Post on 16-Aug-2019
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TELUR INFERTIL
HASIL AFKIR INDUSTRI PENETASAN PADA LAMA
PENETASAN YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh
MUSTABSYIRAH USMAN
I 111 11 055
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TELUR INFERTIL
HASIL AFKIR INDUSTRI PENETASAN PADA LAMA
PENETASAN YANG BERBEDA
SKRIPSI
Oleh
MUSTABSYIRAH USMAN
I 111 11 055
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : MUSTABSYIRAH USMAN
NIM : I 111 11 055
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Karya Skripsi yang saya tulis adalah asli.
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi ini, terutama dalam
Bab Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia
dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, 20 Agustus 2015
MUSTABSYIRAH USMAN
NIM. I 111 11 055
SI0Z sn1sn8y 0Z :
uurluureled IpqS ruur8or4 Bnley'cs'tr4tr'u{sl€I,1J r1u,uffi
:-
w
: qolo Jn[n1es1g rrep Bs'{rrod;g qu1el 1u-r ISdlqS
ssO II III I: B^rslsBqBl{l
ususn qurrr(squlsn;,9 :
epeqrag 8uu{ucsuleuod smu.I epud uuseleuod rJlsnpuJ Jr-rg11
IISBII Il|JoJuI rnlaI Blruplo{Jsrd >Iltsuot{BrBx :
u1o83uy Surqulqrue4
NVHVSSCNTId NYI^MTrH
Bluulfl Surqurqu:l;'dW "ld'S 't{E{JE{r 1 - '
..1H,,,
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas rahmat dan
taufik-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik
Fisikokimia Telur Infertil Hasil Afkir Industri Penetasan pada Lama
Penetasan yang Berbeda”. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman dan pembawa rahmat bagi makhluk
seluruh alam. Dalam penulisan ini, penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan. Hal ini terlepas dari keterbatasan penulis sebagai manusia dengan
segala kekurangan.
Penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang
tua Ayahanda Usman, S.Pd.I, MM. dan Ibunda Juliati yang telah yang telah
melahirkan, membesarkan, mendidik dan mengiringi setiap langkah penulis serta
limpahan doa, kasih sayang serta dukungan moral dan materil yang telah
diberikan tanpa henti kepada penulis. Penulis juga menghanturkan terima kasih
kepada saudara – saudaraku yang telah menjadi inspirasi dalam hidup penulis.
Penulis dengan rendah hati mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini
kepada:
1. Ibu Dr. Nahariah, S.Pt., MP. sebagai pembimbing utama dan Ibu Endah
Murpi Ningrum, S.Pt., MP. selaku pembimbing anggota yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan
nasehat serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
v
2. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. MS. Effendi Abustam, M.Sc., Bapak Dr. Ir.
Wempie Pakiding, M.Sc, dan Ibu Dr. Fatma Maruddin, S.Pt., MP. atas
masukan, arahan dan saran-saran dalam penulisan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Hj. Laily Agustina, MS., selaku Penasehat Akademik yang
telah membimbing dalam melaksanakan kegiatan akademik mulai penulis
masuk sampai selesai di Fakultas Peternakan.
4. Dekan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. H.
Sudirman Baco, M.Sc. dan Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc.
selaku Ketua Program Studi Peternakan.
5. Segenap dosen Fakultas Peternakan yang telah membekali banyak
pengetahuan kepada penulis dalam menempuh studi di Fakultas Peternakan.
6. Segenap pegawai Fakultas Peternakan yang telah memberikan layanan yang
baik bagi penulis.
7. Sahabat tercinta Yuliana Padli, Suarti, Andi Nurfaini, Asrianti, Yusri
Lutfi, Rajma Fastawa dan Trianta Tahir untuk semua do’a, semangat,
dukungan, masukan dan motivasi yang diberikan kepada penulis.
8. Teman - teman penelitian tim telur infertil Azmi Mangalisu, S.Pt.,
Khaerunnisa, S.Pt., Evo Tenri Ubba, S.Pt., Kiki Rezki Muchlis, S.Pt.
yang telah memberikan bantuan dan banyak menjadi inspirasi bagi penulis.
9. Teman – teman mahasiswa Fakultas Peternakan angkatan 2011 Solandeven
dan teman – teman kelas kecil Nutrisi yang telah berbagi ilmu kepada penulis.
10. Semua pihak yang turut berpartisipasi dalam penyelesaian skripsi ini yang
tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.
vi
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini.
Semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat bagi penulis
dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin.
Makassar, 20 Agustus 2015
Penulis
Mustabsyirah Usman
vii
ABSTRAK
MUSTABSYIRAH USMAN. I 111 11 055. Karakteristik Fisikokimia Telur
Infertil Hasil Afkir Industri Penetasan pada Lama Penetasan yang Berbeda.
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Pembimbing: Dr.
Nahariah, S.Pt., MP. dan Endah Murpi Ningrum, S.Pt., MP.
Telur infertil merupakan telur hasil seleksi (candling) dari perusahaan
penetasan yang dalam proses produksinya telur tersebut tidak terbuahi. Banyak
orang yang telah menggunakan telur infertil, baik untuk konsumsi secara
langsung maupun untuk bahan campuran dalam pengolahan pangan. Telur
infertil pada penetasan dengan mesin tetas biasanya dimanfaatkan sebagai telur
konsumsi namun belum diketahui sifat-sifat telur tersebut. Faktor lingkungan serta
lama penetasan telur dapat mempengaruhi karakteristik fisikokimia telur.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisikokimia telur infertil
hasil afkir penetasan pada lama penetasan yang berbeda (0, 9 dan 18 hari).
Penelitian ini dilakukan bulan Maret sampai dengan bulan April 2015 di
Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Daging dan Telur
Unggas Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Penelitian ini
menggunakan rancangan percobaan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 5 kali
ulangan. Parameter yang diamati adalah berat isi telur, tinggi dan diameter
kantong udara, warna, pH, viskositas dan kadar air telur. Data yang diperoleh
dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Lama penetasan 18 hari berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap karakteristik fisikokimia telur infertil, namun tidak ada perbedaan nyata
antara 0 dan 9 hari penetasan terhadap karakteristik fisikokimia telur kecuali
tinggi dan diameter kantong udara telur. Lama penetasan 18 hari menurunkan
karakteristik fisikokimia telur infertil hasil afkir industri penetasan.
Kata Kunci : telur infertil, sifat fisikokimia, lama penetasan.
viii
ABSTRACT
MUSTABSYIRAH USMAN. I 111 11 055. The Characteristics of Infertile
Eggs Physicochemical as Rejected Results of Hatching Industry in Different
Long Hatching. Scientific Paper. Faculty of Animal Husbandry, Hasanuddin
University, Makassar. Supervisor: Dr. Nahariah, S.Pt., MP. and Endah Murpi
Ningrum, S.Pt., MP.
Infertile eggs is eggs selection results (candling) of the company is in the process
of production of hatching eggs were not fertilized. Many people who have used
the infertile eggs, either for direct consumption or for mixed material in food
processing. Infertile eggs in the incubator hatching are usually utilized as
consumption egg yet unknown characteristic of the egg. Environmental factors
and long hatching can affect the characteristics of eggs physicochemical. This
study was conducted to know the characteristics of infertile eggs physicochemical
as rejected results of hatching industry for different long hatching (0, 9 and 18
days). This study was conducted from March to April 2015 in the Integrated
Laboratory and the Laboratory of Meat Science and Technology Faculty of
Animal Husbandry and Poultry eggs Hasanuddin University, Makassar. This
study uses a completely random experimental design with 3 treatments and 5
repetitions. The Parameters measured were the contents of the egg weight, height
and diameter of the air bag, color, pH, viscosity and water content of eggs. the
Data obtained were analyzed by ANOVA and Duncan test continued. The results
of study showed that long hatching 18 days significantly (P <0.05) on the
physicochemical characteristics of infertile eggs, but there is no real difference
between 0 and 9 day of hatching eggs to the physicochemical characteristics,
except height and diameter of the air bag of eggs. Long hatch 18 days reduces the
physicochemical characteristics of infertile eggs as rejected results results of
hatching industry.
