Post on 30-Jun-2015
MAKALAH
PEMBANGUNAN POLITIK PADA MASA REFORMASI
HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2011
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt., karena atas kehendak-Nya
lah penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun maksud dan tujuan penyusun membuat makalah ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori dan Isu-Isu Pembangunan pada Jurusan
Hubungan Internasional semester 2.
Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini dapat memenuhi kriteria
tugas.
Sumedang, Februari 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran tentang membina sistem politik yang sesuai dengan keperluan-
keperluan mendasar dari masyarakat dan negara telah lama dipikirkan di Indonesia.
Banyak dari pemikiran mengenai sistem politik tersebut secara langsung atau pun
tidak langsung akan melihat ke sistem politik di negara- negara lain baik yang maju
atau pun negara berkembang.
Pembangunan juga terjadi pada bidang politik. Pembaharuan demi
pembaharuan dilakukan agar terciptanya politik ideal untuk Indonesia. Banyak hal
terjadi dalam pembangunan politik di Indonesia.
Pada saat ditinggalkan oleh Pemerintahan Orde Baru sejak Mei 1998,
persoalan demokratisasi adalah isu utama kehidupan politik nasional. Sistem politik
Orba yang kurang mentolerir perbedaan politik dengan pemerintah, telah
mewariskan permasalahan ketidakpuasan, yang berkembang menjadi bibit-bibit
disintegrasi. Kurang tepatnya pengelolaan konflik sosial politik dan tidak meratanya
alokasi sumber-sumber daya pembangunan ke wilayah-wilayah yang jauh dari pusat
pemerintahan, menjadi cikal bakal rasa ketidakadilan dan perasaan diabaikan bagi
daerah- daerah yang relatif terpencil di luar Jawa.
Selain itu, berbagai penyelewengan dan melemahnya nilai-nilai moral yang
seolah-olah berkembang dalam sistem dan aparatur pemerintah, telah menjadi bibit
bagi munculnya ketidakadilan dan kemiskinan struktural dalam kehidupan mayoritas
rakyat. Lebih jauh lagi, muncul trauma mendalam terhadap metode-metode
penyelesaian konflik dalam masyarakat, yang lebih banyak mengutamakan bentuk-
bentuk represi. Selanjutnya akan dijelaskan tentang pembangunan politik di Indonesia
yang terjadi di Indonesia.
BAB II
ISI
Pembangunan politik sebuah negara biasanya terkait dengan peningkatan
kualitas demokrasi, penguatan sistem politik dan pemerintahan, penguatan partai
politik menjadi lebih mapan serta peningkatan partisipasi masyarakat. Tingginya
partisipasi masyarakat merupakan cermin kuatnya demokrasi dan legitimasi
pemerintah atas masyarakat, terlebih bila didukung oleh sistem politik dan partai
politik yang bisa memfasilitasi partisipasi masyarakat dengan baik. Pembangunan
politik menjadi penting terkait dengan modernisasi terlebih merupakan prasyarat
kesejahteraan masyarakat.1
Bangsa-bangsa di negeri-negeri yang sudah maju tumbuh dan berkembang
melalui tahapan yang cukup sistematis, baik di bidang ekonomi maupun di bidang
politik. Pada umumnya suatu bangsa tumbuh melalui tahap-tahap perkembangan
politik.2
II.1 Pengertian Pembangunan Politik3
Pembangunan Politik sebagai Prasyarat Politik untuk Pembangunan
Ekonomi.
1 Djoko Yuniarto, Djoko’s site, Modernisasi dan Pembangunan Politik http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/7/Modernisasi_dan_Pembangunan_Politik, ditulis 1 Maret 2011, diakses 1 Maret 20112 AFK Organsky, 1985, dikutip dari Djoko Yuniarto, Djoko’s site, Modernisasi dan Pembangunan Politik http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/7/Modernisasi_dan_Pembangunan_Politik, ditulis 1 Maret 2011, diakses 1 Maret 20113 Lucian W Pye, dikutip dari Juwono Sudarsono, Pembangunan Politik dan Pembaharuan Politik. 1981
Para ahli ekonomi menunjukkan betapa kondisi- kondisi sosial dan
politik dapat memainkan peranan yang menentukan dalam
menghambatatau memperlancar kemajuan pendapatan perkapita. Oleh
sebab itu wajar kalau pembangunan politik dipandang sebagai keadaan
masyarakat politik yang dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi.
