalaman dalam Seminar Hasil-Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS ini. Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, BPTKPDAS Solo telah banyak menghasilkan output penelitian pengelolaan DAS dan teknologi pendukungnya, namun tampaknya belum banyak yang

xv

termanfaatkan dengan baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan bahkan monitoringnya sekalipun oleh berbagai pihak terkait. Pada hakekatnya, output penelitian tersebut secara teknis memperlancar implementasi kebijakan strategis dan operasional yang telah dibuat, dalam hal ini, implementasi PP No.37 Tahun 2012. Semangat PP tersebut adalah untuk mengkoordinasikan, mengintegrasikan, mensinkronkan dan mensinergikan pengelolaan DAS dalam rangka meningkatkan daya dukung DAS (pasal 3.). Dalam PP tersebut juga mengatur tentang siapa yang berwenang menyusun rencana pengelolaan DAS (pasal 22 ayat 2), yang melaksanakan (pasal 42), memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya (pasal 50), yang secara jelas diserahkan kepada Menteri untuk DAS lintas negara dan lintas provinsi, Gubernur sesuai kewenangan untuk DAS dalam provinsi dan atau lintas kabupaten/kota, dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya untuk DAS dalam kabupaten/kota. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS baik secara perorangan maupun kelompok melalui forum DAS diatur dalam Pasal 57. Tugas kita ke depan adalah untuk menjabarkan PP ini ke dalam kebijakan yang lebih operasional dalam bentuk Peraturan-Peraturan Menteri Kehutanan. Dalam rangka meningkatkan dukungan litbang pengelolaan DAS dalam implementasi dan bahan kebijakan, Kepala Badan Litbang Kehutanan bersama Direktur Jenderal BPDASPS telah menandatangani Nota Kesepahaman Nomor NK.3/VIII-Set/2011 dan NK.2/V-Set/2011 tentang IPTEK Pengelolaan DAS Sebagai Landasan Kebijakan Operasional. Oleh karena itu, seminar ini juga merupakan salah satu wujud komitmen Badan Litbang Kehutanan untuk senantiasa menindaklanjuti dan meng-update Nota Kesepahaman tersebut. Saudara-saudara sekalian, Untuk meningkatkan kontribusi iptek kehutanan pada pengelolaan DAS di Indonesia, BPTKPDAS Solo harus segera memformulasikan program dan kegiatan penelitian yang dituangkan dalam Rencana Strategis BPTKPDAS Solo tahun 2015-2019 yang didasarkan pada permasalahan pembangunan kehutanan nasional dan kebutuhan iptek pengelolaan DAS.

xvi

Permasalahan pembangunan kehutanan nasional yang perlu di-address oleh BPTKPDAS Solo, adalah: 1. Hak ulayat (tenurial) dan akses masyarakat adat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan yang masih rendah; 2. Masih tingginya jumlah penduduk miskin di dalam dan sekitar hutan; 3. Pengaturan tata ruang yang belum didasarkan pada daya dukung lingkungan dan kebutuhan optimal setiap sektor sehingga potensial menyebabkan konflik penggunaan kawasan; 4. Deforestasi dan degradasi hutan; 5. Bencana hidrometeorologi akibat luasnya lahan kritis dan tutupan berhutan <30%; 6. Pengelolaan DAS lintas wilayah administrattif belum terintegrasi dengan baik; dan 7. Penurunan kualitas DAS. Kebutuhan iptek pengelolaan DAS ke depan bertumpu pada solusi masalah-masalah sosial dan tata kelola pemerintahan dan organisasi yang belum mendukung pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan yang berkelanjutan dalam unit DAS, pengelolaan sumberdaya alam dalam DAS yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dan kesehatan DAS dan penemuan teknik-teknik rehabilitasi hutan serta konservasi tanah dan air yang berdayaguna dan berhasilguna. Melihat permasalahan utamanya adalah masalah manusia dengan segala faktor-faktor antropogenik dan kelembagaan yang ada maka pendekatannya adalah eco-resources dengan pola manajemen kolaboratif dan adaptif serta kegiatan pembangunan ekonomi hijau.

Saudara-saudara sekalian, Merangkum pemaparan saya di atas, beberapa agenda penelitian yang perlu diadopsi BPTKPDAS Solo dan dituangkan dalam Rencana Strategis tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut: 1. Model pengaruh perubahan iklim dan tataruang terhadap daya

dukung DAS; 2. Model pengaruh perubahan iklim dan penutupan lahan terhadap

eco-hidrologi DAS; 3. Model pengaruh pengelolaan DAS dan konservasi Tanah dan Air

terhadap biodiversitas dan serapan karbon; 4. Model koordinasi dan pengatasan konflik tataruang dalam unit

DAS;

xvii

5. Model pembangunan ekonomi hijau dan peningkatan akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan dalam unit DAS;

6. Penyusunan Norma, Standar, Pedoman dan Kriteria (NSPK) monitoring dan evaluasi serta kelembagaan pengelolaan DAS;

7. Sistem pengelolaan DAS pulau-pulau kecil dan perkotaan; 8. Strategi dan teknik rehabilitasi hutan dan lahan dengan

pendekatan manajemen kolaboratif dan pemberian insentif pada unit DAS;

9. Penetapan imbal jasa lingkungan (PES), insentif dan disinsentif wilayah hilir ke hulu dalam unit DAS;

10. Strategi dan teknik mitigasi bencana ekologi berupa banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan kekeringan dalam unit DAS;

11. Teknik efisiensi penggunaan air pada masyarakat dan virtual water pada berbagai sistem produksi pertanian pada unit DAS;

12. Teknik pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah daratan dan reklamasi lahan bekas tambang secara kolaboratif;

13. Kajian sistem hidrooceanografi ekosistem mangrove dan hidrologi ekosistem hutan rawa gambut;

14. Penyiapan draf akademis Peraturan-Peraturan Menteri Kehutanan yang diamanatkan pada PP No.76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan dan PP 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS.

Keempatbelas topik penelitian tersebut masih relevan dengan tema dan subtema Roadmap Litbang Kehutanan 2010-2025 yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Di samping itu, BPTKPDAS Solo perlu mengakomodir usulan penelitian yang diajukan oleh pemerintah daerah dan kelompok masyarakat dalam bentuk Kajian Isu Aktual Kehutanan. Saya mengharapkan dalam merancang ke empatbelas penelitian tersebut harus didasarkan pada penelitian terpadu dan menyeluruh (integrated and holistic research) melalui pendekatan antar disiplin ilmu (inter-disciplinary research). Aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan kebijakan diharapkan dapat diakomodasikan pada setiap kegiatan penelitian tersebut untuk mewujudkan penelitian integratif. Keempatbelas penelitian tersebut juga dapat dirancang

xviii

dalam format action research di mana para pengguna dilibatkan dalam keseluruhan proses penelitian, mulai dari perencanaan, pelaksanaan di lapangan, pemasyarakatan hasil penelitian sampai pengukuran dampak dan manfaat penelitian. Saudara-saudara sekalian, Akhir kata, harapan kami semoga seminar ini bermanfaat baik bagi BPTKPDAS Solo, maupun para pihak terkait dan para pengguna hasil litbang. Melalui seminar ini diharapkan terjalin koordinasi dan komunikasi yang baik di antara kita dalam menyikapi permasalahan pembangunan kehutanan pada umumnya dan permasalahan pengelolaan DAS pada khususnya. Di samping itu, kami mengharapkan berbagai masukan dari Saudara sekalian sebagai bahan formulasi kebijakan pimpinan terhadap pengelolaan DAS ke depan. Akhirnya, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirochim, dengan ini “Seminar Hasil-hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS” kami nyatakan dibuka secara resmi.

Terima kasih. Wassalamua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

SOLO, 12 Juni 2013 Kepala Badan,

Dr. Ir. Iman Santoso M.Sc.

xix

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL

“Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS 2013” (12 Juni 2013)

Memperhatikan laporan Kepala Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan, keynote speech Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, pemaparan 12 makalah yang dipresentasikan, proses diskusi dan saran-saran dari seluruh peserta seminar, dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut: 1. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan ekosistem

alami yang utuh dari hulu hingga hilir beserta kekayaan sumber daya alam dan sumber daya buatan. Untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat di dalam DAS, maka sumber daya DAS perlu dikembangkan dan didayagunakan secara maksimal dan berkelanjutan melalui upaya pengelolaan DAS. Mengingat adanya berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya DAS, baik secara kewilayahan maupun sektoral, maka pengelolaan DAS perlu dilakukan secara terpadu dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan didukung oleh adanya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang memadai.

2. Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan yuridis pengelolaan DAS adalah Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Namun demikian, masing-masing UU tersebut belum memiliki aturan pelaksanaan sebagai penjelasan rinci dari pasal-pasal yang terkait dengan DAS. Penjelasan terperinci dari pasal-pasal tentang DAS tersebut dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. PP ini memberikan arahan yang lengkap dalam mengatur pengelolaan DAS terpadu dari hulu ke hilir secara utuh yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi (monev), serta pembinaan dan pengawasan pada setiap hierarki pemerintahan, baik untuk DAS dengan kondisi dipertahankan maupun dipulihkan daya dukungnya.

3. Keterpaduan antar instansi/lembaga di dalam kegiatan pengelolaan DAS perlu diwujudkan melalui adanya suatu grand design pengelolaan DAS yang disebut Rencana Pengelolaan DAS Terpadu (RPDAST) yang disepakati bersama oleh seluruh stakeholders, sehingga dapat menjamin tidak terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest) dalam implementasinya.

xx

4. Dalam perencanaan pengelolaan DAS diharapkan dapat dipenuhi luas penutupan hutan minimal. Di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan adalah 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional. Hal ini mengingat respon hidrologi suatu DAS, baik kuantitas maupun kontinuitas aliran air, salah satunya dipengaruhi oleh luas penutupan hutan dalam DAS. Dalam hal ini, semakin luas penutupan hutan pada suatu DAS, maka respon hidrologinya semakin baik pula, misalnya debit aliran dasar pada musim kemarau, sebagaimana yang terjadi pada wilayah DAS dengan tutupan hutan pinus. Pada musim kemarau, tutupan hutan yang baik lebih berfungsi untuk memperlambat proses pengatusan air dari suatu wilayah DAS daripada meningkatkan debit aliran musim kemarau, sehingga kontinuitas aliran lebih terjaga. Namun demikian, perlu dipertimbangkan pula faktor geologi dan tanah dalam memahami karakteristik aliran dasar pada suatu wilayah DAS selain faktor tutupan lahannya.

5. Pada musim hujan, intensitas hujan yang tinggi serta pola penutupan lahan yang kurang mendukung penyerapan air hujan ke dalam tanah menjadi faktor penyebab terjadinya banjir. Karakteristik banjir yang terjadi pada suatu wilayah DAS tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik hujan (tebal, durasi dan intensitas hujan), namun juga kondisi awal lengas tanah (antecedent soil moisture). Dalam hal ini, karakteristik hujan lebih berpengaruh pada debit puncak, sedangkan kondisi awal lengas tanah lebih memengaruhi waktu untuk menuju debit puncak.

6. Teknologi penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi geografis (SIG) dapat dimanfaatkan dalam kegiatan perencanaan maupun monev pengelolaan DAS. Karakteristik data PJ (citra satelit) dengan cakupan yang luas dan waktu perekaman yang teratur memberikan nilai tambah untuk dimanfaatkan dalam kegiatan pengelolaan DAS. Beberapa parameter biofisik monev kondisi DAS pun dapat diturunkan dari data citra satelit, misalnya penutupan lahan dan kemiringan lahan (slope). Pemanfaatan citra satelit yang bebas diunduh (misalnya citra Quickbird dari Google Earth untuk klasifikasi penutupan lahan dan citra DEM ASTER untuk klasifikasi kemiringan lahan) dan dapat memberikan akurasi yang dapat diterima akan memberikan keuntungan dari segi biaya, waktu dan prosedur kerja.

7. Teknologi PJ dan SIG dapat pula dimanfaatkan untuk membantu pengelolaan suatu taman nasional atau wilayah DAS, misalnya dalam mencegah atau mengatasi kebakaran hutan. Peta daerah rawan kebakaran hutan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak pengelola dalam mengalokasikan sumber daya yang ada dalam penanganan kebakaran hutan. Dalam memetakan daerah rawan kebakaran hutan, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah tipe vegetasi (berdasarkan sifat kekeringannya), topografi (kemiringan lahan dan

xxi

arah lereng), jarak dari jalan, dan jarak dari permukiman. Selain itu, perlu pula dipertimbangkan tipe model yang akan diterapkan (misalnya model statis atau dinamis) untuk menjawab permasalahan yang ada.

