Post on 24-May-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia salah satu penerimaan negara yang sangat penting, artinya bagi pelaksanaan dan
peningkatan pembangunan nasional serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat adalah pajak. Oleh karenanya, pajak perlu dikelola secara seksama
dengan meningkat peran serta seluruh lapisan masyarakat dan dari aparat perpajakan sendiri.
Pajak merupakan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan
penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat guna
membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan nasional dan ekonomi masyarakat. Sistem
perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai perkembangan masyarakat
dan Negara, baik dalam bidang kenegaraan maupun bidang dalam bidang sosial dan ekonomi.
Pemungutan pajak merupakan suatu bentuk kewajiban warga Negara selaku Wajib Pajak
serta peran aktif untuk membiayai berbagai keperluan Negara yaitu berupa pembangunan
nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan untuk tujuan
kesejahteraan bangsa dan Negara.
Penetapan pajak di Indonesia selalu didasarkan atas UU, sesuai amanat UUD 1945 dan
amendemennya, dalam pasal 23 ayat (2). Beberapa teori menentukan pajak dapat dihitung
dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat, atau pihak lain, atau juga oleh pemerintah.
Reformasi perpajakan (tax reform) 1983, telah membuat perubahan mendasar ke arah
pembaruan dalam sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan dalam posisi utama
dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Hal ini sangat sejalan dengan tuntutan social
oriented, di mana masyarakatlah yang paling menentukan kehidupan dan kegiatannya,
sedangkan pemerintah lebih berfungsi sebagai pengawas, pembina dan penyedia fasilitas.
Salah satu tonggak penting dalam sejarah perpajakan Indonesia adalah penerapan sistem
pemungutan pajak self assessment sebagai pengganti official assesment.
Perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment,
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan
pembangunan dari penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak, karena penerimaan dari
migas tidak dapat diandalkan lagi, sementara sumber dana dalam negeri hanya sebagai
pelengkap.
Sejak diterapkannya sistem self assessment dalam undang-undang perpajakan Indonesia,
peranan positif Wajib Pajak dalam memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya (tax
compliance) menjadi semakin mutlak diperlukan.
Agar sistem self assessment berjalan secara efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegak
hukum merupakan hal yang paling penting. Penegakan hukum ini dapat dilakukan dengan
adanya pemeriksaan/penyidikan pajak dan penagihan pajak. Pemeriksanaan pajak merupakan
instrumen yang baik untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun
material dari peraturan perpajakan, yang tujuannya untuk menguji dan meningkatkan
kepatuhan perpajakan seorang Wajib Pajak. Kepatuhan ini akan sangat berdampak baik
secara langsung maupun tak langsung pada penerimaan pajak.
Melihat dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa besar pajak dapat dipengaruhi oleh
kepatuhan Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakannya dan dipengaruhi pula oleh
pelaksanaan pajak. Hal tersebut menyebabkan penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah
yang akan membahas sekilas tentang “PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM
DALAM PEMUNGUTAN PAJAK” yang akan Penulis tuangkan dalam Bab Pembahasan.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul
secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan
masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat
dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Self Assessment System di Indonesia, beserta dengan keuntungan dan
kerugiannya ?
2. Bagaimana Hubungan Wajib Pajak Dengan Self Assessment System Pajak Penghasilan?
3. Bagaimana penerapan sistem Self Assesment dalam pemungutan BPHTB ?
B A B II
P E M B A H A S A N
A. Self Assessment System di Indonesia
Self assessment system sebagai sistem penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan
sejak tax reform tahun 1983, setelah sebelumnya pernah diberlakukan official assessment
system. Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Official assessment
system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Fiskus untuk
menentukan besarnya pajak terutang. Perbedaan antara official assessment system dan self
assessment system dapat dilihat pada
Tabel 1.
