Post on 24-Mar-2019
�
KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN DAN KINERJA SEKTORAL: KASUS SEKTOR PERTANIAN
INDONESIA 1990-2006
OLEH GIGA NUR PRATIGINA
H14051093
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
�
RINGKASAN
GIGA NUR PRATIGINA. Keterkaitan Antara Alokasi Anggaran dan Kinerja Sektoral: Kasus Sektor Pertanian Indonesia 1990-2006 (dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO).
Kebijakan fiskal dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat melalui pembangunan di berbagai sektor. Dalam penelitian ini sektor yang menjadi fokus utama adalah sektor pertanian. Sektor pertanian penting untuk diteliti karena keberadaannya dalam perekonomian nasional sangat penting. Selain karena sektor ini mampu menyerap tenaga kerja yang besar dibandingkan sektor-sektor lainnya, sektor pertanian yang tangguh diperlukan untuk menjamin keberhasilan industrialisasi. Meskipun demikian, selama tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, ternyata kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) semakin menurun dan menjadi lebih rendah dibandingkan kontribusi sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Tidak hanya kontribusinya terhadap PDB, produktivitas sektor pertanian pun berada di bawah produktivitas sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menemukan faktor yang mempengaruhi produktivitas sektor pertanian sehingga cara penanggulangan yang tepat dapat dilakukan. Kebijakan fiskal, dalam bentuk belanja negara, diduga memiliki pengaruh terhadap produktivitas sektor pertanian ini.
Dari beberapa perumusan masalah yang telah disebutkan, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan belanja negara untuk sektor pertanian, PDB sektor pertanian, tenaga kerja sektor pertanian, produktivitas sektor pertanian serta menganalisis hubungan antara belanja negara untuk sektor pertanian dengan produktivitas sektor pertanian di Indonesia selama tahun 1990 sampai dengan tahun 2006.
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, ternyata selama tahun 1990 sampai dengan tahun 2006 belanja negara untuk sektor pertanian, yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, secara umum meningkat. Nilai dari Produk Domestik Bruto, tenaga kerja dalam bentuk angkatan kerja di sektor pertanian, serta produktivitas sektor pertanian juga terus meningkat. Namun, nilai PDB dan produktivitas ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai PDB dan produktivitas sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Selain itu, dengan menggunakan metode Weighted Least Square (WLS), terbukti bahwa dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, belanja negara, berupa pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas sektor pertanian. Dari kedua jenis pengeluaran ini, pengeluaran pembangunan memberikan dampak yang lebih besar terhadap produktivitas sektor pertanian daripada pengeluaran rutinnya.
�
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian awal yang dilakukan oleh Bank Dunia (2009) dan kajian empiris yang dilakukan oleh Moreno-Dodson (2008). Pada penelitian awal Bank Dunia, diketahui bahwa pada level makro, pengeluaran pemerintah sampai tahap tertentu akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan total pengeluaran pemerintah di sektor pertanian memiliki efek positif yang signifikan, baik secara ekonomis maupun secara statistik, terhadap tingkat pertumbuhan PDB per kapita sektor pertanian. Sedangkan pada kajian empiris yang dilakukan oleh Moreno-Dodson terhadap tujuh negara dengan pertumbuhan yang cepat, termasuk Indonesia, diketahui bahwa terdapat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan PDB per kapita.
�
KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN DAN KINERJA SEKTORAL:
KASUS SEKTOR PERTANIAN INDONESIA 1990-2006
OLEH GIGA NUR PRATIGINA
H14051093
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
�
Judul Skripsi : Keterkaitan Antara Alokasi Anggaran dan Kinerja
Sektoral: Kasus Sektor Pertanian Indonesia 1990-2006
Nama : Giga Nur Pratigina
NIM : H14051093
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
D. S. Priyarsono, Ph. D.
NIP. 19610501 198601 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph. D.
19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan:
�
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2009
Giga Nur Pratigina H14051093
�
RIWAYAT HIDUP
Penulis, yang bernama Giga Nur Pratigina, lahir pada tanggal 9 April 1987
di Bandar Lampung, yang merupakan ibukota provinsi Lampung. Penulis adalah
anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ir. Muhammad Syamsoel Hadi,
M.Sc. dan Dra. Nanik Susilowati. Penulis memperoleh pendidikan sekolah dasar
di tiga sekolah, yaitu SD Kartika II-5 Bandar Lampung (1993-1995, kemudian
1997-1999), Sequoyah Elementary School (1995) di Knoxville, Tennessee (AS),
dan Pond Gap Elementary School (1995-1997) di Knoxville, Tennessee (AS).
Pada tahun 1997 penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 2 Bandar Lampung dan
pada tahun 2002 penulis diterima di SMAN 2 Bandar Lampung serta lulus pada
tahun 2005.
Pada tahun 2005, penulis diterima di universitas tempat ayahnya pernah
menimba ilmu sebelumnya, yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima
di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun keduanya
di IPB, penulis diterima sebagai mahasiswi di Departemen Ilmu Ekonomi di
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, yang merupakan pilihan pertamanya. Selama
menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi debat Bahasa Inggris, IPB
Debating Community (IDC), dan pernah menjabat sebagai wakil ketua (2006-
2007) dan ketua (2007-2008) pada organisasi tersebut. Selain itu, penulis juga
merupakan anggota dari World Bank Youth Group dan aktif mengikuti serta
memenangkan berbagai lomba debat Bahasa Inggris, seperti Java Overland
Varsities English Debating (JOVED), Indonesian Varsities English Debating
(IVED), National University English Debating Championship (NUEDC), dan
Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS). Pada tahun 2008, penulis memperoleh
kehormatan untuk dapat mewakili Departemen Ilmu Ekonomi dalam ajang
Mahasiswa Berprestasi untuk tingkat fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, dan memperoleh peringkat kedua.
�
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi ini selesai. Judul skripsi ini adalah
“Keterkaitan Antara Alokasi Anggaran dan Kinerja Sektoral: Kasus Sektor
Pertanian Indonesia 1990-2006”. Sektor pertanian merupakan topik yang
menarik untuk dibahas karena memiliki peranan yang sangat penting dalam
perekonomian Indonesia. Karena alasan inilah penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang sektor ini. Selain itu, skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Sebagai salah satu wujud rasa syukur kehadirat Allah SWT, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:
1. My loving Mom and Dad yang senantiasa memberikan kasih sayang,
perhatian, doa, dan dukungan, my little brother, Gena yang selalu
memberikan semangat dan perhatian, serta keluarga besar di Bondowoso,
Rembang dan Bandar Lampung yang ikut memberikan semangat dan
doanya kepada penulis.
2. Bapak D. S. Priyarsono, Ph.D sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, ilmu, masukan, semangat, dan perhatian yang
sangat membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak M. Firdaus, Ph.D sebagai dosen penguji utama dalam ujian sidang
yang telah memberikan saran dan masukan yang bermanfaat dalam
menyempurnakan skripsi ini.
4. Bapak Jaenal Effendi, M.A. sebagai dosen penguji dari komisi pendidikan
yang telah memberikan koreksi dan masukan dalam menyempurnakan
skripsi ini.
�
5. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM-IPB yang telah banyak memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis
selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
6. Ibu Dra. Alfa Chasanah, M.A. yang telah memberikan motivasi, perhatian,
dan kasih sayangnya selama penulis bergabung dengan IDC dan mengikuti
berbagai event debat Bahasa Inggris.
7. Para sahabat IE 42 (Dian, Echa, Maria, dan Verow), yang telah memberikan
keceriaan, kebersamaan, dan motivasi kepada penulis. Teman-teman satu
bimbingan skripsi (Dhani, Inna, dan Ryan), yang telah berjuang bersama
dalam penyusunan skripsi ini bersama penulis. Teman-teman di kostan
Raihana (Mbak Ipik, Yuli, Nola, Zizah, Yeni, dan teman-teman lainnya),
yang sudah dianggap penulis sebagai keluarga kedua selama menjalankan
studi di IPB. Teman-teman IDC (terutama Rahmat, Daniel, dan Leo, yang
sudah dianggap penulis seperti adik sendiri), yang telah berbagi pengalaman,
kebersamaan, dan keceriaan bersama penulis. Last but not least, my BFFs
since high school (Asri, Cius, Choppey, Ganis, Hardy, dan Burbur), yang
walaupun jarang bertemu tetap memberikan dukungannya hingga akhir.
Serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
8. Semua pihak yang telah membantu dan memperlancar penyusunan skripsi
ini.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca. Penulis
menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
akan sangat berterimakasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, September 2009
Giga Nur Pratigina H14051093
�
DAFTAR ISI
Nomor Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. iv
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................... 10
2.1. Tinjauan Teoritis ................................................................................. 10
2.1.1.Peran Strategis Kebijakan Fiskal ................................................. 10
2.1.2.Belanja Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ......................................................................... 12
2.1.3.Konsep Pendapatan Nasional ...................................................... 18
2.1.4.Pertanian dan Produktivitas ......................................................... 23
2.1.5.Konsep dan Definisi Ketenagakerjaan ........................................ 24
2.1.6.Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Pertanian .......... 25
2.1.7.Transformasi Pertanian ............................................................... 29
2.1.8.Pembangunan Sektor Pertanian .................................................. 31
2.2. Tinjauan Empiris ................................................................................. 33
2.2.1.Penciptaan Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan ........... 33
2.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 35
2.4. Hipotesis ............................................................................................. 36
�
III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 37
3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 37
3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 38
3.2.1. Analisis Deskriptif ................................................................. 38
3.2.2. Analisis Regresi .................................................................... 38
3.2.3. Pengujian terhadap Model Regresi ........................................ 42
3.2.4. Pemilihan Model Terbaik ...................................................... 45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 46
4.1. Analisis Belanja Negara untuk Sektor Pertanian .............................. 46
4.1.1. Pengeluaran Rutin ................................................................. 46
4.1.2. Pengeluaran Pembangunan ................................................... 50
4.2. Analisis Produk Domestik Bruto, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Sektor Pertanian .............................................................................. 54
4.2.1. Analisis Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian ................. 54
4.2.2. Analisis Tenaga Kerja Sektor Pertanian ................................ 68
4.2.3. Analisis Produktivitas Sektor Pertanian ................................. 70
4.3. Analisis Hubungan antara Belanja Negara untuk Sektor Pertanian terhadap Produktivitas Sektor Pertanian di Indonesia ...................... 72
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 82
5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 82
5.2. Saran ............................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 84
LAMPIRAN ................................................................................................... 91
�
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Persentase Pengeluaran Pemerintah pada PDB dan Komposisi Pengeluaran Pemerintah pada Tujuh Negara dengan Pertumbuhan yang Cepat ...................................................................................................... 7
2. Belanja Negara untuk Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 ....................... 47
3. Hasil ANOVA ........................................................................................ 76
4. Hasil Weighted Least Square (WLS) ....................................................... 76
�
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 .................................... 2
2. Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Selama Tahun 1990-2006 ........... 3
3. Produktivitas Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Selama Tahun 1990-2006 ................................................................................................ 5
4. Kerangka Pemikiran ................................................................................ 36
5. Pengeluaran Rutin Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 ............................ 48
6. Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 ............... 51
7. Kontribusi Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 ...................... 55
8. Laju Pertumbuhan Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 ........ 56
9. Kontribusi Subsektor-Subsektor Pada Sektor Pertanian Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 .................................................... 57
10. Laju Pertumbuhan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Subsektor Perkebunan Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 ............ 60
11. Laju Pertumbuhan Subsektor Peternakan dan Hasil-Hasilnya, Subsektor Kehutanan, dan Subsektor Perikanan Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 .................................................................................... 61
12. Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 .................................. 69
13. Produktivitas Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 ............................................................... 71
14. Hasil Uji Linieritas .................................................................................. 72
15. Hasil Uji Kenormalan ............................................................................. 73
16. Hasil Uji Homoskedastisitas .................................................................... 74
17. Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................. 75
�
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perubahan Perincian Belanja Negara untuk Sektor Pertanian Tahun 1990-2006 ............................................................................................... 92
2. Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 1983 ....... 93
3. Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 1993 ....... 94
4. Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 2000 ....... 95
5. Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 ................................... 96
6. Rumus-Rumus Pelengkap ....................................................................... 97
�
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada dasarnya, kebijakan-kebijakan yang selama ini dilakukan oleh
pemerintah dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Salah satu
tujuan pembangunan adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Salah satu
kebijakan yang dapat digunakan oleh pemerintah adalah kebijakan fiskal. Belanja
negara yang merupakan salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal dapat
digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat melalui pembangunan di berbagai
sektor. Dalam penelitian ini sektor yang menjadi fokus utama adalah sektor
pertanian.
Salah satu alasan sektor pertanian penting untuk diteliti adalah karena
berdasarkan perhitungan data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS),
keberadaan sektor pertanian tetap mendominasi penyerapan tenaga kerja di
Indonesia, meskipun peranan kontribusinya terhadap PDB semakin menurun jika
dibandingkan dengan sektor industri dan sektor perdagangan (Gambar 1.1. dan
Gambar 1.2.). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa sebagai negara agraris,
sebagian besar penduduk di Indonesia bergantung pada sektor pertanian sebagai
mata pencaharian utamanya.
�
Sumber: BPS, 1990-2006
Gambar 1.1. Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar
terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Sampai dengan tahun 1989, sektor pertanian merupakan andalan Indonesia
dalam penciptaan PDB. Namun, sejak tahun 1990, peran sektor pertanian mulai
tergeser oleh sektor industri dan perannya terus mengalami penurunan, walaupun
secara absolut besaran nilai tambah sektor pertanian meningkat. Meskipun
demikian, sektor pertanian tetap menjadi tumpuan dan harapan dalam penyerapan
tenaga kerja.
Sejak tahun 1994, sektor pertanian tidak lagi berperan sebagai sektor
penunjang utama dalam PDB. Namun, sektor ini tetap memegang peranan yang
penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu berkaitan dengan keberhasilan
industrialisasi yang menuntut dukungan sektor pertanian yang tangguh (BPS,
1996). Hal ini mendukung pendapat Rahardjo (1986) yang menyatakan bahwa
keberhasilan industrialisasi sebenarnya tergantung pada pembangunan pertanian.
0
10
20
30
40
50
60
Ang
kata
n K
erja
(%)
Tahun
Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan PerikananSektor Industri Pengolahan
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
�
Sumber: BPS, 1990-2006�
Gambar 1.2. Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB Berdasarkan
Harga Konstan 2000 Selama Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Selama ini tujuan pembangunan pertanian adalah untuk secara terus-menerus
meningkatkan produksi pertanian, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,
penyediaan bahan baku bagi industri dalam negeri, maupun untuk menambah
devisa negara. Selain itu, pembangunan pertanian juga ditujukan untuk
memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan petani, pekebun,
nelayan, dan peternak, mendorong pemerataan pendapatan dan kesempatan
berusaha, serta memperhatikan kelestarian sumber daya.
Untuk mengarahkan pembangunan pertanian, konsep pertanian yang tangguh
telah disepakati. Sektor pertanian dikatakan tangguh jika memiliki empat ciri
sebagai berikut:
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
Kon
trib
usi t
erha
dap
PDB
(%)
Tahun
Pertanian, Peternakan,Kehutanan dan Perikanan
Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
�
(1) Pertanian harus memanfaatkan segala sumber daya alam secara optimal untuk
kemakmuran seluruh rakyat.
(2) Pertanian harus mampu mengatasi hambatan dan tantangan, seperti musim
kering yang panjang dan serangan hama.
(3) Pertanian harus dapat menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksinya
terhadap perubahan yang terjadi, baik berupa perubahan permintaan
masyarakat maupun perubahan teknologi.
(4) Pertanian harus mampu berperan positif terhadap pembangunan nasional,
seperti meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperluas lapangan
pekerjaan (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004).
Dalam kaitannya dengan masalah kemiskinan, sektor pertanian merupakan
salah satu sektor yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah
pedesaan melalui peningkatan pendapatan penduduk yang bekerja di sektor
pertanian.
Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin sampai bulan Juli 2007 adalah
37,17 juta (16,58 persen). Dari penduduk miskin tersebut, sekitar 63,4 persen
tinggal di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Oleh karena itu,
memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian menjadi sangat penting.
Selain itu, menurut beberapa hasil penelitian, pertumbuhan sektor pertanian
mencapai dua kali lebih efektif dalam menanggulangi kemiskinan jika
dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya (Departemen Pertanian, 2008).
�
1.2. Perumusan Masalah
Selama tahun 1990-2006, produktivitas sektor pertanian berada di bawah
produktivitas sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan
restoran (Gambar 1.3.). Padahal sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja
yang lebih besar dibandingkan kedua sektor tersebut. Oleh karena itu, penelitian
ini dilakukan untuk menemukan faktor yang mempengaruhi produktivitas sektor
pertanian sehingga cara penanggulangan yang tepat dapat dilakukan. Kebijakan
fiskal, dalam bentuk belanja negara, diduga memiliki pengaruh terhadap
produktivitas sektor pertanian.
