Post on 29-Nov-2020
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Kajian Teori
a. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
1) Pengertian ABK
Istilah “Anak Berkebutuhan Khusus” muncul bukan untuk sekedar
menggantikan pengertian dari anak cacat atau luar biasa, namun memiliki
pengertian yang lebih positif yaitu anak dengan keberagaman yang berbeda
(Sunanto, 2003:23). Anak Berkebutuhan Khusus sendiri bisa dikelompokkan
menjadi Anak Berkebutuhan Khusus yang bersifat menetap (permanen) dan
sementara (temporer). Bersifat sementara (temporer) ketika Anak Berkebutuhan
Khusus tersebut disebabkan oleh faktor eksternal sehingga anak tersebut
mengalami gangguan emosi namun sementara. Sementara itu Anak Berkebutuhan
Khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah ketika Anak Berkebutuhan
Khusus memiliki hambatan belajar yang disebabkan oleh kecacatan atau bawaan
sejak lahir.
Dengan demikian anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang
berbeda pada anak umumnya dengan karakteristik khusus, yang memerluksan
pelayanan yang spesifik. Anak tersebut membutuhkan metode, materi, pelayanan
yang khusus agar dapat mencapai perkembangan optimal. Walaupun mereka
12
memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak pada umumya,
mereka harus mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama dalam hal
pendidikan. Oleh sebab itu, mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan belajar masing-masing anak.
2) Klasifikasi ABK
Klasifikasi anak berkebutuhan khusus menurut direktorat PLB guna keperluan
pendidikan inklusif dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1)Tunanetra/ gangguan penglihatan
2) Tunarungu / gangguan pendengaran
3) Tunadaksa / gangguan gerakan / kelainan anggota tubuh
4) Tunagrahita/ keterbelakngan kemampuan intelektual
5) Anak lamban belajar
6) Anak berkesulitan belajar
7) Anak berbakat (memiliki kemampuan dan kecerdasan luar
biasa)
8) Tunalaras / kelainan tingkah laku dan sosial
9) Anak dengan gangguan komunikasi
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi pada ABK
meliputi: tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, anak lamban belajar, anak
kesulitan belajar, anak berbakat, tunalaras, seta anak dengan gangguan
komunikasi.
13
3) Prinsip-prinsip Pembelajaran Pada ABK
Prinsip-prinsip pembelajaran pada individu berkebutuhan khusus menurut
Direktorat PLB sebagai berikut:
a. Prinsip umum
1. Prinsip motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki
semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2. Prinsip latar/konteks
Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh,
memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal
mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang
sebenarnya tidak terlalupenuh bagi anak.
3. Prinsip keterarahan
Setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan
secara jelas, menerapkan bahan dan alat yang sesuai serta mengembangkan
strategi pembelajaran yang tepat.
4. Prinsip hubungan sosial
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi
pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa,
siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak
arah.
14
5. Prinsip belajar sambil bekerja
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada
anak untuk melakukan praktek atau percobaan atau menemukan sesuatu melalui
pengamatan, penelitian, dan sebagainya.
6. Prinsip individualisasi
Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara
mendalam baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam
menyerap materi pelajaran.
7. Prinsip menemukan
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak
untuk terlihat secara aktif baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional.
8. Prinsip pemecahan masalah
Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di
lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data,
menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuan.
b. Prinsip Khusus
Prinsip ini mengarahkan pada masing-masing kebutuhan anak atau kelainan yang
dialami oleh sang anak.
1. Tunanetra
a. Prinsip kekonkretan
Guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda-benda konkret
(baik asli maupun tiruan) sebagai alat bantu atau media dan sumber belajar dalam
upaya pencapaian tujuan pembelajaran.
15
b. Prinsip pengalaman yang menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi.
c. Prinsip belajar sambil melakukan
Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses belajar mengajar tidak hanya bersifat
informatif akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam situasi nyata
sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan bahan yang diajarkannya.
2. Tunarungu
a. Prinsip keterahan wajah
Prinsip ini menuntut guru ketika memberi penjelasan hendaknya menghadap ke
anak (face to face) sehingga anak dapat melihat gerak bibir guru.
b. Prinsip keterarahan suara
Ketika berbicara guru hendaknya menggunakan lafal/ejaan yang jelas dan cukup
keras, sehingga arah suaranya dapat dikenali anak.
c. Prinsip keperagaan
Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar hendaknya disertai peragaan
(mengunakan alat peraga) agar lebih mudah dipahami anak. Di samping dapat
menarik perhatian anak.
