Post on 28-Nov-2014
description
Reformasi Pelayanan Publik
Oleh :
Nu’man Bakhtiar*)
ABSTRAK
Berbagai assessment yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional
selama ini, menyimpulkan bahwa Indonesia belum mampu mengembangkan Good
Governance. Birokrasi di Republik ini juga belum mampu menyelenggarakan
pelayanan kepada publik yang efisien, adil, responsif, dan akuntabel. Sebaliknya,
birokrasi kita lebih mencerminkan mindset mengontrol masyarakat, bukan melayani.
Sementara UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik baru saja memperoleh
pengesahan di DPR pada tanggal 23 Juni 2009 setelah hampir empat tahun perjuangan
yang amat meletihkan. Situasi di atas memicu gagasan perlu ada upaya mengubah cara
berfikir dan bertindak dalam meningkatkan mutu pelayanan publik. Perlu dicari kunci
yang tepat bagi aparatur pemerintahan RI untuk membuka pikiran dan hati agar tidak
terbelenggu dengan paradigma berfikir yang kurang mendukung dalam pencapaian
pelayanan publik yang prima.
Keyword : Reformasi, Pelayanan Publik, UU No.25 tahun 2009
Latar Belakang
Organisasi saat ini menghadapi perubahan lingkungan yang amat cepat, seperti
perubahan politik, ekonomi, tehnologi, sosial, perubahan bisnis, dan lain-lain. Dalam
konteks lingkungan organisasi yang terus berubah, maka bisa saja terjadi pengetahuan
hari ini yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah organisasi saat ini akan
usang atau bahkan mungkin bisa menjadi masalah pada masa mendatang. Perubahan-
perubahan itu menuntut agar pengelolaan organisasi dilakukan dengan cara-cara yang
baru sehingga tujuan organisasi lebih efektif dalam lingkungan yang terus berubah.
Globalisasi telah memicu peningkatan kesadaran secara global di semua sektor
kehidupan masyarakat dunia yang wujudnya dalam bentuk pergeseran cara berfikir dan
bertindak sehingga mempengaruhi semua dinamika sektor dan perilaku kehidupan
masyarakat. Salah satu pergeseran berfikir tersebut adalah tuntutan bagaimana
menyediakan pelayanan publik bermutu tinggi sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan
masyarakat bangsa, yang saat ini kemudian menjadi tema sentral paradigma baru dari
pelayanan publik (Bijah Subijanto, 2007). Sementara itu berdasarkan kesimpulan Bank
Dunia dalam laporan World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance
and Desentralization Survey (GDS) 2002 ternyata menggambarkan pelayanan publik di
Indonesia masih sangat rendah. Terdapat tiga masalah penting yang banyak terjadi di
lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang mendukung kesimpulan
tersebut.
Pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih
amat dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan
agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas
menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi.
Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering
menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih
menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan
kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat
terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi
pelayanan dan ketidak pastian.
Berbagai assessment yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional
selama ini, menyimpulkan bahwa Indonesia belum mampu mengembangkan Good
Governance (Sofian effendi, 2005; Muhammad Ray Akbar, 2008; Djoko B, 2008).
Birokrasi di Republik ini juga belum mampu menyelenggarakan pelayanan kepada
publik yang efisien, adil, responsif, dan akuntabel (SIDA, 2007; Iqra Azza, 2008; Riant
Nugroho, 2009). Sebaliknya, birokrasi kita lebih mencerminkan mindset mengontrol
masyarakat, bukan melayani (Taufiq Effendi, 2008; Agus Dwiyanto, 2008). Sementara
UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik baru saja memperoleh pengesahan di
DPR pada tanggal 23 Juni 2009 setelah hampir empat tahun perjuangan yang amat
meletihkan.
Situasi di atas memicu gagasan perlu ada upaya mengubah cara berfikir dan
bertindak dalam meningkatkan mutu pelayanan publik. Perlu dicari kunci yang tepat
bagi aparatur pemerintahan RI untuk membuka pikiran dan hati agar tidak terbelenggu
dengan paradigma berfikir yang kurang mendukung dalam pencapaian pelayanan publik
yang prima. Dengan demikian, perlu dikaji berbagai variasi model pelakasanaan
pelayanan publik yang ideal, sesuai dengan karakteristik Pemerintah Daerah dalam
kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, dan tulisan paper berikut ini akan
berusaha untuk menjelaskan proses tersebut.
