Post on 03-Mar-2019
1
MEMBUDAYAKAN KNOWLEDGE SHARING DI PERPUSTAKAAN:
Upaya dan Solusi Pustakawan Referensi Untuk Memenuhi kebutuhan
Informasi Pengguna1
Wahid Nashihuddin Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - LIPI
Korespondensi: mamaz_wait@yahoo.com
ABSTRAK Knowledge sharing merupakan salah satu cara yang efektif bagi pustakawan referensi untuk
mengetahui berbagi kebutuhan informasi pengguna dan bahan menetapkan solusi perbaikan
layanan perpustakaan. Melalui knowledge sharing, pustakawan mendapatkan berbagai saran, kritik,
dan ide untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi penggunanya. Khususnya bagi pustakawan
referensi yang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya sehari-hari selalu berhadapan dengan
pemustaka, tentunya harus aktif dan inovatif membantu untuk memenuhi kebutuhan informasi
mereka. Tulisan ini membahas tentang perlunya pustakawan referensi membudayakan knowledge
sharing di perpustakaan dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi pengguna. Tujuan tulisan ini
untuk menjelaskan proses dan cara membudayakan knowledge sharing di perpustakaan, di mana
perlukan peran aktif dan contoh dari pustakawan referensi. Kesimpulan kajian ini adalah
pustakawan referensi perlu menggalakan knowledge sharing di perpustakaan dan
mendokumentasikan hasil knowledge sharing dalam rangka evaluasi peningkatan mutu layanan
perpustakaan yang lebih baik.
Keywords: Knowledge; Knowledge sharing; Reference librarian; Communication; Library.
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan informasi pengguna perpustakaan atau pemustaka di era global ini
semakin kompleks, dan informasi sudah menjadi kebutuhan utama manusia (selain papan,
pangan, sandang). Rusmana (2015) mengatakan bahwa informasi kini sudah menjadi sumber
kekuatan (information is power) yang mendorong orang untuk berlomba mencari dan
mengumpulkan informasi, dan belajar untuk menjadi ahli informasi. Oleh karena itu, masyarakat
sekarang ini dapat disebut juga sebagai masyarakat informasi. Masyarakat informasi adalah
masyarakat yang sadar akan pentingnya informasi, tergantung pada informasi dan menjadikan
informasi tersebut sebagai dasar meningkatkan taraf dan kualitas kehidupan manusia.
Peningkatan kebutuhan informasi pengguna ini menjadi tantangan dan sekaligus
peluang bagi pustakawan untuk menyediakan dan memberikan sumber-sumber referensi
atau literatur yang terbaik kepada mereka. Salah satu upaya untuk memberikan pelayanan
yang terbaik kepada pemustaka adalah dengan meningkatkan komunikasi yang efektif
melalui kegiatan berbagi pengetahuan (knowledge sharing).
Melalui knowledge sharing, pustakawan dapat mengidentifikasi berbagai
kebutuhan informasi pengguna dan menetapkan solusi perbaikan yang bijaksana (disertai
1 Karya Tulis Pustakawan Berprestasi Tingkat Provinsi DKI Jakarta Tahun 2016, 19-20 Juli 2016
2
dengan berbagai pertimbangan yang matang hasil koordinasi dengan berbagai pihak).
Knowledge sharing dilakukan pustakawan tidak hanya dengan menjawab pertanyaan
pemustaka dan mencarikan literatur/koleksi di rak perpustakaan (setelah itu selesai), tetapi
ada tindak lanjut dan penawaran jasa informasi lain yang dimiliki perpustakaan dan
lembaga induknya dalam rangka peningkatan kerja sama dengan pengguna atau
stakeholders.
Kajian ini menegaskan bahwa knowledge sharing perlu dibudayakan oleh
pustakawan, khususnya pustakawan referensi (reference librarian), dalam rangka
“memakmurkan” perpustakaan dan meningkatan mutu layanan perpustakaan secara
berkesinambungan. Pustakawan referensi menjadi tolok ukur keberhasilan perpustakaan
dalam memberikan pelayanan kepada pengguna. Dalam pekerjaannya sehari-hari,
pustakawan referensi dihadapkan langsung permintaan informasi/literatur pengguna. Untuk
itu, pustakawan referensi harus mampu berkomunikasi dengan baik serta responsif
terhadap kebutuhan pengguna. Widyawan (2012) mengatakan bahwa untuk mengenali
pemustaka, pustakawan referensi harus mampu berkomunikasi secara efektif dengan
pemustaka untuk menemukan kebutuhan riil dan menyajikan pelayanan yang berkualitas.
