Post on 02-Jan-2016
description
RESUME
- Pengelolaan sumber daya air pada lahan gambut begitu penting dan perlu dikelola
dengan baik. Selain untuk penyerapan karbon, keberadaan air pada lahan gambut juga
berfungsi sebagai sumber air tawar dalam volume yang signifikan, yaitu mencapai 8
hingga 13 kali dari volume gambut itu sendiri.
- Salah satu kendala pengelolaan lahan gambut berkelanjutan adalah kegiatan-kegiatan
manusia yang tidak terkendali seperti membangun parit dan saluran tanpa
mempertahanan batas tertentu ketinggian air, yang biasanya dilakukan untuk
mengangkut kayu legal atau ilegal dan mengairi lahan-lahan pertanian dan perkebunan
tanpa pengelolaan air yang baik. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya telah
menyebabkan berkurangnya kandungan air di lahan gambut bahkan menjadi kering
dan mudah terbakar pada musim kemarau.
- Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan kekeringan
gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak
akan dapat menyerap air kembali.
- Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir.
- Beberapa kiat untuk mengatasi daya tumpu dan daya dukung gambut yang rendah adalah:1. Budidaya tanaman tahunan hanya pada lahan dengan ketebalan gambut <>2. Dilakukan pemadatan gambut sebelum penanaman. Pemadatan dapat dilakukan dengan
menggunakan alat sederhana yang dibuat sendiri dari kayu gelondong yang dapa digelindingkan (Gambar 3), ata menggunakan alat pemadat mekanis yang biasa digunakan untuk memadatkan tanah di jalan;
3. Gambut dengan ketebalan lebih dari 75 cm ditata dengan sistem tegalan.
1
- Ketahanan Iklim Melalui Perbaikan
Pengelolaan Sumber Daya Air Pada
Lahan Gambut
Written by Dadang Hilman on 28 January 2013.
(Photo: Yopie Pangkey/ICCC)
Pengelolaan sumber daya air pada lahan gambut begitu penting dan perlu dikelola dengan
baik. Selain untuk penyerapan karbon, keberadaan air pada lahan gambut juga berfungsi
sebagai sumber air tawar dalam volume yang signifikan, yaitu mencapai 8 hingga 13 kali dari
volume gambut itu sendiri. Air merupakan faktor penting dalam proses pembentukan kubah
gambut; dan drainase (walaupun tidak selalu) menjadi penyebab terjadinya
subsidensi/penurunan permukaan tanah. Disamping itu, gambut akan menjadi sangat rapuh
setelah mengalami proses pengeringan (fragile) sehingga kedalaman drainase dan iklim
merupakan faktor yang menentukan kecepatan subsidensi lahan gambut, di samping faktor
penggunaan lahan.
Kedalaman drainase, selain faktor waktu dan spasial, dapat mempengaruhi emisi karbon.
Lahan gambut yang diusahakan memiliki kedalaman drainase antara 30 hingga 120 cm, dan
pada setiap penambahan kedalaman drainase satu centimeter berpotensi meningkatkan emisi
sebesar 0,91 ton CO2/ha/tahun. Sehingga lebih lanjut, Sabiham S. et al (2012) menganjurkan
2
untuk mengkonservasi kecukupan kandungan air di lahan gambut pada lapisan
atas/kedalaman drainase 40 cm untuk mengurangi emisi CO2.
Kondisi ketersediaan air (water availability) di lahan gambut ditentukan oleh kondisi spasial
(geografis) dan waktu. Ketersediaan air secara makro disesuaikan dengan ekosistemnya.
Pengelolaan lahan gambut harus dilakukan berbasis keunikan ekosistemnya. Sedangkan
ketersediaan air secara mikro, ditentukan oleh kondisi atau sifat tanah pada lokasi tertentu.
Cekaman air pada satu lokasi berbeda dengan lokasi yang lain, tergantung karakteristik (fisik
– hidrolik) tanahnya. Secara spesifik tanah gambut mempunyai kondisi yang berinteraksi
dengan kondisi kandungan airnya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya air di lahan
gambut dapat menjadi kompromi dari dua masalah utama lahan gambut di atas, dan dapat
menjadi solusi yang strategis dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
Namun, salah satu kendala pengelolaan lahan gambut berkelanjutan adalah kegiatan-kegiatan
manusia yang tidak terkendali seperti membangun parit dan saluran tanpa mempertahanan
batas tertentu ketinggian air, yang biasanya dilakukan untuk mengangkut kayu legal atau
ilegal dan mengairi lahan-lahan pertanian dan perkebunan tanpa pengelolaan air yang baik.
Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya telah menyebabkan berkurangnya kandungan air di lahan
gambut bahkan menjadi kering dan mudah terbakar pada musim kemarau.
Pemanfaatan lahan gambut : kondisi saat ini dan tantangan ke depan
Selain seperti yang diuraikan di atas, lahan gambut di Indonesia juga sebagian berfungsi
untuk menyokong ketahanan pangan. Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk telah
menekan ketersediaan lahan untuk pertanian. Kondisi ini telah mendorong penggunaan lahan
gambut sebagian untuk lahan pertanian, termasuk lahan sawah.
Kementerian Pertanian telah membuat strategi Antisipasi, Mitigasi dan Adaptasi yang
tertuang dalam Roadmap Strategi Sektor Pertanian, yaitu optimalisasi pengelolaan sumber
daya lahan yang tersedia, serta sumber daya air dan irigasi; penyesuaian pola tanam dan
pengelolaan lahan, terutama untuk tanaman pangan dan diversifikasi pertanian; perakitan dan
penyiapan teknologi adaptif dan berbagai pedoman dan penerapan teknologi adaptif dan
ramah lingkungan.
3
Lahan gambut sangat sensitif sehingga dengan mudah dapat terdegradasi dan menyebabkan
emisi CO2. Secara khusus strategi pencapaian pengurangan emisi CO2 perlu dilakukan dengan
prinsip keseimbangan pengelolaan lahan gambut melalui pendekatan konservasi dan
manajemen. Mengingat fungsi lahan gambut yang bagitu penting maka pengelolaan dan
pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan secara cermat, dan tinjauannya harus secara
holistik yang melibatkan seluruh aspek yang terkait dengannya.
Mengingat sistem sosial melekat pada sistem alami (Sand, Isabel van de. 2012), kearifan lokal
telah menjadi bagian strategi antisipasi/adaptasi perubahan iklim, bersama dengan aspek
teknologi seperti teknologi kalender tanam (Katam), teknologi benih, pengelolan air dan
iklim.
Pengelolaan sumber daya air di lahan gambut untuk mendukung pengelolaan lahan
gambut berkelanjutan
Saat ini pemanfaatan lahan gambut masih menjadi pilihan yang tak terhindarkan untuk
pemerintah Indonesia dalam upaya membangun ketahanan pangan dari sektor pertanian.
Namun demikian, pemerintah dan masyarakat perlu mengembangkan suatu tata kelola lahan
gambut yang lebih lestari dan berkelanjutan melalui kebijakan manajemen dan konservasi
yang terpadu. Strategi adaptasi-mitigasi akan membangun ketahanan iklim dengan
menciptakan kegiatan pemanfaatan lahan gambut yang ramah iklim (climate friendly), yaitu
dengan menekan kontribusi terhadap emisi GRK; dan sekaligus tahan iklim (climate proof)
dengan memperkecil risiko terhadap variabilitas dan perubahan iklim. Dalam hal ini,
pengelolaan sumber daya air di lahan gambut menjadi kunci keberhasilan mencapai tujuan
pemanfaatan lahan gambut.
4
Saat ini sedikit sekali aktivitas riset di area sumber daya air di lahan gambut yang telah
mempertimbangkan dan memperhitungkan isu perubahan iklim dan dampaknya. Oleh
karenanya, aktivitas riset yang berkenaan dengan area tersebut perlu dilakukan untuk
meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya pengelolaan sumber daya air di lahan
gambut. Riset ini bukan hanya dibutuhkan oleh para ilmuwan untuk memahami lebih detil
mengenai keberadaan air yang dipengaruhi oleh variabilitas dan perubahan iklim, dan tata air,
namun juga dibutuhkan para pengambil kebijakan agar dapat menyusun kebijakan untuk
pengelolaan lahan gambut yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainable peatland
management), termasuk pengelolaan pertanian lahan gambut untuk mendukung ketahanan
pangan.
Untuk memperkaya pengetahuan dan memperkuat perencanaan pengelolaan sumber daya air
yang berkelanjutan di lahan gambut dengan pendekatan bottom-up (melibatkan petani lokal),
maka kajian hidrologi yang lebih site specific perlu dikembangkan dalam rangka mendukung
pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, termasuk pertanian di lahan gambut guna
mendukung program ketahanan pangan.