8. Dalam pengelolaan DAS Mikro, kelembagaan konservasi tanah dan air di tingkat desa mempunyai peran yang penting di dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS. Kelembagaan tersebut dapat dibangun melalui proses kerjasama antara kelompok tani dengan instansi/lembaga terkait seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan melalui Petugas Penyuluh Pertanian (PPL) dan Perum Perhutani, sebagaimana yang dijumpai di Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Lembaga bersama ini berperan dalam merencanakan, melaksanakan serta memonitor dan mengevaluasi kegiatan konservasi tanah dan air untuk meningkatkan kesejahteraan bersama melalui pelestarian hutan, tanah dan air.

9. Dalam pemanfaatan data untuk penelitian (termasuk data PJ), perlu diperhatikan kualitas data tersebut untuk menjamin keakurasian dari penelitian yang dihasilkan.

10. Perlu adanya tindak lanjut penelitian dengan menambahkan komponen-komponen yang diteliti maupun memperbaiki metode penelitian yang dipakai, sehingga pada akhirnya hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan bermanfaat bagi praktisi lapangan.

11. Seminar hasil penelitian merupakan media komunikasi interaktif antara peneliti dan praktisi untuk menyampaikan/mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan, mendapatkan umpan balik dari pengguna hasil penelitian dan menyinergikan hasil-hasil penelitian antar lembaga penelitian yang terkait. Dengan demikian, kegiatan seminar ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan baik peneliti maupun praktisi.

Surakarta, 12 Juni 2013 Tim Perumus

1. Ir. Purwanto, M.Si 2. Dr. Nunung Pujinugroho, S.Hut, M.Sc 3. Agung Wahyu Nugroho, S.Hut, M.Sc

146

NILAI KONSUMSI AIR BEBERAPA JENIS POHON CEPAT TUMBUH1

Oleh : Agung B. Supangat 2*, dan Ugro H. Murtiono2

2Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected]

*Email: [email protected] [email protected]

ABSTRAK

Informasi nilai evapotranspirasi yang merupakan gambaran kebutuhan air oleh tanaman (crop water requirements) sangat penting diketahui sebagai data dasar karakteristik hidrologi jenis sebelum tanaman dikembangkan dalam skala luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya konsumsi air oleh tanaman (crop water requirements) beberapa jenis spesies cepat tumbuh di Indonesia. Metode pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan lisimeter. Jenis tanaman yang diteliti meliputi sengon, akasia, kayu putih, nyamplung, mahoni dan ekaliptus. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa besarnya nilai evapotranspirasi (ET) tahunan sangat beragam pada setiap jenis tanaman. Nilai ET tahunan rata-rata dan persentasenya terhadap hujan dari masing-masing jenis berturut-turut adalah: ekaliptus 1.450 mm (59,7%), akasia mangium 1.220 mm (45,5%), sengon 708 mm (28,5%), kayu putih 681 mm (35,3%), mahoni 566 mm (34,0%) dan nyamplung 497 mm (25,0%). Selain jenis tanaman dengan umur dan kerapatannya, faktor curah hujan (tebal dan sebaran bulanan dalam setahun) serta jenis tanah sangat mempengaruhi besar nilai ET tahunan. Jenis tanaman dengan nilai ET yang tinggi (mendekati curah hujan tahunan) perlu kewaspadaan dalam melakukan pemilihan lokasi penamaman dan pengelolaannya, agar tidak menimbulkan kekeringan di wilayah yang bersangkutan. Kata Kunci : Evapotranspirasi, Hutan tanaman, Curah hujan, Jenis tanaman

cepat tumbuh

1 Disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS oleh Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan, pada tanggal 12 juni 2013.

147

I. PENDAHULUAN Dalam mendukung pembangunan kehutanan di Indonesia, kegiatan pembangunan hutan perlu dilakukan melalui pengembangan jenis-jenis tanaman industri sesuai kegunaannya, seperti untuk kayu pertukangan, kayu penghasil pulp dan kayu energi. Beberapa jenis tanaman hutan yang dikembangkan merupakan jenis tanaman cepat tumbuh, baik jenis asing (exotic species) maupun asli (indigenous species) dan bercirikan memiliki produktivitas tinggi. Jenis-jenis cepat tumbuh umumnya tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang tinggi, tetapi masih diperdebatkan pengembangannnya terkait dampak negatif terhadap lingkungan terutama terhadap kondisi lingkungan tata air (hidrologi) di daerah aliran sungai (DAS), termasuk adanya peningkatan banjir, kekeringan, tanah longsor, serta erosi dan sedimentasi. Salah satu contohnya, jenis Eucalyptus sp., yang telah dikembangkan dalam skala besar di Indonesia terutama oleh perusahaan HTI (hutan tanaman industri) sebagai salah satu andalan tanaman penghasil pulp selain Acacia mangium. Tanaman Eucalyptus sp. di Indonesia mengalami perkembangan pesat pada tahun 1980 setelah Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII di Jakarta tahun 1978. Namun, pada tahun 1988 timbul kritik dan protes terhadap tanaman ini karena adanya indikasi pengaruh negatif terhadap lingkungan (Pudjiharta, 2001). Di India, dilaporkan bahwa jenis tanaman Eucalyptus sp. telah menyebabkan bencana kekurangan air karena tingginya konsumsi air untuk pertumbuhannya (Shiva dan Bandyopadhyay, 1983 dalam Bruijnzeel, 1997). Besarnya konsumsi air tanaman dapat didekati dari nilai evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi suatu komunitas vegetasi menurut US Soil Conservation Service (1970) dalam Asdak (1995) perlu diketahui karena hasil penelitian menunjukkan bahwa dua pertiga dari jumlah hujan yang jatuh di daratan Amerika Utara kembali lagi ke atmosfer sebagai hasil evaporasi tanaman dan permukaan tubuh air. Sedangkan di Afrika, air yang terevapotranspirasi bahkan melebihi 90% dari jumlah curah hujan yang jatuh di tempat tersebut. Nilai ET juga

148

perlu diketahui sebagai salah satu karakteristik hidrologi jenis tanaman dalam merespon input hujan. Besarnya nilai ET yang sering juga dianggap sebagai kehilangan air oleh tanaman (crop water consumptions), selain dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi, juga dipengaruhi ketersediaan air di dalam tanah terutama di zona perakaran. Di areal dengan tutupan hutan, evapotranspirasi juga dipengaruhi jenis, umur, kerapatan serta tinggi tanaman (Seyhan, 1977). Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan penelitian karakteristik hidrologis jenis tanaman sebelum dikembangkan dalam skala yang lebih luas, di antaranya adalah nilai konsumsi air oleh tanaman (nilai evapotranspirasi). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya konsumsi air oleh tanaman dari beberapa jenis spesies cepat tumbuh di Indonesia. Selain sebagai sumbangan dalam ilmu pengetahuan bidang hidrologi hutan, data dan informasi yang diperoleh diperlukan dalam rangka mendukung pelaksanaan tindakan silvikultur, terutama manipulasi lingkungan pertumbuhan terkait dengan siklus air. II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan tanaman di areal kerja Perum Perhutani, HPHTI PT. Arara abadi - Riau, serta HPHTI. PT. Musi Hutan Persada - Sumatera Selatan. Lokasi dan jenis tanaman yang diteliti selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis tanaman yang dikaji dan lokasi penelitian

No. Spesies tanaman Lokasi penelitian Kawasan Hutan 1. Sengon

(Paraserianthes falcataria) Wonosobo

KPH Kedu Selatan

2. Akasia (Acacia mangium)

- Wonogiri - Sumatera Selatan

- KPH Surakarta - PT. Musi Hutan Persada

3. Kayu putih (Melaleuca cajuputi)

- Grobogan - Gunung Kidul - Ponorogo

- KPH Gundih - KPH Madiun

4. Nyamplung

(Calophyllum inophyllum) Karanganyar

Tanah/Kebun milik masyarakat

149

5. Mahoni (Swietenia mahagoni)

Ngawi KPH Ngawi

6. Ekaliptus (Eucalyptus pellita)

Riau

PT. Arara Abadi, Perawang

Keterangan: KPH = Kesatuan Pemangkuan Hutan, di Perum Perhutani

Waktu pelaksanaan penelitian (pengukuran) evapotranspirasi tidak dilakukan secara bersama-sama. Jenis tanaman akasia (lokasi Sumatera Selatan) dilakukan selama 2 tahun (2007-2008), jenis ekaliptus dilakukan selama 4 tahun (2008-2011), sedangkan jenis sengon, akasia (Wonogiri), kayu putih, nyamplung dan mahoni dilakukan selama 1 tahun (2012). B. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan adalah masing-masing jenis tanaman yang menjadi obyek penelitian (sengon, kayu putih, mahoni, nyamplung, akasia dan ekaliptus), yang ditanam dalam plot lisimeter. Adapun peralatan penelitian meliputi alat penakar hujan manual (ombrometer) dan plot lisimeter lapangan berukuran 4 m x 4 m (panjang-lebar) x 1-1,5 m (dalam), untuk mengukur laju evapotranspirasi. C. Rancangan Penelitian Penelitian pengukuran nilai ET ini tidak menggunakan rancangan percobaan dengan perlakuan yang secara khusus diterapkan. Namun, beberapa jenis yang diamati memiliki perbedaan kondisi jarak tanam dan tanaman bawahnya. Diskripsi masing-masing tanaman dalam plot lisimeter disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Diskripsi kondisi pertanaman tiap jenis tanaman dalam plot lisimeter

Spesies tanaman Lokasi Jarak tanam Kondisi tanaman bawah

Sengon

Wonosobo

Plot 1: (2mx3m) + kopi Plot 2: (2mx3m) + kopi Plot 3: (2mx3m) + kopi

Dibiarkan 100% Dibiarkan 50% Dibiarkan 25%

Akasia mangium

Wonogiri

Plot 1: (4mx3m) Plot 2: (4mx3m) Plot 3: (4mx4m)

Dibiarkan 100% Dibiarkan 100% Dibiarkan 100%

150

Sumsel 3mx3m Dibiarkan 100% Kayu putih Grobogan 2mx4m Dibiarkan 100% Gunung Kidul 2mx4m Dibiarkan 100% Ponorogo 2mx4m Dibiarkan 100% Nyamplung

Karanganyar

Plot 1: 2mx2m Plot 2: 3mx3m

Dibiarkan 100% Dibiarkan 100%

Mahoni Ngawi 2mx4m Dibiarkan 50% Ekaliptus pellita Riau 3mx2m Dibiarkan 100%

D. Pengumpulan Data Penelitian lapangan ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode keseimbangan/neraca air (water balance), dengan formula Q = P – (ET + ΔS). Berdasarkan model tersebut, nilai ET merupakan evapotranspirasi, nilai Q merupakan penjumlahan dari limpasan permukaan langsung (DRO) dan aliran air bawah tanah (BF), sehingga ET = P – (DRO + BF + ΔS). Pengamatan ΔS dilakukan dengan alat pengukur kandungan air tanah pada kedalaman 0,2 m dan 0,5 m. Prinsip pengamatan evapotranspirasi pada lisimeter lapangan ukuran panjang 4 m, lebar 4 m, dan dalam 1-1,5 m (Gambar 1.), yaitu pengamatan terhadap limpasan langsung (DRO) dan limpasan bawah permukaan (BF) dan kandungan air tanah (ΔS) yang diamati secara harian tiap jam 07.00 pagi setiap hari hujan. Pada musim kemarau, pengamatan ΔS merupakan nilai rata-rata bulanan.

