Post on 31-Dec-2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Keberadaan bank dalam kehidupan masyarakat dewasa ini
mempunyai peranan yang sangat penting karena lembaga perbankan
merupakan inti sari dari sistem keuangan setiap negara. Dalam konsideran
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU
Perbankan) dituliskan bahwa perbankan yang berasaskan demokrasi
ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Keberadaan bank sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang hidup
di perkotaan atau kota-kota besar, bahkan sekarang ini masyarakat pedesaan
pun sudah terbiasa mendengar kata bank, dan memanfaatkan layanan jasa
keuangan ini, terlebih lagi pada saat terjadi krisis ekonomi global yang
diikuti dengan dibubarkannya beberapa bank pada masa itu. Perkembangan
dunia perbankan di Indonesia kini sudah semakin membaik, berbagai
pelayanan jasa keuangan telah dikembangkan untuk memberikan
kenyamanan bagi para nasabah. Berbagai program perluasan usaha telah
dilakukan dalam industri perbankan seperti pemberian kredit perumahan,
2
penyediaan jasa asuransi, penawaran jasa kartu kredit hingga program
pensiun.
Secara umum fungsi utama bank adalah untuk menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk berbagai
tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara lebih spesifik bank dapat
berfungsi sebagai agent of trust (lembaga yang landasannya adalah
kepercayaan), agent of development (lembaga yang memobilisasi dana
untuk pembangunan ekonomi) dan agent of services (lembaga yang
memberikan penawaran jasa perbankan).1 Pelaksanaan fungsi-fungsi
tersebut akan menciptakan sistem keuangan negara yang kuat.
Definisi perbankan menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998
Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan perubahan) adalah
segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang
kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-
jasa lainya.2 Salah satu bentuk penyaluran dana bank kepada masyarakat,
yaitu dalam bentuk kredit.
Menurut Noan Webster 1972 yang dikutip Munir Fuady mengatakan
bahwa kredit berasal dari kata “creditus” yang berarti kepercayaan,
1 Sigit Traindaru dan Totok Budisantoso, 2007, Bank dan Lembaga Keuangan Lain,
Salemba Empat, Jakarta, h. 8.
2Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 2.
3
merupakan bentuk past principle dari kata credere yang berarti “to trust”
(kepercayaan)3. Dalam bahasa Latin, kredit disebut “credere” yang artinya
percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit,
bahwa kredit yang akan disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai
dengan perjanjian sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima
kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali
pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktu4. Unsur utama dari kredit
adalah kepercayaan. Kepercayaan mengandung arti bahwa pihak yang
memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan
sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan.5 Unsur
kepercayaan ini juga menjadi dasar dalam pelaksanaan bisnis perbankan.
Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan perubahan
yakni “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak lain yang menjanjikan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga” Pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat pokok dari suatu
bank. Beberapa pakar mengatakan bahwa fungsi tradisional bank adalah
menghimpun dana-dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada
3 Munir Fuady, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h.
5 (selanjutnya disebut Munir Fuady I)
4 Kasmir, op.cit., h. 101
5 Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, h. 217 (Selanjutnya disebut Muhamad Djumhana I)
4
masyarakat.6 Dengan demikian penyaluran kredit dipandang sebagai fungsi
tradisional atau fungsi utama dari kegiatan perbankan.
Penyaluran dana kepada masyarakat yang dimaksudkan di atas pada
umumnya dilakukan dalam bentuk pemberian kredit, baik itu berupa kredit
modal kerja maupun kredit investasi. Di samping kegiatan pengerahan dana
kepada masyarakat, kredit juga merupakan kegiatan utama dari bank-bank
umum di Indonesia karena dua alasan yaitu sebagai berikut :
1. Bunga kredit merupakan sumber-sumber pendapatan utama;
2. Dalam kegiatan penyaluran kredit sumber dana dari kredit itu berasal
terutama dari dana-dana yang dikerahkan oleh bank dari masyarakat
berupa simpanan. Kredit bank merupakan lembaga yang peranannya
sangat strategis bagi pembangunan perekonomian dan bagi
perkembangan usaha bank itu sendiri serta syarat dengan berbagai
pengaturan (memiliki aspek yuridis).7
Walaupun kegiatan penyaluran kredit merupakan kegiatan perbankan
yang sangat mendasar dan bunga kredit merupakan sumber pendapatan bank
yang utama tetapi pada dasarnya kegiatan penyaluran kredit ini memiliki
risiko yang sangat besar dan dampak yang signifikan bagi kelangsungan
usaha bank tersebut apabila kredit yang disalurkan tersebut tidak tepat.
Sesuai dengan penjelasan UU Perbankan (yang telah diganti menjadi UU
6 Neni Sri Imaniyati, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, h. 139 (selanjutnya disebut Neni Sri Imaniyati I).
7 Sutan Remy Syahdaeni, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 2 (selanjutnya disebut Sutan Remy
Syahdeini I).
5
Perbankan perubahan) ditegaskan bahwa “Kredit yang diberikan oleh bank
mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus dapat
memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.” Agar pemberian kredit
dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan asas perkreditan yang
sehat, maka setiap bank diwajibkan membuat suatu kebijakan perkreditan
secara tertulis yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam pemberian
kredit sehari-hari.
Nasabah dalam hal ini mudah memberikan data-data fiktif, sehingga
mungkin saja kredit yang diberikan sebenarnya tidak layak. Kemudian jika
salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan yang sebenarnya
tidak layak menjadi layak sehingga akibatnya akan sulit untuk ditagih atau
dengan kata lain kredit bermasalah. Selain hal tersebut, kredit bermasalah
juga sering terjadi karena debitur tidak memenuhi kewajibannya seperti
yang tertuang dalam perjanjian kredit yang sudah disepakati bersama antara
pihak bank sebagai kreditur dan debitur sebagai pengguna kredit. Dalam hal
ini debitur disebut wanprestasi.
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti
yang ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur
disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :
1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi
kewajiban maupun karena kelalaian.
6
2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeur, jadi diluar
kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.8
Maka dari itu penting bagi bank untuk melakukan analisis kredit
terlebih dahulu. Pemberian kredit tanpa dianalisis terlebih dahulu akan
sangat membahayakan bank. Analisis kredit adalah kegiatan untuk
memeriksa semua keterangan dari suatu permohonan kredit seorang calon
debitur agar diperoleh kepastian bahwa apabila kredit diberikan debitur mau
dan mampu membayar kembali sesuai perjanjian.9 Apabila debitur banyak
yang tidak melakukan kewajibannya dalam hal ini melakukan wanprestasi
tentu saja akan berdampak serius yaitu krisis terhadap sektor perkreditan
yang ditunjukan dengan besarnya rasio non-performance loan (NPL) pada
bank tersebut.
Tingginya rasio non-performance loan (NPL) tentunya akan sangat
membahayakan kesehatan dari bank tersebut. Sebagai upaya mengatasinya
Bank Indonesia (BI) menetapkan arah kebijakan agar setiap bank secara
bertahap dapat menurunkan NPL sampai dengan tingkat tidak lebih dari 5%.
Dalam hal ini bank-bank dibebaskan menentukan atau memilih cara untuk
menurunkan rasio NPL tersebut, apakah melalui penagihan langsung,
melalui jalur hukum (gugatan pengadilan), atau melalui restrukturisasi
kredit. Dari beberapa alternatif tersebut tampaknya restrukturisasi
merupakan alternatif yang banyak ditempuh bank.
8Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
h. 203
9Modul Diklat Penaksir Muda, 2011, Dasar-Dasar Analisa Kredit, Perusahaan Umum
Pegadaian Divisi Pendidikan dan Pelatihan, Balai Diklat Surabaya, h. 5
7
Restrukturisasi kredit merupakan suatu terminologi keuangan yang
banyak digunakan dalam bidang perbankan untuk menyelamatkan kredit
bermasalah. Restrukturisasi adalah program bank sebagai suatu upaya
perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibanya. Kebijakan mengenai
restrukturisasi kredit pertama kali diatur dalam SK Direksi Bank Indonesia
No. 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi
Kredit yang kemudian diubah menjadi Peraturan Bank Indonesia No.
2/15/PBI/ 2000 tentang Restrukturisasi Kredit. Pada mulanya restrukturisasi
kredit dapat dilakukan dengan 7 (tujuh) cara yakni melalui :
a) penurunan suku bunga;
b) pengurangan tunggakan bunga kredit;
c) pengurangan tunggakan pokok kredit;
d) perpanjangan jangka waktu kredit;
e) penambahan fasilitas kredit;
f) pengambilalihan aset debitur sesuai ketentuan yang berlaku;
g) konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan
debitur.
Dalam perjalanan sejarah yuridis teknis mengenai restrukturisasi
kredit, ketentuan mengenai restrukturisasi kredit tidak lagi diatur melalui
Surat Keputusan namun dipertegas melalui Peraturan Bank Indonesia yakni
Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum. Restrukturisasi kredit dalam ketentuan tersebut
8
dipandang sebagai upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan
perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi
kewajibanya, yang dilakukan antara lain melalui :
a) penurunan suku bunga kredit;
b) perpanjangan jangka waktu kredit;
c) pengurangan tunggakan bunga kredit;
d) pengurangan tunggakan pokok kredit;
e) penambahan fasilitas kredit; dan atau
f) konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Ketentuan mengenai restrukturisasi kredit mengalami beberapa kali
perubahan sesuai dengan kondisi perbankan di Indonesia. Seiring dengan
berkembangnya industri perbankan Syariah, maka ketentuan mengenai
restrukturisasi kredit diatur secara terpisah dalam 2 (dua) Peraturan Bank
Indonesia yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang
Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah jo
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/9/PBI/2011 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi
Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (selanjutnya
disebut Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah) dan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/ 15 /PBI/2012 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum
selanjutnya disebut Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas
Aset Bank Umum).
9
Restrukturisasi kredit dilakukan terhadap portofolio kredit bermasalah
(non-performing loan) terutama pada kredit diragukan dan kredit macet.
Portofolio kredit bermasalah yang dapat dimasukkan kedalam program
restrukturisasi kredit harus memenuhi persyaratan tertentu. Bank hanya
dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga
kredit; dan
b. debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah kredit direstrukturisasi.
Program restrukturisasi kredit umumnya telah lazim dilakukan di
dunia perbankan. Bank yang bergerak pada penyaluran kredit memiliki
program restrukturisasi telah diatur pada kebijakan perkreditan masing-
masing bank, namun masih ada bank yang mengabaikan dan tidak
melakukan restruturisasi kredit ini sesuai dengan prosedur, misalnya
melakukan write-off bersamaan dengan restrukturisasi kredit dimana
restrukturisasi kredit ini hanya merupakan formalitas agar write-off bisa
dilakukan dan bank bisa mendapatkan bunga tunggakan yang besar dari
debitur dengan kategori kredit bermasalah.
Hal-hal seperti diatas tentunya akan mematikan usaha debitur.
Debitur yang masih memiliki prospek usaha yang bagus dan seharusnya
dapat berkembang apabila dilakukan restrukturisasi kredit menjadi
10
kehilangan kesempatan dan gulung tikar bahkan agunan kredit tersebut
dieksekusi. Bila kondisi seperti itu dibiarkan maka kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga perbankan akan merosot. Dimana perlu diingat bahwa
lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan
masyarakat.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, kiranya cukup
alasan untuk diadakan suatu penelitian dan pembahasan mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan masalah ”Implementasi Ketentuan
Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit
Perbankan”
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1) Bagaimanakah implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam
penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada kredit
perbankan?
2) Apa hambatan yang dihadapi dalam implementasi ketentuan
restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit
bermasalah pada kredit perbankan?
3. Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah
mengenai ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap
11
Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” yang meliputi implementasi
dketentuan restrukturisasi kredit dan hambatan-hambatan pelaksanaan
restrukturisasi dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah
pada kredit perbankan. Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang
dilakukan pada bank yang memiliki kredit bermasalah di Bali. Analisis akan
dikaji dari segi aspek hukumnya.
Dalam sub-sub bab akan dibahas mengenai jawaban atas rumusanan
masalah pertama dan rumusan masalah kedua. Dalam pembahasan pertama
akan dibahas mengenai wanprestasi yang dilakukan pihak debitur sebagai
awal penyebab terjadinya kredit bermasalah, analisis kredit sebagai
kebijakan untuk menghindari default risk serta pelaksanaan dan
penyimpangan dalam pelaksanaan restrukturisasi.
Dalam permasalahan kedua akan dibahas mengenai faktor-faktor yang
berpengaruh dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit bermasalah, hambatan
dalam pelaksanannya dan tanggung jawab kreditur pada pelaksanaan
restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit
bermasalah pada kredit perbankan.
4. Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum (het doel van het onderzoek).
Tujuan umum dalam penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui
permasalahan hukum dan isu-isu aktual mengenai perbankan, yakni
12
mengenai implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap
debitur wanprestasi pada kredit perbankan.
b. Tujuan khusus (het doel in het onderzoek).