Sumber: BPS, 1990-2006
Gambar 1.3. Produktivitas Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Terbesar terhadap PDB
Berdasarkan Harga Konstan 2000 Selama Tahun 1990-2006 (dalam Rupiah/kapita)
05000000
10000000150000002000000025000000300000003500000040000000
4500000050000000
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Prod
uktiv
itas (
Rp/
kapi
ta)
Tahun
Pertanian, Peternakan,Kehutanan dan Perikanan
Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
�
Dugaan ini didasarkan pada penelitian awal yang dilakukan oleh Bank
Dunia (2009), yang menyatakan bahwa pada level makro, pengeluaran pemerintah
sampai tahap tertentu akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Selain itu,
dalam penelitian ini diketahui pula bahwa total pengeluaran pemerintah di sektor
pertanian memiliki efek positif yang signifikan, baik secara ekonomis maupun
secara statistik, terhadap tingkat pertumbuhan PDB per kapita sektor pertanian.
Penemuan Bank Dunia ini selaras dengan kajian empiris yang telah dilakukan
Moreno-Dodson (2008) terhadap tujuh negara dengan pertumbuhan yang cepat,
termasuk Indonesia, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan PDB per kapita. Data persentase
pengeluaran pemerintah pada PDB dan komposisi pengeluaran pemerintah pada
tujuh negara yang diteliti oleh Moreno-Dodson dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Pengeluaran sosial dalam Tabel 1.1. terdiri dari pengeluaran untuk pendidikan,
kesehatan, jaminan sosial dan kesejahteraan, perumahan, dan pengeluaran-
pengeluaran yang berhubungan dengan rekreasi, budaya, dan keagamaan.
Sedangkan pengeluaran ekonomi terdiri dari pengeluaran untuk bahan bakar dan
energi, pertanian, kehutanan, perikanan, perburuan, pertambangan dan penggalian
sumber daya mineral, industri manufaktur, bangunan, transportasi dan komunikasi,
dan pelayanan-pelayanan ekonomi lainnya.
�
Tabel 1.1. Persentase Pengeluaran Pemerintah pada PDB dan Komposisi Pengeluaran
Pemerintah pada Tujuh Negara dengan Pertumbuhan yang Cepat
Negara Tahun
Pengeluaran pemerintah pada PDB
(%)
Komposisi Pengeluaran Pemerintah (%)
Sosial Ekonomi
Botswana
1970-1979 25.53 35.67 31.37 1980-1989 32.53 35.59 26.32 1990-1999 36.91 39.97 15.46 2000-2005 38.83 32.00 -
Indonesia
1970-1979 14.69 12.67 34.55 1980-1989 21.17 13.68 30.52 1990-1999 17.23 28.81 22.21 2000-2005 18.33 6.76 1.87
Republik Korea
1970-1979 15.48 24.54 21.04 1980-1989 15.91 29.08 16.10 1990-1999 16.39 33.63 21.97 2000-2005 20.71 35.01 24.96
Malaysia
1970-1979 18.96 34.74 15.65 1980-1989 30.58 31.49 25.39 1990-1999 24.23 - 20.43 2000-2005 26.99 - 18.36
Mauritius
1970-1979 30.16 47.68 15.98 1980-1989 26.81 43.36 14.96 1990-1999 23.59 48.97 14.43 2000-2005 24.36 52.34 12.32
Singapura
1970-1979 18.07 33.78 11.04 1980-1989 24.99 34.96 16.58 1990-1999 15.60 46.13 16.00 2000-2005 16.58 45.43 15.38
Thailand
1970-1979 12.39 32.15 23.25 1980-1989 18.39 30.41 22.24 1990-1999 17.61 36.12 30.92 2000-2005 16.33 43.09 26.27
Sumber: Moreno-Dodson, 2008 (-) menunjukkan data yang tidak tersedia
�
Dari Tabel 1.1. terlihat bahwa jika dibandingkan dengan negara-negara
lainnya, proporsi pengeluran pemerintah pada PDB di Indonesia termasuk rendah.
Dari pengeluaran pemerintah pada PDB ini, komposisi pengeluaran pemerintah
untuk pengeluaran ekonomi cenderung semakin menurun dan komposisi untuk
pengeluaran sosial justru semakin meningkat. Hal ini juga terjadi di Botswana.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perkembangan belanja negara untuk sektor pertanian di
Indonesia tahun 1990-2006?
2. Bagaimanakah perkembangan PDB, tenaga kerja, dan produktivitas sektor
pertanian di Indonesia tahun 1990-2006?
3. Bagaimanakah hubungan antara belanja negara untuk sektor pertanian dengan
produktivitas sektor pertanian di Indonesia tahun 1990-2006?
1.3. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah yang telah dibuat, maka penelitian ini akan
diarahkan untuk memenuhi beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Menganalisis perkembangan belanja negara untuk sektor pertanian di Indonesia
tahun 1990-2006.
2. Menganalisis perkembangan PDB, tenaga kerja, dan produktivitas sektor
pertanian di Indonesia tahun 1990-2006.
3. Menganalisis hubungan antara belanja negara untuk sektor pertanian dengan
produktivitas sektor pertanian di Indonesia tahun 1990-2006.
�
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dua kalangan
dalam masyarakat, yaitu:
1. Masyarakat Umum
Melalui penelitian ini, masyarakat dapat mengetahui perkembangan sektor
pertanian di Indonesia selama tahun 1990 sampai dengan 2006.
2. Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu panduan bagi pemerintah
dalam memberlakukan kebijakan pada sektor pertanian yang lebih baik dan
sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian yang terjadi.
�
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Peran Strategis Kebijakan Fiskal
Salah satu perangkat yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk
mencapai sasaran pembangunan adalah kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu alokasi anggaran untuk tujuan
pembangunan, distribusi pendapatan dan subsidi dalam upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat, serta stabilisasi ekonomi makro di dalam upaya
peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam kondisi perekonomian yang kurang baik, pengeluaran
Pemerintah yang bersifat autonomous, khususnya belanja barang dan jasa
serta belanja modal, dapat memberi stimulus kepada perekonomian untuk
tumbuh. Sebaliknya, dalam kondisi ekonomi yang baik akibat terlalu
tingginya permintaan agregat, kebijakan fiskal dapat berperan melalui
kebijakan yang kontraktif untuk menyeimbangkan kondisi permintaan dan
penyediaan sumber-sumber perekonomian. Oleh karena itu, kebijakan fiskal
memiliki fungsi strategis di dalam mempengaruhi perekonomian dan
mencapai sasaran pembangunan.
Dampak dari kebijakan fiskal pada perekonomian dapat dilihat dari
dampak APBN terhadap tiga besaran pokok, yaitu sektor riil (permintaan
agregat, sektor moneter, dan neraca pembayaran (cadangan devisa).
�
Seperti yang terjadi di negara-negara lain, saat ini kebijakan fiskal
masih sangat penting, tetapi perannya sebagai sumber pertumbuhan (source
of growth) cenderung berkurang apabila dibandingkan dengan peran sektor
swasta yang memang diharapkan akan semakin meningkat. Di masa ini dan
di masa depan, peran pemerintah akan lebih difokuskan sebagai regulator.
Peran lain yang juga amat penting dari kebijakan fiskal adalah peran
redistribusi dan alokasi anggaran pemerintah dalam upaya penanggulangan
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, kebijakan
fiskal dapat dipergunakan untuk mempengaruhi sektor-sektor ekonomi atau
kegiatan tertentu, untuk menyeimbangkan pertumbuhan pendapatan
antarsektor ekonomi, antardaerah, atau antargolongan pendapatan. Peran
kebijakan fiskal juga menjadi penting untuk menanggulangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial. Belanja
negara, yang termasuk alat dari kebijakan fiskal dan tercantum dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dapat digunakan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat melalui pembiayaan pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan di berbagai sektor ekonomi.
Di dalam peran strategis kebijakan fiskal, hal lain yang tak boleh
dilupakan adalah proses politik anggaran yang terdiri dari perencanaan,
implementasi, dan pertanggungjawaban kebijakan fiskal. Hal ini menjadi
penting karena Indonesia adalah negara yang sedang dalam transisi menuju
demokratisasi. Implikasinya adalah kebijakan fiskal direncanakan, ditetapkan
dan dilaksanakan melalui proses yang transparan dan prosedur yang relatif
�
panjang serta harus melibatkan peran dan persetujuan berbagai pihak. Ini
adalah konsekuensi logis dari peningkatan transparansi, demokratisasi dan
keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, kunci keberhasilan kebijakan fiskal akan sangat
terletak pada pemahaman bersama akan pentingnya perencanaan yang baik,
pelaksanaan yang efektif, dan pertanggungjawaban kebijakan fiskal yang
akuntabel dari seluruh aparat yang terkait dan masyarakat sebagai penerima
manfaat kebijakan fiskal (Departemen Keuangan, 2009).
2.1.2. Belanja Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rincian
rencana kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang dinyatakan dalam nilai
rupiah dan merupakan penjabaran dari GBHN dan Repelita. Penyusunan
anggaran dilakukan dengan cermat, dengan tetap mengacu pada Trilogi
Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju
terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional
yang sehat dan dinamis (Departemen Keuangan,1997).
Sejak awal Repelita I, APBN didasarkan pada prinsip anggaran
berimbang yang dinamis, dengan tetap mengutamakan sumber dana
pembangunan yang bersumber dari dalam negeri, sedangkan penerimaan
pembangunan hanya merupakan pelengkap. Pengutamaan sumber
�
pembiayaan pembangunan pada kemampuan dalam negeri ini mencerminkan
semakin meningkatnya kemandirian dalam pembangunan.
Dalam kerangka kebijakan umum ekonomi makro selama masa Orde
Baru, APBN yang merupakan alat kebijakan fiskal disusun dan dilaksanakan
secara serasi dan saling menunjang dengan alat-alat kebijaksan ekonomi
makro lainnya, yaitu kebijakan moneter dan neraca pembayaran.
Sampai tahun anggaran 2004, belanja negara dalam APBN terbagi
menjadi dua, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
(1) Pengeluaran Rutin
Pengeluaran rutin merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal
yang diarahkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan berbagai program
dan kegiatan pemerintahan yang bersifat rutin dan terus-menerus dan juga
merupakan kebijakan yang diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan
tabungan pemerintah. Dengan demikian, selain mempunyai peranan dan
fungsi yang cukup penting dalam menunjang kelangsungan dan kelancaran
jalannya roda pemerintahan, peningkatan jangkauan dan mutu pelayanan
kepada masyarakat, serta terpeliharanya berbagai aset negara, pengeluaran
rutin juga sangat berperan dalam menunjang terciptanya struktur pembiayaan
pembangunan yang lebih mengandalkan dukungan sumber pembiayaan dari
dalam negeri. Pengeluaran rutin juga memegang peranan yang cukup penting
dalam mendukung program pemerataan, melalui bantuan kepada daerah
otonom, dan dalam menjaga kredibilitas perekonomian nasional di dunia
internasional, melalui pemenuhan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan
�
hutang luar negeri secara tepat waktu dan jumlahnya sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati.
Secara fungsional, pengeluaran rutin dialokasikan ke dalam pembiayaan
aparatur pemerintah, pembiayaan operasional dan pemeliharaan, pembayaran
bunga dan cicilan hutang, serta pembiayaan subsidi bagi kebutuhan pokok
masyarakat yang strategis.
Subsidi sendiri merupakan instrumen fiskal yang langsung memberi
dampak pada kenaikan daya beli masyarakat. Bagi petani, subsidi diharapkan
akan mendorong peningkatan produktivitas pertanian (subsidi sarana produksi
seperti pupuk) dan peningkatan daya beli konsumen terhadap produksi
pertanian (seperti subsidi harga bahan pangan) sehingga akan berdampak
pada peningkatan produksi petani. Rata-rata pangsa subsidi pertanian sejak
tahun 1970-2005 terhadap total subsidi adalah sebesar 36,90 persen, sebesar
6,70 persen terhadap pengeluaran pembangunan, 3,16 persen terhadap
pengeluaran total, dan sebesar 0,68 persen terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) (Darsono, 2009).
Sebagai salah satu kebijakan pemerintah di bidang fiskal yang
diarahkan untuk mendukung pencapaian berbagai tujuan pembangunan,
pengalokasian pengeluaran rutin pada setiap jenis pengeluaran senantiasa
selaras dengan penerimaan dalam negeri, dengan tetap mengupayakan
peningkatan efisiensi, efektivitas dan peningkatan mutu pelayanan kepada
masyarakat.
�
(2) Pengeluaran Pembangunan
Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang
berkaitan dengan kegiatan investasi yang dilaksanakan oleh sektor
pemerintah untuk mencapai sasaran program-program pembangunan.
Kebijakan pengeluaran pembangunan diarahkan pada upaya pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang didukung oleh
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat
dan dinamis. Dengan demikian, pengeluaran pembangunan mempunyai tiga
fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Hal ini berarti bahwa melalui pengeluaran pembangunan dilakukan alokasi
sumber daya dan dana yang berhasil dihimpun, baik dari tabungan pemerintah
maupun bantuan luar negeri, untuk membiayai berbagai kegiatan investasi,
untuk mengusahakan terwujudnya distribusi pendapatan yang lebih baik dan
stabilisasi perekonomian nasional yang makin mantap.
Dalam rangka pelaksanaan ketiga fungsi tersebut, pengeluaran
pembangunan dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan
yang tercakup dalam berbagai program pembangunan yang direncanakan
untuk dilaksanakan di masing-masing sektor dan subsektor. Di samping itu,
dengan adanya keterbatasan dana pembangunan dibandingkan dengan
kebutuhan investasi, maka alokasi anggaran pembangunan diprioritaskan
pemanfaatannya bagi proyek-proyek yang produktif, yaitu proyek-proyek
yang menghasilkan nilai produksi yang lebih besar daripada nilai investasinya.
�
Dalam rangka pelaksanaan fungsi alokasi tersebut, sejak awal Repelita I
hingga tahun ke tiga Repelita VI, Pemerintah secara konsisten telah
menerapkan kebijakan alokasi dana pembangunan yang didasarkan atas
rencana proyek sektoral dan regional, yang mengacu kepada rencana dan
prioritas yang telah ditetapkan dalam Repelita. Pemilihan proyek-proyek
pembangunan yang dituangkan dalam Daftar Isian Proyek (DIP) didasarkan
kepada azas-azas efisiensi dan efektivitas, untuk memilih proyek-proyek
dalam sektor dan subsektor yang telah ditetapkan, yang paling produktif,
menunjang pemerataan, dan menciptakan lapangan kerja.
Dalam upaya menunjang pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pembangunan, serta mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi
masyarakat, prioritas alokasi pengeluaran pembangunan diberikan kepada
pengembangan prasarana dan sarana ekonomi, penyediaan berbagai fasilitas
pelayanan dasar, dan pengembangan sumber daya manusia. Dengan
demikian diharapkan kegiatan perekonomian masyarakat, seperti
perdagangan, penanaman modal, dan kegiatan ekonomi lainnya dapat lebih
didorong sehingga mampu menunjang penciptaan kesempatan kerja dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula dalam rangka
mempercepat upaya pemerataan pembangunan, dan penanggulangan
kemiskinan, anggaran pembangunan juga dialokasikan bagi pembiayaan
pembangunan daerah.
Sejak tahun 2005, anggaran belanja negara mengalami perubahan.
Anggaran belanja negara yang sebelumnya terdiri dari anggaran belanja rutin
�
dan anggaran belanja pembangunan diubah menjadi anggaran terpadu
(unified budget). Anggaran belanja terpadu ini diwujudkan dalam bentuk
penyatuan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan dalam
APBN menjadi satu format anggaran belanja pemerintah pusat yang
komprehensif.
Penyatuan kedua anggaran tersebut sangat penting untuk memastikan
bahwa investasi dan belanja operasional yang berulang (recurrent) secara
simultan dipertimbangkan pada saat-saat kunci pengambilan keputusan dalam
penyusunan anggaran. Selain itu, pengintegrasian anggaran belanja rutin
dengan anggaran belanja pembangunan diperlukan untuk memudahkan
penyusunan anggaran berbasis kinerja yang diterapkan oleh pemerintah.
Penyusunan anggaran belanja pemerintah pusat yang bersifat terpadu ini
diikuti dengan perubahan format anggaran belanja pemerintah pusat sejak
APBN tahun anggaran 2005 menjadi terinci menurut jenis belanja, organisasi,
dan fungsi (Departemen Keuangan, 2005).
Menurut jenis belanja, anggaran belanja pemerintah pusat terdiri dari
belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang,
subsidi, belanja hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Rincian
anggaran belanja pemerintah pusat menurut organisasi disesuaikan dengan
susunan kementerian negara atau lembaga.