151

Gambar 1. Plot lisimeter untuk ukuran 4 m x 4 m x 1 m

Pengamatan debit (Q) harian, dilakukan dengan mengukur tinggi muka air pada bak penampung DRO (H_dro, m) dan bak penampung BF (H_bf, m). Pengamatan ∆S (perubahan kandungan air tanah) dilakukan dengan alat pengukur kadar air tanah atau dari sampel tanah yang diambil pada saat sebelum dan setelah kejadian hujan, pada musim penghujan ∆S diasumsikan konstan (= 0), sehingga ET = P – Q. E. Pengolahan dan Analisis Data Penghitungan air yang hilang menjadi evapotranspirasi (ET) tiap kejadian hujan harian (daily rainfall event) dilakukan dengan dasar persamaan neraca air di atas, yang dibalik menjadi sebagai berikut:

1 -1,5m

Bak DRO

Bak BF

Tanah

Batu Kali Ijuk

* *

Tanaman

Tanaman

DRO

BF

152

ET = P – (Q + ΔS) (dalam mm)

di mana P adalah tebal hujan (mm), ΔS = (selisih kadar air tanah (%) pada kapasitas lapang (pF 2,54) dengan pada kondisi aktual) x nilai porositas tanan (n, %). Perhitungan nilai ET harian saat musim hujan adalah sebagai berikut:

DRO = H_dro x panjang bak x lebar bak (dalam m3)

BF = H_bf x panjang bak x lebar bak (dalam m3) Q = DRO + BF (dalam m3) Q = (DRO+BF)/luas plot = (DRO+BF)/16 x (1/1000) (dlm mm) ET = P–Q, dimana P adalah tinggi hujan (mm), (dalam mm/hari) Hasil perhitungan nilai ET kemudian disajikan dalam satuan total nilai tahunan (mm/tahun), agar bisa dibandingkan dengan curah hujan tahunan yang terjadi. Penyajian data ET tiap jenis tanaman dilakukan secara rata-rata dari beberapa kondisi pertanaman dan tahun pengamatan, serta kisaran angka (dalam satuan mm/th) dan persentase nilai ET (%) terhadap curah hujan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Besar kecilnya nilai penggunaan air atau evapotranspirasi oleh tanaman dipengaruhi selain oleh jenis tanaman, kondisi iklim mikro, juga oleh faktor di dalam tanah. Kondisi karakteristik tanaman yang diamati beserta aspek tanah disajikan oleh Tabel 3. Hasil perhitungan besarnya evapotranspirasi (ET) tahunan pada masing-masing jenis dan lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1., sedangkan rekapitulasi nilai rata-rata dan kisaran angka ET disajikan pada Tabel 4. Setiap jenis tidak sama rentang waktu pengamatannya, dipengaruhi oleh waktu dan akhir penelitian yang berbeda-beda. Namun demikian, rata-rata telah diketahui nilai ET sampai tanaman berumur 2 sampai 6 tahun.

153

Tabel 3. Kondisi tanaman dan faktor tanah di lokasi penelitian

Jenis pohon Umur

tanaman (th)

Lokasi studi

Jenis Tanah

Kelas tekstur tanah

Kadar air tanah

(%)

Air tersedia (%)

Sengon 4 Wonosobo Inceptisols Lempung 2,81 - 16,80 13,40 - 23,50

A. mangium 4 Wonogiri Inceptisols Lempung 2,62 - 12,50 11,70 - 19,00

Akasia 2-3 Sumatera Selatan

Ultisols Lempung pasiran

2,31 - 2,69 9,40 - 18,80

Kayu putih 4 Gundih Vertisols Lempung 2,16 – 2,76 18,00 – 19,50

Kayu putih 4 Ponorogo Vertisols Lempung 1,67 – 2,47 9,30 – 19,85

Kayu putih 6 Gunung Kidul Vertisols Lempung 2,29 - 3,01 24,23 - 33,45

Nyamplung 4 Karanganyar Inceptisols Lempung debuan

2,10 - 8,51 10,54 – 17,65

Mahoni 4 Ngawi Vertisols Lempung debuan

2,85 - 12,47 16,60 - 34,80

E. pellita 2-5 Riau Ultisols Geluh pasiran

2,46 - 3,20 8,91 - 13,90

Tabel 4. Hasil perhitungan nilai evapotranspirasi tahunan pada masing-

masing jenis tanaman

Jenis pohon

Lokasi CH rata-

rata (mm/th)

ET rata-rata

(mm/th)

(%) ET terhadap CH

Rata-rata Kisaran

Sengon Wonosobo 2.487 708 28,5 22,2-34,9

Akasia Wonogiri 2.045 597 29,2 22,9-34,8

Akasia Sumater Selatan

3.069 1.843 59,9 58,8-61,1

kayu putih Gundih 981 397 40,5 33,4-47,6

kayu putih Ponorogo 1.982 750 37,8 30,8-44,8

kayu putih Gunung Kidul 1.875 612 32,7 30,6-34,9

Nyamplung Karanganyar 1.983 497 25,0 23,0-27,1

Mahoni Ngawi 1.665 566 34,0 31,4-36,6

Ekaliptus Riau 2.485 1.450 59,7 47,8-71,5

B. Pembahasan Nilai evapotranspirasi beberapa spesies tanaman di berbagai wilayah disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil sintesa terhadap nilai ET diketahui bahwa jenis tanaman yang sama jika ditanam di tempat yang berbeda karakteristik agroklimatologinya menunjukkan nilai ET yang berbeda dengan kisaran angka yang sangat variatif. Variasi nilai ET pada setiap jenis hutan tersebut (lebih tinggi atau lebih rendah)

154

dipengaruhi faktor seperti curah hujan, ketinggian tempat maupun faktor meteorologis lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai ET yang juga variatif. Tanaman sengon yang ditanam di daerah tinggi (Wonosobo) dengan curah hujan lebih dari 2.000 mm/th, menunjukkan nilai ET yang rendah (rata-rata 28,5% dari curah hujan). Keberadaan tanaman bawah juga berpengaruh dalam menyumbang besarnya nilai ET. Semakin rapat dan banyak (jenis) tanaman bawah akan menyebabkan nilai ET semakin besar. Pada plot lisimeter tanaman sengon dengan kondisi tanaman bawah yang dibiarkan 100% menunjukkan nilai ET yang lebih besar dibandingkan pada plot dengan tanaman bawah dibiarkan 50%, dan paling kecil pada plot dengan tanaman bawah 25%. Tanaman akasia (A. mangium) yang ditanam di tempat yang berbeda jumlah dan karakter curah hujannya menunjukkan angka ET yang berbeda. Di Wonogiri yang relatif lebih kering (CH = 2.045 mm/th) dan tidak merata sepanjang tahun menunjukkan angka ET 29,2%; sedangkan di Sumatera Selatan dengan curah hujan lebih tinggi (>3.000 mm/th) dan merata sepanjang tahun menunjukkan nilai ET yang lebih tinggi (59,9%). Hasil penelitian Pudjiharta (1986) pada jenis yang sama (A. mangium) juga menghasilkan nilai ET yang bahkan lebih tinggi (68,8% dari curah hujan 3.465 mm/th).

155

Tabel 5. Evapotranspirasi berbagai jenis pohon

Jenis pohon Lama Penelitian/ Umur tanaman

(th)

Curah hujan (mm/th)

ET (mm/th)

ET (% dari CH)

Metode Pengukuran Lokasi Studi

Sumber

Pinus merkusii 8 3.056 1.971 64,5 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1986) *) P. merkusii - 3.695 1.308 35,4 Model Penman-Monteith Indonesia Arifjaya, dkk. (2002) P. merkusii 5 1.816 - 3.455 1.002 - 1.253 29 - 69 - Indonesia Soedjoko, dkk. (1998) P. merkusii - - 900 - - Indonesia Bruijnzeel (1997) P. caribaea 1 1.121 717 63,9 Model Soil Water Balance Brazil Lima, et al. (1990) P. caribaea - - 1.770 - Model Penman-Monteith Fiji Waterloo (1994) P. patula - - 1.160 - Model Catchment Water

Balance Kenya Blackie (1979) **) E. urophylla 8 3.056 1.128 36,9 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1986) *) E. deglupta 3 3.136 1.659 52,9 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1992) *) E. alba 3 3.136 1.643 52,4 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1992) *) E. trianta 3 3.136 1.673 53,4 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1992) *) E. grandis 1 1.121 922 82,2 Model Soil Water Balance Brazil Lima, et al. (1990) E. grandis 6 1.147 1.092 95,2 Model Soil Water Balance Brazil Almeida, et al. (2007) E. grandis 9 1.396 1.345 96,4 Model Penman-Monteith Brazil Soares, et al. (2001) E. hybrid - 3.187 1.912 60,0 - - Poore, et al. (1985) *) E. hybrid 3 1.518 1.024 67,5 Lisimeter Congo Laclau, et al. (2005) Eucalyptus sp. - 500 - 1.200 450 - 1.000 80 - 90 - - Poore, et al. (1985) *) Schima walichii 8 3.056 700 22,9 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1986) *)

156

Jenis pohon Lama Penelitian/ Umur tanaman

(th)

Curah hujan (mm/th)

ET (mm/th)

ET (% dari CH)

Metode Pengukuran Lokasi Studi

Sumber

S. walichii - - 1.200 - 1.300 - Model Penman-Monteith Indonesia Rusdiana, dkk (2002) Swietenia macrophylla 6 4.016 2.317 57,7 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1986) *) A. mangium 4 3.465 2.384 68,8 Lisimeter Indonesia Pudjiharta (1986) *) Tectona grandis - - 950 - 1.600 - Model Penman-Monteith Indonesia Hendrayanto, dkk (2002) Tectona grandis 3 1.671 1.164 69,7 Model Tornthwaite-Matter Indonesia Supangat dan Putra (2012) Tectona grandis 3 1.671 946 - 1.118 56,6 - 66,9 Model Penman-Monteith Indonesia Supangat dan Putra (2012) Dalbergia latifolia 4 3.465

1.445 41,7 Lisimeter Indonesia Pudjiharta dan Pramono

(1988) *) Agathis sp. - - 1.200 - 1.250 - Model Penman-Monteith Indonesia Rusdiana, dkk (202) Agathis damara - - 1.070 - Model Catchment Water

Balance Indonesia

Bruijnzeel (1988) **)

Keterangan: *) dalam Pudjiharta (2001); **) dalam Bruijnzeel (1997)

157

Tanaman nyamplung yang ditanam di daerah Karanganyar dengan curah hujan 1.983 mm/th, menunjukkan angka ET yang juga rendah (rata-rata 25,0%). Hal tersebut selain disebabkan curah hujan yang tidak besar dan tidak merata sepanjang tahun, juga karena struktur daun tanaman nyamplung yang memiliki lapisan lilin (kutikula) yang tebal menutupi stomata daun. Struktur daun yang demikian menyebabkan kecilnya transpirasi yang terjadi pada tanaman. Tanaman kayu putih yang memang cocok dikembangkan di daerah kering (berbahan induk kapur) pada jenis tanah vertisols, dengan curah hujan yang lebih rendah, menunjukkan angka ET yang juga rendah. Hasil penelitian pada ketiga lokasi tanaman (Gundih, Ponorogo dan Gunung Kidul), memberikan kisaran angka ET yang rendah (30,6% - 40,5%) dari curah hujan sebesar 981mm/th – 1.982mm/th. Pada ketiga lokasi tanaman kayu putih tersebut berjenis tanah vertisols yang mempunyai sifat sangat kering (lengas tanah rendah) pada musim kemarau. Hal tersebut membuat cadangan air tanah menjadi kecil/sedikit untuk mendukung terjadinya proses evapotranspirasi. Tanaman mahoni di Ngawi menunjukkan angka ET berkisar antara 31,4% - 36,6%, dari curah hujan sebesar 1.665mm/th. Angka ini tergolong kecil, dibandingkan hasil penelitian Pudjiharta (1986) pada jenis mahoni daun kecil (S. macrophylla) yang menunjukkan angka ET sampai 57,7%. Kecilnya angka ET dari hasil penelitian ini (di Ngawi) lebih dipengaruhi karakter curah hujan yang kecil (di bawah 2.000mm/th) dan tidak merata sepanjang tahun, dibandingkan pada penelitian Pudjiharta (1986) yang curah hujannya sampai 4.016mm/th. Selain itu, umur tanaman dan jenis tanah juga berpengaruh terhadap besar-kecilnya angka ET. Pada lokasi Ngawi, tanaman yang diamati berumur 4 tahun dengan jenis tanah vertisols, sedangkan pada penelitian Pudjiharta tanaman mahoni berumur 6 tahun. Besarnya nilai ET tanaman ekaliptus juga cukup bervariasi dipengaruhi spesies maupun lokasi mengukuran yang memiliki karakteristik meteorologis yang berbeda beda. Secara umum, besar ET tanaman Eucalyptus berkisar 900 – 1.900 mm/th tergantung besarnya curah hujan yang ada (Poore et al., 1985; Lima et al., 1990; Pudjiharta, 2001; Soares et al., 2001; Laclau et al., 2005; Almeida et al., 2007). Berdasarkan angka

