Post on 23-Oct-2021
i
LAPORAN PENELITIAN
PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER
YANG MENGAKIBATKAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
PENELITI
I PUTU RASMADI ARSHA PUTRA, SH., MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2015
ii
iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, kerena
berkat Anugrahnya sehingga pelaksanaan kegiatan penelitian dapat terlaksana dengan lancar
dan semstinya sesuai dengan rencana dan jadwal yang telah ditetapkan.
Hasil penelitian ini, dituangkan dalam bentuk laporan yang Berjudul
“PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER YANG MENGAKIBATKAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT” Keberhasilan pelaksanaan penelitian ini tidak
terlepas dari bantuan dn kerjasama dari para pihak diantaranya :
1. Tim Peneliti yang telah meluangkan banyak waktu dalam pelaksanaan penelitian
ini.
2. Pihak-pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini, yang
tidak dapat diungkapkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa kegiatan dan laporan Penelitian ini jauh dari sempurna, akan
tetapi diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik kalangan
akademis maupun praktisi yang mempunyai perhatian terhadap permasalahan yang dikaji
dalam penelitian ini.
Denpasar, Agustus 2015
Tim Peneliti
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN ……………………………….. ……… ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. iv
I. PENDAHULUAN ..…………………….……………………………………….. 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………... 5
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ………………….………………… 9
IV. METODE PENELITIAN ……………………………………………………..... 10
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………….. 12
VI. SIMPULAN DAN SARAN ………..………………………………………….. 20
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai lembaga pengemban amanat UU No 5 tahun 1999, KPPU berkewajiban
untuk memastikan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di Indonesia.
Untuk tujuan tersebut KPPU periode pertama (2000-2005) telah meletakan lima program
utama, yakni pengembangan penegakan hukum, pengembangan kebijakan persaingan,
pengembangan komunikasi, pengembangan kelembagaan dan pengembangan sistem
informasi. Dalam periode 2006-2011 kelima program tersebut tetap menjadi program KPPU,
tetapi penekananan lebih dilakukan terhadap dua fungsi utama KPPU yaitu melakukan
penegakan hukum persaingan dan memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah terkait
dengan kebijakan yang berpotensi bertentangan dengan UU No 5 tahun 1999.
Fungsi penegakan hukum bertujuan untuk menghilangkan berbagai hambatan
persaingan berupa perilaku bisnis yang tidak sehat. Sementara proses pemberian saran
pertimbangan kepada Pemerintah akan mendorong proses reformasi regulasi menuju
tercapainya kebijakan persaingan yang efektif di seluruh sektor ekonomi. Selama ini, baik
dalam proses penegakan hukum maupun dalam analisis kebijakan Pemerintah, seringkali
ditemui bahwa kebijakan menjadi sumber dari lahirnya berbagai praktek persaingan usaha
tidak sehat di beberapa sektor. Memperhatikan perkembangan ini, maka kebijakan persaingan
menempati prioritas utama KPPU ke depan melalui program regulatory reform, dengan
bentuk upaya internalisasi prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dalam setiap kebijakan
Pemerintah.
Terkait dengan upaya internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat dalam
kebijakan Pemerintah, KPPU selama ini memainkan perannya dengan senantiasa melakukan
regulatory assessment dalam perspektif persaingan usaha, terhadap berbagai kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah ataupun lembaga regulator. Hasil dari aktivitas tersebut
kemudian disampaikan kepada Pemerintah atau lembaga regulator melalui proses advokasi
dan harmonisasi kebijakan. Dalam hal inilah maka sebagian besar program KPPU senantiasa
disinergikan dengan program-program Pemerintah di sektor ekonomi.
vi
Dalam beberapa tahun terakhir, dalam kerangka sinergi program KPPU dengan
agenda Pemerintah, regulatory assessment difokuskan terhadap kebijakan di sektor yang
memiliki keterkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Misalnya dalam sektor yang memiliki
keterkaitan erat dengan pelayanan publik seperti telekomunikasi, energi, kesehatan dan
transportasi. KPPU juga senantiasa melakukan assessment terhadap berbagai kebijakan
tataniaga komoditas pertanian yang seringkali memberikan efek distorsi yang berdampak
buruk bagi kesejahteraan masyarakat, mengingat sektor pertanian sampai saat ini masih
menjadi sektor di mana sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya.
Penetapan sektor-sektor Prioritas ini dilakukan untuk dapat mengoptimalkan peran KPPU
dalam upaya mendorong lahirnya sektor ekonomi yang efisien yang dalam gilirannya akan
menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.
