Post on 08-Aug-2015
1
BAB 1PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Premature Rupture of Membrane (PROM) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban
sebelum waktunya melahirkan, yaitu pada usia kehamilan aterm atau lebih dari 37 minggu,
dimana dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan (Valemhnska,
2009; Parry& Strauss, 1998). PROM merupakan salah satu komplikasi sering pada kehamilan,
yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal serta maternal (Parry& Strauss,
1998).Kejadian PROM berkisar antara 5-10% dari semua kelahiran, dan preterm terjadi
1% dari semuakehamilan, 70% kasus PROM terjadi pada kehamilan cukup bulan dan PROM
merupakan penyebab kelahiranprematur sebanyak 30% (Gofar, 2010; Miller, 2009).
Terjadinya ketuban yang pecah dalam proses persalinan secara umum disebabkan
oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Pecahnya selaput ketuban juga berkaitan
dengan perubahan proses biokimia yang terjadi dalam kolagen matriks ekstra selular amnion,
korion, dan apoptosis membran janin. Komplikasi yang disebabkan akibat PROM pada usia
kehamilan, antara lain infeksi maternal dan neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena
kompresi tali pusat, deformitas janin, gagalnya persalinan normal, atau meningkatnya insiden
seksio sesaria (Saifuddin, 2008).
Penegakan diagnosis pecahnya selaput ketuban pada kehamilan adalah dengan
adanya cairan ketuban di vagina.Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus
(Nitrazin test) yang menunjukkan perubahan warna menjadi warna biru. Selain itu, perlu
ditentukan pula usia kehamilan dan ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi. Penanganan pada
PROMtergantung pada diagnosis yang ditegakkan, yang terdiri dari penanganan konservatif
dan penanganan aktif (Saifuddin, 2008).
2
1.Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor predisposisi pada pasien ini sehingga terjadi PROM ?
2. Apakah penegakan diagnosisPROMpada pasien ini sudah tepat?
3. Apakah penatalaksanaan PROM pada pasien ini sudah tepat?
4. Bagaimana prognosis pada pasien ini?
5. Apakah alat kontrasepsi yag cocok digunakan untuk pasien ini ?
3. Tujuan
1. Mengetahui faktor predisposisi pada pasien ini sehingga terjadi PROM.
2. Mengetahui penegakan diagnosis PROM pada pasien ini.
3. Mengetahui penatalaksanaan PROM pada pasien ini.
4. Mengetahui prognosis pada pasien ini.
5. Mengetahui alat kontrasepsi (KB) yang cocok digunakan untuk pasien ini.
4. Manfaat
Penulisan laporan kasus ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter
muda mengenai PROM dalam hal pelaksanaan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang,
penegakan diagnosis, penatalaksanaan, komplikasiserta monitoringPROM.
3
Bab IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ketuban
2.1.1 Anatomi Ketuban
Selaput ketuban secara mikroskopis terdiri dari lima lapisan. Lapisan terdalam yang
dibasahi cairan ketuban dibentuk oleh satu lapisan epithelial kuboidal yang melekat pada
membranbasalis yang melekat pada lapisan kompak aselular yang terdiri dari interstitial
kolagen.Di luar lapisan kompak ini terdapat lapisan sel mesenkimal.Lapisan terluar dari ketuban
adalah lapisan zona spongiosa.Lapisan terluar ketuban berhubungan langsung dengan lapisan
chorion.Umbilical amnion melapisi tali pusat (Parry & Strauss, 1998).
2.1.2 Fisiologi cairan Ketuban
Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8
perkembangan janin. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, berkembang menjadi
sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah. Cairan amnion pada keadaan
normal berwarna putih agak keruh karena adanya campuran partikel solid yang terkandung
di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion
pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan
normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu
300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi
dibandingkan dengan janin sendiri (Parry& Strauss, 1998).
Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
janin selama kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion merupakan perpanjangan dari
matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua arah antara janin dan cairan amnion. Pada
usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya
4
janin mulai bisa menelan. Eksresi dari urin, sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan
permukaan plasenta menjadi sumber dari cairan amnion. Telah diketahui bahwa cairan amnion
berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang memberikan ruang bagi janin untuk
bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan
trauma termal (Parry& Strauss, 1998).
Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki peptid
antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu. Cairan amnion adalah
98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada beberapa
penelitian, komponen-komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi
sebagai biomarker potensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan. Beberapa tahun
belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui sebagai faktor
pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai dengan usia kehamilan.
Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam pengembangan medikasi stem cell (Parry&
Strauss, 1998)
2.2 PROM (Premature Rupture of Membrane)
2.2.1 Definisi PROM
Ketuban pecah dini (Saifuddin, 2008) atau dikenal juga sebagai premature rupture of
membranes (PROM) adalah adanya ruptur dari membran fetus secara spontan sebelum onset
dari persalinan pada kehamilan aterm. Bila ruptur yang demikian terjadi sebelum kehamilan
aterm (sebelum usia 37 minggu gestasi), maka kondisi ini disebut sebagai preterm premature
rupture of membranes (PPROM) atau oleh Saifuddin (2008) disebut sebagai ketuban pecah dini
pada kehamilan premature. Hal ini berbeda dari keadaan normal dimana selaput ketuban akan
pecah dalam proses persalinan (Saifuddin, 2008).
2.2.2 Epidemiologi PROM
5
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang
bervariasi.Insidensi PROM berkisar antara 8 – 10 % dari semua kehamilan. Hal yang
menguntungan dari angka kejadian PROM yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada
kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %, sedangkan pada
kehamilan tidak cukup bulan atau PROM pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua
kelahiran prematur (Parry& Strauss, 1998).
PROM merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan
mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang kurang
bulan.Pengelolaan PROM pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek, bertujuan
untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan RDS (Parry& Strauss, 1998).
2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi PROM
Etiologi dari PROM bersifat multifaktorial (Parry and Strauss, 1998).Selain itu, yang
penting untuk diingat adalah meskipun dengan berbagai karaktersitik yang berbeda dari PROM
dan pecahnya membran fetus secara normal selama proses persalinan, hanya terdapat sedikit
bukti bahwa mekanisme yang terlibat didalamnya tidak identik. Hal ini menyebabkan dimulainya
suatu pandangan bahwa PROM merupakan presentasi dari akselerasi atau proses yang
berlebihan dari suatu mekanisme yang mengawali pecahnya ketuban secara spontan dalam
proses persalinan (Parry and Strauss, 1998).
Mekanisme ruptur dari fetal membran intrapartum telah dihubungkan dengan
melemahnya membran secara menyeluruh akibat dari kontraksi dan peregangan yang
berulang.Hal ini dapat dilihat berdasarkan kekuatan tegangan dari membran yang berkurang
pada spesimen yang didapatkan setelah persalinan dibandingkan dengan spesimen yang
didapatkan melalui sectio cesarean. Membran yang pecah secara dini, mengalami defek lokal
dibandingkan perlemahan kekuatan tegangan secara menyeluruh (Parry and Strauss, 1998).