Anggaran belanja pemerintah pusat menurut fungsi dibedakan menjadi
11 fungsi, yaitu (1) pelayanan umum, (2) pertahanan, (3) ketertiban dan
keamanan, (4) ekonomi, (5) lingkungan hidup, (6) perumahan dan fasilitas
�
umum, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan budaya, (9) agama, (10) pendidikan,
dan (11) perlindungan sosial.
2.1.3. Konsep Pendapatan Nasional
Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP)
adalah indikator penting untuk dapat mengetahui kondisi ekonomi suatu
negara dalam suatu periode tertentu. Pada dasarnya PDB adalah jumlah nilai
tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu negara atau jumlah
nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.
Dengan PDB, produk yang dihasilkan oleh suatu negara, baik produksi dalam
bentuk barang maupun jasa (goods and services), dapat diketahui dan
dihitung. Dari derivasi besarnya produksi tersebut dapat diketahui besarnya
pendapatan nasional negara yang bersangkutan, yang selanjutnya dapat
mencerminkan keberhasilan suatu negara atau pemerintahan dalam
menyejahterakan masyarakat (Badan Pusat Statistik, 2007).
PDB dapat dihitung berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan.
PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa
yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun. PDB atas dasar
harga berlaku ini dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur
ekonomi. PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang
dan jasa dan dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun
tertentu sebagai tahun dasar. PDB atas dasar harga konstan ini digunakan
untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.
�
Perhitungan PDB dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:
(1) Menurut Pendekatan Produksi
PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu
(biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9
lapangan usaha (sektor), yaitu (1) pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4)
listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran,
(7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan, dan (9) jasa-jasa, termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap
sektor ini dirinci lagi menjadi subsektor-subsektor. Pemecahan menjadi
subsektor ini disesuaikan dengan Klasifikasi Baku Lapangan usaha Indonesia
(KLBI) 2000.
(2) Menurut Pendekatan Pendapatan
PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang ikut serta dalam proses produksi suatu negara dalam jangka
waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang
dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan;
semuanya sebelum dipotong dengan pajak penghasilan dan pajak langsung
lainnya. Dalam definisi ini, PDB juga mencakup penyusutan dan pajak tidak
langsung neto (pajak tidak langsung dikurangi subsidi).
�
(3) Menurut Pendekatan Pengeluaran
PDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: (1)
pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, (2)
pengeluaran konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestik
bruto, (4) perubahan inventori, dan (5) ekspor neto, yaitu ekspor dikurangi
impor.
Secara konsep ketiga pendekatan ini akan menghasilkan angka yang
sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa
akhir yang dihasilkan dan harus sama dengan jumlah pendapatan untuk
faktor-faktor produksi. PDB yang dihasilkan dengan cara ini disebut PDB
atas dasar harga pasar karena di dalamnya sudah mencakup pajak tidak
langsung neto.
Beberapa indikator ekonomi yang dapat diturunkan dari data PDB
adalah:
1) Produk Nasional Bruto
Indikator ini diperoleh dari penjumlahan PDB dengan pendapatan neto
dari luar negeri. Pendapatan neto ini adalah pendapatan atas faktor produksi
(tenaga kerja dan modal) milik penduduk Indonesia yang diterima dari luar
negeri dikurangi dengan pendapatan yang sama milik penduduk asing yang
diperoleh di Indonesia.
�
2) Produk Nasional Neto atas dasar harga pasar
Nilai indikator ini diperoleh dari pengurangan PDB dengan seluruh
penyusutan atas barang-barang modal tetap yang digunakan dalam proses
produksi selama setahun.
3) Produk Nasional Neto atas dasar biaya faktor produksi
Indikator ini diperoleh dari pengurangan produk nasional neto atas dasar
harga pasar dengan pajak tidak langsung neto. Pajak tidak langsung neto
merupakan pajak tidak langsung yang dipungut pemerintah dikurangi dengan
subsidi dari pemerintah. Pajak tidak langsung dan subsidi ini dikenakan
terhadap barang dan jasa yang diproduksi atau dijual. Pajak tidak langsung
bersifat menaikkan harga jual, sedangkan subsidi menurunkan harga jual.
Produk Nasional Neto atas dasar biaya faktor produksi ini yang disebut
dengan Pendapatan Nasional.
4) Angka-angka per kapita
Angka-angka per kapita merupakan ukuran-ukuran indikator ekonomi
yang telah diuraikan sebelumnya dibagi dengan jumlah penduduk
pertengahan tahun.
Data Pendapatan Nasional adalah salah satu indikator makro yang dapat
menunjukkan kondisi perekonomian nasional setiap tahun. Adapun beberapa
kegunaan statistik dari Pendapatan Nasional ini adalah:
a. PDB harga berlaku nominal menunjukkan kemampuan sumber daya
ekonomi yang dihasilkan suatu negara.
�
b. PNB harga berlaku menunjukkan pendapatan yang memungkinkan untuk
dinikmati oleh penduduk suatu negara.
c. PDB harga konstan (riil) dapat digunakan untuk menunjukkan laju
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke
tahun.
d. Distribusi PDB harga berlaku menurut sektor menunjukkan struktur
perekonomian atau peranan setiap sektor ekonomi dalam suatu negara.
Sektor-sektor ekonomi yang mempunyai peran besar menunjukkan basis
perekonomian suatu negara.
e. PDB harga berlaku menurut pengeluaran menunjukkan produk barang dan
jasa digunakan untuk tujuan konsumsi, investasi dan diperdagangkan
dengan pihak luar negeri.
f. Distribusi PDB menurut pengeluaran menunjukkan peranan kelembagaan
dalam menggunakan barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor
ekonomi.
g. PDB pengeluaran atas dasar harga konstan bermanfaat untuk mengukur
laju pertumbuhan konsumsi, investasi dan perdagangan luar negeri.
h. PDB dan PNB per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDB
dan PNB per kapita atau per satu orang penduduk.
i. PDB dan PNB per kapita atas dasar harga konstan berguna untuk
mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi per kapita penduduk suatu negara.
�
2.1.4. Pertanian dan Produktivitas
Pertanian adalah suatu proses atau kegiatan penggarapan tanah untuk
tanaman budi daya, mulai dari penanaman sampai pemeliharaan, pemungutan
hasil, dan pengolahan pasca panen; kegiatan ini juga meliputi bidang
perikanan dan pemeliharaan ternak (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004).
Dalam perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB), sektor pertanian
meliputi lima subsektor, yaitu subsektor tanaman bahan makanan (tabama),
tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan, dan
perikanan (Badan Pusat Statistik, 2007).
Sinungan (1995) mengartikan produktivitas sebagai hubungan antara
hasil nyata maupun fisik (barang atau jasa) dengan masukan yang sebenarnya
atau merupakan rasio antara keluaran (output) dengan keseluruhan peralatan
produksi yang dipergunakan (input). Masukan sering dibatasi dengan
masukan tenaga kerja, sedangkan keluaran diukur dalam kesatuan fisik,
bentuk dan nilai.rasio antara apa yang dihasilkan (output) dengan keseluruhan
peralatan produksi yang dipergunakan (input). Produktivitas ini dapat
dinyatakan dengan PDB dibagi dengan tenaga kerja.
Produktivitas penting dalam meningkatkan kesejahteraan nasional
karena pendapatan nasional lebih banyak diperoleh dari peningkatan
keefektifan dan mutu tenaga kerja dibandingkan melalui formasi modal dan
penambahan kerja. Peningkatan produktivitas dapat secara langsung
meningkatkan standar hidup yang berada di bawah kondisi distribusi yang
sama dari perolehan produktivitas yang sesuai dengan masukan tenaga kerja.
�
2.1.5. Konsep dan Definisi Ketenagakerjaan
Batasan (definisi) variabel ketenagakerjaan yang berkaitan dengan
Konsep Labor Force Approach oleh Badan Pusat Statistik telah diberlakukan
sejak tahun 1976. Definisi yang dimaksud adalah:
(1) Penduduk, yaitu semua orang yang berdomisili di wilayah geografis
Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang
berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan untuk menetap.
(2) Penduduk Usia Kerja, yaitu penduduk yang berumur 15 tahun ke atas.
(3) Angkatan Kerja, yaitu penduduk usia kerja yang bekerja atau
mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan atau penduduk
yang termasuk dalam pengangguran.
(4) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yaitu rasio antara
penduduk yang termasuk angkatan kerja terhadap total penduduk usia
kerja.
(5) Bukan angkatan kerja, yaitu penduduk usia kerja (berumur 15 tahun
ke tas) yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan. Bukan
angkatan kerja dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: mereka
yang mempunyai kegiatan bersekolah, mengurus rumah tangga, dan
lainnya (pensiun, cacat, dan tidak mampu bekerja).
�
Beberapa definisi dan penjelasan lainnya adalah:
1. Pekerjaan Utama, yaitu satu-satunya pekerjaan yang dimiliki seseorang,
pekerjaan yang dilakukan dengan waktu terbanyak (jika memiliki
pekerjaan lebih dari satu), atau pekerjaan yang memberikan penghasilan
terbesar (jika waktu melakukan pekerjaannya sama). Seseorang
dikatakan mempunyai pekerjaan lebih dari satu jika pekerjaan yang
dilakukan berada di bawah pengelolaan yang terpisah.
2. Lapangan Pekerjaan, yaitu bidang kegiatan dari
pekerjaan/usaha/perusahaan/instansi dimana seseorang bekerja.
3. Usaha Pertanian, yaitu usaha yang meliputi pertanian tanaman pangan,
perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan perburuan, termasuk
juga jasa pertanian.
4. Usaha Non Pertanian, yaitu usaha yang meliputi pertambangan, industri,
listrik, gas, dan air, konstruksi/bangunan, perdagangan, angkutan,
pergudangan dan komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan
bangunan, tanah, dan jasa perusahaan, jasa kemasyarakatan, sosial, dan
perorangan.
2.1.6. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Sektor Pertanian
Menurit Fuglie (2003), pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia pada
akhir tahun 1960an sampai dengan tahun 1980an disebabkan oleh
peningkatan jumlah faktor produksi konvensional dan perbaikan produktivitas.
Stagnasi pada pertumbuhan sektor pertanian yang terjadi sejak tahun 1990an
�
disebabkan oleh tingkat investasi publik dan privat yang rendah, dimana
investasi publik pada penelitian dan pengembangan, infrastuktur pedesaan
atau irigasi adalah pelengkap yang diperlukan bagi investasi privat dalam
sektor pertanian.
Penelitian yang dilakukan Food and Agriculture Organization (FAO)
terhadap 18 negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa pengeluaran
pemerintah untuk wilayah pedesaan memiliki dampak yang positif pada
pertumbuhan PDB per kapita sektor pertanian (Allcott, et al., 2006). Dengan
mengasumsikan jumlah pengeluaran untuk sektor pertanian adalah tetap,
pengeluaran untuk subsidi input-input privat memberikan dampak negatif
pada pertumbuhan sektor pertanian karena mengurangi proporsi pengeluaran
yang digunakan untuk penyediaan barang-barang publik.
Kajian empiris yang dilakukan Moreno-Dodson (2008) terhadap tujuh
negara dengan pertumbuhan yang cepat, termasuk Indonesia, menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan
pertumbuhan PDB per kapita. Dalam kajian ini, hanya Indonesia yang
dampak keseluruhan terhadap pertumbuhannya tidak dapat disimpulkan.
Penjelasan yang dapat diberikan adalah (1) adanya penurunan yang penting
dalam anggaran; (2) rendahnya efektifitas pemerintah meskipun ada
perkembangan yang baik; dan (3) komposisi pengeluaran yang tidak
mencerminkan pertumbuhan Indonesia yang cepat dalam empat dekade
terakhir.
�
Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan oleh Bank Dunia (2009),
pada level makro, pengeluaran pemerintah sampai tahap tertentu akan
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Untuk mendapatkan pengaruh
yang positif, maka pengeluaran pemerintah ini harus dialokasikan pada
sektor-sektor yang produktif. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan 3 hal,
yaitu: (1) total pengeluaran pemerintah di sektor pertanian memiliki efek
positif yang signifikan, baik secara ekonomis maupun secara statistik,
terhadap tingkat pertumbuhan GDP per kapita sektor pertanian; (2) hanya
pengeluaran untuk pertanian dan irigasi yang berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan, sedangkan pengeluaran untuk subsidi pupuk secara signifikan
berpengaruh negatif; dan (3) melakukan realokasi pengeluaran untuk
penyediaan barang-barang publik (penelitian dan pengembangan, perluasan
jasa, irigasi) dapat mempercepat pertumbuhan.
Peningkatan produktivitas beberapa komoditi pertanian dari tahun 1975
sampai dengan 2007 diantaranya disebabkan oleh investasi untuk irigasi,
infrastruktur pedesaan, perluasan jasa, serta penelitian dan pengembangan,
bersamaan dengan penggunaan input (pupuk dan modal) secara intensif.
Secara signifikan, pertumbuhan pertanian di Indonesia lebih rendah
dibandingkan beberapa negara Asia lainnya, seperti Malaysia, Filipina,
Thailand, dan Vietnam.
Dalam perekonomian secara keseluruhan, pertumbuhan sektor pertanian
secara konsisten berada di bawah sektor-sektor lainnya, seperti sektor industri
dan jasa. Pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian telah meningkat
�
secara signifikan dalam dekade ini, baik secara absolut maupun pangsanya
dalam pengeluaran total. Sejak tahun 2001, subsidi sudah ditingkatkan
sampai 300 persen. Tetapi hal ini tidak diikuti dengan peningkatan produksi.
Salah satu hal yang dilakukan Departemen Pertanian dalam
memprioritaskan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani adalah dengan
mengalokasikan dana dari pengembangan agribisnis yang pada tahun 2005
diturunkan sebesar 40 persen dari anggaran menjadi hanya enam persen pada
tahun 2009. Sebesar 40 persen dari pengeluaran Departemen Pertanian
diklasifikasikan dalam kategori bantuan sosial dan sebagian besar bantuan
sosial ini digunakan untuk membeli input-input privat seperti benih, mesin-
mesin, dan pompa air. Pengeluaran Departemen Pertanian untuk beberapa
hal meningkat secara tajam, yaitu untuk Gen Secretary, tanaman pangan DG,
lahan DG, dan manajemen pengairan. Pengeluaran untuk agensi sumber daya
manusia sebagai perluasan jasa juga meningkat secara tajam.
Beberapa fakta lainnya yang ditemukan oleh Bank Dunia berdasarkan
penelitiannya adalah (1) pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian
memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan pertanian; (2) komposisi dari
pengeluaran menentukan dampak yang diberikan, pengeluaran untuk barang-
barang publik berdampak positif, sedangkan subsidi untuk input privat
cenderung berdampak negatif; (3) untuk kasus Indonesia, pengeluaran
pemerintah berdampak positif terhadap pertumbuhan, tetapi tergantung dari
komposisi pengeluarannya; (4) selama delapan tahun terakhir, pengeluaran
untuk pertanian di Indonesia meningkat secara signifikan, terutama untuk
�
subsidi barang-barang privat (pupuk dan benih, bantuan sosial); dan (5)
berdasarkan pengalaman secara internasional dan penemuan di Indonesia,
masih belum jelas apakah pengeluaran jenis ini akan memberikan dampak
yang signifikan terhadap produktivitas. Sistem Monitoring and Evaluation
(M&E) yang solid dapat membuat pemerintah Indonesia menunjukkan
pengaruh dari pengeluaran ini.
2.1.7. Transformasi Pertanian
Lebih dari dua pertiga penduduk termiskin di dunia menetap di wilayah
pedesaan yang penghidupan pokoknya bersumber dari pola pertanian
subsisten. Jika suatu negara menghendaki pembangunan yang lancar dan
berkesinambungan, maka negara itu harus memulainya dari daerah pedesaan
pada umumnya, dan sektor pertanian pada khususnya. Permasalahan
kemiskinan yang terus meluas, ketimpangan distribusi pendapatan yang
semakin parah, laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, dan terus
meningkatnya tingkat pengangguran pada awalnya tercipta dari stagnasi serta
kemunduran kehidupan ekonomi di daerah-daerah pedesaan secara terus
menerus.
Secara tradisional, peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi
dipandang pasif dan hanya sebagai unsur penunjang. Berdasarkan
pengalaman historis negara-negara Barat, pembangunan ekonomi identik
dengan transformasi struktural yang cepat terhadap perekonomian, yaitu dari
perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi industri
�
modern dan pelayanan masyarakat yang lebih kompleks. Dengan demikian,
peran utama pertanian hanya dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan
bahan-bahan pangan yang murah demi berkembangnya sektor industri yang
dianggap sebagai sektor unggulan dinamis dalam strategi pembangunan
ekonomi secara keseluruhan.