Keywords: infertile eggs, physicochemical properties, long hatching.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
Tinjauan Umum Telur ....................................................................... 3
Komposisi Fisik Telur ....................................................................... 4
Komposisi Kimia Telur ..................................................................... 9
Sifat Fisikokimiawi Telur .................................................................. 11
Tinjauan Umum Telur Infertil ........................................................... 15
HIPOTESIS ................................................................................................. 18
METODE PENELITIAN ............................................................................ 19
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 19
Materi Penelitian ................................................................................ 19
Rancangan Penelitian......................................................................... 19
Prosedur Penelitian ............................................................................ 20
Parameter yang Diukur ...................................................................... 20
Diagram Alir ...................................................................................... 22
Analisis Data ...................................................................................... 23
x
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 24
Berat Isi Telur .................................................................................... 24
Tinggi dan Diameter Kantong Udara ................................................ 26
Warna ................................................................................................. 29
pH ...................................................................................................... 31
Viskositas ........................................................................................... 32
Kadar Air ........................................................................................... 34
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 38
LAMPIRAN ................................................................................................ 42
RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Teks
1. Rata-rata komposisi telur ayam .............................................................. 10
xii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
Teks
1. Struktur telur ....................................................................................... 5
2. Telur infertil ......................................................................................... 17
3. Diagram alir penelitian......................................................................... 22
4. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap berat isi telur .......... 24
5. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap tinggi kantong
udara ..................................................................................................... 26
6. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap diameter kantong
udara ..................................................................................................... 27
7. Perubahan tinggi dan diameter kantong udara terhadap lama penetasan 28
8. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap warna ..................... 30
9. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap pH telur .................. 31
10. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap viskositas ............... 33
11. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap kadar air ................. 35
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
Teks
1. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap berat isi telur
infertil hasil afkir industri penetasan .................................................... 42
2. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap tinggi kantong
udara telur infertil hasil afkir industri penetasan ................................. 43
3. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap diameter
kantong udara telur infertil hasil afkir industri penetasan.................... 45
4. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap warna telur
infertil hasil afkir industri penetasan .................................................... 46
5. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap pH telur infertil
hasil afkir industri penetasan................................................................ 49
6. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap viskositas telur
infertil hasil afkir industri penetasan .................................................... 51
7. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap kadar air telur
infertil hasil afkir industri penetasan .................................................... 52
8. Dokumentasi kegiatan penelitian ........................................................ 54
1
PENDAHULUAN
Telur adalah salah satu bahan pangan hasil ternak unggas yang merupakan
sumber protein hewani dan memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna dan memiliki
kandungan gizi lengkap, serta lebih mudah diperoleh karena harganya yang relatif
lebih murah dan terjangkau. Telur merupakan bahan pangan yang mudah retak,
pecah dan mudah rusak serta dapat mengalami penurunan kualitas akibat
pengaruh lingkungan.
Kualitas merupakan ciri-ciri dari suatu produk yang menentukan derajat
kesempurnaan yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen. Untuk
menentukan kualitas telur dapat dinilai dari karakteristik fisikokimianya meliputi
warna, berat telur, pH, tinggi kantong udara, kadar air dan viskositas telur.
Telur infertil merupakan telur hasil seleksi (candling) dari perusahaan
penetasan (hatchery) yang tidak memungkinkan untuk ditetaskan karena dalam
proses produksinya telur tersebut tidak terbuahi. Telur yang kosong (infertil) pada
saat dilakukan proses candling, harus diafkir dari industri penetasan dan masih
cukup baik untuk dikonsumsi. Telur infertil tersebut biasanya dijual ke konsumen
dengan harga sangat rendah dibanding dengan telur segar .
Banyak orang yang telah menggunakan telur infertil, baik untuk konsumsi
secara langsung maupun untuk bahan campuran dalam pengolahan pangan. Telur
infertil pada penetasan dengan mesin tetas biasanya dimanfaatkan sebagai telur
konsumsi namun belum diketahui sifat-sifat telur tersebut. Faktor lingkungan
serta lama penetasan telur dapat mempengaruhi karakteristik fisikokimia telur.
Belum banyak penelitian yang mengkaji terhadap karakteristik fisikokimia telur
2
infertil hasil afkir industri penetasan pada lama penetasan yang berbeda, yaitu
telur hasil afkir pada tanpa penetasan (0 hari) dan telur afkir pada 9 hari dan 18
hari penetasan. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pengaruh lama
penetasan terhadap sifat telur infertil tersebut, perlu dilakukan penelitian
mengenai karakteristik fisikokimia telur meliputi berat isi telur, tinggi dan
diameter kantong udara, warna, pH, viskositas dan kadar air.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik
fisikokimia telur infertil hasil afkir industri penetasan pada lama penetasan yang
berbeda ditinjau dari berat isi telur, tinggi dan diameter kantong udara, warna, pH,
viskositas dan kadar air. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai
informasi kepada masyarakat dan industri penetasan mengenai karakteristik
fisikokimia dari telur infertil hasil afkir industri penetasan pada lama penetasan
yang berbeda dan dapat menjadi acuan bagi konsumen dalam mengolah telur
infertil hasil afkir industri penetasan.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Telur
Telur merupakan sumber protein yang sangat baik dan penting bagi tubuh.
Telur termasuk bahan pangan hewani yang mudah didapatkan dan murah. Telur
juga banyak dimanfaatkan dalam pengolahan makanan. Kandungan protein yang
tinggi dan spesifik membuat telur mempunyai nilai fungsional dalam proses
pengolahan makanan. Telur juga merupakan bahan yang mudah rusak dan
tercatat sebagai salah satu bahan pangan yang sangat rentan kontaminasi, terutama
bakteri patogen. Penanganan telur sebagai bahan pangan menjadi sangat penting
untuk memastikan kualitas telur yang diolah atau dikonsumsi (Soegijapranata,
2013).
Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memiliki rasa yang
lezat dan bergizi tinggi. Telur mudah diperoleh dan harganya relatif murah. Telur
dapat dimanfaatkan sebagai lauk, bahan pencampur berbagai makanan, tepung
telur, obat dan lain sebagainya (Nurrahmawati, 2011). Peranan telur dalam
kehidupan sehari-hari semakin penting. Hal ini disebabkan antara lain harga telur
yang relatif murah sehingga terjangkau oleh daya beli masyarakat, di samping
timbulnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi terutama protein hewani
(Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Telur banyak mengandung zat-zat pembangun terutama protein. Protein
sangat berguna untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan otak,
karena nilai proteinnya yang tinggi, telur banyak dimanfaatkan manusia sebagai
sumber pangan dan kebutuhan lainnya. Protein yang terdapat dalam telur
4
memiliki nilai biologis tinggi karena dapat menggantikan secara penuh segala
protein yang berasal dari hewan lain (Kusnadi, 2007).
Bahan pangan asal hewan termasuk telur merupakan komoditi yang mudah
rusak dan mulai mengalami kerusakan dalam waktu singkat setelah panen.
Umumnya telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari 14 hari di
suhu ruang. Kerusakan tersebut di antaranya kerusakan fisik, kimia dan biologi.
Kerusakan fisik di antaranya yaitu perubahan berat telur, warna, ukuran dan
permukaaan kulit menjadi berbintik-bintik. Kerusakan kimia meliputi perubahan
pH isi telur dan perubahan struktur gel albumen, sedangkan kerusakan biologi
yaitu pembusukan yang disebabkan oleh mikroba (Hajrawati dkk., 2012).
Komposisi Fisik Telur
Struktur Telur
Sebutir telur terdiri atas kulit telur, lapisan kulit telur (kutikula), membran
kulit telur, putih telur (albumen), kuning telur (yolk), bakal anak ayam (germ spot)
dan kantung udara. Telur terdiri dari tiga komponen utama, yaitu bagian kulit
telur 8 – 11 %, putih telur (albumen) 57 – 65% dan kuning telur (yolk) 27 – 32%
(Koswara, 2009).
Setiap telur mempunyai bagian kerabang (kulit cangkang), albumen dan
yolk. Struktur telur disajikan pada Gambar 1.
5
Gambar 1. Struktur telur (Zakiyurrahman, 2006)
Struktur telur menurut Nurwantoro dan Mulyani (2003) secara terperinci
dapat dibagi menjadi :
a. Kerabang telur dengan permukaan agak berbintik-bintik. Kerabang telur
merupakan pembungkus telur yang paling tebal, bersifat keras dan kaku.
Pada kerabang terdapat pori-pori yang berfungsi untuk pertukaran gas. Pada
permukaan luar kerabang terdapat lapisan kutikula yang merupakan
pembungkus telur paling luar.
b. Selaput kerabang luar dan dalam. Selaput kerabang dalam lebih tipis dari
selaput kerabang luar dan keduanya mempunyai ketebalan 0,01-0,02 mm.
Pada ujung telur yang tumpul, kedua selaput terpisah dan membentuk rongga.
c. Albumen (putih telur) terdiri dari empat lapisan, paling dalam lapisan tipis
dan encer atau lapisan chalaziferous (lapisan satu), lapisan ini berhubungan
langsung dengan selaput vitelina, lapisan luar yang tipis dan encer (lapisan
tiga) yang mengelilingi lapisan kental (lapisan dua). Paling luar adalah
lapisan tipis dan encer (lapisan satu).
d. Struktur keruh berserat yang terdapat pada kedua ujung yolk yang disebut
khalaza dan berfungsi memantapkan posisi yolk.
6
e. Yolk terdiri dari latebra, diskus terminalis, cincin/lingkaran konsentris
dengan warna gelap dan terang dan dikelilingi oleh selaput vitelina.
Kuning Telur (Yolk)
Yolk menyusun 30 - 33% berat telur. Yolk berbentuk hampir bulat,
berwarna kuning sampai jingga tua dan terletak di pusar telur. Yolk terdiri dari
latebra, germinal disc (blastoderm = bintik pusat), lapisan konsentris terang dan
gelap, vitellin membrane (membran vitelin) yang membungkus yolk, bersifat
halus, elastis dan berkilau. Pada telur infertil, germinal disc tampak sebagai spot
(bintik kecil) bentuk tak teratur, berwarna pucat dan terletak pada permukaan yolk
(Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Putih Telur (Albumen)
Albumen menyusun kira-kira 60% dari berat telur total. Albumen terdiri
dari empat fraksi : lapisan chalaziferous (lapisan kental dalam), lapisan kental
encer dalam (inner thin layer), lapisan kental luar (firm gel-like layer) dan lapisan
encer luar (outer thin layer). Albumen biasanya berwarna sedikit kehijauan yang
disebabkan oleh riboflavin (vitamin B2). Albumen tersusun atas sebagian besar
air. Komponen utama bahan organik dalam albumen adalah protein. Komponen
lain yaitu karbohidrat dan mineral, sedangkan lipida sangat sedikit bahkan dapat
dianggap tidak ada (Azizah dkk., 2012).