Tujuan khusus dari penelitian tesis ini adalah:
1) Untuk menganalisis implementasi ketentuan restrukturisasi kredit
dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah pada
kredit perbankan.
2) Untuk menganalisis hambatan yang dihadapi dalam implementasi
ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan
penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan.
5. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis.
Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dan wawasan berpikir bagi para pembaca mengenai implementasi
ketentuan restrukturisasi kredit dan hambatan yang dihadapi dalam
implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan
penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan. Penelitian ini
diharapkan dapat mengembangkan pemahaman mengenai hukum
perbankan.
13
b. Manfaat praktis.
Penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis yakni:
1) Bagi para pelaku perbankan dalam menjalankan kegiatan
perkreditan dilakukan sesuai dengan kebijakan perkreditan
masing-masing bank dan ketentuan yang berlaku.
2) Bagi nasabah agar lebih kooperatif dalam menjalankan
kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kredit apabila
sekiranyya mengalami kesulitan membayar aka debitur
diharapkan untuk memohon kepada kreditur untuk melakukan
analisis kelayakan ulang sehingga kredit tersebut dapat
direstruktur.
3) Bagi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan agar lebih fokus
mengawasi kegiatan perbankan dalam pemberian kredit dan
memberi sanksi bagi pihak yang melanggar sehingga dapat
memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada
para pihak.
6. Orisinalitas Penelitian
Pembahasan dalam tesis ini belum pernah ditulis sebelumnya. Melalui
penelurusan mengenai topik ini, terdapat beberapa tesis yang dapat
digunakan sebagai pembanding yakni:
a) Restrukturisasi Kredit Macet Debitor di PT. Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) Terabina Seraya Mulia Selatpanjang oleh Aprisal, tesis pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam penelitian
14
terebut dibahas mengenai analisis terhadap pengaturan materi hukum
atas restrukturisasi kredit macet dan kendala yang dihadapi. Studi kasus
dalam penelitian ini dilakukan di Bank Perkreditan Rakyat Terabina
Seraya Mulia Selatpanjang. Hasil penelitian berupa analisis terhadap
faktor-faktor penyebab kredit macet dan kendala yang dihadapi dalam
penyelesaian kredit macet pada Bank Perkreditan Rakyat Terabina
Seraya Mulia Selatpanjang.10
Penelitian ini menyoroti kendala
restrukturisasi kredit dari itikad baik debitur sedangkan dalam
penelitian ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap
Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” menyoroti hambatan
restrukturisasi kredit dari faktor hukum, penegak hukum (bank), sarana
dan fasilitas, masyarakat dan budaya (debitur). Lokasi penelitian juga
berbeda dimana dalam penelitian tesis ini dilakukan di beberapa bank
yang memiliki tingkat kolektabilitas di Bali.
b) Penyelesaian Kredit Macet Melalui Perdamaian dan Restrukturisasi
Utang dalam tesis yang ditulis oleh Palomes. Dalam penelitian tersebut
dibahas mengenai alternatif penyelesaian hutang melalui perdamaian
dan restrukturisasi hutang, kredit macet yang merupakan piutang negara
dapat diselesaikan melalui mekanisme perdamaian sekaligus melalui
alternatif restrukturisasi piutang negara dan analisis mengenai perlunya
instrumen hukum berupa peraturan perundang-undangan yang lebih
10
Aprisal, 2010, “Restrukturisasi Kredit Macet Debitor di PT. Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) Terabina Seraya Mulia Selatpanjang”, (tesis) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
Medan.
15
memadai yang dapat memberikan opsi yang lebih cepat, komprehensif
serta memberi kepastian dan jaminan hukum dalam restrukturisasi
kredit macet/piutang negara.11
Kajian dalam penelitian Penyelesaian
Kredit Macet Melalui Perdamaian dan Restrukturisasi Utang adalah
mengenai restrukturisasi sebagai bentuk perdamaian dalam
penyelesaian kredit/ piutang negara sedangkan dalam penelitian
”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur
Wanprestasi Pada Kredit Perbankan” dibahas mengenai implementasi
restrukturisasi kredit dan hambatan-hambatannya dalam
menyelamatkan dan menyelesaikan kredit bermasalah.
c) Pelaksanaan Restrukturisasi Dalam Bentuk Pinjaman Investasi Dengan
Opsi Penyertaan Saham (P.I.D.O.P.S) oleh M.Th. Endang Suhartati,
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro
Semarang pada tahun 2008. Dalam penelitian ini dibahas mengenai
pelaksanaan restrukturisasi kredit, hambatan-hambatan yang dihadapi
dalam restrukturisasi kredit yang dilaksanakan PT. Bank Niaga
terhadap Debitur PT. Bukit Payangan dengan struktur PIDOPS dan cara
mengatasinya. Penelitian ini khusus menganalisis mengenai cara
restrukturisasi kredit melalui penyertaan modal sementara dalam
perusahaan debitur khususnya dengan struktur fasilitas pinjaman yang
berbentuk Pinjaman Investasi dengan opsi penyertaan saham
11
Palomes, 2006, ”Penyelesaian Kredit Macet Melalui Perdamaian dan Restrukturisasi
Utang” (tesis), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
16
(PIDOPS).12
Dalam penelitian ”Implementasi Ketentuan Restrukturisasi
Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit Perbankan”, bentuk
restrukturisasi tidak terbatas pada penyertaan modal sementara saja dan
dilakukan di beberapa bank di Bali yang melaksanakan restrukturisasi
kredit.
Berdasarkan perbandingan terhadap beberapa tulisan di atas maka
dapat diketahui bahwa penelitian mengenai ”Implementasi Ketentuan
Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur Wanprestasi Pada Kredit
Perbankan” memiliki pembahasan yang berbeda dan memang belum pernah
ditulis oleh peneliti lain.
7. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
a. Landasan teoritis.
Landasan teoritis merupakan bagian penting dalam suatu
penelitian ilmiah. Landasan teori adalah landasan berfikir yang
bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan
untuk memecahkan masalah dalam sebuah penelitian. Terkait dengan
penelitian ini dikemukakan teori-teori (ajaran atau doktrin), konsep,
asas-asas hukum yang relevan yang selanjutnya dijustifikasikan dengan
peraturan yang ada.
Soetandyo Wignjosoebroto mengartikan teori adalah suatu
konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud
12
M.Th. Endang Suhartati, 2008, “Pelaksanaan Restrukturisasi Dalam Bentuk Pinjaman
Investasi Dengan Opsi Penyertaan Saham (P.I.D.O.P.S), (tesis), Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang.
17
untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam
pengalaman (ialah alam yang tersimak berdasarkan indera manusia)13
.
Terdapat pemahaman bahwa istilah teori bukanlah merupakan sesuatu
yang harus dijelaskan, tetapi segala sesuatu yang seolah-olah sudah
dipahami maknanya, bahkan teori sering ditafsirkan sebagai istilah
tanpa makna apabila tidak berkait dengan kata yang menjadi
padanannya14
. Kerlinger mendefinisikan teori sebagai :
“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions,
and propositions that present a systematic view of phenomena by
specifying relations among variables, with the purpose of
explaning and predicting the phenomena.”15
Berbicara mengenai restrukturisasi kredit sudah barang tentu awal
mula karena adanya dampak serius dari krisis sektor perkreditan yaitu
tingginya rasio non-performance loan (NPL) pada bank tersebut.
Sebagai upaya mengatasi tingginya rasio NPL pada bank maka BI
menetapkan arah kebijaksanaan agar setiap bank umum secara bertahap
dapat menurunkan NPL sampai pada tingkat tidak lebih dari 5%. Dalam
hal ini bank-bank dibebaskan menentukan atau memilih cara untuk
menurunkan NPL tersebut, apakah melalui penagihan langsung, atau
melalui jalur hukum (gugatan pengadilan), atau melakukan
restrukturisasi kredit. Dari beberapa alternatif tersebut tampaknya
13
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum : Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, ELSAM-HUMA, Jakarta, h. 184.
14 H.R. Otje Salman S dan Anthon F. Susanto,2008, Teori Hukum ; Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 19.
15 Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
h. 140
18
restrukturisasi kredit merupakan alternatif yang banyak ditempuh
bank.16
Secara historis, ketentuan restrukturisasi kredit sebenarnya telah
diatur secara khusus dalam SK Direksi Bank Indonesia No.
31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi
Kredit yang kemudian diubah menjadi Peraturan Bank Indonesia No.
2/15/PBI/ 2000 tentang Restrukturisasi Kredit, Peraturan Bank
Indonesia No. 7/2/PBI/ 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum, dan dikuatkan dengan Keputusan Presiden Nomor 56 tahun
2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah.
Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
restrukturisasi kredit. Oleh karena itu setiap bank baik bank umum,
bank perkreditan rakyat (BPR) maupun Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) wajib memiliki kebijakan perkreditan yang dapat dipergunakan
sebagai pedoman dalam pemberian kredit sehari-hari.
Dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal
31 Maret 1995 ditetapkan bahwa dalam pemberian kredit tersebut
sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal pokok sebagai
berikut:
1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan
2. Organisasi dan manajemen perkreditan
3. Kebijaksanaan persetujuan pemberian kredit
16
Wahyu Santoso, 2008, Restrukturisasi Kredit Sebagai Bagian Integral Restrukturisasi
Perbankan, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 6, No. 1, April 2008, h. 18
19
4. Dokumentasi dan administrasi kredit
5. Pengawasan kredit
6. Penyelesaian kredit bermasalah
Jadi mengenai penyelesaian kredit bermasalah wajib diatur dalam
kebijakan perkreditan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan
prosedur yang berlaku. Menurut Pasal 57 Peraturan Bank Indonesia
No. 7/2/PBI/ 2005 menyatakan bahwa kualitas kredit setelah dilakukan
restrukturisasi adalah sebagai berikut :
a) setinggi-tingginya kurang lancar untuk kredit yang sebelum
dilakukan restrukturisasi tergolong diragukan atau macet;
b) kualitas tidak berubah untuk kredit yang sebelum deilakukan
restrukturisasi tergolong lancer, dalam perhatian kusus, atau
kurang lancar.
Berdasarkan Pasal 57 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/
2005 tersebut, dapat disimpulkan bahwa restrukturisasi kredit dapat
diterapkan untuk semua kategori kualitas kredit, dari mulai kredit lancar
(kategori 1) hingga kredit macet (kategori 5). Walaupun mengenai
restrukturisasi kredit ini sudah diatur jelas dalam berbagai peraturan
namun masih ada bank yang tidak melaksanakannya dan menyimpang
dari aturan yang ada.
Untuk menganalisis masalah hukum mengenai implementasi
ketentuan restrukturisasi kredit dan hambatan yang dihadapi dalam
implementasi ketentuan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan
20
penyelesaian kredit bermasalah pada kredit perbankan diperlukan
beberapa landasan teoritis yang relevan dengan permasalahan yang
akan dibahas. Adapun beberapa landasan teoritis yang digunakan dalam
tesis ini adalah :
1) Teori kesadaran hukum
2) Teori kepastian hukum
3) Teori itikad baik
4) Teori efektivitas hukum
Mengenai teori-teori tersebut maka dapat dijelaskan masing-
masing sebagai berikut :
a. Teori kesadaran hukum
Teori kesadaran hukum digunakan untuk menganalisis
permasalahan pertama yakni implementasi dalam pelaksanaan
restrukturisasi. Kesadaran hukum digunakan untuk mengukur
perilaku nasabah dalam melakukan pembayaran kredit dan kesadaran
pihak bank untuk melakukan penyelamatan terhadap kredit
bermasalah kepada nasabah tanpa diskriminasi.
Kesadaran hukum menunjuk pada aspek kejiwaan manusia
yang sekaligus juga menunjuk pada kesamaan persepsi, pandangan
dan pemahaman dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa
hukum itu, tentang apa yang dapat dilakukan atau perbuatan dalam
menegakan hukum atau apa yang sebaiknya dilakukan untuk
terhindar dari perbuatan melawan hukum. Ewick dan Silbey
21
memandang bahwa, “the term „legal consciousness‟ is used
scientists to refer to the ways in which people make sense of law and
legal institutions, that is, the understanding which give meaning to
people‟s experiences and action”17
. Kesadaran hukum merupakan
suatu proses psikis yang terdapat dalam diri manusia, yang mungkin
timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas
kesadaran hukum ada pada setiap manusia, oleh karena setiap
manusia mempunyai rasa keadilan.
Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai “justitia est
constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan
adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada
masing-masing apa yang menjadi haknya) atau “tribuere cuique
suum” – “to give everybody his own”, memberikan kepada setiap
orang yang menjadi haknya.18
Di dalam ilmu hukum ada banyak pendapat mengenai
kesadaran hukum sebagaimana telah dikemukakan diatas. Diantara
sekian banyak pengertian-pengertian itu, terdapat suatu rumusan
17 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h. 298
18Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, LaksBang Mediatama Yogyakarta bekerjasama dengan Kantor Advokat “Hufron &
Hans Simaela”, Surabaya, h. 36
22
bahwa sumber satu-satunya hukum dan kekuatan mengikatnya
adalah kesadaran hukum.19
Kesadaran hukum akan menentukan apakah suatu subjek
hukum taat terhadap hukum atau tidak. Weber mengatakan mengapa
orang menaati hukum yaitu sebagai berikut :
The motive for obedience may be of many different kinds. They
are predominantly utilitarian, ethical or subjectively
conventional. Tracing the habit of obeying, Weber finds that it is
a primary psychological fact though it is not possible to know the
experiences of the first homo sapiens. He says:
it is not due to the assumed binding force of some rule or norm
that the conduct of primitive man manifests certain factual
regularities, especially in his relation to his fellows. On the
contrary, those organically conditioned regularities which we
have to accept as psychological reality are primary. It is from
them that the concept of “natural norms” arises.20
Dengan demikian ketaatan hukum merupakan suatu kewajiban
moral dan kewajiban hukum yang harus dilaksanakan dalam
kerangka penegakan hukum.
b. Teori kepastian hukum
Teori kepastian hukum digunakan untuk menganalisis
permasalahan pertama yakni implementasi dalam pelaksanaan
restrukturisasi kredit. Teori kepastian hukum dipandangan oleh
Gustav Radburch seorang filsuf hukum Jerman sebagai salah satu
dari tiga ide dasar hukum. Sebagian besar pakar teori hukum dan
filsafat hukum, juga mengidentikkan ide dasar tersebut sebagai
19
Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 167 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I)
20Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala
Lumpur, h. 176
23
tujuan hukum yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan
(zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherkeit).
Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas
dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama
adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah
kepastian hukum.21
Kepastian hukum atau Rechtssicherkeit adalah sesuatu yang
baru yaitu sejak hukum dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik.
Kepastian hukum adalah sicherkeit des scherts selbst (kepastian
tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan
kepastian hukum yakni pertama, bahwa hukum itu positif, artinya
bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches recht). Kedua,
bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu
rumusan tentang penilaian yang nantinya akan dilakukan oleh hakim
seperti “kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus
dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan
dalam pemaknaan, di samping juga dijalankan. Keempat, hukum
positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.22
c. Teori itikad baik
Teori itikad baik digunakan dalam menganalisis rumusan
masalah pertama yakni dalam mengkaji implementasi restrukturisasi
21
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h. 288. 22
Ibid. hal. 292-293.
24
kredit perbankan. James Gordley, memandang bahwa kenyataannya
sangat sulit untuk mendefinisikan itikad baik.23
Black’s Law
Dictionary memberikan rumusan untuk pengertian ”itikad baik”
adalah sebagai berikut :24
good faith is an intangible and abstract quality with no technical
meaning or statutory definition, and it compasses, among other
things, an honest belief, the absence of malice and the absence of
design to defraud or to seek an unconscionable advantage, and
individual‟s personal good faith is concept of his own mind and
inner spirit and, therefore, may not conclusively be determinded
by his protestations alone .... in common usage this term is
ordinarily used to describe that state of mind denoting honesty of
purpose, freedom from intention to defraud, and, generally
speaking, means being faithful to one‟s duty or obligation.
Hofmann dan Vollmar berpandangan bahwa disamping adanya
pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang
bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah
kepatutan (billikheid, redelijkheid).25
Prinsip itikad baik (good faith)
harus ada sejak negosiasi, pelaksanaan kontrak hingga penyelesaian
sengketa. Prinsip resiprositas mensyaratkan bahwa para pihak dalam
perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajibannya masing-
masing secara timbal balik.26
Seseorang tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya, apabila ia telah berusaha dengan sekuat
23
Ridwan Khairandy, 2003, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 129-130.
24Henry Campbell Black, 1990, Black‟s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul-
Minnessota, h. 693.
25 Riduan Syahrani, 2000,Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, h.
212.
26 Huala Adolf, 2007, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Refika Aditama,
Bandung, h. 25-27.
25
tenaga untuk melaksanakan kontrak dan menghindarkan diri dari
segala malapetaka, tetapi tetap tidak membawa hasil apa-apa,
walaupun kontrak itu telah di buat secara sah dan mengikat orang
tersebut.27
Prinsip-prinsip itikad baik diatur dalam Pasal 1338 KUH
Perdata yang menetapkan bahwa:
a. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para
pembuatnya.
b. Pengakhiran suatu perjanjian hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan atau karena undang-undang menyatakan berakhir.
c. Pacta sunt servanda: perjanjian harus ditaati oleh para
pembuat.28
Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH Perdata, pada
dasarnya setiap kontrak adalah mengikat sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya, tidak boleh diubah dengan jalan dan
cara apapun, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Kekuatan
mengikat kontrak ini dimulai sejak saat dipenuhinya syarat sahnya
kontrak berarti sejak saat itu pihak-pihak harus memenuhi apa yang
diperjanjikan. Mengikat sebagai undang-undang berarti pelanggaran
terhadap kontrak tersebut berakibat hukum sama dengan melanggar
undang-undang 29
27
Riduan Syahrani., op.cit, h. 248.
28 Budiono Kusumohamidjojo, 1998, Dasar-dasar merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta,
h. 15.
29 Juaji Sumardi, 1995, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 42
26
Teori itikad baik sesungguhnya lahir dari asas-asas dalam
perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi
yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai
dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu
hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu.
Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan
(beperkende en derogerende werking vande geode trouw).30
d. Teori efektivitas hukum
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaidah-kaidah yang mantap serta sikap tindakan sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Soerjono Soekanto mengemukakan ada 5 faktor yang dapat
digunakan untuk mengukur efektivitas hukum yaitu :
1) Faktor hukumnya sendiri;
2) Faktor penegak hukum;
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum;
4) Faktor masyarakat;
5) Faktor kebudayaan.31
30
Ridwan Khairandy, op.cit. h. 33. 31
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 7 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II)
27
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok
ukur daripada efektivitas penegakan hukum.32
Efektivitas hukum ini dapat pula dikaji melalui pemikiran
Friedman melalui tiga elemen dalam sistem hukum yakni substansi
hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Struktur hukum, yaitu
keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya,
substansi hukum yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan
asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk
putusan pengadilan dan kultur hukum, yaitu opini-opini,
kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-
kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak
hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai
fenomena yang berkaitan dengan hukum.33
Teori mengenai
efektivitas hukum ini digunakan untuk menganalisis permasalahan
kedua yakni hambatan dalam pelaksanaan retrukturisasi yang
ditelaah dari berbagai aspek.
Prinsip-prinsip Perbankan
Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu
prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle), prinsip kehati-hatian
(prudential principle), prinsip kerahasiaan (secrecy principle), dan
32
Ibid, h. 8
33
Achmad Ali, op.cit., h. 204.
28
prinsip mengenal nasabah (know how costumer principle). Prinsip
perbankan ini ada yang dituangkan dalam pasal-pasal UU Perbankan, ada
pula yang tidak.34
Adapun prinsip-prinsip tersebut dijabarkan sebagai
berikut :
1. Prinsip Kepercayaan ( Fiduciary Relation Principle )
Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi
hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana
masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap
bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan
mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan
diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan perubahan.
2. Prinsip Kehati-hatian (Prudential Principle)
Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan
bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam
menghimpun terutama dalam menyalurkan kepada masyarakat harus
sangat berhati-hati. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan
Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan perubahan.
3. Prinsip Kerahasiaan ( Secrecy Principle)35
Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan
Pasal 47 A UU Perbankan. Menurut Pasal 40, bank wajib
34
Neni Sri Imaniyati, 2005, Pencucian Uang ( Money Laundering ) dalam Perspektif
Hukum Perbankan dan Hukum Islam, UNISBA, Bandung, h. 104-105 selanjutnya disebut Neni Sri
Imaniyati II).
35Pengertian rahasia bank menurut Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998 adalah :
“segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya.”
29
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam
hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank
yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan
Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk
kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata
antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar
informasi antarbank.
4. Prinsip Mengenal Nasabah (Know How Costumer Principle)
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh
bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau
kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi
yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 31/10/PBI/2001 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah.
b. Kerangka pemikiran.
Bank memiliki fungsi untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat.
Dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka akan mengakibatkan
kredit bermasalah. Penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah
dapat dilakukan melalui restrukturisasi kredit. Berdasarkan latar belakang
masalah dan landasan teoritis, maka dapat disusun kerangka berpikir
sebagai berikut:
`
30
Bagan 1. Oleh Penulis
Implementasi Ketentuan Restrukturisasi Kredit Terhadap Debitur
Wanprestasi Pada Kredit Perbankan
Fasilitas Pemberian
Kredit Bank
Penyaluran Kredit
Kepada Masyarakat.
Perjanjian Kredit
Wanprestasi
Oleh Debitur
Rasio Non
Performance Loan
Tinggi
Restrukturisasi Kredit
Implementasi Ketentuan
Restrukturisasi Kredit
Sebagai Upaya
Penyelamatan Kredit
Bermasalah
Hambatan-hambatan dalam
Restrukturisasi Kredit
Teori
efetivitas
hukum
Prinsip-
prinsip
perbankan
Teori teori
kesadaran
hukum
Teori
kepastian
hukum
Teori itikad
baik
Dilakukan Sesuai
Dengan Ketentuan Yang
Berlaku
Kualitas Kredit
Membaik
Perbankan yang
sehat
31
8. Metode Penelitian
a. Jenis penelitian.
Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum empiris.
Penelitian hukum empiris adalah suatu penelitian yang beranjak dari
adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu kesenjangan
antara teori dengan dunia realita, kesenjangan antara keadaan teoritis
dengan fakta hukum, dan atau situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk
pemenuhan kepuasan akademik.
Dalam penelitian hukum dengan aspek empiris, hukum dikonsepkan
sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan
nyata. Penelitian ini mengkaji mengenai implementasi mengenai
ketentuan restrukturisasi terhadap debitur wanprestasi pada kredit
perbankan serta hambatan-hambatan dalam melaksanakan restrukturisasi
kredit tersebut.
b. Sifat penelitian.
Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi
3 (tiga) yaitu penelitian hukum yang bersifat eksploratif (penjajakan atau
penjelajahan), Penelitian hukum yang bersifat deskriptif, dan penelitian
hukum yang sifatnya eksplanatoris (menguji hipotesis). Terkait dengan
tesis ini maka digunakan penelitian hukum yang sifatnya deskriptif.
Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang umumnya bertujuan untuk
mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu
populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-
32
karakteristik atau faktor-faktor tertentu.36
Jadi dalam penelitian ini akan
dideskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
pelaksanaan ketentuan restrukturisasi dalam penyelamatan kredit
bermasalah dan perlindungan hukum terhadap nasabah yang tergolong
dalam kredit bermasalah dalam restrukturisasi perbankan.
c. Data dan sumber data.
Dalam penelitian hukum empiris digunakan dua jenis data yaitu data
primer yang bersumber dari penelitian lapangan dan data skunder yang
bersumber dari penelitian kepustakaan. Untuk lebih jelas maka akan
dijabarkan sebagai berikut :
1) Data primer.
Data primer adalah data yang diperoleh dan bersumber dari
penelitian lapangan. Jadi terkait dengan penulisan ini, data primer
bersumber dari hasil penelitian di Bank Tabungan Pensiunan
Nasional (BTPN) dan Bank Perkreditan Rakyat Aruna Nirmaladuta.
Untuk memperoleh data primer yang bersumber dari penelitian
lapangan maka akan dilakukan observasi pada bank dalam
pemberlakukan restrukturisasi kredit dan wawancara langsung dalam
pengumpulan fakta sosial sebagai bahan kajian ilmu hukum empiris,
wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung
dimana semua pertanyaan disusun secara sistematik, jelas dan
36
Bambang Sunggono, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 35.
33
terarah sesuai dengan isu hukum yang diangkat dalam penelitian.37
Wawancara dilakukan kepada komisaris utama dan bagian kredit
yang memiliki deskripsi kerja dalam menangani restrukturisasi kredit
bermasalah.
2) Data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dan bersumber dari
penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk
memperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data sekunder terdiri
dari:
a) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat.38
Bahan hukum primer yang digunakan sebagai
berikut :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
jo Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan.
37
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung ,
h. 167
38Bambang Sunggono, op.cit, h. 113.
34
3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
4) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/9/PBI/2011
Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi
Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/ 15 /PBI/2012
Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.
6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank
Umum Konvensional.
7) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
31/177/KEP/DIR tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit Bank Umum.
8) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
7/190/DPNP/IDPnP tanggal 26 April 2005, dan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 7/319/ DPNP/IDPnP
tanggal 27 Juni 2005 tentang Kebijakan Restrukturisasi
Kredit.
9) Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara
Konvensional di Indonesia.
