Post on 12-Nov-2020
PENGARUH PENERAPAN SPIRITUAL LEADERSHIP
TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT ISLAM
SURABAYA
TESIS
NURFIKA ASMANINGRUM 0706194785
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN
DEPOK JULI, 2009
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
PENGARUH PENERAPAN SPIRITUAL LEADERSHIP
TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA PERAWAT DI RUMAH SAKIT ISLAM
SURABAYA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Keperawatan
NURFIKA ASMANINGRUM 0706194785
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN
DEPOK JULI, 2009
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:
Nurfika Asmaningrum
NPM
:
0706194785
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
13 Juli 2009
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh Nama : Nurfika Asmaningrum NPM : 0706194785 Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Judul Tesis : Pengaruh Penerapan Spiritual Leadership terhadap
Komitmen Organisasi pada Perawat di RS. Islam Surabaya
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan pada Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp. M.App.Sc ………………………
Pembimbing : Drs. Sutanto Priyo Hastono. M.Kes ………………………
Penguji : Debie Dahlia, S.Kp. MHSN ………………………
Penguji : Widya Lolita, S.Kp., M.Kep ………………………
Ditetapkan di Tanggal
: Depok : 13 Juli 2009
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, nikmat, dan hidayahNya,
sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dengan judul ‘Pengaruh Penerapan
Spiritual Leadership terhadap Komitmen Organisasi pada Perawat di RS. Islam
Surabaya’. Tersusunnya tesis ini tentu tidak terlepas dari bantuan, bimbingan,
masukan dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan
terima kasih Kepada Yang Terhormat:
1. Dewi Irawaty, MA, PhD., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2. Krisna Yetti SKp. M.App.Sc., selaku ketua Program Pasca Sarjana FIK UI
3. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp. M.App.Sc., sebagai pembimbing I yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini
4. Drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes, sebagai pembimbing II, yang telah
banyak memberikan bimbingan dan arahan.
5. Direktur RS. Islam Surabaya A. Yani dan Jemursari, beserta staf yang
telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian
6. Bagian Diklat, para kepala ruang, dan segenap perawat RS. Islam
Surabaya A. Yani dan Jemursari, atas kerjasama dan bantuannya dalam
penelitian ini.
7. Oktaku, Ibu, Bapak serta adik-adikku yang telah banyak memberikan
dukungan moril yang tiada terhitung kepada penulis selama ini
8. Ketua Yayasan Samodra Ilmu Cendekia beserta seluruh staf dosen
STIKES ICME Jombang.
9. Teman teman FIK UI, Bu Yanti, Bu Yuli, Bu Oktri, Pak Joko, Pak Fajar,
Pak Sigit, Pak Saeful dan seluruh teman yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, terima kasih atas kerjasama dan dukungannya.
10. Amansyah, terimakasih atas semuanya, dan seluruh pihak yang turut
membantu penyusunan laporan tesis ini.
11. Semua Pihak yang telah banyak membantu penyelasaian tesis ini.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga laporan tesis ini dapat membawa manfaat
bagi para pembaca dan dapat memperkaya pengembangan ilmu keperawatan
Indonesia.
Depok, Juli 2009
Penulis
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini,
Nama : Nurfika Asmaningrum
NPM : 0706194785
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Departemen : Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
‘Pengaruh Penerapan Spiritual Leadership terhadap Komitmen Organisasi pada
perawat di RS. Islam Surabaya’
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 13 Juli 2009 Yang menyatakan
(Nurfika Asmaningrum)
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
ABSTRAK
Nama : Nurfika Asmaningrum Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Judul : Pengaruh Penerapan Spiritual Leadership terhadap
Komitmen Organisasi pada Perawat di RS. Islam Surabaya Tuntutan komitmen dan loyalitas bagi perawat diperlukan oleh rumah sakit untuk menampilkan kinerja dan produktivitas yang baik, karena itu perlu upaya meningkatkan komitmen perawat dengan memperhatikan beberapa determinan baik karakteristik perawat dan kepuasan kerjanya. Upaya manajemen SDM berkaitan dengan retensi perawat terbatas dalam upaya bersifat ekstrinsik, sehingga diperlukan manajemen yang lebih komprehensif dalam menstimulus secara intrinsik pada perawat. Tujuan penelitian mengetahui pengaruh penerapan Spiritual Leadership terhadap komitmen organisasi pada perawat di RS Islam Surabaya dengan menggunakan desain pre and post test design with control group. Perawat pelaksana di ruang rawat inap sejumlah 82 dibagi dalam dua kelompok menjadi sampel penelitian. Instrumen yang digunakan adalah kepuasan kerja yang dikembangkan oleh peneliti, serta instrumen komitmen organisasi yang dimodifikasi dari Psychological Attachment Instrument oleh O’Reilly&Chatman. Intervensi Spiritual Leadership merupakan upaya meningkatkan komitmen organisasi secara intrinsik, melalui integrasi sembilan nilai altruisme dengan budaya rumah sakit. Data dianalisis dengan uji t-test serta regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan komitmen organisasi secara bermakna pada perawat sesudah diterapkan Spiritual Leadership (p value=0.000). Komitmen organisasi pada perawat yang diterapkan spiritual leadership lebih besar secara bermakna dengan yang tidak diterapkan (p value=0.005). Faktor yang dapat memprediksikan meningkatnya komitmen organisasi pada perawat pelaksana adalah penerapan Spiritual Leadership, jenis kelamin perempuan, status menikah, umur perawat yang lebih tinggi, dan masa kerja yang lebih lama. Spiritual leadership berdasar pada visi, kasih yang altruistik dan hope/faith menghasilkan sebuah peningkatan dalam perasaan spiritual (melalui panggilan dan menjadi bagian) dan akhirnya menghasilkan outcome organisasi yang positif yaitu meningkatnya komitmen organisasi. Penerapan Spiritual Leadership dapat menumbuhkan perasaan individu perawat menjadi lebih bermakna dan memiliki perasaan sense of belonging yang tinggi, sehingga disarankan untuk dijaga kelangsungannya untuk lebih mendekatkan nilai individual dengan rumah sakit, agar dapat menurunkan resiko turn over dan meningkatnya kinerja perawat di masa mendatang. Kata Kunci: Komitmen organisasi, Kepuasan kerja dan Spiritual Leadership.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
ABSTRACT
Name : Nurfika Asmaningrum Study Program : Master of Nursing Science Title : The influence of Spiritual Leadership’s effects on nurse’s
organizational commitment in Surabaya Islamic Hospital
Nurse’s commitment and loyalty are important things in the health care sectors, to develop good work performance and productivity. Building the organizational commitment plays the important role with respected the organizational determinant such as personal characteristics, and job satisfaction. Human resources management in Surabaya Islamic hospital that related nurse retention still focused in extrinsic efforts. In the future need comprehensive management to stimulate nurse intrinsic motivation to be more committed. This research to investigate the influence of spiritual Leadership effects on nurse’s organizational commitment in Surabaya Islamic Hospitals based on the control group with pre and post test design. The subjects are 82 nurses that originate from intervention and control group in Surabaya Islamic Hospitals nursing care wards. Instruments are used in order to examine organizational commitment is measured by using adaptations Psychological Attachment Instrument which is presented by O’Reilly dan Chatman. Another instrument used job satisfaction questionnaire that develop by researcher. Spiritual leadership is gained to develop organizational commitment based on integration of altruistic love and organizational culture. Data analysis used mean t-test also liniary multiple regression. The result showed that there was significant differences after practiced spiritual leadership and before practiced (p value=0.000). There was significant differences between nurse’s organizational commitment that practiced spiritual leadership and no practiced (p value=0.005). The factors used to predict increases nurses organizational commitment in research showed that spiritual leadership, female gender, married status, increases age also long nurse’s tenure. Spiritual leadership based on vision, altruistic love, hope/ faith will be stimulate spiritual survival with could to develop nurse calling and membership, and then driver organizational commitment. Sustainaibility implementation spiritual leadership must be continue and develop. Hospital management must to socialize spiritual corporate culture also organizational philosophy for all staff organization, to be more closed their individual values with organizational, so it can reduce turn over and increases nurse performance in next year. . Keywords: Organizational commitment, Job satisfaction and Spiritual Leadership.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vi ABSTRAK ......................................................................................................... vii DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................. . xi DAFTAR SKEMA ............................................................................................ . xii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... .xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 . Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 . Rumusan Masalah ........................................................................... 9 1.3 . Tujuan Penelitian ............................................................................ 11 1.4 . Manfaat Penelitian .......................................................................... 11
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komitmen Organisasi...................................................................... 13 2.2 . Kepuasan kerja ................................................................................ 26 2.3 . Spiritual Leadership........................................................................ 32
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 . Kerangka teori................................................................................. 52 3.2 . Kerangka Konsep ............................................................................ 55 3.3 . Hipotesis ......................................................................................... 57 3.4 . Definisi Operasional ....................................................................... 58
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 . Desain Penelitian ............................................................................ 61 4.2 . Populasi dan Sampel ....................................................................... 62 4.3 . Tempat dan waktu penelitian .......................................................... 66 4.4 . Etika Penelitian ............................................................................... 66 4.5 . Alat Pengumpulan Data .................................................................. 67 4.6 . Prosedur Pengumpulan Data ........................................................... 71 4.7 . Pengolahan Data............................................................................. 75 4.8 . Analisis Data ................................................................................... 75
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Proses pelaksanaan penelitian............................................................80 5.2 Karakteristik Perawat pelaksana........................................................82 5.3 Kepuasan Kerja perawat pelaksana.................................................. 86 5.4 Komitmen organisasi pada perawat...................................................87 BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Pengaruh Spiritual Laedership terhadap komitmen organisasi pada perawat ................................................................................... 104 6.2 Pengaruh kepuasan Kerja terhadap komitmen organisasi................ 114 6.3 Faktor yang berkontribusi terhadap komitmen organisasi............... 119 6.4 . Keterbatasan Penelitian 125 6.5 Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Keperawatan .......................... 125
BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN
7.2 Simpulan......................... ................................................................. 127 7.2 Saran.................................................................................................128
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 130
LAMPIRAN
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Sembilan Nilai Altruisme dalam teori Spiritual Leadership 38 Tabel 2.2 Ringkasan Alur penerapan Spiritual Leadership 51 Tabel 3.1 Definisi Operasional 58 Tabel 4.1 Jumlah Sampel dan fasilitator kelompok intervensi 65 Tabel 4.2 Tabel 4.3
Jumlah Sampel dan fasilitator kelompok kontrol Hasil validitas dan reliabilitas instrumen penelitian
65 70
Tabel 4.3 Analisa Bivariat variabel penelitian 73 Tabel 5.1 Karakteristik jenis kelamin, tingkat pendidikan, status
perkawinan, dan status pegawai kelompok intervensi dan kontrol di RS. Islam Surabaya
83
Tabel 5.2 Analisis umur dan masa kerja pada kelompok intervensi dan kontrol di RS. Islam Surabaya
84
Tabel 5.3 Kesetaraan karakteristik perawat di RS.Islam Surabaya 85 Tabel 5.4 Kesetaraan karakteristik umur dan masa kerja pada perawat di
RS.Islam Surabaya 86
Tabel 5.5 Komitmen organisasi sebelum diterapkan Spiritual Leadership pada kelompok intervensi dan kontrol di RS. Islam Surabaya
87
Tabel 5.6 Kesetaraan kepuasan kerja pada perawat kelompok intervensi dan kontrol di RS. Islam Surabaya
88
Tabel 5.7 Tabel 5.8
Dimensi komitmen organisasi sebelum diterapkan Spiritual Leadership pada kelompok intervensi dan kontrol di RS. Islam Surabaya Kesetaraan komitmen organisasi pada perawat kelompok intervensi dan kontrol di RS. Islam Surabaya
90
91
Tabel 5.9 Tabel 5.10
Komitmen organisasi sesudah diterapkan Spiritual leadership pada kelompok intervensi dan kontrol di RS. Islam Surabaya Perbedaaan komitmen organisasi sebelum dan sesudah penerapan Spiritual Leadership Perbedaan komitmen organisasi sebelum dan sesudah penerapan Spiritual Leadership
93
94
Tabel 5.11 Perbedaaan komitmen organisasi sesudah penerapan Spiritual Leadership pada kelompok intervensi dan kontrol di RS. Islam Surabaya
95
Tabel 5.12 Pengaruh kepuasan kerja dengan komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya
92
Tabel 5.13 Hubungan karakteristik jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan dengan komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya
96
Tabel 5.14 Hubungan karakteristik umur dan masa kerja dengan komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya
97
Tabel 5.15 Seleksi bivariat variabel 98 Tabel 5.16 Analisis regresi komitmen organisasi pada perawat 99 Tabel 5.17 Pemodelan akhir regresi linier berganda 100 Tabel 5.18 Persamaan garis regresi linier 101 Tabel 5.19
Hasil uji asumsi persamaan garis regresi linier 103
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 2.1 Variabel Spiritual leadership………………………..…………….35
Skema 2.2 Mekanisme implementasi Spiritual leadership.…………………...41
Skema 3.1 Kerangka Teori Penelitian…………………………………………54
Skema 3.2 Kerangka Konsep penelitian……………………………………….56
Skema 4.1 Rancangan Desain Penelitian……………………………………....61
Skema 4.2 Kerangka Kerja Penelitian………………………………………....74
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Matriks kegiatan Penelitian
Lampiran 2: Surat Pengantar penelitian
Lampiran 3: Surat jawaban Penelitian
Lampiran 4: Surat keterangan Lolos Kajian Etik
Lampiran 5: Kisi - kisi instrumen
Lampiran 6: Informed consent penelitian
Lampiran 7: Kuesioner Penelitian
Lampiran 8: Proposal pelatihan Spiritual Leadership
Lampiran 9: Modul Pedoman Penerapan Spiritual Leadership di Rumah Sakit
Lampiran10: Daftar Riwayat Hidup
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
1 Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan dunia perumahsakitan di Indonesia dewasa ini menunjukkan
suatu kecenderungan peningkatan kompetisi yang kian besar. Hal ini
menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi rumah sakit untuk segera
berbenah diri dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatannya. Agar
dapat berfungsi secara optimal rumah sakit sebagai organisasi pelayanan
kesehatan harus memiliki visi dan misi sebagai pedoman kegiatan,
penetapan strategi yang konkrit untuk mencapai tujuan, dan melakukan
penataaan terutama tata nilai yang dapat menciptakan suasana dan iklim
organisasi yang kondusif (WHO, 2003). Iklim organisasi yang kondusif
mutlak diperlukan oleh organisasi yang mencita citakan adanya
transformasi pada efektifitas dan efisiensi organisasi dalam mencapai
tujuan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Tujuan pelayanan kesehatan yang professional dan berkualitas di rumah
sakit, tentunya tidak terlepas dari hasil kerjasama seluruh komponen
sumber daya, khususnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada dalam
organisasi layanan rumah sakit tersebut. SDM keperawatan merupakan
proporsi terbesar dari tenaga kesehatan lain yang bertanggung jawab untuk
memberikan pelayanan keperawatan yang optimal dan berkualitas
terhadap klien secara berkesinambungan. Koesmono, (2007), menjelaskan
bahwa perawat rumah sakit, dituntut untuk memiliki kemauan dan
kemampuan untuk mengembangkan ketrampilan dan pengetahuannya
dalam usaha untuk memberikan pelayanan yang yang ramah, sopan, serta
berkualitas kepada pasien. Dengan demikian SDM keperawatan
merupakan salah satu asset dan komponen penting dalam pelayanan rumah
sakit yang memiliki kontribusi dalam menentukan baik tidaknya sebuah
citra rumah sakit.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
2
Universitas Indonesia
Keperawatan sebagai salah satu bagian dari SDM dirumah sakit berperan
penting dalam penyelenggaraan upaya menjaga mutu pelayanan kesehatan
dirumah sakit (Aditama, 2002). Dalam menghadapi era persaingan yang
kian kompetitif dewasa ini, tuntutan loyalitas bagi seorang perawat
menjadi hal yang penting dan diperlukan oleh rumah sakit untuk dapat
menampilkan kinerja dan produktivitas yang baik. Untuk bisa mencapai
tujuan, rumah sakit memerlukan para karyawan termasuk didalamnya
adalah perawat, yang memiliki komitmen tinggi. Pentingnya komitmen ini
menurut Gupta, (2007), merupakan ‘…jantung dari analisis Manajemen
Sumber Daya Manusia’. Oleh karena itu kebijakan dalam manajemen
SDM di rumah sakit menjadi sesuatu hal yang penting, terutama yang
berkaitan dengan penciptaan upaya dalam meningkatkan komitmen pada
karyawan, agar SDM keperawatan potensial yang dimiliki organisasi dapat
tetap bertahan dalamnya.
Komitmen secara harfiah diartikan sebagai sebuah level kedekatan pekerja
dengan beberapa aspek dalam pekerjaannya (Gupta, 2007). Komitmen ini
merupakan sebuah konsep penting yang merefleksikan adanya kealamian
dan kuatnya ikatan individu baik terhadap pekerjaan, karir maupun
organisasi tempat kerja. Menurut Salami (2008), salah satu faktor yang
mendukung terwujudnya iklim organisasi yang sehat, tingginya moral
pekerja, motivasi dan produktivitas adalah komitmen organisasi.
Keinginan yang kuat untuk bertahan dalam keanggotaan organisasi
menjadi salah satu indikator terbentuknya komitmen karyawan dalam
organisasi. Oleh karena itu komitmen organisasi sebagai salah satu bagian
penting dari komitmen karyawan, khususnya perawat akan menjadi fokus
utama dalam penelitian ini.
Komitmen organisasi adalah sebuah konstruksi global yang mencerminkan
respon afektif dan kekuatan relatif dari seorang individu akan identifikasi
dan keterlibatannya terhadap keseluruhan organisasi. Hal ini
dimanifestasikan dengan adanya kepercayaan (identifikasi) dan
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
3
Universitas Indonesia
penerimaan (internalisasi) yang kuat atas tujuan dan nilai nilai organisasi,
kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi
(keterlibatan kerja) dan keinginan yang kuat untuk mempertahankan
kedudukan sebagai anggota organisasi (Mowday, Porter, & Steers, 1982
dalam Morin, 2008). Respon afektif perawat ini merupakan respon awal
yang melatarbelakangi terbentuknya komitmen lanjutan perawat di sebuah
rumah sakit, sehingga dengan diketahuinya komitmen karyawan dapat
diperoleh suatu gambaran kesetiaan para anggota organisasi terhadap
organisasinya.
Sikap kerja berupa komitmen organisasi dikorelasikan dengan stabilitas
ketenagakerjaan (rendahnya tingkat keluarnya karyawan secara sukarela),
tingkat rajin tidaknya karyawan (rendahnya tingkat absensi karyawan),
kinerja, kualitas layanan pelanggan, dan perilaku organisasi (perilaku
profesional yang mengarah pada harapan dan terpenuhinya tugas yang
diberikan). Menurut Sopiah, (2008), komitmen organisasi ini dapat
digunakan sebagai indikator adanya tingkat rajin tidaknya individu dan
loyalitasnya terhadap organisasi. Komitmen yang tinggi akan terlihat dari
tingginya tingkat retensi karyawan, sehingga tidak mudah untuk
meninggalkan organisasi. Hal ini menunjukkan korelasi komitmen
organisasi dengan berbagai variabel kerja lainnya.
Hasil penelitian yang dilakukan Muliyadi (2008), menguraikan hubungan
komitmen pada organisasi dan lingkungan kerja perawat dengan kinerja
perawat pelaksana di RS. Tugu Ibu Jakarta. Hasil riset menunjukkan
bahwa ada hubungan antara komitmen organisasi dengan kinerja perawat.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dana, (2007), menunjukkan
adanya hubungan antara komitmen organisasi terhadap Organizational
Citizenship Behavior (OCB) di Poltekkes Banjarmasin. Oleh karena itu
agar dapat membentuk komitmen yang kuat, perlu diketahui faktor dan
determinan yang mempengaruhi terbentuknya komitmen organisasi
tersebut.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
4
Universitas Indonesia
Terbentuknya sebuah komitmen ditentukan oleh sejumlah faktor yang
tidak terjadi begitu saja, akan tetapi melalui proses yang cukup panjang
dan bertahap. Steers dan Porter dalam Sopiah, (2008), menjelaskan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu
faktor personal, faktor organisasi dan faktor non organisasional. Dari
ketiga faktor tersebut, faktor personal yang meliputi usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status marital, masa kerja dan status pegawai. Faktor
personal ini merupakan salah satu determinan penting yang mempengaruhi
komitmen organisasi ditempat kerjanya.
Berkaitan dengan faktor yang berasal dari dalam organisasi terdapat lima
faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasi yaitu budaya
keterbukaan, kepuasan kerja, kesempatan untuk berkembang, arah
organisasi dan penghargaan (Stum dalam Sopiah, 2008). Dari kelima
faktor organisasi diatas, kepuasan kerja merupakan sebuah variabel dan
determinan penting yang dapat mempengaruhi terbentuknya komitmen
organisasi. Pernyataan ini didukung dari hasil penelitian (Porter et al.,
1974; Price, 1977; Rose, 1991; Mannheim et al., 1997 dalam Morin 2008),
yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan determinan dan
prediktor yang signifikan terhadap komitmen organisasi. Dengan demikian
kepuasan kerja ini merupakan salah satu sikap kerja yang perlu
mendapatkan perhatian dari organisasi dalam upaya meningkatkan
komitmen organisasi.
Kepuasan kerja merupakan keadaan emosi yang senang atau emosi positif
yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
Luthans, (2006), menyebutkan lima dimensi kepuasan kerja yang
digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seseorang dalam organisasi
yang meliputi gaji, pekerjaan, kesempatan promosi, supervisi, serta rekan
kerja. Kepuasan kerja ini merupakan sikap yang penting dalam organisasi,
sebab berkaitan dengan tujuan manusia untuk merealisasikan dan
mengaktualisasikan potensi dirinya dalam pekerjaan (Locke, dalam
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
5
Universitas Indonesia
Luthans 2006). Kepuasan dengan apa yang diperoleh perawat dari
organisasi rumah sakit akan memberikan lebih dari yang diharapkan
sehingga perawat akan terus berusaha memperbaiki kinerja dan prestasi
kerjanya. Sebaliknya perawat yang kepuasan kerjanya rendah, cenderung
melihat pekerjaan sebagai hal yang membosankan, maka cenderung
mempengaruhi penurunan motivasi dan semangat kerjanya.
Hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dari hasil
penelitian (Meyer, Allen & Smith, 1993) menunjukkan adanya hubungan
positif antara kepuasan kerja dengan komitmen afektif dan normatif, dan
hubungan yang negatif dengan komitmen berkelanjutan. Hasil penelitian
lain menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan anteseden terjadinya
komitmen organisasi. Koslowsky (1991, dalam Brown & Gaylor. 2004),
menguraikan adanya hubungan yang kuat antara kepuasan kerja dengan
komitmen organisasi, namun bukan hubungan sebab akibat. Salami,
(2008) menjelaskan bahwa ‘…karyawan yang memiliki kepuasan kerja
tinggi akan lebih berkomitmen terhadap organisasi. Berdasarkan uraian
diatas, dapat diketahui bahwa komitmen organisasi ini penting sekali
untuk dimiliki oleh tiap komponen organisasi yang terlibat, dan sikap kerja
ini perlu dikelola dan ditingkatkan oleh organisasi rumah sakit.
Membangun komitmen (commitment building) bukanlah pekerjaan mudah,
dan merupakan pekerjaan besar yang harus dilakukan dengan kesabaran
dan kearifan (Subanegara, 2005). Berbagai cara dapat dilakukan untuk
meningkatkan komitmen organisasi, seperti yang diungkapkan Meyer dan
Allen (1997, dalam Payne, Huffman & Trembler 2002), yang menjelaskan
adanya The Want dan Need Factors yang berkontribusi terhadap
peningkatan terbentuknya komitmen organisasi karyawan. The Want
factors ini berkaitan dengan komitmen afektif dan normatif, yang mengacu
pada kedekatan emosional, identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi.
Sedangkan The Need factors berkaitan dengan komitmen berkelanjutan
dan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
6
Universitas Indonesia
organisasi. Dari kedua faktor tersebut upaya membangun komitmen
melalui kedekatan emosional mengacu pada The want factors akan
merangsang terbentuknya perasaan individu yang memiliki loyalitas yang
tinggi pada organisasi dan merasa menjadi bagian dari organisasi,
sehingga akan tetap melanjutkan keberadaannya dalam organisasi.
The want factors dalam implementasinya berprinsip pada adanya
dukungan dan keterbukaan serta pengakuan terhadap pentingnya individu
dan kompetensinya. Beberapa bentuk kegiatan yang dapat meningkatkan
prinsip tersebut adalah memberikan otonomi dalam mengambil keputusan,
pekerjaan yang menantang serta meningkatkan tanggungjawab. Salah satu
kegiatan yang dapat merangkum kedua hal tersebut melalui Leadership
training (Payne, Huffman & Trembler, 2002). Pada pendekatan ini
pegawai yang lebih senior mengajarkan cara menyampaikan dukungan,
keterbukaan, pengakuan terhadap pentingnya individu dan kompetensinya
pada pegawai yang lebih junior.
Berdasarkan kajian literatur yang ada, beberapa penelitian telah dilakukan
berkaitan dengan cara meningkatkan komitmen organisasi. Barcus, (2007)
menjelaskan tentang dampak pelatihan dan pengembangan pada karyawan
yang memiliki pengaruh kuat terhadap beberapa variabel pekerjaan seperti
kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan tingkat turn over. Brown,
(2003) dan Ekeland, (2005), menguraikan tentang hubungan yang positif
antara perilaku kepemimpinan berorientasi pada relasional (kepemimpinan
transformasional) terhadap komitmen afektif. Hasil penelitian ini
mendukung bahwa kepemimpinan merupakan pendekatan penting
terbentuknya komitmen organisasi khususnya komitmen afektif.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
komitmen organisasi (Subanegara, 2005). Tanpa adanya kepemimpinan
yang tepat dan pemberian motivasi dari atasan, maka komitmen yang
ditunjukkan oleh pegawai tidak dapat mendukung efektifitas sebuah
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
7
Universitas Indonesia
organisasi (Brown, 2003; Angle & Perry, dalam Ekeland, 2005). Fry,
(2005), menjelaskan salah satu hal yang berkaitan dengan efektifitas
sebuah kepemimpinan ditempat kerja, tidak terlepas dari sebuah nilai nilai
spiritual. Oleh karena itu merupakan sebuah hal yang penting untuk
menanamkan nilai moral spiritual pada seluruh karyawan. Kepuasan
terkait dengan terpenuhinya kebutuhan spiritual ditempat kerja akan
memberikan pengaruh yang positif pada kesehatan manusiawi dan
psikologis serta dapat dijadikan sebuah pondasi penerapan Spiritual
Leadership.
Spiritual leadership merupakan sebuah paradigma baru dalam
transformasi dan perkembangan organisasi yang didesain untuk
mendorong terciptanya motivasi internal dan organisasi pembelajar (Fry,
2005; Fry & Whittington, 2005). Pada awal teori spiritual leadership ini
dikembangkan dengan menggunakan sebuah model motivasi intrinsik
yang menggabungkan adanya visi, harapan/ keyakinan, dan altruistic love.
Nilai nilai terakomodir melalui perasaan bermakna (calling) dan menjadi
bagian (membership) pada organisasi. Dampak yang diharapkan adalah
terciptanya rasa spiritual pada pemimpin maupun pengikut serta
terwujudnya kesejahteraan spiritual pada tingkatan individual, yang
dicapai melalui terciptanya kongruensi nilai yang strategis, dan
pemberdayaan tim. Penerapan Spiritual Leadership akan menginspirasi
dan memotivasi pekerja dalam mencapai visi dan tujuan organisasi yang
didasarkan pada nilai nilai budaya organisasi, yang pada akhirnya akan
dapat menghasilkan tenaga kerja yang memiliki motivasi, komitmen dan
produktif.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Koesmono, (2005) yang dilakukan di
rumah sakit swasta Surabaya, menunjukkan bahwa kepemimpinan
berpengaruh terhadap komitmen organisasi perawat. Sedangkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Fry dan Cohen, (2008), dengan Spiritual
Leadershi akan dapat membantu berkembangnya nilai kemanusiaan yang
positif, psikologis dan keadaan spiritual yang bermuara pada tercapainya
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
8
Universitas Indonesia
komitmen organisasi, produktivitas dan kinerja organisasi yang
menyeluruh.
Uraian diatas menunjukkan adanya pengaruh yang cukup bermakna
tentang pentingnya spiritual leadership dalam meningkatkan komitmen
organisasi, oleh karena itu metode ini perlu dikaji lebih mendalam dan
perlu dikembangkan melalui proses riset yang berkelanjutan. Penelitian
tentang penerapan Spiritual Leadership akan dilaksanakan di RS. Islam
Surabaya, sebagai salah satu rumah sakit yang memiliki keunikan dan
karakter khusus yang bernuansa nilai islami yang tercermin dalam budaya
sehari-harinya.
RS. Islam Surabaya merupakan sebuah rumah sakit swasta tipe C, yang
memiliki visi dalam mewujudkan RSI yang dapat dibanggakan dalam
menjawab tantangan globalisasi. RS. Islam Surabaya ini memiliki
kapasitas tempat tidur sejumlah 132, dan Bed Occupancy Rate (BOR) rata
rata 45.59% pada tahun 2008. RS ini memiliki jumlah tenaga keperawatan
sebesar 35.1% dari seluruh tenaga kesehatan yang ada. Jumlah tersebut
didominasi tenaga DIII keperawatan sebesar 47.8%, SPK 39.6% dan
selebihnya adalah tenaga S1 Keperawatan sebesar 12.61 (SDM RS.Islam
Surabaya, 2009). Hasil ini menunjukkan bahwa tenaga keperawatan
merupakan SDM dengan proporsi terbesar yang dimiliki oleh rumah sakit.
Berdasarkan hasil studi awal penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada
bulan Maret 2009, dengan penyebaran kuesioner pada 5 orang perawat
tentang kepuasan kerja, didapatkan hasil bahwa 3 orang perawat merasa
kurang puas terhadap aspek gaji, supervisi, hubungan dengan rekan kerja.
Sedangkan 4 orang perawat merasa kurang puas terhadap supervisi yang
dilakukan di RS. Islam A.Yani, dan hanya 1 orang perawat yang merasa
puas terhadap aspek pekerjaan. Hasil wawancara pada perawat tersebut,
sebagian besar mengatakan rasa bosan terhadap rutinitas pekerjaan yang
dilakukan sehari hari, hasil ini menunjukkan masih terdapat perawat dalam
rumah sakit yang memiliki kepuasan kerja yang rendah.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
9
Universitas Indonesia
Hasil kajian melalui wawancara pada pihak manajemen RS. Islam
Surabaya, dapat diketahui bahwa manajemen SDM keperawatan yang saat
ini dilakukan, masih terbatas pada pemenuhan hak (gaji, insentif) yang
diberikan sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan perawat,
kesempatan dalam melaksanakan pendidikan berkelanjutan dengan
prasyarat tertentu. Berdasarkan hasil studi lanjutan menunjukkan adanya
dan data Turn Over pada tahun 2008 adalah 6.6%, dan triwulan 2009
adalah 3.6%. Data ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
tingkat pergantian perawat yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan hasil observasi didapatkan adanya perawat di beberapa ruang
yang datang terlambat di saat jadwal shift kerjanya, sehingga pada saat
operan seringkali tim tenaga keperawatan tidak lengkap, dan jadwal
operan tertunda dalam beberapa waktu kemudian. Dari hasil observasi
lanjutan, diketahui bahwa keterlambatan kerja ini dianggap sebuah hal
yang biasa, oleh karenanya perawat yang terlambat tidak mendapatkan
teguran dan arahan secara khusus dari manajer ruangan.
Berkaitan dengan fenomena diatas menunjukkan adanya gejala faktor
penurunan motivasi perawat untuk terlibat secara penuh dalam
pekerjaannya, dan adanya gejala kurang efektifnya kepemimpinan kepala
ruang dalam mempengaruhi dan memotivasi serta mengarahkan perawat
pelaksana untuk tidak terlambat di tempat kerja. Oleh karena itu perlu
suatu upaya tindakan perbaikan dari organisasi untuk meningkatkan
motivasi, dan menginspirasi perawat untuk lebih memiliki komitmen dan
produktif terhadap organisasi rumah sakit.