158

persentasenya terhadap curah hujan, angka ET jenis Eucalyptus sp. sangat variatif, berkisar dari angka 36% sampai 95% (Tabel 5.). Hasil penelitian E. pellita di Riau menunjukkan angka ET yang masuk dalam kisaran yaitu 1.188-1.834mm/th (atau 47,8%-71,4%). Pada jenis tanaman yang lain juga memperlihatkan nilai ET yang beragam. Tanaman Pinus spp., menunjukkan nilai ET yang juga bervariasi. Smith (1974) dalam Bruijnzeel (1997) melaporkan nilai P. radiata di Australia sebesar1.587±204 mm atau 71,9 % dari curah hujan (2.207±110 mm). Di Indonesia, dari berbagai wilayah dilaporkan besarnya ET P. merkusii berkisar antara 900 - 1971 dengan prosentase ET terhadap curah hujan bekisar 29 - 64,5% (Pudjiharta, 1986; Bruijnzeel, 1997; Sudjoko et al., 1998; Arifjaya et al., 2002). Spesies P. caribaea di Brazil dilaporkan Lima et al., memiliki nilai ET sebesar 716,6 mm (63,9%), sementara di Fiji menunjukkan angka yang lebih besar yaitu 1.770 mm (Waterloo, 1994). Spesies lain dari pinus (P. patula) di Kenya dilaporkan oleh Blackie (1979) dalam Bruijnzeel (1997) sebesar 1.160 mm dengan evapotranspirasi relatif (ET/Eo) sebesar 0,77. Di wilayah dengan curah hujan yang lebih rendah, dilaporkan bahwa tanaman jati di Jawa Barat memiliki nilai ET sebesar 950 - 1.600 mm (Hendrayanto dkk., 2002), sedangkan di Cepu, Jawa Tengah dilaporkan nilai ET sebesar 946 - 1.164 mm (dari curah hujan rata-rata sebesar 1.671 mm) (Supangat dan Putra, 2012). Jenis tanaman lain juga memperlihatkan nilai ET yang beragam, antara lain: jenis Puspa (S. walichii) menunjukkan angka 22,9% (700-1.300mm/th) (Pudjiharta, 1986; Rusdiana dkk., 2002); Sonokeling (D. latifolia) sebesar 1.445mm (41,7%) (Pudjiharta dan Pramono, 1988); serta jenis Agathis sp. sebesar 1.070-1.250mm/th (Pudjiharta, 1986; Bruijnzeel, 1988). Jika dibandingkan dengan kawasan hutan alam, nilai ET juga berbeda-beda dipengaruhi lokasi pengukuran dengan karakteristik curah hujannya. Pada hutan hujan dataran rendah (<100 m.dpl) di Jawa, besarnya nilai ET mencapai 1.480 mm dengan ET/Eo 0,90, sedangkan hutan hujan dataran tinggi (2.400 m.dpl) di Kenya dilaporkan angka ET sebesar 1.155 mm dengan ET/Eo sebesar 0,78 (Calder, 1986 dalam Bruijnzeel, 1997).

159

IV. KESIMPULAN Besarnya konsumsi air (nilai ET) bervariasi pada setiap jenis tanaman tergantung pada umur dan kerapatan tanaman, faktor curah hujan (tebal dan sebaran bulanan dalam setahun) serta jenis tanah. Hasil penelitian konsumsi air beberapa jenis cepat tumbuh menunjukkan besarnya nilai ET tahunan yang bervariasi pada setiap jenis tanaman. Nilai ET tahunan rata-rata dan persentase terhadap hujan masing-masing jenis yang diteliti adalah: ekaliptus 1.450 mm (59,7%), akasia mangium 1.220 mm (45,5%), sengon 708 mm (28,5%), kayu putih 681 mm (35,3%), mahoni 566 mm (34,0%) dan nyamplung 497 mm (25,0%). Jenis tanaman dengan nilai ET yang tinggi (mendekati curah hujan tahunan) perlu kewaspadaan dalam melakukan pemilihan lokasi penamaman dan pengelolaannya, agar tidak menimbulkan kekeringan di wilayah yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA Almeida, A.C., J.V. Soares, J.J. Landsberg dan G.D. Rezende. 2007. Growth

and water balance of Eucalyptus grandis hybrid plantations in Brazil during a rotation for pulp production. Forest Ecology and Management, 251: 10–21.

Arifjaya, N.M., O. Rusdiana dan Hendrayanto. 2002. Pengaruh

pengelolaan hutan pinus (P. merkusii) terhadap karakteristik hidrologi, Studi kasus di DAS Ciwulan Hulu, KPH Tasikmalaya, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat. Prosiding Workshop Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem, Yogyakarta.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai, Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta. Bruijnzeel, L.A. 1997. Hydrology of forest plantations in the tropics. In:

Nambiar, E.K.S. and A.G. Brown. 1997. Management of Soil, Nutrient and Water in Tropical Plantation Forest. ACIAR Monograph No. 43. Canberra, Australia. pp. 125-167.

160

Hendrayanto, O. Rusdiana, dan N.M. Arifjaya. 2002. Pengaruh hutan tanaman jati terhadap tata air dan perlindungan tanah, Studi kasus penelitian di SubDAS Cijurey Hulu, KPH Purwakarta. Prosiding Workshop Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem, Yogyakarta.

Laclau, J. Ranger, P. Deleporte, Y. Nouvellon, L. S. Andre, S. Marlet dan

J.P. Bouillet. 2005. Nutrient Cycling in A Clonal Stand of Eucalyptus and An Adjacent Savanna Ecosystem in Congo, 3: Input–Output Budgets and Consequences for The Sustainability of The Plantations. Forest Ecology and Management, 210: 375-391.

Lima, W.D.P., M.J.B. Zakia, P.L. Libardi dan A.P.D. Filho. 1990. Comparative

evapotranspiration of Eucalyptus, Pine and natural “Cerrado” vegetation measure by the soil water balance method. IPEF International (1), Piracicaba. pp. 5-11.

Pudjiharta, Ag. 2001. Pengaruh hutan tanaman industri Eucalyptus

terhadap tata air di Jawa Barat. Jurnal Puslitbang dan KA, Tahun 2001. Bogor.

Rusdiana, O., N.M. Arifjaya, dan Hendrayanto. 2002. Pengaruh hutan

tanaman campuran terhadap tata air dan perlindungan tanah, Studi kasus penelitian di SubDAS Cipeureu, Gunung Walat. Prosiding Workshop Aplikasi Hasil-Hasil Penelitian Bidang Hidrologi untuk Penyempurnaan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem, Yogyakarta.

Seyhan, E. 1977. Fundamentals of hydrology. Terjemahan. S. Subagyo.

1993. Dasar-dasar hidrologi (Edisi cetakan kedua). Gajah Mada Univ. Press. Yogyakarta. 380 pp.

Soares, J.V. dan A.C. Almeida. 2001. Modeling the water balance and soil

water fluxes in a fast growing Eucalyptus plantation in Brazil. Journal of Hydrology, 253: 130–147.

161

Soedjoko, S.A., Suyono dan Darmadi, 1998. Kajian Neraca Air di Hutan Pinus. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta.

Supangat, A.B., A. Junaedi, Kosasih, D. Frianto dan Nasrun. 2008. Kajian

tata air hutan Acacia mangium dan Eucalyptus pellita. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. Badan Litbang Kehutanan. Kuok. (tidak dipublikasikan).

Supangat, A.B. dan P.B. Putra. 2012. Neraca Air Meteorologis di Kawasan

Hutan Tanaman Jati di Cepu. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Badan Litbang Kehutanan. Surakarta.

Waterloo, M.J. 1994. Water and nutrient dynamics of Pinus caribaea

plantation forests on former grassland soils in Viti levu, Fiji. PhD dissertation. Vrije Universiteit van Amsterdam, Amsterdam, the Netherlands.

Wibowo, A. 2006. Usulan Kegiatan Penelitian (UKP) Tahun Anggaran 2006-

2007: Pengelolaan Lingkungan Hutan Tanaman. Puslitbang Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan, Dep. Kehutanan, Bogor.

162

Lampiran 1. Hasil pengukuran nilai ET tahunan pada masing-masing plot

Spesies tanaman

Lokasi Plot / (th) CH

(mm) Nilai ET (mm/th)

(%) ET thd CH

Sengon Wonosobo Plot 1 (Th. 2012) 2.487 867 34,9

Plot 2 (Th. 2012) 2.487 705 28,3

Plot 3 (Th. 2012) 2.487 553 22,2

Akasia Wonogiri Plot 1 (Th. 2012) 2.045 713 34,9

Plot 2 (Th. 2012) 2.045 609 29,8

Plot 3 (Th. 2012) 2.045 468 22,9

Sumsel Th. 2007 2.754 1.618 58,8 Th. 2008 3.383 2.068 61,1

Kayu putih Grobogan Th. 2012 981 397 40,5

Gunung Kidul

Plot 1 (Th. 2012) 1.969 602 30,6

Plot 2 (Th. 2012) 1.780 621 34,9

Ponorogo Th. 2012 1.982 750 37,8

Nyamplung Karanganyar Plot 1 (Th. 2012) 1.983 537 27,1

Plot 2 (Th. 2012) 1.983 456 23,0

Mahoni Ngawi Plot 1 (Th. 2012) 1.665 609 36,6 Plot 2 (Th. 2012) 1.665 522 31,4

Ekaliptus Riau Th. 2008 2.813 1.345 47,8

Th. 2009 2.679 1.433 53,5

Th. 2010 2.783 1.834 65,9

Th. 2011 1.663 1.188 71,4

219

Lampiran 1. Jadwal Acara JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN TEKNOLOGI

PENGELOLAAN DAS

Surakarta, 12 Juni 2013

Waktu Acara Perangkat Sidang

Pembicara(1), Moderator(2), Perumus(3), Notulis(4)

A. REGISTRASI 8.00 – 8.30 Pendaftaran ulang Panitia

B. PLENO – PEMBUKAAN 8.30 – 8.40 Doa Panitia 8.40 – 8.50 Menyanyikan lagu Indonesia Raya Panitia 8.50 – 9.00 Laporan Panitia Penyelenggara oleh

Kepala BPTKPDAS Ir. Bambang Sugiarto, MP. (1)

9.00 – 9.30 1. Arahan dan Pembukaan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Dr. Ir. R. Iman Santosa, M.Sc (1)

9.30 – 10.00 2. Keynote Speech : Permasalahan Pengelolaan DAS di Jawa Tengah (Integrasi Lintas Sektor) dan Dukungan Litbang Pengelolaan DAS yang Diperlukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah diwakili oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah

Dr. Ir. Sri Puryono, KS, MS diwakili oleh Ir. Bowo Suryoko, MM(1)

10.00 – 10.15 REHAT KOPI C. SIDANG KOMISI

SIDANG KOMISI I Sistem Pengelolaan DAS

Ir. Paimin, M.Sc(2) Nunung Puji Nugraha, S.Hut., M.Sc (3) Wahyu Wisnu Wijaya, S.Hut (4)

10.15 – 10.30 1. Aspek Hukum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Dr. AL. Sentot Sudarwanto, SH., M.Hum(1)

10.30 – 10.45 2. Hubungan Antara Luas Hutan Pinus Dan Aliran Dasar Di Sub Das

Drs. Irfan Budi Pramono, M.Sc(1)

220

Waktu Acara Perangkat Sidang

Pembicara(1), Moderator(2), Perumus(3), Notulis(4)

Kedungbulus, Gombong 10.45 – 11.00 3. Karakteristik Banjir di Sub DAS

Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri Ir. Gunardjo Tjakrawarsa, M.Sc(1)

11.00 – 12.00 DISKUSI

SIDANG KOMISI II Teknologi Pengelolaan DAS

Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc (2)

Agung Wahyu Nugroho, S.Hut., M.Sc (3) Wiwin Budiarti, S.Hut (4)

10.15 – 10.30 1. Model Pengendalian Banjir Terpadu Berdasarkan Parameter Utama Penyebab Banjir di DAS Bengawan Solo Hulu

Alif Noor Anna(1)

10.30 – 10.45 2. Kajian Pertumbuhan Sengon Dan Jabon Dalam Rehabilitasi Lahan Terdegradasi Di Tlogowungu Pati

Ir. Heru Dwi Riyanto(1)

10.45 – 11.00 3. Penggunaan Air oleh Tanaman (Crop Water Requirements) Beberapa Jenis Pohon Cepat Tumbuh

Agung Budi Supangat, S.Hut, MT(1)

11.00 – 12.00 DISKUSI 12.00 – 13.00 ISHOMA

SIDANG KOMISI I Sistem Pengelolaan DAS

Ir. Paimin, M.Sc(2) Nunung Puji Nugroho, S.Hut., M.Sc (3) Wahyu Wisnu Wijaya, S.Hut (4)

13.00 – 13.15 4. Pendayagunaan Data Penginderaan Jauh yang Bebas Diunduh untuk Mengakses Beberapa Parameter Lahan

Dr. Tyas Mutiara Basuki(1)

13.15 – 13.30 5. Membangun Kelembagaan Konservasi Tanah dan Air di Hulu Sub DAS Gandusuwaduk, Pati - Jawa Tengah

Ir. C. Yudilastiantoro, MP(1)

13.30 – 13.45 6. Pemetaan Kawasan Rawan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem

Arina Miardini, S.Hut(1)

221

Waktu Acara Perangkat Sidang

Pembicara(1), Moderator(2), Perumus(3), Notulis(4)

Informasi Geografis Sebuah Studi Kasus di Taman Nasional Bali Barat

13.45 – 14.45 DISKUSI

SIDANG KOMISI II Teknologi Pengelolaan DAS

Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc (2)

