Post on 15-Feb-2020
KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Yolanda Savitri
(11140331000079)
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H./2019M.
Jl. Ir.H. Juanda No.95 Ciputat 15412 Telp. (021)7402982
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia
Arab Indonesia
a ا dl ض
b ب th ط
t ت zh ظ
ts ث ‘ ع
j ج gh غ
h ح f ف
kh خ q ق
d د k ك
dz ذ l ل
r ر m م
z ز n ن
s س w و
sy ش h ه
sh ص y ي
ā = a panjang
ī = i panjang
ū = u panjang
vi
ABSTRAK
KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ
Kata Kunci: Al-Fārābī, Kebahagiaan, Kebaikan.
Al-Fārābī adalah tokoh filsuf yang terkenal akan pemikirannya yang
sangat rasional. Tulisan ini memfokuskan pada kebahagiaan menurut al-Fārābī
yang terdapat dalam buku salah satunya yakni Tahshil al-Sa’ādah. Al-Fārābī
menjelaskan pengertian kebahagiaan, menurut al-Fārābī, setiap manusia akan
dapat memperoleh kebahagiaan sejati apabila dia menyadari bahwa dalam dirinya
ada empat keutamaan yang tidak pernah dimiliki oleh makhluk-makhluk lain,
yaitu keutamaan teoritis, berpikir, akhlak, dan berkreasi.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset
pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis
penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi
yang berkaitan dengan masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan
menceritakan secara mendalam tentang pengertian kebahagiaan.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kebahagiaan merupakan hal atau
kondisi yang meskipun sangat sulit dicapai oleh setiap orang, mereka dengan
sekuat tenaga untuk memperolehnya. Bila orang berhasil memperolehnya,
menurut al-Fārābī, dia telah mencapai kesempurnaan hidup dalam arti yang
sebenarnya. Karena kesempurnaan yang bisa disebut sebagai al-sa’ādah, yakni
kebahagiaan, merupakan puncak kebahagiaan yang selalu melekat pada dirinya.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tiada kata
yang mampu mengungkap rasa syukur kepada-Nya. Atas bimbingan dan
kehendak-Nya, akhirnya penulis sanggup dan mampu untuk menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul Kebahagiaan Perspektif al-Fārābī. Salawat
beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, pemberi nilai-nilai keislaman yang paling beradab diantara zaman-zaman
peradaban.
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Strata Satu Agama (S.Ag) pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam,
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sadari bahwa skripsi ini terselesaikan bukan dengan hasil jerih payah
penulis sendiri, melainkan adanya dorongan motivasi serta bantuan baik moril dan
materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, patut kiranya penulis sampaikan rasa
terimakasih dan penghargaan yaitu kepada:
1. Terimakasih untuk kedua orangtuaku, Budi Dwiprianto dan Eva
Muzdalifah yang tidak terhingga. Serta orangtuaku juga, Armiati
Abdullah. Berkat didikan, kasih sayang, doa-doa tulus dari mereka, serta
support moril dan materil. Penulis mampu untuk menyelesaikan tugas ini.
2. Kepada Bapak Iqbal Hasanuddin, M.hum selaku dosen pembimbing dalam
membantu menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih yang sedalam-
dalamnya atas keluangan waktu, kesabaran, serta keikhlasan dalam
viii
membimbing penulis. Semoga kebaikan Bapak selalu menjadi bekal
keberkahan bagi setiap aktivitas dan kesehatan bapak.
3. Terimakasih yang sedalam-dalamnya untuk Suami tercinta, Robbyana Azi
Santika yang senantiasa mensupport saat penulis turun semangat dalam
mengerjakan skripsi ini. Dan tidak lupa Anak tersayangku, Ayeisha
Dzakira Asyakira yang selalu mengerti saat penulis butuh meluangkan
waktu dalam penulisan skripsi ini. Semoga kalian selalu dalam lindungan-
Nya.
4. Terimakasih kepada Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA dan Bapak Dr. Abdul
Hakim Wahid, MA selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Aqidah
dan Filsafat Islam. Mereka sebagai rekan kerja penulis di Jurusan Aqidah
dan Filsafat Islam yang tidak pernah bosan untuk selalu medorong,
menyemangati, dan mengingatkan dalam proses penyelesaian tugas ini.
5. Terimakasih kepada Rektor, Dekan, Dewan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta serta dosen-dosen beserta staf dan karyawan di lingkungan
Fakultas Ushuluddin. Mereka telah memberikan bantuan dan kemudahan
dalam berbagai bidang dikampus.
6. Terimakasih yang sedalam-dalamnya untuk Mertuaku, Dadang Kurnia dan
Ummi Kulsum yang membantu dalam segala hal untuk menyelesaikan
tugas ini.
7. Terimakasih juga yang sebesar-besarnya kepada Adik-adikku, Aurelia
Anggita, Muhammad Ali Cesar, Jibal Putra Ramadhan, Ratu Madani,
ix
Sulthon Muhammad Nafiz, Andrita Dara Malabita yang berkat doa dan
semangat tulus dari mereka penulis mampu menyelesaikan tugas ini.
8. Terimakasih juga untuk teman-teman AFI 2014 yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, yang membantu penulis disaat butuh bantuan yaitu Zia,
Amna, Dani, Ita, Aya, Nisa, Fatma, Fanny dll.
Semoga peran serta mereka mendapat balasan kebaikan, senantiasa diberi
keberkahan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat, amin ya rabbal alamim.
Jakarta, 10 Januari 2019
Yolanda Savitri
x
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL………………………………………………………………...i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 4
D. Tinjauan Pustaka .........................................................................................5
E. Metode Penelitian.........................................................................................7
F. Sistematika Penulisan...................................................................................8
BAB II BIOGRAFI AL-F'ĀRĀBI'
A. Riwayat Hidup Al-Fārābī ' ........................................................................10
B. Karya-karya Al-Fārābī '..............................................................................14
C. Pemikiran Falsafi Al-Fārābī'......................................................................16
C.1 Metafisika ...........................................................................................16
C.2 Epistemologi.......................................................................................18
C.3 Psikologi..............................................................................................22
C.4 Etika.....................................................................................................31
BAB III PENGERTIAN KEBAHAGIAAN
A. Definisi Kebahagiaan Secara Bahasa dan Istilah.......................................35
B. Kebahagiaan Menurut Filsuf......................................................................35
B.1 Menurut Platon dan Aristoteles...........................................................35
C. Kebahagiaan Menurut Mutakalimin..........................................................38
C.1 Menurut Al-Ghazali.............................................................................38
xi
C.2 Menurut Al-Kindi…….......................................................................38
BAB IV KEBAHAGIAAN MENURUT AL-FĀRĀBI'
A. Definisi Kebahagiaan dan Al-sa’ādah.......................................................40
B. Jenis-jenis Kebahagiaan.............................................................................50
B.1 Manusia Mencari Jati Diri...................................................................50
B.2 Manusia Sebagai Pemilik Kebahagiaan..............................................52
C. Cara Mendapatkan Kebahagiaan................................................................53
C.1 Keutamaan Teoritis.............................................................................54
C.2 Keutamaan Berpikir............................................................................54
C.3 Keutamaan Akhlak .............................................................................55
C.4 Keutamaan Berkreasi...........................................................................57
BAB V PENUTUP
D. Kesimpulan................................................................................................59
A. Saran..........................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................61
1
BAB I
PENDAHULUAN
KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu persoalan hidup ialah menyangkut tentang kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan dan selalu menjadi tujuan akhir yang
ingin dicapai oleh setiap individu yang menjalani kehidupan ini. Kebahagiaan
sangat penting karena memberikan dampak positif dalam berbagai aspek. Proses
seorang individu dalam mencapai kebahagiaan, dilakukan dengan berbagai cara.
Tiada henti manusia mencari arti dari hakikat kebahagiaan dan memikirkan cara
untuk dapat berbahagia dengan berbagai cara ditempuh. Namun persepsi dan
definisi kebahagiaan manusia itu tetap beragam. Pada umumnya, manusia selalu
menyangkut pautkan sebuah kebahagiaan itu hanya berasal dari materi, kekuasan,
dan wanita tetapi dibalik semua itu, ketika sudah mendapatkannya, manusia tidak
pernah puas untuk mendapatkan arti sebuah kebahagiaan yang hakiki. Dalam
konteks dunia global saat ini, yang diwarnai dan dikuasai faham kapitalisme yang
menganggap bahwa kapital atau modal kekayaan adalah hal yang sangat berkuasa.
Di tengah-tengah aneka tuntutan materi itu manusia cenderung berkiblat pada
pemujaan materi atau disebut faham materialisme dan juga faham yang memuja
kesenangan atau hedonisme. Namun hakikatnya, semuanya itu tidak lebih dari
hanya sekedar fatamorgana yang semakin dikejar, tak dapat diraih.
Penyelewengan wewenang dan kekuasaan, faktanya tidak membuat seseorang
2
menjadi bahagia. Faktanya bunuh diri, stress dan gangguan kejiwaan yang dialami
oleh manusia modern adalah fakta jika manusia semakin kehilangan tujuan
hidupnya lalu merasakan kehampaan sebuah kehidupan, walaupun memiliki
limpahan materi.
Dan pada skripsi kali ini, yang akan dibahas ialah. Kebahagiaan yang seperti
apakah yang bisa dilakukan agar merasakan kebahagiaan yang sempurna? lalu
seperti apakah kebahagiaan itu? Dalam hal ini, al-Fārābī berhasil dalam
pemikirannya untuk menjawab pertanyaan tentang kebahagiaan. Ia menjelaskan
tentang hakikat kebahagiaan, cara mendapatkan kebahagiaan dan juga jenis jenis
kebahagiaan dengan baik. Penjelasan al-Fārābī mengenai kebahagiaan pada
skripsi ini akan dibahas secara lebih detail.
Menurut al-Fārābī, adanya berbagai perspektif dari arti sebuah kebahagiaan,
tapi tidak semua pandangan memiliki arti dan proses yang sama untjk
mendapatkannnya. Karena arti dari paksaan untuk suatu kebahagiaan lebih luas
dari pada hukuman dan termasuk sebuah ajakan. Pokok masalah menurut al-
Fārābī datang ketika adanya paksaan dalam pembentukan sebuah karakter yang
bergabung dengan adanya suatu penolakan, dan menurut al-Fārābī batasan filosofi
Platon dan Aristoteles pada bagian tersebut merupakan paksaan. Argumen
keempat interpretasi yang pertama akan membahas mengenai paksaan untuk suatu
kebaikan, begitu menurut Platon, Aristoteles, dan al-Fārābī lalu batasan paksaan
bagi orang Yunani dan filsuf al-Fārābī ialah menolak batasan kebaikan dalam
agama.1 Bagi para filsuf, memahami esensi ini ialah melalui argument intellect
1 Parens, An Islamic Philosophy of Virtuous Regimes, hlm. 4
3
dan argument demonstrative, sedangkan selain filsuf hanya bisa
membayangkannya dengan bantuan retorika.2 Para filosof mulai membayangkan
melalui esensi ajakan, tapi mereka melampaui imajinasi intellect dan mulai
ketergantungan pada otoritas oranglain dan untuk mengetahui prinsip awal yaitu
dengan alasan mereka sendiri. Dengan kata lain, ketika yang lainnya mulai dengan
apa yang baik sesuai dengan pendapat dan agama yang diterima, para filosof
mencapai apa yang baik dalam dirinya sendiri dan tau secara demonstrative
mengapa hal itu dinyatakan baik. Banyak yang tidak pernah melampaui pendapat
dan agama yang diterima secara umum; karena mereka tidak pernah mencapai
pengetahuan filosofis. Melalui stimulus eksternal lalu melalui metode persuasive,
banyak yang bisa membayangkan perbuatan baiknya. Dengan kata lain, Inginkan
itu dan lakukanlah, tapi mereka tidak bisa mencapai pengetahuan intelektual yang
ternyata tindakan itu baik. Mereka “tau” yang baik, tetapi itu hanya berwenang
sebagai tradisi atau Wujud Pertama itu sendiri.
Jika penyataan platonis memiliki pengetahuan teoritis tentang kebahagiaan
artinya banyak orang yang harus menjadi filsuf. Maka rezim yang baik itu tidak
mungkin bagi al-Fārābī, karena banyak yang tidak mampu mempelajari falsafah.
Tetapi, al-Fārābī hanya butuh mensyaratkan bahwa banyak orang yang
berpartisipasi dalam kebajikan teoritis melalui gambar dan argumen persuasive.
Sudah cukup jika banyak yang bisa membayangkan yang baik dengan bantuan
tradisi dan kepercayaan. Pertanyaan yang lebih besar adalah kemungkinan yang
datang dari para fisuf, tetapi jika filsuf harus memulainya dengan tradisi, mitos
2 Al- Fārābi’, Political Regime, page 39-40.
4
dan kepercayaan, maka falsafah bisa muncul dari tradisi, mitos dan kepercayaan.
Lebih umumnya, al-Fārābī memberikan Aristoteles kepercayaan mengenai
kealamian kehidupan politik melalui sebuah keluarga.3 Meski lebih pribadi
(hekastos), Paksaan yang dilakukan oleh keluarga bukan dihilangkan oleh paksaan
terhadap kebaikan yang dilakukan; karena sebenarnya, ini merupakan batasan
paksaan untuk kebahagiaan, karena kekuatan paternal lebih efektif dan lebih baik.
