Post on 01-Oct-2021
KEABSAHAN IJAB KABUL MELALUI WHATSAPP DALAM
PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan
memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh:
Rifqi Fadillah
140200321
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2 0 1 8
ABSTRAK
KEABSAHAN IJAB KABUL MELALUI WHATSAPP DALAM
PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM
Rifqi Fadillah*)
Rosnidar Sembiring**)
Syaiful Azam***)
Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sangat sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuanketentuan yang ditetapkan syariat agama. Adapun permasalahan dalam penelitian ini bentuk pengaturan ijab kabul melalui whatsapp. Keabsahan Pernikahan Secara Online Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Keabsahan pernikahan secara online menurut hukum Islam Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, Sifat penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan studi kepustakaan (library research dan Penelitian lapangan (field research), dengan metode kualitatif.
Bentuk pengaturan ijab kabul melalui whatsapp, yaitu ijab kabul dilakukan dalam satu majelis pada syarat pertama, adalah ijab dan kabul terjadi dalam satu waktu. Suatu akad ijab dan kabul dinamakan satu majelis jika setelah pihak wali selesai mengucapkan ijab, calon suami segera mengucapkan kabul. Ijab kabul tidak boleh ada jeda waktu yang lama, karena jika ada jeda waktu lama antara ijab dan kabul, kabul tidak dianggap sebagai jawaban terhadap ijab. Ukuran jeda waktu yang lama, yaitu jeda yang mengindikasikan calon suami menolak untuk menyatakan kabul, antara ijab dan kabul tidak boleh diselingi dengan perkataan yang tidak terkait dengan nikah sekalipun sedikit, juga sekalipun tidak berpisah dari tempat akad, kemudian semua aspek perkawinan terpenuhi antara lain rukun,syarat sah, syarat-syarat perkawinan, tidak terdapat unsur rekayasa atau tipu daya. Keabsahan pernikahan secara online menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum positif Indonesia tidak ada hukum yang mengatur secara formal, mengenai pernikahan melalui telepon atau online. Keabsahan pernikahan secara online menurut hukum Islam. Praktek ijab kabul secara online dapat dianggap sah jika satu majelis dalam prosesi akad hanya menyangkut kesinambungan waktu antara pengucapan ijab kabul, pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi, namun apabila satu majelis menyangkut kesinambungan waktu dan diharuskan untuk bersatu majelis atau dalam satu tempat para pihak yang melakukan akad dalam hal ini kedua calon mempelai dan juga wali dari calon mempelai perempuan, kalau menganut hal ini maka pernikahan melalui telepon atau online tidak bisa diterima keabsahannya, karena sudah jelas bahwasannya proses ijab kabul kedua mempelai tidak dalam satu tempat, pendapat ini dikemukakan oleh imam Syafi‟i. dan apabola semua rukun dan syarat terpenuhi, ijab kabul melalui whatsaap, maka hal tersebut dibolehkan. Kata Kunci : Keabsahan Ijab Kabul, Kompilasi Hukum Islam, Whatsaap
*) Rifqi Fadillah Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I
***) Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah
KEABSAHAN IJAB KABUL MELALUI WHATSAPP DALAM
PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM. Untuk penulisan skripsi ini
penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang
diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai
dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena
itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka
penyempurnaan penulisan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan
terima kasih kapada :
1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H, MHum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen
Keperdataan sekaligus Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Syaiful Azam, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan
pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh
dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti
perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.
9. Terima kasih kepada teman special Nurul Annisa Siregar, SE yang
senantiasa membantu, mendukung, dan selalu menemani saya dalam
mengerjakan skripsi ini.
10. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Muhammad Andra SM,
Alfahresi Abdullah, M. Agung Azmi dan yang lainnya yang tidak bisa
disebutkan namanya satu persatu yang turut serta membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis Drs.
H. Junaidi Muslim, M.si dan Hj. Farida Lubis yang telah banyak
memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang
tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita
lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon
maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan
kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.
Medan, April 2018
Penulis,
Rifqi Fadillah
140200321
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Permasalahan ............................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan ...................................................................... 6
D. Manfaat Penulisan .................................................................... 6
E. Keaslian Penulisan .................................................................... 7
F. Metode Penelitian ...................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan ................................................................ 11
BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan ........................................... 13
B. Rukun dan Syarat Perkawinan ................................................... 18
C. Syarat Sah Perkawinan .............................................................. 36
D. Pencatatan Perkawinan .............................................................. 42
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG IJAB KABUL DAN
PERKEMBANGAN HUKUM PERKAWINAN
A. Pengertian Ijab Kabul ................................................................ 51
B. Rukun dan Syarat Ijab Kabul ..................................................... 53
C. Perkembangan Hukum Perkawinan ........................................... 55
BAB IV KEABSAHAN IJAB KABUL MELALUI WHATSAPP
DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM
1. Bentuk Pengaturan Ijab Kabul Melalui Whatsapp ..................... 61
2. Keabsahan Pernikahan Secara Online Menurut
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan ............. 65
3. Keabsahan Pernikahan Secara Online Menurut Hukum Islam... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................ 75
B. Saran ......................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 79
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.1 Semua
makhluk tersebut terdiri dari dua jenis yang berpasang-pasangan. Bagi alam nabati
dan hewani, ada jenis jantan dan betina dan pada alam insani, ada jenis pria dan
wanitanya. Adapun hikmah agar diciptakan oleh Tuhan segala jenis alam atau
makhluk itu berpasang-pasangan yang berlainan bentuk dan sifat, agar masing-
masing jenis saling butuh membutuhkan, saling memerlukan, sehingga dapat hidup
berkembang selanjutnya.2
Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan
mempunyai tujuan yang sangat sakral pula, dan tidak terlepas dari
ketentuanketentuan yang ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan
sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu birahi yang
bertengger dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan,
ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi
kasih sayang yang mendalam. Di samping itu, untuk menjalin tali persaudaraan di
antara keluarga dari pihak suami dan pihak istri dengan berlandaskan pada etika
dan estetika yang bernuansa ukhuwah, basyariyah dan islamiyah.3
1 Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010 , hal 10
2 Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya,
1994, hal 1. 3 Mohammad Asmawi, Nikah, Yogyakarta, Darussalam, 2004, hal 17
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya
disebut Undang-Undang Perkawinan) tidak mengatur tentang akad perkawinan
bahkan tidak membicarakan akad sama sekali. Mungkin Undang-Undang
Perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagaimana perjanjian atau
kontrak biasa dalam tindakan perdata. Penempatan seperti ini sejalan dengan
pandangan ulama Hanafiyah yang menganggap akad nikah itu tidak memerlukan
wali selama yang bertindak telah dewasa dan memenuhi syarat, namun dalam
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) secara jelas mengatur akad
perkawinan dalam Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 yang keseluruhannya
mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh.4
Pelaksanaan ijab kabul haruslah menggunakan kata-kata yang dapat
dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah untuk
menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk menikah, dan
tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau kabur. Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa ijab kabul boleh menggunakan bahasa, kata-kata, atau
perbuatan apa saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan
terjadinya pernikahan.5
Masyarakat Indonesia sebagian besar beragama yang beragama Islam.
Tata cara peribadatan Islam berpedoman pada berbagai sumber yang dikenal
dengan madzhab yang berbeda, namun yang banyak dipahami dan banyak
pengikutnya dari berbagai belahan dunia yaitu ada empat madzhab, yaitu
4Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media, 2006,
hal. 63 5 Ibid
1. Madzhab Hanafi, merupakan madzhab pengikut-pengikut imam abu hanifah
(70 H- 150 H)
2. Madzhab Maliki, merupakan madzhab pengikut-pengikut Imam Maliki ibn
Anas (93 H- 179 H)
3. Madzhab Syafi‟i, merupakan mazhab pengikut-pengikut Imam Mohammad
Idris Al Syafi‟e (150 H-204 H)
4. Mazhab Hambali, merupakan madzhab pengikut-pengikut Imam Ahmad ibn
Hambal (164 H-241 H).6
Heboh video pernikahan online, ijab kabul via ponsel Kamis 12 Mei
2016 pasangan X dan Y ini menjadi buah bibir di dunia maya usai
melangsungkan pernikahan yang terbilang tak lazim. Memanfaatkan kecanggihan
teknologi, pasangan ini melaksanakan ijab kabul via online. Lazimnya prosesi
ijab kabul yang sakral dilakukan secara langsung dengan tatap muka antara calon
pasangan pengantin, penghulu, saksi-saksi dan wali nikah.7
Contoh kasus lain karena jarak memisahkan, Rita Sri Mutiara Dewi (50
tahun) dan Wiriadi Sutrisno (52 tahun) melangsungkan pernikahan secara virtual
di internet. Rita di Bandung, sementara Wiriadi bekerja di Amerika Serikat.Bila
cinta sudah bicara, dan keinginan untuk menikah sudah tak kuasa dibendung,
ternyata jarak ribuan mil tak jadi penghalang. Pasangan Rita dan Wiriadi bisa
membuktikannya. Dengan bantuan video conference lewat jaringan Voice over
Internet Protocol (VoIP), keduanya melangsungkan pernikahan yang dinyatakan
6 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cetakan keempat
Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2014.hal. 23 7
https://news.okezone.com/read/2016/05/12/337/1386637/heboh-video-pernikahan-
online-ijab-kabul-via-ponsel, diakses tanggal 11 April 2018.
sah oleh penghulu. Rita yang berprofesi sebagai guru di Malaysia, sengaja
kembali ke kampung halamannya di Bandung, untuk melangsungkan
pernikahannya demi disaksikan keluarga dan penghulu, sedangkan Wiriadi yang
asli Sumatera Utara, berprofesi sebagai Fisioterapis yang bekerja di salah satu
rumah sakit di California, Amerika Serikat. Saat menikah, Wiriadi tetap berada di
tempatnya bekerja, dan hanya disaksikan satu rekannya. Pernikahan tersebut
berlangsung Rabu 11 Desember 2006. Keduanya belum pernah bertemu secara
fisik. Pertemuan mereka pun diawali dengan berkenalan di salah satu chatroom. 8
Berlanjut dengan pertukaran foto, hingga ngobrol-ngobrol di telepon.
Cinta pun bersemi dan pada akhirnya, Wiriadi melamar Rita tanggal 3 November
2005, juga melalui internet. Karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya,
Wiriadi pun menikahi Rita lewat internet."Walau harus melakukannya melalui
internet, kita berdua sangat bahagia dengan pernikahan ini. Ini adalah pernikahan
kedua bagi masing-masing mempelai. Meski virtual, pernikahan ini dinyatakan
sah oleh penghulu, karena sudah memenuhi syarat yaitu mempelai pria sudah
melihat wajah mempelai wanita.Pernikahan tersebut tak bisa lepas dari bantuan
seorang teknisi dari PT Telkom Bandung, yang menyiapkan keperluan teknis
untuk pernikahan virtual itu. Demikian seperti dikutip detikinet dari Associated
Press (AP).Dengan layar video dan speakerphones, keduanya bisa mengucapkan
sumpah setia (ijab kabul). Dengan memanfaatkan teknologi VoIP untuk transmisi
data dan sambungan langsung internasional untuk suara, terjadidelay selama
empat detik ketika ijab kabul diucapkan. Pernikahan tersebut berlangsung selama
8 https://inet.detik.com/cyberlife/d-518858/pasangan-indonesia-nikah-di-internet,, diakses
tanggal 11 April 2018.
25 menit, dimulai 8.30 Wib dan 17.30 waktu California. Dana yang dikeluarkan
sebesar Rp 100 ribu Dalam waktu dekat, tepatnya dua minggu lagi, Rita
berencana akan berangkat ke California, dan akhirnya bertemu dengan lelaki yang
kini sudah menjadi suaminya.
Akad nikah dinyatakan sah apabila memenuhi dua rukun yaitu ijab kabul,
merupakan keridhaan dan persetujuan laki-laki dan perempuan untuk menikah.
Nikah dapat dilangsungkan dengan berbagai macam redaksi yang dapat dipahami
oleh kedua bela pihak yang melakukan. Intinya, ucapan yang disampaikan
menunjukkan keinginan untuk melangsungkan pernikahan, dan ucapan itu
dipahami oleh kedua orang saksi. Misalnya, untuk menerima pernikahan itu calon
suami berkata saya setuju atau saya menerimannya atau saya meridhainya”. Lafaz
ijab, wali nikah boleh mengatakan “saya nikahkan engkau‟, atau “saya kawinkan
engkau”.9 Islam berkata, akad nikah dianggap sah dengan bahasa, ucapan, dan
perbuatan apa saja yang dianggap sah oleh orang banyak.10
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan di atas, maka dilakukan penelitian
dengan judul Keabsahan Ijab Kabul Melalui Whatsapp Dalam Perspektif
Kompilasi Hukum Islam.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
4. Bagaimana bentuk pengaturan ijab kabul melalui whatsapp?
9 Mufliha Burhanuddin. Akad Nikah Melalui Video Call Dalam Tinjauan Undangundang
Perkawinan dan Hukum Islam Di Indonesia, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Uin Alauddin
Makassar 2017, hal 4 10
Ibid.
5. Bagaimana keabsahan pernikahan secara online menurut Undang-Undang
No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan?
6. Bagaimana keabsahan pernikahan secara online menurut hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai, yaitu
1. Untuk mengetahui bentuk pengaturan ijab kabul melalui whatsapp
2. Untuk mengetahui keabsahan pernikahan secara online menurut Undang-
Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
3. Untuk mengetahui keabsahan pernikahan secara online menurut hukum islam.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penulisan ini adalah
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan
menambah khazanah pengetahuan hukum perdata, khususnya dalam
Keabsahan Ijab Kabul Melalui Whatsapp Dalam Perspektif Kompilasi Hukum
Islam
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan acuan bagi masyarakat terkait
dengan Keabsahan Ijab Kabul Melalui Whatsapp Dalam Perspektif Kompilasi
Hukum Islam.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelesuran di Fakultas Hukum Universitas Sumatera dan
Fakultas Hukum yang ada di Indonesia, dengan judul Keabsahan Ijab Kabul
Melalui Whatsapp Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam baik secara online
dan fisik belum pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, namun ada
beberapa judul penelitian terkait judul perkawinan secara online
Moh.Hasyim Asy‟ari. Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Tulungagung 2016, dengan judul penelitian Study
Komparasi Pernikahan Secara Online Dalam Prespektif Hukum Islam dan Hukum
Positif. Permasalahan dalam penelitian, antara lain :
1. Keabsahan dan akibat hukum pernikahan secara online dalam prespektif
hukum Islam
2. Keabsahan dan akibat hukum pernikahan secara online dalam perspektif
hukum positif
3. Persamaan dan perbedaan pandangan hukum Islam dan Hukum Positif
mengenai nikah online.