Undang-undang No 25 tahun 2009 : Momentum Reformasi Pelayanan Publik
Untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai
dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di
dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dengan Persetujuan Bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, maka pada tanggal 18 Juli 2009 Indonesia mensahkan Undang-Undang
No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Menurut UU tsb, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Ruang lingkup pelayanan publik menurut Undang-Undang Pelayanan Publik meliputi
pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam ruang lingkup tsb, termasuk pendidikan,
pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan
hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam,
pariwisata, dan sektor strategis lainnya. (Pasal 5 UU No 25 Tahun 2009)
Dalam melaksanakan pelayanan publik pemerintah membentuk Organisasi
Penyelenggara. Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi,
lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk kegiatan
pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan
pelayanan publik. Penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara
bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan
penyelenggaraan pelayanan.
Organisasi penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana maksud diatas, sekurang-
kurangnya meliputi:
a. pelaksanaan pelayanan
b. pengelolaan pengaduan masyarakat;
c. pengelolaan informasi;
d. pengawasan internal;
e. penyuluhan kepada masyarakat; dan
f. pelayanan konsultasi. (Pasal 8 UU No 25 Tahun 2009)
Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dalam bentuk penyerahan sebagian tugas
penyelenggaraan pelayanan publik kepada pihak lain, dengan syarat kerja sama tsb tidak
menambah beban bagi masyarakat. Ketentuan-ketentuan dalam kerjasama tsb adalah:
a. perjanjian kerja sama penyelenggaraan pelayanan publik dituangkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan dalam pelaksanaannya didasarkan pada
standard pelayanan;
b. penyelenggara berkewajiban menginformasikan perjanjian kerja sama kepada
masyarakat;
c. tanggung jawab pelaksanaan kerja sama berada pada penerima kerja sama,
sedangkan tanggung jawab penyelenggaraan secara menyeluruh berada pada
penyelenggara;
d. informasi tentang identitas pihak lain dan identitas penyelenggara sebagai
penanggung jawab kegiatan harus dicantumkan oleh penyelenggara pada tempat yang
jelas dan mudah diketahui masyarakat; dan
e. penyelenggara dan pihak lain wajib mencantumkan alamat tempat mengadu dan
sarana untuk menampung keluhan masyarakat yang mudah diakses, antara lain
telepon, pesan layanan singkat (short message service (sms)), laman (website), pos-el
(e-mail), dan kotak pengaduan.
Selain kerjasama diatas, penyelenggara juga dapat melakukan kerja sama tertentu
dengan pihak lain untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Kerja sama tertentu
merupakan kerja sama yang tidak melalui prosedur seperti yang dijelaskan diatas, dan
penyelenggaraannya tidak bersifat darurat serta harus diselesaikan dalam waktu tertentu,
misalnya pengamanan pada saat penerimaan tamu negara, transportasi pada masa
liburan lebaran, dan pengamanan pada saat pemilihan umum. (Pasal 13 UU No 25
Tahun 2009)
Dalam melaksanakan pelayanan publik, penyelenggara berkewajiban :
a. menyusun dan menetapkan standar pelayanan;
b. menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;
c. menempatkan pelaksana yang kompeten;
d. menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang
mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;
e. memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan
pelayanan publik;
f. melaksanakan pelayanan sesuai dengan standard pelayanan;
g. berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
h. memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan;
i. membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya
j. bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan
publik;
k. memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku apabila
mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau jabatan;
dan
l. memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau melaksanakan
perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari
lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 15 UU No 29 Tahun
2009)
Adapun asas-asas pelayanan publik tsb adalah:
a. kepentingan umum, yaitu; Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan
kepentingan pribadi dan/atau golongan.
b. kepastian hukum, yaitu Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pelayanan.
c. kesamaan hak, yaitu Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,
agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
d. keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu Pemenuhan hak harus sebanding
dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun
penerima pelayanan.
e. keprofesionalan, yaitu Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang
sesuai dengan bidang tugas.
f. partisipatif, yaitu Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat.
