Post on 02-Dec-2021
MIKROENKAPSULASI SALBUTAMOL SULFAT DENGAN MATRIKS ETIL SELULOSA
MENGGUNAKAN METODE PENGUAPAN PELARUT
ATI HARSISA N111 07 043
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2011
MIKROENKAPSULASI SALBUTAMOL SULFAT DENGAN MATRIKS ETIL SELULOSA MENGGUNAKAN METODE PENGUAPAN PELARUT
SKRIPSI
untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana
ATI HARSISA
N111 07 043
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2011
PERSETUJUAN
MIKROENKAPSULASI SALBUTAMOL SULFAT DENGAN MATRIKS ETIL SELULOSA MENGGUNAKAN METODE PENGUAPAN PELARUT
ATI HARSISA
N111 07 043
Disetujui oleh :
Pembimbing Utama, Pembimbing Pertama, Dra. Aliyah, M.S., Apt. Dr. Latifah Rahman, DESS, Apt. NIP. 19570704 198603 2 001 NIP. 19570615 198403 2 002
Pada tanggal, November 2011
PENGESAHAN
MIKROENKAPSULASI SALBUTAMOL SULFAT DENGAN MATRIKS
ETIL SELULOSA MENGGUNAKAN METODE PENGUAPAN PELARUT
Oleh : Ati Harsisa N111 07 043
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Pada Tanggal 15 November 2011
Panitia Penguji Skripsi
1. Drs. H. Kus Haryono, MS., Apt. :………………..
(Ketua)
2. Drs. H. Burhanuddin Taebe, M.Si., Apt. : ……………….
(Sekretaris)
3. Dra. Aliyah, MS, Apt. : …………….....
(Ex. Officio)
4. Dr. Hj. Latifah Rahman, DESS, Apt. : ……………….
(Ex Officio)
5. Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. : ……………….
(Anggota)
Mengetahui : Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt NIP. 19560114 198601 2 001
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya saya
sendiri, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya ini tidak
benar, maka skripsi dan gelar yang diperoleh, batal demi hukum.
Makassar, November 2011
Penyusun,
Ati Harsisa
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah swt, karena atas taufik dan hidayahNya
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin.
Rasa bangga, hormat, dan terima kasih dengan tulus penulis
haturkan kepada Ibu Dra. Aliyah, M.S, Apt. selaku pembimbing utama dan
Ibu Dr. Latifah Rahman, DESS, Apt. selaku pembimbing pertama yang
senantiasa meluangkan waktu dengan penuh kesabaran dan pengertian
memberikan petunjuk, bimbingan, serta bantuan selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi, Bapak dan Ibu Dosen Farmasi, seluruh staf
dan karyawan Fakultas Farmasi.
2. Ibu Dra. Christiana Lethe, M.Si, Apt. atas kesabarannya dalam
memberikan petunjuk dan masukan.
3. Kak Andi Affandi dan pihak PT Hexpharm Jaya Lab. atas pengadaan
bahan baku.
4. Ketua Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Makassar beserta staf
atas bantuan fasilitas dalam penelitian ini, terutama Bapak Hendra
Stevani dan Putu Purna Wijaya.
5. Laboran Fakultas Farmasi terutama Ibu Adriana Pidun dan Ibu Sumiati
yang selalu setia membantu dalam penelitian ini.
Dengan sepenuh cinta, hormat, dan rasa bangga, penulis
menghaturkan terima kasih kepada :
- Ayahanda H. Muhammad Yusuf dan Ibunda Hatiah Yusuf, yang selalu
mencurahkan kasih sayang dan selalu berdoa untuk keberhasilan penulis.
Juga buat abang-abangku, Ir.Asrul Yusuf dan Andhi Yusuf, S.K.M, dan
kakak-kakakku tersayang, Asrah Yusuf, S.T.P dan Yusriati Yusuf, S.E.,
yang selalu mendukung dan memberi semangat.
- Sahabat-sahabat terbaikku: Kasmawathy teman seperjuangan yang
selalu setia dan sabar menemani dalam menyelesaikan penelitian ini,
Wiwi Hasmita, Achmad Himawan, Vynzzie Gunananda, Nur Afyfah, Jihan
Washita K., Indra Marianie Harun, Rezy Ulfayanti, yang selalu memberi
dukungan, bantuan, dan semangat, juga Wendy Ivannal Hakim, Nyoman
Devi Sidhi Astuti, dan Varyzcha Hafiza Tanjung, serta Agustinus S.
Sudarsa yang selalu memberikan semangat.
- Yusuf Polat yang selalu sabar mendengar keluh kesah dan tidak berhenti
memberi semangat.
- Senior-seniorku terutama Kak Julianri Sari Lebang, S.Si, Apt, Afrindah,
S.Si, Apt, Kak Rahmawati G. M, S.Si, dan Kak Alfianti.
- Teman-teman angkatan “Mixtura 07” atas kebersamaannya.
- Semua pihak yang ikut membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, tanggapan, saran, maupun kritik sangat
diharapkan dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga karya kecil ini
dapat bermanfaat. Amien.
Makassar, 2011
Penulis
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mikroenkapsulasi salbutamol sulfat yang disalut dengan etil selulosa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi etil selulosa terhadap kecepatan disolusi salbutamol sulfat. Mikrokapsul dibuat dengan metode penguapan pelarut dengan kecepatan pengadukan 700 putaran per menit dengan konsentrasi salbutamol sulfat dan etil selulosa 1:1 (F1); 1:2 (F2); dan 1:3 (F3). Mikrokapsul yang dihasilkan dievaluasi meliputi distribusi ukuran, uji interferensi, penentuan kadar zat aktif, dan uji disolusi. Hasil distribusi ukuran F1 memiliki rata-rata ukuran partikel 1116,67µm, F2 memiliki rata-rata ukuran partikel 1044 µm, dan F3 memiliki rata-rata ukuran partikel 795,67 µm. Untuk penentuan kadar zat aktif F1 menghasilkan rata-rata 207,24 bpj, F2 menghasilkan rata-rata kadar zat aktif 175,26 bpj, dan F3 menghasilkan rata-rata kadar zat aktif 154,97 bpj. Uji disolusi dilakukan dengan pengaduk keranjang dalam 900 ml media cairan lambung buatan tanpa enzim pH 1,2 selama empat jam dan media dapar fosfat pH 6,8 selama delapan jam pada suhu 37±0,5oC dengan kecepatan 50 putaran per menit. Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa formulasi mikrokapsul salbutamol sulfat dengan penyalut etil selulosa tidak memperlambat laju disolusi salbutamol sulfat. Mikroekapsulasi salbutamol sulfat dengan matriks etil selulosa kurang efektif dengan metode penguapan pelarut.
ABSTRACT
A research about microencapsulation salbutamol sulfate which is coated by ethyl cellulose had been done. The research was aimed to know the influence of concentrations ethyl cellulose to dissolution rate of salbutamol sulfate. Microcapsules were prepared by solvent evaporation method with speed of agitation 700 rpm with concentration of salbutamol sulfate to ethyl cellulose is 1:1 (F1); 1:2 (F2); 1:3 (F3). The microcapsules were evaluated for morphology, distribution of particles, drug content estimation, and dissolution studies. Distribution of particles are F1 resulted size particles about 1116,67µm, F2 resulted 1044 µm, and F3 resulted 795,67 µm. For drug content estimation, F1 contained about 207,24 ppm, F2 contained about 175,26 ppm, and F3 contained about 154,97ppm. The dissolution studies were performed in 900 ml pH 1,2, gastric fluid simulated without enzyme for four hour and pH 6,8 phosphate buffer for eight hour at 37±0,5oC, carried out using USP rotating basket method at 50 rpm. The dissolution studies showed that the dissolution rate of salbutamol sulfate can not be retarded by formulation of microcapsule coated by ethyl cellulose using solvent evaporation method. Microencapsulation of salbutamol sulfate using ethyl cellulose as matrix showed less effectiveness by using solvent evaporation method.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................ ix
ABSTRACT .......................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 4
II.1 Uraian Umum Tentang Sediaan Lepas Lambat ............................. 4
II.1.1 Keuntungan dari Sediaan Pelepasan Terkendali ........................ 5
II.1.2 Jenis-Jenis Sediaan Pelepasan Terkendali ................................ 8
II.2 Uraian Umum Mikrokapsul ............................................................. 12
II.2.1 Metode Mikroenkapsulasi ........................................................... 13
II.3 Uraian Umum Disolusi ................................................................... 19
II.3.1 Metode Disolusi .......................................................................... 20
II.3.2 Konsep Teori Pelepasan Obat dari Sediaan ............................... 22
II.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Disolusi ............. 23
II.4 Uraian Bahan ................................................................................. 24
BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN ................................................. 28
III.1 Alat dan Bahan yang Digunakan ................................................... 28
III.2 Formula Mikrokapsul ..................................................................... 28
III.3 Penetapan Kecepatan Pengadukan Mikrokapsul ......................... 29
III.4 Pembuatan Mikrokapsul................................................................ 29
III.5 Karakteristik Mikrokapsul .............................................................. 30
III.6 Pembuatan Media Disolusi ........................................................... 30
III.7 Penetapan Kadar Zat Aktif ............................................................ 31
III.8 Pelaksanaan Uji Disolusi............................................................... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 34
IV.1 Hasil Penelitian ............................................................................. 34
IV.2 Pembahasan ................................................................................ 36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 40
V.1 Kesimpulan .................................................................................... 40
V.2 Saran ............................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 41
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Rancangan Formula Mikrokapsul Salbutamol Sulfat.......................28
2. Distribusi Ukuran Partikel Mikrokapsul Salbutamol Sulfat .............................................................................................. 43
3. Nilai Serapan Salbutamol Sulfat dalam Media Cairan Lambung Buatan Tanpa Enzim pH 1,2 pada Panjang Gelombang 276 nm untuk Membuat Kurva Baku .......................................................... 45
4. Nilai Serapan Salbutamol Sulfat dalam Media Dapar Fosfat pH 6,8 pada Panjang Gelombang 276 nm untukMembuatKurva Baku ............................................................................................... 45
5. Nilai Serapan Mikrokapsul Salbutamol Sulfat untuk Pengukuran Kadar Zat Aktif ....................................................... .. 46
6. Kadar Salbutamol Sulfat dalam tiap Formula Mikrokapsul untuk Pengukuran Kadar Zat Aktif.............................. 46
7. Nilai Serapan Hasil Disolusi Mikrokapsul Salbutamol Sulfat Dalam Media Cairan Lambung Buatan Tanpa Enzim pH 1,2 ......................... ................ 47
8. Hasil Perhitungan Kadar (mg) Terdisolusi tiap Satuan Waktu Dalam Media Cairan Lambung Buatan Tanpa Enzim pH 1,2 .......................................................... 48
9. Hasil Perhitungan Persentase Terdisolusi tiap Satuan Waktu Dalam Media Cairan Lambung Buatan Tanpa Enzim pH 1,2 .......................................................... 49
10. Nilai Serapan Hasil Disolusi Mikrokapsul Salbutamol Sulfat Dalam Media Dapar Fosfat pH 6,8 ............................................................................................. 50
11. Hasil Perhitungan Kadar (mg) Terdisolusi tiap Satuan Waktu Dalam Media Dapar Fosfat pH 6,8 ................................................................................................ 51
12. Hasil Perhitungan Persentase Terdisolusi tiap Satuan Waktu Dalam Media Dapar Fosfat pH 6,8 ................................................................................................ 52
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kurva hipotesis level obat dalam darah terhadap waktu
untuk bentuk sediaan konvensional dan sediaan dengan pelepasan terkendali ............................................................. 6
2. Skema proses disolusi sediaan padat ................................... 22
3. Rumus bangun salbutamol sulfat .......................................... 25
4. Rumus bangun etil selulosa .................................................. 26
5. Rumus bangun aseton .......................................................... 27
6. Mikrokapsul salbutamol sulfat dengan kecepatan 500 putaran per menit .................................................................. 53
7. Mikrokapsul salbutamol sulfat dengan kecepatan 700
putaran per menit .................................................................. 53
8. Mikrokapsul salbutamol sulfat dengan kecepatan 1000 putaran per menit .................................................................. 53
9. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula I dengan kecepatan
pengadukan 700 putaran per menit ...................................... 54
10. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula II dengan kecepatan pengadukan 700 putaran per menit ...................................... 54
11. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula III dengan kecepatan pengadukan 700 putaran per menit ...................................... 54
12. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula I ................................ 55
13. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula II ............................... 55
14. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula III .............................. 55
15. Distribusi ukuran partikel mikrokapsul salbutamol sulfat formula I ............................................................................... 56
16. Distribusi ukuran partikel mikrokapsul salbutamol sulfat
formula II ............................................................................. 56
17. Distribusi ukuran partikel mikrokapsul salbutamol sulfat
formula III ........................................................................... 57
18. Kurva baku salbutamol sulfat dalam media cairan lambung buatan tanpa enzim pH 1,2 ................................................... 57
19. Histogram hasil perhitungan kadar salbutamol sulfat yang terdisolusi tiap satuan waktu dalam media cairan lambung buatan pH 1,2 ........................................................................ 58
20. Grafik persen terdisolusi dalam cairan lambung buatan pH 1,2 mikrokapsul salbutamol sulfat ......................................... 58
21. Kurva baku salbutamol sulfat dalam media dapar fosfat pH
6,8 ...................................................................................... 59
22. Diagram histogram hasil perhitungan kadar salbutamol sulfat yang terdisolusi tiap satuan waktu dalam medium dapar fosfat pH 6,8 ................................................................ 59
23. Grafik persen terdisolusi dalam dapar fosfat pH 6,8
mikrokapsul salbutamol sulfat ............................................... 60
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Skema kerja pembuatan dan evaluasi
mikrokapsul salbutamol sulfat ..........................................61
2. Contoh perhitungan jumlah salbutamol sulfat yang terdisolusi (data diperoleh dari formula I jam ke-1 dan ke-2 dalam medium dapar fosfat pH 6,8) .....................................................................62
BAB I
PENDAHULUAN
Salbutamol sulfat merupakan obat golongan beta agonis yang
selektif pada reseptor β-2 dan banyak digunakan sebagai bronkodilator
oral pada pasien asma atau pada pasien dengan obstruksi paru kronis.
