Post on 14-Dec-2014
BAB IPENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pengambilan judul tentang pelestarian permukiman Tradisional Dusun
Ende, dilatar belakangi oleh potensi lahan pertanian yang baik, budaya dan adat
istiadat serta permukiman tradisionalnya yang masih tetap terjaga, yang dapat
dikembangkan secara lebih jauh. Selain itu, juga di latar belakangi oleh beberapa
permasalahan diantaranya: Terdapat beberapa bangunan tradisional tampak
kurang terawat dan hilangnya beberapa elemen bangunan disebabkan
pemeliharaan bangunan yang sangat tergantung pada tingkat ekonomi masing-
masing pemiliknya, adanya kecenderungan masyarakat ingin mengalami
perubahan dalam bentuk dan konstruksi bangunan rumah, terlihat dari
berkembangnya ruang-ruang baru (rumah semi permanen) di sekitar batas
pekarangan yang di khawatirkan akan merusak konsep tata ruang permukiman
tradisional, dan belum adanya kebijakan khusus yang mengatur tentang bentuk
pelestarian kawasan Desa budaya di Dusun Ende tersebut.
Sejak lama di sadari bahwa budaya memiliki peran yang sangat penting
dalam membentuk struktur ruang permukiman. Penggambaran struktur ruang
permukiman juga dapat di lihat dari sisi budaya lain seperti pada pelaksanaan
ritual dan acara keagamaan. Acara ini bersifat rutin akan tetapi ruang yang
digunakan tidak semata untuk ritual saja, sehingga strukturnya juga nampak
temporal. Bagi masyarakat Sasak tradisional, rumah bukan sekadar tempat hunian
yang multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika dan pesan-pesan filosofi
bagi penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya.
Pola tata ruang permukiman tradisional serta gaya arsitektur tradisional
yang terdapat di Dusun Ende merupakan salah satu bentuk seragam serta budaya
yang kaya akan nilai sejarah, filosofi, seni, dan budaya masyarakat setempat. Oleh
karena itu Dusun Ende perlu mendapatkan perhatian khusus yang dimaksudkan
untuk tetap memperhatikan eksistensi dan kesinambungan prinsip-prinsip ke
dalam tradisi yang baku, yaitu berupa pola tata ruang permukiman tradisional
yang telah terwujud dalam ruang tradisional Dusun Ende.
1
Namun sayangnya pada saat ini arahan dari pemerintah mengenai
permukiman tradisional belum terlalu menegenai terhadap pelestarian
permukiman tradisional yang sebenarnya.
Pembentukan pola permukiman berdasarkan aturan adat Ende yang di
wariskan secara turun temurun menjadi suatu hal yang menarik. Namun
sayangnya desa adat ini kurang di ketahui oleh perhatian masyarakat luar kota
maupun luar negeri. Pada perumahan ini elemen permukimannya meliputi
rumah/bale, berugaq, dapur/pawon, lumbung, KM/WC, dan kandang. Dalam
menata rumah dan elemen lain memiliki pola berjajar, dalam arti bale semua
berjajar dalam satu garis lurus, demikian juga dengan berugaq dan lumbung atau
kandang.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas, yaitu :
1. Bagaimana karakteristik permukiman Adat Ende ?
2. Bagaimana kelayakan Desa Ende sebagai Desa Adat atau permukiman
Tradisional ?
3. Bagaimana arahan pelestarian Desa Ende ?
I.3. Tujuan Penelitian
Dari berbagai rumusan-rumasan masalah di atas, maka dapat di ketahui
tujuannya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui karakteristik permukiman baik dari segi fisik maupun
sosial budayanya.
2. Untuk mengetahui kelayakan Desa Ende sebagai Desa Adat.
3. Untuk mengetahui arahan pelestarian Desa Ende.
2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
II.1. Landasan Teori
Pada landasan ini menjelaskan mengenai dasar-dasar sebagai panduan
dalam mengdentifikasi suatu permukiman baik dari karakteristik social budaya
ataupun karakteristik pola perumahan dan permukimannya.
II.1.1. Permukiman Tradisional
Permukiman tradisional adalah tempat dimana yang masih
memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai
kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu
masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar
determinasi sejarah (Sasongko 2005).
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari
kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan merupakan sebuah endapan dari kegiatan dan karya
manusia yang meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang
berbudi luhur dan mempunyai sifat kerohanian. Para ahli antropologi
mengatakan kebudayaan merupakan sebuah dinamika masyarakat namun
belum terjawab secara definisi mengenai kebudayaan yang sebenarnya.
Seperti Robet H Lowie mengatakan bahwa sebuah kebudayaan
mempunyai sifat abstrak dari prilaku nyata manusia yang berlokasi dari
otak manusia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville
J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala
sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu
adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai
3
sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang
kemudian disebut sebagai superorganic.
II.1.2. Arsitektur Tradisional Sasak
Rumah-rumah yang ada di Sasak sangat berbeda dengan orang-
orang Bali. Di dataran, rumah orang Sasak cendrung luas dan melintang.
Desa-desa di gunung terpencil tertata rapi dan mengikuti perencanaan
yang pasti. Di bagian utara, tata ruang desa-desa pegunungan yang ideal
terdiri atas dua baris rumah (bale), dengan sederet lumbung padi di satu
sisi, dan di antara rumah-rumah ada sederet balai bersisi terbuka (beruga)
dibagun diatas enam tiang. Bagunan lain di desa adalah rumah besar (bale
bele) milik para pejabat keagamaan, yang konon didiami arwah leluhur
yang sakti. Semtara makam leluhur yang sebenarnya merupakan rumah-
rumah kayu dan bambu kecil dibangun di atasnya.
