Post on 06-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Stress merupakan bagian dari kehidupan manusia baik dalam kondisi
sehat maupun sakit. Stress adalah suatu respon tubuh terhadap lingkungan
yang dapat memproteksi manusia dan juga merupakan bagian dari sistim
pertahanan yang membuat manusia dapat bertahan hidup. Stress muncul
ketika manusia menghadapi tantangan-tantangan yang penting, ketika
dihadapkan terhadap ancaman atau ketika harus berusaha mengatasi harapan
yang tidak realistis dari lingkungannya, ada tuntutan yang luar biasa sehingga
mengancam keselamatan atau integritas seseorang. Individu dari semua usia
dapat mengalami stress dan mencoba untuk mengatasinya. Ketegangan fisik
dan emosional yang menyertai stress menimbulkan ketidaknyamanan.
Tenaga kesehatan professional harus memiliki pengetahuan tentang
stress sehingga mereka dapat mengenalinya apabila terjadi pada klien dan
keluarga, serta mencegahnya secara efektif. Penting bagi perawat untuk
mengetahui tanda dan gejala stres, serta memahami tehnik manajemen stress
untuk membantu koping individu, sama baiknya dengan membuat intervensi
manajemen stress untuk klien dan keluarganya (Lazarus & Folkman, 1984).
Banyak individu yang menggunakan istilah stress dalam berbagai hal.
Pertama, stress merupakan pengalaman individu yang disembunyikan melalui
suatu rangsangan atau stressor. Stressor adalah dorongan yang mengganggu
1
yang ada di dalam berbagai sistem (Neuman dan Fawcett, 2002). Stress juga
merupakan bentuk penghargaan atau persepsi dari stressor. Penghargaan
(appraisal) adalah bagaimana individu menginterpretasikan dampak stressor
pada diri mereka, apa yang terjadi, dan apa yang mereka dapat lakukan pada
hal tersebut (Lazarus, 2007). Akhirnya, stress merupakan istilah umum yang
menghubungkan kebutuhan lingkungan dan persepdi individu terhadap
kebutuhan tersebut sebagai tantangan, ancaman atau pengrusakan (Varcarolis,
Carson, dan Shoemaker, 2006). Stress pada konteks ini ditujukan pada
konsekuensi dari stressor, begitu juga penghargaan seseorang terhadap
stressor.
Hal tersebut akan membuat seseorang menjadi termotivasi untuk
mengatasinya dan usaha tersebut dinamakan koping. Koping merupakan
proses dimana seorang mencoba mengatur perbedaan antara keinginan
(demand ) dengan pendapatan ( resources ). Koping akan membantu seseorang
untuk mengubah persepsi seseorang atas ketidaksesuaian tersebut, menolerir,
melepaskan diri atau menghindari stress. Stress diatasi dengan kognitif dan
behavior transaksi melaui lingkungan.Koping individu dapat efektif atau tidak
dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain dari individu itu sendiri , juga
dipengaruhi oleh faktor luar yaitu peran serta orang lain. Dalam hal ini
dibutuhkan peran serta seorang perawat untuk mengoptimalkan koping yang
dimiliki oleh pasien yang sedang dirawat.
2
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan konsep-konsep dalam model Lazarus
2. Menganalisis dan mengevaluasi kelebihan dan kekurangan model/konsep
Lazarus
3. Menganalisis implikasi model Lazarus dalam keperawatan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stress
Kata stress dapat diartikan berbeda untuk setiap individu. Sebagian
individu mendefenisikannya sebagai tekanan, desakan atau respon emosional.
Namun, Lazarus memandang bahwa stress merupakan hubungan antara
seseorang dengan lingkungan yang dinilai melampaui kemampuan atau
sumber daya seseorang dan membahayakan kesejahteraannya (Phycological
stress is a particular relationship between the person and the environment
that is appraised by the person as taxing or exceeding his or her resources
and endangering his or her well-being (Lazarus and Folkman, 1984, hal 19).