Beberapa tahun terakhir ini, para pakar ilmu ekonomi pembangunan
kurang memberikan perhatian yang besar pada upaya industrialisasi secara
cepat. Mereka menyadari bahwa daerah pedesaan pada umumnya dan sektor
pertanian pada khususnya ternyata tidak bersifat pasif, tetapi jauh lebih
penting dari hanya sebagai penunjang dalam proses pebangunan ekonomi
secara keseluruhan. Keduanya harus ditempatkan pada kedudukan
sebenarnya, yaitu sebagai unsur atau elemen unggulan yang sangat penting,
dinamis, dan sangat menentukan strategi-strategi pembangunan secara
keseluruhan. Setidaknya, hal ini berlaku untuk 61 negara sedang berkembang
berpendapatan rendah (Todaro dan Smith, 2003).
Suatu strategi pembangunan ekonomi yang berlandaskan prioritas
pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap
dasar, yaitu:
(1) Percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian penyesuaian
teknologi, institusional, dan insentif harga yang khusus dirancang untuk
meningkatkan produktivitas para petani kecil;
�
(2) Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang
dihasilkan dari strategi pembangunan perkotaan yang berorientasikan
pada upaya pembinaan ketenagakerjaan; dan
(3) Diversifikasi kegiatan pembangunan daerah pedesaan yang bersifat
padat karya, yaitu non pertanian, yang secara langsung maupun tidak
langsung akan menunjang dan ditunjang oleh masyarakat pertanian.
2.1.8. Pembangunan Sektor Pertanian
Industrialisasi seringkali dianggap sebagai “kunci” yang dapat
membawa masyarakat ke arah kemakmuran. Selain dapat meningkatkan
produksi barang-barang, industrialisasi diperkirakan dapat menyelesaikan
masalah kesempatan kerja yang semakin sempit di sektor pertanian. Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa pemilihan prioritas yang mengarah pada
industrialisasi mengandung pengandaian adanya kelemahan di sektor
pertanian. Keberhasilan industrialisasi sebenarnya tergantung pada
pembangunan pertanian yang dapat menciptakan landasan bagi pertumbuhan
ekonomi. Menurut Rahardjo (1986) beberapa alasan yang mendasari
pentingnya pembangunan sektor pertanian terlebih dahulu adalah:
(1) Barang-barang industri memerlukan dukungan daya beli masyarakat.
Tingkat pendapatan petani perlu ditingkatkan melalui pembangunan
pertanian karena sebagian besar calon pembelinya adalah masyarakat
petani;
�
(2) Diperlukan bahan-bahan makanan yang murah untuk menekan biaya
produksi dari komponen gaji dan upah sehingga gaji dan upah yang
diterima dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok buruh dan
pegawai. Hal ini dapat dicapai apabila produksi pertanian, terutama
pangan, dapat ditingkatkan sehingga harganya menjadi lebih murah dan
terjangkau oleh daya beli mereka; dan
(3) Industri membutuhkan bahan mentah yang berasal dari sektor pertanian
sehingga produksi bahan-bahan industri memberikan basis bagi
pertumbuhan industri itu sendiri.
Soekartawi (1995) menyatakan bahwa pembangunan pertanian
dikatakan berhasil jika pertumbuhan sektor pertanian tinggi dan terjadi
perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Ada
beberapa aspek yang perlu diantisipasi pada era globalisasi yang berkaitan
dengan pembangunan pertanian, yaitu pendekatan teknologi, perubahan harga,
meningkatnya jumlah produsen, menurunnya harga, menurunnya lahan
pertanian, meningkatnya kesadaran kesehatan, perubahan iklim, pembiayaan
usahatani, dan perubahan pola hidup.
Berdasarkan aspek-aspek ini, maka indikasi produk pertanian yang
diusahakan adalah sebagai berikut:
(1) Produk pertanian yang mempunyai nilai tambah tinggi;
(2) Produk pertanian yang diusahakan di lahan yang relatif sempit;
(3) Penggunaan teknologi yang modern (maju);
(4) Pemasarannya dalam bentuk produk sekunder; dan
�
(5) Produk pertanian yang mempunyai potensi pasar.
Paradigma dalam pembangunan pertanian yang perlu mendapatkan
perhatian para perencana dan pelaksana pembangunan pertanian adalah:
(1) Dari pendekatan sentralisasi ke desentralisasi;
(2) Dari pendekatan komoditas ke sumber daya;
(3) Dari pendekatan pendapatan petani ke peningkatan kesejahteraan
masyarakat pedesaan;
(4) Dari skala usaha pertanian subsisten ke komersial;
(5) Dari padat karya ke mesin;
(6) Dari komoditi primer ke komoditi yang mempunyai nilai tambah tinggi;
(7) Dari pendekatan “tarik tambang” ke “dorong gelombang”; dan
(8) Dari dominasi pemerintah ke partisipasi swasta yang lebih besar.
2.2. Tinjauan Empiris
2.2.1. Penciptaan Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan
Berdasarkan analisis dekomposisi Sistem Neraca Sosial Ekonomi
(SNSE) yang dilakukan oleh Herliana (2004) ada tiga kesimpulan utama yang
berkaitan dengan sektor pertanian, yaitu:
(1) Strategi pembangunan berdasarkan industri yang berbasiskan sektor
pertanian sangat relevan untuk dikembangkan karena beberapa alasan,
yaitu:
�
(i) Sektor pertanian mampu menyerap 50 persen tenaga kerja,
sebagian besar merupakan penduduk yang kurang mampu di daerah
pedesaan yang identik dengan sektor pertanian;
(ii) Sebagian besar sumber daya alam yang dapat diperbaharui adalah
sumber daya pertanian dan sektor produksi yang memiliki local
content sangat tinggi hanyalah sektor pertanian;
(iii) Sektor pertanian memberikan pengaruh yang lebih besar dalam
memacu kegiatan dan output perekonomian domestik karena
berorientasi pada pasar lokal dan sebagian besar pola konsumsi
masyarakat berbasiskan sektor pertanian; dan
(iv) Produk olahan sektor pertanian mampu menyumbangkan devisa
yang cukup besar bagi perekonomian nasional.
(2) Pembangunan di sektor pertanian berdampak lebih besar dalam
mendorong pertumbuhan produktivitas dan penciptaan kapital terhadap
perekonomian Indonesia. Beberapa alasan yang mendasari pernyataan
tersebut adalah:
(i) Pembangunan sektor pertanian berdampak paling besar terhadap
gross output dan nilai tambah;
(ii) Sektor pertanian memiliki keterkaitan yang paling tinggi dengan
peningkatan produksi di sektor-sektor kegiatan produksi lainnya;
dan
(iii) Sektor pertanian berpengaruh paling besar terhadap peningkatan
pendapatan masyarakat, khususnya di daerah pedesaan.
�
(3) Transaksi-transaksi yang mengikuti sekuens keterkaitan dengan sektor
pertanian menunjukkan bahwa dampak yang besar terhadap kenaikan
pendapatan masyarakat akibat adanya pembangunan sektor pertanian
ditransmisikan melalui faktor produksi tenaga kerja pertanian dan faktor
produksi lahan, dalam bentuk pengembalian berupa upah/gaji dan
tingkat sewa.
2.3. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini secara umum dilakukan untuk menganalisis pengaruh kebijakan
publik pemerintah terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Kinerja
perekonomian yang akan diteliti adalah kinerja sektoral. Pengaruh kebijakan
fiskal sebagai kebijakan publik yang digunakan inilah yang akan dilihat
pengaruhnya terhadap kinerja sektoral. Sektor yang menjadi fokus utama
penelitian ini adalah sektor pertanian. Bagian dari sektor pertanian yang akan
dianalisis adalah produktivitas pertanian.
Alat dari kebijakan fiskal yang digunakan adalah pengeluaran pemerintah
berupa belanja negara yang terbagi menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan untuk sektor pertanian, yang terinci dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Untuk mempermudah pemahaman kerangka pemikiran ini,
maka alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.1.
�
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini ada tiga, yaitu bahwa:
1. Pengeluaran rutin untuk sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan
terhadap produktivitas sektor pertanian.
2. Pengeluaran pembangunan untuk sektor berpengaruh positif dan signifikan
terhadap produktivitas sektor pertanian.
3. Pengaruh pengleluaran pembangunan terhadap produktivitas sektor pertanian
lebih besar daripada pengeluaran rutinnya.
Pengeluaran Pemerintah (G)
Pajak (T)
Anggaran untuk Sektor Pertanian
Pengeluaran Rutin
Pengeluaran Pembangunan
Kinerja Sektor Pertanian
Produktivitas Sektor Pertanian (PDB/Angkatan Kerja Sektor
Pertanian)
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Moneter Kebijakan Fiskal
Analisis dengan metode Weighted
Least Square
�
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan digunakan adalah data sekunder, yang berupa data
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN), data Produk
Domestik Bruto (PDB) nasional, dan data angkatan kerja nasional untuk tahun
1990 sampai dengan tahun 2006.
Data RAPBN yang diambil khususnya adalah data pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian selama tahun 1990 sampai
dengan 2006. Data ini diperoleh dari beberapa publikasi yang diterbitkan oleh
Departemen Keuangan.
Data PDB nasional diperoleh dari beberapa publikasi Badan Pusat Statistik
(BPS). Data PDB yang digunakan adalah PDB berdasarkan harga konstan 1983,
1993, dan 2000 dari tahun 1990 sampai dengan 2006, yang nantinya akan
dikonversi menjadi hanya berdasarkan harga konstan 2000 saja.
Data angkatan kerja yang digunakan berasal dari beberapa publikasi BPS,
yaitu data penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu
yang lalu menurut status pekerjaan utama dan lapangan pekerjaan utama dan data
penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu
menurut status pekerjaan utama dan lapangan pekerjaan utama selama tahun 1990
sampai dengan 2006. Penggunaan data angkatan kerja ini dilakukan karena
�
mampu memberikan ukuran jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian
dengan lebih baik daripada menggunakan data pekerja/karyawan/buruh.
Data produktivitas yang akan digunakan diperoleh dari hasil pembagian nilai
PDB sektor pertanian dengan jumlah angkatan kerja di sektor pertanian pada
tahun yang sama.
2.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh akan diolah secara kualitatif dan
kuantitatif. Data kualitatif akan disampaikan secara narasi. Sedangkan dengan
menggunakan Microsoft Excell 2007 dan Minitab 15, data kuantitatif akan diolah
dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, serta secara narasi diuraikan.
2.2.1. Analisis Deskriptif
Analisis ini dilakukan melalui analisis tabel dan grafik yang berisi data-
data yang telah tersedia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran
mengenai perkembangan belanja negara untuk sektor pertanian, PDB
sektor pertanian, tenaga kerja sektor pertanian, serta melihat
perkembangan produktivitas sektor pertanian di Indonesia selama tahun
1990 sampai dengan 2006.
2.2.2. Analisis Regresi
Persamaan regresi merupakan persamaan linier yang menggambarkan
pola hubungan antara variabel tak bebas (dependent variable) dengan satu
atau lebih variabel bebas (independent variable). Koefisien-koefisien dari
�
faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produktivitas sektor pertanian
Indonesia, sebagai variabel tak bebas, dapat diperoleh dengan
menggunakan model regresi berikut ini:
���� � ��� ����� � ���� ��
dimana:
PRD = Produktivitas sektor pertanian Indonesia (Rp/kapita)
�� = Konstanta
� …� = Koefisien regresi
��� = Pengeluaran rutin untuk sektor pertanian (Rp)
��� =Pengeluaran Pembangunan untuk sektor pertanian (Rp)
� t = Variabel acak/Kesalahan pengganggu
t = waktu
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis regresi adalah sebagai
berikut (Gujarati, 1978):
1. Linieritas
Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan linear
antara variabel tak bebas (Y) dengan variabel bebas X1, X2, X3, …, Xn.
Biasanya uji ini digunakan sebagai prasyarat dalam analisis korelasi
atau regresi linear. Dua variabel dikatakan berhubungan linear jika
signifikansinya kurang dari taraf uji (�).
�
2. Homoskedastisitas (kesamaan varian)
Pengujian homoskedastisitas dapat dilakukan melalui uji White.
Metode lain untuk menguji homoskedastisitas adalah dengan metode
visual, yaitu dengan melihat penyebaran nilai-nilai residual terhadap
nilai-nilai dugaan. Jika penyebarannya tidak membentuk pola tertentu,
maka keadaan homoskedastisitas terpenuhi.
3. Tidak terjadi autokorelasi
Autokorelasi adalah terjadinya korelasi antara variabel serangkaian
observasi yang diurutkan menurut waktu (time series) atau ruang (cross
section). Autokorelasi dalam model regresi menyebabkan penduga
yang digunakan tidak efisien, meskipun tetap tak bias (unbiased) dan
konsisten. Selain itu, penduga akan memberikan gambaran yang
menyimpang dari nilai populasi yang sebenarnya. Ada tidaknya
autokorelasi dapat dideteksi dengan Run Chart pada Minitab 15.
4. Tidak terjadi multikolinearitas
Multikolinearitas menunjukkan adanya hubungan linear yang sempurna
diantara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi.
5. Normalitas
Asumsi normalitas diuji dengan menggunakan Normal Q-Q plot of
regression standardised antara expected cumulative probability dengan
observed cumulative probability. Jika sebaran tidak mengikuti pola
garis lurus pada normal plot, maka asumsi kenormalan tidak terpenuhi.
�
Apabila asumsi-asumsi ini terpenuhi, maka akan dihasilkan penduga
parameter yang bersifat Best Linier Unbiased Estimator (BLUE).
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuadrat terkecil terboboti atau Weighted Least Square (WLS) yang bersifat
Robust. Sebuah penduga dikatakan robust jika penduga tersebut tidak
terpengaruh secara signifikan dengan adanya pencilan (outliers) dalam
data observasi. Penggunaan metode yang bersifat Robust ini diperlukan
karena terdapat beberapa data pencilan pada data beberapa variabel yang
digunakan dalam penelitian ini.
Pencilan (outliers) sendiri merupakan suatu observasi yang sangat
berbeda dari observasi lainnya sehingga memunculkan dugaan bahwa
observasi tersebut digerakkan oleh mekanisme yang berbeda (Hawkins,
1980).
Menurut Fox (2002), ada beberapa prosedur yang perlu dilakukan
ketika menggunakan metode ini, yaitu:
(1) Menghitung galat dari pendugaan parameter model
�� � �� � ��������� ���
dengan:
yi = data pengamatan ke-i,
������� � ��� = data hasil pendugaan ke-i,
i = 1,2, …, n
�
(2) Menghitung bobot data pengamatan ke-i (wi), sebagai berikut:
�� � !��"#$%�&��& �' ()*+ �"#$%�&��& �, (-
dengan:
m = 1,345�;
� = simpangan baku galat
i = 1,2, …, n
(3) Meminimumkan jumlah dari kuadrat galat terkecil terboboti:
min ./��� � �0 ������ 1�2 3
Pada metode ini, data yang dianggap pencilan diberi bobot < 1 sehingga
memiliki peranan yang kecil ketika jumlah kuadrat galat diminimumkan.
Dengan demikian, metode ini menjadi tahan terhadap pengaruh pencilan
atau berifat Robust.
2.2.3. Pengujian terhadap Model Regresi
Untuk memperoleh model yang baik, perlu dilakukan pengujian-
pengujian berikut ini:
1. Pengujian Parameter Model Regresi
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui signifikan atau tidaknya
penduga parameter.
�
a. Uji-F (overall F Test)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara
signifikan berpengaruh terhadap variabel tak bebas.
Pengujian hipotesis:
H0 : �1 = �2 = … = 0, berarti variabel bebas tidak mempengaruhi
variabel tak bebas secara signifikan
Hi : �i � 0, berarti variabel bebas secara signifikan mempengaruhi
variabel tak bebas.
Statistik Uji:
45�� � 678 �9:�;67< �=:9�; =
0>+? �9:�;0*+? �=:9�;
Kriteria pengujian:
Jika Fhit > F �(k-1), (n-k-1), maka H0 ditolak.
dimana:
JKR = Jumlah Kuadrat Regresi
JKS = Jumlah Kuadrat Sisa
k = Jumlah variabel independen
n = Banyaknya sampel
� = Taraf uji
b. Uji-t (Uji Parsial)
Uji ini dilaukan untuk mengetahui apakah variabel bebas tertentu
mempengaruhi variabel tak bebas secara signifikan.
�
Pengujian hipotesis:
H0 : �i = 0, berarti variabel bebas tersebut tidak mempengaruhi
variabel tak bebas secara signifikan
Hi : �i � 0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari variabel bebas
tersebut terhadap variabel tak bebas.
StatistikUji:
�5�� � @+A*�@+� ; dimana se(�i) = galat baku �i
Briteria pengujian:
Jika thit > t �/2; (n-k) atau thit < - t �/2; (n-k), maka H0 ditolak.
2. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi digunakan untuk menilai kemampuan model.
Kemampuan model ini dilihat dari proporsi keragaman variabel tak
bebas yang dapat ditunjukkan oleh model melalui variabel-variabel
bebasnya.