35
b) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum skunder yakni bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.39
Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-
literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur
hukum (buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli yang
berpengaruh (de herseende leer) ), hasil penelitian, pendapat
para pakar hukum, jurnal hukum dan artikel ilmiah yang
membahas mengenai perbankan, aspek hukum perbankan,
kredit macet dan restrukturisasi kredit.
c) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberi
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder.40
Bahan hukum tertier yang digunakan dalam
tesis ini adalah kamus-kamus dan ensiklopedia.
d. Teknik pengumpulan data.
Dalam penelitian hukum empiris ini digunakan 3 (tiga) teknik
untuk mengumpulkan data yaitu studi dokumen untuk pengumpulan data
sekunder, dan wawancara untuk pengumpulan data primer. Untuk lebih
jelas maka akan dijabarkan sebagai berikut:
1) Studi dokumen, merupakan teknik yang digunakan dalam rangka
pengumpulan data sekunder, studi dokumen merupakan teknik awal
39
Bambang Sunggono, op.cit, h.114
40 Bambang Sunggono, op.cit, h.114
36
yang digunakan dalam setiap penelitan hukum. Metode
pengumpulan data ini sangat bermanfaat karena dapat dilakukan
tanpa mengganggu obyek atau suasana penelitian.41
Studi dokumen
ini dilakukan dalam mengumpulkan data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
2) Observasi dilakukan terhadap bank dalam pemberlakukan
restrukturisasi kredit sejak pengajuan kredit, perilaku marketing,
respon bank dalam menghadapi nasabah wanprestasi dan
penyelesaian kredit bermasalah.
3) Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan dengan mana dua orang atau lebih bertatap
muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan.42
Wawancara dilakukan di Bank Tabungan
Pensiunan Nasional (BTPN) dan Bank Perkreditan Rakyat Aruna
Nirmaladuta.
e. Teknik penentuan sampel penelitian.
Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.43
Sampel merupakan bagian yang menjadi objek penelitian. Adapun teknik
penentuan sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
41
Jonathan Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Graha Ilmu,
Yogyakarta, h. 225.
42 Cholid Narbuko, dan H. Abu Achmadi, , 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara,
Jakarta, h. 83.
43 Bambang Sunggono, op.cit., h. 119.
37
1) Purposive sampling adalah penarikan sampel berdasarkan tujuan
tertentu yang dipilih sendiri oleh peneliti berdasarkan pertimbangan
berdasarkan kriteria dan karakteristik tertentu. Teknik penentuan
sampel ini digunakan untuk memilih Bank Tabungan Pensiunan
Nasional (BTPN) dan Bank Perkreditan Rakyat Aruna Nirmaladuta
sebagai lokasi penelitian. Adapun penentuan lokasi penelitian ini
didasarkan pada kriteria bahwa di bank-bank tersebut terdapat
kredit macet dan restrukturisasi terhadap kredit macet.
2) Snowball Sampling adalah teknik penarikan sampel yang
didasarkan pada rekomendasi dari sampel sebelumnya. Teknik
penarikan sampel ini digunakan untuk mencari keberadaan
kebijakan restrukturisasi kredit perbankan.
f. Teknik pengolahan dan analisis data.
Teknik pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil dari
pengumpulan data sehingga siap dipakai untuk dianalisis secara
kwalitatif. Tujuan mempergunakan metode kualitatif adalah agar seorang
peneliti dapat mengerti atau memahami gejala yang diteliti.44
Metode
kualitatif dapat menggambarkan fenomena yang terjadi di masyarakat
dapat diteliti melalui penggalian kasus-kasus konkrit dan keadaan hukum
di lapangan yang mana terfokus pada pengkajian terhadap pemikiran,
makna dan cara pandang baik masyarakat, ahli hukum maupun penulis
44
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta, h. 32 (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III).
38
sendiri mengenai gejala-gejala yang menjadi objek penelitian.45
Kasus-
kasus yang ditelaah meliputi penentuan kredit bermasalah oleh bank
akibat adanya debitur wanprestasi dan kebijakan restrukturisasi di
masing-masing bank .
Setelah melalui proses pengolahan yang selektif, kemudian data
tersebut disajikan secara deskriptif analisis, yaitu dijabarkan dalam
bentuk uraian–uraian yang nantinya dapat menjawab permasalahan
mengenai implementasi ketentuan restrukturisasi kredit terhadap debitur
wanprestasi pada kredit perbankan.
45
Burhan Ashsofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 57.
39
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP RESTRUKTURISASI KREDIT
PERBANKAN
1. Perbankan dan Dasar Hukum Perbankan
Pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit dan
berkesinambungan. Dalam hal pengerahan dana masyarakat tidak dapat
dikesampingkan peran lembaga perbankan. Bank merupakan salah satu
lembaga pembiayaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bank
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Perbankan perubahan
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Bank sebagai lembaga yang bekerja berdasarkan kepercayaan
masyarakat, memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam
pembangunan nasional. Fungsi utama bank adalah menghimpun dan
menyalurkan dana kepada masyarakat, sehingga bank sebenarnya adalah
lembaga perantara. Sebagai lembaga perantara keuangan masyarakat
(financial intermediary), bank menjadi media perantara pihak-pihak yang
kelebihan dana (surplus of fouds) dengan pihak-pihak yang
kekurangan/memerlukan dana (lack of fouds).46
46
Muhamad Djumhana I, op.cit., h. 67
40
Pasal 2 UU Perbankan sebagaimana telah diubah menjadi UU
Perbankan perubahan menetapkan bahwa Perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan
prinsip kehati-hatian. Penjelasan Pasal 2 tersebut menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Demokrasi ekonomi ini tersimpul dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.
Dasar hukum berlakunya lembaga jika diurutkan sesuai dengan hierarki
peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33)
2. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
3. KUH Perdata
4. KUH Dagang
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
6. Peraturan Pemerintah
7. Peraturan Presiden
8. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan perbankan
Sejak Indonesia merdeka, telah disusun tiga undang-undang yang
mengatur tentang perbankan, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Perbankan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
41
perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain
peraturan dalam bentuk undang-undang juga telah dikeluarkan berbagai
kebijakan dibidang perbankan dalam bentuk Surat Keputusan, Peraturan
Bank Indonesia, maupun Surat Edaran Bank Indonesia.
Pengaturan perbankan di Indonesia memiliki beberapa fungsi utama
yaitu sebagai berikut :
1) Untuk tujuan moneter
Pengaturan perbankan diarahkan untuk tujuan moneter, ditujukan untuk
mendrong stabilitas moneter di Indonesia. Hal ini mengingat masih
dominannya perbankan sebagai sumber pembiayaan investasi.
2) Untuk tujuan pengawasan terhadap industri perbankan
Pengaturan perbankan untuk tujuan pengawasan adalah dalam rangka
menjaga keamanan dan kesehatan bank maupun kesehatan sistem
keuangan secara keseluruhan, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas
pasar uang serta mendorong sistem perbankan yang efisien dan kompetitif.
3) Untuk tujuan pembangunan
Pengaturan perbankan untuk tujuan pencapaian program pembangunan
diarahkan agar perbankan nasional dapat mengatasi masalah-masalah
ekonomi pada masa pembangunan.47
Menurut jenisnya, bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
47
Heri Supraptomo, 1996, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Makalah pada
Pertemuan Ilmiah tentang Analisis Ekonomi terhadap Hukum dalam Menyongsong Era
Globalisasi, BPHN-Departemen Kehakiman, Jakarta, h. 7
42
konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 6 UU Perbankan
perubahan, menyatakan bahwa:
Usaha Bank Umum meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu ;
b. memberikan kredit ;
c. menerbitkan surat pengakuan hutang ;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang
masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam
perdagangan surat-surat dimaksud ;
2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa
berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan
surat-surat dimaksud ;
3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah ;
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;
5. obligasi ;
6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun ;
7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun ;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah ;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan
dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya ;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan antar pihak ketiga ;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga ;
i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak ;
j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek ;
k. dihapus ;
l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan
wali amanat ;
m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain
berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia ;
43
n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selain melakukan kegiatan usaha tersebut, dalam Pasal 7 UU
Perbankan perubahan ditentukan juga bahwa Bank Umum dapat pula :
a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di
bidang keuangan, seperti sewamguna usaha, modal ventura, perusahaan
efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan,
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat
kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia ; dan
d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus pensiun sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun
yang berlaku.
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 13
UU Perbankan perubahan menentukan bahwa:
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu ;
44
b. memberikan kredit ;
c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip
Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia ;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank
lain.
Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa Perseroan Terbatas,.
Koperasi ; atau Perusahaan Daerah sedangkan bentuk hukum suatu Bank
Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari Perusahaan Daerah,
Koperasi, Perseroan Terbatas atau bentuk lain yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa bank merupakan
financial intermediary (lembaga perantara keuangan), dengan demikian
memiliki tugas utama dalam menghimpun dan menyalurkan kembali dana
kepada masyarakat. Untuk kesinambungan usaha perbankan maka diperlukan
pengawasan untuk menghindari kredit bermasalah.
2. Kredit dalam Kegiatan Usaha Perbankan
Lembaga perbankan merupakan suatu lembaga keuangan yang
menjembatani antara pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang
memerlukan dana, atau merupakan lembaga yang berperan sebagai perantara
keuangan masyarakat (financial intermediary). Sifat lembaga perbankan di
Indonesia secara umum mempunyai sifat yang sama dengan sifat lembaga
perbankan yang ada di seluruh dunia, yaitu bahwa lembaga perbankan
mempunyai sifat sebagaimana disampaikan para ahli hukum perbankan, yaitu
sebagai berikut:48
48
Muhamad Djumhana, 2008, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya
Bhakti, Bandung, h. 15 (Selanjutnya disebut Muhamad Djumhana II)
45
a. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang menjadi penggerak roda
perekonomian modern dan menjadi penentu tingkat kestabilan
perekonomian suatu Negara karena apabila lembaga perbankan tidak
berjalan dengan baik, perekonomian menjadi tidak efisien, dan
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai. Kondisi
seperti hal itu akan terlihat bahwa kebijakan moneter untuk mencapai
dan mempertahankan kestabilan moneter ataupun pengelola ekonomi
makro untuk pertumbuhan ekonomi dan penyediaan kesempatan kerja
dapat tidak berjalan secara berkelanjutan apabila tidak adanya
perbankan yang sehat.
b. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang bertumpu pada
kepercayaan masyarakat sehingga dikenal adanya kerahasiaan bank.
Konsekwensinya apabila masyarakat sudah tidak mempercayai lagi
suatu bank, bank tersebut akan rentan terhadap serbuan masyarakat
yang menarik dana secara besar-besaran (bank runs) sehingga berponsi
merugikan deposan dan kreditor bank. Selanjutnya, dampaknya tidak
menutup kemungkinan bank tersebt akan ambruk, bahkan menyebar ke
bank-bank lainya dengan cepat.
Dua sifat diatas merupakan sifat yang umum dari suatu lembaga
perbankan dan kekhususan sifat lembaga perbankan di Indonesia ditetapkan
dalam regulasinya, yaitu harus berperan sebagai agen pembangunan.
46
Dengan merujuk pendapatnya Nicholas A. Lash, Nindyo Pramono,
menguraikan tujuan dari pada perbankan. Adapun tujuan tersebut adalah
sebagai berikut :49
1. Menjaga keamanan bank;
2. Memungkinkan terciptanya iklim kompetisi yang sehat;
3. Pemberian kredit untuk tujuan khusus;
4. Perlindungan terhadap nasabah;
5. Terciptanya suasana yang kondusif bagi pengambilan kebijakan moneter.
Terkait dengan pemberian kredit, selain merupakan salah satu tujuan
dari perbankan, pemberian kredit merupakan salah satu layanan jasa
perbankan yang cukup klasik. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila ada
yang berpendapat bahwa bank adalah sebagai tempat meminjam uang. Selain
itu pemberian kredit merupakan kegiatan yang sangat pokok dan sangat
konvensional dari perbankan.
Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu Credere yang artinya
“percaya.” Apabila hal tersebut dihubungkan dengan tugas bank, maka
terkandung pengertian bahwa bank selaku kreditur percaya untuk
meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah (debitur) karena debitur dapat
dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka
49
Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Cetakan Pertama, Citra
Aditya Bhakti, Bandung, h. 30.
47
waktu yang ditentukan.50
Jual beli dengan cara kredit ini sudah biasa ditemui
dalam kegiatan sehari-hari.
Kredit adalah penyerahan barang, jasa atau utang dari satu pihak
(kreditur atau pemberi pinjaman) atas dasar kepercayaan kepada pihak lain
(debitur atau penerima pinjaman atau penghutang) dengan janji membayar
dari debitur kepada kreditur pada tanggal yang telah disepakati kedua belah
pihak. Kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank/ kreditur dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
penerima pinjaman (debitur) untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu
dengan imbalan atau bagi hasil.51
Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat
dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia yaitu “Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang, suatu
50
Gatot Suparmono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit; Suatu Tinjauan di Bidang
Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta, h. 152.