Pada akhirnya, melalui kegiatan-kegiatan utama tersebut, KPPU memberikan andil
dalam pembangunan perekonomian nasional, dengan meminimalkan hambatan persaingan
dalam bentuk hambatan bagi inovasi pelaku usaha dan hambatan bagi efektifitas dunia usaha
itu sendiri, baik dalam bentuk private restraint maupun government restraint. Upaya KPPU
untuk mendorong reformasi kebijakan sektor-sektor pelayanan publik, infrastruktur serta
review terhadap tataniaga komoditas pertanian akan sejalan dengan program Pemerintah
untuk meningkatkan peran sektor swasta dalam perekonomian nasional. Di sisi lain, proses
harmonisasi kebijakan persaingan yang dilakukan KPPU diharapkan mampu mempertegas
fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilaksanakan baik oleh Pemerintah maupun badan
regulator sektoral.
Iklim persaingan usaha yang sehat akan menjamin tercapainya efisiensi dan
efektifitas sistem perekonomian. Melalui persaingan usaha yang sehat pula, akan terjamin
adanya kesempatan berusaha yang sama antara pelaku usaha besar, menengah dan kecil.
Selain itu, persaingan usaha yang sehat akan meningkatkan daya saing industri dalam negeri
sehingga mampu bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Dengan
demikian, maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum persaingan dan implementasi
kebijakan persaingan yang efektif akan menjadi pengawal bagi terimplementasinya sistem
ekonomi pasar yang wajar, yang akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat
Indonesia.
vii
Implementasi UU No. 5 Tahun 1999 oleh KPPU telah dijalankan selama beberapa
tahun, sepanjang periode tersebut KPPU telah menerima kurang lebih 450 laporan dari
masyarakat mengenai dugaan pelanggaran persaingan usaha, dan hampir 60 % dari kasus
yang ditangani KPPU adalah kasus dugaan persekongkolan tender. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa kondisi terkini pengadaan barang dan jasa masih banyak diwarnai
perilaku usaha yang tidak sehat, dimana pelaku usaha cenderung memupuk insentif untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan tindakan-tindakan anti
persaingan, seperti melakukan pembatasan pasar, praktek persekongkolan, serta melakukan
kolusi dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir lelang.1
Berbagai kondisi tersebut diduga menjadi penyebab tingginya tingkat korupsi dan
kolusi di Indonesia, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah. Keadaan
yang demikian menyebabkan hilangnya persaingan dan mengakibatkan penggunaan sumber
daya yang tidak efisien serta menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi kinerja industri
dan perkembangan ekonomi.
Dalam konteks persaingan inilah, KPPU menjalankan fungsinya sebagai pengawas
yang menelusuri pembuktian dugaan persekongkolan yang terjadi pada setiap tahapan proses
pengadaan. Berkaitan dengan upaya penciptaan iklim usaha yang sehat di bidang pengadaaan
barang dan jasa, KPPU berusaha mengetahui sejauh mana kebijakan yang ada telah sesuai
dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, terutama terhadap aspek pemberian
kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha. Persekongkolan sering terjadi dalam
tender-tender pemerintah. Untuk menghindari persekongkolan vertikal terus berlangsung,
pihak KPPU sudah memberikan masukan pada pemerintah agar berhati-hati dalam
pelaksanaan tender, juga dalam persyaratan tender. Harus hati-hati, jangan sampai mengarah
ke pelaku usaha tertentu.
1 http://hukum-peraturan.blogspot.com/(diakses 18 Desember 2010)
viii
1.2 Rumusan Masalahan
Berdasarkan pemaparan singkat dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka
dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah Dampak Persekongkolan
Dalam Tender Yang Mengakibatkan Persaingan Usaha Tidak Sehat
ix
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Banyak sarjana yang mengemukakan pandangannya tentang hukum dan tujuan
pemberlakuannya di masyarakat. Hubungan hukum dan masyarakat tidak pernah dapat
dipisahkan karena berinterdependensi satu sama lain. Untuk menganalisis data yang
dikumpulkan guna menjawab permasalahan sebagaimana tersebut di atas, maka penelitian ini
menggunakan teori Economic Analysis of Law yang dikembangkan oleh Richard Posner.
Paling tidak ada tiga keuntungan menggunakan teori Economic Analysis of Law, yaitu: 2
1. Ilmu ekonomi membantu para sarjana hukum dalam memperoleh suatu perspektif dari
luar disiplin ilmu mereka.
2. Pada tingkat normatif, ilmu ekonomi membantu menjelaskan konflik-konflik nilai
dengan menunjukkan berapa banyak satu nilai, khususnya efisiensi, harus dikorbankan
untuk mencapai nilai yang lain.
3. Pada tingkat analisis positif, ilmu ekonomi memberikan kontribusi untuk pemahaman
yang mendasari alasan-alasan keputusan hukum tertentu.