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu Setiap warga negara berhak
memperoleh pelayanan yang adil.
h. keterbukaan, yaitu Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses
dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
i. akuntabilitas, yaitu Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu Pemberian
kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam
pelayanan.
k. ketepatan waktu, yaitu Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat
waktu sesuai dengan standar pelayanan.
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu Setiap jenis pelayanan
dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau. (Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009)
Komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
a. dasar hukum, yaitu Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
penyelenggaraan pelayanan.
b. persyaratan, yaitu Syarat yang harus dipenuhi dalam pengurusan suatu jenis
pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif.
c. sistem, mekanisme, dan prosedur, yaitu Tata cara pelayanan yang dibakukan bagi
pemberi dan penerima pelayanan, termasuk pengaduan.
d. jangka waktu penyelesaian, yaitu Jangka waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan.
e. biaya/tarif, yaitu Ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam
mengurus dan/atau memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang besarnya
ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat.
f. produk pelayanan, yaitu Hasil pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
g. sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, yaitu Peralatan dan fasilitas yang diperlukan
dalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk peralatan dan fasilitas pelayanan bagi
kelompok rentan.
h. kompetensi pelaksana, yaitu Kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaksana
meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman.
i. pengawasan internal, yaitu Pengendalian yang dilakukan oleh pimpinan satuan
kerja atau atasan langsung pelaksana.
j. penanganan pengaduan, saran, dan masukan, yaitu Tata cara pelaksanaan
penanganan pengaduan dan tindak lanjut.
k. jumlah pelaksana, yaitu Tersedianya pelaksana sesuai dengan beban kerja.
l. jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai
dengan standard pelayanan.
m. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk
memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan, yaitu Kepastian
memberikan rasa aman dan bebas dari bahaya, risiko, dan keragu-raguan.
n. evaluasi kinerja pelaksana yaitu Penilaian untuk mengetahui seberapa jauh
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan standar pelayanan. (Pasal 21 UU No 25 Tahun
2009)
Dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik perlu diselenggarakan sistem informasi yang bersifat nasional. Sistem informasi
yang bersifat nasional tsb dikelola oleh menteri, dan disediakan kepada masyarakat
secara terbuka dan mudah diakses. Penyelenggara berkewajiban mengelola system
informasi yang terdiri atas sistem informasi elektronik atau nonelektronik, informasi itu
sekurang-kurangnya meliputi:
a. profil penyelenggara, yaitu Profil penyelenggara meliputi nama, penanggung
jawab, pelaksana, struktur organisasi, anggaran penyelenggaraan, alamat
pengaduan, nomor telepon, dan pos-el (email).
b. profil pelaksana, yaitu Profil pelaksana meliputi pelaksana yang bertanggung
jawab, pelaksana, anggaran pelaksanaan, alamat pengaduan, nomor telepon,
dan pos-el (email).
c. standar pelayanan, yaitu Standar pelayanan berisi informasi yang lengkap
tentang keterangan yang menjelaskan lebih rinci isi standar pelayanan tersebut
d. maklumat pelayanan.
e. pengelolaan pengaduan, yaitu Pengelolaan pengaduan merupakan proses
penanganan pengaduan mulai dari tahap penyeleksian, penelaahan, dan
pengklasifikasian sampai dengan kepastian penyelesaian pengaduan.
