Post on 23-Oct-2015
description
LAPORAN PENDAHULUAN
CIDERA KEPALA
Disusun Oleh :ANDI NOPRYANSYAH
070113a005
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERSSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NGUDI WALUYO UNGARAN2013
1
CEDERA KEPALA
A. Definisi
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi –
descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang
mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu
cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila
GCS : 9 – 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada
penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka
reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga
tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai
“X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi
maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
B. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
1. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal :
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
2. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
3. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.
Efek percepatan dan perlambatan (aksele rasi-deselerasi) pada otak.
C. Manifestasi klinis
Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut
dengan cepat menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu
dapat disembuhkan. Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting
2
diingat arti gangguan vegetatif yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa
sakit kepala, mual, muntah, dan puyeng. Gangguan vegetatif tidak dilihat
sebagai tanda-tanda penyakit dan gambaran penyakit, namun keadaannya
reversibilitas.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat
(amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula
sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-
tanda lemah ingatan, cepat lelah, amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan
EEG, tidak akan menutupi diagnosis bila tidak ada kelainan EEG.
Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga
beraneka ragam, bisa terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit.
Catatan kesimpulan mengenai cidera kepala akan lebih kalau terjadi koma
berjam-jam atau seharian, apalagi kalau tidak menampakkan gejala penyakit
gangguan syaraff. Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli
bedah syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1
jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi
komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
3
D. Patofisiologi
Cidera Kepala TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi Hypoxemia
Kelainan Metabolisme
Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan Sel Otak
Gangguan Autoregulasi Rangsangan Simpatis Stress
Aliran Darah Keotak Tahanan Vaskuler Katekolamin
Sistemik & TD Sekresi Asam Lambung
O2 Ggan Metabolisme Tek. Pemb.Darah Mual, Muntah
Pulmonal
Asam Laktat Tek. Hidrostatik Asupan Nutrisi Kurang
Oedem Otak Kebocoran Cairan Kapiler
Ggan Perfusi Jaringan Oedema Paru Cardiac Out Put
Cerebral
Difusi O2 Terhambat Ggan Perfusi Jaringan
Gangguan Pola Napas Hipoksemia,
Hiperkapnea
4
Hubungan Cedera Kepala Terhadap Munculnya Masalah Keperawatan
Cedera Kepala Primer-Komotio, Kontutio,
Laserasi Cerebral
Cedera Kepala Sekunder-Hipotensi, Infeksi General,
Syok, Hipertermi, Hipotermi, Hipoglikemi
Gangguan vaskuler serebral dan produksi prostaglanding dan peningkatan TIK
Nyeri Intracerebral Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung
Kerusakan / Penekanan Sel Otak
Local / DifusKomotio CerebriKontutio CerebriLateratio Cerebri
Penurunan ADO2, VO2, CO2,
Peningkatan Katekolamin, Peningkatan Asam Laktat
Gangguan kesadaran / Penurunan GCS Edema Cerebri
Gangguan Seluruh Kebutuhan Dasar
(Oksigenasi, Makan, Minum, Kebersihan Diri,
Rasa Aman, Gerak, Aktivitas Dll
Gangguan Sel Glia / Gangguan Polarisasi
Kejang
Resiko Trauma
5
E. Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala manusia maka
mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua:
(1) Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari
200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang terjadi tetapi kerusakan yang
terjadi sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai pada kerusakan tulang
kepala, jaringan dan pembuluh darah otak. (Bajamal A.H , 1999).