Membran Kerabang Telur (Membran Shell)
Membran kerabang telur merupakan lapisan tipis yang terletak antara kulit
luar dan isi telur (albumen dan yolk). Terdiri dari lapisan membran dalam dan
7
membran luar, keduanya mirip dinding yang menghalangi bakteri masuk dalam
telur. Ketebalan kedua lapisan tersebut bervariasi, tergantung jenis pakan yang
diberikan pada ayam, namun umumnya minimal 0,02 mm. Membran kerabang
telur sendiri terdiri dari serabut-serabut protein yang membentuk membran
semipermeabel. Aliran gas dan uap air (embun) melewati membran kerabang
telur dengan proses osmosis (Wirakusumah, 2005).
Membran kerabang telur terdiri atas dua bagian, yaitu bagian luar dan
bagian dalam. Membran ini tersusun atas protein yang berbentuk serat dan
berikatan dengan keratin, tetapi juga terdapat kolagen yang mengandung
hidroksiprolin dan hidroksilisin serta elastin. Struktur ikatan dari protein membran
kerabang telur belum jelas, namun diduga merupakan rantai peptida (Yuwanta,
2004).
Kerabang Telur (Egg Shell)
Bagian telur paling luar merupakan lapisan keras setebal 0,2 – 0,4 mm dan
mengandung kalsium karbonat (chalk), berfungsi melindungi bagian dalam telur.
Pada kulit telur terdapat pori-pori yang dapat melalui udara. Warnanya bervariasi
mulai dari putih sampai kecoklatan tergantung pada jenis unggasnya. Namun,
perbedaan warna sama sekali tidak mempengaruhi kualitas telur (Wirakusumah,
2005).
Secara umum, kerabang telur terdiri atas air 1,6%, protein 3,3% dan bahan
kering terutama mineral 93,6% berupa CaCO3 dan sisanya MgCO3 serta
Ca3(PO4)2. Susunan kimiawi kerabang telur menurut Yuwanta (2004) adalah
sebagai berikut.
8
a. Membran mamiler. Membran ini terikat dengan membran kerabang dalam dan
tersusun dari cone dasar dan membran cone (cone layer). Membran mamiler
mengandung mukopolisakarida dan glikoprotein.
b. Cone dasar. Tersusun dari membran yang merupakan perkembangan dari
membran kerabang bagian luar.
c. Membran palisadik. Lapisan ini mengandung kapur berupa kalsium karbonat
yang berikatan dengan 3% bahan organik. Bahan organik utama terdiri atas
11% polisakarida dan 70% protein yang terbentuk ikatan glikoprotein atau
kompleks protein-polisakarida.
d. Kutikula. Merupakan bagian paling luar dari kerabang telur yang tersusun dari
protein (90%), gula (4%), lipida (3%) dan abu (3,5%). Pada kutikula ini
terdapat pula zat warna kerabang telur, misalnya warna cokelat dari akumulasi
protoporpirin.
e. Pigmen kerabang telur. Warna kerabang telur ditentukan oleh beberapa zat,
antara lain melanin, karotenoid dan porpirin. Warna melanin diambil dari
sintesis melanin pada kulit dan migrasi dari melanosit dari lapisan jaringan
epidermis kulit. Warna kerabang telur pada unggas liar sebenarnya digunakan
sebagai perlindungan terhadap predator.
Bentuk Telur
Bentuk telur dipengaruhi oleh bibit, strain, umur, faktor lingkungan,
pakan, air dan tingkat kesehatan ayam. Secara umum telur memiliki bentuk bulat
lonjong (shape). Selain faktor di atas, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
bentuk telur yaitu besarnya tekanan otot oviduct ketika menekan keluar, volume
9
albumen dan ukuran isthmus, keseragaman ukuran tubuh bibit ayam, siklus
bertelur dan keterlambatan bertelur (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013).
Berdasarkan bentuknya, menurut Nurwantoro dan Mulyani (2003) telur
dibedakan menjadi lima macam, yaitu :
a. Biconical, adalah telur yang kedua ujungnya runcing seperti kerucut.
b. Conical, adalah yang salah satu ujungnya runcing seperti kerucut.
c. Elliptical, adalag bentuk telur yang menyerupai elips.
d. Oval, adalah bentuk telur yang menyerupai oval dan ini merupakan bentuk
yang paling baik.
e. Spherical, adalah bentuk telur yang hampir bulat.
Komposisi Kimia Telur
Telur mengandung hampir semua vitamin yang telah teridentifikasi,
kecuali vitamin C (ascorbic acid). Telur merupakan sumber vitamin A, D, B1 dan
riboflavin, walaupun lebih dari setengah kandungan riboflavin telur terdapat
dalam albumen. Yolk juga mengandung jumlah yang beragam dari pigmen
karoten kuning, yang bisa sebagian atau seluruhnya dikonversikan ke vitamin A
oleh tubuh manusia. Vitamin D juga terdapat dalam yolk. Vitamin D merupakan
zat gizi esensial bagi absorbsi dan metabolisme kalsium dan fosforus. Vitamin
B12 merupakan vitamin yang dipercaya hanya ada dalam pangan hewani,
termasuk juga di dalam telur. Walaupun jumlah vitamin B12 dalam sebutir telur
relatif kecil dan variabel (0,028 mg/butir), tetapi keberadaannya memberikan
faktor nilai biologis yang tinggi pada protein telur. Hal ini disebabkan karena
10
dipercayai bahwa ada hubungan antara vitamin B12 dan metabolisme asam amino
(Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Umumnya telur mengandung komponen utama yang terdiri atas air,
protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (Zakiyurrahman, 2006).
Perbedaan jumlah dan proporsi zat-zat yang dikandung telur ayam ras disajikan
pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Rata-rata komposisi telur ayam
dari Berat
Total
Bahan
Kering Protein Lemak Karbohidrat Mineral
……………………....…...… (%) .…..…………………....……
Kerabang 10,3 98,4 3,3 - - 95,1
Albumen 56,9 12,1 10,6 0,03 0,9 0,6
Yolk 32,8 51,3 16,6 32,6 1,0 1,1
Sumber : Belitz dkk. (2009).
Protein telur dikenal sebagai protein seimbang (balanced protein) dan
mengandung semua asam amino esensial bagi pertumbuhan dan pemeliharaan
jaringan tubuh manusia. Asam amino telur berada dalam keseimbangan yang baik
bagi kebutuhan protein manusia. Dua butir telur bisa menyediakan 35 – 121%
dari kebutuhan asam amino esensial per hari (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Telur mengandung relatif sedikit karbohidrat, terdapat kira-kira 0,5 g dan
hampir 75% karbohidrat terdapat dalam albumen Karbohidrat dalam telur
terdapat dalam bentuk bebas dan terkombinasi dengan protein atau lemak.
Karbohidrat bebas dalam telur adalah glukosa, sedang karbohidrat terkombinasi
adalah mannose dan galaktosa. Karbohidrat terkombinasi terdapat pada
fosfoprotein, fosfolipida dan cerebrosida dalam yolk, sedangkan pada albumen
11
terdapat dalam glikoprotein sederhana yang ada dalam albumen yaitu
ovoconalbumin (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Kandungan lemak pada telur sekitar 5 g. Lemak pada telur terdapat pada
yolk sekitar 32%, sedangkan lemak yang lain terdapat pada albumen. Zat gizi ini
mudah dicerna oleh manusia. Lemak pada telur terdiri dari trigliserida (lemak
netral), fosfolipida dan kolesterol. Fungsi trigliserida dan fosfolipida umumnya
menyediakan energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari (Sudaryani,
2003).
Telur merupakan sumber Fe dan fosfor yang baik. Sebagian besar Fe
terdapat dalam yolk (kuning telur). Mineral pentingnya lainnya yang dapat
disuplai dari telur adalah sodium (Na), potassium, sulfur (S), chlorine (Cl),
magnesium (mg) dan manganese (Mn). Mineral telur dengan mudah digunakan
dalam nutrisi manusia (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Sifat Fisikokimiawi Telur
Telur terdiri dari beberapa bagian yang sangat berbeda sifat fisik dan
kimiawinya. Sifat fisikokimiawi telur tersebut secara eksternal diatur oleh
cangkang yang keras dan berpori-pori, sedangkan secara internal sistem terdiri
dari dua bagian, yolk dan albumen yang dipisahkan oleh membran vitelin yang
semipermeabel (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Berat Telur
Ukuran telur merupakan faktor penting yang dapat menentukan
penerimaan harga dalam aspek pemasaran. Penentuan klasifikasi standar berat
12
telur per butir khususnya di negara maju seperti Jepang, Amerika dan negara maju
lainnya telah dilakukan secara seksama dan disesuaikan dengan harga jualnya.
Telur yang berukuran kecil memiliki kualitas isi yang tinggi dibanding telur yang
besar. Standar ukuran dalam pemasaran telur adalah 56,7 g per butir (Haryono,
2000).
Berat telur yang terlalu besar kurang baik untuk ditetaskan bahkan
kemungkinan besar tidak menetas apabila ditetaskan, karena telur yang
mempunyai ukuran besar biasanya yolknya ada dua atau kembar. Telur yang
mempunyai ukuran besar lebih baik digunakan sebagai telur konsumsi. Di
samping telur yang berukuran lebih besar atau besar, telur yang berukuran terlalu
kecil juga tidak bagus untuk ditetaskan (Nugroho, 2008).