Kota yang berkembang secara alami dari desa, dan juga sebuah keluarga yang
tidak menghilangkan bentuk kehidupan politik yang kurang sempurna walaupun
adanya paksaan untuk berbuat suatu kebaikan.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu
penulis perlu untuk membatasi pada pembahasan ini hanya pada pengertian
kebahagiaan dari berbagai aspek. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut;
1. Bagaimana pemikiran Al-Fārābī tentang kebahagiaan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain adalah;
1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Al-Fārābī tentang hakekat
kebahagiaan.
2. Pengembangan ilmu pemikiran filsafat Islam tentang konsep kebahagiaan.
3 Al-Fārābī, Political Regime, page, 32.
5
Adapun manfaat dari skripsi ini antara lain;
1. Agar dapat memahami hakekat kebahagiaan perspektif Al-Fārābī
2. Agar dapat memahami bahwa kebahagiaan memiliki banyak pengertian
3. Agar dapat menambah khazanah kepustakaan dan literatur di Indonesia
khususnya tentang hakekat kebahagiaan.
D. Tinjauan Pustaka
Berikut hasil penelusuran penulis terhadap karya-karya terdahulu yang
dijadikan sebagai acuan dalam proses penelitian, sehingga penelitian dapat
berjalan lancar dan benar.
Menurut penelitian Akbar Dwianto (2018) mengenai “Konsep Negara
Utama (AL-Madinah Al-Fadhilah) Al-Fārābī Dan Relevansinya Bagi Negara
Indonesia”. Dalam terbentuknya suatu negara, dalam hal ini al-Fārābī
berpendapat bahwa suatu negara utama terbentuk karena semua anggota dari
negara bekerjasama dengan tugas dan kemampuan masing-masing demi
terciptanya tujuan dari negara utama yaitu kebahagiaan, dan dalam naungan
seorang pemimpin yang arif, dapat digambarkan pula seperti tubuh manusia yang
sempurna yang emiliki anggota tubuh dengan tugas dan kemampuan masing-
masing, dan diatas semuanya itu ada suatu anggota tubuh yang merupatkan
seluruh anggota hati, hati sama seperti halnya pemimpin dalam sebuah negara, ia
memiliki tugas mengatur dan melindungi segala unsur dari negara.
Lalu menurut Muhammad Fanshobi (2014) mengenai “Konsep
Kepemimpinan Dalam Negara Utama Al-Fārābī”. Mengenai konsep
6
kepemimpinan, al-Fārābī amat menekakan kriteria pemimpin yang memiliki sifat
nabi sekaligus sebagai filsuf adalah sosok ideal yang dapat dijadikan pemimpin.
Mengenai konsep negara ideal al-Fārābī berpijak pada tujuan manusia yaitu
kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan bagaimana caranya menuju
kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia harus berada di tangan pemimpin
yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.
Kemudian menurut Siti Salbiyah (2018) mengenai “Etika Politik Persepektif
Al-Fārābī”. Mengenai etika politik, al-Fārābī berpijak pada tujuan hidup manusia,
yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan bagaimana caranya
menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia harus berada di tangan
pemimpin yang sesuai dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.
Lalu menurut Ahmad Nur Fauzi (1996) mengenai “Kebahagiaan Menurut
Pandangan Al-Fārābī dan John Stuar Mill”. Menurut al-Fārābī kebahagiaan ialah
jika keadaan jiwa manusia telah menjadi sempurna, dimana jiwa dalam
eksisensinya tidak membutuhkan kepada suatu materi (telah mampu melepaskan
diri dari atribut materi). Kebahagiaan yang tertinggi ialah bila mana aktifitas
mannusia itu berupa hubungan yang tidak terbatasm yaitu berhubungan dengan
Allah. Lalu menurut John Stuart Mil, kebahagiaan ialah kebaikan tertinggi yang
berupa kemanfaatan ialah kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar
besarnya, kebahagiaan yang dikehendaki adalah dengan hidup bermasyarakat dan
bekerja sama demi kepentingan sosial.
7
Sebagai suatu upaya penelitian ilimah, agar tidak ada atau terjadinya
kesamaan (duplikasi), bahkan pemalsuan atau penjiplakan (plagiasi) dari obyek
penelitian. Maka tinjauan pustaka atau studi kepustakaan ini menjadi suatu yang
harus dijalani dalam penelitian ilmiah ini, guna mendapatkan hasil penelitian yang
murni (orisinil) dari obyek penelitian yang dijalani. Adapun setelah penulis
melakukan tinjauan pustaka ini, maka penulis menyatakan penelitian ini baru
pertama kali dibahas oleh penulis dan penulis tidak menemukan hasil penelitian
dalam bentuk skripsi, dengan tokoh atau obyek penelitian yang sama di
Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan kulitatif
merupakan salah satu pendekatan yang secara primer menggunakan paradigma
pengetahuan berdasarkan pandangan konstruktivist (seperti makna jamak dari
pengalaman individual, makna secara sosia dan historis dibangun dengan maksud
mengembangkan suatu teori atau pola) atau pandangan advokasi/ partisipatori
(seperti orientasi politik, isu, kolaboratif, atau orientasi perbuahan) atau keduanya.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup sumber primer
dan sumber sekunder. Adapun sumber primer dalam penelitian ini meliputi buku-
buku Al-Fārābī secara khusus seperti Tahshil al-Sa’ādah. Sementara sumber data
sekunder adalah sumber data-data yang berkaitan dengan tema kajian, baik itu
8
berupa artikel, buku, baik yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal ataupun yang
dipublikasikan dalam bentuk media internet.
3. Metode Penulisan
Adapun metode analisisnya adalah tinjauan pustaka, maksudnya adalah
skripsi ini ditulis untuk mendeskripsikan sejauh mana pemikiran Al-Fārābī tentang
kebahagiaan, yang kemudian penulis menganalisis sehingga dapat memberikan
kejelasan yang baik bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya.
4. Teknik Penulisan
Selanjutnya, teknik penulisannya mengacu pada pedoman penulisan skripsi,
tesis dan disertasi yang termuat dalam buku Pedoman Akademik Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014-2015
F. Sistematika Penulisan
Agar tersusun penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika
pembahasan sebagai berikut: Bab I, Pendahuluan, terdiri dari latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, Membahas biografi
Al-Fārābī, mulai dari sejarah pendidikan, karier dan karya-karya dari Al-Fārābī,
serta membahas tentang pemikiran falsafi Al-Fārābī.
Adapun Bab III, Pengertian kebahagiaan secara istilah dan bahasa dan
pengertian kebahagiaan menurut filsuf dan mutakalimin. Bab IV, Membahas inti
dari tema skripsi ini yakni Konsep Kebahagiaan Perspektif Al-Fārābī. Dalam bab
9
ini akan membahas Definisi kebahagiaan menurut Al-Fārābī, jenis-jenis
kebahagiaan dan cara mendapatkan kebahagiaan. Bab V, Penutup, Yang meliputi
Kesimpulan, dan Saran.
10
BAB II
BIOGRAFI AL-FĀRĀBĪ
Dalam usaha untuk membahas sejarah hidup tokoh, perlu diketahui tentang
latar belakangnya. Adapun Latar belakang tersebut meliputi: riwayat hidupnya,
geneologi pendidikan dan karya – karyanya. Dalam bab ini akan dipaparkan
tentang hal yang berhubungan dengan biografi Al-Fārābī.
A. Riwayat Hidup Al-Fārābī
Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah, Al-Fārābī
lahir di Wasij Distrik Fārābī (Yang juga dikenal dengan kota Otrar) di
Transoxiana (Yang sekarang dikenal dengan Uzbekistan) pada tahun 257H/870M1
dan wafat di Damaskus pada 950M2 Al-Fārābī adalah seorang filosof
berkebangsaan Turki, lahir disebuah pedusunan yang terkenal dengan nama
Bousij. Ia dikenal pada Abad Pertengahan dengan nama Abu Nashr (Abu Naser),
sedangkan nama Al-Fārābī diambil dari daerah kelahirannya yakni kota Farab.
Ayahnya adalah seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan
Turki.3 Al- Fārābī mempunyai sebutan layaknya sebutan nama bagi orang-orang
Turki, ini dikarenakan ibunya berasal dari negara Turki.4 Ayahnya seorang bangsa
Iran (persi) dan kawin dengan wanita Turki (Turkistan), yang pernah menjadi
seorang tentara turki berpangkat Jendral sedangkan Al-Fārābī sendiri pernah
1 Al-Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madῑnah al-Fādilah, Al-Atruk: Al-Maktabah Al-Azhar, 1234 H/1906, Cet
ke- 1, h 1. 2 Yamani, Filsafat Politik Islam Antara, Al-Fārābi' dan Khomaeni, Bandung: Mizan, 2002, h.51
3 Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam , Cet. Ke-1, Bandung: Rosdakarya, 1998, h.133 4 Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, hlm.133
11
menjadi seorang hakim. Sehingga Al- Fārābī terkadang di katakan sebagai
keturunan Turki (Turkistan) dari ibunya.5
Al- Fārābī belajar ilmu-ilmu Islam di Bukhara. Sebelum diciptakan sistem
madrasah di bawah Seljuq, menuntut ilmu berlangsung di lingkungan-lingkungan
pengajaran yang diadakan oleh berbagai individu, baik dirumah mereka maupun
di masjid. Selain itu berbagai individu maupun berbagai istana di seluruh
empirium yang mempunyai perpustakaan besar. Perpustakaan-perpustakaan ini
menyambut hangat para pakar yang hendak melakukan studi. Ada dikotomi
tertentu antara ilmu-ilmu Islam seperti tafsir, hadis, fikih serta ushul (prinsip-
prinsip dan sumber-sumber agama) dan studi. Tambahannya seperti studi bahasa
Arab dan kesusastraan dan apa yang disebut ilmu-ilmu asing, yaitu ilmu-ilmu
Yunani yang memasuki dunia Islam melalui penerjemahan oleh orang-orang
Kristen Nestorian seperti Hunain Ibnu Ishaq (w. 873 M) dan mazhabnya.
Lembaga pendidikan pada awalnya bersifat tradisional, yang mendapatkan
dukungan finansial dari wakaf, sedangkan ilmu-ilmu rasional biasanya diajarkan
di rumah atau Dar Al-Ilm.6
Pada masa awal pendidikannya ini, Al-Fārābī belajar Al-Qur’an, Tata-
bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama ( fiqih, Tasir dan Ilmu Hadits) dan
Aritmatika dasar. Pada masa inilah Al-Fārābī pindah ke Bukhara untuk
menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu- ilmu lanjut lainnya. Pada masa inilah Al-
Fārābī mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat persia. Juga di
5 Ahmad Daudy, Filsafat Islam , Bulan Bintang Cet III, 1986,hlm.25.
6 Makdisi, George, The Rise of Colleges. Institution of learningin Islam and the west, Edinburgh:
1981, h.79.
12
Bukhara inilah Al-Fārābī pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran Al-
Fārābī di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul al-Musiqa al-
Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad Ibn al-Qasim, Wazir Khalifah Al-
Rhadi tahun 936 M7
Sebelum dia tenggelam serius dalam karir falsafatnya, terlebih dahulu dia
menjadi seorang qhadi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, Al-Fārābī
kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat.
Guru utama Al-Fārābī adalah Yuhanna Ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, Al-
Fārābī membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica
Posteriora yang belum pernah dipelajarai seorang muslim pun sebelumnya di
bawah bimbingan guru khusus. Pada waktu mudanya, Al-Fārābī pernah belajar
bahasa dan sastra Arab di Bagdad kepada Abu Bakar As-Saraj, dan logika serta
falsafah kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus seorang filosof Nestorian yang
banyak menerjemahkan filsafat Yunani, memiliki reputasi tinggi dalam bidang
falsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya
tentang logika Aristotelian. Setelah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat
kebudayaan Yunani di Asia kecil, dan berguru kepada Yuhana Ibn Jilad. Tetapi
tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu dan kembali ke Bagdad untuk
mendalami falsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Bagdad ia
menetap selama 20 tahun. Selama waktu itu Ia memakai waktunya untuk
7 Hermawan Heris, Filsafat Islam, (Bandung; CV Insan Mandiri, 2011), Cet. Ke-1, hlm. 29.
13
mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku falsafah. Muridnya
yang terkenal pada masa ini antara lain ialah Yahya bin Adi, filsuf Kristen8
Pada tahun 330 H (941 M) Ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan
Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Allepo. Sultan
memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang
besar sekali, dan Al-Fārābī mendapat perlindungan. Tetapi Al-Fārābī lebih
memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik pada kemewahan dan
kekayaan. Ia hanya menerluka empat dirham saja sehari untuk sekedar memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa tunjangan jabatan yang
diterimanya, dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Allepo dan
Damaskus. Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya Al-Fārābī di
Damaskus adalah Al-Fārābī bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli
fiqh, dan kaum cendikiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun, Al-Fārābī tinggal di
Allepo dan Damaskus secara berpindah-pindah akibat hubungan penguasa ini
semakin memburuk, sehingga Saif Ad-Daulah menyerbu kota Damaskus yang
kemudian berhasil menguasainya. Dalam penyerbuan ini Al-Fārābī diikut
sertakan. Pada bulan Desember 950 M (339 H), Al-Fārābī meninggal dnia di
damaskus dalam Usia 80 tahun9
Al-Fārābī hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu,
sehingga tidak dekat dengan penguasa-penguasa Abbasiyah pada waktu itu.
