Post on 09-Feb-2018
1
KONVERSI HUTANG PIUTANG UANG MENJADI DAGING
SAPI PADA MASYARAKAT DESA BICORONG
KECAMATAN PAKONG KABUPATEN PAMEKASAN
MADURA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh : Wasilul Chair, S.H.I., M.S.I.
Staf pengajar Universitas Madura (UNIRA) pada Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen
ABSTRAK
Hutang piutang merupakan kegiatan mu’amalah yang melibatkan ke dua belah pihak
(kreditur dan debitur) yang mempunyai nilai-nilai sosial yang sangat tinggi tanpa ada unsur
komersil, sehingga dapat diartikan bahwa hutang piutang adalah kegiatan transaksi pinjam-
meminjam sejumlah uang antara kreditur dan debitur yang akan dikembalikan lagi barang
yang sama atau barang yang semisal atau pada nilai riil saat pengembalian. maka dalam
penelitian ini ini berkenaan dengan pelaksanaan hutang piutang pada masyarakat desa
Bicorong kecamatan Pakong kabupaten Pamekasan Madura. Penelitian ini menarik di
lakukakan karena dalam pelaksanaan akad tersebut, kreditur mengkonversikan hutang uang
menjadi daging sapi.
metode yang digunakan adalah metode penelitian lapangan (field research). Sifat penelitian
ini adalah perskriptif, maka untuk memecahkan masalah yang dihadapi digunakan
pendekatan normatif hukum Islam.
Berdasarkan penelitian mendapatkan beberapa kesimpulan bahwa hukum Islam
membolehkan konversi hutang uang menjadi daging sapi, hal ini bukan untuk mendapatkan
tambahan dari pinjaman pokok tetapi agar nilai harga (nilai beli) uang tetap, karena nilai uang
tidak lagi sama ketika debitur meminjam uang dengan waktu debitur mengembalikan
hutangnya, begitu juga dengan harga daging sapi. Hal ini merupakan interpretasi dari ayat-
ayat suci al-Qur’an dan tuntutan syari’at Islam. Pokok pinjaman dapat dinilai sempurna jika
diukur berdasarkan nilai riilnya agar antara kreditur dan debitur dalam transaksi hutang
piutang yang dikonversikan ke daging sapi tidak ada yang saling menzalimi serta tidak ada
pihak yang dirugikan.
Kata kunci : hutang piutang, kreditur dan debitur, konversi dan daging sapi.
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Manusia tidak akan bisa hidup sendirian dalam kehidupannya. Manusia tetap
memerlukan adanya manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Untuk
mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup setiap orang melakukan
2
perbuatannya dalam hubungannya dengan orang lain disebut mu’amalah. Dalam
pergaulan hidup ini tiap-tiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain.
Timbulah dalam pergaulan hidup ini hubungan hak dan kewajiban.1 Misalnya jual
beli, sewa menyewa dan hutang piutang.
Hutang piutang merupakan salah satu bentuk transaksi yang sering dilakukan oleh
manusia dan ini berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat manusia baik pada
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, maka dapat diperkirakan bahwa
transaksi hutang piutang merupakan transaksi yang telah dikenal sejak manusia ada di
muka bumi ini ketika mereka mulai berinteraksi satu sama lain.
Dampak krisis moneter menyentuh segala sektor dan seluruh lapisan masyarakat ikut
merasakan baik masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Keadaan
demikian biasanya disebut dengan inflasi yaitu kemerosotan nilai uang kertas karena
terlalu banyak beredar, sehingga menyebabkan harga barang membumbung tinggi.2
Untuk mengatasi keadaan ini pemerintah mengadakan tindakan devaluasi yaitu
penurunan nilai mata uang atas uang luar negeri yang sengaja dilakukan untuk
memperbaiki ekonomi.3 Akibatnya pemerintah mengeluarkan jumlah rupiah yang
lebih besar.4 Karena akibat inflasi dan devaluasi membuat makin mahal dan
membumbung tinggi harga barang dan pemuasan kebutuhan, sehingga manusia selalu
1 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalah (Hukum Perdata Islam), edisi Revisi (
Yogyakarta : UII Press, 2000), hlm. 11. 2 Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, cet 3, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hlm, 49.
Menurut JS. Badudu dan Sutan Mohd. Zain pengertian dari inflasi adalah kemerosotan nilai uang kertas karena
terlalu banyak beredar, sehingga menyebabkan harga barang membumbung tinggi. Lihat : kamus Umum Bahasa
Indonesia, cet. I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 533.
3 Ibid., hlm. 338.
4 M. Dawan Raharjo, Perekonomian Indonesia Pertumbuhan dan Krisis, ( Jakarta : LP3ES, 1987 ),
hlm. 252.
3
cenderung membutuhkan bantuan orang lain dalam rangka menutupi segala macam
kekurangannya, diantaranya adalah transaksi hutang piutang.
Hutang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia
akan membayar yang sama pula.5 Bukanlah merupakan suatu persoalan apabila
pinjam-meminjam tersebut berupa barang atau pun benda. Misalnya; Pinjam uang
Rp. 100.000,- kembali uang Rp. 100.000,-, emas 5 gram kembali emas 5 gram, daging
sapi 1 kuintal kembali daging sapi 1 kuintal pula dan sebagainya, sesuai dengan
jumlah, macam dan ukurannya, sebab barang atau benda akan dapat seperti semula
atau paling tidak akan mendekati seperti semula, Islam membolehkan hutang piutang
atau pinjam meminjam sesuai syari’at Islam dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an
maupun as-Sunnah.
Pada masa dahulu para fuqaha berpendapat, bahwa hutang piutang wajib
dikembalikan sesuai dengan jumlah penerimaan sewaktu mengadakan akad tanpa
menambah atau menguranginya,6 karena tambahan atau memberikan biaya tertentu
yang dibebankan kepada debitur dapat memancing pernyataan adanya riba,7
sedangkan riba diharamkan dalam al-Qur’an. Pengharamannya juga telah disepakati
oleh para as-salafs shalih dan para ulama mujtahid sesudahnya.89
Persoalannya, apabila hutang piutang uang dikonversikan ke daging sapi. Apakah hal
ini diperbolehkan dalalm Islam. Praktek hutang piutang seperti ini terjadi di desa
5 Chairuman P. dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1994),
hlm.136.
6 Kamil Musa, Ahkam al-Mu’āmalah, (Bairut: ar-Risalah, 1415 H/1994 M), hlm. 273.
7 Riba menurut bahasa berarti tambahan, yaitu tambahan yang berasal dari usaha haram yang
merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi. Lihat dalam Abū Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam
Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 125.
9 As-Sayyid Abul A’la Al-Maududi, Bicara Tentang Bunga dan Riba, alih bahasa Isnando, cet. 1,
(Jakarta: Pustaka Qalami, 2003), hlm. 128.