Dalam SNI (1995) telur ayam segar untuk konsumsi terdapat standar bobot
telur sebagai berikut :
a. Kecil (<50 g)
b. Sedang (50 g sampai dengan 60 g)
c. Besar (>60 g)
Lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap perubahan bobot
telur. Semakin lama telur tersebut disimpan semakin besar kehilangan bobotnya.
Penurunan bobot dan pembesaran rongga udara dapat terjadi adanya penguapan
air dan pelepasan gas, misalnya CO2, NH3 dan H2 dan kadang-kadang H2S sebagai
hasil degradasi bahan-bahan organik (Wulandari, 2004).
13
Warna (Pigmen)
Yolk mengandung pigmen yang umumnya termasuk dalam golongan
karotenoid yaitu santhofil, lutein dan zeasantin serta sedikit beta -karoten dan
kriptosantin. Pigmen yang terdapat dalam yolk sangat dipengaruhi oleh jenis
pigmen yang terdapat dalam ransum yang dikonsumsi. Perubahan warna yang
terjadi pada hasil olahan telur antara lain hitam kehijauan, coklat atau merah.
Warna hitam kehijauan disebabkan oleh pemanasan yang terlalu lama sehingga
terbentuk ikatan Fe dengan S. Warna coklat disebabkan terjadinya reaksi
pencoklatan (browning) sehingga terbentuk karbonilamin, sedangkan warna
merah disebabkan terbentuknya ikatan kompleks antara conalbumin dengan ion
besi (Koswara, 2009).
pH
pH dari telur yang baru ditelurkan kira-kira 7,6 – 7,9. Selama
penyimpanan telur, pH albumen meningkat sampai nilai maksimum kira-kira 9,7
tergantung temperatur. Setelah 3 hari penyimpanan telur pada suhu 30C, pH
albumen 9,18 dan setelah 21 hari penyimpanan, pH albumen mendekati 9,4
dengan tidak memandang temperatur penyimpanan antara 30C dan 35
0C.
Peningkatan pH albumen disebabkan oleh lepasnya CO2 dari telur melalui pori-
pori cangkang. pH albumen tergantung pada keseimbangan antara CO2 lingkaran
eksternal. Peningkatan konsentrasi CO2 lingkungan akan meningkatkan
konsentrasi ion bikarbonat dan akan menurunkan konsentrasi karbonat. pH yolk
telur yang baru ditelurkan kira-kira 6,0, tetapi selama penyimpanan telur, pH
secara bertahap meningkat menjadi antara 6,4 dan 6,9. Pada temperatur
14
penyimpanan 20C dan 37
0C nilai pH yolk mencapai 6,4 masing-masing dalam 50
hari dan 18 hari (Nurwantoro dan Mulyani, 2003).
Viskositas
Viskositas telur adalah kekentalan telur dan salah satu indikator untuk
menentukan kualitas telur. Viskositas telur dipengaruhi oleh waktu simpan telur
dan suhu ruang penyimpanan. Semakin tinggi suhu ruang penyimpanan akan
diikuti penurunan viskositas telur. Penurunan viskositas telur dipengaruhi oleh
faktor fisik (pemanasan, autoclaving, ultrasonication) dan kimia (ozone) (Kim,
2004).
Penyimpanan telur selama delapan minggu pada suhu 16ºC akan
menurunkan viskositas telur sampai 21%, sedangkan penyimpanan telur pada
suhu ruangan selama tiga hari dapat menurunkan viskositas telur sampai 25%.
Penyimpanan telur yang terlalu lama dapat menurunkan berat albumen, berat yolk
dan memudarkan warna telur (Severa dkk., 2010).
Yolk mengalami penurunan viskositas selama penyimpanan lebih lambat
dibandingkan dengan albumen, yang disebabkan karena yolk tidak mempunyai
protein mucin. Berubahnya albumen menjadi encer selama penyimpanan
berpengaruh terhadap kondisi yolk. Air yang terlepas dari protein albumen akan
berdifusi ke dalam yolk sehingga yolk membesar dan mengalami penurunan
viskositas (Winarno dan Koswara, 2002). Selain dipengaruhi oleh proses kimiawi
yang terjadi pada albumen, turunnya viskositas juga dipengaruhi oleh suhu
penyimpanan, namun dalam hal ini suhu relatif stabil pada kisaran 30°C (Juansah
dkk., 2008).
15
Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen (%). Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat
penting pada bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur
dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan
kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi
mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembangbiak
sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 2004).
Kadar air awal telur sebelum inkubasi sebanyak 68,25% dari massa telur
sebelum inkubasi dan biasanya 12% sampai dengan 14%. Banyaknya air yang
diuapkan selama proses inkubasi untuk telur itik, bila terlalu rendah atau tinggi air
yang diuapkan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan embrio (Isa dkk., 2012).
Tinjauan Umum Telur Infertil
Telur ayam infertil merupakan telur yang tidak dapat menetas. Telur
infertil yang berasal dari telur tetas dapat diperoleh saat candling pada proses
penetasan. Candling adalah proses peneropongan telur menggunakan cahaya
untuk melihat perkembangan embrio dalam telur (Almunifah, 2014).
Penetasan telur dengan mesin tetas telah banyak dilakukan oleh
masyarakat di berbagai daerah. Usaha penetasan telur akan menghasilkan telur
infertil (telur yang tidak dibuahi) yang berpeluang cukup besar sebagai telur
konsumsi. Telur infertil pada penetasan dengan mesin tetas biasanya
dimanfaatkan sebagai telur konsumsi namun belum diketahui mutunya. Seleksi
telur infertil pada penetasan biasanya dilakukan pada hari kedua penetasan atau
16
pada hari kelima, tergantung dari kebiasaan/pengetahuan penetas (Winarti dan
Triyantini, 2005).
Hasil penelitian Anggrahini dan Almunifah (2012) bahwa kandungan gizi
telur ayam ras infertil meliputi kandungan proksimat dan nilai kecernaan protein
telur ayam ras infertil tidak mengalami perubahan hingga pengeraman hari ke-10.
Pada proses penetasan menggunakan mesin tetas biasanya diperoleh telur
ayam infertil pada saat candling. Telur infertil dideteksi dengan cara diteropong
(candling) menggunakan cahaya. Telur infertil akan tampak terang saat candling.
Telur yang nampak terang saat proses candling sebenarnya tidak hanya telur
infertil saja tetapi juga telur yang embrionya mengalami mati dini, namun pada
proses candling semua telur tampak terang disebut sebagai telur infertil karena
penampakannya sama (Nuryati dkk., 2002).
Telur infertil sendiri dapat disebabkan karena perbandingan antara
pejantan dan induk kurang seimbang pada saat proses pembuahan, gizi pejantan
dan induk ayam kurang sempurna (vitamin A dan E), umur pejantan dan induk
yang terlalu tua atau muda dan kurang aktif atau kualitas sperma kurang baik.
Embrio di dalam telur mengalami mati dini disebabkan karena faktor
penyimpanan telur tetas yang kurang baik dan penyimpanan terlalu lama,
sehingga menyebabkan mikrobia masuk ke dalam telur dan merusak isi telur serta
fumigasi terlalu lama atau dosis fumigan terlalu tinggi juga dapat menjadikan
embrio telur mati dini (Nuryati dkk., 2002).
17
Gambar 2. Telur infertil (Hartono dan Isman, 2013)
Telur hasil candling yang terbukti tidak fertil, pertumbuhan embrionya
tidak sempurna atau embrionya mati, tentu harus dikeluarkan dari dalam mesin
tetas karena tidak dapat menetas. Telur infertil atau embrionya mati atau tidak
tumbuh ditandai dengan adanya titik hitam di tengah yolk dan yolk tidak dilapisi
selaput berwarna hitam. Sementara itu, telur yang fertil ditandai yolk yang
berwarna kemerahan dan memiliki serat berwarna kemerahan pula (Krista dan
Bagus, 2010).
Saat diterawang telur yang tidak menetas seringkali tampak bening atau
terang. Telur infertil bisa juga disebabkan telur mengalami transportasi yang jauh
(terjadi goncangan di luar toleransi) atau terlalu lama rentang waktu dari proses
peneluran hingga dimasukkan ke dalam mesin tetas, sehingga tali pengikat yolk
menjadi putus. Hal ini menyebabkan embrio mati sebelum berkembang lebih
jauh (Hartono dan Isman, 2013).
18
HIPOTESIS
Hipotesis penelitian diduga sebagai berikut.
1. Lama penetasan berpengaruh nyata terhadap karakteristik fisikokimia telur
infertil hasil afkir industri penetasan.
19
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai bulan
April 2015 dan bertempat di Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Daging dan Telur
Unggas Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Materi Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah egg tray, pisau, pH
meter, colorimeter portable TES 135 Digital Color, tissu, timbangan, jangka
sorong, viscometer, oven, cawan petri, gelas kimia, gelas ukur.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ayam ras infertil
hasil afkir tanpa penetasan (0 hari), telur infertil hasil afkir pada umur ke-9 dan 18
hari penetasan serta kertas label. Telur diambil dari industri penetasan PT.
Multibreeder Adirama Indonesia (MBAI) Tbk. Cabang Maros.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3
perlakuan dan 5 kali ulangan. Tiap ulangan membutuhkan 5 butir telur. Total
telur yang digunakan adalah 75 butir. Perlakuan tersebut meliputi :
T1 = Telur tanpa penetasan (0 hari)
T2 = Telur pada umur ke-9 hari penetasan.