2.1 Rumusan Masalah
Manajemen Sumber Daya Manusia yang berkaitan dengan upaya retensi
perawat yang ada di RS. Islam Surabaya saat ini terbatas dalam melakukan
upaya meningkatkan motivasi ekstrinsik. Oleh karena itu diperlukan pula
suatu upaya manajemen yang lebih komprehensif dalam menstimulus
timbulnya motivasi secara intrinsik pada perawat.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
10
Universitas Indonesia
Kepemimpinan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
komitmen organisasi perlu mendapatkan perhatian dan upaya
meningkatkan efektifitasnya dalam menjalankan fungsi manajemen di
ruangan rawat inap untuk dapat meningkatkan sikap kerja perawat baik
motivasi, kepuasan kerja, yang akan bermuara pada terbentuknya
komitmen organisasi yang tinggi. Kebutuhan individual seorang perawat ditempat kerja yang terpenuhi dengan baik cenderung memenuhi kepuasan kerja yang tinggi dan berdampak pada komitmen yang baik terhadap rumah sakit guna mempertahankan kinerja organisasi secara positif. Permasalahan yang ditemukan pada kajian awal di RS. Islam Surabaya,
seperti halnya latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Resiko penurunan komitmen organisasi perawat di RS. Islam Surabaya
yang ditandai dengan adanya respon ketidakpuasan perawat dalam
beberapa aspek pekerjaan, yang bergejala terhadap menurunnya
motivasi kerja perawat dalam keterlibatan pekerjaan.
2. Resiko tidak efektifnya kepemimpinan manajer ruangan di RS. Islam
Surabaya yang ditandai dengan kurang efektifnya fungsi pengarahan,
dan supervisi terhadap perawat pelaksana.
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka perlu suatu upaya dalam meningkatkan komitmen afektif perawat di RS.Islam Surabaya melalui optimalisasi potensi nilai budaya yang dipandang memiliki cerminan karakteristik khas budaya islami dalam aktivitas sehari harinya. Hal ini dapat terakomodir melalui bentuk penerapan Spiritual leadership.
Pertanyaan penelitian yang relevan dan penting untuk dijawab dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Apakah penerapan spiritual leadership dapat meningkatkan komitmen
organisasi perawat terhadap rumah sakit?
2. Apakah ada perbedaan komitmen organisasi perawat pada kelompok
kepuasan kerja tinggi dan kepuasan kerja rendah?
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
11
Universitas Indonesia
3. Adakah hubungan karakteristik personal perawat dengan komitmen
organisasi perawat di RS Islam Surabaya?
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan umum
Mengetahui pengaruh penerapan Spiritual Leadership terhadap
komitmen organisasi pada perawat di RS Islam Surabaya.
1.2.2 Tujuan khusus
1.2.2.1 Diketahuinya karakteristik perawat di RS. Islam Surabaya
1.2.2.2 Diketahuinya kepuasan kerja perawat di RS. Islam
Surabaya
1.2.2.3 Diketahuinya komitmen organisasi (identifikasi,
internalisasi, keterlibatan kerja dan keinginan bertahan
dalam organisasi) pada perawat di RS. Islam Surabaya
1.2.2.4 Diketahuinya perbedaan komitmen organisasi antara
perawat yang diterapkan dengan yang tidak diterapkan
Spiritual leadership di RS. Islam Surabaya.
1.2.2.5 Diketahuinya perbedaan komitmen organisasi antara
perawat dengan kepuasan kerja tinggi dan rendah di RS.
Islam Surabaya
1.2.2.6 Diketahuinya faktor yang berkontribusi terhadap komitmen
organisasi pada perawat di RS.Islam Surabaya
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Manfaat Aplikatif
1.3.1.1 Sebagai kajian awal terhadap pentingnya penerapan
Spiritual Leadership bagi perawat di rumah sakit, sehingga
dapat dicapai sebuah metode yang dapat digunakan dalam
upaya meningkatkan motivasi internal perawat, dan
dampaknya terhadap komitmen perawat pada organisasi
rumah sakit.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
12
Universitas Indonesia
1.3.1.2 Sebagai masukan terhadap manajemen RS, tentang
pentingnya penciptaan iklim organisasi yang baik, sehingga
dapat dijadikan bahan evaluasi dalam meningkatkan retensi
karyawan. Selain itu dapat menjadi dasar pentingnya
sosialisasi internal nilai budaya organisasi pada seluruh
anggota organisasi rumah sakit
1.3.1.3 Memberi masukan pada perawat tentang upaya dalam
meningkatkan pembinaan diri dan motivasi internal yang
dapat dijadikan bahan evaluasi bagi peningkatan kinerja
dan produktifitas kerja.
1.3.2 Manfaat Akademik dan keilmuan
1.3.2.1 Berkontribusi dalam pengembangan bidang ilmu
pengetahuan khususnya ilmu manajemen sumber daya
manusia keperawatan, perilaku organisasi, dan psikologi
yang terintegrasi secara komprehensif dalam
pengembangan ilmu keperawatan.
1.3.2.2 Sebagai kajian awal bagi pengembangan konsep yang
terkait dengan aplikasi Spiritual leadership dalam
organisasi pelayanan kesehatan, dan sekaligus sebagai
pengenalan metode yang komprehensip dalam
meningkatkan komitmen dan kinerja organisasi.
1.3.3 Manfaat Metodologis
Sebagai data kajian awal tentang upaya retensi karyawan yang
dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan terutama
bagi pihak yayasan dan manajemen SDM oleh rumah sakit.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
13
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan tentang konsep Komitmen organisasi, kepuasan
kerja dan Spiritual leadership serta integrasi komitmen organisasi dengan
Spiritual leadership.
2.1 Konsep Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi merupakan sebuah variabel penting dalam perilaku
organisasi, karena pengaruhnya terhadap beberapa sikap dan perilaku
karyawan terhadap pekerjaannya. Komitmen individu karyawan terdiri
dari komitmen pekerjaan, komitmen karir maupun komitmen organisasi
(Gupta, 2007). Sebagai salah satu subset komitmen menyeluruh karyawan
yang penting, komitmen organisasi secara rinci akan diuraikan sebagai
berikut:
2.1.1 Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi ini merupakan sebuah konsep yang
multidimensional, yang dapat dipandang dari 3 aspek pendekatan,
yaitu psikologis, atribusi, maupun pertukaran (Buchanan, 1974;
Mowday, Porter & Steers, 1982; dan Reichers, 1985). Pendekatan
dimensi pertukaran (Exchange) memandang komitmen sebagai
sebuah keluaran transaksi keterlibatan dan kontribusi antara
organisasi dan anggotanya. Pendekatan atribusi memandang
komitmen sebagai sebuah ikatan individu terhadap perilaku dan
tindakannya yang terjadi ketika individu mengatribusikan sikap
dan komitmennya pada organisasi. Sedangkan pendekatan
psikologis merupakan sebuah sikap yang bersifat aktif dan positif
dari anggota organisasi terhadap organisasi yang menghubungkan
atau kedekatan emosional seseorang terhadap organisasi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
14
Universitas Indonesia
Dari ketiga pendekatan diatas, pendekatan secara psikologis
merupakan sebuah pendekatan mendasar dan relevan dengan
perkembangan organisasi dimasa kini.
Komitmen organisasi dalam penelitian ini lebih menekankan pada
pendekatan psikologis, yaitu merupakan suatu ikatan psikologis yang
menunjukkan adanya keterikatan karyawan dengan organisasi, dengan
segala implikasinya untuk mempertahankan keanggotaan dalam
organisasi. (O’Reilly & Chatman 1986; Coopey & Harley, 1991; Allen
& Meyer, 1997). Keadaan psikologis tersebut dalam organisasi pada
hakikatnya merupakan sebuah respon afektif individu, yang muncul
bukan hanya bersifat loyalitas pasif, tetapi juga melibatkan hubungan
yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan
segala usaha demi keberhasilan organisasi yang bersangkutan (Steers,
dan Porter (1983, dalam Sopiah, 2008).
Komitmen afektif merupakan salah satu dimensi dari 3 (tiga) bentuk
komitmen organisasi selain komitmen normatif (Allen & Meyer, 1997)
dan komitmen berkelanjutan (Kanter 1986; Allen & Meyer, 1997).
Komitmen afektif (Affective commitment) adalah keterikatan
emosional karyawan, identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi.
Komitmen ini merupakan kedekatan psikologis pada organisasi.
Karyawan yang memiliki komitmen afektif dengan kuat akan tetap
bertahan dalam organisasi karena ‘they want to’.
Beberapa ahli mendefinisikan komitmen afektif sebagai kekuatan
relatif dari seorang individu akan identifikasi dan keterlibatannya
terhadap keseluruhan organisasi yang dikarakteristikkan kedalam tiga
faktor yang merefleksikan sikap maupun perilaku yang
dimanifestasikan dengan adanya kepercayaan (identifikasi) dan
penerimaan (internalisasi) yang kuat atas tujuan dan nilai nilai
organisasi, kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
15
Universitas Indonesia
organisasi (keterlibatan kerja) dan keinginan yang kuat untuk
mempertahankan kedudukan sebagai anggota organisasi (Boulian,
1974; Steers; 1977; Mowday, et al; 1979; Mowday, Porter & Steers,
1982; O’Reilly & Chatman 1986; Mullins, 1990; Allen & Meyer,
1991; Mathis & Jackson, 2000; dan Luthans, 2006). Definisi diatas
lebih lanjut menjelaskan bahwa komitmen afektif merupakan ikatan
psikologis individu terhadap organisasi terdiri dari beberapa hal
penting yakni:
2.1.1.1 Identifikasi merupakan adanya rasa kepercayaan yang kuat
karyawan terhadap tujuan dan nilai organisasi. Hal ini
disebabkan karena adanya keyakinan bahwa nilai organisasi
memiliki kemiripan dengan nilai yang dianut individu, serta
menunjukkan adanya keinginan untuk berafiliasi. Hal ini
merupakan sebuah mekanisme yang penting dalam proses
mengembangkan kedekatan psikologi (O’Reilly &
Chatman 1986; Newstroom, 1989; Hunt & Morgan, 1994;
Steers & Black, 1994; Mathis & Jackson, 2000, dan Sopiah,
2008).
2.1.1.2 Intemalisasi merupakan sebuah penerimaan, proses adopsi
visi dan misi serta tujuan organisasi kedalam visi individu,
sehingga pada akhirnya individu akan merasakan
kebanggaan, kesetiaan, loyalitas dan keberpihakan tehadap
organisasi dan tujuannya (O’Reilly & Chatman 1986;
Newstroom, 1989; Lincoln, 1989; Hunt & Morgan, 1994;
Blau & Boal dalam Knoop, 2005; Fletcher, 1998).
2.1.1.3 Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan
sebagai anggota organisasi. Adanya keinginan serta
dambaan pribadi karyawan untuk tetap menjadi anggota
organisasi ini, diwujudkan dengan kesediaan melakukan
usaha yang tinggi demi pencapaian tujuan organisasi
(Mowday, 1982; Bathaw & Grant, 1994; Hunt & Morgan,
1994; Arnold, et.al., 1995; Sopiah, 2008).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
16
Universitas Indonesia
2.1.1.4 Keterlibatan kerja (job involvement) adalah tingkatan
kesediaan bekerja karyawan dalam organisasi (Robinson,
1969 dalam Istijanto, 2008). Sikap ini merupakan upaya,
kemauan, kesediaan, keasadaran untuk berusaha kerja keras
sebaik mungkin sesuai keinginan organisasi dalam
pekerjaan. Seseorang yang berkeinginan bekerja keras
dikatakan memiliki keterlibatan kerja yang tinggi, dan
sebaliknya. Karyawan dengan keterlibatan kerja tinggi
memberikan usaha usaha terbaik dalam pekerjaannya,
termasuk memberikan lebih banyak daripada yang
diisyaratkan, dan selalu memikirkan cara cara terbaik untuk
bekerja. Hal ini dilakukan tidak semata mata untuk
mendapatkan extrinsic rewards namun untuk dapat
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi (Mowday,
1982; Steers, 1983; O’Reilly & Chatman 1986; Steers &
Black, 1994; Arnold, et.al., 1995; Istijanto, 2008).
Lebih lanjut dikatakan bahwa proses identifikasi, internalisasi,
keinginan bertahan dan keterlibatan dalam pekerjaan merupakan
bentuk loyalitas karyawan terhadap organisasi. menurut Mowday,
Porter & Steers (1979, dalam Sopiah 2008), menjelaskan bahwa
karyawan yang memiliki loyalitas tinggi akan bersedia bekerja
melebihi kondisi biasa, bangga untuk menceriterakan organisasi pada
orang lain, merasa ada kesamaan nilai dengan organisasi, merasa
terinspirasi, bersedia menerima menerima berbagai tugas serta
memperhatikan nasib organisasi secara menyeluruh.
Sedangkan dua bentuk komitmen yang lain yaitu komitmen normatif
yang merupakan perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi
karena tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan.
Sopiah, (2008) menambahkan bahwa komitmen ini terbentuk dari nilai
nilai personal dan perasaan kewajiban karyawan. Komitmen ini timbul
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
17
Universitas Indonesia
dalam diri karyawan untuk tetap bertahan dalam organisasi karena
adanya kesadaran bahwa komitmen organisasi merupakan hal yang
seharusnya dilakukan. Komitmen berkelanjutan merupakan komitmen
berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya
jika ia meninggalkan organisasi. Seorang karyawan akan tetap
bertahan dalam organisasi karena banyaknya biaya dan kerugian yang
ditanggung akan lebih besar jika meninggalkan tempat kerja. Dari
ketiga dimensi/ bentuk tersebut selanjutnya Allen dan Meyer (1997)
mengelompokkan menjadi dua komponen utama komitmen organisasi
yaitu:
The Want factors, faktor ini lebih memfokuskan pada bentuk
komitmen afektif dan normatif. Lebih lanjut lagi faktor ini mengacu
pada kedekatan emosional, identifikasi dan keterlibatan individu dalam
organisasi. Hal ini merefleksikan sebuah persetujuan dan keinginan
untuk bekerja sesuai nilai dan tujuan organisasi. Individu yang
memiliki tingkat identifikasi yang tinggi dengan organisasi akan
merasa menjadi bagian dari organisasi tersebut. Sebagai hasilnya
individu akan bertahan dalam organisasi karena ‘ingin’ (Tziner, 1983
dalam Payne, Huffman & Tremble. 2002).
The Need factor, mengacu pada sebuah kesadaran yang berkaitan
dengan kerugian ketika meninggalkan organisasi yang mengarah pada
perasaan kedekatan dengan organisasi. Individu dengan tingkatan the
need factor yang tinggi akan mempertaruhkan bebrapa aspek
kehidupannya untuk tetap melanjutkan keanggotaan dalam organisasi
(Reichers, 1985 dalam Payne, Huffman &Tremble. 2002). Sebagai
hasilnya karyawan akan tetap mempertahankan keanggotaan karena
‘membutuhkan’.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
18
Universitas Indonesia
2.1.2 Faktor faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya
komitmen organisasi, namun secara umum faktor faktor tersebut
bisa dikelompokkan kedalam 3 kategori faktor yaitu faktor
personal, organisasi dan non organisasi (Steers & Porter, 1979;
Nortcraft & Neale, 1996; Sopiah, 2008). Berikut akan dijelaskan
secara jelas faktor yang termasuk kedalamnya :
2.1.2.1 Faktor personal
Faktor personal meliputi ekspektasi terhadap pekerjaan,
kontrak psikologis, faktor pilihan pekerjaan, keinginan
berprestasi dan karakteristik personal. Karakteristik
personal merupakan variabel informasi demografi yang
meliputi jenis kelamin, suku, usia, gaji, status perkawinan,
tingkat pendidikan, dan riwayat pekerjaan, status pegawai
dalam organisasi, dan tanggung jawab keluarga. (Steers,
1977; Steers & Porter, 1979; David; Mowday, Porter &
Steers, 1982; Matthieu&Zajac, 1990; Stum, 2005; Sopiah,
2008). Dari berbagai faktor tersebut, variabel demografi
banyak mendapatkan perhatian yang luas, karena dianggap
sebagai anteseden yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap komitmen organisasi (Dodd-McCue & Wright,
1996; Morrow, 1993; Mannheim et.al., 1997; Wiedmer,
2006). Berikut variabel demografi tersebut akan diuraikan
lebih jelas seperti berikut ini:
a. Usia
Usia merupakan salah satu faktor personal yang
kemungkinan besar memiliki hubungan dengan
komitmen organisasi (Steers, 1977; Mowday, et al.,
1982; Subanegara, 2005). Semakin tua usia maka akan
makin kecil kemungkinan berhenti dari pekerjaan,
dengan makin tuanya para pekerja, makin sedikit
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
19
Universitas Indonesia
kesempatan tersedianya alternatif pekerjaan (Robbins,
2003). Rendahnya kemungkinan berhenti dari pekerjaan
(turnover) pada usia yang lebih tua merupakan salah
satu indikator dari adanya komitmen karyawan yang
cukup kuat terhadap organisasi.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor demografi
yang berhubungan dengan komitmen (Robbins, 2003).
Hasil beberapa studi psikologis menemukan bahwa
wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang.
Sedangkan jika variabel jenis kelamin dihubungkan
dengan tingkat kemangkiran dan keluar masuknya
karyawan, beberapa hasil menemukan bahwa wanita
mempunyai tingkat keluar masuk yang lebih tinggi
dibandingkan pria. Namun studi lain menemukan tidak
adanya perbedaan yang bermakna.
c. Status perkawinan
Tidak banyak studi untuk menarik kesimpulan
mengenai dampak status perkawinan terhadap beberapa
variabel sikap kerja karyawan. Robbins (2003),
menjelaskan beberapa hasil riset secara konsisten
menunjukkan bahwa karyawan yang menikah lebih
sedikit absensi, mengalami pergantian yang lebih
rendah, dan lebih puas terhadap pekerjaan,
dibandingkan dengan rekan kerja yang melajang.
d. Masa kerja
Masa kerja merupakan pengalaman kerja karyawan,
yang meliputi lama waktu bekerja. (David, dalam
Sopiah 2008). Variabel ini penting dalam menjelaskan
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
20
Universitas Indonesia
tingkat keluar masuknya karyawan. Secara konsisten
ditemukan bahwa masa kerja berhubungan secara
negatif dengan tingkat keluar masuknya karyawan
dimasa yang mendatang. Hal ini disebabkan adanya
masa kerja yang lebih panjang kecenderungan
mendapatkan tingkat upah yang lebih baik, sehingga
akan mempunyai komitmen yang lebih tinggi (Robbins,
2003).
e. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi komitmen (Steers, 1977;
Mowday, et al., 1982 dalam Morin, 2008). Hal ini
disebabkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
menunjukkan tingkat aktualisasi yang lebih dibanding
tingkat pendidikan yang lebih rendah.
f. Status pegawai
Status kepegawaian merupakan salah satu faktor yang
dapat berpengaruh secara signifikan pada tingkat
komitmen dan keluar masuk karyawan (Santos&Not
land, 2006). Hal ini disebabkan bahwa status pegawai
tetap, biasanya didapatkan setelah masa kerja yang
cukup. sehingga akan lebih mendekatkan pada
organisasi, disamping adanya tingkat kesejahteraan
yang lebih baik dibandingkan yang status pegawai non
tetap.
2.1.2.2 Faktor Organisasi
Merupakan sejumlah faktor yang mempengaruhi komitmen
karyawan yang berasal dari dalam organisasi, yang meliputi: a)
karakteristik pekerjaan misalnya ruang lingkup pekerjaan,
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
21
Universitas Indonesia
tantangan, kesulitan, status peran, tingkat pekerjaan, konflik dan
kebingungan peran, tingkat otonomi dan jam kerja; b) karakteristik
struktur yang meliputi supervisi, dan konsistensi tujuan organisasi;
c) variabel karakteristik dan dan faktor struktural yang meliputi
keterlibatan secara social, personal importance dan formalisasi
(David dalam Minner, 1997; Smeenk, et all. 2006). Selain itu
menurut Stum, (1998) terdapat 5 faktor lain yaitu budaya
keterbukaan, kepuasan kerja, kesempatan personal untuk
berkembang, arah organisasi, dan penghargaan kerja yang sesuai
dengan kebutuhan. Selanjutnya Subanegara, (2005) menjelaskan
faktor iklim organisasi dan kepemimpinan yang dapat
mempengaruhi komitmen organisasi karyawan.
Diantara berbagai faktor yang berasal dari organisasi tersebut,
kepuasan kerja merupakan faktor anteseden dan determinan
signifikan terhadap komitmen organisasi (Porter, et al 1974;
Mottaz, 1987; Williams & Anderson, 1991; Vanderberg & lance,
1992; Knoop, 1995; Mannheim et al., 1997; Young et al, 1998;
Testa, 2001 dalam Yew, 2007). Oleh karenanya faktor ini penting
untuk diteliti hubungan dengan komitmen organisasi perawat, dan
akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab tersendiri setelah
konsep komitmen organisasi.
2.1.2.3 Faktor Non Organisasi
Faktor non organisasi yang merupakan faktor yang berasal dari
luar organisasi, antara lain adanya ketersediaan alternative
pekerjaan lainnya. Ada dan lebih baiknya pekerjaan ditempat lain,
tentu karyawan akan meninggalkannya (Mowday, Porter & Steers,
1982 dalam Sopiah, 2008). Faktor yang berasal dari luar organisasi
ini merupakan faktor yang relatif sulit untuk dikontrol oleh pihak
organisasi, sehingga tidak diukur kedalam variabel penelitian ini.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
22
Universitas Indonesia
2.1.3 Cara meningkatkan komitmen organisasi
Membangun komitmen (commitment building) bukanlah pekerjaan
mudah, oleh karenanya merupakan pekerjaan besar yang harus
dilakukan dengan penuh kesabaran dan kearifan. Hal yang utama adalah
komitmen merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan
jantung sebuah organisasi, serta berusaha mentransformasikan pada
level yang lebih rendah secara bertahap (Subanegara, 2005). Berikut
merupakan beberapa pedoman khusus untuk mengimplementasikan
sistem manajemen yang mungkin dapat membantu memecahkan
masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan.
Payne, Huffman, dan Trembler (2002), berdasarkan hasil risetnya
menyampaikan beberapa rekomendasi cara untuk dapat meningkatkan
komitmen organisasi dengan harapan bahwa tingkatan komitmen yang
tinggi pada gilirannya akan menimbulkan niatan untuk bertahan pada
organisasi yang pada akhirnya menunjukkan adanya tingkatan retensi
karyawan yang tinggi pula. Beberapa prinsip rekomendasi berikut ini
didasarkan pada Meyer dan Allen (1997), mengidentifikasi beberapa
cara khususnya untuk meningkatkan komitmen afektif dan normatif (the
want factor), yang meliputi empat prinsip utama yaitu memberikan
dukungan dan keterbukaan, memberikan pengakuan tentang pentingnya
personal dan kompetensinya. Kesemua prinsip tersebut dinyatakan
dalam berbagai bentuk antara lain :
a. Meningkatkan persepsi karyawan tentang keterbukaan organisasi
Upaya meningkatkan persepsi tentang pentingnya keterbukaan
antara lain dengan menjamin keadilan organisasi melalui
pemberlakuan aturan tertulis, komunikasi, peran, kebijakan dan
prosedur yang jelas dan terbuka (Amstrong, 1999; Chungthai &
Zafar, 2006; Dessler 1992 dalam Luthans, 2006). Hal ini salah
satunya dengan memiliki prosedur penyampaian keluhan yang
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
23
Universitas Indonesia
komprehensip, menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif.
memperjelas dan mengkomunikasikan misi yang ada.
b. Meningkatkan persepsi karyawan tentang adanya dukungan
Dukungan organisasi berfokus pada nilai nilai organisasi. Persepsi
atas dukungan organisasi dipengaruhi oleh perlakuan yang diterima
oleh pekerja. Salah satu cara untuk meningkatkan dukungan
organisasi terhadap karyawan melalui program mentoring dan
buddy systems (Payne, Huffman & Trembler, 2002). Hasil
penelitian mendukung bahwa program mentoring ini seharusnya
diawali pada awal karir dan ini semua dapat memfasilitasi
terbentuknya the want factor. Selain itu penting untuk menciptakan
rasa komunitas, melalui membangun homogenitas berdasarkan
nilai, keadilan, menekankan kerjasama, saling mendukung dalam
kerja tim (Luthans, 2006).
c. Meningkatkan pengakuan tentang pentingnya diri dan
kompetensinya
Cara ketiga untuk dapat meningkatkan the want factor dari
komitmen organisasi adalah dengan memberikan keyakinan akan
perasaan bahwa karyawan memiliki kontribusi yang penting pada
organisasi, dan upaya meningkatkan kompetensi dan pengalaman
karyawan dapat berkontribusi terhadap perasaan akan loyalitas. Hal
ini bisa dicapai dengan memberi melakukan pemberdayaan
terhadap karyawan, pendelegasian wewenang, kesempatan dalam
otonomi dalam membuat keputusan, memperkaya pekerjaan
dengan mendukung perkembangan karyawan dengan melakukan
aktualisasi, mendukung aktivitas perkembangan, memberikan
pekerjaan yang menantang yang membutuhkan keterampilan yang
bervariasi, serta meningkatkan tanggung jawab secara menyeluruh,
sehingga pekerjaan akan lebih terasa menarik, menantang dan
memotivasi (Payne, Huffman & Trembler, 2002; Subanegara,
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
24
Universitas Indonesia
2005; Dessler dalam Luthans, 2006; Chungthai & Zafar, 2006).
Salah satu bentuk yang diyakini dapat meningkatkan tingkat dan
perasaan kompetensi individu antara lain melalui edukasi dan
kesempatan mengikuti training (Amstrong, 1999; Payne, Huffman
& Trembler, 2002; Chungthai & Zafar, 2006).
Untuk dapat meningkatkan dan membentuk pekerjaan secara
efektif, karyawan memerlukan suatu bentuk pengetahuan dan
ketrampilan yang tepat, oleh karena itu diperlukan suatu bentuk
pelatihan kepemimpinan. Dengan adanya pelatihan kepemimpinan
ini seharusnya mengajarkan pada karyawan yang lebih senior
tentang cara bagaimana untuk menyampaikan adanya dukungan,
keterbukaan, pengakuan akan pentingnya personal dan
kompetensinya pada karyawan yang lebih yunior. Hal ini pada
akhirnya diharapkan dapat menumbuhkan perasaan loyalitas.
Selain melalui pelatihan kepemimpinan, organisasi juga dapat
memberikan penghargaan berupa promosi dan penghargaan dengan
menekankan keterbukaan (Huffman & Payne, 2002).
Terkait dengan pentingnya pelatihan kepemimpinan, untuk dapat
meningkatkan sebuah komitmen karyawan terhadap organisasi,
menurut Fry, (2005) menjelaskan salah satu hal yang berkaitan
dengan terbentuknya komitmen individu pada tempat kerja diawali
dengan meningkatnya sebuah kesehatan dan kesejahteraan
manusiawi dan psikologis yang terbangun melalui terpenuhinya
kebutuhan nilai nilai spiritual. Kepuasan terkait dengan
terpenuhinya kebutuhan spiritual ditempat akan memberikan
pengaruh yang positif pada kesehatan manusiawi dan psikologis
serta dapat dijadikan sebuah pondasi penerapan Spiritual
leadership.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
25
Universitas Indonesia
2.1.4 Dampak komitmen organisasi
Komitmen organisasi merupakan sebuah sikap kerja karyawan yang
memiliki ruang lingkup yang lebih global dibanding kepuasan kerja
maupun variabel pekerjaan lain, karena komitmen organisasi
menggambarkan pandangan organisasi secara menyeluruh. Komitmen
merupakan hal utama yang penting dalam merekatkan system sitem
yang diberlakukan dalam organisasi untuk menjalankan aplikasi
strategis yang telah disepakati bersama, yang memperlihatkan rasa
memiliki yang kuat dari semua unsur yang berada dalam organisasi.
(Subanegara, 2005). Dengan demikian dampak dari sikap kerja ini
adalah sangat penting. Komitmen organisasi merupakan sebuah
tingkatan, dari tingkatan yang sangat rendah hingga tingkatan yang
sangat tinggi. komitmen karyawan baik tinggi maupun rendah akan
berdampak pada karywan maupun organisasi.
Komitmen karyawan tersebut, akan memberikan sebuah benefit
tersendiri bagi organisasi, yang meliputi kinerja, kehadiran dan retensi
(Riketta, 2002, dalam Morin, 2008). Komitmen karyawan yang tinggi
akan memberikan sumbangan dalam hal stabilitas tenaga kerja (Steers,
1977), dalam hal ini tingginya tingkat retensi karyawan, menurunnya
tingkat pergantian dan absensi karyawan (Porter, Crampon & Smith,
1976; Angle & Perry, 1981; Becker et.al., 1996; Wallace, 1996 dalam
Sopiah, 2008; Subanegara, 2005). Selain itu ditinjau dari sudut
karyawan, komitmen yang tinggi akan berdampak pada peningkatan
karir karyawan itu sendiri (Newstroom, 1989 dalam Sopiah, 2008).
Sedangkan karyawan yang berkomitmen rendah akan berdampak pada
turn over (Koch, 1978), tingginya absensi, meningkatnya kelambanan
kerja, rendahnya kualitas kerja, kurangnya loyalitas pada perusahaan
dan kurangnya intensitas untuk bertahan sebagai karyawan didalam
organisasi (Angle, 1981). Selain itu komitmen yang rendah akan
memicu perilaku karyawan yang kurang baik misalnya tindakan
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
26
Universitas Indonesia
kerusuhan, yang dampak lanjutannya adalah menurunnya reputasi
organisasi, hilangnya kepercayaan dari klien dan pada akhirnya
menurunnya laba perusahaan (Near & Jansen, 1983 dalam Sopiah,
2008).
2.1.5 Pengukuran komitmen organisasi
Mowday, Porter & Steers (dalam Sopiah 2008), mengembangkan
sebuah instrument Self Report Scales yang terdiri dari 15 item
pertanyaan, untuk mengukur komitmen karyawan terhadap organisasi,
yang merupakan penjabaran dari tiga aspek komitmen yaitu
kepercayaan, penerimaan terhadap tujuan organisasi, keinginan untuk
bekerja keras, dan hasrat untuk bertahan menjadi bagian dari organisasi
(Sopiah, 2008). Sedangkan Allen dan Meyer (1990, dalam Fields,
2000), mengembangkan instrumen untuk mengukur komitmen
organisasi perawat yang terdiri dari 24 butir pertanyaan meliputi
komitmen afektif, normatif, dan berkelanjutan. Selain itu O’Reilly &
Chatman (1986 dalam Fields) mengembangkan psychological
attachment instrument, yang terdiri dari 12 butir yang digunakan untuk
menggambarkan 3 dimensi dalam komitmen organisasi yakni
internalisasi, identifikasi dan kepatuhan. Dalam penelitian ini akan
menggunakan pedoman kuesioner dari O’Reilly & Chatman (1986),
yang sebelumnya akan di adaptasi dan dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan penelitian.
2.2 Konsep Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja sebagai salah satu faktor determinan terhadap komitmen
organisasi, akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
2.2.1 Pengertian
Kepuasan kerja adalah sikap umum seorang individu terhadap
pekerjaannya, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah
penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini
untuk diterima (Robbins, 2003). Greenberg dan Baron (2003,
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
27
Universitas Indonesia
dalam Wibowo, 2007) mendeskripsikan kepuasan kerja sebagai
sikap positif dan negatif yang dilakukan individual terhadap
pekerjaan mereka. Kepuasan kerja adalah kondisi emosional
karyawan dengan adanya kesesuaian atau ketidaksesuaian antara
harapan dan kenyataan Menurut Locke dalam Luthans (2006),
kepuasan kerja merupakan keadaan emosi yang senang atau emosi
positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja
seseorang. Sedangkan menurut Luthans (2006), kepuasan adalah
hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan
mereka memberikan hal yang dinilai penting. Jika mengacu pada
George dan Jones (2002), kepuasan kerja merupakan kumpulan
feelings dan beliefes yang dimiliki orang tentang pekerjaannya.
Berbagai uraian definisi kepuasan kerja yang tertulis seperti diatas,
dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap
individu/ keadaan emosi/ perasaan dan nilai-nilai yang positif dari
penilaian terhadap pekerjaan atau pengalaman kerjanya, yang
terbentuk karena kesesuaian harapan dan kenyataan.
2.2.1 Dimensi kepuasan kerja
Dalam Luthans (2006), terdapat lima dimensi dalam kepuasan
kerja yang umum untuk digunakan dalam mengukur kepuasan
kerja yaitu:
2.2.1.1 Pekerjaan itu sendiri
Kepuasan pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama
kepuasan. Faktor motivasi utama yang berhubungan dengan
pekerjaan ini berasal dari adanya umpan balik dari
pekerjaan itu sendiri, dan otonomi. Dalam hal ini, dimana
pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan
untuk belajar dan kesempatan untuk menerima tanggung
jawab. Selain itu kondisi kerja bagus (misalnya bersih,
lingkungan menarik) individu akan lebih mudah
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
28
Universitas Indonesia
menyelesaikan pekerjaan mereka. Jika kondisi kerja buruk
(misanya udara panas, lingkungan bising), individu akan
lebih sulit menyesuaikan pekerjaan.
