Post on 05-Mar-2019
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 1
KONTRIBUSI HIJAU SEKTOR KEHUTANAN
PADA PDRB DAN PEMBANGUNAN REGIONAL
KABUPATEN BATANG HARI
PROVINSI JAMBI1
Oleh:
Yugi Setyarko*)
1 Disarikan dari hasil penelitian, Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan Kab Batang Hari Provinsi
Jambi, Kerjasama antara PUSREN, BAPLAN, Departemen Kehutanan dan LPPEL Wacana Mulia, Telah
dipresentasikan di Kantor Bupati Batang Hari, pada tanggal 22 Desember, 2006 *) Staf Peneliti LPPEL Wacana Mulia, Jakarta
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 2
ABSTRAK
Berkaitan dengan kegiatan pembangunan di daerah, para pengambil keputusan seringkali
mengacu pada nilai PDRB yang setiap tahun dihitung oleh BPS sehingga memberikan arah
kebijakan yang keliru. Ini disebabkan karena nilai PDRB saat ini hanya menampilkan nilai
tambah kegiatan produksi, sedangkan modal alami yang hilang belum masuk dalam
perhitungan. Penelitian ini mulai memperhitungkan aspek lingkungan (god made capital)
meliputi penghitungan nilai deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan yang
merupakan nilai penyusutan sumber daya alam dan lingkungan akibat berbagai kegiatan
produksi yang dilakukan untuk peningkatan pembangunan di daerah.
Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi di pilih sebagai pilot project penerapan penghitungan
Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB. Dalam kegiatan ini baru menghitung satu
sektor yaitu sektor kehutanan sehingga outputnya disebut sebagai laporan kontribusi hijau
sektor kehutanan pada PDRB.
Dengan mengetahui nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB, dapat diketahui
nilai kontribusi riil atau kontribusi yang sesungguhnya dari keberadaan hutan di suatu
daerah. Hal ini penting terutama bagi para pemangku jabatan dan para pengambil
keputusan bahkan masyarakat untuk dapat memahaminya sehingga pelaksanaan
pembangunan mengarah pada konsep pembangunan yang berkelanjutan dengan tetap
memperhatikan aspek lingkungan dan kelestarian hutan.
Pendahuluan
Hutan merupakan sumber daya alam yang tak ternilai harganya dan dapat diperbarui
keberadaannya (renewable). Sumber daya hutan menjadi salah satu modal pembangunan
nasional yang memiliki peranan besar bagi kehidupan manusia. Dilihat dari fungsinya,
hutan memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages).
Dalam hal kaitannya ke depan, hutan menyediakan berbagai jenis bahan baku bagi
kebutuhan industri dengan hasil utamanya yaitu kayu dan hasil non kayu lainnya seperti
damar, rotan, madu, gondorukem, bahan obat-obatan dan lain sebagainya yang diolah lebih
lanjut menjadi berbagai produk baik itu berupa bahan baku maupun bahan jadi. Sedangkan
keterkaitan hutan ke arah belakang berupa kegiatan pemeliharaan dan pengelolaan hutan.
Fungsi hutan dalam hal jasa lingkungan antara lain sebagai transportasi air, penahan banjir,
kemampuan dalam mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati
dan kemampuannya dalam menyerap/merosot karbon, sebagai tempat wisata, sebagai
tempat penelitian, pengembangan pendidikan dan keberadaan hutan sebagai warisan anak
cucu kita.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 3
Jasa-jasa hutan yang intangible tersebut selama ini terlupakan oleh manusia karena
sifatnya yang tidak langsung digunakan dan tidak langsung dirasakan, sehingga manusia
akhirnya memberikan nilai ekonomi yang terlalu rendah terhadap sumber daya hutan.
Rendahnya nilai sumber daya hutan mengakibatkan eksploitasi besar-besaran dilakukan
untuk berbagai pemenuhan kebutuhan manusia tanpa mempertimbangkan hilangnya
fungsi hutan secara menyeluruh. Akibatnya kegiatan eksploitasi hutan oleh manusia yang
telah terakumulasi sekian tahun lamanya menjadi bumerang bagi kehidupan manusia saat
ini. Bencana demi bencana banyak terjadi mulai dari banjir, erosi, sedimentasi, tanah
longsor, penurunan produktivitas di sektor pertanian, perikanan dan berbagai sektor lainnya
hingga isue pemanasan global yang saat ini sedang santer diperbincangkan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sumber daya hutan mampu menjadi sumber
penopang bagi kehidupan manusia karena fungsi-fungsi yang dimilikinya sekaligus sebagai
sumber pendapatan dan penyedia lapangan pekerjaan, maupun sebagai sumber devisa
negara.