T3 = Telur pada umur ke-18 hari penetasan.
20
Prosedur Penelitian
Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur infertil hasil
afkir yang telah dipilih yaitu telur infertil hasil afkir tanpa penetasan (0 hari) dan
telur infertil pada umur ke-9 hari dan 18 hari penetasan dengan total telur
berjumlah 75 butir. Masing-masing telur dibersihkan untuk menghilangkan
kotoran pada kulit telur, kemudian dikeringkan dengan tissu dan diberi label dan
diletakkan pada rak telur (egg tray). Telur ditimbang untuk pengukuran berat
telur, kemudian dilakukan pengukuran tinggi dan diameter udara. Telur
dipecahkan dan dipisahkan antara bagian isi telur dan cangkang. Masing-masing
telur disimpan dalam wadah kemudian dilakukan pengukuran warna, pH,
viskositas dan kadar air.
Parameter yang Diukur
Berat Isi Telur. Berat telur diukur dengan cara menimbang telur dengan
menggunakan timbangan (Argo dkk., 2013).
Tinggi dan Diameter Kantong Udara. Tinggi kantong udara diukur
dengan cara memecahkan telur pada bagian yang tumpul kemudian mengukur
kedalaman rongga udara dan diameter kantong udara dihitung dengan cara
pengukuran lebar kantong udara dengan jangka sorong. (Sudaryani,1996).
Warna. Pengukuran nilai warna telur dilakukan dengan menggunakan
alat colorimeter portable TES 135 Digital Color dengan nilai parameter tingkat
kecerahan warna (L*), intensitas warna merah (a
*) dan intensitas warna kuning
(b*). Semakin tinggi nilai dari kecerahan warna maka semakin mendekati dengan
warna terang atau putih (Fidianty dkk., 2013).
21
pH. Pengukuran pH dilakukan berdasarkan Apriantono dkk. (1989).
Sebelum pH meter digunakan, distabilkan selama 15 – 30 menit, dikalibrasi
dengan larutan buffer pada pH 4 dan pH 7. Elektrode dibilas dan dikeringkan
dengan tissu. Electrode dicelupkan ke dalam telur yang dimasukkan ke dalam
gelas ukur. Kemudian, pH meter dibiarkan hingga menunjukkan angka yang
stabil.
Viskositas. Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan
viscometer. Sampel dimasukkan ke dalam gelas kimia. Diukur viskositasnya
dengan viscometer. Diatur kecepatannya, selanjutnya ditentukan nomor spindle
yang sesuai. Dicatat hasilnya dan dinyatakan dalam satuan cP atau centipoises
(Febrina dkk., 2007).
Kadar Air. Metode pengukuran kadar air dilakukan berdasarkan
Association of Analytical Chemist (AOAC) (1995). Pengukuran kadar air
dilakukan dengan menggunakan oven. Cawan kosong dikeringkan terlebih dahulu
di dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit,
kemudian ditimbang. Masing-masing sampel dimasukkan dalam cawan yang
telah ditimbang, dimasukkan dalam oven dengan suhu 105oC. Kegiatan ini
diulang terus hingga diperoleh bobot tetap berat yang stabil (bobot akhir).
Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar air (%) = -
x100%
22
Diagram Alir
Gambar 3. Diagram alir penelitian
Tanpa
Penetasan
18 hari
Penetasan
pH Berat Isi
Telur
Kadar
Air
Warna Viskositas
Pembersihan Kotoran
dan Pemberian Label
Pengujian Karakteristik Fisikokimia Telur
Infertil Hasil Afkir Industri Penetasan
Telur
Candling
9 hari
Penetasan
Telur Infertil Hasil Afkir
Industri Pentasasan
Tinggi dan
Diameter Kantong
Udara
23
Analisis Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini akan diolah dengan menggunakan
analisis ragam sesuai dengan rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang
memberi pengaruh nyata diuji lebih lanjut dengan menggunakan uji Duncan
(Gomez dan Gomez, 1995).
Adapun model matematisnya yaitu :
Yij = μ + Pi + €ij
= 1,2,3…., (Perlakuan)
j = 1,2,3……, (U ng n)
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada karakteristik telur ke-j yang memperoleh
kombinasi perlakuan lama penetasan ke-i.
μ = Nilai rata-rata perlakuan
Pi = Pengaruh lama penetasan terhadap karakteristik fisikokimia telur
infertil hasil afkir industri penetasan ke-i.
€ij = Pengaruh galat yang menerima perlakuan penetasan ke-i dan
ulangan ke-j.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berat Isi Telur
Hasil penelitian terhadap rata-rata berat isi telur infertil hasil afkir pada
lama penetasan yang berbeda disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap berat isi telur.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penetasan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap berat isi telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat
isi telur pada telur tanpa penetasan (0 hari) adalah 57.9614 ± 2.72 dan 57.3894 ±
1.53 pada lama penetasan 9 hari, sedangkan pada lama penetasan 18 hari menurun
menjadi 54.7746 ± 1.39. Penurunan berat isi telur yang terjadi pada telur 18 hari
penetasan disebabkan oleh penguapan air dan pelepasan gas CO2 dari dalam telur
melalui pori-pori kerabang. Penguapan dan pelepasan gas ini terjadi secara terus-
menerus selama proses penetasan sehingga semakin lama penetasan berat telur
semakin berkurang. Menurut Suradi (2006) bahwa penguapan yang tinggi terjadi
apabila telur ditetaskan pada suhu yang tinggi dan sebaliknya apabila suhu mesin
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
0 9 18
Ber
at
Isi
Tel
ur
(g)
Lama Penetasan (Hari)
25
tetas rendah maka penguapan yang terjadi rendah. Penguapan air dan gas yang
terjadi menyebabkan bobot telur tetas menyusut.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa berat isi telur tanpa penetasan (0
hari) tidak berbeda nyata dengan berat isi telur pada lama penetasan 9 hari, tetapi
nyata lebih rendah (P<0,05) pada lama penetasan 18 hari. Hal ini disebabkan
karena telur dengan lama penetasan 18 hari telah mengalami proses penetasan
dengan suhu yang tinggi sehingga terjadi penurunan berat isi telur. Menurut
Nesheim dkk. (1977), bahwa penyusutan telur akan dipercepat pada penyimpanan
suhu yang lebih tinggi, karena terjadinya peningkatan porositas kerabang.
Menurut Mountney (1976), bahwa porositas kerabang mempunyai kaitan yang
erat dengan penurunan berat telur selama penyimpanan.
Penurunan berat telur yang terjadi disebabkan oleh penguapan air dan
pelepasan gas CO2 dari dalam isi telur melalui pori-pori kerabang. Menurut
Purnomo dan Adiono (2010), pengurangan berat disebabkan oleh penguapan air
terutama dari albumen dan hilangnya gas-gas seperti CO, NH3, N2 dan H2S.
Senyawa tersebut merupakan hasil pemecahan senyawa organik. Hal ini
didukung oleh pendapat Sudaryani (2000), penguapan air dan pelepasan gas
seperti CO2, NH3, N2 dan sedikit H2S sebagai hasil degradasi bahan-bahan
organik telur terjadi sejak telur keluar dari tubuh ayam melalui pori-pori kerabang
telur dan berlangsung secara terus-menerus sehingga menyebabkan penurunan
kualitas albumen, terbentuknya rongga udara dan menurunkan berat telur.
26
Tinggi dan Diameter Kantong Udara
Salah satu faktor yang dapat digunakan untuk melihat kesegaran telur
adalah keadaan kantong udara. Hasil penelitian terhadap rata-rata tinggi kantong
udara telur infertil hasil afkir pada lama penetasan yang berbeda disajikan pada
Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap tinggi kantong udara.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penetasan berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi kantong udara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai rata-rata tinggi kantong udara pada lama penetasan 18
hari (1,658 ± 0.05) nyata lebih tinggi dibanding tinggi kantong udara pada telur
tanpa penetasan (0,602 ± 0.95) dan pada lama penetesan 9 hari (0,954 ± 0.18). Hal
ini menunjukkan bahwa lama penetasan memberikan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01) terhadap tinggi kantong udara pada telur tanpa penetasan (0 hari), 9 hari
dan 18 hari.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penetasan 18 hari sangat
nyata (P<0,01) meningkatkan tinggi kantong udara. Hal ini menunjukkan bahwa
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
0 9 18
Tin
ggi
Kan
ton
g U
dara
(C
m)
Lama Penetasan (Hari)
27
semakin lama penetasan maka tinggi kantong udara semakin meningkat sehingga
kualitas telur semakin berkurang. Sesuai pendapat Hadiwiyoto (1983), bahwa
kualitas yang baik yaitu dengan besar rongga udara lebih kecil atau sama dengan
tiga milimeter. Artinya, semakin besar rongga udara, kualitas telurnya semakin
berkurang.