Perbedaan Official Assessment System dan Self Assessment System
OFFICIAL
ASSESSMENT SYSTEM
SELF ASSESSMENT
SYSTEM
Wewenang menentukan
Pajak terutang
Besarnya pajak terutang
ditentukan
oleh Fiskus
Besarnya pajak terutang
ditentukan
oleh Wajib Pajak
Peran Wajib Pajak Wajib Pajak bersifat pasif Wajib Pajak bersifat aktif
Peran Fiskus Fiskus bertindak aktif Fiskus hanya bertindak
sebagai fasilitator
Timbulnya pajak terutang Timbul karena
dikeluarkannya Surat
Ketetapan Pajak (SKP)
oleh Fiskus
Timbul karena UU dan
karena terjadinya
keadaan atau perbuatan
Sumber: Mardiasmo (2003)
Self assessment system merupakan suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Wajib Pajak diberi tanggung
jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang
perpajakan. Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi
penghitungan memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang
terutang sesuai dengan peraturan perpajakan dan atas dasar fungsi penghitungan Wajib Pajak
berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau
Kantor Pos. Fungsi terakhir dari wajib pajak adalah melaporkan pembayaran dan berapa
besar pajak yang telah dibayar ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sistem pemungutan yang
berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system yaitu ketetapan pajak yang
ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang dilakukannya dalam SPT. Self assessment system
merupakan tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa tipe administrasi
perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi Wajib Pajak
atau pemotong/ pemungut pajak dan respon Wajib Pajak terhadap pengenaan pajak tersebut
(Zain, 2003). Pada tipe ini Wajib Pajak mendapat beban yang sangat berat, karena: (1) Wajib
Pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, (2) Menghitung Dasar
Pengenaan Pajaknya (DPP), (3) Mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang maksudnya
mengurangi pajak yang terutang dengan jumlah pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan,
dan (4) Melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang terutang.
Jiwa dari self assessment adalah pemerintah (Dirjen Pajak) yang memberi kepercayaan
kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan menetapkan sendiri besarnya kewajiban pajak
yang harus dibayar Wajib Pajak. Perhitungan besarnya pajak ini harus diakui kebenarannya
sebelum Dirjen Pajak dapat membuktikan yang sebaliknya, karena didalam asas self
assessment ada unsur pendelegasian wewenang oleh Dirjen Pajak, maka sebagai
konsekwensinya Dirjen Pajak harus menciptakan sistem kontrol secara memadai, sebab
pendelegasian wewenang tanpa kontrol akan mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan
wewenang.
Surat pemberitahuan (SPT) merupakan surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak, obyek pajak dan bukan obyek pajak, atau
harta dan kewajiban. Dasar hukum untuk melakukan pengisian SPT adalah terdapat dalam
pasal 3 ayat 1 dan (1a) UU KUP menyebutkan bahwa “setiap Wajib Pajak wajib mengisi
Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab,
satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan”. Menurut Undang-undan No.
16 tahun 2000 KUP perpajakan, SPT dapat dibagi menjadi, SPT Masa adalah Surat
Pemberitahuan untuk suatu masa pajak dan SPT Tahunan adalah surat-surat pemberitahuan
untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Pengisian SPT Tahunan PPh oleh Wajib
pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi serta keteranganketerangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan (PPh) adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) fungsi SPTadalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Niai atas barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya
terutang. Mengisi SPT adalah mengisi SPT dengan benar, jelas dan lengkap, sesuai dengan
petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan perundangundangan perpajakan yang
berlaku. Pengisian SPT yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang kurang
bayar sehingga akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 16 Tahun 2000, bagi Wajib Pajak yang terlambat
dan tidak menyampaikan SPTnya akan dikenakan sanksi administrasi yaitu:
a. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT dikenakan denda untuk SPT Masa sebesar
Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) dan untuk SPT Tahunan sebesar Rp 100.000,00
(seratus ribu rupiah).
b. Tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar karena kealpaan Wajib Pajak
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang bayar.
c. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dengan sengaja sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
baya.
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan
pembayaran, penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara melalui kantor pos, Bank BUMN
atau Bank BUMD dan tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan,
Mardiasmo (2003).
