Post on 07-Dec-2015
description
ISOLASI SENYAWA KININ
DARI KULIT BATANG KINA (Cinchona succirubra)
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitokimia 2
Disusun Oleh:
Kelas : 3FA3
Grup/Kelompok : G6/Kelompok 2
Ita Nurlia 21121258
Raihana Atsil
Retno Rahayu Ningsih
Rivan Fajarudin azhar
Taufik Muhammad Fakih
Tri Bambang Pamungkas
Vriska Nurilla Guanawan
Yu Desti (21121138)
SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG
2015
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN BOTANI
I. KLASIFIKASI TUMBUHAN
Kina merupakan tanaman yang telah lama digunakan untuk mengobati malaria
(penyakit berulang yang ditandai dengan menggigil parah dan demam). Tanaman
Cinchona succirubra Pavon et Klot mempunyai nama dagang yaitu kina. Nama daerah
di Sumatera (Melayu) adalah kina, dan di Jawa Tengah juga kina.
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Rubiaceae
Genus : Chinchona
Spesies : Chinchona succirubra Pavon et Klot.
II. MORFOLOGI TANAMAN
Dekripsi tanaman kina:
Pohon kina memiliki kulit yang rasanya sangat pahit. Tanaman ini tergolong
tanaman yang menyerbuk silang dan sangat heterozigot. Tanaman kina tumbuh
dengan baik di lereng gunung denga curah hujan diatas 2000 mm setahun dan tersebar
merata sepanjang tahun, dengan iklim yang lembab dan suhu antara 12-21 oC. Dari
asalnya di pegunungan Andes, tanaman ini menyebar ke Indonesia, India. Di pulau
Jawa tanaman ini dibudidayakan di daerah pegunungan dengan ketinggian antara 800
– 1600 m diatas permukaan laut.
Batang:
Tanaman kina ini berkayu dan berbentuk bulat. Warna pohon tanaman kina
yaitu coklat kehijauan.
Daun:
Daun kina merupakan daun tunggal, berbentuk lonjong hampir bulat, tepi daun
rata, ujung dan pangkal daun tumpul , panjang daun 15-35 cm, lebar daun 9-23 cm,
pertulangan menyirip. Daun kina ini pada saat masih muda berwarna hijau dan setelah
tua berubah menjadi merah.
Bunga:
Bunga kina merupakan bunga majemuk, berbentuk bintang. Panjang tangkai
bunga 5-11 cm. Warna bunga putih kekuningan, kelopak bertajuk lima, bagian
pangkal menyatu dan berwarna hijau. Benang sari berjumlah 5 buah. Tangkai sari
berwarna putih sedangkan kepala sari berwarna cokelat. Putik berwarna hijau.
Mahkota bunga berbentuk tabung dengan ujung membesar dan berwarna cokelat
muda.
Buah:
Buah kina berbentuk kotak , lonjong. Buah kina ini keras, dan berwarna
cokelat muda.
Biji:
Biji kina kecil dan berwarna hitam.
Akar:
Akar kina adalah akar tunggang, berwarna cokelat, dan berwarna keputih -putihan.
B. TINJAUAN KIMIA
1. KANDUNGAN ZAT BERKHASIAT
Tanaman herbal kina mengandung beragam zat yang bisa dipakai sebagai obat
herbal. Kandungannya adalah alkaloida, kinina, sinkonina, kinidina, asan kinat,
sinkonidina, asan kinatanat dan zat kina. Kinin merupakan alkaloid yang ditemukan dalam
kulit pohon Cinchona yang digunakan sebagai antimalaria.
2. TANAMAN KINA
2.1 Sejarah Singkat
Kina merupakan tanaman obat berupa pohon yang berasal dari Amerika Selatan
di sepanjang pegunungan Andes yang meliputi wilayah Venezuela, Colombia, Equador,
Peru sampai Bolivia. Daerah tersebut meliputi hutanhutan pada ketinggian 900-3.000 m
dpl. Bibit tanaman kina yang masuk ke Indonesia tahun 1852 berasal dari Bolivia, tetapi
tanaman kina yang tumbuh dari biji tersebut akhirnya mati. Pada tahun 1854 sebanyak
500 bibit kina dari Bolivia ditanam di Cibodas dan tumbuh 75 pohon yang terdiri atas 10
klon.
2.2 Senyawa Kimia
Tumbuhan Kina (Cinchona sp.) merupakan bahan baku farmasi yang sangat
dinilai dan terkenal luas sebagai salah satu jenis tanaman obat-obatan berkhasiat dan
sudah lama digunakan sebagai obat anti malaria. Pada struktur kinin terdapat 2 bagian
yaitu cincin kinin dan kinolin (lihat stuktur kimia di atas). Pada cincin kinolin terdapat 2
atom C asimetrik sehingga produknya berupa campuran dengan struktur dalam ruang
yang berebda. Khasiat tanaman ini, sabagai anti malaria berasal dari senyawa alkaloid
kuinina (alkaloid chincona) terutama senyawa kuinina (C20H24N2O2), kuinidina (isomer
dari kuinina), sinkonina (C19H22N2O), dan sinkonidina (isomer dari sinkonina). Hampir
keseluruhan bagian tanaman kina (akar, batang, daun, dan kulit) mengandung senyawa
alkaloid kiunina tersebut dalam persentase yang berbeda.
2.3 Asal Tumbuhan
Kina merupakan tanaman obat berupa pohon yang berasal dari Amerika
Selatan di sepanjang pegunungan Andes yang meliputi wilayah Venezuela, Colombia,
Equador, Peru sampai Bolivia. Daerah tersebut meliputi hutan-hutan pada ketinggian
900-3.000 m dpl. Bibit tanaman kina yang masuk ke Indonesia tahun 1852 berasal dari
Bolivia, tetapi tanaman kina yang tumbuh dari biji tersebut akhirnya mati. Pada tahun
1854 sebanyak 500 bibit kina dari Bolivia ditanam di Cibodas dan tumbuh 75 pohon
yang terdiri atas 10 klon. Nama daerah : kina, kina merah, kina kalisaya, kina
ledgeriana. Dari sekian banyaknya spesies kina di Indonesia, hanya 2 spesies yang
penting yaitu C. succirubra Pavon (kina succi) yang dipakai sebagai batang bawah dan
C. ledgriana (kina ledger) sebagai bahan tanaman batang atas..Klon-klon unggul yang
dianjurkan adalah antara lain: Cib 6, KP 105, KP 473, KP 484dan QRC. C. calisaya
Wedd. (kina kalisaya) juga banyak dikenal dan ditanam oleh masyarakat.
2.4. Deskripsi
Cinchona succirubra
Tanaman berupa pohon dengan tinggi hingga 17m, cabang berbentuk galah
yang bersegi 4 pada ujungnya, mula-mula berbulu padat dan pendek kemudian agak
gundul dan berwarna merah. Daun letaknya berhadapan dan berbentuk elips, lama
kelamaan menjadi lancip atau bundar, warna hijau sampai kuning kehijauan, daun gugur
berwarna merah. Tulang daun terdiri dari 11 – 12 pasang, agak menjangat, berbentuk
galah, daun penumpu sebagian berwarna merah, sangat lebar. Ukuran daun panjang 24
– 25cm, lebar 17 –19cm. Kelopak bunga berbentuk tabung, bundar, bentuk gasing,
bergigi lebar bentuk segitiga, lancip. Bunga wangi, bentuk bulat telur sampai
gelendong.
Cinchona calisaya
Letak daun berhadapan, bentuk bundar sungsang lonjong, panjang 8 –15cm,
lebar 3 – 6cm, permukaan bagian bawah berbulu halus seperti beludru terutama pada
daun yang masih muda, panjang tangkai 1 – 1.5cm. Daun penumpu lebih panjang dari
tangkai daun, bila sudah terbuka daun penumpu akan gugur. Bunga bentuk malai,
berbulu halus, bunga mengumpul di setiap ujung perbungaan, kelopak bentuk tabung
dan bergigi pada bagian atasnya. Bunga bentuk bintang, berbau wangi dengan ukuran
panjang 9mm, helaian mahkota bunga bagian dalam berwarna merah menyala, berbulu
rapat dan pendek, panjang benang sari setengan bagian tabung bunga. Buah berwarna
kemerahan bila masak, bentuk seperti trelur panjang 4mm dan bersayap.
Cinchona ledgeriana
Tinggi pohon antara 4 – 10m, cabang bentuk segi empat, berbulu halus atau
lokos. Daun elip sampai lanset, bagian pangkal lancip dan tirus, ujung daun lancip dan
jorong, helaian tipis, berwarna ungu terang tetapi daun muda berwarna kemerahan,
tangkai daun tidak berbulu, berwarna hijau atau kemerahan, panjang tangkai 3 – 6mm.