4
Bicorong kecamatan Pakong kabupaten Pamekasan Madura. Dalam penelitian ini
penyusun memfokuskan pada hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi di
desa tersebut. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa Bicorong berhutang uang
dikonversikan ke benda lain dan biasanya masyarakat setempat berhutang pada
keluarga terdekat, tetangga dan orang kaya setempat karena pada umumnya mereka
telah saling mengenal satu sama lain, dan prosesnya tidak berjalan alot karena tidak
membutuhkan syarat-syarat administratif yang begitu rumit seperti berhutang pada
bank-bank konvensional dan lain-lain.
Dalam transaksi hutang piutang di desa Bicorong pihak kreditur memberikan
sejumlah uang kepada debitur. Kemudian kreditur dan debitur sama-sama sepakat
terhadap hutang tersebut untuk dikonversikan ke daging sapi.
Pada umumnya masyarakat desa Bicorong dalam transaksi hutang piutang uang
dikonversikan ke daging sapi jarang sekali membuat suatu perjanjian tertulis, baik
jumlah yang besar maupun kecil, oleh karena kedua belah pihak sudah saling percaya.
Sehingga jika terjadi perselisihan terhadap hutang piutang yang mereka lakukan tidak
ada bukti tertulis (otentik) dan mengikat perjanjian tersebut, tetapi mereka
menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.9
Dalam penelitian ini penyusun mengungkapkan pada kasus hutang piutang yang
terjadi di desa Bicorong di mana kreditur memberi pinjaman uang kepada debitur,
karena sistem tersebut sudah menjadi kebiasaan (urf) masyarakat setempat, maka
perjanjian hutang uang tersebut dikonversikan pada daging sapi dan batas waktu
pengembalian hutang tidak ditentukan. Bisanya hutang piutang dengan jumlah besar
yang dikonversikan ke daging sapi dengan jangka waktu yang sangat lama, mereka
9 Hasil wawancara dengan bapak Sihabuddin (kreditur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 27
Februari 2005.
5
beranggapan bahwa uang yang telah dipinjam oleh debitur dengan waktu yang lalma
tidak akan sama lagi nilai harga dengan waktu pengembalian. Untuk mengetahui
harga daging sapi, maka para pihak pergi ke pasar daging sapi menanyakan harga
daging sapi pada waktu itu. Ketika pihak debitur mengembalikan hutang, maka ia
harus mengembalikan uang senilai harga daging sapi pada saat pengembalian bukan
pada nilai uang yang telah dihutang dan barang jaminan berupa tanah tersebut
dikembalikan lagi kepada debitur.
Praktek hutang piutang seperti ini tentu saja ada salah satu pihak yang akan
dirugikan, kalau harga daging sapi naik, maka debitur akan mengembalikan pinjaman
uang tersebut dengan nilai harga daging sapi pada saat pengembalian. Sedangkan
pihak kreditur selain mendapatkan nilai uang lebih dari uang yang telah dipinjamkan
karena naiknya nilai harga daging sapi. Akan tetapi jika harga daging sapi turun, maka
yang dirugikan adalah kreditur dengan menerima uang lebih kecil dari pinjaman
semula.
Persolan ini perlu penyelesaian agar para pihak (kreditur dan debitur) tidak ada yang
dirugikan dan dirasa adil bagi kedua belah pihak. Karena itulah penyusun merasa
perlu untuk meneliti bagaimana pemecahan persoalan tersebut sesuai hukum Islam.
1.2. Permaslahan
Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik pokok permasalahan dalam
penelitian ini, yakni sebagai berikut:
1. Apakah konversi hutang uang menjadi daging sapi dibenarkan dalam Islam?
1.3.Tujuan
6
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan boleh tidaknya konversi hutang uang
menjadi daging sapi dalam hukum Islam.
1.4. Metodologi Penelitian
Untuk memperoleh data yang komprehensif, sistematis dan terarah, maka
penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
1.4.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang penyusun gunakan adalah penelitian lapangan (field
reseach) yaitu penelitian dengan mencoba mencari dan mengumpulkan data
secara langsung ke daerah yang menjadi obyek penelitian yaitu di desa Bicorong
kecamatan Pakong kabupaten Pamekasan Madura.
1.4.2. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk pada penelitian yang bersifat perskriptif,10
yaitu penelitian
yang bertujuan untuk menilai dan menggambarkan keadaan atau fenomena sosial,
yang dalam hal ini adalah pendeskripsian pelaksanaan akad hutang piutang uang
dikonversikan ke daging sapi pada masyarakat desa Bicorong kecamatan Pakong
kabupaten Pamekasan Madura Perspektif Hukum Islam. Data tersebut kemudian
dianalisis dari sudut pandang hukum Islam.
1.4.3. Metode Pengumpulan Data
10 Perskriptif merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa
yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,
(Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10. Dalam kamus Inggris-Indonesia mempunyai arti: memberikan petunjuk,
ketentuan-ketentuan, bersifat menentukan. John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet. XXIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1996), hlm. 444.
7
Karena penelitian ini adalah penelitian lapangan, maka sumber datanya adalah
data yang diperoleh langsung dari masyarakat desa Bicorong, meliputi Kepala
Desa, Ulama (kyai), serta beberapa orang yang pernah melakukan konversi
hutang uang menjadi daging sapi atau disebut juga data utama (primer).
Sedangkan sumber bantuan atau tambahan (sekunder) yaitu berupa gambaran
atau deskripsi wilayah penelitian serta data-data yang mendukung analisis dalam
penelitian.
1.4.4. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah normatif, yaitu
pendekatan terhadap masalah yang diteliti dengan berdasarkan kepada hukum
Islam baik yang berdasarkan nash maupun hasil pemikiran (ijtihād) fuqoha.
Disamping itu penyusun juga menggunakan pendekatan sosiologis yaitu dengan
membaca segi-segi sosial kehidupan para kreditur maupun debitur.
1.4.5. Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan untuk menganalisa data adalah metode
analisis data kualitatif, yaitu cara menganalisis data yang berupa data kualitatif
kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan pola pikir induktif yaitu cara
berpikir yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa
kongkrit dari hasil riset, kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang
mempunyai sifat umum.11
Proses pemikiran ini digunakan untuk memecahkan
permasalahan yang terjadi di desa Bicorong yaitu pelaksanaan konversi hutang
11
Sutrisno Hadi, Metodologi Research 2, (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1984), hlm. 42.
8
uang menjadi daging sapi disertai dengan adanya barang jaminan yang dapat
dimanfaatkan olek kreditur.
II. Landasan Teori
Pada dasarnya Islam tidak menolak adanya suatu perubahan zaman yang
senantiasa berkembang dan menuntut adanya kemajuan dalam segala aspek baik
hukum, ekonomi maupun budaya dengan tidak menyimpang syariat Islam.