Hal yang menarik lagi adalah ketika hasil knowledge sharing didokumentasikan
oleh pustakawan referensi agar dapat dibaca dan manfaatkan sebagai oleh pihak lain.
Dokumentasi tersebut berupa literatur sekunder yang dapat dimanfaatkan oleh petugas
perpustakaan dan pustakawan lain dalam memberikan pelayanan informasi kepada
pengguna perpustakaan, baik yang dilayani di tempat maupun via-online (email, social
media, instant messenger). Melihat urgensi dari penerapan budaya knowledge sharing di
perpustakaan ini, akan dibahas lebih lanjut dengan dua pokok permasalahan, yaitu: 1)
bagaimana cara membudayakan knowledge sharing di perpustakaan?; dan 2) bagaimana
proses knowledge sharing antara pustakawan referensi dengan pemustaka dan rekan kerja
lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan informasi pengguna perpustakaan. Kedua hal
tersebut dijelaskan secara deskriptif pada pembahasan kajian ini.
2. TINJAUAN TEORI
2.1 Knowledge Sharing
Berbagi pengetahuan (knowledge sharing) merupakan suatu proses di mana
para individu saling mempertukarkan pengetahuan mereka dari tacit knowledge
menjadi explicit knowledge (Gitanauli, 2010). Dingsoyr dan Conradi (2002)
mengatakan bahwa tacit knowledge adalah pengetahuan seseorang yang tidak dapat
diekspresikan secara eksplisit, tetapi ia dapat menuntun perilaku manusia sebagai
3
model mental, pengalaman, dan skill. Kemudian, explicit knowledge adalah
pengetahuan yang dapat diekpresikan dalam bentuk laporan, buku, pembicaraan,
komunikasi formal atau informal. Untuk menjadi suatu “pengetahuan” diperlukan
suatu proses penciptaan yang cukup cermat. Proses penciptaan pengetahuan dapat
dimulai dari mengumpulkan dan merekam data, mengumpulkan dan mengelola
informasi, hingga mengolah informasi menjadi pengetahuan. .
Sudarsono dan Imadianti (2012) menjelaskan bahwa istilah knowledge
managament (KM) di kalangan pustakawan telah dibahas International Federation of
Library Associations (IFLA) sejak tahun 2001. Perkembangan minat pada penerapan
KM dalam lingkungan perpustakaan dan jasa informasi menjadi alasan pustakawan
untuk memperdalam pemahaman atas beragam dimensi KM terkait dengan tugas
mereka. Penerapan KM (pada Devisi III Library Service-IFLA) bertujuan untuk: 1)
mendukung penerapan budaya KM dalam lingkungan perpustakaan dan informasi; 2)
memberikan landasan internasional bagi komunikasi profesional dan pemahaman yang
signifikan atas KM bagi pustakawan dan lembaga mereka; serta 3) mengikuti
perkembangan KM dan mempromosikan penerapannya dalam komunitas IFLA. Sejak
saat itu, banyak pustakawan yang tertarik untuk mendalami pemahaman tentang KM
agar dapat diterapkan di organisasi mereka. Hal penting dari penerapan KM ini yaitu
mengumpulkan dan menghubungkan, sehingga sebaran pengetahuan dalam organisasi
menjadi semakin luas dan mendalam.
The International Federation of Library Associations/IFLA (2015)
menyatakan perlu ditingkatkan diskusi sesama anggota dan pengelola perpustakaan
dalam rangka meningkatkan manajemen pengelolaan pengetahuan di perpustakaan,
yang disertai dengan strategi, proses, dan praktek pengelolaan pengetahuan global,
seperti berbagi pengetahuan untuk knowledge management (KM) di perpustakaan.
Tujuan dari KM tersebut untuk menciptakan, menyimpan, berbagi, menerapkan, dan
menggunakan kembali pengetahuan organisasi untuk memungkinkan suatu organisasi
untuk mencapai sasaran dan tujuan KM, baik berupa tercipta pengetahuan tacit
(keahlian), pengetahuan implicit, maupun pengetahuan explicit dan pengetahuan
prosedural. Pernyataan IFLA tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam praktek KM,
knowledge sharing dilaksanakan dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan organisasi
dengan mengolah pengetahuan tacit menjadi pengetahuan explicit yang
terdokumentasi dan prosedural.