(2) Dynamic loading
Gaya yang bekerja pada kepala secara cepat (kurang dari 50 milidetik). Gaya yang
bekerja pada kepala dapat secara langsung (impact injury) ataupun gaya tersebut
bekerja tidak langsung (accelerated-decelerated injury). Mekanisme cidera kepala
dynamic loading ini paling sering terjadi (Bajamal A.H , 1999).
a. Impact Injury
Gaya langsung bekerja pada kepala. Gaya yang terjadi akan diteruskan
kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian
yang lain akan diteruskan, sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan
dipantulkan kembali. Tetapi gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi
akselerasi-deselerasi. Akibat dari impact injury akan menimbulkan lesi :
Pada cidera kulit kepala (SCALP) meliputi Vulnus apertum, Excoriasi,
Hematom subcutan, Subgalea, Subperiosteum. Pada tulang atap kepala meliputi
Fraktur linier, Fraktur distase, Fraktur steallete, Fraktur depresi. Fraktur basis
cranii meliputi Hematom intracranial, Hematom epidural, Hematom subdural,
Hematom intraserebral, Hematom intrakranial. Kontusio serebri terdiri dari
Contra coup kontusio, Coup kontusio. Lesi difuse intrakranial, Laserasi serebri
yang meliputi Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).
b. Lesi akselerasi – deselerasi
Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh
yang lain tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas
antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan
densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang
kepala akan bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap
berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak
mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan
maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala
tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa Hematom subdural, Hematom
intraserebral, Hematom intraventrikel, Contra coup kontusio. Selain itu gaya
6
akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya terikan ataupun robekan yang
menyebabkan lesi diffuse berupa Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar
Kasan , 1998).
F. Klasifikasi
Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :
1. Cidera kepala terbuka
2. Cidera kepala tertutup
1. Cidera kepala terbuka
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai
cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan
infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera menjauhkan
pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.
Fractura Basis Cranii
Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di
depan:
1. Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan
arachnoidal.
2. Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus
maksilaris masuk ke lapisan selaput otak encepalon.
3. Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita
mata dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya
cairan otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba eustachii.
Gambaran rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya
memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu menerima
kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain
anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata
(III,IV, V); gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian
bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada
umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan rusak pada fractura basis
cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio maka terjadi dislocatio pada
tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu diperhatikan karena
kemungkinan ini akibat contusio cerebri.
7
2. Cidera kepala tertutup
Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-
keretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa
sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang
menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan
gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk
haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum intervalum
(mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi, pada epiduralis haematoma, sebenarnya
jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan (depresi). Dengan tindakan yang cepat
dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling sering terdapat di daerah
temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah kecil/perifer cabang-cabang a.
meningia media akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada Fr. Capitis).
a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus.
Foto rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah
pengawasan terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah
CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr
hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan
ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis
haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.
b. Subduralis haematoma akut
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana
pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau
jembatan vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi
perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak
sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter
dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya
tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian
akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam
sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi
gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma
subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fractura Cranii,
namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera
pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang
pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus
ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga
mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi (80%).
8
c. Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu
perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan
berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar
jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna “pelebaran pembuluh darah”.
Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik
tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan
karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma
terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak.
Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula
karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah
"subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan
tipe centralis - kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau
kelumpuhan syaraf-syaraf otak, gangguan bicara, yang tergantung pada
lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling
berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan
bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah,
keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan
(decebracio rigiditas).
G. Pemeriksaan diagnostik
1. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau
ruptur atau fraktur).
2. CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak
yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
3. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika
dicurigai.
4. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas
terjadinya perdarahan otak.
9
5. Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi
penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
7. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
H. Pengobatan dan Perawatan
a. Perawatan dirumah sakit
Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 – 15 meliputi :
1). Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat
dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di
RS Dr Soetomo surabaya digunakan D5% ½ salin kira – kira 1500 – 2000 cc/24 jam
untuk orang dewasa.
2). Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah dicoba minum
sedikit – sedikit (pada penderita yang tetap sadar).
3). Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6
jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk penuh dan dilatih
berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15).
4). Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti : Citicholine, dengan
dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.
5). Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera
kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur – angsur berkurang
sampai 48 jam pertama.
b. Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
1). Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15° – 30°)
hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.
2). Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit.
3). Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak ada
perbaikan dapat diberikan vasopressor.
4). Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30 CC/KgBB/24jam.
5). Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang
lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk
memberikan makanan yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 cc
Dextrose 5%. Gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi
10
villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi
(stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi
metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan
ditingkatkan secara perlahan – lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24 jam
dengan kalori 2000 Kkal. Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih
cepat pada penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di
dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk kedalam
system portal.
6). Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik
pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri dan kanan setiap 2
jam.
7). Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung
diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek
terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah
dapat terjadi karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat
tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock, Febris.
c. Transpor Oksigen
Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971, Peitzman, 1987,
Abrams, 1993 mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar yakni:
1. Sistim pernafasan yang membawa O2 udara alveoli, kemudian difusi masuk
kedalam darah.
Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen berkaitan dengan
hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma. Gangguan oksigenansi
menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah (hipoksemia) yang selanjutnya
akan menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya,
dibedakan 4 jenis hipoksia sesuai dengan proses penyebabnya :
1). Hipoksia – hipoksik : gangguan ventilasi-difusi
2). Hipoksia – stagnan : gangguan perfusi/sirkulasi
3). Hipoksia – anemik : anemia
4). Hipoksia – histotoksik : gangguan pengguanaan oksigen dalam sel (racun
HCN, sepsis).
Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik. Kandungan
oksigen dalam darah arterial (Ca O2) menurut rumus Nunn-Freeman (MacLean, 1971,
Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah :
Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003)
Hb = kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi O2 = saturasi oksigen
dalam hemoglobin (%)
11
1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut
1,36 atau 1,39
pO2 = tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg
0,003 = koefisien kelarutan oksigen dalam plasma.
2. Sistim sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan
Perubahan-perubahan hemodinamik sebagai kompensasi yaitu: nadi meningkat
(takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat, vasokonstriksi di daerah arterial
reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh puluh lima persen volume sirkulasi berada di
daerah vena. Vasokonstriksi memeras darah dari cadangan vena kembali ke sirkulasi
efektif. Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran untuk organ prioritas
(otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus.
Vasokonstriksi yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion pressure)
untuk otak dan jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih berat mengatasi SVR,
pada saat yang sama oksigenasi koroner sedang menurun. Vasokonstriksi yang
berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik (iscemic injury),
translokasi kuman menembus usus dan masuknya endotoksin ke sirkulasi sistemik
(Kreimeier 1990 dan 1992; Hartmann, 1991). Takikardia dan vasokonstriksi sudah
berjalan dengan cepat melalui respons baroreseptor dan katekolamin. Takikardia yang
berlebihan justru merugikan, karena menyebabkan EDV menurun sehingga CO juga
turun. Cardiac output atau curah jantung adalah volume aliran darah yang membawa
oksigen ke jaringan. Hubungan antara curah jantung (CO), frekwensi denyut jantung
(f) dan Stroke Volume (SV) adalah sebagai berikut:
CO = f x SV
SV : dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR
EDV : volume ventrikel pada akhir diastole
C : contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)
SVR :Systemic Vascular Resistance
VR :Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan
normal VR = CO Available O2 = CO x Ca O2
Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan)
Ca O2 : kandungan oksigen darah arterial.
3. Sistim O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke sel jaringan
Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika
oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi oksigen-hemoglobin (Lentner,
19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada organ vital (otak,
jantung) diisyaratkan bhwa kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila kadar Hb kurang
12
dari 9 gr % masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan peningkatan curah jantung
dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico, 1993; Rotondo, 1993).
I. Pengkajian
a) General Impressions
Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas.
Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan
oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan
bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial
penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk
mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
Chin lift/jaw thrust
13
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai
berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter
dan kualitas pernafasan pasien.
Penilaian kembali status mental pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker
Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika
diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai
kebutuhan.
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan
pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya
tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan
telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya
14
menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera
adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.
Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien
secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan
secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup
pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka
Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
15
Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan
mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009
J. Diagnosa keperawatan1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.
4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit
meningkat.
7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.