Mufliha Burhanuddin. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin
Makassar (2017), dengan judul penelitian Akad nikah melalui video call dalam
tinjauan undang-undang Perkawinan Dan Hukum Islam Di Indonesia. Adapun
permasalahan dalam penelitian ini:
1. Proses akad nikah melalui video call
2. Faktor-faktor yang menjadi alasan dilakukan akad nikah melalui video call
Yosua Perdinan B. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
(2016), dengan judul penelitian Perlindungan Hukum Terhadap Status Anak Yang
Lahir Dari Perkawinan Siri Online Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak. Adapun permsalahan dalam penelitian ini :
1. Pengaturan mengenai perkawinan siri online menurut hukum positif
2. Status hukum anak yang lahir dari perkawinan siri online berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak
3. Perlindungan hukum negara terhadap anak yang lahir dari perkawinan siri
online.
Pada penelitian ini mengkaji dan mengambil perumusan masalah bentuk
pengaturan ijab kabul melalui whatsapp. Keabsahan pernikahan secara online
menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Keabsahan
pernikahan secara online menurut hukum Islam. Dengan demikian, jika dilihat
kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa
penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah maupun akademi.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yuridis normatif yang disebut juga
sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the
book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan
(law it is decided by the judge through judicial process).11
Penelitian hukum
normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada
langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.12
2. Spesifikasi penelitian
Berdasarkan dengan identifikasi masalah dan tujuan penelitian, maka sifat
penelitian yang sesuai adalah deskriptif. Ilmu hukum mempunyai karakteristik
sebagai ilmu yang bersifat deskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat
deskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas
aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.13
3. Sumber data
a. Penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah
penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara
mengumpulkan literatur yang kemudian diambil hal-hal yang penting guna
membahas dan memperjelas permasalahan yang diteliti. Adapun data
sekunder terdiri dari:
1) Bahan hukum primer, berupa Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta,
Departemen Agama Republik Indonesia, 1998. Peraturan Pemerintah
11
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2006, hal. 118. 12
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2003, hal. 3. 13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2008,
hal. 22.
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2) Bahan hukum sekunder, mengacu pada buku-buku, jurnal, makalah
dan artikel yang berisi tentang teori-teori dan pandangan hukum terkait
keabsahan ijab kabul melalui whatsapp dalam persepktif kompilasi
hukum islam.
3) Bahan tersier, yang berasal dari makalah-makalah, internet, surat kabar
dan yang sejenisnya seperti surat keputusan dari dinas atau departemen
terkait, serta segala informasi yang dapat mendukung bahan hukum
primer dan tersier sehingga masalah tersebut dapat dipahami secara
komprehensif
b. Penelitian lapangan (field research)
Penelitian lapangan merupakan studi dengan mengadakan penelitian
langsung yang dilakukan untuk memperoleh data primer berupa fakta yang
berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Penelitian lapangan
ini akan dilakukan di berbagai tempat dan instansi yang sekiranya
berhubungan dengan objek penelitian sehingga berbagai data yang sudah
ada dapat dianalisis fakta yang terjadi, apakah sudah sesuai antara apa
yang seharusnya dengan apa yang terjadi (antara das sollen dengan das
sein).
4. Alat Pengumpul data
Sarana yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah menggunakan
metode kuesioner kepada M. Amar Adly Komisaris MUI Kota Medan. MS.
Albani Sekretaris MUI Kota Medan dan Hasan Matsum Wakil Ketua MUI Kota
Medan. Tujuannya untuk mengumpulkan informasi mengenai permasalahan. Data
yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data ini, kemudian dianalisis
untuk dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitian.
5. Analisis data
Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka data yang
diperoleh untuk penulisan hukum selanjutnya akan dianalisis dengan
menggunakan analisis yuridis kualitatif, dalam arti bahwa dalam melakukan
analisis terhadap data yang diperoleh tidak diperlukan perhitungan statistik namun
menekankan pada penyusunan abstraksi-abstraksi berdasarkan data yang telah
terkumpul dan dikelompokkan secara bersama-sama melalui pengumpulan data
selama penelitian lapangan di lokasi penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dibuat untuk mempermudah dalam penyusunan
skripsi ini maka perlu ditentukan sistematika penulisan yang baik.Sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan awal penulisan skripsi yang berisikan latar
belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
keaslian penulisan dan metode penelitian serta sistematika
penulisan
BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI
HUKUM ISLAM
Bab ini berisikan pengertian dan tujuan perkawinan, rukun dan
syarat perkawinan, syarat sah perkawinan dan pencatatan
perkawinan
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG IJAB KABUL DAN
PERKEMBANGAN HUKUM PERKAWINAN
Bab ini berisikan pengertian ijab kabul, rukun dan syarat ijab kabul
dan perkembangan hukum perkawinan
BAB IV KEABSAHAN IJAB KABUL MELALUI WHATSAPP DALAM
PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM
Bab ini merupakan hasil penelitian yang berisikan bentuk
pengaturan ijab kabul melalui whatsapp, Keabsahan Pernikahan
Secara Online Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Keabsahan Pernikahan Secara Online Menurut
Hukum Islam.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan penutup dalam penulisan skripsi ini, dalam hal
ini penulis menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnya
dan dilengkapi dengan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh
(wathi).14
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian bahwa
perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang
bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15
Pasal 2 KHI dinyatakan bahwa “Perkawinan menurut Hukum Islam
merupakan pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Selanjutnya Pasal 3 KHI menyatakan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Perkawinan merupakan suatu hal yang mempunyai akibat yang luas di
dalam hubungan hukum antara suami dan isteri. Dengan perkawinan itu timbullah
suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, umpamanya: kewajiban untuk
bertempat tinggal yang sama, setia pada satu sama lain, kewajiban untuk memberi
belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Suatu hal yang penting yaitu
14
Muhammad Bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul Al-Salam, Bandung, Dahlan, 2009,, hal.
109. 15
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga (Harta-harta Benda dalam Perkawinan),
Jakarta, Raja Grafindo Perada, 2016, hal 42
bahwa si isteri seketika tidak bisa bertindak sendiri sebagaimana ketika ia belum
terikat perkawinan tetapi harus dengan persetujuan suami.16
Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah
Saw., yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi.
Dengan pengawasan sepintas lalu, pada batang tubuh ajaran fikih, dapat dilihat
adanya empat garis dari penataan itu yakni:
a) Rub‟al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku makhluk dengan
khaliknya
b) Rub‟al-muamalat, yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas
pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari
c) Rub‟al-munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia lingkungan keluarga
dan
d) Rub‟al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan
yang menjamin ketentramannya.17
Tujuan perkawinan dalam Pasal 3 KHI yaitu untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (keluarga yang
tentram penuh kasih sayang). Tujuan-tujuan tersebut tidak selamanya dapat
terwujud sesuai harapan, adakalanya dalam kehidupan rumah tagga terjadi salah
paham, perselisihan, pertengkaran, yang berkepanjangan sehingga memicu
putusnya hubungan antara suami istri. Penipuan yang dilakukan salah satu pihak
sebelum perkawinan dilangsungkan dan di kemudian hari setelah perkawinan
16
Afandi Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta, Bina Aksara, 2000, hal.93. 17
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, Bogor, Prenada Media, 2010, hal 45.
dilangsungkan diketahui oleh pihak lain dapat dijadikan alasan untuk mengajukan
pembatalan perkawinan.18
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang
antar anggota keluarga.19
Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga/rumah tangga
bahagia/sejahtera. Bahagia artinya ada kerukunan yang menciptakan rasa tentram,
damai dan saling menyayangi tanpa saling mencurigai. Sejahtera artinya cukup
kebutuhan ekonomi, pendidikan dan hiburan yang diperoleh dari hasil pekerjaan
yang layak bagi kehidupan keluarga. Suami/istri boleh melaksanakan pekerjaan
apa saja sebagai sumber kesejahteraan keluarga, asalkan tidak dilarang undang-
undang tidak bertentang dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan masyarakat.20
Akibat hukum yang ditimbulkan dari sebuah perkawinan menurut Undang-
Undang Perkawinan:
a. Hak dan kewajiban suami isteri di dalam Undang-Undang Perkawinan
Nasional ini dikatakan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
18
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UI Pres., 2014, hal. 86 19
Abdul Rahman Ghazali, Op.Cit hal. 22 20
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2011, hal 85
masyarakat (Pasal 30). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat. Masing masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum, suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
(Pasal 31 ayat 1,2 dan 3).
Dikatakan suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Rumah
tempat kediaman itu ditentukan oleh suami isteri bersama (Pasal 32). Suami
isteri wajib saling cinta mencintai hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33). Suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Isteri wajib mengatur rumah
tangga sebaik baiknya. Jika suami isteri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan pada pengadilan (Pasal 34 ayat 1, 2 dan 3)
b. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
Undang-Undang Perkawinan dikatakan bahwa “kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban
tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus (Pasal
45 ayat (1) dan (2)). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati
kehendak mereka yang baik. Jika anak sudah dewasa, ia wajib memelihara
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas menurut kemampuannya, bila
mereka itu memerlukan bantuannya (Pasal 46 ayat (1) dan (2)). Sesungguhnya
kewajiban anak menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya bersifat
universal, barangkali tidak ada suatu bangsa yang tidak menghendaki
demikian, akan tetapi sebaliknya orang tua harus memberikan contoh teladan
yang baik dengan cara yang bijaksana dan tidak bersifat paksaan.21
Kompilasi Hukum Islam mengenai hak dan kewajiban suami isteri di atur di
dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 KHI. Suami, isteri wajib saling
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin kepada
satu yang lain. Di dalam KHI diatur di dalam Pasal 77 ayat (2), (3), (4).
Kewajiban suami yang mempunyai seorang isteri berbeda dari kewajiban
seorang isteri yang memiliki lebih dari satu orang. Kewajiban suami yang
mempunyai seorang isteri diatur Pasal 80 dan 81 KHI.22
Kewajiban suami
tersebut merupakan hak isteri yang harus diperoleh berdasarkan
kemampuannya. Hal tersebut bersumber dari firman Allah Swt Surah At-
Thalaq (65) ayat (6), sedangkan Pasal 82 KHI menentukan bahwa kewajiban
suami yang beristeri lebih dari seorang. Kewajiban suami kepada ister-
isterinya adalah berperilaku seimbang, sepadan, dan selaras atau dalam bahasa
Alquran disebut adil.23
Selain kewjiban suami yang merupakan hak isteri, maka hak suami pun ada
yang merupakan kewajiban isteri hal ini diatur di dalam Pasal 83 dan 84 KHI.
Disamping kewajiban suami terhadap isteri maupun sebaliknya, tanggung
jawab suami isteri kepada anak-anaknya juga jelas pentingnya. Pemeliharaan
anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak.
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2007,
hal 142. 22
Ali Zainudidin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal.
20 23
Ibid., hal 54
Pemeliharaan meliputi aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup, kesehatan,
ketentraman dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam
ajaran islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi berada di pundak
suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung
jawab itu beralih ke isteri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu
melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, sangat penting mewujudkan
kerjasama dan saling membantu antara suami dan isteri dalam memelihara
anak sampai ia dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab
suami isteri kepada anak-anaknya. Hal ini diatur di dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 98 ayat (1), (2) dan (3). Pasal 98 tersebut memberikan isyarat
bahwa kewajiban kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya, dengan
cara mendidik, membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi bekal
mereka di hari dewasanya. Apabila orang tua tidak mampu memikul tanggung
jawab terhadap anaknya, maka tanggung jawab dapat dialihkan kepada
keluarganya.24
B. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti membasuh muka untuk wudu dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.25
24
Ibid., hal 65 25
Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit, hal 45.
Syarat, yaitu suatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat” atau menurut Islam calon
pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam.26
Rukun nikah merupakan bagian dari segala hal yang terdapat dalam
perkawinan yang wajib dipenuhi,27
sedangkan syarat yang dimaksud dalam
pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perbuatan, namun berada
di luar perbuatan itu.Sebagian dari rukun nikah juga merupakan bagian dari
persyaratan nikah. Oleh karena itu, persyaratan nikah mengacu pada rukun-rukun
nikah tersebut.28
Dengan demikian, pernikahan dianggap sah bila terpenuhi syarat
dan rukunnya, sebab kalau tidak terpenuhi syarat dan rukunnya pada saat akad
berlangsung, maka pernikahan tersebut dianggap batal.29
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya
tidak boleh tertinggal. Dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada
atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa
rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau
unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat merupakan sesuatu yang berada di
luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan
26
Ibid 27
Beni Ahmad Saebani, Hukum Perdata Islam Di indonesia, Bandung, Pustaka Setia,
2011, hal 85 28
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka satria, 2000, hal 82 29
Ibid
rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada
pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur
rukun.30
Jadi, syarat-syarat nikah masuk pada setiap rukun nikah dan setiap rukun
nikah mempunyai syarat masing-masing yang harus ada pada rukun tersebut,
sehingga antara syarat dan rukun itu menjadi satu rangkaian. Artinya saling terkait
dan melengkapi. Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang
rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang
perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan
oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama
sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu
perkawinan adalah akad perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang
akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad
perkawinan dan mahar atau mas kawin.31
Akibat hukum dari tidak terpenuhinya rukun dan syarat dan perkawinan
juga berbeda. Jika rukun perkawinan tidak terpenuhi, maka akibat hukumnya
adalah perkawinan tersebut “batal demi hukum”, tetapi jika syarat perkawinan
tidak terpenuhi, maka perkawinan itu “dapat dibatalkan”.32
Mempelajari tentang rukun dan syarat yang ada pada hukum perkawinan
Islam di Indonesia, maka kesemuanya itu ada hubungan benang merahnya dengan
30
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana, 2009, hal. 59 31
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cetakan ketiga Jakarta,
Kencana, 2007, hal 59 32
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut
Hukum Tertulis Di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal. 93
prinsip perkawinan yang ada pada Undang-Undang Perkawinan. Mengingat umat
Islam di Indonesia dalam konteks perkawinan tetap harus tunduk pada hukum
Undang-undang yang berlaku, walaupun secara khusus fiqih munakahat juga
membahas persoalan itu. Artinya walaupun tulisan ini mengkaji hukum
perkawinan islam di Indonesia tetapi yang berlaku tetaplah Undang-Undang
Perkawinan. Oleh karena itu rujukan penulisan ini tetap mengacu pada Undang-
Undang Perkawinan dalam menjabarkan rukun dan syarat. Sekiranya ada
beberapa hal tertentu yang terkait dengan rukun dan syarat pada fiqih munakahat
itu dapat dikatakan sebagai tambahan atau perbandingan dalam hal mengkaji
rukun dan syarat perkawinan.