Defenisi stress dari stimulus terfokus pada kejadian di lingkungan
seperti misalnya bencana alam, kondisi berbahaya, penyakit, atau berhenti dari
kerja. Pendekatan definisi ini menyangkut asumsi bahwa situasi tersebut
memang sangat menekan tapi tidak memperhatikan perbedaan individual
dalam mengevaluasi kejadian. Sedangkan definisi stres dari respon mengacu
pada keadaan stres, reaksi seseorang terhadap stres, atau berada dalam
keadaan di bawah stres (Lazarus & Folkman, 1984). Definisi stres hanya
melihat dari stimulus yang dialami seseorang, memiliki keterbatasan karena
tidak memperhatikan adanya perbedaan individual yang mempengaruhi
asumsi mengenai stresor. Sedangkan jika stres didefinisikan dari respon, maka
tidak ada cara yang sistematis untuk mengenali mana yang akan jadi stresor
4
dan mana yang tidak. Untuk mengenalinya, perlu dilihat terlebih dahulu reaksi
yang terjadi. Selain itu, banyak respon dapat mengindikasikan stres psikologis
yang padahal sebenarnya bukan merupakan stres psikologis.
Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa respon tidak dapat secara
reliabel dinilai sebagai reaksi stres psikologis tanpa adanya referensi dari
stimulus (Lazarus & Folkman, 1984).
Seseorang mengalami stress sebagai konsekuensi dari kejadian dan
pengalaman hidup sehari-hari. Stress membantu individu untuk tetap waspada
terhadap lingkungan mereka. Selanjutnya, stress menghasilkan pertumbuhan
kepribadian dan memfasilitasi perkembangan (Aguilera, 1998). Bagaimana
individu bereaksi terhadap stress akan bergantung pada bagaimana mereka
memandang dan mengevaluasi dampak dari stressor, efeknya pada situasi dan
dukungan saat mengalami stress, dan mekanisme koping mereka. Ketika stress
mengganggu mekanisme koping seseorang, akan terjadi ketidakseimbangan
yang akhirnya menghasilkan krisis (Aguilera, 1998). Jika gejala stress yang
datang melampaui durasi stressor, maka individu dapat mengalami trauma
(Hyer dan Sohner, 2001).
Lazarus (1984) menjelaskan bahwa stress juga dapat diartikan sebagai:
1. Stimulus, yaitu stress merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang
menimbulkan stress atau disebut juga dengan stressor.
2. Respon, yaitu stress merupakan suatu respon atau reaksi individu yang
muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stress. Respon
5
yang muncul dapat secara psikologis, seperti: takut, cemas, sulit
berkonsentrasi dan mudah tersinggung.
3. Proses, yaitu stress digambarkan sebagai suatu proses dimana individu
secara aktif dapat mempengaruhi dampak stress melalui strategi tingkah
laku, kognisi maupun afeksi.
Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa
terdapat tiga kelompok sumber stress, yaitu :
1. Fenomena catalismic, yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba,
khas, dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam,
perang, banjir, dan sebagainya.
2. Kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada
fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih
sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian.
3. Daily hassles, yaitu masalah yang sering dijumpai di dalam kehidupan
sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja atau masalah-masalah
lingkungan seperti kesesakan atau kebisingan karena polusi (Prabowo,
Hendro, 1998).
B. Pandangan Terhadap Stres Psikologik
1. Konsep yang berfokus pada lingkungan
Stress sebagai stimulus dimana sumbernya adalah ketegangan. Ketegangan
bersumber dari rangkaian kegiatan atau peristiwa yang terjadi. Misalnya
ketika seorang pasien yang sedang dilakukan pemeriksaan maka dia akan
6
bertanya-tanya tentang alat yang digunakan, bagaimana caranya,
baiayanya. Kegiatan dialaminya tersebut akan direspon sebagai ancmaan
atau suatu yang membahayakan diri klien yang ahirnya menimbulkan
perasaan tegang yang disebut dengan stressor.
2. Pendekatan yang memperlakukan stress sebagai suatu respon terfokus
pada reaksi terhadap stress. Contohnya seseorang menggunakan kata stress
untuk menjelaskan ketegangan dirinya. Respon tersebut memiliki dua
komponen yaitu komponen psikologis yang melibatkan prilaku, pola pikir
dan emosi. Komponen yang kedua adalah respon fisiologis yang
meningkatkan rangsangan tubuh seperti jantung berdetak kuat. Respon
psikologis dan fisiologis disebut dengan strain.