8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula
oblongata.
K. Intervens
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Gangguan
perfusi jaringan
b/ d oedema
cerebri,
meningkatnya
aliran darah ke
otak.
Gangguan perfusi jaringan
tidak dapat diatasi setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x 24 jam
dengan KH :
- Mampu mempertahankan
tingkat kesadaran
- Fungsi sensori dan motorik
membaik.
- Pantau status neurologis
secara teratur.
- Evaluasi kemampuan
membuka mata (spontan,
rangsang nyeri).
- Kaji respon motorik
terhadap perintah yang
sederhana.
Mengkaji adanya
kecenderungan pada
tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan TIK
dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi,
perluasan dan
perkembangan kerusakan
SSP
Menentukan tingkat
kesadaran
Mengukur kesadaran
secara keseluruhan dan
kemampuan untuk
berespon pada rangsangan
eksternal.
Dikatakan sadar bila
pasien mampu meremas
atau melepas tangan
pemeriksa.
16
- Pantau TTV dan catat
hasilnya.
- Anjurkan orang terdekat
untuk berbicara dengan
klien
- Kolaborasi pemberian
cairan sesuai indikasi
melalui IV dengan alat
kontrol
Peningkatan tekanan darah
sistemik yang diikuti
dengan penurunan tekanan
darah diastolik merupakan
tanda peningkatan TIK .
Peningkatan ritme dan
disritmia merupakan tanda
adanya depresi atau trauma
batang otak pada pasien
yang tidak mempunyai
kelainan jantung
sebelumnya.
Nafas yang tidak teratur
menunjukan adanya
peningkatan TIK
Ungkapan keluarga yang
menyenangkan klien
tampak mempunyai efek
relaksasi pada beberapa
klien koma yang akan
menurunkan TIK
Pembatasan cairan
diperlukan untuk
menurunkan Oedema
cerebral: meminimalkan
fluktuasi aliran vaskuler,
tekanan darah (TD) dan
TIK
Gangguan rasa
nyaman nyeri b/
d peningkatan
tekanan intra
kranial.
Rasa nyeri berkurang setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 jam
dengan KH :
- pasien mengatakan nyeri
berkurang.
- Pasien menunjukan skala
- Teliti keluhan nyeri,
catat intensitasnya,
lokasinya dan lamanya.
Mengidentifikasi
karakteristik nyeri
merupakan faktor yang
penting untuk menentukan
terapi yang cocok serta
mengevaluasi keefektifan
dari terapi.
17
nyeri pada angka 3.
- Ekspresi wajah klien rileks.
- Catat kemungkinan
patofisiologi yang khas,
misalnya adanya infeksi,
trauma servikal.
- Berikan kompres dingin
pada kepala
Pemahaman terhadap
penyakit yang
mendasarinya membantu
dalam memilih intervensi
yang sesuai.
Meningkatkan rasa
nyaman dengan
menurunkan vasodilatasi.
Perubahan
persepsi sensori
b/ d penurunan
kesadaran,
peningkatan
tekanan intra
kranial.
Fungsi persepsi sensori
kembali normal setelah
dilakukan perawatan selama 3x
24 jam dengan KH :
- mampu mengenali orang
dan lingkungan sekitar.
- Mengakui adanya
perubahan dalam
kemampuannya.
- Evaluasi secara teratur
perubahan orientasi,
kemampuan berbicara,
alam perasaan, sensori
dan proses pikir.
- Kaji kesadaran sensori
dengan sentuhan, panas/
dingin, benda tajam/
tumpul dan kesadaran
terhadap gerakan.
- Bicara dengan suara
yang lembut dan pelan.
Gunakan kalimat pendek
dan sederhana.
Pertahankan kontak
mata.
Fungsi cerebral bagian atas
biasanya terpengaruh lebih
dahulu oleh adanya
gangguan sirkulasi,
oksigenasi. Perubahan
persepsi sensori motorik
dan kognitif mungkin akan
berkembang dan menetap
dengan perbaikan respon
secara bertahap
Semua sistem sensori
dapat terpengaruh dengan
adanya perubahan yang
melibatkan peningkatan
atau penurunan sensitivitas
atau kehilangan sensasi
untuk menerima dan
berespon sesuai dengan
stimuli.