Fungsi dari SSP adalah sebagi sarana untuk membayar pajak, sebagai bukti dan pelaporan
pembayaran pajak. Dalam pelaksanaan self assessment system, Wajib Pajak tidak serta merta
mengisi formulir pajak dan diperiksa oleh Fiskus. Persoalan yang meski kita kedepankan
adalah betapa pentingnya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan dan berbagai
peraturannya yang dituangkan secara gamblang, baku, lugas, tegas, jelas, tidak bermakna
ganda, dan tidak terlalu sering berubah (Tarjo dan Sawarjuwono, 2005). Selanjutnya harus
disampaikan kepada Wajib Pajak sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang salah.
Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh
pemerintah (Fiskus) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah
fungsi yang memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang
sesuai dengan peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan tersebut Wajib Pajak
berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau
kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang
telah dibayar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Sedangkan Kelemahan dari self assessment system yang memberikan kepercayaan pada
Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutang, dalam
praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan disalah gunakan. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib
Pajak yang masih rendah atau kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak enggan
untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran Wajib
Pajak ini bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya
(Sadhani, 2004).
Tata cara pemungutan pajak dengan menggunakan self assessment system berhasil
dengan baik jika masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi, dimana
ciri-ciri self assessment system adalah adanya kepastian hukum, sederhana perhitungaanya,
mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata, dan perhitungan pajak dilakukan oleh wajib
pajak.
Adapun ciri self assessment system yang lainnya adalah sebagai berikut:
1. Wajib pajak melakukan peran aktif dalam melakukan kewajiban perpajakannya.
2. Wajib pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban
perpajakannya sendiri.
3. Pemerintah dalam hal ini Instansi Perpajakan melakukan pembinaan, penelitian dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak, melalui
pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan
yang berlaku.
Self assessment system menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat karena semua
aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Wajib pajak
harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan
pajak, menghitung jumlah pajak terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang. Karena
menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan menimbulkan
peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, pemanipulasian
perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
Self assessment system dapat ditentukan dengan cara:
1. Kepatuhan, kepatuhan wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya adalah
faktor paling dominan dalam metode ini karena kepatuhan wajib pajak sangat diperlukan
untuk menghindari kecurangan yang dilakukan wajib pajak.
2. Kurang bayar dan lebih bayar pajak, kurang bayar pajak terjadi karena jumlah pajak
yang dibayar lebih kecil daripada jumlah pajak terutangnya sedangkan lebih bayar pajak
terjadi karena jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak terutangnya.
3. Menyetor, menghitung, dan melaporkan pajak merupakan rangakaian dalam kegiatan
unutk melaksankan kewajiban perpakannya.
B. Hubungan Wajib Pajak Dengan Self Assessment System Pajak Penghasilan
Peranan Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self Assessment System Pajak Penghasilan adalah
Undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-
undang inilah butir 2 pernyataan dalam penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-
undang ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan peranan Wajib Pajak apakah
positif atau negatif.
Menurut Undang-undang Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-undang Nomor 17
tahun 2000 adalah sebagai berikut:
“Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan,
memotong atau memungut, menyetor dan melaporkan besarnya jumlah pajak yang harus
dibayar dan melaporkannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya”.
Menurut Waluyo dalam bukunya Perpajakan Indonesia adalah:
“ Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui
sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang (Self Assessment System), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan
diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh
Wajib Pajak”.
Peranan positif terhadap Self Assessment System Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib
Pajak mempunyai pemahaman yang benar terhadap objek penelitian ini yaitu Undang-undang
No.28 Tahun 2007 dan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya apabila persepsi
negatif terhadap Self Assessment System maka Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang
keliru terhadap kedua Undang-undang itu.
C. Penerapan Sistem Self Assesment Dalam Pemungutan BPHTB.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), bahwa yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat
dari diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan
beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan ketentuan perundangundangan
Lainnya.
Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar
pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib
Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan
Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang
termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi
kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan
menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan
melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak”. (BPHTB Pasal 10
ayat 1 ) Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang BPHTB adalah:
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self asssessment yaitu wajib
pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5 % (lima persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak
Kena Pajak (NPOPKP).
c. Agar pelaksanaan Undang-Undang BPHTB dapat berleku secara efektif, maka baik kepada
wajib pajak maupun kepada pejabatpejabat
umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan sanksi
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian besar diserahkan
kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai
pembangunan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan diluar ketentuan ini tidak
diperkenankan.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tarif pajak ditetapkan sebesar
5% (lima persen). Sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB adalah NPOP. Dalam Pasal 6 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, disebutkan bahwa apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai
Jual Obyek Pajak, maka yang digunakan dalam pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek
Pajak Bumi dan Bangunan. Dan apabila Nilai Jual Obyek Pajak belum diketahui, besarnya
Nilai Jual Obyek Pajak ditetapkan oleh Menteri. Cara menghitung BPHTB adalah sebagai
berikut:
BPHTB = Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP – NPOP TKP) x 5%
Sedangkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur mengenai
besarnya Nilai Pertolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling
banyak Rp 60.000.000,00,- (Enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena
warisan atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu derajat kebawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dan
dalam ayat (2) memuat bahwa ketentuan Nilai Perolehan Obyak Pajak Tidak Kena Pajak
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk mengetahui bagaimana praktek penerapan di lapangan, maka penulis mencoba untuk
mencari melalui internet beberapa penelitian yang telah di lakukan oleh beberapa orang
tentang bagaimana penerapan self assesment system dalam pemungutan bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan pada kantor pelayanan pajak pratama Surakarta.
1. Penerapan Self Assesment System Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sampai saat ini dengan wilayah kerja meliputi 5
(lima) kecamatan yaitu : Laweyan, Jebres, Serengan, Pasar Kliwon dan Banjarsari. Lokasi
KPP Pratama Surakarta terletak di jalan Kyai Haji Agus Salim Nomor 1 Surakarta 57147,
telepon (0271) 717522/718400/720821.
Kantor Pelayanan Pajak Surakarta dilengkapi dengan:
a. Poliklinik yang dibuka setiap hari Senin dan Kamis, dilayani oleh 1 (satu) orang dokter dan
1 (satu) orang tenaga paramedis.
b. Lapangan tenis out-door di halaman belakang kantor sebagai sarana olahraga
karywan/wati.
c. Koperasi Pegawai Negeri guna membantu kesejahteraan dan kebutuhan para pegawai
dengan nama KPN Direktorat Jendral Pajak Surakarta ”Berseri T.P” yang menyelenggarakan
kegiatan simpan pinjam dengan anggota karyawan/wati KPP Pratama Surakarta dan Kanwil
DJP Jawa Tengah II.
d. Mushola yang teletak di belakang kantor sebagai sarana tempat ibadah bagi para pegawai.
e. Kantin yang ada di belakang kantor dan tempat fotocopy yang dikelola oleh pihak
luar dengan menyewa tempat di kantor.
Jabatan yang ada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta:
ü Kepala Kantor
ü Kelompok Jabatan Fungsional
ü Sub bag Umum- Sie Waskon III
ü Sie Ekstensifikasi
ü Sie Waskon IV
ü Sie PDI
ü Sie Pemeriksaan
ü Sie Pelayanan
ü Sie Penagihan
ü Sie Waskon I
ü Sie Waskon II
ANALISIS
Disini peneliti melakukan pembahasan permasalahan tentang penerapan sistem self
assesment dalam pemungutan BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, serta
mengetahui penerapan sistem self assesment untuk BPHTB di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Surakarta telah sesuai dengan peraturan perpajakan.