Hasil penelitian terhadap rata-rata diameter kantong udara telur infertil
hasil afkir pada lama penetasan yang berbeda disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap diameter kantong
udara.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penetasan berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap diameter kantong udara. Nilai rata-rata diameter
kantong udara pada telur tanpa penetasan (0 hari) adalah 1,628 ± 0.24 dan pada
lama penetesan 9 hari adalah 2,660 ± 0.32, sedangkan pada lama penetasan 18
hari tinggi kantong udara mencapai 3,184 ± 0.15. Hal ini menunjukkan bahwa
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
0 9 18
Dia
met
er K
an
ton
g U
dara
(C
m)
Lama Penetasan (Hari)
28
0.602 0.954
1.658
1.628
2.66
3.184
0
1
2
3
4
5
6
0 9 18
Diameter Kantong
Udara
Tinggi Kantong
Udara
lama penetasan memberikan adanya perbedaan yang nyata terhadap diameter
kantong udara.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa diameter kantong udara pada
telur tanpa penetasan (0 hari) berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan telur pada
lama penetasan 9 dan 18 hari. Perubahan diameter kantong udara semakin
meningkat dengan meningkatnya lama penetasan. Hal ini sesuai pendapat
Sarwono dkk. (1985), bahwa penyebab pembesaran diameter kantong udara
adalah semakin lama umur telur, terjadi penurunan isi telur karena proses
evaporasi yang terjadi sehingga mengakibatkan diameter kantong udara semakin
lebar. semakin lama telur disimpan semakin meningkatkan evaporasi cairan dalam
telur, sehingga kantong udara pun menjadi semakin lebar.
Pola perubahan tinggi dan diameter kantong udara terhadap lama
penetasan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Perubahan tinggi dan diameter kantong udara terhadap lama penetasan.
29
Tinggi kantong udara diikuti oleh peningkatan diameter kantong udara
pada lama penetasan yang semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi kantong udara pada telur semakin lebar pula diameter kantong
udaranya. Hal ini sesuai pendapat Gary dkk. (2009), bahwa semakin lama
penyimpanan semakin besar ukuran kantong telur, karena penguapan air akan
menyebabkan penempelan membran luar pada kerabang dan membran dalam
menempel pada albumen.
Warna Yolk
Kualitas telur salah satunya ditentukan oleh warna yolk. Warna yolk
merupakan karakteristik kualitas telur yang utama (Chung, 2002). Warna yolk
yang disukai konsumen pada umumnya mulai dari warna kuning keemasan
sampai dengan warna orange. Hasil penelitian terhadap warna telur pada lama
penetasan yang berbeda dengan hasil rata-rata disajikan pada Gambar 8.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penetasan berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap warna telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat kecerahan (L*) telur tanpa penetasan (0 hari) adalah 66.324 ± 4.65, pada
lama penetasan 9 hari adalah 64.686 ± 2.14 dan 58.918 ± 2.73 pada telur dengan
lama penetasan 18 hari, sedangkan tingkat kekuningan (b*) telur pada lama
penetasan 0 hari adalah 60.52 ± 4.09 dan 57.878 ± 1.07 pada lama penetasan 9
hari serta 51.194 ± 4.96 pada lama penetasan 18 hari. Tingkat kemerahan (a*)
pada telur tanpa penetasan (0 hari), 9 dan 18 hari tidak memberikan adanya
perbedaan nyata.
30
Gambar 8. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap warna.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat kecerahan (L*) dan
kekuningan (b*) pada telur tanpa penetasan (0 hari) dan lama penetasan 9 hari
tidak memberikan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01), sedangkan pada lama
penetasan 18 hari berbeda nyata terhadap tingkat kecerahan (L*) dan kekuningan
(b*) pada telur. Semakin lama umur penetasan semakin rendah persentase L*
(kecerahan) dan b*
(kekuningan) telur. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas
warna yolk semakin menurun. Balnave dan bird (1996) menyatakan bahwa warna
yolk merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting dalam penentuan
kualitas telur oleh konsumen. Selanjutnya Severa dkk. (2010) menyatakan bahwa
penyimpanan telur yang terlalu lama dapat menurunkan berat albumen, berat yolk
dan memudarkan warna telur.
Menurunnya kualitas warna yolk karena yolk tidak mempunyai protein
mucin yang menyebabkan albumen menjadi encer sehingga air dari albumen
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0 9 18
Wa
rna
(%
)
Lama Penetasan (Hari)
L = Kecerahan
a = Kemerahan
b = Kekuningan
31
berpindah menuju yolk dan menyebabkan warna yolk semakin memudar. Menurut
Winarno dan Koswara (2002), bahwa yolk tidak mempunyai protein mucin, air
yang terlepas dari protein albumen akan berdifusi ke dalam yolk sehingga
berubahnya albumen menjadi encer selama penyimpanan berpengaruh terhadap
kondisi yolk.
pH
Hasil penelitian terhadap rata-rata pH telur pada lama penetasan yang
berbeda disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap pH telur.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penetasan berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap warna telur. Nilai rata-rata pH pada telur tanpa
penetasan (0 hari) adalah 7,582 ± 0.06 dan pada lama penetesan 9 hari adalah
7,644 ± 0.27, sedangkan pada lama penetasan 18 hari pH telur adalah 8,184 ±
0.35. Bertambahnya lama penetasan mengakibatkan pH telur yang semakin
meningkat pula sehingga menyebabkan semakin berkurangnya gas CO2 yang ada
di dalam telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Romanoff dan Romanoff (1963)
6.8
7
7.2
7.4
7.6
7.8
8
8.2
8.4
8.6
0 9 18
pH
Lama Penetasan (Hari)
32
menyatakan bahwa berkurangnya gas CO2 yang ada di dalam telur menyebabkan
peningkatan pH sehingga serabut ovomucin yang berfungsi sebagai pengikat
cairan albumen menjadi rusak. Selanjutnya Buckle dkk. (2007) menjelaskan
bahwa gas CO2 yang hilang pada albumen mengakibatkan pengikat cairan
albumen atau ovomucin menjadi rusak. Peningkatan pH yang terjadi pada
albumen akan menurunkan kualitas albumen karena akan menyebabkan
kerusakan protein dan daya guna albumen tidak lagi optimal.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pH telur tanpa penetasan (0 hari)
dan 9 hari tidak memberikan perbedaan yang nyata, sedangkan pada lama
penetasan 18 hari memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01). pH telur
yang meningkat juga disebabkan karena albumen di bagian yang kental
mengalami pengenceran yang akhirnya akan merembes ke yolk. Hal ini sesuai
pendapat Hintono (1995) bahwa pengenceran putih telur disebabkan karena
pecahnya serabut mucin yang mengakibatkan meningkatnya pH albumen.
Selain itu, meningkatnya pH albumen juga disebabkan oleh hilangnya CO2 dari
dalam telur.
Viskositas
Hasil penelitian terhadap viskositas telur pada lama penetasan yang
berbeda dengan hasil rata-rata disajikan pada Gambar 11.
33
Gambar 11. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap viskositas.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penetasan berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap viskositas telur. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai rata-rata viskositas pada telur tanpa penetasan (0 hari) adalah 52.70 ±
6.11 dan pada lama penetesan 9 hari adalah 48.09 ± 6.41, sedangkan viskositas
telur pada lama penetasan 18 hari adalah 26.54 ± 8.82. Menurunnya viskositas
telur pada lama penetasan 18 hari disebabkan karena terjadinya pemindahan air
dari albumen menuju yolk. Hal ini sesuai pendapat Lestari dkk. (2011) bahwa
tekanan osmotik yolk lebih besar dari albumen sehingga air dari albumen
berpindah menuju yolk. Perpindahan air secara terus menerus akan menyebabkan
viskositas yolk menurun sehingga yolk menjadi pipih kemudian akan pecah.
Pemindahan air ini tergantung pada kekentalan albumen. Yolk akan menjadi
semakin lembek sehingga indeks yolk menurun, kemudian membran vitelin akan
rusak dan menyebabkan yolk rusak.
0
10
20
30
40
50
60
0 9 18
Vis
kosi
tas
(cP
)
Lama Penetasan
34
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa viskositas pada telur tanpa
penetasan (0 hari) dan 9 hari tidak memberikan perbedaan yang nyata, sedangkan
pada lama penetasan 18 hari sangat nyata (P<0,01) menurunkan viskositas telur.
Hal ini disebabkan karena penguapan CO2 yang mengakibatkan ovomucin
menjadi rusak sehingga air tidak dapat diikat lagi oleh putih telur dan akan
pindah kedalam kuning telur melalui membran viteline. Sesuai pendapat
Stadelman dan Cotteril (1973) telur akan mengalami penurunan viskositas selama
penyimpanan karena rusaknya ovomucin, sehingga air dari protein albumen
keluar dan mengakibatkan pengenceran albumen. Pengenceran albumen ini akan
mempengaruhi yolk. Air yang terlepas dari protein albumen akan bergerak
menuju yolk sehingga yolk membesar dan menjadi lebih encer, sehingga
viskositas telur menurun.
Yolk mengalami penurunan viskositas selama penyimpanan lebih lambat
dibandingkan dengan albumen, yang disebabkan karena yolk tidak mempunyai
protein mucin. Berubahnya albumen menjadi encer selama penyimpanan
berpengaruh terhadap kondisi yolk. Air yang terlepas dari protein albumen akan
berdifusi ke dalam yolk sehingga yolk membesar dan mengalami penurunan
viskositas (Winarno dan Koswara, 2002).