Banyak sekali realitas yang terjadi di masyarakat tidak ada pada nash al-Qur’an
maupun hadits Nabi, akan tetapi hal itu sudah menjadi adat kebiasaan (urf) yaitu
sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan
mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan.12
Adat kebiasaan mempunyai
peranan yang sangat penting sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum
syara’. Dalam kaidah hukum Islam disebutkan:
العادة محكمة13
Dengan demikian suatu adat kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
bisa menjadi hukum, yaitu adat yang selaras dengan tujuan syar’i.
Para ulama ahli ushul mengungkapkan suatu hukum yang tidak ada pada nash
dengan beberapa masalah yang terjadi di masyarakat yaitu masalah: d{arūriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah. Masalah d{aruriyah yaitu hal-hal yang menjadi
kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia, sering juga dalam ilmu
ekonomi disebut kebutuhan primer. Hal-hal yang bersifat d{aruriyah ada lima
macam yaitu : agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Masalah hajiyah yaitu
sesuatu yang diperlukan manusia agar meringankan kesulitan dalam kehidupan
12
Kamil Muchtar, dkk. Ushūl Fiqh, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), jil. 1. hlm. 146. 13 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, cet. 1, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), hlm. 35.
9
manusia, sering juga disebut kebutuhan sekunder. Masalah yang ketiga adalah
tahsiniyah yaitu sesuatu untuk menuju kearah kelengkapan, ini disebut kebutuhan
tersier.1417
Pada dasarnya praktek hutang piutang merupakan bagian dari kegiatan
bermuamalah yang mengandung unsur-unsur sosial yang sangat tinggi dan tidak
ada nilai komersilnya, sesuai firman Allah :
العدوانوتعا ونوا على البروالتقوى والتعاونواعلى اإلثم و15
Salah satu bagian dari d{aruriyah yang boleh dilakukan oleh setiap manusia
dengan tidak melanggar aturan-aturan yang ada dalam nash al-Qur’an maupun
Sunnah rasul, hal ini berarti bahwa untuk mengembangkan hartanya harus bebas
dari unsur-unsur riba dan juga harus di dasarkan pada prinsip-prinsip muamalah
yaitu:
Pada dasarnya, segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan
oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul
Muamalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur-unsur paksaan
Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan, mendatangkan manfaat dan
menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat
Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan menghindari unsur-
unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.16
Dalam transaksi hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong merupakan kasus
yang menarik untuk dibahas akan boleh dan tidaknya konversi hutang uang
17 Abdul Wahāb Khalāf, Ilmu Ushūl Fiqh, alih bahasa KH. Masdar Helmy, cet. 7, (Bandung : Gema
Risalah Press, 1996), hlm. 357-358.
15 Al-Māidah (5) : 2.
16
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalah (Hukum Perdata Islam),edisi revisi, (Yogyakarta, UII Press, 2000), hlm. 15-16.
10
menjadi daging sapi, dan juga barang jaminan berupa tanah yang dapat
dimanfaatkan oleh kreditur. apakah hal tersebut sesuai dengan hukum Islam, yang
pada dasarnya hutang harus dikembalikan dalam jumlah yang sama.
Islam telah memberikan petunjuk kepada setiap ummat-Nya dengan peraturan-
peraturan yang terkandung di dalamnya, dalam transaksi hutang piutang akad
sangatlah penting sehingga memunculkan adanya komitmen tertentu, sehingga
semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat akad, semakin kecil
kemungkinan adanya konflik dan pertentangan kedua belah pihak (kreditur dan
debitur dan haruslah mempunyai rasa tanggung jawab untuk memenuhinya.
Firman Allah Swt:
يأيهاالذين ءامنوا أوفوا بالعقود17
Hendaknya dalam setiap akad diiringi dengan rasa tanggung jawab, moral untuk
saling memenuhi dan melaksanakannya dengan menanggung segala resiko yang
akan muncul, sehingga tidak terjadi konflik antara kedua belah pihak.
Sedangkan dalam kegiatan hutang piutang, Islam telah memberikan ketentuan-
ketentuan secara jelas dan tegas, baik dalam al-Qur’an maupun hadis. Firman
Allah Swt:
فا كثيرةوهللا يقبض ويبصط وإليه ترجعونمن ذاالذى يقرض هللا قرضاحسنافيضعفه له أضعا18
Ayat di atas menjelaskan akan arti penting dari memberikan pinjaman atau
hutangan pada orang yang membutuhkan pertolongan. Akan tetapi Allah juga
melarang memakan harta atas sesamanya dengan jalan batil sesuai firman Allah
Swt:
17 Al-Māidah (5) : 1.
18 Al-Baqarah (2) : 245.
11
يأيهاالذين أمنواالتأكلواأمولكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجرةعن تراض منكم19
Juga dalam kaedah fiqh disebutkan berbunyi :
الضرروالضرار20
Dalam kaidah di atas diterangkan bahwa tidak diperbolehkan membuat
kemadaratan (kerugian) baik kemadaratan kepada diri sendiri maupun
kemadaratan kepada orang lain.
III. Gambaran Umum tentang Konversi Hutang Piutang menjadi Daging Sapi
Manusia tidak akan bisa hidup sendirian dalam kehidupannya. Manusia dituntut
untuk selalu berinteraksi antara sesamanya, sehingga akan tercipta sebuah
lingkungan yang saling tolong menolong dalam berbagai hal, misalnya: untuk
mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sesuai kodratnya manusia tidak akan
bisa hidup sendirian tanpa adanya orang lain dalam kehidupannya. Dalam
pergaulan hidup ini tiap-tiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain.
Timbulah dalam pergaulan hidup ini hubungan hak dan kewajiban.21
Misalnya
hutang piutang.
Mengenai hutang piutang sangatlah berhubungan dengan kehidupan masyarakat.
Tidak dapat di pungkiri lagi bahwa manusia dalam kehidupannya pernah
melakukan transaksi hutang piutang, baik masyarakat desa maupun masyarakat
kota, hal ini sesuai dengan keberadaan individu yang kadang tidak mencukupi
dengan harta yang dimilikinya, karena kebutuhan di luar kemampuan hartanya,
19 An-Nisā’ (4) : 29.
20 Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah., hlm. 85.
21 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalah (Hukum Perdata Islam), edisi Revisi (
Yogyakarta : UII Press, 2000), hlm. 11.
12
apalagi pada saat sekarang ini yang sedang menghadapi krisis moneter
berkepanjangan sehingga kebutuhan hidup selalu tidak mencukupi.
Perkenomian masyarakat desa Bicorong sangat tergantung pada sektor pertanian
yang mayoritas penduduk desa Bicorong adalah petani, tetapi yang dapat
diandalkan dalam mengembangkan perekonomiannya adalah tanaman tembakau,
namun ketika dalam keadaan sangat mendesak membutuhkan uang dengan
jumlah besar, maka mereka terpaksa mencari hutangan.