Kalau dikaji dari perspektif fiqih munakahat, maka perumusan terhadap
rukun dan syarat itu sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan yang ada pada
Undang-Undang Perkawinan. Pada prinsipnya rukun dan syarat yang diulas oleh
para ulama dalam fiqih munakahat menunjukkan sesuatu yang tidak berbeda
secara signifikan dengan yang ada pada undang-undang. Bila dikaji lebih dalam,
penentuan adanya rukun dan syarat ini sesungguhnya penjabaran dari asas-asas
yang ada perkawinan. Asas-asas tersebut yang dijadikan pedoman untuk mengatur
hal-hal teknis yang kemudian diuraikan pada rukun dan syarat.
Asas yang terkandung didalam Undang-Undang Perkawinan secara
singkat terdiri atas 6 (enam) macam hal seperti tujuan perkawinan adalah
1. membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
2. Sahnya perkawinan baik secara keyakinan dan peraturan,
3. Berasaskan monogami terbuka,
4. Asas matang jiwa raga,
5. Asas mempersulit perceraian,
6. Kedudukan seimbang antara suami dan istri.
Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, maka akan dirincikan menjadi rukun dan
syaratsyarat dalam perkawinan. Adapun rukun nikah adalah :
1. Pengantin lelaki (Suami)
2. Pengantin perempuan (Isteri)
3. Wali
4. Dua orang saksi lelaki
5. Ijab dan kabul (akad nikah)33
Rukun di atas, maka akan akan dapat dijabarkan bahwa syaratsyarat sah
sebuah perkawinan itu antara lain :
a) Syarat adanya kedua mempelai
Syarat kedua mempelai dijabarkan secara rinci lagi didalam ketetnuan
peraturan perundang-undangan tentang seorang mempelai yang dapat melakukan
perkawinan adalah :34
1) Calon mempelai laki-laki
a. bahwa ia betul laki-laki (terang/jelas)
b. Calon suami beragama islam
c. Akil baligh dan mukallaf
d. Calon mempelai laki-laki diketahui dan tertentu
e. Calon mempelai itu jelas halal dikawin dengan calon istri
33
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta
Gama Media, 2017, hal 58 34
Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit, hal. 50
f. Calon laki-laki tahu dan mengenal calon istri serta tahu betul bahwa calon
istrinya itu halal untuk dikawini
g. Calon suami itu rela untuk melakukan perkawinan35
h. Tidak dalam kondisi sedang ihram baik haji ataupun umroh
i. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
j. Calon suami tidak sedang dalam keadaan beristri 4.36
Secara khusus dalam Undang-Undang Perkawinan mengenal asas
kematangan usia. Maksud dari ini memperjelas pada pemahaman dalam
perkawinan Islam adalah akil baligh, yaitu sudah dewasa dan berakal.
Disamping itu memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang baik. Hal ini
dipersyaratkan karena mempelai kedepan akan memikul akibat hukum
perkawinan yang salah satuya adalah bertanggung jawab dalam rumah tangga
sebagai kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga. Dalam konteks ini
undang-undang menyatakan calon mempelai itu pada usia 21 (dua puluh satu)
tahun. Sebagaimana Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan merumuskan. Bila
batas usia itu belum tercapai, undang-undang memberikan izin bagi laki-laki
untuk kawin jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Bila
usia 19 (sembilan belas) tidak dipenuhi oleh calon mempelai pria, maka
mempelai pria yang ingin kawin dibawah usia 19 (sembilan belas)tahun itu
hendaknya meminta dispensasi kawin, yaitu sebuah permohonan kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua calon
mempelai.
35
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (1) 36
Ibid., Pasal 3 ayat (1)
2) Calon mempelai wanita
a. Beragama islam
b. Akil baligh
c. Bahwa ia betul wanita (terang/jelas) dengan artian bukan seorang
khunsa.37
d. Halal bagi calon mempelai laki-laki atau wanita itu haram untuk
dikawini.38
e. Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan
f. Calon mempelai wanita tidak dalam masa iddah
g. Tidak ada paksaan
h. Tidak dalam ihram baik haji ataupun umroh. Sama halnya dengan
mempelai pria, mempelai wanita juga mempunyai ketentuan yang sama
yakni usia 21 tahun.
Sebagaimana Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan merumuskan. Bila batas
usia itu belum tercapai, undang-undang memberikan izin bagi wanita untuk
kawin jika ia sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Bila usia 16
(enam belas) tidak dipenuhi oleh calon mempelai wanita, maka mempelai
wanita yang ingin kawin dibawah usia 16 (enam belas) tahun itu hendaknya
meminta dispensasi kawin. Yaitu sebuah permohonan kepada pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua calon mempelai.
37
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta, Rajawali Pers,
2010,hal 61 38
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 8
b) Syarat saksi dalam perkawinan
Saksi merupakan laki-laki yang diminta untuk menjadi saksi terhadap
terjadinya peristiwa perkawinan seseorang. Pentingnya persaksian dalam sebuah
perkawinan ini untuk menunjukkan bahwa jangan sampai ada keraguan dalam
perkawinan tersebut. Dengan adanya saksi, maka menunjukkan bahwa
perkawinan merupakan hal yang sangat penting, karena keberadaan saksi ini
semata-mata untuk kebaikan kedua mempelai apabila ada pihak ketiga yang
meragukan sebuah perkawinan. Saksi menjadi salah satu alat bukti yang dapat
menghilangkan keragu-raguan baik itu dari pihak ketiga, masyarakat, atau
lembaga/instatnsi tertentu.
Ketentuan mengenai persaksian diatur pada Pasal 26 Undang-Undang
Perkawinan Pasal 26 yang rumusannya adalah “Perkawinan yang dilangsungkan
di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang
tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
dan suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri”. Kompilasi Hukum Islam
mengatur hal ini pada bab saksi nikah mulai dari Pasal 24 hingga Pasal 26. Pada
Pasal 26 ditekankan mengenai keberadaan saksi nikah disertai dengan tugasnya.
Rumusannya menyatakan bahwa saksi harus hadir dan menyaksikan secara
langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan ditempat
akad nikah dilangsungkan, oleh karena itu adanya saksi dalam suatu perkawinan
merupakan suatu keharusan, karena perkawinan yang tidak dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya. Hal ini sejalan dengan pandangan
ulama pada konteks saksi di sebuah perkawinan. Saksi terdiri dari 2 orang laki-
laki yang dia harus memenuhi beberapa kriteria tertentu untuk dapat dijadikan
saksi. Kriteria tersebut antara lain :
a) Sekurang-kurangya dua orang
b) Islam
c) Berakal
d) Baligh39
e) Laki-laki
f) Tidak terganggu ingatan dan tidak tuli
g) Memahami kandungan lafadz ijab dan kabul untuk memahami terhadap
maksud dari akad nikah.
h) Dapat mendengar, melihat dan bercakap
i) Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar, fasik artinya ia beragama dengan
baik)
j) Merdeka
Saksi merupakan bagian dari rukun perkawinan, oleh karena itu sebuah
perkawinan yang dilakukan tanpa saksi tidaklah sah. Pada pendapat ini para ulama
sepakat, baik itu ulama syafi‟i, hanafi, hambali. Ulama juga menambahkan bahwa
kedua orang saksi yang diminta harus datang bersamaan ketika akad nikah
dilaksanakan. Persaksian sendiri mempunyai tujuan yang sangat penting seperti
menampakkan, mensyiarkan, atau menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa
perkawinan adalah sebuah kehormatan dan dapat mengangkat derajat para
39
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, Op.Cit, hal 60
mempelainya. Persaksian juga mempunyai tujuan untuk memperjelas sebuah
perbedaan antara yang halam dan haram dalam perkawinan, sehingga tidak ada
tempat untuk menyangkal sebuah perkawinan. Dengan persaksian pula akan
diketahui siapa yang berhak menjadi keluarga, mertua, wanita yang haram
dinikahi, harta benda dan kepemilikan.40
c) Syarat wali dalam perkawinan
Wali perkawinan merupakan rukun yang ada pada sebuah perkawinan.
Wali ini jelas di sabdakan oleh Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa
tidak sah dalam perkawinan, kecuali dinikahkan oleh wali. Hal ini disampaikan
oleh Nabi Muhammad SAW hingga sebanyak tiga kali. Ditambahkan dalam yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah Nabi bersabda bahwa
tidak ada nikah tanpa wali.
Wali diambil dari kata alwilayah-wala‟ yang berarti menguasainya atau
ada yang mengatakan itu dengan membantu. Seorang wali dalam perkawinan
disebutkan bagi seorang wanita yang ia mempunyai hak atau kekuasaan untuk
melakukan akad perkawinan.41
Keberadaan wali secara islam dilihat dari hadist
Nabi diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 1021 yang artinya “wanita mana saja yang
menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka
nikahnya batal” (H.R Tirmidzi). Dari hadis ini dapat dipastikan bahwa Rasulullah
SAW mengutarakan hingga 3 (tiga) kali bahwa sebuah perkawinan yang tanpa
adanya wali itu perkawinannya batal. Wali dalam sebuah perkawinan
40
Zainuddin Ali, Op.Cit, hal. 67. 41
Huzaenah Tahido Yanggo, Fiqih Anak Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik
Anak Serta Hukumhukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, Jakarta, Almawardi Prima,
2004, hal. 306.
dipersiapkan oleh salah satu mempelai, yaitu oleh mempelai wanita. Wali
diartikan sebagai orang yang menikahkan seorang wanita dengan seorang pria.
Secara umum yang dimaksud dengan wali adalah seseorang yang akan
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.
Karena ini merupakan rukun dalam perkawinan, maka persyaratan adanya wali
harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita untuk menikahkannya. Sebuah
pedrkawinan tanpa adanya wali, dapat dipastikan perkawinan itu tidak sah. Sama
halnya dengan persaksian, persoalan wali juga diatur pada Pasal 26 Undang-
Undang Perkawinan yang menjelaskan bahwa perkawinan tidak sah bila
dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah. Syarat untuk menjadi wali antara lain
1) Seorang wali beragama Islam42
2) Akil baligh, 43
terhadap baligh ini merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Daud yang artinya “dari Ali r.a dari Nabi SAW bersabda, dibebaskannya
tanggungan atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu orang yang sedang
tidur sampai ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi
(baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari gilanya” (H.R Abu Daud).
3) Berakal sehat
4) Laki-laki
5) Adil.
6) Merdeka
7) Tidak dalam ihram baik haji ataupun umroh.
42
Tihami, Hari Sahrani, fiqh munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Rajawali Press,
Jakarta, 2010, hal. 112 43
Abd. Rahman Umar, Kedudukan Saksi dalam peradilan menurut Hukum Islam, Cet. I,
Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1986, hal. 48
Kompilasi Hukum Islam sendiri mengatur persoalan wali nikah dari Pasal 19
hingga Pasal 23. Dijelaskan bahwa wali nikah dibagi atas dua yaitu wali nasab
dan wali hakim. Wali nasab sendiri dijelaskan sebagi wali yang mempunyai
hubungan erat atau kekerabatan dengan mempelai wanita. Pengelompokan
terhadap wali nasab sendiri diatur pada Pasal 21 dan 22 KHI, didalam pasal
tersebut telah dikelompokan menjadi empat kelompok mereka yang berhak
menjadi wali. Kalau disimpulkan atau diurutkan maka rumusan pada Pasal 22
KHI itu akan diketahui sebagai berikut
a. Ayah kandung
b. Kakek (dari garis ayah dan seterusnya ke atas dalam garis laki-laki)
c. Saudara laki-laki sekandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i. Saudara laki-laki ayah sekandung
j. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah)
k. Anak laki-laki dari paman sekandung
l. Anak laki-laki dari paman seayah
m. Saudara laki-laki kakek seayah
n. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kakek sekandung
o. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kakek seayah44
Urutan disini artinya adalah apabila wali pertama tidak dapat menjadi wali,
maka wali yang kedua dapat menggantikan posisinya, dan jika wali kedua tidak
dapat, hendaklah wali ketiga yang menggantikan posisinya dan begitu seterusnya
secara tertib dilakukan. Yang kedua adalah wali hakim, wali hakim dikenal pula
didalam perkawinan islam dengan sebutan yang sama yakni wali hakim. Wali
hakim diatur pada KHI Pasal 23 yang isinya adalah kedudukan wali hakim baru
dapat bertindak apabila wali nasab tidak ada. Dengan tidak adanya wali nasab,
maka wali hakim dapat bertindak untuk menggantikan wali nasab berdasarkan
atas putusan pengadilan Agama mengenai wali nikah. Ahmad Azhar Basyir
menjelaskan bahwa wali nikah itu dibagi atas tiga macam yaitu wali mujbir, wali
hakim, dan wali muhakkam. Wali mujbir adik untuk alih wali yang ada pada wali
nasab dan ia berhak memaksa gadis dibawah perwaliannya untuk dikawinkan
dengan laki-laki tanpa izin gadis yang bersangkutan, sehingga disebut wali
mujbir. Wali mujbir ini hanya terdiri dari ayah dan kakek yang dipandang paling
besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan di bawah perwaliannya. Hal ini
dilakukan karena gadis tersebut tidak pandai memilih jodoh dan apabila dia di
bebaskan memilih jodoh ditakutkan akan membawa kerugian baginya.45
Dalam
memaksa gadis yang dalam perwaliannya, wali mujbir tidak boleh asal memilih
pasangan, wali mujbir dituntut untuk mencarikan pasangan bagi mempelai wanita
dengan syarat :
44
Zainuddin Ali, Op., Cit., hal. 80-83 45
Ahmad Azhar Basyir, Op.,Cit,. hal. 42-44
1. Laki-laki pilihan wali haruslah kufu (seimbang) dengan gadis yang
dikawinkan.