Kadar Air
Kadar air merupakan komponen penting dalam pangan karena dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Selain itu kadar air
juga dapat menentukan daya awet suatu produk (Winarno, 1993). Hasil penelitian
35
terhadap nilai rata-rata kadar air telur telur infertil hasil afkir pada lama penetasan
yang berbeda disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Pengaruh lama penetasan yang berbeda terhadap kadar air.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama penetasan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kadar air telur. Nilai rata-rata kadar air telur pada tanpa
penetasan (0 hari) adalah 66,0014 ± 1.73 dan pada lama penetesan 9 hari adalah
66,6952 ± 1.58, sedangkan pada lama penetasan 18 hari kadar air telur adalah
63.6414 ± 1.77. Hal ini menunjukkan bahwa lama penetasan 18 hari menurunkan
kadar air telur. Hal ini dipengaruhi oleh penguapan CO2 yang merupakan salah
satu faktor dari menurunnya kadar air telur. Sesuai pendapat Yuwanta (2010)
bahwa kehilangan air dapat terjadi karena lama penyimpanan telur. Penurunan itu
terjadi karena disebabkan adanya penguapan air pada telur sehingga juga
mengakibatkan terjadinya perluasan rongga udara.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air telur tanpa penetasan
(0 hari) dan 9 hari tidak memberikan perbedaan yang nyata, sedangkan lama
penetasan 18 hari nyata (P<0,05) menurunkan kadar air telur. Hal ini diakibatkan
54
56
58
60
62
64
66
68
70
72
0 9 18
Kad
ar
Air
(%
)
Lama Penetasan (Hari)
36
pada telur infertil kandungan air dari albumen masuk ke dalam yolk. Hal ini
sesuai dengan pendapat Romanoff and Romanoff (1963), bahwa kandungan air di
dalam albumen 3 kali lebih banyak dibandingkan di dalam yolk.
37
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa lama penetasan 18 hari berpengaruh nyata terhadap
karakteristik fisikokimia telur infertil, namun tidak ada perbedaan nyata antara 0
dan 9 hari penetasan terhadap karakteristik fisikokimia telur kecuali tinggi dan
diameter kantong udara telur. Lama penetasan 18 hari menurunkan karakteristik
fisikokimia telur infertil hasil afkir industri penetasan.
Saran
Disarankan pada pemilihan dan pengolahan telur infertil hasil afkir
industri penetasan untuk kosumsi, sebaiknya menggunakan telur infertil pada
lama penetasan 9 hari.
38
DAFTAR PUSTAKA
Almunifah, M., 2014. Sifat Fungsional Telur Ayam Ras dan Aplikasinya pada
Pembuatan Produk Sponge Cake. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan
Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Anggrahini, S. dan Almunifah, M., 2012. Karakteristik dan Uji Sifat
Organoleptik Telur Ayam Ras Infertil sebagai Telur Konsumsi. Laporan
Penelitian. Laporan Akhir Penelitian Hibah Kolaborasi Dosen-Mahasiswa.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
AOAC (Association of analytical chemist publisher), 1995. Official Methods of
Analysis. Washington DC: AOAC Publisher.
Apriantono, A., D. Fardias, N. L. Puspita, Sedarwati dan S. Budiyanto. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Press, Bogor.
Argo, L. B, Tristiarti dan I. Mangisah, 2013. Kualitas fisik telur ayam arab
petelur fase I dengan berbagai level Azolla microphylla. Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Animal
Agricultural Journal, Vol.2 No. 1, p 445 – 457.
Azizah, N. B. A. Noviani dan S. T. Ramadhani, 2012. Telur. Pendidikan
Teknik Boga. Fakultas Teknik. PTBB FT UNY.
Balnave, D and J. N. Bird. 1996. Relative Efficiens Of Yellow Caretenoids
For Egg Yolk Pigmentation. Asian – Australian Journal Of Animal
Science. 9 (5) : 515 -517.
Belitz, H. D., W. Grosch dan P. Schieberle, 2009. Structure, physical properties
and composition. Food Chemistry.
Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wooton. 2007. Food
science. International Development Program of Australian University and
Colleges. Australia.
Chung, TK. 2002. Yellow an Red Caretenoids For Eggs Yolk Pigmentation. 10th
Annual ASA Southeast Asian Feed Technology and Nutrition
Workshop. Merlin Beach Resort. Phuket. Thailand.
Fadilah, R dan Fatkhuroji, 2013. Memaksimalkan Produksi Ayam Ras Petelur.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Febrina, E. D., Goazli dan T. Rusdiana, 2007. Formulasi sediaan emulsi buah
merah sebagai produk antioksidan alami. Laporan Penelitian Peneliti Muda
(LITMUD). Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran. Bandung.
39
Fidianty, A. A., I. Thohari dan L. E. Radiati, 2013. Pengaruh lama fermentasi
telur utuh terhadap kualitas tepung telur metode pan drying ditinjau dari pH,
gula reduksi, lemak dan warna. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya,
Malang.
Gary. D, Butcher DVM, dan Richard Miles. 2009. Ilmu Unggas, Jasa Ekstensi
Koperasi, Lembaga Ilmu Pangan dan Pertanian Universitas Florida.
Gainesville.
Gede, I., M. Sukada dan K. Suada. 2012. Kualitas telur dan pengetahuan
masyarakat tentang penanganan telur di tingkat rumah tangga. Indonesia
Medicus Veterinus 1 (5) : 607 – 620.
Gomez, K. A. dan Gomez, A. A. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian. Terjemahan : Endang Sjamsuddin dan Justika S. Baharsjah. UI
Press. Jakarta. Hal 231 – 237.
Hadiwiyoto. 1983. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Edisi
ke-2 Yogyakarta.
Hajrawati. Johana, C. L dan Hessy, 2012. Pengaruh lama perendaman ekstrak
kulit buah kakao dan lama penyimpanan terhadap daya awet telur ayam ras.
Agriplus. Vol 22. Nomor : 01 Januari 2012, ISSN 0854-0128.
Hartono, T dan Isman, 2013. Kiat Sukses Menetaskan Telur Ayam. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Haryono, 2000. Langkah-langkah teknis uji kualitas telur konsumsi ayam ras.
Temu Teknis Fungsional non Peneliti. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Hintono, A. 1995. Dasar-dasar ilmu telur. Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro, Semarang.
Isa, M., T. Ibrahim., A. Syuhada dan Hamdani, 2012. Analisa pengaruh
kelembaban relatif dalam inkubator telur. Jurnal Teknik Mesin.
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Juansah, J. Irmansyah dan Kusnadi, 2008. Sifat listrik ayam kampung selama
penyimpanan. D v fi d n F T n, D n F ,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Vol. 32 No.1.
Kim, S., 2004. Physicochemical and functional properties of crawfish chitosan as
affected by different processing protocols. Seoul National University.
Koswara, S., 2009. Teknologi Pengolahan Telur. Teori dan Praktek. Ebook
Pangan.
40
Krista, B. dan Bagus, H., 2010. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Ayam
Kampung. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Kusnadi, 2007. Sifat Listrik Telur Ayam Kampung Selama Penyimpanan.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Lestari, S. R, Malaka. dan S. Garantjang. 2013. Pengawetan telur dengan
perendaman ekstrak daun melinjo (Gnetum gnemon linn). Tesis. Pasca
sarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mountney, G.J. 1976. Poultry Products Technology. second Ed. The AVI Pub.,
Co, Inc. Westport, Connecticut.
Nesheim,M. C, RE. Austic, LE. Card. 1974. Poultry Production- Twell. Fth Fd.
Lea and Febiger, Philadelphia.
Nugroho, C. P., 2008. Agribisnis Ternak Unggas. Direktorat Pembinaan SMK.
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Nurrahmawati, K., 2011. Uji Protein dan Kalsium pada Telur Asin Hasil
Pengasinan Menggunakan Abu Pelepah Kelapa dan Perendaman dalam
Larutan Teh Berbagai Konsentrasi. Skripsi. Fakultas Tarbiyah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang.
Nurwantoro dan S. Mulyani, 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi Hasil Ternak.
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Purnomo, H dan Adiono. 2010. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta.
Romanoff, A. L dan A. J. Romanoff, 1963. The Avian Egg. 2nd
Edit. John
Willey and Sons Inc. New York.
Sarwono, B., Bambang. A, Murtidjo dan D. Ani. 1985. Telur, Pengawetan dan
Manfaatnya. Penebar Swadaya.
Severa, L., S. Nedomova and J. Buchar, 2010. Influence of storing time and
temperature on the viscosity of an egg yolk. Journal of Food Engineering.
Vol. 96.
Sikder, A. C, S. D. Chowdhury. M.K. Rasyhid, A. K. Sarker and S. C. Das. 1998.
Use Of Dried Carrot (DCM) In Laying Hendiet For Egg Yolk
Pigmentation. Asia Australia Journal Of Science. 11(3) : 239 – 244.
SNI 01-3926-1995. Telur Ayam Segar untuk Konsumsi.
Soegijapranata, U., 2013. Telur. Handout Mata Kuliah Pengetahuan Bahan
Semester Genap 2012/2013. Program Studi Teknologi Pangan. Semarang.
41
Stadelman, W. J. dan Cotterill, O. J. 1973. Egg Science and Technology. The Avi
Publishing Company Inc. Westport. Connecticut.
Sudaryani, T. 2000. Kualitas Telur. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sudaryani, T., 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Surai, P.F., R. M. Mc Devitt., B. K. Speake and N. H. C. Sparks. 2000.
Carotenoid distribution in issues of the laying hen depending on their
dietary supplementation. Proc. Nutr. Soc. 58 : 30A.
Suradi, K. 2006. Perubahan kualitas telur ayam ras dengan posisi peletakan
berbeda selama penyimpanan suhu refrigerasi. Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran. Jurnal Ilmu Ternak, 6 (2) : 136– 139.