� � 67867C = 6D)EF5�7DFGHF��8*IH*A�
6D)EF5�7DFGHF��CJ�FE ; atau
� � ! ��67C:67<67C = ! �� 0*+?0>+?
Apabila R2 digunakan untuk membandingkan dua atau lebih model
regresi, maka banyaknya variabel bebas dalam model perlu
diperhitungkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
koefisien determinasi yang disesuaikan (R2 adjusted), yaitu derajat
�
bebasnya (df) disesuaikan. Koefisien determinasi yang disesuaikan ini
dirumuskan dengan:
� FGK� ! ��67<67C = ! ��0*+? �=:9�;0>+? �=:�;
2.2.4. Pemilihan Model Terbaik
Model terbaik dari variabel-variabel yang diteliti dapat diperoleh
dengan menggunakan metode eliminasi backward. Eliminasi backward
adalah salah satu prosedur pemilihan model terbaik dalam regresi, yaitu
dengan mengeliminasi variabel bebas yang membangun model secara
bertahap.
Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Memasukkan semua variabel bebas ke dalam persamaan.
2. Menghitung nilai F parsial untuk tiap variabel bebas dan menguji F
parsial tersebut.
3. Membandingkan nilai F parsial dengan F tabel pada � tertentu, jika F
parsial terkecil lebih kecil daripada F tabel, maka variabel tersebut
dikeluarkan dari persamaan.
4. Menyusun kembali persamaan tanpa mengikutsertakan variabel yang
telah dikeluarkan kemudian mengulang langkah 2 dan 3.
5. Proses pengurangan variabel dihentikan jika tidak ada lagi nilai F
parsial yang lebih kecil daripada F tabel, yang berarti model persamaan
terbaik telah didapat.
�
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Belanja Negara untuk Sektor Pertanian
Rincian belanja negara untuk sektor pertanian selama tahun 1990 sampai
dengan 2006 telah mengalami empat kali perubahan. Perubahan-perubahan ini
dapat dilihat pada Lampiran 1. Walaupun terjadi empat kali perubahan perincian,
belanja negara untuk sektor pertanian secara umum mengalami peningkatan. Hal
ini dapat dilihat pada Tabel 4.1.
4.1.1. Pengeluaran Rutin
Dalam struktur anggaran negara, pengeluaran rutin diarahkan untuk
membiayai berbagai kegiatan operasional pemerintahan dan pelaksanaan tugas-
tugas pembangunan yang bersifat terus-menerus, memenuhi kewajiban
pemerintah terhadap pihak-pihak di dalam negeri dan di luar negeri, serta
pelaksanaan berbagai kegiatan pemerintah lainnya.
Selaras dengan perkembangan dan semakin meluasnya penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan dan pelaksanaan tugas-tugas pembangunan, anggaran yang
dibutuhkan dalam pengeluaran rutin semakin meningkat tiap tahunnya. Dilihat
dari jumlahnya, meningkatnya pengeluaran rutin sangat erat kaitannya dengan
meningkatnya kebutuhan pembiayaan aparatur pemerintah, pembiayaan
operasional dan pemeliharaan, serta semakin besarnya pembayaran bunga dan
cicilan hutang luar negeri yang harus dipenuhi.
�
Tabel 4.1. Belanja Negara untuk Sektor Pertanian Tahun 1990-2006
(dalam Milyar Rupiah)
Tahun Pengeluaran (Milyar Rp) Rutin Pembangunan
1990 111.24 2391.62 1991 122.58 2815.61 1992 153.34 2955.20 1993 171.71 3081.84 1994 174.01 2676.66 1995 200.37 3145.85 1996 384.36 3612.83 1997 616.30 4129.10 1998 666.14 6092.96 1999 794.00 8079.47 2000 5517.15 4972.22 2001 768.20 6098.50 2002 849.80 6468.20 2003 955.73 8257.95 2004 874.65 8210.61 2005 874.65 8210.61 2006 874.65 8210.61
Sumber: Departemen Keuangan, 1990-2006 (diolah)
Krisis ekonomi yang dipicu oleh depresiasi rupiah yang sangat tajam
terhadap dolar Amerika sejak pertengahan tahun 1997, telah menyebabkan
kebutuhan anggaran belanja rutin semakin meningkat, terutama untuk beberapa
pos pembiayaan yang mengandung komponen valuta asing, seperti pembayaran
bunga dan pokok hutang luar negeri dan subsidi BBM. Selain itu, terjadinya
depresiasi rupiah ini menyebabkan harga berbagai bahan kebutuhan pokok
masyarakat meningkat tajam sehingga perlu dialokasikan beberapa jenis subsidi
bahan pangan, obat-obatan, dan listrik.
�
Sumber: Departemen Keuangan, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.1. Pengeluaran Rutin Sektor Pertanian Tahun 1990-2006
(dalam milyar Rupiah)
Dengan adanya perkembangan keadaan tersebut, kebutuhan anggaran rutin
untuk sektor pertanian sejak tahun anggaran 1997/1998 sampai dengan tahun
anggaran 1999/2000 mengalami peningkatan yang cukup besar (Gambar 4.1.).
Peningkatan yang cukup tinggi ini berkaitan erat dengan subsidi pangan. Subsidi
pangan ini diberikan karena kondisi perekonomian yang memburuk telah
mengakibatkan penurunan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokok, terutama bahan pangan. Selain itu, menurunnya hasil produksi pertanian
pada tahun 1997-1998 akibat musim kemarau yang panjang dan terjadinya
kebakaran hutan di beberapa daerah, juga menyebabkan persediaan bahan pangan
dalam negeri berkurang dan mengganggu sistem distribusi sehingga harga bahan
pokok semakin tinggi. Komoditas yang disubsidi adalah beras, kedelai, jagung,
terigu, gula, dan bungkil kedelai.
0.00
1000.00
2000.00
3000.00
4000.00
5000.00
6000.00
Jum
lah
(mily
ar r
upia
h)
Tahun
Pengeluaran Rutin
�
Pada tahun 2000, pengeluaran rutin sektor pertanian meningkat sangat
tajam. Peningkatan yang tajam ini disebabkan oleh alokasi pengeluaran rutin
untuk subsektor kehutanan meningkat tajam. Hal ini dikarenakan subsektor
kehutanan memperoleh cadangan dana reboisasi sebesar Rp 4.744,8 milyar.
Selain itu, anggaran tersebut digunakan untuk membiayai program pembinaan
produksi kehutanan, yang meliputi pembinaan prakondisi pengelolaan hutan,
pencegahan dan pemulihan kerusakan hutan, tanah, dan air, peningkatan usaha
konservasi di dalam dan di luar kawasan hutan, pembinaan pengusahaan hutan,
serta penyelenggaraan penyuluhan di bidang kehutanan. Anggaran tersebut juga
digunakan untuk menunjang pembiayaan rutin untuk berbagai kantor daerah,
seperti balai informasi dan sertifikasi hasil hutan, balai konservasi sumber daya
alam, taman-taman nasional, balai penelitian, balai teknologi reboisasi dan
perbenihan, serta berbagai kantor vertikal lainnya yang berada di daerah-daerah.
Sedangkan anggaran rutin pada subsektor pertanian lainnya digunakan untuk
menunjang pembinaan dan pengembangan pertanian tanaman pangan dan
hortikultura, pembinaan dan pengembangan agribisnis, pembinaan dan
pengembangan perkebunan dan perikanan, serta penyelenggaraan karantinan
pertanian. Selain itu, anggaran tersebut juga digunakan untuk mendukung
pembinaan usaha tani dan nelayan, pembinaan pengolahan hasil perikanan, serta
pembinaan dan pengembangan usaha-usaha peternakan.
Penurunan yang tajam pada pengeluaran rutin untuk tahun 2001
disebabkan tidak adanya cadangan dana reboisasi untuk subsektor kehutanan.
Selain itu, penurunan juga terjadi dikarenakan pemerintah menghapuskan
�
beberapa jenis subsidi secara bertahap, yaitu subsidi pupuk, subsidi harga gula,
subsidi jagung dan kedelai, serta subsidi pakan ternak. Pada tahun ini, subsidi non
BBM yang dialokasikan berupa (1) subsidi pangan, yang diberikan melalui
program Operasi Pasar Khusus (OPK) beras Bulog untuk menyediakan beras
murah bagi masyarakat, (2) subsidi listrik akibat penetapan Tarif Dasar Listrik
(TDL) yang lebih rendah dari harga pokok produksinya, dan (3) subsidi bunga
kredit program untuk Kredit Usaha Tani, Kredit Koperasi, Kredit Koperasi Primer
untuk Anggota (KKPA), Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS) dan Kredit
Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), termasuk juga di dalamnya adalah
beban resiko (risk sharing) bagi kredit yang tidak dapat ditagih kembali (default).
4.1.2. Pengeluaran Pembangunan
Pengeluaran pembangunan dalam APBN menggambarkan usaha negara
untuk merealisasikan sasaran-sasaran pembangunan sektor pemerintah, yang
secara operasional dijabarkan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan beserta
pembiayaannya.
Sebagai sumber utama pembiayaan investasi sektor pemerintah, anggaran
pembangunan dialokasikan terutama untuk membiayai berbagai proyek, baik fisik
maupun nonfisik, yang tidak dapat dibiayai dan dilaksanakan sendiri oleh
masyarakat. Dengan demikian, anggaran negara yang terbatas dapat lebih
dihemat untuk dialokasikan secara optimal bagi pembiayaan program-program
pembangunan sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan.
�
Peningkatan yang tajam pada pengeluaran pembangunan untuk sektor
pertanian terjadi pada tahun 1998 (Gambar 4.2.). Penyebab dari peningkatan ini
adalah karena pada tahun tersebut Departemen Pertanian memperoleh alokasi
anggaran yang cukup besar. Anggaran ini digunakan untuk pembangunan
pertanian rakyat terpadu di 27 provinsi di Indonesia, pengkajian teknologi
pertanian, pembangunan usaha peternakan, pembangunan usaha perikanan,
pengembangan usaha perkebunan di seluruh provinsi di Indonesia, serta
pengembangan sumber daya, sarana dan prasarana tanaman pangan dan
hortikultura di 27 provinsi di Indonesia.
Sumber: Departemen Keuangan, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.2. Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Tahun 1990-2006
(dalam milyar Rupiah)
Pada tahun 1999, pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian
meningkat. Anggaran pembangunan ini diarahkan untuk penyediaan bibit unggul,
0.00
1000.00
2000.00
3000.00
4000.00
5000.00
6000.00
7000.00
8000.00
9000.00
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Jum
lah
(mily
ar r
upia
h)
Tahun
Pengeluaran Pembangunan
�
intensifikasi pertanian, dan bantuan sarana produksi lainnya dalam rangka
program jaring pengaman sosial di bidang peningkatan produksi dan ketahanan
pangan (food security). Selain itu, anggaran ini juga digunakan untuk membiayai
proyek-proyek padat karya untuk menciptakan dan memperluas kesempatan kerja
yang sebanyak-banyaknya di sektor kehutanan.
Pada tahun 2000, walaupun anggaran pembangunan menurun, anggaran
yang tersedia masih mampu untuk membiayai berbagai kegiatan. Anggaran
tersebut digunakan untuk mendukung peningkatan ketahanan pangan secara
berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui perluasan areal tanam, peningkatan mutu
intensifikasi, peningkatan produktivitas hasil pertanian, pengembangan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian, peningkatan kualitas
sumber daya manusia pelaku usaha tani, serta pengembangan kelembagaan
pertanian. Anggaran ini juga digunakan untuk meningkatkan pelayanan dan
pembinaan agribisnis bagi petani, penelitian dan pengkajian teknologi spesifik
lokasi, pemantapan sentra-sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan,
pelatihan, penyediaan informasi, dan pengembangan kelembagaan usaha
agribisnis di pedesaan. Selain itu, anggaran tersebut juga disediakan untuk
pengembangan perencanaan pengelolaan dan pengendalian pengusahaan hutan,
penerapan sistem manajemen hutan lestari, serta peningkatan pemberdayaan
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2002, pengeluaran pembangunan
pemerintah pusat lebih diprioritaskan untuk mendukung upaya penciptaan
lapangan kerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan
�
kesejahteraan masyarakat, serta penyediaan pelayanan kebutuhan dasar manusia
yang lebih baik dan merata. Berkaitan dengan hal tersebut, sektor pertanian
merupakan salah satu sektor yang menjadi fokus pengeluaran pembangunan
pemerintah pusat sehingga memperoleh alokasi anggaran yang cukup tinggi. Hal
ini terlihat dari peningkatan yang cukup tinggi pada nilai pengeluaran
pembangunannya pada tahun 2001 dan 2002. Anggaran ini diarahkan pada upaya
pemberdayaan petani dan masyarakat pedesaan, melalui pemberian bantuan modal
untuk pembelian bibit, pupuk, obat-obat pemberantas hama dan penyakit,
perbaikan pemasaran, serta perbaikan pelayanan penyuluhan dan informasi.
Anggaran tersebut juga digunakan untuk mendukung peningkatan ketahanan
pangan dan perbaikan gizi, pengembangan perkebunan rakyat yang berorientasi
ekspor, serta pembangunan perikanan dan kelautan secara optimal dan
berkelanjutan.
Pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian pada tahun 2003
meningkat cukup tinggi karena pada tahun ini sektor pertanian kembali menjadi
salah satu sektor yang diutamakan pengembangannya. Hal ini dikarenakan salah
satu prioritas pembangunan nasional pada tahun 2003 adalah peningkatan
penanggulangan kemiskinan dan jaminan ketahanan pangan. Di subsektor
pertanian, anggaran pembangunan ini diantaranya digunakan untuk penyediaan
kecukupan pangan masyarakat, pengembangan usaha bisnis pangan yang
kompetitif, pengembangan kelembagaan pangan yang dibangun dari masyarakat,
serta penanggulangan kemiskinan. Di subsektor kehutanan, anggaran
pembangunan terutama diarahkan untuk memberantas penebangan liar (illegal
�
logging), penanggulangan kebakaran hutan, pengendalian konservasi kawasan
hutan, restrukturisasi industri dan klembagaan kehutanan, rehabilitasi hutan dan
lahan kritis, konservasi kawasan lindung, desentralisasi pengelolaan hutan, serta
pemantapan dan pengukuhan kawasan hutan. Sementara itu, di subsektor
kelautan dan perikanan, alokasi anggaran pembangunan diprioritaskan untuk
meningkatkan pengendalian dan pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan
dan perikanan, pengelolaan sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, serta
pemberdayaan masyarakat nelayan dan pembudidayaan ikan melalui peningkatan
kegiatan ekonomi produktif yang berkaitan langsung dengan kehidupannya.
4.2. Analisis Produk Domestik Bruto, Tenaga Kerja, dan Produktivitas
Sektor Pertanian
4.2.1. Analisis Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian
Pada penelitian ini digunakan nilai Produk Domestik Bruto (PDB)
berdasarkan harga konstan, bukan harga yang berlaku. Harga konstan yang
digunakan adalah harga konstan tahun 2000. Hal ini dilakukan untuk
menghindari pengaruh inflasi dalam penentuan nilai PDB. Dengan menggunakan
harga konstan, perubahan yang terjadi pada PDB adalah dari perubahan produksi,
bukan harga.
�
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.3. Kontribusi Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB
Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Selama tahun 1990 sampai dengan 2006, ada tiga sektor ekonomi yang
tetap mendominasi dalam hal kontribusinya terhadap PDB. Ketiga sektor ini
adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, sektor industri
pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Dari ketiga sektor ini,
hanya sektor pertanian yang mengalami tren penurunan. Berbeda dengan sektor
industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang
kontribusinya terhadap PDB semakin meningkat (Gambar 4.3.). Selain itu, laju
pertumbuhan sektor pertanian juga lebih rendah jika dibandingkan dengan sektor
industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 4.4.).
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
Kon
trib
usi t
erha
dap
PDB
(%)
Tahun
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
�
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.4. Laju Pertumbuhan Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap
PDB Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Perkembangan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB selama tahun
1990-2006 dapat dijelaskan melalui perkembangan kontribusi subsektor-
subsektornya selama kurun waktu yang sama. Dalam perhitungan Produk
Domestik Bruto (PDB), sektor pertanian meliputi lima subsektor, yaitu subsektor
tanaman bahan makanan (tabama), tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-
hasilnya, kehutanan, dan perikanan.
a. Tanaman Bahan Makanan (tabama)
Dari tahun 1990 sampai dengan 2006, subsektor tanaman bahan
makanan (tabama) adalah subsektor yang memiliki kontribusi tertinggi
pada sektor pertanian (Gambar 4.5.). Subsektor tabama mencakup dua
jenis komoditi, yaitu tanaman pangan dan hortikultura. Tanaman pangan
terdiri dari komoditas padi, jagung, ketela (ubi kayu, ubi jalar), dan
-20.00
-15.00
-10.00
-5.00
0.00
5.00
10.00
15.00
Laj
u Pe
rtum
buha
n (%
)
Tahun
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
�
kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai). Sedangkan hortikultura
terdiri dari komoditas sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka,
dan tanaman hias. Dari komoditas-komoditas ini, produksi padi memberi
andil terbesar di subsektor tabama, sehingga perubahan produksi atau
harga akan berpengaruh besar terhadap subsektor ini. Bentuk produksi
padi dan palawija adalah gabah kering giling (padi), pipilan kering
(jagung), biji kering (kedelai dan kacang tanah), dan umbi basah (ubi kayu
dan ubi jalar).