3. Pendekatan yang mendeskripsikan stress sebagai suatu proses melibatkan
stressor dan strain, juga ditambah dengan hubungan antara seseorang
dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian
secara berkesinambungan yang disebut dengan transaksi antar seseorang
dengan lingkungannya. Transaksi mengarah pada kondisi stress secara
umum yang melibatkan proses pengkajian atau cognitive appraisal.
C. Penilaian Stress
1. Cognitif Apprasial
Merupakan suatu proses mental dimana ada dua faktor yang dinilai
yaitu apakah tuntutan tersebut mengancam nyawa dan apakah sumber
daya tersediauntuk memenuhi tuntutan tersebut. Kedua faktor tersebut
7
membuat dua macam penilaian yaitu primer dan sekunder. Penilaian
primer adalah proses penilaian pada waktu kita mendeteksi suatu keadaan
yang berpotensial menyebabkan stress sedangkan penilaian skunder adalah
penilaian terhadap kemampuan dalam diri kita untuk menanggulangi
stress.
2. Stress Apprisial
Penilaian terhadap kemampuan menanggulangi stress. Penilaianan
ini tergantung pada faktor personal( intelektual, motivasi dan personality)
dan faktor situasi.
Ada beberapa fator yang mempengaruhi stress affrisial yaitu :
a. High demands
Kejadian yang melibatkan tuntutan yang sangat tinggi dan mendesak
sehingga menyebakan ketidak nyamanan.
b. Life transition
Kehidupan yang memiliki perubahan dan membutuhkan tuntutan
kebutuhan yang baru.
c. Timing
Merupakan batas waktu dalam perencanaan. Bilakita sudah
merencanakan sesuatu yang besar dalam kehidupan kita dan timingnya
meleset akan menyebabkan stress.
d. Ambiquti
Ketidak jelasan akan situasi yang terjadi
8
e. Disirability
Kejadian yang terjadi diluar dugaan.
f. Controlability
Apakah seseorang mempunyai kemampuan mengubah atau
menghilangkan stresor
D. Tahapan Penilaian Stress
Menurut Lazarus (1991) dalam melakukan penilaian tersebut
terdapat dua tahap yang harus dilalui, yaitu :
1. Primary appraisal
Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari
suatu peristiwa yang dialami individu. Peristiwa tersebut dapat
dipersepsikan positif, netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa yang
dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan adanya harm, threat, atau
challenge. Harm adalah penilaian mengenai bahaya yang didapat dari
peristiwa yang terjadi. Threat adalah penilaian mengenai kemungkinan
buruk atau ancaman yang didapat dari peristiwa yang terjadi.
Challenge merupakan tantangan akan kesanggupan untuk mengatasi
dan mendapatkan keuntungan dari peristiwa yang terjadi (Lazarus
dalam Taylor, 1991). Pentingnya primary appraisal digambarkan
dalam suatu studi klasik mengenai stres oleh Speisman, Lazarus,
Mordkoff, dan Davidson (dalam Taylor, 1991). Studi ini menunjukkan
9
bahwa stres bergantung pada bagaimana seseorang menilai suatu
peristiwa.
Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
a. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang
dimiliki seseorang, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang
terjadi dengan tujuan personalnya.
b. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu
pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu
tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak, dan
apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan
personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut
sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut
memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence.
c. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada
berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen seseorang.
2. Secondary appraisal
Secondary appraisal merupakan penilaian mengenai
kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang
dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm,
threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi.
Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
a. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung
jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.
10
b. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat
mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen
pribadinya.
c. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan
tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi
lebih baik atau buruk.
Pengalaman subjektif akan stres merupakan keseimbangan
antara primary dan secondary appraisal. Ketika harm dan threat yang
ada cukup besar, sedangkan kemampuan untuk melakukan coping
tidak memadai, stres yang besar akan dirasakan oleh individu.
Sebaliknya, ketika kemampuan coping besar, stres dapat
diminimalkan.