Ditinjau dari segi sejarah, pertumbuhan ekonomi telah terjadi dalam
aneka ragam sistem politik dengan aneka ragam jenis kebijaksanaan
umum. Akan tetapi, menghubungkan pembangunan politik hanya dengan
peristiwa- peristiwa ekonomi hanya akan mengesampingkan hal- hal yang
jauh lebih penting di negara- negara berkembang.
Pembanguna Politik sebagai Kehidupan Politik khas Masyarakat
Industri.
Pembangunan Politik sebagai Modernisasi Politik.
Pandangan bahwa pembangunan politik adalah kehidupan khas atau
kehidupan ideal dari masyarakat industri berpadu erat dengan pandangan
bahwa pembangunan politik adalah sama dengan modernisasi politik.
“Lewat modernisasi pulalah kemudian diperkenalkan tahap-tahap
pembangunan politik maupun ekonomi sebagai gerak perubahan yang
gradual. Tahap-tahap ini bagi negara-negara berkembang yang dalam
proses menuju negara modern seakan-akan harga mati untuk mencapai
negara sejahtera. Mereka menganalogikan masyarakat sebagai makhluk
organik, yang lahir, tumbuh berkembang menjadi dewasa, dan akhirnya
mati. Mereka terlanjur menjadikan Barat sebagai model puncak
modernitas dalam tahap-tahap pembangunan.”4 Pertanyaan yang timbul
adalah apakah yang merupakan bentuk dan apakah yang merupakan isi
dari pandangan mengenai pembangunan politik. Apabila pembangunan
politik hanya ditinjau dari modernisasi politik maka kita akan
menghadapi kesulitan dalam membedakan apa yang ‘barat’ dan apa yang
‘modern’.
Pembangunan Politik sebagai Operasi Negara-Bangsa
Pembangunan politik terdiri dari organisasi kehidupan politik dan prestasi
fungsi- fungsi politik sesuai dengan ukuran- ukuran yang diharapkandari
suatu negara-bangsa. Akan tetapi dengan tumbuhnya negara-bangsa
modern ada serangkaian persyaratan tentang politik yang timbul. Penting
untuk ditekankan bahwa ditinjau dari sudut pandang ini, nasionalisme
adalah persyaratan penting tetapi jauh dari mencukupi guna mengadakan
pembangunan politik. Dalam pengertian ini, pembangunan politik adalah
pembinaan bangsa.
Pembangunan Politik sebagai Pembangunan Administrasi dan Hukum
Sesungguhnya pengertain pembangunan organisasi sebagai pembangunan
organisasi mempunyai sejarah lama yang menekankan kebenaran dari
falsafah kolonial yang sedikit liberal. Sebab, kita dapat perhatikan dari
sejarah pengaruh barat terhadap sebagian dunia, salah satu teema pokok
adalah kepercayaan orang- orang Eropa bahwa dalam membina
4 Agus Haryadi dikutip dari Djoko Yuniarto, Djoko’s site, Modernisasi dan Pembangunan Politik http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/7/Modernisasi_dan_Pembangunan_Politik, ditulis 1 Maret 2011, diakses 1 Maret 2011
masyarakat politik adalah mutlak untuk menciptakan tata-susunan
administrasi dan tata-susunan hukum.
Pembangunan Politik sebagai Mobilisasi Masa dan Partisipasi
Proses partisipasi masa adalah bagian yang penting dari pembangunan
politik, proses itu penuh dengan bahay emosionalisme steril atau
demagogi yang merusak, keduanya dapat menghisap habis kekuatan
masyarakat. Masalahnya ialah persoalan klasik tentang mencari
keseimbangan antara aspirasi masyarakat dan ketertiban umum.
Pembangunan Politik sebagai Pembinaan Demokrasi
Masalah hubungan antara demokrasi dengan pembanguna politik adalah
terlalu rumit untuk dibahas dalam pemandangna umum mengenai sikap –
sikap yang berbeda- beda. Sementara ini banyak orang yang berpengang
teguh pada pnedapat bahwa secara azasi pembangunan banyak berbeda
dari demokrasi dan justru usaha untuk memperkenalkan demokrasi dapat
menjadi hambatan yang pasti bagi pembangunan.