Pasien mungkin
mengalami keterbatasan
perhatian atau pemahaman
selama fase akut dan
penyembuhan. Dengan
tindakan ini akan
membantu pasien untuk
18
- Berikan lingkungan
tersetruktur rapi, nyaman
dan buat jadwal untuk
klien jika mungkin dan
tinjau kembali.
- Gunakan penerangan
siang atau malam.
- Kolaborasi pada ahli
fisioterapi, terapi
okupasi, terapi wicara
dan terapi kognitif.
memunculkan komunikasi.
Mengurangi kelelahan,
kejenuhan dan
memberikan kesempatan
untuk tidur REM
(ketidakadaan tidur REM
ini dapat meningkatkan
gangguan persepsi
sensori).
Memberikan perasaan
normal tentang perubahan
waktu dan pola tidur.
Pendekatan antar disiplin
ilmu dapat menciptakan
rencana panatalaksanaan
terintegrasi yang berfokus
pada masalah klien
Gangguan
mobilitas fisik
b/d spastisitas
kontraktur,
kerusakan saraf
motorik.
Pasien dapat melakukan
mobilitas fisik setelah
mendapat perawatan dengan
KH :
- tidak adanya kontraktur,
footdrop.
- Ada peningkatan kekuatan
dan fungsi bagian tubuh
yang sakit.
- Mampu
mendemonstrasikan
aktivitas yang
memungkinkan
dilakukannya
- Periksa kembali
kemampuan dan keadaan
secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi.
- Pertahankan kesejajaran
tubuh secara fungsional,
seperti bokong, kaki,
tangan. Pantau selama
penempatan alat atau
tanda penekanan dari
alat tersebut.
Mengidentifikasi
kerusakan secara
fungsional dan
mempengaruhi pilihan
intervensi yang akan
dilakukan.
Penggunaan sepatu tenis
hak tinggi dapat membantu
mencegah footdrop,
penggunaan bantal,
gulungan alas tidur dan
bantal pasir dapat
membantu mencegah
terjadinya abnormal pada
bokong.
19
- Berikan/ bantu untuk
latihan rentang gerak
- Bantu pasien dalam
program latihan dan
penggunaan alat
mobilisasi. Tingkatkan
aktivitas dan partisipasi
dalam merawat diri
sendiri sesuai
kemampuan.
Mempertahankan mobilitas
dan fungsi sendi/ posisi
normal ekstrimitas dan
menurunkan terjadinya
vena statis.
Proses penyembuhan yang
lambat seringakli
menyertai trauma kepala
dan pemulihan fisik
merupakan bagian yang
sangat penting.
Keterlibatan pasien dalam
program latihan sangat
penting untuk
meningkatkan kerja sama
atau keberhasilan program.
Resiko tinggi
infeksi b/ d
jaringan trauma,
kerusakan kulit
kepala.
Tidak terjadi infeksi setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x 24 jam
dengan KH :
- Bebas tanda- tanda infeksi
- Mencapai penyembuhan
luka tepat waktu
- Berikan perawatan
aseptik dan antiseptik,
pertahankan teknik cuci
tangan yang baik.
- Observasi daerah kulit
yang mengalami
kerusakan, daerah yang
terpasang alat invasi,
catat karakteristik
drainase dan adanya
inflamasi.
- Batasi pengunjung yang
dapat menularkan infeksi
atau cegah pengunjung
yang mengalami infeksi
saluran nafas atas.
- Kolaborasi pemberian
atibiotik sesuai indikasi.
Cara pertama untuk
menghindari nosokomial
infeksi.
Deteksi dini perkembangan
infeksi memungkinkan
untuk melakukan tindakan
dengan segera dan
pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.