E. Mekanisme Koping
Koping adalah proses dimana seseorang mencoba mengatur
perbedaanantara keinginan ( demand ) dengan pendapatan ( resources ) yang
dinilai dalamsuatu keadaan yang penuh tekanan Koping dapat diarahkan
memperbaiki ataumenguasia masalah,, sehingga dapat membantu seseorang
mengubah persepsinyaatas ketidaksesuaian, menolerir dan menerima bahaya,
melepaskan diri atau menghindari situasi stress. Stress diatasi dengan kognitif
dan behavior transaksi melaui lingkkungan.
Koping merupakan suatu tindakan mengubah kognitif secara konstan
dan usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang
11
dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Koping
membutuhkan usaha yang diperoleh lewat proses belajar. Koping dipandang
sebagai usaha untuk menguasai situasi tertekan, namum bukan secara
keseluruhaan. Koping yang efektif adalah koping yang membantu seseorang
untuk menolerir dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan
tekananyang tidak dapat dikuasainya
F. Strategi Koping
1. Koping yang berfokus pada masalah
Usaha mengatasi stress dengan cara mengatur atau mengubah
masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan
terjadinya tekanan. Koping ini ditujukan untuk mengurangi demands dari
situasi yang penuh dengan stress.
Stategi problem focused coping :
a. Confrontatif Coping : mengubah keadaan yang dianggap menekan
dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan
pengambilan resiko.
b. Seeking Sosial support : usaha untuk mendapat kenyamanan emosional
dan bantuan informasi dari orang lain.
c. Planful problem Solving : usaha untuk mengubah keadaan yang
dianggap menekan dengan cara hati-hati, bertahap dan analitis.
12
2. Emotional Fokused Coping
Usah mengatasi stress dengan cara mengatur respon emosional
dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan
oleh sesuatuyang dianggap penuh tekanan. Emotional fokued koping
ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stress.
Strategi yang digunakan :
a. Self-control : Usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapai
situasi yang menekan.
b. Distancing : Usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan,
menghindari seolah-olah tidak terjadi permasalahan, menciptakan
pandangan yang positif.
c. Posittive reaprisial : Usaha mencari makna positif dari permasalahan
dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya bersipat religious.
d. Acepting responsibility : Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri
sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba
menerimanya untuk untuk membuat semuanya menjadi lebih baik.
e. Escape/avoidance : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari
dari situasi tersebut dan menghindarinya dengan beralih pada hal lain
seperti makan, minum, merokok dan obat-obatan. Individu cenderung
untuk menggunakan problem focused coping dalam menghadapi
masalah yang menurut mereka dapat dikontrol. Sebaliknya mereka
akan menggunakan emotional focused koping dalam menghadapi
masalah yang sulit untuk dikontrol.
13
G. Hasil Dari Koping
Koping yang efektif adalah koping yang membantu seseorang untuk
menerima situasi yang menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak
dapat dikuasianya.
14
BAB III
STUDI KASUS
A. Kasus
Tn B ( 50 tahun) dirawat di rumah sakit dengan keluhah batuk-batuk
lebih kurang 2 bulan, demam,, klien tidak selera makan, berat badan makin
menurun. Dokter mendiagnosa klien menderita TBC sehingga perlu dirawat di
Rumah Sakit. Klien adalah seorang kepala keluarga, memiliki seorang istri
dan tiga orang anak yang sudah bersekolah. Pekerjaan klien adalah seorang
buruh. Penghasilan dalam keluarga dibantu oleh sang istri dengan berjualan
kue. Klien adalah seorang yang rajin dan gigih dalam bekerja tetapi dalam
perawatan diri klien kurang dimana klien sering lupa makan dan istirahat yang
kurang. Keluarga klien adalah keluarga yang rukun dan memiliki keimanan
yang kuat. Setiap ada permasalahan maka sistim komunikasi yang ada dalam
keluarga adalah kompromi. Setelah dirawat di rumah sakit maka klien tidak
dapat bekerja. Klien merasa sedih, karena tidak dapat bekerja. Klien juga
merasa risau dengan biaya yang dibutuhkan pada perawatan di RS, karena
kondisi ekonomi keluarganya kurang memadai. Klien merasa dirinya telah
gagal sebagai kepala keluarga karena tidak mampu menafkahi keluarga. Klien
menjadi pendiam dan kurang kooperatif dengan perawat. Kondisi tersebut
menyebabkan keluhan batuk dan sesak semakin bertambah. Istri dan anak
klien secara rutin mengunjungi klien dan memberikan dorongan mental
kepada klien , hal tersebut menyebabkan timbulnya semangat klien. Klien
15
mencoba merenungkan kenapa cobaan tersebut menimpa dirinya. Dia berdoa
dan meminta kekuatan pada Tuhan sehingga klien menjadi tenang dan mampu
menjalani perawatan dengan baik. Klien mulai kooperatif dan mencoba
berdiskusi dengan perawat dan orang disekitarnya tentang kondisi
penyakitnya.