Kondisi Hutan Indonesia
Keberadaan hutan di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Pernyataan ini diperkuat
dengan ditetapkannya Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia
(Guinnes World Record, 2007). Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif
memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat
antara 2000-2005, yakni 1,871 juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51
kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya.
Menurut data KLH yang dilansir pada pertengahan tahun 2006, hutan tersisa berdasarkan
citra satelit di Jawa tinggal 19 persen, Kalimantan 19 persen, dan Sumatera 25 persen.
Ketersediaan hutan primer tersebut berada di bawah angka 30 persen. (luas hutan tersisa
di suatu pulau yang diwajibkan oleh Undang-Undang Kehutanan). Sedangkan hutan primer
lainnya yang masih berada di atas tingkat tersebut adalah Papua (71 persen), Sulawesi (43
persen), dan Bali (22 persen). Untuk hutan mangrove hingga saat ini hanya tersisa 30
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 4
persen dari seluruh hutan bakau di Indonesia. Saat ini tercatat 43 juta hektar area hutan
telah menjadi lahan kritis
Berdasarkan data kerusakan hutan (1,8 – 2,8 juta hektar per tahun) maka dapat diprediksi
dalam waktu 15 - 22 tahun mendatang hutan Indonesia akan habis2..
Kerusakan hutan Indonesia sebaliknya telah menyelamatkan hutan Cina sebagai negara
tujuan ekspor produk kayu terbesar dari Indonesia. Luas hutan Cina setiap tahun
bertambah luas 2,2 persen.
Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa volume kayu bulat dari pemanfaatan Hutan
Alam Produksi di Indonesia yang diizinkan untuk ditebang dibatasi hanya 6.892.000 m3,
sementara itu kebutuhan kayu bulat industri diperkirakan lebih dari 80 juta m3, termasuk
20 juta m3, untuk kayu lapis, 4 juta m3 untuk kayu gergajian dan 15 juta m3 untuk bubur
kertas (pulp)3.
Pengertian PDRB
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan laporan hasil bruto (kotor) seluruh
kegiatan produksi di suatu daerah (regional) yang dihitung setiap tahun. PDRB yang selama
ini dihitung baru mengukur hasil kegiatan ekonomi saja tanpa memasukkan dimensi
lingkungan didalamnya. Oleh karena itu, pengertian PDRB harus dikembangkan dengan
memasukkan nilai deplesi dan degradasi lingkungan agar diperoleh nilai PDRB yang lebih
riil atau dikenal dengan sebutan PDRB Hijau. PDRB Hijau menampilkan indikator kegiatan
ekonomi sekaligus nilai deplesi dan degradasi lingkungan (sebagai penyusutan modal
alami) sehingga struktur perekonomian dapat dilihat secara lebih realistis. PDRB Hijau
dapat digunakan sebagai perangkat perencanaan pembangunan sektoral dan regional yang
lebih baik, karena menampilkan hasil atau kinerja perekonomian setiap tahunnya secara
lebih riil. 4
2 S.Indro Tjahyono, Direktur SKEPHI (Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia), PRESS RELEASE Refleksi Akhir Tahun 2007 : Perusakan Hutan Gagal Dicegah dan Dikurangi, Jakarta, 28 Desember 2007 3 KNLH, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004. 4 Maria Ratnaningsih dkk, PDRB Hijau, BPFE, Yogya, 2007
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 5
Perlu dipahami bahwa untuk sampai pada angka PDRB Hijau memerlukan waktu, tenaga
serta biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu konsep penghitungan PDRB Hijau dimulai per
sektor. Dalam tulisan ini penghitungan PDRB Hijau hanya diterapkan pada sektor
kehutanan, sehingga hasil perhitungannya baru disebut sebagai ”Kontribusi Hijau Sektor
Kehutanan terhadap PDRB”.