Selain itu, tentunya kajian tentang perubahan alih fungsi lahan dan kaitannya dengan
ketahanan pangan dan perubahan iklim perlu dilakukan secara paralel untuk memperkuat
program pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
Seiring dengan dua saran di atas, program Peatland and Peatland Mapping perlu segera
diwujudkan dengan target untuk memperjelas arahan kebijakan yang akan dibuat oleh para
pengambil kebijakan
lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari
luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 jutahektar atau 35%-nya terdapat di
Pulau Sumatera. Lahan rawa gambut merupakan bagian dari sumberdaya alam yang
mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah
intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan / keanekaragaman hayati, pengendali
iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon) dan sebagainya.
5
Atas dukungan biaya dari Dana Pembangunan Perubahan Iklim Kanada melalui
Proyek CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia) telah dilakukan
inventarisasi data dan monitoring lahan rawa gambut di seluruh Sumatera yang berbasis
teknologi Penginderaan Jauh/ Citra Satelit dan Sistim Informasi Geografi. Data yang
dihimpun berasal dari tahun 1990 dan 2002, mencakup informasi mengenai ketebalan
gambut, jenis/tingkat kematangan, sifat fisika-kimia, luasan dan penyebarannya serta
dugaan kandungan karbon dibawah permukaan.
Kajian mengenai kondisi lahan rawagambut tahun 1990 terutama bersumber dari: (a) peta dan
data Satuan Lahan dan Tanah skala 1:250.000 terbitan ’Land Resources
Evaluation Proyek’(LREP), Pusat Penelitian Tanah Bogor tahun 1990; (b) data/informasi dari
hasil berbagai kegiatan Survei dan Pemetaan Tanah yang telah dilakukan Oleh Institut
Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Tanah, serta (c) Citra Satelit Landsat Multi
Spectral Scanner (Landsat MSS) tahun 1990. Sedangkan untuk menggali dan
memperoleh informasi lahan rawagambut dan tipe penggunaan lahannya pada tahun 2002
dilakukan dengan cara menganalisis seri data Citra Satelit Landsat Thematic Mapper-7 tahun
2002
didukung dengan data/peta topografi, litologi dan tanah.
Dari data yang berasal darikedua tahun berbeda tersebut (1990 dan 2002),
selanjutnya dilakukan pendugaan terhadap besarnya penyusutan ketebalan gambut dan
kandungan karbonnya. Penyusutan yang terjadi pada kedua komponen ini diduga sebagai
akibat adanya perubahan penggunaan lahan dan vegetasi penutup (land use and land
cover changes) yang umumnya digunakan untuk pengembangan pertanian/
perkebunan maupun oleh akibat adanya kebakaran lahan dan hutan.
Untuk menghitung kandungan karbon yang terdapat di dalam lahan gambut (below
ground carbon), beberapa asumsi utama telah diajukan dalam buku ini, yaitu: (a)
ketebalan gambut yang beberapa diukur melalui survei lapang (ground truthing) dianggap
telah mewakili kondisi ketebalan gambut wilayah studi; (b) meskipun beberapa literature
menyatakan bahwa gambut dengan ketebalan < 50 cm dianggap bukan gambut (peaty soil),
tapi dalam penetapan jumlah karbon ia tetap diperhitungkan; (c) batas ketebalan gambut yang
6
dapat dihitung kandungan karbonnya dibatasi hanya sampai pada lahan gambut dengan
ketebalan maksimum8 meter, hal demikian akibat kesulitan tehnis dalam
pengukurannya di lapangan, yaitu akses menuju lokasi yang sulit.
Dari hasil kajian di atas diketahui bahwa lahan rawa gambutdi Pulau Sumatera
mempunyai tingkat kematangan ’Fibrists’ (belum melapuk/ masih mentah), ’Hemists’
(setengah melapuk), ’Saprists’ (sudah melapuk/ hancur) dan/atau campuran dengan salah satu
dari ketiganya. Ketebalan gambut di Sumatera bervariasi mulai dari sangat dangkal(< 50 cm)
sampai
sangat dalam (lebih dari 4 meter) dan dari hasil analisis citra-citra satelit dan data
pendukung lainnya, terlihat adanya peningkatan luas lahan rawa gambut sangat dangkal (< 50
cm) dari 327.932 ha (tahun 1990) menjadi 682.913 ha (tahun2002). Jika lahan rawa gambut
sangat dangkal ini (meskipun masih mengandung sejumlah karbon) dapat dianggap sebagai
bukan lahan gambut, maka dalam kurun waktu 12 tahun, lahan gambut di Pulau Sumatera
telah
menyusut sebanyak 354.981 ha. Selanjutnya, kandungan karbon didalam tanah
gambut (below ground carbon) Sumatera pada tahun 1990 terhitung sebanyak 22.283 juta
ton sedangkan pada tahun 2002 sekitar 18.813 juta ton.Ini berarti dalam kurun waktu selama
12 tahun (1990 - 2002) telah terjadi penyusutan cadangan karbon di Pulau Sumatera sekitar
3.470 juta ton atau rata-rata 289,16 juta ton per tahun.