B. Pembahasan
Dari kasus diatas maka dapat dibahas sesuai dengan teori stress dan
koping menurut Lazarus
1. Stress bersumber karena penyakit TBC sehingga dirawat dan kekhawatiran
akan biaya sebagai respon. Akibatnya klien merasa tertekan dan sedih,
sereta menganggap dirinya tidak bermanfaat. Hal tersebut memperburuk
kondisi batuk dan penyakit klien.
2. Stress aprisial
Pada kasus diatas dapat dikaji bahwa ada beberapa faktor yang
menyebabkan klien merasa stress.
a. Demands: Dimana kondisi penyakit menuntut pasien harus dirawatdan
membutuhkan biaya sedangkan kondisi ekonomi, kurang,
pasienmerasa galau dan tertekan.
b. Life Transitions: terjadinya perubahan dalam diri pasien dimana
diayang seharusnya bekerja menjadi dirawat dan kondisi tersebut
membutuhkan banyak tuntutan biaya.
c. Timing: Pasien yang telah merencanakan pekerjaanya menjadi
terganggu dan tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya karena sakit.
16
d. Ambliquti
3. Penilaian Primary aprisial
Kondisi penyakit dianggap sebagai kegagalan dalam menjalankan
perannya sehingga tidak mampu membiaya keluarga dan kondisinya
menambah beban keluarga. Pasien merasa tertekan dan hal tersebut
memperburuk kondidi penyakitnya.
4. Secondary affrisial
Sumber daya yang dimiliki oleh pasien adalah keharmonisan dalam
keluarga dan keimanan yang kuat. Istri dan anak klien rajin berkunjung
dan memberi dorongan mental pada klien.
5. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang digunakan oleh pasien dalam menghadapi stress
adalah positive reaprasial dengan cara berdoa. Koping accepting
responsibility yaitu dengan mencoba menerima suatu permasalahan.
6. OutPut Koping
Pasien merasa tenang menjalani perawatan dirumah sakit.
17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Stress merupakan hubungan antra individu dengan lingkungan yang
oleh individu membebani atau melebihi kekuatannya dan mengancam
kesehatannya. Stress dipengaruhi oleh cognitive stress, stress apprial dan
koping. Penilaian stress pada pasien dilakukan melalui tahap primary appraisal
dan secondary appraisal.
Koping adalah proses dimana seseorang mencoba mengatur perbedaan
antara keinginan ( demand ) dengan pendapatan ( resources ) yang dinilai
dalam suatu keadaan yang penuh tekanan, diarahkan memperbaiki atau
menguasia masalah. Koping yang dimiliki individu adalah berfokus pada
masalah dan berfokus pada emosi.
B. SARAN
1. Penerapan teori Lazarus pada penanganan klien stress harus tetap
dikembangkan dalam tatanan perawatan.
2. Teori stress dan adaptasi diaplikasikan pada praktek keperawatan baik di
puskesmas, keluarga, maupun rumah sakit.
18
3. Perawat harus memilliki pengetahuan yang baik tentang teori stress dan
adaptasi sehingga mampu memahi kondisi klien yang mengalami stress
dan membantu klien untuk mengembangkan koping efektif yang dimiliki
klien.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ann Marriner Tomey & Martha Raile Alligood. (1998). Nursing Theorist and
Their Work. Mosby erathenurse.
Keliat, B.A, dan Helena P. (2005). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi 2.
Jakarta : EGC.
Lazarus, R & Folkman, S.(1984). Stress Appraisal and Coping. New York:
Springer.
Nasir, A. (2001). Dasar-dasar Keperawatan Jiwa. Edisi I. Jakarta: Salemba
20