3. Tunagrahita
a. Prinsip kasih sayang
Mengajar anak tunagrahita/lamban belajar membutuhkan kasih sayang yang tulus
dan guru. Guru hendaknva berbahasa yang lembut, tercapai sabar, rela berkorban,
dan memberi contoh perilaku yang baik ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik
16
dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan
saran-saran dari guru.
b. Prinsip keperagaan
Anak perlu di bawa ke lingkungan nyata, baik lingkungan fisik, lingkungan
sosial, maupun lingkungan alam. Bila tidak memungkinkan, guru dapat membawa
berbagai alat peraga.
c. Prinsip habilitasi dan rehabilitasi
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa
mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan
meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas. Sedangkan rehabilitasi adalah
usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikit demi
sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi optimal.
4. Tunadaksa
Prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran bagi anak tunadaksa yaitu:
(1) pelayanan medik, (2) pelayanan pendidikan. dan (3) pelayanan sosial, yang
pada dasarnya juga tidak dapat lepas dengan prinsip habilitasi dan rehabilitasi di
atas.
5. Tunalaras
a. Prinsip kebutuhan dan keaktifan
Guru harus memberi keaktifan kepada siswa supaya kebutuhannya terpenuhi
dengan mempertimbangkan norma-norma kemasyarakatan, agama, peraturan
perundang undangan yang berlaku, sehingga dalam memenuhi keinginan dan
kebutuhannya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
17
b. Prinsip kebebebasan yang terarah
Guru hendaknya mengarahkan dan menyalurkan segala perilaku anak ke arah
positif yang berguna, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
c. Prinsip penggunaan waktu luang
Guru harus membimbing anak dengan mengisi waktu luangnya untuk kegiatan-
kegiatan yang bermanfaat.
d. Prinsip kekeluargaan dan kepatuhan
Guru harus dapat menyelami jiwa anak, dimana letak ketidakselarasan kehidupan
emosinya. Selanjutnya, mengembalikannya kepada kehidupan emosi yang tenang,
laras, sehingga rasa kekeluargaannya menjadi pulih kembali.
e. Prinsip setia kawan dan idola serta perlindungan
Guru hendaknya secara perlahan-lahan berupaya menggantikan posisi ketua
kelompoknya, menjadi tokoh idola siswa, dengan cara melindungi siswa, dan
berangsur-angsur kelompoknya berganti dengan teman-teman sekelasnya, dan
setia kawannya berganti kepada teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya
mereka akan merasa senang bersekolah.
f. Prinsip minat dan kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan anak terutama yang
berhubungan dengan pelajaran.
g. Prinsip emosional, sosial dan perilaku
Guru harus berusaha mengidentifikasi problem emosi yang disandang anak,
kemudian berupaya menghilangkannya untuk diganti dengan sifat-sifat yang baik
sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan agama, dengan cara
18
diberi tugas-tugas tertentu yang terpuji, baik secara individual maupun secara
kelompok.
h. Prinsip disiplin
Guru perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu diberi
keteladanan dan pembinaan dengan sabar.
i. Prinsip kasih sayang
Dengan demikian melalui prinsip umum dan prinsip khusus tersebut
diharapkan guru dapat melaksankan pembelajaran yang menyenangkan serta
efektif dan efisien kepada anak berkebutuhan khusus, sehingga dengan demikian
tujuan pembelajaran yang akan diharapkan dapat dicapai dengan baik.
b. Interaksi Sosial
1) Pengertian Interaksi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto (2012:71) interaksi sosial adalah proses sosial
mengenai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompok-
kelompok sosial saling bertemu serta menentukan system dan hubungan sosial.
Berdasarkan pengertian dari ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian interaksi sosial adalah hubungan yang berkelanjutan antara manusia
sebgai individu ataupun kelompok yang ditandai dengan adanya interaksi dan
hubungan yang saling timbal balik satu sama lain.
Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat
kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari
19
terjadinya hubungan sosial. Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi
dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan.
Beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi bagi dimulainya komunikasi
atau interaksi sosial. Sumber Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu ciri fisik
dan penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang individu
sejak lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat
meliputi daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana.