Nonaka dan Takeuchi (1995) mengatakan bahwa proses penciptaan
pengetahuan penting bagi karyawan secara individual. Penciptaan pengetahuan dapat
4
dipandang sebagai proses internalisasi pengetahuan individu ke pengetahuan
organisasi. Pengetahuan diciptakan melalui interaksi antar individual pada berbagai
level organisasi. Di perpustakaan, Chen, Chu, dan Xu (2012) menjelaskan ada empat
kategori proses transfer pengetahuan, yaitu: a) berbagi pengetahuan antara pustakawan
dengan pengguna untuk saling berbagi sumber informasi; b) penyebaran informasi
melalui berita dan pengumuman yang di update dari perpustakaan; c) komunikasi
yang ditujukan ke individual; serta d) percakapan antara pustakawan dan pemustaka
atau antar-pemustaka.
2.2 Komunikasi Pustakawan
Kunci keberhasilan proses knowledge sharing adalah komunikasi. Komunikasi
yang terjadi di perpustakaan, baik antara pustakawan dengan pemustaka atau
sebaliknya dikategorikan sebagai komunikasi interpersonal. Andayani (2009)
mengatakan komunikasi interpersonal sebagai suatu proses pengiriman pesan dari
komunikator kepada komunikan, baik secara langsung maupun melalui media.
Menurut Effendy (2003), komunikasi sangat penting di dalam perpustakaan untuk
menentukan kualitas layanan perpustakaan yang ideal, khususnya hubungan
komunikasi interpersonal. Melalui komunikasi interpersonal, pesan yang disampaikan
oleh satu orang dapat diterima orang lain.
Batubara (2011) mengatakan bahwa kompetensi komunikasi pustakawan
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan layanan perpustakaan, terutama pustakawan
yang bertugas di bagian pelayanan. Spitzberg (1984:68) menjelaskan bahwa
kompetensi komunikasi sebagai kemampuan untuk berinteraksi, baik memberikan
penjelasan kepada orang lain, menunjuk pada ketepatan, kejelasan,
komprehensibilitas, koherensi, efektivitas keahlian, maupun kesesuaian.
2.3 Pustakawan Referensi
Pustakawan referensi adalah seorang pustakawan yang bekerja di pelayanan
publik, menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pengunjung perpustakaan di meja
referensi, melalui telepon, atau e-mail (Reitz, 2014). Widyawan (2012) mengatakan
kompetensi profesional seorang pustakawan referensi yaitu mampu memberikan
pelayan prima bagi pemustaka. Kompetensi profesional pustakawan referensi ini dapat
dibuktikan dengan perilaku, kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan referensi
dalam memberikan pelayanan referensi yang bermutu. Beberapa wujud kompetensi
profesional dari seorang pustakawan referensi, yaitu:
5
1) Akses, pustakawan referensi mampu menganalisis dan menanggapi kebutuhan
pelayanan informasi serta mampu merancang dan mengelola pelayanan
referensi. Fokus utama dalam aspek akses ini yakni tentang pemahaman
pustakawan tentang kebutuhan dan perilaku informasi pemustaka sehingga
pustakawan perlu mengembangkan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan
informasi pemustaka secara efektif.
2) Basis pengetahuan, pengetahuan pustakawan referensi mencakup: a) struktur
sumber informasi bidang utama pengguna; b) sarana informasi dasar, seperti
katalogisasi sistem komputer, sistem pencarian, pangkalan data, situs web,
pengelolaan jurnal dan monograf (cetak atau elektronik), dan video/rekaman
suara; c) pola penelusuran informasi dan perilaku pemustaka; d) prinsip-prinsip
komunikasi yang interaktif dengan pemustaka; e) mengetahui pengaruh
teknologi terhadap struktur informasi; f) hak cipta dan kekayaan intelektual;
serta g) standar kompetensi informasi.
3) Pemasaran, pemasaran ini merupakan aspek perencanaan strategis, yakni dengan
menetapkan promosi. Dalam kegiatan promosi ini, pustakawan harus
menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi yang tepat untuk meningkatkan
pelayanan kepada pemustaka.
4) Kolaborasi, kolaborasi diartikan sebagai bekerja bersama dengan orang lain.
Kolaborasi berguna untuk memelihara hubungan baik dengan pemustaka dan
sejawat, baik di dalam maupun di luar perpustakaan. Pustakawan harus
bekerjasama dengan sejawat, organisasi profesi, dan kelompok lain untuk
memastikan bahwa pemustaka menerima pelayanan yang tepat.