Wibowo, B dan Juarini, E., 2008. Sustenabilitas usaha penetasan telur itik di
Blitar. Jawa Timur. Seminar Nasional Teknologi dan Veteriner. Balai
Penelitian Ternak. Bogor.
Winarno, F.G dan Koswara, 2002. Telur Komposisi, Penanganan dan
Pengolahan, Embrio press. Jakarta.
Winarno, F.G. 1993. Pangan; Gizi, Tekhnologi dan Konsumen, PT.Gramedia
Pustaka Umum, Jakarta.
Winarno, F.G., 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Winarti, E dan Triyantini, 2005. Peluang telur infertil pada usaha penetasan telur
itik sebagai telur konsumsi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,
Yogyakarta.
Wirakusumah, E., 2005. Menikmati Telur Bergizi, Lezat dan Ekonomis.
Gramedia Pustaka. Jakarta.
Wulandari, Z., 2004. Sifat fisikokimia dan total mikroba telur itik asin hasil
teknik penggaraman dan lama penyimpanan yang berbeda. Departemen
Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Yuwanta, T., 2004. Dasar Ternak Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Zakiyurrahman, A., 2006. Sifat Fisik dan Fungsional Telur Ayam Ras yang
Disimpan di Dalam Refrigerator dengan Lama Penyimpanan dan Waktu
Preheating yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
42
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap berat isi
telur infertil hasil afkir industri penetasan
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Berat Isi Telur
Lama
Penetasan Mean Std. Deviation N
T1 57.96140 2.720470 5
T2 57.92740 1.531270 5
T3 54.77460 1.391936 5
Total 56.88780 2.393860 15
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Berat Isi Telur
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 33.495a 2 16.747 4.300 .039
Intercept 48543.327 1 48543.327 12464.873 .000
Perlakuan 33.495 2 16.747 4.300 .039
Error 46.733 12 3.894
Total 48623.555 15
Corrected Total 80.228 14
a. R Squared = .417 (Adjusted R Squared = .320)
43
Berat Isi Telur
Duncan
Lama
Penetasan N
Subset
1 2
T3 5 54.77460
T2 5 57.92740
T1 5 57.96140
Sig. 1.000 .979
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3.894.
Lampiran 2. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap tinggi
kantong udara pada telur infertil hasil afkir industri penetasan
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Tinggi Kantong Udara
Lama
Penetasan Mean Std. Deviation N
T1 .6020 .05450 5
T2 .9540 .26754 5
T3 1.6580 .18687 5
Total 1.0713 .48763 15
44
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Tinggi Kantong Udara
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2.891
a 2 1.446 39.615 .000
Intercept 17.216 1 17.216 471.809 .000
Perlakuan 2.891 2 1.446 39.615 .000
Error .438 12 .036
Total 20.545 15
Corrected Total 3.329 14
a. R Squared = .868 (Adjusted R Squared = .847)
Tinggi Kantong Udara
Duncan
Lama
Penetasan N
Subset
1 2 3
T1 5 .6020
T2 5 .9540
T3 5 1.6580
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .036.
45
Lampiran 3. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap diameter
kantong udara pada telur infertil hasil afkir industri penetasan
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Diameter Kantong Udara
Lama
Penetasan Mean Std. Deviation N
T1 1.6280 .24139 5
T2 2.6600 .32688 5
T3 3.1840 .15821 5
Total 2.4907 .70854 15
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Diameter Kantong
Udara
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 6.268
a 2 3.134 49.444 .000
Intercept 93.051 1 93.051 1468.072 .000
Perlakuan 6.268 2 3.134 49.444 .000
Error .761 12 .063
Total 100.080 15
Corrected Total 7.028 14
a. R Squared = .892 (Adjusted R Squared = .874)
46
Diameter Kantong Udara
Duncan
Lama
Penetasan N
Subset
1 2 3
T1 5 1.6280
T2 5 2.6600
T3 5 3.1840
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .063.
Lampiran 4. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap warna pada
telur infertil hasil afkir industri penetasan
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Kecerahan
Lama
Penetasan Mean Std. Deviation N
T1 66.3240 4.65079 5
T2 64.6860 2.14692 5
T3 58.9180 2.73519 5
Total 63.3093 4.52152 15
47
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kecerahan
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 151.336a 2 75.668 6.732 .011
Intercept 60121.075 1 60121.075 5348.782 .000
Perlakuan 151.336 2 75.668 6.732 .011
Error 134.882 12 11.240
Total 60407.293 15
Corrected Total 286.218 14
a. R Squared = .529 (Adjusted R Squared = .450)
Kecerahan
Duncan
Lama
Penetasan N
Subset
1 2
T3 5 58.9180
T2 5 64.6860
T1 5 66.3240
Sig. 1.000 .455
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 11.240.
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Kemerahan
Lama
Penetasan Mean Std. Deviation N
T1 5.16600 1.498459 5
T2 5.05600 .567301 5
T3 4.35600 2.457016 5
Total 4.85933 1.611275 15
48
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kemerahan
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 356.127a 3 118.709 41.390 .000
Perlakuan 356.127 3 118.709 41.390 .000
Error 34.417 12 2.868
Total 390.544 15
a. R Squared = .912 (Adjusted R Squared = .890)
Kemerahan
Duncan
Lama Penetasan N
Subset
1
T3 5 4.35600
T2 5 5.05600
T1 5 5.16600
Sig. .486
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 2.868.
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Kekuningan
Lama
Penetasan Mean Std. Deviation N
T1 60.5200 4.09153 5
T2 57.8780 1.07516 5
T3 51.1940 4.96287 5
Total 56.5307 5.35295 15
49
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kekuningan
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model 48166.795a 3 16055.598 1132.627 .000
Perlakuan 48166.795 3 16055.598 1132.627 .000
Error 170.106 12 14.176
Total 48336.901 15
a. R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .996)
Kekuningan
Duncan
Lama
Penetasan N
Subset
1 2
T3 5 51.1940
T2 5 57.8780
T1 5 60.5200
Sig. 1.000 .289
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 14.176.
Lampiran 5. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap pH pada
telur infertil hasil afkir industri penetasan
Descriptive Statistics
Dependent Variable:pH
Lama
Penetasan Mean Std. Deviation N
T1 7.5820 .06870 5
T2 7.6440 .27528 5
T3 8.1840 .35004 5
Total 7.8033 .36922 15
50
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:pH
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.096a 2 .548 8.100 .006
Intercept 913.380 1 913.380 13496.235 .000
Perlakuan 1.096 2 .548 8.100 .006
Error .812 12 .068
Total 915.289 15
Corrected Total 1.909 14
a. R Squared = .574 (Adjusted R Squared = .504)
pH
Duncan
Lama
Penetasan N
Subset
1 2
T1 5 7.5820
T2 5 7.6440
T3 5 8.1840
Sig. .713 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .068.
51
Lampiran 6. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap viskositas
pada telur infertil hasil afkir industri penetasan
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Viskositas
Lama
Penetasan Mean Std. Deviation N
T1 52.7000 6.11295 5
T2 48.0900 6.41233 5
T3 26.5400 8.82010 5
Total 42.4433 13.56235 15
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Viskositas
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1950.000a 2 975.000 18.716 .000
Intercept 27021.548 1 27021.548 518.713 .000
Perlakuan 1950.000 2 975.000 18.716 .000
Error 625.122 12 52.093
Total 29596.670 15
Corrected Total 2575.122 14
a. R Squared = .757 (Adjusted R Squared = .717)
52
Viskositas
Duncan
Lama
Penetasan N
Subset
1 2
T3 5 26.5400
T2 5 48.0900
T1 5 52.7000
Sig. 1.000 .332
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 52.093.
Lampiran 7. Analisis sidik ragam pengaruh lama penetasan terhadap kadar air
pada telur infertil hasil afkir industri penetasan
Descriptive Statistics
Dependent Variable:Kadar Air
Lama
Penetasan Mean Std. Deviation N
T1 66.00140 1.731298 5
T2 66.69520 1.582100 5
T3 63.64140 1.774566 5
Total 65.44600 2.074089 15
53
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kadar Air
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 25.628a 2 12.814 4.444 .036
Intercept 64247.684 1 64247.684 22283.681 .000
Perlakuan 25.628 2 12.814 4.444 .036
Error 34.598 12 2.883
Total 64307.910 15
Corrected Total 60.226 14
a. R Squared = .426 (Adjusted R Squared = .330)
Kadar Air
Duncan
Lama
Penetasan N
Subset
1 2
T3 5 63.64140
T1 5 66.00140
T2 5 66.69520
Sig. 1.000 .530
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 2.883.
54
Lampiran 8. Dokumentasi kegiatan penelitian
Telur infertil hasil afkir Pengukuran tinggi kantong udara
Pengukuran warna Pengukuran warna
55
Uji pH Uji viskositas
Kadar air Kadar air telur
RIWAYAT HIDUP
Mustabsyirah Usman dilahirkan pada tanggal 03 Oktober 1993
di Aruhu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, Provinsi
Sulawesi Selatan.
Penulis adalah anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan
Bapak Usman dan Ibu Juliati. Pada tahun 1999 penulis memulai pendidikan di
Sekolah Dasar Negeri 83 Aruhu dan tamat pada tahun 2005. Pada tahun yang
sama, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 02
Bulupoddo dan tamat pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2008, penulis
melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Sinjai dan tamat pada tahun
2011. Penulis melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri dan lulus
melalui Jalur Pemanduan Potensi Belajar (JPPB) dan diterima pada Program Studi
Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.