Menurunkan pemajanan
terhadap pembawa kuman
infeksi.
Terapi profilaktik dapat
digunakan pada pasien
yang mengalami trauma,
20
kebocoran LCS atau
setelah dilakukan
pembedahan untuk
menurunkan resiko
terjadinya infeksi
nosokomial.
Gangguan
keseimbangan
cairan dan
elektrolit b/ d
haluaran urine
dan elektrolit
meningkat.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
ganguan keseimbangan cairan
dan elektrolit dapat teratasi
dengan KH :
- Menunjukan membran
mukosa lembab, tanda vital
normal haluaran urine
adekuat dan bebas oedema.
- Kaji tanda klinis
dehidrasi atau kelebihan
cairan.
- Catat masukan dan
haluaran, hitung
keseimbangan cairan,
ukur berat jenis urine.
- Berikan air tambahan/
bilas selang sesuai
indikasi
- Kolaborasi pemeriksaan
lab. kalium/fosfor serum,
Ht dan albumin serum.
Deteksi dini dan intervensi
dapat mencegah
kekurangan / kelebihan
fluktuasi keseimbangan
cairan.
Kehilangan urinarius dapat
menunjukan terjadinya
dehidrasi dan berat jenis
urine adalah indikator
hidrasi dan fungsi renal.
Dengan formula kalori
lebih tinggi, tambahan air
diperlukan untuk
mencegah dehidrasi.
Hipokalimia/ fofatemia
dapat terjadi karena
perpindahan intraselluler
selama pemberian makan
awal dan menurunkan
fungsi jantung bila tidak
diatasi.
Gangguan
kebutuhan
Pasien tidak mengalami
gangguan nutrisi setelah
- Kaji kemampuan pasien
untuk mengunyah dan
Faktor ini menentukan
terhadap jenis makanan
21
nutrisi b/ d
kelemahan otot
untuk menguyah
dan menelan
dilakukan perawatan selama 3
x 24 jam dengan KH :
- Tidak mengalami tanda-
tanda mal nutrisi dengan
nilai lab. Dalam rentang
normal.
- Peningkatan berat badan
sesuai tujuan.
menelan, batuk dan
mengatasi sekresi.
- Auskultasi bising usus,
catat adanya penurunan/
hilangnya atau suara
hiperaktif.
- Jaga keamanan saat
memberikan makan pada
pasien, seperti
meninggikan kepala
selama makan atatu
selama pemberian
makan lewat NGT.
- Berikan makan dalam
porsi kecil dan sering
dengan teratur.
- Kaji feses, cairan
lambung, muntah darah.
- Kolaborasi dengan ahli
gizi.
sehingga pasien harus
terlindung dari aspirasi.
Fungsi bising usus pada
umumnya tetap baik pada
kasus cidera kepala. Jadi
bising usus membantu
dalam menentukan respon
untuk makan atau
berkembangnya
komplikasi seperti paralitik
ileus.
Menurunkan regurgitasi
dan terjadinya aspirasi.
Meningkatkan proses
pencernaan dan toleransi
pasien terhadap nutrisi
yang diberikan dan dapat
meningkatkan kerjasama
pasien saat makan.
Perdarahan subakut/ akut
dapat terjadi dan perlu
intervensi dan metode
alternatif pemberian
makan.
Metode yang efektif untuk
memberikan kebutuhan
kalori.
Gangguan pola Tidak terjadi gangguan pola - Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat
22
nafas b/ d
obstruksi
trakeobronkial,
neurovaskuler,
kerusakan
medula
oblongata.
nafas setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama
2x 24 jam dengan KH :
- Memperlihatkan pola nafas
normal/ efektif, bebas
sianosis dengan GDA
dalam batas normal pasien.
kedalaman pernafasan.
Catat ketidakteraturan
pernafasan.
- Angkat kepala tempat
tidur sesuai aturan posisi
miring sesuai indikasi.
- Anjurkan pasien untuk
latihan nafas dalam yang
efektif jika pasien sadar.
- Auskultasi suara nafas.