Adapun sumber dana atau pihak berpiutang biasanya diperoleh dari keluarga,
tetangga atau orang kaya terdekat selain mereka sudah saling percaya dan saling
mengenal satu sama lain dan prosesnya pun berjalan cepat dan lancar, hanya saja
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu hutang uang tersebut harus
dikonversikan ke daging sapi. Transaksi hutang piutang seperti ini biasanya
dengan jumlah besar yaitu berkisar Rp. 1.000.000,- keatas.22
Hutang piutang di desa Bicorong adalah perjanjian antara dua belah pihak yaitu
pihak kreditur (pihak yang berpiutang) dan pihak debitur (pihak yang mempunyai
hutang), untuk melakukan transaksi hutang piutang berupa uang dengan maksud
akan mengembalikan uang di kemudian hari sesuai dengan syarat-syarat dan
jangka waktu yang telah di sepakati kedua belah pihak.
Dari perjanjian tersebut dapatlah diketahui bahwa masalah hutang piutang
sangatlah berhubungan dengan faktor keuangan di mana pihak debitur (yang
berhutang) disebut kekurangan dalam hal keuangan apabila terjadi kesenjangan
antara penghasilan yang diperoleh dengan jumlah pengeluaran yang digunakan
22 Hasil wawancara dengan bapak Samoin (kreditur) selaku warga desa Bicorong pada tanggal 9
Februari 2005.
13
untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, dan di pihak lain (kreditur) sebagai
pihak berpiutang (yang memberikan solusi dengan meminjami uang).
Jadi proses hutang piutang ini melibatkan dua belah pihak yaitu pihak berhutang
dan pihak yang menghutangi, yang secara umum disebut dengan kreditur dan
debitur. Hal tersebut sesuai dengan yang terdapat dalam isi buku III Kitab
Undang-undang Hukum Perdata mengenai hukum perutangan, di mana pihak
yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur sedangkan pihak
yang berhutang disebut debitur.
Masyarakat desa Bicorong menyebut hutang tersebut dengan nama Otang Cuko’,
yaitu transaksi pinjaman sejumlah uang dan pinjaman tersebut dikonversikan ke
daging sapi.
Masalah akad hutang piutang sangatlah dibutuhkan mengingat akan sahnya dalam
suatu perjanjian, sehingga perjanjian dapat dikatakan sah apabila adanya akad
antara kreditur dan debitur. Akad dalam perjanjian hutang piutang yang terjadi di
desa Bicorong adalah di mana kreditur dan debitur sama-sama sepakat terhadap
uang yang akan dipinjam oleh debitur dikonversikan ke daging sapi. Biasanya
masyarakat desa Bicorong dalam hal hutang piutang yang dikonversikan ke benda
lain dengan jumlah besar. Konversi hutang uang menjadi daging sapi dilakukan
karena pada tahun 1965 di mana kreditur tidak mau memberi pinjaman uang
kepada debitur kecuali debitur sepakat hutang tersebut dikonversikan ke daging
sapi, hal ini disebabkan karena tidak tetapnya nilai uang rupiah (inflasi ).
Pengkonversian hutang piutang tidak hanya berfokus kepada daging sapi, akan
tetapi hutang dapat dikonversikan ke benda lain, misalnya; emas dan pupuk.
Tetapi kebanyakan masyarakat desa Bicorong dalam hutang piutangnya
14
dikonversikan ke daging sapi, mereka beranggapan bahwa harga daging sapi
selalu stabil dan mengikuti harga nilai uang (rupiah).23
Adapun pelaksanaan waktu pembayaran hutang piutang di desa Bicorong
berdasarkan hasil wawancara adalah tergantung pada isi perjanjian yang telah di
sepakati kedua belah pihak yaitu debitur harus mengembalikan sejumlah uang
dengan harga daging sapi pada saat pengembalian dan tanah yang dijadikan
jaminan harus dikembalikan lagi pada debitur, akan tetapi menurut debitur,
bahwa kadang-kadang walaupun tempo pembayaran telah tiba dan si debitur
belum mampu membayar hutangnya, ia masih minta tenggang waktu pada
kreditur dan hutang tersebut terus berlanjut hingga ia dapat mengembalikan
hutangnya dan tanah tersebut masih berada pada kreditur dan masih dapat
dimanfaatkan oleh kreditur.24
Adapun mengenai pembayaran hutang tersebut, kreditur tidak memungut atau
mengambil bunga dan tidak pula memungut biaya tambahan dalam hal
penundaan pembayaran, karena pinjam meminjam uang ini didasarkan atas
kekeluargaan, saling tolong menolong dan bersifat sukarela, prinsip-prinsip non
ekonomis lebih mempengaruhi dalam perjanjian hutang piutang ini. Mereka
beranggapan bahwa hutang piutang dengan mengambil bunga atau tambahan
dalam pinjaman pokok termasuk riba. Sedangkan mengenai pengkonversian ke
benda lain agar nilai harga (nilai beli) uang tetap, misalnya dulu waktu
23 Hasil wawancara dengan bapak Nawar Rafi’iy (debitur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 28
Februari 2005. ia sedang menerima tanggungan hutang uang dari ayah beliau Rafi’iy (Alm) dengan bapak H.
Sirut sebanyak tujuh kuintal daging sapi dan di sertai jaminan tanah mulai tahun 1965 hingga sekarang, beliau
belum bisa mengembalikan hutangnya hingga sekarang sehingga tanah jaminan tersebut tetap berada pada
kreditur.
24
Hasil wawancara dengan bapak Nijum (debitur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 12 Februari 2005.
15
peminjaman dapat 1 kuintal ketika pengembalian, maka harus dapat 1 kuintal
juga.25
Berdasarkan hasil wawancara penyusun dengan beberapa pelaku hutang piutang
yang dikonversikan ke daging sapi dan disertai barang jaminan tanah bahwa yang
menyebabkan mereka berhutang adalah karena kebutuhan yang mendesak seperti;
biaya pendidikan anaknya, pernikahan, kematian, biaya pendaftaran calon
pegawai negeri, biaya pemberangkatan ke negara lain dan lain-lain.26
Dalam praktek hutang piutang di desa Bicorong inisiatifnya berasal dari debitur
sebagai pihak yang berkepentingan. Debitur ini mencari salah satu tetangganya
yang dianggap mampu (baca : punya uang) untuk memberikan pinjaman uang,
kemudian debitur mengungkapkan maksudnya untuk meminjam uang sebesar Rp.
3.000.000,- untuk biaya pendidikan anaknya melanjutkan kuliah, kemudian
hutang tersebut dikurskan (dikonversikan) ke daging sapi oleh kedua belah pihak
(kreditur dan debitur), harga daging sapi pada waktu itu Rp. 30.000,- /Kg
sehingga dalam uang sejumlah Rp. 3.000.000,- mendapatkan 1 kuintal daging
sapi. Untuk mengetahui harga daging sapi para pihak pergi ke pasar menanyakan
harga daging sapi kepada pedagang daging sapi, dan transaksi berlangsung di
pasar.