Saking gemarnya Al-Fārābī dengan dunia ilmu dan kegemarannya dalam
membaca dan menulis, Ia sering membaca dan menulis di bawah sinar lampu
8 Sudarsono, Filsafat Ilsam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) Cet. Ke-3, hlm. 31. 9 Suryadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) Cet. Ke-1, hlm 82
14
penjaga malam. Al-Fārābī yang dikenal sebagai filsuf terbesar, memiliki keahlian
dalam banyak bidang keilmuan dan memandang falsafah secara utuh dan
menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna. Sehingga filsuf yang datang
sesudahnya, seperti Ibnu Sina (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibnu Rusyd
(520 H/1126 M – 595 H /1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem
falsafahnya. Pandangannya yang demikian mengenai falsafah, terbukti dengan
usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Platon dan Aristoteles
lewat risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun Wa Aristhu.
Pada abad pertengahan, Al-Fārābī sangat dikenal, sehingga orang-orang
Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangan/risalah-risalahnya yang
disalin ke dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan
di perpustakaan-perpustakaan Eropa. Al-Fārābī hidup pada zaman ketika situasi
politik dan kekuasaan Abbasiyah di guncang oleh berbagai gejolak, pertetangan,
dan pemberontakan. Al-Fārābī lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid
(870-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Muti. Suatu periode paling
kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu, timbul banyak
macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan
berbagai motif: Agama, kesukuan, dan kebendaan. Diperkirakan erat kaitannya
dengan situasi politik yang demikian kusruh, Al-Fārābī menjadi gemar
berkhalwat, menyendiri dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola
kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal10
B. Karya-karyanya
10
Suryadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) Cet. Ke-1, hlm 83.
15
Al-Fārābī dalam karyanya Tahshil al-Sa’ādah menyebutkan, “Untuk
menjadi filsuf yang betul-betul sempurna, seseorang harus memiliki ilmu-ilmu
teoritis dan daya untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kemanfaatan orang lain
sesuai dengan kapasitas mereka”. Al-Fārābī mengikuti platon, berpendirian bahwa
seorang filsuf sejatinya dibebani tugas untuk mengkomunikasikan falsafah mereka
kepada orang lain, dan bahwa tugas ini sangat penting untuk memenuhi cita ideal
falsafah11
Di antara pemikiran Al-Fārābī dituliskan menjadi sebuah karya, namun
ciri khas karyanya Al-Fārābī bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau
makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta penjelasan terhadap
karya Aristoteles, Iskandar Al-fraudismy dan Plotinus. Di antara ulasan Al-Fārābī
terhadap karya-karya mereka adalah sebagai berikut;
A. Ulasannya terhadap karya Aristoteles
1. Burhan (dalil)
2. Ibarat (keterangan)
3 Khitobah (cara berpidato)
4. Al- Jadal (argumentasi/ berdebat)
5. Qiyas (analogi)
6. Mantiq (logika)
B. Ulasannya terhadap karya Plotinus Kitab “al-Majesti fi-Ihnil Falaq”
C. Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang Maqalah “Fin-nafsi”
Sedangkan karya-karya nyata dari Al-Fārābī lainnya:
11 Suryadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009), Cet. Ke-1, hlm.84.
16
a. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al-Hahiy wa Aristho-
thails
(pertemuan/penggabungan pendapat antara Platon dan Aristoteles)
b. Tahshil al-Sa’ādah (mencari kebahagiaan)
c. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
d. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)
e. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama
pemerintahan)
f. As Syiasyah (ilmu politik)
g. Fi Ma’ani Al Aqli
h. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu)
i. At Tangibu ala As-Sa’adah
j. Isbatu Al Mufaraqat
k. Al Ta’liqat.12
C. PEMIKIRAN FALSAFI AL-FĀRĀBĪ
a. Metafisika
1. Filsafat Emanasi/Pancaran
Al-Fārābī mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari
Yang Satu dengan falsafah emanasi ini. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berubah,
jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha-Sempurna dan tidak butuh pada
12 A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal.127-128
17
apapun. Menurut Al-Fārābī alam ini terjadi karena emanasi Tuhan.13
Tuhan
sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini, menjadi timbul
wujud yang lain. Tuhan merupakan wujud pertama, dan dengan pemikiran itu
timbul wujud kedua yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama yang
tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud yang pertama dan
dari pemikiran ini timbulah wujud ketiga. Wujud ketiga memikirkan dirinya
sendiri disebut akal kedua, Second Intelligence.
1. Wujud kedua atau akal pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari
situ timbullah Langit Pertama.
2. Wujud III/akal kedua memikirkan Tuhan sehingga timbul Wujud ke IV,
dan memikirkan dirinya sendiri sehingga timbul Bintang-bintang.
3. Wujud IV/akal Ketiga memikirkan Tuhan sehingga timbul Wujud V, dan
memikirkan diri sendiri sehingga timbul Saturnus.
4. Wujud V/Akal Keempat memikirkan Tuhan sehingga timbul Wjud VI, dan
memikirkan dirinya sehingga timbul Jupiter.
5. Wujud VI/Akal Kelima Tuhan Wujud VII/Akal Keenam dirinya Mars.
6. Wujud VII/Akal Keenam Tuhan Wujud VIII/Akal Ketujuh dirinya
Matahari.
7. Wujud VIII/Akal Ketujuh Tuhan Wujud IX/Akal Kedelapan dirinya
Venus.
8. Wujud IX/Akal Kedelapan Tuhan Wujud X/Akal Kesembilan dirinya
Merkurius.
13
Nasution, Falsafat, hlm. 27.
18
9. Wujud X/Akal Kesembilan Tuhan Wujud XI/ Akal Kesepuluh dirinya
Bulan.
Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah timbulnya akal-
akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncul bumi serta roh-roh dan materi pertama
yang menjadi dasar dari keempat unsur yaitu api, udara, air, dan tanah.14
Jadi, ada
sepuluh akal dan sembilan langit (dari teori Yunani tentang sembilan
langit/sphere) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia
yang ditempati manusia. Tentang qidam (tidak bermulanya) atau barunya alam,
Al-Fārābī mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles
adalah kekal. Menurut Al-Fārābī alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan
dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan
tak berwaktu. Materi berasal dari alam yang memancar dari wujud Kesepuluh dan
pemancaran itu terjadi dari qidam (tidak bermula). Pemancaran diartikan
penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam. Jiwa
manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal kesepuluh.
Sebagaimana Aristoteles, Ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya:
1. Gerak: Makan, Memelihara, Berkembang
2. Mengetahui: Merasa, Imajinasi
3. Berpikir: Akal praktis, Akal teoritis
b. Epistimologi
14 Nasution, Falsafat, hlm. 28.
19
Dalam pembahasan tentang epistemologi Al-Fārābī ini, sangat
tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang logika. Hal ini tercermin
dalam bukunya kitabu arai ahlul madinatil fadhilah yang membahas dan
mengkategorikan keduanya ke dalam epistemologi pemikirannya. Selain
itu, dalam buku-buku sekunder lainnya yang membahas tentang pemikiran
Al-Fārābī, juga menurut penulis sangatlah mencerminkan pandangan
epistemologis dari Al-Fārābī. Seperti dalam tulisan Majid Fakhry (2002)
yang menyinggunnya sebagai bagian dari pemikiran epistemologi dari Al-
Fārābī. Secara umum, pemikiran epistemologis Al-Fārābī sangat erat dan
bertalian dengan persoalan idea dimana pengetahuan tidak lain adalah
pengingatan kembali sebagaimana dikatakan oleh platon, dimana ketika
manusia melihat objek-objek yang dapat di indera adalah sebuah proses
pengingatan kembali. Namun selain itu, Al-Fārābī juga berpegang pada
pandangan Aristoteles tentang abtraksi terhadap objek-objek dengan tidak
menyinggung kehidupan jiwa manusia ke dalam alam idea sebelum turun
ke bumi. Sehingga menurut Al-Fārābī (dalam hal tersebut), bahwa
pengetahuan tidak lain adalah tidak lain hanya mengabstrakkan terhadap
objek-objek inderawi15
Logika sendiri dalam pandangan Al-Fārābī (sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya bahwa epistemologi Al-Fārābī tidak bisa
dilepaskan dari pandangannya tentang logika) adalah pedoman umum
dalam hukum berfikir yang mana mengatur kebenaran pikiran dan
15
Hanafi A, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: bulan bintang 1969) h.95
20
memandu manusia ke arah jalan kepercayaan dan kebenaran ke dalam
segala sesuatu yang dapat dimengerti, dimana ketika hal tersebut
kemungkinan besar menuju kesalahan yang fatal.16
Dalam membahas
tentang logika ini, Al-Fārābī mengemukakan beberapa pandangan
tentangnya yakni tentang kegunaan logika, ruang lingkup logika dan
bagian-bagian logika. Dan dalam pembahasan mengenai kegunaan logika,
Al-Fārābī berpandangan bahwa maksud dengan adanya logika adalah agar
manusia dapat membenarkan pemikiran orang lain atau pemikiran manusia
itu sendiri sehingga tidak ada kerancuan dan saling salah menyalahkan
dalam pemikiran itu sendiri. Adapun ruang lingkup logika menurut Al-
Fārābī, meliputi segala macam pemikiran yang bisa diutarakan dalam
bentuk kata-kata dan segala macam jenis kata-kata yang dalam
kedudukannya bisa digunakan sebagai alat untuk menyatakan pikiran
tersebut. Selanjutnya, dalam hal bagian-bagian logika menurut
pandangannya adalah tersusun atas delapan bagian yakni:
1. Kategori (al maqulat assajr) yakni uraian-uraian tentang term yang
pertama (single term) dan aturan yang mengatur uraian-uraian tersebut.
2. Kata-kata atau interpretasi (al ibarah) yang mana menguraikan tentang
preposisi-preposisi atau gabungan dari berbagai ekspresi yang ada.
3. Analogi yang pertama (al qiyas) yakni uraian-uraian tantang aturan-aturan
percakapan secara umum.
16
Majid Fakhry, Al Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism: His Live, Works and Influence,
Oneworld Publication, (Oxford, England. 2002) h.41
21
4. Analogi yang kedua (al burhan) yakni uraian-uraian tentang aturan-aturan
dalam mengungkapkan atau mendemonstrasikan argumen-argumen.
5. Dialektis (djadal) yakni uraian-uraian tentang pertukaran argumen secara
dialektis melalui tanya jawab.
6. Shopistic (mughalatah) yakni mengutamakan keraguan terlebih dahulu
dalam proses berfikir.
7. Retorika (khatabah) yakni uraian-uraian tentang argumen-argumen retoris
dan jenis-jenis pidato atau orasi dan kefasihan dalam mengarahkan
pembicaraan.
8. Syair (syi’ir) yakni uraian-uraian tentang persoalan-persoalan dalam
wacana yang sangat puitis, jenis-jenisnya dan aturan-aturan dalam
penyusunan syair atau mengenai ilmu tentang persajakan.17
Untuk itu, dari pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa sejatinya
dalam urusan epistemologi (meski sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Aristoteles) khususnya dalam hal logika, Al-Fārābī tetap memiliki
pandangan tersendiri dalam menguraikan hukum-hukum logika itu sendiri.
Sehingga ia juga dikenal sebagai al mu’allim ats tsaniy (guru kedua)
dalam dunia pemikiran Islam karena guru yang pertama adalah Aristoteles
yang sebelumnya telah menanamkan sebuah pakem logika.
Daya berpikir terdiri dari tiga tingkat:
17
Al- Fārābi', Kitabu Arai Ahlul Madinatil Fadhilah, pentahkik: Dr. Al Biir Nashriy Naadir, Darul
Masyriq 2002 h.101-104
22
1. Akal potensial, baru mempunyai potensi berpikir dalam arti melepaskan
arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
2. Akal aktual, telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti
itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi
dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk aktual.
3. Akal mustafad, telah dapat menangkap bentuk semata-mata. Kalau akal
aktual hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad
sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk semata-mata ini
berlainan dengan (abstracted intelligibles) tidak pernah berada dalam
materi untuk dapat dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada
tanpa materi seperti akal yang kesepuluh dan Tuhan.
Akal potensial menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat
ditangkap dengan pancaindera, akal aktual menangkap arti-arti dan konsep-
konsep, akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan
komunikasi dengan atau menangkap inspirasi dari akal yang diatas dan diluar
diri manusia yaitu akal kesepuluh yang diberi nama akal aktif, yang
didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Hubungan
akal manusia dengan akal aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari.
Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari, akal manusia dapat
23
menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari akal
aktif.18
c. Psikologi
Al-Fārābī melukiskan manusia sebagai binatang rasional (al-hayawân al-
nâthiq) yang lebih unggul dibanding makhluk-makhluk lain. Manusia menikmati
dominasinya atas spesies-spesies lain karena mempunyai intelegensi atau
kecerdasan (nuthq) dan kemauan (irâdah), keduanya merupakan fungsi dari daya-
daya kemampuan yang ada dalam diri manusia.19
Dalam Kitâb Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah, Al-Fārābī menjelaskan
bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya, diantaranya:
1. Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (al-quwwat al-
ghâdziyah).
2. Kedua, daya mengindera (al-quwwah al-hâssah), sehingga memungkinkan
manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya.
3. Ketiga, daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), sehingga
memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan
meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera.
18
Nasution H, falsafat dan mistisisme dalam islam (jakarta: pt bulan bintang, 2002) h. 18-19 19
Al- Fārābi',”al-siyasah al-madaniyah”, dalam Yuhana Qumaer (ed), falasifah al-Arab: Al-
Fārābi', (Mesir, Dar al-Masyriq, tt) h.91
24
4. Keempat, daya berpikir (al-quwwat al-nâthiqah), yang memungkinkan manusia
untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang
satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni.
