Jodi Pemilih Cerdas? -...

Post on 12-Mar-2019

216 views 0 download

Transcript of Jodi Pemilih Cerdas? -...

Pikir,an Rakyato Senin

12317 18 19

OJan 8Peb

o Setasa 0 Rab"U

456 7

20 21 22

o Mar OApr OMei

. Kamis 0 Juma: 0 Sabtu

8 9 10 11 12 13

2':' 2~ 25 (§) 27 28o Jun 0 Jut 0 Ags 0 <)ep OOkt

o Minggu14 15 16

29 30 31

ONov OD:J__

_(iQlput . aIQU""-

Jodi Pemilih Cerdas?- -- -- -- --- - - - -

BAHASAN tentang golongan putih (golput)kembali marak menjelang perhelatan pestademokrasi. Seberapa banyak persentasenya, apa

alasannya, hingga cara untuk menekan angka golput,selalu menarik untuk diperbincangkan. Lalubagaimana posisi kaum muda berkaitari denganfenomena golput itu, berperan aktif atau pasifkah?

Satu grup terdaftar di Facebook, jejaring sosial po-puler itu, dengan nama "Pemilu Hanya MengotoriJarimu dengan Tima yang tak Hilang Seminggu". Dibagian deskripsi grup, tercantum tulisan yang menya-takan bahwa, "Pemilu juga mengotori pohon, tianglistrik, jembatan, dinding dan tempat lain, dengangambar wajah mereka yang menjajah ruang pandang.Poster dan banneryang dari Aceh sampai Papua de-sainnya sarna, seperti sarna pula isi kepala mereka ten-tang kekuasaan".

Grup yang telah menghimpun anggota tidak kurangdari 80 orang itu, mengkritisi juga bagaimana paracalon pemimpin yang ada nampak berusaha kerasmenggaet k()nstituen.~bi'n lanjut, di badan pesantertulis, "Ada yarig fiba-tiba betsimpati pada petani,nelayan, kaum minoritas, padahal kapan merekamencelupkan kaki ke sawah. Mau jadi wakil rakyat,jadi ketua RT aja nggakpernah".

Masih di jejaring Facebook, ada pula grup bertajuk"Ayo Golput di Pemilu 2009". Grup yang berlogo ko-tak surat suara disilang tima merah bertuliskan"Pemilu 2009: Jangan Pilih Stok Lama", itu pun telahdiikuti oleh puluhan anggota. Di sana terpapar pesanbahwa golput merupaka.n hak setiap warga negara.

Sebuah situs yang beralamat di www.janganbikin-malu2009.com, mengklaim sudah dikunjungi lebihdari 10.000 pengunjung, dan lebih dari 2.000 orangikut bergabung dan mengomemari poster ataupun to-pik pemilu di grup Facebook-nya. Situs ini menyebutdirinya sebagai "Curahan hati dari kami yang frustrasidengan partai yang kurang berkualitas". Selainberdiskusi secara serius, beberapa topik tampil dengancara humoris, misalnya, ramai-ramai memilih postercaleg yang paling memalukan.

Aroma kampanye golput juga menyengat di mailinglist (milis) lokal, salah satunya lewat posting-anberjudul "Anak Muda, Ayo Golput!". Belum lagi jikamenengok sejumlah blog, tidak sedikit para bloggeryang berasal dari kalangan muda, secara terbuka me-nunjukkan sikapnya untuk golput. Judul-judul tulisan-nya pun terbilang provokatif, misalnya, "Alasan Men-gapa Saya Golput Tahun 2009". Dalam blog yangdiketahui milik seorang mahasiswa itu tercantumpernyataan di amaranya, "Saya bukan penjudi, dansaya tidak mau berjudi dengan memberikan suarakepada orang yang tidak saya kenai". Baginya, golputbisa dianggap sebagai tamparan bagi praktik demokrasidi negara ini yang sudah kacau.

Dari hal itu, terlihat kenyataan bahwa kampanyegolput tidak pernah surut, namun sebaliknya cen-derung semakin blak-blakan. Pernyataan sikap golputdiiringi kritik pedas terhadap karut-marutnya praktikdemokrasi, diungkapkan secara gamblang oleh sejum--

lah kalangan, tak terkecuali mereka yang berusia mu-da. Kini, ajakan golput tidak hanya melalui aksijalanan, namun juga dirayakan di internet yang akses-nya lintas ruang dan waktu.

Golput sendiri merupakal! fenomena jamak ketikapemilu berlangsung di negaI!l mana pun di dunia.Mungkin sebuah kemustahilan untuk meningkatkanpartisipasi politik rakyat dalam pemilu mencapai 100persen. Bahkan di Amerika Serikat, negara yang dise-but-sebut sebagai kiblat demokrasi itu, golput hampirmencapai 40 persen tiap gelaran pemilu.