Peranan hutan dalam perekonomian sangatlah besar, namun demikian bila kita melihat
pada laporan PDRB di berbagai daerah tampak bahwa peran atau kontribusi sektor
kehutanan masih sangat kecil. Sebagai gambaran secara agregat kita dapat melihat
kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDB Indonesia tahun 2006 dimana kontribusinya
hanya sekitar 1,3%.
Perlu dijelaskan disini bahwa sektor kehutanan yang dimaksud mencakup sub-sektor hutan
yang menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya dan sub-sektor industri pengolahan hasil
hutan.
Nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDRB yang selama ini dihitung oleh BPS sama
dengan nilai tambah (value added) dari sektor hutan. Nilai tambah merupakan jumlah
semua jenis penghasilan (upah, gaji, sewa, bunga, laba) yang diciptakan dalam setiap
kegiatan eksploitasi hasil hutan, sedangkan sumberdaya hutan itu sendiri (kayu, damar,
rotan, madu, dan gaharu, misalnya) yang benar-benar diekstraksi dari hutan tidak muncul
sebagai nilai tambah maupun sebagai penyusutan.
Tujuan Penelitian
Kegiatan studi yang dilakukan adalah menghitung kontribusi sektor kehutanan pada nilai
PDRB di Kabupaten Batang Hari, dengan harapan agar peranan dan kontribusi sektor
kehutanan pada pembangunan daerah di Kabupaten tersebut akan tampak lebih realistis
sehingga perencanaan serta pelaksanaan pembangunan daerah yang bersangkutan akan
dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 6
Manfaat Penelitian
Manfaat dari studi ini adalah pemahaman dan penyempurnaan perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya hutan, tidak hanya bagi para pengelola di sektor kehutanan, tetapi
juga bagi para pelaksana pemerintahan, anggota DPRD yang bersangkutan maupun
masyarakat.
Sektor Kehutanan Kabupaten Batang Hari
Kawasan hutan di Kabupaten Batang Hari tahun 2005 menurut fungsinya sebagai hutan
lindung seluas 160.299,94 Ha sedangkan sebagai hutan konversi seluas 55.636 Ha.
Masalah penebangan liar, kebakaran hutan, dan konversi hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit merupakan masalah pengelolaan hutan yang paling dominan di wilayah
Kabupaten Batang Hari saat ini.
Pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2005 memperlihatkan pertumbuhan hampir di
semua sub sektor kecuali sub sektor kehutanan yang mengalami penurunan yaitu sebesar
8,57% pada tahun 2004 dan 2,35 persen pada tahun 2005. Tabel pertumbuhan sektor
pertanian di Kab. Batang Hari tahun 2004-2005 tampak pada Tabel 1 di berikut:
Tabel 1
Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Batang Hari
Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2004 – 2005
(%)
Lapangan Usaha 2004 2005
Pertanian 3,83% 4,91%
a. Tanaman Pangan 3,04% 4,95%
b. Perkebunan 6,67% 5,97%
c. Peternakan 6,26% 5,96%
d. Kehutanan -8,57% -2,35%
e. Perikanan 8,90% 9,05%
Sumber: BPS, Kabupaten Batang Hari Tahun 2005
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 7
Bila dilihat dari nilai kontribusi sub-sektor kehutanan pada PDRB (Tabel 2) maka tampak
dari tahun 2004 sampai tahun 2005 terdapat peningkatan Rp 0,63 M yaitu sebesar 54,57
milyar rupiah pada tahun 2004 menjadi 55,20 milyar rupiah pada tahun 2005.
Tabel 2
Kontribusi Sektor Pertanian
Terhadap PDRB atas dasar Haga Berlaku
Kabupaten Batang Hari Tahun 2004 – 2005
Lapangan Usaha 2004
(Rp Milyar)
2005
(Rp Milyar)
2004
(%)
2005
(%)
Pertanian 461,04 497,19 33,07 30,76
a. Tanaman Pangan 101,77 108,93 7,30 6,74
b. Perkebunan 229,85 247,20 16,48 15,29
c. Peternakan 37,57 41,24 2,69 2,55
d. Kehutanan 54,57 55,20 3,91 3,41
e. Perikanan 37,29 44,63 2,67 2,76
Sumber: BPS, Kabupaten Batang Hari Tahun 2005
Namun apabila dilihat dari persentase per tahun kontribusi sektor kehutanan terhadap
PDRB Kabupaten Batang Hari tampak mengalami penurunan dari 3,91 persen pada tahun
2004 menjadi 3,41 persen pada tahun 2005 atau turun sebesar 0,5 persen.
Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB Coklat
Nilai Kontribusi sektor kehutanan Kabupaten Batang Hari dari tahun 2003 hingga tahun
2005 tampak terus meningkat walaupun secara persentase kontribusi sektor kehutanan
terhadap PDRB Kabupaten batang Hari menurun.
Perlu diketahui bahwa dalam penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB
Kabupaten Batang Hari selain dihitung dari sub sektor kehutanan juga dihitung dari sub
sektor industri pengolahan yang mengolah hasil hutan seperti industri kayu gergajian,
moulding dan industri rotan serta industri lainnya yang menggunakan bahan dasar kayu dan
hasil hutan lain.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 8
Dari kedua sub-sektor tersebut tampak bahwa kontribusi sub-sektor kehutanan yang
berasal dari kegiatan produksi kayu jauh lebih kecil dibandingkan kontribusi sub-sektor
industri pengolahan kayu dan hasil hutan (Tabel 3). Pada kolom terakhir disajikan nilai
PDRB Kabupaten Batang Hari sebagai referensi. Dari Tabel 3 tersebut dapat dikatakan
bahwa sesungguhnya nilai tambah sektor kehutanan dari kegiatan industri pengolahan
kayu memberikan pengaruh yang signifikan karena kontribusinya yang relatif besar
terhadap PDRB Kabupaten Batang Hari.
Tabel 3
Kontribusi Sektor Kehutanan pada
PDRB Coklat Kabupaten Batang Hari 2003 - 2005
Tahun
Kayu &
Hasil Hutan Lain
Industri
Pengolahan Kayu &
Hasil Hutan Lain
Sektor Kehutanan PDRB
Coklat
Rp
(milyar) Rp
(milyar) (%)
Rp
(milyar) (%)
Rp
(milyar) (%)
1 2 3 4 5 2 + 4 3 + 5 6
2003 51,61 4,28 142,62 11,81 194,23 16,09 1.207,24
2004 54,57 3,91 143,64 10,30 198,21 14,22 1.394,34
2005 55,20 3,41 181,38 11,22 236,58 14,64 1.616,54
Sumber : BPS, Kabupaten Batang Hari, 2005
Deplesi Sumberdaya Hutan
Dalam penghitungan deplesi sumber daya hutan ini hanya dilakukan untuk kegiatan
ekstraksi kayu karena untuk hasil hutan non kayu belum tersedia datanya.
Deplesi kayu hutan adalah hilangnya kayu hutan akibat penebangan yang tercermin dari
volume kayu yang ditebang. Tabel 4 menunjukkan jenis dan volume kayu yang ditebang di
Kabupaten Batang Hari antara tahun 2003 hingga 2005. Tampak bahwa antara tahun
2003 hingga 2005 volume penebangan kayu tertinggi terjadi pada tahun 2004. Secara
total dari tahun 2003-2005 volume penebangan kayu terus meningkat hingga mencapai
2.022.328,31 m3 pada tahun 2005.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 9
Tabel 4
Produksi Kayu di Kabupaten Batang Hari
Tahun 2003 - 2005
No. Jenis Produksi (m3)
2003 2004 2005
1 Kayu Bulat 50.815,40 62.522,13 41.635,77
2 Kayu Bulat Kecil 40.230,76 26.258,94 21.325,77
3 Kayu Akasia 620.051,22 359.007,46 17.453,33
4 Kayu Sengon 2.261,35 7.891,36 576,35
5 BBS (Bahan Baku Serpih) 50.870,24 905.192,39 1.941.337,09
T o t a l 764.228,97 1.360.872,28 2.022.328,31
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari
Setelah volume penebangan kayu diketahui, selanjutnya mencari nilai unit rent untuk
masing-masing jenis kayu. Nilai unit rent kayu per tahun di Kab. Batang Hari diperoleh
berdasarkan pendekatan harga pasar (market price) yang diturunkan hingga tercapai nilai
per unit kayu (unit rent). Hasil penghitungan unit rent masing-masing jenis kayu ditampilkan
pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5
Unit Rent Kayu di Kabupaten Batang Hari
Tahun 2003 – 2005
No. Jenis Unit Rent (Rp/M3)
2003 2004 2005
1 Kayu Bulat 217.285,94 238.427,49 229.632,34
2 Kayu Bulat Kecil 123.609,10 136.244,28 131.218,48
3 Kayu Akasia 69.530,12 76.637,41 73.810,40
4 Kayu Sengon 66.439,89 73.231,30 70.529,93
5 BBS (Bahan Baku Serpih) 61.804,55 68.122,14 65.609,24
Sumber : Data diolah
Selanjutnya nilai deplesi kayu dihitung dengan mengalikan volume kayu tebangan dengan
nilai unit rent masing-masing jenis kayu. Hasil perhitungan nilai deplesi kayu hutan di Kab.