2. Antara wali dan mujbir tidak ada permusuhan.
3. Antara gadis dan laki-laki calon suami tidak ada permusuhan.
4. Calon suami harus membayar mas kawin secara tunai.
5. Calon suami mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada sang
istri dengan baik. 46
Yang kedua adalah wali hakim, wali hakim yang dimaksud oleh Ahmad Azhar
Basyir samadengan wali hakim yang ada pada perumusan di Kompilasi Hukum
Islam. Wali hakim yaitu wali yang diberi kuasa untuk menjadi wali sepasang
mempelai dikarenakan wali yang paling dekat sedang tidak ada ditempat atau
sudah meninggal. Kemudian wali tesebut bepindah kepada kepala Negara. Di
Indonesia menteri agama diberi kewenangan oleh presiden untuk menjadi wali,
kemudian menteri agama memberikan kewenangan tersebut kepada pegawai
pencatat nikah sebagai wali hakim. Tentunya hal ini harus berdasarkan putusan
Pengadilan Agama sebagaimana hukum acara yang berlaku dalam menentukan
wali hakim. Wali hakim disini dalam kedudukannya sebagai pengganti dari wali
nasab. Artinya apabila wali nasab berhalangan, maka wali hakim dapat mengganti
kedudukannya. Syarat wali hakim dapat mengganti kedudukan wali nasab bila :
1. Wali nasab tidak ada
2. Wali nasab sedang berpergian jauh dan tidak sempat menjadi wali
3. Tidak diketahui tempat tinggalnya/ghaib
46
Ibid.
4. Wali nasab kehilangan haknya
5. Wali nasab sedang berihram atau haji
6. Wali nasab menolak menjadi wali47
Ahmad Azhar Basyir merupakan wali muhakkam, yaitu di mana dalam
keadaan tertentu apabila wali nasab tidak dapat bertindak sebagai wali karena
tidak memenuhi syarat atau menolak dan wali hakim pun tidak dapat bertindak
sebagai wali nasab dikarenakan berbagai sebab,sehingga mempelai yang
bersangkutan dapat menunjuk seseorang menjadi walinya. Inilah yang disebut
wali muhakkam. Wali muhakkam adalah bagian dari persoalan hukum, artinya
persoalan seperti wali muhakkam tetap memerlukan putusan Pengadilan Agama
atau pengadilan yang berwenang. Ada sebuah cerita yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW dimana beliau bertindak sebagai wali. Cerita ini diriwayatkan
dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Sahl bin
Said berkata: “Seorang perempuan datang kepada Nabi shallallahu alaihiwa
sallam untuk menyerahkan dirinya, dia berkata: “Saya serahkan diriku
kepadamu.” Lalu ia berdiri lama sekali (untuk menanti). Kemudian seorang laki-
laki berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah kawinkanlah saya dengannya jika
engkau tidak berhajat padanya.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Aku kawinkan
engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu”.
d) Mahar
Mahar diatur cukup detail pada KHI mulai dari Pasal 30 hingga Pasal 38.
Mahar dijelaskan sebagai pembayaran yang wajib dibayarkan oleh calon
47
Ibid
mempelai pria kepada wanita pada saat melakukan perkawinan. Mahar harus
diberikan langsung kepada mempelai wanita sebagai bentuk pemberian yang
menjadi hak pribadi mempelai wanita. walaupun mahar ini diharuskan untuk
dibayar oleh calon mempelai pria, tetapi mahar ini bukan lah sebuah rukun yang
ada pada hukum perkawinan, karena pembayaran mahar yang tidak dilakukan
secara detail baik itu bentuk, jumlah, atau bahkan belum terbayarkan pada saat
perkawinan tidak menyebabkan batalnya sebuah perkawinan. 48
Terkait dengan bentuk dan jumlah, sesungguhnya pembayaran mahar ini
tidak terikat terhadap batasan apapun. Mengingat mahar adalah sebuah “simbol”
pemberian pertama seorang suami kepada istri yang diberikan pada saat akad.
Sebijaknya penentuan terhadap jumlah ataupun bentuk mahar itu harus
dikomunikasikan antara kedua belah pihak mempelai. Agar nanti mahar yang
harus dipersiapkan oleh mempelai pria dapat direalisasikan. Secara perspektif
Islam, bentuk mahar yang contohkan adalah mahar yang diutamakan bernilai
kesederhanaan dan kemudahan bagi masing-masing mempelai.
Mahar yang tidak dibayarkan oleh mempelai pria tidak harus dibayarkan
secara tunai, sepanjang mempelai wanita menyetujui terhadap penangguhan
pembayaran mahar. Tetapi ini harus menjadi perhatian terhadap mempelai pria,
karena penangguhan pembayaran mahar adalah sebuah hutang bagi si mempelai
pria. Tidak pantas rasanya seorang suami yang mengawini seorang wanita tetapi
pada langkah awal keharusan mahar tidak dapat dipenuhi. Terhadap perselisihan
yang timbul akibat bentuk, jenis, dan nilai mahar dari masing-masing mempelai,
48
Umar Haris Sanjaya Aunur Rahim Faqih, Op.CIt., hal 66
kompilasi hukum Islam memberikan ruang penyelesaiannya kepada Pengadilan
Agama. Perselisihan terhadap persoalan mahar ini bisa saja terjadi bila mahar itu
cacat bentuk, kekurangan, atau belum dibayar yang itu semua dipersoalkan oleh
istri.49
d) Syarat Akad (Ijab Kabul)
Syarat ijab kabul atau lebih dikenal dengan istilah akad nikah didalam
Kompilasi Hukum Islam maupun pemahaman dimasyarakat. Ijab kabul ini diatur
didalam KHI mulai dari Pasal 27 hingga Pasal 29. Ijab sendiri mempunyai arti
sebuah pernyataan dari calon mempelai wanita yang pernyataan itu diucapkan
oleh wali nikah pihak wanita. Ijab sendiri menggambarkan sebagai pernyataan
kehendak dari mempelai wanita untuk mengikatkan diri dengan calon mempelai
pria. Kabul adalah pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria terhadap
pernyataan ijab dari mempelai wanita. Dengan adanya pernyataan kabul ini, maka
mempelai pria menerima atas ijab mempelai wanita. Pelaksanaan ijab kabul yang
dilakukan dengan secara lisan inilah yang disebut dengan akad nikah.50
Akad nikah merupakan sebuah syarat perkawinan, bila syarat ini tidak
dilakukan, maka perkawinan itu batal. Secara rinci, akad menjadi batal bila ada
unsur-unsur akad yang cacat seperti dicontohkan tidak ada :
a. „aqid (orang yang berakad),
b. ma‟qud „alaihi (sesuatu yang diakadkan),
c. sighat/lafadz (kalimat akad),
d. ijab (permintaan), dan
49
Ibid 50
Ibid
e. kabul (penerimaan).51
Pelaksanaan ijab kabul ini haruslah dilakukan beruntun tanpa ada selang
waktu. Pada prakteknya ijab kabul ini dapat membuat calon mempelai pria merasa
gugup, sehingga tidak jarang kita lihat proses akad nikah ada yang diulang hingga
dua atau tiga kali. Pengulangan proses ijab kabul ini untuk memastikan bahwa
calon mempelai pria telah menerima pernyataan ijab dengan sebuah penerimaan
(kabul) yang jelas dan didengar dan disaksikan oleh saksi kawin. Maksud dari itu
semua untuk men clear kan bahwa tidak ada lafadz dari berlangsungnya akad
yang keliru, salah, atau bahkan tidak jelas maksudnya. Adapun poin-poin proses
yang ada pada saat akad nikah adalah sebagai berikut :
1. adanya pernyataan dari wali untuk mengkawinkan (ijab)
2. adanya pernyataan penerimaan dari mempelai pria (kabul)
3. ada kata-kata nikah atau kawin
4. tidak ada jeda waktu, ijab dan kabul menyambung
5. isi dari sighat ijab kabul jelas
6. forum ijab kabul itu dihadiri wali wanita (keberadaan mempelai wanita boleh
ada boleh tidak) , mempelai pria, dua orang saksi.52
Sebuah pernyataan penerimaan dari mempelai pria pada hakekatnya harus
dilakukannya sendiri, Ulama hanafi memberikan pendapat itu boleh diwakilkan.
KHI sendiri membuka kesempatan untuk mempelai pria dapat diwakilkan pada
saat akad. Kondisi itu dapat dimaklumi bila mempelai pria tidak dapat hadir
karena hal-hal tertentu atau atas suatu sebab. Terhadap peristiwa seperti ini, tidak
51
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1999, hal. 50 52
Ibid
serta merta akad nikah dapat berlangsung begitu saja walaupun ada wakil dari
mempelai pria. Sikap dari mempelai wanita terhadap mempelai pria yang
diwakilkan yang dapat menentukan berlangsungnya akad nikah. Jika timbul
keberatan atau penolakan dari mempelai wanita, maka akad nikah dapat tidak
dilangsungkan
C. Syarat Sah Perkawinan
Syarat-syarat untuk sahnya perkawinan diatur dalam Bab II dari Pasal 6
sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan. Syarat berarti memenuhi
ketentuan yang telah ditentukan, sah berarti menurut hukum yang berlaku.
Apabila perkawinan tidak sesuai dengan tata tertib hukum yang ditentukan maka
perkawinan itu menjadi tidak sah. Jadi yang dimaksud dengan syarat perkawinan
adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, apabila ada salah satu dari
syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak
sah.
Syarat perkawinan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Syarat Materiil
Syarat-syarat materiil menurut Trusto Subekti, diatur pada Pasal 6 sampai
dengan Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);
b. Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2);
c. Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan calon mempelai wanita
sudah mencapai 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari Pengadilan (Pasal7);
d. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam
hubungan keluarga atau darah yang tidak boleh kawin (Pasal 8);
e. Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain
dan calon mempelai pria juga tidak dalam ikatan perkawinan dengan
pihak lain kecuali telah mendapat izin dari pengadilan untuk poligami
(Pasal 9);
f. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi, agama dan
kepercayaan mereka tidak melarang kawin kembali (untuk ketiga kalinya)
(Pasal 10);
g. Tidak dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang berstatus
janda (Pasal 11);53
Syarat-syarat tersebut dapat dirumuskan sebagai keadaan yang harus ada,
atau keadaan yang menghalangi untuk dilangsungkannya perkawinan. Apabila
syarat-syarat perkawinan tersebut dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa
dilangsungkan. Syarat yang telah diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang Perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
dilangsungkannya perkawinan. Syarat-syarat perkawinan ini ditentukan secara
limitatif dan dirumuskan dengan menggunakan kalimat “harus “hanya”,
“larangan”, “tidak boleh” dijelaskan meliputi aspek sebagai berikut:
a) Perkawinan harus didasarkan Persetujuan kedua mempelai
Perkawinan harus didasarkan pada kehendak bebas calon mempelai pria
ataupun wanita untuk melaksanakan perkawinan. Persetujuan atau kerelaan kedua
53
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, Purwokerto,
FH Universitas Jenderal Soedirman, 2010, hal 35
belah pihak untuk melaksanakan perkawinan merupakan syarat penting (bersifat
fundamental) sebagai pembentuk “ikatan lahir bathin” atau persetujuan yang
didasarkan atas kehendak bebas dan didasari oleh saling cinta diantara calon
mempelai, untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, sesuai
dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan disini adalah perkawinan harus
dilaksanakan berdasarkan kehendak bebas dari calon mempelai pria dan wanita
tanpa paksaan, jadi calon pengantin itu memilih pasangannya dengan
kehendaknya sendiri sehingga tujuan dari perkawinan yang bahagia dan kekal bisa
terwujud.54
b) Seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua
orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Perkawinan).
Orang tua oleh pembentuk Undang-undang Perkawinan diberikan
tanggung jawab dan sebagai faktor penting dalam proses perkawinan, calon
mempelai dinilai oleh orang tua, karena nantinya mereka harus bertanggung jawab
atas kehidupan keluarganya (rumah tangganya). Apabila salah seorang dari
mereka sudah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya maka
izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau yang mampu
menyatakan kehendaknya.
Ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) Undang-undang Perkawinan
mengatur tentang siapa-siapa yang memberikan izin perkawinan jika orangtua dari
mempelai telah meninggal dunia.
54
Trusto Subekti, Loc.Cit. hal. 43
c) Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
wanita sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang
Perkawinan
Pihak yang hendak melangsungkan perkawinan diharapkan sudah dalam
keadaan “matang” jiwa raganya (lahir batin) dan bagi mereka yang masih sangat
muda apabila akan melangsungkan perkawinan akan banyak mendapat persoalan
dalam rumah tangganya dan juga anak-anak yang dilahirkannya merupakan anak
yang dilahirkan dari orang tua yang belum “matang”. Penyimpangan terhadap
pasal ini dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan oleh orang tua pihak pria
maupun wanita (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan).55
d) Larangan Kawin (Pasal 8 Undang-undang Perkawinan) disebutkan:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah maupun ke atas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau
bapak tiri;
4) Berhubungan sesusuan, yaitu antara orangtua susuan, anak sususan,
saudara susuan dan bibi atau paman susuan;
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang;
55
Ibid
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
e) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini (Pasal 9 Undang-undang Perkawinan).
f) Apabila suami-isteri telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan
perkawinan lagi, sepanjang masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang
Perkawinan). Pasal ini menjelaskan perkawinan itu mempunyai maksud agar
suami-isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, apabila adanya suatu
tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan, harus
dipertimbangkan dan dipikirkan segala akibatnya. Ketentuan ini guna untuk
mencegah tindakan kawin cerai berulangkali, sehingga kedua pihak (suami-
isteri) saling menghargai satu sama lain.56
g) Wanita yang putus perkawinannya, berlaku waktu tunggu (Pasal 11 Undang-
undang Perkawinan) dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
yaitu:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
hari;
56
Ibid
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih datang bulan, ditetapkan tiga kali suci sekurang-kurangnya 90 hari,
bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari;
3) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka
waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan;
4) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka
tidak ada waktu tunggu.