Meski sejatinya golput ialah fenomena alamiah, na-mun demikian keberadaannya kerap dianggap meng-ganggu, bahkan perlu dibatasi jumlahnya. Belum lamaini, MUI misalnya, sampai-sampai menyatakan fatWaharam terhadap perilaku golput. Sejumlah pihak men-ganggap putusan komroversial itu tidak memiliki rele-vansi, namun ada juga yang mengapreasiasi hal itu se-bagai upaya meningkatkan partisipasi pemilih.

Kenyataannya, golput merupakan sebuah realitaspolitik yang harus diakui dalam praktik demokrasi diIndonesia. Penyebab golput sendiri ditengarai berkatdegradasi kepercayaan terhadap partai peserta pemilu.Sebagian besar masyarakat sudah apatis karena jenuhdengan janji-janji yang minim realisasi. Tidak sedikitpula yang memandang skeptis terhadap kampanyepara caleg, di mana mereka terkesan hanya pandaimemajang poster, yang justru kerap merusak lingkun-gan. **

DALAM diskusi yang diselenggarakan Forum Ak-tivis Bandung (FAB) berjudul "Memahami PerilakuCalon Pemilih", Kamis (19/2), Ferry Kurnia bersamaDede Mariana menelaah berbagai perilaku pemilih,termasuk di dalamnya golput. Dituturkan Ferry, KetuaKomisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, belumbanyak referensi penelitian yang membahas non votingbehaviouratau perilaku tidak memilih tersebut.

Ferry mengutip hasil survei oleh Lembaga Survei In-donesia (LSI) atas Pilkada Jakarta lalu, yang membagialasan golput ke dalam 3 hal. Pertama, alasan teknis,misalnya, orang itu sakit atau memiliki keperluan, se-hingga tidak bisa datang ke bilik suara pada hari H(39%). Kedua, alasan administratif, yakni, orang terse-but tidak terdata (38%). Ketiga, alasan politis, sebutsaja, tidak percaya pemilu, tidak ada calon favorit, se-bagai bentuk protes atas ketidakberesan birokrasi, dsb.(16%).

"Penyebab golput lebih pada alasan administratifdan teknis, daripada politis," kata Ferry. Selain itu, adacatatan menarik soal partisipasi pemilu dari waktu kewaktu. Fe;ry mengungkapkan, dibandingkan masalalu, masa reformasi kini justru dih.iasigolput lebihtinggi, dan itu menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Namun demikian, Ferry optimistis bahwa jumlahpemilih akan cenderung naik pada pemilu legislatifmendatang. "Prediksinya, angka partisipasi sampai80%," kata Ferry;Jika berkaca pada Pikada Jabar yangmencatat golput hingga kurang lebih 9 juta orang,alias lebih tinggi dibandingkan pemilih sang gubernur

Kliping Humo~ Un pod 2009-.---.--

- -- --. - --

dan wakil gubenur terpilih (kurang lebih 7 juta suara),maka kini antara tren pilkada dengan pemilu akanberbeda. "Sebab beda konteks mesin politiknya. Jikapada pilkada yang melakukan pendekatan mungkinhanya tim sukses yang jumlahnya minim, sedangkanpada pemilu legislatif diisi oleh ribuan caleg yang ra-mai-ramai melakukan pendekatan ke masyarakat,"katanya.

Dikatakan Ferry, memilih atau tidak memilih ituadalah hak. "Walau itu hak, tapi ada:sedikit kewajibanjuga bagikita untuk turut memilih pemimpin bangsaini, yang nantinya akan membuat keb\jakan publikyang berdampak bagi kita semua," kata Ferry.

Ke depan, Ferty berharap pemilih bisa semakin men-jadi rationalvoters,yang berarti mempertimbangkan se-cara rasional tentang apa untungnya jika memilih sese-orang, apa saja program kerjanya, dsb. Di sinilah letakpenting pencerdasan politik bagi masyarakat, yang jugatidak terlepas dari tanggungjawab parpol. "Jangan adaparpol yang tidak menjalankan fungsi agregasinya,rekrutmennya tidak jelas sehingga menghasilkan orangyang asal, bahkan ada caleg yang tidak tahu namorurutnya berapa," kata Ferry.

Sementara itu, Dede Mariana, pengamat politik asalASH? Unpad, mengungkapkan bahwa paling tidak ada8 preferensi perilaku pemilih di Indonesia, yakni, pri-mordialisme, ideologi, program, transaksional, peergroup, referensi, ikatan emosional, dan pilihan rasio-nal. "Kecenderungan perilaku pemilih di Indonesiamasih cenderung primordialisme, sedangkan rasionalbelum berperan," kata Dede, yang juga menjabat Ka-puslit Kebijakan Publik Lemlit Unpad.