Salbutamol sulfat memiliki sifat mudah larut dalam air sehingga langsung
diabsorbsi di saluran gastrointestinal dan diekskresi cepat dengan waktu
paro sekitar 4-6 jam (1). Dengan waktu paro tersebut, maka dosis yang
diberikan untuk pasien anak-anak atau dewasa adalah setiap empat
hingga enam jam, sehingga perlu dikembangkan dalam bentuk sediaan
lepas lambat. Bentuk sediaan lepas lambat dirancang agar pemakaian
satu unit dosis tunggal memberikan pelepasan sejumlah obat dengan
cepat dan menghasilkan respon terapeutik yang diinginkan secara
berangsur-angsur dan terus-menerus melepaskan sejumlah obat untuk
memelihara tingkat pengaruhnya selama periode waktu yang
diperpanjang, biasanya 8-12 jam. Keunggulan tipe bentuk sediaan ini
menghasilkan kadar obat dalam darah yang merata tanpa perlu
mengulangi pemberian unit dosis (2).
Salah satu bentuk sediaan lepas lambat adalah mikrokapsul, yaitu
bahan obat yang mengalami proses mikroenkapsulasi dengan polimer
yang biocompatible sehingga menghasilkan partikel yang berdiameter 1
hingga 1000 µm. Keuntungan mikrokapsul yaitu dapat menutupi rasa atau
bau, memperlambat pelepasan obat, meningkatkan kestabilan molekul
obat, meningkatkan bioavailabilitas, dan sebagai sediaan yang
menghasilkan pelepasan obat yang terkontrol (3).
Beberapa polimer yang dapat digunakan dalam pembuatan
mikrokapsul adalah etil selulosa, butirat asetat selulosa, ftalat asetat
selulosa, polimetakrilat, polikaprolakton (4).
Etil selulosa merupakan polimer dari β-anhidroglukosa yang
masing-masing dihubungkan dengan ikatan asetal. Polimer ini bersifat
non-toksik dan biocompatible (5), sehingga dapat digunakan sebagai
matriks untuk memodifikasi pelepasan obat, menutupi rasa yang tidak
enak, dan meningkatkan kestabilan formula. Etil selulosa larut dalam
pelarut organik atau campuran pelarut, namun dapat digunakan juga
untuk membentuk lapisan yang tidak larut air (3).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa etil selulosa sering
digunakan sebagai polimer untuk obat-obat yang larut dalam air
menggunakan metode penguapan pelarut emulsi ganda dan metode
kristalisasi sferis (4). Metode penguapan pelarut merupakan metode yang
sederhana dan sering digunakan untuk menghasilkan mikrokapsul dari
berbagai jenis bahan obat dan polimer yang berbeda (3).
Penelitian Goudanavar (6) menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi etil selulosa yang digunakan pada pembuatan mikrokapsul
salbutamol sulfat dengan metode koaservasi adisi tanpa pelarut
mengakibatkan semakin menurunnya laju pelepasan salbutamol sulfat.
Berdasarkan uraian di atas, timbul permasalahan yaitu apakah
salbutamol sulfat dapat dibuat sediaan lepas lambat dalam bentuk
mikrokapsul dengan metode lain. Untuk itu telah dibuat tiga formula
mikrokapsul salbutamol sulfat dengan matriks etil selulosa yang
divariasikan menggunakan metode penguapan pelarut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi etil
selulosa terhadap kecepatan disolusi mikrokapsul salbutamol sulfat
dengan metode penguapan pelarut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Uraian Umum Tentang Sediaan Lepas Lambat
Sediaan lepas lambat merupakan bentuk sediaan yang memberikan
pelepasan obat selama periode waktu yang diperpanjang. Tujuan utama
dari sediaan lepas lambat adalah memperoleh tingkat terapeutik dalam
darah maupun jaringan selama periode waktu yang lama (7).
Sediaan lepas lambat dapat diklasifikasikan berdasarkan prinsip yang
berbeda, sebagai contoh, berdasarkan rute pemberian, tujuan
penggunaan, dan berdasarkan mekanisme pelepasan obat. Pada
umumnya penggolongan dilakukan berdasarkan fenomena fisika kimia,
yang mengontrol laju pelepasan obat seperti secara difusi, mengembang,
osmosis, degradasi atau erosi, dan sebagainya (8).
Sediaan dengan sistem lepas lambat atau sustained release adalah
sediaan yang memberikan efek terapeutik dalam periode waktu yang
diperpanjang. Untuk memperoleh efek terapeutik yang lama dalam darah
sehingga diperlukan pelepasan obat orde nol. Contoh sediaan dari sistem
ini yaitu sistem prolonged-release, tablet repeat-action yang merupakan
sediaan yang mengandung dosis ganda dan setiap dosisnya dilepaskan
dalam interval waku tertentu, dan sistem delayed-release yang memiliki
fungsi untuk menahan obat dalam sediaan sebelum obat dilepaskan
misalnya tablet salut enterik (7).
Selain sustained release terdapat juga sistem controlled release yang
merupakan sistem yang dapat mengendalikan efek terapeutik yang
berdasarkan pada periode maupun target obat tersebut. Sistem ini
mengendalikan konsenstrasi obat pada saat dilepaskan pada lokasi
biologis dalam tubuh. Pada beberapa kasus, sistem controlled release
tidak memiliki sifat sustained release, namun cenderung menekankan
pada lokasi pelepasan obat. Sistem site-specific dan targeted-delivery
termasuk dalam kategori ini (7).
II.1.1 Keuntungan dari Sediaan Lepas Lambat Keuntungan dari sediaan pelepasan terkendali yaitu: 1. Mengoptimalkan profil waktu dan konsentrasi obat pada reseptor obat
dalam waktu pelepasan yang diperpanjang. Setiap obat memiliki
karakteristik, begitu pula dengan minimal effective concentration (MEC),
dimana konsentrasi di bawah MEC tidak akan memberikan efek
terapeutik meskipun obat berada di reseptornya. Selain itu, setiap obat
juga memiliki minimal toxic concentration (MTC), dimana konsentrasi di
atas MTC ini akan menyebabkan efek samping. Konsentrasi di antara
MIC dan MTC disebut therapeutic window atau therapeutic range yang
dapat berbeda berdasarkan jenis obatnya (8).
Gambar 1. Kurva hipotesis level obat dalam darah terhadap waktu untuk bentuk sediaan konvensional dan sediaan dengan pelepasan terkendali (7).
Idealnya, selama masa pemberian obat konsentrasi obat berada
dalam therapeutic window. Pada sediaan konvensional (immediate-
release), jika dosis keseluruhan obat langsung dilepaskan maka
tidak akan menyisakan obat sehingga dieliminasi dari tubuh yang
mengakibatkan penurunan konsentrasi pada reseptor. Dalam
banyak kasus, konsentrasi terapeutik obat hanya diperoleh dalam
waktu yang singkat. Sediaan lepas lambat dapat mengatasi
kekurangan ini, jika kadar pelepasan obat pada saat obat masuk
dalam tubuh dapat diatur, maka kadar obat pada reseptornya dapat
dikendalikan, untuk menghindari konsentrasi toksik maupun
konsentrasi subterapeutik (8).
2. Mengurangi frekuensi pemberian obat. Keuntungan ini sangat
penting untuk obat yang memiliki waktu paro in vivo yang pendek.
Pada pemberian oral, misalnya, pemberian tiga hingga empat kali
dalam sehari dapat menjadi satu kali pemberian dalam sehari.
Untuk pemberian parenteral injeksi yang diberikan setiap hari dapat
diberikan sekali dalam sebulan. Penyederhanaan dalam waktu
pemberian ini tidak hanya menghemat waktu dan biaya, namun
juga meningkatkan kepatuhan pasien (8).
3. Menghasilkan dosis malam hari (nighttime dosing). Beberapa jenis
penyakit memerlukan konsentrasi obat yang tinggi pada reseptor
saat dini hari. Contohnya risiko serangan asma yang meningkat pada
dini hari, sehingga pasien harus bangun di tengah malam untuk
memperoleh sediaan konvensional agar memperoleh efek terapeutik
pada dini hari. Untuk mengatasi hal ini, sediaan lepas lambat dengan
profil pelepasan obat yang diubah dapat digunakan pada malam hari
sebelum tidur. Pada awal malam hari, tidak ada pelepasan obat,
namun setelah waktu yang ditentukan, keseluruhan dosis dilepaskan
dengan cepat (8).
