Post on 03-Jul-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Terdapat beberapa pengertian mengenai fraktur, sebagaimana yang dikemukakan para ahli
melalui berbagai literature. Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya
kontinuitas tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000)
fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Back dan Marassarin (1993) berpendapat bahwa
fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang normal yang terjadi karena tekanan pada tulang yang
berlebihan.
Ada beberapa cara yang digunakan dalam penanganan pertama pada kasus fraktur
diantaranya adalah dengan traksi dan gips. Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau
alat lain untuk menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Dengan tujuan untuk
menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan
mempercepat penyembuhan. Sedangkan gips merupakan salah satu pengobatan konservatif
pilihan (terutama pada fraktur) dan dapat digunakan di daerah terpencil dengan hasil yang cukup
baik bila cara pemasangan, indikasi, kontraindikasi serta perawatan setelah pemasangan diketahui
dengan baik.
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade 2000-2010
menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan
lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini, selain menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga
menyebabkan kematian 125 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya adalah
remaja atau dewasa muda.
1
B. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar mahasiswa/i s1 keperawatan, mendapatkan
pengetahuan lebih mengenai fraktur dan juga pemberian gips dan traksi. Selain itu, mahasiswa/i
juga mendapatkan gambaran nyata dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dengan
gips dan traksi. Serta mampu mengimplementasikan cara memberi / memasang gips dan traksi
pada klien.
C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan beberapa metode agar mahasiswa
dapat memahami dan mengerti tujuan makalah yang telah dibuat, yaitu ;
a) metode deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran serta sistematik agar
mahasiswa yang membaca makalah penulis dapat memahami maksud dan tujuannya.
b) study ke perpustakaan yaitu dengan membaca buku-buku atau bahan ilmiah yang bersifat
teoritis yang berhubungan dengan judul makalah. Data – data yang yang penulis ambil
dari buku perpustakaan merupakan buku Keperawatan Medikal Bedah.
c) study internet yaitu dengan membuka website yang berhubungan dengan tema makalah
penulis berdasarkan sumber / situs yang terpercaya.
D. Sistematika Penulisan
Penulis membagi makalah ini menjadi tiga bagian yaitu:
1) Bab I pendahuluan
2) Bab II Pembahasan
3) Bab III penutup
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Fraktur
1. Anatomi Fisiologi Tulang
a. Sistem Rangka
Rangka manusia dewasa tersusun dari tulang-tulang (sekitar 206 tulang) yang
membentuk suatu kerangka tubuh yang kokoh. Walaupun rangka terutama tersusun dari
tulang, rangka di sebagian tempat dilengkapi kartilago utama.
1) Rangka aksial terdiri dari beberapa tulang yang membentuk aksis panjang tubuh
yang melindungi organ-oran pada kepala, leher dan torso.
a) Kolumna vertebra (tulang belakang) terdiri dari 26 vertebra yang dipisahkan
oleh diskus vertebra
b) Tengkorak diseimbangkan pada kolumna vertebra
c) Kerangka toraks (rangka iga) meliputi tulang-tulang iga dan sternum yang
membungkus dan melindungi organ-organ thoraks.
2) Rangka aperdikular terdiri dari 126 tulang yang membentuk lengan, tungkai dan
tulang pektoral (serta tonjolan pelvis yang menjadi tempat melekatnya lengan dan
tungkai pada rangka aksial)
3) Persendian adalah artikulasi dari dua tulang atau lebih.
b. Fungsi Sistem Rangka
1. Memberikan topangan dan bentuk pada tubuh
2. Pergerakan tulang berartikulasi dengan tulang lain pada sebuah persendian dan
berfungsi sebagai pengungkit jika otot berkontraksi, kekuatan yang diberikan pada
pengungkit menghasilkan gerakan.
3. Perlindungan sistem rangka, melindungi organ-organ lunak yang ada dalam tubuh.
4. Pembentukan sel darah (hematopoisis) sumsum tulang merah, yang ditemukan
pada orang dewasa dalam tulang sternum, tulang iga, badan vertebra, tulang pipi
3
pada kranium dan pada bagian ujung tulang panjang. Merupakan tempat produksi
sel darah merah, sel darah putih dan trombosit darah.