Dalam arsitektur Sasak, bangunan tradisionalnya juga memiliki
bagian dan fungsinya tersendiri. Menurut Saptaningtyas (2006:14) faktor
yang dinilai sangat penting dalam perencanaan dan pembangunan
arsitektur tradisional Sasak adalah skala dan ukuran bangunan yang
diperhitungkan dengan sangat teliti. Selain skala, ketepatan jumlah
hitungan dari ukuran masing-masing unit rumah juga menjadi perhatian
utama, karena dipercaya ada pengaruhnya terhadap kehidupan
penghuninya yang menyangkut keselamatan, kabahagiaan, kemujuran,
rejeki dan lain sebagainya.
a. Rumah ; Tumah orang Sasak, yang berdenah persegi, tidak
lazim disbandingkan dengan bentuk arsitektur asli daerah lain
dalam hal ini di dalamnya tidak disangga oleh tiang-tiang.
Bubungan atap curam dengan atap jerami berketebalan kurang
lebih 15 cm, menganjur ke dinding dasar yang menutup
panggung setinggi sekitar satu meter setengah terbuat dari
campuran lumpur, kotoran kerbau, dan jerami yang
permukaannya halus dan dipelitur. Perlu tiga atau empat
langkah untuk mencapai ke rumah bagian dalam (dalam bale)
di atas panggung ini, yang ditutup dinding anyaman bamboo,
dan sering kali dilengkapi dengan daun pintu ganda yang diukir
halus. Anak laki-laki tidur di panggung di luar dalam bale;
4
anak perempuan di dalamnya. Rumah bagian dalam berisi
tungku di sisi sebelah kanan, dengan rak untuk mengeringkan
jagung di atasnya. Di sisi sebelah kiri dibagi untuk kamar tidur
bagi para anggota rumah tangga, berisi sebuah rumah tidur
dengan rak langit-langit untuk menyimpan benda-benda pusaka
dan berharga di atasnya. Bagian ini merupakan tempat untuk
melahirkan anak. Kayu bakar disipan di bagian belakang
rumah, dibawah panggung.
b. Masjid Wetu Telu ; Sebanyak kurang lebih 28.000 orang Sasak
taat pada bentuk sinkretis islam yang ditunjukan dalam Wetu
Telu, yang menggabungkan hindu dan kepercayaan animisme
asli. Masjid Wetu Telu sering dibangun dengan gaya asli dari
kayu dan bamboo, serta atap terbuat dari alang-alang atau sirap
bamboo. Dengan bentuk denah persegit empat dan atap piramid
tumpang yang di sangga dengan empat tiang, apabila
diperhatikan maka akan terlihat mirip dengan masjid lama
Ternate dan Tidore.
c. Lumbung Padi ; lumbung padi menjadi cirri pembeda arsitektur
suku Sasak. Bangunan itu dinaikan pada tiang-tiang dengan
cara khas Austronesia dan memakai atap berbentuk “topi”
yang tidak lazim, ditutup dengan ilalang. Empat tiang besar
menyangga tiang balok melintang di bagian atas, tempat
kerangka, atap penopang dengan kaso bambu bersandar. Satu-
satunya bukaan adalah sebuah lubang persegi kecil yang
terletak tinggi di atas ujung sopi-sopi, yang merupakan tempat
penyimpanan padi hasil panen. Piringan kayu yang besar
(jelepreng) disusun di atas puncak tiang dasar untuk mencegah
hewan pengerat mencapai tempat penyimpanan padi.
d. Bale Tani ; Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat
tinggal dari masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai ‘petani’.
Bale Tani berlantaikan tanah dan terdiri dari beberapa ruangan,
yaitu: satu ruang untuk serambi (sesangkok) dan satu ruang
untuk kamar (dalem bale). Walaupun ‘dalem bale’ merupakan
ruangan untuk tempat tidur, tetapi kamar tersebut tidak
5
digunakan sebagai tempat tidur. Dalem bale digunakan sebagai
tempat menyimpan barang (harta benda) yang dimilikinya atau
digunakan sebagai tempat tidur anak perempuannya, sedangkan
anggota keluarga yang lain tidur di serambi (=sesangkok).
Untuk keperluan memasak (dapur), keluarga Sasak membuat
tempat khusus yang disebut ‘pawon’. Desain atapnya dengan
sistem jurai yang terbuat dari alang-alang (rumbia) atau dari
bahan penutup ‘jerami’ di mana ujung atap bagian serambi
(sesangkok) sangat rendah, tingginya sekitar kening orang
dewasa. Dinding rumah bale tani pada bagian dalem bale
terbuat dari bedek (anyaman bamboo), sedangkan pada
sesangkok tidak menggunakan dinding. Posisi dalem bale lebih
tinggi dari pada sesangkok oleh karena itu untuk masuk dalem
bale dibuatkan tangga (undakundak) yang biasanya dibuat tiga
trap dengan pintu yang dinamakan ‘lawangkuri’.
e. Bale Jajar ; Bale jajar merupakan bangunan rumah tinggal
orang Sasak golongan ekonomi menengah ke atas. Bentuk bale
jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan adalah
jumlah dalem balenya. Bale jajar mempunyai dua kamar
(dalem bale) dan satu serambi (sesangkok), kedua kamar
tersebut dipisah oleh lorong/koridor dari sesangkok menuju
dapur di bagian belakang. Ukuran kedua dalem bale tersebut
tidak sama, posisi tangga/pintu koridornya terletak pada
sepertiga dari panjang bangunan bale jajar. Bahan yang
dibutuhkan untuk membuat bale jajar adalah tiang kayu,
dinding bedek dan alang-alang untuk membuat atap.