Dalam penelitian ini peneliti menitikberatkan pada pelaksanaan self assessment system
sebagai salah satu sistem pemungutan pajak yang memiliki ciri tersendiri yaitu wewenang
menentukan besar pajak ada pada wajib pajak sendiri. Sehingga wajib pajak dituntut berperan
serta dalam penghitungan, pembayaran serta pelaporan. Pemungutan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan atas peralihan hak yang dipilih sebagai obyek penelitian adalah Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan obyek pemindahan hak yang disebabkan
oleh perbuatan hukum jual-beli.
Pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta,
dalam memenuhi kewajibannya yaitu membayar kepada kas negara dengan melalui bank
persepsi atau kantor pos persepsi, bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan sistem pelayanan on line.
Sedangkan pembayarannya dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
merupakan pajak yang harus dibayar sebagai akibat dari diperolehnya hak atas tanah dan atau
bangunan yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik
atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
Perolehan Hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan hukum atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan bangunan yang nilai perolehannya di atas Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP).
Penetapan Nilai
Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Nilai
Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB, ditetapkan bahwa NPOPTKP Kota
Surakarta adalah sebesar Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah), sedangkan untuk peristiwa
hukum pewarisan NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp.175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima
juta rupiah) Sehingga rumus penghitungannya adalah sebagai berikut :
BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x 5%
= (NPOP – Rp.20.000.000) x 5%
( Sumber : KPP Pratama Surakarta)
Untuk lebih jelasnya penulis akan memberikan contoh penghitungan BPHTB kota
Surakarta.
Contoh :
1. Pada tanggal 7 Maret 2012, Bapak Bambang membeli sebidang tanah yang terletak di
Kota Surakarta dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp. 50.000.000,-
Apabila NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 20.000.000,- maka BPHTB yang menjadi
kewajiban Bapak Bambang tsb adalah : 5% x (50.000.000- 20.000.000) = Rp. 1.500.000,-
2. Pada tanggal 20 Mei 2012 Bapak Ahmad membeli sebuah rumah seluas 200 M2 yang
berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Surakarta dengan harga
perolehan sebesar Rp. 500.000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut
ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP
ditentukan sebesar Rp. 20.000.000,- maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh
Bapak Ahmad tersebut adalah: 5% x (600.000.000 - 20.000.000) = Rp. 29.000.000,-
Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan sistem self
assessment di Kota Surakarta belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak adalah Nilai
Perolehan Obyek Pajak, sebagaimana disebutkan didalam pasal 6 ayat (1) Undang undang
Nomor 20 Tahun 2000, di Kota Surakarta untuk menggunakan Nilai Perolehan Obyek Pajak
yang sebenarnya sebagai dasar penghitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
belum bisa diterapkan. Kecenderungan adanya upaya menghindari pajak adalah merupakan
faktor pendorong wajib pajak untuk memberikan keterangan mengenai Nilai Perolehan
Obyek Pajak yang tidak sesuai dengan nilai perolehan sebenarnya. Sehingga dasar pengenaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dipakai oleh PPAT/Notaris adalah
keterangan dari para pihak, dengan mengacu pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang
tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Pembayaran dilakukan dengan
menggunakan formulir Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan . (SSB)
yang terdiri dari 5 (lima) rangkap yang disediakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Surakarta. Sebagai bukti telah disetornya pajak terutang, wajib pajak akan menerima bukti
setoran berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) lembar
pertama, ketiga dan lembar kelima. Dari ketiga lembar bukti setoran tersebut, lembar pertama
untuk wajib pajak sendiri, sedangkan lembar ketiga digunakan untuk melaporkan terjadinya
peralihan hak ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan masih harus dilengkapi
dengan fotokopi Sertifikat, identitas diri dan keterangan dari kelurahan mengenai obyek
pajak. Sedangkan lembar kelima untuk pengajuan permohonan pendaftaran peralihan hak di
Kantor Pertanahan. Adapun lembar kedua dan keempat untuk bank, dimana lembar kedua
tersebut selanjutnya disampaikan ke KPP Pratama melalui bank dan lembar keempat untuk
bank sebagai tempat pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Tabel 1.