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.5. Kontribusi Subsektor-Subsektor Pada Sektor Pertanian Berdasarkan Harga
Konstan 2000 Tahun 1990-2006 (dalam persen)
b. Tanaman Perkebunan
Selama tahun 1990-2006, kontribusi terbesar kedua terhadap PDB sektor
pertanian berasal dari subsektor ini. Secara umum subsektor perkebunan
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
Kon
trib
usi t
erha
dap
PDB
(%)
Tahun
Tanaman Bahan Makanan
Tanaman Perkebunan
Peternakan dan Hasil-Hasilnya
Kehutanan
Perikanan
�
ini terdiri dari perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Komoditi-
komoditi yang diusahakan dalam perkebunan rakyat adalah karet, kelapa,
kopi, kakao, teh, dan tembakau. Sedangkan perkebunan besar
mengusahakan karet, minyak kelapa sawit, inti sawit, teh, kopi, kakao,
gula tebu, dan tembakau. Bentuk produksi perkebunan adalah karet kering
(karet), daun kering (teh dan tembakau), biji kering (kopi dan kakao), kulit
kering (kayu manis dan kina), serat kering (rami), bunga kering (cengkeh),
refined sugar (tebu dari perkebunan besar), gula mangkok (tebu dari
perkebunan rakyat), equivalent kopra (kopra), biji dan buga (pala), serta
minyak daun (sereh).
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya
Produksi subsektor ini dihitung berdasarkan data pemotongan, selisih
populasi, ekspor neto hewan. Per definisi produksi pada subsektor
peternakan adalah pertambahan/pertumbuhan hewan dan hasil-hasilnya.
Komoditas subsektor peternakan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu
ternak besar, ternak kecil, dan unggas. Kelompok ternak besar terdiri dari
sapi perah, sapi potong, kerbau, dan kuda. Populasi ternak besar ini
sebagian besar berada di Pulau Jawa. Kelompok ternak kecil terdiri dari
kambing, domba, dan babi. Kelompok unggas terdiri dari ayam kampung,
ayam petelur, ayam pedaging, dan itik/itik manila.
d. Kehutanan
Menurut fungsinya, hutan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu hutan
lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi (hutan suaka alam dan
�
hutan pelestarian alam). Sampai dengan tahun 2006, luas kawasan hutan
berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) adalah sebesar 137.1 juta hektar. Luas hutan lindung adalah 31.6
juta hektar atau 23.1 persen dari luas kawasan hutan secara keseluruhan.
Luas hutan konservasi yang tercatat adalah 23.5 juta hektar, yang terdiri
dari 23.3 juta hektar kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam,
serta hutan buru seluas 0.2 juta hektar terdapat di 10 provinsi. Sementara
itu, luas hutan produksiadalah 81.9 juta hektar, yang terdiri dari hutan
produksi terbatas seluas 22.5 juta hektar, hutan produksi tetap seluas 36.6
juta hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 22.8 juta
hektar. Komoditas subsektor kehutanan terdiri dari kayu bulat, kayu
gergajian, kayu lapis, kayu gelondongan (log), kayu bakar, arang, dan
bambu.
e. Perikanan
Pengembangan subsektor perikanan selama ini mendapat prioritas yang
tinggi dari pemerintah. Hal ini dikarenakan kondisi wilayah Indonesia
yang strategis, yaitu berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia dan terdiri atas beribu-ribu pulau besar dan kecil, banyak sungai,
wilayah perairan yang luas, baik kelautan maupun garis pantai yang
panjang, sangat mendukung pengembangan subsektor ini. Subsektor
perikanan terdiri dari perikanan darat dan perikanan laut. Perikanan darat
dibedakan menjadi perikanan di perairan umum dan budidaya ikan darat
�
yang mencakup budidaya tambak, kolam, keramba, dan sawah. Perikanan
darat ini termasuk perairan seperti danau, rawa, dan sungai.
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.6. Laju Pertumbuhan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dan Subsektor Perkebunan Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006
(dalam persen)
Kontribusi sektor pertanian pada tahun 1990 menurun dibandingkan tahun
1989, yaitu menjadi 18,83 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan
kontribusi semua subsektornya. Kontribusi subsektor tabama menurun dari 11,16
persen menjadi 10,47 persen. Kontribusi subsektor perkebunan menurun dari
2,54 persen menjadi 2,48 persen. Kontribusi subsektor peternakan dan hasil-
hasilnya, kehutanan, dan subsektor perikanan juga menurun, yaitu masing-masing
menjadi 2,04 persen; 1,77 persen; dan 1,98 persen. Penurunan kontribusi pada
sektor pertanian ini sejalan dengan penurunan laju pertumbuhannya, yaitu dari
-10.00
-8.00
-6.00
-4.00
-2.00
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
Laj
u Pe
rtum
buha
n (%
)
Tahun
Tanaman Bahan Makanan
Tanaman Perkebunan
�
3,32 persen menjadi 2,00 persen. Penurunan ini terutama terutama disebabkan
oleh penurunan laju pertumbuhan subsektor tabama yang cukup tinggi, yaitu dari
3,97 persen menjadi 0,52 persen (Gambar 4.6.).
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.7. Laju Pertumbuhan Subsektor Peternakan dan Hasil-Hasilnya, Subsektor
Kehutanan, dan Subsektor Perikanan Berdasarkan Harga Konstan 2000 Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Pada tahun 1991 laju pertumbuhan PDB untuk sektor pertanian adalah
1,60 persen. Nilai ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar
2,00 persen. Penurunan laju pertumbuhan ini antara lain disebabkan oleh nilai
tambah subsektor tabama yang menurun sebesar 0,55 persen. Pada tahun ini
produksi padi dan jagung menurun, sedangkan kedelai dan kacang tanah
meningkat. Pada tahun yang sama, subsektor perkebunan meningkat menjadi
5,38 persen. Hal ini disebabkan oleh kenaikan produksi cengkeh, kopi, minyak
sawit, inti sawit, dan tebu. Laju pertumbuhan subsektor peternakan dan hasil-
-25.00
-20.00
-15.00
-10.00
-5.00
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
Laj
u Pe
rtum
buha
n (%
)
Tahun
Peternakan dan Hasil-Hasilnya
Kehutanan
Perikanan
�
hasilnya dan subsektor perikanan juga mengalami peningkatan, yaitu masing-
masing sebesar 6,04 persen, dan 5,20 persen. Sedangkan laju pertumbuhan
subsektor kehutanan menurun menjadi 0,02 persen (Gambar 4.7.).
Laju pertumbuhan sektor pertanian meningkat tajam pada tahun 1992,
yaitu sebesar 6,65 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan yang
tajam pada subsektor tabama sebesar 7,73 persen. Produksi padi, jagung, kedelai,
dan ketela rambat meningkat cukup besar pada tahun ini. Laju pertumbuhan
subsektor tanaman perkebunan adalah 4,77 persen, yang disebabkan oleh
peningkatan produksi karet, minyak sawit, coklat, dan rami. Laju pertumbuhan
subsektor peternakan dan hasil-hasilnya dan subsektor perikanan meningkat, yaitu
sebesar 7,95 persen dan 5,85 persen. Namun, laju pertumbuhan subsektor
kehutanan turun sebesar 2,25 persen.
Pada tahun 1993 sektor pertanian meningkat sebesar 1,42 persen,
peningkatan ini nilainya lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Penurunan ini
disebabkan oleh penurunan yang tajam pada subsektor tabama. Produksi tanaman
bahan makanan secara umum menurun, kecuali ketela pohon dan kacang hijau.
Subsektor tanaman perkebunan mengalami peningkatan, yaitu sebesar 5,83
persen. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh peningkatan produksi minyak
sawit, inti sawit, dan rami. Subsektor lainnya dengan laju pertumbuhan yang
meningkat adalah subsektor kehutanan. Sedangkan laju pertumbuhan untuk
subsektor peternakan dan hasil-hasilnya dan subsektor perikanan menurun, yaitu
masing-masing sebesar 5,59 persen dan 5,66 persen.
�
Pada tahun 1994 kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 15,88
persen. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan peranan subsektor tabama,
khususnya komoditi padi, dari 9,10 persen pada tahun 1993 menjadi 8,28 persen
pada tahun 1994. Subsektor tabama ini memberikan kontribusi terbesar untuk
sektor pertanian. Kegagalan panen pada tahun 1994 karena kemarau panjang
menurunkan pangsa produk-produk tanaman bahan makanan. Penyebab lainnya
adalah semakin banyaknya lahan pertanian di Pulau Jawa yang berubah fungsi
menjadi lahan industri, infrastruktur, dan perumahan. Kontribusi semua subsektor
juga mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun secara
umum produksi maupun harga komoditi utama perkebunan meningkat, tetapi
perubahannya relatif kecil, seperti yang terjadi pada komoditi karet, kelapa, tebu,
dan kopi. Hanya komoditi kelapa sawit yang pertumbuhannya dari tahun ke tahun
meningkat.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB kembali menurun pada tahun
1995, yaitu menjadi 15,32 persen. Semua subsektornya juga mengalami
penurunan kontribusi. Meskipun demikian, laju pertumbuhan beberapa
subsektornya meningkat, yaitu subsektor tabama dan subsektor peternakan dan
hasil-hasilnya. Peningkatan laju pertumbuhan pada subsektor peternakan ini
disebabkan oleh peningkatan permintaan domestik dan pasar luar negeri.
Penurunan laju pertumbuhan pada subsektor tanaman perkebunan dan kehutanan
disebabkan oleh menurunnya aktivitas perdagangan di pasar internasional yang
disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan produk-produk tanaman perkebunan
�
dan penerapan sistem ecolabelling pada hasil kehutanan sehingga para pengusaha
perhutanan dituntut lebih selektif dalam menghasilkan produk kehutanan.
Pada tahun 1996, kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 14,66
persen, sebelumnya pada tahun 1995 kontribusinya adalah 15,32 persen.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan kontribusi subsektor tabama
dari 8.02 persen pada tahun 1995 menjadi 7,60 persen pada tahun 1996.
Kontribusi subsektor-subsektor lainnya juga menurun, yaitu subsektor perkebunan
menurun menjadi 2,18 persen; subsektor peternakan dan hasil-hasilnya menurun
menjadi 1,86 persen; subsektor kehutanan menurun menjadi 1,19 persen; dan
subsektor perikanan menurun menjadi 1,77 persen. Penurunan kontribusi pada
sektor pertanian ini sejalan dengan penurunan laju pertumbuhannya, yaitu dari
4,38 persen menjadi 3,14 persen. Penurunan ini terutama terutama disebabkan
oleh penurunan laju pertumbuhan subsektor tabama yang cukup tinggi, yaitu dari
4,92 persen menjadi 2,11 persen.
Pada tahun 1997, kontribusi sektor pertanian adalah 14,16 persen,
sebelumnya pada tahun 1996 kontribusi sektor pertanian adalah 14,66 persen.
Penurunan ini tidak sejalan dengan kontribusi subsektor-subsektornya yang justru
meningkat dibandingkan tahun 1996. Pada tahun ini kontribusi terbesar terhadap
PDB pertanian tetap berasal dari subsektor tabama. Laju pertumbuhan sektor
pertanian juga menurun menjadi 1,00 persen. Penurunan laju pertumbuhan ini
juga tidak sejalan dengan laju pertumbuhan subsektor-subsektornya yang justru
mengalami peningkatan.
�
Pada tahun 1998 terjadi peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap
PDB, yaitu sebesar 16,10 persen. Pada tahun ini kontribusi subsektor-
subsektornya meningkat terhadap sektor pertanian, kecuali subsektor peternakan
dan hasil-hasilnya. Kontribusi subsektor ini menurun menjadi 1,85 persen dari
nilainya pada tahun 1997 yang sebesar 2,00 persen. Laju pertumbuhan sektor
pertanian justru menurun, yaitu negatif 1,33 persen. Penurunan ini seiring dengan
penurunan laju pertumbuhan subsektor-subsektornya. Pada tahun ini, laju
pertumbuhan semua subsektornya menurun dan bernilai negatif.
Pada tahun 1999 laju pertumbuhan sektor pertanian meningkat menjadi
2,16 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan laju pertumbuhan pada
subsektor-subsektornya, kecuali subsektor kehutanan yang semakin menurun
menjadi negatif 4,45 persen. Pada tahun ini kontribusi sektor pertanian terhadap
PDB juga meningkat, yaitu menjadi 16,35 persen. Peningkatan ini disebabkan
oleh peningkatan kontribusi dari semua subsektornya.
Pada tahun 2000 kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 15,89
persen. Sebelumnya, pada tahun 1999 kontribusinya adalah 16,35 persen.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan kontribusi subsektor tabama
dari 8,42 persen pada tahun 1999 menjadi 8,15 persen pada tahun 2000. Hanya
kontribusi subsektor perikanan yang meningkat, sedangkan subsektor-subsektor
lainnya menurun. Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sejalan
dengan penurunan laju pertumbuhannya, yaitu menjadi 1,88 persen. Penurunan
ini disebabkan oleh penurunan laju pertumbuhan subsektor-subsektornya,
�
terutama subsektor peternakan dan hasil-hasilnya. kontribusi subsektor ini
menurun dari 6,17 persen pada tahun 1999 menjadi 3,28 persen.
Pada tahun 2001 kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 15,64
persen. Sebelumnya, pada tahun 2000 kontribusinya adalah 15,89 persen.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan kontribusi subsektor tabama
dari 8,15 persen pada tahun 2000 menjadi 7,83 persen pada tahun 2001.
Subsektor lainnya dengan kontribusi yang menurun adalah subsektor kehutanan,
sedangkan kontribusi subsektor-subsektor lainnya meningkat. Laju pertumbuhan
sektor pertanian juga menurun, yaitu menjadi 1,68 persen. Penurunan ini
disebabkan oleh menurunnya laju pertumbuhan subsektor-subsektornya, yaitu
subsektor tabama dan subsektor perikanan, yang masing-masing sebesar negati
0,79 persen dan 4,73 persen..
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun, yaitu sebesar
15,39 persen pada tahun 2002. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan pada
subsektor tabama, subsektor kehutanan, dan subsektor perikanan, yaitu masing-
masing menjadi 7,64 persen, 1,14 persen, dan 2,19 persen. Laju pertumbuhan
sektor pertanian justru meningkat pada tahun ini, yaitu sebesar 2,63 persen.
Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan laju pertumbuhan pada subsektor
tabama, subsektor perkebunan, dan subsektor peternakan dan hasil-hasilnya,
masing-masing sebesar 1,74 persen; 6,39 persen; dan 5,98 persen.
Secara umum kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menurun pada
tahun 2003, yaitu dari sebesar 15,39 persen pada tahun 2002 menjadi 15,24 persen.
Subsektor tabama adalah penyumbang terbesar diantara subsektor-subsektor
�
lainnya. Namun, kontribusi subsektor ini terhadap PDB sektor pertanian
mengalami sedikit penurunan pada tahun 2003, yaitu 7,64 persen pada tahun 2002
menjadi 7,56 persen. Penurunan ini merupakan akibat dari peningkatan yang
tajam pada sektor-sektor lainnya, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi dan
sektor jasa-jasa. Subsektor perkebunan di tahun 2003 memberikan kontribusi
terbesar kedua terhadap sektor pertanian, yaitu 2,45 persen, nilai ini sedikit
menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 2,46 persen. Kontribusi dari
subsektor-subsektor lainnya juga menurun, kecuali subsektor perikanan yang
meningkat menjadi 2,20 persen. Laju pertumbuhan sektor ini meningkat menjadi
3,79 persen dari nilai tahun sebelumnya yang sebesar 2,63 persen. Peningkatan
ini terutama disebabkan oleh peningkatan laju pertumbuhan pada subsektor
tabama dan subsektor perikanan, yaitu sebesar 3,64 persen dan 5,05 persen..