Area sekitar daerah ruptur telah dideskripsikan sebagai “zona terbatas dengan morfologi yang
6
terganggu secara ekstrim (restricted zone of extreme altered morphology)” yang ditandai
dengan pembengkakan dan ganguan pada jaringan kolagen fibrilar pada lapisan jaringan ikat
amnion (compact, fibroblast, spongy layers).Karena zona ini tidak meliputi seluruh tempat
terjadinya ruptur, maka, zona ini dapat muncul sebelum terjadinya pecah ketuban dan
melambangkan titik awal pecahnya ketuban (Parry and Strauss, 1998; Jazayeri 2010).
Defisiensi nutrisi juga menjadi faktor resiko ibu memiliki struktur kolagen abnormal dan
telah dihubungkan dengan peningkatan resiko PPROM.Cross-links kolagen, yang dibentuk
melalui beberapa seri reaksi yang diinisiasi enzim lysyl oxidase, meningkatkan kekuatan
regangan dari kolagen fibrilar. Enzim lysyl oxidase diproduksi oleh sel mesenkim dari amnion.
Lysyl oxidase merupakan enzim yang tembaga dependen, dimana ibu dengan PROM memiliki
konsentrasi tembaga yang lebih rendah dalam serum ibu dan serum tali pusat dibandingkan
dengan ibu yang dilakukan amniotomi dalam persalinan. Hal yang serupa terjadi pada wanita
yang memiliki konsentrasi ascorbic acid yang rendah, yang mana dibutuhkan untuk
pembentukan struktur triple helical dari kolagen, memiliki insidensi PROM yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu dengan konsentrasi ascorbic acid yang normal(Parry and Strauss,
1998; Medina, 2006).
Faktor lainnya adalah merokok, yang secara sendirian dapat meningkatkan resiko
terjadinya PPROM.Merokok memiliki hubungan dengan menurunnya konsentrasi serum
ascorbic acid.Selain itu, kadmium dalam tembakau telah terbukti meningkatkan metallothionein,
protein pengikat logam, dalam trophoblast yang dapat menyebabkan sequestrasi dari
tembaga.Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penurunan ketersediaan tembaga dan ascorbic
acid mungkin ikut berperan dalam pembentukan selaput ketuban yang abnormal pada perokok.
Secara keseluruhan, menurunnya cross-links dari kolagen, kemungkinan karena defisiensi
dalam diet ataupun gaya hidup dapat menjadi faktor resiko ibu untuk mengalami PROM (Parry
and Strauss, 1998).
7
Faktor resiko lainnya adalah infeksi. Sebenarnya, telah lama diperdebatkan infeksi
intrauterin merupakan penyebab atau konsekuensi dari PROM. Terdapat bukti tidak langsung
bahwa infeksi traktus genetalia mengawali pecah ketuban baik pada hewan dan manusia. Pada
penelitian menggunakan kelinci, inokulasi pada serviks dengan Escherichia coli (E. coli)
menghasilkan kultur cairan amnion yang positif pada 97% hewan coba dan persalinan preterm
pada separuh dari hewan coba. Sebagai perbandingan kontrasnya, inokulasi serviks dengan
salin tidak menyebabkan infeksi atau kelahiran preterm. Identifikasi mikroorganisme patologik
pada flora vagina ibu segera setelah terjadi pecah ketuban menyediakan bukti yang mendukung
konsep bahwa infeksi bakteri memiliki peranan dalam patogenesis PROM. Juga, data
epidemiologik menunjukkan hubungan antara kolonisasi traktus genetalia oleh streptococcus
grup B, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae,dan mikroorganisme yang
menyebabkan bakterial vaginosis (bakteri anaerobik vagina, Gardnerella
vaginalis,spesiesMobiluncus, dan mycoplasma genetalia) dengan peningkatan resiko PPROM.
Lebih lanjut lagi, pada beberapa penelitian dengan pengobatan antibiotik pada wanita yang
terinfeksi menurunkan insiden PPROM.Mekanisme pecah selaput ketuban dengan infeksi
intrauterin sebagai faktor resiko melibatkan beberapa mekanisme, yang mana setiap
mekanisme menginduksi degradasi dari matriks ekstraseluler. Beberapa organisme yang
biasanya terdapat sebagai normal flora vagina, termasuk Streptococcus grup B,
Staphylococcus aureus, Trichomonas vaginalis,dan mikroorganisme yang menyebabkan
bakterial vaginosis mensekresi protease yang dapat mendegradasi kolagen dan melemahkan
keuatan regangan selaput ketuban.Selanjutnya, pada percobaan in vitro aktivitas proteolitik
matriks selaput ketuban dapat dihambat dengan pemberian antibiotik (Parry& Strauss, 1998).
Selain itu, respon inflamasi dari pasien juga ikut berperan sebagai mekanisme potensial
lainnya yang mungkin dapat memberikan sebagian penjelasan mengenai hubungan antara
infeksi bakteri pada traktus genetalia dan terjadinya PROM. Respon inflamasi pasien yang
diperantarai oleh neutrofil polimorfonuklear dan makrofag akan memproduksi sitokin, matrix
8
metalloproteinase, dan prostaglandin pada daerah infeksi. Sitokin inflamasi, termasuk
interleukin-1 dan TNF α (tumor necrosis factor α), yang diproduksi oleh monosit yang
terstimulasi, akan meningkatkan ekspresi MMP-1 dan MMP-3 pada level transkripsional dan
posttranslasi pada sel korion janin. Lebih lanjut, infeksi bakteri dan respon inflamasi pejamu
akan menginduksi produksi prostaglandin oleh selaput ketuban, yang mana dianggap
meningkatkan resiko terjadinya PPROM karena menyebabkan iritabilitas uterus dan degradasi
kolagen selaput ketuban. Strain tertentu dari bakteria vagina memproduksi fosfolipase A2 yang
melepaskan prekursor prostaglandin, arachidonic acid, dari membran fosfolipid amnion. Lebih
lanjut, seperti disebutkan diatas, respon imun pejamu terhadap infeksi bakteri termasuk
produksi sitokin oleh monosit teraktivasi yang meningkatkan produksi prostaglandin E2 oleh sel
korion. Peningkatan produksi prostaglandin E2 ini tampaknya melibatkan induksi
cyclooxygenase II, enzim yang mengubah arachidonic acid menjadi prostaglandin. Walaupun
pengaturan tepatnya dari sintesis prostaglandin E2 dalam hubungannya dengan infeksi bakteri
dan respon inflamasi pejamu tidak dipahami, dan hubungan langsung antara produksi
prostaglandin dan PROM tidak dapat dikembangkan, tetapi prostaglandin (khususnya
prostaglandin E2dan prostaglandin F2α) telah dianggap sebagai mediator dari persalinan pada
semua mamalia. Juga, diketahui bahwa prostaglandin E2 menyebabkan terhentinya sintesis
kolagen dalam selaput ketuban dan meningkatkan ekspresi MMP-1 dan MMP-3 pada fibroblast
manusia (Parry and Strauss, 1998).