Batang Hari tampak seperti pada Tabel 6.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 10
Tabel 6
Nilai Deplesi Kayu di Kabupaten Batang Hari
Tahun 2003 – 2005
(Rp Juta)
No. Jenis Deplesi (Rp)
2003 2004 2005
1 Kayu Bulat 11.041,47 14.906,99 9.560,92
2 Kayu Bulat Kecil 4.972,89 3.577,63 2.798,34
3 Kayu Akasia 43.112,23 27.513,40 1.288,24
4 Kayu Sengon 150,24 577,89 40,65
5 BBS (Bahan Baku Serpih) 3.144,01 61.663,64 127.369,65
Total Deplesi 62.420,85 108.239,56 141.057,80
Sumber : data diolah
Sebagai perbandingan, pada Tabel 7 ditampilkan pula pembayaran DR dan PSDH yang
diterapkan oleh Dinas Kehutanan Kab Batang Hari pada tahun 2002 - 2004
Tabel 7
Pembayaran Retribusi, PSDH dan DR
Di Kabupaten Batang Hari Tahun 2002 - 2004
Penerimaan 2003 2004 2005
PSDH 1.314.925.333,45 1.234.085.071,35 5.519.073.521,40
DR Rp1.058.458.566 Rp1.200.000.000 US$ 4.001.426,42
Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari
Dengan membandingkan antara nilai deplesi dengan besarnya pungutan DR dan PSDH
tampak bahwa nilai deplesi lebih besar dibandingkan nilai DR dan PSDH. Hal ini
menunjukkan bahwa sesungguhnya pungutan atau retribusi yang dikenakan per m3 kayu
tebangan masih terlalu rendah karena tidak memperhitungkan nilai atau aset alam.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 11
Degradasi Lingkungan
Seperti telah diketahui bahwa kegiatan penebangan hutan selain mengakibatkan
berkurangnya cadangan atau stock kayu di hutan, juga menyebabkan terjadinya degradasi
tanah, udara, air, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Mengingat ketersediaan data tentang macam serta dampak degradasi lingkungan masih
sangat terbatas maka pendekatan penghitungan degradasi lingkungan akibat penebangan
hutan di Kabupaten Batang Hari dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan studi-
studi sejenis sebelumnya (benefit transfer approach).
Untuk menghitung degradasi akibat penebangan kayu hutan perlu diketahui data luasan
tebangan. Tabel 8 berikut menampilkan luasan tebangan kayu hutan di Kab. Batang Hari
tahun 2003-2005.
Tabel 8
Luas Tebangan Kayu di Kabupaten Batang Hari
Tahun 2003– 2005
(Ha)
Tahun Luas tebangan
2003 2942,00
2004 5217,50
2005 6874,75
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari, 2005
Setelah luas tebangan diperoleh selanjutnya dengan menggunakan hasil perhitungan dari
studi lain sejenis yang telah disesuaikan (lihat Tabel 9), dapat dihitung nilai degradasi
untuk masing-masing jenis fungsi lingkungan hutan yang hilang dengan mengalikan luas
tebangan dengan nilai jasa lingkungan yang hilang akibat adanya kegiatan penebangan
hutan.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 12
Tabel 9
Persentase dan Nilai Jasa Hutan
Jenis Nilai Jasa yang Dihasilkan Nilai
(US$/ha/thn)
Nilai penggunaan tak langsung
Konservasi air dan tanah
Penyerap karbon
Pencegah banjir
Transportasi air
Keanekaragaman hayati
Atas dasar bukan penggunaan
Nilai opsi
Nilai keberadaan
1.835,83
847,12
133,85
525,92
123,81
210,79
195,34
69,28
126,05
Sumber : Suparmoko dan NRM, 2005
Catatan : Nilai degradasi ditunjukkan oleh nilai penggunaan tak
langsung dan nilai atas dasar bukan penggunaan dihitung
dengan asumsi bahwa penebangan kayu di hutan akan
berakibat pada rusak atau hilangnya fungsi hutan.