4. Menghasilkan dosis ganda dari suatu atau beberapa obat. Kombinasi
dari sediaan obat yang konvensional dengan sediaan lepas lambat,
melepaskan obat, sebagai contoh, enam jam setelah masuk ke
saluran pencernaan dapat menghasilkan dua dosis obat dengan satu
kali pemberian. Hal ini juga menyederhanakan waktu pemberian,
yang secara signifikan dapat meningkatkan kepatuhan pasien (8).
5. Mengembangkan terapi obat yang baru, yang tidak dapat diterapkan
pada sediaan immediate-release. Sebagai contoh, banyak obat yang
tidak dapat menembus lapisan sawar otak akibat keterbatasan difusi
pasif. Satu kemungkinan yang dapat mengatasi hal ini adalah
pemberian dosis obat melalui jaringan otak (intrkranial), namun
pemberian dengan rute ini memiliki risiko infeksi yang serius,
sehingga tidak mungkin dilakukan injeksi intrakranial. Dengan lepas
lambat, obat yang telah dirancang dapat diberikan untuk
memperoleh efek selama beberapa minggu atau bulan, sehingga
hanya diperlukan satu kali pemberian (8).
II.1.2 Jenis-Jenis Sediaan Lepas Lambat 1. Sediaan Lepas Lambat Jenis Pellet
Sediaan lepas lambat jenis pellet sering merupakan sediaan
yang berbentuk ”butir-butir”. Pada umumnya, butir-butir dibuat dengan
menyalut serbuk obat ke permukaan inti awal yang telah dipersiapkan
yang disebut nonpareil seeds. Nonpareil seeds dibuat dari campuran
pati, sukrosa, dan laktosa. Granul inti yang kasar dibulatkan selama
beberapa jam pada suatu panci penyalut dan dikelompokkan menurut
ukurannya. Butir-butir obat tersalut biasanya merupakan suatu
pembawa untuk pelepasan obat secara cepat tergantung pada
penyalut (9).
2. Tablet Prolonged Action
Salah satu cara yang umum untuk memperpanjang aksi suatu
obat adalah dengan menurunkan kelarutan obat agar melarut secara
lambat selama jangka waktu beberapa jam (9).
Dalam keadaan dimana sulit untuk menyiapkan suatu bentuk
obat yang kurang larut, maka obat dapat digranulasi dengan suatu
bahan tambahan untuk memperlambat pelarutan obat. Bahan-bahan
lipofilik yang bersifat lemak atau lilin sering digunakan dalam
formulasi. Asam stearat, “castorwax”, polietilen glikol dengan bobot
molekul tinggi (Carbowax), gliseril monostearat, lilin putih dan minyak
spermaseti merupakan bahan-bahan yang berguna dalam pemberian
lapisan yang berminyak untuk memperlambat penetrasi air dan
pelarutan tablet. (9).
3. Sediaan Ion Exchange Resin
Sediaan ion exchange umumnya melibatkan suatu resin yang
tidak larut yang mampu bereaksi dengan suatu obat kationik atau
anionik. Suatu resin kationik umumnya bermuatan negatif agar
membentuk suatu kompleks obat yang tidak larut dan tidak dapat
diabsorpsi secara bebas. Larutan obat kationik disalurkan melalui
kolom yang berisi resin penukar ion yang akan dibuat kompleks
dengan penggantian atom-atom hidrogen. Kemudian kompleks obat
dan resin dicuci dan dapat dibuat tablet, kapsul, atau suspensi dalam
pembawa berair (9).
4. Tablet Berinti
Konsep dari semua tablet berinti adalah tablet dalam tablet. Inti
biasanya untuk pelepasan obat secara lambat. Sedangkan kulit luar
mengandung suatu dosis obat pelepasan cepat. Formulasi dari tablet
berinti memerlukan dua granulasi. Granulasi inti biasanya dikempa
ringan untuk membentuk suatu inti yang tidak mampat dan kemudian
dipindah ke suatu tempat pengempaan kedua dimana granulasi kedua
yang mengandung bahan tambahan lebih lanjut dikempa untuk
membentuk tablet akhir (9).
Bahan inti dapat dikelilingi oleh bahan-bahan hidrofobik
sehingga obat berpenetrasi ke luar dalam jangka waktu yang panjang.
Jenis sediaan ini kadang-kadang disebut tablet berinti erosi lambat
(slow erosion core tablet) karena inti biasanya tidak mengandung
bahan penghancur ataupun bahan penhancur tidak mencukupi untuk
memecah tablet (9).
5. Tablet Matriks Jenis Gom
Beberapa bahan tambahan dengan adanya air mempunyai
kemampuan yang luar biasa untuk mengembang dan membentuk
konsistensi menyerupai gel. Bila hal ini terjadi, maka gel memberi
suatu barier alami untuk terjadinya difusi obat dari tablet. Karena
bahan menyerupai gel cukup kental dan tidak dapat menyebar selama
beberapa jam, maka hal ini membantu mempertahankan obat selama
beberapa jam sampai semua obat terlarut dan berdifusi ke luar ke
cairan usus. Bahan tambahan obat seperti metil selulosa, gom,
tragakan, veegum dan asam alginat akan membentuk suatu massa
yang kental dan menghasilkan matriks yang berguna untuk
mengendalikan pelarutan obat (9).
6. Mikroenkapsulasi
Mikroenkapsulasi adalah suatu proses dimana bahan-bahan
padat, cairan bahkan gas dapat dijadikan kapsul dengan ukuran
partikel mikroskopik, dengan membentuk salutan tipis (dinding) sekitar
bahan yang akan dijadikan kapsul. Dengan membeda-bedakan
ketebalan dinding partikel obat mikrokapsul, laju larutnya dapat diubah
sesuai dengan lepas lambat yang dihasilkan (9).
7. Tablet Bermatriks Polimer
Karakteristik terpenting sediaan ini adalah dapat berakhir
setelah beberapa hari atau beberapa minggu dibandingkan dengan
sediaan dengan lama kerja yang lebih pendek (seperti teknik yang
lain). Matriks plastik memberi suatu permukaan geometrik yang kaku
untuk difusi obat sehingga didapat laju pelepasan obat yang relatif
konstan. Dalam hal ini sediaan matriks mengurangi timbulnya iritasi
obat terhadap jaringan mukosa saluran cerna. (9).
8. Pelepasan Terkendali Osmotik
Pompa osmotik menyatakan suatu konsep baru dalam sediaan
pelepasan terkendali. Pelepasan obat dikendalikan secara tepat
dengan menggunakan suatu alat yang dikotrol secara osmotik yang
memompa sejumlah air yang konstan melalui sistem, melarutkan dan
melepaskan jumlah obat yang konstan per satuan waktu (9).
9. Sistem Pelepasan Transdermal
Sediaan transdermal dimaksudkan obat-obat yang diberikan
secara topikal untuk absorpsi sistemik melalui kulit dalam suatu laju
yang terkendali selama jangka waktu yang panjang. Pada umumnya,
sediaan terdiri atas obat yang diisikan pada suatu lapisan reservoir
yang didukung dengan suatu penyangga. Difusi obat dikendalikan
oleh suatu membran semipermeabel yang ada di atas lapisan
reservoir (9).
II.2 Uraian Umum Mikrokapsul
Proses mikroenkapsulasi menghasilkan partikel kecil yang memiliki
ukuran 1-1000 µm. Terdapat nama yang berbeda untuk partikel dengan
ukuran tersebut yaitu mikropartikel, mikrosfer, dan mikromatriks. Meskipun
sebutan-sebutan tersebut sering dianggap sama, namun terdapat
perbedaan, yaitu mikrokapsul terdiri atas satu atau lebih penyalut (padat
maupun cair) yang membentuk lapisan tipis (dinding), sedangkan
mikromatriks terdiri atas matriks polimer pada yang terdispersi secara
homogen dalam zat yang terenkapsulasi (10).
II.2.1 Metode Mikroenkapsulasi
1. Koaservasi
Metode koaservasi merupakan metode yang pertama digunakan
untuk proses mikroenkapsulasi. Metode ini berdasarkan pemisahan
larutan polimer hidrofilik menjadi dua fase, yaitu fase yang banyak
mengandung polimer dalam tetesan kecil dan fase cair yang encer.
Metode koaservasi dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu koaservasi
sederhana dan koaservasi kompleks yang berdasarkan pada jumlah
polimer yang terdapat dalam proses mikroenkapsulasi (10).
2. Pemadatan Emulsi
Mikropartikel dapat diperoleh dari emulsi dua atau lebih cairan yang
tidak bercampur. Sebagai contoh, larutan obat yang bersifat hidrofobik
dan polimer dalam pelarut organik (fase minyak, fase yang terdispersi)
diemulsifikasikan dalam larutan yang mengandung emulsifying agent
(fase air, fase pendispersi) untuk menghasilkan emulsi minyak dalam
air (o/w). Partikel polimer yang mengandung zat obat dapat memadat
saat pelarut menguap. Jenis emulsi yang terbentuk berdasarkan
kelarutan obat dalam air dan polimer enkapsulasi yang digunakan,
misalnya air dalam minyak dalam air (w/o/w) digunakan untuk obat
yang larut dalam air dalam polimer yang tidak larut air, juga tipe emulsi
air dalam minyak dalam minyak (w/o/o) untuk obat yang larut dalam air
dalam polimer yang tidak larut air, tipe air dalam minyak (w/o) untuk
enkapsulasi obat yang larut air polimer yang larut air, dan tipe padat
dalam minyak dalam air (s/o/w) untuk enkapsulasi partikel obat yang
larut air dalam polimer yang tidak larut air. Berdasarkan proses
pemadatan tetesan (droplet), metode emulsi dapat diklasifikasikan
menjadi penguapan pelarut, ekstraksi pelarut, dan metode pautan
silang (10).
a. Penguapan pelarut
Umumnya, polimer dilarutkan dalam pelarut organik misalnya
metilen klorida. Obat atau zat pendiagnostik, baik dalam bentuk
larutan maupun dispersi dalam bentuk partikel hals yang padat,
ditambahkan pada larutan polimer, kemudian campuran ini
diemulsifikasikan ke dalam larutan yang mengandung emulsifying
agent, misalnya polivinil alkohol (PVA). Emulsi yang dihasilkan
kemudian diaduk hingga pelarut organikya menguap dan membentuk
mikropartikel yang padat, kemudian dicuci dan dikeringkan. Untuk
meningkatkan pengapan pelarut biasanya emulsi dipanaskan sedikit
diatas titik didih pelarut organik yang digunakan (13).
b. Ekstraksi pelarut
Sama seperti metode penguapan pelarut, namun pada metode
ini digunakan pelarut yang tidak menguap, yang kemudian
dihilangkan dengan cara ekstraksi ke fase pendispersi. Ekstraksi ini
dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut yang memiliki
kelarutan yang tinggi dalam fase pendispersi, meningkatkan
perbedaan konsentrasi antara fase pendispersi dan fase
terdispersi, atau menambahkan pelarut ketiga ke dalam fase
pendispersi sehingga mengakibatkan ekstraksi pelarut (13).
c. Pautan silang
Beberapa polimer hidrofilik alami seperti gelatin, albumin, pati,
dekstran, asam hialuronat, dan chitosan dapat dipadatkan melalui
proses kimia atau thermal cross-linking. Emulsi air dalam minyak
(w/o) diperoleh dengan mengemulsifikasikan larutan polimer dalam
fase minyak (misalnya minyak sayur atau campuran minyak dan
pelarut organik) yang mengandung emulsifying agent seperti span
80 (10).