f. penilaian kinerja, yaitu Penilaian kinerja merupakan hasil pelaksanaan
penilaian penyelenggaraan pelayananyang dilakukan oleh penyelenggara
sendiri, bersama dengan pihak lain, atau oleh pihak lain atas permintaan
penyelenggara untuk mengetahui gambaran kinerja pelayanan dengan
menggunakan metode penilaian tertentu. (Pasal 23 UU No 25 Tahun 2009)
Untuk kebutuhan biaya/tarif pelayanan publik, pada dasarnya merupakan tanggung
jawab negara dan/atau masyarakat. Apabila dibebankan kepada masyarakat atau
penerima pelayanan, maka penentuan biaya/tarif pelayanan publik tsb ditetapkan
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. (Pasal 31 UU No 25 Tahun 2009)
Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pengawas internal dan
pengawas eksternal. Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan
melalui pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Sementara pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui:
a. pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik;
b. pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
dan
c. pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal 35 UU No
25 Tahun 2009)
Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan
pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan serta berkewajiban
mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana
pengaduan yang disediakan. Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang
berasal dari penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu. Penyelenggara berkewajiban
menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan tsb. (Pasal 36 UU No 25 Tahun 2009)
Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik, apabila;
a. penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan;
b. pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Pengaduan tsb ditujukan kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal 40 UU No 25 Tahun 2009)
Pengaduan seperti dimaksud diatas diajukan oleh setiap orang yang dirugikan
atau oleh pihak lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya. Pengaduan tsb dilakukan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan. Dalam
pengaduannya, pengadu dapat memasukkan tuntutan ganti rugi. Dalam keadaan
tertentu, nama dan identitas pengadu dapat dirahasiakan.
Pengaduan yang disampaikan secara tertulis harus memuat:
1. nama dan alamat lengkap;
2. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan dan uraian
kerugian material atau immaterial yang diderita;
3. permintaan penyelesaian yang diajukan; dan
4. tempat, waktu penyampaian, dan tanda tangan. (Pasal 42 UU No 25 Tahun
2009)
Pengaduan tertulis tsb dapat disertai dengan bukti -bukti sebagai pendukung
pengaduannya. Dalam hal pengadu membutuhkan dokumen terkait dengan
pengaduannya dari penyelenggara dan/atau pelaksana untuk mendukung
pembuktiannya itu, penyelenggara dan/atau pelaksana wajib memberikannya. (Pasal 43
UU No 25 Tahun 2009)
Penyelenggara dan/atau ombudsman wajib menanggapi pengaduan tertulis oleh
masyarakat paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pengaduan diterima, yang
sekurang-kurangnya berisi informasi lengkap atau tidak lengkapnya materi aduan
tertulis tsb. Dalam hal materi aduan tidak lengkap, pengadu melengkapi materi
aduannya selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak menerima
tanggapan dari penyelenggara atau ombudsman sebagaimana diinformasikan oleh
pihak penyelenggara dan/atau ombudsman. Dalam hal berkas pengaduan tidak
dilengkapi dalam waktu tsb, maka pengadu dianggap mencabut pengaduannya. (Pasal
44 UU No 25 Tahun 2009)
Dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam undang-undang
pelayanan publik, masyarakat dapat mengajukan gugatan terhadap penyelenggara ke
pengadilan. Pengajuan gugatan terhadap penyelenggara, tidak menghapus kewajiban
penyelenggara untuk melaksanakan keputusan ombudsman dan/atau penyelenggara.
Pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum tsb, dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (Pasal 52 UU No 25 Tahun 2009)
Dalam hal penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam penyelenggaraan
pelayanan publik sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, masyarakat dapat
melaporkan penyelenggara kepada pihak berwenang. (Pasal 53 UU No 25 Tahun 2009).
Sayangnya pelaksanaan pelayanan publik menurut UU No 25 Tahun 2009 masih
memiliki beberapa kendala. Kendala tsb disebabkan oleh belum dikeluarkan Peraturan
pemerintah mengenai ruang lingkup, mengenai sistem pelayanan terpadu, mengenai
pedoman penyusunan standar pelayanan, mengenai proporsi akses dan kategori
kelompok masyarakat, mengenai tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dan Peraturan presiden mengenai mekanisme dan
ketentuan pemberian ganti rugi.
Strategi pembaharuan melalui inovasi dalam pelayanan publik (Kekuatan
Pengaruh)
Inovasi sendiri merupakan konsep yang relatif baru dalam literatur administrasi
publik (public administration). Hasil penelitian David Mars (dalam Lee, 1970)
mengungkapkan bahwa sampai tahun 1966 tidak ditemukan publikasi dari tulisan
administrasi publik yang mengulas tentang inovasi. Adapun literatur klasik yang
memuat konsep inovasi dalam konteks reformasi antara lain adalah artikel “Innovation
in Bureaucratic Institutions” tulisan Alfred Diamant yang dimuat dalam jurnal Public
Administration Review (PAR) pada tahun 1967. Selain itu, adalah buku karya Caiden
yang berjudul “Administrative Reform”, diterbitkan pada tahun 1969. Dalam bukunya
tersebut, Caiden menguraikan inovasi sebagai bagian dari reformasi administrasi
(administrative reform). Beberapa tulisan tersebut menandai mulai diperhatikannya
inovasi oleh para pakar administrasi publik. Hanya saja, konsep inovasi kemudian
masih belum cukup popular dalam ranah administrasi publik dan reformasi administrasi.