Pembangunan Politik sebagai Stabilitas dan Perubahan Tertib
Keberatan terhadap pandangan pembangunan ialah banyak persoalan
yang tak terjawab seperti berapakah kadar ketertiban yang diperlukan
ataupun yang diinginkan dan untuk tujuan apakah tujuan perubahan sosial
dilakukan. Akhirnya dalam skala prioritas ada perasaan bahwa
pemeliharaan ketertiban bagaimanapun perlu menempati tempat kedua
setelah kesanggupan untuk berrtindak menjalankan tugas- tugas. Karena
itu pembangunan menuntut pandangan yang lebih positif terhadap
tindakan dan pelaksanaan.
Pembangunan Politik sebagai Mobilisasi dan Kekuasaan
Pembangunan Politik sebagai Satu Segi dari Proses Perubahan Sosial
yang Multi Dimensional
II.2 Pembangunan Politik Era Reformasi
Kegiatan penyelenggaraan Pemilu di masa Orba, dinilai oleh banyak
pihak telah terlalu mengutamakan upaya mobilisasi rakyat melalui intimidasi
yang meluas demi memenangkan peserta Pemilu tertentu. Kondisi seperti ini
jelas memerlukan sistem politik yang kuat dan kepempinan yang bersih, agar
mampu memberikan arah dan esensi sesungguhnya dari reformasi dan
demokratisasi Indonesia.Perubahan struktur politik Indonesia dalam proses
demokratisasi di Indonesia dewasa ini dapat digolongkan dalam beberapa
kelompok utama.
Pertama, tuntasnya amandemen (I, II, II, dan IV) UUD 1945 yang
secara mendasar telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, terciptanya
format politik baru dengan disahkannya perundangan-undangan baru bidang
politik, pemilu, dan susunan kedudukan MPR dan DPR, yang menjadi dasar
pelaksanaan Pemilu 1999. Ketiga, terciptanya format hubungan pusat-daerah
yang baru berdasarkan perundangan-undangan otonomi daerah yang baru.
Keempat, terciptanya konsensus mengenai format baru hubungan
sipil-militer dan TNI dengan Polri berdasarkan ketetapan-ketatapan MPR
dan perundangan-undangan baru bidang pertahanan dan keamanan. Kelima,
disepakatinya pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung di dalam
konstitusi dan akan dituangkan dalam bentuk perundang-undangan. Keenam,
kesepakatan mengenai akan diakhirinya pengangkatan TNI/Polri dan Utusan
Golongan di dalam komposisi parlemen hasil Pemilu 2004 mendatang
Menegaskan keberadaan di dalam masyarakat, bahkan dengan tidak
ragu- ragu menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Amat sering terjadi kekerasan dilakukan terhadap kelompok lain yang tidak
sepaham, dengan menggunakan agama sebagai perisai. Pada saat proses
politik yang demokratis dan praktek hukum yangb berkeadilan justru sangat
diperlukan pada saat seperti sekarang ini, ternyata secara bersamaan terjadi
pula penipisan kepercayaan masyarakat luas terhadap lembaga politik dan
hukum. Perasaan diperlakukan tidak adil dan sikap-sikap sinis dan pesimisme
yang meluas, memunculkan berbagai ungkapan kejengkelan dan ejekan
terhadap dunia peradilan, antara berupa tuduhan “mafia peradilan” kepada
dunia kehakiman, kejaksanaan dan kepolisian sebagai tritunggal penegak
hukum Indonesia.
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang pada masa lalu kurang diakui peranannya, dewasa
ini mulai menunjukkan peran yang baik dalam memberdayakan sektor
masyarakat menuju ke arah terbentuknya masyarakat modern (civil society)
yang tangguh. Dalam hubungannya dengan masyarakat, pemerintah saat ini
sedang mensosialisasikan perannya sebagai regulator dan fasilitator.
Pemerintah (negara) sedanga berada dalam proses transformasi dalam
membentuk perannya sebagai “penengah” yang adil dalam mengupayakan
penyelesaian berbagai konflik kepentingan dalam masyarakat yang majemuk
ini.