3. Hot Melt Microencapsulation
Polimer dileburkan, kemudian dicampurkan dengan zat aktif baik
yang berupa padatan ataupun cairan. Cairan ini kemudian
disuspensikan dalam pelarut yang tidak bercampur dan dipanaskan
hingga 5°C di atas titik lebur polimer sambil dilakukan pengadukan.
Emulsi kemudian didinginkan dibawah titik lebur hingga tetesan
memadat (10).
4. Kompleksasi Polielektrolit/ Ionic Gelation
Metode ini meliputi pautan silang dari polielektrolit dengan adanya
counter ion multivalen. Contohnya, penyemprotan larutan natrium
alginat ke dalam larutan kalsium klorida untuk menghasilkan partikel gel
yang padat. Ionic gelation sering dilanjutkan kompleksasi polielektrolit
dengan polielektrolit yang memiliki muatan yang berlawanan.
Kompleksasi ini membentuk membran kompleks polielektrolit pada
bagian permukaan partikel gel, yang meningkatkan kekuatan mekanik
partikel. Untuk partikel gel kalsium alginat, sering digunakan polilisin
(13).
5. Polimerisasi Interfasial
Monomer dapat dipolimerisasikan pada permukaan dua larutan
yang tidak bercampur untuk membentuk membran. Sebagai contoh
misalnya membran nilon yang dihasilkan dari polimerisasi dua
monomer (ummnya diklorida dan diamin) pada permukaan. Fase tanpa
larutan mengandung surfaktan dan fase larutan mengandung zat aktif
dan diamin yang kemudian dicampurkan untuk membentuk emulsi air
dalam minyak (w/o). Kemudian penambahan fase tanpa pelarut yang
mengandung asam klorida ke dalam emulsi untuk membentuk
polimerisasi interfasial. Polimerisasi kemudian diakhiri dengan
penambahan fase tanpa larutan (10).
6. Spray Drying
Metode ini adalah metode sederhana, proses dengan sistem
tertutup yang dapat digunakan pada berbagai jenis bahan. Zat aktif
dilarutkan atau disuspensikan pada pelarut sesuai yang mengandung
polimer. Larutan atau suspensi diatomisasi ke dalam drying chamber,
kemudian bentuk mikropartikel yang diperoleh dikeringkan dengan gas
panas. Hasil dari proses spray drying sangat bergantung pada sifat
bahan, begitu juga pengaturan instrumen seperti suhu, laju aliran, laju
aliran penyemprotan yang dapat mempengaruhi ukuran partikel, hasil,
dan volume pelarut yang tersisa (10).
7. Spray Desolvation
Metode spray desolvation meliputi penyemprotan larutan polimer ke
dalam cairan desolvasi. Sebagai contoh, mikropartikel dapat dibuat
dengan menyemprotkan larutan polivinil alkohol ke dalam tangas
aseton. Pada proses ini pelarut polimer (air) diekstraksi ke dalam
aseton, dan polivinil alkohol mengendap untuk membentuk
mikropartikel padat (10).
8. Spray Coating
Pada metode spray coating, zat penyalut disemprotkan pada
permukaan partikel obat yang diputar dalam coating chamber.
a. Fluid-bed coating (Air-suspension technique)
Terdapat tiga proses umum dalam metode fluid-bed yaitu
metode penyemprotan atas, penyemprotan tangensial, dan
penyemprotan bawah. Jika granul disalut dengan sistem granulator
penyemprotan atas biasanya akan dihasilkan granul dengan
permukaan yang berpori dan rongga yang besar namun densitas
granul yang dihasilkan biasanya lebih kecil dibandingkan dengan
metode lain. Metode rotating-disk (metode penyalutan penyemprotan
tangensial), yang dikombinasikan dengan sentrifugal, pencampuran
dengan densitas yang tinggi, dan efisiensi pengeringan fluid-bed,
menghasilkan produk yang memilki densitas yang lebih tinggi, namun
memilki rongga yang besar. Metode ini menghasilkan partikel yang
lebih spheris. Pada proses Wurster (bottom spray), partikel padat
diberi tekanan udara dan larutan penyalut, kemudian disemprotkan ke
partikel dari dasar fluidization chamber secara paralel menuju saluran
udara. Proses Wurster ini menghasilkan penyalutan partikel yang
seragam dengan membran polimer (10).
b. Pan Coating
Umumnya partikel dengan ukuran besar dapat dienkapsulasi
dengan penyalutan dalam panci penyalut. Ukuran dari partikel
sebaiknya lebih besar dari 600 µm untuk memperoleh penyalutan
yang efektif menggunakan metode ini (10).
9. Supercritical Fluid
Metode ini dapat meminimalkan penggunaan pelarut organik.
Secara umum, metode ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu rapid
expansion of supercritical solutions (RESS) yang menggunakan cairan
superkritis (misalnya karbon dioksida) sebagai pelarut untuk polimer,
dan supercritical antisolvent crystallization (SAS), menggunakan cairan
sebagai antisolvent yang menyebabkan presipitasi polimer (10).
II.3 Uraian Umum Disolusi
Disolusi adalah suatu proses dimana bahan padat yang memiliki
karakteristik kelarutan yang cukup masuk ke dalam larutan (11). Dua
sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk
menunjukkan (1) pelepasan obat dari tablet jika mendekati 100% dan (2)
laju pelepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan
pelepasan dari batch yang telah dibuktikan memiliki bioavaibilitas dan
efektif secara klinis (12).
Untuk tujuan memeriksa data disolusi secara kuantitatif, Noyes dan
Whitney membuat sebuah rumus berdasarkan hukum kedua Fick’s, untuk
menggambarkan fenomena disolusi (11).
𝑑𝑐
𝑑𝑡 = KS (Cs-C)
Di mana dc/dt adalah laju disolusi obat, K adalah konstanta laju disolusi,
cs adalah konsentrasi jenuh (kelarutan maksimum), ct adalah konsentrasi
pada waktu t dan cs-ct adalah perbedaan konsentrasi (11).
Laju disolusi diatur oleh laju difusi molekul-molekul zat terlarut
melewati lapisan difusi ke dalam jaringan dari larutan tersebut. Persamaan
menjelaskan bahwa laju disolusi dari dari suatu obat dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan luas permukaan (mengurangi ukuran partikel) dari
obat tersebut, dengan meningkatkan kelarutan obat dalam lapisan difusi,
dan dengan faktor-faktor yang diwujudkan dalam konstanta laju disolusi,
K, termasuk intensitas pengadukan pelarut dan koefisien difusi dari obat
yang melarut (12).
II.3.1 Metode Disolusi
1) Wadah
Wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain
yang inert. Wadah disolusi berbentuk silinder dengan dasar setengah
bola, tinggi 160 mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 mm hingga 106
mm dan kapasitas nominal 1000 ml. Pada bagian atas wadah ujungnya
melebar, untuk mencegah penguapan dapat digunakan suatu penutup
yang pas (13).
2) Pengaduk
Alat 1. Tangkai pengaduk terbuat dari logam dengan
diameter 6-10,5 mm. Keranjang terdiri atas dua bagian, bagian atasnya
melekat pada pengaduk. Komponen keranjang dan pengaduk berupa
stainless steel, biasanya tipe 316. Jika tidak disebutkan dalam monografi,
lubang keranjang yang digunakan memiliki ukuran 40 mesh. Jarak antara
pengaduk dan bagian dasar wadah disolusi diatur 2,5 ± 0,2 cm selama
proses disolusi (11).
Alat 2. Alat ini sama dengan alat 1, hanya keranjangnya
diganti dengan dayung yang dibentuk dari pisau dan tongkat sebagai
elemen pengaduk. Pengaduknya memiliki diameter 10 ± 0,5 mm. Jarak
antara pengaduk dan bagian dasar wadah disolusi diatur jaraknya 2,5 ±
0,2 cm selama proses disolusi (11). Sediaan obat dibiarkan tenggelam ke
dasar labu sebelum diaduk. Sediaan obat dapat saja diberi “sekeping kecil
benda nonreaktif, misalnya tidak lebih dari beberapa putaran kawat helix”
yang diletakkan untuk mencegah pengapungan (12).
3) Media
Media disolusi yang digunakan yaitu pelarut seperti yang tertera
dalam masing-masing monografi. Bila media disolusi adalah suatu
larutan dapar, pH larutan diatur sedemikian hingga berada dalam
batas 0,05 satuan pH yang tertera pada masinng-masing monografi
(13).
4) Suhu
Karena kelarutan obat bergantung pada suhu, pengontrolan
secara hati-hati selama proses disolusi sangat penting . Umumnya,
suhu 37 ± 0,5°C diatur selama proses disolusi. Efek suhu medium
disolusi bergantung pada kurva suhu/kelarutan obat dan bahan
tambahan pada formula.
Untuk molekul terlarut, koefisien difusi, D, bergantung pada suhu T,
berdasarkan hukum Stokes
D = kT/(6πηr)
K adalah tetapan Boltzmann dan 6πηr adalah gaya Stokes untuk molekul
spheris (η adalah kekentalan dalam satuan poise dan r adalah jari-jari
molekul) (11).
II.3.2 Konsep Teori Pelepasan Obat dari Sediaan
Untuk menentukan laju disolusi obat dari sediaan padat pada
kondisi terstandarisasi, salah satunya yang harus dipertimbangkan adalah
proses fisikokimia, termasuk sifat mudah terbasahi dari sediaan padat,
kemampuan penetrasi dari medium disolusi ke dalam sediaan, proses
pengembangan, disintegrasi dan deagregasi. Wagner mengemukakan
skema proses yang terlibat pada proses disolusi sediaan padat (15).
Disintegrasi Deagregasi
Gambar 2 . Skema proses disolusi sediaan padat dalam tubuh (11).
II.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Disolusi
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi bentuk
sediaan dari suatu obat dapat diklasifikasikan berdasarkan kategori yaitu:
A. Faktor yang Berhubungan Dengan Sifat Fisika Kimia Obat
1. Luas Permukaan
Bila ukuran suatu obat dikurangi sampai menjadi partikel-
partikel yang lebih kecil dalam jumlah besar, maka luas permukaan
obat tersebut ditingkatkan. Untuk obat yang sukar larut atau dengan
larut perlahan, peningkatan luas permukaan umumnya
mengakibatkan peningkatan dalam laju disolusi (2).