Penerimaan BPHTB Kota Surakarta
Tahun 2006 S/d 2010
No Tahun Anggaran/Target Realisasi sampai dengan
Desember
Persen
1 2006 Rp.26.738.357.000 Rp. 13.656.104.000 51,07%
2 2007 Rp. 27.293.000.000 Rp. 21.802.606.000 79,88%
3 2008 Rp. 25.655.376.000 Rp. 30.366.526.176 118,36%
4 2009 Rp. 35.464.470.000 Rp. 39.568.136.752 111,57%
5 2010 Rp. 42.753.393.214 Rp. 43.688.716.095 102,19%
Rata-rata 92,62%
(Sumber : KPP Pratama Surakarta)
Berdasarkan data diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerimaan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Surakarta pada 5 ( lima ) tahun terakhir yaitu pada
tahun 2006 dan 2007 realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
tidak mencapai anggaran atau anggaran lebih besar ditetapkan daripada realisasinya. Pada
tahun 2008, 2009 dan 2010 penerimaan lebih besar dari anggaran yang ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun penerimaan yang signifikan tejadi
pada tahun 2008 selisih terbesar antara anggaran dan realisasi sebesar Rp. 4.711.150.176
(empat miliar tujuh ratus sebelas juta seratus lima puluh ribu seratus tujuh puluh enam
rupiah). Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dalam penerimaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kota Surakarta antara lain adalah:
1. Jumlah peralihan hak atas tanah dan bangunan yang diikuti dengan pengajuan
permohonan pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan;
2. Nilai Jual Obyek Pajak yang tercantum di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB);
3. Kesepakatan para pihak mengenai harga yang dipakai sebagai dasarpenghitungan Bea.
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dari penelitian yang penulis lakukan diperoleh data mengenai hambatan yang dihadapi di
lapangan, adalah :
1. Ketidaktahuan wajib pajak tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). Mereka baru mengetahuinya setelah akan melakukan peralihan hak dan
mendapatkan penjelasan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.
2. Upaya menghindari pajak juga merupakan kendala yang sangat umum terjadi, yaitu apabila
harga pasar atau nilai transaksi lebih tinggi dari Nilai Jual Obyek Pajak, mereka akan
menyampaikan bahwa harga transaksi sesuai dengan NJOP. Demikian juga apabila Nilai
Perolehan Obyek Pajak lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak, masyarakat akan berusaha
menghindarinya. Sehingga dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) tidak lagi Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP), melainkan Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP).
3. Adanya wajib pajak yang tidak melaporkan perbuatan hukum yang mengakibatkan
peralihan hak, ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta, dengan menyampaikan Surat
Setoran Bea Perolehan Hak dan Bangunan (SSB) lembar ketiga.
Berdasarkan hambatanhambatan yang timbul sebagaimana tersebut di atas, dapat
digambarkan bahwa dalam pelaksanaan self assessment system dalam pemungutan BPHTB di
Kota Surakarta telah dilakukan beberapa upaya dalam menghadapi hambatan dimaksud
antara lain:
a. Dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta mengadakan sosialisasi ke Kecamatan
yang dihadiri oleh Kepala Desa yang ada di wilayah kecamatan tersebut, dengan harapan
untuk disampaikan kepada warga masyarakat di desanya.