51 Bendi Linggau dan Hamidah, 2010, Bisnis Kredit Mikro; Panduan Praktis Bankir Mikro
dan Mahasiswa, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, h. 19.
48
pinjam meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan
sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :52
1) Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang;
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak
penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang
kemudian disebut sebagai jumlah kredit atau plafond kredit.
2) Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain;
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam merupakan dasar dari
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang tersebut. Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
dibuat oleh bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk
perjanjian kredit.
3) Adanya kewajiban melunasi utang;
Pinjam meminjam uang adalah suatu utang bagi peminjam. Peminjam
wajib melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian kredit
oleh bank kepada debitur adalah suatu pinjaman uang dan debitur wajib
melakukan pembayaran penulasan kredit sesuai dengan jadwal
pembayaran yang telah disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam
ketentuan perjanjian kredit.
52
M. Bahsan, 2012, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 76-78
49
4) Adanya jangka waktu tertentu;
Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka tertentu. Jangka waktu
tersebut ditetapkan pada perjanjian kredit yang dibuat bank dengan
debitur. Jangka waktu yang ditetapkan merupakan batas waktu kewajiban
bank untuk menyediakan dana pinjaman dan menunjukan kesempatan
dilunasinya kredit.
5) Adanya pemberian bunga kredit;
Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan
adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman
uang yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang
dipinjamkan dan disetujui bank kepada debitur. Namun sering pula disebut
sebagai balas jasa atas penggunaan uang bank oleh debitur.
Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang
disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat
disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun istilah kredit banyak
pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di masyarakat, hendaknya
untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan
pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan
Indonesia.
Mengenai unsur-unsur kredit, Thomas Suyatno mengemukakan sebagai
berikut:
a) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi
yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan
50
benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di
masa yang akan datang.
b) Tenggang waktu, yaitu masa yang memisahkan antara pemberian
prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang
akan datang. Dalam unsur waktu itu, terkandung pengertian nilai
agio dari uang yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya
dari uang yang akan diterima di masa mendatang.
c) Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai
akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antar pemberian
prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari.
Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya,
karena sejauh-jauhnya kemampuan manusia untuk menerobos masa
depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang
akan dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya
unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah, maka timbullah
jaminan dalam pemberian kredit.
d) Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang
tetapi juga dapat berbentuk jasa atau barang. Namun karena
kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang,
maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang
setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan.53
53
Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media,
Jakarta, h. 58-59.
51
Dalam istilah umum, kredit perbankan hampir dipersamakan dengan
utang piutang pada umumnya. Namun senyatanya dalam kaidah hukum
perdata, antara utang dan kredit merupakan dua perbuatan hukum yang
berbeda dan memiliki konsekwensi yuridis yang berbeda pula. Sebagaimana
dimuat dalam Pasal 1757 KUH Perdata menyatakan bahwa apabila sang
debitur tidak membayar bunga atas pinjamanya maka kreditor tidak dapat
menuntut kebatalan atas perjanjian utang piutangnya apabila bunga atas utang
tidak diperjanjikan sebelumnya. Dengan kata lain, tidak ada bunga dalam
utang piutang bila tidak diperjanjikan oleh para pihak sebelumnya.54
Jadi berdasarkan hal tersebut di atas utang piutang pada umumnya ini
berbeda dengan ketentuan dalam kredit perbankan yang memiliki kekhasan
tersendiri. Secara lebih jelas perbedan antara kredit dan utang dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :55
PERBEDAAN ANTARA KREDIT DAN UTANG
54
Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah Solusi Hukum ( Legal
Action ) dan Alternatif Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, h. 1
55Feby M. Sukantendel, 2007, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia : Pedoman Anda
memahami dan Menyelesaikan Masalah Kredit Melalui Kelembagaan Hukum dan Masalah
Hukum, YLBHI, Jakarta, h. 132.
NO. KREDIT UTANG
1. Pembayaran kredit dilakukan
dengan cara mengangsur;
Pembayaran dapat dilakukan
dengan cara mengangsur ataupun
secara tunai;
2. Ditentukan tujuan penggunaan
uang yang akan dipinjam yang
dimasukan ke dalam perjanjian
kredit;
Tidak ditentukan tujuan
penggunaan uang dan tidak perlu
dibuat perjanjian yang mengatur
tentang penentuan tujuan
penggunaan dana;
52
Dalam pemberian kredit, berlaku asas bahwa siapa yang berutang maka
dialah yang wajib membayarnya. Orang yang berutang pada umumnya karena
ada sesuatu kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sehingga harus mencari
dana untuk menutupi dengan cara meminjam. Pihak yang diberikan pinjaman
dana sebagai penolong sewaktu si berutang membutuhkannya. Ketika waktu
yang dijanjikan tiba, maka utang wajib dikembalikan. Sebuah utang bukan
pemberian uang. Orang yang tidak mengembalikan utang merupakan
keahatan penggelapan.56
Untuk memberikan kepastian hukum dalam
pemberian kredit maka hak dan kewajiban kreditur dan debitur harus
dituangkan dalam suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian kredit.
Perjanjian merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para pihak
secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan serta
berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat kewajiban.57
Dasar
hukum dari perjanjian kredit diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian
kredit memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank
sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang
mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah
56
Gatot Suparmono, op.cit., h. 157.
57 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2007, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, Refika Aditama, Bandung, h. 43.
3. Ditentukan bunga, imbalan, atau
bagi hasil atas pinjaman yang
ditentukan;
Bunga tidak ditentukan bila tidak
diperjanjikan.bahkan kadang kala
utang piutang dapat terjadi tanpa
bunga;
53
jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan.58
Perjanjian tersebut memuat hak dan kewajiban dari kreditur
dan debitur.
Dokumen-dokumen dalam pemberian kredit memiliki peranan penting
dalam bidang hukum. Peter Gillies dan Gabriël Moens menuliskan sebagai
berikut:
The security aspect of a documentary credit rests upon the fact that it
represents an undertaking by the bank issuing the documentary credit at
the request of its customer (usually the buyer of goods), to pay the
beneficiary (usually the seller of goods), a specified amount on condition
that the beneficiary presents to the bank stipulated documents.59
Aspek keamanan dari sebuah dokumen kredit berstandar pada fakta
bahwa dokumen tersebut merupakan suatu usaha dari bank yang menerbitkan
dokumen kredit atas permintaan pelanggan (biasanya pembeli barang), untuk
membayar penerima (biasanya penjual barang), seorang jumlah yang
ditentukan dengan syarat bahwa penerima dan bank telah menetapkan
hubungan hukum tersebut dalam perjanjian kredit.
Perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat
sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata
yakni adanya kesepakatan, para pihak yang cakap melakukan perbuatan
hukum, mengenai hal tertentu dan causa yang halal. Menurut Gatot Wardoyo,
perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi yakni:
58
Sutan Remmy Syahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal.
34. (selanjutnya disebut Sutan Remy Syahdeini II).
59 Peter Gillies dan Gabriël Moens, 2000, International Trade And Business: Law, Policy
and Ethics, Cavendish Publishing, Sidney Australia, h. 387.
54
1. Perjanjian kredit berfungi sebagai perjanjian pokok, artinya
perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau
tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya
perjanjian pengikatan jaminan;
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-
batasan hak dan kewajiban diantara debitur dan kreditur.
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit. 60
Pembuat Undang-undang menegaskan bahwa hubungan kredit bank
adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk
pinjam-meminjam.61
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah dalam
pemberian kredit ini wajib dituangkan dalam perjanjian kredit yang berbentuk
tertulis. Perjanjian ini menjadi bukti dari adanya hubungan hukum dan
perbuatan hukum para pihak.
3. Jaminan dalam Pemberian Kredit
Jaminan menurut Hartono Hadisoeprapto adalah “sesuatu yang
diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan
memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan.”62
Remy Sjahdeini menilai bahwa jaminan kredit adalah segala
sesuatu yang mempunyai nilai, mudah untuk diuangkan yang diikat dengan
60
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,Cet.ke-1, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 321.
61 Neni Sri Imaniyati I, op.cit., h. 148.
62 Hartono Hadisoeprapto, 2004, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
Liberty, Yogyakarta, h.50.
55
janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitur berdasarkan
perjanjian kredit yang dibuat kreditur dan debitur.63
Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum
jaminan erat sekali hubungannya dengan hukum benda-benda.64
Jaminan
pada dasarnya dibedakan menjadi dua yakni jaminan perorangan dan jaminan
kebendaan. Jaminan perorangan atau pribadi adalah jaminan seorang pihak
ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari
debitur. Jaminan kebendaan merupakan tindakan berupa suatu penjaminan
yang dilakukan oleh kreditur terhadap debiturnya, atau antara kreditur dengan
seorang pihak ketiga guna menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari
debitur.65
Jaminan materiil (kebendaan) adalah jaminan yang berupa hak mutlak
atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri dan mempunyai hubungan
langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Jaminan immateriil (perorangan)
adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan
tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap harta kekayaan debitur pada
63
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Azas-azas, Ketentuan-Ketentuan Pokok
dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Alumni, Bandung, h. 132. (selanjutnya disebut
Sutan Remy Sjahdeini III).
64 Mariam Darus Badrulzaman, 1987, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai, dan
Fidusia, Alumni, Bandung, h. 265
65 Hermansyah, op.cit., h. 74.
56
umumnya.66
Dilihat dari kedua jenis jaminan ini, maka dalam pemberian
kredit perbankan, jaminan yang digunakan adalah jaminan materiil atau
jaminan yang bersifat kebendaan.
Benda atau barang yang dijadikan sebagai objek jaminan hutang, akan
dapat diketahui apakah benda tersebut milik si debitur atau pihak lain.
Apabila benda atau barang yang dijadikan sebagai obyek jaminan hutang
milik si pemohon (debitur). Menurut M. Bahsan sebagai obyek jaminan
kredit merupakan milik pihak (orang) lain maka bank perlu meneliti
keabsahan pengunaannya sebagai jaminan kredit kepada bank oleh pemohon
kredit.67
Pembuktian ini sangat penting untuk memberikan keyakinan bagi
bank untuk mencairkan kredit kepada nasabah.
Kewajiban untuk menyerahkan jaminan utang oleh pihak peminjam
dalam rangka pinjaman uang sangat terkait dengan kesepakatan di antara
pihak-pihak yang melakukan pinjam-meminjam uang.68
Fungsi jaminan
dalam pemberian kredit bank merupakan source of the last resort bagi
pelunasan kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur artinya,
bila ternyata sumber utama pelunasan nasabah debitur yang berupa hasil
keuangan yang diperoleh dari usaha debitur (first way out) tidak memadai,
sebagaimana yang diharapkan, maka hasil eksekusi dari jaminan itu (second
66
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata, Hak Jaminan Atas Tanah ,
Liberty, Yogyakarta, h.46-47
67 Ibid., h. 114
68 M. Bahsan, op.cit., h. 2.
57
way out) diharapkan menjadi sumber pelunasan alternatif terakhir yang dapat
diharapkan oleh bank dari debitur tersebut. 69
Dalam pelaksanaan penilaian jaminan utang dari segi hukum, pihak
pemberi pinjaman seharusnya melakukannya menurut (berdasarkan)
ketentuan hukum yang berkaitan dengan objek jaminan utang dan ketentuan
hukum tentang penjaminan utang yang disebut sebagai hukum jaminan.70
Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga
perbankan atau lembaga keuangan non-bank, namun benda yang dapat
dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat benda jaminan yang
baik adalah:
a. dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang
memerlukan.
b. tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk
melakukan atau meneruskan usahanya.
c. memberikan kepastian pada si kreditur, dalam arti bahwa barang
jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat
dengan mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima
(pengambil) kredit.71
Dalam menilai kelayakan benda obyek jaminan, ada beberapa aspek
yang perlu diperhatikan tentang obyek jaminan tersebut yakni mempunyai
69
Neni Sri Imaniyati I, op.cit., h. 153.
70 Bahsan, op.cit., h. 3.
71 Salim, 2012, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, RajaGrafindo Persada.
Jakarta, h. 27-28.
58
nilai atau harga secara ekonomis bila dijadikan jaminan hutang. Adapun
ukuran yang perlu diperhatikan adalah:
a. Jenis dan bentuk jaminan, apakah merupakan barang yang bergerak dan
apa jenisnya, barang tidak bergerak dan apa jenisnya, penanggungan
hutang dan apa jenisnya.
b. Kondisi obyek jaminan, akan sangat berpengaruh terhadap nilai
ekonomisnya, karena kondisi obyek jaminan sering berkaitan dengan
keadaan fisiknya, persyaratan teknisnya dan kelengkapan lainnya.
c. Kemudahan pengalihan kepemilikan obyek jaminan, hal ini sangat
berpengaruh pada suatu obyek jaminan yang mudah dapat dialihkan
atau dipindahtangankan kepada pihak lain akan mempunyai nilai
ekonomi yang relatif baik.
d. Tingkat harga yang jelas dan prospek pemasaran, suatu barang yang
dijadikan sebagai obyek jaminan, tingkat harga tidak hanya didasarkan
kepada permintaan dan penawaran, tetapi juga kepada kestabilan dan
prospek perkembangan harganya, tingkat harga ini merujuk kepada
harga pasar yang berlaku.
e. Penggunaan obyek jaminan, dapat mempengaruhi tingkat harga atau
nilai ekonominya dari pemanfaatan obyek jaminan tersebut.72
Penilaian terhadap jaminan sangat penting untuk menentukan apakah
calon nasabah layak atau tidak diberikan kredit dan berapa besaran kredit
yan dapat diberikan.