5) Evaluasi dan penilaian sumber daya dan pelayanan, hal ini dilakukan secara
konsisten agar kebutuhan informasi pemustaka dapat terpenuhi dan pelayanan
informasi yang diberikan ke pemustaka hasilnya relevan. Pustakawan referensi
dituntut untuk memiliki kompetensi dalam mengevaluasi pelayanan yang
diberikan ke pemustaka, baik dilakukan secara formal maupun informal.
Menurut Helmi dan Iman (2009), hubungan yang bersifat formal ataupun
informasi di antara karyawan merupakan hal penting dalam berbagi pengetahuan
di dalam organisasi.
2.4 Kajian Sejenis
Safitri (2014) dalan artikelnya yang berjudul “Penerapan Knowledge Sharing
untuk Peningkatan Layanan Perpustakaan Perguruan Tinggi”, menjelaskan bahwa
6
knowledge sharing merupakan salah satu elemen penting di perpustakaan akademik.
Penerapan knowledge sharing tidak terlepas dari peranan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) untuk mempermudah segala aktivitas di perpustakaan. Penerapan
knowledge sharing memberikan beberapa keuntungan, baik bagi pustakawan maupun
pengguna (users). Konsep dasar penerapan knowledge sharing ini merujuk konsep
analisis yang dicetuskan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995), yaitu SECI (Socialization,
Externalization, Combination, Internalization). Melalui penerapan SECI terjadi proses
perpindahan pengetahuan dengan aktivitas berbagi pengetahuan (knowledge sharing).
Di Perpustakaan, proses knowledge sharing dapat dilakukan dengan memanfaatkan
situs media sosial. Penerapan knowledge sharing melalui media sosial dan blog
perpustakaan serta motivasi diri bagi pustakawan untuk meningkatkan layanan
perpustakaan menjadi hal yang harus diperhatikan oleh pustakawan/pengelola
perpustakaan. Hasil kajian ini, yaitu: 1) perpustakaan perlu mengoptimalkan TIK
untuk berbagi pengatahuan dalam rangka peningkatan layanan informasinya, baik
melalui media sosial, blog, maupun wiki); 2) perlunya motivasi diri pustakawan untuk
berbagi pengetahuan; 3) perlunya reward (dalam berbagai bentuk) dari organisasi
sebagai bentuk penghargaan kepada pustakawan yang telah bersedia berbagi
pengetahuan.
Dong (2008) dalam artikelnya yang berjudul “Using Blog for Knowledge
Management in Libraries”, menjelaskan bahwa media online perpustakaan yang
dianggap efektif untuk berbagi pengetahuan dengan pengguna adalah blog. Blog
sebagai sarana yang lebih efektif untuk berbagi pengetahuan. Blog dapat membantu
perpustakaan membangun kesadaran pemustaka untuk berbagi pengetahuan. Selain
itu, blog dapat menjangkau tujuan dari manajemen pengetahuan (knowledge
management), yaitu berperan sebagai wahana komunikasi internal. Dalam komunikasi
internal, semua pustakawan dapat membagi pengetahuannya, baik yang bersifat tacit
maupun explicit. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Forcier (2013) melalui
artikelnya yang berjudul “The Shoemaker’s Son: A Substantive Theory of Social
Media Use for Knowledge Sharing in Academic Libraries”, yang dilakukan pada
beberapa perpustakaan perguruan tinggi di Kanada. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa media sosial telah terintegrasi ke dalam praktek berbagi pengetahuan. Blog dan
Wiki mendukung berbagi pengetahuan secara internal dengan kategori seperti
pengumuman, berita dan informasi ke pustakawan dan staf. Media sosial dapat
digunakan perpustakaan untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi kepada
pemustaka khususya untuk peningkatan layanan perpustakaan. Selain itu, media sosial
7
dapat digunakan untuk mendukung berbagi pengetahuan, khususnya tacit knowledge
yang dimiliki oleh para praktisi sehingga pustakawan dan pemustaka dapat
memperoleh keuntungan dari proses tersebut.
3. PEMBAHASAN
3.1 Membudayakan Knowledge Sharing di Perpustakaan
Keberhasilan penerapan KM di perpustakaan tidak dapat terlepas dari aktivitas
berbagi pengetahuan antar-pustakawan dengan pihak lain. Rodin, Kismiyati, dan
Margono (2011) bahwa pengimplementasian knowledge management tidak bisa
terlepas dari kegiatan knowledge sharing. Adanya kemauan untuk membagi
pengetahuan antar-individu sangat diperlukan dan dari pengetahuan individu-individu
disimpan sebagai pengetahuan organisasi. Budaya individualisme harus sudah mulai
ditinggalkan, ilmu yang dimiliki individu sudah mulai di-sharing ke para kolega demi
kemajuan organisasi. Knowledge sharing akan meningkatkan pemahaman antara
sesama anggota sehingga antara anggota akan saling mendukung serta meningkatkan
kinerja dan akhirnya akan menemukan proses kerja yang terbaik bagi organsiasi.