Ukuran daun panjang 25.5 – 28.5cm, lebar 9 – 13cm, namun adakalanya panjang 7cm
dan lebar 2cm. Daun penumpu bundar sampai lonjong panjang 17 – 32mm dan tidak
berbulu. Mahkota bunga berwarna kuning agak putih dan berbau wangi, bentuk
melengkung dengan ukuran panjang 8 – 12mm. Panjang malai 7 – 18cm dan gagang
segi empat sangat pendek dan berbulu rapat. Kelopak bunga bentuk limas sungsang 3 –
4mm, tabung tebal ditutupi bulu warna putih, tabung mahkota bunga bagian luarnya
berbulu pendek tapi bagian dalamnya gundul dengan 5 sudut. Tangkai sari tidak ada.
Buah lanset sampai bulat telur denga ukuran panjang 8 – 12mm dan lebar 3 – 4mm. Biji
lonjong sampai lanset panjang 4 – 5mm.
2.5 Jenis Tanaman
Dari sekian banyaknya spesies kina di Indonesia, hanya 2 spesies yang penting
yaitu C. succirubra Pavon (kina succi) yang dipakai sebagai batang bawah dan C.
ledgriana (kina ledger) sebagai bahan tanaman batang atas.
Klon-klon unggul yang dianjurkan adalah antara lain: Cib 6, KP 105, KP 473,
KP 484dan QRC. C. calisaya Wedd. (kina kalisaya) juga banyak dikenal dan ditanam
oleh masyarakat.
2.6 Sentra Tanaman
Sentra produksi kina di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Sumatra Barat.
2.7 Waktu panen
Ciri dan Umur Tanaman Berbunga
Bagian tanaman kina yang biasa diambil hasilnya adalah bagian kulit batang,
dahan, cabang dan ranting. Produk ranting dapat dimulai saat tanaman berumur 6-7
tahun tahun (sebelum tebangan), dengan bagian yang terkecil yang diambil adalah
kulit cabang yang diameternya lebih 1 cm. Ranting yang diameternya kurang dari 1
cm memiliki kadar kinin sulfat (SQ) yang rendah, dan biaya pengambilannya relatif
mahal. Umur tanaman yang siap panen untuk panen cara tebangan adalah 9-11
tahun dan untuk panen cara penjarangan adalah 3,5, 5, 6, 7, 8,12, 18 dan 24 tahun
dengan jumlah tanaman yang dicabut untuk masing-masing penjarangan adalah
12,5% dari total tanaman.
Cara Panen
a) Cara penebangan
Tanaman kina ditebang hati-hati dengan gergaji pada ketinggian 20-30 cm
dari sambungan, atau leher akar dengan kemiringan 45 derajat. Batang kina dari
batas ini dipotong sampai ketinggian 2 meter. Kulit kina dilepaskan dari batang
dengan cara dipukul-pukul. Panen tebangan pertama disebut Stumping 1. Dari
tunggul diharapkan tumbuh tunas-tunas baru, dan dipelihara maksimum 4 tunas
untuk dipanen berikutnya. Penen berikutnya disebut stumping 2 dst. Setelah 4 kali
stumping tanaman dibongkar. Panen tebangan yang baik pada awal musim
penghujan, hindari terik matahari.
b) Cara penjarangan
Dilakukan dengan cabutan untuk memanen secara bertahap dalam
persentase yang telah direncanakan. Pemilihan tanaman yang akan dibongkar
tergantung persentase panenan setiap periode. Apabila tanaman akan dibongkar
adalah 10%, maka dari 10 tanaman diambil 1 tanaman secara rata-rata.
Prakiraan Hasil Panen
Dari 1 batang utama kina (2 meter) didapatkan 1-1,5 kg kulit. Hasil kulit
kina diperhitungkan dalam kadar SQ7 maupun besarnya produksi kulit, sehingga
hasilnya diperhitungkan dari perkalian kadar SQ7 dengan berat kulit kering dalam
kg yang disebut potensi produksi.
Periode Panen
Pemanenan biasanya dilakukan secara bertahap yaitu pada saat dilakukan
pemangkasan cabang dan ranting dan pemangkasan batang utama. Pemanenan
dilakukan pada ranting/cabang yang telah memenuhi ukuran standar yaitu lebih
dari 1cm (diameter). Pemanenan sebaiknya dilakukan saat musim kemarau pada
pagi hari. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengelola hasil panen secara
langsung terutama masalah pengeringan. Untuk menghindari cemaran cendawan
karena kadar air yang tinggi pada kulit batang maka sebaiknya setelah
panen/pengulitan segera dilakukan pengeringan.
2.8 Pasca panen
Penyortiran Basah dan Pencucian
Batang yang akan diambil kulitnya dikumpulkan di suatu tempat yang
teduh. Cabang dan ranting dipotong tepat pada pertautan cabang dengan batang,
Cabang atau ranting yang ukuran garis tengahnya di atas 1 cm dibersihkan dari
ranting kecil dan daun-daun. Setelah itu batang tersebut dibersihkan, kemudian
dipotong sepanjang 40 - 50 cm untuk diambil kulitnya.
Pencucian pada kulit batang dilakukan dengan air bersih, jika air bilasannya
masih terlihat kotor lakukan pembilasan sekali atau dua kali lagi Hindari pencucian
yang terlalu lama agar kualitas dan senyawa aktif yang terkandung didalam tidak
larut dalam air. Pemakaian air sungai harus dihindari karena dikhawatirkan telah
tercemar kotoran dan banyak mengandung bakteri/penyakit. Setelah pencucian
selesai, tiriskan dalam tray/wadah yang belubang-lubang agar sisa air cucian yang
tertinggal dapat dipisahkan, setelah itu tempatkan dalam wadah plastik/ember.
Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan sinar matahari
atau alat pemanas/oven. Pengeringan kulit batang dilakukan selama kira-kira 2 - 3
hari atau setelah kadar airnya dibawah 8%. Pengeringan dengan sinar matahari
dilakukan di atas tikar atau rangka pengering, pastikan bahan tidak saling
menumpuk. Selama pengeringan kulit batang harus dibolak-balik kira-kira setiap 4
jam sekali agar pengeringan merata. Lindungi bahan tersebut dari air, udara yang
lembab dan dari bahan-bahan yang bisa mengkontaminasi. Pengeringan di dalam
oven dilakukan pada suhu 50oC - 60oC. Kulit batang yang akan dikeringkan ditaruh
diatas tray oven dan alasi dengan kertas Koran dan pastikan bahwa tidak saling
menumpuk. Setelah pengeringan, timbang jumlah yang dihasilkan.
Penyortiran Kering
Selanjutnya lakukan sortasi kering pada bahan yang dikeringkan dengan
memisahkannya dari benda-benda asing atau kotoran-kotoran lain. Timbang jumlah
bahan hasil penyortiran ini (untuk menghitung rendemennya).
Pengemasan
Setelah bersih, bahan yang kering dikumpulkan dalam wadah yang bersih
dan kedap udara (belum pernah dipakai sebelumnya), dapat berupa kantong plastik
atau karung. Berikan label yang jelas pada wadah tersebut, yang menjelaskan nama
bahan, bagian dari tanaman bahan itu, nomor/kode produksi, nama/alamat
penghasil, berat bersih dan metode penyimpanannya.
Penyimpanan
Kondisi gudang harus dijaga agar tidak lembab dan suhu tidak melebihi
30oC, dan gudang harus memiliki ventilasi baik dan lancar, tidak bocor, terhindar
dari kontaminasi bahan lain yang menurunkan kualitas bahan yang bersangkutan,
memiliki penerangan yang cukup (hindari dari sinar matahari langsung), serta
bersih dan terbebas dari hama gudang.
3. MANFAAT DAN KHASIAT TANAMAN KINA
Kulit kina banyak mengandung alkaloid-alkaloid yang berguna untuk obat. Di antara
alkaloid tersebut ada dua alkaloid yang sangat penting yaitu kinin untuk penyakit malaria
dan kinidine untuk penyakit jantung. Manfaat lain dari kulit kina ini antara lain adalah
untuk depuratif, influenza, disentri, diare, dan tonik.
C. TINJAUAN FARMAKOLOGI SENYAWA KININ
ANTI MALARIA
1. Farmakologi
Kina merupakan obat anti malaria kelompok alkaloida kinin yang bersifat
skinzontosida darah untuk semua jenis plasmodium manusia danga metosida plasmodium
vivax dan plasmodium malariae. Obat ini merupakan obat anti malaria alternatif untuk
pengobatan radikal malaria falcifarum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin
dan pirimetamin-sulfadoksin (multidrug). Mekanisme kerja kina sebagai obat antimalaria
belum jelas, kina dapat membentuk ikatan hidrogen dengan DNA yang akan menghambat
sintesa protein sehingga pembelahan DNA dan perubahan RNA tidak terjadi. Satu tablet
Kina mengandung 220 mg kina sulfat. Waktu paruh kina pada orang sehat adalah dalam 11
jam sedangkanpenderita malaria tanpa komplikasi 16 jam dan setelah 48 jam konsentrasi
kina dijumpai sangat sedikit sekali didalam darah. Dosis kina sulfat untuk pengobatan
radikal malaria falcifarum tanpa komplikasi yang resistenklorokuin dan pirimetamin-
sulfadoksin (multi drug) adalah 10 mg/kg BB/dosis 3 kali sehari selama 7 hari dan
beberapa kepustakaan menyatakan dosis kina untuk plasmodium falcifarum harus dengan
dosis yang cukup dan lebih dibanding strain lain, dimana kadarnya diperlukan sebesar 5
mg/L untuk membasmi parasit aseksual dalam darah sedang dengan konsentrasi kurang
dari 2 mg/L efeknya sedikit sekali Efek samping yang telah dilaporkan adalah
hipoglikemia, urtikaria, buta, pendengaran menurun, anemia hemolitik, nyeri perut, nausea,
munta dan lain-lain.