2.2.1.2 Gaji
Upah dan gaji merupakan faktor multidisiplin dalam
kepuasan kerja. Upah dan gaji merupakan hal yang
signifikan tetapi kompleks secara kognitif. Uang tidak
hanya membantu memperoleh kebutuhan dasar tetapi juga
alat untuk memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat
yang lebih tinggi.
2.2.1.3 Kesempatan promosi
Merupakan suatu kesempatan untuk maju dalam organisasi.
Kesempatan promosi ini memiliki pengaruh yang berbeda
pada kepuasan kerja, hal ini dikarenakan promosi memiliki
sejumlah bentuk yang berbeda dan memiliki sejumlah
bentuk yang berbeda dan memiliki berbagai penghargaan.
2.2.1.4 Pengawasan
Pengawasan (supervisi) merupakan sumber penting lain
dalam kepuasan kerja. Pengawasan merupakan kemampuan
supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan
perilaku. Terdapat dua dimensi gaya pengawasan yang
mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu a) berpusat pada
karyawan yang diukur menurut tingkat dimana penyelia
menggunakan ketertarikan personal dan peduli pada
karyawan. Hal ini secara umum dimanifestasikan dalam
cara cara seperti memberikan nasehat dan bantuan individu
dan berkomunikasi dengan rekan kerja secara personel
maupun dalam konteks pekerjaan, dan b) partisipasi atau
pengaruh yang memungkinkan orang untuk berpartisipasi
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
29
Universitas Indonesia
dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi
pekerjaan mereka.
2.2.1.4 Kelompok kerja
Sifat alami dari kelompok atau tim kerja akan
mempengaruhi kepuasan kerja. Pada umumnya, rekan kerja
atau anggota tim kerja yang kooperatif merupakan sumber
kepuasan kerja individu yang paling sederhana. Kelompok
kerja yang baik dan efektif dapat bertindak sebagai sumber
dukungan, kenyamanan, nasehat dan bantuan pada anggota
individu. Kelompok yang memiliki sifat saling
ketergantungan antar anggota dalam menyelesaikan
pekerjaan akan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi.
2.2.2 Pentingnya Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja menjadi hal penting karena dapat mempengaruhi
produktivitas karyawan (Lawler, dalam Steers & Porter, 1983) sebab
karyawan yang memiliki kepuasan yang tinggi akan memandang
pekerjaannya sebagai hal yang menyenangkan, berbeda dengan
karyawan yang memiliki kepuasan kerja rendah, ia akan melihat
pekerjaannya sebagai hal yang menjemukan dan membosankan
sehingga karyawan tersebut bekerja dalam keadaan terpaksa.
Karyawan yang bekerja dalam keadaan terpaksa akan memiliki hasil
kerja yang buruk dibanding dengan karyawan yang bekerja dengan
semangat yang tinggi. Apabila organisasi memiliki karyawan yang
mayoritas kepuasannya rendah, dapat diperkirakan tingkat
produktivitas secara keseluruhan, hal ini akan merugikan organisasi.
Itulah sebabnya perlu diperhatikan derajat kepuasan karyawannya
dengan cara mengkaji ulang aspek-aspek yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja (Siahaan, 2006).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
30
Universitas Indonesia
Dalam suatu organisasi dimana sebagian besar pekerja memperoleh
kepuasan kerja, namun tidak tertutup kemungkinan sebagian kecil
diantaranya merasakan ketidakpuasan. Ketidakpuasan pekerja dapat
ditunjukkan dalam sejumlah cara (Wibowo, 2007). Terdapat empat
respon yang berbeda satu sama lain dalam dimensi konstruktif,
destruktif maupun aktif dan pasif dengan penjelasan sebagai berikut:
2.2.2.1 Respon Voice, ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha
secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan,
termasuk dengan memberikan saran, mendiskusikan
masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk aktivitas
perserikatan.
2.2.2.2 Respon Loyalty, dalam hal ini ketidakpuasan ditunjukkan
secara pasif, tetapi optimistic dengan menunggu kondisi
untuk memperbaiki, termasuk dengan berbicara bagi
organisasi dihadapan pihak eksternal, dan percaya
organisasi akan melakukan hal yang benar.
2.2.2.3 Repon neglect, ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan
secara pasif membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk
keterlambatan atau kemangkiran secara kronis, mengurangi
usaha dan meningkatkan tingkat kesalahan.
2.2.2.4 Respon Exit, ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku
diarahkan dengan keinginan mundur/ keluar/ serta secara
aktif dengan upaya mencari pekerjaan baru (Robbins,
2003).
2.2.3 Pengukuran kepuasan kerja
Terdapat dua macam pendekatan yang secara luas dipergunakan
untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu sebagai berikut:
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
31
Universitas Indonesia
2.2.3.1 Single global rating
Pendekatan ini adalah meminta individu untuk merespons
atas satu pertanyaan dengan mempertimbangkan beberapa
hal, seberapa puas anda dengan pekerjaan anda? Responden
kemudian menjawab antara sangat puas hingga sangat tidak
puas.
2.2.3.2 Summation score
Pendekatan ini mengidentifikasi elemen kunci dalam
pekerjaan dan menanyakan perasaan pekerja tentang
masing masing elemen. Elemen atau faktor ini kemudian
diperingkat pada skala yang distandardkan dan
ditambahkan untuk menciptakan skor kepuasan kerja secara
menyeluruh (Robbins, 2003).
Sementara itu Greenberg dan Baron (2003, dalam Wibowo, 2007)
menunjukkan adanya tiga cara untuk melakukan kepuasan kerja
yaitu: a) Rating scales dan kuesioner, Metode pendekatan ini
merupakan pengukuran kepuasan kerja yang paling umum dipakai
dengan menggunakan kuesioner. Dengan menggunakan metode
ini, orang menjawab pertanyaan yang memungkinkan individu
melaporkan reaksi mereka terhadap pekerjaan mereka. b) Critical
incidents, melalui pendekatan ini individu menjelaskan kejadian
yang menghubungkan pekerjaan yang dirasakan, terutama
memuaskan dan tidak memuaskan. Jawaban tersebut dipelajari
untuk mengungkap tema yang mendasari jawaban tersebut. dan c)
Interviews, merupakan prosedur pengukuran kepuasan kerja
dengan melakukan wawancara tatap muka dengan pekerja. Dengan
menanyakan secara langsung tentang sikap kerja individu,
kemudian mencatat jawaban secara sistematis. Metode ini sering
pula dikembangkan lebih mendalam dengan menggunakan
kuesioner terstruktur.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
32
Universitas Indonesia
2.2.4 Hubungan kepuasan kerja dan komitmen organisasi
Kepuasan kerja merupakan faktor pendahulu (anteseden) dari
terbentuknya komitmen organisasi karyawan. Hal ini didukung
dengan beberapa hasil penelitian oleh (Mannheim, 1997; Busch et
al., 1998; Chiu-Yueh, 2000; Freund, 2005; Feinstein&Vondraek,
2006 dalam Salami, 2008), yang menjelaskan bahwa kepuasan
kerja merupakan prediktor yang signifikan terhadap komitmen
organisasi. Menurut Mannheim (1997, dalam Salami, 2008), Hal
ini disebabkan bahwa kepuasan kerja merefleksikan respon afeksi
yang segera muncul terhadap pekerjaan, sementara komitmen
organisasi berkembang secara perlahan setelah individu
membentuk penilaian yang lebih komprehensip terhadap pekerjaan
dalam organisasi yang terdiri dari nilai, harapan dan sesuatu yang
dimilikinya di masa mendatang. Dengan demikian kepuasan kerja
dapat dipandang sebagai determinan komitmen organisasi, yang
berimplikasi bahwa karyawan yang memiliki kepuasan kerja tinggi
akan lebih berkomitmen terhadap organisasi.
2.3 Konsep Spiritual Leadership
Teori Spiritual Leadership (SL) ini awalnya dikembangkan oleh Fry,
pada tahun 2003, yang kemudian dikembangkan pada tahun 2005.
Teori SL merupakan sebuah teori kausal dalam transformasi dan
pengembangan dalam organisasi. Teori SL ini merupakan
pengembangan dari teori spiritualitas tempat kerja (Workplace
Spirituality), yang dikembangkan oleh Giacalone dan Jurkiewicz’s
(2003). Teori ini mengajukan suatu dasar bahwa individu membawa
keunikan dan spirit individual pada tempat kerjanya, dan orang yang
termotivasi oleh kebutuhan spiritual akan mengalami a sense of
transcendence and community dalam pekerjaannya.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
33
Universitas Indonesia
Kepuasan terhadap nilai spiritual ini akan berpengaruh secara positif
pada kesehatan humanism dan kesejahteraan psikologis sebagai
bentuk pondasi terhadap paradigma baru dalam penerapan spiritual
leadership.
Teori SL ini dapat diterapkan secara universal dalam berbagai setting
tempat kerja. Teori ini dapat dipandang sebagai paradigma baru yang
muncul di dalam konteks yang lebih luas dari sekedar penerapan
konsep spiritual di tempat kerja (Fry, 2005). Berikut akan diuraikan
lebih rinci tentang teori SL ini.
2.3.1 Pengertian
Spiritual Leadership dipandang sebagai suatu paradigma
dalam perubahan dan pengembangan organisasi yang pada
hakekatnya diciptakan untuk membentuk sebuah motivasi
intrinsik dari individu, dan mendorong terbentuknya
organisasi pembelajar. Fry (2003) menyatakan Spiritual
leadership sebagai sebuah nilai, sikap dan perilaku pemimpin
strategic yang diperlukan dalam upaya memotivasi diri sendiri
maupun orang lain melalui calling and membership, sehingga
terbentuk perasaan sejahtera secara spiritual. Spiritual
Leadership dapat pula dipandang sebagai sebuah upaya
kekuatan memotivasi yang memungkinkan orang lain untuk
menjadi lebih baik, berenergi dan terhubung atau terikat
dengan pekerjaannya. Hal ini menjadi sebuah dasar kekuatan
untuk menterjemahkan spiritual survival ini menjadi sebuah
feelings of attraction, ketertarikan dan caring terhadap
pekerjaan maupun orang dalam lingkungan kerja untuk
menjadi lebih berkomitmen, produktif dalam perilaku
berorganisasinya (Covey, 1990 dalam Giacalone, Jurkiewicz
& Fry, 2005).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
34
Universitas Indonesia
2.3.2 Tujuan Spiritual Leadership
Spiritual leadership ini merupakan salah satu upaya dalam
memotivasi dan menginspirasi para pekerja melalui sebuah
penciptaan visi dan budaya yang didasarkan atas nilai nilai
altruistik untuk menghasilkan tenaga kerja yang lebih
bermotivasi, berkomitmen dan produktif. Mnerapkan/
menterjemahkan akan kebutuhan spiritual baik pada pemimpin
maupun pengikut untuk tetap bertahan secara spiritual melalui
panggilan (calling) dan menjadi bagian (membership), untuk
menciptakan visi dan kongruensi nilai pada individu,
pemberdayaan kelompok, dan level organisasi. Dan
selanjutnya hal ini dapat mencapai tingkatan yang lebih tinggi
tidak hanya dari kesejahteraan psikologis dan kesehatan
manusia yang positif tetapi juga komitmen organisasi dan
produktivitas (Fry, 2003, 2005).
2.3.3 Dasar Teori Spiritual Leadership
Teori ini dibangun dan dikembangkan di dalam satu model
motivasi intrinsik dari tiga hal yang saling berkaitan yakni
nilai-nilai, sikap, dan perilaku pemimpin, yang menyertakan
adanya visi, harapan/keyakinan, dan nilai altruisme, serta teori
spiritualitas di tempat kerja, dan kesejahteraan spiritual. Hal
inilah yang diyakini dapat membantu terciptanya kepuasan
dari para pengikut akan kebutuhannya terhadap spiritualitas
melalui perasaan terpanggil (calling) dan merasa menjadi
bagian keanggotaan (membership), yang pada akhirnya dapat
mengarah pada peningkatan tercapainya hasil-hasil organisasi
seperti terbentuknya komitmen dan produktivitas organisasi
serta pertumbuhan pelayanan (Fry, 2008).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
35
Universitas Indonesia
2.3.4 Variabel dalam Spiritual Leadership
Dalam teori Spiritual Leadership (SL) ini terdapat 3 dimensi
utama dan 6 variabel yang yang membentuk kerangka dasar
teori seperti pada gambar 2.1.
Skema 2.1 Dimensi dan variabel dalam teori Spiritual Leadership
(Fry, 2003,2005) diambil dari www.tarleton .edu.
Seperti tampak pada gambar skema 2.1 diatas, dapat diketahui
bahwa 3 dimensi dalam teori Spiritual Leadership adalah (1)
dimensi spiritual leadership, yang meliputi vision, altruistic love,
dan hope/ faith. (2) dimensi spiritual survival, yang meliputi
calling dan membership serta (3) dimensi outcome organisasi, yaitu
komitmen organisasi. Ketiga dimensi dalam Spiritual Leadership
merupakan sebuah sistem, meliputi input, proses dan output.
Secara jelas 3 dimensi dan 6 variabel diatas akan diuraikan lebih
detail dalam uraian berikut ini.
2.3.4.1 Visi (Vision)
Visi adalah sesuatu yang diimpikan, keadaan yang dicita citakan,
apa yang ingin dicapai pada masa mendatang. Visi merupakan
tujuan yang ingin dicapai. Suatu tujuan dapat disebut sebagai visi,
jika memenuhi persyaratan tertentu, yaitu:
Leader values, attitudes, & behavior
Follower needs for spiritual survival
Organizational outcomes
Effort (Hope/faith)
Performance (Vision)
Reward (Altruistic
Love)
Calling (Make a difference, Life has meaning)
Membership (Be Understood, be appreciated)
Organizational commitment
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
36
Universitas Indonesia
a) Visi merupakan hasil abstraksi keadaan yang dicita citakan yang
ingin dicapai pada masa mendatang. Karena merupakan hasil
abstraksi maka bersifat lebih abstrak dan kurang konkrit. Dan
hanya mengandung pernyataan umum saja, visi relatif tetap berada
di benak pemimpin dan pengikut dalam waktu yang panjang
b) Umumnya visi dilukiskan dengan menggunakan kata kata/ kalimat
filosofis. Karena menggunakan kalimat pendek, visi mempunyai
pengertian yang sangat luas dan dapt diberi isi yang berbeda dari
waktu kewaktu.
c) Visi memberi aspirasi dan motivasi kepada pemimpin dan
pengikut. Visi yang mendorong dan menarik pemimpin dan
pengikut untuk bergerak kearah tertentu (Wirawan, 2003).
Visi dalam kontekstual spiritual leadership ini menunjukkan
adanya tampilan kinerja (performance) yang ingin dicapai oleh
seluruh anggota organisasi. dan oleh karenanya diperlukan suatu
upaya dan usaha serta strategi untuk mencapainya.
2.3.4.2 Hope/ faith
Hope (harapan) didefinisikan sebagai kemampuan untuk melihat
keadaan luar dari seseorang yang ada saat ini, dan menggambarkan
kekuatan atas keyakinan seseorang (Galek, et.al., 2005 dalam Wolf
2008). Sedangkan Kepercayaan (faith) merupakan sebuah pondasi
dari sebuah harapan. Dalam kontekstual teori ini Kepercayaan dan
keyakinan pada sesuatu yang diharapkan dalam mencapai visi,
akan tetapi belum terlihat atau masih perlu dibuktikan
kebenarannya. Kepercayaan dan harapan ini merupakan sebuah
keyakinan, pendirian dan kepercayan serta usaha perilaku kinerja
dalam mencapai visi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
37
Universitas Indonesia
Pada teori spiritual leadership ini mengacu bahwa harapan dan
kepercayaan pada organisasi akan menjaga dan mempertahankan
para pengikut untuk berpandangan kedepan serta memberikan
keinginan dan cita cita positif yang memberi energy dari usaha
melalui motivasi intrinsik.
2.3.4.3 Altruistic love
Altruisme berasal dari bahasa Perancis yaitu autrui yang artinya
"orang lain". Istilah Altruisme diciptakan oleh Auguste Comte,
penggagas filsafat positivism. Secara epistimologis, altruisme
berarti: mencintai orang lain seperti diri sendiri. Sebagai sebuah
doktrin etis, altruisme berarti melayani orang lain dengan
menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya
sendiri. Altruisme juga merupakan kehendak pengorbanan
kepentingan pribadi. Altruisme termasuk sebuah dorongan untuk
berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, entah bersifat
manusiawi atau ketuhanan. Tindakan altruis dapat berupa loyalitas.
Kehendak altruis berfokus pada motivasi untuk menolong sesama
atau niat melakukan sesuatu tanpa pamrih.
Altruisme adalah perbuatan mengutamakan orang lain dibanding
diri sendiri. perbuatan ini adalah sifat murni dalam banyak budaya,
dan merupakan inti dalam banyak agama. Perilaku altruistik tidak
hanya berhenti pada perbuatan itu sendiri. sikap dan perilaku ini
akan menjadi salah satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas
altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas
kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama
tanpa pamrih. Karena itu, tindakannya menuntut kesungguhan dan
tanggung jawab yang berkualitas tinggi (Rianto, 2009).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
38
Universitas Indonesia
Altruistic love dalam kontekstual teori ini, merupakan sebuah rasa
keutuhan, harmony, dan akan menjadi lebih produktif melalui perhatian,
belas kasih, dan adanya penghargaan/ apresiasi baik pada diri maupun
orang lain. Penghubung yang umum antara spiritualitas dan religi adalah
nilai kasih altruistik, yaitu penghargaan atau kesetiaan terhadap
ketertarikan dengan orang lain (Fry, 2008). Adapun nilai nilai dalam nilai
kasih altruistik dalam teori spiritual leadership ini meliputi 9 nilai seperti
pada tabel 2.1
Tabel 2.1: Sembilan nilai altruism dalam teori Spiritual leadership
Sumber: Fry, 2008 diambil dari www.tarleton.edu
No. Nilai Altruisme Makna 1 Kepercayaan
Kepercayaan atas karakter, kemampuan, kekuatan dan kepercayaan pada orang lain
2 Pemaaf Tidak mengalami beban berat atas kegagalan dalam cita cita, kecemburuan, kebencian ataupaun balas dendam
3 Integritas
Integritas merupakan suatu konsistensi akan apa yang dilakukan sesuai dengan apa yang dikatakan.
4 Kejujuran
Kejujuran merupakan sebuah landasan dalam bertindak dan melakukan perbuatan
5 Keteguhan hati
Keteguhan dalam pikiran dan keinginan, seperti halnya sebuah kekuatan dalam moral dan mental, untuk mempertahankan keadaan moral yang digunakan dalam menghadapi kesulitan
6 Kerendahan hati Kerendahan hati, ramah, sopan, kebanggaan yang pada tempatnya, tidak cemburu dengan orang lain, tidak angkuh serta tidak membual
7 Kebaikan
Ramah dan murah hati, tenggang rasa dan simpatik terhadap perasaan maupun kebutuhan orang lain.
8 Empati
Kemampuan membaca dan memahami orang lain ketika orang lain merasa menderita, dan ingin melakukan sesuatu untuk membantu penderitaan
9 Kesabaran
Menjalani segala usaha dengan sabar tanpa adanya sebuah keluhan, meskipun dalam menghadapi rintangan yang besar. Tidak pernah berhenti/ berputus asa walaupun terdapat banyak hambatan
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
39
Universitas Indonesia
2.3.4.4 Calling
Calling adalah sebuah perasaan bahwa hidup seseorang itu
memiliki makna dan membuat kehidupan menjadi berbeda
(Fry, 2008). Upaya meningkatkan calling dapat dilakukan
melalui empat langkah dalam sebuah pendekatan yang dikenal
sebagai fish. Pertama adalah menciptakan suasana yang dapat
merangsang kreativitas dan aktivitas kegiatan yang
memungkinkan pegawai dapat bahagia terhadap pekerjaannya,
sehingga tidak merasa waktu terbuang disana. Kedua
menciptakan sebuah situasi agar karyawan dan kliennya serasa
memiliki hari harinya. Ketiga, penting pula untuk memberikan
pengakuan dalam melakukan pekerjaan, melalui penciptaan
sebuah rasa berharga melalui sikap melayani dan sikap positif,
dan keempat adalah menciptakan suasana antara pemimpin dan
para pengikut seharusnya saling memperhatikan dan
mendukung pada klien maupun orang lain, ketika menciptakan
sebuah kondisi komunikasi yang efektif. (Fry, 2005).
2.3.4.5 Membership
Membership ini merupakan sebuah rasa bahwa karyawan
merasa dimengerti, dipahami dan dihargai (Fry, 2008) Sikap ini
memberikan kesempatan bahwa karyawan merasakan bahwa
mereka merasa berharga, bernilai bagi orang lain (Kouzes
&Posner, 1999). Membership dalam sebuah organisasi dapat
ditingkatkan ketika terdapat sebuah standard yang jelas dan
bermakna, yang di set untuk seluruh. Pentingnya rasa empati
terhadap orang lain harus ditunjukkan satu sama lain ketika
berfokus terhadap kebutuhan apa yang dilakukan. Selanjutnya
organisasi memberikan perhatian terhadap lingkungan,
memberikan support, dan bertukar informasi. Adanya stories
seharusnya dilakukan untuk memotivasi dan mengajarkan para
pekerja sesuatu yang baru secara verbal. Selain itu perlu
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
40
Universitas Indonesia
diberikan sebuah pengakuan secara individual bahwa individu
bermakna bagi orang lain. Kuncinya adalah mengacu pada apa
yang masing masing disenangi oleh individu. Meningkatkan
membership berarti meyakinkan orang lain untuk merayakan
secara bersama sama. Hal ini bisa dilakukan melalui acara
formal maupun informal. Dan terakhir pemimipin harus
memberi contoh pada seluruh karyawan dengan menunjukkan
bahwa perkataan konsisten dengan perbuatan (Kouzes&Posner,
1999 dalam Fry, 2003).
2.3.4.5 Komitmen organisasi
Komitmen organisasi dalam konteks Spiritual Leadership
merupakan outcome penerapan spiritual leadership pada level
organisasi. Komitmen organisasi merupakan tingkat atau
derajat loyalitas/ kedekatan karyawan terhadap organisasi.
Uraian tentang komitmen organisasi telah banyak diuraikan di
bagian awal tinjauan pustaka bab dua.
2.3.5 Mekanisme kerja Spiritual Leadership
Untuk mengimplementasikan spiritual leadership, maka para
pemimpin melalui nilai, sikap, perilakunya mempelajari dan meniru
nilai nilai dalam nilai kasih altruistik yang telah dikembangkan
bersama sama dengan visi umum dengan para pengikut. Setelah itu
antara leader dan follower mendapatkan sebuah perasaan menjadi
bagian a sense of membership – yang merupakan sebuah bagian dari
spiritual well-being yang memberikan sebuah kesadaran untuk
menjadi lebih dipahami, dimengerti dan dihargai. Hal ini yang
kemudian membangkitkan adanya harapan/ keyakinan dan sebuah
keinginan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan dalam
mencapai visi. Hal ini akan menimbulkan sebuah perasan sense of
calling –yang merupakan bagian dari spiritual well-being. Hal inilah
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
41
Universitas Indonesia
yang membuat perasaan menjadi lebih bermakna, bertujuan dan
membuat hidup menjadi berbeda (Fry&Matherly, 2008).
Siklus motivasi secara intrinsik ini didasarkan pada sebuah visi, nilai
altruistic love dan hope/faith yang meningkatkan sebuah perasaan
sejahtera secara spiritual (melalui calling dan membership), yang pada
akhirnya dapat menimbulkan keluaran dari organisasi seperti
komitmen organisasi, produktifitas, kepuasan hidup karyawan dan
tanggung jawab sosial organisasi dan akan memberikan sebuah
strategi pasar yang efektif.
Adapun ringkasan mekanisme kerja Spiritual Leadership ini tampak
pada skema 2.2:
Skema 2.2: Mekanisme implementasi dalam teori Spiritual
Leadership (Fry, 2003) diambil dari www.tarleton .edu.
Performance (Vision)
Effort (Hope/ faith)
Reward (Altruistic love)
Calling (Make a difference, life has meaning)
Membership (Be Understood, Be Appreciated)
Organizational commitment
Productivity
Employee well being
Leader values, attitudes, and behavior
Follower needs for spiritual survival
Organizational Outcomes
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
42
Universitas Indonesia
2.3.6 Manfaat penerapan Spiritual Leadership
Fry, (2003) memberikan sebuah hipotesa bahwa ketika
menerapkan Spiritual Leadership ini akan menimbulkan
sebuah rasa penghargaan yang tinggi bagi orang lain pada
masa kini maupun masa lalu dengan sebuah kualitas hubungan
yang baik antara satu sama lain. Hal ini akan menumbuhkan
sebuah perasaan yang memiliki tujuan, dan bermakna,
kapasitas mengelola orang lain secara efektif, dan kemampuan
untuk mengikuti inner convictions, dan menumbuhkan sebuah
rasa adanya perkembangan yang terus menerus serta realisasi
diri. (Fry, Vitucci & Cedillo, 2005).
Pada level Individu, individu yang menerapkan spiritual
leadership pada tingkatan personal akan merasa lebih senang,
damai, ketenangan dan kepuasan dalam hidup yang
menyeluruh. Tidak hanya kesejahteraan psikologis yang lebih
baik, tapi juga kesehatan fisik yang lebih baik pula. Lebih
khusus lagi adanya rasa saling menghormati dan kualitas
hubungan yang baik dengan orang lain (Ryff & Singer, 2001
dalam Fry & Matherly, 2008).
2.3.7 Dampak penerapan Spiritual leadership
Kepemimpinan spiritual ini berdasar pada visi, kasih yang
altruistik dan hope/faith yang dihipotesakan untuk
menghasilkan sebuah peningkatan dalam perasaan spiritual
(melalui panggilan dan menjadi bagian) dan akhirnya
menghasilkan outcome organisasi yang positif seperti:
Komitmen organisasi, karyawan yang memiliki suatu perasaan
panggilan dan merasa menjadi bagian akan menjadi lebih
dekat, loyal dan akan tetap bertahan dalam organisasi yang
memiliki budaya yang berbasis pada kasih yang altruistik
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
43
Universitas Indonesia
Produktivitas dan peningkatan yang berkelanjutan, karyawan
yang mempunyai harapan serta kesetiaan pada visi organisasi
dan karyawan yang memiliki perasaan panggilan dan menjadi
bagian itu akan melakukan apa yang seharusnya dilakukan
untuk mencapai visi organisasi akan menjadi lebih produktif
Profit dan pertumbuhan penjualan, karyawan yang mempunyai
komitmen tinggi untuk dapat produktif, akan selalu termotivasi
untuk meningkatkan secara berkelanjutan kunci proses
organisasi, akan termotivasi untuk dapat menghasilkan produk
jasa yang berkualitas dan menyediakan layanan pelanggan
yang terkemuka. Hal ini yang akan dicerminkan di dalam profit
organisasi yang lebih tinggi dan meningkatkan penjualan (Fry,
2005).
2.3.8 Implementasi Spiritual Leadership
Teori Spiritual Leadership ini telah dibangun dengan kerangka
teori yang jelas seperti uraian diatas. Berdasarkan dimensi dan
variabel serta prinsip prinsip yang termuat dalam bangunan
kerangka teori tersebut, secara garis besar penjabaran teori
tersebut dapat diuraikan menjadi 2 tahapan utama, dan berikut
akan diuraikan tentang tahapan serta langkah langkah dalam
mengimplementasikan teori SL ini.
2.3.8.1 Tahapan Persiapan
a. Pengkajian
Hal pertama yang harus dilakukan adalah sebuah
pengkajian berkala tentang elemen model dari teori
spiritual leadership ini. Tahap pengkajian melalui survey
dan interview, yang berisi elemen dan dimensi dari teori
Spiritual Leadership ini bertujuan untuk mendapatkan
sebuah data dasar/ baseline tentang kondisi spiritualitas
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
44
Universitas Indonesia
dalam organisasi dan identifikasi issue-issue dalam
transformasi organisasi yang berguna dalam pengembangan
sebuah intervensi. Dalam hal ini penting bagi pihak
manajemen puncak untuk memberikan sebuah akses
terhadap data data penting organisasi dan secara penuh
akan memberikan support terhadap upaya tersebut.
Survey pengkajian ini dilakukan kepada beberapa anggota
dalam organisasi. Survey ini merupakan sebuah self
assessment sebelum menerapkan Spiritual Leadership.
Setelah survey ini, kemudian dilakukan interview pada
beberapa anggota yang berbeda di tiap level untuk
mendapatkan secara lebih detail tentang pemahaman yang
mendalam terhadap elemen dalam Spiritual Leadership
yang sesungguhnya dirasakan serta kondisi spiritual dalam
organisasi (Fry, 2008).
b. A vision/stakeholder analysis process
Tahapan selanjutnya setelah mendapatkan sebuah baseline
dari hasil survey spiritual leadership, adalah melakukan
inisiasi sebuah vision/stakeholder analysis process yang
menghasilkan sebuah visi, misi, tujuan yang mana para
pemimpin dan pengikutnya akan melaksanakan keinginan
dari para stakeholder kunci. Melakukan vision stakeholder
analysis yang bertujuan untuk mendapatkan atau
memperkuat harapan, kesetiaan, visi, dan nilai budaya dari
spiritual leadership dalam hubungannya terhadap
identifikasi isu utama dan memberikan dasar terhadap
pelaksanaan sebuah dialog dalam organisasi yang berkaitan
dengan pencapaian strategi yang tepat untuk mencapai
tujuan organisasi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
45
Universitas Indonesia
Adanya visi, misi, dan tujuan organisasi akan menjadi dasar
terbentuknya konstruksi sosial dari budaya organisasi dan
sistem etik serta nilai nilai yang melandasinya, yang
memberikan sebuah alat utama dalam mengkomunikasikan,
memperkuat dan mengarahkan tercapainya sebuah perilaku
berorganisasi yang tepat. Untuk lebih lengkapnya proses ini
dapat dilihat pada pedoman pelaksanaan Spiritual
leadership.
c. Tahapan pelaksanaan
Dilaksanakan melalui proses leadership training dan
coaching, yang didalamnya terdiri dari:
1. Leadership training
Pertama mengajarkan kepemimpinan sebagai motivasi
untuk berubah, dan memberikan review teori motivasi-
berbasis kepemimpinan. Seperti teori kepemimpinan
Path, goal, karismatik, transaksional, and
transformasional.
Kedua, melakukan akselerasi panggilan terhadap nilai
spiritualitas di tempat kerja, yang menggambarkan
kebutuhan manusia yang universal terhadap
kesejahteraan spiritual melalui proses calling dan
membership, serta menjelaskan perbedaan antara
agama, religi dan spiritualitas. Selanjutnya, dapat
diuraikan tentang konsep ketuhanan umum sebagai
kekuatan tertinggi dalam sebuah kontinum atas dasar
definisi ketuhanan yang humanistic, theistic, and
pantheistic.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
46
Universitas Indonesia
Selain itu perlu diberikan review teori tentang system
etik dan nilai berbasis kepemimpinan serta
menyimpulkannya, untuk memotivasi para pengikutnya,
maka pemimpin harus menyentuh melalui nilai inti dan
mengkomunikasikan nilai inti tersebut melalui visi dan
perilaku personal untuk menciptakan sebuah perasaan
akan kesejahteraan spiritual melalui calling dan
membership. Untuk dapat melakukannya, maka
pemimpin harus dipersiapkan terlebih dahulu untuk
dapat memuaskan kebutuhan spiritual para pengikut
melalui nilai spiritual yang universal seperti kerendahan
hati, beramal, dan kejujuran.
Setelah itu kemudian dijelaskan mengenai teori
spiritual leadership yang secara konseptual berbeda dan
tidak membingungkan (Fry, 2003).
2. Leadership Coaching
Pada prinsipnya kegiatan bimbingan penerapan
spiritual leadership ini, adalah mengkomunikasikan
hasil pelatihan Spiritual Leadership yang telah diterima
oleh leader kepada para follower. Secara operasional,
prinsip pada kegiatan penerapan Spiritual Leadership
merupakan sebuah proses yang mengandung nilai, sikap
dan perilaku yang diperlukan untuk memotivasi secara
intrinsik baik diri sendiri maupun orang lain, sehingga
terbentuk a sense of spiritual survival through calling
and membership. Adapun prinsip pelaksanaan adalah
Menciptakan/ melaksanakan visi sehingga leader dan
follower memiliki sebuah a sense of calling pada hidup
maupun pekerjaannya, sehingga hidup menjadi lebih
bermakna dan ada sebuah diferensiasi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
47
Universitas Indonesia
Membentuk atau mensosialisasikan sebuah kultur organisasi
berdasarkan pada values of altruistic love, sehingga antara leader
dan follower memiliki sebuah sense of membership, merasa
dimengerti, dan dihargai, serta memiliki have genuine care, belas
kasih, and penghargan baik pada diri leader, follower maupun pada
orang lain.