Knowledge sharing dapat meningkatkan wawasan seorang pegawai tentang kegiatan-
kegiatan yang ada di lembaganya, serta menjaga keharmonisan dan keberlangsungan
komunikasi dan kerja sama suatu lembaga. Kegiatan knowledge sharing ini sebaiknya
rutin dilaksanakan oleh pegawai/petugas perpustakaan, baik melalui kegiatan
pertemuan, diskusi, seminar, maupun media sosial online.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa knowledge sharing
sangat mendukung terciptanya kegiatan knowledge management di suatu organisasi,
termasuk di perpustakaan. Melalui knowledge sharing, pengetahuan pustakawan yang
dibagikan ke pemustaka dan rekan kerja lain dapat menjadi pengetahuan organisasi.
Artinya bahwa pengetahuan pustakawan menjadi dasar rujukan bagi pemustaka,
petugas perpustakaan, dan pimpinan lembaga dalam rangka peningkatan layanan
referensi perpustakaan.
Agar knowledge sharing antar-sivitas individu atau kolektif di perpustakaan
dapat harmonis dan efektif, pustakawan referensi perlu mempersiapkan kompetensi
komunikasi yang baik, yaitu: 1) komitmen dan itikad baik; 2) rasa empati
(kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain dan pengalaman
bagaimana perspektif yang terasa); 3) fleksibilitas (mampu memilih respon yang untuk
mencapai tujuan bersama); 4) sensitivitas terhadap konsekuensi; dan 5) kecakapan
berkomunikasi (Rowley, 1999). Kompetensi komunikasi ini menjadi kunci
8
keberhasilan bagi pustakawan referensi dalam untuk membudayakan pelaksanaan
knowledge sharing di perpustakaan.
Terkait dengan tugas membudayakan knowledge sharing di perpustakaan,
pustakawan referensi harus mampu menjadi contoh kepada rekan kerja lain dan
bersikap pro-aktif terhadap permintaan informasi pemustaka. Membudayakan berarti
mengajar supaya mempunyai budaya; membiasakan suatu perbuatan yang baik
sehingga dianggap sebagai berbudaya (KBBI, 2008). Mengacu pada pernyataan
tersebut, membudayakan berarti membiasakan diri untuk hal baik, yang dilakukan
secara sadar untuk tujuan tertentu. Jika diterapkan di perpustakaan, maka budaya
knowledge sharing ini menjadi kebiasaan atau tradisi positif untuk meningkatkan mutu
layanan perpustakaan yang berorientasi pada kebutuhan informasi pengguna.
Berikut ini beberapa upaya yang dilakukan oleh pustakawan referensi untuk
membudayakan knowledge sharing di perpustakaan, yaitu:
1) Mengetahui cara yang tepat dan benar dalam menjawab berbagai pertanyaan
pemustaka dalam wujud 5 W + 1 H (Who, What, When, Where, Why + How)
dengan sikap user friendly (ramah, sopan, simpati, dan empati).
2) Selalu menyediakan waktu luang untuk berdiskusi dengan pemustaka. Cara
tersebut untuk mengetahui karakter dan perilaku pemustaka dalam
memanfaatkan sumber-sumber informasi perpustakaan. Dengan mengetahui
kepribadian pemustaka, pustakawan akan mudah untuk melayaninya, harus apa
dan bagaimana untuk melayani kebutuhan informasinya?
3) Merespon dan menghargai sanggah balik (feed back) dari pemustaka.
Pustakawan harus menganggap pemustaka/pengguna layanan sebagai “tamu
istimewa” (dalam istilah dagang, tamu adalah pembeli dan pembeli adalah raja).
Pengguna harus mendapatkan perlakuan dan sambutan “spesial” dari
pustakawan, baik pengguna yang datang ke perpustakaan maupun via-online.