Komponen lainnya dari respon pasien terhadap infeksi adalah produksi
glukokortikoid.Pada kebanyakan jaringan kerja antiinflamasi dari glukokortikoid diperantarai
oleh supresi produksi prostaglandin.Walaupun demikian, secara berlawanan pada beberapa
jaringan, termasuk jaringan amnion, glukokortikoid menstimulasi produksi prostaglandin. Lebih
lanjut lagi, dexametason menurunkan sintesis dari fibronektin dan kolagen tipe II pada kultur
primer dari sel epitel amnion. Penemuan-penemuan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa
9
produksi glukokortikoid sebagai respon terhadap stress akibat infeksi mikroba memfasilitasi
terjadinya PROM (Parry and Strauss, 1998).
Selain hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, hormon juga ikut terlibat dalam proses
remodeling matriks ekstraseluler pada jaringan reproduksi. Hormon progesteron dan estradiol
berperan menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 dan meningkatkan konsentrasi inhibitor
metalloproteinase jaringan pada fibroblast serviks dari kelinci. Konsentrasi progesteron yang
tinggi menurunkan produksi kolagenase pada fibroblast serviks hewan coba, meskipun
konsentrasi progesteron dan estradiol yang rendah menstimulasi produksi kolagenase pada
hewan coba dengan kehamilan. Relaxin, sebuah hormon protein yang meregulasi remodeling
dari jaringan ikat, diproduksi secara lokal oleh desidua dan plasenta, yang melawan efek inhibisi
dari estradiol dan progesteron dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 pada selaput
ketuban. Ekspresi dari gen relaxin meningkat sebelum onset persalinan dalam selaput ketuban
janin yang aterm. Berdasarkan penjelasan ini, adalah penting untuk mempertimbangkan peran
estrogen, progesteron, dan relaxin dalam proses reproduksi meskipun keterlibatan hormon-
hormon ini dalam proses pecah ketuban masih harus dijelaskan lebih lanjut (Parry and Strauss,
1998).
Overdistensi uterus akibat adanya polihidramnion atau kehamilan multifetus
menginduksi peregangan selaput ketuban yang pada akhirnya meningkatkan resiko terjadinya
PROM. Peregangan mekanik dari selaput ketuban menyebabkan terjadinya up-regulation dari
produksi beberapa faktor amnion, termasuk prostaglandin E2 dan interleukin-8. Peregangan
juga meningkatkan aktivitas MMP-1 selaput ketuban. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
prostaglandin E2dapat meningkatkan iritabilitas uterus, menurunkan sintesis kolagen selaput
ketuban, dan meningkatkan produksi MMP-1 dan MMP-3 oleh fibroblast, sedangkan interleukin-
8, yang diproduksi oleh sel amnion dan korion, adalah bersifat kemotaktik bagi neutrofil dan
dapat menstimulasi aktivitas kolagenase. Produksi interleukin-8, yang terdapat dalam
konsentrasi rendah pada cairan amnion selama trimester kedua tetapi pada kehamilan lanjut
10
didapatkan dalam konsentrasi yang tinggi, dihambat oleh progesteron. Oleh karenanya,
produksi amnion berupa interleukin-8 dan prostaglandin E2 merupakan gambaran dari
perubahan biokimia pada selaput ketuban yang mungkin dapat diinisiasi dengan kekuatan fisik
(peregangan membran), merekonsiliasi hipotesis pecah ketuban yang diinduksi secara mekanik
dan biokimia (Parry and Strauss, 1998; Medina, 2006).
2.2.4 Diagnosis PROM
Ibu harus selalu diperingatkan selama periode antepartum untuk mewaspadai keluarnya
cairan dari vagina dan untuk segera melaporkan kejadian ini.Hal ini penting, untuk kemudian
ditegakkannya segera diagnosis pecah ketuban karena 3 alasan.Pertama, bila bagian terbawah
janin (presentasi janin) belum terfiksasi pada pelvis, kemungkinan prolaps dan kompresi dari tali
pusat sangat meningkat. Kedua, persalinan mungkin akan segera terjadi bila kehamilan
mendekati atau telah mencapai usia aterm. Ketiga, bila persalinan tertunda setelah terjadinya
pecah ketuban, resiko infeksi intrauterin semakin meningkat seiring dengan peningkatan jarak
waktu dengan persalinan (Parry& Strauss, 1998; ).
Diagnosis pecahnya selaput ketuban didapatkan dengan adanya cairan ketuban di
vagina (Saifuddin, 2008). Juga pada pemeriksaan inspekulo, didiagnosa dengan ditemukannya
genangan cairan amnion pada fornix posterior atau adanya cairan bening yang mengalir dari
canalis servikalis. Meskipun terdapat beberapa tes diagnosis yang direkomendasikan untuk
mendeteksi pecah ketuban, tidak ada yang sepenuhnya dapat diandalkan. Jika diagnosis tetap
tidak dapat dipastikan, terdapat metode lain yang melibatkan pengukuran pH dari cairan vagina.
Normalnya, pH dari sekresi vagina berkisar antara 4,5 sampai 5,5, sedangkan cairan amnion
biasanya berkisar antara 7,0 sampai 7,5. Penggunaan indikator nitrazine untuk mengidentifikasi
pecahnya ketuban merupakan metode yang sederhana dan cukup dapat diandalkan. Kertas tes
diimpregnasi dengan pewarna, dan warna hasil reaksi strip kertas ini dengan cairan vagina
diintepretasi dengan bagan warna standar (tes lakmus, perubahan warna merah menjadi
11
biru(Saifuddin, 2008). PH diatas 6,5 adalah konsisten dengan ketuban pecah. Hasil tes positif
palsu dapat terjadi dengan adanya darah, semen, atau bacterial vaginosis pada saat yang
bersamaan, sedangkan hasil negatif palsu dapat terjadi bila cairan yang ada terlalu sedikit
(American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynecologists,
2007). Penggunaan antiseptik alkalin juga dapat menaikkan pH vagina (Saifuddin, 2008; Divisi
Fetomaternal, 2008).