Sediaan Padat
Granul atau
agregat
Partikel Halus
Obat in vitro atau in vivo
Disolusi (Mayor)
Absorpsi (in vivo)
Obat dalam darah, cairan lainnya, dan jaringan
Disolusi (Mayor)
Disolusi (Minor)
2. Bentuk Obat Kristal atau Amorf
Karakteristik fase padat dari obat, seperti amorf, kristal,
keadaan hidrasi dan struktur polimorfisme, menunjukkan pengaruh
yang signifikan terhadap laju disolusi. Bentuk amorf mempunyai
kelarutan yang lebih besar dan laju disolusi yang lebih besar
dibandingkan bentuk kristal (2).
3. Bentuk Garam
Laju disolusi bentuk garam dari suatu obat umumnya sangat
berbeda dari senyawa induknya. Garam-garam natrium dan kalium
dari asam organik lemah dan garam-garam hidroklorida dari basa
organik lemah larut jauh lebih cepat dibandingkan dengan asam
bebas atau basa bebasnya (2).
B. Faktor yang Berhubungan Dengan Bentuk Sediaan Padat
Efek dari berbagai formulasi dan faktor proses produksi
terhadap laju disolusi dan bioavaibilitas bahan obat dari tablet dan
kapsul telah dipelajari oleh berbagai peneliti sejak awal tahun 1960
(11).
Telah ditunjukkan bahwa laju disolusi dari bahan murni dapat
berubah secara signifikan ketika dicampur dengan berbagai bahan
penambah selama proses produksi sediaan. Bahan-bahan ini
ditambahkan untuk memenuhi fungsi farmaseutikal tertentu misalnya
sebagai pengisi, pewarna, pengikat, penghancur dan lubrikan.
Umumnya produk tablet dan kapsul dengan bahan aktif yang sama,
diproduksi oleh perusahaan yang berbeda, menunjukkan perbedaan
yang signifikan dalam laju disolusi bahan aktifnya. Dalam kasus
tertentu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa formula tablet atau
kapsul yang buruk menyebabkan penurunan bioavaibilitas dan
mempengaruhi respon klinisnya (11).
II.4 Uraian Bahan II.4.1.Salbutamol Sulfat
Salbutamol merupakan obat golongan beta agonis yang selektif
pada reseptor β-2 dengan daya kerja yang singkat sehingga banyak
digunakan sebagai bronkodilator oral pada pasien asma atau pada
pasien dengan obstruksi paru kronis (1).
Mekanisme aksi salbutamol adalah dengan merelaksasi otot
polos dan menghambat pelepasan mediator bronkokonstriksi dari sel
mast. Selain itu juga dengan menghambat pembukaan mikrovaskular
dan peningkatan transpor mukosilia dengan meningkatkan aktivitas
silia. Pada jaringan lain, beta agonis juga memicu adenyl cyclase dan
meningkatkan pembentukan cAMP intraselular (14).
Salbutamol mudah diabsorbsi di saluran gastrointestinal dan
mengalami metabolism fase I di hati. Metabolit utama yang dihasilkan
adalah konjugat sulfat yang inaktif. Salbutamol diekskresi degan cepat
oleh tubuh, terutama melalui urin, dan sebagian kecil melalui feses.
Waktu paro salbutamol sekitar 4-6 jam (1).
Salbutamol sulfat berbentuk serbuk kristalin putih, mudah larut
dalam air, sukar larut dalam alkohol, kloroform, dan eter. Memiliki bobot
molekul 576,7 (1).
Gambar 3. Rumus bangun salbutamol sulfat (14)
II.4.2 Etil Selulosa
Etil selulosa dengan nama lain etochel merupakan polimer rantai
panjang dari β-anhidroglukosa yang disambung dengan ikatan asetal.
Etil selulosa serinng digunakan dalam formulasi sediaan oral maupun
topikal. Pada formulasi sediaan oral sering digunakan sebagai penyalut
yang bersifat hidrofobik pada tablet dan granul. Etil selulosa digunakan
untuk memodifikasi laju pelepasan obat, menutupi bau, dan
meningkatkan stabilitas formula.
Etil selulosa berupa serbuk putih tidak berasa. Praktis tidak larut
dalam gliserin, propilenglikol, dan air.
Gambar 4. Rumus bangun etil selulosa (5)
Etil selulosa yang dilarutkan dalam pelarut organik atau
campuran pelarut dapat menghasilkan lapisan tidak larut air. Pelepasan
obat pada sediaan dengan penyalut etil selulosa terjadi melalui difusi
lapisan penyalut (5).
II.4.3 Tween 80
Tween 80 atau dengan nama resmi polyoxyethylene sorbitan
fatty acid ester memiliki berat molekul 1310. Polisorbat sering
digunakan pada kosmetik, makanan, formulasi sediaan oral, sediaan
parenteral, dan sediaan topikal. Polisorbat mengandung 20 unit
oksietilen yang merupakan surfaktan nonionik hidrofilik yang sering
digunakan sebagai emulsifying agent. Tween 80 pada suhu 25°C
berupa cairan kuning kental, dengan nilai HLB 15, dan viskositas
sebesar 425 mPa s(5).
II.4.4 Aseton
Aseton dengan nama lain 2-propanon, memiliki rumus molekul
C3H6O dan berat molekul 58,08. Aseton digunakan sebagai pelarut atau
kosolven dalam sediaan topikal dan membantu pada proses granulasi
basah. Aseton juga digunakan pada formulasi tablet yang memiliki
bahan aktif yang sensitif terhadap air atau melarutkan zat pengikat
pada tablet sukar larut dalam air, dan dalam formulasi mikrosfer
digunakan untuk memodifikasi laju pelepasan obat.
Gambar 5. Struktur kimia aseton (5)
Aseton merupakan cairan jernih, mudah menguap, mudah
terbakar, dengan bau dan rasa yang khas. Titik didih aseton adalah
56,2°C. Aseton larut dalam air dan mudah larut dalam etanol 95% (5).
II.4.5 Parafin Cair
Parafin cair dengan nama resmi mineral oil merupakan
campuran dari alifatik jenuh dan hidrokarbon siklik yang diperoleh dari
minyak bumi. Biasa digunakan dalam emulsi minyak dalam air sebagai
pelarut dan sebagai lubrikan pada formulasi tablet dan kapsul. Parafin
cair praktis tidak larut dalam etanol (95%), gliserin, dan air. Larut dalam
aseton, benzen, kloroform, karbon disulfida, eter, dan petroleum eter
(5). Pada metode penguapan pelarut parafin digunakan sebagai
pembawa atau vehicle manufacturing (16).
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
III.1 Alat dan Bahan yang Digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat uji disolusi
(Erweka), homogenizer (Turrax), lemari pengering granul, mikroskop,
spektrofotometer UV-Visible (Lab Med), timbangan analitik (Sartorius), dan
alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah aseton,
cangkang kapsul nomor 3, etil selulosa, n-hexan, parafin cair, salbutamol
sulfat, dan tween 80.
III.2 Formula Mikrokapsul
Mikrokapsul dirancang mengandung bahan obat salbutamol sulfat
dan matriks etil selulosa yang divariasikan. Rancangan formula lengkap
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Rancangan Formula Mikrokapsul Salbutamol Sulfat
Bahan Formula I Formula II Formula III
Salbutamol sulfat 1 g 1 g 1 g
Etil selulosa 1 g 2 g 3 g
Tween 80 1,3 ml 1,3 ml 1,3 ml
Aseton 20 ml 20 ml 20 ml
Parafin cair 100 ml 100 ml 100 ml
III.3 Penetapan Kecepatan Pengadukan dalam Pembuatan Mikrokapsul
Sebelum dilakukan pembuatan mikrokapsul terlebih dahulu
dilakukan pembuatan mikrokapsul dengan menggunakan beberapa
kecepatan pengadukan yaitu pada kecepatan 500 rpm, 700 rpm dan 1000
rpm. Hasil pengadukan yang menghasilkan morfologi mikrokapsul yang
terbaik setelah dilihat di bawah mikroskop akan digunakan untuk
pembuatan mikrokapsul selanjutnya. Hasil pengadukan yang terbaik
adalah 700 rpm.
III.4 Pembuatan Mikrokapsul (13)
Mikrokapsul salbutamol sulfat dibuat dengan matriks etil selulosa
dengan menggunakan metode penguapan pelarut. Caranya adalah: etil
selulosa dilarutkan dengan 20 ml aseton dalam Erlenmeyer, kemudian
salbutamol sulfat didispersikan ke dalamnya. Selanjutnya campuran
tersebut diemulsikan dalam 100 ml parafin cair yang mengandung 1,3 ml
tween 80 dan diaduk dengan homogenizer pada kecepatan 700 rpm
selama tiga jam pada suhu kamar. Mikrokapsul yang terbentuk
dikumpulkan melalui dekantasi dan dicuci dua kali dengan n-hexan
masing-masing 100 ml untuk menghilangkan parafin cair yang melekat.
Setelah itu disaring dan dikeringkan dalam lemari pengering granul.
Setelah kering sejumlah mikrokapsul yang setara dengan 8 mg salbutamol
sulfat dimasukkan ke dalam cangkang kapsul untuk uji disolusi.
III.5 Karakteristik Mikrokapsul (17)
1. Pengamatan Bentuk Mikrokapsul
Bentuk dan morfologi permukaan mikrokapsul diamati dengan
menggunakan mikroskop.
2. Distribusi Ukuran Mikrokapsul
Penetapan distribusi ukuran menggunakan mikroskop dengan
pembesaran 4x10. Sebanyak 300 partikel mikrokapsul diamati di bawah
mikroskop dan dihitung diameternya dengan menggunakan skala
okuler dan skala objektif yang telah dikalibrasi hingga diperoleh nilai
satuan untuk satu skala.
III.6 Pembuatan Media Disolusi 1. Pembuatan Larutan Natrium Hidroksida 0,2 M (13)
Larutan NaOH 0,2 M dibuat dengan cara 2 gram NaOH ditimbang
dan dimasukkan dalam labu tentukur 250 ml. Kemudian dilarutkan
dengan air suling bebas CO2 dan dicukupkan volumenya hingga batas
tanda.
2. Pembuatan Cairan Lambung Buatan Tanpa Enzim (13)
Sebanyak 2 gram natrium klorida dilarutkan dalam 7 ml asam
klorida P dan dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 1000 ml.
pH larutan yang diperoleh sekitar 1,2.
3. Pembuatan Dapar Fosfat pH 6,8 (13)
Sebanyak 27,22 gram kalium dihidrogenfosfat dilarutkan dalam
air suling, lalu dicukupkan volumenya dengan air suling hingga 1000 ml.
Diambil larutan tersebut sebanyak 200 ml, lalu dimasukkan ke dalam
labu tentukur 1000 ml dan ditambahkan 28 ml NaOH 0,2 M lalu
cukupkan volumenya dengan air suling hingga tanda batas.
III.7 Penetapan Kadar Zat Aktif (6)
Mikrokapsul ditimbang sebanyak 100 mg, digerus dan dilarutkan
dalam 100 ml dapar fosfat (pH 6,8). Kemudian larutan ini disaring dan
diambil sebanyak 5 ml dan diencerkan kemudian diukur serapannya pada
panjang gelombang maksimum. Kadar zat aktif (salbutamol sulfat) dihitung
dengan menggunakan bantuan kurva baku.
1. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum (6)
Dibuat larutan salbutamol sulfat dengan konsentrasi 10 bpj dalam
media cairan lambung buatan tanpa enzim dan dalam dapar fosfat pH
6,8. Kemudian masing-masing diukur serapannya pada rentang
panjang gelombang 200-400 nm. Selanjutnya dibuat kurva antara
serapan terhadap panjang gelombang.
2. Pembuatan Kurva Baku
a) Pembuatan Kurva Baku Salbutamol Sulfat (6)
Untuk pembuatan kurva baku, ditimbang saksama salbutamol sulfat
20 mg dan dilarutkan hingga 100 ml dengan cairan lambung buatan
tanpa enzim dan dapar fosfat pH 6,8 hingga diperoleh konsentrasi
200 bpj. Kemudian diambil sebanyak 0,5 ml, 1 ml, 1,5 ml, 2 ml, dan
2,5 ml dan diencerkan hingga 10 ml dengan cairan lambung tanpa
enzim dan dapar fosfat pH 6,8 hingga diperoleh konsentrasi 10 bpj,
20 bpj, 30 bpj, 40 bpj, dan 50 bpj. Selanjutnya larutan ini diukur
serapannya pada panjang gelombang maksimum menggunakan
spektrofotometer UV-Visible.
III.8 Pelaksanaan Uji Disolusi (18)
Uji disolusi sediaan mikrokapsul dilakukan dengan
menggunakan metode keranjang dengan cara : dimasukkan media
cairan lambung buatan tanpa enzim sebanyak 900 ml ke dalam
wadah, lalu dibiarkan hingga suhu media mencapai 37±0,5oC.
Dimasukkan satu buah kapsul yang berisi mikrokapsul yang setara
dengan 8 mg salbutamol sulfat ke dalam keranjang yang terdapat
pada pengaduk, lalu pengaduk dicelupkan ke dalam media dan
dijalankan dengan kecepatan 50 putaran per menit. Pada jam
pertama diambil 10 ml cuplikan pada daerah pertengahan antara
permukaan media disolusi dan bagian atas dari pengaduk keranjang,
tidak kurang 1 cm dari dinding wadah. Uji disolusi pada media cairan
lambung buatan dilakukan selama empat jam dan pengambilan
sampel dilakukan setiap jam. Setiap selesai pengambilan sampel,
ditambahkan 10 ml media yang baru suhu 37±0,5oC ke dalam labu
disolusi. Sampel yang sudah diambil disaring menggunakan
penyaring milipore dan diukur serapannya dengan spektrofotometer
UV-Visibel pada panjang gelombang maksimum.
Untuk uji disolusi pada media dapar fosfat pH 6,8, dilakukan
seperti pada uji disolusi di atas tetapi pengujian dilakukan selama
delapan jam.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Penelitian IV.1.1 Hasil Penetapan Kecepatan Pengadukan dalam Pembuatan
Mikrokapsul
Hasil uji pengaruh kecepatan pengadukan terhadap morfologi
mikrokapsul menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan terbaik yaitu
kecepatan yang menghasilkan morfologi mikrokapsul yang paling
mendekati bentuk spheris adalah 700 rpm. Untuk lebih jelas morfologi
mikrokapsul dapat dillihat pada gambar 5, 6, dan 7.
IV.1.2 Karakteristik Mikrokapsul
1. Hasil Pengamatan Bentuk Mikrokapsul
Hasil pengamatan bentuk mikrokapsul menunjukkan bahwa
bentuk dan morfologi mikrokapsul hampir spheris. Morfologi mikrokapsul
lebih jelas dapat dillihat pada gambar 8, gambar 9, dan gambar 10.
2. Hasil Distribusi Ukuran Mikrokapsul
Distribusi ukuran partikel dari ketiga formula memilki diameter
rata-rata yang berbeda, yaitu formula I 1116,67 µm, formula II 1044 µm,
dan formula III 795,67 µm. Hasil selengkapnya dapat dilihat tabel 2.
IV.1.3 Hasil Pengukuran Kadar Zat Aktif
Hasil pengukuran kadar zat aktif menunjukkan bahwa untuk formula
I, dalam tiap 500 bpj mikrokapsul mengandung 207,24 bpj salbutamol
sulfat, untuk formula II dalam tiap 500 bpj mikrokapsul mengandung
175,26 bpj, dan untuk formula III dalam tiap 500 bpj mikrokapsul
mengandung 154,97 bpj. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6.
IV.1.4 Hasil Uji Disolusi
Hasil uji disolusi dalam media cairan lambung buatan tanpa enzim
pH 1,2 menunjukkan bahwa pada jam ke-1, formula I terdisolusi sebanyak
8,97%, formula II sebanyak 6,72%, formula III sebanyak 3,50%, dan
salbutamol sulfat sebanyak 14,13%. Pada jam ke-2, formula I terdisolusi
sebanyak 8,59%, formula II sebanyak 7,44%, formula III sebanyak 7,88%,
dan salbutamol sulfat sebanyak 14,84%. Pada jam ke-4, formula I
terdisolusi sebanyak 9,26%, formula II sebanyak 8,76%, formula III
sebanyak 11,27%, dan salbutamol sulfat sebanyak 17,48%. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 9.
Untuk hasil uji disolusi pada media dapar fosfat pH 6,8
menunjukkan bahwa jam ke-1, formula I terdisolusi sebanyak 27,66%,
formula II sebanyak 26,16%, formula III sebanyak 16,90%, dan salbutamol
sulfat sebanyak 16,98%. Pada jam ke-2, formula I terdisolusi sebanyak
56,30%, formula II sebanyak 34,88%, formula III sebanyak 16,81%, dan
salbutamol sulfat sebanyak 17,09%. Pada jam ke-4, formula I terdisolusi
sebanyak 44,11%, formula II sebanyak 61,93%, formula III sebanyak
19,75%, dan salbutamol sulfat sebanyak 18,21%. Pada jam ke-6, formula I
terdisolusi sebanyak 58,49%, formula II sebanyak 57,41%, formula III
sebanyak 55,73%, dan salbutamol sulfat sebanyak 44,55%. Pada jam ke-
8, formula I terdisolusi sebanyak 64,72%, formula II sebanyak 58,59%,
formula III sebanyak 50,89%, dan salbutamol sulfat sebanyak 45,49%.
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 12.
IV.1.5 Pembahasan
Pada penelitian ini, dibuat mikrokapsul salbutamol sulfat
menggunakan metode penguapan pelarut. Dipilihnya metode penguapan
pelarut karena metode ini dapat digunakan untuk penyalut yang hidrofobik
dan memiliki kelarutan yang rendah dalam air namun larut dalam pelarut
organik. Pelepasan obat dengan teknik mikroenkapsulasi berdasarkan
pada kemampuan penyalut untuk menghambat difusi dari zat aktif dengan
cara membentuk penghalang di sekeliling partikel obat. Dalam metode
penguapan pelarut, proses terbentuknya mikrokapsul dimulai dengan
memisahnya tetesan fase terdispersi dalam fase pembawa membentuk
tetesan kecil. Partikel polimer yang mengandung obat dapat memadat
saat pelarut menguap.
Untuk memperoleh morfologi mikrokapsul yang baik yaitu
berbentuk hampir spheris, maka penelitian ini diawali dengan penentuan
kecepatan pengadukan. Pada pengadukan yang lambat akan dihasilkan
mikrokapsul dengan ukuran partikel yang lebih besar karena selama
proses pengadukan terbentuk tetesan-tetesan dengan ukuran yang besar
dan bentuk yang kurang spheris. Sebaliknya jika pengadukan terlalu
cepat, maka akan dihasilkan tetesan yang sangat kecil sehingga
mikrokapsul yang diperoleh terlalu kecil dan kurang spheris. Dalam
penelitian ini, diperoleh kecepatan pengadukan yang menghasilkan
partikel yang hampir spheris yaitu 700 putaran per menit. (Gambar 3)
Bahan penyalut yang digunakan untuk membentuk mikrokapsul ini
adalah etil selulosa yang bersifat hidrofobik yang dapat memodifikasi
pelepasan obat. Pelepasan obat pada mikrokapsul yang menggunakan
etil selulosa berdasarkan difusi dan disolusi melalui pori sehingga
dikendalikan oleh porositas permukaan, luas permukaan, dan ketebalan
penyalut. Air dapat diserap melalui pori permukaan etil selulosa tanpa
melarutkan etil selulosa itu sendiri.
Hasil penentuan distribusi ukuran partikel pada masing-masing
formula menunjukkan bahwa ukuran partikel dari mikrokapsul salbutamol
sulfat yang paling kecil diperoleh pada formula III (perbandingan inti dan
penyalut 1:3) dibandingankan dengan formula I (perbandingan inti dan
penyalut 1:1) dan formula II (perbandingan inti dan penyalut 1:2). Hasil
ukuran partikel yang diperoleh, formula III memenuhi range ukuran partikel
mikrokapsul yaitu 1-1000 µm.
Hasil pengukuran kadar zat aktif pada masing-masing formula
menunjukkan bahwa formula yang paling banyak mengandung salbutamol
sulfat adalah formula I dibandingkan dengan formula II dan formula III.
Dari hasil ini, semakin banyak salbutamol sulfat yang terjerap maka
ukuran partikel semakin besar, sedangkan semakin kecil salbutamol sulfat
yang terjerap maka ukuran partikel semakin kecil pula. Sehingga
kemungkinan banyaknya salbutamol sulfat yang terjerap berperan penting
dalam penentuan ukuran partikel mikrokapsul salbutamol sulfat.
Uji disolusi pada sediaan obat padat bertujuan untuk mengukur dan
mengetahui jumlah zat aktif yang terlarut dalam media cair yang diketahui
volumenya pada suatu waktu tertentu menggunakan alat tertentu
sehingga dapat digunakan untuk meramalkan kecepatan terlepasnya obat
dari sediaan padat. Uji disolusi dilakukan dalam dua media yaitu media
cairan lambung buatan tanpa enzim pH 1,2 selama empat jam dengan
pengambilan sampel sebanyak tiga kali yaitu pada jam ke-1, ke-2, dan ke-
4 dan media dapar fosfat pH 6,8 selama delapan jam dengan
pengambilan sampel sebanyak lima kali yaitu pada jam ke-1, ke-2, ke-4,
ke-6, dan ke-8.
Dari hasil uji disolusi pada media cairan lambung buatan tanpa
enzim pada pH 1,2 menunjukkan bahwa banyaknya salbutamol sulfat
yang terdisolusi dari masing-masing formula mikrokapsul lebih sedikit
dibandingkan dengan banyaknya salbutamol sulfat.
Sedangkan hasil uji disolusi pada media dapar fosfat pH 6,8
menunjukkan bahwa untuk formula I dan formula II memiliki persentase
disolusi yang lebih besar daripada salbutamol sulfat pada jam ke-1, ke-2,
ke-4, ke-6, dan ke-8. Sedangkan untuk formula III menunjukkan memiliki
persentase disolusi yang kecil hanya pada jam ke-1 dan jam ke-2
sedangkan pada jam ke-4, ke-6, dan ke-8 menunjukkan persentase
disolusi yang lebih besar dibandingkan salbutamol sulfat. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian penyalut etil selulosa dengan metode
penguapan pelarut tidak memperlambat kecepatan disolusi salbutamol
sulfat.