Selain itu, pustakawan harus menghargai setiap pertanyaan atau permasalahan
yang dihadapi pemustaka, meskipun kadang-kadang hal yang disampaikan di
luar batas kemampuan pustakawan untuk menjawabnya. Setiap pertanyaan
pemustaka harus direspon dan dihargai dengan baik oleh pustakawan. Ketika
komunikasi antara pustakawan dengan pemustaka sudah terjalin baik, kebutuhan
informasi pemustaka yang awalnya hanya terbatas pada mendapatkan literatur
perpustakaan akan melebar ke permintaan informasi yang bersifat global,
seperti: a) pemustaka ingin memesan literatur yang bersifat kompleks dalam satu
subjek/topik; b) pemustaka meminta bimbingan literasi informasi perpustakaan;
9
c) pemustaka ingin kerjasama perpustakaan, baik berupa seminar maupun
pelatihan bidang perpustakaan.
4) Menawarkan jasa informasi perpustakaan/lembaga yang lain. Pustakawan
referensi harus mampu mempromosikan dan menawarkan jasa-jasa informasi
perpustakaan lain yang lebih menarik dan inovatif agar pengguna lebih mudah
mengakses dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dalam konteks ini,
pustakawan referensi beperan sebagai humas (public relation) atau “marketer”
perpustakaan. Pustakawan referensi harus bisa “memberikan rasa perhatian
lebih” kepada pemustaka agar lebih tertarik dengan hal-hal yang ditawarkan.
Misalnya, penawaran pembuatan kemasan informasi/pengetahuan sesuai
permintaan pengguna dan menyediakan layanan pemesanan (reservasi) literatur
via-online.
5) Menawarkan kerjasama berbasis kemitraan dengan pengguna. Cara ini bertujuan
untuk membangun jaringan atau kerjasama perpustakaan dengan berbagai
lembaga/institusi. Hal yang perlu diingat bahwa pengguna/pemustaka adalah
mitra kerja pustakawan. Selain jadi konsumen informasi, pengguna/pemustaka
menjadi mediator pustakawan untuk menghubungkan ke lembaga/institusinya.
Dalam hal ini sebagai mediator kerjasama berbasis kemitraan (saling
menguntungkan). Bentuk kerjasama ini dapat berupa profiling
perpustakaan/lembaga ataupun pelatihan bidang kepustakawanan, seperti
pelatihan layanan referensi, metodologi penelitian kepustakawanan, pembuatan
kemasan informasi/pengetahuan, pembangunan database perpustakaan, dan
pembangunan jurnal elektronik.
Kelima upaya di atas diharapkan dapat meningkatkan tali komunikasi dan kerjasama
pustakawan dan lembaganya dengan pengguna/stakeholders, serta menjadi solusi
terbaik bagi pustakawan referensi untuk memenuhi berbagai kebutuhan informasi
penggunanya.
3.2 Proses Knowledge Sharing di Perpustakaan
Terkait dengan proses knowledge sharing ini, pustakawan referensi dapat
menerapkan konsep atau model transfer pengetahuan dengan konsep SECI
(socialization, externalization, combination, dan internalization) sebagaimana yang
dijelaskan oleh Nonaka and Nishiguci (2001).
10
Gambar 1. The Knowledge Spiral, SECI Model (Nonaka and Nishiguci, 2001).
Keterangan:
Socialization, berbagi pengalaman untuk menciptakan pengetahuan tacit,
seperti model mental bersama dan ketrampilan teknis. Hal ini dapat dilakukan
melalui observasi dan praktek ide.
Externalization, proses mengartikulasikan konsep pengetahuan tacit ke
pengetahuan explicit menggunakan metafora, analogi, konsep, hipotesis, atau
model.
Combination, proses memadukan sistem konsep pengetahuan eksplisit ke
sistem pengetahuan melalui jaringan.
Internalization, pengetahuan explicit diwujudkan menjadi pengetahuan tacit.
Hal ini biasa disebut sebagai “learning by doing”. Pengetahuan ini
diartikulasikan atau digambarkan ke dalam bentuk dokumen atau cerita lisan.
Berdasarkan konsep SECI di atas, pustakawan menerapkan knowledge sharing di
perpustakaan dengan cara sebagai berikut.
Tabel 1. Penerapan Knowledge Sharing Melalui Konsep SECI
No Konsep SECI Proses Knowledge Sharing Dokumentasi
Hasil Knowledge Sharing
1 Socialization
(dari tacit ke tacit)
Pengguna/pemustaka menyampaikan
berbagai permasalahan terhadap
kebutuhannya kepada pustakawan.
Pustakawan mengindentifikasi dan
menyampaikan jawabannya kepda
pemustaka. Selama terjadi
diskusi/tanya jawab (interaktif)
antara kedua belah pihak dan sudah
sama-sama saling memahami proses
knowledge sharing selesai. Tetapi
jika, pemustaka belum puas dengan
jawaban pustakawan, maka
mencatatnya pada formulir layanan
dan menyampaikan alasannya secara
jelas; kapan pemustaka dapat
memperoleh jawaban yang pasti.