Unsur-unsur hutang piutang yang ada di desa Bicorong adalah pihak kreditur,
debitur dan obyek hutang piutang itu sendiri. Pihak kreditur maupun debiturnya
adalah orang yang cakap dalam melakukan tindakan hukum yaitu telah dewasa,
berakal dan atas kemauan sendiri.
25 Hasil wawancara dengan ustadz M. Syuhud, AB (Kiai) di rumahnya Akkor, Palengaan, Pamekasan
pada tanggal 10 Februari 2005.
26 Hasil wawancara dengan bapak Abdul (Kepala Desa Bicorong) di rumahnya pada tanggal 08
Februari 2005.
16
Dalam transaksi hutang piutang di desa Bicorong biasanya tidak disertai dengan
bukti tertulis dan tidak adanya saksi dari kedua belah pihak hanya saja yang
menjadi saksi adalah pedagang daging sapi di pasar, tetapi mereka sudah saling
percaya dan saling mengenal. Walaupun dalam perjanjian hutang piutang tersebut
tidak tertulis dan juga tidak ada saksi yang hadir dari kedua belah pihak,
perjanjian tersebut tetap mengikat kepada kedua belah pihak, karena kedua belah
pihak telah sepakat dalam membuat akad atau perjanjian hutang piutang. Menurut
Prof. Subekti. SH, bahwa suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu
tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak, dan perjanjian tersebut sah jika
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikat.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan.
4. Suatu sebab yang halal artinya tidak dilarang.27
Dalam perjanjian hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi yang terjadi
di desa Bicorong hingga sekarang belum ada konflik antara kreditur dan debitur
karena mereka menggunakan asas kekeluargaan. Jadi kalau misalnya debitur
melakukan wanprestasi (ingkar janji) terhadap kreditur dalam hal belum dapat
mengembalikan hutangnya, maka para pihak menyelesaikannya dengan cara
kekeluargaan.
IV. Analisa Hukum Islam tentang Konversi Hutang Piutang Menjadi Daging Sapi
Manusia adalah makhluk sosial yang dilahirkan di muka bumi dan selalu
berinteraksi, mengadakan pertalian, kontak dan perhubungan timbal balik antara
27 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. 24, (Jakarta: Inter Masa, 1993), hlm. 134.
17
manusia yang satu dengan manusia yang lain, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa
dalam kehidupan manusia sehari-hari membutuhkan pertolongan dari orang yang
ada disekitarnya, guna melengkapi kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang tidak
dapat dilakukannya sendiri.
Dalam syari’at Islam dianjurkan untuk selalu saling tolong menolong dalam hal
kebaikan, yang kaya menolong yang miskin, yang kuat menolong yang lemah.
Bentuk dari pertolongan tersebut dapat berupa pemberian atau dapat juga
pinjaman (hutangan).
Hutang piutang merupakan salah satu bentuk transaksi yang sering dilakukan oleh
setiap manusia di muka bumi ini, baik kalangan kaya atau pun miskin dan
transaksi ini dapat diperkirakan telah di kenal sejak zaman dulu, seorang filosof
Inggris tersohor Bertrand Russel mengatakan bahwa : “Sangat sukar
menghindarkan diri dari hutang, tetapi barang siapa dapat melakukan sesuatu
yang sukar itu, ia akan menikmati kemenangan yang besar dan gemilang”.28
Mengenai hutang piutang ini tidak bisa lepas dari kreditur (pihak yang
berpiutang) dan debitur (pihak yang mempunyai hutang), di mana debitur
memanfaatkan untuk mengatasi kesulitan di bidang keuangan dan untuk
memenuhi kebutuhannya, sedangkan kreditur yang memberikan solusinya atas
kesulitan di bidang keuangan yaitu dengan meminjamkan sejumlah uang.
Akan tetapi debitur mempunyai nilai tanggung jawab untuk mengganti di
kemudian hari sebab kreditur dalam memberikan hutang, sifatnya sukarela dan
tolong menolong tanpa memperoleh imbalan keuntungan dari perbuatan ini tetapi
28
Dikutip oleh Kartowibowo, dalam majalahnya “Hutang (Ditinjau dari Pandangan Moral),” Mawas Diri, Th. 1985. hlm. 32.
18
pada saat yang sama dia mempunyai hak untuk meminta kembali dari debitur bila
waktunya tiba.
Perjanjian hutang piutang ini dapat dikatakan sebagai transaksi yang bersifat
sukarela, tolong menolong dalam hal kebaikan antar sesama sehingga mempererat
hubungan silaturrahim dan dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan sesama
warga, sesuai Firman Allah Swt:
قواى والتعاونوعلى اإل ثم والعدوانوتعاونواعلى البروالت 29
Dalam hadis Nabi Saw juga disebutkan bahwa hutang piutang merupakan
transaksi yang mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi tanpa adanya nilai
komersialnya dan unsur kemanusiaan. Nabi Saw bersabda:
رضا مرتين إالكان كصدقتهامرةمامن مسلم يقرض مسلما ق30
Hutang-piutang merupakan pemberian milik dari pihak berpiutang kepada pihak
berutang dengan ketentuan akan dibayarkan kembali pada waktu yang
ditentukan.31
Oleh karena itu hutang piutang merupakan hal yang kadang-kadang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, maka Islam memberikan peraturan-
peraturan tentang masalah hutang piutang.
Sebelum terjadinya hutang piutang uang, terlebih dahulu adanya akad atau
transaksi. Akad merupakan kegiatan muamalah, akad akan di pandang sah apabila
tidak bertentangan dengan hukum Islam dan telah memenuhi beberapa rukun dan
29 Al-Māidah (5) : 2
30 Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Mājah, )Semarang: Toha Putra, t. t), II:
812. Hadis nomor 2430 hadis Muhammad bin Halfi al-Asqalani sanan ya’la, sanan Sulaiman bin Yusairi dari
Qais bin Rumiy.
31
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Hutang Piutang dan Gadai, cet. 2, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1983), hlm. 41.
19
syarat-syarat hutang piutang, rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut sebagai
berikut:
a. Adanya orang yang berpiutang, yang disyaratkan harus orang yang cakap
untuk melakukan tindakan hukum.32
b. Adanya orang yang berhutang33
Yang disyaratkan harus orang yang cakap melakukannya, maka seorang wali
anak yatim tidak boleh menghutangkan harta anak yatim dan pengurus wakaf
tidak boleh menghutangkan barang wakaf.34
Dalam hal ini yang dimaksud dengan
orang yang berhutang dan berpiutang adalah telah dewasa, baligh, berakal dan
tidak terpaksa.
c. Obyek atau barang yang dihutangkan, disyaratkan berbentuk barang yang dapat
diukur atau diketahui jumlah maupun nilainya. Di syaratkannya hal ini agar pada
waktu pembayarannya tidak menyulitkan, sebab harus sama jumlahnya atau
nilainya dengan jumlah atau nilai barang yang diterima.35
d. Lafaz atau sighat akad, yaitu adanya pernyataan baik dari pihak yang
mengutangkan maupun dari pihak yang berhutang.36
Pernyataan ini disebut
dengan ijab dan kabul.