Strategi kebijakan pembangunan politik yang ditetapkan adalah:
a. fasilitasi penyeienggaraan pendidikan politik secara intensif
dan komprehensif
b. peningkatan partisipasi politik masyarakat, dengan
meningkatkan keikutsertaan rakyat dalam proses penentuan keputusan oan
kebijakan daerah
c. peningkatan peran dan fungsi lembaga legislatif, sehingga
lebih mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsinya
d. mendukung peiaksanaan/ penyeienggaraan Pemiiu yang lebih
demokratis, jujur dan adil dalam rangka penegakan kedaulatan rakyat di
segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tujuan dan Sasaran Tnjuan pembangunan politik adalah menciptakan
stabilitas politik yang kondusif bagi terselenggaranya pembangunan di segala
bidang, dengan menciptakan kehidupan politik yang dinamis dan mampu
mengakomodasikan setiap perubahan kepentingan serta aspirasi rakyat dan
perkembangan lingkungan strategis regional maupun nasional.
II.3 Arah Kebijakan Pembangunan Politik Era Reformasi5
5 Jhosin Kogoya. BIDANG PEMBANGUNAN POLITIK & KONDISI UMUM http://yosin.wordpress.com/2009/06/23/pembangunan-politik-dan-kondisi-umum/, diakses 1 Maret 2011
Arah pembangunan politik diwujudkan melalui penyempurnaan struktur
politik, penataan peran negara dan masyarakat, pengembangan budaya politik,
perbaikan proses politik, peningkatan peran hubungan luar negeri, serta peningkatan
peran komunikasi dan informasi. Struktur politik disempurnakan dengan:
Meningkatkan independensi,kapasitas, dan integritas Mahkamah Konstitusi
dalam mengkaji dan menguji perundang-undangan (judicial review)
terhadap konstitusi.
Mendorong perumusan yang lebih tuntas dan dapat diterima semua pihak
mengenai hubungan antara kelembagaan politik dengan kelembagaan
pertahanan keamanan dalam kehidupan bernegara.
Meningkatkan kapasitas dan efektivitas lembaga-lembaga penyelenggara
negara dalam menjalankan kewenangan dan fungsi-fungsi yang diberikan
oleh konstitusi dan peraturan perundangan.
Mendorong dan memfasilitasi upaya- upaya politik untuk lebih
memantapkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, serta
mencegah disintegrasi wilayah dan perpecahan bangsa.
Mendukung percepatan bagi dibentuknya pelembagaan proses rekonsiliasi
dan mendorong penyelesaian rekonsiliasi nasional secara adil.
Mendorong pelembagaan lebih lanjut dari berbagai aspek yang menjadi
dasar berlangsungnya proses politik demokratis.
II.4 Keadaan Politik Era Reformasi6
6 Ignes Kleden, Simpul demokrasi’s blog, Politik Indonesia, Antara Demokrasi dan Sentralisme Politik. http://www.simpuldemokrasi.com/dinamika-demokrasi/wacana-demokrasi/1306-politik-indonesia-antara-demokrasi-dan-sentralisme-politik-.html
Sisi lain, “transisi” yang terjadi menciptakan konflik-konflik politik pada
tingkatan partai politik, yaitu antara kepentingan-kepentingan (elitis maupun
kolektif) serta antara kepentingan dengan ideologi. Konflik politik yang muncul
adalah tarikan pada perspektif konservatisme yang mencoba kukuh pada
pemikiran, sistem dan mekanisme yang lama sebagai konsepsi konsolidasi awal
kejayaan Soeharto dengan kelompok yang berkeinginan tanggap terhadap
perubahan serta tuntutan reformasi terhadap ideologi politik golkar.
Isu yang signifikan dalam perdebatan dan konflik yaitu mengenai peran
militer-sipil dalam perubahan politik Indonesia juga mengenai modal politik dari
institusi, badan atau lembaga yang ada dimana ketika awal kehadirannya
merupakan basis massa dari golkar dalam upaya menciptakan mobilitas politik
akibat masifnya gerakan politik kelompok “komunis”. Kesemua konflik tersebut
tentu saja bermuara pada kepentingan tarik ulur tentang “suksesi” dalam partai
pasca Soeharto dari vested interest tiga pilar penyanggah golkar, antara ABRI,
Teknokrat dan Profesional.