Pendekatan ekonomi pada hukum pertama kali diperkenalkan kurang lebih 40 tahun
yang lalu oleh Ronald H. Coase yang menulis tentang Biaya Sosial (The Problem of Social
Cost) dan Guido Calabresi yang membahas tentang Perbuatan Melawan Hukum (torts) pada
awal tahun 1960-an. Analisis ekonomi diterapkan secara sistematis pada masalah-masalah
hukum yang tidak berhubungan sama sekali dengan pengaturan masalah-masalah ekonomi.
Selanjutnya pendekatan ini benar-benar menjadi teori dalam ilmu hukum setelah Posner
menerbitkan bukunya yang berjudul Economic Analysis of Law pada tahun 1986.3
Posner memahami ilmu ekonomi sebagai ilmu pilihan yang dibuat oleh aktor-aktor
rasional dan mempunyai kepentingan diri sendiri di dunia dimana sumber daya (resources)
terbatas.4 Analisis mikro ekonomi modern mendalilkan bahwa aktor-aktor rasional akan
2 Nick Hanley, Jason F. Shogren, dan Ben White, Environmental Economics: In Theory and Practice, (New York: Plgrave
Macmilan, 1997), h. 24-26, dalam Riyatno, “Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup”, h. 14.
3 Jeffrey L. Harrison, Law and Economics, (USA: West Publishing Co, 1995), h.1 dalam Hikmahanto Juwana, “Analisa
Ekonomi Atas Hukum Perbankan”, Hukum dan Pembangunan, Nomor 1-2 Tahun XXVIII, 1998, h. 84. 4 Richard A. Posner, The Economics of Justice, (Cambridge:Harvard University Press, 1981), h. 1, dalam Riyatno,
“Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup”, h. 3-4.
x
berusaha memaksimalkan kesejahteraan mereka dari ketersediaan sumber daya yang terbatas.
Posner mengasumsikan bahwa orang adalah pemaksimal rasional kepuasan mereka,5 dan
berupaya menerapkan asumsi ini dan disiplin ilmu ekonomi yang dibangun atas dasar asumsi
tersebut kepada bidang hukum. Apabila rasionalitas tidak dibatasi secara tegas terhadap
transaksi pasar, maka konsep-konsep yang dibangun oleh ahli ekonomi untuk menjelaskan
market behavior dapat digunakan juga untuk menjelaskan non market behavior.6
Dasar dari Economic Analysis of Law adalah gagasan efisiensi dalam alokasi sumber
daya. Posner mendefinisikan efisiensi dengan mengatakan, “...that allocation of resources in
which value is maximated”. Posner berupaya menggunakan teori ekonomi untuk
merekonstruksi transaksi pasar dalam situasi dimana pertukaran terjadi secara tidak sukarela.
Economic Analysis of Law mempunyai unsur baik positif maupun normatif. Walaupun Posner
menegaskan bahwa karyanya tersebut menekankan analisis positif, unsur normatif juga ada
sebagai suatu teori bagaimana hukum seharusnya. Posner menganut normative directive
bahwa hukum seharusnya mempromosikan efisiensi. Aspek normatif dari Economic Analysis
of Law berpendapat bahwa ”social wealth maximization” merupakan sasaran yang berguna.
Pemerintah seharusnya menciptakan suatu sistem untuk melindungi hak-hak tersebut.
Posner menggambarkan analisis ekonomi dari hukum sebagai teori hukum, akan
tetapi analisis ekonomi tersebut juga dapat dipandang sebagai teori keadilan ketika dia
mengatakan bahwa ”the most common meaning of justice is efficiency”. Posner memahami
efisiensi ekonomi sebagai konsep etika, dan walaupun Posner menyadari bahwa ”there is
more to justice than economics”, Para ahli ekonomi menghadapi suatu permasalahan ketika
mencoba membandingkan tingkat kepuasan antar individu. Mereka belum menentukan alat
untuk mengukur kepuasan relatif guna menetapkan kapan seseorang mendapatkan kepuasan
lebih dari urusan sosial-politik negara tertentu dengan alokasi khusus sumber daya atas pihak
lain. Tanpa upaya semacam ini, para ahli ekonomi tidak dapat menentukan kapan individu-
individu dalam masyarakat memperoleh kepuasan yang lebih besar dan oleh karenanya, tidak
dapat menganjurkan perubahan yang akan mengakibatkan agregat kepuasan yang lebih besar.
Kesulitan dalam menentukan kapan satu urusan negara superior daripada urusan yang lain
dalam hal kepuasan terbesar bagi individu-individu dalam masyarakat memerlukan introduksi
5 Richard A. Posner, h Op. cit., h. 14-15. 6 Ibid, h. 2.
xi
Pareto criteria. Posner mendefinisikan ”a Pareto-superior transaction as one that makes at
least one person...better off and no one worse off” (tidak ada orang dapat dibuat lebih baik
lagi tanpa membuat seseorang lain lebih buruk lagi)7.