Agung Wahyu Nugroho, S.Hut., M.Sc (3) Wiwin Budiarti, S.Hut (4)

13.00 – 13.15 4. Kandungan Hara dan Tingkat Erosi Pada Lahan Miring Bersolum Dangkal

Ir. Nining Wahyuningrum, M.Sc(1)

13.15 – 13.30 5. Identifikasi Karakteristik Biofisik Daerah Aliran Sungai Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis

Drs. Agus Wuryanta, M.Sc(1)

13.30 – 13.45 6. Kajian Unsur Hara Tanah Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) di Pantai Berpasir Petanahan Kebumen

Ir. Beny Harjadi, M.Sc(1)

13.45 – 14.45 DISKUSI D. PLENO – PRESENTASI SUMMARY

HASIL SIDANG KOMISI Ir. Adi Susmianto, M.Sc

(2)

14.45 – 15.05 Presentasi Ringkasan Hasil Sidang

Komisi I Ir. Paimin, M.Sc(1)

15.05 – 15.25 Presentasi Ringkasan Hasil Sidang Komisi II

Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc (1)

15.25 – 16.00 Perumusan dan Diskusi Hasil Sidang Komisii I dan II

Ir. Purwanto, M.Si (3)

E. PENUTUPAN 16.00 – 16.30 Penutupan oleh Kepala Pusat Litbang

Konservasi dan Rehabilitasi Ir. Adi Susmianto, M.Sc (1)

16.30 – 17.00 REHAT KOPI

222

Lampiran 2. Daftar Peserta

DAFTAR PESERTA SEMINAR NASIONAL

HASIL PENELITIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAS” Surakarta, 12 Juni 2013

No Nama Instansi

1. Engkos Kosasih BPTH Jawa Madura 2. Lukman Jarir Dishutbun Banjarnegara 3. Agung WN BPTKPDAS 4. Gunardjo Tjakrawarsa BPTKPDAS 5. Dewi Subaktini BPTKPDAS 6. Beny Harjadi BPTKPDAS 7. Nining Wahyuningrum BPTKPDAS 8. Nur Ainun Jariyah BPTKPDAS 9. Susi Abdiyani BPTKPDAS 10. Heru Dwi Riyanto BPTKPDAS 11. Rahma Dewi BPK Palembang 12. Murzat Sobri SMA Batik 13. Agus Wuryanta BPTKPDAS 14. Wiwin Budiarti BPTKPDAS 15. TM Basuki BPTKPDAS 16. Irfan BP BPTKPDAS 17. Dadang M BPTKPDAS 18. Bambang DA BPTKPDAS 19. Siswo BPTKPDAS 20. Dewi Estu M Dinas Pertanian 21. Wahyu Wisnu W BPTKPDAS 22. Aris Boediyono BPTKPDAS 23. Dody Yuliantoro BPTKPDAS 24. Eva YR BPTPTH Bogor 25. Saeful Hidayat BTN Gn Merbabu 26. Armin Nugroho BPBD Jateng 27. Untung Rubayan BPBD Jateng 28. Bambang Dwi TN Merapi 29. Purwanto BPTKPDAS

223

No Nama Instansi

30. Rahardyan BPTKPDAS 31. C Nugroho S Sekbadan Litbang 32. Agung BS BPTKPDAS 33. C. Yudilastiantoro1 BPTKPDAS 34. Nunung PN BPTKPDAS 35. Gunarti BPTKPDAS 36. Sumardi BPK Kupang 37. S. Agung Sri Raharjo BPK Kupang 38. Agus Sugianto BPTKPDAS 39. Edi Sulasmiko BPTKPDAS 40. Asep Hermawan BPTKPDAS 41. Ragil Bamban g BPTKPDAS 42. Andy Cahyono BPTKPDAS 43. Arina Miardini BPTKPDAS 44. Agus Munawar BPTKPDAS 45. Sudarso BPTKPDAS 46. Prabang Setyono UNS Pasca 47. Joko Prihatno BBKSDA Jateng 48. La Ode Asir BPK Manado 49. Ibnu SM Puskonser 50. Eva B. Sinaga BPK Manado 51. Tri Wulandari Puskonser 52. M. Farid Fanani BPK Manado 53. Nur Sumedi Balitek KSDA 54. Choirul Ahmad BPK Palembang 55. Iton BPK Aek Nauli 56. Dyah Arum K BKSDA Jateng 57. Bambang Pujiarmanto BKSDA Jateng 58. Syafii Ash Shiddiqie BPDAS Sampean 59. Annisa Aulia FP UNS 60. Haries Apriliyana FP UNS 61. Syahrul Donie Pusprohut 62. Sagiman Perum Perhutani 63. Hani Dwi Trisnaningsih BDK Kadipaten 64. Budi Sulihanto Hutbun Sragen

224

No Nama Instansi

65. Paimin BPTKPDAS 66. Kusrin BPTKPDAS 67. AL Sentot Sudarwanto FH UNS 68. Nurhasanah BPDAS Citarum Ciliwung 69. Kurniawan Sigit W FP Unibraw 70. Salamah Retnowati BPTKPDAS 71. Iman Santoso Litbang Kehutanan 72. Sri Astuti Soedjoko UGM 73. Listra Shelly Vita N UGM 74. Jalma Giring S UGM 75. Aries Horizon BPBD Prov Jateng 76. Forila DA BPTKP Jatim 77. Samsudi Pusdiklat 78. Retno Maryani Puspijak Bogor 79. Aryana Citra K BPTP Jateng 80. Fauzi Mas'ud Puskonser 81. Suratno Dishutbun Grobogan 82. Firmansyah Afandi BPK Banjarbaru 83. Alif Noor Anna F. Geografi UMS 84. Fitriyani F. Geografi UMS 85. Hardono FKDC 86. Zainuddin Fanani Dishutbun Grobogan 87. Ika Yulianti BBWS Bengawan Solo 88. Yuli Priyana Fak. Geografi UMS 89. NP Rahadian FKDC Banten 90. Retisa Mutiaradevi Setbadan 91. Agus Tampubolon Puskonser 92. Edy Subagyo BBPBPTH 93. Nana BBPBPTH 94. Ugro Hari Murtiono BPTKPDAS 95. Bowo Suryoko Dinas Kehutanan Jateng 96. Sri Widayadi Dinas Kehutanan Jateng 97. Agus S Balitbang 98. Raharjo Dinas Kehutanan Jateng 99. Prasodjo Puslitbang Perhutani

225

No Nama Instansi

100. Rahmad Balitbang Jateng 101. Sri Sulawati Pusprohut 102. Harry BJ BPTA Ciamis 103. Evi Irawan BPTKPDAS 104. Nana Haryanti BPTKPDAS 105. Joko Purwanto BPDAS SOP 106. Sri Jarwadi Hutbun Wonogiri 107. Sunarto Gunardi FTP UGM 108. Sukirno FTP UGM 109. Verina Ristianti Balai KPH YK 110. Johni Perhutani 111. Nur Sihmiati BPDAS Solo 112. Widiyanti BPDAS Solo 113. Supriyadi BAPPEDA Sukoharjo 114. Arief W Dispertan Klaten 115. Kus Wardani BPTKPDAS 116. Adi Susmianto Puskonser 117. Muhadi Puslitbang Cepu 118. Dewi Retna I BPTKPDAS 119. Ambar Kusumandari Fahutan UGM 120. Yayat Sigit HT Puspijak 121. M Yanuar MT Dishutbun Banten 122. Sudarmanto Puspijak 123. Corryanti Puslitbang Cepu 124. Mesri Ferdian BPTKPDAS 125. Anung Wijayanti BPTKPDAS 126. Sri Baruni BPTKPDAS 127. Istiyadi BPTKPDAS 128. Radyastono BPTKPDAS 129. Supriyanto BPTKPDAS 130. Eko Priyanto BPTKPDAS 131. Tommy Kusuma AP BPTKPDAS 132. Wahyu Budiarso BPTKPDAS 133. Mariska BPTKPDAS 134. Sururi BPTKPDAS

226

No Nama Instansi

135. Farika Dian N BPTKPDAS 136. Nidhomuddin BTN Merbabu 137. M. Fachrur Rozi BTN Merbabu 138. Dwi Purnomo BTN Merbabu 139. Amin Suranto BPTKPDAS 140. B. Wirid A BPTKPDAS 141. M. Shidiq BPTKPDAS 142. Bambang Sugiarto BPTKPDAS 143. Bambang Subandrio BPTKPDAS 144. Deddy Kusnadi BPTKPDAS 145. Ana Pangaribuan BPTKPDAS 146. Tri Endah BTN G Merbabu 147. Yusuf Irianto BPTKPDAS 148. Suparno BPTKPDAS 149. Tri Wahyuni BTN Gn Merbabu 150. Taryoto BTN Gn Merbabu 151. Kuwat Raharjo BTN Gn Merbabu 152. Arjuna BTN Gn Merbabu 153. K. Adi Wirawan BTN Gn Merbabu 154. Azis Zaelani BTN Gn Merbabu 155. Sutikno BTN Gn Merbabu

227

Lampiran 3. Hasil Diskusi Arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan : Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc Seminar diselenggarakan dalam rangka menyemarakkan

peringatan 100 tahun Badan Litbang Kehutanan. Semangat untuk senantiasa membangun dunia kehutanan agar lebih baik telah ada sejak jaman dahulu dan harus dijaga sampai sekarang.

Dalam peringatan 100 tahun Kelitbangan Kehutanan, Menteri Kehutanan menyebutkan bahwa Iptek merupakan landasan kebijakan dan etika membangun hutan lestari dan peradaban bangsa.

Bangsa Indonesia sangat berpotensi, dan memiliki sumberdaya manusia yang baik untuk dapat digunakan sebagai modal dasar yang kemudian didukung dengan iptek untuk membangun dunia kehutanan.

Kebutuhan iptek pengelolaan DAS; lebih difokuskan pada pengatasan masalah perubahan iklim, kerusakan DAS, deforestasi degradasi hutan dan lahan kritis, intervensi manusia terhadap SDH terlalu berlebihan, kebutuhan lahan yang tinggi.

Solusi masalah : pendekatan lansekap DAS. Peran BPTKPDAS sangat diharapkan untuk ikut berpartisipasi

dalam pengelolaan DAS. Dengan SDM yang cukup kuat, sarana dan prasarana yang cukup, diharapkan hasil penelitian bisa bermanfaat untuk membangun kehutanan.

BPTKPDAS harus ikut dengan agenda pembangunan Jawa Tengah, sehingga arah riset untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat di wilayah Jawa Tengah.

Keynote Speech : Ir. Bowo Suryoko, MM “Permasalahan Pengelolaan DAS di Jawa Tengah (Integrasi Lintas Sektor) dan Dukungan Litbang Pengelolaan DAS yang diperlukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah” 20 DAS di Jawa Tengah kondisinya kurang memadai dan masuk

prioritas untuk mendapatkan penanganan agar bisa dipulihkan daya dukungnya.

Rendahnya daya dukung DAS merupakan penyebab terjadinya bencana alam.

228

Hal ini akibat kurang terpadunya pengelolaan DAS apalagi di era otonomi daerah, pembangunan wilayah lebih diutamakan kepada faktor ekonomi dengan kurang memperhatikan faktor lingkungan.

Pengelolaan yang tidak sinergis akan merugikan yang lain, DAS tidak bisa hanya dilihat dari satu sektor misal airnya, atau hutannya, tapi harus semua sektor.

Pengelolaan hendaknya dilakukan secara terpadu agar tidak menyebabkan konflik.

PP 37 Th 2012 menjadi payung hukum agar tercapai penyelenggaraan pengelolaan DAS di Jawa Tengah yang terpadu.

Upaya pengelolaan DAS hendaknya tidak hanya melalui penanaman saja tetapi juga harus didukung dengan penelitian.

Penelitian juga tidak hanya aspek fisik/teknis saja namun juga mempertimbangkan aspek sosial.

Upaya penelitian DAS perlu didorong agar memajukan pengelolaan DAS di Jawa Tengah.

Salah satu yg penting yakni penelitian mengenai baku mutu air agar dapat mengetahui besarnya air bersih yang dapat dinikmati oleh penduduk di Jawa Tengah seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk.

Sidang Komisi I “Sistem Pengelolaan DAS” Moderator : Ir. Paimin, M.Sc Perumus : Nunung Puji Nugroho, S.Hut, M.Sc Notulen : Wahyu Wisnu Wijaya, S.Hut Makalah : 1. Aspek Hukum Pengelolaan DAS berdasarkan PP No 37 Tahun 2012

tentang PDAS (Pembicara : Dr.Al. Sentot Sudarwanto, SH, M.Hum) Ada 2 undang-undang yang mengatur DAS, yakni UU

Kehutanan (3 pasal) dan UU SDA (1 pasal). Baru muncul adanya kebijakan pemerintah yakni PP 37 tahun

2012, yang menjadi payung hukum. Falsafahnya mengatur dari hulu sampai hilir.