Tes lainnya meliputi pembentukan pola seperti bulu dari cairan vagina yang mengarah
pada adanya cairan amnion bukannya sekresi serviks. Cairan amnion akan mengkristal dan
membentuk pola seperti bulu akibat konsentrasi relatif dari natrium klorida, protein dan
karbohidrat. Deteksi alpha-fetoprotein pada vagina juga telah digunakan untuk mengidentifikasi
adanya cairan amnion oleh Yamada dan koleganya (1998). Identifikasi juga dapat dilakukan
sesudah injeksi indigo carmine ke dalam kantong amnion melalui abdominal amniosentesis
(Varney, 2004). Pemeriksaan lainnya dapat dilakukan dengan penggunaan ultrasound dimana
adanya PROM dapat dikonfirmasikan dengan adanya oligohidramnion (Saifuddin, 2008).
2.2.5 Penatalaksanaan
Berdasarkan Pedoman Diagnosis Fetomaternal RSSA, 2008, tata laksana Premature
Rupture of the Membrane:
- Induksi persalinan jika:
• 12 jam belum inpartu
• FWB baik
• Terdapat tanda infeksi intra uterin
• Tidak ada kontra indikasi untuk dilakukan persalinan
• Bila PS>5 dilakukan induksi dengan oksitosin drip
PS<5 dilakukan ripening dengan misoprostol 50 g/6 jam sampai PS>5
dilanjutkan oksitosin drip.
12
- Berikan antibiotik Gentamycin 2x80 mg IV
Pada infeksi intra uterin diberikan kombinasi obat sampai 48 jam bebas panas, obat
tersebut antara lain:
• Ampicillin 3x1gr
• Gentamycin 2x80gr
• Metronidazole 3x500mg.
Ketuban pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm, baik dengan atau tanpa
komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit.Bila terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan
posisi panggul lebih tinggi dari badannya, bila mungkin dengan posisi sujud.Kalau perlu
kepala janin didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan kepala janin.Tali
pusat di vulva dibungkus kain hangat yang dilapisi plastik. Bila ada demam atau dikhawatirkan
terjadi infeksi saat rujukan atau ketuban pecah lebih dari 6 jam, berikan antibiotik seperti
penisilin prokain 1,2 juta IU IM tiap 12 jam dan ampisilin 1 g peroral diikuti 500 mg tiap 6 jam
atau eritromisin dengan dosis yang sama. (Saifuddin, 2008; Bruce 2010).
Pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his, pimpin meneran dan lakukan
akselerasi bila ada inersia uteri. Bila tidak ada his, lakukan induksi persalinan bila ketuban
pecah kurang dari 6 jam dan skor pelvik kurang dari 5 atau ketuban pecah lebih dari 6 jam dan
skor pelvik lebih dari 5, seksio sesarea bila ketuban pecah kurang dari 5 jam dan skor pelvik
kurang dari 5 (Saifuddin, 2008).
Induksi persalinan sendiri menggambarkan usaha menstimulasi kontraksi sebelum onset
persalinan spontan dengan ataupun tanpa adanya pecah ketuban. Indikasi dari induksi
persalinan adalah ketika keuntungan yang didapatkan, baik oleh ibu maupun fetus, melebihi
keuntungan yang didapatkan bila kehamilan dilanjutkan. Indikasinya termasuk kondisi yang
membutuhkan penanganan segera seperti ketuban pecah dengan korioamnionitis atau
preeklamsia berat. Indikasi yang lebih sering adalah PROM, hipertensi gestasional, status janin
13
yang mengkhawatirkan, kehamilan posterm, dan berbagai kondisi medis ibu seperti hipertensi
kronis dan diabetes (American College of Obstetricians and Gynecologists, 1999 dalam
Cunningham et al., 2010). Kontraindikasi dari induksi persalinan mirip dengan kontraindikasi
dari persalinan spontan. Faktor janin termasuk makrosomia, kehamilan kembar, hidrosefalus
berat, malpresentasi atau status janin yang mengkhawatirkan. Untuk beberapa faktor
kontraindikasi ibu berhubungan dengan tipe insisi uterin sebelumnya, panggul sempit atau
anatomi panggul yang berbeda, implatasi plasenta abnormal, dan kondisi seperti infeksi herpes
genital aktif atau kanker serviks (Saifuddin, 2008)
2.2.6 Komplikasi PROM
Setelah ketuban pecah normalnya segera disusul dengan persalinan. Pada kehamilan
aterm 90% persalinan terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah (Saifuddi, 2008). Sedangkan
berdasarkan Parry dan Strauss (1998) setelah terjadinya PROM, 70% ibu akan memulai
persalinan dalam 24 jam dan 95% dalam 72 jam. Dengan perkembangan klinis yang relatif
cepat kearah persalinan setelah terjadinya PROM, maka tujuan dari penanganan PROM
adalah meminimalkan resiko infeksi intrautein tanpa meningkatkan insidens sectio cesarian.
Karena, seperti telah dijelaskan sebelumnya, komplikasi yang mungkin timbul dari PROM
adalah infeksi maternal ataupun neonatal dan hipoksia karena kompresi tali pusat (Saifuddin,
2008; Bruce, 2010), meningkatnya insiden sectio cesarean, atau gagalnya persalinan normal.
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini yaitu dapat terjadi koriamnionitis
dan pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, dan omfalitis. Umumnya terjadi
korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.
Korioamnionitis merupakan keadaan pada ibu di mana korion, amnion, dan cairan
ketuban terkena infeksi bakteri, yang merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin
(Saifuddin, 2008). Terdapat berbagai macam organisme yang dapat menyebabkan
korioamnionitis. Rute dari infeksi termasuk ascendinginfection dari traktus genetalia bagian
14
bawah, penyebaran hematogenous dari darah ibu, penyebaran langsung dari endometrium atau
tuba fallopi, dan kontaminasi iatrogenik selama prosedur invasif. Dari semua ini,
ascendinginfection merupakan penyebab yang paling sering. Dimulai dengan masuknya
organisme yang menimbulkan infeksi awal pada korion dan desidua disekitarnya pada area
yang berada disekitar internal ostium. Hal ini dapat berkembang pada keterlibatan ketuban
pada seluruh ketebalannya (korioamnionitis). Organisme kemudian dapat menyebar sepanjang
permukaan korioamnion dan menginfeksi cairan amnion. Juga dapat terjadi penyebaran lebih
lanjut pada plasenta dan tali pusat (funitis) (Jazayeri, 2010).
Infeksi pada janin dapat terjadi sebagai hasil penyebaran secara hematogen, aspirasi,
penelanan atau kontak langsung lainnya dengan cairan amnion yang telah terinfeksi. Selain
infeksi, dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga
terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat
oligohidramnion, yaitu semakin sedikit air ketuban, keadaan janin akan semakin gawat
(Saifuddin, 2008).