2. Syarat Formal
Syarat formal merupakan syarat yang berhubungan dengan tata cara
perkawinan, dalam Pasal 12 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa
tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan Perundang-undangan
sendiri. Syarat formal yang berhubungan dengan tata cara perkawinan adalah
sebagai berikut:
a. Pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan;
b. Pengumuman untuk melangsungkan perkawinan;
c. Calon suami isteri harus memerlihatkan akta kelahiran;
d. Akta yang memuat izin atau akta dimana telah ada penetapan dari Pengadilan;
e. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus memperlihatkan akta
perceraian, akta kematian atau dalam hal ini memperlihatkan surat kuasa yang
disahkan pegawai pencatat nikah;
f. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung tanpa pencegahan;
g. Dispensasi untuk kawin, dalam hal dispensasi diperlakukan.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975. Untuk syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundangundangan yang
berlaku57
Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
Perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Dari bunyi Pasal 2 ayat (1) beserta dengan penjelasannya itu, maka suatu
perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya
dan kepercayaannya itu, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.58
D. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan merupakan media bagi pasangan yang hendak
melakukan perkawinan untuk mendapatkan kepastian hukum apakah perkawinan
yang dilaksanakan sah atau tidak. Akta nikah atau buku nikah merupakan bukti
bahwa perkawinan telah sah secara agama dan diakui oleh negara, pasangan calon
57
K Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2009,
hal.25 58
Ibid
pengantin yang telah mendaftarkan dan mencatakan perkawinannya, maka akan
mendapatkan buku nikah tersebut sebagai perwujudan kepastian hukum
perkawinan mereka. Bagi para pemeluk agama Islam apabila hendak
mendaftarkan dan mencatat perkawinan dapat dilakukan di Kantor Urusan Agama
(KUA) dan bagi yang non muslim dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Maka berdasarkan peraturan perundang-undangan Pihak KUA ataupun KCS
terlebih dahulu harus memeriksa terkait persyaratan-persyaratan perkawinan yang
wajib dipenuhi. Berdasarkan fungsinya sebagai lembaga pencatat perkawinan
maka KUA maupun KCS berhak melakukan penolakan pencatatan atau
pembatalan perkawinan apabila tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, karena mereka pula yang memastikan bahwa perkawinan tidak boleh
bertentangan dengan agama dan kepercayaan serta hukum positif.59
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan
lebih khusus untuk melindungi hakhak perempuan dalam kehidupan berumah
tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah,
apabila terjadi perselisihan di dalam perkawinan, maka salah satu dari pihak
suami ataupun istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri
memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.60
59
Arya Wira Hadikusuma dan, Hisyam Syafioedien, Keabsahan Ijab Kabul Melalui
Telepon Dan Skype(Studi Dalam Perspektif Pasal 27 Sampai Dengan Pasal 29 Kompilasi Hukum
Islam), artikel Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2008, hal 8-9 60
Ibid. , hal 9
Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4
Tahun 1975 Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan yang terjadi
sebelum Undang-Undang Perkawinan, perkawinan yang dilakukan menurut
peraturan perundang-undangan yang lama adalah sah. Sebab dengan dilakukannya
pencatatan perkawinan tersebut akan diperoleh suatu alat bukti yang kuat sebagai
alat bukti autentik berupa akta nikah (akta perkawinan), yang didalamnya memuat
sebagai berikut:
1. Nama, tanggal, dan tempat lahir, agama dan kepercayaan, pekerjaan dan
tempat kediaman suami-istri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami
atau istri terdahulu.
2. Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua
mertua.
3. Izin kedua orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun/dari wali atau
pengadilan.
4. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria dan
dibawah umur 16 tahun bagi wanita.
5. Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan
lebih dari seorang istri.
6. Persetujuan kedua mempelai
7. Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota TNI
8. Perjanjian perkawinan jika ada
9. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi,
dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman kuasa apabila
perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.61
Pada perkawinan yang tidak dicatatkan tidak diakui oleh hukum formal
karena tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama
Islam. Tidak dicatatkan perkawinan akan berdampak negatif pada status anak
yang dilahirkan di mata hukum, yakni anak yang dilahirkan dianggap sebagai
anak yang tidak sah. Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan, yang
menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat yang sah, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini juga
telah diperkuat dengan Pasal 100 KHI yang menyatakan bahwa anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal
ini tentu saja merugikan anak, oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 100 KHI
(Kompilasi Hukum Islam) tersebut tidak mempunyai hubungan hukum
keperdataan dengan ayah biologisnya.62
Pencatatan perkawinan pada dasarnya syariat Islam tidak mewajibkan
terhadap setiap akad pernikahan, namun apabila dilihat dari segi manfaatnya
61
Amin Summa, Hukum Kekeluargaan Islam di Dunia Islam, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2005, hal. 47 62
J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak Dalam Perkawinan, Jakarta, Sinar
Grafika, 2008, hal. 25.
pencatatan sangat diperlukan. Jika dibuka kembali kitab-kitab fiqh klasik, maka
tidak akan ditemuka adaya kewajiban pasangan suami istri untuk mencatatkan
perkawinannya pada pejabat negara. Dalam tradisi umat islam terdahulu,
perkawinan dianggap sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Hal ini
berbeda dengan perkara muamalah yang dengan tegas Al qur‟an memerintahkan
untuk mencatatkan.63
Pentingnya sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang
berkaitan dengan individu yang lain atau dalam hal mu‟amalah, Islam pada ayat
AlBaqarah di atas tersebut memerintahkan kepada para pemeluknya untuk
mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kelupaan tentang sesuatu dengan jalan mencatatkan.
Pencatatan perkawinan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pejabat
negara terhadap setiap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat
nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad
perkawinan atara calon mempelai suami dan istri.64
Perkawinan yang secara
normatif harus dicatatkan itu adalah sudah merupakan ”Kesepakatan nasional”
yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan hukum untuk masyarakat guna
terwujudnya ketertiban, kepastian dan perlindungan hukum.
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pejabat negara yang diangkat
sebagai Petugas Pencatat Nikah yang diberikan mandat oleh negara untuk
mencatatkan perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya, yang diatur
pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 jo. Peraturan
63
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Cetakan kesatu, Jakarta, Sinar
Grafika, 2013, hal. 182. 64
Muhammad Zein dan Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, Cetakan
Pertama, Jakarta, Graha Cipta, 2005, hal. 36.
Menteri Agama No. 11 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 tahun 1975.
Kewajiban mencatatkan perkawinan itu juga dimaksudkan dalam Undang-Undang
No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk.
Perbuatan pencatatan, bahwa “tidak menentukan sahnya suatu perkawinan,
tapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi
semata-mata hanya bersifat administratif. Sehingga sahnya perkawinan bukan
ditentukan dengan pencatatan tetapi pencatatan sebagai syarat administratif.
Sedangkan sahnya perkawinan, Undang-Undang Perkawinan dengan tegas
menyatakan pada Pasal 2 ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”.65
Pasal 6 ayat (1) KHI juga disebutkan bahwa untuk memenuhi ketentuan
dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah
pengawasan pegawai pencatat nikah. Pasal 6 ayat (2) juga menjelaskan bahwa
perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.66
Pencatatan perkawinan sangat penting dilaksanakan oleh mempelai sebab
buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti autentik tentang keabsahan
pernikahan itu baik secara hukum agama maupun negara. Dengan bukti autentik
tersebut, maka akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan itu mendapat
jaminan hukum oleh negara karena mereka dapat membuktikan pula keturunan
65
O.s. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 1996, hal. 98-99. 66
I nstruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta,
Departemen Agama RI, 1998, hal. 15.
sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya
sebagai ahli waris dan lain sebagainya.67
Dengan memperhatikan tata cara dan ketentuan perkawinan menurut
hukum agamanya masing-masing, maka perkawinan haruslah dilaksanakan
dihadapan pegawai pencatat nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat
setelah perkawinan dilaksanakan, kedua mempelai menanda tangani akta
perkawinan yang telah dipersiapkan oleh pegawai pencatat nikah. Dengan
selesainya penanda tanganan tersebut, perkawinan telah dicatat dengan resmi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian kedua mempelai diberikan
kutipan akta nikah sebagai bukti autentik bahwa benar mereka melakukan
perkawinan dengan resmi dan sah.68
Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan adalah untuk menjamin
ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian
hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa pencatatan perkawinan bukanlah
peristiwa hukum, tetapi merupakan peristiwa penting, sama halnya dengan
kelahiran, kematian, dan peristiwa penting lainnya. Oleh sebab itu, pencatatan
perkawinan menjadi sangat penting karena kelak dapat menjadi alat bukti yang
sah bahwa telah terjadi perkawinan diantara kedua belah pihak. Adapun masalah
pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah mengganggu keabsahan
suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam karena sekedar
menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu perkawinan tidak
67
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana
Prenada, 2006, hal. 20 68
Ibid., hal. 55-56.
dicatatkan, maka suami istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka
telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek
yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum (no legal force). Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak
dilindungi oleh hukum, dan bahkan dianggap tidak pernah ada.69
Jika ditinjau dari aspek politis dan sosiologis, tidak mencatatkan suatu
perkawinan akan menimbulkan dampak yaitu :
1. Masyarakat muslim Indonesia dipandang tidak mempedulikan kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam bidang hukum, yang pada akhirnya sampai
pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran Islam tidak membutuhkan
keterlibatan negara, yang pada akhirnya lagi mengusung pandangan bahwa
agama harus dipisahkan dari kehidupan kenegaraan, yang dikenal dengan
istilah Sekularisme.
2. Akan mudah dijumpai perkawinan sirri / perkawinan dibawah tangan, yang
hanya peduli pada unsur agama saja dibanding unsur tata cara pencatatan
perkawinan.
3. Apabila terjadi wanprestasi terhadap janji perkawinan, maka peluang untuk
putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas sesuka hati suami atau istri,
tanpa adanya akibat hukum apapun, sehingga hampir semua kasus berdampak
pada wanita yang kemudian akan berakibat buruk kepada anak-anaknya.70
69
Jamaluddin dan Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan, Lhokseumawe, Unimal
Press, 2016, hal 38 70
M. Anshary MK., Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010,
hal 30
Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang- undangan tentang
pencatatan perkawinan bagi orang Islam, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
bagi Orang Islam;
2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
3) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Pencatatan Nikah;
4) Keputusan bersama Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan haji dan
Dirjen Protokoler dan Konsuler Nomor 280/07 Tahun 1999, Nomor:
D/447/Tahun 1999 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perkawinan Warga
Negara Indonesia di Luar Negeri.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan
lebih khusus untuk melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah
tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah,
apabila terjadi perselisihan di dalam perkawinan, maka salah satu dari pihak
suami ataupun istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri
memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.71
71
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1995. hal.
107.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG IJAB KABUL DAN
PERKEMBANGAN HUKUM PERKAWINAN
A. Pengertian Ijab Kabul
Berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat perkawinan, salah satunya
adalah bahwa dalam perkawinan harus ada akad yang jelas dalam bentuk ijab
kabul. Ijab diucapkan oleh wali dari pihak mempelai perempuan, sedangkan kabul
adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki. Berdasarkan hal tersebut, telah
jelaslah bahwa akad nikah sangat penting dalam perkawinan, sebab akad nikah
merupakan hal yang paling pokok dalam perkawinan.72
Ijab kabul sebagai penentu sahnya perkawinan dalam hukum Islam
dijamin kelangsungannya, karena telah termuat didalam Undang-Undang
Perkawinan dan KHI. Menurut hukum syara‟, akad nikah sendiri mempunyai
pengertian yaitu suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan
persetubuhan dengan menggunakan lafaz “menikahkan atau mengawinkan” yang
diikuti dengan pengucapan ijab kabul antara wali dan calon mempelai pria dengan
jelas serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya.73
Ijab adalah hal yang muncul
pertama kali dari salah satu pelaku akad kabul adalah hal yang muncul dari pelaku
72
Jamaluddin dan Nanda Amalia, Op.Cit., hal 57 73
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat Bandung, Pustaka Setia, 2009, hal 103
akad lain.74
Adapun kabul adalah pernyataan pihak lain yang mengetahui dirinya
menerima pernyataan ijab tersebut.75
Syarat ijab kabul antara lain
1) Dengan kata tazwij atau terjemahannya
2) Bahwa antar ijab wali dan kabul calon mempelai laki-laki harus beruntun dan
tidak berselang waktu
3) Hendaknya ucapan kabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih
baik dari ucapan ijab
4) Pihak-pihak yang melakukan akad harus dapat mendengarkan kalimat ijab
kabul.76
Persyaratan ijab kabul di jelaskan di dalam Pasal 27, 28 dan 29 KHI.
Ketiga pasal KHI tersebut, dapat dipahami bahwa penyerahan calon mempelai
wanita dari wali nikah kepada calon mempelai pria (ijab kabul) harus bersambung
antara kalimat penyerahan dengan kalimat penerimaan. Demikian juga kebiasaan
wali nikah mewakilkan hak perwaliannya kepada orang yang mempunyai
pengetahuan agama (ulama) atau kepada Pegawai Pencatat Nikah sudah merata.
Sesudah pelaksanaan akad nikah, kedua mempelai menandatangani akta
perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencata nikah berdasarkan
ketentuan yang berlaku, diteruskan kepada kedua saksi dan wali. Dengan
penandatanganan akta nikah dimaksud, perkawinan telah tercatat secara resmi
74
Kuzairi, Achmad, Nikah Sabagai Perikatan, cetakan pertama, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2005, hal 10 75
Dahlan Abdul Aziz (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeke,
1996 hal. 1331 76
Ibid
(Pasal 11), dan mempunyai kekuatan hukum (Pasal 6 ayat (2) KHI). Akad nikah
yang demikian disebut sah atau tidak dapat dibatalkan oleh pihak lain.77
B. Rukun dan Syarat Ijab Kabul
Rukun merupakan bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk didalam
substansinya. Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena
tidak ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan
hakikat sesuatu, sekalipun itu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya tidak
diperhitungkan. Akad nikah mempunyai beberapa rukun yang berdiri dan
menyatu dengan substansinya.78
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan, sebagai perbuatan
hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak boleh ditinggalkan. Perkawinan
menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Rukun merupakan segala hal yang harus dipenuhi menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan. Syarat perkawinan adalah segala hal mengenai
perkawinan yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan sebelum perkawinan dilangsungkan. 79
77
Ali Zainudidin, Op.Cit., hal. 23 78
Abdul Majid, Fiqh Munakahat, Jakarta: AMZAH, 2009, hal. 59 79
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Adiya Bakti, 2011,
hal. 66.
