Post on 16-Oct-2021
i
LAPORAN PENELITIAN
STUDI KESEHATAN JIWA PADA BEBERAPA
DAERAH DI INDONESIA
PUSLITBANG UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT
BADAN LITBANG KESEHATAN
2017
ii
SK PENELITIAN
iii
iv
v
vi
SUSUNAN TIM PENELITI YANG TERLIBAT
No Nama Kedudukan dalam
tim Uraian tugas
1. Drg. Agus Suprapto, M.Kes Pengarah I Memberikan pengarahan dan
bimbingan serta mengamati
perkembangan penyelenggaraan
penelitian
2. Dr. dr. Felly P. Senewe, M.Kes Pengarah II Mengarahkan pelaksanaan kegiatan penelitian
3. Ketua PPI Puslitbang UKesMas Pengarah Memberikan arahan metodologi penelitian
4. Dr. Ekowati Rahajeng, SKM, M.Kes
Pengarah Memberikan arahan metodologi penelitian
5. Rofingatul Mubasyiroh, SKM, M.Epid
Ketua Pelaksana Bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan penelitian
6. Dr. dr. Sri Idaiani, Sp.KJ, M.Kes Peneliti Utama Bertanggung jawab dalam metodologi Penelitian, pengumpulan data dan laporan.
7. Dr. Nunik Kusumawardani, Msc. PH
Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam metodologi penelitian, pengumpulan data dan laporan
8. Dr. Natalingrum Sukmarini, SpKJ, M.Kes
Anggota peneliti Bertanggungjawab dalam pembuatan instrumen penelitian
9. Dra.Siti Isfandari, MPH Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam metodologi Penelitian dan laporan.
10. Indri Yunita Suryaputri,S.Psi,M.Si
Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam pengumpulan data dan laporan.
11. Kartika Handayani, S.Psi M.Si Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam pengumpulan data dan laporan.
12. Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam metodologi Penelitian dan laporan.
13. Dr Dr. Inswiasri, M.Kes Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam
pengumpulan data dan laporan.
14. Dr. Dwi Hapsari, SKM, M.Kes Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam pengumpulan data dan laporan.
15. Nikson Sitorus, SKM, M.Epid Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam pengumpulan data dan laporan.
vii
16. Ir. Salimar, M.Si Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam pengumpulan data dan laporan.
17. Lely
Lely Indrawati, S.Sos, MKM Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam pengumpulan data dan laporan.
18. Bhaskarani Widjiastuti, SKM Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam
pelaksanaan pengumpulan data.
19. Siti Masitoh, SKM Anggota peneliti Bertanggungjawab dalam
manajemen data dan laporan
20. Fachrudin Ali, S.Kom, M.Kes Anggota peneliti Bertanggungjawab dalam
dokumentasi penelitian
21. Enung Nurchotimah, SKM, MKM Anggota peneliti Bertanggung jawab dalam
pengumpulan data dan laporan.
22. dr. Myra, Sp.KJ Pembantu Penelitian I
Membantu koordinasi dan
persiapan teknis penelitian
23. dr. Antina Nevi Hidayati, Sp.KJ Pembantu Penelitian I
Membantu koordinasi dan
persiapan teknis penelitian
24. dr. Olvianne Soraya Santi, Sp.KJ Pembantu Penelitian II
Membantu pelaksanaan teknis
penelitian
25. dr. Fendy Hardyanto, Sp.KJ Pembantu Penelitian II
Membantu pelaksanaan teknis
penelitian
26. dr.Indah Alfiah,Sp.KJ Pembantu Penelitian II
Membantu pelaksanaan teknis
penelitian
27. dr. Patmawati.P, M.Kes,Sp.KJ Pembantu Penelitian II
Membantu pelaksanaan teknis
penelitian
28. Ns. Fauziah, S.Kp, M.KpJ Pembantu Lapangan
Membantu kegiatan teknis dan
administrasi di tempat penelitian
29. Ns. I Ketut Sudiatmika, S.Kp, M.KpJ
Pembantu Lapangan
Membantu kegiatan teknis dan
administrasi di tempat penelitian
30. Endang Susilowati, A.Md Pembantu Lapangan
Membantu kegiatan teknis dan
viii
administrasi di tempat penelitian
31. Rahmawati Martha Putri, SE Sekretariat penelitian
Membantu tugas-tugas
administrasi dan keuangan
32. Wardana, A.Md Sekretariat penelitian
Membantu tugas-tugas
administrasi dan keuangan
33. Didi Prayitno, A.Md Sekretariat penelitian
Membantu tugas-tugas
administrasi dan keuangan
ix
SURAT PERSETUJUAN ETIK
Penelitian ini telah mendapatkan Persetujuan Etik (Athical Approval) Nomor: LB.02.01/2/
KE.200/2017, pada tanggal 24 Mei 2017. Serta amandemen Protokol nomor:
LB.01.02/2/KE.351/2017.
x
PERSETUJUAN ATASAN
Peneliti
Rofingatul Mubasyiroh, SKM, M.Epid
NIP. 198411132008012005
Mengetahui
Ketua PPI
Dr. Sri Irianti, SKM, MPhl, PhD
NIP.195804121981022001
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit
Dr.dr.Felly Philipus Senewe, MKes
NIP. 196209121991031002
Menyetujui
Kepala Pusat/Balai Besar
Drg. Agus Suprapto MKes
NIP.196408131991011001
xi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Alloh SWT buku laporan berjudul “
Studi Kesehatan Jiwa pada Beberapa Daerah di Indonesia” ini secara resmi telah dapat
kami publikasikan kepada semua pihak pemerhati masalah kesehatan khususnya, serta
kepada masyarakat luas secara umum.
Buku ini memberikan gambaran hasil: validasi instrumen MINI (Mini International
Neuropsychiatric Interview) untuk deteksi dini kondisi depresi, cemas dan psikotik;
besaran masalah dan treatmentgap depresi, cemas dan psikotik; serta gambaran program
kesehatan jiwa berbasis masyarakat dan fasilitas kesehatan.
Buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dan
pemerhati kesehatan jiwa. Semoga buku ini dapat menjadi masukan dalam
pengembangan program pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat.
Kami ucapkan terimakasih kepada para peneliti dan semua pihak yang terlibat
dalam penyusunan buku laporan penelitian ini. Serta kepada pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan mulai dari penyusunan protokol, arahan teknis, serta
masukan dalam penyusunan laporan ini. Kami sampaikan juga penghargaan kepada RS
dan Dinas Kesehatan yang membantu dalam proses penelitian hingga selesai dengan baik.
Jakarta, Desember 2017
Hormat Kami,
Tim Penulis
xii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kesehatan jiwa merupakan bagian penting dari kesehatan dan kesejahteraan,
seperti yang tercantum dalam definisi sehat yang ditetapkan oleh WHO: “health is a state
of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease
or infirmity”, yang dapat diartikan bahwa sehat mencakup aspek fisik, jiwa, dan sosial,
serta tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan. Seperti halnya kesehatan
secara umum, kesehatan jiwa dipengaruhi berbagai aspek termasuk lingkungan, sosial,
ekonomi, dan budaya, selain juga aspek biologis seperti genetik.
Terdapat sembilan ganguan jiwa yang menjadi prioritas perhatian bagi tenaga
kesehatan terutama non spesialistik dan yang terutama bekerja di pusat pelayanan
kesehatan primer.Ke-9 gangguan jiwa prioritas tersebut adalah depresi, psikosis, epilepsi,
gangguan mental pada anak-anak,demensia, penyalahgunaan alcohol, penyalahgunaan
obat terlarang dan melukai diri serta bunuh diri.
Semakin tingginya masalah jiwa, maka diperlukan instrumen screening gangguan
psikiatri yang cepat dan dapat digunakan di fasilitas kesehatan primer. Terdapat
instrumen singkat wawancara terstruktur untuk diagnosa gangguan kejiwaan
dikembangkan oleh psikiatri dan klinisi di Amerika Serikat dan Eropa untuk gangguan
psikiatri dalam DSM-IV dan ICD-10, yaitu instrumen The Mini-International
Nueropsychiatric Interview (M.I.N.I) (Sheehan dkk, 1998). Instrumen yang dapat
mendiagnosis 14 jenis gangguan jiwa (termasuk depresi, cemas/anxietas, dan gangguan
psikotik) ini memerlukan waktu yang tidak lama (sekitar 15 menit) untuk wawancara
psikiatri dalam uji klinis multisenter ataupun penelitian epidemiologi.
Sampai saat ini Kementerian Kesehatan belum memiliki instrumen yang dapat
digunakan dalam survei besar guna mengukur gangguan jiwa yang spesifik dan terarah,
yaitu depresi, cemas dan psikotik. Instrumen yang digunakan dalam survei selama ini
(SRQ-20) hanya dapat menggambarkan gangguan mental emosional pada masyarakat.
Sedangkan untuk kebutuhan program kesehatan jiwa diperlukan angka prevalensi
xiii
gangguan jiwa yang lebih spesifik misalnya yang dapat menggambarkan depresi, cemas
dan psikotik.
Di samping itu, pelayanan kesehatan jiwa yang sudah dijalankan sejauh ini masih
terfokus pada pelayanan kuratif penderita kesehatan jiwa berat. Upaya yang bersifat
preventif promotif gangguan jiwa berat dan gangguan mental emosional masih terbatas.
Beberapa upaya yang telah mulai dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir adalah
upaya pengendalian kesehatan jiwa berbasis masyarakat serta fasilitas kesehatan primer.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini
dimaksudkan untuk mengembangkan instrumen kesehatan jiwa yang spesifik dan dapat
memberikan gambaran permasalahan kesehatan jiwa yang lebih spesifik dan terarah.
Penelitian ini bertujuan: mendapatkan validitas dan reliabilitas instrumen deteksi
dini depresi, cemas dan psikotik; mendapatkan proporsi gangguan depresi , cemas dan
psikotik; mendapatkan proporsi ‘treatment gap’ pada gangguan jiwa; mendapatkan
gambaran program kesehatan jiwa yang berbasis masyarakat dan fasilitas kesehatan.
Instrumen yang diujikan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam survei
kesehatan jiwa di masyarakat. Besaran masalah dan gambaran upaya kesehatan jiwa akan
memberikan dukungan berbasis bukti untuk perbaikan program kesehatan jiwa.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan disain kros seksional (pontong lintang)
untuk informasi yang bersifat kuantitatif. Penelitian ini akan menerapkan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif (mix method). Populasi untuk studi kuantitatif adalah penduduk
usia 15 tahun ke atas pada satu desa/kelurahan di Kota Bogor (Provinsi Jawa Barat),
kabupaten Jombang (Provinsi Jawa Timur), dan Kabupaten Tojo Una-Una (Provinsi
Sulawesi Tengah). Sampel yang akan diwawancara untuk uji validasi adalah sejumlah 978
individu yang terdiri dari 431 orang penderita dan 547 orang normal yang akan
diwawancara dengan instrumen MINI dan oleh psikiater. Dan sampel untuk survey adalah
761 orang per kabupaten/kota.
Untuk sampel uji instrumen, sampel diambil secara purpossive dari daftar pasien RS
Jiwa pemerintah yang memenuhi kelompok umur < 65 tahun dan >= 65 tahun, kelompok
pendidikan rendah (<=SMP) dan pendidikan tinggi (>= SMA), dan kelompok laki-laki dan
xiv
perempuan. Dan juga sampel dari penduduk masyarakat umum yang berasal dari wilayah
tempat tinggal (kecamatan) yang sama dari sampel yang diperoleh dari daftar RS.
Pengambilan sampel gambaran proporsi dilakukan secara stratified random
sampling. Dilakukan pengelompokkan kecamatan di masing – masing kabupaten kota
berdasarkan proporsi penderita ODGJ di masing-masing kecamatan, yaitu kecamatan
dengan ODGJ di atas rata-rata kabupaten dan kecamatan dengan proporsi di bawah rata-
rata. Dari masing-masing kelompok kecamatan, dipilih secara acak sejumlah kecamatan
secara proporsional. dari masing-masing kecamatan tersebut, dipilih lagi secara acak satu
desa. Di setiap desa dihitung secara proporsional penduduk untuk mendapatkan jumlah
sampel di setiap desa. Dari tiap desa dipilih lima Rukun Tetangga secara acak. Dari setiap
Rukun Tetangga diperoleh daftar (sampling frame) Rumah Tangga, dan dipilih secara acak
sejumlah Rumah Tangga. Sampel responden di setiap Rukun Tetangga dihitung dari
jumlah sampel untuk setiap desa dibagi rata dalam lima rukun tetangga. Seluruh individu
berusia >= 15 tahun di Rumah tangga terpilih, diambil sebagai sampel.
Informan masyarakat diambil secara purpossive dari keluarga responden yang
positif menderita gangguan jiwa serta dari tokoh masyarakat. Adapun informan dari
fasilitas adalah tenaga kesehatan pelaksana program kesehatan jiwa serta pimpinan
fasilitas kesehatan.
Untuk validasi, sampel diwawancara dengan MINI- Depresi (dalam 2 minggu
terakhir, 10 pertanyaan Ya/Tidak),MINI-Cemas (dalam 6 bulan terakhir, 23 pertanyaan
Ya/Tidak),MINI-Psikotik (seumur hidup, 7 pertanyaan Ya/Tidak), SRQ (menggambarkan
gangguan mental emosional umum, dalam 2 minggu terakhir, 20 pertanyaan Ya/Tidak),
Instrumen wawancara oleh psikiatri (sebagai gold standard penilaian validitas instrumen
SRQ, depresi, cemas, psikotik).
Nilai Validitas instrumen MINI untuk depresi adalah Sensistivitas 60,68%,
Spesifisitas 80,8%; untuk cemas adalah Sensistivitas 68,94%, Spesifisitas 80,36%; dan
untuk psikotik adalah Sensistivitas 79,28%, Spesifisitas 82,15%. Nilai reliabilitas instrumen
MINI untuk depresi adalah 0,472; untuk cemas adalah 0,399; dan untuk psikotik adalah
0,577.
xv
Proporsi gangguan jiwa pada keseluruhan sampel penelitian untuk cemas adalah
6,7%; proporsi depresi adalah 8,5%; dan proporsi psikotik adalah 7,1%. Secara terinci
proporsi gangguan jiwa pada sampel responden di Kota Bogor adalah: cemas sebesar
5,2%; depresi sebesar 7,7%; dan psikotik sebesar 13,3%. Proporsi gangguan jiwa pada
sampel responden di Kabupaten Jombang adalah: cemas sebesar 3,5%; depresi sebesar
3,7%; dan psikotik sebesar 5,2%. Proporsi gangguan jiwa pada sampel responden di
Kabupaten Tojo Una-una adalah: cemas sebesar 11,6%; depresi sebesar 13,2%; dan
psikotik sebesar 2,8%.
Treatment gap gangguan jiwa pada keseluruhan sampel penelitian untuk cemas
adalah 63,7%; depresi sebesar 66,3%; dan psikotik sebesar
Program kesehatan jiwa berbasis masyarakat dan fasilitas mencakup dukungan dari
pemerintah di sektor kesehatan setempat untuk kegiatan di masyarakat, peran sektor
non-kesehatan. Dukungan dari pemerintah, terutama di sektor kesehatan baik di tingkat
puskesmas, dinas kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi pada umumnya adalah dalam
bentuk pembinaan atau peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, dukungan ketersedian
sarana medis untuk pelayanan penderita gangguan jiwa, dukungan kebijakan dan regulasi
terkait, serta pemberdayaan masyarakat setempat. Pemberdayaan masyarakat dalam
upaya ataupun kegiatan terkait kesehatan jiwa masih belum terlihat di kota Bogor
maupun Kabupaten Touna. Sementara Kabupaten Jombang sudah dapat menunjukkan
keberhasilan upaya rehabiliasi penderita gangguan jiwa dan pelepasan pasung melalui
peran serta aktif dari masyarakat setempat.
Nilai reliabilitas instrumen dianggap masih kategori sedang. Diharapkan dalam
pelaksanaan penggunaan instrumen MINI depresi, cemas dan psikotik ini dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang telah berpengalaman dalam program kesehatan jiwa, seperti
minimal tenaga perawat jiwa atau perawat yang sudah terlibat dalam prograam
kesehatan jiwa. Hal ini terkait pendalaman interpretasi istilah atau makna dalam
instrumen.
Program kesehatan jiwa memerlukan banyak dukungan dari semua pihak, baik
sektor kesehatan maupun non-kesehatan. Sektor kesehatan diharapkan dapat berperan
lebih aktif dalam menjalin komunikasi dan koordinasi sehingga dapat dampak positif bagi
xvi
keberlanjutan program kesehatan jiwa. Dukungan Karakteristik spesifik lokal juga
merupakan tonggak keberhasilan keberlangungan program kesehatan jiwa berbasis
masyarakat.
xvii
ABSTRAK
Kesehatan jiwa merupakan bagian penting dari kesehatan dan kesejahteraan. Semakin
tingginya masalah kesehatan jiwa, maka diperlukan instrumen screening gangguan
psikiatri yang cepat dan dapat digunakan di fasilitas kesehatan primer. Serta perlunya
penguatan program layanan kesehatan jiwa. Penelitian ini bertujuan mengembangkan
instrumen deteksi dini gangguan jiwa dengan menilai validitas dan reliabilitas, dan
mendapatkan gambaran program kesehatan jiwa yang berbasis masyarakat dan fasilitas
kesehatan. Penelitian ini menggunakan disain crosssectional dengan pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilaksanakan di Kota Bogor, Kabupaten Jombang dan
Kabupaten Tojo Una-una pada tahun 2017. Nilai Validitas instrumen MINI untuk depresi
adalah Sensistivitas 60,68%, Spesifisitas 80,8%; untuk cemas adalah Sensistivitas 68,94%,
Spesifisitas 80,36%; dan untuk psikotik adalah Sensistivitas 79,28%, Spesifisitas 82,15%.
Nilai reliabilitas instrumen MINI untuk depresi adalah 0,472; untuk cemas adalah 0,399;
dan untuk psikotik adalah 0,577. Dukungan bagi program kesehatan jiwa dari pemerintah
berupa pembinaan tenaga kesehatan, sarana medis untuk penderita gangguan jiwa,
kebijakan dan regulasi, pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sendiri
baru terlihat di Kabupaten Jombang.
Kata kunci : kesehatan jiwa, validasi instrumen, program
xviii
DAFTAR ISI
SK PENELITIAN ................................................................................................................. ii
SUSUNAN TIM PENELITI YANG TERLIBAT ....................................................................... vi
SURAT PERSETUJUAN ETIK ............................................................................................. ix
PERSETUJUAN ATASAN ................................................................................................... x
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... xi
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................. xii
ABSTRAK ...................................................................................................................... xvii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. xviii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xxii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xxv
DAFTAR GRAFIK ...........................................................................................................xxvi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah Penelitian ............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................... 5
C.1. Tujuan Umum ......................................................................................................... 5
C.2. Tujuan Khusus ......................................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 6
BAB II METODE ................................................................................................................ 7
A. Kerangka Teori ....................................................................................................... 7
B. Kerangka Konsep ................................................................................................... 9
C. Tempat dan Waktu .............................................................................................. 10
D. Disain Penelitian .................................................................................................. 11
E. Populasi dan Sampel ............................................................................................ 11
F. Besar Sampel dan Pemilihan Sampel .................................................................. 12
G. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................................. 16
H. Variabel ................................................................................................................ 16
xix
I. Definisi Operasional ............................................................................................. 17
J. Instrumen dan Pengumpulan Data ...................................................................... 18
K. Prosedur Kerja ..................................................................................................... 19
L. Manajemen dan Analisis Data ............................................................................. 22
BAB III HASIL PENELITIAN .............................................................................................. 24
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ................................................................. 24
A1. Kota Bogor .............................................................................................................. 24
a. Keadaan Geografis ............................................................................................... 24
b. Keadaan Demografi .............................................................................................. 25
c. Situasi Derajat Kesehatan ................................................................................... 26
d. Kecamatan Tempat Penelitian ........................................................................... 27
A2. Kabupaten Jombang .......................................................................................... 28
a. Keadaan Geografis ............................................................................................... 28
b. Keadaan Demografi .............................................................................................. 30
c. Situasi Derajat Kesehatan ................................................................................... 31
d. Kecamatan Tempat Penelitian ........................................................................... 31
A3. Kabupaten Tojo Una-una ..................................................................................... 32
a. Keadaan Geografis Touna ................................................................................... 32
b. Keadaan Demografi .............................................................................................. 33
c. Situasi Derajat Kesehatan ................................................................................... 36
B. Hasil Validitas dan Reliabilitas Instrumen MINI .................................................. 37
C. Proporsi dan Treatmentgap Gangguan Jiwa Cemas, Depresi dan Psikosis ......... 44
C.1. Proporsi Tiga Wilayah .......................................................................................... 44
C.2. Kota Bogor ............................................................................................................. 54
C.3. Kabupaten Jombang ............................................................................................ 63
C.4. Kabupaten Tojo Una-una .................................................................................... 73
D. Program Kesehatan Jiwa Yang Berbasis Masyarakat Dan Fasilitas Kesehatan ... 82
D.1. Kualitatif Kota Bogor ............................................................................................ 93
1. Pemahaman tentang gangguan kesehatan jiwa (depresi, cemas, psikotik) dari
perspektif ............................................................................................................... 94
2. Tradisi dan budaya terkait kesehatan jiwa (depresi, cemas, psikotik) ......... 96
xx
3. Program dan kebijakan yang ada terkait kesehatan jiwa : ............................. 97
a. Pelaksanaan ..................................................................................... 97
b. Kendala ............................................................................................ 99
c. Rencana ke depan .......................................................................... 100
d. Kebutuhan ...................................................................................... 101
4. Peran dan kebutuhan pelayanan dan pencegahan kesehatan jiwa ............ 102
5. Stigma dan persepsi terkait gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik)
103
6. Upaya pelayanan gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik) ..... 105
a. Nakes.............................................................................................. 105
b. Masyarakat dan toma .................................................................... 111
c. Pasien ............................................................................................. 111
7. Upaya pencegahan gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik) terkait
kegiatan dan sumber daya ................................................................................ 112
a. Nakes.............................................................................................. 112
b. Masyarakat (kasus dan normal), kader dan toma ......................... 113
D2. Hasil Kualitatif Kabupaten Jombang ................................................................. 116
1. Masalah Kesehatan Jiwa .................................................................................... 116
2. Kebijakan .............................................................................................................. 117
3. Perencanaan dan Pembiayaan .......................................................................... 118
4. Pelaksanaan Program ......................................................................................... 121
5. Lintas Sektor ......................................................................................................... 124
6. Sumber Daya ........................................................................................................ 126
7. Peran Serta Masyarakat ..................................................................................... 127
8. Saran/ Harapan .................................................................................................... 131
9. Kendala ................................................................................................................. 132
D3. Hasil Kualitatif Kab. Tojo Una-Una .................................................................... 136
1. Pemahaman tentang gangguan kesehatan jiwa (depresi, cemas, psikotik)137
2. Tradisi dan budaya terkait kesehatan jiwa (depresi, cemas, psikotik) ....... 142
3. Program dan kebijakan yang ada terkait kesehatan jiwa : ........................... 143
4. Peran dan kebutuhan pelayanan dan pencegahan kesehatan jiwa ............ 148
xxi
5. Stigma dan persepsi terkait gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik)
149
6. Upaya pelayanan gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik) ..... 150
7. Upaya pencegahan gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik) terkait
kegiatan dan sumber daya ................................................................................ 152
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................................. 154
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................... 159
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 161
LAMPIRAN ............................................................................................................................... 164
xxii
DAFTAR TABEL
Tabel A-1. Data 10 penyakit utama yang dirawat jalan di Puskesmas untuk golongan 5-44
tahun di Kota Bogor tahun 2016 ........................................................................... 26
Tabel A-2. Data jumlah kunjungan pasien jiwa yang berkunjung di puskesmas dan rumah
sakit Kota Bogor tahun 2016 ................................................................................. 27
Tabel A-3. Data 10 Penyakit Terbanyak di Kabupaten Jombang Tahun 2016 ................ 31
Tabel A-4. Jumlah Penduduk di Atas 15 Tahun yang Bekerja menurut Jenis Kelamin. .. 34
Tabel A-5. Jumlah Pendidikan Tertinggi yag Ditamatkan Penduduk menurut Angkatan
Kerja. ...................................................................................................................... 35
Tabel A-6. Jenis Sarana Kesehatan Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2016 .................... 35
Tabel A-7. Jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2016 ............ 36
Tabel A-8. Jumlah kasus 10 penyakit terbanyak di Kabupaten Tojo Una-Una ............... 36
Tabel B-1. Responden validasi berdasarkan hasil wawancara klinis dan instrumen MINI40
Tabel B-2. Penilaian Validitas kriteria depresi, cemas, dan psikotik menurut Instrumen
MINI dengan hasil wawancara psikiatrik ............................................................... 40
Tabel B-3. Penilaian Validitas kriteria depresi dan cemas menurut Instrumen SRQ dengan
hasil wawancara psikiatrik ..................................................................................... 42
Tabel B-4. Penilaian reliabilitas instrumen MINI dan SRQ .............................................. 44
Tabel C-1. Proporsi Kondisi gangguan jiwa cemas .......................................................... 45
Tabel C-2. Proporsi Kondisi gangguan jiwa depresi ........................................................ 46
Tabel C-3. Proporsi kondisi gangguan jiwa psikotik ........................................................ 47
Tabel C-4. Proporsi Kondisi Normal (tidak cemas, tidak depresi, tidak psikotik) ........... 48
Tabel C-5. Proporsi Kondisi Depresi di masa lalu (seumur hidup) .................................. 49
Tabel C-6. Proporsi Kondisi gangguan mental emosional satu bulan terakhir ............... 50
Tabel C-7. Proporsi Pengalaman menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap mati
berdasarkan karakteristik (N=2173) ...................................................................... 51
Tabel C-8. Proporsi Pengobatan medis saat ini .............................................................. 52
xxiii
Tabel C-9. Proporsi Alasan tidak berobat ....................................................................... 53
Tabel C-10. Proporsi Kondisi gangguan jiwa cemas di Kota Bogor tahun 2017 ............. 54
Tabel C-11. Proporsi Kondisi gangguan jiwa depresi di Kota Bogor tahun 2017 ............ 55
Tabel C-12. Proporsi Kondisi gangguan jiwa psikotik di Kota Bogor tahun 2017 ........... 56
Tabel C-13. Proporsi Kondisi depresi masa lalu di Kota Bogor tahun 2017 .................... 57
Tabel C-14. Proporsi Kondisi normal di Kota Bogor tahun 2017 .................................... 58
Tabel C-15. Proporsi Kondisi gangguan mental emosional satu bulan terakhir di Kota
Bogor, tahun 2017 ................................................................................................. 59
Tabel C-16. Proporsi Pengobatan medis saat ini pada gangguan jiwa di Kota Bogor, Tahun
2017 ....................................................................................................................... 60
Tabel C-17. Proporsi Alasan tidak berobat pada gangguan jiwa di Kota Bogor, Tahun 2017
............................................................................................................................... 61
Tabel C-18. Proporsi Pengalaman menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap
mati berdasarkan karakteristik (N=731) ................................................................ 62
Tabel C-19. Proporsi Kondisi gangguan jiwa cemas di Kabupaten Jombang, Tahun 201763
Tabel C-20 Proporsi Kondisi gangguan jiwa depresi di Kabupaten Jombang, Tahun 2017 . 65
Tabel C-21Proporsi Kondisi gangguan jiwa psikotik di Kabupaten Jombang, Tahun 201766
Tabel C-22. Proporsi Kondisi depresi masa lalu di Kabupaten Jombang, Tahun 2017 ... 67
Tabel C-23Proporsi Kondisi gangguan mental emosional satu bulan terakhir di Kabupaten
Jombang, Tahun 2017 ............................................................................................ 68
Tabel C-24 Proporsi Kondisi normal di Kabupaten Jombang, Tahun 2017 ..................... 69
Tabel C-25.Proporsi Pengobatan medis saat ini ............................................................. 70
Tabel C-26. Proporsi Alasan tidak berobat ..................................................................... 71
Tabel C-27.Proporsi Pengalaman menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap
mati berdasarkan karakteristik (N=724) di Kabupaten Jombang, Tahun 2017 ..... 71
Tabel C-28 Proporsi Kondisi gangguan jiwa cemas di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun 2017
............................................................................................................................... 73
xxiv
Tabel C-29 Proporsi Kondisi gangguan jiwa depresi di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun
2017 ....................................................................................................................... 74
Tabel C-30. Proporsi Kondisi gangguan jiwa psikotik di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun
2017 ....................................................................................................................... 75
Tabel C-31. Proporsi Kondisi normal di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun 2017 ............ 76
Tabel C-32. Proporsi Kondisi depresi masa lalu di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun 201777
Tabel C-33. Proporsi Kondisi gangguan mental emosional di Kabupaten Tojo Una-una,
Tahun 2017 ............................................................................................................ 78
Tabel C-34. Proporsi Pengobatan medis saat ini ............................................................ 79
Tabel C-35. Proporsi Alasan tidak berobat ..................................................................... 80
Tabel C-36. Proporsi Pengalaman menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap
mati berdasarkan karakteristik di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun 2017 (N=718)80
Tabel D-1. Topik Utama Hasil Penggalian Informasi tentang Program Kesehatan Jiwa di
tiga wilayah (Bogot, Jombang, Touna) dari perspektif penyelenggara kesehatan.86
xxv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka teori ................................................................................................. 7
Gambar 2. Kerangka Konsep ............................................................................................. 9
Gambar 3. Disain Penelitian ............................................................................................ 11
Gambar 4. Alur/Prosedur Penelitian ............................................................................... 20
Gambar 5. Peta wilayah Kabupaten Jombang ................................................................ 28
Gambar 6. Peta wilayah Kabupaten Tojo Una-Una ........................................................ 32
Gambar 7. Luas wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una................... 33
Gambar 8. Piramid penduduk Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2016 ........................... 34
xxvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Persentase Responden Validasi berdasarkan jenis kelamin ........................... 38
Grafik 2. Persentase Responden Validasi berdasarkan kelompok umur ....................... 39
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara global, kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang menjadi masalah utama di berbagai negara. Kesehatan jiwa
merupakan bagian penting dari kesehatan dan kesejahteraan, seperti yang tercantum
dalam definisi sehat yang ditetapkan oleh WHO: “health is a state of complete physical,
mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”, yang
dapat diartikan bahwa sehat mencakup aspek fisik, jiwa, dan sosial, serta tidak semata-
mata terbebas dari penyakit atau kecacatan. Seperti halnya kesehatan secara umum,
kesehatan jiwa dipengaruhi berbagai aspek termasuk lingkungan, sosial, ekonomi, dan
budaya, selain juga aspek biologis seperti genetik. Dengan demikian, pendekatan
intervensi harus menyeluruh mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif,
disamping juga melibatkan multi disiplin ilmu dan pendekatan multi setting. (WHO,
2013)
Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya(Kemenkes, 2014).
Gangguan jiwa, secara timbal balik berkaitan dengan kondisi penyakit kronik
tertentu seperti kanker, penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, HIV/AIDS, dan
penyakit kronik lain yang berdampak pada kondisi sosial ekonomi penderita.
Disamping itu, penderita gangguan jiwa yang tidak terkontrol, dalam waktu yang lama
dapat berisiko lebih tinggi untuk mengalami ketidakmampuan, penyakit tidak menular
tertentu, kecacatan serta bunuh diri. Penderita depresi berat dan schizophrenia
mempunyai risiko 40% sampai 60% lebih tinggi untuk mengalami kematian premature
dibandingkan populasi umum.(WHO, 2013).
2
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan salah satu prioritas
pembangunan kesehatan mengingat kesehatan jiwa juga bagian dari kesehatan
masyarakat secara keseluruhan serta keterkaitan erat dengan berbagai penyakit
seperti penyakit tidak menular serta penyakit kronik lainnya. Hasil RISKESDAS 2013
menunjukkan bahwa prevalensi nasional gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia)
adalah 1.7 per mil dengan prevalensi tertinggi di DI Yogjakarta dan Aceh (2.7 per mil),
sedangkan terendah di Kalimantan Barat (0.7 per mil).
Disamping gangguan jiwa berat, juga dikenal gangguan mental emosional
(GME). Gangguan mental emosional adalah istilah yang sama dengan distres
psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang
mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan
skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua
orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat
berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi.
Prevalensi nasional gangguan mental emosional pada populasi usia 15 tahun ke atas
sebesar 6% dengan prevalensi tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah (11.6%) dan
terendah di Lampung (1.2%). Prevalensi tertinggi setelah Sulawesi Tengah adalah
Sulawesi Selatan (9,3%), Jawa Barat (9,3%) dan Nusa Tenggara Timur
(7,8%).(Litbangkes, 2013)
Program kesehatan jiwa yang sudah berjalan selama ini mencakup program
pemerintah dan dukungan dari kegiatan-kegiatan yang dikelola oleh organisasi profesi
maupun lembaga swadaya masyarakat. Program pelayanan kesehatan jiwa telah
diupayakan dapat terpenuhi sesuai kebutuhan baik di tingkat layanan primer maupun
sekunder. Dari data RISKESDAS 2013 cakupan pengobatan gangguan jiwa berat sebesar
61.7%, sementara cakupan pengobatan gangguan mental emosional (2 minggu
terakhir) masih rendah, sebesar 11.9%. Terjadinya kesenjangan pengobatan orang
dengan gangguan mental terjadi hampir di seluruh negara di dunia. Kesenjangan
pengobatan (treatment gap) dihitung dari selisih prevalensi gangguan mental dengan
proporsi pengobatan pada individu yang megalami gangguan mental. Sekitar 76% dan
85% dari penderita gangguan jiwa berat di negara-negara berpenghasilan rendah dan
3
menengah tidak menerima pengobatan, adapun untuk negara berpenghasilan tinggi
sekitar 35% dan 50% dalam satu tahun. Kesenjangan ini terjadi salah satunya
diakibatkan kurangnya jumlah dan distribusi tidak merata sumber daya untuk
kesehatan mental. Selain itu, keterlibatan masyarakat sipil untuk kesehatan mental di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah kurang berjalan dengan baik.
Hanya 49% dari negara-negara berpenghasilan rendah yang terdapat organisasi untuk
orang dengan gangguan mental dan ketidakmampuan psikososial, sedangkan negara
maju dengan 83%.
Dalam rangka memperkecil kesenjangan pengobatan (treatment gap) salah
satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan adanya deteksi awal gangguan
mental. Gangguan mental minor seperti kecemasan, depresi atau gangguan mental
dengan keluhan fisik sering tidak disadari sebagai gangguan mental, ketika dokter
hanya fokus pada keluhan fisik saja maka akan terjadi pemeriksaan dan pengobatan
yang sebenarnya tidak diperlukan.
Terdapat sembilan ganguan jiwa yang menjadi prioritas perhatian bagi tenaga
kesehatan terutama non spesialistik dan yang terutama bekerja di pusat pelayanan
kesehatan primer.Ke-9 gangguan jiwa prioritas tersebut adalah depresi, psikosis,
epilepsi, gangguan mental pada anak-anak,demensia, penyalahgunaan alcohol,
penyalahgunaan obat terlarang dan melukai diri serta bunuh diri (WHO,2015).
Pelayanan kesehatan jiwa yang sudah dijalankan sejauh ini masih terfokus
pada pelayanan kuratif penderita kesehatan jiwa berat. Upaya yang bersifat preventif
promotif gangguan jiwa berat dan gangguan mental emosional masih terbatas.
Beberapa upaya yang telah mulai dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir
adalah upaya pengendalian kesehatan jiwa berbasis masyarakat serta fasilitas
kesehatan primer.
Untuk mengetahui apa yang paling dibutuhkan oleh masyarakat, diperlukan
survei data kesehatan jiwa di masyarakat. Bagaimana pendapat masyarakat tentang
gangguan jiwa? Apakah keberadaan stigma gangguan jiwa di masyarakat masih
melekat kuat? Siapa yang menjadi konsultan kesehatan jiwa sebelum pasien datang ke
Puskesmas dan apa yang membuat mereka akhirnya datang ke Puskesmas? Lebih
4
lanjut, adalah melakukan studi untuk mengetahui apa problem kesehatan jiwa yang
sering terjadi di masyarakat(Marchira, 2011).
Semakin tingginya masalah jiwa, maka diperlukan instrumen screening
gangguan psikiatri yang cepat dan dapat digunakan di fasilitas kesehatan primer.
Terdapat instrumen singkat wawancara terstruktur untuk diagnosa gangguan kejiwaan
dikembangkan oleh psikiatri dan klinisi di Amerika Serikat dan Eropa untuk gangguan
psikiatri dalam DSM-IV dan ICD-10, yaitu instrumen The Mini-International
Nueropsychiatric Interview (M.I.N.I) (Sheehan dkk, 1998). Instrumen yang dapat
mendiagnosis 14 jenis gangguan jiwa (termasuk depresi, cemas/anxietas, dan
gangguan psikotik) ini memerlukan waktu yang tidak lama (sekitar 15 menit) untuk
wawancara psikiatri dalam uji klinis multisenter ataupun penelitian epidemiologi.
B. Perumusan Masalah Penelitian
Sampai saat ini Kementerian Kesehatan belum memiliki instrumen yang dapat
digunakan dalam survei besar guna mengukur gangguan jiwa yang spesifik dan terarah,
yaitu depresi, cemas dan psikotik. Instrumen yang digunakan dalam survei selama ini
(SRQ-20) hanya dapat menggambarkan gangguan mental emosional pada masyarakat.
Sedangkan untuk kebutuhan program kesehatan jiwa diperlukan angka prevalensi
gangguan jiwa yang lebih spesifik misalnya yang dapat menggambarkan depresi, cemas
dan psikotik.
Data nasional terkait yang kesehatan jiwa yang lebih spesifik dan terarah
masih belum memadai, sementara program pengendalian kesehatan jiwa sangat
membutuhkan data yang spesifik dan lebih terarah untuk penerapan program yang
lebih efektif dan berdaya ungkit besar sesuai dengan kebutuhan di masyarakat.
Berdasarkan data RISKESDAS 2013, tampak adanya kesenjangan antara
permasalahan yang ada dengan pelayanan kesehatan yang tersedia. Meskipun angka
cakupan pengobatan gangguan jiwa berat relatif cukup tinggi, perlu dipertimbangkan
adanya kemungkinan ‘over estimate’ terkait keterbatasan dalam mengumpulkan data
gangguan jiwa berat yang terbatas pada yang bisa dipahami oleh keluarga responden.
5
Sementara itu, masalah gangguan mental emosional juga belum bisa menggambarkan
secara spesifik terkait depresi dan cemas.
Di samping itu, pelayanan kesehatan jiwa yang sudah dijalankan sejauh ini
masih terfokus pada pelayanan kuratif penderita kesehatan jiwa berat. Upaya yang
bersifat preventif promotif gangguan jiwa berat dan gangguan mental emosional
masih terbatas. Beberapa upaya yang telah mulai dikembangkan dalam beberapa
tahun terakhir adalah upaya pengendalian kesehatan jiwa berbasis masyarakat serta
fasilitas kesehatan primer. Meskipun angka cakupan pelayanan untuk
psikosis/skizofrenia sudah mencapai 61%, masih banyak upaya yang harus lebih
ditingkatkan untuk kualitas dan keberlanjutan pengobatan. Sementara untuk gangguan
mental emosional, angka cakupan pengobatan masih sangat rendah.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini
dimaksudkan untuk mengembangkan instrumen kesehatan jiwa yang spesifik dan
dapat memberikan gambaran permasalahan kesehatan jiwa yang lebih spesifik dan
terarah.
Pertanyaan Penelitian:
1. Bagaimana validitas dan reliabilitas instrumen depresi, instrumen cemas, dan
instrumen psikotik yang akan dikembangkan untuk deteksi dini gangguan jiwa?
2. Berapa proporsi penderita gangguan jiwa pada beberapa daerah di Indonesia?
3. Berapa besar kesenjangan pengobatan (treatment gap) penderita gangguan
jiwa?
4. Bagaimana pelaksanaan program kesehatan jiwa berbasis masyarakat dan
fasilitas kesehatan yang telah berjalan serta apa saja kendala dan kebutuhan ke
depan untuk perbaikan program
C. Tujuan Penelitian
C.1. Tujuan Umum
Mengetahui permasalahan kesehatan jiwa pada beberapa daerah di Indonesia.
6
C.2. Tujuan Khusus
a. Mendapatkan validitas dan reliabilitas instrumen deteksi dini depresi, cemas
dan psikotik
b. Mendapatkan proporsi gangguan depresi , cemas dan psikotik
c. Mendapatkan proporsi ‘treatment gap’ pada gangguan jiwa
d. Mendapatkan gambaran program kesehatan jiwa yang berbasis masyarakat
dan fasilitas kesehatan
D. Manfaat Penelitian
a. Instrumen yang diujikan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan
dalam survei kesehatan jiwa di masyarakat.
b. Besaran masalah dan gambaran upaya kesehatan jiwa akan memberikan
dukungan berbasis bukti untuk perbaikan program kesehatan jiwa.
7
BAB II
METODE
A. Kerangka Teori
Gangguan kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan yang cukup
kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor di luar kesehatan. Beberapa studi
menunjukkan beberapa faktor yang berkaitan dengan gangguan kesehatan jiwa,
diantaranya adalah adanya kesenjangan dalam beberap aspek, seperti pendidikan,
sosial dan ekonomi. Disamping itu, faktor komunikasi dengan keluarga dan lingkungan
sosial sekitarnya juga berperan dalam kesehatan jiwa seseorang.
Gambar 1. Kerangka teori
Sumber: Social Determinant of Mental Health, WHO, 2014.
Kesenjangan
ekonomi: jenis
pekerjaan;
penghasilan;
pengeluaran
Komunikasi/hubunga
n dengan keluarga:
Pola asuh; komunikasi
dengan orang tua dan
pasangan;
Kesenjangan Sosial
(Pendidikan,
komunikasi di
masyarakat)
Periode umur tertentu:
Remaja;lansia;masa
kehamilan/kelahiran; masa
pencari kerja; masa awal
berumah tangga
Kesehatan:
Kecacatan; disabilitas;
penyakit kronik tertentu;
gangguan jiwa pada org tua
atau anggota keluarga lain;
Mental Health
disorders
Lingkungan:
Kepadatan penduduk;
bencana alam; musibah;
Deteksi dini
dan
pencegahan
Deteksi dini
dan
pencegahan
Deteksi dini
dan
pencegahan
8
Sementara dalam memahami risiko gangguan jiwa serta penanganan atau
intervensi pencegahan gangguan jiwa berkaitan erat dengan determinan sosial dan
dapat dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut (WHO, 2014):
a. Life course (siklus) hidup: Masa-masa kehamilan, pre-natal, masa awal anak-anak,
remaja, masa awal berumah tangga dan lansia.
b. Community (lingkungan masyarakat): kehidupan bertetangga, keamanan lingkungan
rumah, partisipasi masyrakat, kekerasan/kejahatan di masyarakat, gangguan yang
terjadi di lingkungan sekitar tempat tinggal (bencana alam ataupun karena
manusia).
c. Local services (pelayanan pemerintah setempat): ketersediaan pelayanan
pendidikan usia dini, pelayanan remaja, pelayanan kesehatan, kesejahteraan social,
sanitasi dan air bersih.
d. Country level factors (Faktor di tingkat nasional)
Penanggulanan kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan sosial, diskriminasi,
kepemerintahan, hak asasi manusia, konflik bersenjata, kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan pendidikan, kesempatan kerja, pelayanan kesehatan, perumaha dan
pelayanan pemerintah lainnya sesuai dengan kebutuhan, kebijakan jaminan sosial
yang universal atau menyeluruh. (WHO, 2014)
9
B. Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep
Sosial, demografi, budaya, ekonomi,
Kondisi Mental
Depresi, Cemas, Psikotik
Pelayanan Kesehatan Mental
(Input, Proses, Output)
Deteksi dini
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Upaya Kesehatan Jiwa Masyarakat
Upaya Berbasis Masyarakat
WAWANCARA : PSIKIATER
PSIKIATRI
MINI-ICD-10: ENUMERATOR
Instrumen depresi, cemas,
psikosis MINI ICD-10
valid dan reliabel
Interrater dengan
video
10
Kesehatan jiwa di masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor: sosial,
demografi, budaya, ekonomi, juga pelayanan kesehatan. Dalam penelitian ini, akan
dilakukan uji validasi dan reliabilitas instrumen kesehatan jiwa untuk deteksi dini di
masyarakat. Alat ukur yang akan dinilai adalah MINI (The Mini-International
Nueropsychiatric Interview) . Sebagai standar emas adalah wawancara psikiatri oleh
psikiater. Untuk melakukan standarisasi psikiater sebagai gold standar dengan uji
inter-rater menggunakan cara penilaian terhadap video wawancara psikiatrik. Untuk
dapat menilai apakah alat ini baik digunakan, dilakukan serangkaian pemeriksaan
terhadap responden yang terdiri dari pasien gangguan jiwa (depresi, cemas, psikosis)
dan subjek normal. Alat ukur dikatakan valid apabila memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang optimal dengan keakuratan (agreement) di antara petugas wawancara
baik psikiater dan enumerator. Adapun upaya kesehatan jiwa yang dilaksanakan oleh
fasilitas kesehatan juga akan digali dari sisi input, proses, dan outputnya.
C. Tempat dan Waktu
Penelitian akan dilaksanakan di desa/kelurahan dengan kondisi variasi masalah
gangguan jiwa di : Kota Bogor - Provinsi Jawa Barat (mewakili daerah perkotaan Jawa
dengan prevalensi Gangguan Mental Emosional tinggi), Kabupaten Tojo Una-una -
Sulawesi Tengah (mewakili daerah non-perkotaan luar Jawa dengan prevalensi
Gangguan Mental Emosional tinggi), dan Kabupaten Jombang - Provinsi Jawa Timur
(mewakili daerah Gangguan Mental Emosional rendah dengan program desa siaga
kesehatan jiwa). Dan penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu tahun 2017.
11
D. Disain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan disain kros seksional (pontong
lintang) untuk informasi yang bersifat kuantitatif. Penelitian ini akan menerapkan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mix method).
Metode mix method yang digunakan adalah ‘concurrent triangualation
strategy’ yang menerapakan studi kualitatif dan kuantitatif dalam periode waktu yang
sama dan hasilnya dianalsisi terpisah serta saling melengkapi dalam interpretasinya.
(Creswell 2003, Terrel 2012).
Gambar 3. Disain Penelitian
E. Populasi dan Sampel
Validasi dan survey
Populasi untuk studi kuantitatif adalah penduduk usia 15 tahun ke atas pada
satu desa/kelurahan di Kota Bogor (Provinsi Jawa Barat), kabupaten Jombang (Provinsi
Jawa Timur), dan Kabupaten Tojo Una-Una (Provinsi Sulawesi Tengah).
Sampel kuantitatif adalah individu berusia 15 tahun ke atas (laki-laki dan perempuan)
yang terpilih di wilayah tersebut.
Sumber: Terrel, 2012
Quantitative Qualitative +
Quantitative
data
collection
Qualitative
data
collection
Quantitative
data analysis Qualitative
data analysis Data Results Compared
12
F. Besar Sampel dan Pemilihan Sampel
Perhitungan besar sampel individu:
Untuk kepentingan jumlah sampel uji validasi (sensitivitas dan spesifisitas)
instrumen.
a. Instrumen Depresi
Jumlah Sampel Sensitivitas (Se)
Dengan Sensitivitas yang diharapkan dari penelitian yang pernah ada adalah 96%
(Sheehan, 1997), dan d=0,05 dan ditambah cadangan maka diperoleh 65 individu yang
menderita depresi.
Jumlah Sampel Spesifisitas (SP)
Dengan Spesifisitas yang diharapkan dari penelitian yang pernah ada adalah
SP=88% (Sheehan, 1997) dan w=0,05 maka diperoleh 178 individu nornal.
b. Instrumen Cemas
Jumlah Sampel Sensitivitas (Se)
Dengan Sensitivitas instrumen cemas yang diharapkan dari penelitian yang
pernah ada adalah 91% (Sheehan, 1997), dan d=0,05 dan ditambah cadangan maka
diperoleh 138 individu yang mederita cemas.