5. Kelima, daya rasa (al-quwwah al-tarwi`iyyah), yang membuat manusia
mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.20
Pengetahuan manusia, menurut Al-Fārābī, diperoleh lewat tiga daya yang
dimiliki, yaitu daya indera (al-quwwah al-hassah), daya imajinasi (al-quwwah al-
mutakhayyilah) dan daya pikir (al-quwwah al-nâthiqah), yang masing-masing
disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek.
-Pertama, Indera Eksternal: Indera eksternal (al-hawâs al-zhâhirah) terdiri atas
lima unsur: penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. Indera
ini berkaitan dengan objek-objek material. Ia hanya mampu mencetak (tanthabi`),
gambaran objek tanpa sedikitpun mampu menangkap gambar itu sendiri. Indera
eksternal lebih merupakan pintu masuk bagi objekobjek material ke dalam indera
sesungguhnya dari manusia.21
Karena itu, Al-Fārābī , seperti juga al-Ghazali (w.
1111 M) dan Ibn Arabi (1240 M), menempatkan indera eksternal pada posisi yang
paling rendah di antara indera-indera manusia. Berdasarkan kenyataan tersebut,
menurut Al-Fārābī, indera eksternal tidak bersifat otonom dan tidak dapat bekerja
sendiri tetapi berada dalam kekuasaan “akal sehat” atau common senses (al-hâss
al-musytarak), yaitu potensi atau daya (quwwat) yang menerima setiap kesan dari
kelima indera eksternal. Meski demikian, akal sehat tidak termasuk indera
20 Al- Fārābi’, Mabadi Ara’Ahl al-Madinah al-Fadilah (The Perfect State), ed. Richard Walzer,
(Oxford, Clarendon Press, 1985) h. 164-170 21
Osman Bakar, Hirarki Ilmu, alih bahasa, Purwanto (Bandung: Mizan, 1997) h.67
25
eksternal dan juga tidak termasuk indera internal yang akan dijelaskan di depan.
Karena itu, akal sehat tidak ikut menyimpan data-data yang masuk dari indera
eksternal. Fungsi menyimpan menjadi milik daya representasi (alquwwah al-
mushawwirah), salah satu dari lima macam indera internal. Al-Fārābī
menempatkan akal sehat pada posisi netral yang menduduki posisi diantara kedua
jenis indera tersebut. Tokoh pertama yang memasukkan akal sehat (al-hâss al-
musytarak) sebagai bagian dari indera internal adalah Ibn Sina.22
- Kedua, Indera Internal: Indera internal (al-hawâs al-bâthinah) adalah bagian dari
jiwa yang mempunyai kemampuan-kemampuan lain yang tidak dimiliki oleh
indera eksternal. Al-Fārābī menyebut adanya lima unsur indera internal:
A. Daya representasi (alquwwah al-mushawwirah)
B. Daya estimasi (al-quwwah al-wahm)
C. Daya memori (al-quwwah al-hâfizhah)
D. Daya imajinasi rasional (al-quwwah al-mufakkirah)
E. Daya imajinasi sensitif (al-quwwah al-mutakhayyilah)
Daya representasi adalah kemampuan untuk menyimpan bentuk-bentuk
suatu objek, meski objek-objek itu sendiri telah hilang dari jangkaun indera. Daya
ini terletak pada otak bagian depan. Ia mempunyai kekuatan abstraksi yang lebih
sempurna dibanding indera eksternal, sehingga daya representasi tidak
22
Ibn Sina, Kitab al-Nafs (De Anima), ed. Fazlur Rahman (Oxford, Oxford University Press, 1970)
h.44-45
26
memerlukan hadirnya materi untuk menghadirkan bentuk. Meski demikian,
bentuk-bentuk dalam daya representasi tidak bebas dari aksiden-aksiden
materialnya. Bentuk-bentuk tersebut ditangkap sekaligus dengan ikatan
materialnya, seperti ruang, waktu, kualitas dan kuantitas. Meski demikian, ada
bentuk-bentuk lain yang tidak dapat ditangkap indera eksternal walaupun bentuk
tersebut berkaitan dengan suatu objek inderawi, seperti soal baik dan buruk,
senang dan benci, dari objek. Disinilah bagian dan fungsi wahm bekerja. Menurut
Al-Fārābī, wilayah kerja yang berkaitan dengan entitas-entitas di luar jangkauan
penginderaan, seperti soal baik dan buruk. Wahm mengabstraksikan entitas-
entitas non-material dari materi, sehingga tingkat abstraksinya dikatakan lebih
sempurna dibanding abstraksi daya representasi.
Daya ingat (al-quwwah al-hâfizhah) adalah kemampuan untuk menyimpan
entitas-entitas non-material yang ditangkap wahm. Hubungan daya ingat dengan
entitasentitas non-material yang ditangkap wahm adalah sama seperti hubungan
daya representasi dengan bentuk-bentuk objek terindera. Dalam Risâlah fî Jawâb
Masâil Suil `Anhâ, Al-Fārābī membedakan antara daya ingat (al-hifzh) dengan
pemahaman (al-fahm). Daya ingat berkaitan dengan kata-kata dan lebih bersifat
partikular serta personal (asykhash), sedang pemahaman lebih mengarah pada
makna-makna dan bersifat universal serta prinsipil (qawânîn). Karena itu, Al-
Fārābī menganggap bahwa pemahaman lebih tinggi dibanding sekedar ingatan.
Daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah) adalah kemampuan kreatif
untuk menyusun atau menggabungkan citra-citra baru dengan citra-citra lain yang
tersimpan dalam daya representasi (al-quwwah al-mushawwirah), melalui proses
27
kombinasi (tarkîb) maupun proses pemilahan (tafshîl). Maksudnya, daya
imajinatif menggabungkan citra-citra tertentu dengan citra-citra lainnya atau
memilahkan sebagian citra ketika harus memilih. Al-Fārābī menempatkannya
pada posisi tengah yang menghubungan antara indera internal dan intelek. Dalam
Mabâdi’ Arâ’ Ahl al-Madînah, Al-Fārābī bahkan menyebutkan secara tegas
bahwa daya imajinasi merupakan salah satu sarana pencapaian pengetahuan, juga
proses penerimaan wahyu dalam kenabian seperti yang akan dijelaskan didepan.
-Ketiga, Daya Intelek (al-`aql al-kullî): Intelek adalah kunci utama dalam
pemikiran filsafat Al-Fārābī, termasuk yang berkaitan dengan keilmuan. Intelek
ini mempunyai dua kemampuan: praktis (`amalî) dan teoritis (nazharî).
Kemampuan teoritis digunakan untuk menangkap bentuk-bentuk objek intelektual
(ma`qûlât), sedang kemampuan praktis dimanfaatkan untuk membedakan
sedemikian rupa satu sama lainnya sehinga kita dapat menciptakan atau
mengubahnya dari satu kondisi kepada kondisi yang lain. Kemampuan yang
disebutkan kedua ini biasanya terjadi pada masalah-masalah ketrampilan seperti
pertukangan, pertanian atau pelayaran.23
Istilah “intelek” sendiri, dalam bahasa
Arab, disebut dengan akal (al-`aql). Namun, ia tidak sama dengan rasio yang juga
terjemahan dari kata `aql. Al-Fārābī memakai dua istilah dalam masalah ini: al-
`aql al-juz’I yang diterjemahkan dengan rasio, dan al-`aql al-kullî yang
diterjemahkan sebagai intelek. Intelek berkaitan dengan proses pemahaman
23 Konsep psikologi Al- Fārābi' dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=298312&val=6793&title=PSIKOLOGI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-FARABI%20DAN%20SIGMUND%20FREUD / diakses
6 november 2018
28
intuitif untuk mencapai kebenaran-kebenaran transenden dan bekerja berdasarkan
pancaran (faidl) dari alam “atas”, sehingga tidak mungkin salah.
Selanjutnya, dalam Risâlah fî Ma`âni al-Aql (Risalah tentang Makna-Makna
Intelek), Al-Fārābī menjelaskan istilah intelek dalam enam pengertian. Pertama,
intelek yang oleh masyarakat awam dikenakan pada orang cerdas atau cerdik
(perceptive). Dalam konteks yang lebih mudah, intelek ini dapat diistilahkan
sebagai “kesepakatan umum”. Kedua, intelek seperti yang dimaksudkan oleh
kaum teolog (ahl al-kalâm) ketika membenarkan atau menolak pendapat tertentu.
Intelek yang dimaksud adalah sesuatu yang dipakai untuk mengukur “kemasuk-
akalan”24
. Ketiga, intelek yang disebut Aristoteles dalam Kitâb al-Burhân
(Analytica Posterior) sebagai habitus (malakah). Intelek ini mengantarkan
manusia untuk mengetahuai prinsip-prinsip pembuktian (demonstration) secara
intuitif. Dalam Maqâlah fî Ma`ânî al-`Aql, Al-Fārābī menulis sebagai berikut:
“Ia adalah potensi jiwa yang dengannya manusia bisa mencapai keyakinan
lewat premis-premis yang benar dan pasti, bukan dari analogi atau penalaran. Ia
adalah pemahaman secara apriori tanpa diketahui dari mana dan bagaimana.
Potensi tersebut merupakan pemahaman awal yang sama sekali tanpa pemikiran
dan angan-angan, sedang premis-premis itu sendiri merupakan fondasi ilmu-ilmu
penalaran”. Keempat, intelek yang diungkap Aristoteles dalam Kitâb al-Akhlâq
(Nichomachean Ethic) sebagai “intelek praktis hasil pergumulan panjang manusia
24 Konsep psikologi Al- Fārābi' dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=298312&val=6793&title=PSIKOLOGI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-FARABI%20DAN%20SIGMUND%20FREUD / diakses
6 november 2018
29
yang memberinya kesadaran tentang tindakan yang patut dipilih atau dihindari.
Dalam klasifikasi diatas, intelek jenis ini masuk kategori daya pikir praktis.
Aristoteles sendiri menyebutnya dengan istilah phronesis (kebijaksanaan praktis).
Phronesis atau kebijaksanaan praktis adalah kemampuan bertindak berdasarkan
pertimbangan baik buruk ketika menghadapi pilihan-pilihan. Orang yang
mempunyai phronesis akan mengerti bagaimana harus bertindak secara tepat.
Kebijaksanaan praktis ini, menurut Aristoteles, tidak dapat diajarkan tetapi bisa di
kembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan. Kelima, intelek yang dibahas
Aristoteles dalam Kitâb al-Nafs (De Anima), yang mencakup empat bagian.
A. Intelek potensial (al-`aql bi al-quwwah), adalah jiwa atau unsur yang
punya kekuatan untuk mengabstraksi dan mencerap essensi-essensi wujud. Ia
hampir seperti materi di mana wujud-wujud dapat dilukiskan diatasnya secara
tepat, atau seperti lilin yang diatasnya dapat diukirkan sebuah tulisan. Ukiran atau
lukisan tersebut tidak lain adalah pemahaman atau persepsi.
B. Intelek aktual (al-`aql bi al-fi`l), adalah intelek yang bertindak untuk
menyerap essensi-essensi wujud yang ada dalam intelek potensial sekaligus
tempat bersemayamnya bentuk-bentuk pemahaman atau persepsi hasil dari
abstraksi tersebut. Menurut Al-Fārābī, intelek aktual memahami setiap
pengetahuan dengan menerima bentuk-bentuknya yang berupa pengetahuan murni
hasil abstraksi dari materi. Lebih jauh, intelek aktual dapat mengetahui dirinya
sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri.
30
C. Intelek perolehan (al-`aql al-mustafâd), merupakan proses lebih lanjut
dari kerja intelek aktual. Menurut Al-Fārābī, ketika intelek potensial telah
mengabstraksi menjadi bentuk-bentuk pengetahuan aktual yang mandiri bebas
dari materi, maka pada tahap kedua, ia berpikir tentang dirinya sendiri.
Kemampuan untuk berpikir inilah yang disebut “intelek perolehan”. Intelek ini
lebih tinggi dibanding intelek aktual, karena objeknya adalah bentuk-bentuk
murni yang bebas dari materi dan dilakukan tanpa bantuan imajinasi serta daya
indera. Dengan demikian, intelek perolehan adalah “bentuk lebih lanjut” dari
intelek aktual, yaitu ketika intelek aktual telah mampu memposisikan dirinya
menjadi pengetahuan (self-integeble) dan dapat melakukan proses pemahaman
tanpa bantuan kekuatan lain (self-intellevtive). Al-Fārābī menulis, “ketika intelek
aktual pada tahap berikutnya berpikir tentang wujud dan kandungan dirinya
sendiri, di mana ia berupa bentuk-bentuk pengetahuan murni (intellegibles) yang
bebas dari materi, maka itulah yang disebut intelek perolehan (al-`aql
almustafâd)”.25
Menurut Al-Fārābī, intelek perolehan ini menandai puncak kemampuan
intelektual manusia sekaligus merupakan garis pembatas antara alam material dan
intelegensi. Ia adalah wujud spiritual murni yang tidak butuh raga bagi
kehidupannya, juga tidak butuh kekuatan fisik untuk aktivitas berpikirnya. Intelek
ini mirip dengan intelek aktif (al-`aql al-fa`âl). Perbedaan keduanya terletak pada
25 Konsep psikologi Al- Fārābi' dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=298312&val=6793&title=PSIKOLOGI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-FARABI%20DAN%20SIGMUND%20FREUD / diakses
6 november 2018
31
kenyataan, (1) intelek aktif adalah mutlak intelek terpisah sekaligus merupakan
gudang sepurna bentukbentuk pengetahuan, sedang intelek perolehan adalah
wujud yang lahir dari “kerja” lebih lanjut dari intelek aktual; (2) kandungan
intelek aktif senantiasa tidak pernah berhenti mengaktualkan diri sedang
kandungan intelek perolehan hanya menunjukkan tahap perolehan aktualitas lewat
intelek potensial.