b. Menindak lanjuti dengan mengirimkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) kepada wajib pajak, apabila ada jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi kepercayaan,
tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
Sistem pemungutan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system yaitu
ketetapan pajak yang ditetapkan oleh Wajib Pajak sendiri yang dilakukannya dalam SPT. Self
assessment system merupakan tipe administrasi perpajakan yang mengungkapkan bahwa tipe
administrasi perpajakan banyak ditentukan oleh bentuk kerjasama atau tingkat partisipasi
Wajib Pajak atau pemotong/ pemungut pajak dan respon Wajib Pajak terhadap pengenaan
pajak tersebut (Zain, 2003)
Keuntungan self assessment system ini adalah Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh
pemerintah (Fiskus) untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Fungsi penghitungan adalah
fungsi yang memberi hak kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang
sesuai dengan peraturan perpajakan. Atas dasar fungsi penghitungan tersebut Wajib Pajak
berkewajiban untuk membayar pajak sebesar pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau
kantor pos. Selanjutnya Wajib Pajak melaporkan pembayaran dan berapa besar pajak yang
telah dibayar kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Sedangkan Kelemahan dari self assessment system yang memberikan kepercayaan pada
Wajib Pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutang, dalam
praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan disalah gunakan. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak patuh, kesadaran Wajib
Pajak yang masih rendah atau kombinasi keduanya, sehingga membuat Wajib Pajak enggan
untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak. Rendahnya kepatuhan dan kesadaran Wajib
Pajak ini bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) dan mereka yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunannya
(Sadhani, 2004).
Peranan Wajib Pajak Orang Pribadi tentang Self Assessment System Pajak Penghasilan adalah
Undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang tentang Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-
undang inilah butir 2 pernyataan dalam penelitian ini diturunkan sehingga kedua Undang-
undang ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan peranan Wajib Pajak apakah
positif atau negatif.
Peranan positif terhadap Self Assessment System Pajak Penghasilan maksudnya adalah Wajib
Pajak mempunyai pemahaman yang benar terhadap objek penelitian ini yaitu Undang-undang
No.28 Tahun 2007 dan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Sebaliknya apabila persepsi
negatif terhadap Self Assessment System maka Wajib Pajak mempunyai pemahaman yang
keliru terhadap kedua Undang-undang itu.
Menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah bahwa setiap wajib pajak membayar
pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Demikian juga ketentuan
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 21Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, bahwa wajib
Pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya surat ketetapan pajak. Kedua Pasal tersebut di atas sebagai dasar hukum pelaksanaan
Self Assessment System dalam pemungutan BPHTB. Hal ini didukung dengan apa yang
termuat dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
berbunyi: “Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi
kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan
menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan
melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak”.
B. SARAN
Upaya-upaya yang diharapkan dapat dilaksanakan dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan
sistem self assessment dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah sebagai berikut:
1. Perlu adanya syarat atau keharusan untuk cek Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT) ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta sebelum transaksi jual beli dilakukan,
seperti halnya adanya syarat cek sertifikat ke Kantor Pertanahan sebelum penandatanganan
akta jual beli. Hal ini dimaksudkan untuk mencocokkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT) dengan obyek pajak bahwa data yang tercantum dalam SPPT tersebut adalah data
atas obyek pajak yang dimaksud, hal ini dimaksudkan untuk menghindari penggunaan Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atas obyek pajak yang lain dan sekaligus berfungsi
sebagai laporan dari wajib pajak, sehingga secara bertahap tertib administrasi dapat terwujud
dan memperkecil kemungkinan wajib pajak tidak memiliki Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT).
2. Perlu koordinasi pihakpihak terkait pada Pelaksanaan Self Assessment System dalam
Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang dalam hal ini adalah
PPAT/Notaris, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta dan Kantor Pertanahan, untuk
mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya pembayaran pajak dan peran
sertanya menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan daerah melalui
pembayaran pajak sehingga dengan demikian penerimaan daerah dari Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo, 2003. Perpajakan. Penerbit Andi Yogyakarta.
Sadhani, D. (2004). “Peran serta Akuntan dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak”.
Makalah disampaikan pada Konggres Nasional Ikatan Akuntan Indonesia V. Yogyakarta, 12-
13 Desember 2004.
Tarjo dan Sawarjuwono, T (2005). “Kepercayaan Wajib Pajak terhadap Fiskus, Kesadaran
Wajib Pajak terhadap Pentingnya Membayar Pajak, Rekayasa Akuntansi, dan Kepatuhan
Wajib Pajak”. Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi, Universitas
Widya Gama, Malang, Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005, Hal. 119-136.
Waluyo, 2006. Perpajakan Indonesia, Edisi 6, Jakarta : Salemba Empat.