Jumlah Sampel Spesifisitas (SP)
Dengan Spesifisitas instrumen cemas yang diharapkan dari penelitian yang
pernah ada adalah SP=86% (Sheehan, 1997) dan w=0,05 maka diperoleh 204 individu
normal.
c. Instrumen Psikotik
2
2 2 / 1 ) 1 (
d
Se Se z n
13
Jumlah Sampel Sensitivitas (SN)
Dengan Sensitivitas instrumen psikotik yang diharapkan dari penelitian yang
pernah ada adalah 84% (Sheehan, 1997), dan d=0,05 dan ditambah cadangan maka
diperoleh 227 individu menderita psikotik.
Jumlah Sampel Spesifisitas (SP)
Dengan Spesifisitas instrumen psikotik yang diharapkan dari penelitian yang
pernah ada adalah SP=89% (Sheehan, 1997) dan w=0,05 maka diperoleh 165 individu
normal.
Sehingga untuk sampel yang akan diwawancara untuk uji validasi adalah
sejumlah 978 individu yang terdiri dari 431 orang penderita dan 547 orang normal
yang akan diwawancara dengan instrumen MINI dan oleh psikiater.
Sampel Se Sampel Sp
Instrumen MINI-depresi 65 178
Instrumen MINI-Cemas 138 204
Instrumen MINI-Psikotik 227 165
Jumlah sampel penderita 431 -
Jumlah sampel normal - 547
Sampel Survey
2
2
2 / 1
) x deff 1 (
d
P P z
n
14
Untuk kepentingan gambaran proporsi, dengan angka prevalensi cemas di
populasi umum (Kessler, 1999) 3,2%, dengan nilai confident interval 95%, nilai absolute
precision (d) 0.02, dan dikalikan deff=2 didapatkan jumlah sampel sebesar 595 orang.
Dengan angka prevalensi depresi di populasi umum (Kessler, 1999) 12,2%,
dengan nilai confident interval 95%, nilai absolute precision (d) 0.05, dan dikalikan
deff=2 didapatkan jumlah sampel sebesar 330 orang.
Dengan angka prevalensi psikotik di populasi umum diperkirakan 1%, dengan
nilai confident interval 95%, nilai absolute precision (d) 0.01, dan dikalikan deff=2
didapatkan jumlah sampel sebesar 761 orang.
Sehingga sampel untuk survey adalah 761 orang per kabupaten/kota.
Pemilihan sampel
Untuk sampel uji instrumen, sampel diambil secara purpossive dari daftar pasien
RS Jiwa pemerintah yang memenuhi kelompok umur < 65 tahun dan >= 65 tahun,
kelompok pendidikan rendah (<=SMP) dan pendidikan tinggi (>= SMA), dan kelompok
laki-laki dan perempuan. Dan juga sampel dari penduduk masyarakat umum yang
berasal dari wilayah tempat tinggal (kecamatan) yang sama dari sampel yang diperoleh
dari daftar RS.
Pengambilan sampel gambaran proporsi dilakukan secara stratified random
sampling. Dilakukan pengelompokkan kecamatan di masing – masing kabupaten kota
berdasarkan proporsi penderita ODGJ di masing-masing kecamatan, yaitu kecamatan
dengan ODGJ di atas rata-rata kabupaten dan kecamatan dengan proporsi di bawah
rata-rata. Dari masing-masing kelompok kecamatan, dipilih secara acak sejumlah
kecamatan secara proporsional. dari masing-masing kecamatan tersebut, dipilih lagi
secara acak satu desa. Di setiap desa dihitung secara proporsional penduduk untuk
mendapatkan jumlah sampel di setiap desa. Dari tiap desa dipilih lima Rukun Tetangga
secara acak. Dari setiap Rukun Tetangga diperoleh daftar (sampling frame) Rumah
Tangga, dan dipilih secara acak sejumlah Rumah Tangga. Sampel responden di setiap
Rukun Tetangga dihitung dari jumlah sampel untuk setiap desa dibagi rata dalam lima
15
rukun tetangga. Seluruh individu berusia >= 15 tahun di Rumah tangga terpilih, diambil
sebagai sampel.
Pemilihan sampel fasilitas kesehatan adalah dengan mengambil seluruh fasilitas
kesehatan yang ada di wilayah terpilih, baik berupa puskesmas ataupun posyandu.
Informan masyarakat diambil secara purpossive dari keluarga responden yang positif
menderita gangguan jiwa serta dari tokoh masyarakat. Adapun informan dari fasilitas
adalah tenaga kesehatan pelaksana program kesehatan jiwa serta pimpinan fasilitas
kesehatan.
Video Wawancara Psikiatrik
Pembuatan video wawancara psikiatrik bertujuan sebagai sarana (tools) inter-
rater para psikiater (gold standar). Responden untuk video wawancara psikiatrik
sejumlah 30 orang yang terdiri dari: 3 pasien depresi berat, 2 pasien depresi sedang, 5
orang pasien cemas, 5 orang pasien psikotik rawat inap, 5 orang pasien psikotik rawat
jalan, 10 orang normal. Rensponden dipilih secara purpossive. Responden psikotik
rawat inap dipilih dari bangsal perawatan stabilisasi, dimana kondisi sudah terkontrol.
Pengumpulan data kualitatif
Informan penelitian kualitatif
1. Tenaga kesehatan yang bertanggung jawab terhadap program dan pelayanan
kesehatan jiwa di tingkat puskesmas, dinkes kab/kota dan provinsi. – 6 orang per
wilayah
2. Tokoh masyarakat atau anggota masyrakat yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan jiwa (kepala desa, PKK, anggota atau tokoh masyarakat lainnya) – 8
orang per wilayah
3. Kader kesehatan – 4 orang per wilayah
4. Organisasi profesi – 2 orang per wilayah
5. Pasien dan keluarga – 6 orang
16
G. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi:
- Laki-laki dan perempuan usia 15 tahun ke atas yang tinggal sebagai penduduk
tetap di kecamatan di provinsi terpilih.
Kriteria eksklusi:
- Mengalami kesulitan ingatan dan komunikasi yang parah sehingga tidak dapat
memberikan informasi atau jawaban yang mewakili dirinya secara akurat.
H. Variabel
Variabel yang akan dianalisis mencakup:
Kesehatan jiwa:
Depresi, cemas, psikosis/schizprenia, riwayat berobat.
Sosial ekonomi:
Pendidikan, pekerjaan, umur, jenis kelamin, pencarian pengobatan.
Di samping data kuantitatif primer, akan dilakukan juga pengumpulan data
kuantitatif sekunder yang meliputi data dari Puskesmas dan posyandu setempat,
berupa data input (tenaga kesehatan, ketersediaan obat), proses (program kesehatan
jiwa yang berjalan), output (cakupan kegiatan).
Data kualitatif ditujukan untuk mendapatkan gambaran aspek sosial budaya
terkait gangguan kesehatan jiwa, peran keluarga, peran masyarakat sekitar, akses
terhadap pelayanan kesehatan, kualitas pelayanan kesehatan.
Topik yang akan digali mencakup: kebutuhan, kendala, harapan, nilai dan sikap
terhadap kesehatan jiwa (cemas, depresi, schizrophenia).
17
I. Definisi Operasional
No Variabel Definisi
1. Depresi adalah salah satu gangguan suasana perasaan, terdiri dari
sekumpulan gejala yang terutama ditandai oleh adanya: (a).
perasaan yang sedih/murung, (b). kehilangan minat, (c). tidak
bertenaga dan mudah lelah; yang dapat menyebabkan
terganggunya aktivitas sampai paling tidak 2 minggu. Gejala lain
yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, gangguan pola
makan, adanya gagasan atau perbuatan membahayakan diri/
bunuh diri, gangguan tidur, harga diri dan kepercayaan diri
berkurang, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis,
serta perasaan tidak berguna/ rasa bersalah.
2. cemas adalah suatu perasaan yang tidak nyaman, khawatir, yang
disertai dengan gejala-gejala otonom seperti sakit kepala,
perspirasi/berkeringat, palpitasi/jantung berdebar, rasa tidak
enak perut, atau kegelisahan motorik/fisik, yang dapat
mengganggu aktivitas sehari hari.
3. Psikosis/
Schizprenia
adalah kondisi mental/jiwa saat realitas menjadi sangat
terdistorsi yang berakibat pada timbulnya gejala seperti waham,
halusinasi dan gangguan pikiran. Orang dengan skizofrenia atau
gangguan psikotik lainnya tidak hanya menderita gejala psikotik,
tetapi juga gejala lain seperti psikomotor yang abnormal,
gangguan mood/afek, defisit kognitif, dan perilaku yang kacau.
4. riwayat berobat Informasi yang berkaitan dengan pengobatan gangguan jiwa
yang pernah dijalani oleh responden
5. Pendidikan Tingkat pendidikan tertinggi yang telah dicapai
6. Pekerjaan Pekerjaan utama responden
7. Kepemilikan Kepemilikan atas barang yang ada di rumah tangga
8. Umur Umur responden sesuai ulang tahun terakhir
9. Jenis kelamin Jenis kelamin responden
10. Pencarian Perilaku responden dalam mengakses pelayanan kesehatan
18
pengobatan untuk mencari kesembuhan
11. Tenaga
kesehatan
Tenaga kesehatan pelaksana kegiatan upaya kesehatan jiwa
12. Ketersediaan
obat
Ketersediaan obat bagi penderita gangguan jiwa
13. Program
kesehatan jiwa
Upaya kesehatan jiwa yang berjalan di puskesmas atau
posyandu baik berupa penyuluhan
J. Instrumen dan Pengumpulan Data
Sampel akan diwawancara menggunakan instrumen :
1. MINI- Depresi (dalam 2 minggu terakhir, 10 pertanyaan Ya/Tidak)
2. MINI-Cemas (dalam 6 bulan terakhir, 23 pertanyaan Ya/Tidak)
3. MINI-Psikotik (seumur hidup, 7 pertanyaan Ya/Tidak)
4. SRQ (menggambarkan gangguan mental emosional umum, dalam 2 minggu
terakhir, 20 pertanyaan Ya/Tidak)
5. Instrumen wawancara oleh psikiatri (sebagai gold standard penilaian validitas
instrumen SRQ, depresi, cemas, psikotik)
Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara medalam dengan topik:
1. Pemahaman tentang gangguan kesehatan jiwa (depresi, cemas, psikotik) dari
perspektif: Nakes, Lintas sektor terkait, Masyarakat (toma, kader, pasien dan
keluarg, dll), Organisasi profesi terkait kesehatan jiwa
2. Tradisi dan budaya terkait kesehatan jiwa (depresi, cemas, psikotik)
3. Program dan kebijakan yang ada terkait kesehatan jiwa : Pelaksanaannya,
Kendala, Rencana ke depan, Kebutuhan
4. Peran dan kebutuhan pelayanan dan pencegahan kesehatan jiwa dari
perspektif: lintas sector, masyarakat,
5. Stigma dan persepsi terkait gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik)
dari perspektif: nakes, masyarakat dan toma,aparat setempat
19
6. Upaya pelayanan gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik) termasuk
kegiatan dan sumber daya yang ada dari persepektif: Nakes, Masyarakat dan
toma, Organisasi profesi, Pasien , Keluarga pasien
7. Upaya pencegahan gangguan kesehtan jiwa (cemas, depresi, psikotif) terkait
kegiatan dan sumber daya dari perspektif: Nakes, Masyarakat, kader dan toma,
Organisasi profesi
K. Prosedur Kerja
1. Persiapan: pembahasan protokol, pre instrumen
2. Finalisasi protokol dan pengajuan ethical clearens
3. Pembahasan instrumen
a. Pembahasan isntrumen intern tim
b. Ujicoba kuesioner terbatas pada 10 responden
c. Pembahasan hasil uji coba terbatas dan perbaikan instrumen
d. Persiapan pembuatan video: 3 depresi berat, 2 depresi sedang, 5 orang
cemas, 5 orang psikotik rawat inap, 5orang psikotik rawat jalan, 10
orang normal)
e. Kunjungan dan izin pembuatan video di RS Marzuki Mahdi
4. Pembuatan video untuk rekrutment psikiater, editing video dan finalisasi
video
5. Rekrutmen psikiater, enumerator, pe ngurusan izin di daerah penelitian
6. Persiapan uji validasi
7. Pelaihan psikiater dan enumerator
8. Uji validasi
9. Analisis hasil uji validasi
10. Survey untuk mendapatkan gambaran proporsi dan kualitatif gambaran
program kesehatan jiwa berbasis masyarakat
11. Entry data survey, cleaning dan analisis
12. Penyusunan laporan
13. Diseminasi
20
Gambar 4. Alur/Prosedur Penelitian
Penyusunan laporan
Persiapan (finalisasi protokol, pre instrumen, etik)
Pembahasan instrumen
(pakar psikiater, antropolog, sosial, budaya) – ujicoba terbatas
instrumen
Perizinan dan persiapan lapangan Kota Bogor: listing responden
Kabupaten Jombang: listing responden Kabupaten Tojo Una-una: listing responden
Pembuatan video sebagai alat rekrutmen psikiater
Pelatihan Enumerator
Pelaksanaan Uji Validasi: Kota Bogor, Kabupaten Jombang, Kabupaten Tojo
Una-una
Analisis proporsi dan treatment gap
Rekrutmen tenaga psikiater (sebagai gold
standar) dan tenaga enumerator
Survey untuk mendapatan angka proporsi: Kota Bogor,
Kabupaten Jombang, Kabupaten Tojo Una-una
Analisis reliabilitas, sensitivitas dan spesivisitas
21
Penelitian ini diawali dengan finalisasi protokol dan persiapan untuk
pengajuan etik. Dilanjutkan pembahasan instrumen deteksi dini (depersi, cemas dan
psikosis dari instrumen MINI. Pembuatan video yang akan digunakan sebagai alat
untuk rekrutmen psikiater. Kegiatan dilanjutkan dengan rekrutmen enumerator yang
akan mewawancara responden menggunakan instrumen SRQ-20, MINI-cemas, MINI-
depresi, MINI-psikosis, yaitu dari tenaga kesehatan non-spesifik jiwa. Juga dilakukan
rekrutmen tenaga psikiater yang hasil wawancaranya akan menjadi gold standar dalam
uji instrumen. Dalam rekrutmen psikiater dilakukan dengan metode penayangan video
untuk selanjutnya dipilih psikiater dengan diagnosis yang sama untuk kasus video yang
ditampilkan, sehingga antar psikiater sebagai alat ukur memiliki standar yang sama.
Responden pasien gangguan jiwa didampingi oleh keluarga saat wawancara
pembuatan video. Responden psikotik rawat inap dipilih dari bangsal perawatan
stabilisasi, dimana kondisi sudah terkontrol. Saat pembuatan video berlangsung,
responden psikotik rawat inap didampingi oleh petugas ruangan. Pembuatan video
dilakukan dengan beberapa ketentuan:
- Ruangan : tertutup, mempunyai pintu, bersih dan nyaman .
- Suasana relax.
- Psikiater mengenakan pakaian bebas rapih, dengan jas dokter
- Mebeler : meja tulis/kerja, kursi untuk masing-masing psikiater dan subjek.
- ATK : pulpen, kertas.
- Responden memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk.
- Psikiater mengucapkan salam.
- Setelah responden duduk dan dalam suasana relax, psikiater memperkenalkan diri
secara singkat, menyampaikan maksud wawancara dan perekaman proses
wawancara dengan membacakan naskah penjelasan. Psikiater meminta
tandatangan persetujuan responden jika responden menyetujui ikut serta dalam
pembuatan video.
- responden diminta menyebutkan identitas umur, tempat tinggal, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan dan lain-lain yang dianggap perlu.
22
- Psikiater bertanya tentang keluhan utama yaitu keluhan yang menyebabkan
responden datang ke tempat itu.
- Apabila diperlukan , psikiater dapat melakukan pemeriksaan vital sign.
Selanjutnya adalah perizinan ke wilayah penelitian dan penyiapan sampel
responden dengan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan serta puskesmas dan untuk
mendapatkan informasi sampel yang diharapkan.
Dalam pelaksanaan, sampel individu akan diwawancara oleh enumerator
dengan instrumen MINI-cemas, MINI-depresi, MINI-psikosis, SRQ-20 dan juga
diwawancara oleh psikiater menggunakan wawancara psikiatris. Hal ini bertujuan
untuk mengukur validitas instrumen MINI terhadap hasil wawancara psikiatris psikiater
(sebagai gold standar). Adapun untuk mengukur reliabilitas instrumen MINI, maka
sejumlah 30 responden per kabupaten juga akan diwawancara dua kali menggunakan
instrumen MINI yang dikembangkan dengan jeda waktu kurang lebih satu - dua hari
dengan enumerator yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk menilai reliabilitas
instrumen. Untuk mendapatkan gambaran proporsi dan treatment gap dilakukan
survey di daerah yang sama.
Untuk menggali informasi aspek sosial budaya terkait gangguan kesehatan
jiwa, peran keluarga, peran masyarakat sekitar, akses terhadap pelayanan kesehatan,
kualitas pelayanan kesehatan, kebutuhan, kendala, harapan, nilai dan sikap terhadap
kesehatan jiwa (cemas, depresi, schizrophenia), maka akan dilakukan FGD dan
wawancara mendalam bagi informan dari masyarakat, tokoh masyarakat dan tenaga
kesehatan.
L. Manajemen dan Analisis Data
Untuk kepentingan uji validasi, akan dilakukan uji sensitivitas dan spesifisitas
instrumen cemas, instrumen depresi, instrumen psikotik dan SRQ-20 terhadap hasil
wawancara oleh Psikiater (sebagai gold standard). Serta membandingkan hasil SRQ-20
terhadap hasil instrumen cemas, instrumen depresi, dan instrumen psikotik.
Reliabilitas instrumen akan diukur dari hasil wawancara oleh dua enumerator yang
23
berbeda. Untuk data survey akan dianalisis gambaran proporsi serta treatment gap.
Selain itu, juga akan dilakukan bivariate variabel gangguan jiwa dengan beberapa
faktor risiko yang ada dikumpulkan dalam instrumen. Data akan dianalisis secara
terpisah untuk data kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif akan dianalisi secara
tematik sesuai dengan hasil wawancara.
24
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
A1. Kota Bogor
a. Keadaan Geografis
Kota Bogor merupakan wilayah yang istimewa. Kota Bogor terletak 59 KM
sebelah selatan Jakarta dan wilayahnya berada di tengah-tengah wilayah
Kabupaten Bogor. Bogor dikenal dengan julukan kota hujan, karena memiliki
curah hujan yang sangat tinggi. Pada masa Kolonial Belanda, Bogor dikenal
dengan nama Buitenzorg (pengucapan: boit'n-zôrkh", bœit') yang berarti "tanpa
kecemasan" atau "aman tenteram".
Kota Bogor telah lama dikenal sebagai pusat pendidikan dan penelitian
pertanian nasional., yaitu adanya lembaga dan balai penelitian pertanian dan
biologi serta Institut Pertanian Bogor. Selain itu Kota Bogor juga memiliki banyak
tujuan wisata salah satunya Kebun Raya Bogor.
Kota Bogor dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor yaitu sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Kec.
Sukaraja Kabupaten Bogor.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi,
Kabupaten Bogor.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas,
Kabupaten Bogor.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin,
Kabupaten Bogor.
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang
strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat
kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan
25
pariwisata. Kota Bogor mempunyai rata-rata ketinggian minimum 190 m dan
maksimum 330 m dari permukaan laut.
Kondisi iklim di Kota Bogor suhu rata-rata tiap bulan 26’ C dengan suhu
terendah 21,8’ C dengan suhu tertinggi 30,4’ C. Kelembaban udara 70 %, Curah
hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.500 – 4000 mm dengan curah hujan
terbesar pada bulan Desember dan Januari.
Secara administrasi Kota Bogor memiliki luas wilayah sebesar 11.850 Ha
terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Kemudian Secara Administratif kota
Bogor terdiri dari 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa (lima
diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng,
Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2.712 RT.
b. Keadaan Demografi
Jumlah penduduk kota Bogor menurut BPS Kota Bogor tahun 2016 ialah
sebanyak 1.064.687 orang yang terdiri dari 540.288 penduduk berjenis kelamin
laki-laki dan sebanyak 524.399 perempuan. Kepadatan penduduk di Kota Bogor
pada tahun 2016 mencapai 8985 orang per km2. Kecamatan yang paling padat
penduduknya ialah kecamatan Bogor Tengah dengan kepadatan penduduk
sebesar 12807/km2. Sedangkan kecamatan dengan kepadatan penduduk
terendah ialah di Kecamatan Bogor Selatan dengan angka kepadatan sebesar
6.302/km2.
Berdasarkan komposisi penduduk, kelompok umur dewasa muda (30 – 34
tahun) mendominasi jumlah penduduk yaitu sebanyak 94.246 penduduk dan
jumlah kelompok lansia (70-74 tahun) merupakan yang terkecil sejumlah 15.851
penduduk.
Tingkat pendidikan di Kota Bogor yang dilihat dari lama sekolah menurut
BPS Kota Bogor berada pada angka 10,5. Artinya lama sekolah yang ditamatkan
rata-rata penduduk ialah selama 10.5 tahun dengan demikian ada anak yang
masih putus sekolah atau tidak melanjutkan.
Secara umum penduduk Kota Bogor bekerja pada lapangan pekerjaan
perdagangan dan jasa, dengan sejumlah 120.802 orang bekerja pada lapangan
26
pekerjaan perdagangan, rumah makan dan hotel, serta sebanyak 119.126 orang
yang bekerja di sektor jasa.
c. Situasi Derajat Kesehatan
Ketersediaan data amat penting penyusunan perencanaan program yang
“evidence base” sehingga diharapkan dengan data dan informasi yang akurat
maka upaya-upaya program yang direncanakan betul-betul dapat menyelesaikan
permasalahan kesehatan yang muncul di masyarakat.
Ketersediaan data di Kota Bogor diupayakan melalui pencatatan dan
pelaporan rutin maupun yang berasal dari masyarakat. Salah satu dokumen yang
dihasilkan dari kegiatan pengumpulan dan pengolahan data kesehatan sebagai
salah satu prasyarat terlaksananya perencanaan kesehatan yang “evidence base”
adalah profil kesehatan Kota Bogor Tahun 2016 berikut ini.
Tabel A-1. Data 10 penyakit utama yang dirawat jalan di Puskesmas untuk golongan 5-44 tahun di Kota Bogor tahun 2016
Sumber: Profil kesehatan Kota Bogor 2016
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit hipertensi termasuk
penyakit tidak menular (PTM) masuk dalam 3 besar sepuluh penyakit terbanyak
yang ditemukan dan dilayani di Puskesmas di Kota Bogor.
27
Tabel A-2. Data jumlah kunjungan pasien jiwa yang berkunjung di puskesmas dan rumah
sakit Kota Bogor tahun 2016
Sumber: Profil kesehatan Kota Bogor 2016
Jumlah pelayanan yang diperiksa deteksi dini di rumah sakit di Kota Bogor
(RS Marzuki Mahdi, BMC dan Medika Dramaga) pada tahun 2016 ialah sejumlah
21.154 kunjungan. Sedangkan jumlah pelayanan pasien jiwa di puskesmas lebih
banyak daripada di rumah sakit yaitu sebanyak 22.147 kunjungan. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadinya kepercayaan masyarakat terhadap layanan jiwa
di puskesmas di Kota Bogor.
d. Kecamatan Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil 3 kecamatan sebagai lokasi penelitian yaitu
Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Tanah Sareal dan Kecamatan Bogor Timur.
Kecamatan Bogor Tengah memiliki luas wilayah 8.13 km2, memiliki sejumlah 11
kelurahan. Jumlah penduduk sebanyak 104.682 penduduk dengan jumlah laki-
laki 52.827 orang dan jumlah penduduk perempuan 51.855 orang. Sedangkan
Kecamatan Tanah Sareal memiliki luas wilayah 18.84 km2, memiliki sejumlah 11
kelurahan. Jumlah penduduk sebanyak 226.906 penduduk dengan jumlah laki-
laki 115.053 orang dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 111.853
orang.Kecamatan Bogor Timur memiliki luas wilayah 10.15 km2, memiliki
28
sejumlah 6 kelurahan. Jumlah penduduk sebanyak 104.737 orang dengan jumlah
laki-laki 52.855 orang dan jumlah penduduk perempuan 51.882 penduduk orang.
A2. Kabupaten Jombang
a. Keadaan Geografis
Kabupaten Jombang mempunyai letak yang sangat strategis, karena
berada pada bagian tengah Jawa Timur dan dilintasi Jalan Arteri Primer
Surabaya–Madiun dan Jalan Kolektor Primer Malang–Babat. Adapun batasbatas
wilayah Kabupaten Jombang adalah:
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lamongan
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Malang dan Kabupaten
Kediri
Gambar 5. Peta wilayah Kabupaten Jombang
29
Secara geografis, Kabupaten Jombang terbentang pada 1120 03’ 46,57”
sampai 1120 27’ 21,26” Bujur Timur dan berada di sebelah selatan garis
Khatulistiwa yaitu pada 07 0 20’ 37 dan 07 0 46’ 45” Lintang Selatan dan dengan
luas wilayah 1.159,50 km2 atau sekitar 2,4 % luas wilayah Propinsi Jawa Timur.
Ibukota Kabupaten Jombang terletak pada ketinggian ± 44 m di atas permukaan
laut.
Secara administrasi, Kabupaten Jombang terbagi menjadi 21 kecamatan
yang terdiri dari 302 desa dan 4 kelurahan serta meliputi 1.258 dusun. Ditinjau
dari komposisi jumlah desa/kelurahan, Kecamatan Sumobito memiliki jumlah
desa terbanyak yaitu 21 desa. Namun bila ditinjau dari luas wilayah, terdapat 3
Kecamatan yang memiliki wilayah terluas, yaitu Kecamatan Wonosalam dengan
luas 121,63 km2, Kecamatan Plandaan dengan luas 120,40 km2 dan Kecamatan
Kabuh dengan luas 97,35 km2.
Secara topografis, Kabupaten Jombang dibagi menjadi tiga sub area, yaitu :
1. Kawasan Utara, bagian pegunungan kapur muda Kendeng yang sebagian
besar mempunyai fisiologi mendatar dan sebagian besar berbukit,
meliputi Kecamatan Plandaan, Kabuh, Ploso, Kudu dan Ngusikan.
2. Kawasan Tengah, sebelah selatan sungai Brantas, sebagian besar
merupakan tanah pertanian yang cocok bagi tanaman padi dan palawija
karena irigasinya cukup bagus, meliputi Kecamatan Bandar Kedung
Mulyo, Perak, Gudo, Diwek, Mojoagung, Sumobito, Jogoroto, Peterongan,
Jombang, Megaluh, Tembelang, dan Kesamben.
3. Kawasan Selatan, merupakan tanah pegunungan, cocok untuk tanaman
perkebunan, meliputi Kecamatan Ngoro, Bareng, Mojowarno dan
Wonosalam.
30
b. Keadaan Demografi
Proyeksi penduduk Kabupaten Jombang berdasar sensus BPS Propinsi
Jawa Timur tahun 2010 untuk tahun 2016 adalah 1.247.303 jiwa, dengan 368.211
rumah tangga/KK atau rata-rata 3,39 jiwa per rumah tangga. Luas wilayah
kabupaten Jombang 1.159 km², sehingga tingkat kepadatan penduduk mencapai
1.076/ km². Tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Jombang
sebesar 3647 jiwa/ km² sedangkan yang terendah adalah di Kecamatan
Wonosalam sebesar 268 jiwa/ km².
Rasio jenis kelamin di Kabupaten Jombang pada tahun 2016 adalah 98.96
artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki.
Berdasarkan komposisi penduduk, kelompok umur remaja (15 – 19 tahun)
mendominasi persentase jumlah penduduk (8,39%) dan persentase kelompok
umur bayi (<1 tahun) merupakan yang terkecil (1,62%). Jumlah penduduk laki-
laki 620.307 dan jumlah penduduk perempuan 626.881.
Menurut data yang diperoleh dari Indeks Pembangunan Manusia,
Bappeda Kabupaten Jombang diketahui angka melek huruf kabupaten Jombang
tahun 2016 pada penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 97,81%. Kondisi ini
menurun dibanding tahun 2015 dimana angka melek huruf. Kabupaten Jombang
adalah 99,53%. Capaian tersebut berada dalam kategori tingkat atas. Sedangkan
angka partisipasi sekolah 73,77% dengan pendidikan tertinggi yang ditamatkan
paling banyak adalah diploma.
Jumlah penduduk Kabupaten Jombang 607.856 atau sekitar 48,73%.
Struktur ekonomi Kabupaten Jombang bertumpu pada empat sektor utama,
yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan
sektor jasa. Sektor pertanian masih menunjukkan dominasinya sebagai sektor
terbesar dalam perekonomian Kabupaten Jombang, disusul perdagangan dan
reparasi serta industri pengolahan yang merupakan penyumbang tertinggi kedua
dan ketiga. Sektor-sektor tersebut sangat dominan di Kabupaten Jombang
karena jumlah dari ketiganya mencapai 64,3% dari total Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). Sedangkan jumlah keempat belas sektor lainnya hanya
mampu menyumbang 35,7% dari total PDRB.
31
c. Situasi Derajat Kesehatan
Angka kesakitan penduduk diperoleh dari data yang berasal dari
masyarakat (Community Based Data) melalui studi morbiditas dan hasil
pengumpulan data baik dari Dinas Kesehatan yang bersumber dari Puskesmas
maupun dari sarana pelayanan kesehatan (Facility Based Data) melalui sistem
pencatatan dan pelaporan. Berdasarkan laporan dari Puskesmas diketahui bahwa
penyakit yang paling banyak diderita masyarakat di Kabupaten Jombang tahun
2016 meliputi penyakit infeksi dan degeneratif.
Tabel A-3. Data 10 Penyakit Terbanyak di Kabupaten Jombang Tahun 2016
No ICD X Jenis Penyakit Jumlah Persentase terhadap Total Penderita
1 J00 Nasofaringitis akut (common cold) 62.754 20,16 2 J06 Infeksi akut pernafasan atas lainnya 40.738 13,09 3 I10 Hipertensi 35.130 11,29 4 M79 Gangguan jaringan ikat, otot, sinovium,
tendon dan jaringan lunak lainnya 17.125 5,50
5 E14 Diabetes Mellitus 16.490 5,30 6 K29 Gastritis, tidak ditentukan 16.316 5,24 7 K31 Penyakit oesophagus, lambung dan usus
dua belas jari 14.769 4,75
8 M25 Penyakit sendi 14.520 4,67 9 J06.9 ISPA bagian atas, tidak ditentukan 11.459 3,68 10 L30 Dermatitis dan eksem 10.774 3.46
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten Jombang Tahun 2016
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit hipertensi termasuk
penyakit tidak menular (PTM) masuk dalam 3 besar sepuluh penyakit terbanyak
yang ditemukan dan dilayani di Puskesmas. Selain hipertensi, PTM yang masuk
sepuluh penyakit terbanyak adalah Diabetes Melitus dan penyakit sendi.
d. Kecamatan Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil dua kecamatan sebagai lokasi penelitian yaitu
kecamatan Perak dan Kecamatan Diwek. Kecamatan Perak memiliki luas wilayah
29,05 km2 atau 2,51% dari total wilayah Kab. Jombang, memiliki 13 desa dan 36
dusun. Jumlah penduduk kecamatan Perak sebanyak 55.223 dan laju
pertumbuhan penduduk 1,75%. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 26.341 dan
32
perempuan 26.882. Desa yang dijadikan lokasi penelitian adalah desa Kepuh
Kajang.
Sedangkan Kecamatan Diwek memiliki luas wilayah 47,70 km2 atau
4,11%, memiliki 20 desa dan 100 dusun. Jumlah penduduk Kecamatan Diwek
sebanyak 107.800 dan laju pertumbuhan penduduk 2,74%. Jumlah penduduk
laki-laki sebanyak 54.378 dan perempuan 53.442. Desa yang menjadi lokasi
penelitian adalah desa Cukir dan desa Ngudirejo.
A3. Kabupaten Tojo Una-una
a. Keadaan Geografis Touna
Kabupaten Tojo Una-Una adalah salah satu dari 13 Kabupaten/Kota di
Provinsi Sulawesi Tengah. Ibu kota kabupaten ini terletak di Ampana. Semula
kabupaten ini masuk dalam wilayah Kabupaten Poso, pada tanggal 18 Desember
2003 berdasarkan UU No. 32 Tahun 2003 Kabupaten ini berdiri sendiri.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 5.726 km² dan berpenduduk sebanyak
99.866 jiwa.
Gambar 6. Peta wilayah Kabupaten Tojo Una-Una
Kabupaten Tojo Una-Una memiliki batas bagian utara dengan provinsi
Gorontalo, bagian selatan berbatasan dengan kabupaten Morowali, bagian timur
33
berbatasan dengan kabupaten Banggai dan bagian barat berbatasan dengan
kabupaten Poso. Luas wilayah Kabupaten Tojo Una-Una sebesar 9.292,36 km2,
yang terdiri dari luas wilayah daratan 5.721,51 km2, dan wilayah lautan seluas
3.570,83 km2. Sebagian besar merupakan kawasan pegunungan dan perbukitan,
ketinggian wilayah 500 m dpl. Kabupaten Tojo Una-Una memiliki 12 kecamatan,
terdiri dari 6 kecamatan wilayah daratan dan 6 kecamatan di kepulauan.
Kecamatan yang berada di wilayah daratan yaitu Ampana Kota, Ampana Tete,
Ratolindo, Ulubongka, Tojo dan Tojo Barat. Sedangkan kecamatan yang di
kepulauan adalah Una-una, Togean, Batudaka, Walea Kepulauan, Talatako dan
Walea Besar.
Gambar 7. Luas wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una
b. Keadaan Demografi
Jumlah total penduduk sebanyak 149.214 jiwa, penduduk laki-laki 76.315
jiwa dan perempuan 72.899 jiwa. Jumlah penduduk yang bekerja sebanyak
70.974 jiwa, laki-lako bekerja sebanyak 45.397 jiwa dan perempuan 25.577 jiwa.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Tojo Una-Una adalah 26 jiwa/km2,
dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga 4 orang. Kepadatan
penduduk di 12 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk
34
tertinggi di kecamatan Ratolindo dengan kepadatan sebesar 413 jiwa/km2 dan
terendah di kecamatan Ulubongka dengan kepadatan sebesar 10 jiwa/km2.
Gambar 8. Piramid penduduk Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2016
Jumlah penduduk berumur di atas 15 tahun yang bekerja dengan status
pekerjaan di Kabupaten Tojo Una-Una menurut jenis kelamin dapat dilihat di
table 1.
Tabel A-4. Jumlah Penduduk di Atas 15 Tahun yang Bekerja menurut Jenis Kelamin.
Status Pekerjaan Utama Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
Berusaha sendiri 6.351 2.702 9.053
Berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak di bayar
14.399 4.216 18.615
Berusaha dibantu buruh tetap/buruh di bayar
2.274 317 2.591
Buruh/karyawan/pegawai 12.504 7.504 20.008
Pekerja Bebas 4.782 1.451 6.233
Pekerja keluarga/tidak di bayar 5.087 9.387 14.474
Sumber : Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus
Pendidikan tertinggi yang ditamatkan dibedakan menurut angkatan kerja
penduduk Kabupaten Tojo Una-Una dapat dilihat pada table 2 di bawah.
35
Tabel A-5. Jumlah Pendidikan Tertinggi yag Ditamatkan Penduduk menurut Angkatan
Kerja.
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Angkatan Kerja Bukan Angkatan
Kerja Bekerja Pengangguran
Terbuka
Tidak/belum pernah sekolah 492 0 208
Tidak/belum tamat SD 9.799 0 4.436
Tamat Sekolah Dasar (SD) 28.279 498 10.974
Tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
12.122 366 9.331
Tamat Sekolah Menengah Atas (SMA)
8.915 791 2.422
Tamat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
3.245 536 934
Diploma I/II/III/Akademi 4.055 229 228
Universitas 4.067 248 463 Sumber : Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus
Sarana kesehatan yang ada di Kabupaten Tojo Una-Una, terdiri dari
fasilitas pelayanan puskesmas, rumah sakit, dan UKBM (upaya kesehatan
bersumberdaya masyarakat). Puskesmas di wilayah Kabupaten Tojo Una-Una ada
13 Puskesmas yang berada di 12 kecamatan. Puskesmas di wilayah daratan
sebanyak 8 puskesmas dan 5 puskesmas di wilayah kepulauan/laut.
Tabel A-6. Jenis Sarana Kesehatan Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2016
No Jenis Sarana Kesehatan Jumlah
1 Rumah Sakit 2
2 Puskesmas Rawat Inap 6
3 Puskesmas non Rawat Inap 7
4 Balai Pengobatan/klinik 2
5 Praktek Dokter Bersama 1
6 Praktek Dokter Perorangan 10
7 Unit Transfusi Darah 1
8 Apotek 13
9 Toko Obat 5
10 Posyandu 191
11 Poskesdes 68
12 Posbindu 61
13 Desa Siaga Aktif 70
Sumber: Seksi Data, Informasi, Evaluasi dan Litbang Tahun 2015
36
Jumlah tenaga kesehatan di puskesmas wilayah Kabupaten Tojo Una-Una
belum memenuhi syarat tenaga kesehatan berdasarkan Permenkes RI No. 75
tahun 2014 yang menyatakan tenaga dokter untuk puskesmas kawasan
pedesaan non rawat inap untuk tenaga dokter layanan primer minimal 1 orang
dan dokter gigi satu orang tidak terpenuhi hampir di semua puskemas.
Tabel A-7. Jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2016
No Unit Kerja Tenga Kesehatan
Dokter Perawat Bidan Farmasi
1 Puskesmas Matako 0 15 12 0
2 Puskesmas Tombiano 0 12 9 1
3 Puskesmas Uekuli 1 20 18 1
4 Puskesmas Marowo 1 31 19 0
5 Puskesmas Ampana Barat 1 13 17 2
6 Puskesmas Ampana Timur 4 10 21 2
7 Puskesmas Tete 2 19 13 2
8 Puskesmas Dataran Bulan 0 15 11 0
9 Puskesmas Wakai 1 22 19 1
10 Puskesmas Lebiti 2 14 14 1
11 Puskesmas Popolii 0 16 13 1
12 Puskesmas Dolong 0 10 14 0
13 Puskesmas Pasokan 0 9 11 0
14 Rumah Sakit RSUD Ampana 23 193 38 29
15 Rumah Sakit Wakai 2 59 16 3
c. Situasi Derajat Kesehatan
Angka kesakitan penduduk didapat dari data yang berasal dari sarana
pelayanan kesehatan yang di peroleh melalui sistem pencatatan dan pelaporan
data pasien rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas diperoleh gambaran/pola
sepuluh penyakit terbanyak. ISPA menempati rangking pertama, kemudian
gastritis dan yang terendah penyakit lain pada saluran pernafasan atas.
Tabel A-8. Jumlah kasus 10 penyakit terbanyak di Kabupaten Tojo Una-Una
No Jenis Penyakit Jumlah Kasus
1 Infeksi akut lain pada saluran pernafasan atas 21.633
2 Gastritis 9.196
3 Penyakit pada sistem otot dan jaringan penyekat 9.075
4 Penyakit tekanan darah tinggi 8.273
5 Anemia defisiensi besi pada anak 5.239
6 Penyakit kulit energi 4.860
7 Hypotensi 4.462
37
8 Influensa 4.099
9 Diare (termasuk tersangka kolera) 3.200
10 Penyakit lain pada saluran pernafasan atas 2.885
Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Tojo Una-Una 2016
B. Hasil Validitas dan Reliabilitas Instrumen MINI
B.1. Validitas Instrumen MINI
Penilaian validitas dilakukan dengan cara menghitung sensitivitas,
spesifisitas, positif predictive value, negative predictive value, false positive dan
true positive penilaian enumerator dibandingkan dengan pemeriksaan/
wawancara psikiatrik oleh psikiater sebagai gold standart. Secara ringkas
diuraikan sebagai berikut :
1. penilaian oleh enumerator dengan menggunakan kuesioner depresi
MINI dibandingkan dengan wawancara psikiatrik.
2. penilaian oleh enumerator dengan menggunakan kuesioner cemas
MINI dibandingkan dengan wawancara psikiatrik.
3. penilaian oleh enumerator dengan menggunakan kuesioner psikosis
MINI dibandingkan dengan wawancara psikiatrik.
4. penilaian oleh enumerator dengan menggunakan kuesioner SRQ-20
dibandingkan dengan wawancara psikiatrik.
Kegiatan validasi dilaksanakan di tiga wilayah kabupaten/kota, yaitu Kota
Bogor, Kabupaten Jombang, dan Kabupaten Tojo Una-una. Untuk kepentingan
penelitian, dilakukan kerjasama dengan Rumah Sakit untuk mendapatkan
sebagian sampel validasi. Diantaranya RS Marzoeki Mahdi (Kota Bogor), RSUD
Kabupaten Jombang, dan RSUD Kabupaten Tojo Una-Una. Dan sebagian sampel
juga diperoleh dari penduduk masyarakat yang berasal dari tempat tinggal
(kecamatan) yang sama dari responden RS. Karakteristik sampel yang berasal
dari daftar RS diupayakan sama dengan karakteristik sampel dari mayarakat
umum, dalam hal jenis kelamin dan usia. Sampel validasi dianalisis secara total
keseluruhan dari tiga wilayah.
38
Kegiatan validasi didahului dengan tahapan penyamaan persepsi dan inter-
rater tenaga psikiater. Tenaga psikiater sebagai gold standar dalam penelitian ini
berasal dari tiga wilayah penelitian. Kegiatan inter-rater dengan menilai sejumlah
30 video kasus psikiatrik. Dari penilaian sejumlah kasus tersebut, diperoleh angka
kesepakaatan antar psikiater yaitu Kappa sebesar 0,92.
Selain psikiater , juga dilatih tenaga enumerator dengan latar belakang D3
Keperawatan yang akan menggunakan Instrumen MINI untuk mewawancara
responden. Pelatihan dipandu langsung oleh tenaga psikiater narasumber di
masing-masing wilayah. Jumlah tenaga enumerator untuk validasi di tiga wilayah
adalah 28 orang.
Secara keseluruhan di tiga wilayah penelitian, jumlah responden yang
terlibat dalam validasi berjumlah 1.013, dengan sebaran di Kota Bogor sejumlah
418 responden, Kabupaten Jombang sejumlah 289 responden, dan di kabupaten
Tojo Una-Una sejumlah 306 responden. Lebih banyak responden perempuan
(61,8%) yang dapat terlibat dalam penelitian validasi dibandingkan responden
laki-laki (38,2%).
Grafik 1. Persentase Responden Validasi berdasarkan jenis kelamin
Berdasarkan kelompok umur, hampir merata di semua kelompok umur,
kecuali pada kelompok usia 15 - 19 tahun, yaaitu hanya sejumlah 5%. Hal ini
39
diantaranya disebabkan usia tersebut adalah usia anak sekolah ataupun kuliah.
Terdapat kesulitan untuk mendapatkan responden pada usia tersebut.
Grafik 2. Persentase Responden Validasi berdasarkan kelompok umur
Dalam pelaksanaan validasi, setiap responden diwawancara dengan
instrumen MINI oleh enumerator, kemudian dilanjutkan dengan wawancara
psikiatrik oleh psikiater. Dari wawancara psikiatrik, psikiater akan menetapkan
diagnosis bagi setiap responden, yang hasilnya, bisa lebih dari satu diagnosis
untuk setiap responden. Demikian juga hasil wawancara dengan Instrumen MINI,
akan dihasilkan kesimpulan untuk setiap kondisi responden, dapat berupa lebih
dari satu kondisi kejiwaan. untuk instrumen MINI, disebut kondisi depresi jika
ada minimal 2 jawaban “ya” pada pertanyaan 1-3, dan minimal 2 jawaban “ya”
pada pertanyaan 4-10. Kategori Cemas jika jawaban pertanyaan nomor 1 adalah
“ya” dan minimal 4 jawaban “ya” dari pertanyaan 2-23, namun harus ada
minimal 1 jawaban “ya” pada pertanyaan 2-5. Dan masuk kategori psikosis jika
minimal satu jawaban “ya” pada pertanyaan 1-7.
40
Tabel B-1. Jumlah responden studi validasi berdasarkan hasil wawancara klinis dan
instrumen MINI
Diagnosis Hasil wawancara klinis (N=1.013)
Hasil Instrumen MINI(N=1.013)
Depresi 117(11,55%) 243(23,99%)
Cemas 132(13,03%) 264(26,06%)
Psikosis 251(24,78%) 335(33,07%)
Dari keseluruhan responden validasi, sebagian besar adalah penderita
psikosis, baik berdasarkan wawancara psikiatrik maupun hasil instrumen MINI.
Tabel B-2. Hasil Uji Validitas Instrumen MINI terhadap hasil wawancara psikiatrik untuk
kasus depresi, cemas, dan psikotik
Instrumen MINI - Depresi MINI - Cemas MINI-Psikosis
Gold Standar Depresi Klinis Cemas Klinis Psikosis Klinis
True Positif 71 kasus 91 kasus 168 kasus
True Negative 724 kasus 708 kasus 644 kasus
False Positive 172 kasus 173 kasus 167 kasus
False Negative 46 kasus 41 kasus 34 kasus
Sensitivitas 60,68% 68,94% 79,28%
Spesifisitas 80,8% 80,36% 82,15%
Prediktif Positif 29,22% 34,47% 59,4%
Prediktif Negatif 94,02% 94,53% 92,33%
Untuk menilai validitas instrumen MINI, maka dianalisis dari hasil diagnosis
psikiater (wawancara psikiatrik) dengan hasil kesimpulan jawaban dari instrumen
MINI. Deteksi gangguan depresi menggunakan instrumen MINI memiliki
sensitivitas 60,68%. Artinya bahwa probabilitas alat ukur MINI memberikan hasil
positif jika alat ukur MINI ini diterapkan pada orang-orang yang sesungguhnya
memang depresi menurut psikiater adalah sebesar 60,68%. Dan spesifisitas
instrumen MINI untuk depresi adalah 80,8%. Artinya probabilitas instrumen MINI
memberikan hasil negatif jika digunakan pada orang-orang yang memang tidak
menderita depresi menurut psikiater adalah sebesar 80,8%. Nilai Prediktif Positif
(Postive Predictive Value/ PPV) instrumen MINI depresi adalah 29,22%. Artinya
bahwa probabilitas seseorang yang menurut instrumen MINI masuk kategori
depresi, maka akan benar-benar depresi menurut psikiater sebesar 29,22%. Dan
nilai Prediktif Negatif (Negative Predictive Value/ NPV) instrumen MINI untuk
41
depresi adalah 94,02%. Artinya bahwa probabilitas seseorang yang menurut
instrumen MINI masuk kategori tidak depresi, maka akan benar-benar tidak
depresi menurut psikiater sebesar 94,02%.
Deteksi gangguan cemas menggunakan instrumen MINI memiliki
sensitivitas 68,94%. Artinya bahwa probabilitas alat ukur MINI memberikan hasil
positif jika alat ukur MINI ini diterapkan pada orang-orang yang sesungguhnya
memang cemas menurut psikiater adalah sebesar 68,94%. Dan spesifisitas
instrumen MINI untuk cemas adalah 80,36%. Artinya probabilitas instrumen
MINI memberikan hasil negatif jika digunakan pada orang-orang yang memang
tidak menderita cemas menurut psikiater adalah sebesar 80,36%. Nilai Prediktif
Positif (Postive Predictive Value/ PPV) instrumen MINI cemas adalah 34,47%.
Artinya bahwa probabilitas seseorang yang menurut instrumen MINI masuk
kategori cemas, maka akan benar-benar cemas menurut psikiater sebesar
34,47%. Dan nilai Prediktif Negatif (Negative Predictive Value/ NPV) instrumen
MINI untuk cemas adalah 94,53%. Artinya bahwa probabilitas seseorang yang
menurut instrumen MINI masuk kategori tidak cemas, maka akan benar-benar
tidak cemas menurut psikiater sebesar 94,53%.
Deteksi gangguan psikotik menggunakan instrumen MINI memiliki
sensitivitas 79,28%. Artinya bahwa probabilitas alat ukur MINI memberikan hasil
positif jika alat ukur MINI ini diterapkan pada orang-orang yang sesungguhnya
memang psikotik menurut psikiater adalah sebesar 79,28%. Dan spesifisitas
instrumen MINI untuk psikotik adalah 82,15%. Artinya probabilitas instrumen
MINI memberikan hasil negatif jika digunakan pada orang-orang yang memang
tidak menderita psikotik menurut psikiater adalah sebesar 82,15%. Nilai Prediktif
Positif (Postive Predictive Value/ PPV) instrumen MINI psikotik adalah 59,4%.