5. Tempat penyimpanan mineral.
c. Komposisi Jaringan Tulang
1) Tulang terdiri atas sel-sel dan matriks ekstrakuler. Sel-sel tersebut adalah
osteoblast dan osteoklas.
2) Matriks tulang tersusun dari serat-serat kolagen organik yang tertanam pada
substansi dasar dan garam-garam organik tulang seperti fosfor dan kalsium.
3) Tulang kompak adalah jaringan yang tersusun rapat dan terutama ditemukan
sebagai lapisan di atas jaringan tulang concelles, parositasnya bergantung pada
saluran mikroskopik (kanalikuli) yang mengandung pembuluh darah yang
berhubungan dengan saluran havers.
4
2. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smelter & Bare, 2002).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Lima utama klasifikasi fraktur :
incomplete, complete, tetutup, terbuka, fraktur patologis. (Doengoes E. Marilyn. 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstream (Burner & Suddarth. 2002).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa fraktur merupakan suatu gangguan
integritas tulang yang ditandai dengan rusaknya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dikarenakan tekanan yang berlebihan.
3. Etiologi
Adapun etiologi dari fraktur yaitu ;
a. Trauma ( benturan )
Ada dua trauma yang dapat mengakibatkan fraktur :
1) Trauma langsung ; menyebabkan tekanan langsung pada tulang . Hal tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2) Trauma tidak langsung ; Apabila trauma dihantarkan kedaerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur. Misalnya, jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur
pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
5
b. Tekanan / stress yang terus menerus berlangsung lama
Tekanan kronis berulang dalam jangka waktu lama akan mengakibatkan fraktur
yang kebanyakan pada tulang tibia, fibula, atau metatarsal pada olahragawan, militer
maupun penari. Misalnya seorang yang baris – berbaris atau suka menghentak hentakkan
kakinya, maka mungkin terjadi patah tulang di daerah tertentu.
c. Adanya keadaan yang tidak normal pada tulang dan usia
Kelemahan tulang yang abnormal karena adanya proses patologis seperti tumor,
maka dengan energi kekerasan yang minimal akan mengakibatkan fraktur yang pada
orang normal belum dapat menimbulkan fraktur.
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis
ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi
plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar
dari proses penyembuhan tulang nantinya.
6
5. Klasifikasi fraktura. Menurut Depkes RI (1995), berdasarkan luas dan garis traktur meliputi:
1) Fraktur komplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga
tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberang dari satu sisi ke
sisi lain serta mengenai seluruh korteks.
2) Fraktur inkomplit adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah
tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai seluruh korteks (masih ada korteks yang
utuh).
b. Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia
luar, meliputi:
1) Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak
keluar melewati kulit.
2) Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan
dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi infeksi. Fraktur
terbuka dibagi menjadi 3 grade yaitu:
a) Grade I : Robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot.
b) Grade II : Seperti grade I dengan memar kulit dan otot.
c) Grade III : Luka sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf,
otot dan kulit.
c. Long (1996) membagi fraktur berdasarkan garis patah tulang, yaitu:
1) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang ( retak dibawah lapisan periosteum) /
tidak mengenai seluruh kortek, sering terjadi pada anak-anak dengan tulang lembek.
2) Transverse yaitu patah melintang ( yang sering terjadi ).
3) Longitudinal yaitu patah memanjang.
4) Oblique yaitu garis patah miring.
5) Spiral yaitu patah melingkar.