Inovasi popular dalam bidang tersebut baru pada dekade terakhir.
Pada tahun 90 an, new public management (NPM) mulai menggeser hegemoni
konsepsi weber dalam reformasi administrasi. Reformasi kemudian mengalami
pembelokan arah menuju birokrasi yang mengedepankan hasil, partisipasi, berorientasi
pelanggan, digerakan oleh misi, dan desentralisasi (Osborne, 1992). Pada era baru ini,
inovasi justru sangat dihargai oleh pendukung gerakan reformasi. Perkembangan
terakhir menunjukan kemajuan pada penggunaan istilah inovasi dalam bidang
administrasi publik.
Secara Substansi UU No 25 tahun 2009 sangat penting dan memuat ketentuan
kaidah atau asas yang harus dipenuhi dalam pelayanan publik yaitu: kepentingan umum;
kepastian hukum; kesamaan hak; keseimbangan hak dan kewajiban; keprofesionalan;
partisipatif; persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; keterbukaan; akuntabilitas;
fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;ketepatan waktu; kecepatan,
kemudahan, dan keterjangkauan. Atas dasar penjelasan tersebut diatas maka untuk
mengukur bagaimana kinerja pelayanan yang optimal maka bisa digunakan ukuran
bagaimana pelayanan yang Efisiensi dan ekonomis, Responsivitas, Kesetaraan dan
keadilan, partisipasi dan Transparansi.
Didalam UU No 25 tahun 2009 terdapat lima hal penting dalam optimalisasi
pelayanan publik, kelima hal tersebut adalah :
1. Bahwa dalam penyelenggarana pelayanan publik yang secara utama utama menjadi
kewajiban dan beban pemerintah, namun dalam perjalannnaya memungkinkan
bahwa pemerintah memiliki keterbatasan dalam memberikan layanan publik yang
berkualitas bagi masayarakat. Untuk itu tuntutan adanya kerjasama menjadikan hal
penting bagi perbaikan kulaitas pelayanan publik dan ini kemudian diatur dalam
pasal 13 tentang Kerja Sama Penyelenggara dengan Pihak Lain dalam pemberian
Pelayanan
2. Pengakomodasian hak dan kewajiban dalam pelayanan ( pasal 14 )
3. Penekanan perlunya Standart Pelayanan ( Pasal 22) dan Juga maklumat Pelayanan
(pasal 22)
4. Pentingnya Dukungan Sistim Informasi dalam Pelayanan ( Pasal 23 )
5. Perlunya peran serta Masyarakat ( Pasal 39)
Bentuk-bentuk Inovasi dalam pelayanan publik
Citizen Charter
Agak sulit untuk menemukan padanan kata yang tepat dari Citizen Charter dalam
bahasa Indonesia, tetapi salah satu terjemahan yang kiranya dapat mewakili makna
sebenarnya ialah “Kontrak Pelayanan”. Citizen Charter di negara maju kebanyakan
diterapkan di negara-negara Anglo-Saxon seperti Inggris dan Irlandia. Belakangan,
Citizen Charter juga menjadi bagian penting dari The Charter of Fundamental Rights di
Uni Eropa.
Hasil dari ujicoba di beberapa daerah di Indonesia membuktikan bahwa sistem ini
cukup efektif untuk mengubah paradigma pelayanan publik yang sekarang ini
mengalami kebuntuan.