D. Intelek aktif (al-`aql al-fa`âl), adalah intelek terpisah dan yang tertinggi
dari semua intelegensi. Intelek ini merupakan perantara adi-kodrati (super
mundane agency) yang memberdayakan intelek manusia agar dapat
mengaktualkan pemahamannya. Konsepsi Al-Fārābī tentang intelek aktif ini
memperlihatkan usahanya menyelaraskan antara falsafah (Yunani) dengan
keyakinan Islam.
Keenam, intelek yang disebut Aristoteles dalam Kitâb Mâ Ba`d al-Thabî`ah
(Metafisika) sebagai intelek yang berpikir dan berswacita mengenai dirinya
sendiri. Dalam teologi Islam, inilah yang disebut Tuhan. Menurut Al-Fārābī,
intelek ini sepenuhnya bebas dari segala kenistaan dan ketidaksempurnaan. Tidak
ada intelek yang tidak berasal dari-Nya, tidak terkecuali intelek aktif yang mampu
mengaktualkan pemahaman manusia.26
d. Etika
Salah satu filsuf yang menggali pemikiran filsuf Yunani dengan sangat
serius adalah Al-Fārābī. Ia merupakan filsuf klasik awal yang berusaha
26 A. Khudoiri Saleh, Jurnal Psikoislamica, h.11
32
mengagungkan falsafah didunia Islam. Pikiran-pikirannya banyak terilhami dari
para filsuf Yunani, terutama Aristoteles dan Platon. Berbagai tema-tema pokok
mengenai falsafah hampir semua dibahas olehnya, salah satunya yang jarang
menjadi fokus kajian serius saat ini adalah gagasan etika yang dikemukakannya.
Melalu pemahaman Al-Fārābī tentang etika, pengamatan kita terhadap konsep
etika yang dibangun sesudahnya sangat mungkin akan lebih mudah dipahami,
karena Al-Fārābī termasuk tokoh filsuf awal yang concern pada konsep etika. Al-
Fārābī adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tetapi kompetensi, kreativitas,
kebebasan berfikir, dan tingkat sofistikasinya lebih tinggi lagi. Al-Fārābī
disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam
Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia termasyhur karena telah
memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Platon dan Aristoteles” lewat
risalahnya al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimaini Aflathun wa Aristhu ini sangat
dipengaruhi oleh pendapat Platon (Republic) dan Aristoteles (Nicomachean
Ethics) tentang kebaikan manusia (human good). Bahkan sejumlah kalangan
menyebutnya sebagai The Sound Master atau Maha Guru Kedua Setelah
Aristoteles.27
Al-Fārābī lebih memfokuskan pengertian etika. Al-Fārābī menulis al-
Madinah al-Fadhilah dan Tahshil al-Sa’ādah. Dengan dua karya tersebut, virtues
(eudomonia) menjadi state of mind bagi umat manusia untuk melakukan tindakan
kebaikan. Pada saat yang sama, usaha-usaha untuk membentuk jati diri individu
dan masyarakat yang memiliki basis etika yang baik harus dijalankan oleh sistem
27
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London, Routledge,
1996) Vol. I, Cet I, 962
33
sosial (pemerintah) yang juga baik. Oleh karena itu, Al-Fārābī lebih
memposisikan gagasan-gagasan etika dalam pemikirannya ke konsep besar politik
disatu sisi dan konsep metafisika disisi lain. Dengan prinsip demikian, Al-Fārābī
membagi keutamaan yang harus dibangun dan disadari oleh setiap manusia
kedalam empat macam: keutamaan teoritis, keutamaan epistemik, keutamaan
kosmis dan kejutamaan praktis.
Sebagai seorang tokoh awal yang serius dalam bidang falsafah, konsep
etika yang ditawarkan Al-Fārābī menjadi salah satu hal penting dalam karya-
karyanya, yang berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik.
Begitu juga erat kaitannya dengan persoalan etika ini adalah persoalan
kebahagiaan. Bahkan, Al-Fārābī tampaknya sangat perhatian terhadap persoalan
kebahagiaan ini baik secara teoritis maupun praktis. Karenanya ia mengkhususkan
dua dari sekian bukunya untuk membahas tentang kebahagiaan. Buku itu yaitu
Tahshil al-Sa’ādah (Meraih kebahagiaan) dan al-Tanbih al-Sa’adah (Membangun
Kebahagiaan), kedua buku ini sama-sama diterbitkan di Haidarabad pada tahun
1345 H, 1346 H28
. Ciri khas Al-Fārābī dalam pemikiran etikanya adalah apa yang
ia katakan sebagai tindakan yang baik adalah yang berdasarkan atas pertimbangan
pikiran (rasio), bukan berdasarkan pada kerohanian semata yang berpangkal pada
pemberantasan kesenangan lahiriah untuk dapat membersihkan jiwa dan mencapai
kesempurnaan dan kebahagiaan tertinggi, sebagaimana yang sering didengungkan
oleh para filsuf dalam cara bermasyarakat. Maka dari itu yang disebut dengan
perilaku yang bermoral menurut Al-Fārābī adalah tindakan yang didasarkan pada
28
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London, Routledge,
1996) Vol. I, Cet I, 963
34
pertimbangan akal dan rasio, karena akal kita sudah memiliki kemampuan untuk
membedakan apa yang dikatakan baik dan apa yang dikatakan buruk.29
Etika yang menjadi gagasan Al-Fārābī ini mirip dengan apa yang menjadi
etika menurut Aristoteles. Aristoteles juga meyakini hal yang sama, kebahagiaan
sebagai tujuan akhir hidup manusia, dan untuk mencapai tujuan akhir itu
diperlukan tindakan moral yang berdasarkan pada rasio. Misalnya, saya rajin
belajar karena saya ingin mendapatakan pengetahuan, dengan pengetahuan yang
banyak wawasan saya menjadi luas, dengan wawasan yang luas saya bisa
memahami apa yang terjadi pada dunia dan manusia, dengan memahami hal
tersebut akan membantu saya untuk melihat tanda-tanda ketuhanan, dan
seterusnya. Berdasarkan hal ini, maka memang tidak bisa dibantah, bahwa pikiran
Al-Fārābī tentang etika juga dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles.30
29
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm.107 30
Zuhri, Etika: Teori dan praktek, hlm. 21-22
35
BAB III
PENGERTIAN KEBAHAGIAAN
A. Definisi Kebahagiaan Secara Bahasa dan Istilah
Kebahagiaan secara bahasa adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan
yang ditandai dengan kecukupan atau kesenangan, cinta, kepuasan,
kenikmatan, atau kegembiraan yang intens. Berbagai pendekatan filsafat,
agama, psikologi dan biologi telah dilakukan untuk mendifinisikan
kebahagiaan dan menentukan sumbernya. Para filsuf telah sering
mendifinisikan kebahagiaan dalam kaitan dengan kehidupan yang baik dan
tidak hanya sekedar sebagai suatu emosi. Definisi ini digunakan untuk
menerjemahkan eudaimonia (Bahasa Yunani) dan masih digunakan dalam
teori kebaikan. Sedangkan kebahagiaan menurut istilah ialah dimana suatu
perasaan menimbulkan efek bahagia.1
B. Kebahagiaan Menurut Filsuf
B.1 Menurut Platon dan Aristoteles
Bagi para filsuf Yunani, tujuan berfalsafah adalah mencapai kebahagiaan
dengan menggunakan akal pikiran. Sebagian filsuf Yunani, terutama Platon dan
para pengikutnya berpandangan bahwa berfalsafah, mengetahui hakikat dari
segala sesuatu hanyalah bertujuan memperoleh kenikmatan dan kelezatan rasional
dengan mengabaikan kemanfaatannya dalam kehidupan sosial. Bagi mereka,
mempelajari falsafah itu tidak dimaksudkan untuk tujuan tertentu dan tidak pula
digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang sedang berkembang di
1 https://id.wikipedia.org/wiki/Kebahagiaan / diakses pada 30 Januari 2019
36
masyarakat. Pandangan ini dilestarikan oleh para pengikutnya pada periode-
periode berikutnya.2 Sampai datang suatu pandangan bahwa sebenarnya falsafah
memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial. Gejolak sosial,
agama, politik, dan lain sebagainya dalam masyarakat menurut para pengkaji
falsafah modern, tidak akan pernah lepas dari peran falsafah yang menjadu latar
belakangnya, meskipun orang-orang yang terlibat dalam gejolak-gejolak tersebut
tidak pernah mempelajari falsafah dan aliran-alirannya. Dan jangkauan falsafah
menurut mereka, haruslah mengetahui hakikat sekaligus tujuannya yang langsung
dapat dirasakan kemanfaatannya secara praktis.3 Atau dengan kata lain
mempelajari ilmu pengetahuan tidak hanya bertujuan demi ilmu pengetahuan dan
falsafah itu sendiri atau hanya untuk memperoleh kelezatan rasional dengna
menyendiri di dalam benteng yang kukuh dan tertutup rapat tanpa menghiraukan
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekitarnya, melainkan
haruslah aplikatif dan berguna bagi masyarakat manusia.
Platon (427-347 SM.) menyatakan bahwa hasil pengamatan indrawi tidak
memberikan pengetahuan yang kukuh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah.
Karena sifatnya yang berubah-ubah itu dia tidak dapat memercayai kebenarannya.
Ilmu pengetahuan yang bersumber dari pancaindra, lanjut Platon, diragukan
kebenarannya. Sesuatu yang tidak mengalami perubahanlah yang dapat dijadikan
pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam proses pencariannya, Platon
menemukan bahwa di luar pengetahuan indrawi ada sesuatu yang disebut dengan
“idea”. Dunia ide bersifat tetap, tidak berubah dan kekal. Alam idea inilah alam
2 Taufiq Thawil, op. cit., hlm. 129. 3 Taufiq Thawil, op. cit., hlm. 129.
37
yang sesungguhnya. Manusia sejak lahir sudah membawa ide bawaan yang oleh
Rene Descartes (1596-1660 M) dan tokoh-tokoh rasionalis lain disebut innate
ideas. Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala
sesuatu, dan dari situlah timbul ilmu pengetahuan. Ditegaskan oleh Platon bahwa
orang tinggal mengingat kembali ide-ide bawaan itu, jika ingin memahami segala
sesuatu.4 Pernyataan ini seirama dengan pendapat Aristoteles yang menyatakan
bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan cara berpikir dan bertindak rasional,
karena, lanjut Aristoteles, berpikir dan bertindak rasional merupakan pembeda
antara manusia dengan makhluk-makhluk lain.5 Para filsuf sering menyatakan
bahwa manusia adalah hayawan al-Natiq, hewan (makhluk hidup) yang berpikir.
Pernyataan ini berarti dalam diri manusia ada banyak persamaan di samping ada
juga perbedaan-perbedaannya. Dan dengan berpikir itulah satu-satunya ciri khas
manusia yang menjadi perbedaan mencolok antara dia dengan seluruh makhluk
hidup. Pandangan Aristoteles, al-ladzdzah, kenikmatan, memang merupakan
syarat penting bagi manusia untuk mendapatkan al-sa’adah, kebahagiaan; akan
tetapi ia bukanlah satu-satunya syarat. Dengan demikian, al-ladzdzah tidak sama
dengan al-sa’adah. Epycurus menyatakan bahwa jika al-ladzdzah itu bisa
langgeng dan tidak bisa berubah-ubah maka dapat juga disebut sebagai al-
sa’adah, kebahagiaan.6
4 M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Falsafah Islam, dalam Irma Fatima (ed.). Filsafat Islam,
LSF, Yogyakarta, 1992, hlm. 30. 5Taufiq Thawil, Usus al-Falsafah, Cet. VII, Nahdhah al-„Arabiyyah,Kairo, 1979, hlm. 119. 6 Al-Farabi, Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah, Majlis Dairah al-Ma‟arif al-„Utsmaniah, Hyderabad,
1346. Hlm. 2.
38
C. Kebahagiaan Menurut Mutakalimin
C.1 Menurut Al-Ghazali
Menurut Abu Hamid Al-Ghazali, al-sa’adah adalah kebaikan tertinggi yang
berada di anatara kebaikan-kebaikan yang lain. Kebaikan, lanjut Al-Ghazali, pada
dasarnya terdiri atas empat macam yaitu: (1) Kebaikan jiwa. Ini merupakan
sumber keutamaan; kebaikan yang dapat dicapai dengan jalan ilmu pengetahuan,
filsfat, mempertahankan (menjaga) harga diri, keberanian, keadilan, dan
sebagainya. (2) kebaikan jasmani, yaitu berupa kesehatan, kekuatan, kecantikan,
umur panjang, dan lain sebagainya. (3) kebaikan dari luar diri sendiri yang terdiri
atas empat hal, yaitu harta, sanak keluarga, kejayaan, dan penghormatan. (4)
kebaikan yang bersifat pemberian yang terdiri atas empat hal juga yaitu hidayah
Allah. Nasihat-nasihat-Nya baginya pendirian.7 Kebaikan-kebaikan tersebut tidak
mungkin akan dapat diperoleh seseorang kecuali melalui usaha-usaha keras dan
sungguh-sungguh. Dan bila dia telah mendapatkannya berarti dia telah dapat
mencapai kebahagiaan yang nisbi, insaniyyah, sedangkan kebahagiaan sejati
lanjut Al-Ghazali hanya diperoleh manusia setelah dia mati.8
C.2 Menurut Al-Kindi
Kebahagiaan dalam pandangan Al-Kindi bukanlah dengan mencapai keinginan
dan kesukaan yang bersifat inderawi, duniawi, dan artifisial. Tetapi kebahagiaan
diperoleh melalui pencapaian keinginan dan kesukaan yang bersifat rasional, baik
dalam meneliti, memikirkan, membedakan dan mengenal hakikat segala sesuatu.