6) Communited yaitu patah menjadi beberapa fragmen kecil
7
d. Black dan Matassarin (1993) mengklasifikasi lagi fraktur berdasarkan kedudukan
fragmen yaitu:
1) Tidak ada dislokasi
2) Adanya dislokasi, yang dibedakan menjadi:
a) Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut.
b) Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh.
c) Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang.
d) Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan memendek
6. Manifestasi klinis
Menurut Lewis (2006) ;
a. Nyeri ; Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak / edema ; Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma)
yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar / ekimosis ; Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi
daerah di jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot ; Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi ; Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi ; Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme
otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal ; Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada
kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi ; Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
i. Deformitas ; Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Gambaran X-ray menentukan fraktur ; Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe
fraktur
8
7. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, sianosis pada bagian distal, hematoma melebar, dan dingin pada
ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan darurat splinting, perubahan posisi pada
yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Sindrom kompartemen
Merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh edema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah, atau karena tekanan dari
luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrome (FES)
Adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah menjadi rendah. Ditandai
dengan gangguan pernafasan, tahikardi, hipertensi, tahipnea, dan demam.
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
ortopedi, infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Hal ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi dapat juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan, seperti pin (ORIF & OREF) dan plat.
e. Nekrosis Avaskular
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu sehingga menyebabkan
nekosis tulang.
f. Syok
Terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
sehingga menyebabkan oksigenasi menurun.
2) Komplikasi Lama
9
a. Delayed Union. Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah ke
tulang menurun.
b. Non-union. Adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak didapatkan
konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat
terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga terjadi bersama-sama infeksi.
c. Mal-union. Adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi terdapat
deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, rotasi, pemendekan, atau union
secara menyilang, misalnya pada fraktur tibia-fibula.
8. Penatalaksanaan fraktur (Konservatif & Operatif )
Cara Konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan terjadinya
pertumbuhan tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena adanya infeksi atau diperkirakan
dapat terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah dengan gips dan traksi.
Cara operatif / pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin
adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka.
Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan
fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi
dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-
fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan
paku.
B. Konsep Dasar Gips
10
1. Definisi
Gips adalah imobilisasi eksternal yang kaku yang dicetak sesuai kontur tubuh
tempat gips dipasang (brunner dan suddart, 2000).
Gips merupakan suatu bahan kimia yang pada saat ini tersedia dalam lembaran
dengan komposisi kimia (CaSO4)2 H2O + 3 H2O = 2 (SaSO42H2O) dan bersifat anhidrasi
yang dapat mengikat air sehingga membuat kalsium sulfat hidrat menjadi solid/keras.
Jadi gips adalah alat immobilisasi eksternal yang terbuat dari bahan mineral yang
terdapat di alam dengan formula khusus dengan tipe plester atau fiberglass. Yang bahan
bahannya yakni plester atau non plester.
2. Indikasi pemasangan gips
Indikasi pemasangan gips adalah pasien dislokasi sendi, fraktur, pasca operasi,
skoliosis, spondilitis TB.
3. Jenis-jenis gips
a. Gips lengan pendek
gips ini dipasang memanjang dari bawah siku sampai lipatan telapak tangan, dan
melingkar erat didasar ibu jari.
b. Gips lengan panjang
gips ini dipasang memanjang dari setinggi lipat ketiak sampai disebelah prioksimal
lipatan telapak tangan. Siku buasanya dimobilisasi dalam posisi tegak lurus.
c. Gips tungkai pendek : gips ini dipasang memanjang dari bawah lutut sampai dasar jari
kaki. Kaki dalam sudut tegak lurus dalam posisi netral.
11
d. Gips tungkai panjang : gips ini memanjang dari perbatasan sepertiga atas dan tengah
paha sampai dasar jari kaki. Lutut harus sedikit fleksi.
e. Gips berjalan : gips tungkai panjang atau pendek yang dibuat lebih kuat dan dapat
disertai telapak untuk berjalan.
f. Gips tubuh : gips ini melingkar dibatang tubuh.
g. Gips spika bahu : jaket tubuh yang melingkari batang tubuh, dan satu ekstermitas bawah
(gips spika tunggal atau ganda).
h. Gips spika : gips ini melibatkan sebagian batang tubuh dan satu atau dua ekstermitas
(gips spika tunggal atau ganda).
12
i. Gips spika pinggul : gips ini melingkari batang tubuh dan satu ekstremitas bawah (gips
spika tunggal atau ganda).
4. hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips
a) Gips akan siap/kering : 3-5 detik (bergantung suhu air dan tebal gips)
b) Gips menjadi kuat : 36-72 jam (cara mengetahui : gips diketuk-ketuk)
c) Tanggal pemasangan, gambar/sketsa fraktur, window
d) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
e) Gips patah tidak bisa digunakan
f) Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
g) Jangan merusak / menekan gips
h) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
i) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
5. Bahan – bahan gips
a. Plester
Gips pembalut dapat mengikuti kontur tubuh secara halus. Gulungan krinolin,
diimpregnasi dengan serbuk kalsium sulfat an hidrus (Kristal gypsum). Jika basah terjadi
reaksi kristalisasi dan mengeluarkan panas (reaksi eksodermis). Kristalisasi
menghasilkan pembalutan yang kaku. Kekuatan penuh baru tercapai setelah kering,
memerlukan waktu 24 – 72 jam untuk mengering. Gips yang kering berwarna putih
mengkilap, berdenting, tidak berbau, dan kaku sedangkan gips yang basah berwarna abu
– abu atau kusam, perkusinya pekak, teraba lembab, dan berbau lembap.
b. Non plester
Secara umum berarti gips fiber glass, bahan poliuretan yang diaktivasi air ini
mempunyai sufat yang sama dengan gips dan mempunyai kelebihan karena lebih ringan
13
dan lebih kuat, tahan air dan tidak mudah pecah. Dibuat dari bahan rajutan terbuka, tidak
menyerap,diimpregnasi dengan bahan pengeras yang dapat mencapai kekuatan kaku
penuhnya dalam beberapa menit.
Non plester berpori-pori Sehingga masalah kulit dapat dihindari. Gips ini tidak
menjadi lunak jika terkena air, sehingga memungkinkan hidroterapi. Jika basah dapat
dikeringkan dengan pengering rambut yang disetel dingin. Pengeringan secara merata
sangat penting agar tidak melukai kulit.
6. Tujuan pemasangan gips
a. Imobilisasi bagian tubuh dalam posisi tertentu dan memberikan tekanan yang merata
pada jaringan lunak yang terletak di dalamnya.
b. Mengimobilisasi fraktur yang telah direduksi
c. Mengoreksi deformitas
d. Memberikan tekanan merata pada jaringan lunak dibawahnya
e. Memberi dukungan dan stabilitas bagi sendi yang mengalami kelemahan.
7. Bentuk-bentuk Pemasangan gips
Beberapa bentuk pemasangan gips yang dapat dilakukan adalah :
a. Bentuk lembaran sehingga gips menutup separuh atau dua pertiga lingkaran permukaan
anggota gerak.
b. Gips lembaran yang dipasang pada kedua sisi antero-posterior anggota gerak sehingga
merupakan gips yang hampir melingkar.
c. Gip sirkuler yang dipasang lengkap meliputi seluruh anggota gerak.
d. Gips yang ditopang dengan besi atau karet dan dapat dipakai untuk menumpu atau
berjalan pada patah tulang anggota gerak bawah
8. pemasangan gips
alat – alat ;
a. Bahan gips dengan ukuran sesuai ekstremitas tubuh yang akan di gips
14
b. Baskom berisi air biasa ( untuk merendam gips)
c. Baskom berisi air hangat
d. Gunting perban
e. Bengkok
f. Perlak dan alasnya
g. Waslap
h. Kasa dalam tempatnya
i. Alat cukur
j. Sabun dalam tempatnya
k. Handuk
l. Krim kulit
m. Spons rubs
n. Padding (bantalan)
9. Teknik pemasangan gips
a. Siapkan pasien dan jelaskan prosedur yang akan dikerjakan
b. Siapkan alat –alat yang akan digunakan untuk pemasangan gips.
c. Daerah yang akan dipasang gips dicukur, dibersihkan, dan dicuci dengan sabun,
kemudian dikeringkan dengan handuk dan diberi krim kulit.
d. Sokong ekstremiras atau bagian tubuh yang akan digips.
e. Posisikan dan pertahankan bagian yang akan di gips dalam posisi yang ditentukan dokter
selama prosedur.
f. Pasang spongs rubbs (bahan yang menyerap keringat) pada bagian tubuh yang akan
dipasang gips, pasang dengan cara yang halus dan tidak mengikat. Tambahkan bantalan
(padding) di daerah tonjolan tulang dan pada jalur syaraf.
g. Masukkan gips dalam baskom berisi air, rendam beberapa saat
sampai gelembung – gelembung udara dari gips harus keluar.