Penggunaan alang-alang, saat ini, sudah mulai diganti dengan
menggunakan genteng tetapi dengan tidak merubah tata ruang
dan ornamennya. Bangunan bale jajar biasanya berada di
komplek pemukiman yang luas dan ditandai oleh keberadaan
sambi yang menjulang tinggi sebagai tempat penyimpanan
kebutuhan rumah tangga atau keluarga lainnya. Bagian depan
bale jajar ini bertengger sebuah bangunan kecil (disebut
berugaq atau sekepat) dan pada bagian belakangnya terdapat
6
sebuah bangunan yang dinamakan ‘sekenam’, bangunan seperti
berugaq dengan tiang berjumlah enam.
f. Barugak/ Sakepat ; Rumah adat sasak Berugaq / sekepat
mempunyai bentuk segi empat sama sisi (bujur sangkar) tanpa
dinding, penyangganya terbuat dari kayu, bambu dan alang-
alang sebagai atapnya. Berugaq atau sekepat biasanya terdapat
di depan samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani.
Berugaq/sekepat ini didirikan setelah dibuatkan pondasi
terlebih dahulu kemudian didirikan tiangnya. Di antara keempat
tiang tersebut, dibuat lantai dari papan kayu atau bilah bambu
yang dianyam dengan tali pintal (Peppit) dengan ketinggian 40
– 50 cm di atas permukaan tanah. Fungsi dan kegunaan
berugaq / sekepat adalah sebagai tempat menerima tamu,
karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang
boleh masuk rumah. Berugaq / sekepat juga digunakan pemilik
rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang
datang midang (melamar).
g. Sekenam ; Sekenam bentuknya sama dengan berugaq/sekepat,
hanya saja sekenam mempunyai mempunyai tiang sebanyak
enam buah dan berada di bagian belakang rumah. Sekenam
biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar
tata krama, penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat
pertemuan internal keluarga.
h. Bale Bonter ; Bale bonter merupakan bangunan tradisional
Sasak yang umumnya dimiliki oleh para perkanggo/Pejabat
Desa, Dusun/kampong. Bale bonter biasanya dibangun di
tengah-tengah pemukiman dan atau di pusat pemerintahan
Desa/kampung. Bale bonter dipergunakan sebagai temopat
pesangkepan / persidangan adat, seperti: tempat penyelesaian
masalah pelanggaran hokum adat, dan sebagainya. Bale bonter
juga disebut gedeng pengukuhan dan tempat menyimpanan
benda-benda bersejarah atau pusaka warisan keluarga. Bale
bonter berbentuk segi empat bujur sangkar, memiliki tiang
paling sedikit 9 buah dan paling banyak 18 buah. Bangunan ini
7
dikelilingi dinding bedek sehingga jika masuk ke dalamnya
seperti aula, atapnya tidak memakai nock/sun, hanya pada
puncak atapnya menggunakan tutup berbentuk kopyah
berwarna hitam.
i. Bale Beleq Bencingah ; Bale beleq adalah salah satu sarana
penting bagi sebuah Kerajaan. Bale beleq diperuntukkan
sebagai tempat kegiatan besar Kerajaan sehingga sering juga
disebut “Bencingah.” Adapun upacara kerajaan yang biasa
dilakukan di bale beleq diantaranya adalah: (1) Pelantikan
pejabat kerajaan, (2) Penobatan Putra Mahkota Kerajaan, (3)
Pengukuhan / penobatan para Kiai Penghulu (Pendita)
Kerajaan, (4) Sebagai tempat penyimpanan benda-benda
Pusaka Kerajaan seperti persenjataan dan benda pusaka lainnya
seperti pustaka /dokumen-dokumen Kerajaan, dsb.
j. Bale Tajuk ; Bale tajuk merupakan salah satu sarana pendukung
bagi bangunan rumah tinggal yang memiliki keluarga besar.
Bale tajuk berbentuk segi lima dengan tiang berjumlah lima
buah dan biasanya berada di tengah lingkungan keluarga
Santana. Tempat ini dipergunakan sebagai tempat pertemuan
keluarga besar dan pelatihan macapat takepan, untuk
menambah wawasan dan tata krama.
k. Bale Gunung Rate dan Bale Balaq ; Selain jenis bangunan yang
telah disebut di atas, adapula jenis bangunan lain yang
dibangun berdasarkan kondisi-kondisi khusus, seperti bale
gunung rate dan bale balaq. Bale gunung rate biasanya
dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan,
sedangkan bale balaq dibangun dengan tujuan untuk
menghindari bencana banjir, oleh karena itu biasanya berbentuk
rumah panggung.
II.2. Kebijakan tentang Permukiman
Menurut undang-undang nomor 4 tahun 1992, permukiman adalah
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik kawasan perkotaan maupun
8
perdesaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan.
a. Undang- undang mengenai permukiman tradisional.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, permukiman adalah
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik kawasan perkotaan
maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan;
Menurut Sinulingga (1999: 187), permukiman adalah gabungan 4
elemen pembentuknya (lahan, prasarana, rumah dan fasilitas umum)
dimana lahan adalah lokasi untuk permukiman. Kondisi tanah
mempengaruhi harga rumah, didukung prasarana permukiman berupa
jalan lokal, drainase, air kotor, air bersih, listrik dan telepon, serta
fasilitas umum yang mendukung rumah;
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, perumahan adalah
kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan, sedangkan rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
BAB III
9
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian akan dilakukan, beserta
jalan dan kota/kabupatennya. Dalam penelitian ini saya mengambil di Desa Adat
Ende yang terletak di Jl. Priwisata, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten
Lombok Tengah.
Lombok tengah merupakan salah satu Kabupaten dari Provinsi NTB yang
memiliki beberapa titik-titik lokasi Desa Adat atau Permukiman Tradisional
dengan potensi yang baik yaitu kerajinan tangan (nyesek songket dan patung ukir)
dan pertanian yang memiliki hasil yang baik.
3.2. Rancangan Penelitian
Penelitian kualitatif lebih menitik beratkan diri pada
pendekatan emik, akan tetapi walaupun sudah jelas batas-batas
dan caranya, masih saja terdapat pekerjaan yang berada di
antara emik dan etik (Moleong,1991:59). Pendekatan emik oleh
Moleong (1991:54) adalah struktural yang berarti peneliti
berasumsi bahwa perilaku manusia terpola dalam sistem pola itu
sendiri. Satuan-satuan dari sistem terpola tersebut bersama-
sama dengan satuan-satuan kelompok struktural itu membentuk
masyarakat tertentu melalui aksi dan reaksi para anggotanya.