Artinya bahwa probabilitas seseorang yang menurut instrumen MINI masuk
kategori psikotik, maka akan benar-benar psikotik menurut psikiater sebesar
59,4%. Dan nilai Prediktif Negatif (Negative Predictive Value/ NPV) instrumen
MINI untuk psikotik adalah 92,33%. Artinya bahwa probabilitas seseorang yang
42
menurut instrumen MINI masuk kategori tidak psikotik, maka akan benar-benar
tidak psikotik menurut psikiater sebesar 92,33%.
B.2. Validitas SRQ-20
Sebagai pembanding instrumen MINI, maka dalam penelitian ini juga
dilakukan penilaian validitas alat ukur SRQ yang sudah digunakan dalam survei
kesehatan jiwa berbasis pospulasi, terhadap wawancara psikiatrik. Hasilnya
sebagai berikut :
Tabel B-3. Validitas SRQ terhadap hasil wawancara psikiatrik untuk kasus gangguan mental emosional
Instrumen SRQ-20 SRQ-20
Gold Standar Depresi Klinis Cemas Klinis
True Positive 84 kasus 91 kasus
True Negative 639 kasus 631 kasus
False Positive 257 kasus 250 kasus
False Negative 33 kasus 41 kasus
Sensitivitas 71,79% 68,94%
Spesifisitas 71,31% 71,62%
Prediktif Positif 24,63% 26,68%
Prediktif Negatif 95,09% 93,89%
Deteksi gangguan depresi menggunakan instrumen SRQ memiliki
sensitivitas 71,79%. Artinya bahwa probabilitas alat ukur SRQ memberikan hasil
positif jika alat ukur SRQ ini diterapkan pada orang-orang yang sesungguhnya
memang depresi menurut psikiater adalah sebesar 71,79%. Dan spesifisitas
instrumen SRQ untuk depresi adalah 71,31%. Artinya probabilitas instrumen SRQ
memberikan hasil negatif jika digunakan pada orang-orang yang memang tidak
menderita depresi menurut psikiater adalah sebesar 71,31%. Nilai Prediktif
Positif (Postive Predictive Value/ PPV) instrumen SRQ depresi adalah 24,63%.
Artinya bahwa probabilitas seseorang yang menurut instrumen SRQ masuk
kategori depresi, maka akan benar-benar depresi menurut psikiater sebesar
24,63%. Dan nilai Prediktif Negatif (Negative Predictive Value/ NPV) instrumen
SRQ untuk depresi adalah 95,09%. Artinya bahwa probabilitas seseorang yang
menurut instrumen SRQ masuk kategori tidak depresi, maka akan benar-benar
tidak depresi menurut psikiater sebesar 95,09%.
43
Deteksi gangguan cemas menggunakan instrumen SRQ memiliki
sensitivitas 68,94%. Artinya bahwa probabilitas alat ukur SRQ memberikan hasil
positif jika alat ukur SRQ ini diterapkan pada orang-orang yang sesungguhnya
memang cemas menurut psikiater adalah sebesar 68,94%. Dan spesifisitas
instrumen SRQ untuk cemas adalah 71,62%. Artinya probabilitas instrumen SRQ
memberikan hasil negatif jika digunakan pada orang-orang yang memang tidak
menderita cemas menurut psikiater adalah sebesar 71,62%. Nilai Prediktif Positif
(Postive Predictive Value/ PPV) instrumen SRQ cemas adalah 26,68%. Artinya
bahwa probabilitas seseorang yang menurut instrumen SRQ masuk kategori
cemas, maka akan benar-benar cemas menurut psikiater sebesar 26,68%. Dan
nilai Prediktif Negatif (Negative Predictive Value/ NPV) instrumen SRQ untuk
cemas adalah 93,89%. Artinya bahwa probabilitas seseorang yang menurut
instrumen SRQ masuk kategori tidak cemas, maka akan benar-benar tidak cemas
menurut psikiater sebesar 93,89%.
B.3 Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk memastikan kesepakatan diantara penilai
(rater) yang ukut serta dalam penelitian ini.
Terdapat 2 penilaian reliabilitas pada penelitian ini yaitu
1. penilaian reliabilitas diantara psikiater
2. penilaian reliabilitas diantara enumerator
Untuk menilai reliabilitas diantara psikiater digunakan inter rater
reliability test berupa Kappa Fleiss. Dari penilaian terhadap 30 kasus video
tersebut, diperoleh angka kesepakatan antar psikiater yaitu Kappa sebesar 0,92.
Dalam penelitian ini juga dilakukan penilaian reliabilitas instrumen MINI
dan SRQ, yaitu untuk menilai sejauh mana pengukuran menggunakan instrumen
MINI dan SRQ ini pada seseorang dalam kondisi yang berbeda akan
memeberikan kesimpulan hasil yang sama. Metode yang digunakan dalam
reliabilitas ini adalah dengan melakukan pengamatan dua kali oleh dua
obeserver (enumerator) yang berbeda pada responden yang sama. Jeda waktu
44
yang digunakan untuk reliabilitas adalah 1-3 hari. Penilaian reliabilitas instrumen
ini dilakukan dua tahap. Pada tahap pertama (reliabilitas I) dilakukan beriringan
dengan proses validasi dengan psikiater. Namun karena hasil reliabilitas yang
dianggap masih perlu ditingkatkan, maka reliabilitas instrumen ini dilakukan
sekali lagi (reliabilitas II) setelah diadakan perbaikan dalam pelatihan
enumerator.
Tabel B-4. Penilaian reliabilitas instrumen MINI dan SRQ berdasarkan hasil uji Kappa
Instrumen Reliabilitas I Reliabilitas II
MINI-Depresi 0,472 0,222
MINI-Cemas 0,399 0,371
MINI-psikosis 0,577 0,324
SRQ 0,603 0,222
Berdasarkan hasil uji reliabilitas diperoleh nilai reliabilitas paling tinggi
pada reliabilitas pertama adalah untuk instrumen SRQ dan MINI-psikosis.
Sedangkan pada reliabilitas kedua, hasil Kappa tertinggi pada instrumen MINI-
cemas dan MINI-psikosis. Dari hasil tersebut terlihat bahwa setelah dilakukan
pelatihan enumerator kembali tidak meningkatkan nilai reliabilitas.
C. Proporsi dan Treatmentgap Gangguan Jiwa Cemas, Depresi dan Psikosis
C.1. Proporsi Tiga Wilayah
Survei untuk mendapatkan angka proporsi gangguan jiwa cemas, depresi
dan psikotik dilakukan di tiga wilayah, yaitu Kota Bogor (Jawa Barat), Kabupaten
Jombang (Jawa Timur) dan Kabupaten Tojo Una-una (Sulawesi Tengah). Sampel
responden diambil dari rumah tangga terpilih. Di Kota Bogor, sampel diambil dari
15 (lima belas) Rukun Tetangga dari tiga desa yang berbeda di tiga kecamatan
yang berbeda, yaitu Kecamatan Bogor Tengah, Bogor Timur, dan Tanah Sareal. Di
Kabupaten Jombang, sampel diambil dari 10 (sepuluh) Rukun Tetangga dari dua
desa yang berbeda di dua kecamatan yang berbeda, yaitu Kecamatan Diwek dan
Perak. Di Kabupaten Tojo Una-una, sampel diambil dari 15 (lima belas) Rukun
Tetangga dari tiga desa yang berbeda di tiga kecamatan yang berbeda, yaitu
Kecamatan Ampana Kota, Ampana Tete, dan Tojo Barat. Hasil survei untuk
45
proporsi dan treatmentgap disajikan dalam angka gabungan tiga wilayah dan
secara terinci per masing-masing wilayah.
Tabel C-1. Proporsi Kondisi gangguan jiwa cemas
Cemas Tidak cemas Total
n % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 44 5,0 840 95,0 884 100,0
Perempuan 102 7,9 1187 92,1 1289 100,0
Kelompok Umur (tahun)
15-24 16 4,3 354 95,7 370 100,0
25-34 24 5,4 419 94,6 443 100,0
35-44 33 6,7 461 93,3 494 100,0
45-54 37 8,6 393 91,4 430 100,0
55-64 26 10,2 230 89,8 256 100,0
65+ 10 5,6 170 94,4 180 100,0
Status Kawin
Belum Kawin 11 2,9 369 97,1 380 100,0
Kawin 114 7,2 1471 92,8 1585 100,0
Cerai Hidup 5 13,9 31 86,1 36 100,0
Cerai Mati 16 9,3 156 90,7 172 100,0
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah
6 7,3 76 92,7 82 100,0
Tidak tamat SD/MI 34 10,4 293 89,6 327 100,0
Tamat SD/MI 42 8,0 486 92,0 528 100,0
Tamat SLTP/MTS 31 6,4 456 93,6 487 100,0
Tamat SLTA/MA 27 4,3 595 95,7 622 100,0
Tamat D1/D2/D3/PT 6 4,7 121 95,3 127 100,0
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 3 5,1 56 94,9 59 100,0
Pegawai swasta 5 3,3 146 96,7 151 100,0
Wiraswasta 16 5,3 284 94,7 300 100,0
Petani 44 17,9 202 82,1 246 100,0
Buruh 8 3,3 237 96,7 245 100,0
Lainnya 16 5,2 293 94,8 309 100,0
Tidak kerja 54 6,3 809 93,7 863 100,0
Total 146 6,7 2027 93,3 2173 100,0
Dalam tabel C-1 terlihat bahwa dari 2173 responden terdapat proporsi
responden yang mengalami cemas sebesar 146 (6,7%) dan proporsi yang tidak
46
cemas ada 2027 (93,3%) Dari responden yang cemas tersebut terlihat bahwa
proporsi perempuan (7,9 %) lebih banyak daripada laki-laki (5%), Lebih banyak
pada kelompok umur 55-64 tahun (10,2%), lebih banyak pada status perkawinan
cerai hidup (13,9%), pendidikan tidak tamat SD (10,4%), dan pekerjaan sebagai
petani (17,9%).
Tabel C-2. Proporsi Kondisi gangguan jiwa depresi
Depresi Tidak depresi Total
n % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 64 7,2 820 92,8 884 100,0
Perempuan 120 9,3 1169 90,7 1289 100,0
Kelompok Umur (tahun)
15-24 23 6,2 347 93,8 370 100,0
25-34 19 4,3 424 95,7 443 100,0
35-44 43 8,7 451 91,3 494 100,0
45-54 40 9,3 390 90,7 430 100,0
55-64 40 15,6 216 84,4 256 100,0
65+ 19 10,6 161 89,4 180 100,0
Status Kawin
Belum Kawin 16 4,2 364 95,8 380 100,0
Kawin 144 9,1 1441 90,9 1585 100,0
Cerai Hidup 5 13,9 31 86,1 36 100,0
Cerai Mati 19 11,0 153 89,0 172 100,0
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah
9 11,0 73 89,0 82 100,0
Tidak tamat SD/MI 47 14,4 280 85,6 327 100,0
Tamat SD/MI 55 10,4 473 89,6 528 100,0
Tamat SLTP/MTS 30 6,2 457 93,8 487 100,0
Tamat SLTA/MA 37 5,9 585 94,1 622 100,0
Tamat D1/D2/D3/PT 6 4,7 121 95,3 127 100,0
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 6 10,2 53 89,8 59 100,0
Pegawai swasta 10 6,6 141 93,4 151 100,0
Wiraswasta 17 5,7 283 94,3 300 100,0
Petani 45 18,3 201 81,7 246 100,0
Buruh 14 5,7 231 94,3 245 100,0
Lainnya 22 7,1 287 92,9 309 100,0
Tidak kerja 70 8,1 793 91,9 863 100,0
Total 184 8,5 1989 91,5 2173 100,0
47
Dalam tabel C-2 terlihat bahwa dari 2173 responden terdapat proporsi
responden yang mengalami depresi sebesar 184 (8,5%) dan proporsi yang tidak
depresi ada 1989 (91,5%) Dari responden yang depresi tersebut terlihat bahwa
proporsi perempuan (9,3 %) lebih banyak daripada laki-laki (7,2%), Lebih banyak
pada kelompok umur 55-64 tahun (15,6%), lebih banyak pada status perkawinan
cerai hidup (13,9%), pendidikan tidak tamat SD (14,4%), dan pekerjaan sebagai
petani (18,3%).
Tabel C-3. Proporsi kondisi gangguan jiwa psikotik
Karakteristik Psikotik Tidak psikotik Total
n % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 65 7,4 819 92,6 884 100,0
Perempuan 90 7,0 1199 93,0 1289 100,0
Kelompok Umur (tahun)
15-24 38 10,3 332 89,7 370 100,0
25-34 39 8,8 404 91,2 443 100,0
35-44 30 6,1 464 93,9 494 100,0
45-54 20 4,7 410 95,3 430 100,0
55-64 20 7,8 236 92,2 256 100,0
65+ 8 4,4 172 95,6 180 100,0
Status Kawin
Belum Kawin 38 10,0 342 90,0 380 100,0
Kawin 108 6,8 1477 93,2 1585 100,0
Cerai Hidup 4 11,1 32 88,9 36 100,0
Cerai Mati 5 2,9 167 97,1 172 100,0
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah
8 9,8 74 90,2 82 100,0
Tidak tamat SD/MI 16 4,9 311 95,1 327 100,0
Tamat SD/MI 28 5,3 500 94,7 528 100,0
Tamat SLTP/MTS 35 7,2 452 92,8 487 100,0
Tamat SLTA/MA 64 10,3 558 89,7 622 100,0
Tamat D1/D2/D3/PT 4 3,1 123 96,9 127 100,0
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 3 5,1 56 94,9 59 100,0
Pegawai swasta 17 11,3 134 88,7 151 100,0
Wiraswasta 22 7,3 278 92,7 300 100,0
Petani 8 3,3 238 96,7 246 100,0
Buruh 14 5,7 231 94,3 245 100,0
Lainnya 25 8,1 284 91,9 309 100,0
Tidak kerja 66 7,6 797 92,4 863 100,0
Total 155 7,1 2018 92,9 2173 100,0
48
Dalam tabel C-3 terlihat bahwa dari 2173 responden terdapat proporsi
responden yang mengalami psikotik sebesar 155 (7,1 %) dan proporsi yang tidak
psikotik ada 2018 (92,9%) Dari responden yang psikotik tersebut terlihat
bahwa proporsi laki-laki (7,4 %) lebih besar sedikit daripada perempuan (7,0%),
Lebih banyak pada kelompok umur 15-24 tahun (10,3%), lebih banyak pada
status perkawinan cerai hidup (11,1%), pendidikan tamat SLTA (10,3%), dan
pekerjaan sebagai pegawai swasta(11,3%).
Tabel C-4. Proporsi Kondisi Normal (tidak cemas, tidak depresi, tidak psikotik)
Normal Tidak Normal
Total
n % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 757 85,6 127 14,4 884 100,0
Perempuan 1069 82,9 220 17,1 1289 100,0
Kelompok Umur (tahun)
15-24 309 83,5 61 16,5 370 100,0
25-34 385 86,9 58 13,1 443 100,0
35-44 423 85,6 71 14,4 494 100,0
45-54 358 83,3 72 16,7 430 100,0
55-64 196 76,6 60 23,4 256 100,0
65+ 155 86,1 25 13,9 180 100,0
Status Kawin
Belum Kawin 328 86,3 52 13,7 380 100,0
Kawin 1325 83,6 260 16,4 1585 100,0
Cerai Hidup 26 72,2 10 27,8 36 100,0
Cerai Mati 147 85,5 25 14,5 172 100,0
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 67 81,7 15 18,3 82 100,0
Tidak tamat SD/MI 262 80,1 65 19,9 327 100,0
Tamat SD/MI 442 83,7 86 16,3 528 100,0
Tamat SLTP/MTS 414 85,0 73 15,0 487 100,0
Tamat SLTA/MA 526 84,6 96 15,4 622 100,0
Tamat D1/D2/D3/PT 115 90,6 12 9,4 127 100,0
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 51 86,4 8 13,6 59 100,0
Pegawai swasta 127 84,1 24 15,9 151 100,0
Wiraswasta 265 88,3 35 11,7 300 100,0
Petani 179 72,8 67 27,2 246 100,0
Buruh 219 89,4 26 10,6 245 100,0
Lainnya 263 85,1 46 14,9 309 100,0
49
Tidak kerja 722 83,7 141 16,3 863 100,0
Total 1826 84,0 347 16,0 2173 100,0
Dalam tabel C-4 terlihat bahwa dari 2173 responden terdapat proporsi
responden yang kondisi normal sebesar 1826 (84,0 %) dan proporsi yang tidak
tidak normal ada 347 (16,0%) Dari responden yang normal tersebut terlihat
bahwa proporsi laki-laki (85,6 %) lebih besar sedikit daripada perempuan
(82,9%), hampir merata pada semua kelompok umur dengan lebih banyak
sedikit pada kelompok umur 25-34 tahun (86,9%), hampir merata pada semua
status perkawinan dengan lebih banyak pada status perkawinan belum kawin
(86,3%), hampir merata pada semua tingkat pendidikan dengan tingkat
pendidikan tamat pendidikan tinggi lebih banyak (90,6%), dan juga merata pada
semua jenis pekerjaan denganlebih banyak sedikit pada pekerjaan sebagai
pegawai buruh (89,4%).
Tabel C-5. Proporsi Kondisi Depresi di masa lalu (seumur hidup)
Karakteristik Depresi Tidak Depresi
Total
n % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 43 4,9 841 95,1 884 100,0
Perempuan 92 7,1 1197 92,9 1289 100,0
Kelompok Umur (tahun)
15-24 20 5,4 350 94,6 370 100,0
25-34 21 4,7 422 95,3 443 100,0
35-44 35 7,1 459 92,9 494 100,0
45-54 26 6,0 404 94,0 430 100,0
55-64 26 10,2 230 89,8 256 100,0
65+ 7 3,9 173 96,1 180 100,0
Status Kawin
Belum Kawin 18 4,7 362 95,3 380 100,0
Kawin 94 5,9 1491 94,1 1585 100,0
Cerai Hidup 4 11,1 32 88,9 36 100,0
Cerai Mati 19 11,0 153 89,0 172 100,0
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 10 12,2 72 87,8 82 100,0
Tidak tamat SD/MI 33 10,1 294 89,9 327 100,0
Tamat SD/MI 27 5,1 501 94,9 528 100,0
Tamat SLTP/MTS 27 5,5 460 94,5 487 100,0
Tamat SLTA/MA 35 5,6 587 94,4 622 100,0
Tamat D1/D2/D3/PT 3 2,4 124 97,6 127 100,0
Pekerjaan
50
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 4 6,8 55 93,2 59 100,0
Pegawai swasta 8 5,3 143 94,7 151 100,0
Wiraswasta 18 6,0 282 94,0 300 100,0
Petani 14 5,7 232 94,3 246 100,0
Buruh 16 6,5 229 93,5 245 100,0
Lainnya 14 4,5 295 95,5 309 100,0
Tidak kerja 61 7,1 802 92,9 863 100,0
Total 135 6,2 2038 93.8 2173 100,0
Dalam tabel C-5 terlihat bahwa dari 2173 responden terdapat proporsi
responden yang mengalami kondisi depresi di masa lalu sebesar 135 (6,2%) dan
proporsi yang tidak depresi ada 2038 (93,8%). Dari responden yang depresi
dimasa lalu tersebut terlihat bahwa proporsi perempuan (7,1 %) lebih banyak
daripada laki-laki (4,9%), Lebih banyak pada kelompok umur 55-64 tahun
(10,2%), lebih banyak pada status perkawinan cerai hidup (11,1%), pendidikan
tidak pernah sekolah (12,2%), dan pada yang tidak bekerja (7,1%).
Tabel C-6. Proporsi Kondisi gangguan mental emosional satu bulan terakhir
Karakteristik
GME Tidak GME Total
n % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 92 10,4 792 89,6 884 100,0
Perempuan 200 15,5 1089 84,5 1289 100,0
Kelompok Umur (tahun)
15-24 41 11,1 329 88,9 370 100,0
25-34 50 11,3 393 88,7 443 100,0
35-44 69 14,0 425 86,0 494 100,0
45-54 57 13,3 373 86,7 430 100,0
55-64 51 19,9 205 80,1 256 100,0
65+ 24 13,3 156 86,7 180 100,0
Status Kawin
Belum Kawin 33 8,7 347 91,3 380 100,0
Kawin 215 13,6 1370 86,4 1585 100,0
Cerai Hidup 12 33,3 24 66,7 36 100,0
Cerai Mati 32 18,6 140 81,4 172 100,0
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 18 22,0 64 78,0 82 100,0
Tidak tamat SD/MI 74 22,6 253 77,4 327 100,0
Tamat SD/MI 76 14,4 452 85,6 528 100,0
Tamat SLTP/MTS 54 11,1 433 88,9 487 100,0
Tamat SLTA/MA 61 9,8 561 90,2 622 100,0
Tamat D1/D2/D3/PT 9 7,1 118 92,9 127 100,0
Pekerjaan
51
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 6 10,2 53 89,8 59 100,0
Pegawai swasta 16 10,6 135 89,4 151 100,0
Wiraswasta 35 11,7 265 88,3 300 100,0
Petani 54 22,0 192 78,0 246 100,0
Buruh 23 9,4 222 90,6 245 100,0
Lainnya 31 10,0 278 90,0 309 100,0
Tidak kerja 127 14,7 736 85,3 863 100,0
Total 292 13,4 1881 86,6 2173 100,0
Dalam tabel C-6 terlihat bahwa dari 2173 responden terdapat proporsi
responden yang mengalami gangguan mental emosional (GME) satu bulan
terakhir sebesar 292 (13,4%) dan proporsi yang tidak GME ada 1881 (86,6%).
Dari responden yang mengalami GME tersebut terlihat bahwa proporsi
perempuan (15,5 %) lebih banyak daripada laki-laki (10,4%), Lebih banyak
pada kelompok umur 55-64 tahun (19,9%), lebih banyak pada status perkawinan
cerai hidup (33,3%), pendidikan tidak tamat SD (22,6%), dan pada pekerjaan
sebagai petani (22,0%).
Tabel C-7. Proporsi Pengalaman menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap mati berdasarkan karakteristik (N=2173)
Pernah berniat
Pernah membuat rencana
Pernah melakukan percobaan
n % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 30 3,4 7 0,8 4 0,5
Perempuan 49 3,8 12 0,9 11 0,9
Kelompok Umur (tahun)
15-24 12 3,2 2 0,5 1 0,3
25-34 19 4,3 5 1,1 5 1,1
35-44 23 4,7 8 1,6 6 1,2
45-54 13 3,0 0 0,0 0 0,0
55-64 9 3,5 2 0,8 2 0,8
65+ 3 1,7 2 1,1 1 0,6
Status Kawin
Belum Kawin 9 2,4 3 0,8 2 0,5
Kawin 62 3,9 13 0,8 11 0,7
Cerai Hidup 1 2,8 1 2,8 1 2,8
Cerai Mati 7 4,1 2 1,2 1 0,6
Tingkat Pendidikan
52
Tidak/ belum pernah sekolah 5 6,1 1 1,2 1 1,2
Tidak tamat SD/MI 20 6,1 3 0,9 1 0,3
Tamat SD/MI 16 3,0 3 0,6 3 0,6
Tamat SLTP/MTS 15 3,1 4 0,8 2 0,4
Tamat SLTA/MA 22 3,5 7 1,1 7 1,1
Tamat D1/D2/D3/PT 1 0,8 1 0,8 1 0,8
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Pegawai swasta 8 5,3 1 0,7 0 0,0
Wiraswasta 11 3,7 3 1,0 3 1,0
Petani 13 5,3 4 1,6 2 0,8
Buruh 6 2,4 1 0,4 1 0,4
Lainnya 7 2,3 3 1,0 2 0,6
Tidak kerja 34 3,9 7 0,8 7 0,8
Total 79 3,6 19 0,9 15 0,7
Dalam tabel C-7 terlihat bahwa dari 79 responden yang pernah berniat
bunuh diri terdapat proporsi perempuan (3,8 %) lebih banyak sedikit dari pada
laki-laki (3,4%), Lebih banyak pada kelompok umur 35-44 tahun (4,7%), lebih
banyak pada status perkawinan cerai mati (4,1%), pendidikan yang belum pernah
sekolah dan tidak tamat SD (6,1%), dan pada pekerjaan sebagai pegawai swasta
dan petani (5,3%). Dari 19 responden yang pernah membuat rencana bunuh diri
terdapat proporsi perempuan (0,9 %) hampir sama dengan proporsi laki-laki
(0,8%), Lebih banyak pada kelompok umur 35-44 tahun (1,6%), lebih banyak
pada status perkawinan cerai hidup (2,8%), pendidikan yang belum pernah
sekolah (1,2%) dan pada pekerjaan sebagai petani (1,6%). Dari 15 responden
yang pernah melakukan percobaan bunuh diri terdapat proporsi perempuan (0,9
%) lebih banyak dari pada proporsi laki-laki (0,5%), Lebih banyak pada
kelompok umur 35-44 tahun (1,2%), lebih banyak pada status perkawinan cerai
hidup (2,8%), pendidikan yang belum pernah sekolah (1,2%) dan pada pekerjaan
sebagai wiraswasta (1,0%)
Tabel C-8. Proporsi Pengobatan medis saat ini
Cemas depresi Psikotik
n= 146 % n = 184 % n = 111
%
Mencari pengobatan medis
53
Tidak 93 63,7% 122 66,3% 93 83,8%
Ya 53 36,3% 62 33,7% 18 16,2%
Fasilitas yang dikunjungi
Puskesmas/klinik/praktik dokter 8 15,1% 46 74,2% 7 38,9%
RSU 39 73,6% 15 24,2% 8 44,4%
RS Jiwa 0 0,0% 1 1,6% 6 33,3%
Lainnya 47 88,7% 9 14,5% 3 16,7%
Tabel C-8 menunjukkan sejumlah 36,3 % penderita cemas yang meng-
akses pelayanan kesehatan dan sejumlah 33,7 % penderita depresi melakukan
hal yang sama. Dengan demikian, treatmentgap pada gangguan cemas secara
keseluruhan adalah 63,7% dan 66,3% pada gangguan depresi. Sebagian besar
responden cemas, mereka menuju RSU (73,6%) serta fasilitas lainnya seperti
praktik bidan (88,7%) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sedangkan
responden yang mengalami depresi, sebagian besar mengakses
Puskesmas/klinik/praktik dokter untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
(74,2%).
Sampel untuk angka treatmentgap psikotik tidak lengkap. Ada sejumlah
44 responden yang missing pada pertanyaan treatmentgap psikotik. Sehingga
jumlah sampel hanya 111, yang seharusnya adalah 155. Treatment gap pada
sampel yang menderita psikotik sebesar 83,8%. Sebagian besar responden yang
mengakses pelayanan kesehatan , menuju RSU (44,4%), menuju
Puskesmas/klinik/praktik dokter (38,9%) dan menuju RS Jiwa (33,3%).
Tabel C-9. Proporsi Alasan tidak berobat
Alasan tidak berobat
Cemas Depresi Psikotik
n = 93 % n = 122 % n = 93 %
Ketidaknyamanan saat berobat 6 6,5% 12 9,8% 5 5,4%
Kesulitan transportasi 10 10,8% 17 13,9% 7 7,5%
Merasa tidak perlu berobat 63 67,7% 94 77,0% 62 66,7%
Bukan penyakit medis 42 45,2% 54 44,3% 62 66,7%
Dapat diobati secara tradisional 9 9,7% 12 9,8% 8 8,6%
Merasa takut/malu 13 14,0% 14 11,5% 12 12,9%
Tidak tahu ada layanan keswa 14 15,1% 30 24,6% 8 8,6%
Lainnya 13 14,0% 18 14,8% 19 20,4%
54
Pada responden yang mengalami gangguan cemas maupun depresi
namun tidak mengakses pelayanan kesehatan, memiliki alasan paling banyak
adalah merasa tidak perlu berobat (67,7% pada cemas dan 77,0% pada depresi)
dan menganggap bahwa gejala yang dialami bukan merupakan penyakit medis
(45,2% pada gangguan cemas dan 44,3% pada gangguan depresi). Hal yang sama
juga terjadi pada responden dengan gejala psikotik, memiliki alasan merasa tidak
perlu berobat (66,7%) dan menganggap bahwa gejala yang dialami bukan
merupakan penyakit medis (66,7%).
C.2. Kota Bogor
Dalam penelitian kesehatan jiwa di komunitas, Kota Bogor terpilih 731
responden dalam penelitian ini. Responden tersebar di Kecamatan Bogor
Tengah, Bogor Timur, dan Tanah Sareal.
Tabel C-10. Proporsi Kondisi gangguan jiwa cemas di Kota Bogor tahun 2017
Cemas
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 261 94,9% 14 5,1% 275 100,0%
Perempuan 432 94,7% 24 5,3% 456 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 125 96,2% 5 3,8% 130 100,0%
25-34 156 91,2% 15 8,8% 171 100,0%
35-44 165 95,4% 8 4,6% 173 100,0%
45-54 132 96,4% 5 3,6% 137 100,0%
55-64 79 94,0% 5 6,0% 84 100,0%
65+ 36 100,0% 0 0,0% 36 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 107 96,4% 4 3,6% 111 100,0%
Kawin 544 94,8% 30 5,2% 574 100,0%
Cerai Hidup 9 90,0% 1 10,0% 10 100,0%
Cerai Mati 33 91,7% 3 8,3% 36 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 42 93,3% 3 6,7% 45 100,0%
Tidak tamat SD/MI 113 95,0% 6 5,0% 119 100,0%
Tamat SD/MI 156 95,1% 8 4,9% 164 100,0%
Tamat SLTP/MTS 153 93,3% 11 6,7% 164 100,0%
Tamat SLTA/MA 199 95,2% 10 4,8% 209 100,0%
55
Tamat Diploma/Sarjana 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 12 100,0% 0 0,0% 12 100,0%
Pegawai swasta 68 97,1% 2 2,9% 70 100,0%
Wiraswasta 110 93,2% 8 6,8% 118 100,0%
Petani 5 71,4% 2 28,6% 7 100,0%
Buruh 99 97,1% 3 2,9% 102 100,0%
Lainnya 36 94,7% 2 5,3% 38 100,0%
Tidak kerja 363 94,5% 21 5,5% 384 100,0%
Total 693 94,8% 38 5,2% 731 100,0%
Jumlah responden cemas sebanyak 38 orang (5,2%). Tidak ada bedanya
laki dan perempuan. Paling banyak pada kelompok umur 25-34 tahun.
Responden cerai hidup, tidak pernah sekolah, pekerjaan sebagai petani (Lihat
Tabel C-10)
Tabel C-11. Proporsi Kondisi gangguan jiwa depresi di Kota Bogor tahun 2017
Depresi
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 250 90,9% 25 9,1% 275 100,0%
Perempuan 419 91,9% 37 8,1% 456 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 118 90,8% 12 9,2% 130 100,0%
25-34 161 94,2% 10 5,8% 171 100,0%
35-44 161 93,1% 12 6,9% 173 100,0%
45-54 124 90,5% 13 9,5% 137 100,0%
55-64 72 85,7% 12 14,3% 84 100,0%
65+ 33 91,7% 3 8,3% 36 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 102 91,9% 9 8,1% 111 100,0%
Kawin 524 91,3% 50 8,7% 574 100,0%
Cerai Hidup 10 100,0% 0 0,0% 10 100,0%
Cerai Mati 33 91,7% 3 8,3% 36 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 39 86,7% 6 13,3% 45 100,0%
Tidak tamat SD/MI 105 88,2% 14 11,8% 119 100,0%
Tamat SD/MI 150 91,5% 14 8,5% 164 100,0%
Tamat SLTP/MTS 153 93,3% 11 6,7% 164 100,0%
Tamat SLTA/MA 193 92,3% 16 7,7% 209 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 29 96,7% 1 3,3% 30 100,0%
Pekerjaan
56
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 12 100,0% 0 0,0% 12 100,0%
Pegawai swasta 65 92,9% 5 7,1% 70 100,0%
Wiraswasta 108 91,5% 10 8,5% 118 100,0%
Petani 6 85,7% 1 14,3% 7 100,0%
Buruh 95 93,1% 7 6,9% 102 100,0%
Lainnya 31 81,6% 7 18,4% 38 100,0%
Tidak kerja 352 91,7% 32 8,3% 384 100,0%
Total 669 91,5% 62 8,5% 731 100,0%
Pada tabel C-11 menunjukkan responden depresi sebanyak 62 orang
(8,5%). Depresi lebih tinggi pada laki-laki, pada kelompok umur 55-64 tahun,
status kawin, tidak pernah sekolah, dengan pekerjaan sebagai petani.
Tabel C-12. Proporsi Kondisi gangguan jiwa psikotik di Kota Bogor tahun 2017
Psikotik
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 236 85,8% 39 14,2% 275 100,0%
Perempuan 398 87,3% 58 12,7% 456 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 101 77,7% 29 22,3% 130 100,0%
25-34 142 83,0% 29 17,0% 171 100,0%
35-44 158 91,3% 15 8,7% 173 100,0%
45-54 128 93,4% 9 6,6% 137 100,0%
55-64 71 84,5% 13 15,5% 84 100,0%
65+ 34 94,4% 2 5,6% 36 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 85 76,6% 26 23,4% 111 100,0%
Kawin 507 88,3% 67 11,7% 574 100,0%
Cerai Hidup 8 80,0% 2 20,0% 10 100,0%
Cerai Mati 34 94,4% 2 5,6% 36 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 39 86,7% 6 13,3% 45 100,0%
Tidak tamat SD/MI 111 93,3% 8 6,7% 119 100,0%
Tamat SD/MI 147 89,6% 17 10,4% 164 100,0%
Tamat SLTP/MTS 139 84,8% 25 15,2% 164 100,0%
Tamat SLTA/MA 169 80,9% 40 19,1% 209 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 29 96,7% 1 3,3% 30 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 11 91,7% 1 8,3% 12 100,0%
Pegawai swasta 61 87,1% 9 12,9% 70 100,0%
Wiraswasta 106 89,8% 12 10,2% 118 100,0%
Petani 7 100,0% 0 0,0% 7 100,0%
57
Buruh 90 88,2% 12 11,8% 102 100,0%
Lainnya 28 73,7% 10 26,3% 38 100,0%
Tidak kerja 331 86,2% 53 13,8% 384 100,0%
Total 634 86,7% 97 13,3% 731 100,0%
Responden dengan psikotik sebanyak 97 orang (13,3%). Pada laki-laki
lebih banyak dibandingkan perempuan. Responden psikotik paling banyak pada
kelompok umur 15-24 tahun, satu dari 5 responden kelompok umur 15-24 tahun
dengan psikotik, diikuti dengan kelompok umur 25-34 tahun. Sebagian besar
responden psikotik belum kawin (23,4%). Menurut pendidikan yang paling tinggi
dengan pendidikan tamat SLTA (19,1%) dengan pekerjaan lain-lain.
Tabel C-13. Proporsi Kondisi depresi masa lalu di Kota Bogor tahun 2017
Riwayat gangguan depresi
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 248 90,2% 27 9,8% 275 100,0%
Perempuan 408 89,5% 48 10,5% 456 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 119 91,5% 11 8,5% 130 100,0%
25-34 155 90,6% 16 9,4% 171 100,0%
35-44 154 89,0% 19 11,0% 173 100,0%
45-54 125 91,2% 12 8,8% 137 100,0%
55-64 72 85,7% 12 14,3% 84 100,0%
65+ 31 86,1% 5 13,9% 36 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 100 90,1% 11 9,9% 111 100,0%
Kawin 520 90,6% 54 9,4% 574 100,0%
Cerai Hidup 8 80,0% 2 20,0% 10 100,0%
Cerai Mati 28 77,8% 8 22,2% 36 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 37 82,2% 8 17,8% 45 100,0%
Tidak tamat SD/MI 101 84,9% 18 15,1% 119 100,0%
Tamat SD/MI 149 90,9% 15 9,1% 164 100,0%
Tamat SLTP/MTS 150 91,5% 14 8,5% 164 100,0%
Tamat SLTA/MA 190 90,9% 19 9,1% 209 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 29 96,7% 1 3,3% 30 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 12 100,0% 0 0,0% 12 100,0%
Pegawai swasta 66 94,3% 4 5,7% 70 100,0%
58
Wiraswasta 106 89,8% 12 10,2% 118 100,0%
Petani 4 57,1% 3 42,9% 7 100,0%
Buruh 92 90,2% 10 9,8% 102 100,0%
Lainnya 33 86,8% 5 13,2% 38 100,0%
Tidak kerja 343 89,3% 41 10,7% 384 100,0%
Total 656 89,7% 75 10,3% 731 100,0%
Dalam tabel C-13. terlihat bahwa dari 713 responden terdapat proporsi
responden yang mengalami kondisi depresi di masa lalu sebesar 75 (10,3%) dan
proporsi yang tidak depresi ada 656 (89,7%). Dari responden yang depresi
dimasa lalu tersebut terlihat bahwa proporsi perempuan (10,5%) lebih banyak
daripada laki-laki (9,8%), Lebih banyak pada kelompok umur 55-64 tahun
(14,3%), lebih banyak pada status perkawinan cerai mati (22,2%), pendidikan
tidak pernah sekolah (17,8%), dan pada kelompok petani (42,9%).
Tabel C-14. Proporsi Kondisi normal di Kota Bogor tahun 2017
Normal
Total Normal Tidak Normal
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 220 80,0% 55 20,0% 275 100,0%
Perempuan 369 80,9% 87 19,1% 456 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 96 73,8% 34 26,2% 130 100,0%
25-34 135 78,9% 36 21,1% 171 100,0%
35-44 151 87,3% 22 12,7% 173 100,0%
45-54 114 83,2% 23 16,8% 137 100,0%
55-64 61 72,6% 23 27,4% 84 100,0%
65+ 32 88,9% 4 11,1% 36 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 82 73,9% 29 26,1% 111 100,0%
Kawin 468 81,5% 106 18,5% 574 100,0%
Cerai Hidup 8 80,0% 2 20,0% 10 100,0%
Cerai Mati 31 86,1% 5 13,9% 36 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 36 80,0% 9 20,0% 45 100,0%
Tidak tamat SD/MI 98 82,4% 21 17,6% 119 100,0%
Tamat SD/MI 136 82,9% 28 17,1% 164 100,0%
Tamat SLTP/MTS 131 79,9% 33 20,1% 164 100,0%
Tamat SLTA/MA 160 76,6% 49 23,4% 209 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 28 93,3% 2 6,7% 30 100,0%
Pekerjaan
59
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 11 91,7% 1 8,3% 12 100,0%
Pegawai swasta 57 81,4% 13 18,6% 70 100,0%
Wiraswasta 99 83,9% 19 16,1% 118 100,0%
Petani 5 71,4% 2 28,6% 7 100,0%
Buruh 87 85,3% 15 14,7% 102 100,0%
Lainnya 24 63,2% 14 36,8% 38 100,0%
Tidak kerja 306 79,7% 78 20,3% 384 100,0%
Total 589 80,6% 142 19,4% 731 100,0%
Dalam tabel C-14 terlihat bahwa secara keseluruhan di Kota Bogor,
proporsi responden normal (tidak menderita cemas, depresi atau psikotik)
adalah 80,6% dan proporsi yang tidak normal (mengalami gangguan jiwa cemas,
depresi atau psikotik) adalah 19,4%. Responden tidak normal, dengan proporsi
pada kelompok laki-laki sebesar 20%, dan pada perempuan 19,1%. Gangguan
jiwa sebagian besar terjadi pada kelompok responden usia 55-64 tahun (27%)
dan usia 15-24 tahun (26,2%). Gangguan jiwa lebih banyak terjadi pada
responden dengan status perkawinan belum kawin (26,1%), hampir merata pada
semua tingkat pendidikan, kecuali yang sedikit pada kelompok tamat
diploma/sarjana (6,7%). Proporsi gangguan jiwa lebih tinggi pada kelompok
responden dengan pekerjaan kategori lainnya, misal tukang parkir, ojeg.
Tabel C-15. Proporsi Kondisi gangguan mental emosional satu bulan terakhir di Kota
Bogor, tahun 2017
Gangguan mental emosional
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 221 80,4% 54 19,6% 275 100,0%
Perempuan 368 80,7% 88 19,3% 456 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 100 76,9% 30 23,1% 130 100,0%
25-34 139 81,3% 32 18,7% 171 100,0%
35-44 147 85,0% 26 15,0% 173 100,0%
45-54 111 81,0% 26 19,0% 137 100,0%
55-64 63 75,0% 21 25,0% 84 100,0%
65+ 29 80,6% 7 19,4% 36 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 90 81,1% 21 18,9% 111 100,0%
Kawin 467 81,4% 107 18,6% 574 100,0%
60
Cerai Hidup 6 60,0% 4 40,0% 10 100,0%
Cerai Mati 26 72,2% 10 27,8% 36 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah
31 68,9% 14 31,1% 45 100,0%
Tidak tamat SD/MI 88 73,9% 31 26,1% 119 100,0%
Tamat SD/MI 136 82,9% 28 17,1% 164 100,0%
Tamat SLTP/MTS 133 81,1% 31 18,9% 164 100,0%
Tamat SLTA/MA 175 83,7% 34 16,3% 209 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 26 86,7% 4 13,3% 30 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD
11 91,7% 1 8,3% 12 100,0%
Pegawai swasta 58 82,9% 12 17,1% 70 100,0%
Wiraswasta 92 78,0% 26 22,0% 118 100,0%
Petani 3 42,9% 4 57,1% 7 100,0%
Buruh 86 84,3% 16 15,7% 102 100,0%
Lainnya 32 84,2% 6 15,8% 38 100,0%
Tidak kerja 307 79,9% 77 20,1% 384 100,0%
Total 589 80,6% 142 19,4% 731 100,0%
Tabel C-15. menunjukkan proporsi gangguan mental emosional satu
bulan terakhir. Proporsi responden dengan gangguan mental emosional
sebanyak 19,4 persen. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. 1
dari 4 responden kelompok umur 55-64 tahun berada dalam kondisi gangguan
mental emosional. Paling banyak ditemukan pada responden dengan status
cerai hidup, tingkat pendidikan belum pernah sekolah (31,1%), dan bekerja
sebagai petani (57,1%).
Tabel C-16. Proporsi Pengobatan medis saat ini pada gangguan jiwa di Kota Bogor, Tahun 2017
Mencari pengobatan medis Cemas Depresi Psikotik
n = 38 % n = 62 % n = 69 %
Tidak 24 63,2% 45 72,6% 62 89,9%
Ya 14 36,8% 17 27,4% 7 10,1%
Fasilitas yang dikunjungi
Puskesmas/klinik/praktik dokter
13 92,9% 16 94,1% 4 57,1%
RSU 4 28,6% 4 23,5% 2 28,6%
RS Jiwa 0 0% 0 0% 3 42,9%
Lainnya 1 7,1% 1 5,9% 1 14,3%
61
Tabel C-16 menunjukkan sejumlah36,8 % penderita cemas yang meng-
akses pelayanan kesehatan dan sejumlah 27,4% penderita depresi melakukan hal
yang sama. Dengan demikian, treatmentgap pada responden gangguan cemas di
Kota Bogor adalah 63,2% dan 72,6% pada gangguan depresi. Sebagian besar
responden cemas, mereka menuju Puskesmas/klinik/praktik dokter (92,9%)
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Demikian juga responden yang
mengalami depresi, sebagian besar mengakses Puskesmas/klinik/praktik dokter
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (94,1%). Pada responden yang
mengalami gangguan psikotik, hanya 10,1% yang mengakses pelayanan
kesehatan, atau terjadi treatmentgap sebesar 89,9%. Pada responden psikotik
yang mengakses layanan kesehatan, semua layanan dikunjungi, puskesmas
(57,1%), RS Jiwa (42,9%), RSU (28,6%) dan tempat lain seperti praktik bidan
(14,3%).
Tabel C-17. Proporsi Alasan tidak berobat pada gangguan jiwa di Kota Bogor, Tahun 2017
Alasan tidak berobat Cemas Depresi Psikotik
n = 24 % n = 45 % n = 62 %
Ketidaknyamanan saat berobat 6 25,0% 10 22,2% 4 6,5%
Kesulitan transportasi 2 8,3% 7 15,6% 5 8,1%
Merasa tidak perlu berobat 17 70,8% 35 77,8% 41 66,1%
Bukan penyakit medis 11 45,8% 28 62,2% 46 74,2%
Dapat diobati secara tradisional 5 20,8% 8 17,8% 6 9,7%
Merasa takut/malu 5 20,8% 10 22,2% 8 12,9%
Tidak tahu ada layanan keswa 4 16,7% 14 31,1% 5 8,1%
Lainnya 5 20,8% 13 28,9% 18 29,0%
Pada responden Kota Bogor, yang mengalami gangguan cemas maupun
depresi namun tidak mengakses pelayanan kesehatan, memiliki alasan paling
banyak adalah merasa tidak perlu berobat (70,8% pada cemas dan 77,8% pada
62
depresi) dan menganggap bahwa gejala yang dialami bukan merupakan penyakit
medis (45,8% pada gangguan cemas dan 62,2% pada gangguan depresi). Begitu
juga pada responden psikosis, tidak berobat dengan alasan merasa tidak perlu
berobat (66,1%) dan menganggap bahwa gejala yang dialami bukan merupakan
penyakit medis (74,2%).
Tabel C-18. Proporsi Pengalaman menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap
mati berdasarkan karakteristik (N=731)
Pernah
berniat
Pernah
membuat
rencana
Pernah
melakukan
percobaan
n % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 21 7,6 3 1,1 2 0,7
Perempuan 32 7,0 5 1,1 5 1,1
Kelompok Umur (tahun)
15-24 11 8,5 2 1,5 1 0,8
25-34 18 10,5 3 1,8 3 11,8
35-44 12 6,9 3 1,7 3 1,7
45-54 8 5,8 0 0 0 0
55-64 3 3,6 0 0 0 0
65-74 1 3,3 0 0 0 0
75+ 0 0 0 0 0 0
Status Kawin
Belum Kawin 9 8,1 2 1,8 2 1,8
Kawin 42 7,3 6 1,0 5 0,9
Cerai Hidup 0 0 0 0 0 0
Cerai Mati 2 5,6 0 0 0 0
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah
4 8,9 0 0 1 2,2
Tidak tamat SD/MI 11 9,2 1 0,8 1 0,8
Tamat SD/MI 9 5,5 1 0,6 1 0,6
Tamat SLTP/MTS 10 6,1 1 0,6 1 0
Tamat SLTA/MA 19 9,1 5 2,4 4 1,9
Tamat D1/D2/D3 0 0 0 0 0 0
Tamat PT 0 0 0 0 0 0
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BU 0 0 0 0 0 0
63
MD
Pegawai swasta 7 10 1 1,4 0 0
Wiraswasta 9 7,6 2 1,7 3 2,5
Petani 3 42,9 0 0 0 0
Buruh 5 4,9 1 1,0 1 1,0
Lainnya 1 2,6 0 0 0 0
Tidak kerja 28 7,3 4 1,0 3 0,8
Total 53 7,3 8 1,1 7 1
Dalam tabel C.18. terlihat bahwa dari 53 responden yang pernah berniat
bunuh diri terdapat proporsi laki-laki (7,6%) sedikit lebih banyak dari pada laki-
laki (7,0%), Lebih banyak pada kelompok umur 25-34 tahun (10,5%), lebih
banyak pada kelompok belum kawin (8,1%), pendidikan yang tidak tamat SD
(9,2%), Tamat SLTA/MA (9,1%), dan juga Tidak/ belum pernah sekolah (8,9%).
Dan pada pekerjaan sebagai pegawai swasta dan petani (42,9%).
Dari 8 responden yang pernah membuat rencana bunuh diri terdapat
proporsi yang sama antara perempuan dan laaki-laki (1,1 %) , haampir merata
pada kelompok umur 15-24 tahun, 25-34 tahun, dan 35-44 tahun, lebih banyak
pada kelompok belum kawin (1,8%), pendidikan yang Tamat SLTA/MA (2,4%) dan
pada pekerjaan sebagai wiraswasta (1,7%).