Pada tahun 2004 kontribusi sektor pertanian terhadap PDB dan laju
pertumbuhannya menurun, yaitu masing-masing menjadi 14,92 persen dan 2,82
persen. Penurunan kontribusi ini sebagai akibat dari penurunan kontribusi
subsektor-subsektornya, kecuali subsektor perikanan. Kontribusi subsektor ini
mengalami peningkatan, yaitu menjadi 2,21 persen dari nilainya yang sebesar 2,20
pada tahun 2003. Penurunan subsektor tabama dari 7,56 persen pada tahun 2003
menjadi 7,40 persen dikarenakan peningkatan sektor lain yang secara rata-rata
lebih tinggi. Secara umum laju pertumbuhan tiap subsektor juga menurun,
kecuali subsektor kehutanan dan subsektor perikanan, yang laju pertumbuhannya
menjadi 1,28 persen dan 5,56 persen pada tahun 2004.
�
Pada tahun 2005, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB adalah 14,50
persen, nilai ini menurun dibandingkan kontribusinya pada tahun 2004 yang
sebesar 14,92 persen. Penurunan ini seiring dengan penurunan kontribusi
subsektor-subsektornya, kecuali subsektor perikanan yang nilainya tetap, yaitu
2,21 persen. Laju pertumbuhan sektor pertanian tetap positif, walaupun nilainya
menurun menjadi 2,72 persen. Hampir semua laju pertumbuhan subsektornya
menurun, kecuali laju pertumbuhan subsektor perkebunan dan subsektor
perikanan, yang masing-masing meningkat menjadi 2,48 persen dan 5,87 persen.
Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun pada tahun
2006, yaitu menjadi 14,20 persen. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan pada
hampir semua subsektornya, kecuali subsektor perikanan yang justru meningkat
menjadi 2,24 persen. Meskipun kontribusinya menurun, laju pertumbuhan sektor
pertanian justru meningkat, yaitu menjadi 3,36 persen dari nilainya yang sebesar
2,72 persen pada tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan laju
pertumbuhan pada sebagian besar subsektornya, kecuali subsektor kehutanan yang
menurun menjadi negatif 2,85 persen.
4.2.2. Analisis Tenaga Kerja Sektor Pertanian
Angkatan kerja sektor pertanian selama tahun 1990 sampai dengan 2006
secara umum menurun, tetapi tetap dominan dibandingkan penyerapan sektor
industri pengolahan dan industri perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 4.8.).
Mulai tahun 1996 ditetapkan perubahan dalam definisi umur angkatan kerja, yaitu
�
yang sebelumnya adalah 10 tahun ke atas menjadi 15 tahun ke atas. Perubahan ini
sesuai dengan ketentuan dari International Labour Organization (ILO).
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.8. Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi
terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Penurunan yang terus-menerus pada jumlah angkatan kerja selama tahun
1993 sampai dengan tahun 1996 disebabkan oleh penurunan kinerja sektor
pertanian selama kurun waktu tersebut sehingga kesempatan kerja di sektor ini
ikut menurun. Hal ini ditandai dengan penurunan pada kontribusi sektor pertanian
terhadap PDB selama tahun 1993 sampai dengan 1996.
Pada tahun 1997, krisis moneter berdampak pada pembangunan
ketenagakerjaan, termasuk pada perkembangan kesempatan kerja. Kemampuan
0
10
20
30
40
50
60
Ang
kata
n K
erja
(%)
Tahun
Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan PerikananSektor Industri Pengolahan
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
�
sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja menjadi berkurang sehingga terjadi
penurunan jumlah angkatan kerja pada tahun tersebut.
Penurunan angkatan kerja sektor pertanian pada tahun 2004 sampai
dengan 2006 kembali disebabkan oleh penurunan kinerja sektor pertanian
sehingga kemampuan sektor ini dalam menyerap tenaga kerja berkurang.
Penurunan kinerja sektor pertanian ini ditandai dengan kontribusinya terhadap
PDB dan laju pertumbuhannya yang cenderung menurun selama kurun waktu
tersebut.
Dari Gambar 4.8. dan penjelasan-penjelasan yang telah diberikan, terlihat
bahwa sektor pertanian dalam perekonomian nasional tetap memegang peranan
yang penting. Hal ini dikarenakan sebagian besar angkatan kerja di Indonesia
masih bekerja di sektor tersebut, meskipun terjadi tren penurunan selama tahun
1986 sampai dengan 2006. Oleh karena itu pembangunan di sektor pertanian
tetap harus diprioritaskan, mengingat masih terbatasnya penyerapan tenaga kerja
di sektor-sektor lainnya.
4.2.3. Analisis Produktivitas Sektor Pertanian
Kualitas dari tenaga kerja yang dugunakan dapat diukur berdasarkan
kemampuannya dalam menghasilkan barang dan jasa, ukuran inilah yang
dinamakan produktivitas. Salah satu cara untuk mengukur produktivitas adalah
dengan membuat rasio antara PDB dengan jumlah tenaga kerja.
�
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
Gambar 4.9. Produktivitas Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi Tertinggi terhadap PDB
Selama Tahun 1990-2006 (dalam Rupiah/kapita)
Produktivitas sektor pertanian selama tahun 1990 sampai dengan 2006
mengalami peningkatan. Namun, produktivitas sektor pertanian ini masih lebih
rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sektor industri pengolahan dan
sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu usaha yang mampu menciptakan
penambahan output, yaitu misalnya dengan cara meningkatkan investasi dan
memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dengan mengembangkan faktor
teknologi industri yang berorientasi pada pertanian serta membangun tenaga kerja
yang terampil dan unggul agar produktivitas di sektor ekonomi pertanian
meningkat.
05000000
100000001500000020000000250000003000000035000000400000004500000050000000
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Prod
uktiv
itas (
Rp/
kapi
ta)
Tahun
Pertanian, Peternakan,Kehutanan dan Perikanan
Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
�
4.3. Analisis Hubungan antara Belanja Negara untuk Sektor Pertanian
terhadap Produktivitas Sektor Pertanian di Indonesia
Dengan menggunakan Minitab 15 dilakukanlah pemerikasaan asumsi-
asumsi. Pemeriksaan asumsi regresi ini terdiri dari lima pemeriksaan, yaitu:
(1) Asumsi Linieritas
Pengujian asumsi ini dapat dilakukan dengan menggunakan scatter plot atau
matrix plot, sehingga terlihat pola umum hubungan antara variable bebas dan
variabel tak bebasnya.
�������
�������
�������
������������
���������
����
����
�
���������������������
����
����
����
�������
������
� ����
��������������������������������� ����
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Gambar 4.10. Hasil Uji Linieritas
Pada hasil matrix plot (Gambar 4.10.), hubungan antara variabel PRD (Y)
dengan variabel RTN (X1) ditunjukkan oleh kotak dibawah kotak berlabelkan
PRD (Y), sedangkan hubungan antara variabel PRD (Y) dengan variabel
BGN (X2) ditunjukkan oleh kotak di pojok kiri bawah. Dari gambar tersebut
�
terlihat bahwa polanya dapat dianggap sebagai hubungan yang linear, karena
tidak ada pola lain seperti pola kuadratik maupun pola kubik. Oleh karena itu,
asumsi linearitas terpenuhi.
(2) Asumsi Kenormalan
Dengan menggunakan uji kenormalan kolmogorov-smirnov diperoleh nilai
p-value > 5%, yang berarti terima H0. Terima H0 membuktikan bahwa sisaan
menyebar normal.
Pada Gambar 4.11. terlihat bahwa nilai p-value sebesar 0,086. Nilai ini lebih
besar daripada taraf nyata yang digunakan, sehingga terima H0 yang berarti
asumsi kenormalan terpenuhi.
����������������������������������������������
�
�
�
��
��
��
��
��
��
��
�
�
�����
�������
� �� ����������
��� � ������
� ��
�� ����
������ ����
���������� ���������������������
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Gambar 4.11. Hasil Uji Kenormalan
�
(3) Asumsi Homoskedastisitas
Sebelumnya, perlu dilihat terlebih dahulu bentuk dari sisaanya terhadap nilai
Y. Karena datanya tidak terlalu banyak, maka dengan melihat plot seperti
pada Gambar 4.12., secara kualitatif dapat disimpulkan bahwa sisaannya
menyebar dengan homogen walaupun ada data yang berperilaku berbeda,
yang letaknya jauh dari nilai tengah 0. Oleh karena itu, diberikan bobot yang
sesuai dengan besarnya sisaan pada data, yaitu sebesar 1/e2. Sehingga
analisis yang digunakan menjadi menjadi OLS terboboti atau dikenal dengan
Weighted Least Square (WLS).
��������������������������������������������������������
�������
�
��������
��������
��������
!����"�#��$�
��%�"$��
#��%$%�!��% � !"��! �#!��$�� %&&
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Gambar 4.12. Hasil Uji Homoskedastisitas
(4) Asumsi Autokorelasi
Untuk menguji asumsi ini kita dapat menggunakan uji runtun atau run test.
Dengan melihat Run Chart pada Gambar 4.13., yang merupakan hasil dari
�
run test, dapat disimpulkan bahwa tidak ada bentuk clustering (data yang
mengumpul di beberapa titik), terjadi mixtures, terjadi trend, dan terjadi
oscillation (osilasi). Hal ini terlihat dari nilai p-value untuk clustering yang
kurang dari taraf nyata, yaitu sebesar 0,040 dan nilai p-value dari mixtures,
trend, dan oscillation yang lebih besar dari taraf nyata, yaitu masing-masing
sebesar 0,960; 0,271; dan 0,729. Hasil run test ini menunjukkan bahwa tidak
ada autokorelasi antar sisaan variabel bebasnya.
�����������
�������
�
��������
��������
��������
&�%��'�����
����(
���' ���(����!��'����� )#��* �
�+" ,� )����' ���(����!* ��
-��. !�������'����� )#��* �
/""��+������� �(���0 ��!� �#�.* �����
/""��+������� �(����#+��� !* ����
���' ���(����!��"����)�1�* ��
�+" ,� )����' ���(����!* ����
-��. !�������"����)�1�* �
/""��+������� �(���2� �)!* �����
/""��+������� �(���3!,#����#��* ����
�$��)*�����������(
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Gambar 4.13. Hasil Uji Autokorelasi
(5) Asumsi Multikolinearitas
Asumsi ini dapat diperiksa dengan menggunakan nilai VIF pada Tabel 4.2.
Jika nilai VIF lebih besar dari 10, maka dapat dikatakan ada multikolinearitas.
Namun, pada analisis regresi untuk penelitian ini didapatkan nilai VIF yang
�
lebih kecil dari 10, yaitu sebesar 3,446. Hal ini menunjukkan bahwa
multikolinearitas tidak terjadi.
Hasil secara keseluruhan untuk pengujian asumsi-asumsinya adalah bahwa
asumsi linieritas, kenormalan, homoskedastisitas, autokorelasi dan multikorelasi
terpenuhi. Dengan demikian dapat ditentukan persamaan regresi yang sesuai.
Hasil WLS dari Minitab 15 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.1. Hasil ANOVA
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 2 236.07 118.04 116.73 0.000 Residual Error 14 14.16 1.01 Total 16 250.23
Sumber: Minitab 15 (diolah)
Tabel 4.2. Hasil Weighted Least Square (WLS)
Regression Analysis: PRD (Y) versus RTN (X1), BGN (X2)
Weighted analysis using weights in 1/e2 The regression equation is
PRD (Y) = 3061826 + 116 RTN (X1) + 593 BGN (X2) Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 3061826 212276 14.42 0.000 RTN (X1) 115.83 17.44 6.64 0.000 3.446 BGN (X2) 592.58 45.56 13.01 0.000 3.446 S = 1.00559; R-Sq = 94.3%; R-Sq (adj) = 93.5%
Sumber: Minitab 15 (diolah)
�
Persamaan regresi yang diperoleh adalah:
PRD = 3061826 + 116 RTN + 593 BGN
Persamaan regresi di atas menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan pada
pengeluaran rutin akan menyebabkan peningkatan produktivitas sebesar 116
satuan dan peningkatan satu satuan pada pengeluaran pembangunan akan
menyebabkan peningkatan produktivitas sebesar 593 satuan tiap tahunnya.
Dari hasil pengujian ekonometrik yang telah dilakukan, ternyata variabel
pengeluaran rutin (RTN) dan pengeluaran pembangunan (BGN) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap variabel produktivitas sektor pertanian (PRD) pada
taraf nyata (�) 5%. Hal ini terlihat dari probabilitas kedua variabel ini yang
nilainya lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, yaitu 5%, yaitu sebesar 0,000
(Tabel 4.2.).
Walaupun kedua jenis pengeluaran ini berpengaruh positif dan signifikan
terhadap produktivitas pertanian, dampak yang diberikan pengeluaran
pembangunan lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluaran rutin, yang
terlihat dari koefisien variabel pengeluaran pembangunan (BGN) yang lebih besar
daripada koefisien variabel pengeluaran rutin (RTN). Hal ini dikarenakan
pengeluaran pembangunan digunakan untuk membiayai program-program yang
berkaitan langsung dengan pembangunan sektor pertanian. Pembangunan di
sektor pertanian terdiri dari pembangunan pada subsektor-subsektornya, yaitu
�
subsektor tanaman bahan makanan (tabama), subsektor kehutanan, subsektor
peternakan dan hasil-hasilnya, subsektor kehutanan, dan subsektor perikanan.
a. Subsektor tanaman bahan makanan (tabama)
Dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk dan perbaikan
gizi melalui penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan sampai ke
tingkat rumah tangga, dan mengurangi impor bahan makanan, produksi
tanaman bahan makanan memegang peranan penting bagi pembangunan
sektor pertanian. Oleh karena itu, pemerintah telah melaksanakan
serangkaian kebijakan dengan menyusun program pembangunan di sektor
pertanian. Salah satu program pokoknya adalah peningkatan produksi pangan.
Pemerintah menyadari bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
pangan semakin kompleks. Salah satu usaha untuk meningkatkan penyediaan
dan produksi pangan adalah dengan melanjutkan pembangunan di sektor
pertanian terutama subsektor tabama melalui usaha Intensifikasi Umum
(Inmum), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus, serta pembinaan terhadap
pemasaran bahan-bahan tanaman pangan yang diselenggarakan secara
terpadu dan menyeluruh, terutama di daerah pedesaan.
b. Subsektor perkebunan
Perkebunan merupakan salah satu sumbangan kekayaan alam yang dapat
diperbaharui. Subsektor perkebunan merupakan lapangan usaha yang dapat
menyerap banyak tenaga kerja, sebagai bahan baku untuk bahan industri
pengolahan, dan dapat berperan dalam pelestarian lingkungan hidup. Oleh
karena itu, usaha pengembangan subsektor ini perlu ditingkatkan. Produksi
�
perkebunan rakyat lebih besar daripada perkebunan besar sehingga
pembangunan subsektor ini lebih difokuskan pada perkebunan rakyat, tanpa
mengabaikan pembangunan perkebunan besar. �
c. Subsektor peternakan dan hasil-hasilnya
Daging, telur, dan susu merupakan kebutuhan protein hewani yang
banyak dikonsumsi masyarakat, sehingga permintaan terhadap komoditi-
komoditi ini semakin meningkat. Peningkatan permintaan ini mengharuskan
peningkatan pembangunan di subsektor peternakan, baik yang dikelola oleh
rumah tangga maupun perusahaan yang pada umumnya masih bersifat
tradisional. Pembangunan subsektor peternakan diprioritaskan untuk
mengembangkan peternakan rakyat, yang bertujuan untuk meningkatkan
protein hewani masyarakat dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani
peternak kecil. Usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk
mencapai tujuan tersebut adalah usaha-usaha intensifikasi dan ekstensifikasi
yang didukung dengan pengembangan perusahaan pembibitan, penyuluhan,
dan pengamanan ternak. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan
peternakan rakyat adalah rendahnya sumber daya manusia dan terbatasnya
dana yang tersedia. Oleh karena itu, program yang ditempuh oleh pemerintah
adalah mengembangkan alih teknologi yang disertai dengan peningkatan
kualitas sumber daya manusia.
�
d. Subsektor kehutanan
Untuk menjaga keberlanjutan produksi dari subsektor kehutanan ini,
program-program utama yang dilakukan pemerintah adalah program reboisasi,
penghijauan dan program rehabilitasi lahan.
e. Subsektor perikanan
Subsektor perikanan merupakan salah satu sumber devisa bagi ekspor
komoditi non migas. Namun, penghasilan dari subsektor ini masih berasal
dari penjualan produk primer atau produk yang belum diolah. Hal ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya hayati laut masih belum
optimal. Beberapa faktor yang menjadi kendala adalah terbatasnya modal
investasi, kurangnya penguasaan iptek dan tenaga ahli perikanan/kelautan,
serta iklim usaha yang belum mendukung industri perikanan yang maju.
Dalam rangka meningkatkan produksi subsektor perikanan untuk memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi masyarakat, pemerintah telah mengusahakan
peningkatan mutu intensifikasi melalui perbaikan teknologi produksi dan
manajemen penyuluhan balai benih dan pembangunan baru atau rehabilitasi
pelabuhan perikanan, pusat pendaratan ikan dan saluran tambak. Sedangkan
untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perikanan, aspek sumber daya
manusia (petani ikan, nelayan, dan pengusaha), penyerapan teknologi (baik
teknologi penangkapan maupun teknologi budi daya), dan manajemen usaha
memegang peranan yang sangat penting sehingga efisiensi dalam
meningkatkan kesejahteraan, khususnya nelayan atau petani ikan.