Masa reformasi membawa pada dua arus utama dari konflik. Pertama pada
tarikan pada konflik kepentingan dari perebutan kekuasaan dan arus kedua adalah
ketegangan ideologis yang sangat kentara pada gerakan atas Islamic state dari
sebagian kelompok muslim yang berseberangan dengan kelompok nasionalis –
nasionalists state.
Disamping itu pada dimensi perebutan kekuasaan terdapat pola hubungan
internal partai-partai politik dimana pola hubungan pasca reformasi “partai”
politik keberadaan menjadi keharusan dalam kehidupan politik modern di
Indonesia.
Disinilah partai politik, disamping sebagai wujud dari demokratisasi namun
merupakan organisasi yang memiliki peran dan fungsi memobilisasi rakyat atas
nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus memberi legitimasi pada proses-
proses politik, di antaranya adalah tentang “suksesi” kepemimpinan nasional. Pola
konflik dan pola hubungan dalam partai politik ini bisa tercermati dalam pemilu
1999, yaitu realita penolakan terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari
satu kelompok terhadap kelompok yang lainnya.
Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap “Orde
Baru”, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap
Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang
memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan “asal bukan” Habibie atau
Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam
(PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok
“Poros Tengah”.
Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret PKB
untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie. Namun dalam
perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros tengah) dan Gus
Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan kepentingan politik yang
dilakukan masing-masing.
Pada keterberaian ini pula yang meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur
sebagai Presiden, walaupun disisi lain, terdapat berbagai kepentingan politik yang
ikut meramaikannya seperti kepentingan politik militer, PDI Perjuangan,
kelompok penguasa “korporatisme” nasional yang dihegemoni Soeharto atau
Orde Baru, termasuk kepentingan modal asing atau negara lain (seperti Amerika
Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas beberapa kebijakan ekonomi nasional yang
dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari kelompok kepentingan ideologis yang
radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia menjadi berkarakter politik Islam
atau demokrasi Liberal.
Dari tarikan kepentingan kekuasaan “suksesi” nasional yang dilakukan para
elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam konflik-konflik
konstitusi di Indonesia . Seperti dalam kejatuhan K.H. Abdurrahman Wahid
memperkuat perlunya tindakan “amandemen” atas UUD 1945, karena konstitusi
tersebut membuka perseteruan “interpretasi” dan dianggap menjadi sumber
kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan sistem politik
Indonesia , apakah presidensil atau parlementer? Dalam kasus Gus Dur, sistem
presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi pada sistem
parlementer.
Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan
perubahan terhadap UUD 1945 –dalam kekuasaan politik Soeharto tindakan
amandemen merupakan tindakan yang diharamkan—walau terdapat beberapa
amandemen yang ditengarai tidak sejalan dengan keinginan rakyat terutama
mengenai pasal-pasal politik yang krusial, bahkan beberapa pasal-pasal yang
diamandemen meletakan pada bentuk “konspirasi” demi kepentingan dan
penyelamatan terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati (pasca Gus Dur) dalam pidato
kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung “komisi konstitusi”, yang
berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan memunculkan perbedaan tajam
antara sikap “konservatisme” di majelis karena kegagalannya membentuk komisi
dan tidak mampu melakukan perubahan-perubahan atas pasal-pasal krusial.
Padahal tanpa komisi konstitusi independent akan menjadi kesulitan untuk dapat
menghasilkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta
mencerminkan kepentingan rakyat.
Tarikan-tarikan politis pada kepentingan dalam konstitusi atau penyusunan
UU di MPR merupakan wujud dari keinginan mempengaruh dan memanfaatkan
ketetapan politik dalam relasi-relasi kekuasaannya, seperti pada sistem perwakilan
rakyat untuk mengadopsi “bikameral’ (terdiri dari DPR dan DPD) dan tetap
“unikameral” seperti berlaku sebelum reformasi (terdiri dari DPR, Utusan Daerah
dan Utusan Golongan). Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau tetap melalui
MPR.
Berbeda di masa Soeharto, dimana ideologi-ideologi tidak muncul
kepermukaan, era reformasi membuka kembali gairah ideologis dan muncul
dengan semangat perjuanganan primordialismenya. Kelompok-kelompok
nasionalis teguh pada tuntutan atas prisip-prisip nasionalisme, bahkan di
antaranya adalah dari kepentingan nasionalis radikal.