Menurut Moleong (1994:5), dalam penelitian kualitatif
digunakan metoda kualitatif dengan pertimbangan, (1)
menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan
dengan kenyataan ganda, (2) metode ini menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden, dan
(3) metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri
dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi.
Sugiyono (2008:222) mengatakan bahwa metode kualitatif
digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data
yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya,
10
data yang pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data yang
tampak. Penelitian Pelestarian Pola Permukiman (P3) di Desa Adat
Wisata di Dusun Ende di Desa Sengkol, Lombok Tengah.
Rancangan Penelitian
3.3. Variabel Penelitian
11
Kurangnya perhatian dan optimaliasi terhadap potensi yang dimiliki oleh Dusun Ende
belum adanya arahan khusus yang mengatur tentang bentuk
pelestarian kawasan Desa budaya di Dusun Ende tersebut.
mengidentifikasi karakteristik permukiman dan kelayakan desa sebagai Desa Adat terkait dengan upaya
pelestarian permukiman di Desa Adat Ende.
Bagaimana pengembangan pelestarian permukiman tradisional berdasarkan dengan konsep Dusun Ende
Analisis- Informasi;- Karakteristik
fisik permukiman;
- Karakteristik
Analisis Kelayakan
- Nilai historis;- Keistimewaan;
- kelangkaan;- kejamakan; dan
Arahan Pelestarian
Kesimpulan
Dengan adanya masalah itu, kemudian rumusan masalah dapat
dikembangakan. Rumusan masalah pada umumnya berupa kalimat pertanyaan.
Dari pertanyaan-pertanyan yang ada pada rumusan masalah tersebut nantinya
akan menjawab variabel penelitian. Menurut Sugiono (2009) menyatakan bahwa
“Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut, yang kemudian ditarik kesimpulannya”. Suatu variabel
mengandung variasi. Variasi dalam variabel tersebut diperoleh dari sekelompok
sumber data atau obyek yang bervariasi. Variabel dapat dipelajari yang kemudian
bisa ditarik kesimpulan. Hubungan antara variabel yang satu ke variabel yang lain
perlu kita ketahui bagamaina hubungannya. Oleh karena itu, dari rumusan-
rumusan masalah maka dapat di tentukan suatu variabel yaitu Variabel Pelestarian
Permukiman.
Tabel. 3.3. Operasionalisasi Variabel Penelitian
No. Sasaran Kriteria Variabel Sub Variabel/ Parameter
1 Identifikasi Karakteristik Permukiman
Karakteristik Fisik
Fisik Bangunan Keadaan rumah: material yang masih
baik dan bersifat alami. struktur bangunan yang
terdiri dari pondasi, dinding, dan atap.
Keadaan kandang: material yang bersifat
alami (natural). struktur bangunan yang
terdiri dari tiang penegak dan atap saja.
Keadaan koperasi: material penggunaan
bangunannya yang bersifat natural
struktur bangunannya terdiri dari dinding dan atap saja.
Struktur Ruang Bangunan
Rumah: Tangga Sengko (tangga
undakan luar). Ada ruang Sengko,
yang terdiri dari :
12
sesangkok kiri dan sesangkok kanan.
Tangga Bale dalem (tangga undakan dalem)
Dalem Bale, yang terdiri dari : ruang tidur, pawon dan sempare.
Kandang: Kandang yang terdiri
dari : ruang kerbau dan penempatan rumput kerbau.
Koperasi: Ruang Koperasi yang
terdiri dari : ruang pengunjung, dan penempatan barang-barang hasil karya tangan warga Ende.
Pola Ruang Permukiman
Konsep arah matahari: menghadap ke arah
timur (sinar matahari) menunjukkan pembentukan karakter masyarakat Sasak bahwa yang muda melindungi yang tua.
Konsep sejajar dan seragam: Suatu kelompok dan
dapat dikatakan secara keseluruhan merupakan satu warga besar yang terdiri atas anak, cucu, kemenakan, merupakan satu kesatuan dari keluarga.
Karakteristk Sosial
Kependudukan Kekerabatan: Asal muasalnya
keberadaan masyarakat Ended an terbentuknya Dusun tersebut.
Tingkat kependudukan: Tingkat penduduk yang
masih rendah dengan jumlah 19 kk = 76
13
Orang.
Kehidupan Ekonomi: Dengan cara bertani dan
kerajinan tangan.
Kehidupan Religi: Semua penduduk Dusu
Ende beragama Islam.
Kebudayaan Upacara adat antara Manusia dengan Tuhan
Rowah Wulan dan Sampet Jum’at
Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
Lebaran Pendek Mulud
Upacara adat antara Manusia dengan Manusia
Buang Au Ngurisang dan Molang-
Malik Ngitangan Merosok Merari’, Mentikah, dan
Sorong Serah Sajikrama
Rowah Bale Gawe Pati
3 Identifikasi kelayakan permukiman adat Dusun Ende
Budaya Sejarah Keistimewaan Estetika
Mempertahankan fungsi-fungsi bangunan serta keistimewaan sejarah terbentuknya Dusun tersebut.
4 Arah Pengembangan
Pelestarian Preservasi dan Konservasi
Selain mempertahankan guna mengembangkan dan menjadikan Permukiman Tradisional yang benar-benar Original.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Rachman, bahwa penelitian menggunakan metode yang tepat,
juga perlu memilih teknik dan alat pengumpulan data yang relevan.
Metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah dengan proses triangguasi, yaitu:
14
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewancara
(interviuewer) yang mengajukan pertanyaan dari yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan atas itu. Wawancara digunakan untuk
mendapatkan suatu data informatik dan orientik mengenai keadaan
permukiman (settleman) di Desa Adat Ende.