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat
perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-
masing pihak disebut juga syarat subjektif, dan syarat formal yaitu mengenai tata
cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan
undang-undang disebut juga syarat objektif.80
Di dalam KHI Pasal 14 dinyatakan bahwa untuk melaksanakan
perkawinan harus ada : (1) calon suami, (2) calon istri, (3) wali nikah, (4) dua
orang saksi, (5) ijab dan kabul.81
Pengertian tentang akad nikah disebutkan dalam
Pasal 1 huruf c adalah “akad nikah rangkaian Ijab yang diucapkan oleh wali
dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua
orang saksi”.82
Pelaksanaan akad nikah diatur secara khusus dalam Pasal 27, 28
dan Pasal 29.
Pasal 27 KHI dinyatakan bahwa
“Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntung dan
tidak berselang waktu”.
Pasal 28:
“Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.”
Pasal 29
1) Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi
80
Ibid. 81
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum
Islam, Op.Cit., hal, 232 82
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademik Presindo,
1992, hal. 21.
2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara
tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai
pria.
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.83
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dalam hal pelaksanaan akad nikah tidak
diberikan pengaturan tentang kemungkinan dilakukannya Ijab Kabul pada tempat
yang berbeda. Namun di sini yang lebih ditekankan bahwa calon mempelai dapat
menyatakannya melalui orang yang dikuasakan secara khusus
Akad nikah dengan sebuah ijab kabul itu harus dilakukan di dalam sebuah
majelis yang sama. Dimana keduanya sama-sama hadir secara utuh dengan ruh
dan jasadnya. Termasuk juga didalamnya adalah kesinambungan antara ijab dan
kabul tanpa ada jeda dengan perkataan lain yang bisa membuat keduanya tidak
terkait. Sedangkan syarat bahwa antara ijab kabul itu harus bersambung tanpa jeda
waktu sedikitpun adalah pendapat syafi'i dalam mazhabnya. Namun yang lainnya
tidak mengharuskan keduanya harus langsung bersambut. Bila antara ijab kabul
ada jeda waktu namun tidak ada perkataan lain, seperti untuk mengambil nafas
atau hal lain yang tidak membuat berbeda maksud dan maknanya, maka tetap
syah. Sebagaimana yang dituliskan di kitab Al-Muhgni.
83
Departemen Agama Republik .Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, 2001, hal23-24.
C. Perkembangan Hukum Perkawinan
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pembangunan nasional adalah
suatu proses yang dialami oleh masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik dan
untuk dapat mencapai suatu sasaran yang diharapkan dari proses pembangunan
itu, maka pada umumnya kegiatan pembangunan harus terencana, terpadu dan
terarah, demikian pula halnya dengan pembangunan hukum. Sejalan hal ini
banyak pendapat mengatakan bahwa masa kini adalah hasil kumulatif serta
kesinambungan dari masa yang telah lalu dan masa depan akan lebih banyak
ditentukan oleh corak dan langkah maupun upaya bersama suatu bangsa pada
masa kini melalui suatu perubahan sosial dan budaya yang direncanakan demi
pelaksanaan pembangunan. Perubahan ini sendiri juga harus ditunjang melalui
pembaharuan hukum nasional.84
Sepanjang sejarah Indonesia, wacana Undang-undang Perkawinan
setidaknya selalu melibatkan tiga pihak/kepentingan, yakni kepentingan agama,
negara dan perempuan. Wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar
perkawinan cendrung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan
tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama
sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan
pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan
atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki
peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama.
Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak dapat mengabaikan
84
Tengku Erwinsyahbana. Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan
Pancasila. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 1, tahun, 11, hal 5
keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya. Meskipun
kepentingan negara ini tidak selalu sama dari pemerintahan satu ke pemerintahan
yang lain.85
Sebelum Belanda masyarakat Nusantara umumnya telah memeluk agama
Islam, hal ini dapat maklumi, karena di mana masyarakat Islam itu bermukim, di
situ berlaku pula hukun lslam meskipun dalam lingkungan masyarakat yang
jumlahnya terbatas. Disamping itu, ada pula kelompok masyarakat yang menganut
agama lslarn ltu menganut pula sistem hukum adat setempat. Akhirnya, bukan
saja sistem hukum Islam tentang dikenal masyarakat, melainkan juga sistem
hukum adat yang berasal dari masyarakat' asli setempat Setelah Belanda berlayar
ke timur nn mulai bercokol di nusantara, sldem hukum Barat yang berasal dari
Eropa diberlakukan oleh Belanda sehingga dlkenal pula oleh kelompok msyarakat
lsiam nusantara.86
Sebelum terbentuknya Kompilasi Hukum Indonesia terjadi perubahan
penting dan mendasar yang telah terjadi dalam lingkungan Pengadilan Agama
dengan disyahkannya RUU-PA menjadi Undnag-Undang No 7 Tahun 1989, yang
diajukan oleh menteri Agama Munawir Sjadzali ke sidang DPR. Di antara isinya
sebagai berikut:
1. Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukanya benar-
benar telah sejajar dan sederajat dengan peradilan umum, peradilam
militer,dan peradilan tata usaha negara.
85
Nafi‟ Mubarok, Sejarah Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Al-Hukama The
Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 02, Nomor 02, Desember 2012, hal 140 86
Idris Romulyo. Asas-Asas Hukum Islam. Sejarah dan Pertambangan Kedudukan
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 1997, hal. 41;
2. Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah sama
dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara
peradilan agama akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian
hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
3. Perlindungan kepada wanita telah ditingkatkan dengan jalan antara lain,
memberikan hak yang sama kepada istri dalam proses dan membela
kepentingannya di muka peradilan agama.
4. Lebih memantapkan upaya penggalian berrbagai asas dan kaidah hukum
Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan
hukum nasional melalui yurispondensi.
5. Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
6. Terselengaranya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara
yang sekaligus berwawasan Bhineka Tunggal Ika dalam bentuk Undang-
undang Peradilam Agama.87
Namun keberhasilan umat Islam Indonesia dalam mensukseskan RUU-PA
menjadi Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, tidaklah berarti
persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi
selesai. Ternyata muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya
keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap
persoalanpersoalan yang mereka hadapi. Hal ini disebabkan tidak tersedianya
kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13
87
Ibid., hal 157-158
kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya
bermazhab Syafi‟i, akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak
adanya keseragaman keputusan hakim.88
Berangkat dari realitas ini keinginan untuk meyusun “kitab hukum Islam”
dalam membentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan
Kompilasi ini bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman
referensi keputusan hukum Pengadilan Agama di Indonesia, tetapi juga
disadarkan pada keharusan terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah Peradilan
yaitu kitab materi hukum Islam yang digunakan di lembaga Peradilan tersebut.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya
membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan tersebut disebapati, sehingga
dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua
Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985, dengan
mengangkat Bushtanul sebagai Pemimpin Umum yang anggotanya meliputi para
pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota
Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah
KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya intruksi presiden No. 1 Tahun 1991
kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III
tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama
No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.46 Setidaknya dengan adanya KHI itu,
maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan
88
Ibid
Peradilan agama,karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama
adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan
menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia.
Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh
masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia.
Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin
melaksanakan Hukum Islam.89
Melakukan perkawinan memakai sarana telekomunikasi pun sampai
sekarang masih dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena
dianggap tidak wajar. Bahkan dapat menimbulkan perdebatan di antara para pakar
atau aparat hukum dalam hubungannya untuk menetapkan keabsahan perkawinan
memakai media telepon ataupun teleconference, tetapi meskipun begitu,
perkawinan yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference ini
sudah mulai sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Selama ini, perkawinan
biasanya dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat. Namun seiring
dengan perkembangan teknologi komunikasi, terdapat kemungkinan
dilangsungkannya perkawinan tidak dalam satu majelis. 90
89
Ibid., hal 158-159 90
Dede Yusipa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Teleconference, Skripsi
Fakultas Syari‟ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, hal 58
BAB IV
KEABSAHAN IJAB KABUL MELALUI WHATSAPP DALAM
PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Bentuk Pengaturan Ijab Kabul Melalui Whatsapp
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, antara dua pihak dapat
berkomunikasi secara mudah melalui suara dan gambar menggunakan hand phone
yang mempunyai fasilitas video whatsapp dengan jaringan 4,5 G. Berkaitan
dengan hal tersebut, apakah hukumnya melakukan ijab kabul antara wali dengan
pihak calon mempelai pria yang jaraknya berjauhan melalui video whatssap dalam
melaksanakan ijab kabul. Ijab kabul sah secara syar’i, jika memenuhi rukun-rukun
dan syarat-syaratnya. Menurut MS. Albani sekretaris MUI Kota Medan
berpendapat bahwa rukun-rukun nikah harus terpenuhi antara lain adanya calon
mempelai pria, adanya calon mempelai wanita, adanya wali nikah, hadirnya dua
orang saksi, dan akad ijab kabul. Masing-masing rukun tersebut ada syaratnya.
Khusus masalah ijab kabul, ada empat syarat yang harus dipenuhi, antara lain
1. Ijab kabul dilakukan dalam satu majelis
2. Kesesuaian antara ijab kabul. Misalnya wali mengatakan: “Saya nikahkan
anda dengan putri saya Maimunah..”, selanjutnya calon suami menjawab:
“Saya terima nikahnya Nurlela ...”, maka nikahnya tidak sah, karena antara
ijab kabul tidak sesuai.
3. Yang melaksanakan ijab (wali) tidak menarik kembali ijabnya sebelum kabul
dari calon suami, jika sebelum calon suami menjawab wali telah menarik
ijabnya, maka ijab kabul seperti ini tidak sah.
4. Berlaku seketika, maksudnya nikah tidak boleh dikaitkan dengan masa yang
akan datang, jika wali mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya
Maimunah besok lusa”, maka ijab kabulnya tidak sah.
Menurut pendapat M. Anwar Adly dosen/PNS Ijab kabul dilakukan dalam
satu majelis harus memenuhi syarat, syarat pertama yaitu, adalah ijab kabul terjadi
dalam satu waktu. Suatu akad ijab kabul dinamakan satu majelis jika setelah pihak
wali selesai mengucapkan ijab, calon suami segera mengucapkan kabul. Ijab
kabul tidak boleh ada jeda waktu yang terlalu lama, apabila ada jeda waktu yang
terlalu lama antara ijab kabul, kabul tidak dianggap sebagai jawaban terhadap ijab.
Ukuran jeda waktu yang terlalu lama, yaitu jeda yang mengindikasikan calon
suami menolak untuk menyatakan kabul, antara ijab kabul tidak boleh diselingi
dengan perkataan yang tidak terkait dengan nikah sekalipun sedikit, juga
sekalipun tidak berpisah dari tempat akad.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, ijab kabul tidak harus dilakukan
antara dua pihak dalam satu tempat. Para ulama imam madzhab sepakat tentang
sahnya akad ijab kabul yang dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan melalui
sarana surat atau utusan. Misalnya ijab kabul dilakukan melalui surat atau utusan
dari wali yang dikirimkan kepada calon suami, jika ijab kabul melalui surat, yang
dimaksud dengan majelis akad yaitu tempat suami membaca surat yang berisi ijab
dari wali dihadapan para saksi, dan jika calon suami setelah membaca surat yang
berisi ijab dari wali segera mengucapkan kabul, maka akad dipandang dilakukan
dalam satu majelis. Apabila akad ijab kabul melalui utusan, yang dimaksud
dengan majelis akad yaitu tempat utusan menyampaikan ijab dari wali pada calon
mempelai pria di hadapan para saksi, dan jika setelah utusan menyampaikan ijab
dari wali, calon mempelai pria segera mengucapkan kabul, maka akad dipandang
telah dilakukan dalam satu majelis sehingga ijab kabulnya dianggap sah.
Dewasa ini, alat komunikasi berkembang pesat dan jauh lebih canggih
ketimbang zaman dahulu, akad antara dua pihak yang berjauhan hanya terbatas
melalui alat komunikasi surat atau utusan. Seseorang dapat berkomunikasi melalui
internet, telepon, atau melalui whatsaap secara langsung dari dua tempat yang
berbeda. Alat komunikasi telepon atau hand phone (HP), dahulu hanya dapat
dipergunakan untuk berkomunikasi lewat suara dan short massage service (SMS:
pesan singkat tertulis), saat ini teknologi HP semakin canggih, di antaranya
merupakan fasilitas jaringan 4,5G. 4,5G atau four generation merupakan istilah
yang digunakan untuk sistem komunikasi mobile generasi saat ini. Sistem ini akan
memberikan pelayanan yang lebih baik dari apa yang ada saat ini, yaitu pelayanan
suara, teks dan data. Jasa layanan yang diberikan oleh 4,5G ini merupakan jasa
pelayanan video dan akses ke multimedia, dengan menggunakan 4,5G, yakni
dengan whatsapp, seseorang dapat berkomunikasi langsung lewat suara dan
melihat gambar lawan bicara dimanapun berada.
Sesuai dengan pendapat Hasan Matsum jika akad ijab kabul melalui surat
atau utusan disepakati kebolehannya oleh ulama madzhab, maka akad ijab kabul
menggunakan fasilitas jaringan 4,5G, yakni melalui whatsaap diperbolehkan.
Dengan surat atau utusan sebenarnya ada jarak waktu antara ijab dari wali dengan
kabul dari calon suami. Sungguhpun demikian, akad melalui surat dan utusan
masih dianggap satu waktu (satu majelis), sedangkan melalui whatsaap, akad ijab
kabul benar-benar dilakukan dalam satu waktu. Ijab kabul melalui surat atau
utusan, pihak pertama yaitu wali tidak mengetahui langsung terhadap pernyataan
kabul dari pihak calon suami, sedangkan melalui whatsaap, lebih baik dari itu,
yakni pihak wali dapat mengetahui secara langsung (baik mendengar suara
maupun melihat gambar) pernyataan kabul dari pihak calon suami, demikian pula
sebaliknya. Kelebihan whatsapp yang lain, para pihak yakni wali dan calon suami
mengetahui secara pasti kalau yang melakukan akad ijab dan kabul betul-betul
pihak-pihak terkait kemudian semua aspek perkawinan terpenuhi antara lain
rukun,syarat sah, syarat-syarat perkawinan, tidak terdapat unsur rekayasa atau tipu
daya.