15
BAB 3LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Reg :11076496
Nama :Ny. PWL
Umur :20
Pekerjaan :ibu rumah tangga
Pendidikan :9 tahun
Suami :Tn. S
Umur : 25 tahun
Pendidikan : 12 tahun
Pekerjaan :Pedagang
Alamat. : Desa Tasikmadu RT 02 RW 04 Lowokwaru Malang
Status : Menikah (1x)
Lama menikah: 3 tahun
Kehamilan : G2 P0000 Ab100 gr 34-36 minggu T/H
Riwayat KB : (-)
HPHT : 8 Maret 2012 ~ 34-36 minggu
Tgl MRS : 10/11/2012 jam 18.01
1. Subyektif
Keluhan utama: keluar cairan jernih dari jalan lahir
• 10 November 2012 pukul 09.00 pasien mengeluh keluar cairan dari jalan lahir disertai
kenceng-kenceng tapi jarang. Pasien pergi ke bidan, diperiksa dalam (VT) pembukaan
16
1 cm, ket (-), lalu dirujuk ke RSSA. Pasien berunding terlebih dahulu dengan suami dan
keluarga mengenai transportasi dan pembiayaan.
• 10 November 2012 pukul 17.30 pasien berangkat ke RSSA.
• Pasien mengetahui dirinya hamil saat telat haid 1 bulan (April 2012) dengan tes kencing
yang dilakukan sendiri, kemudian pasien periksa ke bidan.
• ANC dilakukan sebanyak 6 kali, pada bidan, terakhir tanggal 30 Oktober 2012.
• Ini adalah kehamilan kedua, kehamilan pertama abortus pada usia kehamilan 3 bulan,
tidak dikuret pada bulan Agustus tahun 2011.
• Riwayat anyang-anyangan (-), riwayat keputihan (+) sejak 1 minggu terakhir, warna
kekuningan, bau (+), gatal (+) pasien tidak berobat.
• Riwayat minum jamu, obat-obatan disangkal, tidak ada riwayat hipertensi, diabetes.
•
3. Objektif
STATUS INTERNA
• Keadaan umum : baik
• Kesadaran : compos mentis
• Tinggi badan : 145 cm
• Berat badan : 50 kg
• Tensi : 110/70 mmHg
• Nadi : 80 x/menit
• RR : 20 x/menit
• Suhu rectal : 36,7 C
• Suhu axilla : 36,4 C
• Kepala dan leher : anemis – / – ,icterus – / –
pembesaran kelenjar leher – / –
• Thorax : jantung s1s2 tunggal, m(-)
17
paru vv Rh - - Wh - -
vv - - - -
vv - - - -
• Abdomen : hepar/lien dalam batas normal, bising usus (+) normal
• Ekstremitas : anemis -/- , edema – / –
STATUS OBSTETRI
• Abdomen :
• Striae gravidarum, coklat dan retakan putih elastik
• Tinggi Fundus Uteri (TFU) : 26 cm
• Letak janin : letak bujur U
• Bunyi Jantung Anak (DJJ) : 160x / menit
• Taksiran Berat Janin (TBJ) : 2170 gram
• His : (+) jarang
• Genitalia Eksterna : tampak aliran ketuban (+)
• Inspekulo : aliran ketuban (+) dari OUE, tampak genangan cairan ketuban di forniks
posterior. Dengan pemeriksaan kertas lakmus : didapatkan perubahan warna
Pemeriksaan Dalam
- Pembukaan 1 cm
- Effacement 50%
- Hodge I
- Presentasi kepala
- Denominator masih tinggi
- Ketuban (-), jernih, bau (-),
- UPD~ batas normal
18
Pelvic score
• Dilatasi = 0
• Effacement = 2
• Station = 0
• Posisi = 2
• Konsistensi = 2
Total = 6
HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap Hb 10,30
Leukosit 16.92
PCV 32 %
Trombosit. 339.000
Urin Lengkap. pH. 6.5
Glukosa. Negatif
Protein. Trace
Keton. 3+
Bilirubin. Negatif
Urobilinogen. 3+
Nitrit. Negatif
Leukosit. Negatif
Darah. Negatif
40x
19
Kristal. Ca Oksalat (+)
Bakteri. 249 x 103
Non Stressed TestCardiotocography (CTG)
• Baseline rate 160 bpm
• Variability 5 – 1 bpm
• Acceleration : (+)
• Decceleration : (-)
• Hasil - kesimpulan: normal
USG
• BPD. : 32.6
• AC. : 282
• FL. : 67.4
• EFW. : 2173 gr
• AFI. : 8.64
• Plasenta implantasi di corous posterior maturasi grade II
•
4. Assessment
G2 P0000 Ab100 gravida 34-36 mgg T/H
+ PPROM
5. Planning
2. PDx : USG fetomaternal jam kerja, kultur urine serviks jam kerja
20
3. PTx : Usul perawatan konservatif
4. Bed Rest
5. Diet TKTP
6. Induksi maturasi paru dengan Dexamethason 2x16 mg IV selang 24
jam
7. Tokolitik kaltrofen supp II (k/p)
8. Terapi injeksi : gentamycin 2x80 mg
9. Terapi oral : asam mefenamat 3x500 mg, isoxuprin 3x1, roborantia
1x1
10. Jika perawatan konservatif gagal, pro expektatif pervaginam.
11. PMo : Vital Signs, keluhan subyektif, aliran ketuban, his, DJJ
12. T rect /3 j
13. Tanda-tanda infeksi intrauterine
14. KIE : Kondisi ibu, perawatan dan pengobatan, prognosis
15. Follow Up
Tanggal Subjektif Objektif Assessment Planning
21
11/11/2012
Pk 24.00
Kenceng-kenceng semakin sering.
KU : baik, CM
T : 120/80
N : 88x/menit
RR : 18x/menit
T rec : 36.7oC
T ax : 36.4oC
K/L : an -/-, ict -/-
Thorak :
c/ S1, S2 single,
regular
p/ Rh -, Wh -
Abd : TFU 26 cm,
letak bujur U , BJA :
160x, TBJ = 2170 g,
HIS (+) 10.3.30 /
sedang kuat
VT : 4 cm, eff 100%, H I, ketuban (-) jernih, presentasi kepala, denominator UUK jam 03.00, UPD ~dbn
G2 P0000 Ab 100 part 34-36 mgg T/H + Kala I fase aktif + partus prematurus + riwayat PPROM + perawatan konservatif gagal
PDx : -
PTx :
Evaluasi 2 jam lagi, pro
expectative per vaginam
P Mo:
Vital sign, keluhan, his,
DJJ, kemajuan persalinan
KIE :
Ibu dalam kondisi sudah inpartu, perawatan konservatif untuk mempertahankan kehamilan gagal direncanakan janin dilahirkan, kondisi janin bila lahir nanti masih prematur dan perlu perawatan khusus di ruang bayi.
16.