Metode interview adalah sebuah dialog atau Tanya jawab yang
dilakukan dua orang atau lebih yaitu pewancara dan terwancara (nara
sumber) dilakukan secara berhadap-hadapn (face to face).
Sedangkan interview yang penulis gunakan adalah jenis interview
pendekatan yang menggunakan petunjuk umum, yaitu mengharuskan
pewancara membuat kerangka dan garis-garis besar atau pokok-pokok
yang dinyatakan dalam proses wawancara, penyusunan ini dilakukan
sebelum wawancara.
2. Pengamatan/observasi
Sebagai metode ilmiahobservasi dapat di artikan sebagai
pengamatan, meliputi pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan
menggunakan seluruh alat indra. Jadi observasi merupakan suatu
penyelidikan yang dilakukan secara sistematik dan sengaja di adakan
dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian yang
berlangsung dan dapat di analisa pada waktu kejadian itu terjadi.
Metode ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung terhadap kondisi yang akan diteliti. Dimana dilakukan
pengamatan atau pemusatan perhatian terhadap obyek dengan
menggunakan seluruh alat indra, jadi mengobservasi dilakukan melalui
penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya.
3. Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang berarti barang
tertulis, metode dokumentasi berarti cara pengumpulan data dengan
mencatat data-data yang sudah ada. Metode dokumentasi adalah mencari
data hal-hal atau variabel yang berupa catatan buku, surat, transkrip,
majalah, prasasti, motulen, rapat, lengger, agenda dan sebagainya.
15
Namun pada study ini dokumentasi yang kami artikan sebagai
gambar sebuah obyek survey yang lebih mengarah ke gambar fasade
bangunan maupun kawasan survey.
3.5. Metode Analisis Data
Dari data yang telah di dapatkan maka dapat dilakukan suatu analisis
dengan Metode Analisis Deskriptif dan Kualitatif. Metode kualitatif adalah
pengamatan seorang peneliti untuk menginterpretasikan suatu obyek dimana
tempat melakukan riset.
1. Tahap pertama: mengidentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat
Dusun Ende.
a. Tinjauan sejarah dan perkembangan Dusun Ende dan budaya
bermukim masyarakat Suku Sasak Ende yang meliputi sejarah
munculnya dusun dan permukiman tradisional.
b. Analisis sosial budaya (Koentjaraningrat, 1982)
1) Sistem kelembagaan;
2) Sistem kemasyarakatan/kekerabatan;
3) Kehidupan ekonomi; dan
4) Kehidupan budaya dan religi
Hasil interpretasi sejarah dan pengaruhnya terhadap karakteristik
sosial budaya masyarakat Dusun Ende, dijadikan dasar untuk mendukung
kajian untuk analisis karakteristik pola tata ruang permukiman tradisional.
2. Tahap kedua: mengidentifikasi pola tata ruang permukiman Dusun Ende
dan menganalisis kesesuaiannya dengan konsep pola tata ruang tradisional
Suku Sasak.
a. Analisis tata guna lahan dilakukan untuk melihat elemen apa saja yang
membentuk ruang permukiman, pengaruhnya terhadap pemanfaatan
guna lahan, dan peletakan elemen berdasarkan konsep yang dikenal
dalam pola tata ruang tradisional Suku Sasak. Selanjutnya, untuk
melihat keterkaitan antar elemen-elemen pembentuk kawasan
pedesaan, dilakukan analisis dengan teknik super impose guna lahan.
Kajian elemen pembentuk kawasan pedesaan meliputi:
1) Perairan;
16
2) Hutan;
3) Permukiman;
4) Pertanian;
5) Infrastruktur; dan
b. Analisis ruang budaya dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan
hirarki ruang dan sifat penggunaan ruang yang ada di Dusun Ende.
Pendekatan yang dilakukan adalah secara eksploratif, dengan melihat
fungsi dan kepentingan ruang permukiman dari hasil analisis
kehidupan budaya dan religi dan kegiatan masyarakat sehari-hari.
c. Analisis pola tata ruang tempat tinggal. Pada tahap ini, analisis
dilakukan dengan mengidentifikasi tiga variabel, yaitu di antaranya:
1) Fisik bangunan dan pekarangan;
2) Struktur tata ruang tempat tinggal; dan
3) Pola tata bangunan.
3. Tahap ketiga: menentukan arahan pelestarian secara fisik dan non fisik
berdasarkan analisis pola permukiman sebelumnya dengan kondisi
bangunan eksisisting yang ada.
17
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Sejarah Terbentuknya Permukiman Tradisional Sasak Dusun Ende
Dusun Ende adalah salah satu permukiman tradisional di pulau Lombok
dan kalau di lihat dari segi kualitas bangunannya masih terlihat sangat natural
karena belum adanya bangunan-bangunan yang mempengaruhi fasade bangunan
di Dusun tersebut.
Terbentuknya Dusun Ende berasal dari pecahan kerajaan tertua di Pulau
Lombok akibat dari meletusnya gunung Rinjani masing-masing sekelompok orang
membangun suatu permukiman di berbagai tempat termasuk salah satunya di Desa
Sengkol. Kata Ende merupakan salah satu bahasa dari suku sasak yang berarti
perisai. Dimana fungsi perisai sebagai alat atau tameng dalam berperang pada
zaman terdahulu. Namun pada saat ini perisai (Ende) itu di gunakan sebagai salah
satu alat dalam melakukan suatu adat kesenian bela diri yang di kenal dengan
sebutan “Presean”. Presean adalah sebuah tradisi yang digelar rutin tiap tahun oleh
masyarakat suku Sasak di mana dalam Presean ini diadakan sebuah pertarungan
antar dua orang di arena dengan bersenjatakan sebilah rotan dengan lapisan aspal
dan pecahan kaca yang dihaluskan, sedangkan perisai (Ende) terbuat dari kulit
lembu atau kerbau. Setiap pemainnya/pepadu dilengkapi dengan ikat kepala dan
kain panjang. Tak heran jika di lihat dari segi pola permukian pada dusun ini
berbentuk persegi yang melambangkan model dari suatu Perisai.