20
2) Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Suatu interaksi sosial tidak akan terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat
Soerjono Sukanto (2012:72) yaitu : adanya kontak sosial, dan adanya komunikasi.
a. Kontak sosial
Secara harfiah kontak berarti bersama-sama menyentuh. Sebagai gejala sosial
itu tidak perlu suatu hubungan badaniah, karena orang dapat mengadakan
hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya dengan cara berbicara
dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya teknologi dewasa
ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan melalui telepon,
telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan
badaniah.
b. Komunikasi
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada orang
lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap),
perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang
yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin
disampaikan. Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat
diketahui oleh kelompok lain aatau orang lain. Hal ini kemudain merupakan
bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya.
21
Melalui uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi
memiliki arti yang hampir sama dengan kontak. Namun adanya kontak belum
tentu dapat terjadi komunikasi. Komunikasi menuntut adanya pemahaman
makna atas suatu pesan dan tujuan bersama antara masing-masing pihak.
Untuk itu dalam interaksi sosial akan terjadi jika adanya kontak sosial dan
komunikasi
3) Macam-macam Interaksi Sosial
Menurut Muryati dan Suryawati (2003:23) interaksi sosial dibagi menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Interaksi antar individu dan individu
Pada saat dua individu bertemu, interaksi sosial sudah mulai terjadi. Walaupun
kedua individu itu tidak melakukan kegiatan apa-apa, namun sebenarnya interaksi
sosial telah terjadi apabila masing-masing pihak sadar akan adanya pihak lain
yang menyebabkan perubahan dalam diri masing-masing.
2. Interaksi antar kelompok dan kelompok
Interaksi jenis ini terjadi pada kelompok sebagai satu kesatuan bukan sebagai
pribadi-pribadi anggota kelompok yang bersangkutan. Contohnya, permusuhan
antara Indonesia dengan Belanda pada zaman perang.
22
3. Interaksi antar individu dan kelompok
Bentuk interaksi di sini berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Interaksi tersebut
lebih terlihat manakala terjadi perbenturan antara kepentingan perorangan dan
kepentingan kelompok.
4. Ciri-ciri Interaksi Sosial
Menurut Tim Sosiologi (2002:23) interaksi sosial memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Ada pelaku yang lebih dari satu orang
2. Ada komunikasi antar pelaku dengan menggunkan simbol-simbol
3. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa datang) yang
menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung.
4. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama tidaknya tujuan tersebut dengan
yang diperkirakan oleh pengamat.
Dari penjelasan diatas, tidak semua tindakan merupakan interaksi. Hakikat
interaksi terletak pada kesadaran mengarahkan tindakan pada orang lain. Harus
ada orientasi timbal-balik antara pihak-pihak yang bersangkutan, tanpa
menghiraukan isi perbuatannya: cinta atau benci, kesetiaan atau pengkhianatan,
maksud melukai atau menolong.
23
5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Interaksi Sosial
Kelangsungan interaksi sosial, sekalipun dalam bentuk yang sederhana,
ternyata merupakan proses yang kompleks, tetapi padanya dapat kita beda-
bedakan beberapa faktor yang mendasari menurut Janu Murdiyatmoko (2007:70-
72) diantaranya:
1. Faktor imitasi
Imitasi merupakan proses meniru orang lain. Misalnya bagaimana seorang anak
belajar berbicara. Mula-mula ia mengimitasi dirinya sendiri kemudian ia
mengimitasi kata-kata orang lain lalu mengartikan kata-kata juga karena
mendengarnya dan mengimitasi penggunaannya dari orang lain. Lebih jauh, tidak
hanya berbicara yang merupakan alat komunikasi yang terpenting, tetapi juga cara-
cara lainnya untuk menyatakan dirinya dipelajarinya melalui proses imitasi.
Misalnya, tingkah laku tertentu, cara memberikan hormat, cara menyatakan terima
kasih, cara-cara memberikan isyarat tanpa bicara, dan lain-lain.
6. Faktor sugesti
Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial hampir sama.
Bedanya adalah bahwa dalam imitasi itu orang yang satu mengikuti sesuatu di luar
dirinya; sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap dari
dirinya yang lalu diterima oleh orang lain diluarnya. Sugesti dalam ilmu jiwa
sosial dapat dirumuskan sebagai suatu proses di mana seorang individu menerima
suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa
kritik terlebih dahulu.