Diharapkan akan ada grand design dengan payung hukum PP 37 dalam pengelolaan DAS, untuk terjadi sinergi dan sinkronisasi.

229

Tujuan Pengelolaan DAS sesuai dengan tujuan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Untuk mencapai tujuan itu perlu keterpaduan sehingga perlu membangun keterpaduan antar pemangku kepentingan.

Dalam membangun keterpaduan perlu koordinasi integrasi sinkronisasi.

Mandat PP 37 adalah wewenang Pengelolaan DAS oleh pemerintah daerah.

Menurut surat edaran Mendagri, Pemerintah daerah diharapkan segera menyiapkan produk hukum.

Keterpaduan yakni pertimbangan ekonomi dengan ekologi, perencanaan sektor dan instansi terkait.

Dalam aspek kelembagaan DAS pada kenyataannya masih bekerja sendiri.

Strategi implementasi PP 37 : RPDAST Bengawan Solo yang merupakan panduan dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo, mendorong dibuatnya Perda tentang Pengelolaan DAS terpadu sebagai pengikat sektor, instansi antar wilayah, perlu adanya sosialisasi mengenai RPDAST.

2. Hubungan antara luas hutan pinus dan aliran dasar di Sub DAS Kedungbulus, Gombong (Pembicara : Drs. Irfan Budi Pramono, MSc) Hutan bermanfaat sebagai pengatur tata air. Aliran dasar adalah aliran yang berasal dari air tanah

(groundwater out flow). Aliran dasar merupakan salah satu komponen penting sebagai

indikator kontinuitas aliran. Perlu mengukur debit aliran dasar sebagai indikator

kontinuitas aliran. Pada musim kemarau, hutan pinus masih dapat menyimpan

air.

3. Karakteristik Banjir di Sub DAS Wuryantoro Kabupaten Wonogiri (Pembicara : Ir. Gunardjo Tjakrawarsa, M.Sc.) Kejadian banjir akhir-akhir ini mempunyai dampak kerusakan

yang parah, Salah satu subdas (wuryantoro) kurang menyerap air hujan

dominasi penggunaan non hutan.

230

Perlu mengetahui hubungan antara karakteristik hujan dan banjir dengan penutupan lahan.

Karakteristik banjir dinyatakan dalam debit puncak dan waktu puncak yang dipengaruhi oleh tebal hujan lama hujan, intensitas hujan dan antecedent soil moisture condition (AMC).

4. Pendayagunaan data penginderaan jauh yang bebas diunduh untuk mengakses beberapa parameter lahan (Pembicara : Dr. Tyas M Basuki) Penggunaan data penginderaan jauh dari citra satelit yg bebas

di unduh memberikan tingkat akurasi yang baik. Klasifikasi kelas lereng dengan DEM ASTER menghasilkan

akurasi total sebesar 79,5% dengan nilai kappa 0,67 yang tergolong sangat sesuai (substantial agreement). Akurasi total 70% dengan kappa 0,60 diperoleh pada klasifikasi penutupan lahan menggunakan citra quickbird yang diunduh dari google earth.

5. Membangun kelembagaan konservasi tanah dan air di hulu sub DAS Gandusuwaduk Pati Jawa Tengah (Pembicara : Ir. Yudilastiantoro, MP) Proses membangun kelembagaan konservasi tanah dan air

dilakukan melalui kerjasama antara instansi/lembaga kepada kelompok tani, antar anggota kelompok tani dengan masyarakat desa dalam pengelolaan lahan lestari berbasis konservasi tanah dan air untuk meningkatkan produksi dan pendapatan.

Kelembagaan yang berperan penting yakni Dinas Pertanian dan kehutanan kabupaten, Perum Perhutani KPH Regaloh dan para anggota kelompok tani wana lestari.

6. Pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan dengan menggunakan

teknologi penginderaan jauh dan SIG sebuah studi kasus di Taman Nasional Bali Barat. (Pembicara : Arina Miardini, S.Hut) Kerentanan kawasan TNBB terhadap kebakaran hutan dgn

mempertimbangkan faktor tipe vegetasi, kelerengan, arah lereng, jarak dari jalan dan jarak dari pemukiman didominasi oleh kelas sedang sebesar 31,28 % dari luas kawasan.

231

Kelas tersebut terdapat pada hutan musim dan hanya sebagian terdapat pada hutan dataran rendah.

HASIL DISKUSI : Sesi I NO NAMA DISKUSI

PERTANYAAN, SARAN DAN MASUKAN :

TANGGAPAN

1 Lukman (Dinas Kehutanan Kab. Banjarnegara)

Makalah 1 : Makalah mengenai aspek hukum Pengelolaan DAS harus ada keterpaduan antar pemangku kepentingan. Dikarenakan instansi yang menangani masalah kehutanan sangat banyak, sehingga untuk di daerah sering dijadikan sebagai leading sector dalam Pengelolaan DAS. Kesulitan yang dihadapi untuk mencapai keterpaduan. Bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk membangun keterpaduan? Makalah 2 : Apakah benar bahwa hutan pinus rakus terhadap air?

Makalah 1 : Memang banyak SKPD yang mempunyai tupoksi terkait dengan DAS, lalu bagaimana cara untuk membangun keterpaduan? Pengikatnya yakni grand desain RPDAST yang secara partisipasif yang dibangun oleh lembaga formal dan non formal secara bersama. Implementasinya pada stake holder terkait, masing-masing akan melakukan sesuai konteks besar yg telah disepakati bersama. (tidak membuat organisasi baru. Makalah 2 : Hasil penelitian sebelumnya memang menyebutkan kebutuhan air di Jawa sangat tinggi. Namun bergantung pada curah hujan yg ada, karena tidak semua daerah menghadapi masalah. Masalah kebutuhan air tergantung pada site

232

NO NAMA DISKUSI spesifik. Untuk mengetahui tentang kebutuhan air tanaman bisa di cari hasil penelitian di website www.google.com

2 Tuti (Fakultas Kehutanan UGM)

Makalah 1 : Komitmen dan kontribusi berbagai lembaga terhadap Pengelolaan DAS sudah banyak tetapi kalau ada peraturan yang kurang tepat, siapa yang akan menjadi “wasit” (penengah) ? (karena masing-masing lembaga tidak punya kekuatan) Makalah 2 : Saya senang sekali karena meneliti tentang berapa luas hutan pinus yang ada dan hubungannya dengan air tersedia, sarannya agar dilanjutkan lagi dan ditambahkan dengan rumus barrens yakni untuk mengetahui sampai berapa hari hutan pinus bisa mengeluarkan air.

Makalah 1 : Didalam norma sudah ada, sebagai contoh ada peraturan daerah yang mengsle (kurang tepat) karena ada kepentingan ada beberapa kepentingan tertentu dan itu sudah dibatalkan. Seringnya Perda dibuat agak lama tergantung pada komitmen dan dari akademisi, forum, maupun yang lain dapat mendesak legislatif dan eksekutif agar cepat. Bilamana ada peraturan yang cacat tidak apa-apa asalkan dalam pelaksanaan punya komitmen bagus pasti hasilnya juga akan bagus. Makalah 2 : Dari segi banjir, hutan pinus bisa mencegah banjir 33% dan jati 55%. Untuk aliran dasar, karena baru awal, jadi baru dilihat pada 52% luas. Terimakasih atas sarannya, dan penelitian nantinya bisa dilanjutkan lagi.

233

NO NAMA DISKUSI

3 Supriyadi (Forum DAS)

Makalah 1 : Di Jawa Tengah ada forum DAS, di Jawa Timur juga, dll, tapi payung hukum forum DAS belum ada. Apakah memang seharusnya forum DAS bersifat sektoral atau lintas sektoral? Makalah 2 : Didalam penelitian menunjukkan ada korelasi antara beberapa faktor terhadap aliran dasar, namun masih perlu kejelasan hubungan antara luas hutan dgn aliran dasar karena belum diuji korelasinya.

Makalah 1 : Forum DAS memang ada banyak dan territorial (terkapling-kapling), kenapa begitu? Penyebabnya yaitu UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah karena wewenang ada pada wilayah. Jadi dari banyaknya forum perlu dipadukan, yang penting berjalan bersama-sama atau kolaborasi. Sekarang sedang digodok peraturan Menteri Kehutanan terkait dengan keberadaan forum das dan rencana akan dituangkan dalam 2 peraturan menteri. Makalah 2 : Dalam penelitian ini hutan merupakan salah satu faktor, faktor lain yang berpengaruh yakni geologi dan jenis tanah. Misal di hutan jati, ada pengaruh dari aquifer. Untuk itu kedepannya akan dilihat lagi korelasinya.

4 Nur Sumedi Makalah 1 : Dlm pengelolaan DAS ada pemikiran (sederhana): 1) Pengelolaan das

difokuskan pada wilayah berdasarkan

Makalah 1 : Langkah-langkah tersebut sangat setuju. Munculnya PP 37 karena amanat undang-undang, karena pada UU

234

NO NAMA DISKUSI pada ekosistem (misal pegunungan, pesisir), sehingga kemungkinan ada das lintas wilayah.

2) Negara ikut berperan dalam penentuan status hutan, sesuai dengan ketinggian (berdasarkan penelitian terdahulu).

3) Ada model agroforestry yang tepat untuk solusi di wilayah pegunungan.

Banyaknya stake holder memperumit sehingga harus ada 1 lembaga yang berperan sebagai pemimpin tapi selalu masih ada masalah. Makalah 3 : Saya mencoba memberi saran, ada salah satu metode cepat untuk bisa diadopsi sebagai penduga kejadian banjir (contoh di kalimantan) ada spesies burung yang membuat sarang secara alami sehingga selalu terhindar dari banjir. Mungkin bisa jadi bahan referensi.

Kehutanan cuma 3 pasal dan UU sda hanya ada 1 pasal itupun hanya pengertian. Oleh karena itu, meski rohnya dari kehutanan, tapi otomatis semua sektor harus taat karena peraturan pemerintah. Di Jakarta, para mentri dikabarkan sudah menyetujui sehingga tinggal menunggu implementasi (tindak lanjut).

Makalah 3 : Terimakasih, atas saran. Seperti diketahui pada penelitian ini sebenarnya sudah menambahkan AMC namun masih kurang tepat karena ada faktor evapotranspirasi yang perlu dipertimbangkan, sehingga untuk kedepannya perlu ditambahkan lagi.

5 Marto Makalah 1 : Kata kunci dari makalah yakni perlu membangun keterpaduan. Apa sudah ada sosialisasi PP Kehutanan terhadap kementerian lain.

Makalah 1 : Sudah disosialisasikan tapi masih terbatas Kemenhut Kemendagri dan Kemenlh, khususnya yang di Kemenhut sedang

235

NO NAMA DISKUSI Makalah 2 : Dalam penelitian lanjutan, faktor geologi seperti bagaimana yang akan dihitung. Makalah 3 : Bila dilihat dari koefisien yang dihasilkan yang nilainya kecil apakah itu akan berpengaruh terhadap debit puncaknya?

digodog 9 Permenhut (draft sdh jadi). Makalah 2 : Geologi fulkan tua, dengan solum dalam. Bila diterapkan di geologi lain misal di cepu kurang berpengaruh. Makalah 3 : Rencana akan ditambah data mengenai puncak-puncak banjir yang lain.

6 Hardono (Forum DAS Cidanau)

Makalah 1 : Sebenarnya pada era tahun 80-an Kemenhut sudah bikin RTLRLKT yang seiring berjalannya waktu ganti-ganti namanya, namun intinya tentang pengelolaan das terpadu. Masalah yang utama yakni kejar-kejaran untuk membuat pola (grand desain). Masih ragu kira-kira berjalan sampai berapa tahun PP ini. Selain itu, karena saling kejar-kejaran kenapa tidak dibuat UU yang 1 saja terhadap das. Forum das juga sudah mencoba dalam skala kecil, caranya dengan menunjuk SKPD dengan metode kekeluargaan yang hal ini padahal sebenarnya tugas ada di

Makalah 1 : Saya sependapat, memang pejabat selalu mengklaim produk baru. Yang penting tinggal menyikapi dan implementasi. Lembaga meskipun banyak tapi yang penting fungsinya. Kalau tupoksinya baik idealnya hasilnya pun akan baik. Bappeda hanya sebagai fungsi strategis. Undang-undang yang tidak sinkron memang benar.

236

NO NAMA DISKUSI bappeda. Makalah 2 : Sebenarnya hutan itu yang bagus seperti apa? Sebaiknya Kemenhut meneliti terkait homogenitas tanaman, jangan-jangan karena homogennya jadi penyebab kurang air.

