Post on 12-Aug-2015
description
KASUS 3
PRIA 42 TAHUN DENGAN KU: KEBAS, KESEMUTAN, BENGKAK
Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti
BAB I
PENDAHULUAN
Lepra atau penyakit Hansen adalah penyakit infeksi granulomatus kronik disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, umumnya mengenai orang terutama kulit dan susunan saraf tepi. Lesi
kulit dan deformitas yang terjadi merupakan stigma dari penyakit ini.
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban
Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.
Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta
jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita
dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih
dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara
bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga
ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani
kembali.(1)
BAB II
LAPORAN KASUS
LEMBAR I
Seorang pria berusia 42 tahun bekerja sebagai karyawan pabrik cat dating ke rumah sakit dengan
keluhan utama kaki bengkak, kebas dan kesemutan dan sudah berlangsung selama satu tahun.
LEMBAR II
pada anamnesa dan pemeriksaan fisik di daerah perut dan punggung terdapat bercak merah.
Extremitas lengan dan kaki bawah kering dan ichtiosis.
LEMBAR III
Laboratorium :
•
• Hb : 11,5 gr%
• LED : 30 mm/jam
• Leukosit : 5000/µl
• Diff : 0/1/7/58/30/4
• SGOT : 45
• SGPT : 60
• BTA +
• BI +5
• MI 92%
BAB III
PEMBAHASAN
• HIPOTESIS
Berdasarkan keluhan-keluhan pasien dapat ditarik beberapa hipotesis sebagai berikut :
• Filariasis
Manifestasi dari cacing filarial, yaitu berupa manifestasi akut dan transien berupa
limfadenitis rekuren dan linfangitis, dan manifestai kronik yang ditandaioleh obstruksi kronik
dari saluran limfe dengan elephantiasis dan edema organ lain. Gejala awal termasuk demam
epispdik, limfangitis, pada satu ekstremitas, lomfadenitis terutama di daerah inguinal dan aksila,
nyeri kepala, dan mialgia. Gejala-gejala ini berlangsung selama beberapa hari / minggu. Sindrom
ini terutama pada umut 10-20 tahun. Manifestasi kronik terjadi terutama pada orang dewasa
berumur 30 tahun atau lebih. Komplikasi sekunder filariasi ialah adanya infeksi sekunder.(2)
Anamnesis :
• Apakah ada demam atau tidak?
• Apabila ada demam, bagaimanakah demamnya? Apakah suhunya sangat tinggi?
berulang atau tidak?
• Pernahkah ada pandemi filariasis di lingkungannya ?
• Keracunan Merkuri
Merkuri merupakan salah satu zat kimia yang terdapat dalam cat. Target organ dari
toksisitas metal merkuri tersebut, sehingga gejala yang terlihat erat hubungannya dengan system
saraf pusat. Salah satu gejala yang timbul yakni adanya gangguan saraf sensorik, seperti
paresthesi, kepekaan menurun dan sulit menggerakkan jari tangan dan kaki, penglihatan
menyempit, daya pendengaran menurun, serta rasa nyeri pada lengan, paha. Kadang-kadang
intoksikasi menahun pada merkuri disertai dengan timbulnya gingivitis, hipersalivasi, dan
pigmentasi linear berwarna kebiru-biruan di gigi dan gusi.(3)
Anamnesis :
• adakah baal, kesemutan di bagian tubuh lain
(seperti : jari-jari tangan dan kaki)
• Sudah berapa lama bekerja di pabrik cat ?
(untuk mengetahui lamanya paparan)
• Bekerja di bagian apa ?
(untuk mengetahui apakah ada kontak langsung terhadap zat kimia dari cat).
• Apakah pernah terpapar atau terinhalasi bahan kimia dari pabrik tempat ia bekerja?
(dapat ditanyakan pada keluarganya) apakah ada perubahan psikologi?
Karena pada keracunan merkuri, salah satu gejalanya adalah terdapat perubahan
psikologi.
• Apakah sebelumnya ada tremor di kaki?
• Apakah si pasien menggunakan alat proteksi ketika bekerja?
• Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik (ND) dijadikan debagai hipotesis berdasarkan keluhan pasien yaitu
adanya rasa kebas, kesemutan, dan bengkak pada kaki. Karena pada neuropati diabetik, terjadi
lesi pada serabut saraf yang bisa terjadi di serabut saraf kecil atau besar, lokasi proksimal atau
distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau otonom, maka manifestasi klinis ND menjadi
bervariasi, mulai dari kesemutan, kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar, seperti ditusuk,
disobek, ataupun ditikam.
Tetapi, polineuropati sensosi-motor- simetris distal atau distal symmetrical sensorymotor
polyneurophaty (DPN) merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi. DPN ditandai
dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif, yaitu mati rasa, kebas, dan kesemutan,
dan juga berkurangnya fungsi motorik (yang ini jarang terjadi) yang berlangsung pada bagian
distal (kaki) dan berkembang ke arah proksimal.(4)
Anamnesis
• Adakah riwayat DM di keluarga?
• Apakah ada polidipsi, poliuri, dan poliphagi?
• Adakah pruritus?
• Adakah gangguan visus ataupun gangguan penglihatan?
• Lepra
Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tahan asam yang tumbuh sangat lambat,
sehingga sulit terdiagnosis secara cepat. Lepra dimasukkan sebagai hipotesis pada kasus ini,
karena pada kasus lepra mutlak adanya lesi kulit dan juga adanya gangguan pada saraf
perifer. Individu dengan respon imun seluler yang rendah memiliki bentuk lepromatosa, yang
ditandai dengan keterlibatan kulit yang luas luas dengan lesi kulit yang sering digambarkan sebagai
infiltrasi nodul dan plak, serta terlibatnya saraf yang cenderung simetris, sedangkan orang dengan
imunitas yang baik salah satu manifestasinya juga dektruksi jaringan saraf.(5,6)
Anamnesis
• Bagaimana keadaan lingkungannya? Adakah kerabat, teman, ataupun keluarga yang terkena?
• Adakah kelainan kulit kering?
• Adakah rasa kebas pada lesi di punggung dan perut ?
• PEMERIKSAAN FISIK
Interpretasi
HASIL NILAI NORMAL INTERPRESTASI
Hb = 11.5 gr/dL Dewasa pria : 13.2 - 17.3 g/dl
Perempuan : 11.7 - 15.5 g/dl
, mycobacterium Leprae
dapat mensupresi sumsung
tulang belakang, sehingga
pembentukan sel darah
merah terganggu (langsung)
dan dapat mengganggu
aktivasi enzim eritropoitin
( tidak langsung)
Leukosit = 5000/uL 4000 - 10.000/uL Normal
Basofil (0)
Eosinofil (1)
Batang (7)
Segmen (58)
Limfosit(30)
Monosit (4).
Basofil (0-1%)
Eosinofil (1-3%)
Batang (2-5%)
Segmen (50-70%)
Limfosit(20-40%)
Monosit (2-8%).
Neutrofil batang yang
meningkat menunjukkan
adanya infeksi bakteri.
SGOT (45)
SGPT ( 60)
SGOT ( 5-40)
SGOT (5-41)
Normal.
BTA (+) Pemeriksaan BTA
digunakan untuk mengetahui
apakah terdapat infeksi yang
disebabkan oleh bakteri
tahan asam, dan hasil positif
menandakan adanya bakteri
tersebut.
BI (+5) Kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan non
solid pada sebuah sediaan
dengan range nilai +1 s/d +6.
+5 menandakan bahwa bila
101 -1000 BTA rata rata
dalam 1 lapang pandang.
MI (92%) MI adalah persentase bentuk
solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non silid
dengan rumus, Jumlah solid/
(jumlah solid + non solid) X
100 %. Meningkat
LED = 30 mm/jam Nilai normal:
< 20 mm/jam
LED meningkat,
menandakan adanya infeksi
kronis atau keganasan.
• Pada pasien ini ditemukan kebas, kesemutan, dan kaki bengkak sejak satu tahun yang lalu
yang kemungkinan besar terdapat kelainan pada sistem saraf perifer sehingga terdapat
gejala tersebut.
• Daerah perut dan punggung pada pemeriksaan fisik terdapat bercak merah yang berarti
ada kelainan pada kulit yang bisa disebabkan oleh berbagai macam etiologi seperti alergi,
iritasi dan adanya infeksi.
• Ekstrimitas lengan dan kaki bawah kering dan ictiosis atau kering dan bersisik (squama)
yang menandakan ada kelainan patologis pada kulit, kulit kering bisa disebabkan oleh
dehidrasi.
• Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
Berdasarkan keluhan utama, pemeriksaan fisik dan laboraturium dapat kita tentukan diagnosis
sebagai berikut :
• Diagnosis Kerja pada pasien ini : Lepra
Lepra dijadikan sebagai diagnosis kerja karena berdasarkan Cardinal signs of leprosy,
dari WHO, yakni :
• Hipo-pigmentasi atau kemerahan kulit terlokalisasi dengan hilangnya sensasi tertentu
(khususnyasentuhan dan suhu); ATAU
• keterlibatan saraf perifer, seperti rasa penebalan disertai dengan hilangnya
sensasi (khususnya sentuhan dan suhu); ATAU
• kulit positif untuk BTA.(7)
Pasien dikatakan Lepra/Kusta jika, "orang itu menunjukkan 1 atau lebih dari fitur diatas, dan
yang belum menyelesaikan kursus penuh pengobatan ".
• Diagnosis Banding : Neuropatic Diabetic (ND)
ND dijadikan sebagai diagnosis banding karena adanya kemiripan gejala yang
dekeluhkan oleh pasien, yakni adanya gangguan pada system saraf perifer. Untuk lebih
memastikan adanya ND ini perlu dilakukan pemeriksaan fisik, seperti :
• Refleks motorik
• Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikaasi sensasi kulit seperti tes rasa
getar (biotensiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen mono
Semmes-Weinstein)
• Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu
• Elektromiografi, untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar
saraf(8)
• Penatalaksaan dan Pencegahan
Medikamentosa(9)
• DDS (diaminodifenil sulfon)
DDS adalah obat antikusta yang paling murah dan paling banyak dipakai. Mycobacterium leprae
banyak yang masih sensitive terhadap DDS, dan diketahui DDS dapat mengaktifkan
Mycrobacteriumleprae yang dorman, sehingga pengobatan dengan DDS termasuk pengobatan
radikal atau pengobatan yang dapat menghabisi seluruh kuman. Dosisnya adalah DDS 100 mg
sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis, bakterioskopik, dan
histopatologik.
Efek samping : nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia
perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbu-minemia, dan
methemoglobinemia.
• Rifampisin yang dikombinasikan dengan DDS
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10
mg/kg berat badan, diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi.
Efek sampingnya : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan
erupsi kulit.
• Klofazimin (lamprene)
Dosisnya sebagai antikusta ialah 50 mg/hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100
mg/minggu.
Efek sampingnya : dapat menimbulkan warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering
merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal itu disebabkan karena klofazimin
adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa, dan kulit.
Pigmentasinya bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan.
Non-Medikamentosa
• Memberitahu pasien bahwa penyakitnya bisa disembuhkan jika pasien mau bekerjasama
melakukan terapi-terapi yang diberikan.
• Meningkatkan gizi dengan makan-makanan yang bergizi untuk meningkat daya tahan
tubuh
• Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun
• Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil) terutama untuk kulit yang
kering
• Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau
menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam
• PROGNOSIS
Ad Vitam: ad bonam,
karena angka mortalitas lepra sangat kecil.
Ad Functionam: ad malam,
karena sensitivitas kulit pasien yang telah sembuh dari lepra tidak dapat kembali seperti semula
atau berkurang sensitivitas kulitnya.
Ad Sanationam: dubia ad bonam,
karena apabila pengobatannya tidak menggunakan DDS ataupun pengobatannya tidak adekuat,
mungkin masih ada virus yang dorman.
Ad Cosmetikum: dubia ad malam
karena ulkus pada pasien lepra tidak bisa menghilang dengan sempurna. Dan juga akan
bertambah buruk apabila penyakit lepra pada pasien ini diobati secara terlambat, atau apabila
penyakit lepra pada pasien ini sudah berlanjut menjadi mutilasi.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
• KUSTA/LEPRA (10)
Definisi
Kusta dapat disebut sebagai lepra ataupun morbus Hansen merupakan penyakit infeksi
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat
Etiologi
Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen
pada tahun 1874 di Norwegia yang sampai sekarang ini belum dapat dibiakkan dalam media
artifisial. M. leprae berbentuk basil dalam ukuran 3 – 8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol
serta merupakan bakteri Gram positif.