24
7. Faktor identifikasi
Identifikasi dalam arti psikologi adalah berarti dorongan untuk menjadi identik
(sama) dengan orang lain. Kecenderungan ini bersifat tidak sadar bagi anak dan
tidak hanya merupakan kecenderungan untuk menjadi seperti seseorang secara
lahiriah saja, tetapi justru secara batin.
8. Faktor simpati
Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang
lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian
perasaan sebagaimana proses identifikasi. Akan tetapi, berbeda dengan
identifikasi, timbulnya simpati itu merupakan proses yang sadarbagi manusia yang
merasa simpati terhadap orang lain. Peranan simpati cukup nyata dalam hubungan
persahabatan antara dua orang atau lebih. Patut ditambahkan bahwa simpati dapat
pula berkembang perlahan-lahan disamping simpati yang timbul dengan tiba-tiba.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial yang disebutkan
diatas merupakan dasar mengapa manusia saling berbicara dan saling
berhubungan. Itulah proses sosial yang membentuk sebuah kehidupan masyarakat
yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.
25
c. Inklusi
1) Kurikulum Pada Pendidikan Inklusi
Undang-undang no 20 tahun 2003 pasal 1 butir 19 disebutkan bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Setiap satuan
pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif menggunakan kurikulum
standar nasional yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian, tiap hambatan
yang dialami peserta didik sangat bervariasi mulai dari yang ringan, sedang
hingga berat. Maka dalam implementasinya, kurikulum yang digunakan
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Modifikasi kurikulum
dilakukukn oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Dalam hal ini tim
tersebut meliputi kepala sekolah, guru pendamping khusus, guru kelas, serta ahli-
ahli yang terkait.
Tujuan pengembangan kurikulum dalam pendidikan inklusif yaitu:
a. Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi
hambatan belajar yang dialami siswa
b. Membantu guru dan orang tua dalam mengembangkan program pendidikan
bagi peserta didik berkelainan baik yang diselenggarakan di sekolah, di luar
sekolah, maupun di rumah, dan
26
c. Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan ,
menilai dan menyempurnakan program inklusif.
Beberapa model kurikulum dalam panduan penyelenggaraan inklusi menurut
Direktorat PLB (2007:40) :
1. Model kurikulum reguler
Pada model kurikulum ini siswa yang berkebutuhan khusus mengikuti
kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas
yangsama. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses
pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajarnya.
2. Model kurikulum reguler dengan modifikasi
Pada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi
pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya
dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa (anak berkebutuhan khusus). Di
dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki
program pembelajaran berdasarkan kurikulum reguler dan Program
Pembelajaran Individual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan khusus
yang mengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum reguler sedangkan
mata pelajaran lainnya berdasarkan PPI.
3. Model kurikulum PPI
Pada model kurikulum ini guru mempersiapkan PPI yang dikembangkan
bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan
khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. Model ini
27
diperuntukan pada siswa yang mempunyai hambatan belajar yang tidak
memungkinkan untuk mengikuti proses belajar berdasarkan kurikulum
reguler. Siswa berkebutuhan khusus seperti ini dapat dikembangkan potensi
belajarnya dengan menggunakan PPI dalam setiing kelas reguler, sehingga
mereka bisa mengikuti proses belajar sesuai dengan fase perkembangan dan
kebutuhannya.
Kurikulum yang digunakan di kelas inklusif adalah kurikulum anak normal
(reguler) yang disesuaikan dan dimodifikasi sesuai dengan kemampuan awal
dan karakteristik anak tersebut. Beberapa komponen kurikulum yang dapat
dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan anak yaitu tujuan pembelajaran
materi, strategi pembelajaran, media pembelajaran, serta evaluasi.
2) Pengertian Inklusi
Pendidikan inklusi lahir sebagai bentuk ketidakpuasan penyelenggaraan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan mengunakan sistem
segresi. Sistem segresi adalah sistem penyelenggaraan sekolah yang
diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki kelainan atau anak-anak
berkebutuhan khusus. Sistem ini dipandang bertentangan dengan tujuan
pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Di mana tujuan penyelenggaraan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah untuk mempersiapkan mereka
untuk dapat berinteraksi sosial secara mandiri di lingkungan masyarakatnya.
Namun dalam proses penyelenggaraan pendidikannya, sistem segregasi justru
28
dipisahkan dengan lingkungan masyarakatnya, khususnya terjadi di masyarakat
kita. Hal inilah yang akhirnya melahirkan suatu sistem baru dalam model
pelaksanaan pendidikan anak ABK. Sistem itu kemudian disebut dengan
pendidikan inklusi.