Penghitungan nilai degradasi lingkungan masih dihitung dalam US dollar, selanjutnya nilai
yang diperoleh disesuaikan dengan nilai kurs pada masing-masing tahun yang
bersangkutan sehingga didapatkan nilai degradasi dalam rupiah seperti tampak pada Tabel
10 berikut.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 13
Tabel 10
Nilai Degradasi hutan di Kabupaten Batang Hari
Tahun 2003 - 2005
(Rp Milyar)
Fungsi Lingkungan 2003 2004 2005
I. Nilai penggunaan tak langsung 46,06 89,66 124,32
Konservasi air dan tanah 21,25 41,37 57,36
Penyerap karbon 3,36 6,54 9,06
Pencegah banjir 13,20 25,69 35,61
Transportasi air 3,11 6,05 8,38
Keanekaragaman hayati 5,29 10,30 14,27
II. Atas dasar bukan penggunaan 4,90 9,54 13,23
Nilai opsi 1,74 3,38 4,69
Nilai keberadaan 3,16 6,16 8,54
Total Degradasi I + II 50,96 99,20 137,54
Sumber : data diolah
Catatan : Kurs 1 US $ = Rp 8.528 tahun 2003; 1 US $ = Rp 9.361 tahun 2004;
1 US $ = Rp 9.850 tahun 2005
Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan di Indonesia hampir terjadi setiap tahun, begitu pula di Provinsi Jambi
khususnya di Kabupaten Batang Hari. Berdasarkan keterangan yang diperoleh diketahui
telah terjadi kebakaran hutan di Kabupeten Batang hari pada tahun 2004-2005 seperti
ditampilkan pada Tabel 11.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 14
Tabel 11
Luas Kebakaran Hutan di Kabupaten Bantang Hari
Menurut Bulan Tahun 2004 - 2005
Bulan
2004 2005
Hot
Spot Ha
Hot
Spot Ha
Januari - - - -
Februari - - - -
Maret - - - -
April - - - -
Mei 11 33 - -
Juni 37 111 - -
Juli - - - -
Agustus 87 261 - -
September 57 171 72 216
Oktober 6 18 - -
November - - - -
Desember - - - -
Jumlah 198 594 72 216
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Batang hari , 2005
Catatan : 1 titik hot spot = 3 ha
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh David Glover and Timothy Jessup, dapat
diketahui nilai kerugian ekonomi tiap Ha hutan akibat kebakaran hutan yang dihitung
seperti pada Tabel 12 berikut:
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 15
Tabel 12
Nilai Dampak Kerugian Akibat Kebakaran Hutan
No Dampak
Kerugian
Ekonomi
(US $/Ha/tahun)
I Dampak total Asap 3.833,03
Dampak Kesehatan 3.500,11
- Biaya medis 1.116,32
- Produktivitas 633,73
- Dampak Tidak Langsung 1.750,05
Dampak Pariwisata 266,49
Dampak Penerbangan 28,56
Dampak Penutupan bandara 37,88
II Dampak Kebakaran 10.560,13
- Kerugian Kayu 1.870,02
- Kerugian pertanian atau perkebunan 1.781,83
- Kerugian produksi langsung ekosistem hutan 2.670,42
- Kerugian produksi tidak langsung ekosistem hutan 4.080,01
- Kerugian Keanekaragaman Hayati 113,64
- Biaya pemadaman kebakaran 44,21
T o t a l 14.393,16
Sumber : David Glover and Timothy Jessup, Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian
Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia, Penerbit ITB, Bandung, 2002.
Selanjutnya berdasarkan Tabel 12, dengan mengalikan luasan kebakaran hutan dengan
nilai kerugian ekonomi akibat kebakaran maka diperoleh nilai degradasi akibat kebakaran
hutan yang selanjutnya disesuaikan dengan nilai kurs rupiah sesuai pada tahun yang
bersangkutan (Tabel 13).