Tanggal Subjektif Objektif Assessment Planning
22
11/11/2012
Pk 02.00
Kencang-
kencang
teratur
KU : baik, CM
T : 120/70
N : 88x/menit
RR : 18x/menit
T rec : 36.7oC
T ax : 36.4oC
K/L : an -/-, ict -/-
Thorak :
c/ S1, S2 single, regular
p/ Rh -, Wh -
Abd : TFU 26 cm, letak
bujur U , BJA :
155x/menit (doppler),
TBJ = 2170 g, HIS
10.3.35/Kuat
VT : 8 cm, eff 100%, H I,
ketuban (-), jernih,
presentasi kepala,
denominator UUK jam
02.00, UPD ~dbn
G2 P0000 Ab 100 part 34-36 mgg T/H + Kala I fase aktif + partus prematurus + riwayat PPROM + perawatan konservatif gagal
PDx -
PTx:
Evaluasi 2 jam lagi
Pro expectative per vaginam
P Mo:
Vital signs, keluhan subyektif,
his, DJJ, kemajuan
persalinan.
P Ed : KIE
17.
Tanggal Subjektif Objektif Assessment Planning
23
11/11/2012
Pk 04.00
Kencang-kencang teratur
KU : baik, CM
T : 120/70
N : 88x/menit
RR : 18x/menit
T rec : 36.7oC
T ax : 36.4oC
K/L : an -/-, ict -/-
Thorak :
c/ S1, S2 single, regular
p/ Rh -, Wh -
Abd : TFU 26 cm, letak
bujur U , BJA :
160x/menit (doppler),
TBJ = 2170 g, HIS
10.3.40/K
VT : p : 8 cm, eff 100%, H III, ketuban (-), jernih, presentasi kepala, denominator UUK jam 01.00, UPD ~dbn
G2 P0000 Ab 100 part 34-36 mgg T/H + Kala I fase aktif + partus prematurus + riwayat PPROM + perawatan konservatif gagal
PDx : -
PTx:
Evaluasi 2 jam lagi
Pro expectative per vaginam
P Mo:
Vital sign, keluhan subjektif,
His, DJJ
Kemajuan Persalinan
P Ed : KIE
05.05. Lahir bayi perempuan, BB 2400 gram, PB 45 cm, AS 7-9
Laporan Tindakan Persalinan Kala II
24
Tindakan Spontan Belakang Kepala, tanggal 11 November 2012 05.00 - 05.05 WDDO
G2 P0000 Ab 100 part 34-36 mgg T/H + Kala II+ partus prematurus + riwayat PPROM +
perawatan konservatif gagal
• Pasien ingin mengejan.
• Dilakukan VT, pembukaan lengkap, UUK jam 01.00, HIII.
• Pasien ditidurkan dalam posisi litotomi.
• Bersamaan dengan his, ibu dipimpin mengejan (pada saat keala meregang
vulva, dilakukan episiotomi mediolateral.
• Dengan tangan kanan menahan perineum dan tangan kiri mengatur
defleksi kepala dan dengan subocciput di bawah simpisis sebagai
hipomoklion berturut- turut lahirlah ubun-ubun besar, rahim, mulut, dagu dan
akhirnya lahirlah seluruh kepala. Kepala mengadakan putar paksi luar, mulut
dan hidung bayi dibersihkan.
• Kepala dipegang secara biparietal ditarik curam ke bawah sampai bahu
depan lahir kemudian dielevasi sampai bahu belakang lahir lalu ditarik sesuai
arah sumbu panggul.
• Lahirlah bayi perempuan, BB 2400 gram, PB 45 cm, AS 7-9 pukul 05.05.
• Tali pusat diklem di dua tempat (5 cm dan 10 cm di atas abdomen bayi)
dipotong di tengah-tengahnha, bayi dirawat.
• Plasenta dilahirkan secara peregangan tali pusat terkendali, berat 500
gram, ukuran diameter 20 cm, tebal 2 cm, panjang tali pusat 50 cm.
• Eksplorasi jalan lahir, segmen bawah rahim, serviks, vagina didapatkan
luka episiotomi.
• Dilakukan penjahitan luka episiotomi.
Kala III : Tanggal 11/11/2012 pukul 05.15 plasenta dilahirkan secara spontan
dengan peregangan tali pusat terkendali, berat 500 gram, diameter 20
cm, tebal 2 cm, kalsifikasi (-), infark (-), panjang tali pusat 50 cm
Kala IV : 2 jam post partum: 11/11/2012 pukul 07.15
25
Keluhan (-).
KU : baik, CM
TD : 120/70, N : 80x/menit, RR : 20x/menit
Perdarahan 100 cc
Abdomen : TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi uterus baik
GE : luka jahitan + bertaut, perdarahan aktif tidak ada.
26
BAB 4PEMBAHASAN
1. Faktor Predisposisi PROM
Prete
Etiologi dari PROM bersifat multifaktorial (Parry and Strauss, 1998).Mekanisme ruptur
dari fetal membran intrapartum telah dihubungkan dengan melemahnya membran secara
menyeluruh akibat dari kontraksi dan peregangan yang berulang.melambangkan titik awal
pecahnya ketuban. Defisiensi nutrisi juga menjadi faktor resiko ibu memiliki struktur kolagen
abnormal dan telah dihubungkan dengan peningkatan resiko PPROM.Faktor lainnya adalah
merokok, yang secara sendirian dapat meningkatkan resiko terjadinya PPROM.Merokok
memiliki hubungan dengan menurunnya konsentrasi serum ascorbic acid.Selain itu, kadmium
dalam tembakau telah terbukti meningkatkan metallothionein, protein pengikat logam, dalam
trophoblast yang dapat menyebabkan sequestrasi dari tembaga (Parry and Strauss, 1998).
Faktor resiko lainnya adalah infeksi.Sebenarnya, telah lama diperdebatkan infeksi
intrauterin merupakan penyebab atau konsekuensi dari PROM. Mekanisme pecah selaput
ketuban dengan infeksi intrauterin sebagai faktor resiko melibatkan beberapa mekanisme, yang
mana setiap mekanisme menginduksi degradasi dari matriks ekstraseluler (Parry and Strauss,
1998)..
Overdistensi uterus akibat adanya polihidramnion atau kehamilan multifetus
menginduksi peregangan selaput ketuban yang pada akhirnya meningkatkan resiko terjadinya
PROM. Peregangan mekanik dari selaput ketuban menyebabkan terjadinya up-regulation dari
produksi beberapa faktor amnion, termasuk prostaglandin E2 dan interleukin-8(Parry and
Strauss, 1998)..
Pada pasien ini, dari data anamnesis didapatkan bahwa pasien sering megeluh
keputihan setiap hari sejak minggu ke-7 kehamilan hingga saat pasien datang untuk diperiksa di
27
rumah sakit.Hal ini dapat berhubungan dengan adanya infeksi yang mungkin disebabkan
hygiene pasien yang kurang baik.Kemungkinan faktor predisposisi terjadinya PROM pada
pasien ini adalah disebabkan adanya infeksi.