Selanjutnya, diperas untuk mengurangi jumlah air dalam gips.
h. Pasang gips
secara merata
pada bagian
15
tubuh. Pembalutan gips secara melingkar mulai dari distal ke proksimal tidak terlalu
kendur atau terlalu ketat. Pada waktu membalut, lakukan dengan gerakan
bersinambungan agar terjaga ketumpah tindihan lapisan gips. Dianjurkan dalam jarak
yang tetap. Lakukan dengan gerakan yang bersinambungan agar terjaga kontak yang
constant dengan bagain tubuh.
i. Setelah selesai pemasangan, haluskan tepinya, potong serta bentuk dengan pemotongan
gips atau cutter.
j. Bersihkan partikel bagian gips dari kulit yang terpasang.
k. Sokong gips selama pengerasan dan pengeringan dengan telapak tangan. Jangan
diletakkan pada permukaan keras atau pada tepi yang tajam dan hindari tekanan pada
gips.
10. Pelepasan gips
Alat yang diperlukan untuk pelepasan gips :
a. Gergaji listrik/pemotongan gips.
b. Gergaji kecil manual.
c. Gunting besar.
d. Baskom berisi air hangat.
e. Gunting perban.
16
f. Bengkok dan plastic untuk tempat gips
g. Sabun dalam tempatnya
h. Handuk
i. Perlak dan alasnya
j. Waslap.
k. Krim atau minyak.
11. Teknik pelepasan gips
a. Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dilakukan.
b. Yakinkan pasien bahwa gergaji listrik atau pemotongan gips tidak akan mengenai kulit.
c. Gips akan dibelah dengan menggunakan gergaji listrik.
d. Gunakan pelindung mata pada pasien dan petugas pemotong gips.
e. Potong bantalan gips dengan gumting.
f. Sokong bagian tubuh ketika gips dilepas.
g. Cuci dan keringkan bagian yang habis di gips dengan lembut, oleskan krim atau
minyak.
h. Ajarkan pasien secara bertahap melakukan aktivitas tubuh sesuai program terapi.
i. Ajarkan pasien agar meninggkan ekstremitas atau menggunakan elastis perban jika
perlu untuk mengontrol pembengkakan.
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera fraktur itu
sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b. Sirkulasi
- Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respons terhadap nyeri/ansietas) atau
hipotensi (kehilangan darah)
17
- Takikardia (Respon stress, hipovolemia)
- Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
Gejala :
- Hilang gerakan/sensasi, spasme otot
- Kebas/kesemutan (parestesis)
Tanda :
- Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit),
spasme otot, terlihat kelemahan/hilang fungsi.
- Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain).
d. Nyeri/Kenyamanan
- Nyeri berat tiba-tiba pada saat ceder (mungkin terlokasasi pada area jaringan/kerusakan
tulang: dapat berkurang pada imobilisasi) tak ada nyeri akibat kerusakan saraf.
- Spasme/kram otot (setelah imobilisasi).
e. Keamanan
- Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna.
- Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
2. Diagnosa
a. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d terputusnya kontinuitas jaringan.
b. Keterbatasan mobilitas fisik atau aktivitas b.d imobilisasi.
c. Resiko terjadinya gangguan integritas kulit: dekubitus b.d tirah baring lama.
d. Resiko terjadinya konstipasi b.d imobilisasi.
3. Intervensia. Dx I
1) Kaji TTV
R/ mengetahui keadaan umum klien terutama yang mendukung diagnosa.
2) Kaji keluhan nyeri/ketidaknyamanan: lokasi, karakteristik, intensitas, skala
R/ Mempengaruhi pilihan/pengawasan keefektifan intervensi, tingkat ansietas dapat
mempengaruhi persepsi/reaksi terhadap nyeri.
3) Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif
18
R/ mempertahankan kekuatan dan mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resdusi
inflamasi pada jaringan yang cidera.
4) Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, perubahan posisi.
R/ meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan kekakuan otot.
5) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, visualisasi, imajinasi, distraksi, retraksi
R/ mengalihkan stimulus nyeri
6) Kolaborasi dengan dokter mengenai pemberian analgesik
R/ membantu mengurangi nyeri.
b. Dx II
1) Kaji tingkat immobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatian persepsi
pasien terhadap imobilitas
R/ klien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/persepsi diri tentang keterbatasan fisik
aktual, memerlukan informasi/intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
2) Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk dan nafas dalam
R/ mencegah atau menurunkan insiden komplikasi kulit atau pernafasan.
3) Berikan atau bantu dalam mobilisasi diri
R/ mobilisasi diri menurunkan komplikasi tirah baring dan meningkatkan
penyembuhan.
4) Bantu atau dorong perawatan diri serta kebersihan, contoh: mandi
R/ meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol klien dalam situasi
dan meningkatkan kesehatan diri langsung.
5) Kolaborasi dengan dokter engenai program defekasi, ahli terapi fisik dan spesialis
psikiatri klinik. R/ membantu mempercepat penyembuhan dan penerimaan diri.
c. Dx III
1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna
kelabu, memutih.
R/ memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang memungkinkan
disebabkan oleh alat dan pembentukan edema yang membutuhkan intervensi lebih
lanjut.
19
2) Massa kulit dan penonjolan tulang pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerukan.
Tempat bantalan air/bantalan lain di bawah siku/tumit sesuai indikasi.
R/ menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko abrasi/kerusakan kulit.
3) Ubah posisi dengan sering
R/ mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimalkan resiko
kerusakan kulit.
d. Dx IV
1) Latihan klien untuk melakukan pergerakan yang melibatkan daerah abdomen seperti
miring kanan dan kiri.
R/ mempertahankan pergerakan usus
2) Auskultasi bising usus
R/ mengetahui adanya bising usus yang aktif
3) Berikan cairan yang adekuat
R/ mempertahankan kebutuhan cairan
4) Berikan makanan tinggi serat
R/ memperlancar proses buang air besar
4. evaluasi
a. Menunjukan tindakan santai/tidak menangis
b. Menunjuk teknik yang mampu melakukan aktivitas
c. Menyatakan ketidaknyamanan hilang
d. Tidak menunjukan adanya konstipasi
e. Tidak menunjukkan adanya komplikasi.
C. Konsep Dasar Traksi
1. Definisi
Traksi adalah penggunaan kekuatan penarikan
pada bagian tubuh. Ini dapat dicapai dengan memberi
beban yang cukup untuk mengatasi penarikan otot.
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan
20
beban dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa
sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
2. Jenis – jenis traksi
a. Traksi lurus atau langsung : traksi ini memberi gaya tarikan dalam satu garis lurus
dengan bagian tubuh berbaring ditempat tidur. Contohnya traksi ekstansi buck dan traksi
pelvis.
b. Traksi suspensi seimbang. Traksi ini memberi dukugan pada ekstermitas yang sakit
diatas tempat tidur, sehungga memungkinkan mobilisasi pasien sampai batas tertentu
tanpa terputusnya gaya tarikan.
3. Tujuan pemasangan traksi
a. untuk meminimalkan spasme otot.
b. untuk mempertahankan kesejajaran tubuh.
c. untuk mengimobilisasi fraktur.
d. untuk mengurangi deformitas.
e. untuk mempercepat penyembuhan.
4. pemasangan traksi khusus
a. Traksi kulit adalah traksi yang dapat dilakukan pada kulit. Berat beban yang dipasang
tidak boleh lebih dari 2-3 kg tetapi pada traksi pelvis umumnya 4,5 – 9 kg bergantung
pada berat badan pasien .
traksi kulit antara lain :
1) Traksi ekstensi buck ( unilateral dan bilateral )
adalah bentuk traksi kulit yang tarikan diberikan pada satu bidang jika hanya
imobilisasi parsial atau temporer yang diinginkan.