2. Mekanisme Kerja
Kina akan menghambat proteolisis hemoglobin dan polimerase heme. Kedua
enzim tersebut diperlukan untuk memproduksi pigmen yang dapat membantu
mempertahankan hidup plasmodium tersebut. Kina akan menghambatan aktivitas heme
polimerase tersebut sehingga terjadi penumpukan substrat yang bersifat sitotoksik yaitu
heme. Sehingga menghambat sintesis protein, RNA dan DNA, maka akan mencegah
pencernaan hemoglobin oleh parasit dan dengan demikian mengurangi suplai asam amino
yang diperlukan untuk kehidupan parasit.
3. Farmakokinetika
Kinin di absorbsi baik jika diberikan secara oral maupun intramuscular. Absorbsi
secara oral terutama terjadi di usus halus dan mencapai 80%, walaupun pada pasien diare.
Setelah pemberian secara oral, kadar kinin dalam plasma mencapai maksimum dalam
waktu 3-8 jam, dan kemudian didistribusikan keseluruh tubuh. Farmakokinetik kinin dapat
berubah sesuai dengan keparahan infeksi malaria.
4. Farmakodinamika
Kinin bereaksi terutama melawan parasit malaria bentuk eritrositik aseksual dan
memiliki efek minimal terhadap parasit di hepar. Seperti antimalaria lainnya, kinin juga
membunuh bentuk seksual P.vivax, P.malariae dan P.ovale, namun tidak membunuh
bentuk gametosit dewasa P. falciparum. Kinin juga tidak membunuh parasit malaria bentuk
pre eritrositik. Mekanisme aksi kinin sebagai antimalaria yaitu melalui inhibisi
detoksifikasi haem parasit dalam vakuola makanan, namun mekanismenya tidak jelas
diketahui.
5. Efek samping
Gangguan mata, gangguan pendengaran,sakit kepala atau vertigo, mual, muntah, sakit
perut, diare, Linglung, otot lemas, meningkatnya sensitivitas terhadap cahaya.
6. Peringatan :
Wanita hamil dan menyusui sebaiknya berkonsultasi dengan dokter sebelum
menggunakan kina.
Penting bagi penderita malaria untuk menghabiskan obat ini sesuai resep dokter untuk
memastikan kesembuhan dan mencegah kambuhnya gejala.
Hentikan penggunaan kina jika sama sekali tidak berdampak positif sedikitpun setelah
satu bulan.
Harap berhati-hati jika menderita gangguan mata atau pendengaran, gangguan ginjal,
gangguan hati, gangguan jantung, kencing darah, myastenia gravis,diabetes serta
defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
Pengguna kina sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan atau mengoperasikan alat
berat. Obat ini berpotensi memicu gangguan penglihatan dan vertigo pada sebagian
orang.
Jika menggunakan kina, beri tahu dokter sebelum menjalani penanganan medis apa pun.
Hindari konsumsi minuman tonik serta minuman keras selama menggunakan kina.
Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.
7. Dosis :
Usia Dosis Frekuensi Durasi penggunaan
Orang dewasa 600 mg 3 kali sehari 1 minggu hingga 10 hari
Di bawah 11 tahun 10 mg / kg berat badan 1 kali tiap 8 jam 1 minggu
D. PROSES SINTESIS SENYAWA KININ
Upaya untuk mempertahankan kelestarian tanaman obat dan pemanfaatannya, yang
seiring dengan perkembangan ilmu bioteknologi dicoba satu cara terbaru dalam memproduksi
senyawa alkaloid sinkona dan turunannya dengan memanfaatkan mikroba endofit yang hidup
dalam tanaman tersebut. Mikroba endoifit adalah mikroba yang hidup di dalam tanaman
sekurangnya selama periode tertentu dari siklus hidupnya dapat membentuk koloni dalam
jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya.
Meskipun penelitian mengenai endofitik telah telah dimulai sejak lama, tetapi
penggunaan mikroba endofit untuk memproduksi senyawa bioaktif masih sedikit. Mikroba
endofit diisolasi dari jaringan tanaman dan ditumbuhkan pada medium fermentasi dengan
komposisi tertentu. Di dalam medium fermentasi tersebut mikroba endofit menghasilkan
senyawa sejenis seperti yang terkandung pada tanaman inang dengan bantuan aktivitas enzim.
Mikroba endofitik tumbuh dan memproduksi senyawa metabolit sekunder lebih lambat pada
medium buatan daripada medium di dalam tanaman inangnya, oleh karena itu sangat penting
untuk merancang media lokasi maupun pertumbuhannya yang sesuai.
Kina disintesis dari triptofan melalui 16 tahap dengan menggunakan membutuhkan 16
enzim untuk menghasilkan Kina. Dalam proses sintesis perlu dilakukan penambahan zat
induser yang diinokulasikan secara bersama-sama dengan mediumnya. Zat induser adalah
suatu zat yang memiliki komponen nutrisi yang serupa dengan dengan tanaman inangnya dan
dapat menstimulasi pertumbuhan mikroba endofit dalam memproduksi senyawa bioaktif
sebagai hasil metabolisme sekunder.
E. TAHAPAN ISOLASI SENYAWA KININ
Metode Refluks
KLT
Ekstraksi Cair-Cair
Kromatografi Cair Vakum
KLT Preparatif
BAB II
METODOLOGI
Penapisan Fitokimia
Ekstraksi Kinin dari kulit kina
Pemekatan dan Pemantauan Ekstrak
Pemekatan dan Pemantauan Ekstrak
Fraksinasi I
Fraksinasi II
Pemurnian
Uji Kemurnian
II.1 Penapisan Fitokimia
Alat dan Bahan
Alat : Mortar dan Stamper
Tabung reaksi dan rak
Corong pisah
Gelas Ukur
Pipet tetes
Kaca arloji
Bahan : Simplisia (Kulit Kina)
Amonia 25%
Kloroform
Pereaksi Dragendorff,
Pereaksi Lieberman-Bouchardat
Pereaksi Mayer
Prosedur
Pemeriksaan Alkaloid
CARA 1
Amonia 25% ditambahkan ke dalam 2 gr sampel, lalu digerus dalam mortar, ditambah kloroform digerus kuat – kuat dan
disaring
Filtrat berupa larutan organik digunakan untuk percobaan selanjutnya, dan sebagian larutan ini
diteteskan pada kertas saring dan ditetesi pereaksi
Jika terbentuk warna merah atau jingga pada kertas saring menunjukan bahwa adanya alkaloid. Sisa larutan organik diekstraksi dua kali dengan larutan asam klorida 10% v/v.
Ke dalam masing – masing 5 mL larutan dalam tabung reaksi ditambahkan beberapa tetes Dragendorffdan pereaksi Mayer. Terbentuknya endapan merah bata dengan pereaksi Dragendorff atau endapan putih dengan pereaksi Mayer menunjukkan adanya alkaloid.
CARA 2
Pemeriksaan Flavonoid
CARA 1
Timbang 500 mg serbuk simplisia, selanjutnya ditambahkan 1 mL asam klorida 2N dan 9 mL air, panaskan diatas penangas air selama 2 menit,
dinginkan dan saring
Pindahkan masing – masing 3 tetes filtrat pada kaca arloji (gunakan 2 kaca arloji), tambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat LP. Bila terjadi
endapan berwarna coklat sampai hitam maka serbuk simplisia mengandung Alkaloid
Jika dengan pereaksi Mayer terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning yang larut dalam metanol maka ada kemungkinan
terdapat alkaloid.
Jika pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka simplisia tidak mengandung alkaloid. Sisa filtrat dikocok dengan 3 mL amonia pekat P
dan 10 mL campuran eter – kloroform (3:1)
Ambil fase organik, tambahkan natrium sulfat anhidrat P, saring. Uapkan fitrat diatas tangas air, larutkan sisa dalam sedikit asam klorida
2N
Tambahkan pereaksi alkaloid (Mayer, Dragendorff, Bouchardat, asam silikowolfarmat, asam fosfomolibdat). Jika terbentuk endapan sekurang – kurangnya dengan 2 pereaksi tersebut, hal itu menunjukan bahwa serbuk
simplisia mengandung alkaloid.
