Post on 24-Jul-2015
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaniirohim,
Alhamdulillah , puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Alloh SWT , Dzat yang Maha Agung atas limpahan rahmat, karunia dan hidayahnya, sehingga penulis diberikan kesempatan dalam melalui salah satu proses kehidupan ini.
Sebuah karya tulis study kasus yang termuat dalam tulisan yang serba memiliki kekurangan ini melambangkan semangat yang tinggi untuk selalu berkeinginan menciptakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan, serta sebagai salah satu tugas dari mata kuliah “Pendidikan Agama Islam” pada jurusan Manajemen Universitas Mercubuana.
Medukung penulisan makalah ini penulis sadar bahwa tidak bisa menyelesaikan tanpa ada pihak yang memberikan dorongan dan bimbingan. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :
Ibu Eva Maulina, selaku dosen pembimbing mata kuliah “ Pendidikan Agama Islam” Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercubuana. Yang senantiasa memberikan pengarahan serta materi- materi yang berhubungan dengan makalah ini.
Semua teman- teman semester 1 yang telah memberikan dorongan dan dukungan moral dalam menyusun makalah ini.
Seluruh pihak yang telah membantu kami sehingga kami bisa menyelesaiakan karya tulis ini dalam penulisan agar menjadi makalah yang bermanfaat.
Sebagai penutup dan menjadi harapan bagi kami, semoga karya tulis kami ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Dan dari saya pribadi selaku penulis makalah bahwa segala kesalahan di sepanjang tulisan ini apabila ada kesalahan minta maaf yang sebesar- besarnya.
Jakarta, 15 Pebruari 2012
Penulis
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai tuntunan dan
pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah
saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang
berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya,
dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain
dikatakan juga, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih
mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah.
Allah menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan
bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang
tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai
Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-
Sunnah. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiiin.
Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia,
baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia
susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan
sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu
upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik
atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan
dirinya.
Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya
tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang
optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
BAB I
HAKEKAT ETOS KERJA DALAM ISLAM
Secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti ’tempat hidup’.
Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan
waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang
sama muncul pula istilah Ethikos yang berarti ’teori kehidupan’, yang kemudian menjadi
’etika’. Dalam bahasa Inggris Etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara
lain ‘starting point', 'to appear', 'disposition' hingga disimpulkan sebagai 'character'. Dalam
bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai ’sifat dasar’, ’pemunculan’ atau
’disposisi/watak’. Aristoteles menggambarkan etos sebagai salah satu dari tiga mode
persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai ’kompetensi moral’. Tetapi
Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini hingga ’keahlian’ dan ’pengetahuan’
tercakup didalamnya. Ia menyatakan bahwa etos hanya dapat dicapai hanya dengan apa
yang dikatakan seorang pembicara, tidak dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya
sebelum ia mulai berbicara. Disini terlihat bahwa etos dikenali berdasarkan sifat-sifat yang
dapat terdeteksi oleh indera. Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai; guiding
beliefs of a person, group or institution; etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang,
kelompok atau suatu institusi. A. S. Hornby (1995) dalam The New Oxford Advances
Learner’s Dictionary mendefinisikan etos sebagai; the characteristic spirit, moral values,
ideas or beliefs of a group, community or culture; karakteristik rohani, nilai-nilai moral, ide
atau keyakinan suatu kelompok, komunitas, atau budaya. Sedangkan dalam The American
Heritage Dictionary of English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan; 1.the
disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that
distinguishes it from other peoples or group; fundamental values or spirit; mores; disposisi,
karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang
atau kelompok lain; nilai atau jiwa yang mendasari; adat-istiadat. Makna berikutnya yaitu
2.The governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or
the like; Prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk
ekspresi, atau sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan
seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar
mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara berekspresi yang
khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat.
Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang
diyakininya. Dari kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada
pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam
etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati
secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang
sesempurna mungkin.
Dalam Al-Qur’an dikenal kata “Itqon” yang berarti proses pekerjaan yang sungguh-sungguh,
akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk
menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin harus
memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus
tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan
harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara
kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah
(pimpinlah) kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22).