Dalam teorinya, Posner mengganti konsep Kaldor-Hicks (nama dua ahli ekonomi
Inggris) yang dia rujuk sebagai ”potential Pareto superiority: the transaction would only be
Pareto superior if the transacting parties compensated third parties for any harm suffered by
them”.8 Konsep Kaldor-Hicks didasarkan atas kemungkinan memberikan kompensasi
individu-individu yang dihilangkan dari sumber daya atau dirugikan oleh pihak lain,9 tidak
mempersoalkan apakah suatu realokasi sumber-sumber akan menyebabkan seseorang tertentu
akan menjadi lebih buruk, melainkan apakah manfaat bagi masyarakat secara menyeluruh
telah diperbesar. Realokasi sumber-sumber disebut efisiensi, jikalau mereka yang mendapat
alokasi, memperoleh cukup untuk dapat secara penuh mengkompensasi mereka yang
kehilangan alokasi, meskipun tidak diharuskan adanya kompensasi yang sesungguhnya.
Berdasarkan konsep Kaldor-Hicks, maka kompensasi diasumsikan untuk dibuat tanpa biaya
terkait. Ini merupakan gagasan efisiensi Kaldor-Hicks yang digunakan Posner dalam teorinya.
Kerangka teori adalah alur pemikiran secara garis besar atau butir-butir pendapat
mengenai suatu peristiwa dan permasalahan yang menjadi bahan perbandingan di dalam suatu
penelitian ilmiah. Dalam melihat sejauh mana pelaksanaan dari competition policy di
Indonesia, maka perlu dilihat institusi yang paling berwenang dalam penyelenggaraan
kebijakan persaingan tersebut, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).10
KPPU didirikan pada tanggal 7 Juni 2000 merupakan institusi independen yang
bertugas untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.11
Sebagai suatu institusi yang
masih relatif baru, KPPU harus berusaha untuk menunjukkan eksistensinya dengan dukungan
sumber daya yang relatif masih serba terbatas.
Salah satu indikator yang cukup penting dalam melihat aspek kemampuan
(affordability) adalah adanya persaingan di dunia usaha menyebabkan perusahan perusahaan
7 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law…, Op. Cit. h. 14. 8 Ibid, h. 14-15 9 Jules Coleman, “Economic and the Law: A Critical Review of the Foundations of the Economic Approach to Law”,
Ethics, Vol. 94, 1984, h. 649 dan 651 dalam Riyatno, “Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup”, h. 17. 10 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 11 Ibid
xii
yang ada di indonesia memutar otak untuk bersaing mendapatkan konsumen dalam dunia
usahanya. Salah satunya dengan cara melakukan persekongkolan dalam tender yang dapat
menimbulkan suatu persaingan usaha yang tidak sehat. Biasanya permasalahan ini sering
terjadi dalam proyek-proyek Pemerintah. Praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN)
dalam proyek pemerintah telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat alam usaha
memenangkan tender proyek tersebut, persaingan yang tidak sehat ini membuka peluang
terjadinya monopoli orang atau perusahaan tertentu dalam proyek-proyek yang berkaitan
dengan pemerintah dan pada gilirannya merugikan masyarakat umum. Hal ini merupakan
salah satu tantangan dari KPPU dalam melaksanakan peranannya dalam mengawasi
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
xiii
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan dan pemahaman di
bidang keilmuan, tepatnnya ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu
sebagai proses) dalam penggaliannya atas kebenaran dibidang obyeknya masing-masing, yang
dalam penelitian ini memfokuskan pada bidang Hukum persaingan bisnis.
Tujuan Khusus
Sehubungan dengan tujuan umum tersebut, maka tujuan khusus yang ingin dicapai
lebih lanjut dari penelitian ini adalah mengetahui dampak hukum persekongkolan dalam
tender yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulisan proposal ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan kajian di bidang ilmu hukum, khususnya
persaingan usaha
Manfaat Praktis
Bahwa penulisan ini dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang akan diteliti
dan diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi para pihak atau pembaca terutama yang
bergelut dalam hukum perdata serta mendorong penyusunan untuk lebih giat berusaha
melakukan penelitian dalam bidang ilmu hukum. Selain itu hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai masukan kepada pemerintah serta penegak hukum, dan menjadi pedoman
pengetahuan masyarakat.
xiv
BAB IV
METODE PENULISAN
4.1 Jenis Penelitian
Penyusunan penelitian ini memperguanakan jenis penelitian normative, “Penelitian
hukum normative disebut juga penelitian hukum doctrinal. Pada penelitian hukum acapkali
hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in
books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas”12
Peraturan perundang-undangan yang menjadi
objek penelitian adalah Undang undang Nomor UU No 5 tahun 1999.
4.2 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan perbandingan (comparative Approach)
dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach).
Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani.
