Post on 03-Jan-2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan
diserahi tugas dalam sesuatu jabatan Negeri atau diserahi tugas Negara lainnya yang ditetapkan
berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, Pegawai Negeri Sipil (PNS) menurut UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian ialah meliputi Pegawai Negara Sipil Pusat, Pegawai Negara Sipil
Daerah, termasuk calon Pegawai Negeri Sipil, dan yang dipersamakan ialah Pegawai bulanan
disamping pensiun, Pegawai Bank Milik Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara, Pegawai
Bank Daerah, Pegawai Badan Usaha Milik Daerah, dan Kepala Desa, Perangkat Desa, dan
Petugas yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di Desa.
PNS sebagai aparatur negara mempunyai posisi sangat strategis dan peranan
menentukan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Sebagai aparatur
negara, PNS berkewajiban menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan dengan
penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, negara dan
pemerintah. Untuk itu, PNS sebagai pelaksana perundang-undangan wajib berusaha untuk taat
pada setiap peraturan perundang-undangan di dalam melaksanakan tugas kedinasan. Pemerintah
melalui PP Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Peraturan Disiplin PNS, memberikan pembinaan
kepada PNS yang diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan
pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna, melalui atau berdasarkan sistem karir dan
sistem prestasi kerja, yang dilakukan secara bertahap sejak pengangkatan, penempatan,
pendidikan dan latihan, pemindahan, penghargaan, serta pemberhentian, dengan selalu mengacu
kepada kode etik dan peraturan disiplin yang diberlakukan. Semua itu dilakukan dengan tujuan
untuk mengoptimalkan kinerja sumber daya aparatur. Demikian juga sebaliknya, jika PNS di
dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya melakukan pelanggaran misalnya, mengenai
melangsungkan perkawinan pertama dan beristeri lebih dari satu tetapi tanpa seijin atasan
sebagaimana diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 dan PP Nomor 45 Tahun 1990 ( Tentang
Perubahan dari PP Nomor 10 Tahun 1983). Maka dapat dijatuhi hukuman disiplin sebagaimana
diatur dalam pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
1
Ketentuan tentang perkawinan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
yang berlaku bagi segenap warga negara dan penduduk Indonesia, tentu termasuk didalamnya
adalah warga negara yang berstatus sebagai PNS. PNS sebagai unsur aparatur negara dan abdi
masyarakat harus menjadi teladan dengan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat dalam
tingkah laku, tindakan, ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga
dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga. Namun pada pelaksanaanya banyak PNS
yang tidak melaporkan perkawinannya ke atasan, dan banyak yang berpoligami (istri lebih dari
satu) tanpa izin atasan yang berwenang. Berdasarkan keadaan seperti tersebut di atas, maka
penulis melalui makalah ini mencoba melakukan analisis terhadap Pelaksanaan Perkawinan
Pertama dan Poligami bagi PNS.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penyusun kemukakan di atas, maka dapat dirumuskan
masalah-masalah yang timbul dan hubungan dengan analisis ini agar masalah menjadi jelas,
terarah dan tidak meluas. Maka penulis menitik beratkan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses dan pelaksanaan izin perkawinan pertama dan poligami bagi
PNS?
2. Perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dilakukan oleh PNS berkaitan dengan
izin perkawinan dan poligami?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan, dan Poligami
Pengertian perkawinan apabila dilihat dari pandangan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan yang sah ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya/ kepercayaannya terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi perkawinan
itu sama dengan perikatan (verbindtenis) hal ini dilihat dari kalimat UU Nomor 1 Tahun 1974
yang mengatakan bahwa perkawinan ialah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita”.
Hal ini berbeda dengan pandangan KUH Perdata tentang perkawinan yang mengatakan
bahwa “Undang-undang hanya memandang soal perkawinan dalam hubungan-hubungan
perdata”, jadi perkawinan menurut KUH Perdata hanya sebagai perikatan perdata, sedang
perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahub 1974 tidak hanya sebagai perikatan perdata tapi juga
perikatan keagamaan.1
Sedang Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih
dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu
saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri
pada suatu saat).
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri
sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan
kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga
bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang
paling umum terjadi. Jadi yang dimaksud penulis tentang “poligami” disini adalah lebih ke
poligini yaitu seorang pria yang memiliki beberapa istri sekaligus.
B. Dasar Hukum Perkawinan dan Poligami bagi PNS
1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet.III, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 7.
3
Dasar hukum perkawinan dan poligami bagi PNS diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, anatara lain sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil;
5. Surat Edaran Kepala Badan Admisnistrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983
tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
6. Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 48/SE/1990
tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin
Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
BAB III
4
PEMBAHASAN
Pada bagian ini pembahasan merupakan analisa terhadap proses serta pelaksanaan izin
perkawinan dan poligami bagi PNS.