Spiritual leadership dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan,
efektifitas organisasi dan segala keuntungannya. Namun demikian
banyak pemimpin yang belum mempraktikannya. Hal ini
disebabkan beberapa alasan antara lain proses tahapan menjadi
spiritual leader memerlukan beberapa kompetensi dan beberapa
leader tidak menguasai kompetensi tersebut. dengan bimbingan/
Coaching maka akan membantu para pemimpin untuk berjalan
melewati tantangan, mengambil hambatan menjadi sebuah
peluang. Dengan bimbingan spiritual leadership secara individual
maka akan membantu para pemimpin dalam menggambarkan
kekuatan maupun nilainya dalam melewati hambatan yang ada.
Praktik bimbingan spiritual secara personal merupakan sebuah
pendekatan dalam spiritual leadership. Kegiatan ini dibangun
berdasarkan pondasi bahwasanya klien merupakan seorang yang
sesungguhnya adalah kreatif, banyak akal dan utuh. Oleh karena
itu dalam praktik spiritual leadership ini menggunakan pertanyaan
kritis yang mempunyai pembeda. Melalui latihan bimbingan kita
mengikuti sebuah struktur yang dapat digunakan untuk mendalami
dan mengembangkan spiritualitas personal yang dapat
menghubungkan dengan dan juga mentransformasi pada
organisasi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
48
Universitas Indonesia
Penerapan Spiritual Leadership terdapat tiga langkah yang
meliputi 1) Creating Spiritual Resonance, 2) Identifying Spiritual
Dissonance, and 3) Co-Creating Personal and Organizational
Values in Daily Action.
1. Langkah pertama: Spiritual resonance
Adanya kebutuhan akan terhubungnya nilai nilai individu
dengan nilai nilai organisasi, dijabarkan pada langkah pertama
ini. Melalui proses bimbingan ini pemimpin mengajak klien
untuk mengidentifikasi nilai terpenting yang ada dalam dirinya.
Dan memberi makna atas nilai nilai dalam diri individu
tersebut dan mempenuhi kebutuhan spiritualnya. Sepanjang
fase pertama ini memperdalam pemahaman dan menggaungkan
nilai nilai dalam konteks organisasi. Adapun beberapa
pertanyaan yang penting untuk dijawab pada langkah pertama
ini adalah:
a. Dimana nilai nilai personal mendapatkan dukungan dan
dianjurkan dalam organisasi ini
b. Nilai nilai organisasional manakah yang secara kuat senada
dan bergema dengan nilai nilai personal
c. Bagaimana klien akan diberdayakan untuk membawa
nilainya pada organisasi.
Langkah langkah tersebut dapat membantu klien
mengidentifikasi bahwa dirinya menjadi senada dengan nilai
organisasi (Benefiel & Hamilton, 2007).
2. Langkah kedua: Identifying Spiritual Dissonance
Langkah ini meliputi proses dan bimbingan yang dapat
melibatkan karyawan, teman sejawat dan pemimpin lain dalam
diskusi tentang apa yang kurang pada aspek spiritualitas, yang
diperlukan serta memungkinkan diterapkan pada organisasi.
Pembimbing membantu kliennya dalam membuat langkah
perencanaan terhadap pengenalan proses spiritual pada
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
49
Universitas Indonesia
organisasi. Pada tahap ini pembimbing dan kliennya
mengembangkan sebuah a personal roadmap yang
berhubungan dengan peranan klien dalam transformasi
organisasi. beberapa pertanyaan yang mungkin muncul pada
langkah ini adalah:
a. Apa yang hilang antara hubungan individu dengan
organisasi
b. Apa yang dibutuhkan oleh organisasi tentang aspek
spiritual untuk mengeliminasi ketidaksesuaian/ dissonance
antara spirit dan nilai klien dengan organisasi.
3. Langkah ketiga: Co-Creating Personal and Organizational
Values in daily Action.
Pada tahapan ini ada pertanyaan yang muncul antara lain:
Bagaimana nilai nilai spiritual ditunjukkan dalam aktivitas
sehari hari. Pada langkah proses bimbingan ini, klien
memainkan peranan sehari hari dalam memperkuat spirit dalam
organisasi. Seberapa sukses aksi nilai nilai yang ada saat ini
didalam organisasi, bagaimana klien belajar dari kelemahan,
kesalahan dan meningkatkan hak dalam aksi yang
meningkatkan spirit. Pada tahapan ini pembimbing dan klien
bekerja untuk memperdalam belajar dalam aktivitas sehari hari,
memperkuat nilai-nilai dan mengidentifikasi sesuatu hal yang
hilang dari organisasi pada kegiatan sehari hari (Benefiel &
Hamilton, 2007).
Tiga langkah bimbingan penerapan spiritual leadership diatas
seperti Creating resonance, identifying what is dissonant, dan
kemudian co-creating personal values, akan menghubungkan
antara karyawan, teman, dan pemimpin lain. Hal ini merupakan
proses yang personal, memiliki kekuatan dalam melibatkan
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
50
Universitas Indonesia
klien (follower) dalam aktivitas sehari hari yang bermakna
untuk memperdalam spiritualitas dan mentransformasi
berjalannya sebuah organisasi. Adapun secara ringkas matriks
pelaksanaan Spiritual Leadership ini akan diuraikan pada tabel
2.2
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
52
Universitas Indonesia
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP,
HIPOTESA PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori Penelitian
Kerangka teori penelitian merupakan sebuah kumpulan dari interrelasi konsep
yang terkait masalah penelitian (Wijono, 2007). Kerangka teori penelitian ini
menjelaskan variabel komitmen organisasi sebagai konsep yang
multidimensional. Allen dan Meyer, (1992), menjelaskan 3 bentuk komitmen,
yaitu afektif, normatif, dan berkelanjutan. O’Reilly dan Chatman (1986),
menjelaskan 3 komponen dalam komitmen yaitu internalisasi, identifikasi dan
keterlibatan kerja. Sedangkan Mowday, Porter dan Steers, (1982) menjelaskan
komitmen organisasi pada dasarnya mengandung nilai kepercayaan dan
penerimaan yang kuat, keterlibatan kerja, serta adanya keinginan untuk tetap
bertahan dalam keanggotaan organisasi.
Komitmen organisasi dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor
karakteristik personal (Norteraft & Neale, 1996; Matthieu Zajac, 1990 dalam
Ekeland, 2005; Subanegara, 2005: Sopiah, 2008). Faktor personal ini
meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, masa
kerja, dan status pegawai. Selanjutnya pada faktor organisasi (Norteraft &
Neale, 1996; Matthieu & Zajac, 1990 dalam Ekeland, 2005; Sopiah, 2008),
antara lain karakteristik pekerjaan, dan karakteristik struktur. Selain itu Stum,
(1998), menjelaskan bahwa komitmen ini dapat dipengaruhi oleh faktor
organisasi berupa budaya keterbukaan, kesempatan berkembang, arah
organisasi, kesesuaian penghargaan dan kepuasan kerja.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
53
Universitas Indonesia
Kepuasan kerja ini merupakan sebuah determinan yang signifikan terhadap
terbentuknya komitmen organisasi (Porter, et al 1974; Mottaz, 1987;
Williams&Anderson, 1991; Vanderberg & Lance, 1992; Knoop, 1995; Young
et al, 1998; Testa, 2001 dalam Yew, 2007).
Untuk dapat meningkatkan komitmen organisasi tersebut, diperlukan sebuah
upaya yang dapat dilakukan oleh organisasi. bentuk upaya peningkatan
komitmen ini antara lain Buddy System (Payne & Huffman. 2002), Mentoring
Program (Payne & Huffman. 2002), Leadership Training (Amstrong. 1999),
Workplace Spirituality Programs (Giacalone&Jurkiewicz, 2003), dan
Spiritual Leadership (Fry, 2003, 2005). Bentuk kegiatan tersebut
mendasarkan pada beberapa prinsip, antara lain Amstrong, (1999),
menyatakan bahwa untuk menciptakan sebuah komitmen diperlukan sebuah
strategi khusus antara lain meliputi komunikasi, edukasi, program training,
meningkatkan rasa keterlibatan dan kepemilikan, meningkatkan kinerja dan
system manajemen reward.
Berdasarkan pendapat Meyer dan Allen (1997), yang mengidentifikasi
beberapa anteseden terhadap the want factor, yang dapat dikategorikan
menjadi dua prinsip utama yaitu supportiveness and fairness, dan personal
importance and competence. Sedangkan menurut Luthans (2006)
mengemukakan 5 prinsip dalam meningkatkan komitmen organisasi, yaitu
komitmen individu, komunikasi misi, keadilan organisasi, perkembangan
karyawan, dan rasa komunitas. Berdasarkan tinjauan pustaka tentang
pengaruh Spiritual Leadership dengan terbentuknya komitmen organisasi
perawat, maka peneliti menggambarkan kerangka teoritis dapat dilihat pada
skema 3.1.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
54
Universitas Indonesia
Skema 3.1: Kerangka Teori Penelitian
Faktor Komitmen Organisasi (Sopiah, 2008; Norteraft & Neale, 1996) 1. Faktor personal: 2. Faktor organisasional 3. Faktor non organisasional
Faktor Komitmen Organisasi (Stum,1998 dalam Sopiah, 2008)
1. Budaya keterbukaan 2. Kepuasan kerja 3. Kesempatan berkembang 4. Arah organisasi 5. Kesesuaian Penghargaan kerja
Anteseden Komitmen Organisasi (Matthieu Zajac, 1990 dalam Ekeland, 2005)
1. Karakteristik Personal 2. Status peran 3. Karakteristik kerja 4. Group Leader relation 5. Karakteristik organisasi
Komitmen Organisasi (Allen, Meyer 1992) 1. Affective commitment 2. Continuance
commitment 3. Normative commitment
Komitmen Organisasi (O’reilly dan chatman, 1986 dalam Fields) 1. Internalisasi 2. Identifikasi 3. Keterlibatan Kerja
Komitmen Organisasi (Mowday, Porter&Steers, 1982):
1. Kepercayaan dan penerimaan
2. Keterlibatan kerja 3. Keinginan untuk
tetap bertahan
Faktor Komitmen Organisasi (Subanegara, 2005)
1. Faktor personal 2. Iklim organisasi 3. Kepemimpinan
1. Komitmen individu 2. Komunikasi misi 3. Keadilan organisasi 4. Perkembangan karyawan 5. Rasa komunitas (Luthans, 2006)
1. The Wants Factors a. Supportive and fairness b. Personal importance and
competence 2. The Need Factors
a. Investment factors b. Attraction factors
(Meyer, Allen, 1992)
1. Komunikasi 2. Edukasi 3. Program Training 4. Inisiasi peningkatan
keterlibatan kerja 5. System manajemen
reward (Amstrong, 1999).
1. Buddy System (Payne, Huffman. 2002) 2. Mentoring Program (Payne, Huffman. 2002) 3. Leadership Training (Amstrong. 1999) 4. Workplace Spirituality Programs (Giacalone, J. 2003) 5. Spiritual Leadership (Fry, 2003, 2005)
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
55
Universitas Indonesia
3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka teoritis yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti
mengkaji, mensintesis atau merangkum dalam bentuk kerangka konsep.
Kerangka konsep merupakan sebuah model penelitian yang menjelaskan
hubungan sebab akibat/ pengaruh antara variabel bebas, yang diajukan
peneliti untuk menjawab masalah dan hipotesis penelitian (Wijono, 2007).
Variabel dependen yang akan diukur pada penelitian ini meliputi komitmen
organisasi pada perawat, yang sub variabelnya meliputi internalisasi,
identifikasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan keinginan mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi yang diambil berdasarkan teori O’Reilly dan
Chatman, (1986); Allen dan Meyer, (1992). Variabel komitmen organisasi
tersebut akan dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah penerapan Spiritual
Leadership.
Variabel intervensi dalam penelitian ini adalah Spiritual Leadership yaitu
merupakan bentuk interaksi antara kelompok leader yang telah diberikan
pelatihan tentang Spiritual Leadership, yang kemudian menerapkan Spiritual
Leadership pada kelompok follower. Spiritual Leadership dijabarkan dalam 5
sesi, yaitu identifikasi keyakinan dan harapan, identifikasi nilai spiritual,
identifikasi ketidaksesuaian nilai spiritual, identifikasi aktivitas spiritual, dan
evaluasi aktivitas spiritual yang diharapkan dapat meningkatkan komitmen
organisasi pada perawat yang telah diterapkan Spiritual leadership.
Variabel confounding yang akan diukur yaitu karakteristik perawat meliputi
umur, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, masa kerja, dan
status pegawai (Norteraft & Neale, 1996; Matthieu & Zajac, 1990 dalam
Ekeland, 2005; Subanegara, 2005: Sopiah, 2008), dan faktor organisasi
berupa kepuasan kerja (Stum, 1998 dalam Sopiah, 2008).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
56
Universitas Indonesia
Skema 3.2: Kerangka Konsep Penelitian
Komitmen perawat pada Organisasi
1. Identifikasi 2. Internalisasi 3. Keterlibatan
dalam pekerjaan 4. Keinginan untuk
mempertahankan keanggotaan
1. 5.
2.
Penerapan Spiritual Leadership:
Sesi I : Identifikasi harapan dan keyakinan Sesi II : Identifikasi Nilai Spiritual Sesi III : Identifikasi kesenjangan spiritual Sesi IV : Identifikasi aktivitas nilai spiritual Sesi V : Evaluasi pencapaian nilai spiritual
1. Faktor personal (karakteristik perawat): a. Usia, b. Jenis kelamin c. Tingkat pendidikan d. Masa kerja, e. Status perkawinan f. Status pegawai
2. Faktor Organisasi (Kepuasan Kerja) a. Gaji b. Supervisi c. Pekerjaan d. Rekan Kerja e. Promosi
Komitmen perawat pada Organisasi
1. Identifikasi 2. Internalisasi 3. Keterlibatan
dalam pekerjaan 4. Keinginan untuk
mempertahankan keanggotaan
3.
Variabel Dependen Variabel Dependen
Variabel Counfounding
Variabel Intervensi
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
57
Universitas Indonesia
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan
penelitian yang kebenarannya masih akan diuji berdasarkan data/ fakta
empiris (Wijono, 2007). Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka
dirumuskan hipotesis kerja (Ha) penelitian sebagai berikut:
3.3.1 Ada perbedaan yang bermakna antara komitmen organisasi pada
perawat yang diterapkan Spiritual Leadership dengan yang tidak
diterapkan Spiritual Leadership di RS. Islam Surabaya
3.3.2 Ada perbedaan yang bermakna antara komitmen organisasi pada
kelompok perawat kepuasan kerja tinggi dengan kepuasan kerja
rendah di RS. Islam Surabaya
3.3.3 Ada hubungan yang bermakna antara karakteristik personal perawat
dengan komitmen organisasi perawat di RS Islam Surabaya
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
58
Universitas Indonesia
3.4 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian
Variabel/ Sub Variabel
Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel independen/ intervensi Penerapan Spiritual Leadership
Suatu bentuk upaya meningkatkan motivasi internal perawat pelaksana, oleh leader (kepala ruang dan wakil kepala ruang) dalam mencapai motto rumah sakit melalui penerapan nilai spiritual yang terkandung dalam 9 nilai kasih altruistic, sehingga dapat menumbuhkan perasaan membership (perasaan dihargai dan dimengerti) dan calling (perasaan memiliki makna).
Kepala ruang dan wakilnya (Leader), yang telah diberikan pelatihan Spiritual Leadership, dikelas selama 2 hari dilanjutkan dengan praktik lapangan selama 4 hari, kemudian kelompok leader tersebut membimbing kelompok perawat pelaksana (follower) diruangan masing masing, tentang penerapan 9 nilai altruism, yang terdiri dari 3langkah dan 5 sesi penerapan. Implementasi SL pada PP dievaluasi dengan kuesioner Self Assessment.
Kelompok perawat yang menerima penerapan Spiritual leadership Kelompok perawat yang tidak menerima penerapan Spiritual leadership
Nominal
Variabel Dependen Komitmen Organisasi
Pernyataan perawat pelaksana terhadap sikap keterikatan emosionalnya pada rumah sakit tempat kerja yang ditunjukkan melalui respon identifikasi, internalisasi , keterlibatan kerja dan keinginan mempertahankan keanggotaan dalam rumah sakit.
Diukur dengan kuesioner terdiri dari 16 pertanyaan tertutup, dengan kategori: 4=Sangat Setuju 3=Setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju
Mean, median, SD, nilai minimum 16 dan nilai maksimum 60, serta 95%CI
Interval
a. Identifikasi
Pernyataan perawat pelaksana atas sikap komitmennya tentang adanya kepercayaan persamaan nilai nilai dirinya dengan nilai pada rumah sakit tempat kerjanya
Diukur dengan kuesioner terdiri dari 4 pertanyaan tertutup, dengan kategori: 4=Sangat Setuju 3=Setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju
Mean, median, SD, nilai minimum 4 dan nilai maksimum 16, serta 95%CI
Interval
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
59
Universitas Indonesia
b. Internalisasi Pernyataan perawat atas sikap komitmennya tentang penerimaan/ adopsi dalam diri perawat tentang nilai dan tujuan rumah sakit tempat kerjanya
Diukur dengan kuesioner terdiri dari 4 pertanyaan tertutup, dengan kategori: 4=Sangat Setuju 3=Setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju
Mean, median, SD, nilai minimum 4 dan nilai maksimum 16, serta 95%CI
Interval
c. Keterlibatan kerja Pernyataan perawat atas sikap komitmennya tentang kemauan untuk terlibat secara aktif dalam pekerjaannya dalam mengusahakan tercapainya visi dan tujuan organisasi rumah sakit
Diukur dengan kuesioner terdiri dari 4 pertanyaan tertutup, dengan kategori: 4=Sangat Setuju 3=Setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju
Mean, median, SD, nilai minimum 4 dan nilai maksimum 16, serta 95%CI
Interval
d. Keinginan mempertahankan keanggotaan organisasi
Pernyataan perawat atas sikap komitmennya tentang usaha yang dilakukan untuk dapat tetap berada didalam rumah sakit tempat kerja
Diukur dengan kuesioner terdiri dari 4 pertanyaan tertutup, dengan kategori: 4=Sangat Setuju 3=Setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju
Mean, median, SD, nilai minimum 4 dan nilai maksimum 16, serta 95%CI
Interval
Variabel Counfounding Kepuasan kerja
Pernyataan akan persepsi perawat tentang sikap kerja nya baik positif maupun negatif yang berkaitan dengan aspek gaji, pekerjaan, kelompok kerja, supervisi dan kesempatan promosi yang dialami selama bekerja di rumah sakit
Diukur dengan kuesioner terdiri dari 20 pertanyaan tertutup, dengan kategori: 4=Sangat Setuju 3=Setuju 2=Tidak setuju 1=Sangat tidak setuju
Hasil ukur dikategorikan menjadi: Kepuasan kerja tinggi (Kode=1) jika skor yang didapat > nilai tengah rentang skor kumulatif (>50) Kepuasan kerja rendah(Kode=0) jika skor yang didapat < nilai tengah rentang skor kumulatif (<50)
Ordinal
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
60
Universitas Indonesia
Karakteristik Perawat Umur Jawaban responden perawat tentang jumlah
tahun mulai kelahiran hingga saat penelitian Diukur dengan kuesioner A (data umum)
Hasil ukur berupa jumlah usia dalam tahun
Interval
Jenis kelamin Jawaban responden perawat tentang jenis kelamin
Diukur dengan kuesioner A (data umum)
Hasil ukur berupa jenis kelamin yang dikategorikan menjadi: Laki laki=0 Perempuan=1
Nominal
Tingkat Pendidikan Jawaban responden perawat tentang pendidikan formal keperawatan terakhir
Diukur dengan kuesioner A (data umum)
Hasil ukur dikategorikan menjadi: SPK=0 D3 Kep= 1 S1 Kep=2
Ordinal
Status perkawinan Jawaban responden perawat tentang status pernikahan saat ini
Diukur dengan kuesioner A (data umum)
Hasil ukur dikategorikan menjadi: Tidak Menikah=0 Menikah= 1
Nominal
Status pegawai Jawaban responden perawat tentang status kepegawaian terakhir di RSIS
Diukur dengan kuesioner A (data umum)
Hasil ukur dikategorikan menjadi: Non Pegawai tetap= 0 Pegawai tetap= 1
Nominal
Masa kerja Jawaban responden perawat tentang jumlah tahun lama mulai bekerja sebagai perawat di RS tempat penelitian.
Diukur dengan kuesioner A (data umum)
Hasil ukur berupa lama kerja dalam tahun
Interval
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
61
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian eksperimental semu (Quasy
experiment), yaitu sebuah kegiatan perlakuan atau intervensi terhadap suatu
variabel yang bertujuan untuk mengetahui suatu pengaruh yang timbul
sebagai akibat dari adanya perlakuan tertentu, tanpa adanya pembatasan yang
ketat terhadap randomisasi (Notoatmodjo, 2000). Sedangkan bentuk desain
penelitian yang digunakan adalah Pre and post test design with control group
(Sugiyono, 2007). Dalam desain ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok
intervensi dan kontrol, antara individu antara kedua kelompok adalah
berbeda, namun masing-masing kelompok diharapkan terdapat kesetaraan,
oleh karena itu dilakukan pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah
perbedaan kesetaraan antara kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.
Pada penelitian ini, bentuk perlakuan yang diberikan pada responden perawat
pada kelompok intervensi adalah penerapan Spiritual leadership. Kemudian
peneliti mengukur komitmen organisasi perawat sebelum maupun sesudah
perlakuan pada kelompok intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol
hanya dilakukan pengukuran pretest dan posttest saja tanpa adanya
perlakuan. Adapun rancangan tersebut dapat dilihat pada skema 4.1.
Skema 4.1:
Rancangan Desain Penelitian
Pre Test Post Test Intervensi
O1
X O2
O3
O4
Dibandingkan:
O1—O3
O2—O1
O4—O3
O2---O4
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
62
Keterangan:
O1: Komitmen organisasi perawat sebelum diterapkan Spiritual Leadership
O2: Komitmen organisasi perawat sesudah diterapkan Spiritual Leadership
X : Penerapan Spiritual Leadership
O3 : Komitmen organisasi awal pada perawat kelompok kontrol
O4 : Komitmen organisasi akhir pada perawat kelompok kontrol
O1—O3: Perbedaan komitmen organisasi awal pada kelompok intervensi
maupun kontrol (Pretest)
O2—O1: Perbedaan komitmen organisasi perawat sesudah dengan sebelum
pada kelompok yang diterapkan Spiritual Leadership
O4—O3: Perbedaan komitmen organisasi perawat awal dan akhir pada
kelompok yang tidak diterapkan Spiritual Leadership
O2—O4: Perbedaan komitmen organisasi akhir pada kelompok intervensi
dengan kontrol (Posttest)
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi merupakan keseluruhan unit atau individu dalam ruang
lingkup yang ingin diteliti (Sugiarto, dkk. 2001). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di RS Islam
Surabaya A. Yani sejumlah 111 perawat, dan sejumlah 98 orang
perawat.
4.2.2 Sampel
Sampel merupakan sebuah subset yang diambil dari populasi yang
akan diamati atau diukur peneliti. (Murti, 2006). Sampel dalam
penelitian ini adalah Perawat Pelaksana yang diharapkan memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut:
4.2.2.1 Perawat pelaksana
4.2.2.2 Bekerja di ruang rawat inap Non paviliun
4.2.2.3 Tidak sedang cuti, sakit, dan tugas belajar saat dilaksanakan
pre test
4.2.2.4 Bersedia menjadi responden dan mengikuti proses penelitian
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
63
Untuk mengetahui jumlah sampel yang dibutuhkan, maka digunakan rumus
ukuran sampel untuk menaksir beda dua mean dari dua populasi, atau
pengujian antara dua rata rata berpasangan dengan derajat kemaknaan 5%,
kekuatan uji 95% (Ariawan, 1998; Lemeshow et al, 1990, dalam Murti 2006)
yaitu:
n = Z21-α [2.σ2]
d²
Keterangan :
n = Besar sampel
d = Presisi yang diinginkan tentang mean populasi yang ditaksir
Z21-α = Nilai Z pada derajat kemaknaan, bila alpha 0.05 (1.96)
σ2 = Varians populasi yang tidak diketahui
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang komimen organisasi pada
perawat di RS. Tugu Ibu tahun 2008, dapat diketahui bahwa varians populasi
(historikal data penelitian sebelumnya) adalah 6.57. Sedangkan nilai presisi
yang diharapkan pada penelitian ini adalah (+/-3 point). Berdasarkan
penghitungan menggunakan rumus diatas, maka jumlah sampel dihasilkan 37
sampel untuk tiap kelompok baik intervensi dan kontrol. Namun demikian,
untuk mengantisipasi adanya drop out dalam follow up studi eksperimental
ini, maka kemungkinan berkurangnya sampel perlu diantisipasi dengan cara
memperbesar taksiran ukuran sampel agar presisi penelitian tetap terjaga.
Adapun rumus untuk mengantisipasi berkurangnya subyek penelitian sebagai
berikut (Thabane, 2005 dalam Murti 2006):
n’ = n
----
1-L
Keterangan:
n’ = ukuran sampel setelah revisi
n = ukuran sampel asli
L = Non response rate (Proporsi subyek yang hilang, yaitu 10%).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
64
Berdasarkan penghitungan rumus, maka sampel akhir yang ada
adalah 41 responden pada tiap kelompok intervensi dan kontrol,
sehingga total sampel yang didapatkan adalah 82 responden. Pada
saat pengumpulan data sampel terpenuhi secara keseluruhan dan tidak
didapatkan drop out sampai akhir proses penelitian.
4.2.3 Fasilitator Implementasi Spiritual Leadership
Pada penelitian ini, khususnya pada intervensi penerapan spiritual
leadership, melibatkan kelompok leader sebagai fasilitator
implementasi Spiritual Leadership pada perawat pelaksana yang
terlibat. Adapun kriteria kelompok leader adalah perawat yang
menjabat sebagai kepala ruangan maupun Clinical Instructur (CI)
dari ruangan rawat inap non paviliun RS. Islam Surabaya yang
bersedia mengikuti proses penelitian. Sehingga pada penelitian ini
didapatkan 10 fasilitator pada kelompok intervensi yang menyetujui
terlibat dalam penelitian ini seperti pada tabel 4.1.
4.2.4 Teknik sampling
Berdasarkan penghitungan dengan rumus diatas, maka jumlah sampel
yang diperlukan adalah 41 orang pada tiap kelompok, baik intervensi
maupun kontrol. Jumlah sampel tersebut diambil dengan
menggunakan teknik Proportionate stratified random sampling.
Menurut Notoatmodjo, (2000) teknik ini digunakan apabila suatu
populasi terdiri dari unit yang mempunyai karakteristik tidak
homogen. Penentuan strata ini pada penelitian ini didasarkan
berdasarkan ruangan rawat inap Adapun jumlah sampel yang
diinginkan dari tiap tiap ruangan pada kelompok intervensi seperti
pada tabel 4.1.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
65
Tabel 4.1 Jumlah sampel dan fasilitator kelompok intervensi di ruang rawat inap
RS. Islam Surabaya A.Yani, tahun 2009.
No. Nama Ruang Jumlah Perawat
Jumlah sampel Jumlah Fasilitator
1. Shafa Marwa 16 16/ 84 x 41=7.8 (8) 2
2. Hijr Ismail 18 18/ 84 x 41=8.8 (9) 2
3. Multazam 15 15/ 84 x 41=7.3 (8) 2
4. Arofah 9 9/ 84 x 41 = 4.4 (4) 1
5. Zam Zam 9 9/ 84 x 41 = 4.4 (4) 1
6. Mina 17 17/ 84 x 41=8.3 (8) 2
Jumlah 84 41 10
Sedangkan jumlah dan proporsi sampel dari kelompok kontrol penelitian
akan diuraikan seperti pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Jumlah sampel dan fasilitator kelompok kontrol di ruang rawat inap
RS. Islam Surabaya Jemursari, tahun 2009.
No. Nama Ruang Jumlah Perawat
Jumlah sampel Jumlah fasilitator
1. Melati 13 13/51 x 41=10.4 (10) 2
2. Kemuning 12 12/ 51 x 41=9.6 (10) 2
3. Teratai 14 14/ 51 x 41=11.3 (11) 2
4. Neonatus 12 12/ 51 x 41=9.6 (10) 2
Jumlah 51 41 8
Pengambilan sampel pada masing masing ruangan tersebut dilakukan dengan
menggunakan teknik simple random sampling, yaitu pengambilan anggota
sampel dari populasi dilakukan secara acak, dan keseluruhan anggota
memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi responden.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
66
4.3 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di dua RS. Islam yang dimiliki dan dinaungi oleh
satu yayasan yaitu YARSI Surabaya. Adapun tempat penelitian untuk
kelompok intervensi adalah di ruang rawat inap non paviliun RS. Islam
Surabaya, A.Yani Surabaya. Sedangkan pengambilan data kelompok kontrol
akan dilakukan di ruang rawat inap non paviliun RS. Islam Surabaya,
Jemursari. Waktu penelitian dilaksanakan mulai tanggal 22 April 2009
hingga tanggal 30 Mei 2009. Adapun secara rinci kegiatan penelitian dapat
dilihat pada lampiran 1.
4.4 Etika penelitian
Proses dalam penelitian ini diawali dengan kegiatan uji etik (Ethical
Clearence) pada proposal penelitian oleh Komite Etik Penelitian
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, setelah
mendapatkan surat keterangan lolos uji etik (lampiran 4), kemudian peneliti
mengajukan perizinan penelitian ke dua rumah sakit terkait (lampiran 2),
untuk mendapatkan jawaban persetujuan pelaksanaan penelitian seperti pada
lampiran 2.
Penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa prinsip etika dan
peneliti memegang prinsip scientific attitude/ sikap ilmiah dan etika
penelitian keperawatan yang mempertimbangkan aspek sosioetika dan harkat
martabat kemanusiaan seperti beberapa prinsip berikut ini: Prinsip pertama
mempertimbangkan hak-hak perawat untuk mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan penelitian serta bebas untuk menentukan pilihan untuk
berpartisipasi atau tidak dalam penelitian (autonomy and self determination).
Selanjutnya peneliti memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang rencana,
tujuan, manfaat dan dampak penelitian selama pengumpulan data, kemudian
perawat diberikan hak penuh untuk menyetujui atau menolak terlibat dalam
penelitian dengan cara menandatangani lembar persetujuan (Informed
Consent) pada lampiran 6. Perawat yang telah dipilih secara acak
sebelumnya, kemudian diberikan lembar persetujuan, dan setelah diberikan
penjelasan yang cukup, serta diberikan kesempatan untuk bertanya, seluruh
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
67
perawat yang terpilih menjadi sampel menandatangani lembar persetujuan
sebagai bentuk kesediaan terlibat dalam penelitian.
Prinsip kedua yaitu peneliti tidak mencantumkan nama perawat pada lembar
kuesioner yang diisi, dan lembar tersebut hanya diberi nomor kode responden
dan kerahasiaan informasi yang diberikan perawat dijamin oleh peneliti, dan
hanya digunakan dalam penelitian ini saja (Confidentiality).
Prinsip ketiga merupakan konotasi keterbukaan dan keadilan (justice) dengan
menjelaskan prosedur penelitian dan memperhatikan kejujuran (honesty)
serta ketelitian. Demi kelancaran implementasi Spiritual Leadership pada
perawat pelaksana, maka pelaksanaan kegiatan dilakukan 2x pertemuan pada
tiap minggunya selama 3 minggu, sehingga tidak menimbulkan kejenuhan
dan resistensi pada perawat pelaksana. Sedangkan demi memperhatikan
prinsip fair treatment, maka pada kelompok intervensi akan diterapkan
Spiritual Leadership sedangkan pada kelompok kontrol hanya dilakukan
pengukuran komitmen organisasi pada perawat pelaksana, tanpa diterapkan
Spiritual Leadership. Namun setelah kegiatan posttest selesai, peneliti
memberikan pelatihan Spiritual Leadership kepada kelompok leader di RS.
Islam Jemursari dengan menggunakan modul yang sama.
Sedangkan prinsip keempat adalah memaksimalkan hasil yang bermanfaat
(beneficence) dan meminimalkan hal merugikan (non maleficence) dengan
melakukan penerapan Spiritual Leadership yang telah disesuaikan dengan
budaya rumah sakit setempat, sesuai standar pelaksanaan dapat digunakan
untuk meningkatkan komitmen organisasi pada perawat.
4.5 Alat Pengumpul Data
4.5.1 Instrumen penelitian
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner. Kuesioner
merupakan teknik pengumpul data yang dilakukan dengan cara
memberikan seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden untuk
dijawab (Sugiyono, 2007).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
68
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdapat 3 bagian
utama. yaitu kuesioner A, B, dan C. Pada saat pretest penelitian,
peneliti menggunakan 3 bagian kuesioner, yaitu kuesioner A, B, dan
C. Sedangkan pada saat posttest, instrument yang digunakan adalah
kuesioner C saja.