Dari 7 responden yang pernah melakukan percobaan bunuh diri terdapat
proporsi perempuan (1,1 %) lebih banyak dari pada proporsi laki-laki (0,7%),
Lebih banyak pada kelompok umur 25-34 tahun (11,8%), lebih banyak pada
kelompok belum kawin (1,8%), pendidikan yang Tamat SLTA/MA (1,9%) dan pada
pekerjaan sebagai wiraswasta (2,5%)
C.3. Kabupaten Jombang
Dalam penelitian kesehatan jiwa di komunitas, Kota Bogor terpilih 724
responden dalam penelitian ini. Responden tersebar di Kecamatan Diwek dan
Kecamatan Perak.
Tabel C-19. Proporsi Kondisi gangguan jiwa cemas di Kabupaten Jombang, Tahun 2017
Cemas
Total Tidak Ya
64
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 286 99,0% 3 1,0% 289 100,0%
Perempuan 413 94,9% 22 5,1% 435 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 77 96,3% 3 3,8% 80 100,0%
25-34 145 98,0% 3 2,0% 148 100,0%
35-44 144 98,0% 3 2,0% 147 100,0%
45-54 136 93,8% 9 6,2% 145 100,0%
55-64 96 95,0% 5 5,0% 101 100,0%
65+ 101 98,1% 2 1,9% 103 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 103 98,1% 2 1,9% 105 100,0%
Kawin 502 96,2% 20 3,8% 522 100,0%
Cerai Hidup 6 85,7% 1 14,3% 7 100,0%
Cerai Mati 88 97,8% 2 2,2% 90 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 26 96,3% 1 3,7% 27 100,0%
Tidak tamat SD/MI 91 92,9% 7 7,1% 98 100,0%
Tamat SD/MI 147 97,4% 4 2,6% 151 100,0%
Tamat SLTP/MTS 156 96,3% 6 3,7% 162 100,0%
Tamat SLTA/MA 240 97,6% 6 2,4% 246 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 39 97,5% 1 2,5% 40 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 10 90,9% 1 9,1% 11 100,0%
Pegawai swasta 65 97,0% 2 3,0% 67 100,0%
Wiraswasta 115 98,3% 2 1,7% 117 100,0%
Petani 21 100,0% 0 0,0% 21 100,0%
Buruh 125 96,2% 5 3,8% 130 100,0%
Lainnya 132 97,8% 3 2,2% 135 100,0%
Tidak kerja 231 95,1% 12 4,9% 243 100,0%
Total 699 96,5% 25 3,5% 724 100,0%
Dengan menggunakan kuesioner MINI, kondisi gangguan kesehatan jiwa
saat ini akan digambarkan. Pada tabel C.19. menunjukkan proporsi cemas di
Kabupaten Jombang lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Proporsi cemas perbedaannya cukup besar yakni dengan range 4,1%.
Proporsi cemas, berdasarkan kelompok umur tertinggi ada pada umur 45-
54 tahun (6,2%). Berdasarkan status kawin, proporsi cemas, lebih besar pada
kelompok cerai hidup dibandingkan status kawin, belum kawin dan cerai mati.
Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan yang telah dicapai, proporsi
terbesar untuk cemas ada pada mereka yang berpendidikan ‘tidak tamat SD/MI’
65
dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Berdasarkan jenis pekerjaan,
pekerjaan PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD merupakan kelompok yang memiliki
proporsi tertinggi untuk cemas, dibandingkan kelompok jenis pekerjaan lainnya.
Tabel C-20 Proporsi Kondisi gangguan jiwa depresi di Kabupaten Jombang, Tahun 2017
Depresi
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 282 97,6% 7 2,4% 289 100,0%
Perempuan 415 95,4% 20 4,6% 435 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 76 95,0% 4 5,0% 80 100,0%
25-34 147 99,3% 1 0,7% 148 100,0%
35-44 141 95,9% 6 4,1% 147 100,0%
45-54 139 95,9% 6 4,1% 145 100,0%
55-64 93 92,1% 8 7,9% 101 100,0%
65+ 101 98,1% 2 1,9% 103 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 101 96,2% 4 3,8% 105 100,0%
Kawin 506 96,9% 16 3,1% 522 100,0%
Cerai Hidup 6 85,7% 1 14,3% 7 100,0%
Cerai Mati 84 93,3% 6 6,7% 90 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 26 96,3% 1 3,7% 27 100,0%
Tidak tamat SD/MI 89 90,8% 9 9,2% 98 100,0%
Tamat SD/MI 149 98,7% 2 1,3% 151 100,0%
Tamat SLTP/MTS 154 95,1% 8 4,9% 162 100,0%
Tamat SLTA/MA 239 97,2% 7 2,8% 246 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 40 100,0% 0 0,0% 40 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 8 72,7% 3 27,3% 11 100,0%
Pegawai swasta 64 95,5% 3 4,5% 67 100,0%
Wiraswasta 115 98,3% 2 1,7% 117 100,0%
Petani 21 100,0% 0 0,0% 21 100,0%
Buruh 124 95,4% 6 4,6% 130 100,0%
Lainnya 133 98,5% 2 1,5% 135 100,0%
Tidak kerja 232 95,5% 11 4,5% 243 100,0%
Total 697 96,3% 27 3,7% 724 100,0%
66
Pada tabel C.20. menunjukkan proporsi depresi di Kabupaten Jombang
lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki. Proporsi depresi,
berdasarkan kelompok umur tertinggi ada pada umur 55-64 tahun (6,2%), yang
disusul kelompok 15-24 tahun (5%). Berdasarkan status kawin, proporsi depresi,
lebih besar pada kelompok cerai hidup dibandingkan status kawin, belum kawin
dan cerai mati.
Jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan yang telah dicapai, proporsi
terbesar untuk depresi ada pada responden yang berpendidikan ‘tidak tamat
SD/MI’ dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Berdasarkan jenis pekerjaan,
pekerjaan PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD merupakan kelompok yang memiliki
proporsi tertinggi untuk depresi, dibandingkan kelompok jenis pekerjaan lainnya,
dengan angka proporsi 27,3%.
Tabel C-21Proporsi Kondisi gangguan jiwa psikotik di Kabupaten Jombang, Tahun 2017
Psikotik
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 272 94,1% 17 5,9% 289 100,0%
Perempuan 414 95,2% 21 4,8% 435 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 72 90,0% 8 10,0% 80 100,0%
25-34 141 95,3% 7 4,7% 148 100,0%
35-44 140 95,2% 7 4,8% 147 100,0%
45-54 135 93,1% 10 6,9% 145 100,0%
55-64 97 96,0% 4 4,0% 101 100,0%
65+ 101 98,1% 2 1,9% 103 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 94 89,5% 11 10,5% 105 100,0%
Kawin 498 95,4% 24 4,6% 522 100,0%
Cerai Hidup 6 85,7% 1 14,3% 7 100,0%
Cerai Mati 88 97,8% 2 2,2% 90 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 25 92,6% 2 7,4% 27 100,0%
Tidak tamat SD/MI 93 94,9% 5 5,1% 98 100,0%
Tamat SD/MI 148 98,0% 3 2,0% 151 100,0%
Tamat SLTP/MTS 153 94,4% 9 5,6% 162 100,0%
Tamat SLTA/MA 229 93,1% 17 6,9% 246 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 38 95,0% 2 5,0% 40 100,0%
Pekerjaan
67
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 9 81,8% 2 18,2% 11 100,0%
Pegawai swasta 60 89,6% 7 10,4% 67 100,0%
Wiraswasta 108 92,3% 9 7,7% 117 100,0%
Petani 19 90,5% 2 9,5% 21 100,0%
Buruh 128 98,5% 2 1,5% 130 100,0%
Lainnya 130 96,3% 5 3,7% 135 100,0%
Tidak kerja 232 95,5% 11 4,5% 243 100,0%
Total 686 94,8% 38 5,2% 724 100,0%
Pada tabel C.21. diketahui bahwa proporsi psikotik pada responden
penelitian sedikit lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Untuk
proporsi psikotik, kelompok umur paling muda yakni 15-24 tahun yang memiliki
proporsi tertinggi yakni sebesar 10% dibandingkan kelompok umur yang lebih
tua. Berdasarkan status kawin, proporsi psikotik lebih besar pada kelompok cerai
hidup dibandingkan status kawin, belum kawin dan cerai mati. Jika dilihat
berdasarkan tingkat pendidikan yang telah dicapai, Proporsi tertinggi kejadian
psikotik pada mereka yang tidak/ belum pernah sekolah (7,4%), kemudian diikuti
mereka yang ‘tamat SLTA/MA’ (6,9%). Berdasarkan jenis pekerjaan, pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD merupakan kelompok yang memiliki proporsi
tertinggi untuk psikotik dibandingkan kelompok jenis pekerjaan lainnya.
Tabel C-22. Proporsi Kondisi depresi masa lalu di Kabupaten Jombang, Tahun 2017
Riwayat gangguan depresi
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 282 97,6% 7 2,4% 289 100,0%
Perempuan 410 94,3% 25 5,7% 435 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 74 92,5% 6 7,5% 80 100,0%
25-34 145 98,0% 3 2,0% 148 100,0%
35-44 139 94,6% 8 5,4% 147 100,0%
45-54 138 95,2% 7 4,8% 145 100,0%
55-64 94 93,1% 7 6,9% 101 100,0%
65+ 102 99,0% 1 1,0% 103 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 99 94,3% 6 5,7% 105 100,0%
Kawin 502 96,2% 20 3,8% 522 100,0%
Cerai Hidup 6 85,7% 1 14,3% 7 100,0%
68
Cerai Mati 85 94,4% 5 5,6% 90 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 25 92,6% 2 7,4% 27 100,0%
Tidak tamat SD/MI 91 92,9% 7 7,1% 98 100,0%
Tamat SD/MI 147 97,4% 4 2,6% 151 100,0%
Tamat SLTP/MTS 152 93,8% 10 6,2% 162 100,0%
Tamat SLTA/MA 237 96,3% 9 3,7% 246 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 40 100,0% 0 0,0% 40 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 9 81,8% 2 18,2% 11 100,0%
Pegawai swasta 65 97,0% 2 3,0% 67 100,0%
Wiraswasta 113 96,6% 4 3,4% 117 100,0%
Petani 21 100,0% 0 0,0% 21 100,0%
Buruh 125 96,2% 5 3,8% 130 100,0%
Lainnya 132 97,8% 3 2,2% 135 100,0%
Tidak kerja 227 93,4% 16 6,6% 243 100,0%
Total 692 95,6% 32 4,4% 724 100,0%
Dalam tabel C.22. terlihat bahwa dari 724 responden di Kabupaten
Jombang terdapat proporsi responden yang mengalami kondisi depresi di masa
lalu sebesar 32 (4,4%) dan proporsi yang tidak depresi ada 692 (95,6%). Dari
responden yang depresi dimasa lalu tersebut terlihat bahwa proporsi
perempuan (5,7%) lebih banyak daripada laki-laki (2,4%), Lebih banyak pada
kelompok umur 15-24 tahun (7,5%), lebih banyak pada status perkawinan cerai
hidup (14,3%), pendidikan tidak pernah sekolah (7,4%), dan pada kelompok
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (18,2%).
Tabel C-23Proporsi Kondisi gangguan mental emosional satu bulan terakhir di
Kabupaten Jombang, Tahun 2017
Gangguan mental emosional
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 282 97,6% 7 2,4% 289 100,0%
Perempuan 409 94,0% 26 6,0% 435 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 78 97,5% 2 2,5% 80 100,0%
25-34 142 95,9% 6 4,1% 148 100,0%
35-44 142 96,6% 5 3,4% 147 100,0%
45-54 136 93,8% 9 6,2% 145 100,0%
55-64 93 92,1% 8 7,9% 101 100,0%
69
65+ 100 97,1% 3 2,9% 103 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 101 96,2% 4 3,8% 105 100,0%
Kawin 503 96,4% 19 3,6% 522 100,0%
Cerai Hidup 5 71,4% 2 28,6% 7 100,0%
Cerai Mati 82 91,1% 8 8,9% 90 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 25 92,6% 2 7,4% 27 100,0%
Tidak tamat SD/MI 89 90,8% 9 9,2% 98 100,0%
Tamat SD/MI 145 96,0% 6 4,0% 151 100,0%
Tamat SLTP/MTS 154 95,1% 8 4,9% 162 100,0%
Tamat SLTA/MA 239 97,2% 7 2,8% 246 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 39 97,5% 1 2,5% 40 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 9 81,8% 2 18,2% 11 100,0%
Pegawai swasta 66 98,5% 1 1,5% 67 100,0%
Wiraswasta 114 97,4% 3 2,6% 117 100,0%
Petani 20 95,2% 1 4,8% 21 100,0%
Buruh 124 95,4% 6 4,6% 130 100,0%
Lainnya 129 95,6% 6 4,4% 135 100,0%
Tidak kerja 229 94,2% 14 5,8% 243 100,0%
Total 691 95,4% 33 4,6% 724 100,0%
Kondisi gangguan mental emosional berdasarkan instrumen SRQ akan
digambarkan berikut ini. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi tertinggi gangguan
mental emosional ada pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Proporsi tertinggi kondisi gangguan kesehatan emosional dalam satu
bulan terakhir pada kelompok umur 55-64 tahun, yang memiliki status cerai
hidup, pada tingkat pendidikan ‘tidak tamat SD/MI’, dan yang memiliki pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya.
Tabel C-24 Proporsi Kondisi normal di Kabupaten Jombang, Tahun 2017
Normal
Total Normal Tidak normal
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 265 91,7% 24 8,3% 289 100,0%
Perempuan 390 89,7% 45 10,3% 435 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 67 83,8% 13 16,3% 80 100,0%
25-34 139 93,9% 9 6,1% 148 100,0%
35-44 134 91,2% 13 8,8% 147 100,0%
70
45-54 126 86,9% 19 13,1% 145 100,0%
55-64 89 88,1% 12 11,9% 101 100,0%
65+ 100 97,1% 3 2,9% 103 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 90 85,7% 15 14,3% 105 100,0%
Kawin 477 91,4% 45 8,6% 522 100,0%
Cerai Hidup 5 71,4% 2 28,6% 7 100,0%
Cerai Mati 83 92,2% 7 7,8% 90 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 24 88,9% 3 11,1% 27 100,0%
Tidak tamat SD/MI 86 87,8% 12 12,2% 98 100,0%
Tamat SD/MI 143 94,7% 8 5,3% 151 100,0%
Tamat SLTP/MTS 143 88,3% 19 11,7% 162 100,0%
Tamat SLTA/MA 221 89,8% 25 10,2% 246 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 38 95,0% 2 5,0% 40 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 8 72,7% 3 27,3% 11 100,0%
Pegawai swasta 58 86,6% 9 13,4% 67 100,0%
Wiraswasta 108 92,3% 9 7,7% 117 100,0%
Petani 19 90,5% 2 9,5% 21 100,0%
Buruh 120 92,3% 10 7,7% 130 100,0%
Lainnya 125 92,6% 10 7,4% 135 100,0%
Tidak kerja 217 89,3% 26 10,7% 243 100,0%
Total 655 90,5% 69 9,5% 724 100,0%
Tabel C-25.Proporsi Pengobatan medis saat ini
Mencari pengobatan medis cemas Depresi Psikotik
n = 25 % n = 27 % n = 24 %
Tidak 13 52,0% 15 55,6% 17 70,8%
Ya 12 48,0% 12 44,4% 7 29,2%
Fasilitas yang dikunjungi
Puskesmas/klinik/praktik dokter 8 66,7% 6 50,0% 1 14,3%
RSU 2 16,7% 2 16,7% 4 57,1%
RS Jiwa 0 0,0% 1 8,3% 3 42,9%
Lainnya 4 33,3% 4 33,3% 2 28,6%
Tabel C.25. menunjukkan sejumlah 48,0% penderita cemas dari responden
Kabupaten Jombang yang mengakses pelayanan kesehatan dan sejumlah 55,6%
penderita depresi melakukan hal yang sama. Dengan demikian, treatmentgap
pada responden gangguan cemas di Kota Bogor adalah 52,0 % dan 55,6 % pada
gangguan depresi. Sebagian besar responden cemas, mereka menuju
Puskesmas/klinik/praktik dokter (66,7%) untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Demikian juga responden yang mengalami depresi, sebagian besar
mengakses Puskesmas/klinik/praktik dokter untuk mendapatkan pelayanan
71
kesehatan (50,0%). Sejumlah 29,2% responden yang memiliki gejala psikosis
mengakses layanan kesehatan, atau sekitar 70,8% terjadi treatmentgap pada
responden psikosis di Kabupaten Jombang. Fasilitas yang dikunjungi oleh
penderita psikosis adalah yang utama RSU (57,1%), RS Jiwa (42,9%), Fasilitas
Lainnya (28,6%) dan Puskesmas/klinik/praktik dokter (14,3%).
Tabel C-26. Proporsi Alasan tidak berobat
Alasan tidak berobat cemas Depresi Psikotik
n = 13 % n = 25 % n = 17 %
Ketidaknyamanan saat berobat 0 0,0% 0 0,0% 1 5,9%
Kesulitan transportasi 1 7,7% 0 0,0% 2 11,8%
Merasa tidak perlu berobat 10 76,9% 11 73,3% 12 70,6%
Bukan penyakit medis 8 61,5% 8 53,3% 13 76,5%
Dapat diobati secara tradisional 0 0,0% 1 6,7% 1 5,9%
Merasa takut/malu 1 7,7% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak tahu ada layanan keswa 1 7,7% 1 6,7% 1 5,9%
Lainnya 1 7,7% 3 20,0% 1 5,9%
Pada responden Jombang, yang mengalami gangguan cemas maupun
depresi namun tidak mengakses pelayanan kesehatan, memiliki alasan paling
banyak adalah merasa tidak perlu berobat (76,9% pada cemas dan 73,3% pada
depresi) dan menganggap bahwa gejala yang dialami bukan merupakan penyakit
medis (61,5% pada gangguan cemas dan 53,3% pada gangguan depresi). Pada
responden psikosis yang tidak mengakses layanan kesehatan, paling banyak
menganggap bahwa penyakit yang diderita bukan penyakit medis (76,5%), dan
merasa tidak perlu berobat (70,6%).
Tabel C-27.Proporsi Pengalaman menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap
mati berdasarkan karakteristik (N=724) di Kabupaten Jombang, Tahun 2017
Pernah berniat Pernah membuat
rencana Pernah melakukan
percobaan
n % n % n %
72
Jenis Kelamin
Laki-laki 3 1,0% 2 0,7% 1 0,3%
Perempuan 3 0,7% 1 0,2% 2 0,5%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
25-34 0 0,0% 0 0,0% 1 0,7%
35-44 3 2,0% 2 1,4% 1 0,7%
45-54 2 1,4% 0 0,0% 0 0,0%
55-64 1 1,0% 1 1,0% 1 1,0%
65+ 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Status kawin
Belum Kawin 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Kawin 6 1,1% 3 0,6% 3 0,6%
Cerai Hidup 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Cerai Mati 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 1 3,7% 1 3,7% 0 0,0%
Tidak tamat SD/MI 1 1,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tamat SD/MI 1 0,7% 1 0,7% 1 0,7%
Tamat SLTP/MTS 3 1,9% 1 0,6% 1 0,6%
Tamat SLTA/MA 0 0,0% 0 0,0% 1 0,4%
Tamat Diploma/Sarjana 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Pegawai swasta 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Wiraswasta 1 0,9% 1 0,9% 0 0,0%
Petani 1 4,8% 0 0,0% 0 0,0%
Buruh 1 0,8% 0 0,0% 0 0,0%
Lainnya 2 1,5% 1 0,7% 1 0,7%
Tidak kerja 1 0,4% 1 0,4% 2 0,8%
Total 6 0,8% 3 0,4% 3 0,4%
Dalam tabel C.27. terlihat bahwa dari 6 responden yang pernah berniat
bunuh diri terdapat proporsi laki-laki (1,0%) sedikit lebih banyak dari pada laki-
laki (0,7%), Lebih banyak pada kelompok umur 35-44 tahun (2,0%), lebih banyak
pada kelompok kawin (1,1%), pendidikan yang Tidak/ belum pernah sekolah
(3,7%) , Dan pada pekerjaan sebagai petani (4,8%).
Dari 3 responden yang pernah membuat rencana bunuh diri terdapat
proporsi yang sedikit lebih tinggi pada kelompok laki-laki (0,7%) daripada
perempuan (0,2%), lebih banyak pada kelompok umur 35-44 tahun (1,4%),
terjadi pada kelompok kawin (0,6%), pendidikan Tidak/ belum pernah sekolah
73
(3,7%) dan pada pekerjaan sebagai wiraswasta (0,9%), lainnya (0,7%) dan tidak
bekerja (0,4%).
Dari 3 responden yang pernah melakukan percobaan bunuh diri terdapat
proporsi perempuan (0,5 %) lebih banyak dari pada proporsi laki-laki (0,3%),
Lebih banyak pada kelompok umur 55-64 tahun (1,0%), lebih banyak pada
kelompok kawin (0,6%), pendidikan yang Tamat SD/MI (0,7%) dan pada
responden yang tidak bekerja (0,8%) dan dengan pekerjaan lainnya, misal ojeg,
tukang parkir (0,7%).
C.4. Kabupaten Tojo Una-una
Di Kabupaten Tojo Una Una, dari 718 responden yang diwawancara,
perempuan lebih banyak yang mengalami gangguan jiwa cemas dibandingkan
dengan kaum laki-laki. Menurut kelompok umur, responden pada kelompok
umur 55 – 74 terbanyak yang mengalami gangguan jiwa cemas. Responden
dengan status kawin cerai mati juga lebih banyak mengalami gangguan cemas.
Menurut pendidikan, responden yang Tidak/ belum pernah sekolah paling
banyak mengalami cemas, disusul responden tidak tamat SD/MI. Menurut jenis
pekerjaan, responden petani paaling banyak mengalami gangguan jiwa cemas.
Tabel C-28 Proporsi Kondisi gangguan jiwa cemas di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun 2017
Cemas
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 293 91,6% 27 8,4% 320 100,0%
Perempuan 342 85,9% 56 14,1% 398 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 152 95,0% 8 5,0% 160 100,0%
25-34 118 95,2% 6 4,8% 124 100,0%
35-44 152 87,4% 22 12,6% 174 100,0%
45-54 125 84,5% 23 15,5% 148 100,0%
55-64 55 77,5% 16 22,5% 71 100,0%
65+ 33 80,5% 8 19,5% 41 100,0%
74
Status kawin
Belum Kawin 159 97,0% 5 3,0% 164 100,0%
Kawin 425 86,9% 64 13,1% 489 100,0%
Cerai Hidup 16 84,2% 3 15,8% 19 100,0%
Cerai Mati 35 76,1% 11 23,9% 46 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 8 80,0% 2 20,0% 10 100,0%
Tidak tamat SD/MI 89 80,9% 21 19,1% 110 100,0%
Tamat SD/MI 183 85,9% 30 14,1% 213 100,0%
Tamat SLTP/MTS 147 91,3% 14 8,7% 161 100,0%
Tamat SLTA/MA 156 93,4% 11 6,6% 167 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 52 91,2% 5 8,8% 57 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 34 94,4% 2 5,6% 36 100,0%
Pegawai swasta 13 92,9% 1 7,1% 14 100,0%
Wiraswasta 59 90,8% 6 9,2% 65 100,0%
Petani 176 80,7% 42 19,3% 218 100,0%
Buruh 13 100,0% 0 0,0% 13 100,0%
Lainnya 125 91,9% 11 8,1% 136 100,0%
Tidak kerja 215 91,1% 21 8,9% 236 100,0%
Total 635 88,4% 83 11,6% 718 100,0%
Tabel C-29 Proporsi Kondisi gangguan jiwa depresi di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun
2017
Depresi
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 288 90,0% 32 10,0% 320 100,0%
Perempuan 335 84,2% 63 15,8% 398 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 153 95,6% 7 4,4% 160 100,0%
25-34 116 93,5% 8 6,5% 124 100,0%
35-44 149 85,6% 25 14,4% 174 100,0%
45-54 127 85,8% 21 14,2% 148 100,0%
55-64 51 71,8% 20 28,2% 71 100,0%
65+ 27 65,9% 14 34,1% 41 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 161 98,2% 3 1,8% 164 100,0%
Kawin 411 84,0% 78 16,0% 489 100,0%
Cerai Hidup 15 78,9% 4 21,1% 19 100,0%
Cerai Mati 36 78,3% 10 21,7% 46 100,0%
75
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 8 80,0% 2 20,0% 10 100,0%
Tidak tamat SD/MI 86 78,2% 24 21,8% 110 100,0%
Tamat SD/MI 174 81,7% 39 18,3% 213 100,0%
Tamat SLTP/MTS 150 93,2% 11 6,8% 161 100,0%
Tamat SLTA/MA 153 91,6% 14 8,4% 167 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 52 91,2% 5 8,8% 57 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 33 91,7% 3 8,3% 36 100,0%
Pegawai swasta 12 85,7% 2 14,3% 14 100,0%
Wiraswasta 60 92,3% 5 7,7% 65 100,0%
Petani 174 79,8% 44 20,2% 218 100,0%
Buruh 12 92,3% 1 7,7% 13 100,0%
Lainnya 123 90,4% 13 9,6% 136 100,0%
Tidak kerja 209 88,6% 27 11,4% 236 100,0%
Total 623 86,8% 95 13,2% 718 100,0%
Tabel C.29. menunjukkan pada responden Tojo Una-una, perempuan
lebih banyak yang mengalami depresi dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Menurut kelompok umur, responden pada kelompok umur 65+ terbanyak yang
mengalami depresi. Responden dengan status kawin cerai (mati dan hidup) juga
lebih banyak mengalami gangguan depresi. Menurut pendidikan, responden
yang tidak tamat SD/MI paling banyak mengalami depresi. Menurut jenis
pekerjaan, responden petani paaling banyak mengalami gangguan jiwa depresi.
Tabel C-30. Proporsi Kondisi gangguan jiwa psikotik di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun
2017
Psikotik
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 311 97,2% 9 2,8% 320 100,0%
Perempuan 387 97,2% 11 2,8% 398 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 159 99,4% 1 0,6% 160 100,0%
25-34 121 97,6% 3 2,4% 124 100,0%
35-44 166 95,4% 8 4,6% 174 100,0%
45-54 147 99,3% 1 0,7% 148 100,0%
55-64 68 95,8% 3 4,2% 71 100,0%
65+ 37 90,2% 4 9,8% 41 100,0%
Status kawin
76
Belum Kawin 163 99,4% 1 0,6% 164 100,0%
Kawin 472 96,5% 17 3,5% 489 100,0%
Cerai Hidup 18 94,7% 1 5,3% 19 100,0%
Cerai Mati 45 97,8% 1 2,2% 46 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 10 100,0% 0 0,0% 10 100,0%
Tidak tamat SD/MI 107 97,3% 3 2,7% 110 100,0%
Tamat SD/MI 205 96,2% 8 3,8% 213 100,0%
Tamat SLTP/MTS 160 99,4% 1 0,6% 161 100,0%
Tamat SLTA/MA 160 95,8% 7 4,2% 167 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 56 98,2% 1 1,8% 57 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 36 100,0% 0 0,0% 36 100,0%
Pegawai swasta 13 92,9% 1 7,1% 14 100,0%
Wiraswasta 64 98,5% 1 1,5% 65 100,0%
Petani 212 97,2% 6 2,8% 218 100,0%
Buruh 13 100,0% 0 0,0% 13 100,0%
Lainnya 126 92,6% 10 7,4% 136 100,0%
Tidak kerja 234 99,2% 2 0,8% 236 100,0%
Total 698 97,2% 20 2,8% 718 100,0%
Tabel C.30. menunjukkan pada responden Tojo Una-una, proporsi
gangguan jiwa psikotik sama pada perempuan dengan kaum laki-laki. Menurut
kelompok umur, responden pada kelompok umur 65+ terbanyak yang
mengalami psikotik. Responden dengan status kawin cerai hidup lebih banyak
mengalami gangguan psikotik. Menurut pendidikan, responden yang Tamat
SLTA/MA paling banyak mengalami psikotik. Menurut jenis pekerjaan,
responden yang bekerja di bidang lainnya (nelayan, ojeg, dll) paaling banyak
mengalami gangguan jiwa psikotik, disusul pada responden yang berstatus
pegawai swasta.
Tabel C-31. Proporsi Kondisi normal di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun 2017
Normal
Total Normal
Tidak Normal
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 272 85,0% 48 15,0% 320 100,0%
Perempuan 310 77,9% 88 22,1% 398 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
77
15-24 146 91,3% 14 8,8% 160 100,0%
25-34 111 89,5% 13 10,5% 124 100,0%
35-44 138 79,3% 36 20,7% 174 100,0%
45-54 118 79,7% 30 20,3% 148 100,0%
55-64 46 64,8% 25 35,2% 71 100,0%
65+ 23 56,1% 18 43,9% 41 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 156 95,1% 8 4,9% 164 100,0%
Kawin 380 77,7% 109 22,3% 489 100,0%
Cerai Hidup 13 68,4% 6 31,6% 19 100,0%
Cerai Mati 33 71,7% 13 28,3% 46 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 7 70,0% 3 30,0% 10 100,0%
Tidak tamat SD/MI 78 70,9% 32 29,1% 110 100,0%
Tamat SD/MI 163 76,5% 50 23,5% 213 100,0%
Tamat SLTP/MTS 140 87,0% 21 13,0% 161 100,0%
Tamat SLTA/MA 145 86,8% 22 13,2% 167 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 49 86,0% 8 14,0% 57 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 32 88,9% 4 11,1% 36 100,0%
Pegawai swasta 12 85,7% 2 14,3% 14 100,0%
Wiraswasta 58 89,2% 7 10,8% 65 100,0%
Petani 155 71,1% 63 28,9% 218 100,0%
Buruh 12 92,3% 1 7,7% 13 100,0%
Lainnya 114 83,8% 22 16,2% 136 100,0%
Tidak kerja 199 84,3% 37 15,7% 236 100,0%
Total 582 81,1% 136 18,9% 718 100,0%
Tabel C-32. Proporsi Kondisi depresi masa lalu di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun 2017
Riwayat depresi masa lalu
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 311 97,2% 9 2,8% 320 100,0%
Perempuan 379 95,2% 19 4,8% 398 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 157 98,1% 3 1,9% 160 100,0%
25-34 122 98,4% 2 1,6% 124 100,0%
35-44 166 95,4% 8 4,6% 174 100,0%
45-54 141 95,3% 7 4,7% 148 100,0%
55-64 64 90,1% 7 9,9% 71 100,0%
65+ 40 97,6% 1 2,4% 41 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 163 99,4% 1 0,6% 164 100,0%
Kawin 469 95,9% 20 4,1% 489 100,0%
78
Cerai Hidup 18 94,7% 1 5,3% 19 100,0%
Cerai Mati 40 87,0% 6 13,0% 46 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 10 100,0% 0 0,0% 10 100,0%
Tidak tamat SD/MI 102 92,7% 8 7,3% 110 100,0%
Tamat SD/MI 205 96,2% 8 3,8% 213 100,0%
Tamat SLTP/MTS 158 98,1% 3 1,9% 161 100,0%
Tamat SLTA/MA 160 95,8% 7 4,2% 167 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 55 96,5% 2 3,5% 57 100,0%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 34 94,4% 2 5,6% 36 100,0%
Pegawai swasta 12 85,7% 2 14,3% 14 100,0%
Wiraswasta 63 96,9% 2 3,1% 65 100,0%
Petani 207 95,0% 11 5,0% 218 100,0%
Buruh 12 92,3% 1 7,7% 13 100,0%
Lainnya 130 95,6% 6 4,4% 136 100,0%
Tidak kerja 232 98,3% 4 1,7% 236 100,0%
Total 690 96,1% 28 3,9% 718 100,0%
Tabel C-33. Proporsi Kondisi gangguan mental emosional di Kabupaten Tojo Una-una,
Tahun 2017
Ganggaun mental emosional
Total Tidak Ya
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 289 90,3% 31 9,7% 320 100,0%
Perempuan 312 78,4% 86 21,6% 398 100,0%
Kelompok Umur (tahun)
15-24 151 94,4% 9 5,6% 160 100,0%
25-34 112 90,3% 12 9,7% 124 100,0%
35-44 136 78,2% 38 21,8% 174 100,0%
45-54 126 85,1% 22 14,9% 148 100,0%
55-64 49 69,0% 22 31,0% 71 100,0%
65+ 27 65,9% 14 34,1% 41 100,0%
Status kawin
Belum Kawin 156 95,1% 8 4,9% 164 100,0%
Kawin 400 81,8% 89 18,2% 489 100,0%
Cerai Hidup 13 68,4% 6 31,6% 19 100,0%
Cerai Mati 32 69,6% 14 30,4% 46 100,0%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 8 80,0% 2 20,0% 10 100,0%
Tidak tamat SD/MI 76 69,1% 34 30,9% 110 100,0%
Tamat SD/MI 171 80,3% 42 19,7% 213 100,0%
Tamat SLTP/MTS 146 90,7% 15 9,3% 161 100,0%
Tamat SLTA/MA 147 88,0% 20 12,0% 167 100,0%
Tamat Diploma/Sarjana 53 93,0% 4 7,0% 57 100,0%
Pekerjaan
79
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 33 91,7% 3 8,3% 36 100,0%
Pegawai swasta 11 78,6% 3 21,4% 14 100,0%
Wiraswasta 59 90,8% 6 9,2% 65 100,0%
Petani 169 77,5% 49 22,5% 218 100,0%
Buruh 12 92,3% 1 7,7% 13 100,0%
Lainnya 117 86,0% 19 14,0% 136 100,0%
Tidak kerja 200 84,7% 36 15,3% 236 100,0%
Total 601 83,7% 117 16,3% 718 100,0%
Pada tabel C.33. diinformasikan proporsi responden dengan gangguan
mental emosional (GME), dan terbanyak terjadi responden perempuan, pada
usia 55 – 74 tahun dengan status cerai hidup atau mati, tingkat pendidikan tidak
tamat SD/MI dengan pekerjaan pegawai swasta atau petani. Seperlima
responden perempuan mengalami GME, bekerja pegawai swasta atau petani.
Sekitar sepertiga responden perempuan, status kawain cerai (hidup atau mati)
dan tidak tamat SD/MI yang menderita GME.
Tabel C-34. Proporsi Pengobatan medis saat ini
Mencari pengobatan medis Cemas Depresi Psikotik
n = 83 % n = 95 % n = 28 %
Tidak 56 67,5% 62 65,3% 14 77,8%
Ya 27 32,5% 33 34,7% 4 22,2%
Fasilitas yang dikunjungi
Puskesmas/klinik/praktik dokter 24 88,9% 24 72,7% 2 50,0%
RSU 8 29,6% 9 27,3% 2 50,0%
RS Jiwa 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Lainnya 1 3,7% 4 12,1% 0 0,0%
Tabel C.34 menunjukkan sejumlah 32,5% penderita cemas dari responden
Kabupaten Tojo Una-una yang meng-akses pelayanan kesehatan dan sejumlah
34,7% penderita depresi melakukan hal yang sama. Dengan demikian,
treatmentgap pada responden gangguan cemas di Kabupaten Tojo Una-una
adalah 67,5% dan 65,3% pada gangguan depresi. Sebagian besar responden
cemas, mereka menuju Puskesmas/klinik/praktik dokter (88,9%) untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Demikian juga responden yang mengalami
depresi, sebagian besar mengakses Puskesmas/klinik/praktik dokter untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan (72,7%). Pada responden psikosis, baru
80
22,2% yang mengakses layanan kesehatan, artinya terjadi treatmentgap 77,8%.
Fasilitas yang dikunjungi oleh responden psikosis adalah
Puskesmas/klinik/praktik dokter (50%) dan RSU (50%).
Tabel C-35. Proporsi Alasan tidak berobat
Alasan tidak berobat cemas Depresi Psikotik
n = 56 %
n = 62 % n = 14 %
Ketidaknyamanan saat berobat 0 0,0% 2 3,2% 0 0,0%
Kesulitan transportasi 7 12,5% 10 16,1% 0 0,0%
Merasa tidak perlu berobat 36 64,3% 48 77,4% 9 64,3%
Bukan penyakit medis 23 41,1% 18 29,0% 3 21,4%
Dapat diobati secara tradisional 4 7,1% 3 4,8% 1 7,1%
Merasa takut/malu 7 12,5% 4 6,5% 4 28,6%
Tidak tahu ada layanan keswa 9 16,1% 15 24,2% 2 14,3%
Lainnya 7 12,5% 2 3,2% 0 0,0%
Pada responden Tojo Una-una, yang mengalami gangguan cemas maupun
depresi namun tidak mengakses pelayanan kesehatan, memiliki alasan paling
banyak adalah merasa tidak perlu berobat (64,3% pada cemas dan 77,4% pada
depresi) dan menganggap bahwa gejala yang dialami bukan merupakan penyakit
medis (41,1% pada gangguan cemas dan 29,0% pada gangguan depresi). Pada
responden yang tidak mengakses layanan kesehatan, memiliki alasan merasa
tidak perlu berobat (64,3%), Merasa takut/malu (28,6%) dan menganggap bahwa
yang dialami bukan merupakan penyakit medis (21,4%).
Tabel C-36. Proporsi Pengalaman menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap
mati berdasarkan karakteristik di Kabupaten Tojo Una-una, Tahun 2017 (N=718)
Pernah berniat Pernah membuat
rencana Pernah melakukan
percobaan
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 6 1,9% 2 0,6% 1 0,3%
Perempuan 14 3,5% 6 1,5% 4 1,0%
Kelompok Umur (tahun)
81
15-24 1 0,6% 0 0,0% 0 0,0%
25-34 1 0,8% 2 1,6% 1 0,8%
35-44 8 4,6% 3 1,7% 2 1,1%
45-54 3 2,0% 0 0,0% 0 0,0%
55-64 5 7,0% 1 1,4% 1 1,4%
65+ 2 4,9% 2 4,9% 1 2,4%
Status kawin
Belum Kawin 0 0,0% 1 0,6% 0 0,0%
Kawin 14 2,9% 4 0,8% 3 0,6%
Cerai Hidup 1 5,3% 1 5,3% 1 5,3%
Cerai Mati 5 10,9% 2 4,3% 1 2,2%
Tingkat Pendidikan
Tidak/ belum pernah sekolah 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Tidak tamat SD/MI 8 7,3% 2 1,8% 0 0,0%
Tamat SD/MI 6 2,8% 1 0,5% 1 0,5%
Tamat SLTP/MTS 2 1,2% 2 1,2% 1 0,6%
Tamat SLTA/MA 3 1,8% 2 1,2% 2 1,2%
Tamat Diploma/Sarjana 1 1,8% 1 1,8% 1 1,8%
Pekerjaan
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Pegawai swasta 1 7,1% 0 0,0% 0 0,0%
Wiraswasta 1 1,5% 0 0,0% 0 0,0%
Petani 9 4,1% 4 1,8% 2 0,9%
Buruh 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0%
Lainnya 4 2,9% 2 1,5% 1 0,7%
Tidak kerja 5 2,1% 2 0,8% 2 0,8%
Total 20 2,8% 8 1,1% 5 0,7%
Dalam tabel C.36. terlihat bahwa dari 20 responden yang pernah berniat
bunuh diri lebih banyak pada proporsi perempuan (3,5%) dari pada laki-laki
(1,9%), Lebih banyak pada kelompok umur 55-64 tahun (7,0%), lebih banyak
pada kelompok cerai mati (1,9%), pendidikan yang Tidak tamat SD (7,3%) , Dan
pada pekerjaan sebagai pegawai swasta (7,1%).
Dari 8 responden yang pernah membuat rencana bunuh diri terdapat
proporsi yang sedikit lebih tinggi pada kelompok perempuan (1,5%) daripada
laki-laki (0,6%), lebih banyak pada kelompok umur 65+ tahun (4,9%), terjadi pada
kelompok cerai hidup (5,3%), pendidikan Tidak tamat SD/MI (1,8%) dan Tamat
Diploma/Sarjana (1,8%), pada pekerjaan sebagai petani (1,8%),dan lainnya
(1,5%).
82
Dari 5 responden yang pernah melakukan percobaan bunuh diri terdapat
proporsi perempuan (1,0 %) lebih banyak dari pada proporsi laki-laki (0,3%),
Lebih banyak pada kelompok umur 65+ tahun (2,4%), lebih banyak pada status
perkawinan cerai hidup (5,3%), pendidikan Tamat Diploma/Sarjana (1,8%) dan
pada responden petani (0,9%), yang tidak bekerja (0,8%) dan dengan pekerjaan
lainnya, misal ojeg, tukang parkir (0,7%).
D. Program Kesehatan Jiwa Yang Berbasis Masyarakat Dan Fasilitas Kesehatan
Penggalian secara kualitatif dilakukan sebagai bagian dari penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan gambaran bagaimana upaya mengatasi masalah
gangguan kesehatan jiwa dari perspektif provider kesehatan serta bagaimana
persepsi masyarakat terkait kesehatan jiwa. Dari hasil penggalian secara
kualitatif ini diharapkan akan dapat tergambarkan kendala ataupun kesenjangan
yang ada terkait pelayanan kesehatan jiwa dari persepsi masyarakat dan
penyelenggara pelayanan kesehatan.
Penggalian informasi dilakukan di tiga wilayah, yaitu Kota Bogor, Kabupaten
Jombang dan Kabupaten Tojo Una-Una. Pada bagian ini akan disajikan hasil
secara keseluruhan di tiga lokasi tersebut. Untuk gambaran hasil secara lebih
rinci di masing-masing wilayah tersebut akan disajjikan dalam bagian terpisah
(4.F.1, 4.F.2, dan 4.F3). Berikut ini penjelasan hasil penggalian informasi secara
kualitatif secara umum di ketiga lokasi penelitian.
Gambaran Upaya Kesehatan Jiwa berbasis Masyarakat dan Program Kesehatan
Jiwa Di Kabupaten
Secara umum dari informasi yang didapatkan di tiga wilayah studi
didapatkan beberapa poin utama terkait program kesehatan jiwa berbasis
masyarakat adalah mencakup dukungan dari pemerintah di sektor kesehatan
setempat untuk kegiatan di masyarakat, peran sektor non-kesehatan atau aparat
83
pemerintah lain yang terkait upaya kesehatan jiwa, kebutuhan yang dirasakan
oleh masyarakat dalam penanganan orang dengan gangguan jiwa.
Dukungan dari pemerintah, terutama di sektor kesehatan baik di tingkat
puskesmas, dinas kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi pada umumnya
adalah dalam bentuk pembinaan atau peningkatan kapasitas tenaga kesehatan,
dukungan ketersedian sarana medis untuk pelayanan penderita gangguan jiwa,
dukungan kebijakan dan regulasi terkait, serta pemberdayaan masyarakat
setempat. Untuk fungsi pembinaan dan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan
untuk pelayanan kesehatan jiwa lebih banyak diperankan oleh dinas kesehatan di
tingkat provinsi. Sementara peran dinas kesehatan di tingkat kabupaten/kota
lebih bersifat teknis pelayanan, pelaporan dan pencatatan data serta koordinasi
di fasilitas kesehatan termasuk di Rumah Sakit dan Puskesmas.
Puskesmas merupakan unit penting dalam sektor kesehatan yang
mempunyai peran krusial dalam pelaksanaan dan keberlangsungan upaya
kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Pengalaman di Kabupaten Jombang
menunjukkan peran penanggung jawab kesehatan jiwa di Puskesmas yang sangat
besar dalam pendekatan di masyarakat untuk penanganan penderita gangguan
jiwa termasuk dalam program pelepasan pasung. Semangat dan dedikasi yang
tinggi dari tenaga kesehatan dapat meningkatkan kesadaran dan peran serta
masyarakat untuk mendukung program bebas pasung dan aktif terlibat dalam
kegiatan rehabilitasi penderita gangguan jiwa.
Dukungan ketersediaan sarana medis dan non medis untuk pelayanan
penderita gangguan jiwa juga merupakan salah satu faktor penting. Akses
terhadap obat masih terbatas pada dukungan pemerintah serta layanan fasilitas
kesehatan juga masih terbatas pada fasilitas pemerintah. Masyarakat dengan
keterbatasan ekonomi cukup sulit untuk mempunyai pilihan lain selain dari
sarana yang disediakan oleh pemerintah.
Regulasi ataupun kebijakan terkait kesehatan jiwa masih sangat terbatas
terutama di Kabupaten Touna dan Kota Bogor. Sementara di Kabupaten
Jombang, dukungan kebijakan tampak lebih kuat dengan dicanangkannya misi
84
‘Jatim bebas pasung 2017’ pada tahun 2012, meskipun pada kenyataannya masih
belum tercapai. Komitmen nyata para pengambil kebijakan untuk mendukung
program pencegahan dan pengendalian gangguan kesehatan jiwa sangat
berperan dalam terciptanya dan keberlangsungan kegiatan terkait program
kesehatan jiwa baik di sektor pelayanan ataupun pengobatan serta
pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dalam upaya atupun kegiatan terkait
kesehatan jiwa masih belum terlihat di kota Bogor maupun Kabupaten Touna.
Sementara Kabupaten Jombang sudah dapat menunjukkan keberhasilan upaya
rehabiliasi penderita gangguan jiwa dan pelepasan pasung melalui peran serta
aktif dari masyarakat setempat. Pengalaman yang positif dari Kabupaten
Jombang dapat menjadi pembelajaran bagi wilayah lain di Indonesia dengan
modifikasi sesuai dengan potensi lokal maupun kapasitas sumber daya wilayah
setempat termasuk budaya setempat.
Beberapa fakta yang menjadi ‘milestone’ dalam penanganan gangguan
kesehatan jiwa di Kabupaten Jombang diantaranya adalah pencanangan Jatim
Bebas Pasung 2017 oleh Gubernur; Pembentukan Posyandu Jiwa dan
Pembentukan Tim Pembina/Pelaksana Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat.
Beberapa kunci keberhasilan yang bisa menjadi pembelajaran dari
kabupaten Jombang dalam implementasi upaya kesehatan jiwa adalah sebagai
berikut:
a. Dukungan yang kepemimpinan yang significan.
Dukungan dari pimpinan atau pembuat kebijakan dari setiap
tingkatan di daerah cukup berperan sangat significant dalam program
kesehatan jiwa di Provinsi Jawa Timur dan khususnya di Kabupaten
Jombang. Diawali dari komitmen Gubernur Jawa Timur di tahun 2012
yang mencanangkan ‘Jatim bebas pasung 2017’, para sektor
pemerintahan terkait di tingkat Kabupaten menindaklanjuti dengan
berbagai upaya, termasuk pembentukan Tim Pembina/Pelaksana
Kesehatan Jiwa Masyarakat yang fokus pada upaya pelepasan
85
penderita gangguan jiwa dari pemasungan dan isolasi, sistem
pemantauan dan pencatatan kasus gangguan jiwa, peningkatan
kapasitas tenagan kesehatan di Puskesmas untuk pelayanan penderita
gangguan jiwa, serta rehabilitasi penderita gangguan jiwa berbasis
masyarakat melalui kegiatan ‘ Posyandu Jiwa’.
b. Peran aktif tenaga kesehatan di Puskesmas
Tenaga kesehatan penangggung jawab dari pelayanan kesehatan jiwa
merupakan kepanjangan tangan dari bidang pencegahan dan
pengendalian gangguan kesehatan jiwa yang dalam struktur dinas
kesehatan Kabupaten Jombang berada dalam seksi atau bagian yang
sama dengan pencegahan dan pengendalian Penyakit Tidak Menular.