18
Gambar 4.1. Kesenian Bela Diri Suku Sasak (sumber: Google)
4.2. Identifikasi Kawasan
Dusun Ende merupakan salah satu Permukiman Tradisional yang terdapat
di Pulau Lombok yang terletak di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten
Lombok Tengah.
Sketsa. 4.2. Dusun Ende
4.3. Karakteristik Fisik
4.3.1. Struktur Ruang Permukiman
Permukiman di Desa Adat Ende terbentuk karena adanya
keterikatan secara keturunan. Sama seperti di wilayah lainnya di Pulau
Lombok, masyarakatnya hidup secara mengelompok. Masyarakat di Desa
Adat Ende tinggal bersama atau berkelompok mengikuti garis keturunan
ayah (patrilineal). Keturunan laki-laki yang baru menikah biasanya akan
membangun rumah baru di lahan yang sama dengan orang tuanya.
Kepercayaan masyarakat terhadap susunan letak rumah dalam satu rumpun
keluarga berdasarkan senioritas terus diturunkan kepada anak cucu
mereka.
Hal ini didukung dengan keyakinan masyarakat Ende akan adanya
sanksi jika tidak mengikuti aturan adat ini. Sanksi yang dipercaya adalah
19
keluarga yang melanggar akan terkena musibah penyakit. Selain itu juga,
aturan ini bertujuan untuk memudahkan dalam melihat silsilah keturunan
dalam kelompok keluarga tersebut.
a. Konsep Arah Matahari
Konsep filosopis yang dimiliki warga sasak yang sering di gunakan
di berbagai desa di pulau Lombok. Dimana konsep filosopis ini adalah
konsep arah matahari.
Gambar 4.3.1.a. Sumber (Google)
Semua permukiman adat di Dusun Ende menghadap ke arah timur
(sinar matahari) menunjukkan pembentukan karakter masyarakat Sasak
bahwa yang muda juga harus melindungi yang tua, dan jika ada musuh
menyerang maka kaum yang mudalah yang terlebih dahulu harus menyerang.
b. Konsep pembangunan Rumah dan elemennya secara berderet dan tanah
berundak-undak Pembangunan rumah dengan konsep ini mencerminkan
penduduk yang terdiri dari satu kelompok dan dapat dikatakan secara keseluruhan
merupakan satu warga besar yang terdiri atas anak, cucu, kemenakan, merupakan
satu kesatuan dari keluarga majemuk.
Peta. 4.3.1.b. Struktur Ruang Permukiman
20
Konsep undak-undakan ini di iterprestasikan pada baris horizontal
maupun vertikal. Dari baris horizontal semakin ke tengah undak-
undakannya semakin rendah, dan dari baris vertikal semakin ke arah
belakang maka undak-undakannya semakin tinggi selain memiliki fungsi
dari segi keamanan agar menghindari bencana alam jika suatu saat terjadi,
serta terhindar dari malapetaka yang dapat menimpa Dusun Ende, juga
menjaga agar rumah generasi tua yang terletak di baris belakang, akan
tetap mendapatkan sinar matahari yang cukup mengingat tempatnya yang
lebih tinggi dari baris didepannya.
Gambar1. 4.3.1.b. Tampak Sebelah Utara
Gambar2. 4.3.1.b. Struktur Pola Ruang (Hasil Survei)
c. Konsep Sejajar dan Seragam (seteran)
Pola ruang permukiman yang yang berderet horizontal Utara-
Selatan dan arah rumah berhadap Timur/barat. Di Dusun ini terdapat 19
unit rumah, 5 buah kandang, 2 lumbung padi, 5 barugak, dan 1 koperasi.
21
Gambar. 4.3.1.c. Struktur Penataan Ruang
4.3.2. Struktur Ruang Bangunan
Bale adat sasak Ende yang menghadap ketimur sebagian memilki
elemen berupa kandang di depan bale. Struktur dari beberapa bangunan di
Dusun Ende sebagai berikut:
1. Bale Sasak
Bale Sasak ini memiliki denah berbentuk segi empat, yang
terbagi menjadi dua ruang yaitu ruang sengko (ruang bawah) yang
berfungsi sebagai ruang tamu (sesangkok), dan dalem bale (ruang
atas) yang terdiri dari kamar tidur, dan dapur, antara ruang sengko
dan dalam bale dibatasi oleh undak-undak (anak tangga).
Gambar. 4.3.2.1. Striktur Ruang Bale (sumber google)
Fungsi elemen-elemen ruang rumah pada bagian dalem bale
(ruang atas) tersebut antara lain:
a. Dalem bale (Ruang Tidur) berfungsi untuk tempat tidur
biasanya masyarakat Ende digunakan untuk para wanita
baik istri maupun anak, dan ruang khusus bila perempuan
22
akan melahirkan atau mayat seseorang disemayamkan
sebelum dikebumikan;
b. Pawon atau dapur bagi masyarakat Ende difungsikan
sebagai tempat memasak;
c. Sempare (ruang simpan barang), letak sempare biasanya
berada di atas dapur/ langit-langit rumah atau di sebelah kiri
tempat tidur;
d. Ruang Sengko (Ruang Bawah) yang terdiri dari sesangkok
(ruang tamu) yang letaknya berada di depan pintu masuk
rumah utama sebagai tempat menerima tamu dan tempat
duduk-duduk;
2. Kandang
Kandang komunal yang dijadikan satu dan berada di luar
ruang atau halaman besar permukiman asli Sasak, terletak tepat di
depan baleq sasak.
Gambar. 4.3.2.2. Kandang
4.4. Karakteristik Sosial BudayaMasyarakat Ende yang dulunya berasal dari berbagai kerjaan yang kini
masih memegang adat-adat budaya tersebut. Beberapa kegiatan budaya yang
sering di laksanakan masyarakat Ende.