CARA 2
Pemeriksaan Saponin
CARA 1
Cara 2 (Cara Pembuihan)
Sebanyak 1 gram sampel dalam 100 mL air panas didihkan selama 5 menit dan disaring sehingga diperoleh filtrat.
Sebanyak 5 mL dalam tabung reaksi tambahkan sedikit serbuk magnesium dan 2 mL asam klorida – etanol (1:1), kemudian dikocok dengan 10 mL amil
alkohol. Reaksi positif ditunjukan dengan terbentuknya warna warna jingga, kuning, atau merah pada lapisan amil alkohol.
Timbang 500 mg serbuk simplisia, saring dengan 10 mL metanol P menggunakan alat pendingin balik selama 10 menit. Saring panas,
encerkan dengan 10 mL air lalu dinginkan
Tambahkan 5 mL eter minyak tanah P, kocok hati – hati, diamkan. Ambil lapisan metanol, uapkan pada suhu 40˚C dibawah tekanan. Sisa larutan
dengan 5 mL etil asetat, saring.
Sebanyak 1 gr sampel dalam 100 mL air panas didihkan selama 5 menit dan disaring sehingga diperoleh filtrat.
Sebanyak 10 mL filtrat dalam tabung reaksi dikocok secara vertikal selama 10 detik, terbentuknya busa yang mantap selama tidak kurang dari 10
menit, setinggi satau sampai 10 cm yang tidak hilang ketika ditambahkan 1 tetes asam klorida 2N
Masukan 0,5 g serbuk yang diperiksa kedalam tabung reaksi. Tambahkan 10 mL air panas, dinginkan
Kocom kuat – kuat selama 10 detik (jika zat yang diperiksa berupa sediaan cair, c=encerkan 1 mL sediaan yang diperiksa
dengan 10 mL air dan kocok kuat – kuat selama 10 detik)
Pemeriksaan Tanin
Pemeriksaan Kuinon
Pemeriksaan Steroid / Triterpen
Terbentuk buih putih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit setinggi 1 – 10 cm. Tambahkan 1 tetes asam klorida 2 N,
buih tidak hilang menandahkan pada simplisia uji terdapat saponin.
Sebanyak 1 gr sampel dalam 100 mL air panas dididkan selama 5 menit dan disaring sehingga diperoleh filtrat.
Filtrat sebanyak masing – masing 5 mL ke dalam tiga tabung reaksi, ke dalam bagian pertama ditambahkan besi (III) klorida. Timbulnya warna hijau
violet atau hitam menunjukan adanya tanin. Ke dalam bagian kedua ditambahkan arutan gelatin, terbentuknya endapan putih menunjukan adanya tanin. Ke dalam bagian ke tiga ditambahkan pereaksi Steasny,
kemudian dipanaskan dalam penangas air. Terbentuknya endapan disaring, filtrat dijenuhkan natrium asetat dan ditambahn beberapa tetes larutan besi (III) klorida. Terbentuknya warna biru tinta menunjukan adanya tanin galat.
Sebanyak 1 gr sampel dalam 100 mL air panas didihkan selama 5 menit dan disaring sehingga diperoleh filtrat.
Ke dalam 5 mL filtrat ditambahkan beberapa tetes larutan Natrium hidroksida, jika terbentuk warna merah menunjukan adanya kuinon.
Sebanyak 1 gr sampel dimaserasi dengan 20 mL eter selama 2 jam, lalu disaring
II.2 Ektraksi (Metode Refluks)
Ektraksi adalah jenis pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan
atau cairan. Proses ekstraksi bermula dari penggumpalan ekstrak dengan pelarut
kemudian terjadi kontak antara bahan dan pelarut sehingga pada bidang datar
antarmuka bahan ekstraksi dan pelarut terjadi pengendapan masa dengan cara difusi.
Refluks adalah salah satu metode dalam ilmu kimia untuk mensintesis suatu
senyawa, baik organik maupun anorganik. Umumnya digunakan untuk mensistesis
senyawa-senyawa yang mudah menguap atau volatile. Pada kondisi ini jika dilakukan
pemanasan biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai.
Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap pada
suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya
dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah
reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung. Sedangkan aliran
gas N2 diberikan agar tidak ada uap air atau gas oksigen yang masuk terutama pada
senyawa organologam untuk sintesis senyawa anorganik karena sifatnya reaktif.
Adapun keuntungan dan kerugian dari metode refluks yaitu:
Keuntungan :
digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar
dan tahan pemanasan langsung.
Kerugian :
membutuhkan volume total pelarut yang kasar dan sejumlah manipulasi dari
operator.
Alat dan Bahan
Alat : Seperangkat alat refluks
Pemanas
Filtrat sebanyak 5 mL diuapkan dalam cawan penguap ke dalam residu tambahkan pereaksi Liebermann – Buchard, terbentuknya warna merah yang berubah menjadi warna hijau, kemudian menjadi ungu dan akhirnya
biru, menunjukan adanya steroid/triterpenoid.
Siapkan seperangkat alat refluks
Masukkan kulit kina (X gram) ke dalam labu refluks
Masukkan pelarut ke dalam labu refluks sampai kulit kina terendam oleh pelarut
Pasang alat refluks dan penangas
Alirkan air melalui kondensor
Lakukan proses ekstraksi selama 2-3 jam (dihitung mulai pelarut mendidih)
Hentikan proses ekstraksi
Ekstrak cair yang diperoleh disatukan dan dipekatkan, diperoleh ekstrak kental (Y gram)
Rotary Vaporator (alat penguap berputar)
Bahan : Kulit Kina
Perlarut
Kertas saring
Prosedur
Ulangi ekstraksi sampai diperoleh ekstrak yang tidak berwarna atau tahap 3-8 minimum 3 kali
II.3 Pemantauan Ekstrak (Metode Kromatografi Lapis Tipis)
Kromatografi Lapis Tipis adalah salah satu metode analisis kualitatif dari suatu
sampel yang ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel
berdasarkan perbedaan kepolaran.
Prinsip kerjanya yaitu memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran
antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase
diam dari bentuk palt silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang
ingin dipisahkan. Larutan atau campuran larutan dinamakan eluen. Semakin dekat
kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase
gerak tersebut.
Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan
jarak yang ditempuh oleh eluen. Rumus factor retensi :
Rf = Jarak tempu komponen
Jarak tempuheluen
Nilai Rf sangat menentukan karakteristik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu.
Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa
dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran
yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifar
polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat dalam fasa diam, sehingga
menghasilkan nilai Rf yang rendah. Nilai Rf yang bagus berkisar antara 0,2-0,8. Jika
Rf nya terlalu tinggi maka kepolaran pelarut harus dikurangi, begitupun sebaliknya.
Adapun keuntungan dan kerugian dari metode ini yaitu:
Keuntungan:
Penyerapan pada KLT mempunyai kapasitas yang lebih besar bila
dibandingkan dengan kromatografi kertas.
Membutuhkan waktu yang lebih cepat dan diperoleh hasil pemisahan yang
lebih baik.
Hanya membutuhkan penyerap dan cuplikan dalam jumlah sedikit dan noda-
noda yang terpisahkan dilokalisir pada plat seperti pada lembaran kertas.
KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal pemilihan fase
gerak.
Berbagai macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti pengembangan
bertingkat dan pembaceman penyerap dapat dilakukan pada KLT
Kerugian:
Pemilihan fasa diam (adsorben) terbatas
Koefisien distribusi untuk serapan seringkali tergantung pada kadar total,
sehingga pemisahannya tidak sempurna.
Alat dan Bahan
Alat : Sinar lampu UV
Bejana KLT
Plat KLT
Kertas saring
Pipa Kapiler
Botol penampak bercak
Penggaris
Bahan : Ektrak/Fraksi
Pembanding/standar
Pelarut
Penampak Bercak Universal (H2SO4 10%)
Peampak Bercak Spesifik (Dragendorff)
ProsedurSiapkan bejana KLT
(chamber)
Lapis bejana denga kertas saring
Siapkan eluen/fase gerak/pengembang (pelarut tunggal atau campuran
Masukan eluen ke dalam bejana dan tutup rapat. Biarkan bejana jenuh dengan uap eluen
Sejumlah ektrak kental dilarutkan dalam beberapa mL pelarut, sampai diperoleh ektrak yang tidal terlalu
kental dan tidak terlalu encer
Totolkan ekstrak pada pelat dengan menggunakan pipa kapiler
Biarkan totolan ekstrak mongering (pelarut menguap)
Masukan pelat yang sudah ditotolkan kedalam bejana, (perhatian : tinggi permukaan eluen dalam bejana harus lebih rendah dari pada
totolan bercak, jangan sampai bercak sampel terendam oleh pengembang.