1. Izin Perkawinan PNS
Apabila seorang subyek hukum( Naturlijke Person) berposisi, atau memiliki kedududkan
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sudah tentu orang tersebut harus mengikuti atau mematuhi
aturan- aturan tambahan terkait dengan jabatan/ kedudukanya sebagai seorang Pegawai Negeri
Sipil.2 Ketentuan perkawinan terhadap Pegawai Negeri Sipil ini tertera dalam PP Nomor 45
Tahun 1990 tentang perubahan PP Nomor 10 Tahun 1983 terkait izin perkawinan dan
penceraian Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketentuan tambahan pada PP Nomor 45 Tahun 1990
terkait Perkawinan, selain UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam terhadap
Subyek Hukum (orang) yang berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil ialah sebagai berikut:
Dimana dalam PP ini setiap perkawinan , perceraian, dan perubahan dalam susunan
keluarga PNS dilaporkan pada Badan Kepegawaian;
PNS yang melangsungkan perkawinan pertama wajib segera “melapor secara tertulis”
kepada pejabat secara hierarkis selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak
tanggal perkawinan3;
Hal ini juga berlaku bagi janda/ duda PNS yang melakukan pernikahan kedua, ketiga
hingga ke empat, dan seterusnya;
Laporan perkawinan tersebut diatas dibuat dalam rangkap tiga dan dilampiri;
a) Salinan sah Surat Nikah /Akte perkawinan, untuk tata naskah masing-masing
instansi.
b) Pas foto isteri/suami ukuran 3x4 cm sebanyak 3 lembar, yaitu:
1 lembar tata naskah kepegawaian.
2 lembar dikirim ke BKN untuk Karin, Karis/Kars
2. Izin Poligami PNS
2 http://agityakresna.blogspot.com/2010/05/analisis-perkawinan-pns.html, pada 30 Desember 2010 pukul 19.17.3 Dalam pasal 1 (b) PP Nomor 10 Tahun 1983 yang dimaksud Pejabat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Pimpinan Bank Milik Negara, Pimpinan Badan Usaha Milik Negara, Pimpinan Bank Milik Daerah, Pimpinan Badan Usaha Milik Daerah, Urutan Pejabat Negara sebagai tersebut tidak berarti urutan tingkatan kedudukan dari pejabat tersebut.
5
Menurut pasal 3 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa
“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Dengan demikian UU Nomor 1
Tahun 1974 menganut asas monogami. Kaidah pasal 3 (1) UU Perkawinan agak mirip dengan
bunyi pasal 27 KUH Perdata yang mengatakan bahwa “Dalam waktu yang sama seorang lelaki
hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan
hanya satu orang lelaki sebagai suaminya”.
Perbedaanya terletak pada pasal 3 (2) UU Perkawinan yang mengatakan bahwa
“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Dengan adanya pasal ini maka berarti UU
Perkawinan menganut asas monogami terbuka, oleh karena tidak tertutup kemungkinan dalam
keadaan terpaksa suami melakukan poligami yang sifatnya tertutup atau poligami yang tidak
begitu saja dapat dibuka tanpa pengawasan hakim.4
Dikarenakan PNS adalah abdi negara maka PP Nomor 45 Tahun 1990 yang merupakan
perubahan atas PP 10 Tahun 1983 dibuat mempersulit PNS untuk terlibat dalam poligami.
Sesuai pasal 4 (1) PP Nomor 45 Tahun 1990 Apabila PNS laki-laki yang mau berpoligami,
maka ia wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.5 Sedang Menurut pasal 4 (2) PNS
wanita dilarang untuk dipoligami. Permintaan izin poligami sebagaimana yang dimaksud
diajukan secara tertulis dengan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari permintaan
izin untuk beristri lebih dari seorang hal ini bisa ditemukan di Pasal 4 (3) dan (4) PP Nomor 45
Tahun 1990. Permintaan izin itu diajukan kepada pejabat melalui saluran hierarki dan setiap
atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik
untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang, wajib memberikan
pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu
selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud
hal ini diatur pada pasal 5 (2) PP Nomor 45 Tahun 1990.
Pejabat yang menerima izin poligami, wajib memperhatikan dengan seksama alasan-
alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan PNS yang
4 Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 32.5 Dalam pasal 1 (b) PP Nomor 10 Tahun 1983 yang dimaksud Pejabat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Pimpinan Bank Milik Negara, Pimpinan Badan Usaha Milik Negara, Pimpinan Bank Milik Daerah, Pimpinan Badan Usaha Milik Daerah, Urutan Pejabat Negara sebagai tersebut tidak berarti urutan tingkatan kedudukan dari pejabat tersebut.
6
bersangkutan, apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin
tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari istri PNS
yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan
keterangan yang meyakinkan. Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil PNS yang
bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat. Ketentuan ini
bisa dilihat di pasal 9 PP Nomor 10 Tahun 1983.
Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila
memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif, sebagai
berikut:
1. Syarat alternatif:
(1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
(2) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
(3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Syarat kumulatif:
(1) Ada persetujuan tertulis dari isteri;
(2) PNS pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk
membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan
surat keterangan pajak penghasilan; dan
(3) Ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Dan izin dari pejabat yang bersangkutan tidak akan diberikan apabila:
(1) Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut PNS yang
bersangkutan;
(2) Tidak memenuhi syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana
tersebut diatas;
(3) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(4) Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat dan atau;
(5) Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
7
Ketentuan diatas diatur pada pasal 10 PP Nomor 10 Tahun 1983, bahkan untuk diketahui
pada bulan Desember 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta PP tersebut direvisi
kembali supaya peraturan yang ada tentang poligami mencakup bukan hanya PNS tetapi juga
pejabat negara, pejabat pemerintah dan masyarakat umum. Presiden Republik Indonesia juga
berencana memperketat sanksi kepada pelanggar PP.
Berkaitan mengenai sanksi atau larangan, maka PNS dan atau atasan/Pejabat, kecuali
Pegawai Bulanan di samping pensiun, dijatuhi salah satu hukumuman disiplin berat berdasarkan
PP Nomor 30 Tahun l980, apabila melakukan perbuatan sebagai berikut:
tidak memberitahukan perkawinan pertamanya secara tertulis kepada Pejabat
dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan
dilangsungkan;
melakukan perceraian tanpa memperoleh izin bagi yang berkedudukan sebagai
penggugat atau tanpa surat keterangan bagi yang berkedudukan sebagai tergugat,
terlebih dahulu dari Pejabat;
beristeri lebih dari seorang tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat;
melakukan hidup bersama diluar ikatan perkawinan yang sah dengan wanita yang
bukan isterinya atau dengan pria yang bukan suaminya;
tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat kepada Pejabat
selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan;
setiap atasan yang tidak memberikan pertimbangan dan tidak meneruskan
permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-
lambatnya tiga bulan setelah ia menerima permintaan izin atau pemberitahuan
tersebut;
Pejabat yang tidak memberikan keputusan terhadap permintaan untuk beristri
lebih dari seorang dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan setelah ia
menerima permintaan izin tersebut;
Pejabat yang tidak melakukan pemeriksaan dalam hal mengetahui adanya PNS
dalam lingkungannya yang melakukan hidup bersama diluar ikatan perwinan
yang sah.
PNS wanita yang menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat dijatuhi hukuman disiplin
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS berdasarkan PP N0. 30 Tahun
1983.
8
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang dianalis oleh penulis diatas maka dapat disimpulkan bahwa PNS
sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat harus menjadi teladan dengan memberikan
contoh yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, ketaatan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, juga dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga. Oleh
karena itu hal-hal berkaitan tentang izin perkawinan (termasuk poligami) PNS diatur oleh
negara. Peran atasan dan atau pejabat sangat penting dalam kaitannya dengan izin perkawinan
dan poligami yang dilakukan oleh PNS. Sebab atasan dan atau pejabat lah yang memberikan
arahan-arahan serta nasehat bagi para PNS yang mengajukan izin perkawinan dan poligami
tersebut. Bahkan apabila menurut pandangan atasan dan atau pejabat (dalam saluran hierarki)
para PNS bersangkutan yang mengajukan izin perkawinan dan poligami tidak layak atau tidak
memenuhi syarat maka atasan dan atau pejabat dapat menolak/tidak mengabulkan izin yang
diajukan oleh PNS yang bersangkutan. Dan yang harus dikritisi disini apabila PNS sendiri untuk
poligami dipersulit, seharusnya PP Nomor 10 Tahun 1983 dan atau perubahannya PP Nomor 45
Tahun 1990 juga harus ditinjau kembali atau diperbaiki karena disini hanya mengatur tentang
izin perkawinan termasuk poligami bagi PNS sedangkan pejabat yang memberi/mengeluarkan
izin itu sendiri tidak ada aturan apapun mengenai poligami, seharusnya para pejabat yang
berkedudukan sebagai atasan PNS juga diperlakukan sama dengan PNS tentang hal izin
perkawinan sehingga ada rasa keadilan dan bisa menjadi contoh atau panutan yang baik bagi
para PNS sebagai salah satu unsur aparatur negara.6
6 Dalam pasal 1 (b) PP Nomor 10 Tahun 1983 yang dimaksud Pejabat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Pimpinan Bank Milik Negara, Pimpinan Badan Usaha Milik Negara, Pimpinan Bank Milik Daerah, Pimpinan Badan Usaha Milik Daerah, Urutan Pejabat Negara sebagai tersebut tidak berarti urutan tingkatan kedudukan dari pejabat tersebut.
9