Di dalam kaitan ini, Al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang
diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan
dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di
dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif
dan negatif, ayat tentang kerja keseluruhannya dalam Al-Qur’an berjumlah 602 kata,
bentuknya:
1. Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-
Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2. Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan
Al-Fathir: 10.
3. Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali,
diantaranya surat Al-Ahqaf: 19 dan An-Nur: 55.
4. Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat Al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5. Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu,
‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya dalam surat Hud: 15, Al-
Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan At-Tur: 21.
6. Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-
Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
Di samping itu, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari
iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah
SWT berfirman dalam Surat Al- Kahfi ayat 110 :
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."
Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10).
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut :
1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat,
mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan
secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap
cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh
keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah
hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja
yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali).
2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT
dalam Surat Al-Baqarah :172
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Al-Baqarah: 172)
1. Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja,
semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
2. Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakan kepada Allah yang ada
kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
3. Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan
sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh
sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-
benar menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan
mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya
produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-
alat produksi.
Posisi Kerja Islam dalam Kitabullah
Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya
sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat (derivatnya), mencakup
pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dalam sekitar 99 derivatnya, dengan
konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata “shun’un”, tidak kurang dari 17
derivat, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output)
yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata “taqdimun”, dalam 16 derivatnya, yang
mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al
Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”, tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang
“Ihsan”, lebih dari 20 kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”, disebut 6 kali.
Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran. Pada
sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk pula dalam
beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (al-
Maidah: 90, Al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, Al-Furqaan: 23),
pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (At-Taubah:102), pekerjaan kamuflase yang
nampak baik, tetapi isinya buruk (An-Naml:4, Fusshilat: 25).
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih,
memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk
ibadah (Adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya
dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (Al-Hajj: 77-78, Al-
Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka
status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat
individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini
berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual,
dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk
pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya
bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin
terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks
kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan
partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai
tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut :
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik
yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan
akhir meraih mardhatillah (al-Baqarah:207 dan 265).
Kedua, Shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh
agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak
bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum).
Ketentuan ini sesuai dengan pesan AlQur’an (Ali Imran: 31, Al-Hasyr:10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah
pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik,
tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau
kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan
itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk
dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena
itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat
primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna
sebagai pelengkap.
Kualitas Etik Kerja dalam Islam
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi
kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga
diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada
makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan
berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna.
Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai
ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
1. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi
kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat
manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh
derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (Al-An’am: 132) Berikut ini
adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani),
kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (An-Naml: 88). Rahmat Allah telah
dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara
teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks
ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan
tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat
meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas
atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan
memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi
berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (Al-Baqarah: 263).
3. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang
dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk
berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan. Sebagaimana dinyatakan dalam
sebuah hadits Nabi SAW “Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari
kemarin”.
4. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada
konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil
kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan
alAnkabut: 69).
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap
muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada
keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
5. Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan
persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau
perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam
kebaikan) (Al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “Wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum
wajannah” `Bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` . Jalannya
adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan,
dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan
“tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak
mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (Al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula
dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah
adalah insan yang paling taqwa (Al- Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan
etos persaingan dalam kualitas kerja.
Secara teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan
mendasar, karena ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah,
dan merupakan persoalanm hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya
masih ‘jauh panggang dari pada api’. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum tahu kalau mereka
itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat, dan ketika mereka melihat prestasi
suatu bangsa atau umat lain, sebagian orang Islam salut dan terpana dengan etos kerja
mereka, dan kadang sambil bertanya dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam?
Maka, di sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil
semangat atau ‘apinya’. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Islam adalah pangkal
segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung tombaknya adalah jihad.”
(H.R.Thabrani). Dengan ruhul jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan
penuh kegairahan, kemudian secara pasti akan mengembalikan ‘izzah atau harga dirinya,
sehingga disegani oleh umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik Allah, rasul-
Nya, serta orang-orang beriman (Al-Munafiqun: 8 ). Tanpa semangat jihad, mereka takkan
lebih dari sekedar umat ritual yang nampak sholeh, tetapi tanpa gengsi, bahkan boleh jadi
inferior terhadap umat atau bangsa lain.