Biarkan eluen/fase gerak naik sampai sekitar 2cm sebelum kepinggir pelat
Angkat pelat, biarkan pelat mongering (pelarut menguap)
II.4 Fraksinasi 1 (Ekstraksi Cair-Cair)
Ekstraksi cair-cair adalah metode pemisahan atau pengambilan zat terlarut
dalam larutan (biasanya dalam air) dengan menggunakan pelarut lain (biasanya pelarut
organik). Ekstraksi cair-cair bisa juga disebut ekstraksi pelarut. Prinsip metode ini
didasarkan pada zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang
tidak saling bercampur seperti eter, kloroform, karbontetra klorida dan
karbondisulfida.
Alat dan Bahan
Alat : Sinar lampu UV
Seperangkat alat Ekstraksi Cair-Cair
Vial
Pipet tetes
Erlenmeyer
Plat KLT + Pipa kapiler
Cawan penguap
Penangas
Bahan : Ekstrak pekat
Pelarut
Kapas bebas lemak
Kertas saring
Prosedur
Lihat warna bercak secara visual atau di bawah lampu ultra violet, semprot dengan penampak bercak universal asam sulfat 10% dalam
methanol atau menggunakan penampak bercak spesifik
Siapka seperangkat alat ekstraksi cair-cair
Sejumlah ekstrak kental (x gram) dimasukkan ke dalam gelas kimia, tambahkan pelarut
metanol, sampel ini di sebut rafinat
Masukkan larutan ekstrak ke dalam corong pisah
Tambahkan pelarut n-heksan , ekstraksi sebanyak 3x.
Lakukan pengocokan secara perlahan dan teratur, (sekali-kali keran corong pisah di buka untuk
mengeluarkan gas pelarut, gas di buang di lemari asam.
Taruh corong pisah di atas ring , diamkan sampai kedua pelarut terpisah sempurna.
Tampung bagian fase n-heksan
Fase n-hesksan di ektraksi dengan pelarut etil asetat dan di ekstraksi sebanyak 3x
Lakukan perlakuan yang sama pada ekstraksi sebelumnya, lalu di ambil fase etil
asetat dan di ekstraksi menggunakan metanol air.
II.5 Fraksinasi 2 (Kromatografi Cair Vakum)
Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode fraksinasi
yaitu dengan memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya yang lebih
sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam Dan aliran
fasa geraknya dibantu dengan pompa vakum. Fasa diam yang digunakan dapat berupa
silica gel atau alumunium oksida. Proses penyiapan fasa diam dalam kolom terbagi
menjadi dua macam, yaitu :
1. Cara Basah
Preparasi fasa diam dengan cara basah dilakukan dengan melarutkan fasa diam
dalam fasa gerak yang akan digunakan. Campuran kemudian dimasukkan ke
kolom dan dibuat merata. Fase gerak dibiarkan mengalir hingga terbentuk
lapisan fasa diam yang tetap dan rata, kemudian aliran dihentikan.
2. Cara Kering
Preparasi fasa diam dengan cara kering dilakukan dengan cara memasukan
fasa diam yang digunakan ke dalam kolom kromatografi. Fase diam tersebut
selanjutnya dibasahi dengan pelarut yang akan digunakan.
Alat dan Bahan
Alat : Sinar lampu UV
Seperangkat alat Kromatografi Cair Vakum
Plat KLT + pipa kapiler
Bejana KLT
Bahan : Ekstrak pekat, pelarut
Silika H
Siapkan seperangkat alat KCV
Sejumlah ekstrak kental (Y gram) dimasukkan ke dalam mortar, tambakan sedikit pelarut. Tambahkan sedikit serbuk adsorben (silika H) sambil diaduk (maksimum
penambahan serbuk silika gel untuk pembuatan serbuk ekstrak adalah 1:1), diperoleh serbuk ekstrak
Siapkan macam-macam komposisi eluen yang akan digunakan (masing-masing dalam botol bermulut lebar)
Masukan dan ratakan serbuk adsorben (Z gram) ke dalam kolom KCV
Jalankan alat vakum, atur ketinggian serbuk adsorben sampai diperoleh sedemikian rupa tinggi adsorben dalam kolom lebih kurang 5-6 cm
Matikan alat vakum
Masukan dan ratakan serbuk ekstrak di atas adsorben
Letakkan kertas saring diatas serbuk ekstrak
Jalankan alat vakum
Masukkan komposisi eluen yang pertama (jumlah volume eluen pertama dilebihkan, karena digunakan untuk pembasahan fase diam)
Botol kosong bekas tempat eluen ditaru dibawah kran, gunakan untuk menampung eluen dan komponen yang terekstraksi
Biarkan eluen terkumpul pada kolom penampung, sampai tidak ada lagi eluen yang menetes
Matikan alat vakum, buka kran pada kolom penampung. Tampung eluen dan komponen terekstraksi
Lakukan hal yang sama untuk komposisi eluen selanjutnya
Fraksi-fraksi yang diperoleh dipekatkan dan ditimbang
Lakukan pemantauan fraksi dengan KLT atau kromatografi kertas.
II.6 Pemurnian dan Uji Kemurnian
Alat dan Bahan
Alat : Plat KLT+pipa kapiler
Bejana KLT
Botol penampak bercak
Vial
Bahan : Isolat
Pelarut
Kertas saring
Prosedur
Pemurnian (KLT Preparatif)
Siapkan bejana kromatografi (chamber)
Lapisi bejana dengan kertas saring
Siapkan eluen/fase gerak (pelarut tunggal atau campuran)
Masukan eluen ke dalam bejana dan tutup rapat. Biarkan bejana jenuh dengan uap eluen
Sejumlah fraksi atau subfraksi kental dilarutkan dalam beberapa mL pelarut, sampai diperoleh ekstrak yang
tidak terlalu kental dan tidak terlalu encer
Totolkan fraksi atau subfraksi secara tidak terputus pada plat KLT preparative dengan menggunakan pipa kapiler,
sehingga berbentuk pita (tebal pita maksimum 5mm). Dan biarkan mengering
Masukan plat yg sudah ditotolkan ke dalam bejana
Biarkan eluen atau fase gerak naik sampai sekitar 2cm sebelum pinggir plat
Angkat plat dan biarkan plat mengering
Lihat warna-warna pita secara visual atau dibawah lampu ultraviolet. Jika pita tidak berwarna atau berflouresensi
dibawah lampu UV, semprot bagian pinggir kiri dan kanan kertas penampang bercak universal asam sulfat 10% dalam
metanol (pd waktu menyemprot bagian pinggir kiri dan kanan kertas tutup bagian tengah kertas)
Kerok pita senyawa yang di isolasi, kumpulkan dalam satu wadah
Masukan pelarut tertentu ke dalam wadah yang berisi kerokan pita aduk, sehingga senyawa yang akan di isolasi larut sedangkan serbuk silica gel
tidak larut
Saring dengan kertas saring, sehingga sebagian besar silica gel akan tertahan di kertas saring
Ulangi penyaringan berkali-kali dengan kapas, sehingga tidak terdapat partikel serbuk silica gel
dalam larutan senyawa
Uji Kemurnian
KLT/KKT Pengembangan tunggal (minimum dengan 3 macam pengembang)
Siapkan Bejana Kromatografi (chamber), lapisi bejana dengan kertas saring
Siapkan eluen/fase gerak ke 1 (pelarut tunggal atau campuran
Masukan eluen ke 1 ke dalam bejana dan tutup rapat. Biarkan bejana jenuh dengan uap eluen
Sejumlah isolate dilarutkan ke dalam beberapa mL pelarut, sampai diperoleh larutan yang tidak terlalu
kental dan tidak terlalu encer
Totolkan larutan pada plat/kertas dengan menggunakan pipa kapiler. Biarkan totolan mengering
Masukan plat/kertas ke dalam bejana . Biarkan eluen/fase gerak naik sampai sekitar 2cm sebelum
pinggir plat. Angkat plat dan biarkan plat mengering.
Lihat warna-warna pita secara visual atau dibawah lampu ultraviolet. Jika pita tidak berwarna atau
berflouresensi dibawah lampu UV, semprot bagian pinggir kiri dan kanan kertas penampang bercak
universal asam sulfat 10% dalam metanol (pd waktu menyemprot bagian pinggir kiri dan kanan kertas tutup
bagian tengah kertas)
KLT/Kkt 2 dimensi
Sejumlah isolate dilarutkan ke dalam beberapa mL pelarut, sampai diperoleh larutan yang tidak terlalu
kental dan tidak terlalu encer.