Mengenai ijab dan kabul, berdasarkan hasil wawancara yang telah penyusun
lakukan dengan para pihak yang melakukan transaksi hutang piutang (kreditur
32 Chairuman P. dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1994),
hlm.137.
33 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, hlm. 307.
34 Abū Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank.,hlm. 129.
35 Chairuman P. dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian .,hlm. 137.
36 Ibid.,
20
dan debitur), bahwa lafaz yang digunakan dalam hutang piutang yang sudah
menjadi kebiasaan masyarakat setempat adalah sebagai berikut:
Debitur : Saya membutuhkan sejumlah uang, bolehkah saya meminjam uang
kepadamu dan tanah sebagai barang jaminan dapat kamu pakai.
Kreditur : Saya dapat meminjamkan sejumlah uang kepadamu dengan syarat uang
tersebut harus dikonversikan ke daging sapi.37
Mengenai perjanjian hutang piutang di perbolehkannya diadakan persyaratan
dalam akadnya apabila tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum
Islam.38
Syarat-syarat tersebut menjadi sah apabila memenuhi :
1. Tidak menyalahi hukum syari’ah yang disepakati adanya.
2. Harus sama ridha dan ada pilihan.
3. Harus jelas dan gamblang.39
Zahrī Hamid memberi batasan akad lebih jelas dan terperinci, sebagai berikut:
Akad atau perikatan ialah suatu ikatan antara dua pihak atau lebih tentang suatu
urusan tertentu yang di mulai dengan kehendak salah satu pihak kemudian di
setujui oleh pihak lain sehingga merupakan kesepakatan semua pihak yang
bersangkutan dan mereka terikat karenanya.40
Ahli fiqh menemukan bahwa tidaklah mudarat jika hal ini disetujui oleh kedua
belah pihak, bahwa hutang akan di bayar dengan cek dan draf atau akan di bayar
di negara lain atas persetujuan kedua belah pihak. Ibnu Zubair, misalnya,
37 Hasil wawancara dengan bapak Moh. Sakli (kreditur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 09
Februari 2005.
38 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam .,hlm. 39.
39 Chairuman P. dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian .,hlm. 2.
40
Zahri Hamid, Asas-asas Mu’amalat Tentang Fungsi Akad Dalam Masyarakat, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, t. t), hlm. 13.
21
menerima sejumlah uang dari penduduk Mekkah untuk dibayarkan di Iraq
melalui draf yang diambil dari saudaranya Musab yang tinggal di Iraq, dalam
masalah ini, Ibnu Abbas dan Saidina Ali, yaitu sahabat dan sepupu Nabi Saw,
tidak melakukan penolakan.41
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw:
....والمسلمون على شروطهم االشرطاحرم حالال أوأحل حراما42
Hadits tersebut menerangkan bahwa diperbolehkannya dalam perjanjian hutang
piutang mengadakan syarat. Misalnya bila seseorang berutang uang dengan syarat
dibayarkan kembali berupa cincin seharga utang tersebut, maka syarat itu harus
dipenuhi oleh masing-masing pihak, karena syarat tersebut tidaklah bertentangan
dengan ajaran Islam.43
Allah berfirman dalam al-Qur’an :
ءامنوا أوفوا بالعقوديأيهاالذين 44
Hendaknya dalam setiap akad diiringi dengan rasa tanggung jawab, moral untuk
saling memenuhi dan melaksanakannya dengan menanggung segala resiko yang
akan muncul, sehingga tidak terjadi konflik antara kedua belah pihak.
Para ulama berbeda pendapat tentang akad yang disyaratkan. Ulama Hanabilah
membolehkan akad dengan syarat, ia mengatakan bahwa pinjaman itu bukan
harta mislī, maka bagi peminjam wajib mengembalikan hartanya. Jika
pengembalian dengan bentuknya kepada orang yang mempunyai harta, maka
orang yang meminjam tidak wajib menerimanya.45
Ulama Malikiyah
41 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, alih bahasa. Aswin Simamora, cet. II,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 74. 42 Imām at-Tirmidzī, Sunan at-Turmudzī, “Kitāb al-Ahkām Ar-Rasūlillāh” Bāb al Sulh baina an-Nās,
(Beirut : Dār al-Fikr, 1978) III, hlm. 635. Hadis nomor 1352. hadīs dari Hasan bin Alī al-Khallah dari Abū Amr’
al ‘Aqodī dari Kasir bin ‘Abdillāh bin ‘Auf al-Muzannī dari bapaknya dari kakeknya.
43 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang., hlm. 39.
44 Al-Māidah (5) : 1.
45 Abd. Rahman al-Jaziri, Kitāb al-fiqh ‘alā al-Mazāhib al-arba’ah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1972), II: 344.
22
mengatakan bahwa pengembalian pinjaman baik itu harta mislī maupun bukan
mislī haruslah dikembalikan dengan syarat tidak berubah baik menambah maupun
mengurangi. Jika berubah, maka hukumnya wajib mengembalikan yang sesuai.46
Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa di perbolehkakn meminjamkan
harta mislī dan harta qimy, pada harta mislī bagi orang yang meminjamkan,
hendaknya mengembalikan yang sepadan dengan harta tersebut, baik itu emas,
perak, dan lain-lainnya.47
Transaksi hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong di mana dalam akadnya
antara kreditur dan debitur tersebut dikonversikan ke daging sapi. Seandainya
debitur meminjam uang sejumlah Rp. 3.000.000,- kepada kreditur, jika kedua
belah pihak sama-sama sepakat, maka hutang uang tersebut dikonversikan ke
daging sapi, harga daging sapi pada waktu itu Rp. 30.000,- /kg sehingga
mendapatkan 1 kuintal daging sapi. Apabila debitur dapat mengembalikan
hutangnya, maka ia harus mengembalikan uang seharga 1 kuintal daging sapi
yang telah dihutangnya pada waktu akad.48
Mengenai pinjaman yang berupa barang atau benda yang ditakar dan ditimbang,
maka pengembaliannya wajib sama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw:
ثل وزنا بوزن, والذهب با لذهب وزنا بوزن مثال بمثل, فمن زاد فهو الفضة با لفضة مثال بم
ربا, والتباع ثمرة حتى يبدو صالحها49
46 Ibid., hlm. 343.
47 Ibid., hlm. 342.
48 Hasil wawancara dengan Bapak Sayyali Suryadi (debitur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal
20 Februari 2005.
49 Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imām Ahmad ibn Hambal, (Bairut : Dār al Ihya’ al-Turas al-Arabī,
1993), II: 515. hadis nomor 7505, hadis dari Abdullah dari Abi dari Rubai bin Ibrāhim dari Abdurahman yakni Ibnu Ishaq dari said dari Abi Hurairah
23
Namun dalam hal peminjaman uang (qard) yaitu perjanjian sesuatu kepada orang
lain dalam bentuk pinjaman yang akan dibayar dengan nilai yang sama atau
membeli sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus dikembalikan semisal.50
Semisal di sini mengandung dua pengertian yaitu bisa sama persis dengan
bendanya yang dalam hal ini berupa uang yang berarti sama dengan nilai
nominalnya atau sama dalam arti kekuatan daya beli dari uang.