Jabawan pustakawan lisan.
Data pertanyaan pemustaka
yang belum terjawab.
Hasil dokumentasi:
Pengetahuan tidak
terekam/tertulis (tacit
knowledge)
2 Externalization
(dari tacit ke
explicit)
Pustakawan mengidentifikasi hasil
tanya-jawab dan merekamnya dalam
formulir layanan.
Pemustaka memahami jawaban yang
disampaikan pustakawan dan
Feedback (umpan balik) dari
pemustaka
Jawaban pustakawan
terhadap pertanyaan lain
pemustaka
11
mendapatkan informasi yang
dibutuhkan. Jika pemustaka ingin
bertanya hal lain, dapat memberikan
feedback (umpan balik) terhadap
jawaban pustakawan hingga
mendapatkan informasi yang lebih
kompleks.
Pustakawan merespon pertanyaan
pemustaka dan mencatatnya di
formulir layanan, jika perlu
disampaikan ke petugas/pustakawan
lain yang memberikan pelayanan
perpustakaan.
Pustakawan mengidentifikasi berbagi
pertanyaan dan jawaban yang
terekam pada formulir layanan dan
menuangkannya ke dokumen tanya-
jawab perpustakaan, seperti
dokumen FAQ, baik format cetak
maupun elektronik yang
diinformasikan melalui website
perpustakaan/lembaga.
Hasil dokumentasi tersebut,
kemudian disampaikan ke
petugas/pustakawan lain (diharapkan
dapat menjadi acuan untuk
membantu menjawab pertanyaan
referensi di perpustakaan).
Dokumen FAQ (pertanyaan
sudah dikelompokkan
berdasarkan kategorinya)
Publikasi hasil knowledge
sharing¸bentuk cetak atau
elektronik (online).
Hasil dokumentasi: Pengetahuan
terekam/tertulis (explicit
knowledge) dalam bentuk
dokumen FAQ Layanan
Perpustakaan, bentuk cetak
atau elektronik.
3 Combination
(dari explicit ke
explicit)
Pustakawan mendokumentasikan
dalam bentuk FAQ layanan
perpustakaan dan menyampaikannya
ke petugas/pustakawan lain untuk
meminta masukan perbaikan.
Petugas/pustakawan lain
menggunakan dokumen FAQ dan
memberikan tanggapannya untuk
perbaikan informasi dokumen
tersebut.
Pemustaka, petugas perpustakaan,
dan pustakawan lain dapat
menggunakan dokumen FAQ untuk
literatur sekunder, baik untuk
kepentingan pendidikan, penelitian,
maupun pembuatan karya tulis.
Publikasi hasil knowledge
sharing.
Perbaikan dan update
informasi dokumentasi hasil
knowledge sharing
Pemanfaata publikasi untuk
literatur sekunder.
Hasil dokumentasi: Pengetahuan
terekam/tertulis (explicit
knowledge) bentuk literatur
sekunder untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, dan
pembuatan karya tulis.
4 Internalization
(dari explicit ke
tacit)
Pustakawan menyampaikan/
mensosialisasikan publikasi hasil
knowledge sharing ter-update kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
Pengguna dokumen dapat memahami
dokumen hasil knowledge sharing
dan menggunakannya sesuai
kebutuhan, khususnya untuk
pembelajaran bersama
Pemanfaatan dokumen FAQ
(hasil knowledge sharing)
Hasil dokumentasi: Pengetahuan
terekam/tertulis (explicit
knowledge) digunakan untuk
memenuhi kebutuhan informasi
pengguna.