4.4.1. Upacara Adat Terkait dengan Hubungan Manusia dengan Tuhan
a. Rowah Wulan dan Sampet Jum’at
Upacara adat Rowah Wulan dan Sampet Jum’at dilaksanakan
untuk menyambut tibanya bulan puasa. Rowah Wulan dilaksanakan
pada hari pertama bulan Saban, sedangkan Sampet Jum’at
23
dilaksanakan pada hari Jum’at terakhir di bulan Saban. Upacara adat
ini dilaksanakan oleh para tokoh adat di tiap-tiap kampu;
b. Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
Upacara adat Maleman Pitrah dilaksanakan sehari sebelum
perayaan Lebaran Tinggi. Upacara adat Lebaran Tinggi dilaksanakan
untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri. Pelaksanaan upacara adat
Maleman Pitrah berupa pengumpulan zakat fitrah oleh masyarakat
Ende. Masyarakat mengantarkan zakat fitrah di masing-masing bale
(rumah) tetangga yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka.
Setelah semua zakat fitrah terbagaikan, masing-masing rumah akan
mengirim utusannya untuk membawa zakat fitrah tersebut ke Masjid
terdekat. Pada keesokan hari setelah pengumpulan zakat fitrah,
dilaksanakan upacara adat Lebaran tinggi;
Gambar 4.4.1.b. Pelaksanaan Upacara Adat Lebaran Tinggi (sumber:
Google)
c. Lebaran Pendek
Upacara adat lebaran pendek dilaksanakan untuk merayakan
Hari Raya Idul Adha. Lebaran pendek diadakan berdasarkan
penanggalan adat Ende yang ditetapkan dalam begundem oleh para
pemuka adat;
24
Gambar 4.4.1.c. Pelaksanaan Upacara Adat Lebaran Pendek (sumber: Google)
d. Mulud
Upacara adat mulud dilaksanakan untuk memperingati
perkawinan antara Adam dan Hawa. Upacara adat ini dirayakan pada
Hari Raya Maulid Nabi Muhammad SAW. berdasarkan penanggalan
adat Ende yang ditetapkan dalam begundem oleh para pemuka adat di
Kampu Adat Ende.
Gambar 4.4.1.d. Pelaksanaan Upacara Adat Mulud (sumber: Google)
4.4.2. Upacara Adat Terkait dengan Hubungan Manusia
a. Buang Au
Upacara adat Buang Au dilaksanakan untuk membuang abu
hasil pembakaran arang yang diletakkan di bawah tempat tidur si bayi.
Upacara adat Buang Au dilaksanakan sebagai symbol pengislaman
pada seorang bayi yang baru lahir. Selain itu, upacara adat ini juga
bertujuan untuk mengumumkan nama si bayi;
b. Ngurisang dan Molang-Malik
Upacara adat Ngurisang merupakan upacara potong rambut
yang dilaksanakan setelah upacara adat Buang Au. Upacara adat ini
diadakan pada anak yang sudah berusia antara 1– 7 tahun. Setelah
upacara adat Ngurisang, biasanya dilanjutkan dengan upacara adat
Molang-Malik atau upacara adat pemotongan umbaq kombong.
Upacara adat Ngurisang dilaksanakan sebagai simbol pengislaman
pada seorang anak;
c. Ngitangan
Upacara adat ngitanang merupakan upacara adat khitanan yang
diadakan untuk anak laki-laki berusia 3 – 10 tahun. Upacara ngitanang
25
dilaksanakan sebagai simbol pengislaman kepada seorang anak laki-
laki;
d. Merosok
Upacara adat Merosok merupakan upacara adat meratakan
gigi/potong gigi, untuk menandai peralihan dari masa kanak-kanak
menjadi dewasa. Upacara ini dilaksanakan pada anakanak yang mulai
memasuki usia remaja;
e. Merari’, Mentikah, dan Sorong Serah Sajikrama
Merari’ merupakan tradisi yang mengawali upacara adat
Mentikah. Merari’ atau kawin lari di lakukan sebagai ganti acara
lamaran yang di lakukan oleh calon pengantin laki-laki. Kawin lari
melibatkan pertemuan rahasia antara si laki laki dengan si perempuan.
Kedua pasangan ini kemudian akan bersembunyi di tempat
persembunyian (penyembuan). Biasanya tempat persembunyian ini
merupakan salah satu rumah keluarga dari pihak calon pengantin laki-
laki. Upacara adat Mentikah di laksanakan tiga hari setelah Merari’ di
rumah kerabat dari calon pengantin laki-laki yang merupakan tempat
persembunyian kedua calon pengantin. Mentikah dilaksanakan oleh
kedua pengantin, kerabat tempat persembunyian, dan Kiai. Tujuannya
adalah untuk memberkati dan mengesahkan kedua pengantin sebagai
sepasang suami istri. Upacara adat Sorong Serah Sajikrama
dilaksanakan ketika pihak keluarga pengantin laki-laki sudah siap
membayar sajikrama yang diminta oleh keluarga pengantin
perempuan. Upacara adat ini bertujuan untuk menyerahkan sajikrama
dari pihak keluarga pengantin laki-laki kepada pihak keluarga
pengantin perempuan, dan pemberkatan pasangan pengantin;
f. Rowah Bale
Upacara adat Rowah Bale bertujuan agar rumah/bale yang baru
dibangun dan keluarga yang menempati bisa hidup dengan tentram
dan sejahtera. Upacara adat ini dilaksanakan pada bangunan
rumah/bale yang baru dibangun.
g. Gawe Pati
26
Upacara adat gawe pati merupakan rangkaian prosesi untuk
jika salah satu anggota keluarga ada yang meninggal. Pada
pelaksanaan upacara adat yang terkait dengan hubungan manusia
dengan manusia atau daur hidup manusia, biasanya menggunakan
ruang dalam lingkup lingkungan tempat tinggal. Masyarakat yang
mengadakan upacara adat biasanya akan mengundang seorang Kiai
adat dan para tetangga. Upacara adat ini berpusat di berugaq dan
halaman pekarangan. Untuk penyiapan kebutuhan upacara adat
biasanya menggunakan rumah sendiri dan rumah kerabat atau tetangga
di sekitar tempat tinggal. Upacara adat terkait hubungan manusia
dengan alam atau siklus tanam padi.