13 Pendekatan perbandingan (comparative Approach) pendekatan perbandingan dilakukan
dengan mengadakan studi perbandingan hukum.14
pendekatan konseptual (Conceptual Approach) beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan-pendekatan tersebut
dipergunakan dalam penelitian ini, mengingat adanya karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu
sui gerneris, yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu jenis tersendiri.15
12 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet 4 PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.118 13 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 96 14 Ibid, h. 132. 15 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cet 3, Gaja Mada Universiti Press,
Yogyakarta, h.1
xv
4.3 Sumber Bahan Hukum
Sebagai karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, maka dipergunakan bahan
hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Bahan hukum yang dipakai terdiri dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat” 16
Jika ditinjau dari
sumber hukum nasional, maka bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Nomor UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaiangan
usaha tidak sehat.
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer. Contohnya buku, artikel, laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah
lainnya. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah berupa
buku-buku literature, karya ilmiah/pendapat para sarjana dan artikel yang erat kaitannya
dengan bahasan yang dibahas dalam permasalahan.
4.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat yuridis
normative, artinya mengacu pada norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan, yurisprudensi, serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.17
4.5 Teknik Analisa Bahan Hukum
Dalam menganalisa bahan hukum yang diperoleh dipergunakan teknik analisa bahan
hukum dengan teknik evaluasi. Teknik evaluasi yakni penelitian berupa tempat atau tidak
tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proporsi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan
primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
16 Bambang Sunggono, 1997, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 113 17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1979, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, Pusat
Dokumentasi UI, Jakarta, h. 18
xvi
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persekongkolan Dalam Tender Yang Mengakibatkan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Sistem perekonomian masa kini yang mengglobal dan sangat terintegrasi
memberikan peluang dan masalah bagi bangsa Indonesia. Secara umum, kekayaan sumber
daya alam Indonesia dan dimensi pasarnya menjanjikan sejumlah keunggulan dalam
persaingan global, investasi asing dan pasar ekspor. Namun perkembangan perekonomian
dunia yang semakin kompleks telah menimbulkan persaingan yang ketat dalam perdagangan
internasional, baik perdagangan barang maupun jasa. Berbagai praktik untuk memenangkan
persaingan sering dilakukan oleh para pelaku bisnis diberbagai negara di dunia termasuk
dengan menggunakan praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat (unfair trade practices).
Terdapat adagium bahwa transakasi perdagangan termasuk perdagangan
internasional harus dilakukan secara „fair‟ diantara semua pihak yang bertransaksi. Oleh
karena itu jika suatu pihak ternyata tidak „fair‟ maka pihak yang tidak „fair‟ tersebut pantas
menerima sanksi. Karena praktik dagang yang tidak „fair‟ ini akan dapat mengakibatkan
timbulnya hambatan dalam arus perdagangan.Pada tahun 1999 Negara Republik Indonesia
mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Monopoli dalam Undang-undang ini diartikan sebagai
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu
oleh suatu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau
sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk ikut ambil bagian. Monopoli diartikan sebagai suatu hak
istimewa (previlege), yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga
akan menciptakan penguasaan pasar. Pengertian monopoli dalam Black’s Law Dictionary
“Monopoly is a previlege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies,
consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade,
xvii
manufacture a particular article, or control the sale of the wholesupply of a particular
commodity.18
Monopoli dapat pula terjadi karena memang dikehendaki oleh hukum, sehingga
timbullah apa yang disebut sebagai monopoly by the law. Dalam UUD 1945 juga dibenarkan
adanya monopoli jenis ini, yaitu dengan memberi hak monopoli oleh negara untuk menguasai
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta cabang-cabang produksi
yang menyangkut hajat hidup orang banyak.Sistem ekonomi Pancasila yang ada di Indonesia
mencoba untuk menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung dalam sistem liberalisme dan
sosialisme. Dalam Pasal 33 UUD 1945 dapat dilihat ciri positif yang hendak dicapai dalam
sistem perekonomian kita. Hal ini dapat dilihat realisasinya dalam penguasaan yang dilakukan
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bidang-bidang tertentu yang menyangkut
hajat hidup orang banyak dan mempunyai nilai strategis.
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, para pengusaha
harus lebih berhati-hati dalam melakukan perjanjian yang berhubungan dengan penguasaan
pasar dan menentukan kerja sama dalam penanganan suatu proyek tertentu terlebih apabila
lagi proyek tersebut berasal dari suatu tender yang dilakukan oleh suatu perusahaan besar.