Menurut Hasan Matsum, Wakil Ketua MUI Kota Medan berpendapat
bahwa akad ijab kabul melalui whatsaap sah secara syar’i, dengan catatan harus
terpenuhi syarat-syarat ijab kabul yang lain, serta memenuhi rukun-rukun dan
syarat-syarat sah nikah yang lain, apabila ijab kabul melalui video call sah antara
wali dengan calon suami, maka sah juga untuk akad mewakilkan (tawkil) dari
pihak wali kepada wakil jika wali mewakilkan ijab kabul pada orang lain. Bahkan
sah juga akad ijab kabul melalui whatsaap antara wakil dengan mempelai pria
satu majelis.
Sekalipun demikian, baiknya ijab kabul dilakukan secara normal dengan
bertemunya masing-masing pihak secara langsung. Ijab kabul dilakukan whatsaap
apabila memang diperlukan karena jarak yang berjauhan dan tidak memungkinkan
untuk masing-masing pihak bertemu secara langsung. Pelaksanaan akad nikah
didasarkan atas unsur saling ridla atau rela, oleh karena perasaan semacam ini
merupakan hal yang sangat tersembunyi, maka sebagai perwujudan keabstrakan
dari akad nikah ini adalah dengan adanya ijab kabul, karena itulah, ijab kabul
merupakan unsur mendasar bagi keabsahan ijab kabul. Ijab harus diucapkan oleh
wali sebagai pernyataan rela menyerahkan anak perempuannya kepada calon
suami, sedangkan kabul diucapkan oleh calon suami sebagai pernyataan rela
mempersunting calon istrinya. Ijab berarti menyerahkan amanah Allah kepada
calon suami, dan kabul berarti sebagai lambang kerelaan menerima amanah Allah
tersebut. Adanya ijab kabul ini, maka akan menjadi halal sesuatu yang tadinya
haram. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda bahwa dihalalkannya wanita
sebagai istri, adalah dengan kalimat Allah.91
Perkawinan dapat dinyatakan sah apabila tidak terdapat unsur rekayasa atau
tipu daya oleh perkawinan tersebut menurut pendapat Hasan Matsum Wakil Ketua
MUI Kota Medan.
B. Keabsahan Pernikahan Secara Online Menurut Undang-Undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia keabsahan adalah absah yang berarti
„‟sah‟‟ sah berarti sesuai menurut hukum (undang-undang, peraturan) yang
berlaku namun dengan penambahan awalan ke menjadi keabsahan maka
didefenisikan adalah sesuatu yang sesuai dengan hukum yang berlaku. 92
Perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini tidak dapat dipungkiri
lagi keberadaannya, pasalnya sampai ada pihak yang melakukan ijab kabul
91
A. Fauzi Aziz. Analisis Hukum Akad Perkawinan Melalui Media Elektronik dalam
perspektif Hukum Islam Istinbat Tafaqquh-Volume 5, Nomor 1, Juni 2017, hal 104 92
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2008, hal 3
melalui media elektronik seperti telepon, vedio call, teleconference, whatsapp
atau media lainnya, dengan berbagai alasan, secara faktual alat komunikasi
modern yang dipergunakan untuk melakukan ijab kabul terbagi menjadi dua
macam pertama, alat-alat yang memindah suara dan kata-kata, kedua, alat alat
yang memindah tulisan. Bagian pertama meliputi telepon, radio, televisi, dan alat
komunikasi tanpa kabel, sedang bagian kedua meliputi telegrap, teleks dan
faksimili.
Normalnya proses ini dilakukan dalam satu majelis, artinya, ijab kabul
dilakukan pada saat yang bersamaan dan disaksikan oleh dua orang saksi. Abdul
Moqsith Ghazali, peneliti The Wahid Institute mengistilahkan ijab kabul dalam
satu majelis tersebut artinya, dalam satu ruang dan waktu.93
Berkenaan dengan konsep dasar tentang keabsahan suatu perkawinan yang
dilaksanakan menurut hukum perkawinan nasional, hal itu tertuang pada rumusan
Pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang Perkawinan dengan redaksi “perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.” Pasal 4 KHI dinyatakan “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Perkawinan.”94
Agar ditemukan dan didapatkan pemahaman yang pas tentang bagaimana
konsep keabsahan perkawinan itu menurut hukum nasional, maka lebih dahulu
harus dipahami dari kata "perkawinan" dalam konsep Undang-Undang
Perkawinan dan juga KHI.
93
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Cet. 111,
Jakarta, Kencana, 2010, hal. 3. 94
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
1. Perkawinan dalam konsep Undang-Undang Perkawinan dan KHI:
a. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.95
b. Perkawinan menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.96
Hukum positif Indonesia memang tidak ada hukum yang mengatur secara
formal, sebagai bahan pertimbangan peraturan hukum dari Perdata Mesir yang
berpendapat: “bahwa ijab Kabul menggunakan telepon atau melalui alat apa saja
yang menyamainya disamakan dengan ijab kabul yang bertemu langsung ditinjau
dari segi waktunya, dan disamakan dengan akad orang yang tidak bertemu
ditinjau dari segi tempatnya”.97
Berdasarkan penjelasan di atas di atas dapat disimpulkan bahwasannya
menurut pandangan hukum positif, pernikahan melalui online hukumnya
disamakan dengan ijab kabul orang yang bertemu langsung mengenai aspek
waktunya, namun ada masalah dengan tempat pelaksanaan ijab kabul bila di
bandingkan dengan orang bertemu langsung mengalami perbedaan.
Keabsahan suatu redaksi dapat dipastikan dengan cara mendengarkannya,
akan tetapi, bahwa redaksi itu benar-benar asli diucapkan oleh kedua orang yang
sedang melakukan akad, kepastiannya hanya dapat dijamin dengan jalan melihat
95
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 1 96
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 97
Muhyiddin al-qurahdaghi, Fiqih Digital, Yogyakarta, Qonun-Prisma Media, 2003,
hal.48
para pihak yang mengucapkan itu dengan mata kepala. Pendapat ini yang
dipegangi (mu’tamad) dikalangan ulama ulama mujtahid, terutama kalangan
syafi‟iyah.98
C. Keabsahan Pernikahan Secara Online Menurut Hukum Islam.
Ijab kabul itu didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela itu
merupakan hal yang sulit untuk diungkapkan, maka sebagai sarana untuk
mengungkapkan hal itu adalah ijab kabul, oleh karena itu, ijab kabul merupakan
unsur yang mendasar bagi keabsahan ijab kabul. Ijab diucapkan oleh wali atau
yang mewakilinya, sebagai pernyataan rela menyerahkan anak perempuannya
kepada calon suami, sebagai pernyataan rela mempersunting calon istri. Ijab
berarti menyerahkan amanah Allah kepada calon suami, dan kabul merupakan
sebagai lambang, bagi kerelaan menerima amanah Allah tersebut. Dengan ijab
kabul menjadi halal sesuatu yang tadinya haram.
Sebagai fuqoha‟ dalam mengemukakan hakekat perkawinan hanya
menonjolkan aspek lahiriyah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat sahnya
sebuah perkawinan hanya sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang
sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan antara laki-laki dengan
perempuan. Dengan demikian yang menjadi inti pokok pernikahan itu merupakan
ijab kabul yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan
calon mempelai laki-laki, para fuqoha sepakat inti dari keabsahan ijab kabul yaitu
dari adanya ijab kabul yang dilakukan kedua mempelai. Sejalan dengan
98
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta,
Kencana, 2004, hal. 6.
berjalannya waktu dan kemajuan alat komunikasi, ada sebagian masyarakat yang
memanfaatkan media telepon atau media online untuk melakukan ijab kabul
dengan berbagai alasan mengapa masyarakat melakukan ijab kabul dengan media
online adakalanya dia sedang studi, sehingga tidak ada biaya untuk pulang pergi
dalam melakukan pernikahan tersebut.
Pelaksanaan perkawinan dalam hukum Islam haruslah dilakukan sesuai
dengan rukun dan syarat sah perkawinan. Rukun didefinisikan sebagai sesuatu
yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan
sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka
untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat.99
Menurut Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwalliyyah, sebagaimana
dikutip dalam Abdul Rahman Ghozali mengatakan bahwa pernikahan telah sah
apabila rukun dan syaratnya terpenuhi. Adapun yang termasuk dalam rukun
pernikahan, antara lain adalah:
1. nikah dilakukan oleh mempelai laki-laki dan wanita.
2. Adanya (shighat), yaitu perkataan dari pihak wali wanita atau wakilnya (Ijab)
dan diterima oleh pihak laki atau wakilnya (kabul),
3. Adanya wali dari calon istri, dan
4. Adanya dua orang saksi.100
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Dalam hal perkawinan, calon
99
Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit., hal. 45-46. 100
Mufliha Burhanuddin, Op.Cit., hal 3
mempelai baik laki-laki maupun perempuan haruslah beragama Islam. Kemudian
terkait dengan sah, yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan
syarat.101
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Hukum Perkawinan
menjelaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon
isteri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab kabul. Selanjutnya syarat-syarat
perkawinan dalam KHI Buku I tentang perkawinan merupakan unsur-unsur yang
harus dipenuhi dalam setiap rukun perkawinan sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya.
Abdurrahman al-jaziri dalam kitabnya al-fiqh ‘ala mazahib al- arba’ah
menukilkan kesepakatan ulama mujtahid mensyaratkan bersatu majelis bagi ijab
kabul. Apabila tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dengan majelis
mengucapkan kabulnya, ijab kabul dianggap tidak sah.102
Ittihad al-majelis merupakan ijab kabul harus dilakukan dalam jarak waktu
yang terdapat dalam satu upacara ijab kabul, bukan dilakukan dalam dua jarak
waktu secara terpisah, dalam arti bahwa ijab diucapkan dalam satu upacara,
setelah upacara ijab bubar, kabulkan diucapkan pula pada acara berikutnya.
Dalam hal yang disebut terakhir ini, mskipun dua acara berturut-turut secara
terpisah dapat jadi dilakukan dalam satu tempat yang sama, namun karena
kesinambungan antara ijab kabul itu terputus, maka akad nikah tersebut tidak sah.
Dengan demikian, adanya persyaratan bersatu majelis, adalah menyangkut
kaharusan kesinambungan waktu antara ijab kabul, bukan menyangkut kesatuan
101
Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit., hal 46 102
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta,
Kencana, 2004, hal:3.
tempat. Karena, seperti dikemukakan diatas,meskipun tempatnya bersatu, tetapi
apabila dilakukan dalam dua waktu, dalam dua acara yang terpisah, maka
kesinambungan antara pelaksanaan ijab dan pelaksanaan kabul sudah tidak
terwujud, dan oleh karena itu akad nikahnya tidak sah. Said sabiq dalam kitabnya
Fiqh as- Sunnah dalam menjelaskan arti bersatu majelis bagi ijab kabul,
menkankan pada pengertian tidak boleh terputusnya antara ijab kabul.103
Kabul yang langsung diucapkan setelah ijab diucapkan wali, adalah
diantara hal-hal yang menunjukkan kerelaan calon suami, sebaliknya, adanya
jarak waktu yang memutuskan ijab kabul, dapat jadi menunjukkan bahwa calon
suami tidak lagi sepenuhnya rela untuk mengucapkan kabul, dan wali nikah dalam
jarak waktu itu dapat jadi sudah tidak lagi pada pendiriannya semula, atau telah
mundur dari kepastiannya, maka untuk lebih memastikan bahwa masing masing
masih dalam kerelaanya, kesinambungan antra ijab kabul disyaratkan104
Ijab kabul disyaratkan terjadi dalam satu majelis, tidak disela-sela dengan
pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan
dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan, namun, tidak disyaratkan
antara ijab kabul harus berhubungan langsung. Jika setelah ijab dikatakan oleh
wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba tiba mempelai laki-laki berdiam
beberapa saat tidak mengatakan kabul, baru setelah itu menyatakan kabulnya, ijab
kabul dipandang sah. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi dan
103
Ibid, hal 4 104
Ibid.
Hambali. Kosekuensi dari pandangan ini, dua orang saksi tidak mesti dapat
melihat dengan mata kepala pihak pihak yang melakukan akad nikah.105
Satu majelis disyaratkan, bukan saja untuk menjamin kesinambungan
antara ijab kabul, tetapi sangat erat hubungannya dengan tugas dua orang saksi
yang menurut pendapat ini, harus dapat melihat dengan mata kepalanya bahwa
ijab kabul itu betul-betul diucapkan oleh kedua orang yang melakukan akad.
Seperti diketahui bahwa diantara syarat sah suatu akad nikah, dihadiri oleh dua
orang saksi. Tugas dua orang saksi itu, seperti disepakati para ulama, terutama
untuk memastikan secara yakin akan keabsahan ijab kabul, baik dari segi
redaksinya, maupun dari segi kepastian bahwa ijab kabul itu adalah diucapkan
oleh kedua belah pihak.
Menurut MS. Albani Dosen/Sekretarias MUI Kota Medan memang ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama‟ fiqih, dalam akar masalahnya yaitu
mempermasalahkan keharusan dalam satu majelis dalam proses ijab kabul,
perbedaan tersebut mempunyai pertimbangan tersendiri, dalam mengartikan satu
majelis yaitu harus benar dalam satu tempat secara fisik mereka ada kehati-hatian
ihtiyat yaitu untuk menghilangkan risiko pemalsuan identitas dan prosesi akad
nikah biar benar-benar sakral, namun pendapat lain yang tidak mengharuskan
dalam satu majelis, mereka tidak mempertimabngkan hal itu, mereka hanya
mempertimbangkan alternatif dalam proses ijab kabul. Ijab kabul melalui
whatsaap jika boleh dikarena kedua calon mempelai tidak satu majelis.