Di dalam praktik, Kontrak Pelayanan digunakan untuk mendorong penyedia
layanan, pengguna layanan dan stakeholders (pemangku kepentingan, pemegang kunci)
lainnya untuk membuat “kesepakatan bersama” tentang jenis, prosedur, biaya, waktu &
cara memberikan pelayanan. Tujuan dari terbentuknya Kontrak Pelayanan memang
untuk membuat agar pelayanan publik menjadi lebih tanggap atau responsif, transparan
dan bertanggungjawab atau akuntabel. Maka perumusan Kontrak Pelayanan itu harus
melibatkan para pengguna layanan, seluruh satuan yang terlibat dalam penyediaan
layanan, LSM, DPRD, tokoh masyarakat lokal, dan lain-lainnya.
Didalam UU No 25 tahun 2009 diatur tentang hak dan kewajiban pelayanan, standart
pelayanan, maklumat pelayanan dan keterlibatan masyrakat dalam pelayanan semuanya
ini dalam prakteknya bisa terakomodasi dalam Citizen Charter.
• Sistem Manajemen Mutu Pelayanan
W. Edward deming telah mengembangkan apa yang dinamakan dengan “ Total
Quality Management “ ( TQM) / (Manajemen Mutu Terpadu ). TQM merupakan
paradigma baru dalam manajemen yang berusaha memaksimumkan daya saing
organisasi melalui perbaikan secara berkesinambungan atas mutu barang, jasa, manusia
dan lingkungan organisasi.
TQM dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : berfokus
pada pelanggan, obsesi terhadap mutu, pendekatan ilmiah, komitmen jangka panjang,
kerjasama tim, perbaikan sistem berkesinambungan, pendidikan dan pelatihan
(Tjiptono, 1997 ). Sementara Gaspersz (1997) menyatakan bahwa mutu pelayanan harus
memperhatikan : ketepatan waktu pelayanan, akurasi pelayanan, kesopanan dan
keramahan, tanggung jawab, kelengkapan, kemudahan mendapat pelayanan.
• E-Government ( E-Gov )
E-Government dalam pelayanan publik menjadi mengemuka setelah sistem
tehnologi informasi dan komunikasi ( Information and Comunication Technology / ICT)
menjadi alat yang dapat dipergunakan untuk memutus rangkaian hubungan yang sulit
antara publik dan pemerintah.
E-government atau yang selanjutnya kita akan menyebutnya Digital government,
adalah penggunaan teknologi informasi, khususnya internet, untuk menjadikan
pelayanan public lebih nyaman, berorientasi kepada konsumen, pembiayaan yang
efektif dan sama sekali berbeda dan jalan yang lebih baik. Perkembangan digigov
dikendalikan oleh kebutuhan pemerintah akan: memotong pengeluaran dan
meningkatkan efisiensi; mempertemukan harapan masyarakat dan meningkatkan
hubungan masyarakat; dan memfasilitasi pengembangan ekonomi.
E-Goverment sendiri merupakan penggunaan tehnologi terutama aplikasi
internet berbasis web untuk meningkatkan akses kepada dan kiriman pelayanan
pemerintah keapada warga negara rekanan bisnis pekerja dan entitas pemerintah yang
lain ( Mary Maureen Brown dalam Rabin, 2003 : 427). Pemanfaatan E-gov yaitu untuk
meningkatkan kualitas pelayanan, pembiayan yang efektif menjadikan hal ini sangat
menarik sehingga pemerintah secara strategis mencoba untuk mengaplikasikannya,
dengan beberapa penyesuaian misalnya, perubahan pola pikir dan budaya dan
menerapkan konsep “faster, better, cheaper” nilai yang muncul dalam e-commerce
dalam pelayanan public
• Kemitraan Pemerintah dan Swasta
Perkembangan paradigma pemerintahan dewasa ini telah mengubah tata kelola
pemerintahan menjadi lebih terbuka, sehingga ada pembagian peran dan kerjasama
antara unsur-unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tuntutan masyarakat terhadap
kualitas pelayanan publik yang semakin meningkat mendorong pemerintah untuk
berbagi peran dengan unsur-unsur non pemerintah. Pemerintah tidak mungkin lagi
mengerjakan semua urusan karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia,
sehingga kerjasama dan kemitraan dengan pihak-pihak lain harus dilakukan agar
kualitas pelayanan publik tetap dapat dipenuhi sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Berbagai bentuk kerjasama sebenarnya telah dipraktikan sejak lama, antara lain dalam
bentuk privatisasi, contracting out, build operation transfer, build own operates, dan
model public and private partnership (PPP).