72
Bahsan, op.cit., h. 124-126
59
4. Terminologi Restrukturisasi Kredit Dalam Penyelamatan dan
Penyelesaian Kredit Bermasalah
Penetapan kualitas Kredit dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap faktor penilaian prospek usaha, kinerja (performance) debitur; dan
kemampuan membayar, dengan mempertimbangkan komponen-komponen
dari masing-masing faktor penilai tersebut. Penetapan kualitas kredit
dilakukan dengan mempertimbangkan signifikansi dan materialitas dari setiap
faktor penilaian dan komponen; serta relevansi dari faktor penilaian dan
komponen terhadap debitur yang bersangkutan. Berdasarkan penilaian
tersebut, kualitas Kredit ditetapkan menjadi:
a. Lancar;
b. Dalam Perhatian Khusus;
d. Kurang Lancar;
e. Diragukan; atau
f. Macet.
Istilah kredit bermasalah telah digunakan Perbankan Indonesia sebagai
terjemahan problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim
digunakan di dunia internasional. Istilah lain dalam Bahasa Inggris yang biasa
dipakai bagi istilah kredit bermasalah adalah non-performing loan.73
Kredit
bermasalah atau non-performing loan merupakan resiko yang terkandung
dalam setiap pemberian kredit oleh bank. Risiko tersebut berupa keadaan
dimana kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya. Kredit bermasalah
73
Iswi Hariyani, 2010, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet; Kenapa Perbankan
Memanjakan Debitur Besar sedangkan Usaha/ Debitur Kecil Dipaksa, Gramedia, Jakarta., h. 35.
60
atau nonperforming loan di perbankan itu dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, misalnya ada kesengajaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses
kredit, kesalahan prosedur pemberian kredit, atau disebabkan oleh faktor lain
seperti faktor makroekonomi.74
Kredit dikategorikan sebagai kredit bermasalah (nonperforming loan)
adalah apabila kualitas kredit tersebut tergolong pada tingkat kolektabilitas
kurang lancar, diragukan, atau macet. Untuk kredit bermasalah yang bersifat
nonstruktural, pada umumnya dapat diatasi dengan langkah-langkah
restrukturisasi berupa penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka
waktu, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok
kredit, penambahan fasilitas kredit, dan/atau konversi kredit menjadi
penyertaan sementara. Adapun untuk kredit bermasalah yang bersifat
struktural pada umumnya tidak dapat diselesaikan dengan restrukturisasi
sebagaimana kredit bermasalah yang bersifat nonstruktural, melainkan harus
diberi pengurangan pokok kredit (haircut) sebagaimana yang diatur oleh
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 agar usahanya dapat berjalan
kembali dan pendapatannya mampu untuk memenuhi kewajiban-
kewajibannya.75
Untuk menyelesaikan kredit bermasalah itu dapat ditempuh dua acara
atau strategi, yaitu penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit. Yang
dimaksud dengan penyelamatan kredit adalah suatu langkah penyelesaian
74
Hermansyah, op.cit., h. 75.
75 Hermansyah, op.cit., h. 75.
61
kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank sebagai kreditur
dan nasabah pemimjam sebagai debitur, sedangkan penyelesaian kredit
adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga
hukum. Yang dimaksud dengan lembaga hukum dalam hal ini adalah Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang
Negara (DJPLN), melalui badan peradilan, dan melalui arbitrase atau badan
alternatif penyelesaian sengketa. 76
Mengenai penyelamatan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan
berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/ BPPP tanggal 29
Mei 1993 yang pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah
sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum adalah melalui alternatif
penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali
(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Dalam surat edaran
tersebut yang dimaksudkan dengan penyelamatan kredit bermasalah melalui
penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning),
dan penataan kembali (restructuring) adalah: 77
1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu upaya hukum untuk melakukan
perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan
dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk
tenggang (grace period), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu
penambahan kredit.
76
Hermansyah, op.cit., h. 75-76.
77 Hermansyah, op.cit., h. 76-77.
62
2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu melakukan perubahan atas
sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya
kepada perubahan jadwal angsuran, dan/ atau jangka waktu kredit saja.
Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau
tanpa melakukan konversi atas atau seluruh atau sebagian dari kredit
menjadi equity perusahaan.
3. Penataan kembali (restructuring), yaitu upaya berupa melakukan
perubahan-perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian
tambahan kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian
kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa
rescheduling dan/ atau reconditioning.
Pengertian restrukturisasi secara normatif dapat dilihat Peraturan Bank
Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Dalam ketentuan
umum Peraturan Bank Indonesia tersebut, dinyatakan bahwa:
Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam
kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui:
a. penurunan suku bunga Kredit;
b. perpanjangan jangka waktu Kredit;
c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;
g. pengurangan tunggakan pokok Kredit;
h. penambahan fasilitas Kredit; dan/atau
i. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Istilah restrukturisasi juga dapat ditemukan pada Peraturan Bank
Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah. Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank tersebut menyatakan bahwa:
63
Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam
rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya,
antara lain melalui:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh persyaratan Pembiayaan tanpa menambah sisa pokok
kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain
meliputi:
1) perubahan jadwal pembayaran;
2) perubahan jumlah angsuran;
3) perubahan jangka waktu;
4) perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau
musyarakah;
5) perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah
atau musyarakah; dan/atau
6) pemberian potongan.
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan yang antara lain meliputi:
1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank;
2) konversi akad Pembiayaan;
3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka
waktu menengah; dan/atau
4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada
perusahaan nasabah, yang dapat disertai dengan rescheduling
atau reconditioning.
Menurut Kasmir, restructuring adalah tindakan bank kepada nasabah
dengan cara menambah modal nasabah dengan mempertimbangkan nasabah
memang membutuhkan tambahan dana dan usaha yang dibiayai memang
masih layak. Tindakan ini meliputi penambahan jumlah kredit dan
penambahan equity (dengan menyetor uang tunai dan tambahan dari
pemilik).78
Restrukturisasi merupakan salah satu upaya untuk
meminimalkan potensi kerugian dari debitur bermasalah sepanjang debitur
masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar.
78
Kasmir, op.cit., h. 131.
64
Kesepakatan mengenai restrukturisasi dituangkan dalam perjanjian
baru dengan demikian perjanjian yang sebelumnya telah dihapuskan. Pasal
1381 KUHPer menyebutkan 10 (sepuluh) cara hapusnya suatu perikatan,
yaitu:
1. Pembayaran;
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan;
3. Pembaharuan utang;
4. Perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Pencampuran utang;
6. Pembebasan utang;
7. Musnahnya barang yang terutang;
8. Batal/pembatalan;
9. Berlakunya suatu syarat batal dan
10. Lewatnya waktu (Daluawarsa).
Hapusnya perikatan karena restrukturisasi kredit dilakukan dengan
cara pembaharuan utang atau Novasi.
65
BAB III
IMPLEMENTASI KETENTUAN RESTRUKTURISASI KREDIT
1. Wanprestasi sebagai Awal Penyebab Kredit Bermasalah
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap faktor penilai (prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan
membayar) dengan mempertimbangkan komponen-komponen lainnya.
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan mempertimbangkan
signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan komponen
serta relevansi dari faktor penilaian dan komponen serta relevansi dari
faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang bersangkutan.
Berdasarkan penilaian tersebut, kualitas kredit dibedakan menjadi lancar,
dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet.79
Dari kelima
jenis penilaian ini maka dapat digolongkan bahwa kredit tidak bermasalah
adalah dengan kualitas kredit lancar dan dalam perhatian khusus, sedangkan
kredit bermasalah adalah kualitas kredit kurang lancar, diragukan dan
macet.
Kredit tidak bermasalah ditandai dengan pemenuhan prestasi dari
debitur kepada kreditur. Prestasi dalam hukum perjanjian diartikan sebagai
pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu perjanjian oleh para pihak
yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan
79
Badriyah Harun, op.cit., h. 114.
66
“term” dan “condition” sebagaimana disebutkan dalam perjanjian yang
bersangkutan.80
Pasal 1234 KUH Perdata menentukan bahwa yang
dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu,
tidak melakukan sesuatu. Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat:
a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban,
kesusilaan, dan Undang-undang.
b. Harus tertentu atau dapat ditentukan.
c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.81
Prestasi debitur kepada kreditur berupa pembayaran angsuran dengan
besar pembayaran, waktu pembayaran dan jangka waktu pelunasan kredit
sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian kredit yang telah dibuat
sebelumnya oleh para pihak.
Berbicara mengenai prestasi maka perlu diketahui hak dan kewajiban
bagi para pihak sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian kredit.
Kreditur pada umumnya memiliki kewajiban untuk memberikan fasilitas
kredit dan informasi yang sesuai kepada nasabah debitur serta memiliki hak
untuk menerima pembayaran yang terdiri dari akumulasi angsuran pokok,
bunga atau denda jika lewat waktu jatuh tempo. Nasabah selaku debitur
wajib melakukan pembayaran minimal (tergantung jenis yang dipilih) dan
menyerahkan jaminan kepada kreditur. Nasabah memiliki hak untuk
80 Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 87 (selanjutnya disebut Munir Fuady II).
81 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.
79.
67
mendapatkan fasilitas kredit yang sesuai dan informasi-informasi tentang
fasilitas kredit yang diterimanya, misalnya metode pembayaran, lembar
penagihan dan lain-lain.
Pada BTPN, pihak bank berhak melakukan pemotongan secara sistem
pada gaji pensiun nasabah dan menyimpan SK pensiun sebagai jaminan
kredit sampai jangka waktu kredit berakhir. Pihak nasabah wajib
menyerahkan SK pensiun dan persyaratan yang diperlukan pihak bank
untuk proses administrasi. Selanjutnya nasabah wajib melaksanakan
pembayaran dalam jangka waktu yang telah ditentukan.82
BTPN merupakan
bank yang memberikan pelayanan khususnya bagi nasabah pensiunan,
sehingga fasilitas kredit yang diberikan oleh BTPN tergantung dari dana
pensiunan nasabah.
Kredit bermasalah terjadi apabila para pihak tidak melakukan
kewajibannya yang terdiri dari kualitas kredit kurang lancar, diragukan dan
macet. Kredit macet dapat dikatakan sebagai kredit bermasalah yang
memerlukan penyelesaian secara khusus. Kredit macet dapat disebabkan
oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal penyebab kredit
macet yaitu kebijakan perkreditan yang ekspansif, penyimpangan dalam
pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad kurang baik dari pemilik, pengurus
dan pegawai bank, lemahnya sistem informasi kredit macet. Faktor
eksternal yang menjadi penyebab kredit macet adalah kegagalan usaha
debitur, pemanfaatan iklim persaingan usaha perbankan yang tidak sehat
82
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara
(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.
68
oleh debitur, serta menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga
kredit.83
Budi Untung berpendapat, meskipun perbankan merupakan sektor yang
strictly well regulated, tetapi kredit macet masih dapat terjadi diantaranya
dapat disebabkan karena:84
a. Kesalahan appraisal
b. Membiayai proyek dari pemilik/ terafiliasi
c. Membiayai proyek yang direkomendasi oleh kekuatan tertentu
d. Dampak makro ekonomi/ unforecasted variable
e. Kenakalan nasabah
Menurut Krisna Wijaya dalam bukunya yang berjudul “Analisis
Kebijakan Perbankan Nasional”, dari pengalaman praktik apabila terjadi
kredit macet pada sebuah bank, penyebabnya hanya ada dua, yaitu karena
error ommission dan error commission. Error omission adalah timbulnya
kredit macet yang diakibatkan oleh adanya unsur kesengajaan manusia
untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang ditetapkan sedangkan error
commission adalah timbulnya kredit macet karena memanfaatkan lemahnya
peraturan-peraturan atau ketentuan yang memang belum ada atau sudah
ada, tetapi tidak jelas.85
Dengan demikian kredit macet tersebut dapat
disebabkan karena keadaan ekonomi debitur yang menurun atau karena
kesengajaan dari debitur untuk tidak melaksanakan prestasinya.
Pelaksanaan prestasi oleh debitur kepada kreditur dalam bentuk
pembayaran kewajiban atas kredit yang diberikan kreditur (bank) akan
83
Iswi Hariyani, op.cit., h. 38.