105
Ahmad Asyhar Basyir, Op.Cit hal 27
Sedangkan menurut M. Amar Adly Dosen/PNS perkawinan online ijab
kabul yang dilaksanakan melalui media online, sebenarnya tidak terjadi,
disebabkan karena pernikahan ijab kabul merupakan hal yang sakral dan harus
berhati-hati, akan tetapi jika hal tersebut dilakukan, kondisi dan tidak ada unsur
kecurangan/penipuan dan semua rukun dan syarat terpenuhi, maka hal tersebut
dibolehkan.
Ijab kabul disyaratkan terjadi dalam satu majelis, tidak disela-sela dengan
pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan
dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan, namun, tidak disyaratkan
antara ijab kabul harus berhubungan langsung.106
Keabsahan suatu redaksi dapat dipastikan dengan cara mendengarkannya,
akan tetapi, bahwa redaksi itu benar- benar asli diucapkan oleh kedua orang yang
sedang melakukan ijab kabul, kepastiannya hanya dapat dijamin dengan jalan
melihat para pihak yang mengucapkan itu dengan mata kepala. Pendapat ini yang
dipegangi (mu’tamad) dikalangan ulama ulama mujtahid, terutama kalangan
syafi‟iyah.107
Keabsahan kesaksian ijab kabul, ada satu target keyakinan yang harus
diwujudkan oleh para saksi dalam kesaksiannya. Meskipun suatu redaksi dapat
diketahui siapa pembicaranya dengan jalan mendengar suara saja, namun
bobotnya tidak akan sampai ke tingkat keyakinan apabila dilihat
pengungkapannya dengan mata kepala, sedangkan dalam ijab kabul, tingkat
keyakinan yang disebut terakhir inilah yang diperlukan. Pandangan tersebut,
106
Ibid. hal 27 107
Satria Effendi M. Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, Jakarta, Kencana, 2004, hal.6
sangant erat hubungannya dengan sikap para ulama terutama kalangan syafi‟iyah
yang selalu bersikap hati-hati (ihtiyat) dalam menetapkan suatu hukum, lebih-
lebih lagi dalam masalah akad nikah, yang berfungsi sebagai penghalalan suatu
yang tadinya diharamkan.
Kesaksian harus didasarkan atas pendengaran dan penglihatan, menurut
pandangan ini ijab kabul melalui surat tanpa mewakilkan, tidak sah, oleh karena
itu pula mengapa Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu‟ menjelaskan, apabila
salah seorang dari dua belah pihak yang melakukan akad nikah mengucapkan
ijabnya dengan jalan berteriak dari tempat yang tidak dapat dilihat, dan teriakan
itu didengan oleh pihak lain, dan pihak yang terakhir ini langsung mengucapkan
kabulnya, akad nikah seperti itu tidak sah.108
108
Ibid, hal. 7.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan
di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Bentuk pengaturan ijab kabul melalui whatsapp, yaitu ijab kabul dilakukan
dalam satu majelis pada syarat pertama, adalah ijab dan kabul terjadi dalam
satu waktu. Suatu akad ijab dan kabul dinamakan satu majelis jika setelah
pihak wali selesai mengucapkan ijab, calon suami segera mengucapkan kabul.
Ijab kabul tidak boleh ada jeda waktu yang lama, karena jika ada jeda waktu
lama antara ijab dan kabul, kabul tidak dianggap sebagai jawaban terhadap
ijab. Ukuran jeda waktu yang lama, yaitu jeda yang mengindikasikan calon
suami menolak untuk menyatakan kabul, antara ijab dan kabul tidak boleh
diselingi dengan perkataan yang tidak terkait dengan nikah sekalipun sedikit,
juga sekalipun tidak berpisah dari tempat akad, kemudian semua aspek
perkawinan terpenuhi antara lain rukun,syarat sah, syarat-syarat perkawinan,
tidak terdapat unsur rekayasa atau tipu daya.
2. Keabsahan pernikahan secara online menurut Undang-Undang No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan, hukum positif Indonesia tidak ada hukum yang
mengatur secara formal, mengenai pernikahan melalui telepon atau online
3. Keabsahan pernikahan secara online menurut hukum Islam. Praktek ijab kabul
secara online dapat dianggap sah jika satu majelis dalam prosesi akad hanya
menyangkut kesinambungan waktu antara pengucapan ijab kabul, pendapat ini
dikemukakan oleh madzhab Hanafi, namun apabila satu majelis menyangkut
kesinambungan waktu dan diharuskan untuk bersatu majelis atau dalam satu
tempat para pihak yang melakukan akad dalam hal ini kedua calon mempelai
dan juga wali dari calon mempelai perempuan, kalau menganut hal ini maka
pernikahan melalui telepon atau online tidak bisa diterima keabsahannya,
karena sudah jelas bahwasannya proses ijab kabul kedua mempelai tidak
dalam satu tempat, pendapat ini dikemukakan oleh imam Syafi‟i. dan apabila
semua rukun dan syarat terpenuhi, ijab kabul melalui whatsaap, maka hal
tersebut dibolehkan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan :
1. Tidak diatur ijab kabul melalui media online, baik dalam hukum positif maupun
hukum Islam hendak pemerintah memberikan sosialisasi kepada masyarakat
yang akan melakukan ijab Kabul karena tidak tercatat di KUA
2. Ditujukan untuk calon pasangan suami istri beragama Islam yang akan
melangsungkan perkawinan. Bahwa sebelum melangsungkan perkawinan
diharapkan dapat memahami terlebih dulu syarat dan rukun perkawinan
menurut Hukum Islam. Calon pasangan suami istri tersebut juga dianjurkan
untuk mencari informasi dan kejelasan mengenai eksistensi, syarat dan
prosedur, serta akibat hukum diadakannya sebuah perjanjian perkawinan.
Apabila terdapat hal yang kurang jelas mengenai perjanjian perkawinan dapat
ditanyakan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau berkonsultasi dengan
konsultan perkawinan atau profesi sejenisnya.
3. Perkawinan yang dilakukan tanpa adanya pencatatan tidak memiliki kekuatan
hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 ayat (2) KHI Buku I tentang
Hukum Perkawinan, disaran kepada yang melakukan ijab kabul melalui media
online mengulangi ijab kabul agar berkekuatan hukum. Pemerintah
melengkapi dan atau merevisi Undang-undang Perkawinan yang bisa dibilang
tidak mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga
tidak lagi terdapat kebingungan atau pertentangan tentang sah tidaknya
perkawinan jarak jauh melalui media telekomunikasi secara hukum (tidak
terdapat kekosongan hukum dalam Undang-undang Perkawinan).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrahman, 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademik
Presindo.
Ali, Afand. 2000. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut
Kitang Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta, Bina Aksara.
Ali, Zainuddin. 2012. Hukum Perdata Islam di Indonesia., Jakarta, Sinar Grafika.
Al-Kahlaniy, Muhammad Bin Ismail. 2009. Subul Al-Salam, Bandung, Dahlan
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006.
Asmawi, Mohammad. 2004. Nikah, Yogyakarta, Darussalam.
Aziz, Dahlan Abdul. (et.al), 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru
Van Hoeke, 1996.
Basyir, Ahmad Asyhar. 2014. Hukum Perkawinan Islam, Yogyarkata, UII Pres.
Djubaidah, Neng. . 2010. Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta, Sinar
Grafika.
Eoh, O.s. 1996. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Raja
Grafindo Persada.
Ghozali, Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana prenada
Media.
Hadikusuma, Hilman.2007. Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar
Maju.
Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Satria.
Jamaluddin dan Nanda Amalia, 2016. Buku Ajar Hukum Perkawinan,
Lhokseumawe, Unimal Press.
Kharlie, Ahmad Tholabi. 2013. Hukum Keluarga Indonesia, Cetakan kesatu,
Jakarta, Sinar Grafika.
Kuzairi, Achmad. 2005. Nikah Sabagai Perikatan, cetakan pertama, Jakarta, Raja
Grafindo Persada.
Majid, Abdul. 2009. Fiqh Munakahat, Jakarta, AMZAH.
Manan, Abdul.2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta,
Kencana Prenada.
Marzuki Peter Mahmud, 2008. Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada
Media.
MK, M. Anshary. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Muhammad, Abdulkadir. 2011. Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya
Bakti.
Nasution, Amir Taat. 1994. Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Pedoman
Ilmu Jaya.
Ramulyo, Idris. 1999. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Bumi Aksara.
____________. 1997. Asas-Asas Hukum Islam. Sejarah dan Perkembangan
Kedudukan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad. 1995. Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Sahrani, Sohari. 2010. Fikih Munakahat, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Saebani, Beni Ahmad. 2011. Hukum Perdata Islam Di indonesia, Bandung,
Pustaka Setia.
___________________.2009. Fiqh Munakahat Bandung, Pustaka Setia.
Sahrani, Sohari. 2010. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta,
Rajawali Pers.
Saleh, K Wantjik. 2009. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Sanjaya, Umar Haris dan Aunur Rahim Faqih. 2017. Hukum Perkawinan Islam,
Yogyakarta Gama Media.
Satrio, J. 2008. Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak Dalam Perkawinan,
Jakarta, Sinar Grafika.
Subekti, Trusto. 2010. Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan,
Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Syarifuddin, Amir.2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cetakan ketiga
Jakarta, Kencana..
________________. 2009. Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana
Sembiring, Rosnidar. 2016. Hukum Keluarga (Harta-harta Benda dalam
Perkawinan), Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Summa, Amin. 2005. Hukum Kekeluargaan Islam di Dunia Islam, Jakarta, Raja
Grafindo Persada.
Supranto, J. 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, RajaGrafindo
Persada.
Syarifudin, Amir.. 2010. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media.
Tihami, Hari Sahrani, 2010. Fiqh Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta, Rajawali Press.
Tutik, Titik Triwulan, 2014. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,
Cetakan keempat Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Umar, Abd. Rahman. 1986. Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum
Islam,Cet. I, Jakarta, Pustaka Al-Husna.
Zein, Muhammad dan Mukhtar Alshadiq, 2005. Membangun Keluarga Harmonis,
Cetakan Pertama, Jakarta, Graha Cipta.
Zein, Satria Effendi M. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Jakarta, Kencana.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta, Departemen Agama RI, 1998.
Departemen Agama Republik .Indonesia. Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, 2001
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Website
https://news.okezone.com/read/2016/05/12/337/1386637/heboh-video-
pernikahan-online-ijab-kabul-via-ponsel, diakses tanggal 11 April 2018.
https://inet.detik.com/cyberlife/d-518858/pasangan-indonesia-nikah-di-internet,
diakses tanggal 11 April 2018.
Jurnal/Artikel
A. Fauzi Aziz. Analisis Hukum Akad Perkawinan Melalui Media Elektronik
dalam perspektif Hukum Islam Istinbat Tafaqquh-Volume 5, Nomor 1, Juni
2017
Arya Wira Hadikusuma dan, Hisyam Syafioedien, Keabsahan Ijab Kabul Melalui
Telepon Dan Skype(Studi Dalam Perspektif Pasal 27 Sampai Dengan Pasal
29 Kompilasi Hukum Islam), artikel Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
2008
Dede Yusipa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Teleconference,
Fakultas Syari‟ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010.
Huzaenah Tahido Yanggo, fiqih anak metode islam dalam mengasuh dan
mendidik anak serta hukumhukum yang berkaitan dengan aktifitas anak, PT
Almawardi Prima, Jakarta Selatan, 2004.
Mufliha Burhanuddin. Akad Nikah Melalui Video Call Dalam Tinjauan
Undangundang Perkawinan dan Hukum Islam Di Indonesia, Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Uin Alauddin Makassar 2017, hal 4
Muhyiddin al-qurahdaghi, Fiqih Digital, Yogyakarta, qonun-prisma media, 2003
Nafi‟ Mubarok, Sejarah Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Al-Hukama The
Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 02, Nomor 02, Desember
2012.
Tengku Erwinsyahbana. Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum
Berdasarkan Pancasila. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 No. 1, tahun 2014, 11,
KUESIONER
KEABSAHAN IJAB KABUL MELALUI WHATSAPP DALAM
PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM
NAMA :
UMUR :
PENDIDIKAN :
STATUS/PEKERJAAN :
1. Pernahkah saudara/i melihat/membaca artikel/berita tentang perkawinan yang
dilaksanakan secara online atau melalui media online
a. Pernah
b. Tidak pernah
2. Adakah saudara/kerabat saudara/i yang pernah melaksanakan perkawinan
secara online
a. Ada
b. Tidak ada
3. Apakah perkawinan online bertentangan dengan syariat Islam
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah perkawinan online bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974
a. Ya
b. Tidak
5. Apakah dalam perkawinan Islam harus mengucapkan Ijab dan Kabul
a. Harus
b. Tidak harus
6. Haruskah kedua mempelai hadir dalam majelis Akad Nikah
a. Harus
b. Tidak harus
7. Haruskah wali dan calon mempelai pria saling bersalaman pada saat proses
Ijab dan Kabul
a. Harus
b. Tidak harus
8. Apakah pada saat proses Ijab dan Kabul, calon mempelai pria boleh
diwakilkan
a. Boleh
b. Tidak boleh
9. Apakah pada saat mengucapkan Ijab dan Kabul boleh berjeddah atau terhenti
(terputus)
a. Boleh
b. Tidak boleh
10. Apakah dalam situasi tertentu dibenarkan Ijab dan Kabul dilaksanakan secara
online
a. Ya
b. Tidak
11. Apakah dalam situasi tertentu harus ada saksi-saksinya
a. Harus ada
b. Boleh tidak ada
12. Apakah ada pengecualian bagi orang yang tunarungu (bisu) dalam melapaskan
Ijab dan Kabul
a. Ada
b. Tidak ada
13. Bagaimana keabsahan Ijab dan Kabul dalam perspektif Kompilasi Hukum
Islam
a. Sah
b. Tidak sah
14. Setujukah saudara/i jika Ijab dan Kabul dilakukan melalui media online
a. Setuju
b. Tidak setuju
15. Dengan berkembangannya informasi teknologi dan elektronika, bagaimana
pendapat saudara/i tentang perkawinan online dan Ijab Kabul yang
dilaksanakan melalui media online
_______________________________________________________________
_______________________________________________________________
_______________________________________________________________
_______________________________________________________________
_______________________________________________________________
_______________________________________________________________
Medan, April 2018
RESPONDEN
(___________________)