Sebelum dikeluarkannnya UU Nomor 5 Tahun 1999, sering kali terjadi dimana dalam suatu
tender proyek besar dilakukan dengan tidak transparan, artinya sebelum tender dilakukan
telah diketahui siapa yang bakal menjadi pemenang tender, walaupun pelaksanaan tender itu
tetap dilaksanakan dengan beberapa peserta tender, hal ini mengakibatkan pelaku usaha yang
bergerak dalam bidang pemborongan proyek tersebut merasa diperlakukan tidak jujur
(unfair). Keadaan ini dapat terjadi karena adanya persekongkolan (conspiracy) diantara
pemberi borongan dan atau pelaku usaha pemborongan tersebut.
Persekongkolan yang dilarang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
adalah mencakup persekongkolan untuk mengatur pemenang tender atau tindakan bid rigging
(Pasal 22), persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang yang
dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan (Pasal 23), dan persekongkolan untuk
menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya
18 Perancang Muda, Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI)
xviii
dengan tujuan agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya serta
terganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasal 24).
Persekongkolan dalam tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disebut juga
dengan istilah bid rigging. Bid rigging adalah praktek anti persaingan yang bisa terjadi
diantara para pelaku usaha yang seharusnya saling merupakan pesaing dalam suatu lelang.19
Secara sederhana bid rigging dapat dikatakan sebagai suatu kesepakatan yang menyamarkan
adanya persaingan untuk mengatur pemenang dalam suatu penawaran lelang (tender) melalui
pengelabuan harga penawaran.
Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1999, persekongkolan dalam tender (bid
rigging) seperti tersebut di atas jelas sangat dilarang berdasarkan Pasal 22, yang berbunyi
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.”Pengawasan terhadap tindakan persekongkokal tersebut di atas diatur dalam Pasal 30
UU Nomor 5 Tahun 1999, yaitu Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (selanjutnya disebut
KPPU), KPPU adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan
pemerintahan serta pihak lain dan juga mempunyai kekuasaan legislatif, yudikatif, dan
eksekutif. KPPU inilah yang menentukan apakah pelaku usaha bersekongkol untuk
memenangkan tender sehingga mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat , dan juga
memberikan putusan sebagai akibat dipenuhinya unsur melanggar Pasal 22 UU Nomor 5
Tahun 1999 tersebut. KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti
perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli,
predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian
dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
19 Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan Usaha, Ghia Indonesia Jakarta,h. 45.
xix
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui
pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang
dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau
menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang segala bentuk cara persekongkolan
oleh pelaku usaha dengan pihak lain dengan tujuan mengatur atau menentukan pemenang
suatu tender. Hal itu jelas perbuatan curang dan tidak fair terutama bagi peserta tender lainya.
Sebab sudah inherent dalam istilah „tender‟ bahwa pemenangnya tidak dapat diatur
melainkan siapa yang melakukan bid yang baik dialah yang menang.20
Karena itu segala
bentuk persengkongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender dapat
mengakibatkan terjadinya suatu persaingan usaha yang tidak sehat. Penjelasan Pasal 22 dari
UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dimaksud tender adalah tawaran untuk mengajukan harga
untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk
mengadakan suatu jasa. Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengasumsikan
bahwa persekongkolan terjadi diantara para pelaku usaha, dengan demikian penerapan
ketentuan tersebut harus menyepakati dua kondisi, yaitu pihak-pihak tersebut harus
berpartisipasi, dan harus menyepakati persekongkolan.
Persekongkolan ini ditujukan untuk mengakibatkan tender kolusif, artinya para
pesaing sepakat untuk mempengaruhi hasil tender demi kepentingan salah satu pihak dengan
tidak mengajukan penawaran atau mengajukan penawaran pura-pura.21
Manipulasi tender
adalah kesepakatan antara para pihak agar pesaing memenangkan suatu tender.22
Kesepakatan
ini dapat dicapai oleh satu atau lebih peserta tender yang sepakat menahan diri untuk tidak
mengajukan penawaran atau oleh para peserta tender yang menyepakati satu peserta dengan
dengan harga lebih rendah dan kemudian menawarkannya di atas harga perusahaan yang
direncanakan (dan dinaikkan). Proses pelelangan dirancang untuk meningkatkan keadilan dan
20 Munir Fuady, 2000, Hukum Anti-Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat, Citra Aditya Bakti, Bandung:, h. 85. 21 A.M. Tri Anggraini, Op.cit. h. 303. 22 Bank Dunia Washington D.C., dan OECD Paris, Kerangka Rancangan dan Pelaksanaan Undang-undang dan Kebijakan
Persaingan, h. 28.