Ketebalan,kekerasan dan struktur pada permukaan penyalut
(berpori atau tidak berpori) serta ukuran mikrokapsul juga dapat
mempengaruhi kecepatan pelepasan obat (17). Dalam penelitian ini
diperoleh bahwa pengaruh konsentrasi etil selulosa tidak berhasil
menurunkan laju disolusi salbutamol sulfat, kemungkinan hal ini
disebabkan oleh adanya porositas yang besar, sehingga obat tidak
tersalut sempurna (10).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
1. Konsentrasi etil selulosa mempengaruhi karakteristik dan laju
disolusi mikrokapsul salbutamol sulfat.
2. Semua formula pada media cairan lambung buatan tanpa enzim pH
1,2 memenuhi syarat laju disolusi yang telah ditetapkan.
3. Formula I ( salbutamol sulfat: etil selulosa dengan perbandingan
1:1) dan formula II ( salbutamol sulfat: etil selulosa dengan
perbandingan 1:2) tidak berhasil memperlambat laju disolusi
salbutamol sulfat, sedangkan formula III ( salbutamol sulfat: etil
selulosa dengan perbandingan 1:3) dapat menurunkan laju disolusi
salbutamol sulfat hanya pada jam ke-1, jam ke-2, dan jam ke-4
pada media dapar fosfat pH 6,8.
V.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang mikrokapsul
salbutamol sulfat dengan menggunakan etil selulosa sebagai penyalut
menggunakan metode yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sweetman SC. Martindale The Complete Drug Reference. 36th ed. Pharmaceutical Press. Illinois. 2009. hal. 1133. Available as PDF file.
2. Ansel, HC . Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Terjemahan dari Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms oleh Farida Ibrahim. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 1985. hal. 287, 291-297.
3. Khamanga Sandile M., Parfitt Natalie, Nyamuzhiwa Tsitsi, Walker
Roderick B., Haidula Hendrina. The Evaluation of Eudragit Microcapsules Manufactured by Solvent Evaporation Using USP Apparatus 1. Dissolution Technologies. 2009 (5): 15-22. Available from:www.dissolutiontech.com/DTresour/200905Articles/DT200905_A02.pdf
4. Nath B, Nath LK, Mazumder B, Kumar P, Sharmab N, Sahub BP.
Preparation and Characterization of Salbutamol Sulphate Loaded Ethyl Cellulose Microspheres Using Water-in-Oil-Oil Emulsion Technique.Iranian Journal of Pharm. Research. 2010 (2): 97-105. Available from: www.sid.ir/en/VEWSSID/J_pdf/92720100201.pdf.
5. Rowe RC, Sheskey PJ, Quinn ME. Handbook of Pharmaceutical
Excipients. 6th ed. Pharmaceutical Press, Illinois. 2009. hal 263. Availavle as PDF file.
6. Goudanavar P.S., Patil S.M., Manavi F.V. Design and
Characterization of Sustained Release Microcapsules of Salbutamol Sulphate. International Journal of PharmTech Research. 2010 (2):1144-1149. Available from: www.asiapharmaceutics.info/article.asp?issn=0973-8398;year.
7. Banker, Gilbert S. Modern Pharmaceutics. 4th ed. Marcel Dekker Inc. New York. 2002. hal.503-506. Available as PDF file.
8. Florence, Alexander T. Modern Pharmaceutics Volume 2 Applications and Advances. Informa Healthcare USA, Inc. New York. 2009. hal. 1-4. Available as PDF file.
9. Shargel L, Yu AB. Biofarmasetika Dan Farmakoterapi Terapan.
Edisi Kedua. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1988. hal. 467- 473.
10. Swarbrick, James. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. 3rd edition. Informa Healthcare USA, Inc. New York. 2007. hal. 2315-2324. Available as PDF file.
11. Gennaro AR. et al. (Editor). Remington’s Pharmaceutical Sciences. Eighteen Edition. Mack Publishing Company. Easton. Pennsylvania. 1990. hal. 589, 592, 595, 599
12. Lachman L, Lieberman HA and Kanig JL. The Theory and Practice
of Industrial Pharmacy. Third Edition. Lea and Febiger. Philadelphia. 1986. hal. 52,299, 302,317.
13. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Farmakope
Indonesia. Edisi Keempat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 1995. hal. 1084, 1143
14. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology. Tenth Edition. McGraw Hill. San Fransisco. 2006. Available as Compiled HTML Help File.
15. Chemical Book Team. Albuterol Sulfate [monograph on the internet]. Belgium: Cehmival Book 2011 [accessed 27 September 2011]. Available from: http://www.chemicalbook.com/chemicalproductproperty_EN.htm.
16. Murtaza Ghulam, Ahmad Mahmood, Akhtar Naveen, Rasool Fatima. A Comparative Study of Various Microecapsulation Techniques: Effect of Polymer Viscosity on Microcapsule Characteristics. Pak J.Pharm Sci. 2009 (22):219-300. Available from: www. Pjps.pk/CD_PJS_22222209-/paper/pdf.
17. Sutriyo, DJ & Novitasari, A. Mikroenkapsulasi Propanolol
Hidroklorida dengan Penyalut Etil Selulosa Menggunakan Metode Penguapan Pelarut. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2004. Available from:www.jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2004/v01n02/sutriyo010204.pdf?PHPSESSID.
18. The United States Phamacopeia Convention. United State
Pharmacopeia 30-National Formulary 25. The United States Phamacopeial Convention Inc. New York. 2006. Available as PDF file.
Tabel 2. Distribusi Ukuran Partikel Mikrokapsul Salbutamol Sulfat
Formula I
Range Ukuran Rata-Rata Ukuran(d)
Jumlah Partikel
Pada Tiap Range
Ukuran (n)
nd
(μm) (μm)
680-780 730 7 5110
780-880 830 30 24900
880-980 930 34 31620
980-1080 1030 67 69010
1080-1180 1130 50 56500
1180-1280 1230 45 55350
1280-1380 1330 44 58520
1380-1480 1430 15 21450
1480-1580 1530 5 7650
1580-1680 1630 3 4890
Jumlah 300 335000
drata-rata = Σnd
Σn =
335000
300= 1116,67 μm
Formula II
Range Ukuran Rata-Rata Ukuran(d)
Jumlah Partikel
Pada Tiap Range
Ukuran (n)
nd
(μm) (μm)
700-800 750 9 6750
800-900 850 47 39950
900-1000 950 88 83600
1000-1100 1050 47 49350
1100-1200 1150 54 62100
1200-1300 1250 34 42500
1300-1400 1350 15 20250
1400-1500 1450 6 8700
Jumlah 300 313200
drata-rata = Σnd
Σn =
313200
300= 1044 μm
Formula III
Range Ukuran Rata-Rata Ukuran(d)
Jumlah Partikel
Pada Tiap Range
Ukuran (n)
nd
(μm) (μm)
280-380 330 3 990
380-480 430 7 3010
480-580 530 33 17490
580-680 630 35 22050
680-780 730 58 42340
780-880 830 52 43160
880-980 930 57 53010
980-1180 1030 55 56650
Jumlah
300 238700
drata-rata = Σnd
Σn =
238700
300= 795,67 μm
Tabel 3. Nilai Serapan Salbutamol Sulfat dalam Media Cairan Lambung Buatan Tanpa Enzim pH 1,2 pada Panjang Gelombang 276 nm untuk Membat Kurva Baku
Konsentrasi (bpj) Serapan
20 40 60 80
100
0,117 0,288 0,382 0,506 0,615
Persamaan garis: y = a + bx a = 0,017638 b = 0,0060641 r = 0,995
Tabel 4. Nilai Serapan Salbutamol Sulfat dalam Media Dapar Fosfat
pH 6,8 pada Panjang Gelombang 276 nm untuk Membuat Kurva Baku
Konsentrasi (bpj) Serapan
20 40 60 80
100
0,131 0,248 0,322 0,488 0,624
Persamaan garis: y = a + bx a = -0,006892 b = 0,0061459 r = 0,993
Tabel 5. Nilai Serapan Mikrokapsul Salbutamol Sulfat untuk Penetapan Kadar Zat Aktif
Replikasi Formula
I II III
1 2 3
0,234 0,243 0,263
0,224 0,204 0,193
0,181 0,188 0,177
Rata-rata 0,247 0,207 0,182
Tabel 6. Kadar Salbutamol Sulfat dalam tiap Formula Mikrokapsul
untuk Pengukuran Kadar Zat Aktif
Formula Kadar Mikrokapsul Kadar Zat Aktif
I 500 bpj 500 bpj 500 bpj
197,13 bpj 204,30 bpj 220,28 bpj
Rata-rata 500 bpj 207,24 bpj
II
500 bpj 500 bpj 500 bpj
189,03 bpj 172,85 bpj 163,91 bpj
Rata-rata 500 bpj 175,26 bpj
III
500 bpj 500 bpj 500 bpj
154,28 bpj 159,68 bpj 150,94 bpj
Rata-rata 500 bpj 154,97 bpj
Tabel 7. Nilai Serapan Hasil Disolusi Dalam Media Cairan Lambung Buatan Tanpa Enzim pH 1,2
Waktu (jam)
Perlakuan Nilai Serapan
I II III Salbutamol
Sulfat
1 1 2 3
0,070 0,048 0,036 0,069
0,052 0,069 0,029 0,092
0,074 0,045 0,045 0,119
Rata-rata 0,066 0,054 0,036 0,094
2 1 2 3
0,078 0,053 0,058 0,076
0,057 0,073 0,050 0,095
0,055 0,046 0,072 0,119
Rata-rata 0,063 0,057 0,059 0,097
4 1 2 3
0,056 0,069 0,081 0,081
0,084 0,069 0,065 0,094
0,059 0,055 0,087 0,155
Rata-rata 0,066 0,064 0,077 0,110
Keterangan: I: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:1 II: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:2 III: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:3
Tabel 8. Hasil Perhitungan Kadar Mikrokapsul Salbutamol Sulfat (mg) Terdisolusi tiap Satuan Waktu Dalam Media Cairan Lambung Buatan Tanpa Enzim pH 1,2
Waktu (jam)
Perlakuan Kadar (mg)
I II III Salbutamol
Sulfat
1
1 8,708 4,996 2,993 8,617
2 5,824 8,424 1,832 12,292
3 9,381 4,499 4,520 16,778
Rata-rata 7,971 5,973 3,115 12,562
2
1 10,049 5,804 6,641 9,725
2 6,491 9,159 5,368 12,700
3 6,102 4,671 8,892 16,725
Rata-rata 7,547 6,544 6,967 13,049
4
1 6,372 8,436 10,484 10,456
2 10,918 8,406 7,779 12,667
3 6,897 6,106 11,461 22,622
Rata-rata 8,062 7,649 9,908 15,248
Keterangan: I: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:1 II: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:2 III: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:3