Totolkan larutan pada plat/kertas dengan pipa kapiler dan biarkan totolan mengering
Masukan plat/kertas yang sudah di totolkan ke dalam bejana
Biarkan eluen/fase gerak naik sampai sekitar 2cm sebelum pinggir plat/kertas
Angkat plat/kertas, biarkan mengering
Lihat warna bercak secara visual atau dibawah lampu UV (pada tahap ini tidak boleh disemprot dengan penampang
bercak) plat di putar 90 derajat (tegak lurus)
Lakukan hal yang sama 3-11 dengan menggunakan plat yg berada dengan eluen ke 2 dan ke 3 (eluen ke 2 lebih polar daripada eluen ke 1 dan eluen ke 3 lebih
polar daripada eluen ke 2) bisa diganti komposisi atau diganti dengan pelarut lain
Isolat kemungkinan murni jika kromatogram pada ketiga macam eluen atau fase gerak hanya
menunjukan 1 bercak
Lakukan hal yang sama 4-7 dengan menggunakan plat yg berbeda dengan eluen ke 2 (eluen yg lebih polar
daripada eluen ke 1) bisa diganti komposisi atau diganti pelarut lain. Jika bercak tidak berflorosensi di bawah
lampu UV semprot dengan penampang bercak universal asam sulfat 10% dalam metanol
Isolat kemungkinan murni jika kromatografi pada kedua macam eluen/fase gerak di atas hanya menunjukan 1
bercak
BAB III
DATA PENGAMATAN
3.1 Penapisan Fitokimia
ALKALOID (POSITIF)
Pengujian filtrate hasil ECC ditambah pereaksi dragendorff, Mayer Dan Lieberman-
Bouchardat menunjukkan hasil positif yaitu terbentuknya larutan berwarna merah
bata (Dragendorff), endapan putih (Mayer) dan larutan berwarna coklat (Lieberman-
Bouchardat)
Pengujian alkaloid pada kertas saring FLAVONOID (POSITIF)
menunjukkan hasil positif terbentuknya Terbentuk 2 lapisan dan berwarna
jingga
warna merah bata setelah ditetesi pada lapisan amil alkohol
perekasi Dragendorff.
SAPONIN (POSITIF) KUINON (POSITIF) TANIN (POSITIF)
endapan putih
Busa tetap stabil setelah Terbentuk larutan warna POLIFENOL (POSITIF) biru
ditambahkan HCl encer. Merah
kehitaman
3.2 Ekstraksi
Bobot simplisia awal : 40 gram
Bobot simplisia akhir : 13,8 gram
Bobot simplisia terpakai : 26,2 gram
Volume pelarut (etanol) terpakai : 500 mL
3.3 Pemantauan Ekstrak
Eluen = Klorofom : Aseton : Dietilamin ( 7 : 2 : 1)
H2SO4 = Rf = 2,4/4,5 = 0,53 (ekstrak)
Rf = 2,7/4,5 = 0,6 (kinin HCl)
Dragendroff Rf = 2,6/4,5 = 0,57 (ekstrak)
Rf = 2,7/4,5 = 0,6 (kinin HCl)
UV 254 nm setelah disemprot H2SO4 10%
UV 366 nm
3.4 Fraksinasi 1 (ECC)
1 : Kinin HCl , Rf = 2,64,4
= 0,59
2 : Residu ekstrak, Rf = 2,64,4
= 0,59
3 : Fraksi n-heksan, Rf = -
4 : Fraksi etil asetat, Rf = 2,64,4
= 0,59
5 : Fraksi metanol – air, Rf = 2,74,4
= 0,61
UV 254 nm UV 366 nm
Sebelum disemprot penampak bercak
UV 254 nm disemprot H2SO4 UV 366 nm disemprot H2SO4 disemprot Dragendorff
Fraksi yg terkumpul yg akan dilakukan untuk pemantauan
3.5 Fraksinasi 2
Bobot silika H yang ditimbang : 30 gr
Bobot silika H sisa : 12,45 gr
Bobot silika H yang terpakai : 17,55 gr
Ekstrak pekat etil asetat : 0,37 gr
Bobot silika H untuk dihomogenkan : 0,37 gr ( 1 : 1 )
Untuk kromatografi cair vakum :
Fase diam : silika H
Fase gerak/eluen : ( dibuat dalam 75 ml )
N-heksan Etil asetat Metanol10 0 0 8 2 06 4 04 6 02 8 00 10 00 8 20 6 40 4 60 2 80 0 10
Untuk pemantauan ekstrak :
Fase diam : silika gel / plat KLT
Fase gerak/eluen : Etil asetat : aseton : dietilamin ( 5 : 4 : 1 )
Diperoleh :
Rf pembanding : 2,5/4,5 = 0,5
Rf ekstrak kinin : 2,5/4,5 = 0,5
Rf fraksi : 2,5/4,5 = 0,5
Pembanding : Kinin HCl
Penampang bercak : Dragendroff & H2SO4
Alat KCV Hasil Fraksinasi Hasil Fraksinasi yang di tampung ke dalam
Dilihat secara Visual UV 366 disemprot dengan H2SO4 UV 254 disemprot dengan H2SO4
Keterangan : 1. Kinin HCl 5. Fraksi 3 9. Fraksi 7 13. Fraksi 112. Ekstrak Kinin 6. Fraksi 4 10. Fraksi 83. Fraksi 1 7. Fraksi 5 11. Fraksi 94. Fraksi 2 8. Fraksi 6 12. Fraksi 10
3.6 Pemurnian dan Uji Kemurnian
Pemurnian
Data Pengamatan Gambar
Metode : KLT Preaparatif
Isolat kinin fraksi 10
Eluen Etil Asetat : Metanol (10 : 40)Terdapat 2 pita, pita yang di ambil (di kerok) bagian bawah.
Uji Kemurnian
Data Pengamatan Gambar
KLT 2 dimensi
Eluen 1 Etil asetat : DEA ( 9 : 1) Rf = 0,5
Eluen 2 Etil asetat : Toluen : DEA (8,5 : 0,5 : 1) Rf = 0,4
UV 254 nm setelah disemprot H2SO4 10% UV 366 nm setelah disemprot H2SO4 10%
Setelah di panaskan
Hasil pengamatan menunjukkan adanya
pengotor yang terdeteksi pada uji kemurnian
menggunakan KLT 2 dimensi, setelah di
panaskan terlihat noda berwarna coklat dan
isolat menghasilkan 2 bercak. Kemungkinan
senyawa yang di isolasi tidak murni.
KLT 3 pengembang
Pengembang atas = Metanol : DEA (9 : 1) Rf = 2/2,8 = 0,7
tengah = Etil asetat : aseton : DEA (7,5 : 1,5 : 1) Rf = 1,8/3 = 0,6
bawah = n-heksan : aseton : DEA ( 6,5 : 2,5 : 1) Rf = 0,6/2,9 = 0,2
UV 254 nm setelah disemprot H2SO4 10% UV 366 nm setelah disemprot H2SO410%
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Penapisan Fitokimia
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian untuk mengetahui adanya kandungan metabolit sekunder pada beberapa jenis tanaman yang telah diketahui kandungannya, menggunakan sampel kinin / kina. Kandungan metabolit sekunder yang dibuktikan pada praktikum kali ini adalah : Alkaloid, Flavonoid, Saponin, Tanin, Kuinon, Polifenol, Steroid dan Triterpenoid. Untuk membuktikan adanya senyawa golongan alkaloid menggunakan Simplisia Kina, alkaloid termasuk senyawa yang bersifat basa lemah dapat diekstraksi dengan pelarut semi polar dalam suasana asam. Pada percobaan ini dilakukan dengan metode pertama, yakni simplisia ditambah dengan pelarut basa hal ini dilakukan untuk mengendapkan alkaloidnya. Kemudian ditambah kloroform (semi polar) sehingga didapat senyawa – senyawa yang bersifat semi polar seperti alkaloid dan senyawa yang lainnya. Setelag di dapat filtrat (Larutan A) di uji menggunakan pereaksi Dragendorff pada kertas saring sehingga akan tampak Semburan Warna Merah/jingga. Dan untuk (Larutan B) ditambaha pereaksi Dragendorff pada tabung yang lainnya ditambah pereaksi Mayer dan akan terbentuk endapan.
Untuk senyawa golongan Flavonoid dibuktikan pada simplisia kinin juga, Flavonoid merupakan senyawa yang bersifat asam dan juga merupakan fenol ysng mudh larut dalam air karna umumnya mereka sering kali berikatan dengan gula sebagai glikosida, Hcl ditambahkan agar kemudian terbentuk aglikon flavonoid (memisahkan flavonoid dari senyawa gula yang mengikatnya), jika terdapat 2 lapisan menjadi berwarna merah maka menunjukan adanya senyawa flavonoid.
Pada uji saponin yang menggunakan filtrat kina setelah dikocokan kuat pada filtrat akan terbenuk busa, busa ini terjadi karna rantai gula yang terkandung dalam filtrat pecah. Untuk membuktikan busa yang terbentuk merupakan hasil dari adanya rantai gula yang pecah dapat ditambhakna HCl encer, jika saponin maka busa akan tetap stabil, tanin atau polifenol yang termasuk golongan senyawa fenol dapat di identifikasi 11se1cara khas, reaksi ini akan menunjukan warna biru tua atau hijau kehitaman. Reaksi ini menunjukan adanya filtrat, untuk menguji adanya tanin kuat dengan menambahkan pereaksi Steasny kemudian dipanaskan dalam penangas air yang kemudian akan terbentuk endapan merah.