Makalah 2 : Hutan yang bagus yakni hutan campuran multi stratum, namun karena masalah ekonomi beberapa daerah jadi monokultur.

7 Paimin Saran : Tolong yang disampaikan jangan hanya usulan kegiatan, namun masalah. Kalau itu sudah terjadi maka akan terwujud RPJM. Harus bisa menselaraskan antara alam dengan administrasi. Alami hanya alat untuk membuat analisis. Kita harus tahu bagamana menghubungkan (membangun komunikasi) tanpa konflik. PP 37 prosesnya tidak mandiri kehutanan tapi juga kementerian lain dan terasa di pasal-pasalnya. Misal di Kementerian PU.

Sesi II

NO NAMA DISKUSI PERTANYAAN, SARAN

DAN MASUKAN : TANGGAPAN

1 Bowo (Kadin Hut Jateng)

Hasil penelitian harus bisa ditindaklanjuti dan disosialisasi-kan sehingga

237

NO NAMA DISKUSI lebih membumi. Makalah 4 : a) Data itu mahal, apa

dengan data yang gratis validasinya dapat dipertanggung-jawabkan (akurat)?

b) Seberapa persen akurasinya kalau memang bisa?

Makalah 5 : Kenapa tidak dengan kelompok tani yang sudah ada? Kan lebih baik menggunakan kelompok yang ada dengan menggunakan metode yang pelan-pelan dan diterima masyarakat. Makalah 6 : Apakah yang dilakukan di taman nasional di bali bisa direplika di jateng? Melihat kondisi hutan yg ada.

a) Bila melihat jurnal internasional, ada suatu web yg menunjukan bahwa banyak peneliti yang sudah menggunakan google earth sebagai sumber data citra. Selain itu google earth juga dapat digunakan untuk validasi.

b) Caranya dengan melakukan groundcek. Perlu validasi dengan georeferencing agar selisih tidak terlalu besar.

Makalah 5 : Memang sedang dilakukan dengan kelompok tani yang sudah ada. Makalah 6 : Model yg sudah dipublis merupakan model universal, di TNBB model bersifat statis, untuk daerah yang lebih luas perlu model yang dinamis dengan mempertimbangkan faktor lain.

238

NO NAMA DISKUSI 2 Kabid Dinas

Kehutanan Jateng

Makalah 5 : Apakah sudah diinformasikan pada instansi terkait di daerah tersebut agar bisa ditindak lanjuti?

Makalah 5 : Sudah diinfokan

3 Supriyadi (Forum DAS)

Saran: a) Hindari kata-kata

mungkin, atau banyak analisis kualitatif.

b) Penelitian diarahkan kepada tren terkini.

Makalah 4 : Bila data tersebut diperoleh secara tunda, perlu dipertimbangkan waktu apabila yang akan dianalisis merupakan lahan pertanian. Makalah 5 : Pembentukan kelembagaan berbasis konservasi rawan gagal karena ada 3 aspek lain yg perlu diperhatikan (menimbulkan sesat pikir)

Makalah 4 : Salah satu caranya dengan pengecekan lapangan dan wawancara dengan penduduk setempat.

4 Kurniawan Sigit (univ brawijaya malang)

Makalah 4 : a) Data dem merupakan

data permukaan, apabila dibikin lereng bisa rancu. Apakah ada algoritma tertentu untuk membuat itu?

b) Usle untuk skala plot oke, tapi bila luas akan over estimate. Apa ada cara lain?

Makalah 4 : a) Apakah ada

algoritma belum diketahui secara pasti.

b) Yang diukur tingkat land unit kemudian diambil rata-rata tertimbang. Hasil cukup mendekati, namun masih perlu validasi.

239

NO NAMA DISKUSI Makalah 6: a) Buffer jalan yang

dilakukan gimana? b) Validasi seperti apa

yang dilakukan? c) Groundcek, ada satelit

yang bisa membaca titik api.

Makalah 6: a) Buffering dilakukan

pada 1 jalan b) Validasi dilakukan

pada lokasi yang pernah ada di TNBB

c) Masukan diterima

5. Giring (Mahasiswa UGM)

Makalah 4 : Bagaimana cara agar bisa meningkatkan akurasi

Makalah 6 : Apa ada pertimbangan untuk pemilihan lokasi

Makalah 4 : Meningkatkan akurasi dengan menggunakan multiband spectral, bisa digunakan dengan subpixel klasifikasi. Makalah 6 : Lokasi dipilih berdasarkan informasi kerawanan yang tinggi

6. Syamsudi

(Pusdiklathut) Penelitian makalah 5,6 mempelajari kasus. Mestinya ada beberapa tempat yang diteliti agar mendapat kesimpulan yg bisa dipakai oleh pengguna dari beberapa tempat. Membangun kelompok merupakan tugas seorang penyuluh, harapannya peneliti bisa meneliti dari banyak tempat.

7. Sunarto Gunadi

Makalah 6 : Formula itu awalnya pada hipotesis seperti apa? Apakah sama dengan model awal?

Makalah 6 : Model tersebut awalnya berawal dari turki, penulis mencari metode yang simple untuk mengembangkan model statis di taman nasional. Dari literature sebenarnya sangat

240

NO NAMA DISKUSI banyak model untuk bisa digunakan, namun bergantung pada tujuan. Model yg rumit terkadang akurasi malah lebih rendah, sehingga digunakan model dengan akurasi yang lebih tinggi.

SIDANG KOMISI II “Teknologi Pengelolaan DAS” Moderator : Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc Perumus : Agung Wahyu Nugroho, S.Hut, M.Sc Notulis : Wiwin Budiarti, S.Hut SESI I : 1. Makalah I Model Pengendalian Banjir Terpadu Berdasarkan

Parameter Utama Penyebab Banjir di DAS Bengawan Solo Hulu (Alif Noor Anna)

Tujuan : menganalisis pengaruh faktor utama penyebab banjir dan membuat model pengendalian banjir terpadu

Hasil : 3 faktor penyebab banjir : kondisi iklim, perubahan tata guna lahan dan kondisi morfologi sungai

Pengaruh iklim : pada bulan basah CH tinggi debit air tinggi Pengaruh alih fungsi lahan : hutan berkurang, kebun

bertambah, pemukiman bertambah. Ada pergeseran alih fungsi hutan dari hutan ke lahan yang dibudidayakan (kebun dan pemukiman) 2,5x maksimal.

Pengaruh dari besarnya alih fungsi lahan : debit akan meningkat

Surakarta morfologi wilayah termasuk cekung Pelurusan Sungai Bengawan Solo Hulu menyebabkan laju air

dan debit meningkat yang menyebabkan erosi tebing dan sedimentasi.

Model pengendalian banjir yang dapat diterapkan berdasarkan parameter CH metode sumur resapan, metode river side polder, metode kolam konservasi, metode perlindungan air tanah dan metode biopori.

241

Model Pengendalian Banjir Terpadu dengan mengikutsertakan masyarakat (selaku pelaku utama) dan pemerintah (fasilitator) dalam upaya pengelolaan sumber daya air.

2. Makalah II. Evaluasi Pertumbuhan Sengon dan Jabon dalam

Rehabilitasi Lahan Terdegradasi di Tlogowungu Pati (Heru Dwi Riyanto)

Tujuan : mengevaluasi pemilihan jenis yang sesuai dalam upaya rehabilitasi lahan dan KTA berlereng.

Metode : menerapkan 4 model RLKT kombinasi jenis tanaman Model A : Sengon Model B : Jabon Model C : campuran sengon dan jabon Kontrol

Hasil : Untuk parameter rata-rata pertumbuhan tinggi (riap tinggi) untuk jenis tanaman Sengon lebih bagus daripada Jabon

Untuk parameter rata-rata pertumbuhan diameter (riap diameter) untuk jenis tanaman Sengon lebih bagus daripada Jabon

Persen hidup sengon lebih tinggi (88 %) daripada jabon (74 %) 3. Makalah III. Penggunaan Air oleh Tanaman (crop water

requirements) Beberapa Jenis Pohon Cepat Tumbuh (Agung B. Supangat)

Tujuan : mengetahui besarnya penggunaan air oleh tanaman dari beberapa jenis spesies cepat tumbuh di Indonesia.

Manfaat : untuk pemilihan jenis dan perencanaan pengelolaan tanaman

Metode : 6 jenis tanaman yang diteliti (Sengon, Mahoni, Akasia, Nyamplung, Ekaliptus dan Kayu Putih). Menggunakan instrument plot lisimeter.

3 faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi : faktor iklim, faktor tanaman dan faktor tanah (edafis).

Hasil : Nilai ET tahunan rata-rata tertinggi jenis tanaman Ekaliptus (1.450

mm/ 59,7 %) terendah Nyamplung (497 mm/ 25 %). Jenis tanaman yang sama jikan ditanam ditempat yang berbeda

karakteristik Keberadaan kondisi tanaman bawah ikut berpengaruh terhadap nilai

ET.

242

DISKUSI : No Nama Diskusi 1. Drs. Ugro H M, M.Si a. Banjir di DAS Solo, ada 2 parameter alami

dan manajemen. Beberapa parameter belum disinggung diantaranya parameter tentang morfometri DAS (bulat vs memanjang) waktu mencapai puncak lebih cepat dibanding DAS memanjang. Pola aliran . bagaimana kondisi morfometri DAS di Bengawan solo ?

2. Dr. Evi Irawan a. UMS permodelan tentang pengendalian banjir di DAS Solo seperti apa belum terlihat, faktor kependudukan (termasuk sebaran penduduk, growth) belum disampaikan apakah berpengaruh terhadap banjir itu sendiri. Untuk naturalisasi sungai perlu melihat kondisi ekologis sungai. Terkait partisipasi dalam PDAS yang seperti apa apakah bentuk partisipasinya representative atau di atau dalam tataran desa

b. Heru untuk kasus di Pati tergantung kondisi lahan, introduksi teknologi agroforestry yang seperti apa yang pelu dipaparkan untuk lahan yang sempit sehingga stabilitas keluarga di sekitar lahan tersebut masih bertahan

3. Sukirno, Fapertan UGM

a. Agung bagaimana merubah satuan % kedalam mm

b. Hasil penelitian bagus, perlu masukan nilai ET sangat tergantung pada lingkungan, ETO, indeks tanaman (KC), dan status lengasnya (KS), dalam penelitian ini KS adalah CH. Penelitian ini sangat bermanfaat apabila bisa menetapkan nilai KC dari masing-masing tanaman yang tidak berubah hanya tergantung jenis dan umur. Kalau nilai KC sudah ketemu maka akan mudah untuk menentukan standar ETO dan KS.

c. UMS intensitas CH dengan hidrograf dari sungai tersebut sehingga lebih mudah untuk menggambarkan kondisi banjir

4. Amin Nugroho, BPBD Jateng

a. UMS data citra satelit yang ditampilkan (th 1998 – 2002) perubahan alih guna lahan

243

No Nama Diskusi sangat signifikan. Apakah dari citra tersebut hasil mendekati sama kondisinya dengan th 2013.

b. Mana model yang paling unggul ? Apakah metode pengendalian banjir yang dihasilkan relevan untuk diterapkan di Waduk Wonogiri ?

c. Model pengendalian banjir dengan keterlibatan masyarakat contoh yang seperti apa ?

5. UMS a. Ugro, Sukirno lebih berkonsentrasi pada banjir di atas rata-rata. Morfometri DAS sangat berpengaruh termasuk kapasitas air, dan pola aliran. Penelitian lingkup luas sehingga tidak menghitung morfometri DAS, lebih berkonsentrasi potensi aliran permukaan, sehingga yang diteliti ada 3 parameter, CH, tekstur tanah dan perubahan penggunaan lahan. Kalau ditambah lagi dengan bentuk hidrograf akan sangat luas lagi, tetapi disini cukup menampilkan trend debit terhadap curah hujannya.

b. Nugroho, Evi penelitian sudah dilakukan sebelumnya dimana landsat 2013 belum ada, jadi menggunakan landsat 2002, tentunya kalau 2013 perubahan penggunaan lahan lebih signifikan. Tahun ini sudah dilakukan lagi menggunakan ikonos lebih detail lagi. Model pengendalian masih bersifat konseptual/ referensi, belum membuat demplot sehingga mana model yang paling unggul belum bisa ditetapkan. Dalam penentuan model pengendalian banjir yang sesuai perlu melihat morfometri/karakter sungai, topografi dan tanah dimana aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap model yang akan diterapkan.

c. Evi kependudukan sangat penting, bagaimana tekanan penduduk terhadap kondisi lahan, belum masuk kesana. Pendekatan menggunakan luasan pemukiman. Partisipasi yang konkret adalah

244

No Nama Diskusi yang timbul dari masyarakat itu sendiri melalui FGD dengan didukung oleh pemerintah sebagai fasilitator.