Profil seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar
dan tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung
jawab; disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik, tetapi
hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk dirinya sendiri.
Kesenangannya adalah meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah
dalam rangka mengakui karunia Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW.,
Keluarga, Sahabat, serta para Mujahidin di segala bidang sepanjang zaman. Berkat prestasi
kerja mereka itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan. Semoga kita mampu bergabung
dalam barisan mereka. Amiiin.
Kesimpulan
Etos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha Allah
SWT.
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah :
1. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk
bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras
memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
2. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
3. Tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua
harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
4. Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan
minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
5. Professionalisme dalam setiap pekerjaan.
BAB II
ETOS KERJA DAN BUDAYA KERJA BANGSA JEPANG
Jepang selama ini kita kenal sebagai salah satu negara didunia yang memiliki etos
kerja yang hebat. Etos kerja yang baik ini menimbulkan suatu dampat kemajuan teknologi
dan penguasaan teknologi,serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara jepang itu
sendiri. Etos kerja orang jepang terkenal dari dulu selama Perang Dunia ke-II, Jepang yang
merupakan negara kecil dapat menguasai sebagian besar wilayah Asia dan Amerika Serikat
sempat diluluhlantahkan (peard hamboard) hingga akhirnya bertekuk lutut setelah
Hiroshima dan Nagasaki di bom atom oleh sekutu.
Semangat dan pantang menyerah merupakan ciri orang Jepang, dari semboyan Samurai
yang menyatakan “Lebih baik mati dari pada berkalang malu”, ada juga istilah MAKOTO
yang artinya bekerja dengan giat semangat,jujur serta ketulusan.belum lagi semangat dan
semboyan serta falsafah yang lain yang dapat memacu kerja dan membentuk etos kerja
para pekerja diluar negara Jepang. Sedangkan bila dilihat dari segi kebudayaannya,
kepemimpinan Jepang dikenal memiliki etos kerja yang sangat baik dalam memajukan
negara atau organisasi yang berada di dalamnya. Dahulu Jepang bukanlah negara maju yang
patut diperhitungkan dan ditakuti di dunia. Tapi siapa yang menyangka bahwa setelah
mengalami kehancuran yang dahsyat pada Perang Dunia II dengan dijatuhkannya bom atom
di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mampu bertahan dan bahkan bangkit dengan
kekuatan yang sangat luar biasa menjadi suatu negara maju di kawasan Asia Timur, dan
mampu menempatkan negara dalam posisinya dalam jajaran negara-negara dengan
perekonomian terkuat di dunia. Hal ini dibuktikan pada pertengahan era 1990-an, Product
National Bruto (PNB) Jepang mencapai US$ 37,5 miliar atau 337,5 triliun rupiah, yang
sekaligus menempatkan Jepang pada posisi ke-2 setelah Swiss yang memiliki PNB tertinggi
di dunia. Selain itu Jepang merupakan negara yang tidak memiliki utang luar negeri. Jepang
dikenal sebagai negara yang mempunyai banyak kekurangan antara lain dari segi fisik orang
Jepang rata-rata berpostur kecil, wilayah teritorial yang sempit, dari segi tata letak geografis
negara Jepang terletak di jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan
gempa bumi, sumber daya alam yang terbatas, dan masih banyak kekurangan yang lain.
Tapi mengapa negara dengan banyak kekurangan ini mampu bertahan dan bangkit menjadi
negara maju didunia?
Jepang adalah Negara yang tidak memiliki hasil dan sumber daya alamnya sendiri. Oleh
karena itu, Jepang bergantung pada sumber-sumber dari negara lain. Negara tersebut tidak
hanya mengimpor minyak bumi, biji besi, batu arang, kayu, dan sebagainya. Bahkan, hampir
delapan puluh lima persen sumber tenaganya berasal dari negara lain. Hasil pertanian
Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Selain itu, Jepang juga mengimpor tiga puluh persen
bahan makanan dari negara lain untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya.
Namun, di Jepang pertanian masih menjadi sektor utama meskipun telah dikenal sebagai
negara industri yang maju. Dengan kondisi tersebut bagaimana atau apa yang menjadi
rahasia sehingga Jepang bisa menjadi penguasa ekonomi nomor satu didunia?