Golongan kiri mencoba bangkit melalui Partai Rakyat Demokratik, sedangkan
golongan Islam kembali memperjuangkan suara ideologisnya mengenai
penerapan Syariat Islam dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) sejak SU MPR
1989 kerap menuntut agar pemberlakuan asas tunmggal bagi organisasi sosial
politik dicabut. Hebatnya dalam SUT MPR 2000, beberapa Fraksi MPR meminta
dipertimbangkan kembali “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta untuk dimasukan
dalam Pancasila.
Di era reformasi hingga saat ini aliran-aliran lama muncul kembali walau
dalam kemasan baru, PDIP mewakili abangan dan non Islam, Golkar wujud dari
Islam modern (luar Jawa) PKB sebagai Islam tradisionalis, PPP wakil dari kaum
modernis dan tradisioalis, sementara PAN, PBB, PK meruapakan Islam modernis.
Dari pendekatan agama yang teridentifikasi, maka itensitas emosi politik
menjadi sangat mendalam, mereka terbelah menjadi dua kelompok besar yakni
Islam dan non Islam. Dari dua kelompok besar tersebut dilihat pada kepentingan
kekuasaan menjadi perseteruan kelompok Islam dan kelompok nasionalis.
Disinilah yang sampai saat ini menjadi masalah tersendiri bagi proses
demokratisasi dan penciptaan masyarakat Indonesia yang terbuka.
Jika dilacak lebih jauh, di Indonesia pola perseteruan ideologis yang tercermin
dalam partai politik memang sejarahnya hadir di masa pergerakan kemerdekaan
yang oleh Feith meupakan perebutan pengaruh sosial politik dari lima ideologi
besar, yaitu nasionalis radikal, komunisme, sosialisme demokrat, Islam, dan
tradisional Jawa. Dari sini perdebatan ideologis tentang konsepsi politik
kenegaraan mengalami dinamisasi, sementara partai-partai yang berbasis aliran
muncul membawa semangat ideologisnya masing-masing hingga sekarang
(kecuali komunisme).
Fase-fase sejarah dari perdebatan ideologis dapat terlihat dalam fase-fase
sejarah “politik” seperti sidang BPUPKI dan gerakan perjuangan Darul Islam atau
Tentara Islam Indonesia .Juga beberapa konflik baru yang muncul dari
perseteruan “agama” atau primordialisme, sesungguhnya bila dicermati
merupakan konflik-konflik politik dan perebutan “elitis” atas kekuasaan.
Kembali pada pemahaman historisisme politik Indonesia sebagai real politik
dari pertentangan kepentingan dan ideologi, Ignas Kleden memberikan pijakan
awal sebagai dasar pecermatan. Pertama perlu ada dasar empiris untuk memahami
tentang kekuatan-kekuatan nyata –seperti ABRI— dalam pertarungan kekuasaan
yang terjadi. Juga untuk mengetahui seberapa signifikasinya pembesaran jumlah
partai politik dengan penguatan partisipasi politik kepartaian sebagai bentuk
representasi kesadaran rakyat atau hanya “pragmentasi” kelompok elite partai.
Kedua, adanya norma-norma yang menjadi dasar penilaian dari realitas politik
yang telah dan sedang berlangsung di Indonesia . Apakah gerakan pembaruan dan
pembangunan politik di masa reformasi menunjukan proses mendekati atau
menjauh terhadap kriteria normatif yang ditetapkan atau disepakati.
Ketiga, Hubungan dari ketentuan normatif dan kenyataan empiris dalam
politik praktis, hal ini melihat perbedaan yang muncul dari hubungan antara
kenyataan empiris dengan pegangan teoritis dalam ilmu pengetahuan. Juga
mengingat dalam kehidupan politik keadaannya lebih kompleks, dimana norma-
norma politik merupakan muatan yang berisi norma-norma yang bersifat tetap
dan mempunyai daya universalitas, disamping norma-norma yang terbentuk
berdasar konsesus nasional pada masa tertentu.
Dari tiga kriteria , maka muatan reformasi dapat diposisikan selalu sarat
dengan perebutan kekuasaan (power building) dan bukan pada efektivitas
penggunaan kekuasaan (the use of power). Institusionalisasi politik terbelah
akibat dari peneguhan personalisasi politik dari elite-elite di lingkar kekuasaan.