Kuesioner A berisi tentang variabel karakteristik individu perawat
yang dibuat dalam bentuk pertanyaan tertutup, yang meliputi nomor
responden, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan,
masa kerja, dan status pegawai.
Kuesioner B digunakan untuk mengukur kepuasan kerja perawat,
yang dibuat dengan pertanyaan tertutup, dengan jumlah total adalah
20 butir pertanyaan. Kuesioner B ini dikembangkan sendiri oleh
peneliti melalui 5 dimensi kepuasan kerja menurut Luthans (2006),
yaitu dimensi gaji; dimensi pekerjaan; dimensi supervisi; dimensi
kelompok kerja dan kesempatan promosi. Adapun item pilihan
jawaban untuk kuesioner kepuasan kerja adalah 4 rentang skor nilai
yaitu 1=sangat tidak setuju, 2= sangat setuju, 3=setuju dan 4=sangat
setuju.
Kuesioner C digunakan untuk mengukur variabel dependen yaitu
komitmen organisasi perawat, yang diadaptasi dan dimodifikasi dari
kuesioner komitmen organisasi (Psychological Attachment
Instrument) yang dikembangkan oleh O’Reilly dan Chatman (1986).
Kuesioner ini yang awalnya berjumlah 12 buah pertanyaan, kemudian
dikembangkan menjadi 20 buah pertanyaan.
Kuesioner ini pada awalnya merupakan pertanyaan tentang tiga
komponen komitmen organisasi, yaitu identifikasi, internalisasi, dan
keterlibatan kerja. Kemudian peneliti menambahkan sub variabel
keinginan bertahan dalam keanggotan. Jumlah pertanyaan yang
ditambahkan masing masing sub variabel adalah 1 pertanyaan, dan
khususnya pada sub variabel mempertahankan keanggotaan dalam
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
69
organisasi sejumlah 5 pertanyaan. Adapun jumlah pertanyaan tiap sub
variabel tersebut adalah masing masing 5 buah pertanyaan seperti sub
variabel identifikasi sub variabel internalisasi; sub variabel
keterlibatan kerja; dan sub variabel keinginan mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi. Item pilihan jawaban untuk kuesioner
komitmen organisasi adalah 4 rentang skor nilai yaitu 1=sangat tidak
setuju, 2= sangat setuju, 3=setuju dan 4=sangat setuju. Secara lebih
lengkap kisi kisi instrument pada` lampiran 5.
4.5.2 Uji Coba Instrumen
Sebelum pengambilan data penelitian yang sesungguhnya, maka
terlebih dahulu dilakukan pengujian instrument, baik uji validitas
maupun reliabilitas. Uji coba instrumen dilaksanakan di RS. Islam
Jombang, dengan jumlah subyek 30 sampel. Setelah pengambilan
data untuk uji coba instrument, kemudian dilakukan Uji validitas
dilakukan untuk mengetahui ketepatan suatu alat ukur dalam
mengukur suatu data (Hastono, 2007). Tingkat validitas yang ingin
dicapai adalah validitas internal maupun eksternal. Setelah instrumen
dikonsultasikan dengan ahli/ pembimbing, selanjutnya dilakukan
analisis faktor dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product
Moment. Pertanyaan dikatakan valid apabila skor variabel tersebut
berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya, dan berdasarkan
hasil uji didapatkan r hitung > dari r tabel.
Setelah semua pertanyaan telah dinyatakan valid semua, kemudian
dilakukan uji reliabilitas. Uji ini bertujuan untuk mengetahui
konsistensi/ keandalan alat ukur, apabila dilakukan pengukuran dua
kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan alat ukur yang sama
pula. (Hastono, 2007). Untuk mengetahui tingkat reliabilitas alat ukur
maka digunakan metode Alpha Cronbach, yang diukur berdasarkan
skala Alpha Cronbach 0 sampai 1. Alat ukur dikatakan reliabel
apabila didapatkan nilai Cronbach’s coefficient-alpha lebih besar
dibandingkan dengan nilai Alpha Cronbach 0, 600 (Sujianto, 2007).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
70
Berdasarkan hasil uji coba instrument yang telah dilakukan, maka
terdapat beberapa pertanyaan yang tidak valid. Pada instrument kepuasan
kerja pada awalnya didapatkan 6 pertanyaan yang tidak valid, yaitu 3
pertanyaan pada dimensi supervisi, 2 pertanyaan pada dimensi gaji, dan 1
pertanyaan pada dimensi promosi. Selanjutnya 5 dari 6 pertanyaan
tersebut dihilangkan, namun 1 pertanyaan pada dimensi supervisi
diperbaiki dan kemudian dimasukkan kembali pada daftar pertanyaan,
sehingga jumlah keseluruhan adalah 20 butir. Sedangkan pada instrument
komitmen organisasi, hasil uji validitas menunjukkan ada 4 pertanyaan
yang tidak valid, masing masing 1 pertanyaan dari tiap tiap sub variabel.
Mengingat pertanyaan yang valid telah mewakili, maka 4 pertanyaan
tersebut dihilangkan, dan jumlah pertanyaan akhir adalah 16 butir.
Selanjutnya hasil uji validitas dan reliabilitas ditampilkan pada tabel 4.3
berikut
Tabel 4.3 Hasil validitas dan reliabilitas instrument penelitian ‘Pengaruh penerapan
Spiritual Leadership terhadap komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya’ tahun 2009
Instrument
Sub variabel Jumlah pertanyaan
Awal
Jumlah pertanyaan
akhir
Validitas
Reliabilitas
Kepuasan Kerja (Kuesioner B)
Dimensi Gaji Dimensi Pekerjaan Dimensi Supervisi Dimensi Rekan kerja Dimensi Promosi
5 5 5 5 5
3 5 3 5 4
0.368 sampai 0.783
0.907
Komitmen organisasi (Kuesioner C)
Identifikasi Internalisasi Keterlibatan kerja Keinginan bertahan
5 5 5 5
4 4 4 4
0.499 sampai 0.792
0.946
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
71
4.6 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Prosedur pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini meliputi
beberapa tahapan berikut:
4.6.1 Persiapan
Kegiatan persiapan ini merupakan prosedur administratif yaitu
mengajukan permohonan ijin penelitian pada Direktur RS. Islam
Surabaya yang akan digunakan sebgai tempat penelitian. Setelah
mendapatkan ijin penelitian kemudian peneliti melakukan koordinasi
dengan Bidang keperawatan dan Diklat RS. Islam Surabaya untuk
teknis melaksanakan penelitian.
4.6.2 Pelaksanaan
4.6.2.1 Pretest
Kegiatan pengambilan data awal penelitian, dilakukan untuk
mengukur variabel karakteristik personal, kepuasan kerja
perawat dan komitmen organisasi perawat. Pengukuran
variabel karakteristik personal, dan kepuasan kerja dilakukan
pada tahap pretest saja. Pengambilan data dilaksanakan
sebelum waktu penerapan kegiatan Spiritual leadership, baik
pada kelompok intervensi maupun kontrol, setelah
sebelumnya diberikan informed consent terlebih dahulu.
4.6.2.2 Penerapan Spiritual Leadership
a. Dilaksanakan setelah responden yang terpilih bersedia
menandatangani lembar persetujuan sebagai responden
penelitian.
b. Pengukuran Pre-test dengan menggunakan kuesioner
karakteristik perawat, kepuasan kerja dan komitmen
organisasi dilakukan baik pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol.
c. Pelatihan Spiritual Leadership pada kepala ruangan dan
pembimbing klinik dari ruangan yang telah dipilih, yang
akan bertindak sebagai fasilitator spiritual leader pada
perawat pelaksana yang terdiri dari 3 kegiatan, yaitu
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
72
pelatihan di kelas selama 2 hari, kemudian dilanjutkan
dengan kegiatan praktik lapangan selama 4 hari yang
merupakan kegiatan bimbingan penerapan Spiritual
Leadership yang dilakukan peneliti kepada kelompok leader
tersebut. Selanjutnya kegiatan remedial selama satu hari
dilaksanakan apabila didapatkan peserta yang belum lulus
pada kegiatan pelatihan. Lebih lanjut dapat dilihat pada
modul lampiran 9.
d. Setelah proses kegiatan pelatihan selama 1 minggu bagi
para kepala ruang dan wakil kepala ruangan yang telah
lulus, maka para leader tersebut mengimplementasikan
penerapan Spiritual Leadership pada perawat pelaksana,
sebanyak 3 langkah penerapan yang terdiri dari 5 sesi, yang
dilakukan oleh kepala ruang dan pembimbing klinik di
ruangan masing masing pada perawat pelaksana yang
dilaksanakan sebanyak 2x pertemuan pada tiap minggunya
selama 3 minggu. Pertemuan pertama dilaksanakan untuk
sesi I, II, III dan sesi IV. Kemudian pada pertemuan kedua
adalah fasilitator memberikan evaluasi pencapaian nilai
spiritual pada sesi ke V.
e. Setelah kurun waktu 3 minggu intervensi implementasi
Spiritual Leadership pada responden perawat pelaksana,
maka pada minggu ke 6 kemudian dilaksanakan pengukuran
posttest tentang komitmen organisasi pada perawat
pelaksana baik pada kelompok intervensi maupun kontrol.
f. Selanjutnya pada kelompok kontrol, peneliti memberikan
pelatihan spiritual leadership dikelas pada kepala ruangan
dan pembimbing klinik dari 4 ruangan rawat inap yang ada
di RS. Islam Surabaya Jemursari, namun tanpa bimbingan
praktek penerapan spiritual leadership.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
73
4.6.2.3 Post test
Setelah pelaksanaan penerapan Spiritual leadership, kemudian
peneliti melakukan pengukuran kembali komitmen organisasi
perawat. Pengambilan data dilaksanakan pada minggu ke enam
yaitu pada tanggal 25-30 Mei 2009. Berdasarkan alur kegiatan
penelitian diatas, secara ringkas akan digambarkan dengan
skema alur kerangka kerja penelitian seperti pada skema 4.2.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
71
Skema 4.2 Kerangka Kerja Penelitian
Penerapan Spiritual Leadership terhadap komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya tahun 2009
1 Minggu 1 Minggu 3 Minggu 1 Minggu
Intervensi Post Test Pre Test
Posttest:
Pengukuran komitmen organisasi pada perawat pelaksana
Pretest:
Pengukuran variabel karakteristik perawat, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi pada perawat pelaksana
Post Test Pre Test Kelompok Kontrol
Implementasi Spiritual Leadership (Pada Perawat Pelaksana )
1. Pertemuan I Step I: Sesi I :Identifikasi harapan dan keyakinan
Sesi II : Identifikasi Nilai Spiritual Step II: Sesi III : Identifikasi kesenjangan spiritual Step III: Sesi IV : Identifikasi aktivitas nilai spiritual
2. Pertemuan II Step III: Sesi V: Evaluasi aktivitas nilai spiritual
Pelatihan Spiritual Leadership pada Kepala ruang dan wakilnya
Pelatihan di kelas selama 2 hari
Praktek lapangan selama 4 hari
Remedial bagi peserta pelatihan yang belum lulus, selama 1 hari
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
75
Universitas Indonesia
4.7 Pengolahan Data
Proses pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini pada saat
seluruh kuesioner telah terkumpul seluruhnya, diolah dengan
menggunakan 4 tahapan pengolahan data (Hastono, 2007). Tahapan
pertama yaitu Editing, dengan melakukan pengecekan isian kuesioner
pada saat pengembalian kuesioner yang telah diisi oleh perawat, untuk
menilai kelengkapan isian, dan jawaban. Hasilnya seluruh jawaban
kuesioner yang diisi dinyatakan lengkap.
Tahapan selanjutnya dilakukan Coding, yaitu memberi kode khusus pada
tiap responden, serta memberi kode pada karakteristik perawat, serta
memberikan skor pada jawaban kuesioner, sehingga seluruh responden
diberikan nomor yang berbeda dan jawaban telah diberikan skor angka
pada tiap itemnya. Setelah seluruh data diberikan kode angka, maka
selanjutnya dilakukan tahapan Processing yang dilakukan dengan
memasukkan data dari kuesioner kedalam program komputer, dan setelah
seluruh data telah dimasukkan, kemudian dilakukan tahapan Cleaning,
yaitu melakukan pengecekan kembali data yang sudah di entry untuk
menilai kelengkapan, dan hasil entry data tidak ada kesalahan dan lengkap
struktur datanya sehingga siap dilakukan analisis data.
4.8 Analisis Data
Setelah dilakukan pengolahan data seperti pada bagian sebelumnya,
kemudian data tersebut dilakukan analisis dengan menggunakan komputer
pada tiga tahapan analisis seperti berikut:
4.8.1 Analisis univariat
Tahapan analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan
karakteristik masing masing variabel yang diteliti. Yang mana setiap
variabel penelitian akan dideskripsikan berdasarkan jenis datanya
(Hastono, 2007). Analisa diskriptif dilakukan pada tiap tiap variabel
baik variabel kepuasan kerja, variabel komitmen organisasi dan
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
75
Universitas Indonesia
variabel karakteristik perawat, yang meliputi karakteristik umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, dan status pegawai.
Untuk variabel dengan skala numerik menggunakan analisis tendensi
sentral yaitu nilai mean, median, standar deviasi, nilai minimum dan
maksimum, serta nilai Confident Interval (CI). Sedangkan untuk data
kategorik akan disajikan dalam bentuk proporsi dan distribusi
frekuensi.
5 4.8.2 Analisis Bivariat
Setelah diketahui karakteristik masing masing variabel, selanjutnya
dilakukan tahapan analisis bivariat, yang dilakukan untuk
menganalisis hubungan antara dua variabel. Pemilihan uji statistika
yang digunakan untuk melakukan analisis didasarkan pada skala data
jumlah populasi/ sampel serta jumlah variabel yang diteliti
(Supriyanto, 2007). Setelah proses pengambilan data awal dan
analisis telah selesai, kemudian dilakukan uji kesetaraan/
homogenitas antara kelompok intervensi dan kontrol. Kemudian
selanjutnya dilakukan uji statistik untuk melihat hubungan ataupun
perbedaan. Adapun teknik analisa bivariat dapat dilihat pada tabel
4.2.
Tabel 4.2 Analisis bivariat variabel penelitian
A. Uji Homogenitas/ Kesetaraan
No. Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Cara Analisis
1 Umur (Data Interval)
Umur (Data Interval)
Independent sample t- test
2 Jenis kelamin (Data Nominal)
Jenis kelamin (Data Nominal)
Chi Square
3 Status perkawinan (Data Nominal)
Status perkawinan (Data Nominal)
Chi Square
4 Tingkat pendidikan (Data Ordinal)
Tingkat pendidikan (Data Ordinal)
Chi Square
5 Status kepegawaian (Data Nominal)
Status kepegawaian (Data Nominal)
Chi Square
6 Masa kerja (Data Interval)
Masa kerja (Data Interval)
Independent sample t- test
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
75
Universitas Indonesia
7 Kepuasan kerja (Data Ordinal)
Kepuasan kerja (Data Ordinal)
Chi Square
8 Komitmen Organisasi pada perawat sebelum penerapan SL (Data Interval)
Komitmen Organisasi pada perawat sebelum penerapan SL (Data Interval)
Independent sample t- test
B. Uji Perbedaan No Variabel Penelitian Cara Analisis
1 Komitmen Organisasi sebelum SL pada kelompok Intervensi (Data Interval)
Komitmen Organisasi sesudah SL pada kelompok Intervensi (Data Interval)
Dependent sample t- test
2 Komitmen Organisasi sebelum SL pada kelompok Kontrol (Data Interval)
Komitmen Organisasi sesudah SL pada kelompok kontrol (Data Interval)
Dependent sample t- test
3 Komitmen Organisasi perawat kelompok Intervensi sesudah penerapan SL (Data Interval)
Komitmen Organisasi perawat kelompok Kontrol sesudah penerapan SL (Data Interval)
Independent sample t-test
4 Komitmen Organisasi perawat pada kelompok kepuasan kerja tinggi (Data Interval)
Komitmen Organisasi perawat pada kelompok kepuasan kerja rendah (Data Interval)
Independent sample t-test
C. Analisis hubungan karakteristik perawat
. Variabel Variabel Cara Analisis
1 Umur (Data Interval)
Komitmen organisasi pada perawat (Data Interval)
Pearson Product moment
2 Jenis kelamin (Data Nominal)
Independent sample t-test
3 Status perkawinan (Data Nominal)
Independent sample t-test
4 Tingkat pendidikan (Data Ordinal)
ANOVA one way
5 Status kepegawaian (Data Nominal)
Independent sample t-test
6 Masa kerja (Data Interval)
Pearson Product moment
7 Kepuasan kerja (Data Ordinal)
Independent sample t-test
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
75
Universitas Indonesia
6 4.8.3 Analisis Multivariat
Analisis multivariat merupakan bentuk analisis yang digunakan untuk
melakukan analisis hubungan antara beberapa variabel independen
dengan satu variabel dependen (Hastono, 2007). Analisis multivariat pada
penelitian ini digunakan untuk menganalisis hubungan variabel kepuasan
kerja, dan variabel karakteristik perawat (usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status perkawinan, masa kerja dan status pegawai) yang
paling berpengaruh terhadap komitmen organisasi perawat. Mengingat
data yang dihasilkan dari variabel dependen ini berupa data numerik,
maka digunakan analisis regresi linier berganda.
Menurut Sabri dan Hastono, (2006), analisis regresi linier berganda ini
merupakan suatu model matematis yang dapat digunakan untuk
mengetahui model yang paling sesuai untuk menggambarkan faktor
faktor yang berhubungan dengan variabel dependen. Selain itu akan
digunakan pula koefisien determinan (r2) yang berguna untuk mengetahui
seberapa besar variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel
independen. Adapun langkah langkah penting yang dilakukan dalam
tahapan analisis regresi linier berganda ini menurut Hastono, (2007) ini
adalah:
4.8.3.1 Melakukan analisis bivariat, untuk menentukan variabel/ faktor
yang menjadi kandidat model. Masing masing dari keenam
faktor akan dihubungkan dengan variabel dependen. Bila hasil
uji bivariat didapatkan nilai p<0.25, maka variabel tersebut
masuk dalam model multivariat.
4.8.3.2 Melakukan analisis variabel/ faktor yang masuk dalam model
secara bersamaan. Variabel yang bisa masuk dalam model
multivariat ini, apabila didapatkan nilai p value ≤ 0.05.
Selanjutnya dilakukan pengeluaran variabel yang nilai p value
nya > 0.05 dari model satu persatu, hingga pada akhirnya
terbentuk model multivariat terakhir.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
75
Universitas Indonesia
4.8.3.3 Melakukan uji diagnostik regresi linier, setelah pemodelan
terakhir telah didapatkan yaitu melakukan uji asumsi
homoskedasitas, asumsi eksistensi, asumsi independensi, asumsi
linieritas, dan asumsi normalitas, serta pengujian asumsi
kolinearitas.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
80
Universitas Indonesia
BAB 5 HASIL PENELITIAN
Bab kelima ini akan menyajikan hasil penelitian tentang pengaruh penerapan
Spiritual Leadership terhadap komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam
Surabaya, yang dilaksanakan selama kurun waktu 6 minggu, yang dimulai tanggal
22 April hingga 30 Mei 2009. Jumlah sampel perawat yang terlibat pada
penelitian ini adalah 41 orang pada tiap-tiap kelompok baik intervensi maupun
kontrol, sehingga jumlah sampel keseluruhan adalah 82 perawat dan tidak
didapatkan drop out pada keseluruhan sampel penelitian. Sebelum penyajian data,
maka akan diuraikan terlebih dahulu proses pelaksanaan penelitian, dan
selanjutnya disajikan hasil penelitian yang dianalisis secara univariat, bivariat dan
multivariat, yang sebelumnya telah dilakukan pengolahan data dengan
menggunakan uji statistik yang telah ditentukan dengan perangkat komputer.
Adapun secara lengkap proses pelaksanaan penelitian dan hasil penelitian akan
disajikan sebagai berikut:
5.1 Proses pelaksanaan penelitian
Persiapan penelitian dilakukan setelah peneliti mendapatkan ijin
melaksanakan penelitian dari pihak RS. Islam Surabaya baik RS. Islam A.
Yani maupun Jemursari. Persiapan penelitian dimulai dengan melakukan
orientasi dan sosialisasi pada lingkungan rumah sakit tentang kegiatan
penelitian yang dilakukan. Selanjutnya melakukan koordinasi dengan
diklat RS. Islam Surabaya untuk mengidentifikasi ruangan rawat inap non
paviliun yang digunakan, selain itu diidentifikasi sampel penelitian yaitu
perawat pelaksana yang diseleksi secara acak dari ruangan yang telah
ditentukan sesuai dengan jumlah proporsi yang telah ditentukan
sebelumnya. Selanjutnya diidentifikasi pula kelompok leader yang terdiri
dari kepala ruang dan pembimbing klinik yang ada pada ruangan tersebut,
yang akan diikutkan dalam pelatihan Spiritual Leadership seperti pada
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
81
Universitas Indonesia
tabel 4.1 dan 4.2. Selanjutnya dari keseluruhan kelompok tersebut
kemudian diberikan informed consent penelitian. Selanjutnya dilakukan
pretest pada sampel penelitian, baik pada kelompok intervensi maupun
kontrol, maka berikutnya peneliti mulai melakukan intervensi berupa
penerapan spiritual leadership khususnya pada kelompok intervensi.
Proses analisis visi (Vision Analysis Process), dilakukan untuk
menentukan bagian falsafah rumah sakit yang dipergunakan dalam
kegiatan penerapan spiritual leadership, dilakukan oleh peneliti dengan
berkoordinasi dengan kepala tata usaha, bidang Diklat, dan koordinator
rawat inap. Selanjutnya dilakukan pelatihan spiritual leadership pada
kelompok leader (terdiri dari kepala ruang dan pembimbing klinik
sejumlah 10 orang) yang telah dipilih sebelumnya, dimulai dengan
kegiatan pelatihan dikelas selama 2 hari. Seluruh peserta hadir dan terlibat
secara aktif dalam dua hari kegiatan dikelas ini. Hasil pretest kognitif
peserta menunjukkan rerata skor sebesar 50.5. Sedangkan hasil posttest
kognitif didapatkan rerata skor sebesar 79.5. Hasil ini menunjukkan
adanya peningkatan kognitif peserta sebesar +29 setelah mengikuti
kegiatan pelatihan dikelas selama 2 hari.
Praktik lapangan merupakan tahapan lanjutan pelatihan dikelas sebagai
kegiatan bimbingan penerapan spiritual leadership yang dilakukan oleh
kelompok leader dengan dibimbing peneliti selama 4 hari bertempat di
ruangan masing masing. Mekanisme kegiatan praktik lapangan ini
dilakukan dengan metode bimbingan individual kepada kepala ruangan
maupun pembimbing klinik dari tiap ruangan yang ada, dengan jadwal
kegiatan bimbingan satu hari untuk tiap sesi. Kegiatan praktik lapangan ini
dievaluasi dengan menggunakan test kemampuan pada 5 sesi yang ada.
Hasil test menunjukkan rerata nilai adalah 84.5, yang berarti bahwa
seluruh peserta dinyatakan lulus pada praktik lapangan. Kegiatan remedial
tidak dilaksanakan, karena seluruh peserta mendapatkan nilai >75 baik
pada test kognitif maupun test kemampuan.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
82
Universitas Indonesia
Penerapan Spiritual leadership pada perawat pelaksana oleh kelompok
leader yang telah mendapatkan pelatihan, diimplementasikan selama
waktu 3 minggu. Implementasi spiritual leadership dilaksanakan di unit
ruangan masing masing, dengan metode berkelompok masing masing 4
orang perawat pelaksana didampingi oleh 1 fasilitator. Implementasi
spiritual leadership terdiri dari 5 sesi, yang dilakukan setiap minggunya
selama tiga minggu berturut turut. Sesi I, II , III dan IV dilakukan dalam
1 kali pertemuan (1 hari pertama), selanjutnya 2 hari berikutnya perawat
pelaksana self report aplikasi nilai spiritual yang dilakukan, dan pada
hari keempat dilakukan pertemuan sesi V, yaitu evaluasi pencapaian
nilai spiritual. Materi yang dibahas pada tiap minggunya berprinsip pada
eksplorasi 9 nilai altruisme yang diintegrasikan dengan motto
keperawatan SECANTIK RS. Islam Surabaya. Materi telah disusun
sesuai dengan pencapaian target tiap minggunya. Lebih lengkap alur
pelaksanaan dapat dilihat pada lampiran 9.
Implementasi Spiritual leadership dievaluasi dengan kuesioner Self
Assessment (SA) yang diisi oleh perawat pelaksana sebelum dan sesudah
implementasi spiritual leadership. Hasil pretest self assessment
menunjukkan skor rerata sebesar 55, dan pada posttest didapatkan skor
85. Terjadi peningkatan sebesar +30 pada evaluasi penilaian diri perawat
dalam penerapan spiritual leadership.
5.2 Karakteristik perawat pelaksana di ruang rawat inap RS. Islam
Surabaya
5.2.1 Karakteristik perawat
Karakteristik perawat pada penelitian ini meliputi jenis kelamin,
status perkawinan, status pegawai, tingkat pendidikan, umur dan
masa kerja. Karakteristik perawat ini diolah secara deskriptif yang
disajikan sesuai jenis data yang diperoleh, yaitu data kategorikal
yang terdiri dari jenis kelamin, status perkawinan, status pegawai,
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
83
Universitas Indonesia
dan tingkat pendidikan seperti tabel 5.1. Deskripsi data numerik
umur dan masa kerja diolah dengan tendensi sentral dapat dilihat
pada tabel 5.2.
Tabel 5.1
Distribusi karakteristik jenis kelamin, tingkat pendidikan, status kawin dan status pegawai kelompok intervensi dan kontrol di RS.Islam
Surabaya, tahun 2009 (n1= n2 = 41)
Variabel Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Jumlah
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi % Jenis Kelamin: a. Laki Laki b. Perempuan
3
38
7.3
92.7
7
34
17.1 82.9
10 72
12.2 87.8
Tingkat pendidikan: a. SPK b. D III Keperawatan c. S1 Keperawatan
21 17 3
51.2 41.5 7.3
2
38 1
4.9
92.7 2.4
23 55 4
28.0 67.1 4.89
Status Perkawinan: a. Menikah b. Tidak Menikah
38 3
92.7 7.3
29 12
70.7 29.3
67 15
81.7 18.3
Status Pegawai: a. Pegawai Tetap b. Non Pegawai Tetap
41 0
100
0
24 17
58.5 41.5
65 17
79.3 20.7
Hasil analisis data pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa perawat yang
menjadi responden pada penelitian ini sebagian besar adalah berjenis
kelamin perempuan (87.8%), dan telah menikah (81.7%). Selain itu
tampak pula dari tabel diatas, bahwa sebagian besar perawat
berpendidikan DIII Keperawatan (67.1%) dan lebih banyak
didapatkan perawat yang menjadi pegawai tetap RS. Islam Surabaya
sejumlah (79.3%).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
84
Universitas Indonesia
Tabel 5.2 Analisis umur dan masa kerja perawat pada kelompok intervensi dan
kontrol di RS.Islam Surabaya tahun 2009 (n1= n2 = 41)
Variabel Mean Median SD Min-Maks 95% CI
Umur a. Intervensi b. Kontrol
Total
34.24 29.88 32.18
33 28 30
5.77 6.24 6.41
25-53 23-51 23-53
32.67-36.31 27.91-31.85 30.77-33.59
Masa Kerja a. Intervensi b. Kontrol
Total
12.39 5.59 8.98
12 5 8
5.32 5.37 6.34
3-32 1-30 1-32
10.71-14.07 3.859-7.263 7.58-10.37
Tabel 5.2 diatas menunjukkan bahwa rata rata distribusi umur responden
perawat adalah 32.18 tahun, dengan umur terendah adalah 23 tahun dan
tertinggi adalah 53 tahun. Sedangkan distribusi rata rata masa kerja
perawat di RS. Islam Surabaya adalah 8.98 tahun, dengan masa kerja
paling rendah adalah 1 tahun, dan terbesar adalah 32 tahun (95% CI; 3.9-
7.3 tahun).
5.2.2 Kesetaraan karakteristik perawat di RS. Islam Surabaya
Sebelum dilakukan analisis bivariat maka akan dilakukan uji kesetaraan
pada karakteristik perawat antara kelompok intervensi maupun kontrol
dengan teknik analisis yang digunakan adalah uji Chi Square untuk data
kategorikal seperti dijelaskan pada tabel 5.3. Sedangkan untuk data
numerik yaitu umur dan masa kerja diolah dengan menggunakan uji t-test
independent, yang selanjutnya dapat dilihat pada tabel 5.4.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
85
Universitas Indonesia
Tabel 5.3 Kesetaraan karakteristik perawat jenis kelamin, tingkat pendidikan,
status kawin, dan status pegawai pada kelompok intervensi dan kontrol di RS.Islam Surabaya, tahun 2009
(n1= n2 = 41)
Variabel Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol p value Frekuensi % Frekuensi %
Jenis Kelamin: a. Laki Laki b. Perempuan
3
38
7.3
92.7
7
34
17.1 82.9
0.311
Tingkat pendidikan: a. SPK b. D III Keperawatan c. S1 Keperawatan
21 17 3
51.2 41.5 7.3
2
38 1
4.9
92.7 2.4
0.022
Status Perkawinan: a. Menikah b. Tidak Menikah
38 3
92.7 7.3
29 12
70.7 29.3
0.000
Status Pegawai: a. Pegawai Tetap b. Non Pegawai Tetap
41 0
100
0
24 17
58.5 41.5
0.000
Berdasarkan hasil uji kesetaraan pada tabel 5.3, dapat diketahui bahwa dari
empat karakteristik perawat diatas, didapatkan satu karakteristik saja yang
setara yaitu variabel jenis kelamin perawat (p value= 0.311). Sedangkan
pada variabel status perkawinan (p value= 0.000), dan tingkat pendidikan
(p value= 0.022), dan status pegawai (p value= 0.000), didapatkan
ketidaksetaraan antara kelompok intervensi maupun kontrol. Sedangkan
untuk variabel status pegawai perawat, mengingat data pada kelompok
intervensi (100% merupakan pegawai tetap), sehingga varians dari
variabel status kepegawaian ini menyulitkan dalam proses analisis, maka
selanjutnya variabel ini tidak akan diikutkan dalam analisis.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
86
Universitas Indonesia
Tabel 5.4 Kesetaraan karakteristik umur dan masa kerja perawat
pada kelompok intervensi dan kontrol di RS.Islam Surabaya, tahun 2009
(n1= n2 = 41)
Variabel Mean
p value Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Umur 34.24 29.88 0.629 Masa Kerja 12.39 5.59 0.439
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa umur perawat (p value=0.629), dan
masa kerja perawat (p value=0.439), adalah setara antara kelompok
RS. Islam A. Yani dengan Jemursari.
5.3 Kepuasan kerja perawat pelaksana di RS. Islam Surabaya
5.3.1 Kepuasan kerja perawat pelaksana
Kepuasan kerja, sebagai salah satu faktor organisasi yang
mempengaruhi terbentuknya komitmen organisasi pada perawat
dalam penelitian ini berkedudukan sebagai variabel perancu/
confounding. Dimensi yang digunakan dalam mengukur kepuasan
kerja ini meliputi gaji, pekerjaan, promosi, supervisi, dan
kelompok kerja. Selanjutnya analisis univariat data kepuasan kerja
diolah dengan menggunakan statistik deskriptif, seperti yang akan
dijelaskan seperti pada tabel 5.5 berikut:
Tabel 5.5
Distribusi kepuasan kerja perawat kelompok intervensi dan kontrol di RS.Islam Surabaya, tahun 2009
(n1= n2 = 41)
Variabel Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Jumlah Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Kepuasan Kerja: a. Rendah b. Tinggi
25 16
61 39
16 25
39 61
41 41
50 50
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
87
Universitas Indonesia
Data penelitian pada tabel 5.5 diatas menunjukkan bahwa proporsi
kepuasan kerja perawat pelaksana di ruang rawat inap RS. Islam
Surabaya memiliki sebaran proporsi yang berimbang masing
masing 50% adalah kepuasan kerja tinggi dan rendah.
5.3.2 Kesetaraan kepuasan kerja perawat
Uji kesetaraan kepuasan kerja perawat bertujuan untuk melihat
kesetaraan kepuasan kerja antara kelompok intervensi maupun
kontrol, yang dianalisis dengan menggunakan uji Chi Square
secara lengkap seperti pada tabel 5.6.
Tabel 5.6 Kesetaraan kepuasan kerja pada perawat kelompok intervensi
dan kontrol di RS.Islam Surabaya, tahun 2009 (n1= n2 = 41)
Variabel Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol p value
Frekuensi % Frekuensi % Kepuasan Kerja: a. Rendah b. Tinggi
25 16
61 39
16 25
39 61
0.077
Tabel 5.6 diatas diketahui bahwa analisis lanjutan menunjukkan
adanya kesetaraan antara kepuasan kerja perawat pada kelompok
perawat di A. Yani dan Jemursari (p value 0.077).