Pada dasarnya, etos dan budaya kerja orang Jepang tidak jauh beda dengan bangsa Asia
lainnya. Jika mereka disebut pekerja keras, maka bangsa Cina, Korea dan bangsa Asia
lainnya juga pekerja keras. Namun, mengapa bangsa Jepang yang lebih berhasil dan maju
dibandingkan dengan bangsa Asia lainnya. Dalam sistem pengelolaan organisasi bisa
dibilang organisasi Jepang berbeda dengan sistem pengelolaan organisasi yang dianut oleh
bangsa maju lainnya seperti Amerika. Perbedaan inilah yang membuat organisasi Jepang
menjadi unik tapi banyak dicontoh oleh negara-negara berkembang di dunia. Dalam
organisasi Jepang pengelola berawal dari posisi bawahan, oleh karena itu pengelola
organisasi Jepang lebih akrab dan memahami bawahannya. Sikap terus terang mengurangi
konflik antara pihak pengelola dan bawahan. Tim kerja merupakan pondasi dasar dalam
organisasi Jepang untuk membentuk interaksi antara anggota tim dan bawahan. Fakta-fakta
menarik yang yang dapat kita amati dari sistem pengelolaan organisasi Jepang antara lain :
bangsa Jepang lebih suka mengaitkan diri mereka sebagai anggota organisasi dan
perkumpulan tertentu jika memperkenalkan diri daripada memperkenalkan diri
berdasarkan asal negara dan keturunannya. Mereka bangga jika dikaitkan dengan organisasi
besar dan berprestasi, tempat mereka bekerja. Kemauan bangsa Jepang menjadi hamba
organisasinya merupakan faktor kesuksesan negara itu menjadi penguasa besar dalam
bidang ekonomi dan industri. Sikap ini ditunjukkan dengan cara mengorbankan pendapat
pribadi, masa istirahat, gaji dan sebagainya untuk menjaga dan mempertahankan
kelangsungan organisasinya. Sikap ini berbeda dengan bangsa barat yang memberikan
ruang sebesar-besarnya kepada anggota organisasi untuk berpendapat dn mengemukakan
pandangan. Dalam sistem pengelolaan Jepang ini individu tidak penting jika dibandingkan
dengan perkumpulan dan organisasi.
Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran.
Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang.
Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar,
secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa
mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan
seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang
adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun.
Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara
lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870
jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan
pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja (hlm.70). Keadaan
ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin
pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai
stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif.
Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja
gila”. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.
Keberhasilan Jepang mempertahankan statusnya sebagai “Bapak Naga Asia” banyak dibantu
oleh budaya kerja dan perdagangan rakyatnya. Agar produk mereka mampu bersaing di
dunia Internasional, Jepang tidak hanya memperbaiki dan meningkatkan kualitas
produknya, melainkan juga menciptakan berbagai barang lain yang diperlukan konsumen
baik ditingkat mikro maupun makro. Sehingga perusahaan Jepang bersedia menghabiskan
jutaan rupiah (sekitar 45 persen dari anggaran belanjanya) untuk membiayai penelitian dan
pengembangan dalam rangka meningkatkan inovasi dan mutu produk. Selain itu mereka
juga meletakkan kepercayaan dan jaminan kualitas sebagai aset terpenting pemasaran dan
perdagangan. Tidak salah beberapa produknya menduduki posisi pertama dan menjadi
pilihan konsumen karena lebih ekonomis, bermutu, mudah digunakan dan memiliki
berbagai fungsi. Seperti Matsushita yang merupakan contoh terbaik perusahaan yang
berhasil memecahkan dominasi dan monopoli perusahaan Barat.
Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang membantu
keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negeri
sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga
mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan, teknologi
sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa Jepang selalu
mempertahankan identitas dan jatidiri mereka.
Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri
untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka menggunakan
ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan produk Barat demi
memenuhi kepentingan pasar dan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar meniru tetapi
mereka memiliki daya inovasi yang tinggi. Pihak Barat memakai proses logika, rasional dan
kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa Jepang melibatkan aspek
emosi dan intuisi untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar. Untuk
melancarkan urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu
dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Kedua
elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini.
Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus
memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, senantiasa bergerak cepat menghadapi
perubahan disekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan
runtuh seperti Zatoichi yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan
musuh. Karena ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis. Budaya kerja bangsa
Jepang yang diperkenalkan melalui azas ini antara lain pencatatan waktu, senam pagi
sebelum bekerja, bekerja dalam tim, dan penjelasan singkat rnempelajari cara kerja
sebelum memulai kerja. Kaidah dan etika kerja tersebut merupakan ciri-ciri dan budaya
kerja di Jepang.
Namun sebelumnya, ada beberapa etos kerja dan budaya kerja bangsa Jepang yang bisa kita
ketahui ;
Masyarakat Jepang: masyarakat yang tidak peduli pada agama
Jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, perbedaan yang paling besar antara
masyarakat Jepang dengan Indonesia adalah masyarakat Jepang tidak peduli pada agama.
Dalam Undang-Undang Dasar Jepang, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan
agama. Dilarang keras memakai anggaran negara untuk hal-hal agama. Dalam pasal 20
tertulis bahwa semua lembaga agama tidak boleh diberi hak istimewa dari negara dan tidak
boleh melaksanakan kekuatan politik, negara dan instansinya tidak boleh melakukan
kegiatan agama dan pendidikan agama tertentu. Dan dalam pasal 89 tertulis bahwa uang
negara tidak boleh dipakai untuk lembaga agama. Maka di Jepang tidak ada ruangan untuk
sembahyang seperti mushala di instansi negara (termasuk sekolah), tidak ada Departmen
Agama, tidak ada sekolah agama.
Menurut beberapa penelitian, sekitar 70% orang Jepang menjawab tidak memeluk agama.
Terutama, pemuda Jepang sangat tidak peduli agama. Pada tahun 1996, mahasiswa Jepang
yang mempercayai agama tertentu hanya 7.6%. Orang Jepang tidak peduli orang lain
agamanya apa, dan kalau dia mempercayai agama tertentu, biasanya dia tidak suka
memamerkan agamanya sendiri. Orang Jepang tidak ikut campur urusan pribadi orang lain,
dan masalah agama dianggap sebagai urusan pribadi.
Etika orang Jepang tidak berdasar atas agama
Robert N Bellah, menerbitkan buku berjudul Tokugawa Religion: The Cultural Roots of
Modern Japan (1957) menganalisis kemajuan Jepang berdasar teori Max Weber yaitu Die
Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus (1905), menjelaskan peranan nilai
agama pramodern itu dalam proses modernisasi. Bellah mengatakan ajaran “Sekimon
shingaku” (Ilmu moral oleh ISHIDA Baigan) itu memerankan sebagai etos untuk modernisasi
ekonomi. Selain itu, ada yang menilai ajaran salah satu sekte Buddha Jepang Jodo Shinshu
sebagai etos seperti Protestan. Tentu saja ajaran-ajaran itu mementingkan kerja keras, mirip
dengan ajaran Puritanisme (memang Islam juga). Di Jepang modernisasi di dalam bidang
ekonomi dilakukan oleh pemerintah Meiji. Ideologi pemerintah Jepang adalah Shinto versi
negara. Jadi, teori Max Weber tidak bisa diterapkan kepada Jepang. Di Jepang tidak ada
agama yang mendorong proses kapitalisme.
Jepang dipenuhi dengan porno, dilimpah dengan tempat judi, orang Jepang suka sekali
minum minuman keras. Tetapi pada umumnya orang Jepang masih berdisiplin, bekerja
keras, masyarakat Jepang sedikit korupsi, lebih makmur, tertib, efisien, bersih dan aman
(setidak-tidaknya tidak terjadi konflik antar agama) daripada Indonesia. Bagi orang Jepang,
porno, judi, minuman keras, semua hanya sarana hiburan saja untuk menghilangkan stres.
Kebanyakan orang Jepang tidak sampai adiksi/ kecanduan.
Kalau begitu, etika orang Jepang berdasar atas segala sesuatu yang dianggap
menguntungkan. Semua hal pasti di kerjakan, biarpun itu berbau porno asalkan senang dan
mendatangkan keuntungan
Etika orang Jepang : Etika demi komunitas
Etika orang Jepang itu, tujuan utamanya membentuk hubungan baik di dalam komunitas.