Klasifikasi kusta
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
• TT : Lesi berupa makula hipopigmentasi/eutematosa dengan permukaan kering dan
kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satu dengan yang besar
bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi
kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
• BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-
4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
• Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengilat. Gambaran khas lesi
”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak
begitu jelas pada tepi luarnya.Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus
kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
• BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi
asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
• LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat
banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa
hidung, uji Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
• Pansi Basiler (PB) : lesi di kulit 1- 5 lesi, hipopigmentasi/eritema, distribusi tidak simetris,
hilangnya sensasi yang jelas, kerusakan hanya satu cabang saraf. Tipe basilnya yaitu I, TT,
BT
• Multi Basiler (MB) : lesi di kulit lebih dari 5 lesi, distribusi lebih simetris, hilangnya sensai
kurang jelas, kerusakan saraf di banyak cabang saraf. Banyak mengandung basil dengan tipe
BB, BL, LL
Patogenesis dan Gambaran Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling :
• Tipe Tuberkoloid ( TT )
• Mengenai kulit dan saraf.
• Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau,
kontrol healing ( + ).
• Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau
tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa
gatal.
• Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun
pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
• Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
• Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
• Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
• Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
• Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
• Tipe Mid Borderline ( BB )
• Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
• Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
• Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
• Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
• Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah
dengan batas jelas yang merupakan ciri khas tipe ini.
• Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula
lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,
beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada
tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
• Tipe Lepromatosa ( LL )
• Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas
atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
• Distribusi lesi khas :
• Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
• Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
• Stadium lanjutan :
• Penebalan kulit progresif
• Cuping telinga menebal
• Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis,
intis dan keratitis.
• Lebih lanjut
• Deformitas hidung
• Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
• Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
• Penyakit progresif, makula dan popul baru.
• Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
• Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan
pengecilan tangan dan kaki.
• Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
• Beberapa makula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
• Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan
makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
• Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
• Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain :
• Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
• Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
• Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
• Lidah : ulkus, nodus
• Larings : suara parau
• Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
• Kelenjar limfe : limfadenitis
• Rambut : alopesia, madarosis
• Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu reaksi eksaserbasi akut (mendadak menjadi parah) yang terjadi dari
penyakit itu sendiri. Penyebab reaksi belum diketahui, kemungkinan menggambarkan reaksi
hipersensitivitas akut terhadap antigen basil, sehingga terjadi gangguan keseimbangan
imunitas.
Faktor Pencetus Reaksi
- Setelah pengobatan antikusta yang intensif.
- Infeksi rekuren.
- Pembedahan.
- Stress fisik.
- Imunisasi.
- Kehamilan.
- Post partum awal.
Tipe Reaksi Kusta :
1.Reaksi Tipe I (Reversal); hipersensitivitas seluler.
Bercak pada kulit mendadak menjadi lebih merah, bengkak, panas, dan sakit, kemudian
timbul bercak baru.
2.Reaksi Tipe II (ENL, eritema nodusum leprosum); hipersensitivitas humoral;
Secara Imunopatologis,E.N.L. termasuk respons imun humoral berupa fenomena kompleks
imun akibat reaksi antara antigen M leprae + antibodi(Ig G dan IgM)+ Kompleks
imun,dengan terbentuknya kompleks imun tampaknya reaksi ini analog denagan reaksi
fenomena unik tidak dapat disamakan begitu saja denagn penyakit lain,dengan terbentuknya
kompleks imun ini maka E.N.L termasuk didalam golongan penyakit kompleks imun oleh
karena bakteri M leprae bersifat antigenik maka antibodi dapat terbentukm ternyata bahwa
kadarimunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid hal ini
terjadia karena pada tipe lepromatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada daripada tipe
tuberkuloid .E.N.L lebih sering terjadi pada pengobatan tahun kedua.Hal ini dapat terjadi
karena pada pengobatan banyak basil lepra yang mati dan hancur berarti banyak antigen yang
dilepaskan dan berekasi dengan antibodi serta mengaktifkan sistem komplemen.kompleks
imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah dan dapat menyerang banyak organ.
Pada kulit akan timbul nodul eritematosa dan nyeri pada tempat predilksi dilengan dan
tungkai bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala iridoksiklitis,neuritis
akut,limpadenitis,arthritis,orkkitis dan nefritis
Diagnosis
• Pemeriksaan bakterioskopik
• Pemeriksaan ini digunakan untuk membatu menegakkan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain ZIEHL –
NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada penderita bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung basil M. leprae. M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak
merah pada sediaan. Dapat dibedakan dalam bentuk batang utuh (solid), batang terputus
(fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid merupakan bentuk basil hidup
sedangkan bentuk fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA
tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks
Bakteri (BI) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100
lapang pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP,
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, 5+
BILA 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.