84 H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, h. 121
85 Krisna Wijaya, 2010, Analisis Kebijakan Perbankan Nasional, Kompas Gramedia,
Jakarta, h. 206.
69
menyebabkan kredit lancar dan dalam perhatian khusus, sedangkan apabila
terjadi waprestasi maka hal inilah yang menyebabkan terjadinya kredit
bermasalah, khususnya kredit macet. Wanprestasi (default atau non
fulfilment ataupun yang disebut dengan istilah breach of contract) adalah
tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang
dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.86
Tindakan wanprestasi ini
dapat terjadi karena:
1. Kesengajaan.
2. Kelalaian.
3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).
Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi yang berarti
tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan bersama dalam perjanjian.
Wanprestasi adalah suatu keadaan yang menunjukkan debitur tidak
berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat
dipersalahkan.87
Wanprestasi merupakan salah satu sebab sehingga
berjalannya perjanjian menjadi terhenti. Pada situasi normal antara prestasi
dan kontraprestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu
pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul
peristiwa yang dinamakan wanprestasi. Jadi yang dimaksud dengan
86 Ibid
87 Ibid.
70
wanprestasi adalah salah satu pihak atau lebih tidak melaksanakan
prestasinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.88
Pada umumnya jenis-jenis wanprestasi dapat berupa tidak memenuhi
prestasi, terlambat melakukan prestasi atau melakukan namun tidak
sebagaimana mestinya. Kategori kredit bermasalah di bank, salah satunya
disebabkan karena wanprestasi dari debitur. Adanya wanprestasi menjadi
indikator dari adanya kredit bermasalah. Suatu kredit dikatakan bermasalah
apabila ada keterlambatan pembayaran dari jadwal angsuran yang telah
disepakati, atau kurangnya dana untuk melakukan pembayaran (terutama
bila pembayaran dilakukan dengan sistem autodebet) dan tidak membayar
sama sekali. 89
Debitur yang melakukan wanprestasi dapat disebabkan oleh dua
faktor, yang pertama karena memang debitur tidak dapat melaksanakan
kewajibannya karena tidak memiliki penghasilan atau usahanya bermasalah,
kedua karena debitur tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan
prestasi.90
Ni Wayan Parmini, nasabah BTPN tergolong nasabah yang tidak
memiliki kemampuan membayar karena dana pensiunannya tidak cukup
untuk biaya hidup sehari-hari dan angsuran kredit konsumtif yang pernah
88 Munir Fuady II, op.cit., h .87 (selanjutnya disebut dengan Munir Fuady II).
89 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara
(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014 dan wawancara dengan Ketut Gede
Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember
2014.
90 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara
(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.
71
diajukan. 91
Akibat hukum akibat wanprestasi dapat dituntut apabila sudah
dapat ditentukan apakah debitur wanprestasi dan sejak kapan telah
melakukan wanprestasi.
Dalam praktik hukum di masyarakat untuk menentukan sejak kapan
seorang debitur wanprestasi kadang-kadang tidak selalu mudah. Pada
umumnya wanprestasi baru terjadi setelah ada pernyataan lalai dari pihak
yang dirugikan. Pada tahap awal pihak bank biasanya mengirimkan surat
teguran atau somasi kepada debitur agar kembali memenuhi prestasi yang
telah dijanjikannya. Dalam surat teguran tersebut pihak bank menetapkan
batas waktu kepada debitur untuk memenuhi janji prestasi. Apabila batas
waktu tersebut terlewati maka debitur sudah dapat dikategorikan
wanprestasi. Penetapan debitur sebagai pihak yang telah melakukan
wanprestasi dapat menyebabkan akibat hukum yang lebih lanjut.92
Undang-undang sesungguhnya telah memberikan pemecahan dalam
menentukan saat terjadinya ingkar janji/wanprestasi, yaitu dengan lembaga
“penetapan lalai” (ingebrekesstelling). Penetapan lalai adalah pesan kreditur
kepada debitur, dengan mana kreditur memberitahukan pada saat kapankah
selambat-lambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi.93
Sejak saat itu
pulalah debitur harus menanggung akibat-akibat yang merugikan yang
disebabkan tidak dipenuhinya prestasi. Jadi penetapan lalai adalah syarat
91
Wawancara dengan Ni Wayan Parmini, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pada
tanggal 4 Januari 2015. 92
Iswi Hariyani, op.cit., h. 29.
93 Munir Faudy II, op cit, h. 88-89.
72
untuk menetapkan terjadinya ingkar janji.94
Dengan demikian penetapan
lalai ini menjadi pedoman dalam menentukan penetapan terjadinya
wanprestasi.
Wanprestasi debitur membawa akibat hukum berupa timbulnya hak
kreditur sebagai pihak yang dirugikan untuk menuntut debitur yang
melakukan wanprestasi untuk memberikan pembayaran ganti rugi. Akibat
hukum tersebut diatur pada Pasal 1243-Pasal 1252 KUH Perdata. Pasal
1236 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Si berutang adalah wajib
memberikan ganti rugi, bunga, kepada si berpiutang, apabila ia telah
membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan
kebendaannya, atau telah tidak merawat sepenuhnya guna
menyelamatkannya.”
Dalam Pasal 1239 KUH Perdata menentukan bahwa ketika salah satu
pihak melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dapat menuntut
memberikan ganti rugi berupa biaya, rugi, dan bunga. Dasar hukum dari
akibat wanprestasi dapat dilihat dari Pasal 1243 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa :
”Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”
Dalam hal terjadi wanprestasi maka, pihak yang dirugikan yang dalam
hal ini adalah bank sebagai kreditur dapat menegakkan hak-haknya
94
Setiawan, 1979, Pokok-Pokok Perikatan, Binacipta, Bandung, h. 19.
73
sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata. Pasal 1267 KUH
Perdata menyatakan bahwa ”Pihak yang terhadapnya perikatan tidak
dipenuhi, dapat memilih,memaksa pihak lain untuk memenuhi Perjanjian,
jika hal itu masih dapat dilakukan atau menuntut pembatalan
persetujuan,dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.” Akibat dari
wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti rugi,
pembatalan kontrak, pengalihan resiko, maupun membayar biaya perkara.95
Dalam perjanjian kredit selalu diatur mengenai kondisi wanprestasi
yang dilakukan oleh debitur. Akibat hukum dari wanprestasi debitur adalah
pengenaan denda hingga pelelangan agunan. Apabila debitur tidak
melakukan pembayaran maka tindakan utama yang dilakukan oleh pihak
bank adalah memberikan peringatan bagi debitur untuk melaksanakan
kewajibannya dan melakukan penelusuran terhadap debitur mengenai
alasannya tidak melakukan pembayaran. Negosiasi menjadi hal yang
diupayakan sebelum membawa masalah tersebut ke pengadilan.
Wanprestasi adalah tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian pada seorang lain. Oleh sebab itu sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Wanprestasi dari
debitur dalam melaksanakan pembayaran akan menyebabkan kredit
bermasalah kredit bermasalah akan berdampak bagi banyak pihak. Kredit
95 Abdul R.Saliman, 2010, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Edisi
kedua, Cetakan kesepuluh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 50
74
bermasalah dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang tidak
menguntungkan bagi bank pemberi kredit, dunia perbankan pada umumnya,
dan juga terhadap kehidupan ekonomi dan moneter suatu negara.96
Dampak
tersebut kemudian dirinci oleh Badriyah Harun sebagai berikut:
Bagi bank pemberi kredit akan membuat menurunnya keuntungan bank
yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelayakan bank untuk
beroperasi. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap perputaran dana bank
di masyarakat. Dana segar yang seharusnya berputar di masyarakat akan
terhenti akibat masyarakat tidak mendapatkan dana yang tersedia.
Dampak secara langsungnya, masyarakat tidak dapat mendapatkan dana
segar sehigga segala kegiatan usaha masyarakat yang membutuhkan dana
perbankan akan terhenti. Dengan demikian, kelumpuhan usaha
menyebabkan tingkat pengangguran dan kemiskinan akan menjadi
semakin meningkat.97
Wanprestasi menimbulkan kerugian bagi pihak lawan. Oleh sebab itu
pihak yang melakukan wanprestasi harus menanggung kerugian akibat dari
tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan pembatalan kontrak
(disertai atau tidak disertai ganti rugi) dan pemenuhan kontrak (disertai atau
tidak disertai ganti rugi).98
Terjadinya wanprestasi sebenarnya tidak semata-
mata karena itikad yang tidak baik dari nasabah. Nasabah seringkali terjebak
dengan perjanjian baku dari pihak kreditur yang membuat debitur yang pada
dasarnya memerlukan dana menerima hal tersebut. Debitur bahkan tidak
diberikan kesempatan untuk membaca perjanjian kredit dan diminta untuk
segera menandatangani perjanjian pada saat itu pula.
96
Siswanto Sutojo, 2008, Menangani Kredit Bermasalah, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, h.
25.
97 Badriyah Harun, op.cit., h. 117.
98 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada,
Jakart., h. 75.
75
Dalam kebijakan restrukturisasi kredit bermasalah sebagaimana yang
diamanatkan Bank Indonesia, akibat wanprestasi tersebut menimbulkan hak
bagi kreditur (bank) untuk mengajukan tuntutan pemenuhan perjanjian
kredit terhadap debitur yang tidak mampu membayar dengan cara
memberikan keringanan bagi debitur penurunan suku bunga kredit,
perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit,
pengurangan, tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas kredit;
dan/atau konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Kebijakan restrukturisasi secara normatif hanya diberikan kepada
debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya bukan
kepada debitur yang dengan sengaja tidak membayar karena itikad yang
tidak baik. Dalam Pasal 1244 KUHPerdata diatur sebagai berikut:
“Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti
biaya, rugi dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal
tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya
perjanjian itu, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya,
kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
Tingginya kredit bermasalah harus diantisipasi dengan mencadangkan
resiko kredit. Menurut A.P. Faure dalam bukunya yang berjudul Banking:
An Introduction menyatakan “credit risk is the risk that the borrower from a
bank will default on the loan and/or the interest payable.”99
Risiko kredit
adalah risiko dimana peminjam dari bank akan gagal membayar atas
pinjaman dan / atau bunga yang harus dibayar
99
A.P. Faure, 2013, Banking: An Introduction, Quoin Institute, h. 93.
76
Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31 / 147 / KEP
/ DIR Tentang Kualitas Aktiva Produktif tanggal 12 November 1998, risiko
kredit untuk transaksi derivatif adalah nilai pasar (the mark to market value)
dari seluruh perjanjian/ kontrak yang menjanjikan keuntungan yang belum
dapat terealisir namun secara potensial dapat menjadi kerugian Bank apabila
pihak lawan melakukan wanprestasi. Penetapan risiko kredit merupakan
upaya antisipasi bank atas kerugian yang diakibatkan oleh kredit
bermasalah, bankan dalam kredit lancar pun resiko kredit masih tetap ada.
2. Analisis Kredit Sebagai Kebijakan untuk Menghindari Default Risk
Penentuan kualitas kredit sangat penting dalam rangka mengelola
risiko kredit. Keputusan menyalurkan kredit ke berbagai sektor bisnis tidak
selalu terjadi sesuai seperti yang diharapkan, karena ada berbagai bentuk
risiko yang akan dialami di sana baik risiko jangka panjang dan risiko
jangka pendek. Adapun pengertian keduanya adalah sebagai berikut:
a) Risiko yang bersifat jangka pendek (short term risk) adalah risiko yang
disebabkan karena ketidakmampuan suatu perusahaan yang memenuhi
dan menyelesaikan kewajibannya yang bersifat jangka pendek terutama
kewajian likuiditas.
b) Risiko yang bersifat jangka panjang (long term risk) adalah
ketidakmampuan suatu perusahaan menyelesaikan berbagai
kewajibannya yang bersifat jangka panjang, seperti kegagalan untuk
77
menyelesaikan utang perusahaan yang bersifat jangka panjang dan juga
kemampuan untuk menyelesaikan proyek hingga tuntas.100
Analisis kredit merupakan pintu utama dalam menentukan pemberian
kredit oleh kreditur kepada debitur. Menurut Sutan Remy Syahdaeni,
penyaluran kredit bank dilaksanakan dengan melalui empat tahapan.
Tahapan-tahapan tersebut meliputi tahap analisis kredit pemutusan
pemberiannya, tahap pembuatan perjanjian kredit, tahap pemantauan kredit
dan tahap penyelamatan dan penagihan/ penyesaian kredit. 101
Tahapan demi
tahapan tersebut harus dilakukan sesuai dengan prosedur perbankan. Secara
umum tahapan dan pintu-pintu yang harus dilalui oleh nasabah di bank
swasta lebih mudah daripada bank pemerintah.
Dilihat dari hubungan hukum antara pemberi kredit (lender) dan
debitur (borrower), ada tiga macam cara bagi seorang debitur dalam
memperoleh kredit untuk keperluan usahanya dari lembaga pemberi kredit.