xx
menjamin bahwa harga yang serendah mungkin yang diterima. Manipulasi harga dalam suatu
tender akan menghancurkan proses kompetitif ini. Kasus ini sering terjadi atas proyek-proyek
pemerintah.23
Praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam proyek pemerintah telah
menimbulkan persaingan yang tidak sehat dalam usaha memenangkan tender proyek tersebut,
persaingan yang tidak sehat ini membuka peluang terjadinya monopoli orang atau perusahaan
tertentu dalam proyek-proyek yang berkaitan dengan pemerintah dan pada gilirannya
merugikan masyarakat umum. Mekanisme manipulasi dalam tender sangat beragam dan
bervariasi, tetapi umumnya termasuk dalam kategori berikut ini:24
1. tekanan penawaran. Satu atau lebih pesaing setuju menahan diri untuk tidak mengikuti
tender atau untuk menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya agar
perusahaan lain dapat memenangkan pelelangan itu. Pihak-pihak dalam kesepakatan
secara administratif atau melalui pengadilan dapat menantang penawaran perusahaan-
perusahaan yang bukan merupakan pihak dalam kesepakatan atau dengan cara lain
berupaya mencegah mereka mengikuti lelang, misalnya dengan menolak untuk
mensuplai bahan-bahan atau surat penawaran untuk sub kontrak.
2. penawaran pelengkap. Perusahaan-perusahaan yang bersaing sepakat diantara mereka
sendiri siapa yang seharusnya memenangkan lelang dan kemudian setuju bahwa yang
lainnya akan mengajukan harga-harga penawaran yang pura-pura tinggi untuk
menciptakan penampilan persaingan yang bersemangat, atau perusahaan-perusahaan
yang kalah dapat mengajukan harga-harga kompetitif tetapi disertai dengan syarat-
syarat lain yang tidak dapat diterima.
3. rotasi penawaran. Para pesaing bergiliran menjadi pemenang lelang, sedangkan yang
lain mengajukan harga yang tinggi.
Persengkongkolan tender terjadi apabila pesaing menyepakati mempengaruhi hasil
tender untuk kepentingan salah satu pihak, dengan cara tidak mengajukan penawaran atau
mengajukan penawaran yang pura-pura saja, dengan penawaran harga tertinggi yang
terkoordinasi, yang mengharap bahwa kontrak diberikan kepada penawar yang memasukkan
penawaran tertinggi. Perilaku tersebut biasanya didasarkan pada harapan bahwa pihak yang
23 Ibid. 24 Munir Fuady , Op.Cit. h. 7
xxi
tidak mengikuti tender bersangkutan akan mendapatkan giliran pada tender yang akan datang
berdasarkan kegiatan kolusif yang dilakukan. Tender kolusif biasanya bermaksud untuk
meniadakan persaingan harga dan menaikkan harga. Oleh karena itu, hambatan hukum untuk
memulai penyelidikan hal ini berbeda, yaitu bahwa dalam persekongkolan antara pelaku
persaingan usaha harus ditegaskan tentang kemungkinan yang cukup bagi terjadinya
pembatasan kebebasan bertindak pihak luar kartel dan/atau pihak lawan dalam pasar, dan
dalam persekongkolan antara pembeli dan pemasok pun harus ditegaskan tentang
kemungkinan yang cukup bagi pembatasan peluang terciptanya pasar para pesaing dari pelaku
usaha yang menyebabkan hal tersebut. Persyaratan-persyaratan inilah yang selalu ada dalam
persekongkolan untuk mencapai tender kolusif.
Kegiatan persekongkolan dalam tender yang mengakibatkan persaingan usaha yang
tidak sehat merupakan salah satu hal yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan
tersebut terjadi bilaman ada kerjasama antara dua orang atau lebih dalam rangka
memenangkan peserta tender tertentu. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur
dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat. Hal tersebut unsur-unsur dalam persekongkolan tender dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Pelaku Usaha Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
2. Bersekongkol merupakan kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak
lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta
tender tertentu. Unsur lainnya dapat berupa :
a. kerjasama antara dua pihak atau lebih
b. secara terang-terangan mapun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian
dokumen dengan peserta lain
c. membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan
xxii
d. menciptakan persaingan semu
e. menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan
f. tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur
dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu
g. pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait
secara langsung mapun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti
tender dengan cara melawan hukum.
3. Pihak lain Persekongkolan tidak mungkin dilakukan sendiri, pasti dilakukan dengan
pihak lain. Pihak lain di sini adalah para pihak yang terlibat dalam proses tender yang
melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai peserta dan atau subjek
hukum lainnya yang terkait dengan tender tertentu.
4. Mengatur dan atau Menentukan Pemenang Tender Maksud dari unsur ini ialah suatu
perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang
bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan atau untuk
memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan atau
penentuan pemenang tender tersebut antara lain dilakukan dalam hal penetapan
kriteria pemenang, persayaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan
sebagainya.