• Pemeriksaan Histopatologik
• Pada penderita lepra akan terlihat granuloma yang merupakan akumulasi makrofag dan
atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada
tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik.
• Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi M. leprae. Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membatu
diagnosis kusta yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik yang tidak jelas.
Di samping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis karena tidak didapati lesi
kulit, misalnya pada kontak serumah.
Pencegahan cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko
lebih tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta terutama
reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki
risiko tersebut. Cara terbaik melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis
dini kusta, pemberian pengobatan MDT dengan cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali
gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk
sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang terkena, sarung tangan bila
bekerja dengan benda tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya.
Ajarkan pula cara merawat kulit sehari-hari. Hali ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya
memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat, dan diminyaki agar tidak
kering dan pecah.
Penatalaksanaan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon)
kemudian klofazimin, dan rifampisin.
• Klofazimin (lamprene) : dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang
hari, atau 3x100 mg setiap minggu. Bersifat antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan ENL . efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit dan warna
kekuningan pada sklera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin
yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial,
mukosa, dan kulit.
• Rifampisin : merupakan salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kg bb
diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksis, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.
• NEUROPATI DIABETIK(11,12)
Neuropatii diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik Diabetes Melitus yang paling
ditakuti oleh para penderita Diabetes Melitus karena dapat mengakibatkan terjadinya cacat
bahkan kematian. Hampir sepertiga dari kasus Diabetes Melitus yang di rawat punya masalah
dengan kakinya. Akibatnya hari rawatan lama dan biaya pengobatan mahal. Belum lagi di
hitung tenaga yang hilang akibat kecacatan dan ketidak hadiran di tempat kerja serta biaya yang
perlu dikeluarkan akibat cacat tersebut.
Patogenesis
Kaki Diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang disebabkan oleh
Diabetes Melitus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik merupakan
kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi vaskuler serta infeksi. Penderita
kaki diabetik yang masuk rumah sakit umumnya disebabkan oleh trauma kecil yang tidak
dirasakan oleh penderita. Banyak sekali faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki
diabetik. Secara umum faktor-faktor tersebut dapat di bagi menjadi
Faktor predisposisi
• Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti kelainan makro
vaskuler dan mikro vaskuler, jenis kelamin, merokok dan neuropati otonom.
• Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati motorik,
neuropati sensorik, limited joint mobility dan komplikasi DM yang lain (seperti mata
kabur).
Faktor presipitasi
• Perlukaan di kulit (jamur)
• Trauma.
• Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
Faktor yang memperlambat penyembuhan luka.
• Derajat luka.
• Perawatan luka.
• Pengendalian kadar gula darah.
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi Diabetes Melitus terjadi ketidak rataan permukaan
lapisan dalam arteri sehingga aliran lamellar berubah menjadi turbulen yang berakibat pada
mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh lumen arteri akan tersumbat dan mana
kala aliran kolateral tidak cukup, akan terjadi iskhemia dan bahkan ganggren yang luas.
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita Diabetes Melitus antara lain berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer yang terutama sering terjadi pada tungkai
bawah. Pada penderita muda, pembuluh darah yang paling awal mengalami angiopati adalah
arteri tibialis. Kelainan arteri akibat diabetes juga sering mengenai bagian distal dari arteri
Femoralis Profunda, arteri Poplitea, arteri Tibialis dan arteri Digitalis Pedis.
Akibatnya perfusi jaringan distal dari tungkai jadi kurang baik dan timbul ulkus yang
kemudian dapat berkembang menjadi nekrosis/ganggren yang sangat sulit di atasi dan tidak
jarang memerlukan amputasi.
Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit, penebalan membrana basalis serta
penurunan produksi protasiklin (vasodilator dan anti platelet aggregating agent) akan memacu
terbentuknya mikro trombus dan penyumbatan mikro vaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan
timbulnya iskhemia organ atau jaringan yang bersangkutan, termasuk serabut saraf perifernya
Infeksi di mulai dari kulit celah jari kaki dan dengan cepat menyebar melalui jalur
muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang kapsul / sarung tendon dan otot, baik pada kaki
maupun pada tungkai hingga terjadi selulitis. Kaki diabetik klasik biasanya timbul di atas kaput
metatarsal pada sisi plantar pedis. Sebelumnya di atas lokasi tersebut, terdapat kalus yang tebal
dan kemudian menyebar lebih dalam dan dapat mengenai tulang. Akibatnya terjadi osteomielitis
sekunder.(2) Sedangkan kuman penyebab infeksi pada penderita diabetes biasanya multi bakterial
yaitu gram negatif, gram positif dan anaerob yang bekerja secara sinergik.
Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah terbentuk ganggren yang
selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di samping itu, 50% dari kasus ulkus / gangren
diabetes akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk
berkembangnya bakteri pathogen.
Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius. Hal ini
disebabkan pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin (seperti katekolamin, kortisol,
homon pertumbuhan dan glukagen) yang menyebabkan meningkatnya kadar gula darah.
Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan gagalnya fungsi netrofil dan gangguan sistim
imunologi. Sebagai mana diketahui, dalam melaksanakan fagositosis, sel PMN membutuhkan
energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan aktifitasnya. Dengan bantuan insulin yang
melekat erat pada sel PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber energi. Sumber
energi ini akan berkurang pada pasien diabetes yang mengalami kekurangan insulin.
Ada tiga faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi pada kaki diabetik.
Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik
hingga mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang
subur untuk perkembangan bakteri patogen dan faktor ketiga ialah karena adanya pintas arterio
venosa di subkutis yang terbuka hingga aliran nutrien tidak sampai ke tempat infeksi.
Selain faktor di atas, masih banyak faktor lain yang ikut berpengaruh dalam terbentuknya
kaki diabetik. Waspadji menyatakan bahwa faktor pendidikan, sosio ekonomi dan gizi juga
punya andil cukup besar. Pendidikan dan sosio ekonomi yang rendah terkait dengan pengetahuan
yang kurang mengenai Diabetes Melitus dan pencegahan komplikasinya, kemampuan finansial
akan mempengaruhi pengelolaan Diabetes Melitus yang dideritanya dan status gizi yang rendah
punya keterkaitan dengan rendahnya respon imun hingga mempermudah terjadi infeksi.
PERANAN NEUROPATI DIABETIK
TERHADAP PATOGENESIS KAKI DIABETIK
Gangguan mikro sirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat dengan patogenesis kaki
diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal menyerang saraf halus terutama di ujung-ujung kaki.
Hal ini di sebut sebagai fenomena dying back, di mana ada teori yang menyatakan bahwa
semakin panjang saraf semakin rentan untuk di serang. Jadi dibandingkan dengan ekstremitas
atas, ternyata ekstremitas bawah yang lebih dulu terkena.
Gangguan mikro sirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran oksigen pada
serabut saraf (keadaan ini bersama dengan proses jalur sorbitol dan mekanisme lain akan
mengakibatkan neuropati) juga akan menurunkan aliran darah ke perifer hingga aliran tidak
cukup dan terjadi iskhemia dan bahkan gangrene.
Neuropati motorik
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atropi otot - otot instrinsik yang menimbulkan
kelemahan pada kaki dan keterbatasan gerak sendi akibat akumulasi kolagen di bawah dermis
hingga terjadi kekakuan periartikuler. Deformitas akibat atropi otot dan keterbatasan gerak sendi
menyebabkan perobahan keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara berjalan dan menimbulkan
titik tumpu baru pada telapak kaki serta berakibat pada mudahnya terbentuk kalus yang tebal.
Seiring dengan berlanjutnya trauma, di bagian dalam kalus tersebut mudah terjadi infeksi yang
kemudian berubah jadi ulkus dan akhirnya gangren.
Chargot foot merupakan derfomitas kaki diabetik akibat neuropati yang klasik dengan 4 tahap
perkembangan :
• Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan bengkak.
• Terjadi di solusi, fragmentasi dan fraktur pada persendian tarsometatarsal.
• Terjadi fraktur dan kolap persendian.
• Timbul ulserasi plantaris pedis.