Mengenai akad yang merupakan syarat dari qarad yaitu perjanjian yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih (muqrid dan muqtarid) berdasarkan keridaan dari
masing-masing pihak yang menimbulkan beberapa hukum.51
Dalam mengadakan akad harus ada unsur sukarela dari kedua belah pihak dalam
hal hutang piutang kaitannya dengan perubahan harga daging sapi, dimana dalam
akad itu disyaratkan apabila terjadi kenaikan harga daging sapi maka debitur
harus mengembalikan pinjaman dengan jumlah yang lebih banyak dari yang
dipinjam semula, akan tetapi jika terjadi penurunan harga kreditur harus rela
menerima jumlah nominal yang lebih sedikit atau kurang dari jumlah yang
dipinjamnya semula. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:
منكمإال أن تكون تجارةعن تراض ……52
Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:
العقدرضى المتعاقدين ونتيجته ماإلتزماه بالتعاقد األصل فى53
50 Moh. Anwar, Fiqh Islam, Mu’amalah, Munakahat, Fara’id, Dan Jinayah,(Hukum Perdata Islam)
Beserta Kaedah-kaedah Hukumnya, cet. II, (Bandung: al-Ma’arif, 1988), hlm. 52.
51 Hasbi ash-Shiddieqi, Pengantar .,hlm. 200.
52 AN-Nisā’ (4) : 29.
53 Asjmuni A. Rahman, Qaidah .,hlm. 44.
24
Dengan demikian kasus hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong dalam
hutang tersebut terdapat syarat-syarat, dimana dalam hutang piutang tersebut
salah satu syaratnya adalah hutang harus dikonversikan menjadi daging sapi. Jika
terjadi kenaikan harga daging sapi pada saat pengembalian, maka debitur harus
mengembalikan sejumlah uang sesuai dengan harga daging sapi pada saat
pengembalian, bukan pada uang yang telah dipinjami semula, begitu pula
sebaliknya, jika terjadi penurunan harga daging sapi, debitur mengembalikan
sejumlah uang lebih rendah dari pinjaman semula.
Syarat-syarat seperti ini bukanlah salah satu bentuk dari riba, karena dalam
perjanjiannya, debitur tidak diharuskan mengembalikan sejumlah uang dengan
memberi tambahan prosentase tertentu.
Riba adalah transaksi yang diharamkan oleh Allah sesuai firman-Nya:
يأيهاالذ ين ءامنوااتقواهللا وذروامابقي من الربوا إن كنتم مؤمنين54
Juga di pertegas dalam hadis Nabi Saw tentang orang yang melakukan perbuatan
dengan jalan riba:
لعن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أكل الرباوموكله وكاتبه وشاهديه55
Riba menurut pengertian bahasa berarti “زياده” (tambahan), yang dimaksud
dengan tambahan adalah tambahan yang diperoleh oleh kreditur dari debitur
sebagai pengganti tangguhan.56
As-Sayyid Sabiq membagi riba menjadi dua
macam yaitu :
54 Al-Baqarah (2) : 278.
55 Imām Muslim, Sahīh Muslim, “22 kitab al-Musaqāt, 19.” Bab La’ana akila ar Ribā wa Mukīlahu, I,
hlm. 697, hadits dari Abu Zubair dari Jabir.
56 As-Sayyid Abul A’la Al-Maudūdī, Bicara Tentang.hlm. 128.
25
1. Riba Nasi’ah yaitu tambahan bersyarat yang diperoleh orang yang
menghutang dari orang yang berhutang lantaran penangguhan.
2. Riba Fadl yaitu jenis jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan
barang yang ada tambahan.57
Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba
bahwa riba adalah:
واء كان القرض فى نظير األجل, سواءكان القرض لالستهالك أم كان القرض لالستغالل أى س كل زيادة
لمال ينفعه فى شؤنه من غيراتجاه إلى تنميته واستغالله أم كان القرض للتنمية
واالستغال ل ألن النص عام58
Dengan demikian transaksi hutang piutang dapat dikatagorikan riba apabila
mengandung unsur-unsur:
1. Kelebihan dari pokok pinjaman
2. Kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran
3. Jumlah yang disyaratkan dalam transaksi.59
Mengenai hutang piutang yang terjadi di desa Bicorong dimana dalam hutang
piutang tersebut dikonversikan ke daging sapi, mereka ber-asumsi dan menjadi
realita pada saat ini bahwa nilai uang selalu berubah-ubah (fluktuatif) artinya
merosotnya nilai uang (inflasi), agar nilai harga (nilai beli) uang selalu tetap,
maka hutang tersebut dikonversikan ke daging sapi, mereka beranggapan bahwa
harga daging selalu stabil dan mengikuti harga nilai uang (rupiah). Hal ini pernah
57 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 133-134.
58 Muhammad Abū Zahrah, Buhūsu fi al-Ribā, cet.1, (Bairut: Dār al-Buhus al-Ilmīyah, 1399 H/ 1980
M), hlm. 38-39.
59 Abū Sura’i, Bunga Bank.,hlm. 23.
26
terjadi pada tahun 1965 dimana kreditur tidak mau memberi hutang kepada
debitur jika hutang tersebut tidak dikonversikan ke daging sapi.60
Transaksi seperti ini wajar bilamana kreditur tidak ingin dirugikan dengan
pengembalian uang yang tidak mempunyai nilai. Oleh karena itu tidak dapat
disalahkan apabila kreditur menuntut untuk menerima kembali uangnya sesuai
nilai riilnya atau nilai pada saat pengembalian.
Mengenai perjanjian hutang piutang seperti ini dipertegas dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (BW) dalam pasal 1756 dikatakan:
Hutang yang terjadi karena peminjaman atas jumlah uang yang disebutkan dalam
perjanjian. Jika sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran
harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian
jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu
pelunasan dihitung menurut harganya yang berlaku pada saat itu. 61
Menurut penyusun, alasan kebolehan atas konversi hutang uang menjadi daging
sapi adalah agar nilai harga (nilai beli) uang tetap dan transaksi perjanjian ini
bukan bagian dari transaksi hutang piutang ribawi yang diharamkan oleh hukum
Islam, sesuai firman Allah SWT:
وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم التظلمون والتظلمون62
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa kreditur dilarang menganiaya debitur dengan
mengambil tambahan dan juga pula kreditur dianiaya oleh debitur dengan
mengurangi sesuatu dari modal, tetapi diperintahkan untuk mengambil pinjaman
itu secara sempurna. Korelasinya dengan hutang uang yang dikonversikan ke
60 Hasil wawancara dengan bapak Nawar Rafi’iy (debitur) di rumahnya desa Bicorong pada tanggal 28
Februari 2005. yang melakukan transaksi konversi hutang uang menjadi daging sapi pada tahun 1965 adalah
bapak dari Nawar Rafi’iy yaitu Rafi’iy karena beliau wafat maka hutang tersebut diwariskan ke anaknya hingga
sekarang.