Perhatikan daerah
hipoventilasi dan adanya
suara- suara tambahan
yang tidak normal.
(krekels, ronki dan
whiszing).
- Kolaborasi untuk
pemeriksaan AGD,
tekanan oksimetri.
- Berikan oksiegen sesuai
indikasi.
menunjukan komplikasi
pulmonal atau menandakan
lokasi/ luasnya keterlibatan
otak. Pernafasan lambat,
periode apneu dapat
menendakan perlunya
ventilasi mekanis.
Untuk memudahkan
ekspansi paru dan
menjegah lidah jatuh yang
menyumbat jalan nafas.
Mencegah/ menurunkan
atelektasis.
Untuk mengidentifikasi
adanya masalah paru
seperti atelektasis, kongesti
atau obstruksi jalan nafas
yang membahayakan
oksigenasi serebral atau
menandakan adanya
infeksi paru (umumnya
merupakan komplikasi
pada cidera kepala).
Menentukan kecukupan
oksigen, keseimbangan
asam-basa dan kebutuhan
akan terapi.
Mencegah hipoksia, jika
pusat pernafasan tertekan.
Biasanya dengan
mnggunakan ventilator
mekanis
23
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafid, M. Sajid Darmadiputra, Umar Kasan, (1989), Strategy Dasar
Penanganan Cidera Otak, Warta IKABI Cab. Surabaya.
American College of Surgeons, (1995), Advanced Trauma Life Support Course for
Physicians, ACS Chicago
Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya.
Becker DP, Gardner S, (1985), Intensive Management of Head Injury. In : Wilkins
RH, Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc. Grow Hill
Company, 1953.
Bouma GJ, Muizelaar JP, Choi Sc et.al, (1991), Cerebral Circulation and
Metabolism After Severe Traumatic Barin Injury : the elusive role of
ischemia. J. Neurosurg.
Bambang Wahyu Prajitno, (1990), Terapi Oksigen, Lab Anestesiologi F.K Unair
Surabaya.
Barzo MK, rau AM, Donaldson D et.al, (1997), Protective Effect of Ifenprodil on
Ishemic Injury Size, Blood Breakdown, and Edema Formation in Focal
Cerebral Ischemia.
Combs DJ, Dempsey RJ, Maley M et.al (1990), Relationship between plasma
glocose, brain lactate and intra cellular PH during cerebraal ischemia
in gebrils stroke.
Gennerelli TA and Meany DF ( 1996 ), Mechanism of Primary Head Injury, Wilkins
RH and Renfgachery SS ( eds ) Neurosurgery, New York
Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.
Ishige N, Pitts LH et.al (1987), Effect of Hypoxia on Traumatic brain Injury in rats
Neurosurgery
Jenkins N, Pitts LH et.al (1987), Increased vulnerability of the traumatized brain to
early ischemia in Baethment A, Go CK and Unterberg A ( eds )
Mecahnism of Secondary brain demage.PC Worksho, Italy
Klatzo I. Chui E, Fujiware K (1980), Resulation of Vasogenic brain edema, Adv.
Neurol.
Klauber MF, Marshall LF et.al (1989), Determinants of Head Injury Mortality,
Importance of the Row Risk Patients.
24
Kraus JF (1993), Epidemiology of Head Injury in Cooper P ( ed ) Head Injury.
Baltimore, William and Wilkins.
Narayan RK (1989), Emergency Room Management of the Head Injury Patient. In :
Becker D.P, Gudeman S.K, eds Text Book of Head Injury Philadelphia :
WB Saunders
R. Zander, F. Mertzlufft (1990), The Oxygen Status of Arterial Blood, Saarstrabe
Germany.
Sumarmo Makam et.,al (1999), Cidera Kepala, Balai Penerbit FK UI Jakarta.
Umar kasan (1998), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala
Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press.
Umar Kasan (2000), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes
Vincent J. Collins, (1996), Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxia Germany
Zainuddin M, (1988), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana Universitas
Airlangga Surabaya.
25