Pendidikan inklusi menurut Mulyani (2009:20) mempunyai pengertian yang
beragam. Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas
yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa,
maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-
anak berhasil.
Untuk itu pendidikan inklusi adalah suatu bentuk layanan pendidikan pada
siswa ABK yang terbaru yang menggantikan model layanan pendidikan yang
lama dimana dalam pendidikan inklusi siswa ABK diterima di sekolah biasa atau
sekolah reguler.
3) Tujuan Pendidikan Inklusi
Tujuan adanya pendidikan inklusi menurut Santoso (2012:25) diantara lain:
a. Menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas, menciptakan dan
menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan
menghargai perbedaan, menciptakan suasana kelas yang menampung semua
anak secara penuh dengan menekankan suasana kelas yang menghargai
perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku,
29
agama, dan sekaligus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi
fisik, sosial, intelektual, bahasa dan lainya.
b. Memberikan kesempatan agar memperoleh pendidikan yang sama,dan terbaik
bagi semua anak dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan bagi yang
memiliki kecerdasan tinggi, bagi yang secara fisik dan psikologi memperoleh
hambatan dan kesulitan baik yang permanen maupun yang sementara
Salah satu tujuan utama adanya pendidikan inklusi adalah untuk mendorong
terwujudnya partisipasi penuh ABK dalam kehidupan bermasyarakat, selain itu
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua ABK guna
mendapatkan pendidikan yang layak.
4) Model Pembelajaran Pada Pendidikan Inklusi
Menurut Heiman (2007:38) terdapat empat model pendidikan inkluif,
diantaranya:
a. In-and-out
Adalah model pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus di mana anak-
anak tersebut keluar masuk kelas regular pada pembelajaran tertentu,
b. Two-teachers
Adalah model pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan
menggunakan dua orang guru, yaitu guru regular dan guru pembimbing khusus
(GPK).
c. Full inclusion
30
Adalah model pembelajran bagi anak –anak berkebutuhan khusus di mana
siswa-siswa dengan siswa-siswa regular lainnya di kelas yang sama.
d. Rejection of inclusion
Adalah model pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus di mana
siswa-siswa berkebutuhan khusus belajar terpisah dengan siswa-siswa regular
lainnya.
Anak berkebutuhan khusus dapat secara fleksibel pindah dari satu bentuk
layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti bentuk kelas regular penuh, regular
dengan cluster, regular dengan pull out, reguler dengan cluster dan pull out,
khusus dengan berbgai pengintegrasian, dan khusus penuh di sekolah reguler.
a. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas
reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
b. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam
kelompok khusus.
c. Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersamaa anak lain (normal) di kelas reguler namun
dalam sewaktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber
untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
d. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
31
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam
kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler
ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
e. Kelas khusus dengan berbagai pengitegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun
dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler.
f. Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak
berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya
(inklusi penuh) , karena sebagian anak dapat berada di kelas khusus atau ruang
terapi berhubung gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak
waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokal). Kemudian,
bagi yang gradasi kelainannya sangat berat , dan tidak memungkinkan di sekolah
reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat
khusus (rumah sakit).
Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan,
terutama bergantung kepada: jumlah anak berkelainan yang akan dilayani, jenis
kelaianan masing-masing anak, gradasi (tingkat) kelainan anak, ketersediaan dan
kesiapan tenaga kependidikan yang ada di sekolah tersebut, serta sarana-prasarana
yang tersedia.
32
5) Peran GPK dan Shadow
Tercapainya suatu tujuan pendidikan inklusi dengan baik tidak lepas dari
peran seorang GPK. GPK sesuai dengan buku pedoman dan penyelenggaraan
pendidikan inklusif tahun 2007 adalah guru yang mempunyai latar belakang
pendidikan khusus/pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapatkan pelatihan
tentang pendidikan khusus/pendidikan luar biasa yang ditugaskan di sekolah
inklusi.
Pedoman khusus penyelenggara inklusi tahun 2007 tugas GPK antara lain
adalah:
a. Menyususn instrumen asesemen pendidikan bersama-sama dengan guru
kelas dan guru mata pelajaran
b. Membangun sistem koordinasi antara guru, pihak sekolah dan orang tua
peserta didik
c. Melaksanakan pendampingan ABK pada kegiatan pembelajaran bersama-
sama dengan guru kelas /guru pelajaran/guru bidang studi
d. Memberikan bantuan layanan khusus yang mengalami hambatan dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa remidi atau
pengayaan
e. Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan memmbuat catatan
khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus selama mengikuti
pembelajaran yang dapat dipahami jika terjadi pergantiaan guru
33
f. Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas dan atau/guru
mata pelajaran agar mereka dapat memberikan layanan pendidikan untuk
siswa ABK.