Kebesaran komunitas bergantung pada situasi dan zaman. Negara, desa, keluarga,
perusahaan, pabrik, kantor, sekolah, partai, kelompok agama, tim sepak bola dll, bentuknya
apapun, orang Jepang mementingkan komunitas termasuk diri sendiri. Sesudah Restorasi
Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah Perang Dunia
ke-II, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan.
Tindakan pribadi dinilai oleh mendorong atau merusak rukun komunitas. Maka misalnya
minum minuman keras juga tidak dimasalahkan, bahkan minum bersama diwajibkan untuk
mendorong rukun komunitas.
Ajaran agama juga digunakan untuk memperkuat etika komunitas ini. Sedangkan Semitic
monoteisme (agama Yahudi, Kristen dan Islam) mengutamakan Allah daripada komunitas,
dan memisahkan seorang sebagai diri sendiri dari komunitas. Jadi Pemerintahan Tokugawa
melarang Kristen. Tentu saja agama Budha juga mengutamakan Kebenaran Dharma
daripada komunitas, tetapi ajaran sisi seperti itu ditindas. Sementara Konfusianisme sangat
cocok dengan etika demi komunitas ini. Tetapi, orang Jepang tidak mengorbankan sendiri
tanpa syarat demi komunitas. Hal ini jelas terutama di dalam etos kerja orang Jepang.
Etos kerja seperti itulah yang membuat kepemimpinan perusahaan Jepang yang besar
membentuk 3 sistem :
1. Sistem ketenagakerjaan sepanjang hidup, yakni perusahaan biasanya tidak putus
hubungan kerja.
2. Sistem kenaikan gaji sejajar umur, yakni perusahaan menaikan gaji pekerjanya
tergantung umur mereka.
3. Serikat pekerja yang diorganisasi menurut perusahaan, yakni, berbeda dengan pekerja
yang diorganisasi menurut jenis kerja, semua pekerja sebuah perusahaan, jenis kerja
apapun, diorganisasi satu serikat pekerja.
Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah,
1. Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang Jepang juga tidak
bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi kalau gajinya lumayan, orang
Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya “Seandainya anda menjadi milyuner
dan tidak usah bekerja, anda berhenti bekerja ?”, kebanyakan orang Jepang
menjawab, “Saya tidak berhenti, terus bekerja.” Bagi orang Jepang kerja itu seperti
permainan yang bermain bersama dengan kawan yang akrab.
2. Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang Jepang
mendewakan client/ langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha kamisama desu.”
(Langganan adalah Tuhan.) Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah motto
bisnis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan
sedapat mungkin, dan berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang dengan
langganan.
3. Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai
perang yang melawan dengan perusahaan lain. Orang Jepang suka membaca buku
ajaran Sun Tzu, The Art of War untuk belajar strategis bisnis. Sun Tzu adalah sebuah
buku ilmu militer Tiongkok kuno, pada abad 4 sebelum masehi. Sun Tzu itu suka
dibaca oleh baik samurai dulu maupun orang bisnis sekarang. Supaya menang
perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat.
Semua orang Jepang tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu.” (Kalau lapar
tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan pernah menerima
kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus makan dan
mempersiapkan kondisi lengkap. Tentu saja di medang perang.
Kedisiplinan paling penting. Dalam buku Sun Tzu untuk mengajar kedisiplinan dilakukan cara
yang sangat kejam. Tetapi sekarang disiplin diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan di
sekolah sangat penting. Masuk sekolah setiap hari tidak terlambat, ikut pelajaran secara
rajin, hal-hal itu dasar disiplin untuk kerja di dunia bisinis. Pada setelah Restorasi Meiji,
pendidikan disiplin di sekolah dasar lebih berguna untuk berkembang kapitalisme daripada
ajaran agama apapun.
TUGAS MAKALAHMATA KULIAH “PENDIDIKAN AGAMA ISLAM”
“PERBANDINGAN ETOS KERJA ISLAM DENGAN JEPANG“
DOSEN : EVA MAULINA
Disusun oleh :
ADE ARIAWAN ( 43111110095 )
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS- MANAJEMEN
UNIVERSITAS MERCUBUANA
2012