4.5. Kelayakan Desa Adat Ende
27
28
Kriteria variabel Sub variabel komponen gambar Deskripsi Arahan
Kelayakan Bangunan
Nilai Historis Tangga Makna dari 3 anak tangga
Bentuk 3 anak tangga yang dimana artinya ada Ayah, Ibu dan anak.
Preservasi
Kejamakan Ornamen Gaya dan bentuk ornamen
Ukuran
Bangunan lumbung adalah salah satu bangunan yang dimiliki oleh setiap permukiman tradisional lainnya.
Preservasi dan Konservasi.
Fasade Bentuk dan Material
Atap Dimensi atap
29
Kelangkaan Ornamen Gaya dan bentuk ornamen
Ukuran
Koperasi adalah salah satu bangunan yang tidak terdapat pada permukiman tradisional lainnya.
Preservasi.
Keistimewaan Konstruksi Kekuatan
Material
Bentuk
Dimensi
Material kayu,bambu dan bahan dari alam yang digunakan menambah kekuatan bangunan lebih permanen namun tetap perlu perawatan
Preservasi
Estetika Fasade Bale sasak Bentuk fasade yang menampilkan ciri khas balek sasak +Bali dgn tetap menggunakan material yang natural yang menambah nilai estetika bangunan tersebut.
Konservasi
30
4.5.1. Nilai Historis
Ende yang berarti perisai dalam bahasa sasak ini telah menjadi nama di
sebuah Dusun di Desa Sengkol. Dapat di ketahui nilai historis yang terkandung
dalam sejarah ini adalah terkandung nilai para pejuang dulu untuk berperang
guna sebagai tameng yaitu perisai (Ende). Itulah nilai sejarah yang terkandung
dalam sejarah terbentuknya Dusun ini.
4.5.2. Keistimewaan Desa Ende
Dusun Ende adalah termasuk salah satu permukiman tradisional yang lain
dari permukiman tradisional lainnya di Pulau Lombok. Maksud dari kata lain
ini adalah Dusun Ende yang masih lebih Natural di bandingkan dengan
permukian tradisional lainnya, maka dari itu akan lebih baik apabila melakukan
suatu preservasi dan konservasi guna mempertahankan dan mengembangkan
Dusun ini sebagai Desa Adat yang jauh lebih baik atau lebih natural dari Desa
Adat lainnya.
4.6. Pelestarian Permukiman Desa Adat Ende
4.6.1. Arahan Pelestarian Fisik
Arahan pelestarian fisik pada pola permukiman tradisional di Desa Adat
Ende adalah dengan mempertahankan pola-pola yang sudah ada berdasarkan
awig-awig adat Ende. Selain itu juga, perlu diadakan perbaikan dan
peningkatan sarana dan prasarana di Desa Adat Ende yang dapat mendukung
upaya pelestarian pola permukiman dan menunjang kegiatan masyarakatnya.
Dalam menentukan arahan pelestarian fisik, dengan menggunakan
langkah sebagai berikut:
1. Preservasi berupa: pemelihaaraan secara berkala, mengganti bahan
bangunan yang sudah rusak/ lapuk, mempertahankan arah hadap,
bahan dan konstruksi bangunan, serta aturan adat pembangunan
rumah. Menjaga elemen permukiman tradisional dari kerusakan
seperti elemen Rumah, Barugak, Lumbung, jalan di dalam
permukiman adat;
2. Konservasi (rehabilitasi) berupa Pengembalian kondisi bangunan
yang telah rusak atau menurun berupa atap,lantai, dinding, sehingga
dapat berfungsi kembali seperti sedia kala; dan
31
3. Konservasi (rekonstruksi) berupa upaya mengembalikan kondisi
dan membangun kembali bangunan dan elemen yang telah hilang
semirip mungkin dengan penampilan seperti aslinya.
4.6.2. Arahan Pelestarian Non-fisik
Untuk arahan pelestarian non-fisiknya maka dapat di jabarkan sebagai
berikut :
1. Aspek ekonomi, dengan insentif pajak dan retribusi, pemberian
subsidi, dan pengenaan denda.
2. Aspek sosial, dengan mempersiapkan SDM, pemberian
penghargaan, dan membina kehidupan sosial dan budaya, serta adat
istiadat Ende.
3. Aspek hukum, dengan perlindungan yang Sah, penetapan
pemberlakuan izin khusus bangunan, serta penyempurnaan Awig-
awig Desa Adat Ende.
32
DAFTAR PUSTAKA
Tanudirjo,A. 2003.’Warisan Budaya Untuk Semua Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan
Budaya Indonesia di Masa Mendatang. Makalah Kongres Kebudayaan V.
Bukit Tinggi, 2002.
Dewi, Pancawati. 2005. Peran Perapian dalam Pembentukan Ruang Baru di Sasak. Jurnal
Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 33 No. 1 Hlm. 94 – 98.
http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/.html
Saptaningtyas, Rini S. 2009. Kearifan Lokal Dalam Arsitektur Tradisional Sasak di Pulau
Lombok. http://lombokculture.blogspot.com
Tanudirjo,A. 2003.’Warisan Budaya Untuk Semua Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan
Budaya Indonesia di Masa Mendatang. Makalah Kongres Kebudayaan V.
Bukit Tinggi, 2002.
Sasongko, Ibnu. 2005. Harmonisasi Tata Ruang Permukiman Melalui Mitos (Studi
Kasus: Permukiman Sasak Desa Puyung). Jurnal Plannit, Vol. 3 No.2.
Soeroto, Myrtha. 2003. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
33