7 Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam, Mu‟assasahal-Khanji, Kairo, 1963, hlm.
163-164. 8 Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam, hlm. 165.
39
Jadi, kebahagiaan sejati bagi manusia ialah berupa kenikmatan yang bersifat
Illahiah dan ruhaniah yang dapat dicapai manusia jika dalam keadaan suci dari
noda syahwat dan kenikmatan indrawi. Serta mendekatkan diri kepada Allah
sehingga dia memancarkan cahaya dan rahmat-Nya. Alhasil pada saat itu manusia
merasakan kenikmatan abadi di atas segala kenikmatan indrawi yang dapat dicapai
dari kenikmatan hidup duniawi.9
9 Https://goo.gl/images/xcYeXv diakses pada 31 Januari 2019
40
BAB IV
KEBAHAGIAAN MENURUT AL-FĀRĀBI'
A. Definisi Kebahagiaan Menurut Al-Fārābī
Kebahagiaan menurut Al-Fārābī merupakan hal atau kondisi yang meskipun
sangat sulit dicapai oleh setiap orang, mereka berusaha dengan sekuat tenaga
untuk memperolehnya. Bila orang berhasil memperolehnya, lanjut Al-Fārābī, dia
telah dapat mencapai kesempurnaan hidup dalam arti yang sebenarnya. Tidak
semua orang dapat mencapai kesempurnaan itu dengan mudah. Karena,
kesempurnaan yang bisa diesebut sebagai al-Sa‟ādah, kebahagiaan, merupakan
puncak kebaikan yang selalu melekat pada dirinya. Kebaikan-kebaikan yang
menjadi tujuan manusia sangat banyak ragamnya. Tetapi dari seluruh kebaikan
yang ada, kebahagiaan adalah yang paling mulia dan menjadi puncak dari segala
tujuan yang ingin dicapai oleh setiap orang. Jika seseorang telah mencapai puncak
kebaikan itu berarti dia tidak lagi memerlukan kebaikan-kebaikan lain, karena
kebaikan yang lain tersebut masih belum sempurna dan masih butuh kepada
kebaikan-kebaikan berikutnya.1 Dalam pembahasan sebelumnya telah disebutkan
bahwa dalam pandangan Al-Fārābī disamping daya tumbuh dan daya mengetahui,
manusia juga memiliki daya khayal, yaitu suatu daya yang berfungsi untuk
menyelidiki segala hal yang diketahui dan dirasakan oleh pancaindera. Disinilah
letak perbedaannya dengan makhluk-makhluk yang lain.
1 Al-Farabi, Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 1
41
Dalam buku Risalah Tanbih al-Sa’ādah, Al-Fārābī mengatakan bahwa
kebahagiaan adalah kebaikan yang diinginkan untuk kebaikan itu sendiri2.
Artinya, seseorang melakukan kebaikan adalah dengan motif karena suka
melakukan kebaikan itu. Alasan seseorang melakukan kebaikan bukan karena
apa-apa atau karena ada apanya. Tapi karena memang tahu kebaikan itu baik dan
luar biasa manfaatnya. Segala hal yang membuat manusia bahagia adalah baik,
begitu pula sebaliknya. Selain itu, Al-Fārābī mengatakan kebahagiaan adalah
tujuan hidup atau tujuan akhir dari segala yang dilakukan.3 Artinya, seseorang
melakukan kebaikan atau aktifitas apapun tujuannya adalah untuk merasakan
kebahagiaan. Misalnya, seseorang menjadi pribadi jujur, ikhlas, tidak sombong,
menolong orang lain, maupun rajin tujuannya karena ingin bahagia, tidak ada lagi
yang ingin dituju selain ingin bahagia.
Kebahagiaan merupakan sebuah tujuan dan jihad adalah caranya. Yang
dimaksud itu ialah menyerahkan segala kenikmatan duniawi hanya kepada Wujud
Pertama dan menggunakan jiwa rasio untuk melakukan perintah-Nya. Untuk
mencapai kebahagiaan tertinggi, dibutuhkan paksaan dalam diri.4 Menurut Al-
Fārābī, apapun yang membantu seseorang untuk mencapai kebahagiaan adalah
baik dan apapun yang menghalangi seseorang untuk mencapai kebahagiaan adalah
kejahatan. Kebahagiaan itu sendiri tercapai ketika jiwa seseorang mencapai
kesempurnaan, dimana ia tidak membutuhkan substansi material untuk eksis.
Seseorang tidak hanya perlu memahami dan sadar akan kebahagiaan, tapi juga
2 Abu Nashr Al-Farabi, Risalah Tanbih ‘ala Sabil as-Sa’adah, (Amman: Universitas Yordania,
1987), hlm. 15 3 Abu Nashr Al- Fārābi', Risalah Tanbih ‘ala Sabil as-Sa’adah, h.15 4 Parents J, An Islamic Philosophy of Virtuous Religions, hlm. 58
42
menginginkan kebahagiaan dan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Jika
keinginan seseorang untuk adanya kebahagiaan lemah, dan seseorang memiliki
tujuan hidup yang berbeda, maka hasilnya akan jahat. Al-Fārābī sendiri
menjelaskan masing-masing kebahagiaan ini secara detail dan menunjukan
bagaimana hal itu dapat terjadi.5
Al-Fārābī adalah seorang filsuf yang berusaha untuk menemukan arti
kebahagiaan dan menikmati kebahagiaan pada arti yang sesungguhnya. Di akhir
hidupnya ia berusaha untuk hidup zuhud, dengan menyumbangkan sebagian
hartanya kepada fakir miskin,6 Menurut Al-Fārābī, semua manusia dapat
merasakan kebahagiaan, tapi apabila manusia ingin berbuat jahat, ingin hidup
hanya dalam berbagai macam pertempuran dengan keinginan-keinginan yang
dibuat oleh diri mereka sendiri, mereka tidak akan bisa lepas dari kesengsaraan.
Semua kebahagiaan yang ada didunia tidak lain adalah hasil dari keringanan
Sebab Pertama. Hal ini mengarah kepada pandangan Al-Fārābī bahwa dunia ini
adalah air mata, kehidupan setelah mati harus membayar kita kembali untuk
sebuah penderitaan yang dijalani dikehidupan setelah mati. Hal ini mengarah
kepada pandangan manusia yang mengalahkan kesenangan yang sangat
diinginkan dalam hidup ini, yang bisa mereka peroleh. Tentu saja dalam hal ini,
Al-Fārābī menyatakan bahwa pilihannya ialah menumbuhkan keinginan-
keinginan moderat sehingga kehidupan bukanlah sebuah lembah air mata. Dan
adanya kebahagiaan yang dihadirkan setelah kematian, membuat manusia ingin
5 Plato, Republic, An Islamic Philosophy of Virtuous Regimes, hlm 65
6 Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam, (Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat) h.
194
43
menahan diri akan hal tersebut, dan menolak kebahagiaan didunia. Singkatnya,
dengan megendalikan diri, membuat manusia tidak terbebani oleh keinginannya
sendiri yang berlebihan, sehingga jauh dari kebahagiaan yang sesungguhnya.7
Kebahagiaan adalah kebahagiaan yang dicari karena dirinya sendiri sama
sekali ia tidak dicari kapanpun juga untuk dipergunakan meraih sesuatu yang lain
dan di belakangnya tidak ada sesuatu yang lebih besar daripadanya yang mungkin
diraih oleh manusia. Tindakan-tindakan yang berguna di dalam mencapai
kebahagiaan adalah berbagai tindakan baik, keadaan dan bakat yang menimbulkan
tindakan-tindakan ini, yaitu keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan ini
bukan kebaikan karena dirinya sendiri, tetapi karena hal-hal yang ditarik dari
suatu kebahagiaan. Perbuatan yang menghalangi kebahagiaan ini adalah kejelekan
dan perbuatan-perbuatan jelek, sementara kondisi dan bakat yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan ini adalah segala kekurangan, kerendahan, dan kehinaan.8
Bagi Al-Fārābī, memang tidak semua orang mampu mencapai tingkat
kebahagiaan ini, ia hanya hadir pada orang-orang yang memiliki jiwa yang suci
yang dapat menembus dinding-dinding alam ghaib dan menaik ke alam cahaya
dan kebahagiaan. Al-Fārābī sendiri sudah membuktikan hal ini, dalam dirinya
sudah tercermin perilaku dan pikiran-pikiran yang suci sehingga jiwanya pun
mencapai kebahagiaan yang sejati. Dapat dibaca tentang kehidupan lahiriah Al-
Fārābī, ia juga tidak terlena oleh materi dan keduniaan, ia bahkan hidup dengan
sederhana dan bersikap zuhud, lebih suka menyendiri dan menjauh dari
7 Parents J, An Islamic Philosophy of Virtuous Religions, hlm. 67
8 Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Teori dan penerapannya, hlm.32-33
44
keramaian, seperti yang banyak disebutkan oleh penulis-penulis mengenai
biografinya.9
Al-Fārābī meyakini bahwa dengan menetapkan kebahagian sebagai tujuan
akhir, manusia akan menjadi makhluk yang sesuai dengan kodratnya dan
memiliki akhlak yag baik. Ini berarti bahwa setiap perbuatan manusia dilakukan
untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu, dan maksud tertinggi yang paling
akhir adalah kebahagiaan.10
Berdasarkan keterangan di atas, seorang pimpinan utama menurut Al-Fārābī
harus dapat mengklasifikasikan ilmu-ilmu berikut penerapannya bagi setiap umat.
Dan dalam pengklasifikasian dan penerapan tersebut harus disediakan tenaga-
tenaga yang profesional yang dapat menangani tiap-tiap bagian dalam masyarakat
dan dapat mengambil kesimpulan secara baik dan benar. Kemudian, supaya lebih
cepat mencapai tujuan yang diinginkan, hendaklah tiap-tiap orang yang telah
mengerti tujuan pimpinan utama, merasa bertanggung jawab dan
memahamkannya kepada orang yang belum mengerti. Dan bagi mereka yang
menantang, tanpa alasan yang jelas, menurut Al-Fārābī didekati melalui dua cara,
yaitu pembinaan dan pemaksaan. Dengan cara-cara itulah rintangan-rintangan
untuk menunjuk kebahagiaan suatu umat akan dapat diatasi dengan baik.11
Pikiran Aristoteles yang tak terbantahkan diadopsi oleh Al-Fārābī adalah
dalam penjelasannya mengenai kebaikan tertinggi (Summum Bonum). Aristoteles
di buku kesepuluh dari Ethique menjelaskan bahwa kebaikan tertinggi itu adalah
9 Parents J, An Islamic Philosophy of Virtuous Religions, hlm. 63
10 Al-Farabi, Fadhilat al- ‘Ulum wa al-Shina’at, op. cit., hlm. 36.
11 Al-Farabi, Fadhilat al- ‘Ulum wa al-Shina’at, op. cit., hlm. 36.
45
suatu keutamaan yang tersusun di dalam kesatuan dengan analisa akal, dan
berbeda dengan keutamaan-keutamaan manusiawi lainnya yang berkaitan dengan
tubuh. Yaitu potensi analisa yang dilakukannya sendiri serta mempersepsikan
kebenaran mutlak dan keutamaan yang tertinggi karena ia berhubungan dengan
sesuatu yang paling tinggi di dalam diri manusia yaitu akal.12
Namun, orisinalitas pikiran Al-Fārābī sebagai seorang pemikir yang tidak
sekadar melakukan plagiasi terhadap Aristoteles adalah pemikirannya tentang akal
dan jiwa yang diaplikasikan ke dalam objek etika dalam upaya pencapaian
kebahagiaan. Bagi Al-Fārābī, kebahagiaan jiwa tidak hanya diperoleh melalui
badan dan perbuatan-perbuatan sematamata, namun yang pertama adalah melalui
pikiran dan pemikiran. Memang ada beberapa keutamaan yang bersifat perbuatan
badan, tetapi bila dibandingkan dengan keutamaan-keutamaan pikiran dan bersifat
teori maka tidak arti ada apa-apa, dan kalau keutamaan jenis yang pertama itu
merupakan kebaikan, maka keutamaan jenis kedua merupakan raja kebaikan.13
Tempat bagi kebahagiaan sejati manusia berada pada tingkat akal mustafad,
yang siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif. Dengan
demikian, perilaku berfikir adalah perilaku yang dapat mewujudkan kebahagiaan
manusia.14
Dalam menempuh jalan pertumbuhannya, akal manusia berjalan
melalui beberapa fase yang bertingkat-tingkat. Awalnya akal tersebut adalah akal
potensi (‘aql bi al-quwwah), dan apabila ia telah banyak memperoleh objek-objek
12 Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Teori dan penerapannya, hlm. 41 13
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 108 14
Muhammad Ustman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim (Bandung: Pustaka
Hidayah 1993) h.76
46
ilmunya dan kebenaran- kebenaran umum (absolut), maka Ia menjadi akal nyata
(al-‘aql bi al-fi’il). Kadang-kadang, akal bisa meluas daerah cakupannya,
sehingga dapat mengetahui kebanyakan hal-hal yang universal, dan disini ia
mencapai tingkat tertinggi bagi manusia, yaitu tingkat akal mustafad atau yang
disebut dengan tingkat pelimpahan dan turunnya ilham.15
Semakin banyak objek pengetahuan seseorang, maka ia semakin dekat
menuju tingkatan alam yang lebih tinggi dan mendekati akal yang tidak ada pada
benda. Kalau ia sudah mencapai tingkat akal mustafad, maka ia dapat menerima
cahaya-cahaya ketuhanan dan dapat berhubungan langsung dengan akal
kesepuluh. Jadi dengan ilmu dan ilmu itu semata-mata, kita dapat
menghubungkan langit dengan bumi, antara alam ketuhanan dengan alam
kemanusiaan, atau antara malaikat dengan manusia. Dengan ini kita bisa
mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, karena kita telah melewati berbagai
proses sehingga mampu melihat realitas yang sesungguhnya di balik realitas yang
ada.16
Kebahagiaan yang bersifat teori dan metafisik merupakan tujuan termulia
yang dicari oleh akal manusia. Jika tingakatan ini diperoleh, maka jiwa dapat
terbebas dan mampu keluar dari semua perkara yang bersifat kebendaan, dan
dapat berhubungan dengan alam pikiran yang di dalamnya terdapat kebahagiaan
sejati atau kebahagiaan ideal yang sesuai dengan keinginan fitrah manusia, bukan
keinginan hawa nafsunya.17
Berdasarkan pernyataan ini tampak bahwa Al-Fārābī,
juga mengambil upaya yang dilakukan oleh Platon, yaitu tentang dunia ide,
15
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 108 16
Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) h.75-76 17 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 108
47
dimana dunia ini adalah tempat hakikat realitas, wadah sesungguhnya bagi
bertumpunya kebahagiaan yang nyata.