5. Persaingan Usaha Tidak Sehat Yaitu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalakan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan
cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengelompokkan persekongkolan tender sebagai Pasal
yang menggunakan pendekatan Rule of Reason. Dalam pendekatan Rule of reason
pelanggaran pasal terjadi bila terdapat akibat yang merugikan pesaing, menghambat
persaingan dan kepentingan umum. Pembuktian dalam hal ini meliputi :
a. ada tidaknya pelanggaran
b. akibat pelanggaran itu yang berupa akibat ekonomis yang dapat berupa
kerugian pada pesaing, persaingan, dan konsumen.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwasanya dalam indikasi persekongkolan
tender harus dibuktikan ada tidaknya kerugian atau keberatan dari pelaku usaha lain. Artinya
xxiii
setelah pengumuman pemenang tender tidak terdapat sanggahan dari peserta lain maka
peserta lain dianggap menerima. Sebelumnya Peserta pemilihan penyedia barang/jasa yang
merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya, dapat
mengajukan surat sanggahan kepada pengguna barang/jasa apabila ditemukan :
a. penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam
dokumen pemilihan penyedia barang/jasa;
b. rekayasa tertentu sehingga menghalangi terjadinya persaingan yang sehat;
c. penyalahgunaan wewenang oleh panitia/pejabat pengadaan dan/atau pejabat
yang berwenang lainnya;
d. adanya unsur KKN di antara peserta pemilihan penyedia barang/jasa;
e. adanya unsur KKN antara peserta dengan anggota panitia/ pejabat pengadaan
dan/atau dengan pejabat yang berwenang lainnya.
Persekongkolan dalam tender ini menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) dapat berdampak buruk bagi konsumen antara lain :
a. Konsumen membayar harga yang lebih mahal dari pada yang sesungguhnya
b. Barang dan atau jasa yang diperoleh sering kali lebih rendah dari yang akan
diperoleh apabila tender dilakukan secara jujur
c. Terjadi hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak memperoleh
kesempatan untuk mengikuti dan memenangkan tender.
d. Nilai proyek menjadi lebih tinggi akibat mark-up yang dilakukan oleh pihak-
pihak yang bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek
pemerintah yang pembiayaannya melalui APBN, maka persekongkolan
tersebut berpotensi menimbulkan ekonomi baiay tinggi.
Yang penting dari dampak tersebut ialah pada pengadaan barang dan atau jasa
pemerintah, indikasi persekongkolan yang terjadi dalam evaluasi dan penetapan pemenang
lelang maka harga penawaran peserta yang terendah dan menguntungkan bagi negara justru
tidak dimenangkan. Padahal tujuan awal ialah memperoleh pemenang lelang dengan harga
penawaran terendah dengan kualitas bagus dan menguntungkan negara
xxiv
PENUTUP
6.1 Simpulan
Persekongkolan dalam tender atau dikenal dengan bid rigging adalah praktek anti
persaingan yang bisa terjadi diantara para pelaku usaha yang seharusnya saling merupakan
pesaing dalam suatu lelang. Dimana Persekongkolan diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak
lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Persekongkolan yang marak terjadi belakangan ini
merupakan persekongkolan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki akses ke
pemerintahan. Hal ini mengakibatkan semakin tidak terkendalikannya praktik Korupsi,
Kolusi, Nepotisme (KKN). Ini merupakan tugas berat bagi Komisi Pengawasan Persaingan
Usaha (KPPU) dalam eksistensinya mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
6.2 Saran
Perlunya peran ekstra dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dalam
eksistensinya mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam menanggulangi
permainan persekongkolan dalam tender terutama yang terjadi di proyek pemerintahan, dan
perlunya kerjasama KPPU dengan instansi terkait seperti Polisi dan KPK dalam
pelaksanaannya
xxv
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbell. Black Law Dictionary: 6th ed. St. Paul, Minnesotta: 1990.
Bank Dunia Washington D.C., dan OECD Paris, Kerangka Rancangan dan
Pelaksanaan Undang-undang dan Kebijakan Persaingan.
Fuady, Munir. Hukum Anti-Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Jeffrey L. Harrison, Law and Economics, (USA: West Publishing Co, 1995), hal.1
dalam Hikmahanto Juwana, “Analisa Ekonomi Atas Hukum Perbankan”, Hukum dan
Pembangunan, Nomor 1-2 Tahun XXVIII, 1998.
Jules Coleman, “Economic and the Law: A Critical Review of the Foundations of the
Economic Approach to Law”, Ethics, Vol. 94, 1984, hal. 649 dan 651 dalam Riyatno,
“Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup”.
Nick Hanley, Jason F. Shogren, dan Ben White, Environmental Economics: In Theory
and Practice, (New York: Plgrave Macmilan, 1997), hal. 24-26, dalam Riyatno,
“Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup”.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda dan Benny K. Harman. Analisa dan Perbandingan
Undang-undang Anti Monopoli: Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, yakarta,
2005
Richard A. Posner, The Economics of Justice, (Cambridge:Harvard University Press,
1981), hal. 1, dalam Riyatno, “Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup”.
xxvi