Maka bawaan dari perebutan kekuasaan dan persolisasi politik memunculkan
diskursus politik yang lebih terfokus pada persoalan penggantian dan posisi elite
politik tetapi bukan pada bentuk-bentuk kompetisi program-program kerja partai.
Partai politik masih menjadi alat dari kepentingan mobilisasi politik. Parahnya
dinamika politik masa reformasi adalah lebih merupakan politik kesempatan (the
politics of opportunities) dan bukan seni dari kemungkinan-kemungkinan (the art
of the possible), dimana kesempatan adalah kemungkinan yang tersedia dalam
masa sekarang sedang kemungkinan adalah kesempatan yang dapat dan masih
harus diciptakan di masa depan.
II.5 Pilkada
Pada era reformasi pembangunan politik mendapat perhatian yang besar.
Pembangunan politik menjadi penting karena bukan hanya sekadar jalannya proses
demokrasi, namun akan bermuara pada naiknya kualitas hidup rakyat dalam segala
bidang. Menurut Samuel P Huntington: ‘Tujuan dari pembangunan politik adalah
untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi; melembaganya pemerataan bagi warga;
terbangunnya iklim yang demokratis; terciptanya stabilitas dan otonomi nasional’.
Era reformasi berusaha membuat cara yang lebih baik, yaitu gubernur,
bupati/walikota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Cara pemilihan
semacam ini diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih sesuai dengan
harapan rakyat karena rakyat dapat langsung melihat, menilai dan memilih pemimpin
yang dianggap cocok menjadi gubernur, bupati/walikota.
Indonesia sedang berbenah guna mendapatkan cita-cita demokrasi, dari segi
pengalaman tentu masih kurang. Rakyat baru 1 (satu) kali memilih pemimpinnya di
tingkat nasional untuk presiden, provinsi untuk gubernur dan kabupaten/kota untuk
bupati/walikota, maka Pilkada yang ada perlu diberi kesempatan untuk berkembang.
Biarlah pola Pilkada sekarang tetap berjalan, tentunya dengan pembenahan-
pembenahan dan penyempurnaan-penyempurnaan agar sesuai dengan harapan rakyat.
Pada dasarnya Pilkada punya peluang besar untuk berkembang dengan baik, karena
pemilihan langsung seorang pemimpin oleh rakyat telah dikenal berpuluh tahun di
Indonesia dalam pemilihan kepala desa di berbagai daerah.
Pembangunan politik sebagai bagian demokratisasi perlu dikawal oleh rakyat,
perbaikan-perbaikan dengan tujuan penyempurnaan perlu dilakukan tapi tentu harus
dengan cara yang benar.
BAB III
PENUTUP
Demokrasi yang pada awalnya mempunyai konsep yang bagus dan dapat
dilaksanakan di Indonesia dengan baik mempunyai banyak penyimpangan yang tidak
perlu. Kurangnya pemahaman dari elit politik tentang demokrasi juga patut menjadi
pekerjaan bersama, artinya para elit politik dalam pemerintahan dapat mengetahui arti
dari demokrasi yang sebenarnya sehingga mereka dapat memberikan contoh kepada
masyarakat luas tentang demokrasi yang seharusnya dijalankan oleh Indonesia.
Pembangunan yang dilakukan juga haruslah merata agar dapat meminimalisir akibat
yang nantinya akan ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Juwono. 1981. Pembangunan Politik dan Pembaharuan Politik edit. Jakarta: Gramedia
Yuniarto Djoko. Djoko’s site, Modernisasi dan Pembangunan Politik http://djokoyuniarto.multiply.com/journal/item/7/Modernisasi_dan_Pembangunan_Politik, ditulis 1 Maret 2011, diakses 1 Maret 2011
Kogoya, Jhosin. BIDANG PEMBANGUNAN POLITIK & KONDISI UMUM http://yosin.wordpress.com/2009/06/23/pembangunan-politik-dan-kondisi-umum/, diakses 1 Maret 2011
Kleden, Ignes. 2008. Simpul demokrasi’s blog, Politik Indonesia, Antara Demokrasi dan Sentralisme Politik. http://www.simpuldemokrasi.com/dinamika-demokrasi/wacana-demokrasi/1306-politik-indonesia-antara-demokrasi-dan-sentralisme-politik-.html