Tenaga penanggung jawab kesehatan jiwa di Puskesmas mempunyai
peran penting dalam inisiasi dan keberlanjutan dari program
kesehatan jiwa berbasis masyarakat, dimana perannya termasuk
menjalin kerjasama dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat,
aparat desa dan kecamatan, serta kader kesehatan; melihat secara
lebih sensitif akan potensi budaya dan tradisi masyarakat setempat
atau ‘culturally sensitive’ untuk dapat digunakan dalam melalukan
pendekatan ke masyarakat sasaran. Tenaga kesehatan juga dapat
menjadi ‘personnal branded’ untuk kegiatan kesehatan jiwa di
masyarakat, dimana masyarakat merasa terbantu dan terlayani
dengan baik dalam mengatasi masalah dengan ODGJ (Orang Dengan
Gangguan Jiwa). Salah satu motor utama dari kegiatan Posyandu Jiwa
ini adalah tenaga kesehatan penanggung jawab kesehatan jiwa di
Puskesmas yang berkarakter sosial tinggi dan kemampuan komunikasi
yang sangat baik dengan masyarakat sekitar termasuk dengan
keluarga penderita ODGJ.
c. Komunikasi dan koordinasi yang efektif dari lintas sektor dan semua
stakeholder terkait
86
Hubungan yang harmonis antara semua pihak yang terkait dalam
mendukung kegiatan kesehatan jiwa memberikan dampak positif bagi
keberlanjutan program kesehatan jiwa. Kegiatan posyandu jiwa yang
dilakukan satu kali dalam seminggu merupakan forum tempat
pertemuan semua pihak yang mendukung program rehabilitasi ODGJ.
d. Karakteristik spesifik lokal : Peran tokoh agama dan masyarakat
Peran dan dukungan aktif dari para tokoh agama dan tokoh
masyarakat juga merupakan tonggak keberhasilan keberlangungan
program kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Karakteristik spesifik
untuk Kabupaten Jombang adalah kentalnya peran tokoh agama
dalam kehidupan masyarakat, dimana kabupaten ini juga dikenal
dengan banyaknya pondok pesantren dan disebut juga sebagai kota
santri.
Sementara itu, hasil utama dari penggalian dari perspektif penyelenggara
keehatan terhadap program kesehatan jiwa dapat dilihat dari Tabel D.1.
Tabel D-1. Topik Utama Hasil Penggalian Informasi tentang Program Kesehatan Jiwa di
tiga wilayah (Bogot, Jombang, Touna) dari perspektif penyelenggara kesehatan.
Topik Dinkes Prov Dinkes Kab Puskesmas RSUD
Masalah kesehatan jiwa
Sudah menjadi prioritas sejak tahun 2012 dengan misi Gurbernur ‘Jatim bebas Pasung 2017’
Belum menjadi prioritas di Sulteng
Menjadi salah satu prioritas pada tahun 2016 dan 2017 di Jombang Belum menjadi prioritas di Kab. Touna Sudah menjadi perhatian di Kota Bogor
Kesehatan jiwa penting
Cenderung terjadi peningkatan kasus gangguan jiwa; belum menjadi prioritas; pasung sudah menurun meskipun masih banyak (19) di tahun 2017 di Jombang; Kasus cenderung meningkat di Kota Bogor;
87
kebijakan Surat edaran terkait upaya pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat; pembentukan TPKJM (tim Pembina/Pengarah Kesehatan Jiwa Masyarakat)
Meningkatkan kapasitas puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa (GP plus, perawat jiwa) melalui pelatihan nakes dan pelatihan kader
Pembentukan Posyandu Jiwa, setidaknya satu Posyandu jiwa per Puskesmas
Pelayanan pasien gangguan jiwa integrasi antara psikiater dan psiokolog; belum ada kebijakan terkait pelayanan paripurna pasien gangguan jiwa.
Perencanaan dan pembiayaan
Perencanaan kegiatan sesuai dengan mekanisme yang ada fokus pada peningakatan kapasitas kabupaten dalam melaksanan pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat; Pembentukan TPKJM; Pembiayaan masih terbatas pada APBD dan sedikit dari CSR
Perencanaan kegiatan mengikuti kebijakan provinsi dan nasional; dana dari APBD;
Perencanaan sesuai mekanisme yang ada di daerah; Dana dari APBD, BOK, BPSJ, CSR
Dana melalui BPJS; subsidi silang antara BPJS dan RS; obat dipilih yang efektif; keterlambatan ketersediaan obat masih terjadi; biaya psikoterapi lebih mahal dan sering tidak mencukupi dan tidak menjadi bagian dari BPJS;
Topik Dinkes Prov Dinkes Kab Puskesmas RSUD
Pelaksanaan program
TPKJM, Pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat
Edukasi kesehatan jiwa; pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat, GP plus, perawat jiwa, pembentukan tim TPKJM, lepas pasung
Posyandu jiwa, edukasi masyarakat, kunjungan ruah pasien psikotik, lepas pasung
Pelayanan pasien (rata-rata 20 pasien sehari); edukasi (leaflet) untuk pencegahan bunuh diri, kesehatan tempat kerja.
Lintas sektor Dinas sosial, melalui kegiatan TPKJM terdapat 25 sektor terkait; semua aktif berperan dalam pertemuan rutin setahun dua kali
Yayasan/padepokan, Dinsos; Melalui kegiatan TPKJM
CSR (industri plywood)
Kerja sama dengan organisasi profesi
88
Sumber daya Dana terbatas dari APBD, tidak ada dana dari Kemkes Pusat
Tenaga sudah memadai; obat dari APBD terbatas tetapi mendapat dukungan dari Provinsi.
Tenaga terbatas pada perawat dan belum pernah dilatih kesehatan jiwa; dana terbatas menggunakan BOK
Sarana masih belum optimal; jenis obat sudah sangat memadai; beban kerja psikiater dan perawat sudah memadai; Tersedia kesempatan untuk peningkatan kapasitas psikiater (Rp.3 juta per tahun).
Peran serta masyarakat
Melalui posyandu jiwa
Kader jiwa, pimpinan pondok pesantren,
Kader posyandu jiwa, tokoh agama (pesantren)
Posyandu jiwa
Hasil temuan topik utama secara lebih rinci di masing-masing wilayah studi
kualitatif, dapat dilihat pada penjelasan berikut:
Jombang :
- Program kesehatan jiwa menjadi prioritas sejak tahun 2012 dengan misi
Gurbernur ‘Jatim bebas Pasung’. Disertai Surat edaran terkait upaya
pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat. Pembentukan TPKJM
- Salah satu prioritas pada tahun 2016 dan 2017 di kabupaten Jombang. Hal
ini merupakan salah satu bentuk nyata sektor pemerintah untuk mengatasi
permasalah gangguna kesehatan jiwa di Kabupaten Jombang serta upaya
mewujudkan Jatim Bebas Pasung 2017.
- Cenderung terjadi peningkatan kasus gangguan jiwa di Kabupaten
Jombang. Berdasarkan data pencatatan di RSUD Kabupaten Jombang,
menunjukkan adanya peningkatan kasus ODGJ baik dari aspek jumlah kasus
maupun jumlah kunjungan. Hal ini menunjukkan peningkatan besaran
masalah dan kebutuhan akan pelayanan yang lebih memadai untuk
penanganan kasus dengan keluhan gangguan jiwa, serta salah satu
gambaran juga akan kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan
medis terkait gangguan jiwa selain pengobatan non medis (dukun atau
tokoh agama, dll) yang masih banyak diterapkan di daerah.
- Pembentukan Posyandu Jiwa, setidaknya satu Posyandu jiwa di setiap
wilayah kerja Puskesmas. Posyandu Jiwa merupakan salah satu bentuk
89
pemberdayaan masyarakat dengan pendampingan dari pemerintah atau
aparat setempat untuk penanganan ODGJ dalam masa rehabilitasi.
Kegiatan dalam Posyandu Jiwa mencakup peningkatan ketrampilan ODGJ
agar dapat mandiri dalam aspek finansial atau ekonomi, mandiri secara
interaksi sosial, mandiri dalam mewarat diri dan kesehatan serta
ketrampilan dalam pendekatan religi.
- Keberadaan peran Kader jiwa dan tokoh agama atau pondok pesantren
merupakan juga aspek ‘enabler’ atau pendukung keberhasilan kegiatan
penanganan ODGJ. Kabupaten Jombang yang dikenal dengan pondok
pesantren terkenal serta mendapat julukan kota Santri, juga merupkan
potensi lokal untuk penanganan ODGJ. Salah satu tujuan alternatif pecarian
pengobatan penderita ODGJ adalah tempat pemondokan atau pesantren
ataupun tokoh agama. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Kabupaten
Jombang terutama dalam memberikan pembinaan dan pengawasan
pondok pensantren dalam menangani ODGJ untuk mencegah terjadinya
penyimpangan dalam menangani ODGJ.
Tojo Una:
- Gangguan kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah utama.
Kabupaten Touna masih belum menjadikan masalah kesehatan jiwa
sebagai prioritas program kesehatan. Hal ini menjadikan tantangan
tersendiri bagi pemerintah baik di tingkat Kabupaten, Provinsi dan Pusat.
Beberapa pembelajaran dari pengalaman kabupaten lain ataupun
provinsi lain dapat dijadikan langkah awal untuk membuka atau
mendapatkan dukungan pemerintah setempat.
- Keterbatasa sumber daya, khususnya tenaga medis spesialis kesehatan
jiwa RSUD masih terbatas. Hanya satu psikiater PTT yang membantu di
RSUD. Dengan demikian beberapa strategi lain perlu dikembangkan untuk
mengatasi keterbatasan sumber daya untuk pelayaan kesehatan jiwa di
kabupaten ini.
90
- Dalam pelayanan penderita gangguan kesehatan jiwa masih diperlukan
saran pendukung termasuk ketersediaan pedoman pelayanan kesehatan
jiwa di RS dan Puskesmas.
- Kabupaten Touna merupakan kabupaten yang mempunyai proporsi
gangguan mental emosional tertinggi di bandingkan seluruh kabupaten di
Indonesia pada tahun 2013 (Riskesdas 2013). Hasil penggalian secara
kualitatif menunjukkan permasalahan ekonomi dan rumah tangga
merupakan penyebab terpicunya gangguan kesehatan jiwa.
Kota Bogor:
- Pemahaman mengenai kesehatan pada masyarakat meliputi kesehatan
jasmani dan rohani. Penyebab terjadinya gangguan kejiwaan yaitu
masalah ekonomi, masalah sosial dan juga narkoba.
- Tidak ada tradisi atau budaya khusus terkait penanganan kesehatan jiwa
di masyarakat.
- Pola pencarian pelayanan kesehatan jiwa mencakup non medis dan medis
(Puskesmas dan RSJ). Non medis, mencakup ustadz maupun tabib.
- Program: Belum ada yang spesifik untuk kesehatan jiwa di masyarakat.
Integrasi deteksi gangguan jiwa dalam kegiatan Posbindu PTM.
- Program membantu ODGJ ke RS tanpa melalui rujukan dari Puskesmas.
Pelayanan berbasis RS. Akses obat bisa langsung melalui Puskesmas, Poli
Jiwa.
Secara umum beberapa kendala/kesenjangan terkait program kesehatan jiwa
dari hasil penggalian informasi secara kualitatif adalah sebagai berikut:
- Dukungan pemerintah daearah setempat masih belum optimal, meskipun
data besaran masalah gangguan kesehatan jiwa menunjukkan angka yang
relatif tinggi. Belum tersedianya dukungan kebijakan dan regulasi yang
memadai menjadi salah satu kendala bagi tenaga keseahtan di Puskesmas
91
maupun Dinas Kesehatan untuk dapat mengatasi permasalahan
gangguan kesehatan jiwa secara lebih efektif.
- Keterbatasan sumber daya terkait tenaga dan sarana pendukung di
tingkat yang paling hulu (Puskesmas) masih menjadi kendala. Belum
semua Puskesmas mendapatkan pelatihan pelayanan kesehatan jiwa
serta belum semua Provinsi memiliki jumlah psikiater yang memadai
sesuai dengan kebutuhan.
- Aspek pencegahan dan promosi masih terkendala dengan instrumen
deteksi dini yang masih belum tersedia khususnya untuk deteksi dini di
populasi umum. Instrumen yang digunakan masih terbatas pada
instrumen SRQ (yang digunakan di Riskesdas) dan instrumen klinik yang
digunakan oleh tenaga medis di fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan
keterbatasan ini, maka menjadi tantangan bagi semua pihak terkait untuk
menemukan kasus sedini mungkin serta mencegah dampak negatif
gangguan jiwa seperti kekerasan fisik, kekerasan mental serta untuk
mencegah kasus gangguan jiwa berat.
- Sarana terkait proses rehabilitasi ODGJ masih juga sangat terbatas. Dinas
Sosial yang menjadi penyelenggara tersedianya sarana ini masih belum
mampu menyediakan sesuai dengan kebutuhan di daerah.
- Upaya pencegahan berbasis tatanan tertentu (sekolah atau tempat kerja
atau tatanan lainnya) masih terbatas dilakukan oleh banyak pihak yang
berbeda dan tersebar tanpa koordinasi yang sistematis.
- Pola pencarian pengobatan yang masih mengutamakan terapi non medis
untuk ODGJ. Hasil kualitatif menunjukkan adanya peran keluarga yang
lebih cenderung memilih pengobatan non medis untuk ODGJ.
92
Berdasarkan penggalian informasi secara kualitatif didapatkan beberapa poin
utama untuk arah ke depan yang dapat menjadi pertimbangan bagi program
kesehatan jiwa sebagai berikut:
- Pengembangan instrumen deteksi dini untuk masalah kesehatan jiwa
yang spesifik seperti depresi, kecemasan, psikotik untuk sasaran populasi
umum di masyarakat.
- Penguatan proses Advokasi terhadap lintas program dan lintas sektor di
tingkat pusat dan daerah agar dapat terbentuk dukungan kebijakan dan
regulasi di tingkat daerah sehingga program kesehatan jiwa dapat
berjalan secara efektif dan memadai sesuai dengan kebutuhan masing-
masing daerah.
- Peningkatan kapasitas daerah dalam pelayanan ODGJ di tingkat
Puskesmas dan RS serta dalam aspek preventif promotif, kuratif dan
rehabiliatif.
Pengobatan medis - RS
Pengobatan medis - Puskesmas
Pengobatan
sendiri
Keluarga/teman
Tradisional/non medis
Gangguan/masalah perilaku muncul
93
- Peningaktan kerja sama lintas sektor dan sektor swasta untuk
ketersediaan sarana pra sarana yang berkelanjutan dan berfungsi baik
untuk rehabilitasi ODGJ agar dapat hidup dengan normal dan mandiri.
- Peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan masalah
gangguan jiwa serta proses rehabilitasi ODGJ yang dapat sejalan dengan
program pemerintah
- Kemitraan yang harmonis dan berkelanjutan antara penyelenggara
kesehatan medis dan non medis (alternatif) agar dapat mencegah
dampak negatif gangguan jiwa.
- Penyediaan dan distribusi yang lebih merata untuk tenaga ahli atau
spesialis kesehatan jiwa di daerah sesuai dengan kebutuhan.
D.1. Kualitatif Kota Bogor
Indonesia sudah memiliki undang –undang mengenai kesehatan jiwa
yaitu UU nomor 18 tahun 2014. Lahirnya undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi Orang
dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ),
memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komperehensif dan
berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi setiap orang terutama ODMK dan ODGJ. Tiga tahun setelah lahirnya UU
mengenai kesehatan jiwa ini diharapkan daerah sudah mengupayakan pelayanan
kesehatann jiwa yang optimal. Salah satu daerah yang ingin diketahui layanan
kesehatan jiwanya ialah Jawa Barat yang berdasarkan hasil Riskesdas termasuk
dalam provinsi yang memiliki tingkat gangguan mental emosional yang tinggi
(Riskesdas 2013). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih rinci mengenai
pelayanan gangguan jiwa di Jawa Barat (dengan diwakili Kota Bogor).
94
1. Pemahaman tentang gangguan kesehatan jiwa (depresi, cemas, psikotik) dari
perspektif
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, dengan kader yang merupakan
kader jiwa, menunjukkan bahwa mereka sudah cukup memahami mengenai
kesehatan jiwa. Sebagian besar dari mereka menyebutkan bahwa kesehatan
meliputi kesehatan jasmani dan rohani. Seorang kader berinisial S menyebutkan
bahwa orang yang sehat jiwa nya yaitu seperti pada petikan berikut ini :
“Yang nggak berpikiran aneh- aneh lah, normal gitu, biasa- biasa
melakukan aktifitas gitu. Kalau itu kan kadang- kadang ada aneh-
anehnya gitu..”.
Lebih lanjut kader tersebut menyebutkan ciri-ciri orang yang sehat jiwa nya
seperti kutipan dibawah ini :
“Yang tenang, bisa menghadapi suasana gitulah, cara kita aja kalau
misalnya kita liat orang marah ya jangan dikawan marahnya, gitu aja kita
hadapi dengan tenang gitu, tapi kan kita berarti kalau kita dia marah kita
marah, otomatis ya termasuk juag itu,hahaha..”
Seorang pasien ODGJ menyebutkan bahwa kesehatan termasuk “sehat
pikiran”. Seorang kader berinisial C menyebutkan bahwa kesehatan jiwa sangat
penting, seperti kutipannya berikut ini :
“Kesehatan jiwa, kalau ngeliat ibu saya ya, ibu saya kan jadi kayak
depresi gitu. Jadinya kasihan juga juga ya, kesehatan jiwa tuh penting
gitu kayak yang gelisah gitu..”
Dari sisi tenaga kesehatan, dalam hal ini menurut Kepala Bidang P2M
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat yang berhasil diwawancarai, masalah
kesehatan jiwa yang terdapat di Provinsi Jawa Barat mulai dari yang ringan
seperti cemas, depresi sampai tingkat berat yaitu psikosis. Kepala Seksi
Kesehatan Jiwa Dinas Kesehatan Kota Bogor menyampaikan bahwa untuk Kota
Bogor, jumlah ODGJ yang terjaring di lapangan masih di bawah angka RISKESDAS.
Akan tetapi hal ini mungkin disebabkan karena banyak yang belum terjaring,
karena stigma yang masih ada di masyarakat. Seorang informan dari Kelurahan
95
Sindang barang juga menyebutkan bahwa masalah kejiwaan masih banyak yang
belum terjaring karena masyarakat malu untuk mengakui bahwa ada masalah
kejiwaan yang dialami. Seperti yang disampaikan oleh informan pemegang
program jiwa di dinkes Kota Bogor tersebut :
“Sifat di masyarakat ini masih stigma ya. Jadi, yang punya ODGJ, mereka
menyembunyikan. Jadi mereka tidak terbuka sama kita, ke petugas
kesehatan.”
Informasi dari pihak Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) yang ditemui
menyampaikan bahwa masalah kesehatan jiwa semakin meningkat belakangan
ini. Namun begitu, angka pasung di Jawa Barat menurut mereka sudah menurun
dan kejadiannya lebih banyak berada di daerah kabupaten di Jawa Barat
dibandingkan dengan di perkotaan. Seperti disampaikan dalam kutipan berikut
ini :
“Kecenderungan meningkat tuh, kecenderungan meningkat. Nah ini
mungkin aja apakah disebabkan karena kesadarannya sudah meningkat
ya tentang gangguan kejiwaan itu seperti apa, karena memang dari
rumah sakit ini pun selain pelayanan ada pelayanan kesehatan jiwa di
dalam, dan juga kita ada kegiatan yang di luar rumah sakit tentang
kesehatan jiwa ini ya..”
Faktor penyebab terjadinya masalah kesehatan jiwa menurut seorang
kader di kelurahan tanahsereal yaitu bisa disebabkan karena masalah ekonomi,
juga bisa disebabkan karena pengaruh narkoba. Seorang informan kader dari
sindang barang juga mengungkapkan hal yang sama, ia menambahkan bahwa
faktor penyebab terjadinya masalah kejiwaan juga bisa disebabkan karena
terjadinya bencana ataupun kehilangan seseorang yang sangat dicintai. Hal ini
serupa dengan pengakuan 2 orang ODGJ di sindang barang maupun di
tanahsereal bahwa faktor penyebab dirinya mengalami gangguan kejiwaan yaitu
karena penggunaan narkoba. Seorang programmer kesehatan jiwa
96
mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang sering menjadi
penyebab terjadinya gangguan kejiwaan, selain itu juga karena masalah atau
faktor sosial. Berikut kutipan nyadari programer jiwa berinisial Y :
“tapi rata- rata memang ekonomi. Yang dateng ke sini itu apa ya, rata-
rata memang oramg tidak mampu. Terus kemudian masalah perceraian
juga. Sosial deh, masalah sosial...”
Masalah kesehatan jiwa menurut tenaga kesehatan yang ditemui mulai
menjadi perhatian belakangan ini. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Seksi
Kesehatan Jiwa Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat yang menyebutkan bahwa
kesehatan jiwa saat ini mulai mendapat perhatian, dimana pada tahun 2010 misi
Gurbernur Jawa Barat salah satu nya adalah “Jawa Barat bebas Pasung 2018”.
Sejalan dengan hal ini, disampaikan juga oleh programmer kesehatan jiwa dari
Dinas Kesehatan Kota Bogor, dimana program kesehatan jiwa mulai naik daun
tahun 2017. Pelaksanaannya digandeng dari berbagai pihak serta diikutsertakan
dalam berbagai program kesehatan (PTM, lansia, haji, PKPR dan penanggulangan
bencana), seperti kutipan dibawah ini dari programmer keswa Dinas Kesehatan
Kota Bogor:
“Tapi kalau misalnya kita mau runut dari keterkaitan program,
sebenernya kesehatan jiwa sekarang lagi, trendingnya lagi diajak oleh
semua program. Jadi dari semua program, contoh misalnya haji, lansia,
terus..”
2. Tradisi dan budaya terkait kesehatan jiwa (depresi, cemas, psikotik)
Tradisi dan budaya terkait kesehatan jiwa tidak banyak terdapat di Kota
Bogor. Kegiatan yang dilakukan di masyarakat dalam rangka pembinaan rohani
yaitu pelaksanaan pengajian di lingkungan setempat. Namun dari dua kelurahan
yang dikunjungi, hanya di satu kelurahan saja (Tanah Sareal) pelaksanaan
pengajian dilakukan. Pengajian dilakukan untuk anak-anak, remaja maupun
orangtua. Selain pelaksanaan pengajian yang rutin dilaksanakan, juga dilakukan
perayaan hari-hari besar agama. Pada kegiatan ini, peserta yang datang dari
97
masyarakat lebih banyak dibandingkan dengan pengajian yang rutin
dilaksanakan, seperti dikatakan kader S dalam kutipan di bawah ini :
“Kalau anak rutin setiap abis maghrib, kalau ibu- ibu tuh hari jum’at sama
Sabtu, kalau bapak- bapaknya habis, eh malem jum’at, malem minggu,
remajanya
3. Program dan kebijakan yang ada terkait kesehatan jiwa :
a. Pelaksanaan
Pelaksanaan program kesehatan jiwa di dinas kesehatan provinsi Jawa
Barat tahun 2017 masih belum banyak. Ini dikarenakan organisasi struktur
kesehatan jiwa baru terbentuk di bawah pencegahan dan pengendalian penyakit
tidak menular sehingga anggaran masih dari APBN bukan dari APBD provinsi.
Menurut informan yang merupakan kepala seksi kesehatan jiwa mengatakan
pelaksanaan program kesehatan jiwa yang ada tidak banyak. Berikut jawaban
informan mengenai program pelaksanaan kesehatan jiwa di Provinsi Jawa Barat.
“Untuk tahun ini sih untuk yang rencana jiwa kegiatannya, pelatihan. Kita
fokus ke pelatihan. Jadi ada pelatihan untuk deteksi dini untuk kesehatan
sama pelatihan kekerasan pada anak, seharusnya.”
“Pelatihan guru BK sama guru kesehatan, kalau ga salah. Nah itu
terutama untuk life skill. Life skill nya jadi untuk yang terutama dia penah
kena konflik, kemudian untuk teman sebaya pergaulannya seperti apa..
Itu udah sih sebenernya. Dan itu kerja sama juga sama dengan BISMIK”.
“Kita kan juga ada kegiatan untuk program berhenti merokok sama PTR
di setiap sekolah. Itu ada 100 anak. Nah itu kita masukan juga
sebenernya. Ada unsur jiwanya.”
Selain di provinsi, program kegiatan kesehatan jiwa juga harus dilakukan
di dinas kesehatan Kota Bogor. Program yang dilakukan di dinkes kota menyasar
pada masyarakat melalui Puskesmas, untuk jajaran dinas kesehatan kota Bogor
dan ada juga untuk DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Bogor .
Berikut wawancara dengan dinkes Kota Bogor;
98
“Kalau di puskesmas, kita sudah melakukan deteksi jiwa terhadap seluruh
masyarakat yang ada, targetnya ya.. Maksudnya, jadi seluruh”.
“Posbindu PTM namanya. Jadi kita udah punya posbindu PTM 460
jumlahnya, 465. Nah di situ, semua melakukan deteksi terhadap penyakit
tidak menular”.
“kita memasukan screening jiwa juga. Jadi kalau nantinya setiap
puskesmas itu memilah masyarakat menjadi 3. Ada yang sehat, ada yang
beresiko terhadap jiwa, ada yang ODGJ, ada yang bermasalah memang
jiwanya. Jadi kalau tadi angka SRQ nya positif menunjukkan depresi, nah
kita lanjutkan dengan pemeriksaan metode 2 menit di puskesmas”.
Informan lain dinkes Kota Bogor menambahkan program yang
dilaksanakan dinkes kota yaitu pelatihan dokter dan kader jiwa di Puskesmas,
kemudian beberapa program jiwa yang dilakukan bersama dengan program
kesehatan lain seperti deteksi Penyakit Tidak Menular (PTM), program
penaggulangan bencana, program haji dan lain-lain.
“Ngerefresh, dan kita mau bangunin temen-temen yang sebenernya udah
punya tapi enggak diaktifkan, ga diberdayakan si kadernya itu. Jadi mau
direfresh sekaligus buat temen-temen yang memang sudah punya dia
mau nambah-nambah lagi, kita akomodir untuk kita latih. Itu sekitar 100
orang kader. Terus juga kita udah ada rencana kegiatan untuk pelatihan
dokter dan perawat PJ jiwa, keswa.”
“Terus juga ada kegiatan lagi.. ACT. ACT itu lebih ke kolaborasi siih.
Sebenernya leading sektornya RSMM. Jadi kami itu, di dinas sebagai
sektor yang terkait mau membuat evaluasi bersama mereka.”
“Sebenernya kesehatan jiwa sekarang lagi, trendingnya lagi diajak oleh
semua program. Jadi dari semua program, contoh misalnya haji, lansia,
terus.. PTM sendiri ya, korelasinya itu besar sekali. Sama PKPR, temen-
99
temen PKPR itu remaja UKS, pokonya PKPR ya. Terus, temen-temen dari
bencana, penanggulangan bencana juga kadang itu juga. Sekarang nih
lagi banyak diajak nih, lagi banyak dikolaborasikan.”
Pelaksanaan program kesehatan jiwa dilakukan berdasarkan ketersediaan
anggaran APBD Kota Bogor.
“Kita berbasis anggaran ya.. kalau berdasarkan basis anggarana, kita
masih ngikut dari seksi yang lama, dan uang pun masih di sana. Karena
SOTK berubah, uang ga bisa.. E.. ga bisa ikutan berubah”.
Kebijakan dari dinkes Kota Bogor dalam penanganan gangguan jiwa
Rujukan pasien jiwa dari Puskesmas (faskes 1) dapat langsung ke RS Marzuki
Mahdi (Faskes 3), kebijakan lainnya ialah diperbolehkannya Puskesmas (layanan
primer)untuk memberikan obat jiwa.
“Jadi ke faskes 1 baru di rujuk ke kita. dan juga pemangku kebijakan
pemerintah daerah nih juga care juga, care gitu ya. Jadi apa dari
puskesmas bisa langsung ke kita, biasanya kan faskes 1 harus ke faskes 2,
iya kan baru ke kita. Kalau untuk Bogor itu bisa langsung. langsung dari
faskes 1 ke Marzoeki mahdi, padahal notabenenya adalah faskes 3 kita.
Nah itu memang kebijakan dari pemdanya juga gitu ya.”
b. Kendala
Kendala yang ditemui dalam pelaksanaan kegiatan kesehatan jiwa di
dinas kesehatan Provinsi Jawa Barat diantaranya ialah bahwa program jiwa
belum banyak dilirik untuk dilakukan apalagi jadi andalan program kesehatan.
Berikut jawaban informan dinkes provinsi Jawa Barat;
“Ya itu tadi, salah satunya tadi masih seksi baru, seperti yang tadi sudah
diceritakan. Kemudian juga, e.. apa yah. Kalau saya kira, kalau saya lihat
jiwa tuh belum sebagai.. E.. Apa yah.. Sesuatu bidang yang seksi gitu
loh... belum bisa menjual. Kalau kayak AIDS kan menjual. Kita tuh
pengennya nih, harus bisa menjual dulu nih. Menjual kayak gimana rupa,
kita kemas sedemikian rupa.”
100
Kendala lainnya ialah tumpang tindihnya kegiatan yang dilakukan dinkes
provinsi dengan rumah sakit jiwa. Hal ini karena rumah sakit juga memiliki
perhatian terhadap masalah kesehatan jiwa ke masyarakat.
“Takutnya tumpang tindih sih, tumpang tindihnya jiwa kita berpecah
sama RSJ. Takutnya itu aja sih. Selebihnya Insyaa Allah ga ada sih.”
Kendala yang kurang lebih sama juga terjadi di dinkes kota yaitu program dinkes
tumpang tindih dengan kementrian.
“Karena program se-dinas itu, makin sekarang, yang saya rasain, makin
jelimet, makin banyak, dan “Ko perasaan duplikasi ya”, misalnya gitu ya.
Akhirnya kami, sebenernya dari kementrian itu sendiri yang menduplikasi
itu tanpa merka sadari, di program ini ada.. Sebenernya kalau mau
disatuin sama ko tujuannya, beda aja judulnya, gitu kan..”
Sedangkan kendala yang ditemui di Puskesmas antara lain menurut
informan ialah:
“masalah keterampilan atau pengetahuan programmer jiwa yang sdh
lama tidak dilatih kemudian pedoman penanganan pasien jiwa juga
belum ada, lau supervisi dari dinas kesehatan provinsi dan pusat tidak
pernah ada . masalah stigma juga masih ad, beberapa pasien yang
keluarga nya menolak utk dibawa ke puskesmas”
c. Rencana ke depan
Dinas kesehatan Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa rencana
mengenai kesehatan jiwa di tahun depan diantaranya mengemas kegiatan
kesehatan jiwa menjadi lebih menarik sehingga menjadi program yang
diunggulkan untuk dilaksanakan, lalu juga agar lebih mengena dinkes provinsi
ingin bekerja sama dengan orang di luar pemerintahan lalu juga ada seminar
juga.
“Kita tuh pengennya nih, harus bisa menjual dulu nih. Menjual kayak
gimana rupa, kita kemas sedemikian rupa. Kita nanti ada orang-orang
yang di luar pemerintahan. Kata dokter Risa bilang, ada CSR nya yang
101
ngebantu. Pengennya sih ke arah sana untuk tahun depan. Tapi untuk
tahun ini kita kerja sama mah udah kerja sama sih. Nanti insyaa Allah ada
kegiatan juga.”
Perencanaan untuk tahun depan, dinkes Kota Bogor ingin memperbaiki
deteksi dini kesehatan jiwa agar masalah kesehatan jiwa dapat diketahui lebih
dini sehingga penanganannya dapat lebih optimal.
“Mungkin ke depannya ya itu, melakukan deteksi dini itu yang harus
dikejar, dibuat lagi inovasinya harus gimana niihh..”
d. Kebutuhan
Kebutuhan yang dianggap penting ke depannya oleh dinkes Provinsi Jawa
Barat ialah memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang menangani masalah
jiwa, baik untuk dokter maupun perawat yang nantinya dapat melakukan
layanan jiwadan deteksi dini masalah kesehatan jiwa selain di rumah sakit khusus
jiwa. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, hal yang akan dilakukan oleh dinkes
Provinsi Jawa Barat ialah dengan melakukan pelatihan. Pelatihan ini dilakukan
agar dokter percaya diri melakukan deteksi masalah gangguan jiwa di kabupaten
atau kota dan kemudian di Puskesmas.
“Kita tuh pengennya nih, harus bisa menjual dulu nih. Menjual kayak
gimana rupa, kita kemas sedemikian rupa. Kita nanti ada orang-orang
yang di luar pemerintahan. Kata dokter Risa bilang, ada CSR nya yang
ngebantu. Pengennya sih ke arah sana untuk tahun depan. Tapi untuk
tahun ini kita kerja sama mah udah kerja sama sih. Nanti insyaa Allah ada
kegiatan juga.”
Sedangkan kebutuhan program di dinkes Kota Bogor ke depannya ialah
pelaksanaan deteksi dini kesehatan jiwa dan penambahan SDM baik di dinas
kesehatan maupun di Puskesmas sehingga pelaksanaan program jiwa dapat lebih
optimal. Informan menyampaikan:
“Mungkin kekurangannya, setelah saya evaluasi ya itu, kebutuhan deteksi
dini di awal harus lebih.. Di awal lebih banyaklah...”
“Sedangkan tenaga, kita tidak ada pengangkatan PNS dari tahun 2013.
Terus honorer, di kota Bogor ini tidak boleh ada honorer.”
102
4. Peran dan kebutuhan pelayanan dan pencegahan kesehatan jiwa
Sebagian besar kader maupun ODGJ yang diwawancara menyampaikan
bahwa pelayanan terkait kesehatan jiwa di Kota Bogor telah cukup memuaskan.
Baik dari pelayanan di puskesmas maupun di RSJ Kota Bogor. Seorang kader
menyebutkan bahwa pasien ODGJ di wilayahnya yang telah mendapatkan
pengobatan, sebulan sekali melakukan kontrol dan pengambilan obat jiwa di
Puskesmas. Sementara itu kontrol ke RSJ dilakukan setahun sekali. Pada saat
kontrol ke RSJ tersebut pasien melakukan pemeriksaan ke psikiater untuk
menentukan pengobatan atau terapi yang selanjutnya dilakukan. Kebutuhan
pelayanan kesehatan jiwa dirasakan tidak ada masalah. Bagi yang bermasalah
ekonomi, bisa didaftarkan untuk mendapatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS)
sehingga bisa mendapatkan pengobatan tanpa harus membayar. Namun, ada
juga yang berpendapat bahwa berobat ke RSJ itu susah, hal ini dikarenakan
masyarakat belum mengetahui alur proses pengobatan jalan di RSJ, seperti
kutipan dari kader S berikut :
“Cuma kadang- kadang ya kalau ini kan nggak tahu jalurnya dia bu. Kalau
dia yang dapet KIS dapet apa kan harusnya ke rumah sakit, ini rumah
sakitnya gak tahu kan, asal masuk, kadang- kadang ditolak. Karena
mereka nggak mengerti alurnya. Bilangnya gak bagus karena itu, karena
ngak ngerti jalurnya aja. Sebenarnya kalau tahu jalurnya bagus..”.
Seorang kader dari sindang barang juga menyebutkan bahwa menurutnya
pelayanan kesehatan jiwa yang didatangi oleh para penderita ODGJ yaitu di
Puskesmas Sindang barang dan RSJ Marzoeki Mahdi. Begitu pula dengan ODGJ
dari sindang barang yang diwawancarai. Seorang ODGJ menyatakan bahwa
pelayanan kesehatan di RSJ sudah baik. Akan tetapi dirinya pernah merasakan
cukup lama pada saat melakukan kontrol ke RSJ. Seperti kutipan ODGJ Z berikut
ini:
“nunggu nya lama. pertama ke sepuluh kayaknya ya. 10 hari, itu jam 8
sampai jam 8 lagi saya rasain itu..”
103
Ia menyatakan bahwa hal itu terjadi di awal-awal dirinya melakukan
pemeriksaan di RSJ. Saat ini waktu yang dibutuhkan untuk sekali kontrol ke RSJ
sudah tidak terlalu lama lagi.
Seorang ODGJ di kelurahan Sindang barang mengaku bahwa ia berobat ke
Puskesmas setiap 2 minggu sekali, yaitu untuk mengambil obat. Dari sini bisa
dikatakan bahwa pemberian obat disesuaikan dengan ketersediaan obat masing-
masing puskesmas, sehingga ada yang memberikan obat jiwa sebulan sekali,
namun ada juga yang memberikan obat jiwa per 2 mingguan.
Upaya pelayanan kesehatan alternatif seperti membawa ke ahli agama
(ustadz) selain pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan juga ditemukan
berdasarkan informasi dari beberapa informan, ODGJ dan masyarakat. Akan
tetapi upaya pengobatan alternatif tersebut tidak membuahkan hasil, sehingga
ODGJ akhirnya dibawa ke fasilitas kesehatan (RSJ dan puskesmas).
Upaya pencegahan masalah kesehatan jiwa yang dilakukan di Kelurahan
Tanahsereal menurut salah seorang kader yaitu seperti kegiatan Karang Taruna,
kemudian penyuluhan di Posbindu juga pernah dilakukan yang mengenai
kesehatan jiwa.
Berdasarkan wawancara dengan TOMA diketahui bahwa masih ada kebutuhan
pendanaan agar bisa melaksanakan kegiatan-kegiatan pencegahan masalah
kejiwaan di masyarakat.
5. Stigma dan persepsi terkait gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi,
psikotik)
Stigma atau pandangan masyarakat terhadap penderita ODGJ masih
terjadi di masyarakat. Stigma ini dirasa sudah mulai berkurang, akan tetapi
masih ada. Sebagai contoh, dari seorang kader menyebutkan bahwa masih ada
stigma yaitu keluarga masih menyembunyikan anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa. Stigma yang ada membuat pasien depresi dan cemas masih
belum tertangani karena terkendala stigma tentang sakit jiwa jika berobat ke
RSJ/puskesmas poli jiwa. Seperti yang diungkapkan programer jiwa Y berikut;
104
“Saya kira gini ya, orang Indonesia itu teh sudah seperti saya katakan
malu dengan penyakitnya dan ketidakterbukaan itu loh gitu loh. Misalnya
contoh, saya banyak menemukan misalnya dia itu sebenarnya butuh
bantuan, misalnya contoh nggak bisa tidur, gitu ya, terus kemudian nafsu
makannya berkurang, terus sebenarnya punya banyak masalah di rumah
gitu kan, tapi bilangnya carangkeul, badan saya capek- capek, pegel-
pegel. Dikasih minum obat otomatis kan nanti kan balik lagi kalau
obatnya habis kan tidak menyelesaikan masalah. Nah kadang- kadang,
udah- udah yang seperti itu juga nggak- nggak mau terbuka. Ada juga tuh
yang saya pernah dapat dia dari orang berada sampai ngejual rumah ke
dukun, dia bilang guna- guna, ada juga begitu, gitu. Jadi kalau misalnya
ini ada dulu ya, saya kan nama poli saya dulu- dulu bukan poli curhat, poli
jiwa. Saya di bawah dulu”
Hal ini sama persis dengan pengakuan seorang pasien cemas, yang
merasa takut untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ke RSJ karena khawatir
akan penilaian buruk di masyarakat.
Seorang kader dari tanahsereal menyatakan bahwa di lingkungannya
tidak terdapat stigma atau pandangan yang buruk terhadap ODGJ. Seperti
dikatakan kader S dalam kutipan berikut ini :
“Lingkungan di sini mah biasa aja nerima aja sih, pada dirangkul gitu
diajak ini, jadi gak diasingkan..”(kader s tanahsereal).
Berbeda dengan kelurahan tanah sereal, di sindang barang kader
menyatakan bahwa masih terdapat stigma terhadap penderita ODGJ, seperti
dinyatakan oleh kader C dalam kutipan berikut:
“kadang ada ya. Jadinya seperti, jangan deket- deket sama itu, dia
soalnya agak stress, gitu bilangnya. Tapinya orang yang jiwanya itu
nggak mau juga dibilang gitu, negatif warga ya ke yang jiwa. Iya gitu,
suka jangan dideketin, jangan terlalu deket- deket, padahal kalau dia
105
nggak ngamuk- ngamuk, kata saya nggak usah takut, jadi anak kecil juga
pada takut..”
Berbeda dengan pengakuan dari petugas kesehatan diatas, seorang ODGJ
dari kelurahan sindang barang yang diwawancarai memberi keterangan bahwa
dirinya tidak merasakan adanya perbedaan perlakuan (diskriminasi) serta
perbuatan-perbuatan yang kurang menyenangkan dari para tetangga nya.
Seorang tokoh masyarakat yang menjadi saksi terhadap terjadinya
peristiwa pembunuhan oleh ODGJ menyatakan bahwa setelah peristiwa
pembunuhan tersebut, masyarakat agak sulit untuk bisa menerima ODGJ
tersebut ke tengah-tengah masyarakat lagi, karena mereka khawatir kejadian
akan terulang kembali. Kutipan berikut ini :
“Ada sampai yang bilang gini “Udah aja suntik mati...”
6. Upaya pelayanan gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik)
a. Nakes
Kota Bogor memiliki Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) yang
merupakan rujukan nasional penanganan masalah gangguan jiwa. Layanan
terhadap penderita gangguan jiwa yang utama ialah pengobatan. Seperti yang
dikatakan oleh informan dokter jiwa di RSMM
“jadi dengan pengobatan farmasi dan juga non- farmasi.”
“Rumah sakit Marzoeki Mahdi ini, kita ada pemberian psikofarmaka itu di
poliklinik, itu kan pengobatan seperti rutin seperti ini, itu untukobat-
obatannya.”
Sedangkan pelayanan non farmasi ada kegiatan rehabilitasi psikososial,
edukasi ke masyarakat, serta pemantauan pasung di masyarakat. Informan
menambahkan
“Nah biasanya dengan non farmasi ini kita melakukan dengan rehabilitasi
psikososial itu ya. Jadi misalnya dia apa namanya ya mungkin dengan
106
terapi- terapi perilaku, terapi kognitifnya ya. kemudian vikasionalnya,
artinya latihan- latihan kerjanya.”
Kepala instalasi rehabilitasi psikososial menjelaskan kegiatan rehabilitasi
psikososial yang dilakukan RSMM kepada ODGJ. Rehabilitasi psikososial ini
dilakukan agar ODGJ dapat kembali menjalankan aktifitas sehari-hari seperti
fungsinya sebelum mengalami gangguan jiwa.
“rehabilitasi psikososial itu merupakan modalitas terapi untuk orang
dengan gangguan jiwa, begitu. jadi orang yang gangguan jiwa itu kan
mengalami yang namanya disabilitas atau ketidakmampuan
mengerjakan aktifitas dan fungsi sehari- harinya, misalnya gara- gara ada
halusinasi ada bisikan- bisikan, lihat bayangan atau ada delusi, dia takut,
waswas, nggak mau keluar rumah, atau ada gejala negatif dari penyakit
schyzophreniaatau mood nya yang menurun pada depresi, atau ada
gangguan- gangguan yang lainnya ya membuat dia gak bisa
menjalankan aktifitas sehari- hari”
Kegiatan rehabilitasi psikososoal diawali dengan psikoedukasi yaitu
pemberian materi mengenai kesehatan jiwa pengetahuan mengenai gejalayang
dialami, bagaimana mengenali gejala yang dialami, apa yang perlu dilakukan jika
mengalami gejala gangguan jiwa dan kemana mencari pertolongan jika
mengalami gejala gangguan jiwa. Psikiater yang merupakan informan
menjelaskan
“Psikoedukasi tuh pemberian materi kesehatan jiwa dengan tujuan
meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan kemampuan pasien
mengenali penyakitnya gitu, jadi psikoedukasi itu rutin kita kasih tentang
apa sih gejala-gejala gangguan jiwa, apa sih yang dilakukan kalau kamu
terkena gangguan jiwa. Pilihan pengobatannya apa, dan pengobatannya
apa, pentingnya melakukan terapi bicara bagaimana, gitu ya. Efek
samping obatnya seperti apa. Dengan pasien lebih menyadari apa yang
107
terjadi pada dirinya, dan mengetahui apa yang dia harus kerjakan, itu
akan mempercepat proses pemulihan.”
Kegiatan lain dalam rehabilitasi psikososial ialah keterampilan sosial bagi
ODGJ karena biasanya kemampuan sosial penderita menurun. Berikut informasi
dari psikiater RSMM;
“kita ada yang namanya latihan keterampilan sosial. Jadi pasien itu
kemampuan keterampilan sosialnya”
“nah itu ada terapi atau latihan keterampilan sosial, atau social skill
training, diajarin lagi kamu kalau ada orang berbicara, tatap matanya,
badannya agak maju ke depan, kemudian bilang ya oh gitu ya, atau
mengulan apa yang dia ucapkan, untuk menunjukkan kamu dengerin dia.
jadi orang yang diajak ngobrolpun enak ngobrolnya dengan pasien.
Pemulihan daya pikir juga dilatih dalam rehabilitasi psikososial yaitu
dengan remediasi kognitif, penderita dilatih untuk memusatkan pikiran,
kemampuan berkonsentrasi, serta memperbaiki kemampuan ingatannya. Seperti
dikatakan informan;
“Orang dengan gangguan jiwa itu megalami gangguan di kognitifnya.
Kognitif itu apa, kemampuan untuk memusatkan perhatian, kemampuan
untuk berkonsentrasi, kemampuan untuk kemudian apa namanya
memori gitu ya, daya ingat, dan kemampuan memecahkan masalah,
kecepatan motoriknya, kelancaran ngobrolnya itu semua kognitif. Nah
pada gangguan jiwa kognitifnya sudah terganggu juga, sehingga kita
perlu lakukan namanya latiihan remediasi kognitif.”
Kemandirian penderita juga perlu diupayakan agar dapat memiliki
penghasilan, pelatihan mengenai berbagai keterampilan juga diajarkan di
rehabilitasi psikososial yang disebut terapi okupasi dan vokasional.
108
“Nah ini buatan mereka nih, bikin gerabah dari tanah liat, bikin kerajinan
sulaman seperti ini, kerajinan flanel.”
“Terus bikin telor asin, ada perkebunan, tanaman organik dan hidroponik,
itu dia yang dilakukan di rehab.”
“latihan namanya latihan keterampilan hidup, nah ini juga dilatih, latihan
keterampilan hidup. Jadi gimana sih cara beresin tempat tidur,
menyiapkan meja makan, kebersihan diri.”
Selain pengobatan yang dilakukan di rumah sakit, RSMM juga berperan
aktif melakukan pendampingan ke Puskesmas. Psikiater S mengatakan bahwa
bidang kesehatan jiwa masyarakat(keswamas) di RSMM banyak melakukan
pendampingan ke Puskesmas dan turun ke masyarakat. Seperti disampaikan;
“kita ke puskesmas- puskesmas selain pendampingan, terapi ya terhadap
orang dengan gangguan jiwa, juga edukasi tentang atau memberikan
apa namanya apa itu gangguan jiwa, penyuluhan, apa itu maksudnya
gangguan jiwanya ininya bagaimana, ciri- cirinya, terus kemudian
bagaimana ininya kelanjutannya atau bagaimnana juga keluaarganya
gitu”
Rumah sakit Marzoeki Mahdi juga gencar mendatangi masyarakat jika
mendapat informasi ada yang mengalami pasung. Psikiater S menambahkan;
“terus kita juga ngadain atau berkoordinasi dengan dinas setempat
tentang pembebasan pasung, ya gitu. kemudian kerjasama dengan dinas
sosial, ya untuk yang gelandangan, psikotik, gitu. Jadi untuk kalau
menurut saya sih kita sudah berusaha untuk pokoknya bahwa kesehatan
jiwa itu penting gitu aja”
Selain di rumah sakit, Puskesmas di Kota Bogor juga sudah melaksanakan
layanan kesehatan jiwa. Beberapa Puskesmas sudah melaksanakan poli jiwa yang
melayani pasien gangguan jiwa maupun pasien kesehatan jiwa. Puskesmas
109
mengubah nama poli jiwa menjadi poli curhat agar masyarakat yang memiliki
masalah gangguan jiwa maupun masalah kesehatan jiwa mau datang mencari
pengobatan tanpa terstigma negatif. Berikut kutipan wawancara dengan
responden:
“Jadi kalau misalnya ini ada dulu ya, saya kan nama poli saya dulu- dulu
bukan poli curhat, poli jiwa. Saya di bawah dulu.”
“Nah waktu saya buka tadinya itu dia poli, poli jiwa, pasien itu nunggunya
nggak di sini. Nunggunya (di) tukang bubur noh di depan. Malu, malu.
Terus datangnya siang- siang. Udah sepi. Nanti dipanggil tuh siapa gitu
orangnya siapa gitu suka teriak- teriak gitu. Nah kemari- kemari jadi
kesadaran mereka udah dibuat ini poli curhat senang mereka, jadi
sekarang pun, kayak tadi ada anak sekolah, mereka juga dateng ke sini,
gitu. Jadi mungkin sebutan pelabelan itu juga penting ya gitu”.
Kegiatan pelayanan jiwa Puskesmas di Kota Bogor ada beberapa bentuk.