5.4 Komitmen Organisasi
5.4.1 Komitmen organisasi pada perawat sebelum diterapkan Spiritual
Leadership di RS. Islam Surabaya.
Instrumen komitmen organisasi yang digunakan dalam penelitian
ini, meliputi empat sub variabel/ dimensi yaitu identifikasi,
internalisasi, keterlibatan kerja dan keinginan bertahan dalam
organisasi, yang masing masing sub variabel terdiri dari 4
pertanyaan, sehingga keseluruhan berjumlah 16 butir, dengan 4
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
88
Universitas Indonesia
pilihan jawaban dalam rentang skor 1-4. Dengan demikian skor
minimum adalah 16 dan skor maksimum adalah 64. Dalam
analisisnya akan menggunakan statistik deskriptif yaitu
menggunakan rumus skor yang didapat akan dibandingkan dengan
skor maksimumnya dan dikalikan 100%. Semakin tinggi
prosentase yang didapat, hal ini menunjukkan semakin optimum
dan baik pula skor komitmen organisasi dari perawat tersebut.
Hasil pengukuran awal (Pretest) sub variabel/ dimensi pada
komitmen organisasi kelompok intervensi maupun kontrol sebelum
diterapkan Spiritual Leadership, yang sebelumnya telah diolah
dengan menggunakan statistik deskriptif, dapat dilihat seperti tabel
5.7.
Tabel 5.7 Dimensi komitmen organisasi sebelum diterapkan Spiritual Leadership
pada kelompok intervensi dan kontrol di RS.Islam Surabaya tahun 2009 (n1= n2 = 41)
Kelompok Sub Variabel Mean Median SD Min-Maks 95% CI Intervensi
a. Identifikasi b. Internalisasi c. Keterlibatan
kerja d. Keinginan
bertahan
9.98 11.15 10.76 10.76
10 11 11
11
1.23 1.73 1.24 1.39
06-13 08-16 07-13 07-14
09.58-10.36 10.69-11.69 10.36-11.15 10.32-11.19
Komitmen Organisasi
42.63 42 3.38 35-53 41.57-45.31
Kontrol
a. Identifikasi b. Internalisasi c. Keterlibatan
kerja d. Keinginan
bertahan
10.37 11.24 11.17 11.32
11 12 12
12
1.85 1.16 2.22 1.55
05-13 08-16 00-14 05-14
09.78-10.95 10.88-11.61 10.47-11.87 10.83-11.81
Komitmen Organisasi
44.10 46 5.77 18-53 42.28-45.92
Total 43.37 44 4.75 18-53 42.32-44.41
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
89
Universitas Indonesia
Dimensi komitmen organisasi seperti pada tabel 5.7 diatas menunjukkan
bahwa rerata skor dimensi komitmen organisasi sebelum diterapkan
Spiritual leadership yaitu identifikasi, internalisasi, keterlibatan kerja
maupun keinginan bertahan, pada kelompok intervensi rata-rata lebih
rendah dibandingkan dengan rerata skor dimensi komitmen organisasi
pada kelompok kontrol. Dimensi identifikasi/ kepercayaan perawat
memiliki rerata skor yang terendah dibandingkan dimensi lainnya, yakni
masih kurang 5-63 sampai 6.02 untuk mencapai skor optimumnya 16.
Internalisasi/ penerimaan perawat terhadap organisasi masih kurang 4.76
hingga 4.85 untuk mencapai skor optimumnya. Sedangkan keterlibatan
kerja masih kurang 4.76 sampai 4.83 poin lagi untuk dapat dikatakan
optimum, dan selanjutnya keinginan bertahan perawat di RS. Islam
Surabaya adalah kurang 4.76 hingga 4.68 untuk mencapai optimum.
Tabel 5.7 menunjukkan pula skor komitmen organisasi pada kelompok
intervensi di A. Yani memiliki rata rata sebesar 42.63 atau sebesar 71.1%.
Hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan rerata skor
komitmen organisasi pada perawat pelaksana kelompok kontrol di RS.
Jemursari yang memiliki rerata skor komitmen organisasi sebesar 44.1
atau sebesar 73.5%.
Berdasarkan tabel, dapat diketahui pula bahwa secara umum rerata skor
komitmen organisasi pada perawat pelaksana sebelum diterapkan Spiritual
Leadership adalah 43.37. Komitmen organisasi pada perawat ini dapat
dikatakan belum optimal, karena berkisar pada 72.3% saja, hal ini
dibuktikan apabila dibandingkan dengan skor optimum komitmen yaitu
60, maka masih 16.63 poin (27.7%) lagi untuk mencapai skor komitmen
yang optimum. Hasil ini menunjukkan bahwa sebelum diterapkan
Spiritual Leadership rata rata perawat pelaksana yang bekerja di ruang
rawat inap RS. Islam Surabaya, belum optimal dan belum memiliki
komitmen secara penuh terhadap organisasi rumah sakit Islam Surabaya.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
90
Universitas Indonesia
5.4.2 Kesetaraan komitmen organisasi pada perawat
Berdasarkan hasil uji kesetaraan variabel komitmen organisasi
dengan menggunakan uji t-test independent, didapatkan hasil
seperti pada tabel 5.8
Tabel 5.8
Kesetaraan komitmen organisasi pada perawat kelompok intervensi dan kontrol di RS.Islam Surabaya, tahun 2009
(n=82)
Variabel
Mean Sig Lavene’s
test
p
value Kelompok Intervensi
Kelompok Kontrol
Komitmen Organisasi sebelum diterapkan Spiritual Leadership
42.63 44.10 0.075 0.165
Tabel 5.8 menguraikan tentang hasil analisis kesetaraan, bahwa
tidak ada perbedaan yang bermakna antara komitmen organisasi
sebelum diterapkan spiritual leadership pada perawat kelompok
perawat RS. A Yani dan Jemursari. Dengna demikian komitmen
organisasi adalah setara (p value = 0.165).
5.4.3 Komitmen organisasi pada perawat sesudah penerapan Spiritual
Leadership di RS. Islam Surabaya.
Hasil pengukuran akhir (Posttest) sub variabel/ dimensi pada
komitmen organisasi kelompok intervensi maupun kontrol sesudah
diterapkan Spiritual Leadership dapat dilihat seperti tabel 5.9.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
91
Universitas Indonesia
Tabel 5.9 Dimensi komitmen organisasi sesudah diterapkan Spiritual Leadership
pada kelompok intervensi dan kontrol di RS.Islam Surabaya tahun 2009 (n1= n2 = 41)
Kelompok Sub Variabel Mean Median SD Min-Maks 95% CI
Intervensi
a. Identifikasi b. Internalisasi c. Keterlibatan
kerja d. Keinginan
bertahan
13.34 12.71 11.59 11.54
13 13 12
11
1.09 0.84 0.81 0.78
11-15 11-15 10-14 10-14
13.34-12.99 12.44-12.97 11.33-11.84 11.29-11.66
Komitmen Organisasi
49.15 49 1.89 47-57 48.55-49.74
Kontrol
a. Identifikasi b. Internalisasi c. Keterlibatan
kerja d. Keinginan
bertahan
10.56 11.17 10.68 11.15
11 12 11
11
1.69 1.20 1.19 1.62
05-13 04-14 04-13 07-14
10.03-11.09 10.57-11.77 10.12-11.25 10.63-11.66
Komitmen Organisasi
43.51 45 6.07 20-51 41.59-45.43
Dimensi komitmen organisasi pada perawat sesudah penerapan Spiritual
Leadership seperti pada tabel 5.9 diatas menunjukkan bahwa rerata skor
tiap dimensi komitmen organisasi yaitu identifikasi, internalisasi,
keterlibatan kerja maupun keinginan bertahan, pada kelompok yang
diterapkan Spiritual Leadership rata rata lebih tinggi dibandingkan
dengan rerata skor dimensi komitmen organisasi pada kelompok yang
tidak diterapkan Spiritual Leadership. Dari keempat sub variabel/
dimensi komitmen organisasi pada perawat kelompok yang diterapkan
Spiritual Leadership, maka nilai rerata terbesar adalah pada dimensi
identifikasi hanya 2.66 poin lagi untuk mencapai optimum, dan dimensi
internalisasi perawat, dimana masih 3.29 poin lagi untuk mencapai
optimum. Sedangkan keterlibatan kerja perawat membutuhkan 4.41 skor
lagi untuk optimum, dan keinginan bertahan perawat kurang 4.46 skor
lagi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
92
Universitas Indonesia
Hasil ini menunjukkan pula bahwa dengan adanya penerapan Spiritual
Leadership maka akan memberikan perubahan komitmen organisasi pada
perawat yang diawali dengan berubahnya identifikasi (kepercayaan) dan
internalisasi (penerimaan) perawat terhadap organisasi rumah sakit, dan
selanjutnya diharapkan dapat menstimulus meningkatnya keterlibatan
kerja dan keinginan bertahan perawat dalam organisasi.
Selanjutnya analisis deskriptif Posttest komitmen organisasi secara
komposit sesudah diterapkan Spiritual Leadership, menunjukkan bahwa
perawat pada kelompok intervensi di RS. Islam Surabaya A. Yani,
memiliki rata rata skor komitmen organisasi sebesar 49.15, yang mana
rerata skor tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan komitmen organisasi
pada perawat pelaksana yang ada pada kelompok kontrol di RS. Islam
Surabaya Jemursari yang memiliki rata rata komitmen organisasi sebesar
43.51, yang bermakna bahwa komitmen organisasi pada perawat yang
tidak diterapkan Spiritual Leadership adalah sebesar 72.5%,
5.4.4 Perbedaan komitmen organisasi pada perawat sebelum dan sesudah
diterapkan Spiritual Leadership pada kelompok intervensi dan kontrol di
RS. Islam Surabaya.
Untuk melihat pengaruh penerapan Spiritual Leadership terhadap
komitmen organisasi khususnya pada kelompok intervensi, dan untuk
menguraikan perbedaan komitmen organisasi pada kelompok intervensi
dan kontrol, hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.10.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
93
Universitas Indonesia
Tabel 5.10 Perbedaan komitmen organisasi sebelum dan sesudah penerapan
spiritual leadership pada kelompok intervensi dan kontrol di RS.Islam Surabaya, tahun 2009
(n1= n2 = 41)
Kelompok Variabel Mean Median SD t value p value Intervensi
Komitmen Organisasi a. Sebelum b. Sesudah
Selisih
42.63 49.15 6.52
42.0 48.0
3.38 4.38
-7.851
0.000
Kontrol
Komitmen Organisasi a. Sebelum b. Sesudah
Selisih
44.09 43.51 -0.58
46.0 45.0
5.76 6.07
1.949
0.588
Berdasarkan hasil analisis seperti tabel 5.10 diatas, dapat diketahui
bahwa rerata skor komitmen organisasi pada kelompok intervensi
sebelum penerapan Spiritual Leadership adalah 42.63 atau sebesar
71.1%, sedangkan sesudah diterapkan Spiritual Leadership rerata
skornya adalah 49.15. Skor ini bermakna bahwa komitmen organisasi
pada perawat sesudah diterapkan Spiritual Leadership adalah sebesar
81.9%. Hasil ini menunjukkan terjadi nya peningkatan yang bermakna
sebesar + 6.52. atau sebesar 10.85%, untuk dapat mendekati skor
komitmen yang optimum, namun masih kurang 14.85 poin lagi untuk
mencapai komitmen yang optimum. Analisis lanjutan dengan
menggunakan uji dependent t-test menunjukkan adanya peningkatan
yang bermakna komitmen organisasi sebelum dan sesudah penerapan
Spiritual Leadership pada perawat di RS. Islam Surabaya yang
diterapkan Spiritual Leadership (p value 0.000).
Sedangkan pada kelompok kontrol, rerata skor komitmen organisasi
awal (Pretest) adalah 44.1, dan rerata skor akhir (Posttest) adalah 43.6,
dan masih membutuhkan 20.49 poin lagi untuk mendekati nilai
optimum dari skor komitmen organisasi yang ada.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
94
Universitas Indonesia
Hal ini menunjukkan adanya penurunan rerata skor sebesar -0.59 atau
menurun sebesar 1.0 %. Berdasarkan analisis lanjutan menunjukkan
tidak ada perbedaan (penurunan) yang bermakna antara rerata skor
komitmen organisasi perawat pada awal dan akhir pada kelompok
kontrol di RS. Islam Surabaya (p value 0.588).
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis lanjutan variabel komitmen
organisasi sesudah diterapkan Spiritual Leadership, dengan
menggunakan analisis independent t-test dapat dilihat pada tabel 5.11.
Tabel 5.11
Perbedaan komitmen organisasi pada perawat kelompok intervensi dan kontrol sesudah penerapan Spiritual Leadership
di RS.Islam Surabaya, tahun 2009 (n=82)
Variabel Mean Sig
Lavene’s test
p value Kelompok
Intervensi Kelompok
Kontrol Komitmen Organisasi sesudah diterapkan Spiritual Leadership
49.15 43.51 0.005 0.005
Hasil analisis lanjutan seperti pada tabel 5.11 diatas, menunjukkan
bahwa komitmen organisasi pada perawat sesudah penerapan Spiritual
Leadership pada kelompok yang diterapkan berbeda (meningkat)
secara bermakna dibandingkan dengan perawat yang tidak diterapkan.
Hal ini membuktikan adanya pengaruh yang bermakna penerapan
Spiritual Leadership terhadap komitmen organisasi pada perawat di
RS. Islam Surabaya (p value 0.005).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
95
Universitas Indonesia
5.5 Pengaruh kepuasan kerja dengan komitmen organisasi sesudah
penerapan Spiritual Leadership di RS. Islam Surabaya
Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor organisasi yang
mempengaruhi komitmen organisasi. Dalam penelitian ini akan
diketahui pengaruhnya terhadap komitmen organisasi pada perawat.
Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut:
Tabel 5.12
Pengaruh kepuasan kerja dengan komitmen organisasi di RS.Islam Surabaya, tahun 2009
(n1=n2= 41)
Kelompok
Variabel
Komitmen Organisasi Mean SD Mean
Difference Lavene’
s test p value
Intervensi Kepuasan Kerja: a. Rendah b. Tinggi
48.20 49.06
4.36 4.49
0.138
0.507
0.230
Kontrol Kepuasan Kerja: a. Rendah b. Tinggi
41.60 44.80
6.44 5.59
0.162
-3.197
0.100
Tabel 5.12, menunjukkan bahwa perawat dengan kepuasan kerja
rendah pada kelompok intervensi memiliki nilai rerata komitmen
organisasi sebesar 48.20 (80.3%), sedangkan perawat dengan kepuasan
kerja yang tinggi, memiliki nilai rerata skor komitmen organisasi yang
tidak jauh berbeda, yaitu 49.06 (81.8%). Berdasarkan hasil analisis
lanjutan menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara
komitmen organisasi pada perawat dengan kepuasan kerja tinggi
maupun rendah pada perawat yang tidak diterapkan Spiritual
leadership di RS. Islam Surabaya (p value 0.230).
Sedangkan perawat dengan kepuasan kerja rendah pada kelompok
kontrol memiliki nilai rerata komitmen organisasi sebesar 41.60
(69.3%), sedangkan perawat dengan kepuasan kerja yang tinggi,
memiliki nilai rerata skor komitmen organisasi yang tidak jauh
berbeda, yaitu 44.80 (74.7%).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
96
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna antara komitmen organisasi pada kelompok
perawat dengan kepuasan kerja tinggi maupun rendah pada kelompok
yang tidak diterapkan Spiritual Leadership’ (p value 0.100).
5.6 Faktor yang berkontribusi terhadap komitmen organisasi pada
perawat di RS. Islam Surabaya.
Untuk melihat faktor yang berkontribusi terhadap komitmen organisasi
pada perawat, terlebih dahulu dianalisis hubungan karakteristik
perawat dengan komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam
Surabaya, sebelumnya telah diuji dengan menggunakan teknik analisa
data t test independent untuk data jenis kelamin dan status perkawinan,
sedangkan tingkat pendidikan diuji dengan menggunakan uji one way
ANOVA. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.13.
Tabel 5.13 Hubungan karakteristik jenis kelamin, tingkat pendidikan, status
perkawinan dengan komitmen organisasi pada perawat di RS.Islam Surabaya, tahun 2009
(n= 82)
Variabel Jumlah
Mean SD Lavene’s test
p value
Jenis Kelamin: a. Laki Laki b. Perempuan
10 72
41.10
45.35
8.18 3.90
0.000
0.139
Tingkat pendidikan: a. SPK b. D III Keperawatan c. S1 Keperawatan
23 55 4
45.87 44.33 45.73
1.89 5.50 5.31
0.150
0.401
Status Perkawinan: a. Menikah b. Tidak Menikah
67 15
45.56 41.60
3.29 8.17
0.000
0.085
Berdasarkan tabel 5.13 dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna antara komitmen organisasi perawat perempuan
dengan perawat laki laki (p value 0.139).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
97
Universitas Indonesia
Sedangkan pada variabel tingkat pendidikan menunjukkan tidak
memberikan perbedaan yang bermakna pada komitmen organisasi di
RS. Islam Surabaya (p value 0.401). Selanjutnya pada variabel status
perkawinan, diketahui bahwa status perkawinan ini tidak memberikan
perbedaan yang bermakna pada komitmen organisasi pada perawat di
RS. Islam Surabaya (p value= 0.085).
Berikut ini akan disajikan hasil analisa hubungan variabel umur dan
masa kerja dengan komitmen organisasi pada perawat, seperti pada
tabel 5.14 dibawah ini
Tabel 5.14 Hubungan karakteristik umur dan masa kerja dengan komitmen
organisasi pada perawat di RS.Islam Surabaya, tahun 2009
(n= 82)
Variabel Mean SD nilai r p Value
Umur
32.18 6.41 0.200 0.072
Masa Kerja
8.98 6.34 0.222 0.055
Tabel 5.14, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara umur dengan komitmen organisasi (p value 0.072). Sedangkan
untuk variabel masa kerja juga diketahui tidak berhubungan secara
bermakna dengan komitmen organisasi (p value 0.055).
Sebelum masuk pada tahapan multivariat, terlebih dahulu dilakukan
seleksi bivariat untuk menguraikan hubungan antara umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, masa kerja, kepuasan
kerja, serta intervensi penerapan Spiritual Leadership dengan
komitmen organisasi, seperti pada tabel 5.15.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
98
Universitas Indonesia
Tabel 5.15 Seleksi bivariat variabel
(n1 = 82)
Variabel p value Keterangan Umur 0.072 p value<0.25, dan masuk tahap
multivariate Masa kerja 0.055 p value<0.25, dan masuk tahap
multivariate Jenis Kelamin 0.139 p value<0.25, dan masuk tahap
multivariate Status Perkawinan 0.085 p value<0.25, dan masuk tahap
multivariate Tingkat pendidikan 0.401 p value>0.25, masuk tahap multivariat
(substansi penting) Kepuasan Kerja 0.408 p value>0.25, masuk tahap multivariat
(substansi penting) Penerapan Spiritual Leadership
0.012 p value<0.25, dan masuk tahap multivariate
Berdasarkan tabel 5.15, dapat diketahui bahwa dari tujuh variabel
diatas, terdapat lima variabel yang memiliki nilai p value > 0.25 yaitu
umur, jenis kelamin, status perkawinan, masa kerja, dan penerapan
Spiritual Leadership. Namun karena secara substansi kepuasan kerja
dan tingkat pendidikan ini penting dalam mempengaruhi komitmen
organisasi, maka variabel kepuasan kerja dimasukkan dalam tahapan
multivariat.
Selanjutnya secara bersama-sama ketujuh variabel dimasukkan
kedalam analisis menggunakan regresi linier berganda, dengan metode
enter. Adapun hasil analisis regresi linier dapat dilihat pada tabel 5.16
berikut ini.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
99
Universitas Indonesia
Tabel 5.16 Analisis regresi komitmen organisasi pada perawat
di RS.Islam Surabaya, tahun 2009 (n1= 41)
Variabel B Beta p value R R
Square Adjusted R square
Konstanta 34.158 0.450 0.203 0.128 Kepuasan kerja 0.871 0.092 0.429 Tingkat Pendidikan 0.526 0.058 0.617 Jenis kelamin 3.166 0.215 0.065 Umur 0.162 0.217 0.386 Masa Kerja -0.165 -0.219 0.428 Status Perkawinan 2.560 0.219 0.081 Penerapan Spiritual Leadership
2.559 0.270 0.059
Variabel dependen: Komitmen organisasi
Tabel 5.16 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R square)
sebesar 0.203, hal ini berarti bahwa seluruh variabel counfounding, baik
umur, jenis kelamin, status perkawinan, masa kerja, tingkat pendidikan,
kepuasan kerja dan variabel dependen penerapan Spiritual Leadership
dapat menjelaskan variabel komitmen organisasi pada perawat di RS.
Islam Surabaya sebesar 20.3%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor
lain. Dari ketujuh variabel tersebut dapat diketahui bahwa variabel yang
memiliki pengaruh terbesar terhadap komitmen organisasi pada perawat di
RS. Islam Suarabaya adalah penerapan Spiritual Leadership (nilai beta
0.270). Sedangkan nilai Adjusted R Square sebesar 0.128, hal ini
bermakna bahwa persamaan model yang diperoleh mampu menjelaskan
variabel komitmen organisasi sebesar 12.8%, dan sisanya dijelaskan oleh
faktor lain.
Setelah tahapan bivariat selesai dilakukan, maka tahapan berikutnya
adalah melakukan analisis multivariat secara bersama sama. Variabel yang
valid dalam model multivariat adalah variabel yang mempunyai p value <
0.05. Oleh karena itu variabel yang nilai p valuenya > 0.05 harus
dikeluarkan dalam model, secara bertahap satu per satu dikeluarkan dari
model dimulai dari yang p value nya terbesar.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
100
Universitas Indonesia
Setelah satu variabel yang nilai p value nya terbesar dikeluarkan, maka
dilihat perubahan nilai koefisien B. Apabila terjadi perubahan koefisien
B> 10%, maka variabel dimasukkan kembali pada model. Dari hasil
pengeluaran variabel yang memiliki nilai p value > 0.05 secara bertahap,
maka terdapat perubahan koefisien B > 10% pada dua variabel yaitu umur
dan masa kerja. Sehingga variabel ini dimasukkan kembali pada model.
Hingga pada akhirnya didapatkan pemodelan akhir, seperti hasil yang ada
pada tabel 5.17 berikut ini.
Tabel 5.17 Pemodelan akhir regresi linier berganda
(n1= 82)
Variabel B Beta p value R R Square
Adjusted R square
Konstanta 35.255 0.441 0.194 0.141 Umur 0.148 0.198 0.421 Masa kerja -0.161 -0.213 0.433 Jenis Kelamin 3.454 0.239 0.031 Status Kawin 2.654 0.216 0.067 Penerapan Spiritual leadership
2.132 0.245 0.045
Variabel dependen: Komitmen organisasi
Berdasarkan analisa output pada ringkasan tabel coefficients, seperti pada
tabel 5.17 diatas, dapat diketahui bahwa variabel yang pada akhirnya dapat
digunakan untuk memprediksi komitmen organisasi pada perawat adalah
variabel umur, masa kerja, jenis kelamin, status perkawinan dan penerapan
Spiritual Leadership.
Hasil koefisien determinasi (R square) adalah 0.194, hal ini berarti bahwa
variabel umur, masa kerja, jenis kelamin, dan status perkawinan perawat
serta penerapan Spiritual Leadership dapat menjelaskan variabel
komitmen organisasi sebesar 19.4%, dan sisanya dijelaskan oleh faktor
lain. Sedangkan nilai Adjusted R Square sebesar 0.141, hal ini bermakna
bahwa persamaan model akhir yang diperoleh ini mampu menjelaskan
variabel komitmen organisasi sebesar 14.1%, sisanya dijelaskan oleh
faktor lain.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
101
Universitas Indonesia
Berdasarkan pada nilai beta yang diperoleh pada tabel diatas,
menunjukkan bahwa dari kelima variabel penerapan Spiritual Leadership,
jenis kelamin, status perkawinan, umur, dan masa kerja perawat, secara
berurutan berpengaruh terhadap komitmen organisasi. Diketahui pula
bahwa variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap komitmen
organisasi adalah penerapan Spiritual Leadership (Beta=0.245).
Selanjutnya pemodelan terakhir persamaan garis regresi yang didapatkan
dapat dilihat pada tabel 5.18.
Tabel 5.18
Persamaan garis regresi linier
y = Konstanta + a1x1 + a2x2 + a3x3+a4x4+a5x5
Komitmen Organisasi = 35.255+2.132(Penerapan Spiritual Leadership)+3.454 (Jenis Kelamin)+2.654 (Status perkawinan)+0.148 (Umur) -0.161 (Masa kerja)
Berdasarkan pemodelan akhir persamaan garis regresi yang didapatkan
diatas, dapat diketahui bahwa nilai konstanta adalah sebesar 35.255, hasil
ini menunjukkan bahwa apabila tidak ada penambahan umur, masa kerja
perawat, tidak dikontrol jenis kelamin dan status perkawinan serta tidak
diterapkan Spiritual Leadership, maka skor komitmen organisasi pada
perawat adalah sebesar 35.255 saja.
Nilai koefisien (a1) merupakan slope untuk variabel penerapan Spiritual
leadership yaitu sebesar 2.312. Hasil ini menunjukkan bahwa setiap ada
penambahan 1 satuan diterapkannya Spiritual leadership, maka akan
dapat meningkatkan komitmen organisasi sebesar 2.312 satuan, setelah
dikontrol umur, masa kerja, jenis kelamin, dan status perkawinan perawat.
Sedangkan nilai koefisien (a2) merupakan slope untuk variabel jenis
kelamin yaitu sebesar 3.454, hasil ini menunjukkan apabila jenis kelamin
perawat adalah perempuan, maka akan dapat meningkatkan komitmen
organisasi pada perawat sebesar 3.454, setelah dikontrol penerapan
Spiritual Leadership, umur, masa kerja, jenis kelamin, dan status
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
102
Universitas Indonesia
perkawinan perawat. Selanjutnya nilai koefisien (a3) merupakan slope
untuk variabel status perkawinan yaitu sebesar 2.654, hasil ini
menunjukkan apabila status perkawinan perawat adalah menikah, maka
akan dapat meningkatkan komitmen organisasi pada perawat sebesar
2.654, setelah dikontrol penerapan Spiritual Leadership, umur, masa kerja,
jenis kelamin perawat.
Persamaan garis regresi diatas juga menunjukkan bahwa koefisien (a4)
sebesar 0.148. Hasil ini menunjukkan bahwa setiap ada penambahan 1
satuan umur perawat, maka akan dapat menaikkan komitmen organisasi
perawat pada rumah sakit sebesar 0.148 satuan setelah dikontrol masa
kerja, status perkawinan, jenis kelamin perawat dan penerapan Spiritual
Leadership. Nilai koefisien (a5) merupakan slope untuk variabel masa
kerja yaitu sebesar -0.161. Hasil ini menunjukkan bahwa setiap ada
penurunan 1 satuan masa kerja perawat, maka akan dapat menurunkan
komitmen organisasi perawat pada rumah sakit sebesar 0.161 satuan,
setelah dikontrol umur, jenis kelamin, status perkawinan perawat dan
penerapan Spiritual Leadership.
Dari persamaan garis regresi yang dihasilkan, dapat diinterpretasikan
bahwa apabila perawat itu adalah perempuan dan menikah, serta semakin
tua umur perawat, dan makin lama masa kerja perawat, dengan didukung
diterapkannya Spiritual leadership maka diprediksikan dapat menaikkan
komitmen organisasi oleh perawat pada rumah sakit Islam Surabaya.
Selanjutnya setelah dihasilkan persamaan garis regresi linier, maka
langkah berikutnya adalah menilai kualitas persamaan garis yang
dihasilkan serta melakukan uji asumsi persamaan garis yang dihasilkan,
agar persamaan garis yang digunakan untuk memprediksi menghasilkan
angka yang valid. Hasil uji asumsi dapat dilihat pada tabel 5.19.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
103
Universitas Indonesia
Tabel 5.19
Hasil uji asumsi persamaan garis regresi linier
Model Sig Anova
Mean Residual
Durbin Watson
VIF Histogram Scatter Plot
Konstan; SL, JK, status kawin, Umur, dan masa kerja
0.05 0.0000 1.866 1.592 Kurva Normal
Tersebar acak tanpa pola
Berdasarkan hasil 6 (enam) pengujian asumsi yang dilakukan maka dapat
diketahui bahwa model persamaan regresi yang dihasilkan seperti pada
tabel 5.18 diatas, telah memenuhi asumsi eksistensi, yakni sampel yang
diambil telah dilakukan secara acak (Mean residual adalah 0.0000), selain
itu persamaan garis juga telah memenuhi asumsi independensi, yakni
masing masing variabel bebas satu sama lain (Nilai Durbin Watson
+1.866). Pengujian selanjutnya adalah didasarkan pada hasil signifikansi
uji F/ Anova yaitu sebesar 0.05, hal ini berarti pemodelan persamaan
garis regresi ini adalah cocok/ fit dengan data yang ada, serta berbentuk
linier, dan disimpulkan bahwa asumsi linieritas terpenuhi. Selanjutnya dari
analisis hasil gambar scatter plot, dapat disimpulkan bahwa titik tebaran
tidak berpola tertentu, dan pada analisis grafik histogram didapatkan kurva
normal, hasil ini menunjukkan bahwa asumsi homoskedasitas dan asumsi
normalitas terpenuhi, dan terakhir model persamaan garis regresi telah
memenuhi asumsi tidak adanya multikolinearitas (nilai VIF=1.592).
Mengingat keseluruhan asumsi regresi linier telah terpenuhi, maka dapat
dikatakan bahwa pada selang kepercayaan 95%, maka model persamaan
garis regresi yang tertulis pada tabel 5.18 diatas dapat dipergunakan secara
layak untuk memprediksi variabel komitmen organisasi pada perawat di
RS. Islam Surabaya.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
104
Universitas Indonesia
BAB 6 PEMBAHASAN
Bab keenam ini akan menguraikan pembahasan yang meliputi interpretasi dan
diskusi hasil dari penelitian, keterbatasan penelitian dan selanjutnya akan dibahas
pula tentang implikasi hasil penelitian terhadap bidang penelitian dan pelayanan
keperawatan. Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan spiritual leadership terhadap
komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya. Pada penelitian ini
terdapat dua kelompok responden yaitu kelompok perawat pelaksana yang
diterapkan spiritual leadership dan kelompok perawat pelaksana yang tidak
diterapkan. Berikut ini akan diuraikan lebih detail tentang pembahasan hasil
penelitian tersebut.
6.1 Pengaruh penerapan Spiritual Leadership terhadap komitmen
organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya.
6.1.1 Komitmen organisasi pada perawat sebelum diterapkan Spiritual
Leadership
Komitmen organisasi dalam penelitian ini terdiri dari 4 sub variabel
yaitu adanya kepercayaan (identifikasi), penerimaan (internalisasi)
yang kuat atas tujuan dan nilai nilai organisasi, kemauan untuk
mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi (keterlibatan
kerja) dan keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan
sebagai anggota organisasi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
105
Universitas Indonesia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen organisasi pada
perawat di RS. Islam Surabaya sebelum diterapkan Spiritual
Leadership secara umum didapatkan komitmen organisasi yang
belum optimal baik pada kelompok intervensi maupun kontrol.
Belum optimalnya komitmen perawat yang tidak diterapkan
spiritual leadership ini, dibuktikan dengan pencapaian prosentase
komitmen sebesar 72.3%. Hasil ini belum mendekati nilai
maksimum, karena masih 27.7% lagi untuk mencapai tingkatan
komitmen yang optimal.
Keadaan belum optimalnya komitmen organisasi ini, senada dengan
hasil komitmen organisasi pada kelompok perawat yang tidak
diterapkan spiritual leadership, bahkan apabila dicermati lebih
lanjut pada posttest pengukuran komitmen organisasi pada perawat
yang tidak diterapkan Spiritual Leadership, selama kurun waktu 6
minggu, menunjukkan adanya kecenderungan penurunan komitmen
organisasi sebesar 1.0%. Hasil ini menunjukkan bahwa rerata
komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya yang
tidak diterapkan atau tidak terpapar dengan penerapan Spiritual
Leadership adalah belum optimal, dalam arti perawat belum
menunjukkan komitmen yang penuh terhadap organisasi pada masa
sekarang dan tentunya akan beresiko menurunkan komitmen di
masa yang akan datang.