Untuk itu dalam pelaksanaan pendidikan inklusi peran dan keberadaan
seorang GPK cukup begitu vital. Karena apabila tidak adanya GPK di suatu
sekolah inklusi dapat menghambat pelaksaan proses pendidikan inklusi.
Selain GPK, di sekolah inklusi juga terdapat sadow dimana peran sadow juga
turut membantu GPK dalam hal penanganan siswa ABK. Peran sadow dalam
layanan khusus kelas inklusi ialah membantu dan mengajari anak berkebutuhan
khusus pada saat proses pembelajaran di kelas, dengan demikian anak tersebut
dapat mengikuti materi yang telah dijelaskan oleh guru dan bisa mengikuti teman-
temannya yang lain. Selain itu sadow juga bertugas untuk membantu komunikasi
dengan temen disekelilingnya atau dengan guru. Karena tidak semua siswa non
ABK atau orang lain disekelilingnya mengerti apa yang dimaksud siswa
berkebutuhan khusus tersebut.
34
2. Kajian Penelitian Relevan
Penelitian mengenai interaksi siswa ABK dan siswa Non ABK di sekolah
inkusi pernah dilakukan oleh orang lain. Penelitian tersebut dilakukan oleh Indar
Mery Handayani (2013) dengan judul “Interaksi Sosial Anak Berkebutuhan
Khusus Di SDN 016/016 Samarinda (Studi kasus anak penyandang autis). Tujuan
Penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana interaksi sosial anak penyandang
autis di sekolah inklusi. Penelitian merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang
bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana interaksi sosial
siswa penyandang autis di sekolah inklusi.
Hasil dari penelitian ini meliputi komunikasi anak autis di SDN Samarinda
016/016 yang menyatakan bahwa apabila kondisi anak sedang stabil, maka proses
interaksi akan berjalan baik. Akan tetapi apabila keadaan mereka tidak stabil akan
membuat guru ataupun teman yang berada di sekitarnya tidak dapat memahami
dengan baik, sehingga proses interaksi sosial akan sedikit terganggu. Hasil
penelitian yang lain ialah kerja sama anak autis, hasil penelitian menujukkan
bahwa ada suatu kerja sama yang dengan adanya kesamaan kegemaran yang
sama, namun jika terdapat perbedaan kegemaran maka anak autis kurang bisa
diajak berkerja sama.
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah sama-sama
menganalis interaksi sosial siswa ABK di sekolah inklusif. Sedangkan
perbedaanya terletak pada subyek penelitian yang di diteliti. Jadi penelitian Indar
35
Mery Handayani meneliti interaksi anak autis sedangkan penelitian penulis
mencakup semua anak berkebutuhan khusus yang ada di SDN Jatimulyo 01
Malang.
36
3. Kerangka Pikir
Pendidikan inklusi adalah dimana sekolah reguler menerima siswa ABK dan kemudian siswa
ABK aktivitas belajar serta interaksi sosial bersama dengan siswa non ABK
Siswa ABK Siswa non ABK
Terjadi interaksi sosial di kelas
Pelaksanaan pendidikan
inklusi
Interaksi sosial siswa ABK
dan siswa non ABK
Upaya guru
mengoptimalkan
interaksi sosial siswa
ABK dan siswa non
ABK
Teknik pengumpulan data:
1. Wawancara
2. Observasi
3. Dokumentasi
Teknik analisis data:
1. Reduksi data
2. Penyajian dsta
3. Penarikan
kesimpulan
Sumber data:
1. Kepala sekolah
2. GPK
3. Siswa ABK
4. Siswa non ABK
1. Deskripsi pelaksanaan pendidikan inklusi di SDN Jatimulyo 01 Malang
2. Deskripsi interaksi sosial siswa ABK dan siswa non ABK di SDN Jatimulyo 01
Malang
3. Deskripsi upaya guru dalam membantu mengoptimalkan interaksi sosial siswa ABK
dan siswa non ABK di SDN jatimulyo 01 Malang