4.2 Diagnosis PROM
Ketuban pecah dini atau dikenal juga sebagai premature rupture of membranes (PROM)
adalah adanya ruptur dari membran fetus secara spontan sebelum onset dari persalinan pada
kehamilan aterm(Saifuddin dkk., 2009).Penegakan diagnosis PROM pada pasien ini sudah
sesuai dengan teori karena berdasarkan data anamnesis didapatkan adanya cairanjernih keluar
dari jalan lahir, berjumlah banyak (± 1 gelas air mineral).Pada pasien ini, dari hasil pemeriksaan
tampak cairan jernih keluar dari OUE bertumpuk di fornix posterior.Cairan jernih tersebut seperti
kencing, namun tidak dapat ditahan dan bercampur darah.Pada pemeriksaanfisik didapatkan
selaput ketuban telah pecah, cairan bening di vagina,pemeriksaan pH dengan menggunakan
kertas lakmus (indikator nitrazine) menunjukkan perubahan warna kertas menjadi warna
biru.pembukaan 1 cm dan effacement 30%, serta kontraksi yang kurang adekuat. Hal ini
menunjukkan tidak adanya tanda-tanda inpartu (dari segi power dan passage)(Saifuddin dkk.,
2009).
Diagnosis pecahnya selaput ketuban didapatkan dengan adanya cairan ketuban di
vagina (Saifuddin dkk., 2009). Juga pada pemeriksaan inspekulo, didiagnosa dengan
ditemukannya genangan cairan amnion pada fornix posterior atau adanya cairan bening yang
mengalir dari canalis servikalis. Pada pasien ini, dari hasil pemeriksaan tampak cairan jernih
keluar dari OUE bertumpuk di fornix posterior.
Meskipun terdapat beberapa tes diagnosis yang direkomendasikan untuk mendeteksi
pecah ketuban, tidak ada yang sepenuhnya dapat diandalkan. Jika diagnosis tetap tidak dapat
dipastikan, terdapat metode lain yang melibatkan pengukuran pH dari cairan vagina.
Normalnya, pH dari sekresi vagina berkisar antara 4,5 sampai 5,5, sedangkan cairan amnion
28
biasanya berkisar antara 7,0 sampai 7,5. Penggunaan indikator nitrazine untuk mengidentifikasi
pecahnya ketuban merupakan metode yang sederhana dan cukup dapat diandalkan. Kertas tes
diimpregnasi dengan pewarna, dan warna hasil reaksi strip kertas ini dengan cairan vagina
diintepretasi dengan bagan warna standar (tes lakmus, perubahan warna merah menjadi
biru(Saifuddin dkk., 2009). PH diatas 6,5 adalah konsisten dengan ketuban pecah. Hasil tes
positif palsu dapat terjadi dengan adanya darah, semen, atau bacterial vaginosis pada saat
yang bersamaan, sedangkan hasil negative palsu dapat terjadi bila cairan yang ada terlalu
sedikit (American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and
Gynecologists, 2007). Penggunaan antiseptic alkalin juga dapat menaikkan pH vagina
(Saifuddin dkk., 2009).
Perlu diperhatikn bahwa hasil tes kertas lakmus dapat terjadi hasil tes positif palsu
dengan adanya darah, semen, atau bakterial vaginosis pada saat yang bersamaan. Selain itu,
hasil negatif palsu dapat terjadi bila cairan yang ada terlalu sedikit (American Academy of
Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynecologists, 2007). Penggunaan
antiseptik alkalin juga dapat meningkatkan pH vagina (Saifuddin dkk., 2009).
4.3 Penatalaksanaan PROM
Berdasarkan Pedoman Diagnosis Fetomaternal RSSA, 2008, tata laksana Premature
Rupture of the Membrane(PROM):
- Induksi persalinan jika:
• 12 jam belum inpartu
• FWB baik
• Terdapat tanda infeksi intra uterin
• Tidak ada kontra indikasi untuk dilakukan persalinan
• Bila PS>5 dilakukan induksi dengan oksitosin drip
29
PS<5 dilakukan ripening dengan misoprostol 50 g/6 jam sampai PS>5
dilanjutkan oksitosin drip.
- Berikan antibiotik Gentamycin 2x80 mg IV
Pada infeksi intra uterin diberikan kombinasi obat sampai 48 jam bebas panas, obat
tersebut antara lain:
• Ampicillin 3x1gr
• Gentamycin 2x80gr
• Metronidazole 3x500mg.
Dari hasil pemeriksaan dalam pada tanggal 12 Mei 2011 jam 09.00, didapatkan
pembukaan: 1 cm, eff 30%, H 1, ketuban (-), jernih, presentasi kepala, denominator masih
tinggi, UPD dalam batas normal, sedangkan His belum adekuat dan NST dalam batas normal,
sehingga diberikan antibiotik gentamycin 80 mg iv dan dilakukan observasi terhadap pasien
tentang tanda-tanda inpartu atau pun tanda-tanda infeksi intra uterin. Penatalaksanaan ini, telah
sesuai dengan standar penatalaksanaan PROM di RSSA yaitu memberikan antibiotik profilaksis
pada kasus PROM dan melakukan observasi partus terhadap pasien.Lalu dilakukan rencana
pemeriksaan USG untuk mengetahui kondisi dari janin, placenta, dan sisa air ketuban yang
masih tersisa di dalam uterus.
Pada pukul 14.00, sebelum 12 jam pecah ketuban dilakukan evaluasi terhadap ibu dan
janin.Pada pemeriksaan fisik, didapatkan his adekuat. Pada pemeriksaan dalam didapatkan
pembukaan 4cm, eff 100%, H 1, ketuban (-), jernih, presentasi kepala, denominator masih
tinggi, UPD dalam batas normal, sehingga akhirnya di usulkan pro expectatice pervaginam..
Pada pukul 16.00, di evaluasi kembali untuk kemajuan persalinan.Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan BJA dalam batas normal, dan his telah adekuat. Pada pemeriksaan dalam,
didapatkan pembukaan 8 cm, eff 100%, H III, ketuban (-), jernih, tidak berbau, presentasi
kepala, denominator UUK arah jam 01.00, UPD dalam batas normal.
30
Pada pukul 16.40, persalinan telah memasuki kala II, dimana ibu ingin mengejan, his
adekuat, dan pada saat dilakukan pemeriksaan dalam, di dapatkan pembukaan lengkap, maka
ibu mulai dipimpin persalinan.Pada saat kala II berlangsung, untuk menghindari robekan pada
perineum yang lebih parah, maka dilakukan episiotomi.Pada pukul 16.45, bayi telah lahir,
kemudian dilanjutkan ke kala III, untuk persalinan placenta.