6. Heru D R a. Evi model agroforestry yang seperti apa yang cocok untuk diterapkan ? Tidak mudah untuk menggabungkan kegiatan teknis dan sosial secara bersam-sama dengan hasil yang sama-sama besar. Mencoba dengan membagi space lahan yang agak luas dengan jartan 5x5 m2 dengan jenis tanaman fast wood dengan mengembangkan tanaman pertanian misalnya tanaman bawah untuk pakan ternak (konsep tebang butuh).

7. Agung B S a. Sukirno prinsip perhitungan untuk pengukuran evapotranspirasi menggunakan plot lisimeter dengan perhitungan detil mm/tahun. Indeks tanaman (KC) setuju, pada penelitian ini belum ada penelitian masih berlanjut, nantinya akan ditentukan KC.

8. Ibu NN a. Heru pemanfaatan lahan dibawah tegakan untuk mengakomodir kebutuhan petani, dengan penanaman empon-empon atau tanaman pertanian bernilai ekonomi tinggi misalnya Porang.

b. Konsep tebang butuh tidak mengharapkan adanya kondisi tersebut. Sekarang ini untuk menghindari adanya tebang butuh ada pinjaman lunak.

9. Rahardyan N. A. a. UMS dari ketiga itu sudah dibandingkan belum potensi banjir terbesar yang mana sehingga penanganan akan lebih difokuskan ke tempat yang berpotensi besar

b. Agung Implementasi terhadap luasan yang lebih luas. Perlu ditelusur jumlah transpirasi dari tanaman seberapa besar ?

10. Dishutbun Wonogiri

a. UMS data yang dipakai s/d 2002, hasil apakah masih relevan dengan tahun sekarang.

b. Heru Sifat karakteristik jabon dibanding sengon dari fungsi ekonomi, karakteristik kayu, hubungannya terhadap manfaat, dari fungsi ekologis ?

245

No Nama Diskusi 11. UMS a. < 40 % Klaten

b. > 50 % Sragen, Madiun, Karanganyar c. Tadi sudah dijawab di atas.

12. Heru a. Pemanfaatan lahan sudah memberikan space untuk ditanami tanaman pertanian, salah satunya singkong. Konsep tebang butuh untuk aspek konservasi masih cocok untuk diterapkan (lereng miring) tetapi kalau untuk aspek produksi memang tidak cocok.

13. Agung B S a. Rahardyan akan dihitung nilai ET tertimbang.

14. Agus Tampubolon a. Model pengendalian banjir di DAS Solo Hulu merupakan kombinasi dari parameter CH, morfometri lahan dan perubahan alih guna lahan. Perlu model pengendalian terpadu dengan partisipasi masyarakat perlu lebih detil lagi

b. Model agroforestry di HR lahan sempt perlu digali lagi untuk meningkatkan daya dukung DAS

c. SESI II : 1. Makalah I. Kandungan Hara dan Tingkat Erosi pada Lahan Miring

Bersolum Dangkal (Nining Wahyuningrum)

Tujuan : memaparkan efek dari erosi dan penutupan lahan terhadap kesuburan tanah yang diwakili oleh kandungan unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh secara normal unsur N, C org (BO), P, K, kapasitas pertukaran kattion (KPK) dan kejenuhan basa (KB).

Lokasi : Sub DAS Keduang, Wonogiri Analisis data parameter sifat fisik dan kimia tanah. Prediksi erosi

menggunakan rumus USLE. Hasil : Meskipun didominasi oleh lereng terjal, erosi yang terjadi di

lokasi penelitian masih pada taraf sangat ringan – ringan (> 50%). Hal ini disebabkan oleh jenis penutupan lahan yang berupa hutan jati dan gamal yang mempunyai nilai C rendah.

Tingkat erosi ringan mempengaruhi kandungan P dan K dengan memberikan nilai rendah – sangat rendah. Sedangkan untuk N, C organik, KTK dan KB tidak begitu berpengaruh karena ada pada tingkat sedang-tinggi-sangat tinggi.

246

2. Makalah II. Identifikasi Karakteristik Morfometri DAS dengan

Menggunakan Teknologi PJ dan SIG (Agus Wuryanta)

Tujuan : untuk menghitung dan menentukan morfometri DAS (bentuk DAS, kerapatan drainase, pola aliran, dan kelerengan wilayah DAS) dan penutupan penggunaan lahan pada DAS Musi.

Lokasi DAS Musi mencakup 4 provinsi (Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Lampung), 14 Sub DAS.

Citra digital : citra landsat 5 TM (thematic mapper) Hasil :

a. Kelerengan DAS Musi hampir > 80% kelerengan datar. b. Bentuk DAS secara keseluruhan DAS Musi memanjang. Hanya

2 Sub DAS yaitu Sub DAS Kikin dan Sub DAS Deras bentuk DAS membulat. Bentuk DAS membulat hidrograf tinggi daerah potensi banjir, sedangkan memanjang hidrograf landai sehingga daerah berpotensi banjir, tetapi faktor tidak berdiri sendiri masih dipengaruhi faktor2 yang lain.

c. Kerapatan aliran tingkat kerapatan DAS Musi sangat jarang. d. Penutupan/Penggunaan Lahan luas keseluruhan di DAS Musi

(hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa sekunder dan hutan tanaman) masih kurang dari 30 %.

3. Makalah III. Kajian Unsur Hara Tanah pada Tegakan Cemara Laut

(Casuarina equisetifolia) di Pantai berpasir Petanahan Kebumen (Beni Harjadi)

Tujuan : mengkaji status unsur hara tanah pada lahan berpasir yang telah ditanami cemara laut.

Lokasi Ds. Karanggadung, Kec. Petanahan, Kab. Kebumen. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 3 tipe penggunaan lahan :

pasir terbuka, dibawah tegakan cemara laut dan dibawah tegakan tanaman semusim

Hasil : a. Secara berurutan status unsur hara tanah

DISKUSI : No Nama Diskusi 1. Alif, Fakultas

Geografi, UMS a. Nining Perbedaan kandungan unsur hara

dari setiap satuan lahan belum terlihat ?. dari informasi tersebut bisa untuk mengidentifikasi tingkat erosi. Pengaruh perbedaan solum terhadap besarnya nilai erosi.

247

No Nama Diskusi b. Agus hasil merupakan database yang

sangat penting. Terkait hasil penutupan lahan akan lebih baik jika mengklasifikasikan lahan ke satuan terkecil (Sub DAS).

c. Beny satuan wilayah yang digunakan (berbentuk segiempat) apakah berdasarkan letak geografisnya bukan geomorfologisnya ?

2. Budi, Dishutbun Sragen

a. Agus DAS Musi memiliki tingkat kerapatan sangat jarang, masukan di kesimpulan ditambahkan deskripsi disebabkan apa dan impact seperti apa ?. GIS yang digunakan tidak nampak agar ditampakkan?

b. Beny kondisi hujan mengapa harus disirami ?

3. Edi S a. Nining antara judul, tujuan dan kesimpulan belum nyambung. Hal 139. Nilai C pada UT 4 dan 5 lebih kecil daripada UT 1, apakah ini memang demikian atau penulisan terbalik. Kesimpulan : erosi yang terjadi ringan – sangat ringan apakah benar demikian sedangkan kalau dilihat dari lokasi penelitian memang sedikit tanah. Nilai erosi yang ditetapkan apakah sudah menghitung solum tanahnya ?

b. Beny di kesimpulan antara di 3 penggunaan lahan kandungan unsur hara berbeda nyata, sedangkan pada table 1 tidak berbeda nyata mohon dijelaskan ?. apakah sudah memasukkan input unsur hara/pupuk ?

4. Nining a. Alif (UMS) pada hal. 148 sudah dijelaskan ada 17 jenis satuan penggunaan lahan (SPL), hanya tidak didetailkan lagi, tetapi cukup memakai penggunaan lahan. Asumsi solum tipis pasti tidak subur dan erosi besar, tetapi tidak terbukti di lokasi kajian. Hal ini bisa disebabkan karena tekstur tanah di lokasi kajian sandyloam (geluh pasiran) selain itu juga adanya kerikil permukaan sehingga menghambat pergerakan tanah.

248

No Nama Diskusi b. Edi judul berdasarkan DRI sudah oke.

Berdasarkan prediksi dan kenampakan visual memang nilai erosi rendah.

5. Agus a. Alif (UMS) tidak perlu mengklasifikasi per Sub DAS, dan luasan yang digunakan cukup kecil, kalau diklasifikasi per Sub DAS dan di zoom akan pecah.

b. Budi kerapatan aliran dampaknya terhadap surface runoff, kerapatan jarang porositas tinggi, nanti akan disampaikan di kesimpulan. GIS

6. Beny a. Alif (UMS) pantai bentuk segiempat, maksudnya itu demplot yang diambil untuk kajian penelitian ditarik 100m dari garis pantai tertinggi.

b. Budi c. Edi di kesimpulan yang berbeda nyata

hanya PH dan C, sedangkan NPK tidak berbeda nyata.

7. Sukirno (BPBD Jateng)

a. Nining unsur apa yang menyebabkan erosinya rendah.

b. Beny mengapa air di pantai itu tawar, karena BJ antara air asin lebih rendah dari air tawar. Belum ada informasi mengani pengelolaan tanaman semusim ? manajemen sangat berpengaruh tidak semata-mata karena adanya penanaman cemara laut.

8. Amin Nugroho a. Bentuk DAS Musi memanjang, tampak petas DAS Musi membulat ?

9. Nining a. Sukirno hal 138, terlihat bahwa UT6 tidak ada tanamannya.

10. Agus a. Perbandingan antara luas dengan keliling kuadrat mendekati satu dikatakan bulat, tetapi kalau < 0,5 dikatakan memanjang. Penetuan secara kualitatif bukan subyektif.

249

PLENO PRESENTASI SUMMARY HASIL SIDANG KOMISI : Diskusi : No Nama Diskusi 1. Komisi II tidak hanya jenis vegetasi tetapi

unsur2 iklim juga menjadi faktor penentu 2. Kurniawan

Sigit_Unibraw Komisi I dalam menentukan batas DAS apakah penyiapan bahan sudah benar menurut PP37 pasal 6 termasuk citra satelit yang digunakan; aplikasi luas lahan optimal minimal luas 30 %.

3. Paimin Dalam PP37 tidak merinci sedetil itu. 30 % mandate UU41 hanya minimal 30 %, tidak menghitung kelas kemampuan lahan maupun slope, silahkan kalau untuk mengkaji terhadap faktor tersebut.

4. Syamsudi Tindak lanjut agar ada suatu titik yang bisa memberikan suatu rekomendasi teknologi yang sudah dikaji secara memadai oleh litbang, karena hasil penelitian arahnya akan menjadi bahan kebijakan yang nantinya akan menjadi petunjuk operasional. Teknologi siap pakai/ pemanfaatan hasil penelitian.

5. Adi Susmianto BPTKPDAS sudah cukup baik dalam menderiver hasil penelitian Dirjen BPDAS PS sebagai salah satu pengguna utama dari hasil litbang BPTKPDAS.

6. Adi Susmianto DAS Solo belum sehat Penggunaan IT (PJ dan SIG) diperlukan dalam PDAS Kelembagaan PDAS Rekomendasi perlu tindak lanjut sosialisasi, publikasi melalui media internet, TV, dll

7. Tri Wilaida Rumusan poin 8 dan 9 kurang pas untuk dicantumkan Sosialisasi sudah menjadi penekanan di Badan Litbang Kehutanan

8. Sudarso Menambahi terkait pertanyaan dari Bp. Kurniawan Sigit (Unibraw) dalam PP37/2012 terkait penentuan penyiapan penentuan batas DAS dalam penjelasan pasal 6 secara detil sudah dijelaskan.

9. Adi Susmianto Wrap Up : Tujuan dari seminar, adanya feedbad

250

No Nama Diskusi Yang melakukan kajian tentang DAS bukan

hanya BPTKPDAS Solo, ada PT, instansi PU, Perairan, dll, adakah forum yang melakukan sintesa terhadap hasil2 riset terkait PDAS. Hal itu sangat perlu untuk mengetahui adanya Gap dari berbagai sector. Dengan ditemukannya GAP terkait PDAS maka tentunya bisa untuk menjadi dasar penentuan penelitian kedepan (penelitian bisa untuk menjawab GAP) ?

Perlu dilakukan evaluasi, implementasi atas penerapan IPTEK yang dihasilkan, baik riset yang dilakukan oleh litbang maupun PT dan instansi lain ? tidak punya hak untuk memaksa pengguna/petani menerapkan hasil riset.

DAS mikro apakah sudah ada lokasi demplot DAS mikro ? Mohon untuk DAS mikro bisa untuk mengcover dari hulu s/d ke hilir.

Persoalan sosial PDAS yang sulit adalah persoalan sosial.