Selain poli jiwa, Puskesmas juga memiliki program ACT (Assertive Community
Treatment) yang bekerja sama dengan rumah sakit Marzoeki Mahdi dalam
bentuk kunjungan tim Puskesmas dan rumah sakit mengunjungi pasien.
“Belum nanti lagi kita program pengembangan kita kan banyak bu, di
jiwa ini. Ada namanya ACT (Assertive Community Treatment), kita itu
bekerjasama dengan Marzoeki Mahdi. Jadi ini program yang memang
dikhususkan untuk pasie- pasien gangguan jiwa berat. Jadi nanti multi
disiplin ilmu kita turun ke lapangan gitu ya. Jadi kita nanti mengunjungi
pasien, jadi settingnya setting bukan rumah sakit, jadi kita yang
ngunjungin.”
Selain ACT Puskesmas juga memiliki program pemberdayaan pasien
melalui kegiatan SHG (Self Help Group). Kegiatan ini berupa terapi kelompok
berisi pemberdayaan kepada pasien gangguan jiwa agar dapat memiliki keahlian
untuk mandiri.
110
“Kan masih ada program- program pengembangan yang lainnya.
Contohnya saya harus SHG (self- help group) untuk pasien- pasien
gangguan jiwa, iya jadi karena mereka itu dengan adanya terapi
kelompok seperti itu jadi dia merasa tidak sendiri. Sama keluarganya juga
diterapi gitu.”
Partisipasi masyarakat dalam pelayanan masalah kesehatan jiwa amat
penting. Salah satu sumber daya yang memiliki peran penting dalam membantu
Puskesmas dalam menangani masalah kesehatan jiwa di masyarakat ialah kader.
Kota Bogor memiliki kader kesehatan jiwa yang berperan dalam melakukan
deteksi masyarakat yang memiliki masalah kesehatan jiwa. Kader mendatangi
rumah masyarakat dan melakukan deteksi apakah ada anggota keluarga yang
memiliki masalah kesehatan jiwa.
“Kerena kader saya door to door. Kita punya deteksi yang satu tahun
sekali mereka itu harus meng update data, meng update data berapa
jumlah kelompok sehat, berapa jumlah kelompok resiko, berapa jumlah
gangguan.”
Selain membentuk kader jiwa, Puskesmas juga memiliki kebijakan
penanganan gangguan jiwa dengan membentuk kelurahan siaga jiwa. Kelurahan
siaga jiwa ini dibentuk berawal dari kerja sama dengan Fakultas Ilmu
Keperawatan UI. Kelurahan siaga jiwa ini dibentuk agar ada partisipasi
masyarakat dalam membantu pasien gangguan jiwa untuk berobat dan kembali
ke masyarakat.
“Kebijakannya kalau di puskesmas ya jelas kita sudah punya kelurahan
siaga sehat jiwa, terus kemudian kita ada polinya, terus kemudian yang
jelas kita mengedepankan pasien itu ya, maksudnya bener- bener
bagaimana dia bisa mandiri”.
111
b. Masyarakat dan toma
Upaya pelayanan kesehatan jiwa menurut salah satu informan tokoh
masyarakat di Kota Bogor sudah bagus. Hal ini karena masyarakat sudah memiliki
KIS sehingga pengobatan gratis. Penerimaan Puskesmas di masyarakat juga
sangat baik.
“Penerimaan puskesmas sini, bagus. Karena kan di warga saya ini udah
mempunyai KIS ya, satu-satu tuh.”
c. Pasien
Pelayanan kesehatan jiwa merupakan aspek penting dalam
penanggulangan masalah kesehatan jiwa. Pelayanan jiwa di Kota Bogor terutama
dilakukan di rumah sakit dan juga di Puskesmas. Menurut informan penderita
ODGJ berinisial T, pelayanan yang diterima di Puskesmas sudah cukup bagus.
“enak, yaa cocok aja ama itunya, (petugasnya) Baik- baik aja, kadang
suka cerewet doang”
Selain itu, penderita mengaku lebih memilih untuk berobat ke Puskesmas
karena dekat sehingga pemeriksaan dan pengambilan obat lebih mudah
dilakukan dan obat selalu tersedia.
“udah cocok sih obatnya, manjur yang dikasih ama buyeni. cocok
kayaknya iya”
(Obat) ada terus , nggak pernah kosong gitu ada ajah”
Selain ke Puskesmas, penderita juga ada yang ke rumah sakit yaitu ke
RSMM. Pelayanan di RSMM pada penderita berinisial Z terkadang dia juga ke
rumah sakit. Ia dan keluarganya mengakui kalau pelayanan di RSMM sudah baik.
“baik, dokternya baik, dibilang harus ada kegiatan”
“sudah baiklah...”
Namun demikian, tidak semua penderita mencari pengobatan ke
pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun Puskesmas. Salah satu
penderita gangguan cemas berinisial L mengatakan tidak mencari pengobatan ke
112
rumah sakit maupun Puskesmas karena khawatir dengan stigma dan pandangan
masyarakat jika ia pergi ke rumah sakit yang identik dengan gangguan jiwa
tersebut.
“Tapi nanti tembusan aja di warga-warga. Aku mah cicing wae pura-pura
ga tahu kan. Nanti teh “Laras, bener bukan kamu pergi Marzuki Mahdi?”,
cenah. “Kata siapa”. Laras pura-pura kayak gitu kan. “Ih ada kabar
burung, Laras masuk ke itu tuh, yang sebelah orang-orang pada diitu”,
cenah. Ya Laras mah ga ma bohong yah “Iyah Laras ke Marzuki Mahdi.
Tapi Laras bukan ke tempat gilanya”, kata Laras gitu. “Laras mau tes
kecemasan, Laras mau tes jiwa”, kata Laras. “Laras, tes jiwa itu te gila..”
katanya gitu. Sotoy kan dia? Aku mah nanggepin lagi kan malah jadi
emosi nanti. “Oh tes jiwa tuh tes gila?” “iyah”, cenah. Yaudah, pergi
langsung Laras. Mau gimana lagi. Aku dilawan, aku yag stres nanti.”
7. Upaya pencegahan gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik)
terkait kegiatan dan sumber daya
a. Nakes
Upaya pencegahan gangguan jiwa perlu dilakukan agar masalahnya tidak
semakin bertambah. Namun hal ini diakui belum banyak dilakukan. Psikiater di
RSMM mengakui bahwa pencegahan gangguan jiwa masih berupa kegiatan-
kegiatan peringatan saja, namun belum ada kegiatan preventif dan promotif
yang terprogram.
“Tapi untuk promosi ya itu kayaknya masih belum, promosi kesehatan
jiwanya tuh masih belum, walaupun suda ada event- event tentang
kesehatan jiwa, untuk bunuh diri, kesehatan anak, geriatri ya itu sudah
ada tapi hanya sebatans itu hanya waktu event aja, hari kesehatan terus
kemudian tentang bunuh diri hanya itu saja event- event itu aja”
Dinkes Kota Bogor mengatakan, upaya pencegahan amat perlu dilakukan.
Dinkes kota Bogor akan mengupayakan pencegahan masalah kesehatan jiwa
dengan melakukan deteksi dini masalah kesehatan jiwa. harapan dari deteksi ini
113
ialah dapat menemukan masalah kesehatan jiwa lebih awal sehingga
pengobatannya tidak terlalu berat. Seperti dikatakan oleh pelaksana program
kesehatan jiwa;
“Kalau tahun depan, preventif promotifnya itu, dengan case findingnya
lebih banyak, kita bisa mencegah orang yang tadinya gejala, tidak bisa
menjadi gangguan. Kan ketika dia sudah gangguan, dia butuh obat lah,
untuk apa... Tapi kalau sudah bisa dicegah dari ranah depannya, berarti
kan dia Cuma perbaiki apa-apanya, lebih ke preventifnya ya..
Pencegehanya, gitu.”
b. Masyarakat (kasus dan normal), kader dan toma
Kegiatan pencegahan masalah kesehatan jiwa yang dilakukan di
masyarakat di Kota Bogor diantaranya ialah membentuk organisasi anak-anak
muda untuk menjaga kebersamaan dan memberikan kegiatan positif pengisi
waktu luang agar anak muda tidak terjerumus ke hal-hal yang kurang baik;
“Organisasi anak-anak muda, apa ya.. Cuma hanya untuk kebersamaan
aja bu. Saya bina untuk kebersamaan.”
“Kadang-kadang kan grup ini.. Enggak lah.. Takut kedengeran sama
orang, ga enak. Cuma saya membina seperti itu, kebersamaan. Selalu
saya pantau dengan mereka, kebersamaan dengan mereka, gitu aja.
Kegiatan saya di lingkungan sebagai RT”
“Nah kalau penyuluhan gitu ga ada. Tapi saya suka bercanda, “Ulah
bengong atuh budak ngora teh, engke stress geura. Hayuk kumaha
carana.., gitu.”
Organisasi pemuda ini dibuat agar ada kegiatan karena banyak yang
masih menganggur. Organisasi pemuda ini diarahkan menjadi sarana bertukar
pikiran, ajang berkegiatan positif. Pengangguran ini menjadi celah masuknya
narkoba yang menurut informan tokoh masyarakat yang diwawancara menjadi
penyebab beberapa warganya mengalami gangguan jiwa. Berikut kutipannya;
114
“kebanyakan anak-anak muda ini, suka main ini ya, kartu domino.
Makanya saya kalau bisa, kalau bisa ini lepaskan. Jangan ini.. Kalau mau
kumpul-kumpul aja bertuker pikiran, kalau mau kerja nanti seperti apa.
Jangan sampe ada yang nganggur. Bahkan saya diajukan malam jumat
ini suka dibawa ke mushola, acara pengajian Yasin gitu bu. Tapi ada juga
yang membandel, yang udah nurut juga ada. Ga semua jadi, enggak.”
Alasan tokoh masyarakat tersebut memantau karena jangan sampai ada
warga yang terlibat masalah dan kemudian terjerat narkoba dan kemudian
mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami salah satu warganya.
“saya menjadi kepengurusan, anak-anak mudanya jangan sampai ada
yang terlibat obat, narkoba, gitu ya, yang saya jaga seperti itu aja. dan
kalau memang faktornya ekonomi, banyak yang kekurangan, banyak.
Kalau di warga saya banyak.”
“Kalau anda semua kayak begini, orang tua kamu kalau kerja dia ada
apa-apa, kamu bisa ga untuk menjamin diri kamu seandainya dibawa ke
kantor polisi. Yang akan menanggung siapa?, contoh.. Makanya saya
bilang Ibroh contoh saya bu”
Kesimpulan
1. Pemahaman mengenai kesehatan pada masyarakat meliputi kesehatan
jasmani dan rohani. Seorang pasien ODGJ menyebutkan bahwa kesehatan
termasuk “sehat pikiran”. Gangguan jiwa mengalami peningkatan
kejadiannya di Provinsi Jawa Barat, khususnya Kota Bogor. Penyebab
terjadinya gangguan kejiwaan yaitu masalah ekonomi, masalah sosial dan
juga narkoba.
2. Tradisi dan budaya terkait kesehatan jiwa tidak banyak terdapat di Kota
Bogor. Kegiatan yang dilakukan di masyarakat dalam rangka pembinaan
rohani yaitu pelaksanaan pengajian di lingkungan setempat.
115
3. Pelayanan kesehatan yang dikunjungi oleh pasien ODGJ yaitu Puskesmas
dan RSJ. Pelayanan kesehatan pertama yang dikunjungi adalah Puskesmas,
untuk deteksi lebih lanjut dan pemberian obat dilakukan di RSJ. Sebelum
mengunjungi pelayanan kesehatan, beberapa orang pasien juga
mengunjungi pelayanan kesehatan alternatif, seperti ustadz maupun tabib.
4. Stigma masih terjadi di lingkungan Kota Bogor, meskipun sudah berkurang.
Stigma yang terjadi di masyarakat ini menyebabkan pasien kejiwaan urung
melakukan pemeriksaan di fasilitas kesehatan, sehingga tidak bisa
mendapatkan pelayanan kesehatan dengan tepat.
5. Masalah kesehatan jiwa melai diperhatikan baik di Dinkes Provinsi Jawa
Barat maupun di Dinkes Kota Bogor, salah satunya ialah karena misi
gubernur Jawa Barat “Jawa Barat Bebas Pasung 2018”. Masalah kesehatan
jiwadi tahun 2017 juga dirasa sedang naik daun oleh dinkes Kota Bogor dan
digandeng berbagai pihak dan diikutsertakan dalam berbagai program
kesehatan(PTM, lansia, haji, PKPR, penanggulangan bencana).
6. Kebijakan mengenai kesehatan jiwa juga mulai ada yaitu di dinkes Provinsi
Jawa Barat mengupayakan pemberdayaan ODGJ untuk diterima bekerja
melalui Perda. Kebijakan di Dinkes Kota Bogor untuk mempermudah
penderita mendapatkan layanan ialah dengan kebijakan rujukan pasien
jiwa dari Puskesmas (faskes 1) dapat langsung ke RS Marzuki Mahdi (Faskes
3), kebijakan lainnya ialah diperbolehkannya Puskesmas (layanan primer)
untuk memberikan obat jiwa, ACT kerja sama dengan RS Marzuki Mahdi.
7. Pengobatan yang komprehensif juga sudah ada di Kota Bogor melalui
RSMM dengan program rehabilitasi psikososial kepada ODGJ yang berupa
pemberian social skill, psikoedukasi, remediasi kognitif serta pelatihan life
skill serta keterampilan. Kerja sama dengan Puskesmas dan
mengikutsertakan masyarakat dalam penanggulangan gangguan jiwa sudah
ada melalui program ACT (Assertive Community Treatment) dimana
masyarakat dapat mengupayakan pertolongan kepada penderita gangguan
jiwa langsung ke RSMM.
116
8. Beberapa Puskesmas sudah memiliki poli jiwa yang melayani gangguan jiwa
masyarakat baik berupa konsultasi maupun pemberian obat jiwa.
9 Pelayanan di RSMM dan Puskesmas yang melayani gangguan jiwa dirasa
sudah cukup baik baik dari tenaga kesehatannya maupun ketersediaan
obat jiwa.
10. Kerja sama lintas sektor sudah mulai dilakukan. Di Dinkes Provinsi Jawa
Barat sudah bekerja sama dengan dinas sosial, MenkoPMK, Kementrian
Sosial, Kementrian Kesehatan, kemudian BPJS dan kepolisian untuk
menangani gangguan jiwa. sedangkan di Kota Bogor kerja sama yang
dilakukan antara lain dengan FIK UI, LSM peduli skizofrenia, disnaker, juga
ke swasta untuk pemberdayaan ODGJ, serta LSM peduli skizofrenia.
11. Kendala yang dihadapi baik dari dinkes Provinsi Jawa Barat, dinkes Kota
Bogor dan Puskesmas ialah kendala pendanaan serta ketersediaan SDM.
Tenaga yang ada saat ini juga merangkap memegang program lainnya
sehingga tidak fokus menangani program jiwa.
12. Peran serta masyarakat di Kota Bogor sudah mulai dibangun salah satunya
ialah dengan adanya kader jiwa yang membantu mendeteksi warga yang
terindikasi mengalami masalah gangguan jiwa, kelurahan Siaga Jiwa serta
program ACT.
Kabupaten Jombang
D2. Hasil Kualitatif Kabupaten Jombang
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Gangguan Kesehatan Jiwa dari Perspektif
Provider Kesehatan
1. Masalah Kesehatan Jiwa
Masalah kesehatan jiwa telah menjadi prioritas di dinkes provinsi sejak
tahun 2012 dengan misi ‘Jatim bebas pasung’. Hal ini disusul oleh dinkes
kabupaten yang baru memprioritaskan masalah kesehatan jiwa pada tahun 2016
dan 2017. Sebaliknya, RSUD menyatakan bahwa pasung belum menjadi prioritas
117
meskipun terjadi peningkatan kasus gangguan jiwa. Meskipun begitu, rumah
sakit mengakui bahwa pasung sudah menurun meskipun masih terbilang banyak
yaitu 19 orang pada tahun 2017.
“Pasien dengan gangguan jiwa di kab Jombang tercatat makin meningkat namun
sayangnya belum menjadi prioritas dalam anggaran.” (Kabid Dinkes Kabupaten)
Kepala seksi pencegahan dan pengendalian PTM dan kesehatan jiwa juga
menyampaikan bahwa kesehatan jiwa merupakan salah satu prioritas, meskipun
masih belum didukung oleh alokasi dana yang dirasakan masih belum optimal
oleh dinas kesehatan kabupaten.
“kalau prioritas sdh jadi prioritas, tapi jadi PTM keswa masih baru anggaran yg
dikucurkan dari APBD masih terlalu sedikit tapi kami dapat dana dari BOK, kita
juga ikut dalam pembinaan tenaga medis kesehatan karena yang punya
anggaran utk kapasitas itu di TPSDK maka kita kita ikut disitu dlm masalah teknis
kita yangmenyediakan. Kebetulan anggarannya ikut ke psdk. Peningkatan
sumber daya kesehatan”(Ka Sie PPTM dan Jiwa)
Penanggung jawab program kesehatan jiwa di Puskesmas Cukir dan
Puskesmas Dukuh Klopo juga menyatakan bahwa kesehatan jiwa belum menjadi
prioritas. Faktor penyebab kesehatan jiwa berdasarkan kedua puskesmas yaitu
ekonomi, genetik, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Penyebab lainnya
dapat berasal dari masalah putus cinta, lingkungan, dan epilepsi/ trauma kepala.
2. Kebijakan
Pada tahun 2014, Gubernur mencanangkan Jawa Timur bebas pasung tahun
2017. Namun, banyak daerah yang belum mencapai target sehingga tahun
pencapaian mundur menjadi tahun 2019. Pada tingkat Provinsi, kebijakan terkait
kesehatan jiwa masih dalam bentuk surat edaran (SE) Gubernur untuk Jawa
Timur bebas pasung, dan juga sudah ada SK Gubernur untuk pembentukan tim
118
TPKJM (Tim Pengarah Kesehatan Jiwa Masyarakat) untuk membantu pemerintah
daerah dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa. Tim TPKJM di tingkat Provinsi
mencakup 25 instansi dari polda, dinas social , depag , perindustrian, pariwisata,
dan kantor dinas lainnya, termasuk dari perguruan tinggi. Kegiatan dan anggaran
TPKJM ini ditetapkan dalam SK Gubernur untuk TPKJM. Di tingkat Pusat TPKJM
merupakan Tim Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat, sedangkan di tingkat
Kabupaten/Kota merupakan Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat.
Dukungan SK di tingkat Provinsi harus diperbaharui setiap tahun, dengan Kepala
Dinas Kesehatan Jawa Timur sebagai ketua di tingkat Provinsi dan Gubernur
Jatim sebagai pembina serta Sekda Provinsi Jatim sebagai pengarah.
Dinkes kabupaten menyambut baik kebijakan TPKJM ini dan berupaya
untuk menerapkan. Upaya yang dilakukan yaitu dengan meningkatkan kapasitas
puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa melalui pelatihan
tenaga kesehatan dan kader, diantaranya dokter umum (GP plus) dan perawat
jiwa. Dari pelatihan ini diharapkan dapat mendukung pembentukan posyandu
jiwa dengan jumlah minimal satu posyandu per puskesmas. Di sisi lain, kebijakan
terkait pelayanan paripurna pasien gangguan jiwa di rumah sakit belum
terbentuk. Pelayanan pasien gangguan jiwa di RSUD baru terbatas integrasi
antara psikiater dan psikolog. Penanggung jawab program kesehatan jiwa
Puskesmas Cukir menyatakan kebijakan terkait program menyesuaikan dengan
Standar Pelayanan Minimal (SPM).
“Awal-awal dulu program jiwa stagnan. Tidak ada perkembangan yang
signifikan.” (PJ Program Keswa Puskesmas Dukuh Klopo)
3. Perencanaan dan Pembiayaan
Perencanaan kesehatan jiwa dibuat berdasarkan kebijakan provinsi dan
nasional. Di tingkat provinsi telah terbentuk Tim Pengarah Kesehatan Jiwa
Masyarakat (TPKJM). TPKJM merupakan kerjasama lintas sektor yang melibatkan
seluruh SKPD. Perencanaan anggaran pada dinas kesehatan kabupaten melalui
mekanisme bottom up dari puskesmas. Semua program di dinas kesehatan
119
mengajukan anggaran kemudian dirapatkan dalam forum bersama untuk
memutuskan prioritas sesuai renstra nasional.
Sumber pembiayaan utama kesehatan jiwa adalah APBD (tidak ada dana
dari Kementerian Kesehatan). Selain itu, ada tambahan dari perusahaan yaitu
dana CSR. Puskesmas juga dapat memanfaatkan dana BOK dan BPJS. Namun
demikian, dana puskesmas hanya cukup untuk kunjungan petugas puskesmas.
Penanggung Jawab Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Cukir dan Dukuh Klopo
menyatakan bahwa ada rencana anggaran posyandu jiwa berasal dari dana JKN.
“Operasional posyandu jiwa memakai uang pribadi untuk biaya konsumsi.
Karena tidak ada bantuan dari puskesmas.” (PJ Program Keswa Puskesmas Cukir)
BPJS menjadi sumber pendanaan di rumah sakit. Mekanisme lainnya
berupa subsidi silang antara BPJS dan rumah sakit. Adapun kendala yang
dihadapi yaitu biaya psikoterapi tidak ditanggung oleh BPJS. Biaya psikoterapi
cenderung lebih tinggi dan lebih sering tidak mencukupi sehingga hanya pasien
yang benar-benar membutuhkan yang mendapatkan terapi apabila antrian
pasien cukup banyak. Selain itu, keterlambatan ketersediaan obat masih terjadi
di rumah sakit.
“rata2 itu. Pernah sampai 1 jam lebih. Bkn pasien psikotik. Pasien yang anak
gangguan tingkah laku. Lama2 saya mikir kalau 1 jam pasien lainnya nunggu ,
akhirnya kalau butuh psikoterapy lebih lama saya rujuk ke psikolog. Dia
pasiennya belum terlalu banyak jadi bisa bantu utk pskoterapy. Hanya kalau bpjs
tertanggung sepertinya fee nya lebih tinggi dari yg di kembalikan bpj s”.
“ . . kecuali kalau pasien saya sedikit semua saya psikoteraphy bisa. Waktunya
juga tidak ada. Kalau pasien saya sedikit waktu saya ada bisa psikoterapy . kalau
pasiennya banyak saya pilih yang butuh. . itu ditanggung rumah sakit jadinya
tidak bpjs. Rugi rs.” (psikiater rumah sakit)
120
Perencanaan kegiatan dan anggaran program kesehatan jiwa dibuat
berdasarkan Surat Edaran Jawa Timur bebas pasung. Sumber anggaran program
berasal dari APBD provinsi dan APBD kabupaten (beberapa kabupaten).
Sementara itu, dana dekon tidak tersedia. Anggaran ini disediakan untuk validasi
data, koordinasi TPKJM, peningkatan pengetahuan petugas, dan pelatihan kader.
Penyerapan anggaran keswa sampai 15 September 2017 adalah 64% dari alokasi
1,75 milyar. Dana kesehatan jiwa cukup rendah apabila dibandingkan dengan
alokasi APBD provinsi untuk dinkes yaitu sebesar 123 milyar (10%).
"Utk jiwanya sendri 1,75 M. Penyerapannya baru 64% sampai 15 september . .
dari decon kita jiwa khusus tidak ada yang ada utk nafsa . . kegiatannya validasi
data , tpkjm koordinasi tpkjm, peningkatan pengetahuan petugas dan pelatihan
kader . langsung propinsi yang mengerjakan kita yang dating kesana disediakan
tempat disana." (PJ program Dinkes Jatim)
Sumber dana lainnya adalah dari CSR yang selama ini sudah berjalan dari PT.
Mercy. Disamping itu, ada juga dan dari dana pajak Rokok. Dana dekon dari
Pusat hanya ada untuk Napza.
Perencanaan dan pembiayaan program kesehatan jiwa di Puskesmas Cukir
menghadapi masalah tersendiri. Kepala puskesmas menyatakan bahwa
pelaksanaan program keswa belum optimal disebabkan oleh sistem keuangan
yang tidak disiplin. Program yang sudah direncanakan tidak terlaksana karena
BOK terlambat cair. Sebagai contoh, kegiatan bulan September tidak diikuti oleh
pencairan dana pada bulan tersebut. Keterlambatan bisa mencapai enam bulan.
Dana talangan pernah digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan, tetapi pada
akhirnya dana BOK tidak cair. Masalah lain yang timbul adalah tidak terserapnya
dana karena ketidaksinkronan perencanaan kegiatan antara puskesmas dan
dinkes. Puskesmas menganggarkan dana training, tetapi dinkes tidak
menyelenggarakan kegiatan training. Akibatnya, dana keswa puskesmas tidak
terserap.
121
"dana ini sebenarnya problem tidak tau apa karena system keuangan di Negara
kita atau di jombang itukan tidak bias on time. Maksudnya begini ketika kegiatan
bln September seharusnya kita sdh ada dana utk kegiatan bln September, rata2
tidak ada. Bok itu yang kan cair itu januari februari maret, april ini baru
diinformasikan baru mau cair sekarang sdh bln September kalau system
anggaran seperti ini kan artinya saya harus nalangin dulu. Kacau balau. Tidak
ada jalan keluar sampai saat ini. . . Karena pengalaman yang dulu sdh di talangin
ternyata dananya tidak cair. Tahun lalu kan bln juli agustus sdh di stop oleh
pemerintah itu yang dana bok." (Kapuskes Cukir)
Dana BOK pada tahun 2017 yaitu sebesar 400 juta. Ini artinya dana yang
harus terserap sekitar 50 juta per bulan. Dana ini dialokasikan untuk transportasi
kunjungan pasien dan pembentukan posyandu jiwa. Peningkatan alokasi dana
sangat diharapkan untuk operasional posyandu, insentif kader, dan
pembangunan rumah singgah.
"tinggi ini 400 jt an tahun ini. Pokoknya tidap bln harus menyerap 50 jt sekitar
segitu". (Kapuskes Cukir)
4. Pelaksanaan Program
Edukasi kesehatan jiwa dilaksanakan pada hampir seluruh institusi
kesehatan. RSUD mengkhususkan materi edukasi untuk pencegahan bunuh diri
dan kesehatan tempat kerja. Rata-rata kunjungan pasien di rumah sakit adalah
dua puluh orang sehari. Di tempat lain, puskesmas dibantu kader melaksanakan
kunjungan rumah sebagai usaha jemput bola menemukan pasien pasung dan
melaksanakan perawatan sebelum lepas pasung. Dinkes kabupaten membentuk
TPKJM yang salah satu tugasnya untuk membantu puskesmas melaksanakan
lepas pasung. Pasien lepas pasung beserta pasien gangguan jiwa lainnya
mendapat pengobatan dan menjalani rehabilitasi di posyandu jiwa. Dinas
Kabupaten menyatakan bahwa renstra daerah sudah menyesuaikan dengan
122
renstra nasional termasuk dalam program kesehata jiwa. Program kesehatan
jiwa meliputi promotif, preventif, rehabilitatif, dan kuratif.
Program kesehatan jiwa di baik di Puskesmas Cukir maupun Dukuh klopo
berjalan baik. Di Puskesmas Dukuh Klopo, jumlah kader cukup banyak, tetapi
jarang mendapat pelatihan. Posyandu dilakukan setiap Jum’at, yaitu minggu
pertama karaoke, minggu kedua pengajian, minggu ketiga keterampilan, dan
minggu keempat posyandu jiwa. Rekreasi ke tempat wisata dan jambore juga
rutin diadakan. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah belum tersedianya
tempat untuk pelaksanaan kesehatan jiwa. Pelaksaan posyandu jiwa masih
meminjam balai desa Dukuh Klopo.
“Program Keswa Kecamatan Cukir berjalan lancar. Cakupan melebihi target.” (PJ
Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Cukir)
Kepala seksi PTM Dinkes Jombang melaksanakan program lepas pasung
bersama tim penanganan kesehatan jiwa masyarakat (TPKJM). Program ini
dipimpin oleh dinsos. Sebelum lepas pasung, dinkes melakukan perawatan
terhadap pasien yaitu memandikan, membuat penampilan pasien menjadi
menarik, dan melatih sanitasi pribadi. Program ini dibantu oleh tiga pilar yaitu
kepala desa dan perangkatnya, babinsa bintara pembina desa (angkatan darat),
dan babin kamtib (polsek) serta sukarelawan dari masyarakat. Setelah lepas
pasung, dinsos merawat pasien berdasarkan pola pengembangan dan pola
keterampilan untuk mengembalikan pasien secara sosial. Selain itu, dinsos juga
menjaga ketahanan pangan dan melakukan pemberdayaan masyarakat.
"Kita punya program lepas pasung yang kebetulan leadingnya dinas social kita
support dinas kesehatan sebelum lepas pasung itu kita bergerak duluan dengan
tenaga sukarela di jombang sini ada 3 pilar itu ada dari pemerintahan desa, ada
dari babinsar ada dari kepolisian ada perangkat pamong. Jadi sebelum dilepas
kita sdh melakukan treatment2 seperti memandikan membuat penampilan mrk
123
menarik, kemudian yang paling utama sanitasi pribadi yang mereka harus
bisa."(Kasie PTM Dinkes Jombang)
Pelaksanaan program kesehatan jiwa di Dinkes Jombang sudah merambah
media elektronik. Tim promkes membuat pesan kesehatan menarik yang
disiarkan di stasiun radio swasta. Ini merupakan program edukasi. Tema yang
diangkat sesuai dengan kebutuhan masyarakat, misalnya DBD saat musim hujan,
gizi, dan materi tentang kesehatan jiwa.
"Promkes kerjasama dengan radio membentuk suatu pesan yang menarik karena
di sutrada oleh radio kita punya materi mrk yang menyarkan. Ini radio daerah
tapi swasta. Suara jombang itu punyanya kominfo kemudian dari dinas
pendidikan jg punya terus ada beberapa radio swata yang py mou dengan
promkes. . banyak ada 3 atau 4 radio." (Kasie PTM Dinkes Jombang)
Ketersediaan obat menjadi hal yang utama. Kasie PTM Dinkes Jombang
menyatakan APBD untuk pengadaan obat terbatas termasuk obat jiwa. Meskipun
demikian, ketersediaan obat mendapat dukungan penuh dari provinsi sehingga
masalah dapat diminimalisir. Hal ini sejalan dengan PJ program Dinkes Jatim yang
menyatakan bahwa ketersediaan obat cukup dan distribusi obat tidak
bermasalah. Kendala datang dari kepatuhan minum obat pasien. Lain halnya
dengan pendapat psikiater rumah sakit yang menyatakan bahwa distribusi obat
bermasalah. Biarpun begitu, obat-obat yang disediakan BPJS di rumah sakit
beragam dan cukup memuaskan.
" Yang jadi kendala obat. Karena apbd kita juga sangat terbatas sekali utk
pengadaan obat termasuk di dalam obat jiwa tapi kami dapat dukungan penuh
dari propinsi saya sendiri belum tau propinsi itu dari mana atau mungkin obatnya
dari pusat kita jg tidak tau. Tapi mungkin juga apbd propinsi. Kita kan tidak tau.
124
Di propinsi kalau saya kontak butuh obat itu ada. Dikirim kadang Kalau tidak bias
kita ambil kesana." (Kasie PTM Dinkes Jombang)
" tidak ada masalah kalau sampai ke pasien kendalanya kadang2 tidak diminum.
kalau stock lebih dari cukup dianggarkan 18 bln." (PJ program dinkes Jatim)
"ada banyak dan kalau menurut saya cukup memuaskan kalau pilihan obatnya.
Selama bpjs tidak ada masalah. Hanya beberapa ada keterlamabatan tapi tidak
lama masalahnya mungkin di distribusinya . yang marah2 farmasinya." (Psikiater
rumah sakit)
5. Lintas Sektor
Program kesehatan jiwa berjalan melibatkan kerjasama lintas sektor. Dinas
kesehatan bekerjasama dengan dinas sosial dalam melaksanakan program. Tim
lintas sektor yang dibentuk bernama TPKJM, yang terdiri dari 25 sektor SKPD,
termasuk polda. TPKJM aktif mengadakan pertemuan rutin dua kali dalam
setahun. Selain itu, kerjasama juga melibatkan yayasan/ padepokan. Tempat-
tempat tersebut menyelenggarakan terapi untuk pasien dengan gangguan jiwa.
Mereka bersedia berkolaborasi dengan puskesmas. Yayasan menyentuh terapi
spiritual dan puskesmas dari segi terapi medis. Lain halnya dengan rumah sakit,
RSUD bekerjasama dengan organisasi profesi.
Dinas kesehatan kabupaten bekerjasama lintas sektor untuk program
kesehatan jiwa, yaitu dengan balai latihan kerja (BLK), dinas pariwisata, dinas
sosial, dan dinas pendidikan. Di Puskesmas Cukir dan Dukuh Klopo, lintas sektor
yang terlibat yaitu Babinsa, Babinkamtibmas, dan petugas desa/ kelurahan. LSM
juga dilibatkan oleh puskesmas Dukuh Klopo. Kerjasama lintas sektoral berjalan
baik.
“babinsa mendukung. 3 pilar juga mendukung . . bpk miskan, pak hermanu sama
kepala desa. Pak hermanu polisi, pak miskan babinsa.” (kader keswa Dukuh
Klopo)
125
Dinas kesehatan Jatim mengawali upaya kerjasama lintas sektor di tingkat
provinsi. Tim ini terdiri dari seluruh SKPD, diantaranya dinsos, depag,
perindustrian, pariwisata, termasuk polda dan perguruan tinggi. Aspek legal
mengacu pada SK TPKJM yang dikeluarkan tahun 2014. SK ini menegaskan
struktur komando, yaitu tingkat pusat sebagai pembina, tingkat provinsi sebagai
pengarah, dan tingkat kabupaten sebagai pelaksana. Perbaruan SK pada Maret
2017 berisi spesifikasi struktur yaitu gubernur sebagai pembina, sekda sebagai
pengarah, dan kepala dinkes Jatim sebagai ketua di provinsi. Sejauh ini PJ
program dinkes Jatim menilai bahwa peran antar sektor dan koordinasi belum
optimal. Ketua tim dapat berasal dari Bappeda sebagai penentu anggaran.
Kejelasan peran juga diperlukan agar tidak saling mengandalkan. Kemudian
koordinasi yang harus lebih intensif dengan pihak industri dalam hal pemasaran
produk dan syarat ketentuan barang untuk dijual. Ini merupakan upaya bantuan
dari pihak industri terhadap hasil karya pasien posbindu.
“ . .sebagai leading tidak harus kesehatan sebenarnya , bisa jadi bapeda .
sebagai penentu anggaran kan bapeda jadi tidak harus kesehatan. Supaya
mereka sama2 menjalankan . .”
“ . . itu tadi dalam pemasaran dalam arti belum memenuhi sayarat utk dijual
seperti itu. Kalau mnrt saya sdh layak mungkin kurang koordinasi . . “ (PJ
Program Dinkes Jatim)
Implementasi kerjasama lintas sektor dapat dilihat di wilayah kerja
Puskesmas Dukuh Klopo. Pembentukan kerjasama lintas sektor bermula tahun
2014 setelah PJ keswa Dukuh Klopo mendapat pelatihan perawat jiwa. Tim ini
berperan dalam pelaksanaan program di lapangan, beberapa diantaranya yaitu
berkoordinasi dengan dinkes terkait penyediaan obat, penyediaan bahan-bahan
keterampilan posyandu jiwa, pengawalan saat rekreasi/ terapi sosialisasi, dan
penyediaan sarana transportasi. Kendala lintas sektor yang paling utama adalah
126
dari pihak keluarga. Masalah kesehatan jiwa tidak menjadi prioritas keluarga
yang memiliki kondisi ekonomi yang lemah.
“. . Kemudian disitu kan obat mahal saya koordinasi lagi dengan dinkes
terutama kami tim itu tadi . ..”
“. . baik dari kader, teman2, lintas sektoral intinya jadi tukang sampah kalau ada
ale2 beks diambil. .”
“. .kemudian kita Alhamdulillah sdh terapi sosialisasi itu tiap 6 bln sekali rekreasi
sama pak babinsa itu tadi. Ikut smua . . kita pakai mobilnya dinsos itu . . truk
yang ada tutupnya itu, punyanya kemensos . .ya mobil box, seperti box nya
tentara itu kita hanya kasih bensin saja sama kasih makan supirnya.”
“ . . yang sulit ya factor keluarga yang bergerak lintas sektoralnya, ada pamong
ngeterne , kita sdh pernah edukasi keluarga tapi ya pancet mawon jadi seakan
akan org dengan gangguan jiea tek’e bu anik, tek’e deso, ngeten bu. Jadi kalau
nggak kadernya yang jemput . .”
“ . . factor keluarga adalah nomer 1 , karena begini saya ini mau marah sama
keluarga gini, wong duwe keluarga kok ndak di ramut, nggak marahnya saya
jangankan ngopeni anaknya yang jiwa makan besok aja masih cari. Jadi 90%
dari pasien2 kami adlah dibawah ekonomi lemah. . .” (PJ keswa Dukuh Klopo)
6. Sumber Daya
Sumber daya manusia program kesehatan jiwa di dinkes kabupaten sudah
memadai. Untuk optimalisasi, perlu ditambah dan ditingkatkan jumlah dan
kualitasnya. Begitu juga dengan tenaga perawat di puskesmas yang terbatas,
bahkan ada perawat yang belum pernah dilatih kesehatan jiwa. Di RSUD,
psikiater menyatakan bahwa sarana ruangan untuk melakukan terapi kurang
memadai. meskipun begitu, jumlah psikiater dan perawat jiwa serta beban kerja
sudah memadai. dana untuk peningkatan kapasitas psikiater pun tersedia
sebesar tiga juta rupiah per tahun. Lain halnya di puskesmas, sumber daya
manusia baik di Puskesmas Cukir maupun Dukuh Klopo masih terbatas.
127
“Jumlah SDM kurang . . di puskesmas satu orang bisa memegang beberapa
program . . tidak pernah menerima pelatihan.” (PJ Program Kesehatan Jiwa
Puskesmas Cukir)
“kalau poli jiwa kurang tempat utk tes2 itu belum ada . seandai saya butuh utk
periksa MMi, itu ruangnya tidak ada. Tmpt utk mengerjakannya tidak ada. . .
disitu sambil org lalu lalang tidak enak. Kalaupun ada bisa dipakai ber 2 saya
dengan psikolog nya. Psikolog juga butuh ruang begitu.” (psikiater rumah sakit)
7. Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat sangat besar dalam mendukung program
kesehatan jiwa. Mereka mendukung dengan memberi informasi tetangga yang
memiliki gejala gangguan jiwa dan membawanya ke posyandu jiwa. Para kader
membantu pekerjaan perawat jiwa di posyandu. Dalam pembentukan posyandu
jiwa dan kolaborasi rehabilitasi, puskesmas juga bekerjasama dengan pimpinan
pondok pesantren/ tokoh agama. Namun, penanggung jawab program
kesehatan jiwa Puskesmas Cukir menyatakan bahwa peran masyarakat kurang
optimal karena kurangnya jumlah petugas sehingga pelaksanaan program jiwa
belum maksimal.
“Potensi masyarakat cukup bagus. . dapat dilihat dari keaktifan mereka dalam
posyandu jiwa.” (Dinkes Kabupaten)
“Masyarakat proaktif memberi informasi kepada petugas dan kader apabila
menemui masyarakat dengan tanda-tanda sakit jiwa.” (PJ Program Kesehatan
Jiwa Puskesmas Dukuh Klopo).
Peran organisasi di luar pemerintahan cukup besar dalam upaya pencegahan dan
pengendalian gangguan kesehatan jiwa. Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah
bekerjasama dengan organisasi profesi setempat dan kalangan akademisi sejak
128
pemerintah Provinsi Jawa Timur mencanangkan misi ‘Jatim Bebas Pasung tahun
2017’ pada tahun 2012, melalui pembentukan Tim Pembina/Pengarah Kesehatan
Jiwa Berbasis Masyarakat. Di tingkat Provinsi, beberapa universitas/lembaga
pendidikan yang terlibat dalam tim tersebut adalah beberapa univeristas di Jawa
Timur, seperti Universitas Jember, Universitas Muhamadiyah Jember, STIKES
Karya Husada Pare Kediri, STIKES Surabaya.
Sementara di tingkat Kabupaten, kerjasama melalui pembentukan Surat
Keputusan keterlibatan pakar dari akademisi atau universitas. Untuk Kabupaten
Jombang, telah bekerjasama dengan salah satu dosen Universitas Brawijaya yang
berlatar belakang psikologi untuk membantu pelaksanaan program kesehatan
jiwa berbasis masyarakat. Pengalaman pribadi dari dosen yang bersangkutan
menyatakan bahwa kebutuhan para penderita gangguan jiwa adalah dalam
aspek beradaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitar karena, khususnya
dalam aspek mengatasi stigma di masyarakat, ketrampilan hidup secara mandiri
dalam aspek ekonomi dan sosial, serta ketrampilan menjaga kesehatan atau
berperilaku hidup sehat serta mengatasi stress lebih baik. Intervensi ke arah
adaptasi di tingkat keluarga dan masyarakat, pengobatan rutin dan
pendampingan peningkatan ketrampilan individu dalam aspek sosial, ekonomi
dan kesehatan, telah dilakukan di wilayah terbatas di Kabupaten Jombang,
Lamongan dan Keidiri pada tahun 2012. Hasil penerapan penanangan gangguan
kesehatan jiwa di masyarakat ini menunjukkan hasil yang positif bagi penderita
gangguan jiwa atau ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) di lokasi setempat serta
bagi masyarakat sekitar. Informan seorang psikolog dari Universitas Brawijaya
menyatakan sebagai berikut:
“….di penelitian saya mau mengambil ttg penanganan pelepasan pasung
berbasis masyarakat. Awalnya kita punya dipropinsi itu cari pindah ke rumah
sakit. Ternyata setelah kita evaluasi hasilnya kurang optimal karena pulang dari
rmh sakit banyak re-pasung lagi. Jadi kami melihat ini ada ada miss yang tidak
129
kita kerjakan. Akhirnya dari penelitian itu kita kembangkan dengan pelepasan
pasung berbasis masyarkat..”
Penerapan intervensi mencakup proses pelepasan kasus pasung secara bertahap,
meningkatkan kemampuan para penderita gangguan jiwa atau bekas kasus
pasung dalam kemandirian secara ekonomi, sosial dan kesehatan. Pelepasan
kasus pasung dilakukan secara bertahap dalam beberap jam dan selanjutnya bisa
benar-benar bebas dengan pendampingan pihak keluarga dan petugas
kesehatan. Dalam proses pelepasan pasung petugas kesehatan juga melibatkan
lintas sektor, aparat setempat serta tokoh masyarakat. Proses pelepasan pasung
ini diawali dengan memberikan edukasi kepada keluarga dan masyarakat
setempat akan pentingnya menangani orang dengan gangguan jiwa dengan
menghilangkan stigma dan menerima dengan baik peran sosial dan ekonomi
mantan pasung dalam kegiatan di masyarakat. Di samping itu, pendampingan
oleh tenaga kesehatan Puskesmas untuk kepatuhan minum obat juga merupakan
peran penting dalam keberhasilan program pelepasan pasung. Pada tahap awal,
tim dari TPKJM membutuhkan setidaknya dua bulan untuk meyakinkan warga
atau masyarakat sekitar untuk menghilangkan stigma dan menerima mantan
pasung. Pendekatan yang dilakukan termasuk pendekatan kepada tokoh
masyarakat setempat, seperti kepala desa, kader kesehatan, dan aparat
setempat lainnya. Stigma yang ada di masyarakat pada umumnya terkait
perasaan aman yang menjamin bahwa penderita gangguan jiwa atau mantan
pasung tidak akan melukai orang lain atau diri sendiri. Di samping itu, keluarga
juga merasa belum yakin akan keberhasilan pengobatan penderita ODGJ apakah
akan terbebas atau sembuh dari gangguan jiwa. Tim TPKJM menjadi bagian dari
pedampingan keluarga dalam proses pelapasan pasung ini dan meyakinkan
masyarakat akan keamanan masyarakat setempat, karena jaminan keamanan ini
merupakan hal utama yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Informan dari tim TPKJM di Kabupatem Jombang menyatakan bahwa
pengalaman penerapan penanganan gangguan kesehatan jiwa di masyarakat di
130
tiga lokasi tersebut di atas, menunjukkan hasil yang positif dan selanjutnya
mendapat sambutan baik juga dari pemerintah daerah untuk penerapannya di
kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur.
Pada prinsipnya upaya yang dilakukan oleh TPJKM menggunakan prinsip
‘community mental health nursing’, seperti yang disampaikan oleh informan dari
Universitas Brawijaya (tim TPKJM Kab Jombang), dimana konsep ini
diperkenalkan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2012. Tim TPKJM akan
memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan penanggung jawab kesehatan
jiwa di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota maupun Puskesmas secara
berjenjang. Pelatihan juga disertai dengan petunjuk teknis dan modul sesuai
tingkatan basic, intermediate dan advance. Lama pelatihan di tingkat Provinsi
adalah 5 hari sedangkan di tingkat Kabupaten/Kota rata-rata selama 3 sampai
dengan 6 hari tergantung dari dana yang ada. Tenaga kesehatan yang dilatih
diharapkan sebanyak dua orang dari masing-masing Puskesmas. Kegiatan
tersebut didukung oleh dana dari Provinsi dan sebagian dari Kabupaten/Kota.
Salah satu bentuk upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat adalah melalui
terbentuknya ‘Posyandu Jiwa’. Menurut informan dari tim TPKJM, kegiatan
Posyandu Jiwa ini sudah diperkenalkan ke semua puskesmas di seluruh Provinsi
Jawa Timur. Meskipun pada kenyataannya masih belum semua puskesmas di
provinsi Jawa Timur dapat melaksanakan kegiatan Posyandu Jiwa.
Informan dari tim TPKJM Kabupaten Jombang meyatakan beberapa hal yang
perlu dilakukan ke depannya adalah program kesehatan jiwa yang mengarah
pada upaya promotif dan preventif yang lebih efektif dan mencapai sasaran,
termasuk sasaran di sekolah untuk usia anak dan remaja serta sasaran di tempat
kerja.
Informasi terkait peran organisasi atau lembaga di luar pemerintah dalam
penanganan penderita gangguan jiwa yang spesifik terjadi di Kabupaten Jombang
131
adalah peran dari kelompok religi. Kabupaten Jombang secara umum cukup
dikenal dengan sumber pendidikan agama Islam oleh beberapa pondok
pesantren. Seperti yang diungkapkan oleh informan tim TPKJM Kabupaten
Jombang, masih ada keluarga ODGJ yang mempercayai pondok pesantren
ataupun pendekatan agama sebagai salah satu cara untuk mengobati gangguan
jiwa. Para pemuka agama masih dianggap sebagai salah satu tokoh yang dapat
memberikan saran untuk kesembuhan gangguan jiwa. Terapi yang digunakan
pada dasarnya lebih ke arah terapi ‘doa’ atau ‘rukyah’ untuk mengeluarkan
pengaruh non medis yang dianggap sebagai penyebab terjadinya gangguan jiwa.
Meskipun demikian, ada salah satu lembaga sosial yang memberikan pelayanan
gangguan jiwa secara non medis dengan cara yang menyimpang di Kabupaten
Jombang ini. Lembaga sosial ini (disebut secara inisial: GCK) didukung secara
finansial dari swasta dan luar negri atas koordinator perorangan pemerhati
kesehatan jiwa, dan sudah memberikan pelayanan atas izin dari Dinas Sosial
setempat. Penyimpangan yang dilakukan oleh lembaga sosial ini adalah
menggunakan kekerasan fisik sebagai bagian dari terapi penanganan penderita
gangguan jiwa.