Tampak bahwa kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di Kab Batang Hari Provinsi
Jambi pada tahun 2004 mencapai Rp 80,03 milyar sedangkan pada tahun 2005 luasan
kebakaran hutan menurun sehingga kerugian akibat kebakaran hutan berkurang menjadi
Rp 30,62 milyar. Nilai ekonomi akibat kebakaran hutan tersebut yang selanjutnya
merupakan nilai degradasi kebakaran hutan.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 16
Tabel 13
Nilai Degradasi Akibat Kebakaran Hutan
di Kabupaten Bantang Hari Tahun 2004 – 2005
(Rp milyar)
No Dampak 2004 2005
I Dampak total Asap 21,31 8,16
Dampak Kesehatan 19,46 7,45
- Biaya medis 6,21 2,38
- Produktivitas 3,52 1,35
- Dampak Tidak Langsung 9,73 3,72
Dampak Pariwisata 1,48 0,57
Dampak Penerbangan 0,16 0,06
Dampak Penutupan bandara 0,21 0,08
II Dampak Kebakaran 58,72 22,47
- Kerugian Kayu 10,40 3,98
- Kerugian pertanian atau perkebunan 9,91 3,79
- Kerugian produksi langsung ekosistem hutan 14,85 5,68
- Kerugian produksi tidak langsung ekosistem hutan 22,69 8,68
- Kerugian Keanekaragaman Hayati 0,63 0,24
- Biaya pemadaman kebakaran 0,25 0,09
T o t a l 80,03 30,62
Sumber : Data diolah
Catatan : 1 US $ = Rp 9.361 untuk tahun 2004; dan 1 US $ = Rp 9.850 untuk tahun 2005
Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB Kabupaten Batang Hari
Kontribusi hijau sektor kehutanan adalah besarnya nilai tambah sektor kehutanan dari
berbagai kegiatan produksi yang dihitung dengan memasukkan nilai deplesi dan nilai
degradasi sumberdaya hutan yang ditimbulkan akibat kegiatan di sektor kehutanan dan
kebakaran hutan. Cara pandang yang selama ini hanya menilai hutan dari sisi nilai tambah
produksi saja akan membawa pada arah kebijakan yang keliru. Besarnya kontribusi sektor
kehutanan pada PDRB yang selama ini dihitung oleh BPS hanya menyajikan nilai produksi
dari kayu hutan yang diekstrak saja. Secara keseluruhan untuk sampai pada nilai kontribusi
hijau dan kontribusi riil*) sektor kehutanan, pada Tabel 14 berikut ditampilkan uraian mulai
dari kontribusi sektor kehutanan pada PDRB coklat hingga kontribusi riil sektor kehutanan
pada pembangunan.
*)
Kontribusi riil: nilai tambah yang diciptakan + nilai penyusutan + nilai degradasi hutan
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 17
Tabel 14
Nilai Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB,
Deplesi Kayu, Degradasi Lingkungan, dan Nilai Kontribusi Riil SektorKehutanan pada PDRB
di Kabupaten Batang Hari,
Tahun 2004 – 2005 (Rp Milyar)
No. URAIAN 2004 2005
1. Kontribusi sub sektor kehutanan pada
PDRB 54,57 55,20
2. Kontribusi sub sektor industri pengolahan
kayu dan hasil hutan pada PDRB 143,64 181,38
3. Kontribusi Sektor Kehutanan pada PDRB 198,21 236,58
4. Nilai Deplesi Sektor kehutanan 108,24 141,06
5. Kontribusi Semi Hijau Sektor Kehutanan
pada PDRB 89,97 95,53
6. Degradasi sub sektor Kehutanan 99,20 137,54
7. Degradasi sub sektor Industri Pengolahan
kayu dan hasil hutan - -
8. Degradasi akibat kebakaran hutan 80,03 30,62
9. Degradasi Sektor Kehutanan 179,24 168,17
10. Depresiasi Sektor Kehutanan 287,48 309,22
11. Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada
PDRB -89,27 -72,64
12. Kontribusi Riil Sektor Kehutanan pada
Pembangunan *) 325,62 484,56
Sumber : data diolah
Catatan : *) Kontribusi riil sektor kehutanan merupakan kontribusi yang sebenarnya dari sektor
kehutanan terhadap pembangunan nasional Indonesia; yaitu terdiri dari kontribusinya
kepada PDRB Konvensional ditambah dengan nilai deplesi sumberdaya alam dan
degradasi lingkungan dikurangi degradasi akibat kebakaran hutan.