PPP merupakan pengaturan antara pemerintah dan sektor swasta untuk
menyediakan berbagai jenis pelayanan publik, seperti pembangunan infrastruktur,
penyediaan fasilitas fasilitas komunitas, dan berbagai jenis pelayanan lainnya. PPP
bercirikan adanya pembagian investasi, risiko, pertanggungjawaban, dan penghargaan
antara pemerintah dengan sector swasta yang menjadi mitranya. Pada prinsipnya, dalam
PPP, terdapat dua pelaku yang terlibat, yakni pemerintah dan swasta. Keduanya
bekerjasama sebagai mitra, dalam hal ini tidak ada pihak yang bersifat membawahi
pihak lain. Dalam PPP ada tujuan bersama berdasarkan komitmen yang hendak dicapai,
dan berdasarkan komitmen tanggungjawab sendiri. Setiap pihak memberikan input,bisa
finansial atau sumber daya lainnya. Kedua belah pihak bersedia menanggung risiko dan
pembagian keuntungan berdasarkan pertimbangan input yang diberikan (share) dalam
kesepakatan perjanjian.
Penutup
Seperti di jelaskan di depan bahwa optimalisasi pelayanan publik oleh birokrasi
pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan
mengingat pembaharuan tersebut menyangkut pelbagai aspek yang telah membudaya
dalam lingkaran birokrasi pemerintahan kita. Solusi untuk melaksanakan optimalisasi
pelayanan publik di butuhkan perubahan melalui adopsi dan inovasi program, bahwa
adopsi suatu inovasi akan mewujudkan suatu perubahan sosial, yang dapat dilihat dalam
kehidupan individu maupun masyarakatnya. Hal ini diartikan sebagai suatu
pembentukan struktur sosial baru dalam mencapai tujuan yang diharapkan (optimalisasi
pelayanan publik).
Reformasi pelayanan publik haruslah dimulai dari aspek yang paling mendasar
yaitu reformasi pola pikir (paradigma) penyelenggara pelayanan publik. Reformasi
paradigma ini adalah penggeseran pola penyelenggara pelayanan publik dari yang
semula “berorientasi pemerintah sebegai penyedia” menjadi pelayan yang “berorientasi
pada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna”. Dengan begitu tak ada pintu masuk
alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin
mendengarkan suara publik itu sendiri.
Situasi di atas memicu gagasan perlu ada upaya mengubah cara berfikir dan
bertindak dalam meningkatkan mutu pelayanan publik. Perlu dicari kunci yang tepat
bagi aparatur pemerintahan RI untuk membuka pikiran dan hati agar tidak terbelenggu
dengan paradigma berfikir yang kurang mendukung dalam pencapaian pelayanan publik
yang prima. Dengan demikian, perlu dikaji berbagai variasi model pelakasanaan
pelayanan publik yang ideal, sesuai dengan karakteristik Pemerintah Daerah dalam
kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Sumber daya manusia/ aparatur penyelenggara pelayanan public merupakan
aspek penting yang menentukan terlaksana tidaknya pelayanan prima, oleh karenanya
dengan reformasi birokrasi termasuk didalamnya perubahan kultur dan mentalitas
birokrasi dibarengi dukungan system, sarana dan prasarana yang baik diharapkan dapat
mewujudkan pelayanan prima.
DAFTAR PUSTAKA
Handoko, HT. 1995. Manajemen. Cetakan Kesembilan.Yogyakarta: BPFE.
Nawawi, H. Hadari (2003). Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.
Pusat Kajian Pemerintahan STPDN. (2002). Manajemen Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah. Bandung : Fokus Media.
Robbins, Stephen P. (2001) Organization Behavior. New Jersey: Prentice Hall International Inc.
http://www.djpp.depkumham.go.id/perkembangan-harmonisasi-ruu-tahun-2010/41-
harmonisasi-rpp/393-harmonisasi-rpp-tentang-pelaksanaan-undang-undang-nomor-25-
tahun-2009-tentang-pelayanan-publik.html
www.esdm.go.id/.../963- undang-undang -nomor- 25 -tahun- 2009 .html