�
Pengeluaran rutin juga berpengaruh positif terhadap produktivitas sektor
pertanian karena anggaran rutin ini digunakan untuk meningkatkan efisiensi,
efektivitas, dan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, diantaranya
melalui peningkatan kemampuan aparatur pemerintah, pemanfaatan secara
optimal biaya operasional dan pemeliharaan, serta penghapusan subsidi secara
bertahap. Pengeluaran rutin yang secara umum meningkat tiap tahunnya
disebabkan oleh semakin besarnya organisasi, tugas, dan fungsi pemerintah dalam
pelaksanaan operasional pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan.
Peningkatan tersebut juga berkaitan erat dengan semakin besarnya kebutuhan
pembiayaan yang diperlukan untuk pembiayaan aparatur pemerintah pusat dan
daerah, pembiayaan operasional dan pemeliharaan, pembiayaan untuk
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, serta pembiayaan yang
diperlukan untuk mendukung dan menunjang berbagai program pemerintah yang
ditujukan untuk membangun sektor pertanian.
�
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, belanja negara untuk sektor
pertanian, yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan,
secara umum meningkat. Selama kurun waktu ini juga, anggaran yang
dialokasikan untuk pengeluaran pembangunan di sektor pertanian lebih besar
daripada untuk pengeluaran rutinnya.
Dari tahun 1990 sampai dengan 2006, Produk Domestik Bruto (PDB) dan
produktivitas sektor pertanian terus meningkat. Namun, nilai PDB dan
produktivitas sektor pertanian ini lebih rendah daripada sektor industri pengolahan
dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sedangkan untuk penyerapan tenaga
kerja, sektor pertanian masih merupakan sektor ekonomi dengan tingkat
penyerapan tenaga kerja tertinggi jika dibandingkan dengan sektor-sektor
ekonomi lainnya.
Dari hasil pengujian ekonometrik terbukti bahwa dari tahun 1990 sampai
dengan tahun 2006 belanja negara berupa pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas sektor
pertanian. Dari kedua jenis belanja negara ini, dampak yang diberikan oleh
pengeluaran pembangunan terhadap produktivitas pertanian lebih besar daripada
dampak pengeluaran rutinnya.
�
5.2. Saran
Sebaiknya pemerintah tidak hanya memperhatikan kuantitas anggaran yang
ditujukan untuk sektor pertanian, tetapi juga memperhatikan kualitasnya. Akan
lebih baik apabila pengeluaran rutin difokuskan untuk membiayai pos-pos
pembiayaan yang lebih berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas pertanian
dan pengeluaran pembangunan difokuskan untuk program-program yang
produktif, yaitu program-program yang nilai produksinya lebih besar daripada
nilai investasinya.
Dibutuhkan suatu usaha yang mampu menciptakan penambahan output sektor
pertanian, yaitu misalnya dengan cara meningkatkan investasi dan memanfaatkan
sumber daya alam secara optimal dengan mengembangkan faktor teknologi
industri yang berorientasi pada pertanian serta membangun tenaga kerja yang
terampil dan unggul agar produktivitas di sektor pertanian meningkat.
Perlu dilakukan efisiensi pembiayaan untuk pos-pos pembiayaan pada
pengeluaran rutin, sehingga dana anggaran dapat lebih difokuskan pada
pengeluaran pembangunan di sektor pertanian.
�
DAFTAR PUSTAKA
Allcott, H., Lederman D., dan Lopéz, R. 2006. Political Institutions, Inequality,
and Agricultural Growth: The Public Expenditure Connection. World Bank Working Paper. 3902: 23-25.
Badan Pusat Statistik. 1982. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1982. Badan
Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1986. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 1986. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 1987. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1987. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1988. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1988. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1989. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1989. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1991. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1991. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1992. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1992. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1993. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1993. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1994. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1994. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1996. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia 1996. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1997. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 1997. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 1998. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 1998. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
�
---------. 1999. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 1999. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
---------. 2000. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2000. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 2001. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2001. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 2002. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2002. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 2003. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2003. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 2004. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2004. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 2006. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2006. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 2007. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2007. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 2008. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia: Agustus 2008. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 1993. Laporan Perekonomian Indonesia 1993. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1994. Laporan Perekonomian Indonesia 1994. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1995. Laporan Perekonomian Indonesia 1995. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1996. Laporan Perekonomian Indonesia 1996. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1997. Laporan Perekonomian Indonesia 1997. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1998. Laporan Perekonomian Indonesia 1998. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
�
---------. 1999. Laporan Perekonomian Indonesia 1999. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
---------. 2000. Laporan Perekonomian Indonesia 2000. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 2001. Laporan Perekonomian Indonesia 2001. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 2005. Laporan Perekonomian Indonesia 2005. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 2006. Laporan Perekonomian Indonesia 2006. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1992. Pendapatan Nasional Indonesia 1986-1991. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1993. Pendapatan Nasional Indonesia 1987-1992. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1994. Pendapatan Nasional Indonesia 1988-1993. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1995. Pendapatan Nasional Indonesia 1993-1994. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1996. Pendapatan Nasional Indonesia 1993-1995. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1998. Pendapatan Nasional Indonesia 1994-1997. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 1999. Pendapatan Nasional Indonesia 1995-1998. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 2002. Pendapatan Nasional Indonesia 1995-1998. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 2003. Pendapatan Nasional Indonesia 1999-2002. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 2004. Pendapatan Nasional Indonesia 2000-2003. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
�
---------. 2005. Pendapatan Nasional Indonesia 2001-2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
---------. 2006. Pendapatan Nasional Indonesia 2002-2005. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 2007. Pendapatan Nasional Indonesia 2003-2006. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 2008. Pendapatan Nasional Indonesia 2004-2007. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. ---------. 2002. Proyeksi Angkatan Kerja Indonesia 2003-2010. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. ---------. 1985. Statistik Indonesia 1985. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1986. Statistik Indonesia 1986. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1990. Statistik Indonesia 1990. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1991. Statistik Indonesia 1991. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 1995. Statistik Indonesia 1995. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2005. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ---------. 2008. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Dunia. 2009. Indonesia Agriculture Public Spending and Growth. Bank
Dunia, Jakarta. Darsono. 2009. Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor
Pertanian dengan Penekanan pada Agroindustri di Indonesia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Departemen Keuangan. 1986. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1986/1987. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1987. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun 1987/1988. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1988. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun 1988/1989. Departemen Keuangan, Jakarta.
�
---------. 1989. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1989/1990. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1990. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1990/91. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1991. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1991/92. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1992. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1992/93. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1993. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1993/94. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1994. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1994/95. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1995. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 1995/1996. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1996. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1996/1997. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1997. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 1997/1998. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 1998. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1998/1999. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 1999. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 2000. Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2000. Departemen Keuangan, Jakarta. ---------. 2001. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2001. Departemen Keuangan, Jakarta.
�
---------. 2002. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2002. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 2003. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2002 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2003. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 2004. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2003 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2004. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 2005. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005. Departemen Keuangan, Jakarta.
---------. 2006. Nota Keuangan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006. Departemen Keuangan, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Ensiklopedi Nasional Indonesia. P.T.
Delta Pamungkas, Jakarta. Departemen Pertanian. 2008. Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian Tahun
2007. Departemen Pertanian, Jakarta. Fox, J. 2002. Robust Regression: Appendix to An R and S-Plus Companion to
Applied Regression . http://cran.r-project.org/doc/contrib/Fox-Companion/appendix-robust-regression.pdf [31 Agustus 2009]
Fuglie, K. O. 2003. Productivity Growth in Indonesian Agriculture, 1961-2000.
ht tp: / /www.google .com/2003_fugl ie . pdf [9 Agus tus 2009] Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta. Herliana, L. 2004. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Indonesia:
Analisis Dekomposisi Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kalangi, L. S. 2006. Peranan Investasi di Sektor Pertanian dan Agroindustri
dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
�
Moreno-Dodson, B. 2008. Assessing the Impact of Public Spending on Growth: An Empirical Analysis for Seven Fast Growing Countries. World Bank Working Paper. 4663: 4, 22, 26-27 .
Rahardjo, M. D. 1986. Transformasi Pertanian: Industrialisasi dan Kesempatan
Kerja. UI Press. Jakarta. Sinungan, M. 1995. Produktivitas: Apa dan Bagaimana. Bina Aksara, Jakarta. Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Todaro, M. P. dan Smith, S. C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.
Erlangga, Jakarta.
�
LAMPIRAN
�
Lampiran 1 Perubahan Perincian Belanja Negara untuk Sektor Pertanian
Tahun 1990-2006
Tahun Perincian untuk Sektor Perincian untuk Subsektor
1990-1993 Sektor Pertanian dan Pengairan
1. Subsektor Pertanian
2. Subsektor Pengairan
1994-2000 Sektor Pertanian dan Kehutanan + Sektor
Pengairan
Sektor Pertanian dan Kehutanan
1. Subsektor Pertanian
2. Subsektor Kehutanan
Sektor Pengairan 1. Subsektor Pengembangan Sumber Daya Air
2. Subsektor Irigasi
2001-2004
Sektor Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan
Perikanan + Sektor Pengairan
Sektor Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan Perikanan
1. Subsektor Pertanian
2. Subsektor Kehutanan
3. Subsektor Kelautan & Perikanan
Sektor Pengairan 1. Subsektor Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan 2. Subsektor Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-sumber Air
2005-2006 Berdasarkan Organisasi dan Fungsi
Organisasi
1. Departemen Pertanian
2. Departemen Kehutanan
3. Departemen Kelautan dan Perikanan
Fungsi : Ekonomi 1. Subfungsi Pertanian, Kehutanan, Perikanan, dan Kelautan
2. Subfungsi Pengairan Sumber: Departemen Keuangan, 1990-2006
�
Lampiran 2 Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 1983
(dalam milyar Rupiah)
Lapangan Usaha Harga Konstan 1983
1990 1991 1992 1993
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 22356.90 22714.80 24225.50 24569.30
Pertambangan dan Penggalian 17531.70 19317.00 18957.70 19370.30
Industri Pengolahan 22336.90 24585.00 26963.60 29484.40
Listrik, Gas, dan Air Bersih 725.70 842.80 928.20 1022.30
Bangunan 6672.90 7423.70 8223.60 9222.50
Perdagangan, Hotel, dan Restoran 18568.60 19576.20 21009.10 22850.10
Pengangkutan dan Komunikasi 6367.90 6869.40 7554.90 8302.20
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 4893.80 5535.10 6255.70 7069.60
Sewa Rumah 2998.80 3119.70 3249.30 3411.10
Pemerintahan dan Pertahanan 8783.30 9052.10 9320.00 9508.80
Jasa-Jasa 3980.80 4189.40 4497.20 4896.50
PDB dengan Migas 115217.30 123225.20 131184.80 139707.10
Sumber: BPS, 1990-1993
�
Lampiran 3 Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 1993
(dalam milyar Rupiah)
Lapangan Usaha
Harga Konstan 1993
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
(1) 58963.40 59291.20 61885.20 63827.80 64468.00 63609.50 64985.30 66208.90 67318.50
(2) 31497.30 33261.60 35502.20 37739.40 38538.20 37474.00 36865.80 38896.40 39401.30
(3) 73556.30 82649.00 91637.10 102259.70 107629.70 95320.60 99058.50 104986.90 108272.30
(4) 3290.20 3702.70 4291.90 4876.80 5479.90 5646.10 6112.90 6574.80 7111.90
(5) 22512.90 25857.50 29197.80 32923.70 35346.40 22465.30 22035.60 23278.70 24308.20
(6) 55297.60 59504.10 64230.80 69475.00 73523.80 60130.70 60093.70 63498.30 65824.60
(7) 23248.90 25188.60 27328.60 29701.10 31782.50 26975.10 26772.10 29072.10 31338.90
(8) 28047.80 30901.00 34313.00 36384.20 38543.00 28278.70 26244.60 27449.40 28932.30
(9) 33361.40 34285.10 35405.80 36610.20 37934.50 36475.00 37184.00 38051.50 39245.40
PDB dengan Migas
329775.80 354640.80 383792.40 413797.90 433246.00 376375.00 379352.50 398017.00 411753.40
Sumber: BPS, 1993-2001
Keterangan:
(1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan,
dan Perikanan
(2) Pertambangan dan Penggalian
(3) Industri Pengolahan
(4) Listrik, Gas, dan Air Bersih
(5) Bangunan
(6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran
(7) Pengangkutan dan Komunikasi
(8) Keuangan, Persewaan, dan Jasa
Perusahaan
(9) Jasa-Jasa
�
Lampiran 4 Produk Domestik Bruto Nasional Berdasarkan Harga Konstan 2000
(dalam milyar Rupiah)
Lapangan Usaha Harga Konstan 2000
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan 225685.70 231613.50 240387.30 247163.60 253881.70 262402.80
Pertambangan dan
Penggalian 168244.30 169932.00 167603.80 160100.50 165222.60 168028.90
Industri Pengolahan 398323.90 419387.80 441754.90 469952.40 491561.40 514100.30
Listrik, Gas dan Air Bersih 9058.30 9868.20 10349.20 10897.60 11584.10 12251.10
Bangunan 80080.40 84469.80 89621.80 96334.40 103598.40 112233.60
Perdagangan, Hotel dan
Restoran 234273.00 243266.60 256516.60 271142.20 293654.00 312520.80
Pengangkutan dan
Komunikasi 70276.10 76173.10 85458.40 96896.70 109261.50 124975.70
Keuangan, Persewaan dan
Jasa Perusahaan 123085.50 131523.00 140374.40 151123.30 161252.20 170074.30
Jasa-Jasa 133957.40 138982.40 145104.90 152906.10 160799.30 170705.40
PDB dengan Migas 1442984.60 1505216.40 1577171.30 1656516.80 1750815.20 1847292.90
Sumber: BPS, 2001-2006
�
Lampiran 5 Penyerapan Angkatan Kerja Tiga Sektor Ekonomi dengan Kontribusi
Terbesar terhadap PDB Selama Tahun 1990-2006 (dalam persen)
Tahun AK Nasional
AK Pertanian
Sektor Pertanian,
Peternakan, Kehutanan,
dan Perikanan
(%)
AK Industri
Sektor Industri
Pengolahan (%)
AK Perdagangan
Sektor Perdagangan,
Hotel, dan Restoran (%)
1990 75850580 42378309 55.87 7693263 10.14 11067357 14.59
1991 76423179 41205791 53.92 7946350 10.40 11430655 14.96
1992 78518372 42153205 53.69 8255496 10.51 11746813 14.96
1993 79200542 40071850 50.60 8784295 11.09 12508070 15.79
1994 82038109 37857499 46.15 10840195 13.21 13967234 17.03
1995 80110060 35233270 43.98 10127047 12.64 13883682 17.33
1996 85701813 37720251 44.01 10773038 12.57 16102552 18.79
1997 87049756 35848631 41.18 11214822 12.88 17221184 19.78
1998 87672449 39414765 44.96 9933622 11.33 16814233 19.18
1999 88816859 38378133 43.21 11515955 12.97 17529099 19.74
2000 89837730 40676713 45.28 11641756 12.96 18489005 20.58
2001 90807417 39743908 43.77 12086122 13.31 17469129 19.24
2002 91647166 40633627 44.34 12109997 13.21 17795030 19.42
2003 90784917 42001437 46.26 10927342 12.04 16845995 18.56
2004 93722036 40608019 43.33 11070498 11.81 19119156 20.40
2005 94948118 41814197 44.04 11652406 12.27 18896902 19.90
2006 95456935 40136242 42.05 11890170 12.46 19215660 20.13
Sumber: BPS, 1990-2006 (diolah)
�
Lampiran 6 Rumus-Rumus Pelengkap
(1) Konversi Nilai PDB Harga Konstan 1983 menjadi PDB Harga Konstan 1993:
���L�: � MNOLP�QR� ; S � �MNO �P:�MNO�PTU�
MNO�PTU
Keterangan: ���� = PDB Harga Konstan 1983
���L = PDB Harga Konstan 1993
(2) Konversi Nilai PDB Harga Konstan 1993 menjadi PDB Harga Konstan 2000:
�������: �MNO���P�QR�
; S ��MNOLP:�MNOLPTU�
MNOLPTU
Keterangan: ���L = PDB Harga Konstan 1993
������ = PDB Harga Konstan 2000
(3) Kontribusi Sektor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
VWX�YZ[\]Z� MNO�<*9�JH
MNO�CJ�FE�^�!__
(4) Laju Pertumbuhan Sektor
ab\���Y�\([\caX��MNOP:�MNOPTU�
MNOPTU�^�!__
Keterangan: t = tahun tertentu
t-1 = tahun sebelumnya