Golongan Steroid dan Triterpenoid yang bersifat non – polar yang terkandung dalam simplisia di ekstraksi dengan cara maserasi dingin, yang merupakan ekstraksi cair – padat antara serbuk simlpisia dan pelarut, metode ini digunakan karna dikhawatirkan jika dengan pemanasan akan ada komponen dari simplisia yang rusak. Lalu filtrat yang didapat diuapkan hingga didapat residu ini kemudian di identifikasi dengan pereaksi LB (Liebermenn Buchard) dan menunjukan warna hijau atau merah yang menunjukan adanya Steroid dan
Triterpenoid, simplisia ditambah kloroform atau diklorometan untuk menarik senyawa kuinon dari simplisia, ketika dipanaskan ditiup dengan kapas agar kloroform atau diklorometan tidak mudah menguap, tidak ditutup langsung agar tidak terjadi bumping.
4.2 Ekstraksi
Pada percobaan ekstraksi ini,kelompok II menggunakan metode refluks. Refluks merupakan metode ekstraksi dimana uap cairan penyari terkondensasi pada kondensor dan akan menyari sampel secara kesinambungan pada labu alas bulat.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam proses ini sebaiknya ditambahkan batu didih dalam labu alas bulat untuk meredam letupan-letupan dalam tabung agar tidak terjadi bumping. Batu didih ini merupakan batu yang berasal dari pecahan porselin yang diaktifkan dengan cara perebussan selama kurang lebih 15 menit. Batu didih yang telah diaktifkan akan memiliki pori-pori yang lebih besar sehingga mampu menarik letupan-letupan kedalam pori-porinya.
Dalam proses refluks ini digunakan simplisia kering sebanyak 50 gram dengan volume pelarut sebanyak 350 ml, yang dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam proses refluks ini digunakan alat-alat yang telah dirancang sedemikian rupa agar volume senyawa yang ada di dalamnya tidak berkurang. Alat refluks ini dilengkapi dengan kondensoryang berbentuk bola-bola kaca yang di dindingnya dialiri dengan air dingin, sehingga uap-uap dari zat akan menempel pada dinding bola-bola kaca yang kemudian akan mengembun dengan adanya air dingin pada dinding luarnya, lama-kelamaan uap yang menempel tersebut akan turun kembali. Jadi semakin banyak bola-bola kaca semakin baik karena uap yang dhasilkan akan semakin sulit untuk dikeluarkan.
Dalam percobaan ini diperoleh sampel refluks dengan warna coklat pekat, namun belum berbentuk ekstrak kental. Untuk memperoleh ekstrak kental masih diperlukan proses lebih lanjut berupa rotary vaporator.
4.3 Pemantauan Ekstrak
Praktikum kali ini dilakukan pemantauan ekstrak . pemantauan ekstrak dilakukan untuk mengetahui komponen yang ada dalam ekstrak. Pemantauan komponen ekstrak dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT).
Dalam praktikum kali ini, menggunakan silica GF 254 sebagai fase diam campuran klorofom : aseton : dietilamin (7:2:1) sebagai fase gerak dan H2SO4 dan dragendroff sebagai penampak bercak . ekstrak yang dipakai yaitu ekstrak kental kinin, selain itu digunakan pembanding yaitu kin HCl yang bertujuan untuk memastikan kandungan kinin dari ekstrak kental kinin. Ekstrak kental kinin dan kinin HCL dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol didalam vial.
Pembuatan fase gerak yaitu dengan mencampurkan 7ml klorofom, 2ml aseton , 1 ml dietylamin campuran tersebut dimsukkan kedalam chamber, sebelum chamber digunakan atau dimasukan plat KLT chamber harus sudah dalam keadaan jenuh. Eluen dijenuhkan dengan cara memasukkan kertas saring ke dalam chamber lalu tutup, kertas saring yang digunakan dalam chamber adalah sebagai penanda bahwa eluen memenuhi diding chamber sehingga proses elusi akan berjalan dengan baik pada saat penjenuhan, chamber ditutup karena apabila eluen dibiarkan terbuka fase gerak akan habis menguap pada saat penjenuhan chamber tidal boleh diangkat dengan tujuan agar tekanan dalam larutan stabil dan tidak terjadi penguapan lebih cepat pada eluen yang bersifat volatile setelah proses penjenuhan selesai maka plat KLT yang sudah ditotolkan ekstrak langsung dimasukkan kedalam chamber.
Plat KLT yang dimasukkan kedalam chamber yaitu palt yang berisi totolan ekstrak kinin dalam etanol dan kinin HCl dalam etanol sebelum penotolan plat KL diberi garis dengan pensil karena jika mengguanakan pulpen dikhawatirkan akan menggangu analisa dengan menggunakan spektrofotometri uv. Jarak batas bawah dan atas yaitu 1 cm dan batas totolan 0.5 cm. hal ini bertujuan untuk mempermudah proses akhir dari elusi. Jarak yang ditempuh oleh suatu senyawa dipengaruhi oleh kelarutan senyawa dalam pelarut serta kemampuan senyawa tersebut untuk terperangkap dalam fase diam. Prinsip eluen dalam melewati fase diam adalah bergerak berdasarkan partisi dimana fase gerak akan teradsorpsi pada permukaan dan mengisi ruang diantaranya sel penjerap kemudian terpatisi. Sedangkan prinsip pemisahan bercak adalah berdasarkan kepolarannya sehingga menghasilkan kecepatan yang berbeda beda saat berpatisi dan terjadilah pemisahan.
Setelah proses elusi selesai selanjutnya diamati dibawah lampu uv 254 dan 366nm. Amati jarak bercak tersebut (bercak sebelum penyemprotan dengan bercak penampak bercak). Pada sinar uV 254 lempeng akan berflourosensi sedangkkan sampel akan tampak berwarna gelap penampak noda pada 254 adalah karena adanya daya interaksi antara sinar uv dengan indicator flourusensi. Flourosensi cahaya tampak merupakan emisi cahaya yang dipakaikan oleh indicator tersebut ketika electron yan tereksitasi dari tingkat energy pda sinar uv 365 noda akan berflourusensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampak noda ini karena adanya daya interaksi anatra sinar uv dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda.
Setelah dilihat dibawah lampu uv 254 nm dan uv 365 nm, selanjutnya plat disemprot dengan mengunakan H2SO4 10 % dan dargendroff (pada plat yang berbeda). Alasan menggunakan H2SO4 karena H2SO4 bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap sehingga bertamabah dan warna noda dapat dilihat pada cahaya tampak. Mekanisme penampak ini dapat disebabkan juga karena gugus OH yang dimiliki H2SO4
sehingga berfungsi sebagai auksokrom dimana gugus ausokrom ini dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran kearah alfa yang lebih panjang sedangkan
hipsokromik kerah sebalik atau pendek. Konsentrasi H2SO4 yang dipakai yaitu 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat merusak lempeng namun jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuannya memutuskan ikatan tidak maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik dimaksudkan untuk membantu proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sedangkan alasan menggunakan dragendroff karena sampel yang digunakan yaitu kina yang diidentifikasi adalah senyawa alkaloid kinin, pereaksi yang digunakan untuk identifikasi alkaloid adalah dragendroff sehingga digunakan sebgai penampak bercak.
Setelah selesai di semprot dengan penampak bercak kemudian diamati lagi dibwah lampu UV 254 dan 365 nm, kemudian dihitung RFnya . RF untuk ekstrak kinin dan kinin HCl yang disemprotkan H2SO4 10% berturut-turut yaitu 0.53 cm dan 0,6 cm. sedangkan untuk eksrak kiina dan kinin HCl yang disemprotkan dragendroff berturut- turut yaitu 0,57 cm dan 0,6 cm.
4.4 Fraksinasi 1
Fraksinasi merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari kandungan golongan utama yang lainnya. Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan komponen-komponen berdasarkan perbedaan kepolaran tergantung dari jenis senyawa yang terkandung dalam tumbuhan. Pertama-tama ECC menggunakan n-heksan sebanyak 2x pengulangan, karena jika digunakan pelarut polar dikhawatirkan adanya senyawa polar yang ikut terlarut. yang di ambil adalah fase n-heksan dan di ekstraksi kembali dengan etil asetat sebanyak 3x pengulangan, fase etil asetat di ektrasksi kembali menggunakan metanol-air dengan 3x pelarutan.