Hasil ini menunjukkan bahwa komitmen perawat yang meliputi
kepercayaan, penerimaan, dan keterlibatan kerja individu perawat
terhadap organisasi rumah sakit, tidak akan terpelihara dengan baik
apabila tidak adanya keselarasan nilai individual dengan nilai
organisasi, sehingga akan berdampak pada rendahnya keinginan
perawat untuk tetap bertahan dalam organisasi, atau meningkatnya
resiko turn over perawat.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
106
Universitas Indonesia
Hasil penelitian di RS. Islam Surabaya ini senada dengan penelitian yang
dilakukan di RS swasta lainnya, yaitu Muliyadi (2008), bahwa komitmen
organisasi pada perawat di RS. Tugu Ibu Jakarta disimpulkan adanya
perawat yang berkomitmen rendah lebih banyak dibandingkan dengan
perawat yang berkomitmen tinggi. Keadaan belum optimalnya komitmen
perawat pada organisasi pada masa sekarang seperti hasil temuan
penelitian yang ada merupakan suatu keadaan yang mengkhawatirkan dan
tidak boleh dibiarkan secara berlarut larut, karena akan beresiko terhadap
rendahnya komitmen organisasi pada perawat dimasa yang akan datang.
Perlu diingat pula bahwa tenaga keperawatan adalah proporsi terbesar dari
seluruh tenaga kesehatan yang ada di RS, yang memberikan kontribusi
besar pula bagi pelayanan kesehatan, oleh karena itu peran dan tanggung
jawabnya memainkan peranan yang besar.
Keadaan komitmen yang belum optimal pada perawat ini menyebabkan
kecenderungan kinerja yang ditampilkannya tidak untuk kepentingan
organisasi maupun unitnya, namun lebih bersifat mementingkan
kepentingan pribadi saja. Oleh karena itu penting untuk mengkaji faktor-
faktor yang menyebabkan belum optimal dan penuhnya komitmen perawat
terhadap rumah sakit. Beberapa faktor yang ditengarai dapat menyebabkan
belum optimalnya komitmen perawat terhadap rumah sakit ini adalah
interaksi antara faktor individu, faktor organisasi dan non organisasi.
Apabila dianalisis lebih lanjut, maka faktor yang penting untuk
diperhatikan dan dikelola adalah faktor organisasi. Subanegara, (2005),
menyebutkan banyak faktor organisasi yang berpengaruh terhadap optimal
tidaknya sebuah komitmen anggota organisasi, antara lain kepemimpinan,
dan iklim organisasi. lebih lanjut disebutkan bahwa
Kepemimpinan yang kurang baik, tidak akan mendapatkan
simpati dari karyawannya dan akan berakibat pada suasana kerja yang tidak nyaman bagi karyawan. Jika kepemimpinan tidak mampu menyatukan nilai-nilai pribadi menjadi nilai organisasi yang disepakati, maka akan berpengaruh terhadap visi, misi dan tujuan organisasi. selain kepemimpinan, system pengambilan keputusan dalam organisasi yang datang dari
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
107
Universitas Indonesia
atas seringkali menyebabkan tidak adanya pemberdayaan dari karyawan. System komunikasi dalam organisasi bersifat satu arah seringkalai menyebabkan pengambilan keputusan yang tidak efektif. Selain itu keterbukaan dalam system remunerasi yang disepakati akan menumbuhkan kepercayaan dari karyawan. Pada akhirnya dalam memperkuat komitmen karyawan, diperlukan system akuntabilitas unit maupun personal berdasarkan indikator keberhasilan kinerja akan dapat memacu kinerja yang baik.
Masih belum optimalnya komitmen organisasi pada perawat ini,
penting untuk mendapatkan perhatian yang serius dan pengelolaan
yang lebih baik dari rumah sakit, mengingat beberapa resiko dan
dampak yang akan ditimbulkan. Seperti yang diungkapkan oleh (Koch,
1978; Angle, 1981 dalam Morin 2008), yang menyatakan bahwa
komitmen organisasi yang rendah pada perawat akan berdampak pada
turn over, tingginya absensi, meningkatnya kelambanan kerja,
rendahnya kualitas kerja, kurangnya loyalitas pada perusahaan dan
kurangnya intensitas untuk bertahan sebagai karyawan didalam
organisasi.
6.1.2 Komitmen organisasi pada perawat sesudah diterapkan Spiritual
Leadership
Komitmen organisasi merupakan suatu sikap kerja seorang individu
terhadap organisasi yang sekaligus merupakan sebuah kriteria kunci
dari sebuah efektifitas organisasi, yang diduga dapat memprediksi
stabilitas tenaga kerja, dan tingkat mobilisasi. Hal ini dapat pula
menjadi indikator tingkat kontribusi karyawan terhadap aktivitas dan
perkembangan organisasi, lebih lanjut merupakan indikator yang
sangat baik akan kualitas pekerjaan (Ketchum & Trist, 1992 dalam
Morin 2008).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
108
Universitas Indonesia
Dengan demikian menjadi hal yang penting bagi organisasi termasuk
rumah sakit untuk dapat menciptakan suatu upaya meningkatkan
komitmen individu didalamnya. Upaya membangun komitmen
organisasi pada prinsipnya dapat dicapai melalui motivasi intrinsik dan
ekstrinsik. Pada penelitian ini berfokus menguji secara empiris salah
satu upaya menumbuhkan komitmen organisasi melalui motivasi
intrinsik yaitu Spiritual Leadership.
Penelitian menunjukkan bahwa komitmen organisasi pada perawat
sesudah penerapan spiritual leadership, pada kelompok yang
diterapkan spiritual leadership menunjukkan adanya perubahan/
kenaikan yang bermakna sebesar 10.85% dibandingkan komitmen
organisasi sebelum diterapkan. Hasil ini menunjukkan bahwa Spiritual
Leadership memberikan pengaruh yang bermakna pada komitmen
organisasi perawat sebelum dan sesudah penerapan di RS. Islam
Surabaya (p value=0.000).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan diterapkannya
spiritual leadership oleh kelompok leader pada perawat pelaksana
selama kurun waktu sebulan, maka secara substansi dapat menaikkan
rerata skor komitmen organisasi pada perawat. Kenaikan skor
komitmen setelah diterapkan spiritual leadership ini terutama
didapatkan pada sub variabel identifikasi dan internalisasi terhadap
organisasi. Identifikasi merupakan suatu bentuk kepercayaan
individual terhadap organisasi, bahwa organisasi mampu memberikan
hal hal yang menjanjikan kepentingan dirinya (Subanegara, 2005).
Apabila kepercayaan individu telah berkembang maka akan
menumbuhkan internalisasi atau penerimaan individu terhadap visi,
misi, dan tujuan organisasi. Apabila identifikasi dan internalisasi ini
dapat ditumbuhkan, akan dapat menstimulus terbentuknya keterlibatan
dan keinginan bertahan dalam organisasi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
109
Universitas Indonesia
Meskipun demikian dapat diketahui bahwa peningkatan ini tidak
secara langsung dan drastis, namun lebih bersifat kenaikan secara
berproses. Meskipun peningkatannya tidak secara langsung, dengan
penerapan spiritual leadership secara berkelanjutan maka
kecenderungan akan dapat meningkatkan komitmen organisasi dimasa
yang akan datang.
Perubahan/ kenaikan yang bermakna skor komitmen organisasi pada
perawat seperti hasil penelitian ini dipengaruhi dan didukung oleh
beberapa kondisi antara lain kompetensi dari fasilitator Spiritual
Leadership yang telah dilatih sebelumnya. Hasil test kognitif
menunjukkan peningkatan sebesar +29, dan rerata test kemampuan
sebesar 84.5. Hasil ini menunjukkan bahwa kompetensi penerapan
spiritual leadership pada kelompok leader telah memenuhi standar
yang ditetapkan, sehingga upaya membimbing perawat pelaksana telah
optimal dilaksanakan. Selain itu skor kuesioner self assessment (SA)
yang diisi perawat pelaksana sebelum dan sesudah penerapan Spiritual
Leadership pada perawat pelaksana, menunjukkan bahwa rerata skor
SA awal pada perawat adalah 55, sedangkan rerata skor SA akhir
perawat pelaksana adalah 85. Hal ini menunjukkan bahwa perawat
memberikan penilaian terhadap dirinya bahwa proses penerapan
spiritual leadership ini telah dijalankan oleh perawat.
Komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya sesudah
penerapan Spiritual Leadership pada kelompok perawat yang
diterapkan lebih besar secara bermakna dengan kelompok perawat
yang tidak diterapkan (p value 0.005). Perbedaan komitmen organisasi
perawat selama kurun waktu 6 minggu antara perawat yang diterapkan
spiritual leadership dengan yang tidak diterapkan ini adalah sebesar
9.4%.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
110
Universitas Indonesia
Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika terdapat kesesuaian/ kongruensi
nilai antara nilai individual dengan nilai organisasi melalui penerapan
Spiritual Leadership, maka akan dapat mendekatkan seorang perawat
untuk memiliki komitmen yang tinggi dan kemungkinan untuk tetap
bertahan dalam organisasi. Namun sebaliknya apabila individu tidak
memiliki kongruensi nilai dengan organisasi tempat bekerja, maka
akan dapat menjauhkan individu dengan organisasi. Hal ini
menyebabkan kedekatan emosional individu menjadi rapuh, sehingga
komitmen dan loyalitas terhadap organisasi menjadi longgar. Oleh
karena itu penerapan spiritual leadership senantiasa dijaga
kelangsungannya agar tumbuh kongruensi nilai yang tinggi, sehingga
sense of belonging individu perawat terhadap rumah sakit menjadi
bagian dari individu, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
keinginan bertahan dalam organisasi.
Hasil penelitian tentang spiritual leadership sebelumnya belum banyak
dilakukan. Namun demikian penelitian eksperimental ini sejalan
dengan penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Fry, dkk (2003;
2005), yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
spiritual leadership dengan komitmen organisasi. Metode penerapan
spiritual leadership ini merupakan salah satu model teori transformasi
organisasi yang berpijak pada motivasi intrinsik individual. Siklus
motivasi secara intrinsik ini didasarkan pada sebuah visi, nilai
altruistic love dan hope/faith yang meningkatkan sebuah perasaan
sejahtera secara spiritual (melalui calling dan membership), yang pada
akhirnya dapat menimbulkan keluaran dari organisasi seperti
komitmen organisasi (Fry, 2005). Proses seperti demikian pada
hakikatnya dilakukan untuk mendekatkan nilai individual dengan nilai
organisasi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
111
Universitas Indonesia
Selanjutnya hasil analisis multivariat juga menunjukkan bahwa
penerapan Spiritual leadership, jenis kelamin, status perkawinan,
umur, dan masa kerja perawat, secara berurutan sebagai prediktor yang
berpengaruh terhadap komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam
Surabaya. Kelima variabel ini dapat menjelaskan komitmen organisasi
sebesar 19.4%. sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Diketahui pula
bahwa variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
komitmen organisasi adalah penerapan Spiritual Leadership
(Beta=0.245). Pengaruh Spiritual leadership ini memberi dampak
terhadap komitmen organisasi seperti yang diungkapkan oleh Fry, dkk
(2005), berikut ini
Spiritual leadership ini berdasar pada visi, kasih yang altruistik dan hope/faith yang dihipotesakan untuk menghasilkan sebuah peningkatan dalam perasaan spiritual (melalui panggilan dan menjadi bagian) dan akhirnya menghasilkan outcome organisasi yang positif seperti meningkatnya komitmen organisasi, karyawan yang memiliki suatu perasaan panggilan dan merasa menjadi bagian akan menjadi lebih dekat, loyal dan akan tetap bertahan dalam organisasi yang memiliki budaya yang berbasis pada kasih yang altruistik.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Spiritual Leadership
berpengaruh terhadap komitmen organisasi. Namun demikian untuk
meningkatkan optimalisasi dalam keluaran komitmen organisasi yang
ingin dicapai, maka perlu ditunjang dengan diterapkannya program
spiritualitas ditempat kerja (workplace spirituality). Spiritualitas
ditempat kerja merupakan suatu cara dimana pekerja mendapatkan
keseimbangan dalam dimensi vertikal dan horizontal terait dengan
spiritualitasnya ditempat kerja. Menurut Giacalone, Jurkiewicz (2005),
teori spiritualitas ditempat kerja merupakan anteseden dan dasar
berkembangnya teori spiritual leadership.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
112
Universitas Indonesia
Oleh karena itu untuk dapat meningkatkan keluaran seperti yang
diharapkan, program spiritualitas ditempat kerja dengan penerapan
spiritual leadership akan dapat meningkatkan komitmen organisasi.
pendapat ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Giacalone,
Jurkiewicz (2005) bahwa:
Tingkatan yang tinggi dari spiritualitas ditempat kerja dan penerapan spiritual leadership merupakan sebuah driver dari komitmen dan produktivitas organisasi yang esensial dalam menunjang kinerja organisasi. mengingat bahwa komitmen karyawan merupakan indikator kunci dari kinerja organisasi.
Hasil pada penelitian ini mendukung pula beberapa teori dan penelitian
bahwa kepemimpinan merupakan faktor yang mempengaruhi komitmen
organisasi. Pada sektor pelayanan kesehatan, beberapa studi
menunjukkan bahwa kepemimpinan berkorelasi secara positif dengan
kepuasan kerja perawat, dan komitmen terhadap tujuan institusi
(Koesmono, 2005; Stordeur et al. 2001; Stilwell 2001; Larrabee et al.
2003; Hasselhorn et al. 2003 dalam Zurn, dkk 2005). Selain itu
Subanegara, (2005) menjelaskan faktor iklim organisasi dan
kepemimpinan yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi
karyawan.
Penerapan Spiritual Leadership merupakan salah satu upaya
membangun komitmen melalui motivasi intrinsik. Berdasarkan hasil
penelitian ini pula, dapat diperbandingkan dengan beberapa penelitian
lain yang mengkaji tentang upaya membangun komitmen melalui
motivasi intrinsik lainnya, antara lain melalui pengakuan kerja
karyawan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Budiarto, (2007) yang
menyatakan bahwa pengakuan terhadap karyawan (Employee
recognition) memiliki hubungan yang tidak signifikan terhadap
komitmen organisasi, hal ini menandakan apabila pengakuan terhadap
pegawai meningkat, maka komitmen organisasi tidak akan mengalami
kenaikan secara signifikan. Kesimpulan ini dapat dijelaskan bahwa
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
113
Universitas Indonesia
karyawan tidak menginginkan imbalan yang hanya pengakuan atas
prestasi, namun karyawan menginginkan imbalan yang lebih berarti
dalam hidupnya. Lebih lanjut Budiarto (2007), menjelaskan bahwa,
Apabila yang didapatkan dalam perusahaan hanya imbalan yang berupa pujian, maka karyawan akan dengan mudah meninggalkan organisasi, serta tidak peduli dengan masa depan organisasi dimana mereka bekerja. Menurut persepsi sebagian besar karyawan, imbalan berupa penghargaan atas prestasi yang mereka kerjakan (non financial reward) bukan merupakan imbalan yang tepat, sehingga tidak dapat meningkatkan kepuasan kerja dan menjamin karyawan untuk tidak meninggalkan organisasi.
Jika dibandingkan dengan salah satu hasil penelitian yang menguji
tentang pengaruh dampak motivasi eksternal terhadap komitmen
organisasi, didapatkan hasil dari penelitian oleh Basher&Ramay (2008),
bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara peluang karir
dan kebijakan dalam pekerjaan dengan komitmen organisasi (r= 0.26;
99% CI).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa untuk membangun dan
menumbuhkan komitmen organisasi secara signifikan dapat diupayakan
melalui peluang karir serta kebijakan yang dianggap menguntungkan
dalam pekerjaan. Peluang karir dan kebijakan pekerjaan merupakan
salah satu insentif non material yang dapat merangsang komitmen
organisasi individu melalui motivasi ekstrinsik.
Dengan demikian, berdasar uraian yang dijelaskan sebelumnya menurut
asumsi peneliti bahwa upaya untuk dapat membangun komitmen pada
organisasi secara optimum, maka organisasi harus berprinsip pada upaya
dengan membangun komitmen secara intrinsik, namun juga harus
dipadukan dengan membangun secara ekstrinsik. Oleh karenanya upaya
yang dilakukan sebaiknya merupakan perpaduan antara upaya
meningkatkan motivasi secara intrinsik maupun ekstrinsik.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
114
Universitas Indonesia
6.2 Pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi pada
perawat di ruang rawat inap RS. Islam Surabaya
Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa
baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting (Luthans,
2006). Kepuasan kerja ini dipersepsikan oleh perawat pelaksana yang
bekerja di ruang rawat inap non paviliun RS. Islam Surabaya pada
beberapa dimensi yang digunakan dalam menilai kepuasan kerja pada
penelitian ini adalah faktor gaji, pekerjaan, kesempatan promosi,
pengawasan, dan kelompok kerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, setengahnya dari
perawat di ruang rawat inap RS. Islam Surabaya A. Yani dan Jemursari
memiliki kepuasan kerja yang masih rendah. Hal ini berarti bahwa
sebagian perawat di RS. Islam Surabaya mempersepsikan ketercapaian
kepuasan tentang gaji yang diberikan, supervisi yang dilakukan, sistem
promosi yang ada, kelompok kerja dan faktor pekerjaan itu sendiri,
masih dirasakan kurang.
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Mustikasari (2003), yang
menyatakan bahwa tingkat kepuasan kerja perawat di RS. Marzuki
Mahdi sebagian besar (80.8%) adalah tidak puas. Ketidakpuasan dalam
bekerja ini merupakan persepsi ketidaksesuaian antara harapan dengan
kenyataan yang dirasakan oleh perawat terhadap lingkungan pekerjaan
yang ada.
Kepuasan kerja ini merupakan salah satu sikap kerja individu yang
penting dengan organisasi, maka kepuasan kerja ini dapat mempengaruhi
sikap kerja yang lain, antara lain berkorelasi pada variabel keluaran yang
mungkin berhubungan dengan kepuasan kerja ini adalah komitmen
organisasi, kinerja, dan intensitas turn over (Good, Chen and
Huddleston, 1999). Ketidakpuasan kerja perawat ini diprediksikan akan
berpengaruh pada tingkat produktivitas secara keseluruhan, hal ini
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
115
Universitas Indonesia
tentunya akan sangat merugikan organisasi, apabila dibiarkan tanpa
adanya penanganan yang baik.
Adanya dominasi ketidakpuasan kerja pada perawat dirumah sakit
menurut Al-Aameri (2000), akan meningkatkan resiko terhadap
beberapa konsekuensi dalam pekerjaan antara lain absensi, turnover,
stress yang tinggi, dan banyaknya keluhan yang masuk pada institusi.
Itulah sebabnya perlu diperhatikan derajat kepuasan karyawannya
dengan cara mengkaji ulang aspek-aspek yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja. Beberapa faktor faktor yang dapat mempengaruhi
ketidakpuasan dalam bekerja menurut Al-Aameri (2000), antara lain
kebijakan organisasi, administrasi, supervisi, gaji maupun hubungan
interpersonal.
Namun sebaliknya pada jumlah yang sama, setengah dari perawat
menyatakan kepuasan kerja di RS. Islam Surabaya adalah tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian perawat yang bekerja di RS. Islam
Surabaya ini memberikan penilaian bahwa rumah sakit ini telah
menciptakan sifat dan lingkungan pekerjaan dirumah sakit yang cukup
baik bagi perawat, khususnya dalam dimensi gaji, supervisi, sistem
promosi, kelompok kerja dan faktor pekerjaan itu sendiri.
Tingkatan kepuasan kerja yang dipersepsikan secara berbeda oleh para
perawat pelaksana di dua RS. Islam Surabaya yang dinaungi oleh satu
yayasan yang sama ini, disebabkan karena kepuasan kerja merupakan
suatu persepsi penilaian yang bersifat individual terhadap kenyataan
yang diterimanya. Seperti yang dikemukakan oleh Good, Chen dan
Huddleston, (1999), bahwa tingkatan kepuasan ini merupakan
korespondensi antara harapan individu, aspirasi dan kebutuhan serta
tingkat terpenuhinya aspirasi oleh organisasi. keluaran yang mungkin
berhubungan dengan kepuasan kerja ini adalah komitmen organisasi,
kinerja, dan intensitas turn over.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
116
Universitas Indonesia
Kepuasan kerja yang tinggi maka akan dapat memacu tumbuhnya
produktifitas, kualitas pelayanan yang baik dan keinginan untuk bertahan
dalam organisasi. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Dewi,
Hasanbasri, (2007) bahwa:
Karyawan dengan kepuasan kerja yang baik dapat menurunkan keinginan untuk keluar. Hal ini berarti apabila kepuasan kerja dapat memenuhi harapan dan kebutuhan karyawan maka akan dapat memperkecil timbulnya keinginan untuk keluar pada karyawan. karyawan dengan kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan itu. Karyawan yang puas akan berbicara yang positif mengenai organisasi, karyawan mempunyai hasrat untuk membantu rekan sekerja yang lain, dan karyawan melakukan pekerjaan dengan bersungguh-sungguh.
Hasil penelitian ini menunjukkan pula meskipun tingkatan kepuasan
kerja perawat yang ada di dua RS. Islam Surabaya ini cenderung
berlawanan, namun terdapat kesetaraan tingkat kepuasan kerja pada
kelompok intervensi di RS. Islam A. Yani dan RS. Islam Jemursari,
antara lain disebabkan bahwa dua rumah sakit ini berada dalam naungan
satu yayasan, sehingga manajemen dan kebijakan organisasi yang
diterapkan adalah serupa.
Seperti telah diuraikan pada kajian teori yang melandasi penelitian ini,
yang menyebutkan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu sikap
kerja yang memiliki korelasi dengan sikap kerja lainnya. Seperti yang
diungkapkan Kreitner, Kinicki (2003), bahwa kepuasan kerja memiliki
beberapa korelasi antara lain motivasi kerja, stress kerja, perilaku
sebagai anggota organisasi yang baik, keterlibatan dalam pekerjaan,
komitmen organisasi, ketidakhadiran, berhentinya karyawan, dan
prestasi kerja.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
117
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini salah satu tujuan pengujian empiris yang dilakukan
adalah keterkaitan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi,
seperti yang dirilis oleh beberapa penelitian sebelumnya antara lain yang
dilakukan oleh Porter et al., 1974; Price, 1977; Rose, 1991; Mannheim et
al., 1997 dalam Morin 2008); Al-Aameri (2000), yang menunjukkan
bahwa kepuasan kerja merupakan determinan dan prediktor yang
signifikan terhadap komitmen organisasi.
Hasil penelitian yang dilakukan pada perawat di RS. Islam Surabaya
tahun 2009, menunjukkan bahwa komitmen organisasi pada kelompok
perawat dengan kepuasan kerja rendah tidak berbeda secara bermakna
dengan komitmen organisasi pada perawat dengan kepuasan kerja tinggi
(p value 0.796). Hasil penelitian di RS. Islam Surabaya ini menunjukkan
bahwa tingkatan kepuasan kerja yang berbeda, tidak berpengaruh secara
bermakna terhadap komitmen organisasi.
Tidak adanya pengaruh yang bermakna antara kepuasan kerja dengan
komitmen organisasi, didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Bateman&Strasser (1984 dalam Brown&Gaylor, 2004); Curry,
Wakefield, Price dan Mueller (1986 dalam Morin, 2008); dan Wong,
Hui dan Law (1995 dalam Brown&Gaylor, 2004), yang secara tegas
mengatakan tidak adanya hubungan yang bermakna antara kepuasan
kerja dengan komitmen organisasi.
Kepuasan kerja dalam penelitian ini diidentifikasi sebagai salah satu
faktor organisasi yang mempengaruhi komitmen organisasi. Namun
demikian kepuasan kerja ini hanyalah salah satu faktor dari sekian
banyak faktor organisasi lain yang dapat mempengaruhi komitmen
organisasi. seperti yang disampaikan oleh Stum, (1998) terdapat 4 faktor
lain yaitu budaya keterbukaan, kesempatan personal untuk berkembang,
arah organisasi, dan penghargaan kerja yang sesuai dengan kebutuhan.
Dengan demikian terkait dengan hasil ini, menunjukkan bahwa kepuasan
kerja bukan satu satunya determinan komitmen organisasi.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
118
Universitas Indonesia
Selain faktor tersebut ada faktor organisasi lain yang membuat karyawan memutuskan untuk bertahan atau berpindah kerja, antara lain jika ia merasa tidak aman (insecure) dengan pekerjaannya. Determinan/ predictor lain
terbentuknya komitmen organisasi antara lain adalah job security (Yousef,
1998 dalam Feinstein, 2002). Selanjutnya Menurut Greenhalg dan
Rosenblatt (1984 dalam Wening, 2005), menambahkan bahwa :
……..job insecurity merujuk pada perasaaan kehilangan kekuasaan (powerless) untuk menjaga kesinambungan yang diinginkan dalam situasi kerja yang terancam. Riset Greenglass et al. (2002) dengan sampel perawat rumah sakit menemukan dampak restrukturisasi secara langsung terhadap job insecurity dan berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja.
Selain ketidakamanan kerja tersebut, terdapat beberapa faktor organisasi
lain yaitu ketidakpastian arah organisasi (uncertainty) yang dapat
mempengaruhi komitmen organisasi para perawat yang ada didalamnya.
mengingat RS. Islam Surabaya merupakan sebuah rumah sakit swasta
tipe C, yang berada di tengah banyaknya arus kompetisi di dunia rumah
sakit di Indonesia. Hal ini senada dengan pendapat Stum (1998 dalam
sopiah 2005) bahwa arah organisasi merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi komitmen organisasi.
Dengan demikian jelas apabila dikatakan dengan adanya kepuasan kerja
yang tinggi, tidak menjadi jaminan seseorang akan memiliki komitmen
yang tinggi pula. Atau sebaliknya perawat dengan kepuasan kerja yang
rendah belum tentu akan terjadi kecenderungan menurunkan komitmen
organisasinya. Selain itu untuk meningkatkan komitmen organisasi,
masih terdapat faktor faktor lain yang berkontribusi terhadap komitmen
individu dengan organisasinya, antara lain faktor personal individu
sendiri, serta adanya faktor diluar organisasi yaitu adanya alternatif dan
ketersediaan pekerjaan ditempat lain.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
119
Universitas Indonesia
Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja tidak
berhubungan dengan komitmen organisasi, namun demikian penting
bagi rumah sakit adanya upaya untuk terus meningkatkan kepuasan kerja
bagi para perawat. Hal ini mengingat betapa besar korelasi kepuasan
kerja terhadap sikap kerja individual lainnya. Oleh karena itu menjadi
tanggung jawab bersama untuk dapat meningkatkan kepuasan kerjanya.
Menurut Greenberg dan Baron (2000) dalam Wibowo (2007), usaha
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepuasan kerja adalah dengan
menciptakan pekerjaan yang menarik, menciptakan sistem pembayaran
yang adil, menempatkan orang sesuai dengan bidang yang di minati,
serta dapat menghindari kebosanan.
6.3 Faktor yang berkontribusi terhadap komitmen organisasi pada
perawat di RS. Islam Surabaya
Hasil penelitian seperti diuraikan pada bab sebelumnya, menunjukkan
bahwa karakteristik perawat yang berkontribusi terhadap komitmen
organisasi pada perawat adalah jenis kelamin, status perkawinan, umur
dan masa kerja perawat secara berurutan merupakan faktor yang
memiliki kontribusi terbesar hingga terkecil. Sedangkan faktor lain yang
tidak berkontribusi terhadap komitmen organisasi perawat di RS. Islam
Surabaya adalah tingkat pendidikan, dan kepuasan kerja perawat. Secara
ilmiah berkontribusi tidaknya faktor faktor diatas akan dibahas lebih
detail seperti uraian berikut, dimulai dari faktor yang paling
berkontribusi terlebih dahulu.
Jenis kelamin merupakan faktor yang memiliki kontribusi terbesar
terhadap komitmen organisasi perawat. Variabel jenis kelamin ini masuk
kedalam pemodelan multivariat, dimana perawat yang yang berjenis
kelamin perempuan akan berpengaruh terhadap komitmen organisasi
(Beta=0.239).
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
120
Universitas Indonesia
Hasil ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Scandura &
Lankau, 1997; Porter, 2001; Mowday, Porter, & Steers 1982; Mathieu &
Zajac, 1990 dalam Al-Ajmi, 2006), yang menyatakan bahwa jenis
kelamin berkontribusi terhadap komitmen organisasi, khususnya jenis
kelamin perempuan. Mengingat bahwa jenis kelamin dapat menjadi
determinan terhadap komitmen organisasi. Hal ini patut menjadi
pertimbangan bagi manajemen rumah sakit ketika memiliki karyawan
mayoritas perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar (92.7%) perawat di RS. Islam Surabaya adalah perempuan. Karena
selain dikatakan lebih berkomitmen akan tetapi terdapat beberapa hasil
penelitian yang konsisten juga menyatakan bahwa wanita mempunyai
tingkat absensi, kemangkiran yang lebih tinggi daripada pria (Robbins,
2001).
Berdasarkan analisis lanjutan, diketahui bahwa variabel jenis kelamin
perawat tidak memberikan perbedaan yang bermakna pada komitmen
organisasi (p value 0.636). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna antara rerata skor komitmen organisasi pada
perawat laki laki dan perempuan.
Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Aven, Parker, and McEvoy
(1993); Marsden, Kalleberg, & Cook, 1993; Ellemer, Gilder, dan Heuvel
(1998 dalam Tella, dkk. 2007); Ngo & Tsang (1998); Porter's (2001);
Savicki, Cooly, & Gjesvold (2003); Velde, Bossink, & Jansen (2003
dalam Al Ajmi, 2006), yang menguraikan bahwa variabel gender/ jenis
kelamin tidak berhubungan secara nyata dengan komitmen organisasi.
Hal ini dapat dijelaskan antara lain antara pria dan wanita tidak ada
perbedaan yang konsisten dalam komitmen organisasinya. Selain itu dapat
dijelaskan pula bahwa persepsi komitmen organisasi yang didapatkan dari
subyek dengan jenis kelamin laki laki dan perempuan adalah sama. Hal ini
didukung bahwa dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau
kemampuan belajar antara perempuan dan laki laki adalah tidak berbeda.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
121
Universitas Indonesia
Selain jenis kelamin, status perkawinan merupakan faktor karakteristik
perawat kedua yang berkontribusi terhadap perawat di RS. Islam
Surabaya. Variabel status perkawinan ini masuk kedalam pemodelan
multivariat, dimana perawat yang menikah berpengaruh terhadap
komitmen organisasi (Beta=0.216). Perawat yang menikah lebih
berpeluang untuk berkomitmen terhadap rumah sakit. Hal ini dijelaskan
bahwa orang yang melajang dan yang menikah tidak berbeda dalam
komitmen organisasi. Namun terdapat kecenderungan orang yang telah
menikah lebih berkomitmen terhadap organisasi.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa perawat yang telah menikah akan
cenderung tetap bertahan dalam suatu organisasi dibandingkan dengan
perawat yang lajang, karena terkait dengan tanggung jawab yang besar,
sehingga kemungkinan untuk mencari peluang pelaung pekerjaan di
tempat lain memerlukan pertimbangan yang lebih besar dibandingkan
yang belum menikah. Hasil ini didukung sebagian besar perawat RS.
Islam Surabaya (70.7%) adalah menikah.
Selain status perkawinan, umur perawat merupakan variabel yang
penting dalam menjelaskan komitmen organisasi. Umur responden
perawat pada penelitian ini mempunyai rata rata 32.8 tahun. Berdasarkan
hasil analisis multivariat, variabel umur perawat yang lebih tinggi
merupakan variabel yang dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya
komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya. Umur
perawat ini berpengaruh terhadap komitmen organisasi (Beta sebesar
0.198).
Usia yang lebih muda kemungkinan mempunyai kesempatan yang lebih
besar untuk mencari alternatif pekerjaan lain dibandingkan dengan
karyawan yang lebih tua. Selain itu semakin muda usia karyawan, kecenderungan komitmen yang dimiliki juga tidak terlalu tinggi, hal ini juga mengakibatkan keterikatan dengan organisasi sebagimana yang diungkapkan oleh Mueller juga rendah. Keterikatan terhadap organisasi
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
122
Universitas Indonesia
yang tidak tinggi memudahkan terjadinya turnover. Sedangkan semakin
tinggi usia perawat, maka kemungkinan kesempatan untuk mencari
peluang pekerjaan lain juga semakin kecil, sehingga kesediaan untuk
terus mempertahankan keanggotaan dalam organisasi rumah sakit
semakin tinggi. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Armansyah,
(2002) bahwa,
…..umumnya orang-orang yang berusia lebih tua dan telah lama bekerja memiliki komitmen organisasi yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang berusia muda. Hal ini dipengaruhi oleh pandangan bahwa masa hidup mereka baik kehidupan biologis maupun usia kerja di perusahaan hanya tinggal sesaat, sehingga mencegah mereka untuk keluar dari perusahaan, dalam arti mereka tetap komit dengan organisasi.