Laporan hasil kajian lahan rawa gambut Pulau Sumatera ini terdiri dari 2 (dua) buku
yang keduanya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan. Buku 1 berupa Atlas
yang berisikan himpunan peta-peta menggambarkan penyebaran lahan rawa gambut di
seluruh Sumatera, sedangkan Buku 2 berisikan informasi mengenai faktor-faktor penyebab
berubahnya luasan rawa gambut dan cadangan karbon di Sumatera dan Kalimantan
(dalam persiapan). Sementara itu, kajian lahan rawa gambut untuk Pulau Kalimantan juga
tengah dalam persiapan dan diharapkanakan terbit pada tahun 2005.
Permasalahan Pada Tanah Gambut
7
Pada pengelolaan tanah gambut untuk usaha pertanian, yang pertama-tama harus diperhatikan
adalah dinamika sifat-sifat fisika dan kimia tanah gambut, antara lain (1) dinamika sifat
kemasaman tanah yang dikaitkan dengan pengendalian asam-asam organik meracun, dan (2)
dinamika kesuburan tanah sehubungan dengan ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang
dibutuhkan tanaman yang diusahakan (3) kebakaran lahan gambut dan (4) pengaturan tata air
pada lahan gambut sesuai kebutuhan tanaman.
· Sifat-sifat Tanah Gambut
Diantara sifat yang penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah : bahan penyusun
berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence
( penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah
dan status kesuburan tanah yang rendah. Pengembangan usaha pertanian sangat dibatasi oleh
beberapa hal di atas (Andriesse, 1988).
A. Sifat Fisik
Sifat-sifat fisik gambut sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air gambut. Bahan
penyusun gambut terdiri dari empat komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air dan
udara. Perubahan kandungan air karena reklamasi gambut akan ikut merubah sifat-sifat fisik
lainnya (Andriesse, 1988). Mengingat sifat-sifat fisik tanah gambut saling berhubungan maka
pembahasan sifat fisik dari tanah gambut tidak dapat dilakukan secara terpisah. Uraian
tentang sifat-sifat fisik gambut ini akan dihubungankan dengan sifat-sifat kimia tanah gambut.
Pemahaman akan sifat-sifat fisik akan sangat bermanfaat dalam menentukan strategi
pemanfaatan gambut.
Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting adalah: tingkat
dekomposisi tanah gambut; kerapatan lindak, irreversible dan subsiden. Noor (2001)
menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut merupakan
sifat-sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut.
Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi: (1)
gambut kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar; (2)
gambut sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan (3) gambut halus
8
(Saprist) jika bahan organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar mempunyai porositas yang
tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit
tersedia bagi tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah
direklamasi. Gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi memiliki
kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar (Hardjowigeno, 1996).
Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak (bulk density) yang sangat rendah yaitu kurang
dari 0,1 gr/cc untuk gambut kasar, dan sekitar 0,2 gr/cc pada gambut halus. Dibanding dengan
tanah mineral yang memiliki kerapatan lindak 1,2 gr/cc maka kerapatan lindak gambut adalah
sangat rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya dukung gambut (bearing
capasity) menjadi sangat rendah, keadaan ini menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti
kelapa dan kelapa sawit pada tanah gambut.
Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan kekeringan gambut ini
disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak akan dapat menyerap
air kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air
(hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya
kemampuan menyerap air gambut menurun sehingga gambut sulit diusahakan bagi pertanian.
Berkurangnya kemampuan menyerap air menyebabkan volume gambut menjadi menyusut
dan permukaan gambut menurun (kempes). Perbaikan drainase akan menyebabkan air keluar
dari gambut kemudian oksigen masuk kedalam bahan organik dan meningkatkan aktifitas
mikroorganisme, akibatnya terjadi dekomposisi bahan organik dan gambut akan mengalami
penyusutan (subsidence) sehingga permukaan gambut mengalami penurunan.
Kadar lengas gambut (peat moisture) ditentukan oleh kematangan gambut. Pada gambut alami
kadar lengas gambut sangat tinggi mencapai 500-1.000 % bobot, sedangkan yang telah
mengalami dekomposisi berkisar antara 200-600 % bobot. Kadar lengas gambut fibrik lebih
besar dari gambut hemik dan saprik. Kemampuan menyerap air gambut fibrik lebih besar dari
gambut sapris dan hemist, namun kemampuan fibris memegang air lebih lemah dari gambut
hemik dan saprist (Noor, 2001). Tingginya kemampuan gambut menyerap air menyebabkan
tingginya volume pori-pori gambut, mengakibatkan rendahnya kerapatan lindak dan daya
dukung gambut (Mutalib et al, 1991).