Sebelum di pasang traksi, kulit diinspeksi adanya abrasi dan gangguan
peredaran darah. Kulit dan peredaran darah harus dalam keadaan sehat agar dapat
menoleransi traksi. Kulit harus bersih dan kering sebelum boot spoon atau pita traksi
dipasang.
21
Untuk memasang traksi buck dengan pita, dipasang dulu spon karet.
Bantalan strap dengan permukaan spon menghadap kekulit pada kedua sisi tungkai
yang sakit. Satu lengkungan pita sepanjang 10 – 15 cm disisakan dibawah telapak
kaki. Spreader harus dipasang di ujung distal pita untuk mencegah terjadinya
tekanan sepanjang sisi kaki. Kedua maleolus dan fibula priksimal dilindungi dengan
bantalan gips untuk mencegah terbentuknya ulkus akibat tekanan dan nekrosis
tulang. Sementara salah satu orang meninggikan dan menyangga ekstermitas di
bawah tumit dan lutut pasien. Orang lain melilitkan balutan elastis dengan arah
spiral di atas pita traksi, dimulai dari pergelangan kaki dan berakhir di tuberoses
tibia.
Balutan elastis dapat membantu pita melekat kekulit dan mencegah meleset.
Bantalan kulit domba dapat diletakkan dibawah tungkai untuk mengurangi gesekan
tumit terhadap tempat tidur. Luka yang dipasang traksi buck dengan boot spon, tumit
pasien harus diletakkan tepat di tumit boot.strip Velcro dipasang melingkar di
tungkai dan tekanan yang berlebihan diatas maleolus dan fibula proksimal dapat
dihindari. Pemberat dihubungkan ke tali melalui spreader atau lapisan telapak kaki
dan dilanjutkan melalui sebuah katrol yang di pasang di ujung tempat tidur.
Pemberat digantung pada tali itu.
2) Traksi russel
Traksi russel dapat digunakan untuk
fraktur pada plot tibia, menyokonh lutut yang
fleksi pada penggantung dan memberi gaya
tarikan horizontal melalui pita trkasi dan
balutan elastis ke tungkai bawah. Jika perlu,
tungkai dapat disangga dengan banyal agar
lutut benar –benar fleksi dan menghindari
tekanan pada tumit.
22
3) Traksi Dunlop
adalah traksi pada ekstermitas atas. Traksi horizontal diberikan pada humerus
dalam posisi abduksi dan traksi vertical diberikan pada lengan bawah dalam posisi
fleksi.
b. Traksi skelet adalah traksi yang dilakukan
langsung pada skelet/tulang tubuh. Traksi
dipasang langsung ketulang menggunakan pin
logam atau kawat.yang dimasukkan kedalam
tulang disebelah distal garis fraktur,
menghindari saraf dan pembuluh darah, otot,
serta tendon dan sendi . tong yang dipasang di
kepala di fiksasi di kepala untuk memberi traksi
yang mengimobilisasi fraktur leher.
5. Prinsip pemasangan traksia. Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik
b. Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar reduksi
dapat dipertahankan
c. Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
d. Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
e. Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
f. Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian fungsi system tubuh perlu dilakukan terus menerus karena imobilisasi
dapat menyebabkan terjadinya masalah pada kulit, respirasi, gastrointerstinal, perkemihan dan
kardiovaskuler. Masalah tersebut dapat berupa ulkus akibat tekanan, kongesti,kehilangan nafsu
makan, statis kemih dan infeksi saluran kemih. Pengkajian dilakukan pada bagian tubuh yang
23
traksi meliputi status nenro vascular yang di evaluasi dan bandingkan dengan ekstermitas yang
sehat. Selain itu kaji adanya nyeri tekan betus, hangat, kemerahan, pembengkakan , atau tanda
homan pasif. Selain itu, Pengkajian psikologis perlu dilakukan karena pasien takut melihat
peralatannya.