Neuropati sensorik
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan daya kewaspadaan proteksi
kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal
tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Pada keadaan normal sensasi yang di terima menimbulkan
reflek untuk meningkatkan reaksi pertahanan dan menghindarkan diri dari rangsangan yang
menyakitkan dengan cara merubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih
besar. Sebagian impul akan diteruskan ke otak dan di sini sinyal di olah dan kemudian respon di
kirim melalui saraf motorik.
Pada penderita Diabetes Melitus yang telah mengalami neuropati perifer saraf sensorik
(karena gangguan pengantaran impul), pasien tidak merasakan dan tidak menyadari adanya
trauma kecil namun sering. Pasien tidak merasakan adanya tekanan yang besar pada telapak
kaki. Semuanya baru diketahui setelah timbul infeksi, nekrosis atau ulkus yang sudah tahap
lanjut dan dapat membahayakan keselamatan pasien.
Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat terjadi pada pasien Diabetes Melitus,
seperti :
• Tekanan rendah tetapi terus-menerus dan berkelanjutan (Luka pada tumit karena lama
berbaring, dekubitus).
• Tekanan tinggi dalam waktu pendek (luka, tertusuk jarum/paku).
• Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki)
Neuropati otonom
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama adalah akibat kerusakan
saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini mengakibatkan.
Perobahan aliran darah, Produksi keringat berkurang atau tidak ada, Hilangnya tonus
vasomotor.
Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat berkurang terutama pada tungkai yang
menyebabkan kulit penderita mengalami dehidrasi serta jadi kering dan pecah-pecah sehingga
memudahkan infeksi dan selanjutnya timbul selulitis, ulkus ataupun ganggren. Selain itu
neuropati otonom juga menyebabkan terjadinya pintas arterio venosa hingga terjadi penurunan
nutrisi jaringan yang berakibat pada perobahan komposisi, fungsi dan sifat viskoelastisitas
hingga daya tahan jaringan lunak dari kaki akan menurun dengan akibat mudah terjadi ulkus.
GAMBARAN KLINIS
Gangren diabetik di sebut juga gangren panas. Karena walaupun nekrosis, daerah akral
tampak merah dan terasa hangat akibat peradangan. Biasanya pulsasi arteri di bagian distal
masih tetap teraba. Pada iskhemik ringan, akan terlihat gejala klaudikasio intermiten sewaktu
berjalan atau apabila di bagian distal dari kelainan vaskuler tersebut luka maka proses
penyembuhannya berlangsung lama.(6)
Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung secara kronik hingga
menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine di bagi menjadi stadium sebagai berikut
1. Asimtomatis atau gejala tidak khas dengan hanya berupa kesemutan ringan.
2.
3. Klaudikadio intermiten (Jarak tempuh jadi lebih pendek). Nyeri saat istirahat.
4. Manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia.
Secara praktis gambaran klinik kaki diabetik dapat digolongkan sebagai berikut :
•
• Kaki neuropati
Pada keadaan ini terjadi kerusakan saraf somatik, baik sensoris maupun motorik serta saraf
otonom, tetapi sirkulasi masih utuh. Neuropati menghambat impul rangsangan dan memutus
jaringan komunikasi dalam tubuh. Neuropati sensoris memberikan gejala berupa keluhan kaki
kesemutan dan kurang rasa terutama di daerah ujung kaki. Neuropati motorik ditandai dengan
kelemahan otot, atropi otot, mudah lelah, deformitas ibu jari dan sulit mengatur keseimbangan
tubuh. Pada kaki neuropati kaki masih teraba hangat, denyut nadi teraba, reflek fisiologi
menurun dan kulit jadi kering. Bila terjadi luka, sembuhnya lama.
• Kaki iskhemia
1. Ditandai dengan berkurangnya suplai darah. Namun pada keadaan ini sudah ada kelainan
neuropati pada berbagai stadium. Pasien mengeluh nyeri tungkai bila berdiri, berjalan atau
saat melaksanakan aktivitas fisik lain. Kesakitan juga dapat terjadi pada arkus pedis saat
istirahat atau malam hari. Pada pemeriksaan terlihat perobahan warna kulit jadi pucat, tipis
dan berkilat atau warna kebiruan. Kaki teraba dingin dan nadi poplitea atau tibialis posterior
sulit di raba. Dapat ditemukan ulkus akibat tekanan lokal. Ulkusnya sukar sembuh dan
akhirnya menjadi ganggren.