Setelah di fraksinasi di peroleh lah fraksi-fraksi yaitu fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi metanol-air. Dari semua fraksi ini dilakukan pemantauan fraksi dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang bertujuan untuk melihat di fraksi mana senyawa kinin lebih banyak terlarut.Semua fraksi tersebut di pantau dengan pembanding kinin HCL, residu dari ekstrak pun turut di ujikan. Pengembang yang digunakan adalah Kloroform : aseton : dietiamin (7 : 2: 1). Setelah di elusi, plat yang sudah di keringkan di lihat di bawah lampu UV 254nm dan 366nm. Pembanding kinin HCL memberikan Rf = 0,59 , residu ekstrak memberikan Rf = 0,59 , pada fraksi n-heksan tidak terdapat bercak, fraksi etil asetat memberikan Rf = 0,59 dan fraksi metanol-air memberikan Rf = 0,61 . pada fraksi etil asetat terdapat bercak yang lain yang di duga sebagai pengotor. Namun fraksi yang digunakan untuk tahap KCV (Kromatografi Cair Vakum) adalah fraksi etil asetat karena bercak yang di timbulkan besar dan pekat di duga lebih banyak mengandung senyawa kini yang terlarut.
4.5 Fraksinasi 2
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan kromatografi cair vakum (KCV) atau kromatografi suchon coloum.dimana kromatografi cair vakum adalah bentuk kromatografi kolom yang khususnya berguna untuk fraksinasi kasar yang cepat terhadap suatu ekstrak, kondisi vakum adalah alternatif untuk mempercepat aliran fase gerak dari atas ke bawah.
Pada kromatografi cair vakum (KCV) fase diamnya menggunakan silika gel yaitu dengan menggunakan cara basah/cara kering. proses basah yaitu silica gel ditambah dengan n heksan hingga berbentuk seperti bubur lalu dituangkan kedalam kolom dan dihisap pelarutnya dengan mesin vakum, dan dihentikan sampai panjang kolom sesuai dengan yang diinginkan maka diperoleh silica gel yang padat pada kolom. Kemudian proses kering yaitu memasukan silika gel dalam bentuk padat langsung kekolom lalu dipadatkan. Pada percobaan ini pembuatan kolom dengan silica gel dilakukan dengan cara proses kering dan sebagai fase geraknya yaitu eluen yang telah dibuat dengan bebagai perbandingan dengan tingkat kepolaran tertentu.
Adapun KCV ini merupakan pemisahan fraksi berdasarkan pelarutnya. Agar fraksi tertentu turun maka harus ditingkatkan kepolaranya dari nonpolar, sedikit polar, semi polar, agak polar, sampai 100% polar. Hal ini dikarenakan didalam sampel itu terdapat senyawa yang berbeda kepolaranya. Untuk meningkatkan kepolaran pelarut dilakukan perbandingan campuran pelarut , pada mulanya pelarut nonpolar dicampur dengan pelarut semi polar dengan perbandingan tertentu dan sampai nanti pelarut semi polar dicampur dengan pelarut polar dengan perbandingan tertentu. Sampel/fraksi yang turun itu sesuai dengan kepolaran pelarut yang digunakan. Pada praktikum digunakan pelarut n-heksan (non polar) maka fraksi yang akan turun adalah senyawa non polar, sedangkan senyawa polar tidak turun karena tidak larut dengan n-heksen.
Keuntungan dari kromatografi kolom vakum cair yaitu prosesnya terjai secara cepat karena adanya bantuan vakum dan proses elusi terjadi secara sempurna. Tetapi memiliki kerugian yaitu proses pemisahan senyawa tidak sempurna karena prosesnya yang cepat dan prosesnya membutuhkan biaya mahal.
4.5 Pemurnian dan Uji Kemurnian
Pada praktikum pemurnian ini, bertujuan untuk mendapatkan suatu isolate murni yang sebelumnya telah dilakukan ekstraksi, skrinning fitokimia, fraksinasi I dan fraksinasi II. Senyawa yang di isolasi adalah senyawa kinin yang berasal dari tanaman kina yaitu Cinchona succirubra. Metode pemurnian yang digunakan adalah Kromatografi Lapis Tipis Preaparatif (KLT Preaparatif). KLT preparatif dapat digunakan untuk memisahkan bahan dalam jumlah gram, namun sebagain besar hanya dalam jumlah
milligram. Seperti halnya KLT secara umum, KLT preparative juga melibatkan fase diam dan fase gerak. Dimana fase diamnya adalah sebuah plat dengan ukuran ketebalan bervariasi. Untuk jumlah sampel 10-100 mg, dapat dipisahkan dengan menggunakan KLT preparative dengan adsorben silika gel atau alumunium oksida, dengan ukuran 20x20 cm dan tebal 1 mm. Pada praktikum, kami menggunakan KLT analitik biasa dengan ukuran 5x5 cm.
Sebelum ditotolkan pada KLT preparatif, sampel dilarutkan terlebih dahulu dalam sedikit pelarut. Pelarut yang baik adalah pelarut yang mudah menguap, misalnya n-heksan, diklorometan, atau etil asetat. Karena jika pelarut yang digunakan tidak mudah menguap, maka akan terjadi pelebaran pita. Konsentrasi sampel juga sebaiknya 5-10%. Sampel yang ditotolkan harus dalam bentuk pitayang sesempit mungkin jaraknya, karena baik atau tidaknya pemisahan juga bergantung pada lebar pita. Setelah plat KLT preparative dielusi, pita yang kedudukannya telah diketahui terlihat di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm di kerok dari plat kemudian dilarutkan dan disaring dengan kapas bebas lemak.
- Kelebihan : Biaya yang dibutuhkan relative lebih murah dan memakai peralatan yang paling mendasar.
- Kekurangan : Adanya kemungkinan senyawa yang diambil dari plat adalah senyawa beracun, waktu yang diperlukan dalam proses pemisahan cukup panjang, adanya pencemar setelah proses ekstraksi senyawa dari adsorben dan biasanya rendemen yang diperoleh berkurang 40%-50% dari bahan awal.
Dari hasil percobaan, isolate yang sudah mengalami proses pemurniaan pada saat di uji kemurniannya ternyata senyawa kinin tidak murni, masih terdapat pengotor dalam isolate tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bercak berwarna coklat pada saat sampel dipanaskan unttuk proses oksidasi. Pada saat di lihat di bawah lampu UV 254 nm dan 366 nm juga terdapat 2 bercak yang terdeteksi. Suatu isolate dikatakan murni jika memiliki Rf yang sama ketika dilakukan KLT dua dimensi dan hanya ada 1 bercak yang terdeteksi baik di UV 254 nm ataupun di UV 366 nm. Pengujian kemurnian menggunkana 3 pengembang dihasilkan 1 bercak saja di atas, tengah, dan bawah dengan masing-masing Rf 0,7, Rf 0,6, dan Rf 0,2.
BAB V
KESIMPULAN
Pada penapisan fitokimia, simplisia yang diuji yaitu Kulit Kina. Kulit Kina memberikan
hasil positif terhadap alkaloid, flavonoid, tannin, kuinon, saponin, polifenol, steroid dan
triterpen
Metode ekstraksi yang digunakan pada praktikum terhadap kulit kina yaitu metode refluks
dan warna sampel kulit batang kina setelah di ekstraksi berwarna coklat pekat
Pemantauan hasil ekstraksi menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis positif
mengandung senyawa kinin karena memiliki nilai Rf (0,57) yang tidak jauh berbeda dengan
Rf pembanding kinin HCl (0,6)
Hasil Ekstraksi Cair-Cair dapat diduga bahwa senyawa kinin berada pada fraksi etil asetat
karena memiliki nilai Rf (0,59) yang sama dengan nilai Rf pembanding kinin HCl (0,59)
Hasil Kromatografi Cair Vakum ekstrak kinin dengan kinin HCl sebagai pembanding berada
pada fraksi 10 dengan nilai Rf yang sama yaitu 0,5.
Hasil pemurnian dan uji kemurnian yaitu isolat yang kami peroleh tidak murni dikarenakan
terdapat 2 spot dan 1 bercak coklat yang terdeteksi pada saat pengamatan baik pada pada
lampu UV maupun secara visual setelah di panaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia jilid II. Pengarang: H.M. Hembing Wijayakusuma,
Agustinus Setiawan Wirian, Thomas Yaputra, Setiawan Dalimartha, Bambang Wibowo,
Pustaka Kartini, Anggota IKAPI . 1992
Sultoni, A. 1995. Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Kina. Asosiasi Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan Indonesia. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung. Jakarta, Februari 2000
Sumber : Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS Editor :
Kemal Prihatman
Anonimous. 1994. Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Prosiding
Seminar di Bogor 1 – 2 Desember 1993. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Bogor. 311 Hal.
Anonimous. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta. Hal 411
Dirjen POM, (1986), "Sediaan Galenik", Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Alam, Gemini dan Abdul Rahim. 2007. Penuntun Praktikum Fitokimia. UIN Alauddin:
Makassar. 24-26.
Hendayana, Summar, dkk. 1994. Kimia Analitik Instrumen. IKIP Semarang Press: Semarang
Hostettmenn, K. dkk. 1986. Cara Kromatografi Preparatif. ITB: Bandung
Harboure, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan.
Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasi Padmawinata & Iwang Soediro. ITB: Bandung