2. Diagnosa
a. resiko perubahan integritas kulit yang berhubungan dengan pemasangan traksi.
b. Resiko infeksi yang berhubungan dengan pemasangan pin pada tulang melelalui permukaan
kulit.
c. Nyeri berhubungan dengan traksi dan imobilisasi.
d. Resiko gangguan pola eleminasi pole defekasi, yaitu konstipasi
3. Intervensi
a. Resiko perubahan integritas kulit yang berhubungan dengan pemasangan traksi.
Tujuan : sirkulasi tetap utuh
Intervensi :
1) monitor status neurovaskuler setiap 2 jam selama 24 jam pertama, kemudian setiap 4 jam
inspeksi kemerahan pada bagian yang tertekan setiap 8 jam untuk deteksi dini
kemungkinan terjadinya kerusakan jaringan.
2) pertahankan tali bebas dan hambatan. Jika pasien mengeluh kedinginan, pergunakan kain
untuk menutup bagian tubuh yang dilakukan traksi.
3) hubungi teknisi ortopedik untuk menambahkan bantalan jika ada tanda iritasi kulit.
Longgarkan balutan elastis pada traksi jika pasien merasa ada rasa baal. Tindakan ini
mencegah kerusakan kulit dan kerusakan saraf.
b. Resiko infeksi yang berhubungan dengan pemasangan pin pada tulang melalui permukaan
kulit.
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Intervensi :
1) pantau suhu setiap 4 jam, hasil pemeriksaan laboratorium, dan penampilan kulit sekitar
sisi pin setiap pergantian tugas perawat. Ini untuk deteksi gejala tanda infeksi.
24
2) laporkan kepada dokter jika anda tanda infeksi ( kemerahan , drainase, demam, nyeri
yang tak hilang dengan analgesia dan jumlah sel darah putih >10.000/mm3).
3) Kolaborasi dalam pemberian antibiotic sesuai program untuk untuk menghilang kan
infeksi.
c. Nyeri berhubungan dengan traksi dan imobilisasi
Tujuan : nyeri teratasi atau mencapai tingkat kenyamanan maksimal.
Intervensi :
1) tekanan pada bagian tubuh yang ditraksi dapat dihilangkan dengan mengubah posisi
pasien dan tetap mempertahankan posisi traksi.
2) kolaborasi dengan medis dalam pemberian anal getik untuk mengurangi nyeri.
d. Resiko gangguan pola eleminasi pole defekasi, yaitu konstipasi
Tujuan : tidak terjadi gangguan pola eliminasi
Intervensi :
1) anjurkan diet tinggi serat.
2) anjurkan minum 2500 – 3000 setiap 24 jam.
3) kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian pelunak feses, laksatif, supositoria dan
huknah.
4. Evaluasi
a. Tidak terjadi komplikasi
b. Nyeri berkurang
c. Pola defekasi menjadi efektif
d. Klien dapat mengatasi gangguan mobilitas
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
25
Pemasangan gips dan traksi merupakan cara konservatif pada penatalaksanaan fraktur.
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan terjadinya pertumbuhan
tulang panjang. Selain itu, dilakukan karena adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.
Tindakan yang dilakukan adalah dengan gips dan traksi.
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani kerusakan
atau gangguan pada tulang dan otot. Dengan tujuan untuk menangani fraktur, dislokasim atau
spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan.
Sedangkan gips merupakan salah satu pengobatan konservatif pilihan (terutama pada fraktur) dan
dapat digunakan di daerah terpencil dengan hasil yang cukup baik bila cara pemasangan,
indikasi, kontraindikasi serta perawatan setelah pemasangan diketahui dengan baik.
B. Saran
Dalam pemasangan gips dan traksi, perawat harus dapat memperhatikan prinsip
pemasangannya. Selain itu, perawat harus menginformasikan kepada klien terlebih dahulu
mengenai maksud, tujuan, serta komplikasi yang akan terjadi pada klien atas pemasangan gips
dan traksi ini. Perawat juga harus mampu melakukan intervensi sebaik mungkin dan mengajak
klien untuk ikut berpartisipasi dalam program pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart. 2004. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges, Marlynn C. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
26
Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 6.
Jakarta : EGC
27