9
Akumulasi gambut akan menyebabkan ketebalan gambut yang bervariasi pada suatu kawasan.
Umumnya gambut akan membentuk kubah (dome), semakin dekat dengan sungai ketebalan
gambut menipis, kearah kubah gambut akan menebal, di Kalimantan Barat kubah gambut di
Sungai Selamat dapat mencapai 8 m, demikianpula pada daerah rasau Jaya. Ketebalan gambut
berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Gambut ditepi kubah tipis dan memiliki kesuburan
yang relatif baik (gambut topogen) sedang di tengah kubah gambut tebal >3m memiliki
kesuburan yang relatip rendah (gambut ombrogen) (Andriesse, 1988; Harjowigeno, 1996).
Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir. Gambut diatas pasir
kuarsa memiliki kesuburan yang relatip rendah, jika lapisan gambut terkikis, menyusut dan
hilang maka akan muncul tanah pasir yang sangat miskin. Tanah lapisan lempung marin
umumnya mengandung pirit (FeS2), pada kondisi tergenang (anaerob) pirit tidak akan
berbahaya namun jika didrainase secara berlebihan dan pirit teroksidasi maka akan terbentuk
asam sulfat dan senyawa besi yang berbahaya bagi tanaman. Kemasaman tanah akan
memningkat pH menjadi 2-3 sehingga tanaman pertanian akan keracunan dan pertumbuhan
terhambat serta hasil rendah.
Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat tua (gelap) tergantung
tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali
dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-
95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas
yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000)
Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa
cenderung pertumbuhannya miring bahkan ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai
tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986). Gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu
yang rendah karena kerapatan tanahnya rendah. Sebagai akibatnya, pohon yang tumbuh
menjadi mudah rebah, jalan sulit dilalui kendaraan, dan sulit disawahkan (kecuali gambut
dengan kedalaman kurang dari 75 cm). Gambut tebal sulit dan tidak cocok dibuat sawah
karena dalam kondisi basah, akan sulit diinjak serta sangat miskin hara. Karenanya, gambut
tebal sebaiknya tidak digunakan sebagai lahan pertanian/sawah.
Penurunaan gambut terjadi setelah dilakukan drainase, permukaan tanah gambut akan
mengalami penurunan karena pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Rata-rata 10
kecepatan penurunan adalah 0,3-0,8 cm/bulan, dan umumnya terjadi selama 3-4 tahun setelah
drainase dan pengolahan tanah. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan
semakin lama. Sifat gambut seperti ini mengakibatkan terjadinya genangan, pohon rebah, dan
konstruksi bangunan (jembatan, jalan, saluran drainase) terganggu atau ambles.
Masalah penurunan gambut ditanggulangi dengan cara sebagai berikut: Penanaman tanaman
tahunan didahului dengan penanaman tanaman semusim minimal tiga kali musim tanam; dan
dilakukan pemadatan sebelum penanaman tanaman tahunan.
Beberapa kiat untuk mengatasi daya tumpu dan daya dukung gambut yang rendah adalah:
1. Budidaya tanaman tahunan hanya pada lahan dengan ketebalan gambut <>
2. Dilakukan pemadatan gambut sebelum penanaman. Pemadatan dapat dilakukan dengan
menggunakan alat sederhana yang dibuat sendiri dari kayu gelondong yang dapa
digelindingkan (Gambar 3), ata menggunakan alat pemadat mekanis yang biasa digunakan
untuk memadatkan tanah di jalan;
3. Gambut dengan ketebalan lebih dari 75 cm ditata dengan sistem tegalan.
Untuk mengatasi masalah kandungan asam-asam organik yang beracun biasanya dilakukan
drainase dengan membuat saluran drainase intensif atau saluran cacing. Bahan amelioran
adalah bahan yang mampu memperbaiki atau membenahi kondisi fisik dan kesuburan tanah.
Beberapa contoh bahan amelioran yang sering digunaka adalah kapur , tanah mineral, pupuk
kandang, kompos, dan abu.
11
DAFTAR PUSTAKA
http://www.indonesia.wetlands.org/Infolahanbasah/PetaSebaranGambut/tabid/2834/language/id-ID/
Default.aspx
http://daunhijau.com/2013/02/pengelolaan-kesuburan-tanah-pada-lahan-gambut-bagian-2/
12