Tabel 9. Hasil Perhitungan PersentaseTerdisolusi Mikrokapsul Salbutamol Sulfat tiap Satuan Waktu Dalam Media Cairan Lambung Buatan Tanpa Enzim pH 1,2
Waktu (jam)
Perlakuan
Persen Terdisolusi (%)
I II III Salbutamol
Sulfat
1
1 2 3
6,55 5,06 2,06 9,69
9,79 5,62 3,37 13,83
10,55 9,48 5,08 18,88
Rata-rata 8,97 6,72 3,50 14,13
2 1 2 3
6,94 5,31 6,06 11,05
7,41 6,59 7,51 14,44
11,42 10,41 10,06 19,02
Rata-rata 8,59 7,44 7,88 14,84
4
1 2 3
7,32 6,98 8,84 11,99
7,95 9,59 11,92 14,56
12,53 9,71 13,06 25,87
Rata-rata 9,26 8,76 11,27 17,48
Keterangan: I: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:1 II: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:2 III: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:3
Tabel 10. Nilai Serapan Hasil Disolusi Mikrokapsul Salbutamol Sulfat Dalam Media Dapar Fosfat pH 6,8
Waktu (jam)
Perlakuan Nilai Serapan
I II III Salbutamol
Sulfat
1 1 2 3
0,145 0,231 0,080 0,083
0,144 0,149 0,109 0,079
0,144 0,123 0,068 0,095
Rata-rata 0,144 0,168 0,085 0,086
2 1 2 3
0,272 0,217 0,069 0,089
0,289 0,146 0,078 0,081
0,336 0,182 0,072 0,086
Rata-rata 0,299 0,182 0,073 0,085
4 1 2 3
0,239 0,386 0,087 0,100
0,218 0,409 0,092 0,087
0,229 0,188 0,118 0,084
Rata-rata 0,229 0,327 0,099 0,090
6 1 2 3
0,246 0,391 0,358 0,262
0,322 0,263 0,266 0,201
0,346 0,243 0,259 0,237
Rata-rata 0,305 0,299 0,294 0,233
8 1 2 3
0,253 0,332 0,291 0,212
0,365 0,289 0,255 0,272
0,388 0,285 0,268 0,222
Rata-rata 0,336 0,302 0,273 0,236
Keterangan: I: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:1 II: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:2 III: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:3
Tabel 11. Hasil Perhitungan Kadar Mikrokapsul Salbutamol Sulfat (mg) Terdisolusi tiap Satuan Waktu Dalam Media Dapar Fosfat pH
6,8
Waktu (jam) Perlakuan
Kadar (mg)
I II III Salbutamol
Sulfat
1
1 24,739 38,673 14,146 14,686
2 24,472 25,336 18,811 14,009
3 24,547 21,175 12,115 16,587
Rata-rata 24,586 28,394 15,024 15,094
2
1 45,309 36,446 12,442 15,695
2 48,151 24,957 13,763 14,285
3 55,855 30,661 12,787 15,105
Rata-rata 49,772 30,688 12,997 15,028
4
1 40,170 63,853 15,3581 17,443
2 36,651 67,644 16,067 15,296
3 38,329 31,678 20,316 14,822
Rata-rata 38,384 54,392 17,247 15,854
6
1 41,186 64,707 59,409 43,745
2 53,647 43,994 44,474 33,864
3 57,382 40,613 43,214 39,65115
Rata-rata 50,738 49,771 49,032 39,086
8
1 42,359 55,136 48,481 35,679
2 60,472 48,237 42,596 45,497
3 64,309 47,429 44,715 37,31138
Rata-rata 55,713 50,267 45,264 39,496
Tabel 12. Hasil Perhitungan Persentase Terdisolusi Mikrokapsul Salbutamol Sulfat tiap Satuan Waktu Dalam Media Dapar Fosfat pH 6,8
Waktu (jam)
Perlakuan Persen Terdisolusi (%)
I II III Salbutamol
Sulfat
1
1 27,53 23,82 13,63 15,76
2 27,62 28,50 15,92 16,52
3 27,83 43,51 21,16 18,66
Rata-rata 27,66 26,16 16,90 16,98
2
1 51,28 28,34 14,15 16,24
2 54,48 34,81 14,56 17,18
3 63,15 41,48 15,72 17,86
Rata-rata 56,30 34,88 14,81 17,09
4
1 42,10 36,22 17,58 17,03
2 44,01 72,54 18,41 17,58
3 46,19 77,04 23,26 20,03
Rata-rata 44,11 61,93 19,75 18,21
6
1 47,66 46,62 49,12 38,64
2 61,74 50,99 50,57 45,17
3 66,06 74,58 67,49 49,84
Rata-rata 58,49 57,41 55,73 44,55
8
1 49,49 54,84 48,96 41,10
2 70,09 56,32 51,39 43,04
3 74,58 64,62 52,32 52,35
Rata-rata 64,72 58,52 50,89 45,49
Keterangan: I: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:1 II: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:2 III: Formula mikrokapsul dengan perbandingan zat aktif dan penyalut 1:3
Gambar 6. Mikrokapsul salbutamol sulfat dengan kecepatan 500
putaran per menit (dilihat dengan mikroskop optik dengan perbesaran 4x10)
Gambar 7. Mikrokapsul salbutamol sulfat dengan kecepatan 700
putaran per menit (dilihat dengan mikroskop optik dengan perbesaran 4x10)
Gambar 8. Mikrokapsul salbutamol sulfat dengan kecepatan 1000
putaran per menit (dilihat dengan mikroskop optik dengan perbesaran 4x10)
Gambar 9. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula I dengan kecepatan
pengadukan 700 putaran per menit (dilihat dengan mikroskop optik dengan perbesaran 4x10)
Gambar 10. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula II dengan
kecepatan pengadukan 700 putaran per menit (dilihat dengan mikroskop optik dengan perbesaran 4x10)
Gambar 11. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula III dengan
kecepatan pengadukan 700 putaran per menit (dilihat dengan mikroskop optik dengan perbesaran 4x10)
Gambar 12. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula I
Gambar 13. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula II
Gambar 14. Mikrokapsul salbutamol sulfat formula III
Gambar 15. Distribusi ukuran partikel mikrokapsul salbutamol sulfat
formula I
Gambar 16. Distribusi ukuran partikel mikrokapsul salbutamol sulfat
formula II
0
10
20
30
40
50
60
70
80
730 830 930 1030 1130 1230 1330 1430 1530 1630
Jum
lah
Par
tike
l
Ukuran (µm)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
750 850 950 1050 1150 1250 1350 1450
Jum
lah
Par
tike
l
Ukuran (µm)
Gambar 17. Distribusi ukuran partikel mikrokapsul salbutamol sulfat
formula III
Gambar 18. Kurva baku salbutamol sulfat dalam media cairan
lambung buatan tanpa enzim pH 1,2
0
10
20
30
40
50
60
70
330 430 530 630 730 830 930 1030
Jum
lah
Par
tike
l
Ukuran (µm)
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
20 40 60 80 100
Sera
pan
Konsentrasi (bpj)
Kurva Baku
linear
Gambar 19. Histogram hasil perhitungan kadar salbutamol sulfat yang terdisolusi tiap satuan waktu dalam media cairan lambung buatan pH 1,2
Gambar 20. Grafik persen terdisolusi dalam cairan lambung buatan pH 1,2 mikrokapsul salbutamol sulfat
0,00000
2,00000
4,00000
6,00000
8,00000
10,00000
12,00000
14,00000
16,00000
18,00000
jam-1 jam-2 jam-4
kad
ar S
S ya
ng
terd
iso
lusi
(m
g)
Waktu (jam)
formula 1
formula 2
formula 3
salbutamol sulfat
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
jam-1 jam-2 jam-4
Pe
rse
n t
erd
iso
lusi
(%
)
Waktu (jam)
formula 1
formula 2
formula 3
salbutamol sulfat
Gambar 21. Kurva baku salbutamol sulfat dalam media dapar fosfat pH 6,8
Gambar 22. Histogram hasil perhitungan kadar salbutamol sulfat yang terdisolusi tiap satuan waktu dalam medium dapar fosfat pH 6,8
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
20 40 60 80 100
Sera
pan
Konsentrasi (bpj)
Kurva Baku
linear
0
10
20
30
40
50
60
jam-1 jam-2 jam-4 jam-6 jam-8
kad
ar S
S ya
ng
terd
iso
lusi
(m
g)
Waktu (jam)
formula 1
formula 2
formula 3
salbutamol sulfat
Gambar 23. Grafik persen terdisolusi dalam dapar fosfat pH 6,8 mikrokapsul salbutamol sulfat
0
10
20
30
40
50
60
70
jam-1 jam-2 jam-4 jam-6 jam-8
Pe
rse
n t
erd
iso
lusi
(%
)
Waktu (jam)
formula 1
formula 2
formula 3
salbutamol sulfat
Lampiran 1. Skema kerja pembuatan dan evaluasi mikrokapsul
salbutamol sulfat Didispersikan
Diemulsikan dalam parafin
Emulsi etil selulosa, salbutamol sulfat dalam
parafin
Diaduk dengan homogenizer
Didekantasi Dicuci dengan n-heksan
Dikeringkan
Mikrokapsul kering
Dievaluasi
Larutan etil selulosa + aseton Salbutamol sulfat
Mikrokapsul terdispersi dalam parafin
Pengamatan bentuk mikrokapsul
Distribusi ukuran mikrokapsul
Pengukuran kadar zat aktif
Uji disolusi
Lampiran 2. Contoh perhitungan jumlah salbutamol sulfat yang terdisolusi (data diperoleh dari formula I jam ke-1 dan ke-2 dalam medium dapar fosfat pH 6,8)
Serapan
Jumlah salbutamol sulfat yang larut (µg/ml)
Jumlah salbutamol sulfat yang
larut dalam10 ml (µg)
Jumlah salbutamol sulfat yang larut dalam 900 ml (µg)
Koreksi
Jumlah salbutamol sulfat yang
larut setelah koreksi
Persen terdisolusi
1
0,14351 24,472
244,72
22024,8 - 22024,8
27,531
0,14397 24,547 245,47 22092,3
- 22092,3
27,615
0,14515 24,739 247,39 22265,1 - 22265,1 27,831
2
0,27157 45,309 453,09 40778,1 244,72 41022,72 51,278
0,28904 48,151 481,51 43335,9 245,47 43581,37 54,477
0,33639 55,85 558,5 50265 247,39 50512,39 63,147
Keterangan: Persamaan garis regresi kurva baku y = -0,006892+ 0,0061459x dengan koefisien korelasi (r) = 0,993 x adalah konsentrasi y adalah absorbansi sehingga
X= Y - a
b misalnya, serapan adalah 0,14351
1. Dipipet 10 ml. Jadi jumlah salbutamol sulfat yang terdisolusi dalam tiap
ml adalah
X= (0,14351 +0,006892)
0,0061459 = 24,472 µg/ml
2. Jumlah salbutamol sulfat yang larut dalam 10 ml
24,472x 10 = 244,72
3. Jumlah salbutamol sulfat yang larut dalam 900 ml
244,72 × 900
10 = 22024,8 µg
Koreksi
Pada jam awal koreksi belum ada, pada jam selanjutnya koreksi
adalah hasil tambah dari jumlah salbutamol sulfat yang larut dalam 10
ml.
4. Jumlah salbutamol sulfat yang larut (setelah koreksi)
= 22024,8 + 0
= 22024,8 µg
5. Persen disolusi
% = Jumlah salbutamol sulfat yang larut (setelah koreksi)
Jumlah awal salbutamol sulfat
% = 22024,8 µg
80000 µg × 100%
% = 27,531 %