Kebahagiaan yang dituju oleh falsafah dan moral, diverifikasikan oleh teori
dan praktik serta diusahakan oleh manusia melalui studi dan tingkah lakunya,
adalah kebaikan mutlak dan puncak segala puncak, batas akhir ketinggian
manusia dan surga bagi orang-orang yang mencapainya. Al-Fārābī mengatakan:
“Kebahagiaan ialah jika jiwa manusia menjadi sempurna di dalam wujud di mana
ia tidak membutuhkan, dalam eksistensinya kepada suatu materi.”
Hal itu dengan cara ia harus di dalam globalitas esensi yang terpisah dengan
materi, ia harus abadi dalam kondisi itu, hanya saja tingkatannya berada di bawah
‘aql fa’al. Tetapi ia bisa mencapai hal itu melalui tindakan-tindakan kehendak
yang terdiri dari tindakan fikir dan tindakan fisik. Ia tidak cocok dengan tindakan
apapun, tetapi dengan tindakan-tindakan terbatas dan tertentu yang bisa didapat
melalui keadaan-keadaan tertentu yang benar-benar terbatas; hal itu dikarenakan
di antara tindakan tindakan kehendak itu, ada tindakan yang bisa menghambat
kebahagiaan.
Al-Fārābī adalah seorang filsuf yang paling banyak membicarakan
persoalan kemanusiaan, walaupun sebenarnya ia bukan orang yang berkecimpung
dalam dunia kemasyarakatan.18
Ia banyak menggeluti dunia moral, politik, dan
psikologi. Sekaligus juga dengan serius menggeluti tentang perilaku individu di
samping juga membahas masalah kemasyarakatan. Tampaknya, ia merupakan
18
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 104
48
salah satu kaum Peripatetik Arab yang paling serius mendalam sosiologi.19
Persoalan kemasyarakatan ini banyak dibicarakan dalam karya-karyanya terutama
dalam al -Siyâsah al-Madaniyyah (Politik Kenegaraan) dan Arâ-u Ahl al-Madînah
al-Fadhîlah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama).20
Secara umum tampak memang kedua kitab ini terlihat mengarah kepada
pembahasan tentang politik, tetapi esensi dari keduanya sesungguhnya adalah
berbicara tentang etika, yaitu etika bernegara sehingga sebuah bangsa bisa
menjadi bangsa yang ideal dan sesuai dengan visi Islam. Tujuan akhirnya yaitu
kebahagiaan masyarakat atau kebahagiaan sosial akan terwujud. Menurut Al-
Fārābī, manusia bersifat sosial dan tidak mungkin hidup sendiri-sendiri. Manusia
hidup bermasyarakat dan bantu membantu untuk kepentingan bersama dalam
mencapai tujuan hidup yaitu kebahagiaan.21
Sebagaimana Platon, Al-Fārābī
menekankan bahwa bagian-bagian sesuatu negeri sangat erat hubungannya satu
sama lain dan saling bekerja sama sebagaimana satu anggota badan dengan
anggota badan lainnya saling gotong-royong dan berelasi. Jika salah satu anggota
badan ada yang tidak beres, tidak berfungsi atau mengalami kerusakan, maka akan
terjadi ketidakseimbangan, dan anggota badan yang lain juga akan terkena
dampaknya. Contoh sederhana semisal jantung jika tidak bekerja, maka semua
anggota badan tidak akan berfungsi normal sebagaiman mestinya. Maka dalam
sebuah negara, segala kepentingan pribadi dan egoisme yang ada pada individu
harus dikesampingkan, dan didahulukan kepentingan umum, jika tidak maka akan
terjadi ketimpangan, dan masyarakat yang baik menurut Al-Fārābī tidak akan
19 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, hlm. 231 20 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 104 21
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Fisafatnya, hlm. 82
49
terwujud.22
Tiap-tiap anggota badan memiliki fungsi yang berbeda-beda sesuai
dengan tugasnya, maka begitu juga dengan masyarakat dalam sebuah bangsa,
masing-masing harus memiliki tugas tertentu. Kebahagiaan masyarakat akan
terwujud dengan sempurna apabila ada pembagian kerja yang sesuai dengan
keterampilan dan kemampuan individu masing-masing dengan berlandaskan rasa
kesetiakawanan dan kerja sama.23
Dalam hal ini, masing-masing individu memiliki pekerjaan yang berbeda-
beda sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya. Pekerjaan yang paling mulia
adalah yang berhubungan dengan tugas-tugas kepala masyarakat, karena
kedudukan kepala negara dalam sebuah pemerintahan yang berkuasa sama dengan
kedudukan jantung pada anggota badan. Jantung adalah sumber kehidupan, pusat
koordinasi sekaligus keserasian. Karenanya menjadi kepala negara merupakan
tugas terberat sekaligus yang paling mulia. Kepala negara tidak hanya semata-
mata mengurusi urusan yang sifatnya politis saja, tetapi juga yang paling utama
adalah akhlak, karena ia adalah panutan, pusat cerminan masyarakat. Maka dari
itu, seorang pemimpin yang mampu memiliki sifat ini patut ditiru dan dijadikan
contoh bagi masyarakatnya, sehingga sebuah masyarakat bisa dikatakan sebagai
masyarakat yang bahagia.24
Pada yang disebutkan diatas, Al-Fārābī menekankan
empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai
kebahagiaan bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yaitu:
22
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1969) h.104 23
Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996) h. 65 24
Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, h. 66
50
Pertama, Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang
diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan
kontemplasi, penelitian dan belajar.
Kedua, Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang
mengetahui hal yang bermanafaat dalam tujuan. Termasuk dalam hal ini,
kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran
budaya (fadhâil fikriyah madaniyyah).
Ketiga, Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini
berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran. Sedangkan kedua jenis
keutamaan tersebut terjadi dengan tabiatnya, dan bisa juga terjadi dengan
kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia.
Keempat, Keutamaan amaliah, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-
pernyataan yang memuaskan dan merangsang.25
B. Jenis-jenis Kebahagiaan
B.1 Manusia Mencari Jati Diri
Dalam rangka menemuka solusi aktif terhadap pemasalahan-permasalahan
yang mengitarinya, manusia mengamati dirinya sendiri, baik sebagai individu
maupun anggota masyarakat, untuk memperoleh sesuatu yang dapat dijadikan
standar yang akan menjadi pijakan dalam mencapai kesempurnaan
keberadaannya, yaitu kebahagiaan. Setelah itu barulah berupaya untuk mencari
cara-cara yang diyakininya dapat mengantarkan dirinya kepada kebahagiaan
dimaksud. Dalam pengamatan Al-Fārābī, sebagaimana yang ditulis dalam
25
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet.II, h.43
51
bukunya, al-Tanbih’ala Sabil al-Sa’adah, orang awam pada umumnya
mengartikan al-sa’adah, kebahagiaan, dengan suatu bentuk kehidupan (keadaan)
yang tanpa masalah kesulitan-kesulitan, baik kesulitan-kesulitan materi (harta
benda), pekerjaan, tempat tinggal dan selalu hidup rukun dengan sanak keluarga
dan handai-taulan, dengan kata lain al- sa’adah, kebahagiaan dalam arti ini
merupakan cerminan dari kesejahteraan dalam hidup di dunia ini. Gambaran
tentang al- sa’adah di atas secara umum menurut Al-Fārābī tidak berbeda dengan
al-ladzdzah, kenikmatan, karena kedua istilah ini mempunyai kesamaan unsur
yang penting seperti rasa puas, rela menikmati, tidak tertimpa musibah ataupun
kalau ada sangat ringan sekali dan tidak berpengaruh apa-apa dalam
kehidupannya. Dalam pandangan Aristoteles, al-ladzdzah, kenikmatan, memang
merupakan syarat penting bagi manusia untuk mendapatkan al-sa’adah,
kebahagiaan, akan tetapi ia bukanlah satu-satunya syarat. Dengan demikian, al-
ladzdzah tidak sama dengan al-sa’adah. Epycurus menyatakan bahwa jika al-
ladzdzah itu bisa langgeng dan tidak bisa berubah-ubah maka dapat juga disebut
sebagai al-sa’adah, kebahagiaan.26
Menurut Al-Fārābī, kebahagiaan akan dapat
dicapai oleh seseorang apabila jiwanya telah sampai pada wujudnya yang
sempurna dan tetap dalam keadaan seperti itu selama-lamanya. Untuk sampai
pada pada wujudnya yang sempurna dan tetap dalam keadaan seperti itu selama-
lamanya. Untuk sampai pada al- sa’adah tersebut, lanjut Al-Fārābī, manusia dapat
berusaha dengan cara membiasakan diri melakukan perbuatan-perbuatan baik,
sehingga untuk tahap-tahap selanjutnya perbuatan baik itu bisa muncul secara
26 Al-Farabi, Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah, Majlis Dairah al-Ma‟arif al-„Utsmaniah, Hyderabad,
1346, hlm.2.
52
otomatis tanpa disadarinya, perbuatan-perbuatan baik tersebut sebagian bisa
berupa aktivitas intelektual dan sebagian lain berupa aktivitas badan (jasmani).
Perbuatan baik yang dilakukan untuk maksud-maksud tertentu, lanjut Guru kedua,
merupakan rintangan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan, yaitu kebaikan
yang dapat muncul dengan tidak pernah mengenal waktu dan tidak pula untuk
sebuah tendensi.27
B.2 Manusia Sebagai Pemilik Kebahagiaan
Sebelum membahas tema ini, terlebih dahulu akan dibahas fenomena-
fenomena yang mempengaruhi upaya manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Dalam hal ini sebagai filsuf muslim, Al-Fārābī banyak menggunakan analisis-
analisis yang bersifat teologis (berdasarkan prinsip tauhid) sebagaimana yang
sering digunakannya dalam menganalisis dan memecahkan persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan teori-teori falsafahnya. Inilah yang membedakan antara
muatan falsafah Islam dengan falsafah Yunani. Falsafah Yunani, yang menitik
beratkan pembahasannya tentang esensi ada (hakikat maujud), atau dalam bahasa
Aristoteles membahas tentang ada dan dengan apa dia ada, hanya dimaksudkan
untuk mengetahui hakikat ada itu sendiri dengan tanpa melihat kemanfaatannya
dalam kehidupan dunia dan akhirat secara simultan. Demikian pula dalam
membahas tentang al- sa’adah, para filsuf Yunani tidak pernah berpijak pada
agama. Hal ini menurut Taufiq Thawil sangat bisa dimaklumi karena, ada
umumnya, mereka tidak menjadi pemeluk suatu agama dan tidak mendasarkan
27 Al-Farabi, Ara’ahl al-Madinah al-Fadhilah, Dar al-Maktabah al-Hilal, Beirut, Libanon, 1995,
hlm. 100-101.
53
pandangan hidupnya pada suatu agama tertentu.28
Sebagaimana disebutkan dalam
uraian sebelumnya bahwa pada umunya setiap manusia pasti mendambakan
kebagaiaan dan menjadikannya sebagai tujuan hidupnya. Dari sinilah dia selalu
berusaha untuk mencapainnya dengan segala macam cara. Oleh karena
kebahagiaan merupakan hal yang baik dan terpuji, maka cara memperolehnya
haruslah dengan melakukan hal-hal baik dan terpuji pula.