8. Saran/ Harapan
Harapan untuk keberlanjutan program kesehatan jiwa membutuhkan
perbaikan dari tenaga kesehatan sebagai pelaku kesehatan jiwa. Pengadaan
anggaran dana dari pusat dapat membantu optimalisasi program. Sarana
pendukung seperti modul, juknis pelayanan ksesehatan jiwa, dan instrumen
standar deteksi dini gangguan kesehatan jiwa dibutuhkan untuk keseragaman
pencatatan pelaporan serta monitoring evaluasi program. Peningkatan kapasitas
kabupaten dalam pencegahan dan penanganan kasus gangguan jiwa perlu
diintensifkan. Hal ini terutama untuk mendukung program posyandu jiwa
minimal satu posyandu per puskesmas. Adanya anggaran yang cukup untuk
pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat terutama untuk biaya operasional per
pertemuan. Tersedianya rumah singgah baik di lingkungan masyarakat maupun
di rumah sakit agar pasien mendapat perawatan memadai setelah menjalani
132
perawatan dan adaptasi dalam kehidupan bermasyarakat. Rumah sakit juga
membutuhkan ruang inap khusus pasien jiwa dan tempat untuk rehabilitasi
kognitif.
“kalau jangka pendek ingin ada rawat inap khusus utk psikiater rsud dan
rehabilitasi khusus psikiatri yang Utk rehabilitasi kongitif sama social skill latihan
social utk pasien2 schizofrenia yangber gaulnya sulit itu utk bengkel2 utk social
skillnya. Terus rehabilitasi kongitif itu nanati bisa diapaki pasien psikiatri sama
pasien pasca stroke yang ada gangguan kongitif . Terus rawat inap yang utk
gangguan jiwa. Tidak butuh banyak banyak 10/6 bed tidak apa2 yang penting
ada.” (psikiater rumah sakit)
Dinas kesehatan kabupaten menyarankan perlu adanya produk hukum
untuk program kesehatan jiwa, diantaranya kebijakan nasional Indonesia bebas
pasung dan SK menteri terkait kesehatan jiwa. Kebutuhan lain yaitu pokja
nasional untuk program kesehatan jiwa. Puskesmas Cukir dan Dukuh Klopo
menekankan kebutuhan dana untuk pemberdayaan . Hal ini penting sebagai
tindak lanjut pasca pengobatan. Selain itu, rumah singgah serta pembinaan dan
pelatihan petugas/ kader sangat penting untuk keberhasilan keberlanjutan
program.
9. Kendala
Pelaksanaan kesehatan jiwa memiliki beberapa kendala untuk optimalisasi
pencapaian program, diantaranya masalah dana. Anggaran kesehatan jiwa
terbatas, dana yang diberikan selalu lebih rendah dari yang diusulkan, dan
pencairan dana sering terlambat. Sistem pencatatan juga masih terlalu umum
sehingga spesifikasi format laporan menjadi suatu kebutuhan. Selain itu, hal-hal
terkait mekanisme atau teknis juga menjadi kendala, diantaranya belum
tersedianya mekanisme penanganan pasien yang tidak punya keluarga. sistem
rujukan di rumah sakit belum optimal, belum tersedianya jaringan (link) resmi
untuk konsultasi/ pendampingan psikiater di puskesmas, serta strategi khusus
133
untuk edukasi keluarga masyarakat untuk menangani kasus pasung. Sumber
daya tenaga kesehatan juga masih belum memadai dalam hal rasio penanganan
kasus jiwa.
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Gangguan kesehatan Jiwa dari Persepsi
Masyarakat
1. Persepsi tentang sehat dan kesehatan jiwa
Sehat menurut pasien dengan gangguan jiwa yaitu saat nafsu makan baik,
dapat berekreasi, dan memiliki pikiran jernih. Sedangkan, kesehatan jiwa
diartikan sebagai stres, dan memiliki banyak pikiran. Kondisi fisik yang dirasakan
pasien saat mengalami gangguan keehatan jiwa yaitu nafas berat, gelisah, lemas,
tidak nafsu makan, kesulitan menelan makanan, mual, sakit maag, pusing, dan
diare. Salah satu penyebab gelisah yang pasien rasakan adalah karena masalah
keluarga.
“Sehat itu waras, alhamdulillah.” (pasien depresi)
“Penyebab sumpek adalah anak saya susah dibilangin seperti menggoda saja ke
saya . . dulu-dulu lemes, ngedrop, tidak mau makan, nelen makan susah, habis
masak mual, suka mau pingsan, maag.” (pasien cemas)
2. Stigma
Stigma merupakan anggapan negatif terhadap seseorang. Pasien dengan
gangguan jiwa selalu mendapat stigma dari masyarakat, terutama pada pasien
yang berperilaku tidak normal sampai melakukan kekerasan pada orang lain.
Penghapusan stigma membutuhkan waktu yang cukup panjang. Hambatan
pertama yang dihadapi untuk merawat pasien pasung adalah stigma masyarakat.
Edukasi kepada masyarakat dan jaminan keselamatan dapat mengubah
pandangan negatif masyarakat.
134
“Dulu masyarakat susah menerima pasien ODGJ apalagi bekas pasien pasung
namun lambat laun sekarang sudah bisa menerima dengan baik.” (Kader)
3. Pencarian pengobatan
Pencarian pengobatan salah satunya dipengaruhi oleh budaya dan
kepercayaan. Sebelumnya apabila masyarakat sakit terutama sakit jiwa,
pengobatan yang dituju adalah pengobatan tradisional kepada dukun dan kyai.
Kader yang merawat orang dengan gangguan jiwa berusaha untuk mengajak dan
menjemput pasien dari rumahnya menuju puskesmas atau posyandu. Setelah
beberapa waktu, pasien dengan sadar datang sendiri.
Pasien cemas dan depresi yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka
tidak pernah ke dukun atau kyai. Pasien cemas merasa malas ke dokter karena
dapat membeli obat sendiri. Tindakan yang dilakukan pasien apabila merasa
gelisah yaitu tidur. Pasien memiliki riwayat kesehatan yang cukup buruk yaitu
tidak makan selama tiga bulan. Akses puskesmas cukup terjangkau dan sikap
petugas baik. Pasien cemas tidak pernah mengikuti posyandu.
“Kalau sakit ya harusnya ke dokter biar tahu sakitnya tapi saya lebih seneeng
minum promag saja.” (pasien cemas)
4. Pelayanan Kesehatan Jiwa
Kader merupakan lini terdepan dalam pelaksanaan program kesehatan
jiwa. Kader memiliki kesabaran dan sifat telaten dalam merawat orang dengan
gangguan jiwa. Kegiatan posyandu jiwa yaitu membuat makanan anak-anak
dengan gangguan jiwa dan melatih keterampilan sulam. Kegiatan berlangsung
baik dan anak-anak aktif. Kegiatan dilakukan setiap Jum’at yaitu minggu pertama
menyanyi, minggu kedua pengajian, minggu ketiga keterampilan, dan minggu
keempat posyandu jiwa. Kader selalu mengingatkan kepada pasien bahwa dia
harus berbincang dengan orang lain dan tidak boleh menyendiri. Terapi yang
diajarkan kepada pasien jiwa yaitu menghilangkan suara palsu/ halusinasi,
135
komunikasi dengan teman, minum obat rutin, berbicara pada teman, dan
berdo’a. Anggaran satu kali kegiatan posyandu yaitu 150.000 rupiah untuk
konsumsi. Makanan yang disajikan bervariasi tergantung ketersediaan dana.
Tidak semua pasien mengikuti kegiatan posyandu.
“Tahu ada posyandu jiwa tapi tidak pernah mengikuti karena males.” (pasien
cemas)
“Rutin ikut kegiatan jiwa seminggu sekali.” (pasien depresi)
5. Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat adalah kunci keberhasilan program kesehatan
jiwa. Kader menyatakan bahwa peran serta masyarakat sangat baik dan kompak.
Hal ini didukung oleh kerjasama lintas sektor. Tiga pilar merupakan istilah yang
mereka gunakan, yaitu polisi, babinsa, dan kelurahan. Pelaksanaan bebas pasung
merupakan hal yang tidak mudah karena berisiko menghadapi kemungkinan
penolakan masyarakat, seperti aksi demo yang dilakukan masyarakat dan
kemungkinan perilaku berbahaya dari perilaku pasien itu sendiri. Dengan
kerjasama lintas sektor, hal tidak terduga dapat diminimalisir.
“bagus responnya. Ia bu senang . ia ikut mendukung . bahkan ada yang
memberitau, bu kok tetangga saya begini, bu anik yang mengunjungi rumah
akhirnya dibawa ke sini.” (kader Dukuh Klopo)
6. Kapasitas Kesehatan
Kapasitas kesehatan merupakan hal pendukung keberhasilan program
kesehatan jiwa. Kader menyatakan bahwa fasilitas kesehatan untuk pasien ODGJ
masih kurang mendapat perhatian. Selain itu, petugas dan kader kurang
mendapat pelatihan.
136
“saya minta pemerintah pusat mau mendukung dan membantu kegiatan
posyandu jiwa disini.” (kader Dukuh Klopo)
7. Kendala
Kendala yang dihadapi kader yaitu tantangan untuk meningkatkan
kesabaran karena menghadapi berbagai karakter orang dengan gangguan jiwa.
Dana operasional terbatas sehingga membuat petugas mencari dana
sumbangan.
“kan biasanya kamuitu harus begini bekerja begitu, tapi kan tidak bisa bu kita
harus telaten . saya kalau tiap hari disini itu anak2 itu saya suruh begini mau bu.
Sekarang ini dikerjakan terus dia mau kita harus bisa mencari selahnya gitu bu.
Anak itu kalau tidak diatasnya dia marah seenaknya sendiri begitu, jadi kita
harus telaten sabar.” (kader Dukuh Klopo)
D3. Hasil Kualitatif Kab. Tojo Una-Una
Indonesia sudah memiliki undang – undang mengenai kesehatan jiwa yaitu UU
nomor 18 tahun 2014. Lahirnya undang-undang ini diharapkan dapat
memberikan perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi Orang
dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ),
memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komperehensif dan
berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi setiap orang terutama ODMK dan ODGJ (tambahin referensi). Tiga tahun
setelah lahirnya UU mengenai kesehatan jiwa ini diharapkan daerah sudah
mengupayakan pelayanan kesehatan jiwa yang optimal. Salah satu daerah yang
ingin diketahui layanan kesehatan jiwanya ialah Sulawesi Tengah yang
berdasarkan hasil Riskesdas merupakan provinsi yang memiliki tingkat gangguan
mental emosional yang tertinggi (Riskesdas 2013). Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui lebih rinci mengenai pelayanan dan program kesehatan jiwa di
Sulawesi Tengah (dengan diwakili Kota Tojo Una-Una).
137
1. Pemahaman tentang gangguan kesehatan jiwa (depresi, cemas,
psikotik)
a. PJ Program Keswa
Walaupun Sulawesi Tengah memiliki prevalensi gangguan mental
emosional tertinggi nasional yang terbukti dari tingginya kunjungan
pasien jiwa ke rumah sakit namun nampaknya hal ini belum
mendapatkan perhatian serius dari instansi terkait setempat.
Pemahaman beberapa informan mengenai gangguan kesehatan jiwa
sudah cukup baik, namun demikian perhatian dari instansi nya masih
dirasa belum maksimal. Program kesehatan jiwa belum menjadi program
prioritas di wilayah Touna. Hal ini yang diungkapkan oleh beberapa
informan di bawah ini :
“secara keseluruhan kalo menurut laporan dari rumah sakit,
sekarang hampir 80 persen jiwa” (S, PJ Keswa Dinkes)
”dapat 1 orang yang dipasung dan itu sudah saya bebaskan
alhamdulillah, pengobatan 1 tahun sudah kembali seperti biasa.
Sekarang sayasedang pantau, itur umahnya itu depannya kantor
bupati, saking begitunya tidak ada perhatian” (V, PJ Keswa PKM
AmpanaTimur)
“kemaren kita mencoba masukan RUK 2017, rencana usulan
kegiatan, namun karena kekurangan dana, jadi kita tidak
mendapatkan dana.......................jiwa ini kan masuk ke kesehatan
pengembangan, dia bukan esensial, jadi kita utamakan dulu
esensialnya” (S, PJ Keswa Ampana Barat)
Dalam usahanya memerangi gangguan jiwa, sampai saat ini di Touna
belum ada jalinan kerjasama antara sektor kesehatan dengan sektor
138
lainnya. Setiap instansi bergerak sendiri-sendiri karena ketidaktahuan
petugas mengenai instansi/lembaga yang dapat diajak bekerja bersama
sehubungan dengan program kesehatan jiwa., seperti yang dikatakan
oleh beberapa informan di bawah ini:
“baru ada yang jelas ini MOU dengan BNN, tapi BNN dia fokus ke
penyalahgunaan (narkoba), dinas sosial hanya membantu
betangkap” (V, PJ Keswa PKM AmpanaTimur)
“anggaran 2018, kita mau sosialisasi sama dinas-dinas yang terkait
seperti dinas sosial, pendidikan, sama lembaga-lembaga yang
terkait, cuman belom ada di acc, cuman rencananya itu” (S, PJ
Keswa Dinkes)
“Bantuan dari dinas sosial kita tidak tau apa yang mereka kasihkan,
jadi hubungan itu sebatas mereka minta data kita kasih, memang
karena tidak ada, maksudnya belom ada kerjasama. kita baru tau
kemaren ternyata ada dinas-dinas skpd yang berhubungan dengan
kita” (S, PJ Keswa PKM Ampana Barat)
Mengenai sikap dan perilaku petugas terhadap individu yang mengalami
gangguan jiwa di Touna sampai saat ini cukup baik dan akrab. Petugas
sangat memperhatikan kepatuhan berobat penderita, bahkan beberapa
petugas mendatangi rumah penderita untuk memberikan obat ke rumah
penderita. Hal ini disebabkan karena menurut pengakuan beberapa
informan sampai saat ini masih terdapat ODGJ yang dipasung/dikucilkan.
Berkaitan dengan hal ini beberapa informan mengatakan sebagai berikut
:
“saya rasa ada sih (stigma/pengucilan), maksudnya biar tidak
kelihatan kan, biasanya kalo kita turun kan pasti mereka tidak
139
memperlihatkan itu, tapi kalo saya kan orang sini juga, pasti kalo
wataknya orang sini pasti begitu. Pasti dia akan mengucilkan” (W,
Ka Sie PTM&Keswa)
“dikurung di kamar, karena merasa cuman bikin repot saja. Kalo
pasien jiwa ini kan pengobatannya bersambung, kalo habis obat
datang lagi, itu juga pengaruh keluarga yang tidak mau pusing.
Mungkin juga masalah keuangan karena jauh, jadi lebih baik
dikurung di rumah”(S, PJ Keswa Dinkes)
b. Masyarakat
Pemahaman beberapa informan dari sisi masyarakat di Touna mengenai
kesehatan masih perlu ditingkatkan. Beberapa mengaitkan dengan sisi
rohani, sedangkan lainnya dikaitkan dengan kemampuan seseorang
bekerja. Bagi mereka Berdasarkan hasil wawancara mendalam, hanya
kader yang menyebutkan bahwa kesehatan rohani merupakan salah satu
elemen kesehatan. Sedangkan orangtua ODGJ mengaitkan kadar
kesehatan seseorang dengan kemampuan bekerja seperti dalam petikan
berikut ini :
“sehat jasmani, rohani, fisiknya juga” (T, Kader )
“Biasa-biasa saja. Ketawa dia ketawa, waktu marah dia marah, kalo
sehat. Aktivitas normal” (S, Kader)
“(disebut sehat jika) bagus, kerja lancar. Karena tiada penyakit yang
datang. Kalo sakit,berpikir tidak bisa, karena badan tidak normal”
(A, Orangtua ODGJ)
Apalagi jika dikaitkan dengan kesehatan jiwa, belum semua informan yang
merupakan bagian dari masyarakat mengetahui mengenai kesehatan jiwa.
140
Salah seorang tokoh masyarakat mengaitkan masalah kesehatan termasuk
masalah kesehatan jiwa dengan kemampuan masyarakat sekitar untuk
mengakses makanan seperti pada petikan berikut ini :
“penduduk asli ini dari segi ilmu pengetahuan sangat minim,
kemudian kehidupannya itu, cari pagi untuk tengah hari, cari tengah
hari untuk malam, kebanyakan masyarakat disini itu hidupnya, jadi
saya berpikiran dengan pola itu maka terjadilah itu macam-macam
modelnya penyakit. kalo disini banyak itu sudah biasa termasuk ini
ilang pikiran. Jadi menurut saya, jaminan sehari itu tidak memenuhi
standar yang diinginkan oleh kesehatan, dalam segi makan tidak
teratur dan tidak ada makan tidak kenyang, dan lain sebagainya.
Sebagai pengamatan dan yang ada di lingkungan saya disini” (D,
Toma)
Saat ditanyakan mengenai penyebab gangguan jiwa, hampir semua
informan masyarakat di Touna menjawab penyebab gangguan jiwa di
Touna adalah karena keturunan, penyalahgunaan obat, masalah ekonomi,
putus sekolah dan masalah keluarga. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
beberapa informan di bawah ini :
“jadi waktu itu papa meninggal, tiba-tiba, tidak sakit begitu kan.
Rasa sedih ditinggal tiba-tiba, sampe-sampe pernah saya tidur di
kuburnya bapaknya saya waktu itu. Jadi stres” (Y, ODGJ)
“kalo sebatas pengetahuan saya, (penyebabnya) katanya kan stres,
ato dari turunan lah, ato beban keluarga, jadi beban pikiran setau
saya” (T, Kader)
“paling banyak disini masalah rumah tangga sih, Yang kedua
mungkin banyakan pasien saya mikirin anak-anaknya sih, entah
141
anaknya nakal atau anaknya jauh dari keluarga. Yang ketiga faktor
yang paling sering ya faktor ekonomi, mungkin karena lapangan
kerja juga kurang kan disini, kebanyakan petani” (M, dokter SpKJ)
Namun terdapat hal yang menarik terkait tingginya gangguan jiwa
kecemasan yang terjadi kepada pegawai di Tojo Una-Una, dimana stres dan
ketakutan akan mutasi jabatan menjadi penyebab yang cukup sering
disebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan dalam
kutipan berikut :
“karena sekarang kan kebanyakan pegawai, ansietas kan sudah
masuk jiwa, makanya itu sudah agak tinggi persentasenya” (S, PJ
Keswa Dinkes Kab)
“kecemasan tinggi, banyak politik disini kan, dengar-dengar banyak
masuk nama dimutasi padahal tidak” (V, PJ Keswa PKM Ampana
Timur)
Mengenai sikap dan perilaku informan terhadap individu yang mengalami
gangguan jiwa, berbeda dengan pengakuan PJ Program Keswa, masyarakat
Touna tidak memberikan stigma negatif terhadap ODGJ. Meskipun
demikian tidak semua informan mengatakan mereka menentang
pemasungan/pengasingan kepada ODGJ, hal ini dikarenakan mereka takut
akan keselamatan dirinya. Hal ini seperti yang diungkapkan pada kutipan
berikut :
“jangan…bagaimana caranya, biar dikasih obat apa, terkecuali kalo
dia sudah merusak. Maksudnya, ada kan orang gila lain, yang bikin
takut” (S, Kader)
“Tidak ada yang menjauhi. Tetap ada sifat persaudaraan itu muncul,
membantu yang susah” (D, Toma)
142
“masyarakat disini sih so far oke sih, kita ngga kasih stigma orang
apa gitu, ngga. “disini stigmanya ngga sampe kayak gitu cuman dari
beberapa pasien yang pendidikannya cukup tinggi ya, itu mereka
men-stigma-kan diri sendiri, buat mereka tuh kalo berobat ke poli
jiwa itu pasti orang gila, tapi dari mereka sendiri ya bukan dari
masyarakat”(M, dokter SpKJ)
Berkaitan dengan peran masyarakat terhadap kasus gangguan jiwa di
Touna, masyarakat sudah cukup baik meskipun perlu lebih ditingkatkan.
Peran masyarakat masih dominan dalam pelaporan kasus. Salah satu
puskesmas sudah mencoba membentuk kader jiwa, namun tugas mereka
juga hanya sekedar melaporkan. Belum ada inisiatif upaya pencegahan
ataupun percepatan penyembuhan gangguan jiwa. Hal ini seperti yang
dikatakan oleh beberapa informan berikut :
“kemaren itu saya coba itu membentuk kader. Kader jiwa begitu
karena saya berpengalaman kemaren program mempergunakan
masyarakat berbentuk kader, jadi saya itu hanyamenunggu laporan
dari mereka jadi saya tinggal kesana” (S, PJ Keswa PKM Amapana
Barat)
“kurangya, dari swasta, masyarakat, masih kurang (perannya)” (S, PJ
Keswa Dinkes Kab)
2. Tradisi dan budaya terkait kesehatan jiwa (depresi, cemas, psikotik)
Tidak terdapat aktifasi tradisi dan budaya yang secara khusus bertujuan
untuk mencegah/menanggulangi gangguan jiwa di Tojo Una-Una. Seperti
yang diutarakan kedua kader pada kutipan di bawah ini :
“tidak ada” (S dan T, kader)
143
3. Program dan kebijakan yang ada terkait kesehatan jiwa :
a. Pelaksanaan
Sejauh ini belum banyak program-program yang berkaitan dengan
kesehatan jiwa di Dinas Kesehatan Kabupaten Tojo Una-Una. Program
kesehatan jiwa di dinas kesehatan kabupaten Tojo Una-Una tahun 2017
hanya 2 kegiatan yaitu investigasi dan evaluasi pelayanan keswa di
puskesmas. Pada tahun sebelumnya bagian kesehatan jiwa berada di bawah
sie kesehatan khusus, baru pada tahun 2017 bagian kesehatan jiwa
dipindahkan ke sie PTM, hal ini seperti yan dikatakan oleh salah seorang
informan di bawah ini:
“Kalo untuk kesehatan jiwa juga, kemaren penyakit tidak menular
memang harus di P2 tapi kesehatan jiwa sebelum-sebelumnya itu
masih di kesehatan khusus. Pas dibentuk penyakit tidak menulardan
seksi penyakit tidak menular, kesehatan jiwa dengan gangguan
indra, dimasukan kedalam PTM” (W, Ka Sie PTM&Keswa)
“kalo dari dinas kegiatan kita cuman 2 bu, yang turun itu investigasi
ya terus pelayanan dan sekaligus ada evaluasi juga ke puskesmas,
dengan dokter ahli jiwa, satunya ini kegiatan pelatihan, 2017 ini tapi
belom dilaksanakan karena baru saya usulkan di perubahan
anggaran” (W, Ka Sie PTM&Keswa)
Ketika ditanyakan mengenai anggaran, anggaran bagian kesehatan jiwa di
dinkes kab Touna selama ini berasal dari DAU APBD, sedangkan dana
kesehatan jiwa di Puskesmas berasal dari DAU, BOK dan kapitasi JKN. Proses
pengusulan kegiatan dan besaran anggaran dimulai dari Ka Sie PTM Keswa
dan PJ Keswa Dinkes Kab yang kemudiaan dibawa ke bagian perencanaan
Dinkes Kab, lalu akan dirapatkan, baru kemudian diputuskan oleh DPRD. Hal
ini seperti kutipan di bawah ini :
144
“di dinas kesehatan itu untuk keswanya sumber dananya DAU
APBD. Nah terus untuk puskesmas, disana kan puskesmas ada 3
sumber anggaran, ada DAU, BOK, JKN” (W, Ka Sie PTM&Keswa)
“dari tuker2 pikiran nanti diusulkan ke bagian program
perencanaan. Mungkin itu yang dibawa nanti ke pembahasan di
dewan” (S, PJ Keswa Dinkes Kab)
Walaupun di Touna memiliki keterbatasan anggaran, dukungan kebijakan
daerah, kekurangan tenaga dan sarana pendukung, namun hal ini tidak
membuat PJ keswa di puskesmas menyerah. Mereka tetap melakukan
screening penderita bahkan mengantarkan obat ke rumah ODGJ dengan
memanfaatkan kegiatan puskesmas lainnya seperti pada kutipan di bawah
ini :
“untuk kesehatan jiwa tidak ada (dana untuk TA 2017). Saya tetap
antar pasien, merujuk, pasien jiwa yang butuh bantuan saya
langsung turun” (V, PJ Keswa PKM Ampana Timur)
“bawakan obatnya kesini (ke rumah)” (M, Orangtua ODGJ)
“jadi saya sisihkan waktu saya disaat saya penjaringan penderita TB
ato kusta sekaligus jiwa. Beres itu, saya coba buat rencana, mencari
masalah terus apa penyebab masalahnya terus jalan keluarnya apa,
jadi kemaren memang sih untuk menyelesaikan masalah itu,
penyuluhan, penjaringan, dengan sosialisasi. Kemaren saya coba
prioritaskan kalo masalah penyuluhan itu biasanya sudah
pengalaman kemaren-kemaren, cuman sebatas disitu saja, jadi saya
coba penjaringan. Jadi waktu penjaringan saya bisa tau apa
masalahnya. Yang diusulkan penjaringan” (S, PJ Keswa PKM Ampana
Barat)
145
Berbagai intervensi skrining jiwa telah dilakukan di Touna. Salah satunya
kegiatan skrining jiwa yang saat ini telah dilakukan juga kepada lansia lewat
posyandu lansia dan kepada anak sekolah melalui UKS. Berkaitan dengan
hal ini beberapa informan menguatkan:
“kalo untuk kemaren, tidak ada. Karena dia berbarengan sama PTM
jadi jika ada yang mengeluh sakit kepala, sakit ulu hati yang
berkepanjangan, fisik ke PTM, jika tidak ada normal, dirujuk ke jiwa.
Begitu juga dengan UKS kita terintegrasi di sini, kalo dia turun
lapangan terus dapat anak-anak yang mentalnya terganggu, dia
buatkan rujukan internal ke pengelola jiwa” (S, PJ Keswa PKM
Ampana Barat)
“Saya kan sekarang turun di UKS, tadi kebetulan itu penjaringan,
jadi di kelas 1 itu saya periksa giginya timbangannya, tinggi
badannya, segala macem. Terus kita kasih kuesioner, disitu ada
penilaian guru2nya tentang tingkat emosional, misalnya ada anak
yang sering gelisah, suka berdiri, ganggu temannya apa semua” (V,
PJ Keswa PKM Ampana Timur)
b. Kendala
Dalam upaya eliminasi gangguan jiwa di Tojo Una-Una, dari hasil wawancara
diperoleh informasi masih terdapat beberapa kendala berkaitan dengan
eliminasi gangguan jiwa. Kendala tersebut antara lain adalah adanya
masalah keterbatasan dana, kurangnya tenaga kesehatan, minimnya fasilitas
pendukung, kelangkaan obat, rendahnya pengetahuan masyarakat
mengenai gangguan jiwa, serta sedikitnya perhatian dari instansi terkait. Hal
ini seperti yang dikatakan oleh beberapa informan di bawah ini :
“jadi disini kan masalahnya masih banyak masyarakat yang belum
mengenal tanda2 apa itu penyakit gangguan jiwa, jadi sedangkan
yang berkunjung ke puskesmas ini yang bulan agustus sudah 40
146
orang, itu yang kami rujuk belom yang diobati” (S, PJ Keswa PKM
Ampana Barat)
“Jadi perawatan jiwa gabung sama penyakit dalam, sama
bedah............................. untuk perawat yang khusus untuk di
perawatan jiwa sendiri masih kurang. dokternya juga sebetulnya
masih kurang ya, maksudnya dengan jumlah pasien sekarang ini
gitu. uangnya juga kurang. Terus terutama obat sering abis. jadi
banyak yang obat kurang” (M, dokter SpKJ)
“cuman kalo jiwa memang belum, kurang, tidak ada (dana) malah,
kalo bukan pusat” (S, Ka TU PKM Ampana Timur)
Seringnya perpindahan posisi PJ Keswa di puskesmas juga menjadi
hambatan tersendiri terkait terbatasnya dana pelatihan jiwa. Ketiadaan
petunjuk teknis penanganan ODGJ untuk tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan terkait aturan pemberian obat oleh selain dokter SpKJ juga
turut menghambat upaya eliminasi gangguan jiwa. Hal ini diungkapkan
oleh informan berikut:
“kendalanya lagi di puskesmas untuk pelaksanaan kesehatan jiwa,
SDMnya kurang, petugas jiwanya, itu kan pengelola cadangan
sedangkan dokter saja dokter umum kan tidak berani untuk
mendiagnosa ini psikotik ato apa kan, itu harus psikiater karena kan
aturan untuk pemberian obat itu kan tidak bisa dari perawat” (W,
Ka Sie PTM&Keswa)
c. Rencana ke depan
Oleh karena itu berkaitan dengan rencana ke depan, beberapa informan
mengemukakan mempunyai beberapa rencana terkait kesehatan jiwa.
Rencana tersebut antara lain adalah kegiatan terkait kesehatan di
147
Kabupaten Tojo Una-Una diantaranya adalah penjaringan dan
pertemuan lintas sektor seperti tertuang pada kutipan di bawah ini :
“anggaran 2018, kita mau sosialisasi sama dinas-dinas yang terkait
seperti dinas sosial, pendidikan, sama lembaga-lembaga yang
terkait, cuman belom ada di acc, cuman rencananya itu” (S, PJ
Keswa Dinkes Kab)
“nanti bulan, tanggal 30 rencananya akan kita adakan rapat lintas
sektor, jadi disitu kita akan menggunakan peran kita masing2.
Mengundang pak camat, kantor lurah, pkk nya, tokoh agamanya,
skpd” (V, PJ Keswa PKM Ampana Timur)
“2018 kemaren kita coba lagi mengusulkan (penjaringan), tapi
belom ada hasil, semoga itu sudah diterima, karena kemaren itu
kita berdasarkan hasil responden kemaren, dari situ kita cari
ansietas harusnya 50 lebih itu yang lebih tinggi itu psikotik,
psikotiknya kita cari 8, lebih dari 8 kita dapat” (S, PJ Keswa PKM
Ampana Barat)
d. Kebutuhan
Dalam mendukung berhasilnya eliminasi gangguan jiwa, dari hasil
wawancara diperoleh informasi mengenai kebutuhan berkaitan dengan
hal tersebut. Kebutuhan yang dianggap penting ke depannya oleh PJ
program ialah pendampingan, pemberian pelatihan, penambahan dana,
penambahan tenaga kesehatan, pembuatan juknis serta pemberian
fasilitas pendukung. Dinkes Kab Tojo Una-Una memang telah
bekerjasama dengan Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah melakukan
pelatihan. Namun pelatihan ini hanya diikuti perwakilan puskesmas dan
148
tidak rutin dilakukan. Hal ini seperti yang diktakan oleh beberapa
informan:
“kalo undang2 sih (ada), justru teknisnya ya (yg belum ada). saya
kesulitan menterjemahkan bagaimana ini di lapangan. pedoman
apa yang harus kita lakukan dan apa yang kita harapkan dari
masyarakat” (A, Ka Bid P2PL Dinkes Prov)
“dokter minimal dua lah.............. paling perawat butuh 5 lah” (M,
dokter SpKJ)
“Sebenarnya sih (perlu pelatihan) ke pengelola-pengelola
programnya, biar lebih paham, karena disini yang pengelola
program biasanya rangkap, karena kurang pegawai jadi biasa 1
orang rangkap berapa program, makanya bisa tidak fokus” (S, PJ
Keswa Dinkes Kab)
“Kalo di jiwa sih ada (juknis) begitu bagus di kesehatan jiwa ada
yang psikotik obatnya ini, jadi biar puskesmas yang berikan
pengobatan sesuai juknis sesuai SOP kan, karena obat jiwa keras”
(W, Ka Sie PTM&Keswa Dinkes Kab)
4. Peran dan kebutuhan pelayanan dan pencegahan kesehatan jiwa
Ketika ditanyakan mengenai peran dan kebutuhan pelayanan dan
pencegahan kesehatan jiwa, sebagian besar kader maupun ODGJ yang
diwawancara mendalam mengatakan bahwa pelayanan terkait kesehatan
jiwa di Touna masih perlu mendapat perhatian. Penanganan medis bukanlah
pilihan pertama bagi masyarakat untuk menangani masalah gangguan jiwa
yang acapkali mereka anggap sebagai akibat gangguan setan, keturunan.
Untuk tindakan kontrol khususnya ke Poli Jiwa Rumah Sakit dilakukan setiap
2 minggu sekali. Penderita ODGJ juga masih dapat dibujuk untuk meminum
obatnya secara rutin walaupun untuk beberapa kasus obat harus diantarkan
oleh petugas puskesmas ke rumah. Proses pembuatan rujukan ke Poli Jiwa
149
Rumah Sakit oleh Puskesmas juga mudah untuk dilakukan. Namun bukan
berarti layanan kesehatan jiwa di Tojo Una-Una terbebas dari keluhan,
keluhan yang disampaikan masyarakat umumnya berkisar pada mahalnya
biaya transportasi ke Rumah Sakit, lamanya waktu tunggu pasien di Poli Jiwa
Rumah Sakit serta kelangkaan obat seperti kutipan berikut:
“sering dibawa ke dukun kalo ke desa, apa itu namanya untuk
kesehatan, puskesmas, ato rumah sakit, biasa yang ada uang. yang
tidak ada duit itu yang biasanya sudah tidak bisa diobati lagi. paling
obatnya tradisional, sepengetahuan orang itu” (D, Tokoh
Masyarakat)
“sebagian ada, sebagian tidak (ketersediaan obat di rumah
sakit)............... di ampana 164 saya punya nomor urutan. menunggu
lama karena banyak pasien. karena banyak jadi (ruang tunggu) tidak
cukup, biasa berdiri diluar” (A, Orangtua ODGJ)
“kebanyakan berpikir terlalu mahal” (T, Kader)
5. Stigma dan persepsi terkait gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi,
psikotik)
Dari hasil wawancara dengan beberapa informan diketahui bahwa ternyata
masih terdapat stigma terhadap enderita ODGJ. Stigma atau pandangan
masyarakat terhadap penderita ODGJ masih terjadi di masyarakat Touna.
Meskipun stigma saat ini dirasa sudah mulai berkurang, akan tetapi masih
ada beberapa masyarakat yang menurut informan mempunyai stigma
terhadap penderita ODGJ. Menurut beberapa informan, masih terdapat
ODGJ yang dipasung/dikurung oleh keluarga seperti yang dikatakan berikut
ini:
“sebenernya saya tidak setuju (pasung), cuman saya tidak bisa tidur
karena dia ini kalo bejalan, bejalan terus, tidak tau pulang, jadi saya
150
gelisah. Kalo dia kambuh, dimana saja dia pergi jalan saya harus
mencari, padahal saya juga ada pekerjaan” (A, orangtua ODGJ)
“orang-orang disitu takut dengan saya” (Y, ODGJ)
“saya juga sudah turun di puskesmas, yang dipasung masih ada.
Kenapa masih dipasung karena alasannya si keluarga, kalo dia
dilepas dia merusak, jadi takut kan. Disini kalo pemasungan ada
sekitar 4 orang kalo ngga salah” (W, Ka Sie PTM&Keswa Dinkes Kab)
“kalo dulu pemahaman begitu, masih (dipasung). Sekarang setelah
adanya pemegang program pemerintah, sudah minta maaf bu,
kemaren juga suami saya kan kepala dinas dukcapil ada keliling
mengenai data-data pendataan, sampai didapat itu yang dipasung,
begitu langsung dikasih pemahanan masyarakat bahwa orang gila
itu tidak bisa dipasung begitu” (S, Ka TU PKM Ampana Timur)
6. Upaya pelayanan gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik)
Walaupun Tojo Una-Una memiliki kasus gangguan jiwa yang tinggi namun
daerah ini belum memiliki Rumah Sakit Jiwa. Layanan terhadap penderita
gangguan jiwa dilakukan di Puskesmas dan Poli Jiwa Rumah Sakit Umum.
Pelayanan kesehatan jiwadi Rumah Sakit Umum hanya dilakukan oleh 1
orang dokter SpKJ tidak tetap dan tanpa adanya perawat khusus jiwa.
Sedangkan pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas dilakukan oleh dokter
umum dan penanggung jawab program keswa masing-masing puskesmas
yang telah diberi pelatihan. Kurangnya tenaga kesehatan, langkanya obat
dan ketiadaan petunjuk teknis pemberian obat menyebabkan layanan
kurang maksimal di Puskesmas dan tumpukan pasien di Rumah Sakit Umum.
Hal ini seperti yang terungkap dari beberapa informan di bawah ini :
“cuman sekarang kendalanya lagi di puskesmas untuk pelaksanaan
kesehatan jiwa, SDMnya kurang, petugas jiwanya, itu kan pengelola
cadangan sedangkan dokter saja dokter umum kan tidak berani
151
untuk mendiagnosa ini psikotik ato apa kan, itu harus psikiater” (W,
Ka Sie PTM&Keswa Dinkes Kab)
“jadi banyak yang obat kurang. Jadi pasien saya nih kayak, kenapa
pasien saya yang rawat inap jadi banyak, karena pasien saya kurang
obat semua. Obatnya kan yang biasa dia minum tiba-tiba ngga ada
gitu kan, kambuh semua” (M, dokter SpKJ)
“yang waktu kemaren kita turun ke puskesmas itu, kendalanya kalo
dari pasien itu masalah jarak, terus yang kedua itu obat.
pengadaannya. Mungkin cuman obat yang generik, karena dokter
kan pake obat yang dosisnya diatas. Cuman penyediaan obat disini
yang masih sangat terbatas. Mungkin karena itu dia pikir juga kan di
puskesmas sama, untuk dinas kan dokter ahli jiwanya ngga ada,
takutnya pemberian obatnya takut di salah gunakan. Makanya
orang kebanyakan ke rumah sakit, disana kan stok obatnya ada” (S,
PJ Keswa Dinkes Kab)
Khusus pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas, layanan yang diberikan
tidak terbatas di Puskesmas namun petugas puskesmas juga melakukan
penjemputan ODGJ ke lapangan serta mengantarkan obat ke rumah.
Bantuan kendaraan operasional sangat diharapkan oleh PJ Keswa. Hal ini
terungkap saat wawancara seperti tercantum dalam kutipan di bawah ini :
“anggaran itu yang ada hanya untuk pengobatan, pelacakan tidak
ada, cuman dari pengelola jiwanya itu, yang kendalanya itu kasian
pengelola jiwanya ini kendaraan, karena baru motor, motornya
yang sudah tua. Kedua, ketika membawa pasien itu tidak mungkin
dia mau ojek, dia gandeng dengan motor, bahayakan keselamatan
jiwa” (S, Ka TU PKM AmpanaTimur)
152
“(Petugas puskesmas) bawakan obatnya kesini” (M, orangtua ODGJ)
7. Upaya pencegahan gangguan kesehatan jiwa (cemas, depresi, psikotik)
terkait kegiatan dan sumber daya
a. Nakes
Upaya pencegahan gangguan jiwa perlu segera dilakukan agar besaran
masalah dapat berkurang. Namun upaya pencegahan ini diakui belum
banyak dilakukan. Sosialisasi mengenai gangguan kejiwaan masih terbatas
pada keluarga atau masyarakat sekitar ODGJ saja. Kegiatan kesehatan
jiwa di Tojo Una-Una didominasi oleh tindakan kuratif. Masih banyak
masyarakat yang tidak memahami dan mengenali gangguan jiwa sehingga
penanganannya seringkali terlambat, hal ini seperti yang dikatakan oleh
beberapa informan berikut:
“belum ada kayaknya, kalo untuk kesehatan jiwa untuk preventif
saya liat kebanyakan kegiatannya kuratif” (W, Ka Sie PTM&Keswa
Dinkes Kab)
“Sebenarnya bagus bu disini ini untuk sosialisasi penyuluhan
masyarakat mengenai jiwa bisa bu, cuman itu lagi-lagi anggaran” (S,
Ka TU PKM Ampana Timur)
b. Masyarakat (kasus dan normal), kader dan toma
Tidak ada kegiatan pencegahan masalah kesehatan jiwa yang dilakukan
oleh masyarakat di Tojo Una-Una. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena minimnya pengetahuan masyarakat akan gangguan kejiwaan, cara
penanganan dan cara pencegahannya.
Kesimpulan
1. Program kesehatan jiwa di Tojo Una-Una masih belum menjadi prioritas.
153
2. Kebijakan kesehatan jiwa di Propinsi maupun kabupaten masih mengacu
dari kebijakan Pusat.
3. Pelayanan kesehatan jiwa di Touna masih perlu ditingkatkan, dengan
banyaknya penderita ODGJ di Touna, maka perlu adanya tambahan
dokter spesialis jiwa baik di RSUD maupun di Puskesmas.
4. Perlu ditingkatkan sosialisasi dan penyuluhan tentang penemuan kasus,
pencegahan serta penanganan ODGJ di Touna, agar pengetahuan
masyarakat lebih meningkat.
154
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh hasil validitas kuesioner MINI
depresi,cemas dan psikosis yang dinyatakan melalui nilai sensistivitas,spesifisitas,
prediksi positif dan prediksi negative. Kuesioner depresi (episode depresi), cemas
(gangguan cemas menyeluruh) dan psikosis mempunyai nilai sensitivitas dan
spesivisitas diatas 60%, meskipun tampaknya lebih memiliki nilai yang lebih tinggi
yaitu sekitar 80% untuk spesifisitas. Hal ini diperkuat oleh nilai prediksi negative
yang sangat tinggi yatu sekitar 90%. Gambaran demikian menunjukkan bahwa
kuesioner ini lebih peka untuk menyatakan orang yang tidak mengalami
gangguan depresi, cemas, psikosis benar-benar tidak mengalami gangguan.
Beberapa contoh penelitian pada populasi umum menggunakan MINI
International Neuropsychiatric Interview dalam populasi umum antara lain ialah
penelitian di Malaysia yang ingin mengetahui distres psikologis serta depresi
pada wanita bekerja. Pewawancara dilatih oleh psikiater senior yang telah ahli
dalam menggunakan wawancara MINI. Partisipan ditanyakan melalui telepon
menggunakan instrument MINI. Pemilihan partisipan penelitian berdasarkan
metode pengambilan sampel multistage cluster sampling di daerah Bandar Baru
Bangi. Sejumlah 307 partisipan berhasil diwawancarai secara lengkap (Marhani
dkk, 2011).
Penelitian lain yang menggunakan MINI dilakukan di Perancis pada tahun
2013 untuk mendiagnosa psikosis di populasi imigran dengan pewawancara
perawat dan psikolog. Perawat dan psikolog dilatih menggunakan rekaman
wawancara video selama 3 hari oleh ahli dari WHO. Kemudian diagnosa perawat
dan psikolog ini dikonfirmasi kembali oleh psikiater yang ahli dalam masalah
kejiwaan lintas budaya. Partisipan penelitian yang diwawancara ada sebanyak 37
063 orang yang dipilih dengan metode pemilihan sampel berdasarkan kuota yang
mewakili populasi umum di Perancis (Amad dkk, 2013).
155
Penelitian lain yang menggunakan MINI pada populasi yang umum ialah
penelitian di Korea Selatan pada partisipan lansia berusia 65 tahun ke atas untuk
mengetahui hubungan antara penggunaan alkohol dan gangguan jiwa. Sejumlah
1118 partisipan direkrut melalui simple random sampling. Partisipan yang
berhasil direkrut pada penelitian ini sejumlah 714 orang diundang untuk
diwawancara di rumah sakit Seoul National University Bundang Hospital dan bagi
partisipan yang tidak bisa datang wawancara dilakukan di rumah. Hasil dari
penelitian ini ialah kebiasaan minum alkohol dengan tujuan sosial berhubungan
dengan tingkat depresi yang lebih rendah (Kim dkk, 2009).
Kesepakatan antar penilai baik psikiater maupun enumerator dinyatakan
melalui nilai agreement kappa atau inter rater reliability. Nilai kappa antar
psikiater sebesar 92% menunjukkan kesepakan yang sangat tinggi ( almost
perfect) (Haynes, 1991). Meskipun nilai kesepakatan antar psikiater sangat baik,
akan lebih baik bila penilaian kesepakatan tidak hanya berdasrkan nilai kappa
saja, tetapi menilai intra class correlation coefficient (ICC). Bahkan akn lebih baik
apabila penilaian dilakukan menurut pertanyaan atau ranah/kluster/domain
kuesioner. Nilai kappa akan sangat bergantung pada besarnya prevalensi serta
variasi subjek yang dinilai (Mandrekar, 2011)(Ditcher, 2014).
Pada laporan ini digunakan istilah proporsi karena hasil penelitian ini
belum memperhitungkan bobot untuk setiap kota yang dijadikan lokasi
penelitian. Proporsi gangguan cemas meyeluruh di 3 wilayah (Bogor, Jombang
dan Tojo una-una) sebesar 6,7%. Angka ini jauh melebihi hasil survey dengan alat
ukur yang sama yaitu MINI di India yang menyebutkan prevalensi ganguan cemas
menyeluruh di negara tersebut pada tahun 2015 sebesar 0,57% atau 5,7 per
1000 populasi yang berusia 18 tahun ke atas (Gururaj, 2016).
Proporsi depresi di 3 wilayah adalah 8,5%. Jenis diagnosis depresi saat ini
berdasarkan alat ukur MINI adalah depresi mayor sehingga proporsi ini
merupakan current major depression episode. Dengan alat ukur yang sama ,
survey di India tahun 2015 mendapatkan hasil prevalensi episode depresi 2,7%
156
pada populasi berusia 18 tahun keatas (Gururaj, 2016). Survei kesehatan jiwa di
Thailand pada tahun 2008 juga menggunakan alat ukur sama mendapatkan hasil
sebesar 2,4% pada populasi berusia 15-59 tahun
(prasri.go.th/upic/ie.php/9a177a07fd2b9b9f.pdf). Apabila ditelusuri
berdasarkan kelompok umur, proporsi tertingggi episode depresi saat ini pada
penelitian ini berasal dari kelompok umur 55-64 tahun yaitu sebesar 10,2 %.
Perbedaan yang cukup tinggi dibandingkan dua survei kesehatan jiwa di India
dan Thailand perlu ditelusuri lebih lanjut . Bahkan di wilayah yang proporsinya
terendah sekalipun yaitu Jombang (3,7%) tetap lebih tinggi dibandingkan
prevalensi dikedua negara lain tersebut.
Alat ukur MINI dapat menilai sekaligus diagnosis depresi masa lalu (life
time). Pada penelitian ini didapat hasil sebesar 6,2%. Angka ini mendekati hasil
survey di India yang memperoleh hasil prevalensi depresi masa lalu sebesar
5,25%. Karakteristik gangguan depresi merupakan penyakit yang dapat berulang.
Oleh karena itu, dengan adanya angka proporsi sebesar 6,2% (life time)
ditambah yang saat ini (current) menderita depresi sebesar 8,5% memerlukan
intervensi agar gangguan tidak terus menerus berulang sehingga menimbulkan
penurunan produktivitas serta kualitas hidup.
Gangguan psikotik masih merupakan masalah di negara negara
berkembang seperti Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menyebutkan sekitar 14,3% penderita skizofrenia atau psikosis yang berada di
masyarakat pernah mengalami pemasungan dalam hidupnya (Litbangkes, 2013).
Pada penelitian diperoleh proporsi gangguan psikotik yang pernah dialami (life
time) populasi sebesar 7,1%. Angka ini sangat tinggi dibandingkan survei dengan
alat ukur serupa di India yang mendapatkan hasil bahwa terdapat hanya 0,4%
atau 4 per 1000 populasi dewasa di India yang pernah menderita psikosis. Survei
yang serupa di Thailand memperoleh hasil prevalensi psikosis sebesar 8.8% atau
8,8 per 1000 populasi yang mengalami psikosis (Gururaj, 2016)( Phanthunane ,
2010). Sedangkan Riskesdas tahun 2013 menyebutkan terdapat 1,7 per 1000
populasi yang pernah mengalami psikosis, meskipun Riskesdas menggunakan
157
kuesioner yang berbeda bahkan sangat sederhana. Angka yang tinggi ini
terutama terdapat di kota Bogor yaitu sebesar 13,3%.
Proporsi populasi yang mengalami gangguan jiwa ( salah satu atau
campuran cemas, depresi saat ini, depresi masa lalu dan psikosis) berdasrkan
hasil penelitian ini sebesar 16,0%. Proporsi tertinggi terdapat di kota Bogor yaitu
sebesar 19,4%. Survei kesehatan jiwa pada umumnya menyebutkan “any
disorder” untuk mengelompokkan subyek yang mempunyai salah satu atau lebih
gangguan jiwa. Di India prevalensi any disorder sebesar 10,6% 1. Dibandingkan di
India, proporsi ini tergolong tinggi karena survei kesehatan jiwa di India
menggunakan versi lengkap MINI (full version) pada saat pengumpulan data.