Setelah bayi lahir, diberikan suntikan oxytocin 10 IU (intramuskular) untuk membantu
kontraksi uterus.Setelah menunggu 5 menit, plasenta mulai dilahirkan secara peregangan tali
pusat terkendali.Tali pusat diregangkan dengan tangan kanan penolong, sambil dilakukan
penekanan di atas abdomen ibu untuk menahan fundus. Setelah tali pusat keluar dan plasenta
telah terlihat akan keluar, dengan kedua tangan penolong melakukan pengeluaran plasenta
dengan memutar plasenta tersebut secara perlahan hingga plasenta tersebut lahir seluruhnya.
Kemudian dilakukan eksplorasi ke dalam uterus untuk memeriksa bagian plasenta jika ada
yang tertinggal di dalam uterus, sambil terus dilakukan pemijatan uterus melalui bagian atas
abdomen untuk merangsang kontraksi uterus.Setelah eksplorasi selesai dilakukan, dilanjutkan
dengan penjahitan luka episiotomi.
Setelah bayi dan plasenta telah selesai dilahirkan, pasien diobservasi setiap 15 menit
pada jam pertama. Kemudian dilanjutkan observasi setiap 30 menit pada jam kedua. Observasi
dilakukan terutama pada keadaan umum ibu, adanya perdarahan dari jalan lahir, dan tanda vital
ibu.
Langkah persalinan yang dilakukan pada pasien ini telah sesuai dengan teori.
4.4 Prognosis
Prognosis pasien pada kasus ini baik, oleh karena penatalaksanaan yang diberikan
telah sesuai dengan teori dan pedoman untuk penatalaksanaan kasus PROM dan tidak
didapatkan tanda-tanda adanya komplikasi pada ibu maupun bayi.
31
4.5 Alat kontrasepsi yang cocok digunakan untuk pasien
Kondisi kesehatan reproduksi pasien ini harus selalu diperhatikan, baik pada saat pasca
persalinan maupun selanjutnya. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien terdapat riwayat
mengalami keputihan sejak kehamilan minggu ke-7 sampai pasien datang untuk melakukan
pemeriksaan di rumah sakit. Hal ini dapat berhubungan dengan adanya infeksi yang mungkin
disebabkan hygiene pasien yang kurang baik. Sehingga diperlukan edukasi tentang pentingnya
hygiene pasien dan pemberian terapi di saat keputihan terjadi dan menimbulkan keluhan
berkepanjangan.
Kontrasepsi merupakan usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan. Usaha-usaha
tersebut dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat permanen. Kontrasepsi yang ideal harus
memenuhi syarat-syarat antara lain dapat dipercaya, tidak menimbulkan efek yang
mengganggu kesehatan, daya kerja dapat diatur menurut kebutuhan, tidak menimbulkan
gangguan sewaktu melakukan koitus, tidak memerlukan motivasi terus-menerus, mudah
pelaksanaannya, murah, dan dapat diterima oleh pasangan yang bersangkutan (Saifuddin,
2008).
Pasien ini merupakan wanita berusia 18 tahun, menikah satu kali selama 1 tahun, dan
baru memiliki 1 orang anak dari kehamilan pertama. Kemungkinan pasangan tersebut masih
ingin memiliki anak. Namun, perlu diperhatikan jarak antara anak pertama dengan anak
berikutnya agar kasih sayang dan perhatian tetap dapat diberikan kepada anak secara
seimbang. Sehingga pasangan ini perlu menggunakan alat kontrasepsi yang tepat.
Alat kontrasepsi yang dapat menjadi pilihan dari segi keamanan dan efektifitas adalah
pil hormonal (membutuhkan keteraturan dalam penggunaannya) atau IUD.
32
BAB 5PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Faktor predisposisi terjadinya PROM pada pasien ini adalah infeksi genital (vulvovaginitis).
2. Penegakan diagnosis PROM pada pasien ini sudah tepat. Dari anamnesa didapatkan
pasien merasakan adanya cairan jernih yang keluar dari jalan lahir tetapi tidak disertai
tanda-tanda inpartudan bayi dalam keadaan aterm. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
adanya cairan yang mengalir keluar dari OUE, tes lakmus merah berubah warna menjadi
biru, yang menunjukkan cairan bersifat basa.
3. Pilihan terapi pada pasien ini adalah dengan pemberian Gentamycin 80mg IV.
1. Prognosis pasien pada kasus ini baik, karena penatalaksanaan yang diberikan telah sesuai
dengan teori dan pedoman serta tidak didapatkan tanda-tanda adanya komplikasi pada ibu
maupun bayi.
5. Kondisi kesehatan reproduksi pasien ini harus selalu diperhatikan, baik pada saat pasca
persalinan maupun selanjutnya. Pilihan alat kontrasepsi (KB) yang digunakan berdasarkan
segi keamanan dan efektifitasnya adalah pil hormonal dan IUD.
5.2 Saran
1. Pentingnya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tentang hygiene supaya tidak
terjadi infeksi saat kehamilan.
2. Pentingya KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) pada pasien yang mengalami
(Premature Rupture of Membrane) PROM untuk segera ke tempat pelayanan kesehatan
untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
33
DAFTAR PUSTAKA
Bruce, Elizabeth. 2010. Premature rupture of the Membrane.
http://www.compleatmother.com/prom.htm. Diakses 18 Mei 2011, pukul 20.20
Divisi Fetomaternal. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Malang: Lab/SMF Obstetri-
Ginekologi FKUB/RSSA
Gofar, Abdul. 2010. Ketuban Pecah Dini. http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/ketuban-
pecah-dini.pdf. Diakses 18 Mei 2011, pukul 20.20
Jazayeri, Alhazar. 2010. Premature Rupture of Membranes.
http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview 2011. Diakses padaDiakses 18
Mei 2011, pukul 20.20
Medina, Hill. 2006. Preterm Prematre Rupture of Membranes: Diagnosis and Management.
American Family Physician. http://www.aafp.org/afp. Diakses padaDiakses 18 Mei 2011,
pukul 20.20
Miller, Jekel. 2009. Epidemiology of Spontaneous Premature Rupture of Membranes: Factors in
Preterm Births. The Yale Journal of Biology and Medicine p241-
251.http://emedicine.medscape.com/article. Diakses 18 Mei 2011, pukul 20.20
Parry, S. dan Strauss, J. F. 1998. Premature Rupture of the Fetal Membranes. The New
England Journal of Medicine. 338:663-670.
http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview 2011. Diakses padaDiakses 18
Mei 2011, pukul 20.20
Saifuddin, A. B., Rachimhadhi, T., Wikhjosastro, G. H.. 2008. Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohadrjo. Edisi ke-4.Pt. Bina Pustaka Sarwono Prawirohadrjo. Jakarta. p
Varney, Kriebs, Gegor. 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC
34
Velemhnska. 2009. Management of Pregnancy with Premature Rupture of Membrane (PROM).
Journal of Health Sciences Management and Public Health.
http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview 2011. Diakses padaDiakses 18
Mei 2011, pukul 20.20
35