Variabel umur perawat dalam penelitian ini tidak memberikan hubungan
yang bermakna terhadap komitmen organisasi (p value= 0.515). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Irving,
Coleman, dan Cooper (1997 dalam Tella, dkk, 2007); Wiedmer (2006
dalam Salami, 2008) dan Seniati, (2006) yang menyatakan bahwa umur
tidak berhubungan secara signifikan dengan kepuasan kerja maupun
komitmen organisasi.
Dari hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa rerata umur perawat di
RS. Islam Surabaya adalah 32.8 tahun. Hal ini perlu mendapatkan
perhatian bagi pihak manjemen rumah sakit akan resiko meningkatnya
turn over pada perawat. Mengingat bahwa batas usia yang pada
umumnya dipersyaratkan untuk melamar ke tempat kerja adalah usia 35
tahun. Karyawan dengan usia yang lebih muda mempunyai kesempatan
yang lebih banyak untuk mencari pekerjaan alternatif yang dirasakan
lebih menguntungkan, juga karier dan kesempatan promosi.
Karakteristik perawat selanjutnya yang akan dibahas berdarsarkan
kontribusinya adalah masa kerja perawat. Variabel masa kerja ini masuk
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
123
Universitas Indonesia
kedalam tahapan multivariat menjadi prediktor yang berpengaruh
terhadap komitmen organisasi pada perawat (Beta sebesar -0.213).,
dimana semakin lama masa kerja perawat maka akan semakin
meningkatkan komitmen organisasi.
Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Angle dan
Perry (1981 dalam Morin, 2008), bahwa salah satu prediktor terhadap
komitmen adalah masa kerja (tenure) seseorang pada organisasi tertentu.
Masa kerja yang relatif belum terlalu lama membuat peluang untuk
menerima tugas yang menantang serta aspek lain dari pekerjaan, seperti
misalnya promosi ,yang dimiliki karyawan belum terlalu besar. Masa
kerja yang belum berlangsung lama menyebabkan peluang investasi
pribadi yang dikeluarkan oleh karyawan tidaklah besar, sehingga
keputusan untuk meninggalkan organisasi tidak sulit untuk dilakukan.
Sedangkan menurut Angle dan Perry, masa kerja yang pendek
menyebabkan keterlibatan sosial yang dibangun juga masih rapuh,
sehingga komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan dengan
masa kerja yang pendek cenderung rendah.
Rata rata distribusi masa kerja perawat di RS. Islam Surabaya adalah
8.98 tahun. Oleh karena itu organisais rumah sakit perlu berupaya untuk
menciptakan iklim organisasi yang kondusif, agar perawat yang bekerja
didalam organisasi tetap bertahan dalm organisasi, sehingga pada
akhirnya perawat yang ada di rumah sakit memiliki masa kerja yang
lebih lama pula, sehingga berpeluang untuk meningkatkan komitmen
perawatnya.
Tingkat pendidikan perawat tidak berkontribusi terhadap komitmen
organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan perawat di RS. Islam Surabaya
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
124
Universitas Indonesia
lebih didominasi tingkat pendidikan D-III Keperawatan (67.1%).
Analisis lanjutan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna antara komitmen organisasi pada perawat berpendidikan SPK,
D III Keperawatan dan S1 Keperawatan (p value 0.022). Beberapa
alasan pendidikan perawat tidak memberikan kontribusi terhadap
komitmen karena pendidikan perawat baik perawat vokasional dengan
latar belakang pendidikan SPK, Diploma, maupun perawat professional
berlatar belakang sarjana keperawatan memiliki persepsi akan kebutuhan
terhadap aspek pekerjaan yang sama, sehingga tingkatan komitmen yang
ditunjukkan cenderung tidak berbeda.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Ellemer, Gilder, dan Heuvel (1998 dalam Tella, Ayeni dan
Popoola, 2007); Wiedmer (2006 dalam Salami, 2008), yang
menguraikan bahwa variabel tingkat pendidikan tidak berhubungan
secara signifikan dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
Namun demikian meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh terhadap komitmen perawat
pada rumah sakit, untuk dapat menjadi rumah sakit yang berkualitas dan
mampu menjawab tantangan globalisasi seperti visi yang dicanangkan
oleh RS. Islam Surabaya serta mampu bersaing di tingkat lokal maupun
regional, maka rumah sakit harus memiliki perawat yang kompeten
dalam ilmu keperawatan yang ditunjukkan antara lain dengan tingkat
pendidikan formal keperawatan yang tinggi.
Dari persamaan garis regresi yang dihasilkan, dapat diinterpretasikan
bahwa apabila dalam rumah sakit diterapkan Spiritual leadership pada
perawat secara berkelanjutan, dan perawat berjenis kelamin perempuan
dan telah menikah, serta semakin tua umur perawat, dan makin lama
masa kerja perawat, dengan maka diprediksikan dapat menaikkan
komitmen organisasi oleh perawat pada rumah sakit Islam Surabaya.
Berdasarkan hasil penelitian ini pula maka penting bagi organisasi untuk
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
125
Universitas Indonesia
memperhatikan faktor faktor lainnya yang dapat berperan sebagai
determinan terbentuknya komitmen organisasi pada perawat di RS.
Islam Surabaya.
6.4 Keterbatasan penelitian
Peneliti menyadari terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini hanya dilakukan satu kali
pengujian validitas dan reliabilitas, sehingga ketika ada item soal yang
diperbaiki tidak dilakukan pengujian kembali.
6.5 Implikasi penelitian
6.5.1 Implikasi teoritis
Studi ini memiliki beberapa implikasi teoritis. Dari teori spiritual
leadership yang dikembangkan oleh Fry, (2003) di Amerika
pernah dilakukan pada organisasi pemerintah, sekolah, militer,
kepolisian, perusahaan swasta. Namun belum dilakukan dalam
setting rumah sakit. sehingga hasil penelitian maupun model ini
diharapkan dapat teraplikasi dan membudaya di tempat kerja.
Selain itu penelitian ini memberikan implikasi terhadap teori
keperawatan khususnya bidang manajemen dan kepemimpinan
dalam keperawatan dengan memperkaya khasanah model dan teori
kepemimpinan yang telah ada.
6.5.2 Implikasi praktis
6.5.2.1 Pelayanan keperawatan
Hasil penelitian ini memiliki beberapa implikasi yang bermanfaat,
khususnya pada pihak management rumah sakit, untuk dapat
meningkatkan efektifitas dari peran kepemimpinan para manajer di
RS dalam upaya mencapai visi yang telah dicanangkan. Selain itu
penting pula untuk merumuskan suatu strategi / formula yang
berprinsip pada motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Dengan bentuk
yang dianggap sesuai untuk dapat meningkatkan komitmen
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
126
Universitas Indonesia
perawat terhadap rumah sakit, sehingga angka keluar masuk
karyawan dapat dikurangi.
6.5.2.2 Penelitian keperawatan
Penelitian Spiritual Leadership ini merupakan kajian awal dalam
mengimplementasi kedalam tatanan pelayanan keperawatan,
mengingat kajian studi ini bersifat cross sectional study. Oleh
karena itu terbuka peluang untuk pengujian empiris berkelanjutan
terhadap teori kepemimpinan ini. Selain itu penting pula untuk
menguji efektifitas penerapan Spiritual leadership yang telah
diterapkan terhadap produktifitas maupun kinerja perawat. Selain
itu terkait dengan upaya membangun komitmen pada organisasi,
maka dapat dilakukan pengujian secara empiris mengenai suatu
model yang berkaitan dengan upaya membangun komitmen
dengan berprinsip pada motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
6.5.2.3 Pendidikan keperawatan
Merupakan sebuah tantangan dalam pendidikan keperawatan,
dalam mengembangkan kepemimpinan dalam dunia keperawatan,
maka perlu upaya melakukan eksplorasi yang terus menerus dalam
mengoperasionalkan abstraksi konsep kepemimpinan yang ada
dalam mengejawantahkan abstraksi pada tatanan aplikasi sehari
hari.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
127
Universitas Indonesia
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ‘Pengaruh penerapan Spiritual Leadership
terhadap komitmen organisasi pada perawat di RS. Islam Surabaya’, yang
dilaksanakan di ruang rawat inap non paviliun periode tanggal 22 April
hingga 30 Mei 2009, dapat disimpulkan sebagai berikut:
7.1.1 Karakteristik perawat yang menjadi responden penelitian sebagian
besar adalah berjenis kelamin perempuan, telah menikah,
berpendidikan DIII Keperawatan, rata rata berumur 32.18 tahun,
dan memiliki masa kerja 8.98 tahun.
7.1.2 Kepuasan kerja perawat pada dimensi gaji, supervisi, promosi,
kelompok kerja dan pekerjaan, setengah dari perawat memiliki
kepuasan kerja tinggi dan setengahnya adalah kepuasan kerja
rendah
7.1.3 Komitmen organisasi pada perawat dengan kepuasan kerja tinggi
tidak berbeda secara bermakna dengan komitmen organisasi pada
perawat dengan kepuasan kerja rendah
7.1.4 Komitmen organisasi pada perawat yang terdiri dari kepercayaan
(identifikasi), penerimaan (internalisasi), keterlibatan kerja,
keinginan bertahan dalam organisasi, sebelum diterapkan Spiritual
Leadership belum menunjukkan komitmen yang optimal
7.1.5 Komitmen organisasi pada perawat sesudah penerapan Spiritual
Leadership pada kelompok perawat yang diterapkan meningkat
secara bermakna daripada sebelum diterapkan Spiritual
Leadership.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
128
Universitas Indonesia
7.1.6 Komitmen organisasi pada perawat yang diterapkan Spiritual
Leadership lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan
komitmen oraganisasi pada perawat yang tidak diterapkan Spiritual
Leadership.
7.1.8 Penerapan Spiritual Leadership, jenis kelamin perempuan, status
perkawinan menikah, umur yang lebih besar, dan masa kerja
perawat yang lama secara berurutan merupakan faktor yang dapat
memprediksikan peningkatan komitmen organisasi pada perawat di
RS. Islam Surabaya.
7.2 Saran
7.2.1 Untuk manajemen Rumah Sakit
7.2.1.1 Perlu adanya optimalisasi sosialisasi nilai integrasi budaya
RS dan nilai spiritual leadership pada seluruh anggota
organisasi, khususnya perawat. Penting bagi rumah sakit
untuk mendekatkan nilai organisasi (visi, misi, tujuan,
budaya RS) kepada seluruh anggota/ karyawan RS.
Sehingga menjadi suatu keharusan bagi rumah sakit untuk
mensosialisasikan dan mengadaptasikan nilai organisasi
ketika melakukan proses orientasi tenaga keperawatan baru.
7.2.1.2 Apabila diperlukan maka penting untuk dibentuk sebuah
kelompok kerja yang berfungsi sebagai perencana,
penggerak, melakukan upaya maintenance dan evaluasi
yang berkaitan dengan implementasi budaya RS. Islam
Surabaya
7.2.1.3 Penting bagi rumah sakit untuk mengkaji kembali system
penggajian, promosi kerja yang berazaskan pada nilai
keadilan untuk diberlakukan pada lingkungan rumah sakit
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
129
Universitas Indonesia
7.2.2 Untuk Kepala Ruang
7.2.2.1 Bagi kepala ruang yang telah mendapatkan pelatihan
hendaknya senantiasa menumbuhkan semangat dan
komitmen bersama dengan para perawat untuk
menjalankan, belajar, dan menjiwai serta menghayati
bersama integrasi nilai-nilai spiritual budaya RS yang telah
tertuang dalam pedoman.
7.2.2.2 Selain itu kepala ruang sebagai ujung tombak
implementator budaya RS, perlu untuk memberi masukan
terhadap interpretasi nilai spiritual leadership yang telah
dibuat oleh tim kerja RS.
7.2.2.3 Meningkatkan peran supervisi dari kepala ruang terhadap
perawat pelaksana, dan upaya menciptakan lingkungan
kerja yang baik
7.2.3 Untuk Perawat Pelaksana
Penting untuk membudayakan implementasi nilai budaya rumah
sakit yang diintegrasikan aktivitas rutin sehari hari (misalnya
operan, doa bersama), dimulai dengan menghapalkan nilai budaya
secara bersama sama, sehingga menumbuhkan rasa menghayati
dan dapat menumbuhkan sense of belonging terhadap organisasi
rumah sakit.
7.2.4 Untuk penelitian selanjutnya
Penelitian lanjutan (longitudinal study) sebagai bahan evaluasi
efektifitas penerapan spiritual leadership yang telah dilaksanakan,
dan penelitian selanjutnya bisa ditindaklanjuti dalam mengkaji
perbandingan penerapan spiritual leadership, penerapan workplace
spirituality dan Spiritual Leadership terhadap komitmen perawat.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
130
Universitas indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ameeri, A. (2000). Job satisfaction and organizational commitment for nurse. Saudi Medical Journal. Vol. 21 (6): 531-535. www. smj.org.sa. diperoleh tanggal 27 Mei 2009.
Al-Ajmi. R. (2006). Effect of gender on job satisfaction and organizational commitment in kuwait, The International Journal of Management. www.findarticles.com. diperoleh tanggal 27 Mei 2009.
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Jakarta. Penerbit FKM UI.
Armansyah. (2002). Komitmen organisasi dan imbalan financial. Jurnal Ilmiah “Manajemen & Bisnis” Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Vol. 02 No. 02. www. manbisnis.tripod.com. diperoleh tanggal 27 Mei 2009.
Basher&Ramay. (2008). Determinants of organizational commitment a study of
information technology professionals in pakistan. www. ibam.com. diperoleh tanggal 02 januari 2009.
Benefiel&Hamilton. (2007). Spiritual leadership coaching. www.iispiritualleadership.com. Diperoleh tanggal 20 Februari 2009.
Barcus, S. (2007). The Impact of organizational learning and training on multiple job satisfaction factors. www.digital.library.unt.edu. Diperoleh tanggal 01 Februari 2009.
Budiarto, D. (2007). Pengaruh insentif non finansial terhadap kepuasan kerja dan
komitmen organisasi. www.meylanoncy.upy.ac.id. diperoleh tanggal 25 mei 2009.
Brown, B. (2003). Employees’ organizational commitment and their perception of
supervisors relations-oriented and task-oriented leadership behaviors. www. scholar.lib.vt.edu. diperoleh tanggal 17 Januari 2009.
Brown&Gaylor. (2004). Organizational commitment in higher education. www.jsums.edu. diperoleh tanggal 06 Februari 2009.
Dahlan. M.S. (2008). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. deskriptif, bivariat, dan multivariat dilengkapi aplikasi dengan menggunakan SPSS. Jakarta. Penerbit Salemba Medika.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
131
Universitas indonesia
Ekeland, T. (2005). The relationships among affective organizational commitment, transformational leadership style, and unit organizational effectiveness within the corps of cadets at texas A&M University. www. txspace.tamu.edu. diperoleh tanggal 17 Januari 2009.
Feinstein, A. (2002). A study of relationships between job satisfaction and
organizational commitment among restaurant employees. www. hotel.inlv.edu, diperoleh tanggal 27 Mei 2009.
Fletcher, (1998). Effects of organizational commitment, job involvement,And organizational culture on the employee voluntary turnover process. www. etd.lib.ttu.edu. diperoleh tanggal 06 Februari 2009.
Fields, dail. (2000). Chapter 3, organizational commitment. taking the measure of
work. www.jsums.edu. Diperoleh tanggal 06 Februari 2009.
Fry, L. W. (2003). Toward a theory of spiritual leadership. The Leadership Quarterly, 14(6), 693-727. www.tarleton.edu. diperoleh tanggal 08 Februari 2009.
Fry, L. W. (2004). Toward a theory of ethical and spiritual well-being, and
corporate social responsibility through spiritual leadership. www.tarleton.edu, diperoleh tanggal 06 Februari 2009.
Fry, Vitucci, & Cedillo. (2005). Spiritual leadership and army transformation: Theory, measurement, and establishing a baseline. The Leadership Quarterly 16 (2005) 835–862. www.sciencedirect.com, diperoleh tanggal 06 Februari 2009.
Fry, L. W & Matherly. (2006). Spiritual leadership as an integrating paradigm for positive leadership development. www.tarleton.edu, diperoleh tanggal 08 Februari 2009.
Fry, et al. (2007). Transforming city government through spiritual leadership:
measurement and establishing a baseline. www.tarleton.edu, diakses tanggal 10 Februari 2009.
Fry, L.W & Matherly (a). (2007). Workplace Spirituality, Spiritual Leadership and performance excellence. Encyclopedia of Industrial/Organizational Psychology. San Francisco: Sage. www.tarleton.edu, diperoleh tanggal 06 Februari 2009.
Fry, L.W dan Matherly (b). (2007). Spiritual leadership and organizational performance:an exploratory study. www.tarleton.edu. Diakses tanggal 11 Februari 2009.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
132
Universitas indonesia
Fry L.W & Cohen. (2008). Spiritual Leadership as a Paradigm for Organizational Transformation and Recovery from Extended Work Hours Cultures. Journal of Business Ethics (2009) 84:265–278, www.springerlink.com, diperoleh tanggal 12 Februari 2009.
Fry, L. W. (2008). Spiritual leadership: state-of -the-art and future directions for theory, research, and practice. www.tarleton.edu, diperoleh tanggal 12 Februari 2009.
Fry, L.W & Slocum. (2008). Maximizing the triple bottom line trough spiritual
leadership. Organizational Dynamics, Vol. 37, No. 1, pp. 86–96. www.science direct.com. diperoleh tanggal 10 Februari 2009.
Giacalone, Jurkiewicz, dan Fry. (2005). From advocacy to science: the next steps
in workplace spirituality research. www.tarleton.edu, diperoleh tanggal 10 Februari 2009.
Good, Chen, and Huddleston. (1999). An empirical test of job satisfaction: antecedents and satisfaction type. www. reuw.washington.edu. diperoleh tanggal 17 Januari 2009.
Gupta. Anviti. (2007). Organizational commitment - basic concepts & recent developments. www.selfgrowth.com. diperoleh tanggal 01 februari. 2009.
Hastono, Sutanto. (2007). Basic data analysis for health research training, analisis data kesehatan. Jakarta. FKM UI.
Istijanto. (2008). Riset sumber daya manusia. Cara praktis mendeteksi dimensi dimensi kerja karyawan. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Knight & Kennedy. (2005). Psychological contract violation: impacts on job
satisfaction and organizational commitment among australian senior public servants. Applied H.R.M. Research, 2005, Volume 10, Number 2, pages 57-72. www.xavier.edu. Diperoleh tanggal 03 Maret 2009.
Kreitner & Kinicki. (2003). Perilaku organisasi. Buku Satu. Jakarta. Penerbit
salemba Empat. Koesmono. (2007). Pengaruh Kepemimpinan Dan Tuntutan Tugas Terhadap
Komitmen Organisasi Dengan Variabel Moderasi Motivasi Perawat Rumah Sakit Swasta Surabaya. www.petra.ac.id. Diperoleh tanggal 06 Januari 2009.
Luthans, (2006). Perilaku organisasi edisi sepuluh, diterjemahkan oleh Vivin
Andhika, dkk. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
Malone & Fry. (2005). Transforming schools through spiritual leadership:a field experiment. www.tarleton.edu, diperoleh tanggal 06 Februari 2009.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
133
Universitas indonesia
Hasibuan, M. (2005). Manajemen sumber daya manusia. Edisi revisi. Jakarta Penerbit PT Bumi Aksara.
Hasibuan, M. (2007). Organisasi dan motivasi, dasar peningkatan produktivitas. Jakarta. PT Bumi Aksara.
Murti, (2006). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan kualitatif di bidang kesehatan. Jakarta. Gajahmada University Press.
Muliyadi. (2008). Hubungan Komitmen pada organisasi dan lingkungan kerja perawat dengan kinerja perawat pelaksana di RS. Tugu Ibu Jakarta. Tesis Pascasarjana FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Mustikasari. (2003). Faktor intrinsik kerja dan hubungannya dengan kepuasan kerja perawat pelaksana di unit rawat inap dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis Pascasarjana FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Morin. (2008). The meaning of work, mental health and organizational commitment. www.irsst.qa, diperoleh tanggal 06 Januari 2009.
Notoatmodjo, S. (2000). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta. Penerbit
Rineka Cipta.
Payne, Huffman. (2002). “The influence of organizational commitment on officer retention: a 12-year study of US. army officers”. www.businessofgovernment.org, diperoleh tanggal 06 Februari 2009.
Potter & Perry. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan
praktik. edisi 4 volume 1. Alih bahasa Yasmin Asih, dkk. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC.
Rianto, F. (2009). Altruisme dalam beberapa perspektif. www.riantoblogspot.com, diperoleh tanggal 21 Maret 2009.
Sabri,L & Hastono, S. (2006). Statistic kesehatan edisi revisi. Jakarta. PT Rajagrafindo Persada.
Salami, (2008). Demographic and psychological factors predicting organizational commitment among industrial workers. www.krepublisher.com, diperoleh tanggal 16 Februari 2009.
Seniati, L. (2006). Pengaruh masa kerja, trait kepribadian, kepuasan kerja, dan
iklim psikologis terhadap komitmen dosen pada Universitas Indonesia. Makara, Sosial Humaniora, vol. 10. www. journal.ui.ac.id, diperoleh tanggal 25 Mei 2009.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
134
Universitas indonesia
Smeenk, et all. (2006). The effect of HRM practices and antecedents on organizational commitment among university employees. www.ics.uda, diperoleh tanggal 08 Februari 2009.
Subanegara, H. (2005). Diamond head drill dan kepemimpinan dalam manajemen rumah sakit. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung. Penerbit Alphabeta.
Sugiarto, dkk. (2001). Teknik sampling. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sujianto.A.E. (2007). Aplikasi statistik dengan SPSS untuk pemula. Jakarta. Prestasi Pustaka Publisher.
Sopiah, (2008). Perilaku organisasional. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
Sitorus, dkk. (2008). Panduan penulisan tesis. Jakarta. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Tella, Ayeni, dan Popoola. (2007). Work Motivation, Job Satisfaction, and organisational Commitment of Library Personnel in Academic and Research Libraries in Oyo State, Nigeria. Library Philosophy and Practice. www. webpages.uidaho.edu, diperoleh tanggal 25 Mei 2009.
Wening, N. (2005). Pengaruh ketidakamanan kerja (Job insecurity) sebagai
restrukturisasi terhadap kepuasan kerja, komitmen organisasi dan intense keluar survivor. www. uajy.ac.id, diperoleh tanggal 06 Juni 2009.
Wirawan, (2007). Budaya dan iklim organisasi: teori, aplikasi dan penelitian. Jakarta. Penerbit Salemba Empat.
Wirawan, (2003). Kapita selekta teori kepemimpinan. Jakarta. Penerbit Salemba Empat.
Wibowo, (2007). Manajemen kinerja. Divisi buku perguruan tinggi. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada.
Widi, N. (2008). Laws of spiritual, 10 kompetensi spiritual untuk keberhasilan dan kebahagiaan hidup. Jakarta. PT. Bhuana Ilmu Popular, kelompok Gramedia.
WHO. (2003). Organisasi pelayanan kesehatan. Disampaikan pada pelatihan SPMKK. www.jmpk-online.net. Diperoleh tanggal 03 Januari 2009.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
135
Universitas indonesia
Wright & Kehoy, (2007). Human resource practices and organizational commitment:a deeper examination. www.digitalcommons.com. Diperoleh tanggal 06 Februari 2009.
Wijono, D. (2007). Prosedur Proposal dan laporan penelitian Kesehatan,
panduan praktis penelitian. Surabaya. Penerbit CV. Duta Prima Airlangga.
Wolf, A. (2008). Spiritual trends in holistic nursing. Diperoleh dari www.digitalcommons.liberty.edu, pada tanggal 19 Maret 2009.
Zurn, Dolea, & Stilwell. (2005). Nurse retention and recruitment: developing a motivated workforce. The global nursing review initiative issue 4. ICN - International Council of Nurses. www. icn.ch. diperoleh tanggal 01 Juni 2009.
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
Kepada
Yth. Bapak/ Ibu perawat
di RS. Islam Surabaya
Dengan Hormat,
Dalam rangka kegiatan program Tesis Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia, kekhususan Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan, saya mahasiswa atas nama Nurfika Asmaningrum NPM: 0706194785,
akan melakukan penelitian yang bertujuan mengetahui ”Pengaruh Penerapan
Spiritual Leadership terhadap komitmen organisasi pada perawat di RS.
Islam Surabaya”. Penelitian ini akan memberi manfaat terhadap upaya dalam
peningkatan motivasi dan komitmen perawat terhadap rumah sakit.
Pelaksanaan penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak dan pengaruh yang
merugikan bagi perawat maupun pekerjaan anda, karena kerahasiaan identitas dan
semua informasi yang diberikan akan dijaga kerahasiaannya, dan hanya dipergunakan
dalam penelitian ini. Oleh karena itu, bersama ini saya mohon kesediaan bapak/ ibu
perawat untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Namun demikian apabila
dikemudian hari terjadi hal hal yang menimbulkan ketidaknyaman, anda diperkenankan
untuk mengundurkan dari penelitian.
Demikian penjelasan dari saya, terima kasih atas perhatian, kerjasama dan
kesediaannya saya ucapkan banyak terima kasih .
Depok,...........April 2009
Peneliti,
Nurfika Asmaningrum
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
LEMBAR PERSETUJUAN
KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN
Setelah membaca penjelasan penelitian ini dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang
saya ajukan, maka saya mengetahui manfaat dan tujuan penelitian ini, saya mengerti bahwa
peneliti menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak saya sebagai responden. Saya
menyadari bahwa penelitian ini tidak akan berdampak negatif bagi saya. Saya mengerti
bahwa keikutsertaan saya dalam penelitian ini sangat besar manfaatnya bagi peningkatan
kualitas pelayanan keperawatan.
Persetujuan yang saya tanda tangani menyatakan bahwa saya bersedia untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini sampai dengan berakhirnya proses penelitian.
Surabaya,……April 2009
Tanda Tangan Peneliti, Tanda tangan responden
Ns. Nurfika Asmaningrum, S.Kep (…………………………….)
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
KUESIONER A
Nomor Responden
Diisi oleh Peneliti
Petunjuk Pengisian:
Tulislah jawaban secara singkat dan jelas pada tempat yang telah tersedia, dan berilah tanda
(√) pada kolom jawaban yang anda pilih
1. Umur Bapak/ ibu/ saudara : ......................... tahun
2. Jenis kelamin : ( ) Laki laki
( ) Perempuan
3. Status perkawinan : ( ) Belum Menikah
( ) Menikah
( ) Janda/ Duda
4. Pendidikan keperawatan terakhir : ( ) SPK
( ) DIII Keperawatan
( ) S1 Keperawatan
( ) lain lain,……………………
5. Lama bekerja di rumah sakit ini : .........................tahun
6. Status kepegawaian : ( ) Pegawai Tetap
( ) Calon Pegawai Tetap
( ) Tenaga Kontrak
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
KUESIONER B
Petunjuk Pengisian:
1. Mohon kesediaan bapak/ ibu/ saudara untuk menjawab seluruh pertanyaan yang ada
2. Berilah tanda checklist (√) pada kolom jawaban yang anda pilih sesuai dengan
keadaan yang anda rasakan, berdasarkan alternatif jawaban berikut ini:
a. Sangat Tidak Setuju, jika pernyataan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan pendapat atau kondisi yang anda alami di rumah sakit
b. Tidak Setuju, jika pernyataan tersebut tidak sesuai dengan pendapat atau kondisi yang anda alami
c. Setuju, jika pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat atau kondisi yang anda alami
d. Sangat setuju, jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan pendapat atau kondisi yang anda alami
No. Pernyataan
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
1 Saya merasa penghasilan yang saya terima dari RS telah sesuai dengan beban kerja saya
2 Saya merasa pekerjaan yang saya lakukan sehari hari tidak lebih sebatas rutinitas saja
3 Saya merasa pengaturan sistem promosi jabatan yang selama ini berlaku di RS belum berjalan dengan baik
4 Saya merasa kondisi kebersihan ruangan dan lingkungan bekerja membuat saya nyaman dalam bekerja
5 Saya merasa belum adanya peluang yang sama bagi perawat untuk dapat melanjutkan pendidikan formal keperawatan
6 Saya merasa belum adanya tanggung jawab secara penuh dalam menjalankan pekerjaan yang ada
7 Saya merasa sistem promosi jabatan telah dilaksanakan secara adil bagi setiap perawat
8 Saya merasa kadangkala jenuh dan bosan terhadap aktivitas pekerjaan yang saya lakukan
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
No. Pernyataan
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
9 Secara umum saya merasa puas dengan penghasilan yang saya dapatkan dari rumah sakit
10 Saya merasa kebijakan RS dalam promosi jabatan lebih diutamakan berdasar asas senioritas saja
11 Saya merasa sistem pemberian insentif diruangan kerja telah dilaksanakan dengan adil
12 Saya merasa RS telah memberi kesempatan pada perawat untuk maju berkembang dalam berkarier
13 Saya merasa tidak adanya kerjasama yang baik antar anggota tim kerja dalam menyelesaikan pekerjaan
14 Saya merasa teman dalam kelompok kerja membuat pekerjaan menjadi lebih cepat diselesaikan
15 Saya merasa pimpinan keperawatan ditempat kerja, belum melakukan kegiatan pembinaan pada perawat pelaksana dengan baik
16 Secara umum saya merasa puas dengan kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh atasan saya
17 Saya merasa teman dalam ruangan kerja ini, merupakan kelompok paling solid yang pernah saya miliki
18 Saya merasa teman dalam kelompok kerja di RS ini merupakan sumber dukungan dalam mencapai tujuan bekerja
19 Saya merasa pembinaan oleh pimpinan telah dilakukan dengan baik terhadap pekerjaan yang saya lakukan
20 Saya merasa tidak adanya komunikasi yang baik antar sesama teman kerja
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
KUESIONER PENELITIAN
PENGARUH PENERAPAN SPIRITUAL LEADERSHIP
TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA PERAWAT
KUESIONER A: Karakteristik Perawat
KUESIONER B: Kepuasan Kerja
KUESIONER C: Komitmen Organisasi
Disusun oleh:
Nurfika Asmaningrum
NPM. 0706194785
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2009
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
KUESIONER C
Petunjuk Pengisian:
Berilah tanda checklist (√) pada kolom jawaban yang anda pilih sesuai dengan keadaan yang anda rasakan, berdasarkan alternatif jawaban berikut ini:
a. Sangat Tidak Setuju, jika pernyataan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan pendapat atau kondisi yang anda alami di rumah sakit
b. Tidak Setuju, jika pernyataan tersebut tidak sesuai dengan pendapat atau kondisi yang anda alami
c. Setuju, jika pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat atau kondisi yang anda alami
d. Sangat setuju, jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan pendapat atau kondisi yang anda alami
No. Pernyataan
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
1 Saya merasakan adanya kenyamanan dan ketenangan dalam meniti karir saya di rumah sakit ini
2 Semenjak awal bergabung dengan rumah sakit ini, saya merasakan adanya kesamaan nilai nilai pribadi dengan nilai organisasi rumah sakit
3 Jika ada perbedaan nilai dalam organisasi rumah sakit dengan nilai nilai yang saya anut, maka saya tidak akan mungkin bertahan bekerja di RS ini
4 Seringkali saya merasa tidak sepaham dengan kebijakan Rumah Sakit mengenai hal hal yang berkaitan dengan karyawan
5 Salah satu alasan saya menyukai organisasi RS ini, adalah karena adanya kesamaan nilai nilai tersebut
6 Tidak banyak yang diperoleh dengan tetap bertahan di rumah sakit ini untuk jangka waktu yang tidak terbatas
7 Nilai nilai yang ada pada tempat saya bekerja telah mewakili nilai nilai yang ada pada diri saya pribadi
8 Saya merasakan turut memiliki rumah sakit ini, lebih dari hanya sekedar sebagai pegawai saja
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009
9 Saya menyampaikan pada teman lain, bahwa rumah sakit ini merupakan tempat bekerja yang baik dan mampu menjamin masa depan saya
10 Saya merasa telah melakukan sebuah kesalahan ketika memutuskan bekerja di rumah sakit ini
11 Secara pribadi pandangan saya tentang rumah sakit ini, berbeda dengan informasi yang saya peroleh dari masyarakat umum
12 Saya merasakan masalah yang muncul pada rumah sakit adalah merupakan bagian dari masalah bersama
13 Saya bersedia melakukan usaha kerja keras diluar dari yang seharusnya, untuk membantu kesuksesan rumah sakit
14 Saya merasa bangga ketika bercerita pada orang lain bahwa saya menjadi bagian dari rumah sakit ini
15 Saya melaksanakan hampir semua jenis tugas pekerjaan, agar tetap dapat bekerja di rumah sakit ini
16 Rumah sakit ini benar-benar mampu memberi inspirasi terbaik dalam kinerja yang saya hasilkan selama ini
Terima kasih atas kesediaan anda menjadi responden.
Jawaban anda turut membantu upaya perbaikan mutu layanan
keperawatan kita
Pengaruh penerapan..., Nurfika Asmaningrum, FIK UI, 2009