Dengan versi lengkap , maka ada sekitar 16 any disorder yang mampu
diidentifikasi, sedangkan pada penelitian hanya menggunakan sebagian dari
versi lengkap MINI yaitu dipilih hanya penilaian untuk gangguan cemas
menyeluruh, episode depresi saat ini dan masa lalu, risiko bunuh diri dan
psikosis.
Gangguan mental emosional atau distres psikologik dinilai dengan alat
ukur SRQ . Proporsi populasi yang mengalami gangguan mental emosional
sebesar 13,4 %. Angka ini lebih inggi dua kali lipat dibandingkan hasil prevalensi
gangguan mental emosional pada Riskesdas 2013 yang menyebutkan prevalensi
sebesar 6% (Litbangkes, 2013). Pada Riskesdas 2013, prevalensi gangguan mental
emosional di Provinsi Jawa Barat khususnya kota Bogor termasuk prevalensi
tinggi demikian dengan Provinsi Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Tojo
Una Una. Riskesdas menyebutkan prevalensi di Kota Bogor sebesar 28,1% dan di
Kabupaten Tojo Una-Una sebesar37,1%.
Penelitian ini telah melakukan prosedur yang sesuai untuk sebuah survey
atau penelitian kesehatan jiwa. Prosedur pemilihan sampel dilakukan berjenjang
dan alat ukur untuk menilai gangguan jiwa yang digunakan juga merupakan alat
ukur yang telah banyak digunakan di negara lain baik untuk penelitian klinis serta
komunitas. MINI yang digunakan adalah versi 5 yang disusun berdasarkan
kriteria diagnostik ICD-10. Adapun beberapa perbedaan hasil pada penelitian ini
158
dibandingkan hasil survey di negara lain dapat disebabkan berbagai faktor antara
lain jumlah sampel, enumerator, waktu, kelompok umur dan lain-lain. Survei
kesehatan jiwa di India dilaksanakan pada tahun 2015-2016, menggunakan
sampel sebesar 34.000 populasi dengan kriteria umur dewasa yaitu 18 tahun
keatas, sedangkan survey kesehatan jiwa di Thailand menggunakan sampel
sebanyak 20.579 orang untuk menilai depresi dan 11.700 pada saat menilai
skizofrenia dan psikosis. Survei di Thailand dilakukan pada tahun 2003 dan 2008.
Populasi yang diikutsertakan dibatasi berusia 15-59 tahun. Disamping hal-hal
tersebut, survey di Thailand menggunakan angka penyesuaian (adjust ratio) pada
saat menghitung prevalensi skizofrenia (Gururaj, 2016)( Phanthunane , 2010)
(prasri.go.th/upic/ie.php/9a177a07fd2b9b9f.pdf).
Berdasarkan hasil penelitian ini secara umum proporsi gangguan jiwa
cemas menyeluruh, episode depresi saat ini dan seumur hidup serta gangguan
jiwa apapun (any disorder) lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Hal ini sejalan dengan kepustakaan yang telah ada sebelumnya yaitu common
mental disorder (cemas, depresi dan lain-lain) lebih tinggi pada perempuan.
Pernyataan tersebut berdasarkan telaah sistematik dan meta analisis terhadap
kepustakaan yang berasal dari tahun 1980 hingga 2013 (Steel, 2014). Hal ini
sejalan dengan penelitian Riberio et al di Brazil, yang menyatakan prevalensi
depresi penduduk usia 20 tahun ke atas lebih besar pada perempuan
dibandingkan pada laki-laki (Riberio, 2016).
Keterbatasan penelitian
Jumlah sampel penelitian ini yang sebesar 2173 masih sangat kecil
dibandingkan survey kesehatan jiwa sesungguhnya. Untuk gangguan jiwa yang
sangat kecil prevalensinya seperti psikosis diperlukan jumlah sampel yang sangat
besar.
159
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan:
1. Nilai Validitas instrumen MINI untuk depresi adalah Sensistivitas 60,68%,
Spesifisitas 80,8%; untuk cemas adalah Sensistivitas 68,94%, Spesifisitas
80,36%; dan untuk psikotik adalah Sensistivitas 79,28%, Spesifisitas 82,15%.
Nilai reliabilitas instrumen MINI untuk depresi adalah 0,472; untuk cemas
adalah 0,399; dan untuk psikotik adalah 0,577.
2. Proporsi gangguan jiwa pada keseluruhan sampel penelitian untuk cemas
adalah 6,7%; proporsi depresi adalah 8,5%; dan proporsi psikotik adalah
7,1%. Secara terinci proporsi gangguan jiwa pada sampel responden di Kota
Bogor adalah: cemas sebesar 5,2%; depresi sebesar 7,7%; dan psikotik
sebesar 13,3%. Proporsi gangguan jiwa pada sampel responden di
Kabupaten Jombang adalah: cemas sebesar 3,5%; depresi sebesar 3,7%; dan
psikotik sebesar 5,2%. Proporsi gangguan jiwa pada sampel responden di
Kabupaten Tojo Una-una adalah: cemas sebesar 11,6%; depresi sebesar
13,2%; dan psikotik sebesar 2,8%.
3. Treatment gap gangguan jiwa pada keseluruhan sampel penelitian untuk
cemas adalah 63,7%; depresi sebesar 66,3%; dan psikotik sebesar 83,8%.
4. Program kesehatan jiwa berbasis masyarakat dan fasilitas mencakup
dukungan dari pemerintah di sektor kesehatan setempat untuk kegiatan di
masyarakat, peran sektor non-kesehatan. Dukungan dari pemerintah,
terutama di sektor kesehatan baik di tingkat puskesmas, dinas kesehatan
Kabupaten/Kota dan Provinsi pada umumnya adalah dalam bentuk
pembinaan atau peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, dukungan
ketersedian sarana medis untuk pelayanan penderita gangguan jiwa,
dukungan kebijakan dan regulasi terkait, serta pemberdayaan masyarakat
setempat. Pemberdayaan masyarakat dalam upaya ataupun kegiatan terkait
kesehatan jiwa masih belum terlihat di kota Bogor maupun Kabupaten
160
Touna. Sementara Kabupaten Jombang sudah dapat menunjukkan
keberhasilan upaya rehabiliasi penderita gangguan jiwa dan pelepasan
pasung melalui peran serta aktif dari masyarakat setempat.
Saran :
1. Nilai reliabilitas instrumen dianggap masih kategori sedang. Diharapkan
dalam pelaksanaan penggunaan instrumen MINI depresi, cemas dan psikotik
ini dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah berpengalaman dalam
program kesehatan jiwa, seperti minimal tenaga perawat jiwa atau perawat
yang sudah terlibat dalam prograam kesehatan jiwa. Hal ini terkait
pendalaman interpretasi istilah atau makna dalam instrumen.
2. Program kesehatan jiwa memerlukan banyak dukungan dari semua pihak,
baik sektor kesehatan maupun non-kesehatan. Sektor kesehatan diharapkan
dapat berperan lebih aktif dalam menjalin komunikasi dan koordinasi
sehingga dapat dampak positif bagi keberlanjutan program kesehatan jiwa.
Dukungan Karakteristik spesifik lokal juga merupakan tonggak keberhasilan
keberlangungan program kesehatan jiwa berbasis masyarakat.
161
DAFTAR PUSTAKA
Amad, A., Guardia, D., Salleron, J., Thomas, P., Roelandt, J. L., & Vaiva, G.
Increased prevalence of psychotic disorders among third-generation
migrants: results from the French Mental Health in General Population
survey. Schizophrenia research. 2013: 147(1), 193-195.
Badan Litbang Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI;2013.
Dichter MN, Schwab CGG, Meyer G, Bartholomeyczik S, Dortmann O, Halek M.
Measuring the quality of life in mild to very severe dementia:Testing the
inter-rater and intra-rater reliability of the German version of the
QUALIDEM. Int Psychogeriatr. 2014;26:5:825-36.
Gururaj G, Varghese M, Benegal V, Rao G, Pathak K, Singh L, et al. National
mental health survey of India : prevalence, pattern and outcomes.
National Institute of Mental Health and Neuro Sciences; 2016
Kementerian Kesehatan. Pedoman Umum Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga Sehat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016.
Kessler, R.C., DuPont, R., Berglund, P., Wittchen, H. Impairment in Pure and
Comorbid Generalized Anxiety Disorder and Major Depression at 12 Months
in Two National Surveys. AmJ Psychiatry 1999; 156:1915-1923.
Kim, KW, Choi, E, Lee, SB, Park, JH, Lee, JJ, Huh, Y., et al. Prevalence and
neuropsychiatric comorbidities of alcohol use disorders in an elderly
Korean population. International journal of geriatric psychiatry. 2009:
24(12), 1420-1428.
162
Lemeshow, Stanley. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press: 1997.
Mandrekar JN. Measures of Interrater Agreement. J Thorac Oncol. 2011;6:6-7.
Marhani, M., Salina, A. A., ZamZam, R., Razali, R., & MR, R. S. Prevalence of
psychological distress and depressive disorders among married working
women in Malaysia. Malaysian Journal of Psychiatry. 2011: 20(1).
Murti, Bhisma. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press: 2003.
Phanthunane P, Vos T, Whiteford H, Bertram M, Udemratn P. Schizophrenia in
Thailand: prevalence and buden of disease. Population health metric.
2010;8 (24).
Riberio DS, Edinilza. Prevalence of Depression and Depression Care for
Populations Registered in Primary Care in Two Remote Cities in the
Brazalian Amazon. [jurnalelektronik, PLOS ONE I DOI:
10.137/journal.pone.0150046 March 1,2016] diunduhbulanDesember
2017.
Sackett Dl, Haynes, R. B., Guyatt, G. H. & Tugwell, P. . Clinical epidemiology: a
basic science for clinical medicine. Boston: Little, Brown and Company;
1991.
Sheehan DV, Lecrubier Y, Sheehan KH, et all. The Validity of the Mini
International Neuropsychiatric Interview (MINI) according to the SCID-P and
its reliability. Eur Psychiatry 1997; 12: 232-241
Sheehan DV, Lecrubier Y, Sheehan KH, et all. 1998. The Mini International of
Neuropsychiatric Interview (MINI): The development and validation of
astructured diagnostic psychiatric interview for DSMIV and ICD_X. J.Clin
Psychiatry, 59/suppl 20/2233
163
Steel Z, Marnanae C, Iranpour C, Chey T, Jackson JW, Patel V, et al. The global
prevalence of common mental disorder; a systematic review and meta
analysis 1980-2013. Int J Epidemiol. 2014;43(2):476-93.
The Prevalence of Major Depressive Disorders in Thailand: Results from the
Epidemiology of Mental Disorders National Survey 2008 [Internet]. 2008.
Available from: prasri.go.th/upic/ie.php/9a177a07fd2b9b9f.pdf.
WHO, 2013. Mental Health Action Plan 2013 – 2020.
World Health Organizaion. mhGAP guideline update.Geneve: WHO Press.2015.
164
LAMPIRAN
165
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
STUDI KESEHATAN JIWA PADA BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA 2017
I.PENGENALAN TEMPAT
1 Provinsi : JAWA BARAT (31)/ JAWA TIMUR (35) / SULAWESI TENGAH (72)
2 Kabupaten/Kota : KOTA BOGOR (71) / KAB JOMBANG (17 ) / TOJO UNA-UNA (09)
3 Kecamatan : 4 Desa/Kelurahan :
5 Nomor Urut Rumah Tangga :
6 Nomor Urut Individu : II. KETERANGAN PENGUMPUL DATA
1 Nama Pengumpul Data:
3 Tanda tangan Pengumpul Data
2
Tanggal Pengumpulan Data: (tgl-bln-thn) - -
4 Nama Peneliti:
6 Tanda tangan Peneliti
5 Tanggal. Pengecekan: (tgl-bln-thn) - -
III. KETERANGAN INDIVIDU
1 Nama
2 Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan 3 Status kawin 1. Belum kawin 2. Kawin 3. Cerai Hidup 4. Cerai Mati 4 Tanggal Lahir Tanggal Bulan Tahun Umur 5 Status Pendidikan 1. Tidak/ belum pernah
sekolah 2. Tidak tamat SD/MI
3. Tamat SD/MI 4. Tamat SLTP/MTS
5. Tamat SLTA/MA 6. Tamat D1/D2/D3
7. Tamat PT
6 Status Pekerjaan
Utama 1. PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD 2. Pegawai swasta
3. Wiraswasta 4. Petani
5. Nelayan 6. Buruh
7. Lainnya 8. Tidak kerja
7 Asal suku :(Kode Jawaban digunakan untuk mengisi 7a. Suku Bapak dan 7b.Suku Ibu)
a. Suku Bapak
PILIHAN KODE JAWABAN:
a1.
a2. Sebutkan.............................
01.Aceh 02.Batak 03.Minang 04.Melayu 05.Palembang
08.Jawa 09.Madura 10.Bali 11.Gorontalo 12.Bugis
14.Makasar 15.Arab 16.Cina 17.Lainnya
b. Suku Ibu b1.
166
06.Betawi 07.Sunda
13.Minahasa b2. Sebutkan.............................
8
a. No Telepon/HP Pribadi ART: b. No. Telepon/HP Pribadi Pendamping:
- -
IV. KUINTIL INDEKS KEPEMILIKAN
1 Apa jenis sumber penerangan rumah? 1. Listrik/PLN 2. Llistrik Non PLN
3.Petromaks/Aladin 4.Pelita/Senter/ Obor/ Lilin
2 Jenis Sumber air utama untuk kebutuhan minum?
01 Air kemasan 02. Air Isi Ulang 03. Air Ledeng/PAM 04 Air ledeng eceran/membeli
05. Sumur bor/Pompa 06. Sumur Air Terlindung 07. Sumur gali tak terlindung 08. Mata air terlindung
09. Mata air tak terlindung 10. Penampungan air hujan 11 Air sungai/danau/Irigasi
3 Apa jenis bahan bakar/energi utama yang digunakan untuk memasak?
1. Listrik 2. Gas/Elpiji
3. Minyak Tanah 4. Arang/briket/batok kelapa
5. Kayu bakar
4 a. Penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga
1. Milik sendiri 2. Milik bersama 3. Umum Tidak AdaP4c
b. Jenis kloset yang digunakan
1. Leher Angsa 2. Plengsengan
3. Cemplung/cubluk/lubang tanpa lantai 4. Cemplung/cubluk/lubang tanpa lantai
c. Tempat pembuangan akhir tinja
1. Tangki septik 2. SPAL
3. Kolam/sawah 4. Sungai/danau/laut
5. Lubang tanah 6. Pantai/tanah lapang/kebun
7. Lainnya
5 Apakah (RUMAH TANGGA) memiliki barang-barang sebagai berikut: (ISIKAN KODE 1”YA” ATAU 2”TIDAK”)
a. Sepeda motor c. TV/TV kabel e. Gas 12 Kg atau lebih b. Perahu motor d. Mobil f..Lemari Es/Kulkas g. Pemanas air untuk mandi
V. AKSES DAN PELAYANAN KESEHATAN
Sekarang kami akan menanyakan jenis fasilitas kesehatan terdekat termasuk alat transportasi, waktu tempuh, dan perkiraan biaya dari rumah ke setiap pelayanan kesehatan terdekat tersebut:
(Pengertian dekat: bisa dalam satu atau beda kabupaten/ kota, kecamatan, kelurahan, desa dimana rumah tangga berada)
Jenis Fasilitas Kesehatan
ketersediaan fasillitas
1 Ya 2. Tidak Jika jawaban berkode „2‟
lanjut ke JENIS
FASILITAS KESEHATAN berikutnya
Alat transportasi yang bisa digunakan sekali jalan dari rumah
ke fasilitas kesehatan tersebut
Waktu Tempuh
Kira-kira berapa biaya perjalanan dari rumah ke fasilitas kesehatan tersebut
(Rp)
1.mobil pribadi 2.kendaraan umum 4.Jalan kaki 8.Sepeda motor
16. sepeda 32. perahu 64. transortasi udara 128.lainnya Jam Menit
Bila jawaban lebih dari 1 jumlahkan kode jawaban alat transportasi yang digunakan
(1) (2) (3) (4) (5)
1. RS Pemerintah
167
2. RS Swasta 3. Puskesmas/P.Pembantu 4. Praktik Dokter/Klinik 5. Praktik Bidan/ RS
Bersalin 6. Posyandu 7. Poskesdes/Poskentren 8. Polindes
VI. GANGGUAN DEPRESI Selama 2 minggu terakhir:
1 Apakah [NAMA] secara terus menerus merasa sedih, depresif atau murung, hampir sepanjang hari, hampir setiap hari?
1. Ya 2. Tidak 2
Apakah [NAMA] hampir sepanjang waktu kurang berminat terhadap banyak hal atau kurang bisa menikmati hal-hal yang biasanya [NAMA] nikmati?
1. Ya 2. Tidak 3 Apakah [NAMA] merasa lelah atau tidak bertenaga, hampir sepanjang waktu? 1. Ya 2. Tidak 4
Apakah nafsu makan [NAMA] berubah secara mencolok atau apakah berat badan [NAMA] meningkat atau menurun tanpa upaya yang disengaja?
1. Ya 2. Tidak 5
Apakah [NAMA] mengalami gangguan tidur hampir setiap malam (kesulitan untuk mulai tidur, terbangun tengah malam, terbangun lebih dini, tidur berlebihan)?
1. Ya 2. Tidak 6
Apakah [NAMA] berbicara atau bergerak lebih lambat daripada biasanya, gelisah, tidak tenang atau mengalami kesulitan untuk tetap diam?
1. Ya 2. Tidak 7
Apakah [NAMA] kehilangan kepercayaan diri, atau apakah [Nama] merasa tak berharga atau bahkan lebih rendah daripada orang lain?
1. Ya 2. Tidak 8 Apakah [NAMA] merasa bersalah atau mempersalahkan diri sendiri? 1. Ya 2. Tidak 9
Apakah [NAMA] mengalami kesulitan berpikir atau berkonsentrasi, atau apakah mempunyai kesulitan untuk mengambil keputusan?
1. Ya 2. Tidak 10
Apakah [NAMA] berfikir lebih baik mati, berniat bunuh diri, mencoba bunuh diri, atau menyakiti diri sendiri?
1. Ya 2. Tidak Jika minimal 2 jawaban berkode 1 “Ya” pada pertayaan 1-3, dan minimal 2 jawaban berkode 1 “Ya” pada
pertanyaan 4-10, maka lanjut ke pertanyaan no. 11. Kondisi lainnya lanjut ke pertanyaan 16 (Riwayat Gangguan Depresi)
11 Sebelum merasakan terus menerus sedih (depresif) saat ini, apakah [NAMA] pernah merasa baik saja selama sekurangnya 2 bulan?
1. Ya 2. Tidak
12 Untuk semua keluhan yang disebutkan di atas (1 s/d 10 kondisi depresif saat ini), apakah [NAMA] minum obat atau menjalani pengobatan medis?
1. Ya P.13 2. Tidak P.15
13 Jika jawaban no. 13 Ya, di mana [Nama] menjalani pengobatan medis?
a. Puskesmas/Klinik/Praktik Dokter umum 1. Ya 2. Tidak
b. RS Umum 1. Ya 2. Tidak
c. RS Jiwa 1. Ya 2. Tidak
168
d. Lainnya, sebutkan... 1. Ya 2. Tidak
14 Nama obat apa yang diberikan? Kode jenis obat (diisi oleh enumerator dan peneliti)
a. 1. Anti depresi 2. Anti cemas 3. Anti psikotik 4. Obat untuk keluhan
fisik 5. Vitamin 6. Herbal/ jamu 7. Lainnya(sebutkan) 8. Tidak ingat/ tidak
tahu
b.
c.
d.
e. 15 Jika jawaban no.12 Tidak, maka sebutkan alasannya: a. Ketidaknyamanan saat berobat 1. Ya 2. Tidak b. Kesulitan transportasi 1. Ya 2. Tidak c. Merasa tidak perlu berobat/dapat sembuh sendiri/dapat diatasi sendiri 1. Ya 2. Tidak
d. Bukan penyakit medis 1. Ya 2. Tidak
e. Dapat diobati secara tradisional atau alternatif 1. Ya 2. Tidak f. Merasa takut/malu 1. Ya 2. Tidak
g. Tidak tahu ada layanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan 1. Ya 2. Tidak
h. Lainnya, sebutkan... 1. Ya 2. Tidak
16. Riwayat Gangguan Depresi
Sekarang saya ingin menanyakan kondisi [NAMA] di masa lalu
Selama hidup [NAMA] pernahkah selama dua minggu atau lebih merasa depresif dan mengalami hal-hal sebagai berikut:
a. Apakah [NAMA] secara terus menerus merasa sedih, depresif atau murung, hampir sepanjang hari, hampir setiap hari?
1. Ya 2. Tidak b.
Apakah [NAMA] hampir sepanjang waktu kurang berminat terhadap banyak hal atau kurang bisa menikmati hal-hal yang biasanya [NAMA] nikmati?
1. Ya 2. Tidak c. Apakah [NAMA] merasa lelah atau tidak bertenaga, hampir sepanjang waktu? 1. Ya 2. Tidak d.
Apakah nafsu makan [NAMA] berubah secara mencolok atau apakah berat badan [NAMA] meningkat atau menurun tanpa upaya yang disengaja?
1. Ya 2. Tidak e.
Apakah [NAMA] mengalami gangguan tidur hampir setiap malam (kesulitan untuk mulai tidur, terbangun tengah malam, terbangun lebih dini, tidur berlebihan)?
1. Ya 2. Tidak f.
Apakah [NAMA] berbicara atau bergerak lebih lambat daripada biasanya, gelisah, tidak tenang atau mengalami kesulitan untuk tetap diam?
1. Ya 2. Tidak g.
Apakah [NAMA] kehilangan kepercayaan diri, atau apakah [Nama] merasa tak berharga atau bahkan lebih rendah daripada orang lain?
1. Ya 2. Tidak h. Apakah [NAMA] merasa bersalah atau mempersalahkan diri sendiri? 1. Ya 2. Tidak
169
i. Apakah [NAMA] mengalami kesulitan berpikir atau berkonsentrasi, atau apakah mempunyai kesulitan untuk mengambil keputusan?
1. Ya 2. Tidak j.
Apakah [NAMA] berfikir lebih baik mati, berniat bunuh diri, mencoba bunuh diri, atau menyakiti diri sendiri?
1. Ya 2. Tidak Jika salah satu jawaban pertanyaan 16 adalah “Ya”, maka dilanjutkan ke pertanyaan 17.
Jika pertanyaan 11 terisi dan semua jawaban pertanyaan 16 adalah “Tidak”, maka dilanjutkan ke pertanyaan 21.
Jika pertanyaan 11 tidak terisi dan semua jawaban pertanyaan 16 adalah “Tidak”, maka dilanjutkan ke pertanyaan 22
17 Apakah [NAMA] minum obat atau menjalani pengobatan medis untuk kondisi depresif masa lalu?
1. Ya 2. Tidak P.19
18 Jika jawaban no.17 Ya, di mana [Nama] menjalani pengobatan medis?
a. Puskesmas/Klinik/Praktik Dokter umum 1. Ya 2. Tidak
b. RSU 1. Ya 2. Tidak
c . RS Jiwa 1. Ya 2. Tidak
d. Lainnya, sebutkan... 1. Ya 2. Tidak
19 Jika jawaban no.17 adalah TIDAK, maka sebutkan alasannya:
a. Ketidaknyamanan saat berobat 1. Ya 2. Tidak
b. Kesulitan transportasi 1. Ya 2. Tidak
c. Merasa tidak perlu berobat/dapat sembuh sendiri/dapat diatasi sendiri 1. Ya 2. Tidak
d. Bukan penyakit medis 1. Ya 2. Tidak
e. Dapat diobati secara tradisional atau alternatif 1. Ya 2. Tidak f. Takut/malu 1. Ya 2. Tidak
g. Tidak tahu ada layanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan 1. Ya 2. Tidak
h. Lainnya, sebutkan... 1. Ya 2. Tidak
21 Apakah [NAMA] pernah melakukan hal-hal di bawah ini untuk mengendalikan keluhan-keluhan depresif (saat ini dan masa lalu) tersebut?
- Olahraga rutin 1. Ya 2. Tidak - Aktivitas spiritual/meditasi 1. Ya 2. Tidak - Aktifitas rekreasional 1. Ya 2. Tidak - Relaksasi/latihan nafas dalam 1. Ya 2. Tidak - Mengkonsumsi alkohol 1. Ya 2. Tidak
170
- Mengkonsumsi narkoba dan sejenisnya 1. Ya 2. Tidak - Lainnya, sebutkan:……………………………………………………………………………….. 1. Ya 2. Tidak 22 Selama Seumur hidup:
a. Apakah [NAMA] pernah berniat untuk menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau
berharap bahwa [NAMA] mati? 1. Ya 2. Tidak
b. Apakah [NAMA] pernah membuat rencana untuk menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri? 1. Ya 2. Tidak
c. Apakah [NAMA] pernah melakukan percobaan untuk menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri?
1. Ya 2. Tidak
VII. GANGGUAN CEMAS Selama 6 bulan terakhir:
1 Apakah [NAMA] khawatir berlebihan atau cemas perihal 2 atau lebih masalah hidup sehari-hari yang lebih daripada orang lain? Atau apakah orang mengatakan bahwa [Nama] khawatir berlebihan? Apakah kekhawatiran ini muncul hampir setiap hari?
1. Ya 2. Tidak
2 Merasa denyut jantung tak teratur, cepat atau berdebar keras? 1. Ya 2. Tidak 3 Berkeringat? 1. Ya 2. Tidak 4 Gemetar atau bergetar? 1. Ya 2. Tidak 5 Merasa mulut kering? 1. Ya 2. Tidak 6 Mengalami kesulitan bernafas? 1. Ya 2. Tidak 7 Merasa tercekik? 1. Ya 2. Tidak 8 Merasa nyeri, tertekan atau tidak enak di dada? 1. Ya 2. Tidak 9 Mengalami mual atau gangguan perut? 1. Ya 2. Tidak 10 Kepala pusing, sempoyongan, melayang atau pingsan? 1. Ya 2. Tidak 11 Merasa asing dengan sekeliling [Nama] atau dengan bagian tubuh[NAMA]? 1. Ya 2. Tidak 12 Takut bahwa [NAMA] akan menjadi gila, kehilangan kendali atau pingsan? 1. Ya 2. Tidak 13 Takut bahwa [NAMA] akan mati? 1. Ya 2. Tidak 14 Mengalami rasa panas atau dingin yang menjalar di wajah, leher dan dada? 1. Ya 2. Tidak 15 Merasa kesemutan atau baal pada bagian-bagian tubuh [NAMA]? 1. Ya 2. Tidak 16 Merasa sakit, nyeri atau tegang otot? 1. Ya 2. Tidak 17 Merasa gelisah, tidak bisa santai? 1. Ya 2. Tidak
171
18 Merasa pikiran tegang? 1. Ya 2. Tidak 19 Merasa sulit menelan, atau kerongkongan tersumbat? 1. Ya 2. Tidak 20 Mudah kaget/terkejut? 1. Ya 2. Tidak 21 Sulit berkonsentrasi, atau merasa pikiran kosong? 1. Ya 2. Tidak 22 Merasa mudah tersinggung? 1. Ya 2. Tidak 23 Sulit tidur karena kekhawatiran [NAMA]? 1. Ya 2. Tidak
Jika salah satu atau lebih jawaban pertanyaan no 1 s/d 23 adalah YA lanjut ke pertanyaan no 24 Jika SEMUA jawaban pertanyaan no 1 s.d 23 adalah TIDAK maka lanjut ke pertanyaan no BLOK PSIKOSIS
24 Untuk keluhan yang disebutkan di atas (1 s/d 23), apakah [NAMA] minum obat atau menjalani pengobatan medis?
1. Ya 2. Tidak P.27
25 Jika jawaban no. 24 Ya, di mana [Nama] menjalani pengobatan medis?
a. Puskesmas/Klinik/Praktik Dokter umum 1. Ya 2. Tidak
b. RSU 1. Ya 2. Tidak
c. RS Jiwa 1. Ya 2. Tidak
d. Lainnya, sebutkan... 1. Ya 2. Tidak
26 Jenis obat apa yang diberikan? Kode jenis obat a.
1. Anti depresi 2. Anti cemas 3. Anti psikotik 4. Obat untuk
keluhan fisik 5. itamin 6. Herbal/jamu 7. Lainnya
(sebutkan) 8. Tidak ingat/ tidak
tahu
b.
c.
d.
e.
27 Jika jawaban no.24 adalah TIDAK, maka sebutkan alasannya:
a. Ketidaknyamanan saat berobat 1. Ya 2. Tidak
b. Kesulitan transportasi 1. Ya 2. Tidak
c. Merasa tidak perlu berobat/dapat sembuh sendiri/dapat diatasi sendiri 1. Ya 2. Tidak
d. Bukan penyakit medis 1. Ya 2. Tidak
e. Dapat diobati secara tradisional atau alternatif 1. Ya 2. Tidak f. Merasa takut/malu 1. Ya 2. Tidak
172
g. Tidak tahu ada layanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan 1. Ya 2. Tidak h. Lainnya, sebutkan... 1. Ya 2. Tidak
28 Apakah [NAMA] pernah melakukan hal-hal di bawah ini untuk mengendalikan keluhan-keluhan kondisi cemas tersebut?
a. Olahraga rutin 1. Ya 2. Tidak
b. Aktivitas spiritual/meditasi 1. Ya 2. Tidak
c. Aktivitas rekreasional 1. Ya 2. Tidak
d. Relaksasi/latihan nafas dalam 1. Ya 2. Tidak
e. Mengkonsumsi alkohol 1. Ya 2. Tidak f. Mengkonsumsi narkoba dan sejenisnya 1. Ya 2. Tidak g. Lainnya, sebutkan................................................................................. 1. Ya 2. Tidak
VIII. GANGGUAN PSIKOTIK
1
Apakah keluarga atau teman [NAMA] pernah menganggap pikiran [NAMA] aneh atau tidak
umum/lazim? (KODE YA HANYA UNTUK CONTOH YANG DIBERIKAN JELAS MERUPAKAN IDE-
IDE KEBESARAN, HIPOKONDRIASIS, KEHANCURAN, BERSALAH …..........)
1. Ya 2. Tidak
Contoh:
2
Pernahkah [NAMA] yakin seseorang/orang-orang sedang memata-matai [Nama], atau sedang berkomplot melawan [NAMA], atau mencoba menyakiti [NAMA]?
1. Ya 2. Tidak
Contoh:
3 Pernahkah [NAMA] meyakini seseorang sedang membaca pikiran [NAMA] atau bisa mendengar pikiran [NAMA] atau bahwa [NAMA] sungguh bisa membaca atau mendengar apa yang sedang dipikirkan oleh orang lain?
1. Ya 2. Tidak
Contoh:
4 Pernahkah [NAMA] meyakini seseorang atau suatu kekuatan di luar [NAMA] memasukkan ide/pikiran yang bukan milik [NAMA] ke dalam pikiran [NAMA], atau menyebabkan [NAMA] bertindak yang bukan seperti diri [NAMA] biasanya?
1. Ya 2. Tidak
Contoh:
5
Pernahkah [NAMA] meyakini sedang dikirimi pesan khusus melalui TV, radio atau koran, atau bahwa seseorang yang tidak [NAMA] kenal secara khusus tertarik pada [NAMA]?
1. Ya 2. Tidak
Contoh :
6
Pernahkah [NAMA] mendapat penampakan atau pernahkah melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa melihatnya?
1. Ya 2. Tidak
Contoh:
7
Pernahkah [NAMA] mendengar sesuatu yang orang lain tidak dapat mendengarnya, seperti suara orang berbisik, berbicara, berkomentar, menyuruh?
1. Ya 2. Tidak
173
Contoh :
Jika semua jawaban pertanyaan no.1-7 adalah Tidak, maka dilanjutkan ke BLOK X
Jika mengalami salah satu dari pertanyaan no. 1-7 no.8. 8 Apakah anda mengalami (gejala 1 – 7) dalam satu bulan terakhir? 1. Ya 2. tidak 9 a. Selama hidup [NAMA] apakah [NAMA] mengalami (Gejala 1-7) lebih dari satu kali
1. Ya 2. Tidak BLOK X
b. Kapan episode gejala tersebut terjadi? .......... bulan yang lalu
10 Untuk semua keluhan yang di sebutkan di atas (1 s/d 7), apakah [NAMA] pernah minum obat atau menjalani pengobatan medis?
1. Ya 2. Tidak ke no 13
11 Jika jawaban no.10 adalah Ya, dimana [Nama] menjalani pengobatan medis
a. Puskesmas/Klinik/Praktik Dokter umum 1. Ya 2. Tidak b. RSU 1. Ya 2. Tidak c. RS Jiwa 1. Ya 2. Tidak d. Lainnya, sebutkan... 1. Ya 2. Tidak 12 Jenis obat apa yang diberikan? Kode jenis obat a. 1. Anti depresi
2. Anti cemas 3. Anti psikotik 4. Obat untuk keluhan
fisik 5. Vitamin 6. Herbal/jamu 7. Lainnya (sebutkan) 8. Tidak ingat/ tidak tahu
b. c. d. e. 13 Jika jawaban no.10 adalah Tidak, sebutkan alasannya
a. Ketidaknyamanan saat berobat 1. Ya 2. Tidak b. Kesulitan transportasi 1. Ya 2. Tidak c. Merasa tidak perlu berobat/dapat sembuh sendiri/dapat diatasi sendiri 1. Ya 2. Tidak d. Bukan penyakit medis 1. Ya 2. Tidak e. Dapat diobati secara tradisional atau alternatif 1. Ya 2. Tidak f. Merasa takut/malu 1. Ya 2. Tidak g. Tidak tahu ada layanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan 1. Ya 2. Tidak h. Lainnya, sebutkan... 1. Ya 2. Tidak
174
14 Apakah [NAMA] pernah melakukan hal-hal di bawah ini untuk mengendalikan keluhan-keluhan di atas?
a. Olahraga rutin 1. Ya 2. Tidak
b. Aktivitas spiritual/meditasi 1. Ya 2. Tidak
c. Aktifitas rekreasional 1. Ya 2. Tidak
d. Relaksasi/latihan nafas dalam 1. Ya 2. Tidak
e. Mengkonsumsi alkohol 1. Ya 2. Tidak f. Mengkonsumsi narkoba dan sejenisnya 1. Ya 2. Tidak g. Lainnya, sebutkan.......................................................................................... 1. Ya 2. Tidak
IX. RIWAYAT GANGGUAN JIWA
1. Apa pernah [NAMA] diagnosis gangguan jiwa yang ditetapkan tenaga kesehatan 1. Ya 2. Tidak
a. Depresi 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/tidak ingat b. Cemas 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/tidak ingat c. Psikosis/Skizofrenia 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tahu/tidak ingat
2
Apakah [NAMA] pernah didiagnosis /dinyatakan menderita gangguan jiwa lain (selain depresi, cemas, psikotik) oleh tenaga kesehatan
1. Ya 2. Tidak
Sebutkan............................ Jika pertanyaan nomor 1 (a-c) dan 2 semua jawaban adalah Tidak BLOK X SRQ
3 Siapa yang pertama kali menyampaikan diagnosis gangguan jiwa kepada [NAMA] ISIKAN KODE 1”YA” ATAU 2”TIDAK”
a. Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) d. Dokter umum
b. Psikolog e. Perawat
c. Psikiater/Psikolog f. Lainnya, sebutkan ........................................
4 Kapan pertama kali [NAMA] didiagnosis gangguan jiwa (tahun)
X. SRQ
DITANYAKAN UNTUK KONDISI 1 BULAN TERAKHIR Untuk lebih mengerti kondisi kesehatan *NAMA+ kami akan mengajukan 20 pertanyaan yang memerlukan jawaban ”Ya” atau “Tidak”. Kalau [NAMA] kurang mengerti kami akan membacakan sekali lagi, namun kami tidak akan menjelaskan/ mendiskusikan.
175
Jika [NAMA] ada pertanyaan akan kita bicarakan setelah selesai menjawab ke 20 pertanyaan. UNTUK PERTANYAAN 1-20, ISIKAN DENGAN KODE 1=YA ATAU 2=TIDAK
1. Apakah [NAMA] sering menderita sakit kepala? 11. Apakah [NAMA] merasa sulit untuk menikmati kegiatan sehari-hari?
2. Apakah [NAMA] tidak nafsu makan? 12. Apakah [NAMA] sulit untuk mengambil keputusan?
3. Apakah [NAMA] sulit tidur? 13. Apakah pekerjaan [NAMA] sehari-hari terganggu?
4. Apakah [NAMA] mudah takut? 14. Apakah [NAMA] tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidup?
5. Apakah [NAMA] merasa tegang, cemas atau kuatir? 15.
Apakah [NAMA] kehilangan minat pada berbagai hal?
6. Apakah tangan [NAMA] gemetar? 16. Apakah [NAMA] merasa tidak berharga? 7. Apakah pencernaan [NAMA] terganggu/ buruk? 17.
Apakah [NAMA] mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup?
8. Apakah [NAMA] sulit untuk berpikir jernih? 18. Apakah [NAMA] merasa lelah sepanjang waktu? 9. Apakah [NAMA] merasa tidak bahagia? 19.
Apakah [NAMA] mengalami rasa tidak enak di perut?
10. Apakah [NAMA] menangis lebih sering? 20. Apakah [NAMA] mudah lelah?
176
RELIABILITAS ITEM PERTANYAAN
KUESIONER DEPRESI
PERTANYAAN Value
Asymp. Std.
Error(a) Approx.
T(b) Approx.
Sig.
P4.1 Apakah [NAMA] secara terus menerus merasa sedih, depresif atau murung, hampir sepanjang hari, hampir setiap hari?
0,388 0,125 3,628 0,000
P4.2 Apakah [NAMA] hampir sepanjang waktu kurang berminat terhadap banyak hal atau kurang bisa menikmati hal-hal yang biasanya [NAMA] nikmati?
0,384 0,114 4,248 0,000
P4.3 Apakah [NAMA] merasa lelah atau tidak bertenaga, hampir sepanjang waktu?
0,569 0,096 5,491 0,000
P4.4 Apakah nafsu makan [NAMA] berubah secara mencolok atau apakah berat badan [NAMA] meningkat atau menurun tanpa upaya yang disengaja?
0,515 0,117 4,832 0,000
P4.5 Apakah [NAMA] mengalami gangguan tidur hampir setiap malam (kesulitan untuk mulai tidur, terbangun tengah malam, terbangun lebih dini, tidur berlebihan)?
0,481 0,111 4,496 0,000
P4.6 Apakah [NAMA] berbicara atau bergerak lebih lambat daripada biasanya, gelisah, tidak tenang atau mengalami kesulitan untuk tetap diam?
0,550 0,117 5,355 0,000
P4.7 Apakah [NAMA] kehilangan kepercayaan diri, atau apakah [Nama] merasa tak berharga atau bahkan lebih rendah daripada orang lain?
0,750 0,089 7,037 0,000
P4.8 Apakah [NAMA] merasa bersalah atau mempersalahkan diri sendiri?
0,192 0,097 2,177 0,030
P4.9 Apakah [NAMA] mengalami kesulitan berpikir atau berkonsentrasi, atau apakah mempunyai kesulitan untuk mengambil keputusan?
0,595 0,093 5,597 0,000
P4.10 Apakah [NAMA] berniat untuk menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap bahwa [Nama] mati?
-0,019 0,015 -0,221 0,825
177
RELIABILITAS KUESIONER CEMAS
PERTANYAAN Value
Asymp.
Std.
Error(a)
Approx.
T(b)
Approx.
Sig.
P5.1 Apakah [NAMA] khawatir berlebihan atau cemas
perihal 2 atau lebih masalah hidup sehari-hari
yang lebih daripada orang lain? Atau apakah
orang mengatakan bahwa [Nama] khawatir
berlebihan? Apakah kekhawatiran ini muncul
hampir setiap hari?
0,468 0,100 4,470 0,000
P5.2 Merasa denyut jantung tak teratur, cepat atau
berdebar keras? 0,474 0,104 4,545 0,000
P5.3 Berkeringat? 0,424 0,102 4,003 0,000
P5.4 Gemetar atau bergetar? 0,529 0,110 4,945 0,000
P5.5 Merasa mulut kering? 0,495 0,113 4,822 0,000
P5.6 Mengalami kesulitan bernafas? 0,401 0,132 3,948 0,000
P5.7 Merasa tercekik? 0,108 0,120 1,502 0,133
P5.8 Merasa nyeri, tertekan atau tidak enak di dada? 0,558 0,107 5,359 0,000
P5.9 Mengalami mual atau gangguan perut? 0,471 0,098 4,557 0,000
P5.10 Kepala pusing, sempoyongan, melayang atau
pingsan? 0,500 0,096 4,687 0,000
P5.11 Merasa asing dengan sekeliling [Nama] atau
dengan bagian tubuh[NAMA]? 0,587 0,141 5,481 0,000
P5.12 Takut bahwa [NAMA] akan menjadi gila,
kehilangan kendali atau pingsan? 0,516 0,116 4,903 0,000
P5.13 Takut bahwa [NAMA] akan mati? 0,477 0,110 4,814 0,000
P5.14 Mengalami rasa panas atau dingin yang
menjalar di wajah, leher dan dada? 0,441 0,123 4,235 0,000
P5.15 Merasa kesemutan atau baal pada bagian-
bagian tubuh [NAMA]? 0,491 0,098 4,582 0,000
P5.16 Merasa sakit, nyeri atau tegang otot? 0,371 0,103 3,490 0,000
P5.17 Merasa gelisah, tidak bisa santai? 0,529 0,100 4,932 0,000
P5.18 Merasa pikiran tegang? 0,632 0,089 5,930 0,000
P5.19 Merasa sulit menelan, atau kerongkongan
tersumbat? 0,379 0,143 3,609 0,000
P5.20 Mudah kaget/terkejut? 0,507 0,103 4,775 0,000
P5.21 Sulit berkonsentrasi, atau merasa pikiran
kosong? 0,540 0,101 5,034 0,000
P5.22 Merasa mudah tersinggung? 0,727 0,080 6,876 0,000
P5.23 Sulit tidur karena kekhawatiran [NAMA]? 0,475 0,102 4,474 0,000
178
RELIABILITAS KUESIONER PSIKOSIS
PERTANYAAN Value
Asymp.
Std.
Error(a)
Approx.
T(b)
Approx.
Sig.
P6.1 Apakah keluarga atau teman [NAMA] pernah
menganggap pikiran [NAMA] aneh atau tidak
umum/lazim?
0,637 0,149 6,084 0,000
P6.2 Pernahkah [NAMA] yakin seseorang/orang-
orang sedang memata-matai [Nama], atau
sedang berkomplot melawan [NAMA], atau
mencoba menyakiti [NAMA]?
0,436 0,148 4,091 0,000
P6.3 Pernahkah [NAMA] meyakini seseorang sedang
membaca pikiran [NAMA] atau bisa mendengar
pikiran [NAMA] atau bahwa [NAMA] sungguh
bisa membaca atau mendengar apa yang
sedang dipikirkan oleh orang lain?
0,537 0,165 5,268 0,000
P6.4 Pernahkah [NAMA] meyakini seseorang atau
suatu kekuatan di luar [NAMA] memasukkan
ide/pikiran yang bukan milik [NAMA] ke dalam
pikiran [NAMA], atau menyebabkan [NAMA]
bertindak yang bukan seperti diri [NAMA]
biasanya?
0,463 0,186 4,318 0,000
P6.5 Pernahkah [NAMA] meyakini sedang dikirimi
pesan khusus melalui TV, radio atau koran, atau
bahwa seseorang yang tidak [NAMA] kenal
secara khusus tertarik pada [NAMA]?
0,515 0,189 4,827 0,000
P6.6 Pernahkah [NAMA] mendapat penampakan atau
pernahkah melihat hal-hal yang orang lain tidak
bisa melihatnya?
0,491 0,126 4,649 0,000
P6.7 Pernahkah [NAMA] mendengar sesuatu yang
orang lain tidak dapat mendengarnya, seperti
suara orang berbisik, berbicara, berkomentar,
menyuruh?
0,729 0,115 6,813 0,000
179
RELIABILITAS KUESIONER SRQ
Value
Asymp. Std.
Error(a) Approx.
T(b) Approx.
Sig.
H01 Apakah [NAMA] sering menderita sakit kepala? 0,528 0,094 4,937 0,000
H02 Apakah [NAMA] tidak nafsu makan? 0,438 0,125 4,141 0,000
H03 Apakah [NAMA] sulit tidur? 0,661 0,094 6,190 0,000
H04 Apakah [NAMA] mudah takut? 0,651 0,101 6,131 0,000
H05 Apakah [NAMA] merasa tegang, cemas atau kuatir? 0,521 0,092 5,060 0,000
H06 Apakah tangan [NAMA] gemetar? 0,510 0,114 4,769 0,000
H07 Apakah pencernaan [NAMA] terganggu/ buruk? 0,535 0,113 4,995 0 H08 Apakah [NAMA] sulit untuk berpikir jernih? 0,571 0,106 5,353 0,000
H09 Apakah [NAMA] merasa tidak bahagia? 0,545 0,121 5,087 0,000
H10 Apakah [NAMA] menangis lebih sering? 0,638 0,117 5,953 0,000
H11 Apakah [NAMA] merasa sulit untuk menikmati kegiatan sehari-hari? 0,356 0,129 3,316 0,001
H12 Apakah [NAMA] sulit untuk mengambil keputusan? 0,527 0,103 4,929 0,000
H13 Apakah pekerjaan [NAMA] sehari-hari terganggu? 0,548 0,142 5,112 0,000
H14 Apakah [NAMA] tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidup? 0,112 0,149 1,120 0,263
H15 Apakah [NAMA] kehilangan minat pada berbagai hal? 0,393 0,137 3,669 0,000
H16 Apakah [NAMA] merasa tidak berharga? 0,689 0,118 6,572 0,000
H17 Apakah [NAMA] mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup?
TIDAK ADA YANG POSITIF PADA WAWANCARA PERTAMA
H18 Apakah [NAMA] merasa lelah sepanjang waktu? 0,511 0,113 4,816 0,000
H19 Apakah [NAMA] mengalami rasa tidak enak di perut? 0,680 0,089 6,365 0,000
H20 Apakah [NAMA] mudah lelah? 0,529 0,091 5,126 0,000
180
RELIABILITAS RIWAYAT DEPRESI
PERTANYAAN Value
Asymp.
Std.
Error(a)
Approx.
T(b)
Approx.
Sig.
P4.1 Apakah [NAMA] secara terus menerus merasa
sedih, depresif atau murung, hampir sepanjang
hari, hampir setiap hari?
0,251 0,112 2,340 0,019
P4.2 Apakah [NAMA] hampir sepanjang waktu kurang
berminat terhadap banyak hal atau kurang bisa
menikmati hal-hal yang biasanya [NAMA]
nikmati?
0,416 0,117 3,875 0,000
P4.3 Apakah [NAMA] merasa lelah atau tidak
bertenaga, hampir sepanjang waktu? 0,257 0,120 2,393 0,017
P4.4 Apakah nafsu makan [NAMA] berubah secara
mencolok atau apakah berat badan
[NAMA] meningkat atau menurun tanpa upaya
yang disengaja?
0,213 0,124 1,974 0,048
P4.5 Apakah [NAMA] mengalami gangguan tidur
hampir setiap malam (kesulitan
untuk mulai tidur, terbangun tengah malam,
terbangun lebih dini, tidur berlebihan)?
0,153 0,113 1,489 0,137
P4.6 Apakah [NAMA] berbicara atau bergerak lebih
lambat daripada biasanya,
gelisah, tidak tenang atau mengalami kesulitan
untuk tetap diam?
0,366 0,123 3,455 0,001
P4.7 Apakah [NAMA] kehilangan kepercayaan diri,
atau apakah [Nama] merasa tak
berharga atau bahkan lebih rendah daripada
orang lain?
0,534 0,114 4,953 0,000
P4.8 Apakah [NAMA] merasa bersalah atau
mempersalahkan diri sendiri? 0,267 0,116 2,507 0,012
P4.9 Apakah [NAMA] mengalami kesulitan berpikir
atau berkonsentrasi, atau apakah
mempunyai kesulitan untuk mengambil
keputusan?
0,290 0,114 2,722 0,006
P4.10 Apakah [NAMA] berniat untuk menyakiti diri
sendiri, ingin bunuh diri atau
berharap bahwa [Nama] mati?
0,642 0,166 5,951 0,000