Post on 17-Sep-2015
description
Mendorong Keuangan Inklusif Menggunakan Telepon Selular, Belajar dari M-PESA Kenya Oleh Abrian Duta Firmansyah, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*
Indonesia telah menyampaikan komitmennya untuk mendorong keuangan inklusif baik pada
forum nasional maupun internasional. Keuangan inklusif diartikan sebagai proporsi individu dan
perusahaan yang menggunakan layanan keuangan (International Finance Corporation, 2014).
Tanpa adanya sistem keuangan inklusif, masyarakat miskin harus bergantung pada
penghasilannya yang terbatas untuk berinvestasi dalam pendidikan atau mengembangkan
usahanya (Bank Dunia, 2014). Semakin miskin sebuah rumah tangga, instrumen keuangan
semakin dibutuhkan untuk mengelola kehidupannya (Dermish, Kneiding, Leishman, & Mas,
2012).
Sistem keuangan inklusif dapat diwujudkan melalui kemudahan akses masyarakat terhadap
layanan keuangan secara tepat waktu, nyaman, jelas, dan dengan biaya terjangkau (International
Finance Corporation, 2014). Peningkatan akses layanan keuangan dapat mendorong laju
pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan distribusi pendapatan (Bank Dunia, 2010). Saat ini
akses masyarakat Indonesia pada lembaga keuangan masih relatif rendah. Pada tahun 2010
baru 52% penduduk Indonesia menggunakan jasa keuangan formal dan 79% penduduk miskin
belum memiliki akses ke layanan keuangan formal (Bank Dunia, 2010). Salah satu tantangan
utama Pemerintah dalam mendorong keuangan inklusif adalah kondisi demografi dan geografi
(Bank Indonesia, 2014). Memperluas jangkauan perbankan di luar wilayah perkotaan
membutuhkan biaya yang besar dan di sisi lain permintaan layanan dari masyarakat juga rendah
(Dittus & Klein, 2011).
Indonesia dapat mengoptimalkan teknologi telepon selular untuk meningkatkan akses keuangan
bagi masyarakat miskin. Penggunaan telepon selular dapat mengurangi biaya transaksi,
memudahkan akses ke kredit, fasilitas deposit, dan mendorong keuangan inklusif. Terdapat
korelasi yang kuat antara keuangan inklusif dan pertumbuhan ekonomi apalagi bila didukung
oleh luasnya persebaran penggunaan teknologi telepon selular (Andrianaivo & Kpodar, 2012).
Negara Kenya telah mampu mengembangkan penggunaan telepon selular untuk memfasilitasi
transfer pembayaran bagi pelanggan yang tidak terkait dengan akun bank formal (Dermish,
Kneiding, Leishman, & Mas, 2012). Saat ini sebagian besar masyarakat miskin Kenya telah
mengadopsi dan menggunakan layanan keuangan digital sebagai alat pengiriman uang dan
bantuan pemerintah (Bill & Melinda Gates Foundation, 2012), keberhasilan tersebut tidak
terlepas dari keberhasilan M-PESA yang dioperasikan oleh Safaricom, sebuah penyedia layanan
selular terbesar di Kenya.
M-PESA merupakan layanan menggunakan telepon selular yang memfasilitasi transfer, deposit,
penarikan uang, serta pembayaran barang dan jasa. Sejak dioperasikan tahun 2007 M-PESA
mampu berkembang dengan cepat. M-PESA telah memiliki 7,7 juta pelanggan atau 38% dari
jumlah penduduk dewasa di Kenya pada tahun kedua setelah beroperasi (Pyler, Haas, &
Nagarajam, 2010) dan pada tahun 2012 transasksi transfer M-PESA mencapai Ksh817 milyar,
meningkat 30% dari tahun sebelumnnya (Safaricom, 2014). Pada tahun 2014 M-PESA telah
memiliki 19,3 juta pelanggan atau 42% dari jumlah penduduk dengan 81.025 agen di seluruh
wilayah (Safaricom Limited, 2014).