Berdasarkan berat ringannya lesi, kelainan kaki diabetik menurut Wagner di bagi atas 6
derajat, yaitu :
• Derajat 0
Kulit utuh tapi kelainan bentuk kaki
akibat neuropati.
• Derajat I
Ulkus superfisial terbatas pada kulit
• Derajat II
Ulkus dalam menembus tendon /
Tulang.
• Derajat III
Ulkus dengan atau tanpa
Osteomielitis.
• Derajat IV
Gangren jari kaki atau bagian distal
kaki dengan / tanpa selulitis.
• Derajat V
Gangren seluruh kaki atau bagian
tungkai bawah.
Berdasarkan pembagian di atas, maka tindakan pengobatan atau pembedahan dapat di
tentukan sebagai berikut :
Derajat 0
Perawatan lokal secara khusus
tidak ada.
Derajat I – IV
Pengelolaan medik dan tindakan
bedah minor.
Derajat V
Tindakan bedah minor, bila gagal
Di lanjutkan dengan tindakan bedah
mayor.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan derajat lesinya.
Osteomielitis dapat di lihat dengan foto metatarsal, sedangkandengan arteriografi dapat di lihat
dengan jelas lokasi serta kolateral dari sistim arteri yang diperlukan untuk menentukan jenis
operasi dan prognosis yang biasanya berbeda untuk setiap penderita
PENATALAKSANAAN
Banyak penelitian yang dipublikasikan pada 25 tahun terakhir berkesimpulan bahwa cara
pengelolaan kaki diabetik adalah pendekatan multi disipliner secara tim. Pengelolaan ini
terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak tersebut.
• Upaya pencegahan
Prioritas utama adalah mencegah kelainan kaki akibat Diabetes Melitus. Sesuai dengan
patogenesis terjadinya kaki diabetik maka pengelolaannya harus dimulai dengan pencegahan
primer yaitu mencegah terjadinya ulkus. Dengan diketahui faktor-faktor penyebabnya maka
dapat dilakukan pencegahan dengan pengendalian diabetes yang baik dan benar, perbaikan status
gizi, pembersihan kaki setiap hari
BAB V
KESIMPULAN
Pada pasien ini telah terdiagnosis Lepra berdasarkan 3 cardinal sign of Leprae dari
WHO yang termasuk kedalam klasifikasi multibasiler, sehingga pengobatan dilakukan berdasar
klasifikasi tersebut. Penatalaksanaan pasien lepra ini membutuhkan waktu dan juga kerjasama
pasien. Prognosis pasien ini secara umum bisa baik, jika pasien rutin dan bisa kooperatif dalam
menjalani pengobatan
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
• Kusta, Lepra atau Penyakit Morbus Hansen. Available at :
http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/kusta-lepra-atau-penyakit-morbus-
hansen/. Accessed on Desember 14, 2009.
• widagdo. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi Pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.
2011.p.272
• Alfian Z. Merkuri:Manfaat dan Efek Penggunannya bagi Kesehatan Manusia dan
Lingkungan.2006. http://library.usu.ac.id/download/e-book/zul%20alfian.pdf. Accessed on
January 28, 2011.
• Subekti I. Neuropati Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: FK UI, 2010. P. 1949.
• Widagdo. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi Pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.
2011.p.181-2
• Smith DS. Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview#a0104.
Accessed on January 28, 2011.
• Diagnosis of Leprosy. 2012. http://www.who.int/lep/diagnosis/en/index.html. Accessed on
January 28 , 2012
• Subekti I. Neuropati Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: FK UI, 2010. P. 1949.
• Djuanda A.Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin.5sted.Jakarta: Fakultas kedokteran UI.
2007.p.85-6
• Juanda A.Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin.5sted.Jakarta:Fakultas kedokteran UI.2007.p.73
• Soetjahjo A, Poerwadi T. Neuropati Diabetik: Klasifikasi, Patogenesis dan Terapi. Dalam :
Tjoksoprawiro A, Tandra H, eds. Simposium Nasional Perkembangan Mutakhir
Endokrinoloi Metabolisme. Surabaya, 1991; 310 – 22.
• Wijoseno, Gardjito. Jantung, Pembuluh darah Arteri, Vena dan Limf. Dalam :
Syamsuhidayat R, Jong WD, eds. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi I, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 1997:578 – 665