Berdasarkan model transfer pengetahuan SECI di atas, hasil dari kegiatan knowledge
sharing adalah dokumen tanya-jawab layanan referensi perpustakaan, yang berupa
dokumen Frequently Asked Questions (FAQ). Dokumen tersebut dapat berupa
dokumen cetak ataupun elektronik (yang diinformasikan melalui website
12
perpustakaan/lembaga). Dokumen FAQ tersebut tidak hanya sekedar hasil pekerjaan
pustakawan referensi, tetapi juga sebagai referensi sekunder untuk memperlancar
pelayanan referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
4. PENUTUP
Pustakawan referensi sebagai tolok ukur keberhasilan layanan informasi perpustakaan
dituntut untuk aktif melakukan komunikasi dan kerjasama dengan berbagai pihak. Jalinan
komunikasi dan kerjasama tersebut perlu dioptimalkan melalui kegiatan knowledge sharing di
perpustakaan. Dengan sikap user friendly pustakawan, kegiatan knowledge sharing akan
menghasilkan hal-hal yang positif baik bagi diri pengembangan kompetensi diri pustakawan
referensi dan peningkatan citra lembaganya. Melalui knowledge sharing, pustakawan dapat
mengidentifikasi berbagai permasalahan dan kebutuhan informasi pengguna, serta dapat menetapkan
solusi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. Agar hasil knowledge sharing dapat diketahui dan
dipahami oleh pemustaka dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka harus didokumentasikan
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Tri Rejeki. 2009. Efektifitas Komunikasi Interpersonal. Semarang: UNDIP.
Batubara, Abdul Karim. 2011. Urgensi Kompetensi Komunikasi Pustakawan dalam
Memberikan Layanan Kepada Pemustaka. Jurnal Iqra’, Vol. 05, No.01, Mei.
Chen, Dora Yu-Thing, Samuel Kai-Wah Chu, Shu-Qin Xu. 2012. How Do Libraries Use
Social Networking Sites to Interact with Users. ASIST October 28-31.
Dingsoyr, T., dan Conradi, R. 2002. A Survey of Case Studies of the Use of Knowledge
Management in Software Engineering. International Journal of Software Engineering
and Knowledge Engineering, 12 (4), 391-414.
Dong, Elaine Xiaofen. 2008. Using Blog for Knowledge Management in Libraries. CALA
Occasional Paper Series No.2.
Effendy, Onong Uchjana. 2002. Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Forcier, Eric. 2013. The Shoemaker’s Son: a Substantive Theory of Social Media Use for
Knowledge Sharing in Academic Libraries. Tesis. Kanada: Universitas Alberta.
Gitanauli, Tiurma K.F.P. 2010. Pengaruh Knowledge Sharing dan Absorptive Capacity
Terhadap Innovation Capability pada Direktorat Corporate Services dan Direktorat
Marketing di PT Indosat Tbk. Journal of Management and Business Review, Vol.7 No.1
January, page.59-71.
IFLA. 2015. Knowledge Management Section. 6 Oktober (di http://www.ifla.org/km, 28
April 2016).
KBBI. 2008. Budaya. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (di
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, 28 April 2016).
Nonaka, I., & Nishiguchi, T. 2001. Knowledge Emergence: Social, Technical, and
Evolutionary Dimensions of Knowledge Creation : Oxford University Press, USA.
Nonaka, I dan Takeuchi, H. 1995. The Knowledge Creating Company: How Japanese
Companies Create the Dynamics of of Innovation. New York: Oxford University Press.
Perpusnas. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI.
13
Reitz, Joan M. 2014. Reference Librarian. Online Dictionary for Library and Information
Science. http://www.abc-clio.com/ODLIS/odlis_r.aspx (19 September 2015).
Rodin, Rhoni, Titiek Kismiyati, dan Tri Margono. 2011 Implementasi Knowledge Sharing
Sebagai Upaya Peningkatan Efektifitas Keprofesionalan Pustakawan (Studi Kasus Di
Perpustakaan STAIN Curup). http://pustakawan.pnri.go.id/jurnal/ (19 September 2015).
Rowley, Richard D. 1999. Interpersonal Competence. http://www.uky.edu/~drlane. (19
September 2015).
Rusmana, Agus. 2015. Masyarakat Berpengetahuan dan Kepustakawanan: Kepustakawanan
Berorientasi Pengetahuan. Makalah Sidang Perdana dan Terbuka Kappa Sigma Kappa
Indonesia (KSKI) bersama Komunitas Jelajah dan PDII-LIPI, KSKI akarta, 17 Desember. Safitri, Dyah. 2014. Penerapan Knowledge Sharing untuk Peningkatan Layanan Perpustakaan
Perguruan Tinggi. Jurnal KHIZANAH AL-HIKMAH, Vol.2, No.2, Juli-Desember.
Sudarsono, Blasius dan Prafita Imadianti. 2012. Pustakawan Memandang Knowledge
Management. Makalah ini telah disampaikan dalam “Kuliah Umum, Terbuka, dan
Gratis ke XII”, PDII-LIPI, 29 Juni 2012.
Widyawan, Rosa. 2012. Pelayanan Referensi Berawal dari Senyuman. Bandung: CV Bahtera
Ilmu.