Studi kualitatif Morawczynski & Pickens (2009) menyatakan penggunaan M-PESA mampu
meningkatkan penghasilan masyarakat desa hingga 30%. Hal ini disebabkan frekuensi
pengiriman uang dari pelaku urbanisasi ke desa semakin meningkat karena tarif yang murah dan
mudah diakses. M-PESA juga dapat menggantikan sebagian fungsi sistem perbankan seperti
tabungan, sehingga meningkatkan tingkat tabungan rumah tangga masyarakat desa (Jack &
Suri, 2010) dan meningkatkan investasi di desa (Morawczynski & Pickens 2009). Meskipun
memiliki fungsi tabungan, Mbiti & Weil (2011) menyatakan hubungan M-PESA dan jasa
perbankan adalah saling melengkapi (complementary), pertumbuhan pengguna M-PESA
berbanding lurus dengan pengguna jasa layanan perbankan dan menurunkan persentase
masyarakat yang menyimpan uangnya secara informal.
Omwansa (2009) menyatakan kesuksesan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1. Persebaran telepon selular
Pertumbuhan penggunaan telepon selular di Kenya mengalami peningkatan yang signifikan.
Hingga Juni 2014 jumlah pelanggan telepon selular mencapai 32,2 juta pengguna dengan
penetrasi 79,2%, jumlah ini meningkat sebesar 38% dari tahun 2010 (Communications Authority
of Kenya, 2015). Safaricom sendiri menguasai sebagian besar pelanggan telepon selular, pada
tahun 2010 provider ini menguasai 81% jumlah pelanggan di Kenya (Communications Authority
of Kenya), hal tersebut memberi keuntungan M-PESA untuk berpenetrasi dengan cepat.
Di Indonesia, telepon selular juga menjadi unsur tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam BPS (2013) selama periode 2009 hingga
2013 jumlah pelanggan telepon selular terus mengalami pertumbuhan rata-rata 22,84% per
tahun. Pelanggan telepon selular tahun 2013 mencapai 313,22 juta pengguna, melebihi jumlah
penduduk Indonesia sebanyak 249 juta penduduk.
Pada rumah tangga miskin, sebanyak 52% atau 13 juta penduduk miskin telah memiliki telepon
selular, 481 ribu atau 51% rumah tangga peserta Program Keluarga Harapan (PKH) juga telah
memiliki telepon selular (PPLS, 2011 dalam Bank Indonesia, 2014). Hasil survey Mercy Corps
kepada 408 petani menyebutkan hampir 73% petani memiliki telepon selular (Mercy Corps
Indonesia, 2012 dalam OJK Seminar 2013 dalam Bank Indonesia 2014).
2. Kebutuhan akses kepada layanan keuangan
Pada awal 2007, hanya 19% orang dewasa Kenya telah memiliki akses ke layanan keuangan
formal, 35% penduduknya terakses kepada layanan keuangan informal, dan 38% dari
masyarakat Kenya belum memiliki akses ke layanan keuangan sama sekali. Rendahnya
penetrasi perbankan dan kebutuhan masyarakat pada jasa keuangan menjadikan M-PESA cepat
berkembang. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Indonesia, saat ini baru 20% orang dewasa yang
memiliki akun pada institusi keuangan formal (Bank Dunia, 2011), sekitar 80% orang miskin tidak
memiliki akses ke layanan keuangan formal dan hampir 40% atau 28 juta penduduk kelompok
rumah tangga miskin tidak terjangkau sistem keuangan sama sekali (Bank Dunia 2010).
3. Transaksi berbiaya rendah
Sebelum M-PESA diperkenalkan, lebih dari 55% masyarakat Kenya mengirimkan uangnya
dengan cara menitipkan pada rekan dan 22% menggunakan perusahaan transportasi seperti
bus. Meskipun hal tersebut dinilai berisiko, tetapi masyarakat lebih memilihnya karena biaya yang
murah dibandingkan dengan perbankan atau jasa pengiriman lainnya seperti Western Union. M-
PESA memberikan jasa layanan keuangan nyaman, murah, dan cepat sehingga dapat diterima
oleh masyarakat.
Kesimpulannya penulis menilai segala potensi untuk mendorong keuangan inklusif menggunakan
telepon selular telah dimiliki oleh Indonesia, namun tetap diperlukan sinergi antarpemangku
kepentingan baik pemerintah maupun swasta agar pengembangan tersebut dapat berjalan
secara efektif dan efisien. Tidak lupa pemerintah untuk terus meningkatkan edukasi kepada
masyarakat mengenai pentingnya layanan keuangan formal.
Keuangan inklusif memang bukan satu-satunya cara untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi
dapat dijadikan salah satu opsi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dengan potensi
yang telah dimiliki.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili instansi tempat penulis bekerja