C. Cara Mendapatkan Kebahagiaan
Menurut Al-Fārābī ada empat keutamaan yang dimiliki setiap manusia,
dengan keutamaan-keutamaan itu akan dapat menyebabkan setiap orang dapat
memperoleh kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Empat
keutamaan tersebut ialah keutamaan teoritis, keutamaan berpikir, keutamaan
akhlak dan keutamaan berkreasi melalui perbuatan-perbuatan praktis. Dari
keempat hal diatas, keutamaan teoritis pada manusia merupakan karunia yang
paling tinggi. Keutamaan teoritis ini secara otomatis dapat menggiring manusia
kepada tujuan tertinggi dalam hidupnya. Tujuan tertinggi dalam hidup manusia
menurut Al-Fārābī adalah mengenal Tuhan dengan cara mengetahui asal usul
alam dan segala isinya. Pada dasarnya pengenalan terhadap Tuhan telah dimiliki
oleh manusia sejak semula dan dia pun tidak sadar dan tidak mengetahui
bagaimana hal itu terjadi dan dari mana pengetahuan itu dia dapatkan. Ilmu yang
sedemikian ini disebut dengan ilmu pertama.29
28 Taufiq Thawil, op. cit., hlm. 116. 29 Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 2.
54
1. Keutamaan Teorirtis
Yang dimaksud dengan keutamaan teorirtis adalah pengetahuan-
pengetahuan yang dengan perantaraan alam semesta dapat ditemukan
tujuan tertinggi (terakhir) dari segala sesuatu. Pengetahuan semacam ini
menurut Al-Fārābī dapat diperoleh seseorang melalui tiga jalan, yaitu
pertama, diperoleh secara langsung sejak dini bahwa seseorang tidak
pernah tahu bagaimana prosesnya dan dari mana asalnya. Kedua,
diperoleh dengan cara berpikir, mengamati, dan mempelajarinya sendiri.
Ketiga, diperoleh melalui belajar dari orang lain yang pernah menciptakan
teori-teorinya yang berkenaan dengan pengetahuan tersebut.30
2. Keutamaan Berpikir
Al-Fārābī menyatakan bahwa, disamping keutamaan teoritis,
manusia mempunyai keutamaan berpikir. Sebelum diaplikasikannya,
keutamaan berpikir itu masih berupa potensi (daya). Disebabkan oleh
potensi itu, orang dapat menjadi baik dan dapat pula menjadi jahat. Potensi
itu akan menjadi utama apabila diterapkan pada hal-hal yang berguna dan
dapat pula menjadi tercela jika diterapkan pada hal-hal yang buruk dan
tidak berguna.31
Berpikir utama menurut Al-Fārābī adalah berpikir hanya
tentang hal-hal yang baik dan utama, kemudian mempertahankan
(pemikiran) itu dalam jangka waktu yang lama, berguna bagi manusia,
baik secara personal (pribadi) maupun sosial (bagi masyarakat luas,
30
Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 2.
31
Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 20-21.
55
pemikiran utama tersebut, lanjut Al-Fārābī hendaknya dipertahankan
bahkan (kalau mungkin) dibakukan menjadi undang-undang.32
3. Keutamaan Akhlak
Dalam bukunya tentang perincian ilmu-ilmu, Ihsha’ al-Ulum, Al-
Fārābī telah memasukkan akhlak sebagai bagian dari cabang-cabang ilmu.
Al-Fārābī menampilkan akhlak sebagai unsur yang paling dominan yang
harus ada terlebih dahulu sebelum pembentukan negara. Sebab menurut
Al-Fārābī, akhlak memegang peranan penting untuk sampai pada
kebahagiaan, baik secara individual maupun secara sosial.33
Menurut Al-
Fārābī, akhlak terbagi menjadi dua bagian: Pertama, akhlak teoritis, dalam
pemahaman peripatetik, adalah permulaan dari bagian-bagian ilmu
pengetahuan (falsafah) praktis (al-hikmah al-amaliyyah), yaitu ilmu-ilmu
yang berhubungan dengan kemaslahatan individu. Kedua, akhlak praktis,
yang oleh Al-Fārābī didefinisikan dengan menonjolkan visi keislamannya,
sebuah devinisi yang hampir sama dengan tasawuf atau pengetahuan-
pengetahuan yang berkaitan dengan bahaan tentang jiwa dan segala
sesuatu yang berasal dari instink, yaitu keselarasan antara ilmu kalam
dengan pengetahuan jiwa yang muncul dari keyakinan.34
Keutamaan berpikir, sebagaimana yang telah di sebutkan terdahulu
menurut Al-Fārābī hanya dapat berguna untuk membedakan antara yang
baik dan yang buruk dalam lingkup yang terbatas. Bahkan, tidak jarang
32
Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 22. 33 Ahmad Mahmud Subhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiah fi al-Fikr al-Islamy, Dar al-Ma‟arif, Mesir, tt,
hlm. 13 34
Ahmad Mahmud Subhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiah fi al-Fikr al-Islamy, Dar al-Ma‟arif, Mesir, tt,
hlm. 14
56
kebaikan dan keburukan itu hanya menurut selera individu. Maka dari itu,
lanjut Al-Fārābī untuk memperoleh hasil yang optimal tentang hakikat
baik dan buruk, selain keutamaan berpikir, keutamaan akhlak juga sangat
dominan dalam pengambilan keputusan.35
Hasil akhir dari keutamaan
berpikir hanya mencakup rumusan-rumusan yang parsial dalam batas
wilayah pemikiran tertentu. Hal ini jelas sangat berbeda dengan keutamaan
akhlak. Keutamaan akhlak menurut Al-Fārābī menyentuh seluruh ruang
lingkup permasalahan kehidupan, untuk segala waktu dan segala situasi.
Meskipun demikian, secara umum, keutamaan akhlak ini berkaitan erat
dengan keutamaan berpikir. Maka dari itu, seseorang yang akan
mengadakan penelitian tentang (baik dan buruk) suatu hal hendaklah ia
berpijak pada sesuatu yang paling berpengaruh pada keutamaan-
keutamaan yang lain. Keutamaan berpikir, suatu keutamaan yang mampu
memberikan kesimpulan tentang tujuan yang paling baik dan paling
berguna bagi semua atau sebagian masyarakat dalam negara utama (al-
Madinah al-Fadhilah) yang akan berjalan lebih langgeng apabila ada
kesalingkaitan dengan keutamaan akhlak, dan keduanya berjalan secara
simultan serta berkesinambungan. Itulah menurut Al-Fārābī suatu cara
untuk sampai pada kesempurnaan kepemimpinan dalam negara dimaksud.
Keutamaan akhlak merupakan keutamaan yang paling dominan dalam
suatu kepemimpinan. Tidak ada keutamaan yang lebih tinggi dari
keutamaan tersebut. Panglima perang selain memiliki keutamaan berpikir
35 Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op, cit, hlm. 23
57
haruslah memiliki keutamaan akhlak. Keutamaan berpikir sebagai sarana
untuk menemukan strategi-strategi yang baik dalam peperangan,
sementara keutamaan akhlak sebagai sarana untuk mengarahkan
keutamaan berpikir terhadap tujuan perjuangannya.36
Keutamaan berpikir
dan keutamaan akhlak merupakan dua hal yang amat berharga.
Dalam pandangan Al-Fārābī secara umum, segala sesuatu dapat
berpotensi untuk berubah meskipun sulit, tidak terkecuali akhlak. Akhlak
menurut Al-Fārābī tidak dapat menolak perubahan dan pengalihan.
Keutamaan berpikir yang terpisah dari keutamaan akhlak menurut Al-
Fārābī tidak akan dapat mencapai kesimpulan tentang kebaikan sebagai
kebaikan atau kebaikan tidak sejalan dengan kebenaran.37
4. Keutamaan Berkreasi (Berkarya dan Kerja Keterampilan)
Menurut Al-Fārābī keutamaan karya dan kerja keterampilan dapat
diperoleh melalui dua cara, yaitu; Pertama, dengan pernyataan-pernyataan
yang memuaskan dan memberi rangsangan kepada jiwa serta dapat
berpengaruh secara aktual. Pernyataan-pernyataan tersebut lanjut Al-
Fārābī haruslah benar-benar memberi kepuasan terhadap jiwa, sehingga
melalui bakat yang dimilikinya, setiap orang dapat berkarya sesuai dengan
keinginan dan kehendaknya sendiri dengan penuh ketaatan dan dengan
menanggung segala konsekuensinya. Kedua, dengan cara pemaksaan,
yaitu suatu cara yang biasanya diterapkan untuk orang-orang yang
sombong, fanatik, dan tidak tergerak hatinya untuk berbuat baik dan benar.
36 Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op, cit, hlm. 24 37
Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op, cit, hlm. 28
58
Mereka ini kata Al-Fārābī adalah orang-orang yang hanya menuruti hawa
nafsunya dan tidak peduli dengan teori-teori ilmu pengetahuan.38
Padahal,
sebagaimana diketahui, demi kesempurnaan suatu kreativitas, orang pasti
membutuhkan teori-teori. Ilmu pengetahuan itu sendiri adalah hasil dari
berpikir rasional dan berpikir rasional merupakan bagian dari fitrah
manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain.
Orang yang mempelajari ilmu-ilmu dan kerja keterampilan
menurut Al-Fārābī, disebabkan oleh satu dari tiga alasan, yaitu karena
mulianya bahasan seperti ilmu perbintangan (‘ilm al-Nujum), karena dari
ilmu itu dapat ditemukan pembuktian-pembuktian seperti ilmu ukur (al-
Handasah) dan karena besarnya manfaat yang terkandung didalamnya,
baik pada saat sekarang maupun yang akan datang, dan lagi pula
kemanfaatannya dapat dirasakan oleh segala bangsa. Tiga atau dua alasan
tersebut, lanjut Al-Fārābī dapat dipakai sebagai alasan untuk mempelajari
satu ilmu, yakni metafisika (al-I’lm al-ilahi).39
38 Al-Farabi, Tahsil al-Sa’adah, op. cit., hal. 32. 39 Al-Farabi, Fadhilat al- ‘Ulum wa al-Shina’at, op. cit., hlm. 1.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Fārābī menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi
perhatian untuk mencapai kebahagiaan, yaitu:
Pertama, Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang
diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan
kontemplasi, penelitian dan belajar. Kedua, Keutamaan pemikiran, adalah yang
memungkinkan orang mengetahui hal yang bermanafaat dalam tujuan. Termasuk
dalam hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan
pemikiran budaya (fadhâil fikriyah madaniyyah). Ketiga, Keutamaan akhlak,
bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan menjadi
syarat keutamaan pemikiran. Sedangkan kedua jenis keutamaan tersebut terjadi
dengan tabiatnya, dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna
tabiat atau watak manusia. Keempat, Keutamaan amaliah, diperoleh dengan dua
cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.1
B. Saran
Pandangan Al-Fārābī mengenai kebahagiaan ini sangat membukakan
pemikiran kita bahwa kebahagiaan tidak hanya dalam lingkup yang sempit dalam
pandangan pada umumnya. Al-Fārābī menyatakan bahwa kebahagiaan ada pada
dalam diri manusia, dimana adanya keutamaan-keutamaan yakni teoritis, berpikir,
1 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet.II, h.43
60
akhlak dan berkreasi. Dengan begitu, manusia dapat mencapai akhir tujuan yang
tertinggi yakni kebahagiaan yang sempurna.
Namun, setelah penulis memaparkan beberapa penjelasan dari bab pertama
sampai bab terakhir, penulis memberikan saran yang berkaitan betul dengan karya
ilmiah penulis (skripsi), diantaranya:
a. Dengan adanya karya ilmiah (skripsi) ini, penulis berharap banyak orang-
orang yang lebih mengetahui kebahagiaan dalam pandangan Al-Farabi.
b. Penulis berharap, banyak buku-buku yang membahas tentang Kebahagiaan,
yang didalamnya dibahas secara lengkap dan terperinci. Karena selama ini
bahasan tentang Kebahagiaan masih sedikit, buku-bukunya pun terbitan lama
(tua).
61
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farabi, Tahshil al-Sa’ādah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005
Ahmad, Mahmud dan Ibrahim, Syarif, Al- ‘Alam al-Islamy, Terj. Jakarta: Gajah
Mada Press. 2009
Al-Farabi, Al-Da’awa al-Qalbiyah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005
Al-Farabi, Al-Ta’liqat, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Hanafi, A, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2012
Al-Farabi, Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005
Majlis Dairah al-Ma’arif al-Utsmaniah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005
Parens, Joshua, An Islamic Philosophy of Virtuous Religions, Washington
Avenue: State University of New York Press, 1961
Michael, J. Sweeney, Philosophy and Jihad Al-Fārābī; On Compulsion to
Happiness, German: Philosophy Education Society Inc, 2007
Mahdi, Musin, Al-Fārābī s Philosophy of Plato and Aristotle, United States of
America: The Free Press of Glencoe, 1962
62
Al-Farabi, Fadhilat al- ‘Ulum wa al-Shina’at, Cet.II, Terj. Imam Sukardi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Charles, E. Butterworth, Al-Fārābī The Political Writings Selected Aphorisms and
Other Text, Ithaca and London: Cornell University Press, 2001
Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010
Peter, S. Groff, Islamic Philosophy A-Z, Edinburgh: Edinburgh University Press,
1998
Ahmad, Mahmud Subhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiah fi al-Fikr al-Islamy, Terj.
Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Syarif, M.M, Ed, Para Filosof Muslim, Bandung: Penerbit Mizan, 1994
Leaman, Oliver, Islamic Philosophy, UK: Polity Press, 2009
Fahri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Mizan Pustaka, 2008
Hasyimsyah, Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Konsep psikologi Al-Fārābī dalam
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=298312&val=6793&title=PS
Al-Farabi, Ihsha al- ‘Ulum, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005
IKOLOGI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-
FARABI%20DAN%20SIGMUND%20FREUD / diakses 6 november 2018
63
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI Press, 1986
Al-Farabi, Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005
Nasution, Hasyimiyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gajah Mada Press, 1999
Al-Farabi, Ara’ ahl al-Madinah al-Fadhilah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005
Ibrahim, Subhi, Asas-Asas Filsafat, Jakarta: Lecture Publisher, 2001
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebahagiaan / diakses pada 30 Januari 2019