61 R. Subekti dan R. Tjiptosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, cet. 27, (
Jakarta : Pradnya Paramita, 1995 ), hlm. 451.
62 Al-Baqarah (2) : 279.
27
daging sapi yaitu dimana debitur harus mengembalikan uang sesuai harga daging
sapi pada saat pengembalian hutang tersebut bukan pada waktu peminjaman,
sehingga nilai beli dari uang tersebut tetap. Hal ini merupakan interpretasi dari
ayat diatas dan tuntunan dari syari’at Islam karena nilai uang tidak lagi sama
ketika debitur meminjam uang dengan waktu debitur mengembalikan hutang
tersebut, begitu juga dengan harga daging sapi. Hal ini bukan termasuk transaksi
ribawi yang diharamkan oleh hukum Islam, pokok pinjaman tersebut dapat dinilai
sempurna jika diukur berdasarkan nilai riilnya. Hal ini agar antara debitur dan
kreditur dalam transaksi hutang piutang tidak ada yang saling menzalimi serta
tidak ada pihak yang menderita kerugian. Kaidah fiqhiyah mengatakan:
الضرروالضرار63
Dalam hal pembayaran, debitur hendaknya mengembalikan dengan yang lebih
baik tanpa adanya syarat berbunga dan tidak pula merugikan kreditur,
sebagaimana dalam hadis Nabi Saw:
صلى هللا عليه وسلم سن من اإلبل فجاءه يتقاضاه فقال النبى صلى هللا عليه وسلم كان لرجل على النبى
أعطوه فطلبوا سنه فلم يجدوا له االسنافوقهافقال أعطوه فقال اوفيتني وفى هللا بك قال النبى صلى هللا
عليه وسلم إن خياركم أحسنكم قضاء64
Hadis diatas menerangkan bahwa Nabi sendiri pernah berhutang seekor unta
muda tetapi beliau mengembalikan unta yang lebih tua dari unta yang dipinjami
semula, hal ini menunjukkan bahwa orang yang paling baik adalah orang yang
mengembalikan hutang.
63 Asjmuni A. Rahman, Qaidah., hlm. 85.
64
Imām al-Bukhāri, Sahih al-Bukhāri, kitāb “ fi al-Istiqrād wa Adai ad-Duyūn” “bāb Husni al-Qadai”, hlm. 83. Hadīs dari Abū Nu’aim dari Sufyān dari Salamah dari Abi Salamah dari AbūHurairah.
28
V. Penutup
V.I. Kesimpulan
Pelaksanaan akad hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi diperbolehkan
dalam hukum Islam, karena dalam akadnya para pihak sama-sama sepakat untuk
dikonversikan ke daging sapi. Hal ini bukanlah untuk menganiaya debitur tetapi
merupakan interpretasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan tuntunan dari syari’at Islam
karena nilai uang tidak lagi sama ketika debitur meminjam uang dengan waktu debitur
mengembalikan hutang tersebut, begitu juga dengan harga daging sapi. Hal ini bukan
termasuk transaksi ribawi yang diharamkan oleh hukum Islam, pokok pinjaman dapat
dinilai sempurna jika diukur berdasarkan nilai riilnya. Hal ini agar antara kreditur dan
debitur dalam transaksi hutang piutang yang dikonversikan ke daging sapi tidak ada
yang saling menzalimi serta tidak ada pihak yang dirugikan.
V.II. Saran-saran
1. Dalam praktek hutang piutang hendaklah ditulis dan disertai saksi dari para pihak,
agar memperkuat transaksi tersebut jika salah satu pihak melakukan wanprestasi
dapat menunjukkan bukti tertulisnya.
2. Mengenai pembayaran hendaklah diberi batas waktu, agar debitur tidak menunda-
nunda waktu dan mempunyai kewajiban untuk cepat-cepat membayar sehingga jika
terjadi kenaikan harga daging sapi tidak terlalu membengkak.
VI. Daftar Pustaka
Abdul Hadi, Abu Sura'i, Al-Riba wa al-Qardu fi al-Fiqhi al-Islami, Riyad: Dar al-I'tizam, t.t
Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank syari'ah: dari Teori ke Praktek, cet.I, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001
Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I,
Jakarta: Tazkia Institute, 1999
29
Badudu, JS dan Sutan Mohd. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. I, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam Tentang Riba, Hutang Piutang dan Gadai, cet. 2,
Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1983
al-Bukhāri, Imam, Sahih al-Bukhāri, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1981 M, 4 Juz
Chapra, Umar, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
Departemen Agama R.I, al-Qur'an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara
Penterjemahan al-Qur'an, Semarang: CV. Toha Putra, 1989
Hanafi, Mamduh M, Manajemen Keuangan, cet.I, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004
Hanafi, Syafiq Mahmadah, Time Value of Money dan Implikasi Ekonomi dalam Ekonomi
Islam, Jurnal EKBIS Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 1,
No. 1, Desember 2006
Imām Abī Bakar Ahmad bin Husain bin Ali al-Baihaqi, As-Sunani al-Kubrā, cet. I, Beirut:
Dar Shadar, 1352 H
al-Jaziri, Abd ar-Rahman, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, Beirut: Dar al-Fikr,
1972
Khan, Muhammad Akram, Time Value of Money, edited by Sheikh Ghazali dalam, An
Introduction to Islamic Finance, Kuala Lumpur: Quill Publisher, 1992
Kartowibowo, dalam majalah “Hutang (Ditinjau dari Pandangan Moral),” Mawas Diri, Th.
1985.
Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, Kitab as-Sadaqat, bab inzar al-Mui'sir, Semarang: Toha Putra,
t.t
Muslehuddin, Muhammad, Sistem Perbankan Dalam Islam, alih bahasa. Aswin Simamora,
cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi KL. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta : Sinar
Grafika, 1994
Qureshi, Anwar Iqbal, Islam and the Theory of Interest, Lahore: SH. Muhammad A Shraf,
1991
Raharjo, M. Dawan, Perekonomian Indonesia Pertumbuhan dan Krisis, Jakarta : LP3ES,
1987
30
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, jilid III, terj. Soeroyo, Nastangin, Jakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1995
Sinungan, Muchdarsyah, Uang dan Bank, cet 3, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
at-Tirmidzī, Imam, Kitāb al-Ahkām Ar-Rasūlillāh, Beirut : Dār al-Fikr, 1978