Baris 3 = 1 + 2
5 = 3 - 4
11 = 3 - 4 - 9 = 3 - 10
12 = 3 + 4 + 6 – 8
Tampak pada Tabel 14 bahwa hasil penghitungan nilai kontribusi hijau negatif untuk tahun
2004 dan 2005 yang berarti bahwa kontribusi coklat sektor kehutanan PDRB Kabupaten
Batang Hari lebih kecil bila dibandingkan dengan modal pada sumberdaya alam dan
lingkungan yang digunakan, yaitu masing-masing untuk tahun 2004 dan 2005 berturut-
turut sebesar (-Rp 89,27 milyar), dan (-Rp 72,64 milyar).
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 18
Apabila nilai kontribusi, deplesi dan degradasi (depresiasi) sektor kehutanan digabungkan,
tetapi dikurangi degradasi akibat kebakaran hutan maka dapat dilihat pada Tabel 14 bahwa
sesungguhya kontribusi sektor kehutanan dan industri pengolahan berbasis kayu dan hasil
hutan pada pembangunan daerah kabupaten Batang Hari tahun 2004 sebesar Rp 325,62
milyar dan tahun 2005 sebesar Rp 484,56 milyar.
Oleh karena itu, cara pandang bagi penentu kebijakan harus segera diubah yaitu tidak
hanya menilai sumberdaya hutan dari produksi kayu dan hasil hutan lainnya, tetapi harus
memasukkan kontribusi sektor kehutanan yang sebenarnya yaitu terdiri dari nilai tambah
pada kegiatan produksi ditambah nilai penyusutan modal alam (deplesi) dan nilai
degradasi.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 19
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan (hasil hutan dan industri
pengolahan hasil hutan) pada pembangunan baru dinilai sebagai penyedia bahan baku
industri saja sedangkan dalam penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
fungsi jasa lingkungan hutan belum dinilai sama sekali. Penelitian ini mencoba
memasukkan dimensi lingkungan yang terdiri dari nilai deplesi sumberdaya alam dan
nilai degradasi lingkungan sebagai pos penyusutan (depresiasi) sumberdaya alam ke
dalam penghitungan PDRB sehingga menghasilkan nilai kontribusi hijau sektor
kehutanan pada PDRB.
Perhitungan Nilai Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan pada PDRB lebih akurat dalam
mengukur kondisi perekonomian khususnya di sektor kehutanan, karena sudah
diperhitungkannya aspek lingkungan.
Dari berbagai penemuan di atas dapat dinyatakan manfaat dari penyusunan PDRB Hijau
pada umumnya dan kontribusi hijau sektor kehutanan pada khususnya terhadap PDRB
yaitu :
a) Menghindari bias perhitungan kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah.
b) Rencana dan kebijakan pembangunan kehutanan daerah dapat disusun
berdasarkan kondisi faktual yang ada, lebih sempurna dan terarah.
c) Mengetahui besarnya nilai deplesi dan kerusakan lingkungan hutan sebagai dasar
untuk mengontrol kerusakan sumberdaya hutan.
d) Memberikan penilaian wajar pada keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan.
e) Sebagai masukan dalam penentuan besar kecilnya pungutan atau ganti rugi
kerusakan lingkungan.
f) Sebagai masukan dalam rangka menghitung kontribusi sektor kehutanan dalam
pembangunan suatu daerah.
g) Untuk memahami struktur perekonomian yang lebih realistis.
h) Mengetahui sumbangan sektoral yang faktual terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah.
i) Akan menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk mengelola
sumberdaya hutan yang ada.
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008 20
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, Giles, Richard Dubourg, Kirk Hamilton, Mohan Monasinghe, David Pearce, and
Carlos Young, Measuring Sustainable Development: Macroeconomics and the
Environmet, Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham,UK, 1997.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten
Batang Hari, 2003 -2005, BPS Kabupaten Batang Hari, 2005.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Batang Hari Dalam Angka 2005,
Muara Bullian, Batang Hari, 2005 .
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2004, Jakarta, 2004.
David Glover and Timothy Jessup, Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan
Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia, Penerbit ITB, Bandung, 2002.
M. Suparmoko, Buku Pedoman Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkunggan,
BPFE, 2002.
UNEP, 2005 Sustainable Use of Natural Resources in the Context of Trade Liberalization
and Export Growth in Indonesia, First Edition, Geneva, Switzerland