Menurut Dede, sosialisasi pemilu terbilang masihkurang..Dengan jumlah parpol sebanyak 34 partai,maka kecenderungannya publik menjadi bingung dantidak mengenal partai baru. la pemah melakukan risetkedl terhadap mahasiswa soal pengetahuan nama. par-tai. "Temyata, paling banyak mahasiswa hanya tahu15 partai," kata Dede. Ia meyakini, praktik demokrasiakan berjalan benar jika sebagian besar masyarakatnyamendapatkan edukasi politik yang benar pula. Menu-rutnya, perlu pendidikan politik yang meluas, demipenguatan civilsocietydan mengasah kritisismemasyarakat. "Kita ikuti day to day politik, janganhanya seremonialnya. Kalau ada yang salah dan .1ayakdigugat, ya gugat saja. Kita arahkan masyarakat menja-di masyarakat penagih janji," kata Dede.

Dalam koridor pendidikan politik pula, FAB meng-gagas suatu konsep seleksi caleg, yakni KonvensiKaum Muda Jawa Barat, yang rencananya akan digelarmulai Sabtu (28/2). Acara yang berfungsi untukmenyeleksi caleg muda yang dianggap berkualitas itu,terbuka bagi caleg siapapun dan dari parpol manapun."Istilah muda sendiri bukan hanya soal usia,melainkan semangat dan gagasan baru," ujar OkySyeiful Harahap, ketua konvensi. Saat ini, menurutOky, masyarakat awam tidak mudah mengakses infor-

I masi mengenai caleg, padahal diperlukan wakil rakyatyang berkapabilitas untuk menjalankan roda pemba-n~nan lima tahun ke depan. Acara ini akan meli----

----

batkan mahasiswa, jumalis, budayawan, danmasyarakat umum, serta sejumlah tim pakar panelis 'yang terdiri dari para guru besar untuk memberikanpertanyaan kepada para caleg.

**

MENURUT pengamat politik asal Unpar, AsepWarlan Yusuf,keberadaan golput di kalangan mudabisa dilihat sebagai aksi aktif dan juga aksi pasif. Aksiaktif berarti, golput sebagai sebuah sikap politik untukmemberi protes bagi bobroknya birokrasi dan wakil-wakil rakyat yang tidak berintegritas. Sementara aksipasif berarti, golput hanya sekadar ikut~ikutan atautidak disertai alasan rasionalnya. Bagi Asep, dis-ayangkan jika kalangan mahasiswa melihat pemiluhanya dari sudut pandang apatisme. Padahal, yang ki-ni dibutuhkan bagi perkembangan demokrasi ialahmahasiswa yang kritis. "Jika mahasiswa golput karenacuek, dan bukannya berdasarkan alasan masuk akal,itu perkembangan tidak sehat untuk demokrasi,"katanya.

Asep mengatakan, bagaimanapun mahasiswaberperan dalam menentukan arah nasib bangsa. Salahsatunya, dengan penentuan pemimpin yang tepat,yang akan membuat kebijakan publik bagi semuaorang. Menurut Asep, mereka yang menggunakan hakpilih sebenamya memiliki sebuah keuntungan, yakni,punya legitimasi untuk menuntut secara hukum,moral, dan politis, pada pemimpin terpilih jika merekaterbukti melanggar janji. Sebaliknya, mereka yangtidak menggunakan hak pilihnya bisa dibilang tidakpunya privilege itu. .

Menurut Asep, jangan salahkan ketika pemimpinterpilih ialah pemimpin yang busuk, sementara haksuara sebagai sebuah kesempatan untuk memilihpemimpin yang dianggap baik malah dibuang begitusaja. "Sudah golput, lalu nantinya marah-marah, itutidak fair juga," kata Asep.

Ekspresi keterbukaan dan melek politik bagi rakyatitu sangat penting, dibandingkan dengan mengham-bur-hamburkan uang hanya untuk pesta pora. Asep.menyebutkan, harusnya kehidupan kampus bisa dibuatsebagai tempat persemaian wacana-wacana politik .yang segar. Misalnya, penyelenggaraan dialog atau de-bat publik antara mahasiswa dan caleg untuk salingbertukar wacana dan solusi. Dari situ, akan terlihatmana caleg dan partai yang mungkin berkualitas.

"Parpol yang ada kini kurang berani nantang dialog,mengundang mahasiswa ke kafe, dsb., padahal bolehsaja, daripada mereka hanya mengandalkan iklan yangcenderung pembodohan," kata Asep. Membuat kam-pus jauh. dari politik alias depolitisasi bisa berbahaya,sebab akan melahirkan generasi yang apolitis. "Peker-jaan rumah kini ialah mentransformasi bahasan politikdi kampus menjadi relevan kepada mahasiswa yangkritis dan ingin mengkritsisi," kata Asep. Kembali lagipada soal golput di kalangan anak muda, Asep menilaikeduanya sah-sah saja dilakukan, asal diiringi dengansikap aktif dan alasan rasional yang cerdas. ***

dewi innakampus_pr@yahoo.com