Cara pertama, debitur memperoleh kredit dari hanya satu lembaga pemberi
kredit bagi seluruh kebutuhan kreditnya. Cara kedua, debitur menerima
kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna
memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya dan ketiga dengan kredit
sindikasi.102
100
Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi, 2010, Pengantar Manajemen Perkreditan,
Alfabeta, Bandung, h. 80.
101 Neni Sri Imaniyati I, op.cit., h. 148.
102 Sutan Remy Sjahdeini, 2008, Kredit Sindikasi, Proses, Teknik Pemberian dan Aspek
Hukumnya, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 1-2. (selanjutnya disebut Sutan Remy Syahdeini
IV).
78
Analisis pengajuan kredit pada dasarnya hampir sama di setiap bank.
Pengajuan kredit di BPR Aruna Nirmaladuta didahului dengan pengisian
dan penandatanganan Form Pengajuan Kredit (FPK), melengkapi syarat
pengajuan kredit (KTP suami istri, kartu keluarga, akta nikah, NPWP,
rekening tabungan 3 bulan terakhir, data agunan, PBB terakhir). FPK dan
syarat kredit diserahkan oleh Marketing Officer ke bagian prosesing untuk
dilakukan BI Checking. Selanjutnya baru dilakukan kunjungan oleh bagian
Credit Review untuk melakukan verifikasi data dilapangan dan kelayakan
debitur. Hasil kunjungan dituangkan dalam Memorandum Analisa Kredit
(MAK) untuk mendapatkan persetujuan kredit oleh komite kredit.103
Dalam pengajuan kredit di BTPN, nasabah meminta analisis kredit
dari credit acceptance mengenai jumlah pinjaman yang dapat diajukan
sesuai dengan nominal gaji pensiun nasabah. Dengan persyaratan kartu
identitas, kartu keluarga, bukti nominal gaji terakhir/buku tabungan
nasabah, NPWP untuk pinjaman di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan SK pensiun asli. 104
Analisis kredit merupakan implementasi dari prinsip kehati-hatian
dalam bisnis perbankan. Prinsip kehati-hatian ini dapat dikatakan sebagai
prinsip utama dalam pelaksanaan kegiatan perbankan Dalam Pasal 2 UU
Perbankan perubahan dinyatakan “Perbankan Indonesia dalam melakukan
103
Wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta,
wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.
104 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara
(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.
79
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian.” Dalam Pasal 8 selanjutnya ditentukan:
1. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan
Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
2. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Prinsip kehatian-hatian wajib dilaksanakan sejak awal pengajuan
kredit guna menghindari default risk. Default Risk merupakan risiko gagal
bayar terhadap sejumlah pinjaman kredit yang telah dipinjam secara tepat
waktu. Persoalan default risk sering dialami oleh para debitur pada saat
debitur tersebut tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut secara
tepat waktu yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti:
a. Kondisi makro ekonomi yang tidak stabil. Contohnya krisis moneter
tahun 1997/1998, krisis subrime morgage di Amerika Serikat, kondisi
perang di suatu negara yang mempengaruhi negara di kawasan
tersebut dan lain-lain.
b. Kerugian perusahaan yag terjadi karena faktor menurunnya angka
penjualan secara sistematis.
c. Terjadinya korupsi secara besar-besaran yang disebabkan menurunnya
nilai perusahaan di mata publik.
d. Kudeta yang tersebut baik di tingkat direksi maupun manajer serta
karyawan yang meluas pada terhentinya produk dan berpengaruh pada
penurunan penjualan perusahaan.105
105
Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi, op.cit., h. 83.
80
e. Kondisi terjadinya default risk telah menyebabkan terjadi di negara
bersangkutan.
f. Kekisruhan yang terjadi di perusahaan
timbulnya permasalahan baik di pihak debitur maupun kreditur. Maka
untuk menghindari dari timbulnya default risk ini ada beberapa tindakan
yang harus dilakukan yaitu:
1. Bagi kreditur akan menaikkan angka jaminan pada tingkat yang benar-
benar aman.
2. Menghindari jaminan yang memiliki tingkat risiko, sehingga dengan
menerima benda tersebut sebagai suatu jaminan malah akan
menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan dikemudian hari.
3. Menghindari benda jaminan yang memiliki nilai fluktuasi di pasaran.106
Pada bagian yang a dimana kreditor melakukan kebijakan dengan
menaikkan angka jaminan, telah banyak penelitian yang dilakukan oleh
banyak pihak yang memberikan pembuktian tentang ini. Sebagaimana yang
dikemukan oleh Utoro dan Perry Warjiyo yang menyatakan konsekuensinya
pada saat terjadi fluktuasi nilai aset, maka kredit dengan nilai agunan yang
besar akan menghasilkan default risk yang rendah demikian sebaliknya
terhadap kredit yang tidak didukung dengan agunan maka akan menghadapi
default risk yang lebih tinggi. Bank sebagai kreditor berusaha menghindari
timbulnya kredit macet (bad debt), karena semakin kecil bad debt maka
semakin lancar arus kas yang berasal dari kredit yang masuk ke perbankan
tersebut. Begitu juga sebaliknya bagi debitur sebagai peminjam, semakin
106
Ibid., h. 83-84.
81
baik dan tepat waktu ia mengembalikan pinjaman maka semakin baik pula
reputasinya di mata perbankan.107
Ketentuan pelaksanaan mengenai penilaian kualitas aset bank umum
diatur dalam Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di Indonesia.
Adapun alasan perlunya ketentuan pelaksanaan penilaian kualitas kredit
sebagaimana diatur dalam ketentuan umum adalah sebagai berikut:
A. Dengan meningkatnya kompleksitas usaha dan profil risiko serta
dalam rangka mengantisipasi pengaruh perekonomian global, Bank
perlu meningkatkan kemampuan dan efektivitas dalam mengelola
risiko Kredit, meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan dana,
dan mensyaratkan peringkat yang lebih tinggi terhadap prime bank
penerbit standby letter of credit (SBLC) yang diperlakukan sebagai
agunan tunai.
B. Dalam rangka mengelola risiko kredit, bank menetapkan kualitas
Kredit yang merupakan hasil penilaian atas faktor yang berpengaruh
terhadap kondisi dan kinerja debitur yang terdiri dari prospek usaha,
kinerja (performance) debitur, dan kemampuan membayar debitur.
C. Selanjutnya, untuk meminimalkan potensi kerugian dari penyediaan
dana, bank dapat melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur
yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan membayar
dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
D. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, pemenuhan
kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang
dilakukan debitur mempengaruhi secara bertahap perbaikan kualitas
Kredit atas Kredit yang direstrukturisasi.
E. Bank harus menyajikan laporan keuangan yang akurat,
komprehensif, dan mencerminkan kinerja Bank secara utuh sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku, khususnya dalam
pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai. Selain
memenuhi Standar Akuntasi Keuangan, Bank harus tetap
menghitung Penyisihan Penghapusan Aset yang akan mempengaruhi
rasio permodalan Bank.
Dalam pemberian kredit kepada masyarakat, pihak bank memiliki
risiko terjadinya kredit bermasalah, khususnya kredit macet. Dalam
107
Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi, op.cit., h. 83-84.
82
menghadap risiko ini maka Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan
mengenai restrukturisasi. Restrukturisasi dapat dilakukan dengan atau tanpa
rescheduling dan/ atau reconditioning. Restrukturisasi kredit pada
prinsipnya adalah pemberian syarat yang lebih lunak atau lebih ringan
dibandingkan dengan syarat pembayaran sebelum karena adanya konsesi
khusus yang diberikan kreditur kepada debitur sebagai pelaksanan dari
peraturan kebijakan yang secara teknis dibuat oleh Bank Indonesia.
Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di Indonesia
menyatakan bahwa dalam rangka meminimalkan potensi kerugian akibat
debitur bermasalah, Bank dapat melakukan Restrukturisasi kredit atas
debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga
sepanjang debitur yang bersangkutan masih memiliki prospek usaha yang
baik dan dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah Kredit
direstrukturisasi. Restrukturisasi kredit dimaksud dilaksanakan sesuai
dengan prinsip kehati-hatian dan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku.
Restrukturisasi merupakan suatu langkah yang sedianya harus
dilakukan bersama oleh kreditur dan debitur apabila terjadi kredit yang
bermasalah (non-performing loan). Namun tidak semua kredit bermasalah
dapat direstrukturisasi. Dapat atau tidaknya restrukturisasi atas suatu kredit
bermasalah ditentukan oleh beberapa hal. Pasal 52 Peraturan Bank
Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum menentukan bahwa:
83
Bank hanya dapat melakukan Restrukturisasi kredit terhadap debitur
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga
Kredit; dan
b. debitur masih memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu
memenuhi kewajiban setelah Kredit direstrukturisasi.
Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi Pembiayaan
Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah menentukan bahwa:
(1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu
memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.
(2) Restrukturisasi untuk Pembiayaan konsumtif hanya dapat
dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
b. terdapat sumber pembayaran angsuran yang jelas dari
nasabah dan mampu memenuhi kewajiban setelah
restrukturisasi.
(3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan
bukti-bukti yang memadai serta didokumentasikan dengan baik.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas
Aset Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia tentang Restrukturisasi
Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah maka
restrukturisasi kredit dapat dilakukan terhadap kredit produktif dan kredit
konsumtif.
Pada dasarnya, restrukturisasi dapat dilakukan terhadap setiap kredit
macet tanpa memandang apakah debitur adalah pengusaha besar atau
pengusaha kecil. Restrukturisasi dapat dilakukan sepanjang dapat
dibuktikan bahwa debitur memang mengalami penurunan kemampuan
untuk membayar dan masih sanggup untuk membayar, bukan disebabkan
karena itikad yang tidak baik. Bank dapat melakukan restrukturisasi kredit
84
terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha dan kemampuan
membayar dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan standar
akuntansi keuangan yang berlaku untuk meminimalkan potensi kerugian
dari penyediaan dana.
Kebijakan restrukturisasi kredit berguna untuk menjamin kesehatan
perbankan. Bank sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Peraturan Bank
Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dilarang melakukan
Restrukturisasi kredit dengan tujuan hanya untuk:
a. memperbaiki kualitas Kredit; atau
b. menghindari peningkatan pembentukan PPA, tanpa memperhatikan
kriteria debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi kredit
sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Perlakuan
akuntansi untuk Restrukturisasi kredit antara lain diterapkan untuk
pengakuan kerugian yang timbul dan pengakuan pendapatan bunga dan
penerimaan lain. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, pemenuhan
kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga yang dilakukan
debitur mempengaruhi secara bertahap perbaikan kualitas kredit atas kredit
yang direstrukturisasi.
3. Pelaksanaan dan Penyimpangan Restrukturisasi Kredit Perbankan
Kualitas kredit ditetapkan berdasarkan analisis terhadap 3 (tiga) faktor
penilaian yaitu prospek usaha, kinerja (performance) debitur, dan
kemampuan membayar. Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor
85
15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan
Bank Umum Konvensional menentukan bahwa Bank Indonesia menetapkan
Bank dalam pengawasan intensif jika dinilai memiliki potensi kesulitan
yang membahayakan kelangsungan usahanya. Bank dinilai memiliki
potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika
memenuhi rasio kredit bermasalah (non performing loan) secara neto lebih
dari 5% (lima persen) dari total kredit.
Menurut Iswi Hariyani, salah satu risiko utama perbankan adalah
kredit bermasalah. Namun apabila jumlah kredit bermasalah sudah
melampaui batas kemampuan bank, ia dapat berubah menjadi bencana,
sebab tidak saja profitabilitas bank yang akan terkena, likuiditasnya pun
terancam.108
Dalam menangani kredit bermasalah tersebut, maka salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan restrukturisasi kredit.
Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara
tertulis dari nasabah dengan kategori kualitas kredit kurang lancar,
diragukan dan macet.
Kredit bermasalah menjadi suatu risiko dalam bisnis perbankan.
Kolektibilitas kredit macet di BPR Aruna Nirmaladuta sebesar Rp
125.000.000 dengan jumlah debitur sebanyak 4 orang.109
Kolektabilitas
kredit bermasalah di BTPN terjadi dengan persentase 0,1% dari kredit yang
108
Iswi Hariyani, op.cit., h. 39.
109 Wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta,
wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.
86
ada.110
Penyebab kredit bermasalah ini adalah ketika tidak ada kecukupan
dana untuk membayar angsuran. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh
penurunan kemampuan bayar debitur, penyampaian informasi keuangan
yang kurang detail pada saat pengajuan kredit sehingga menambah beban
angsuran yang tidak bisa diantisipasi oleh debitur dan masalah di keluarga
seperti cekcok rumah tangga, anggota keluarga sakit dan lain-lain.111
Ketentuan restrukturisasi kredit mengacu pada ketentuan antara lain
Undang-undang di bidang perbankan, Peraturan Bank Indonesia dan
Ketentuan internal masing-masing bank. Dalam Pasal 55 ayat (1) Peraturan
Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum ditentukan
bahwa bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
restrukturisasi kredit. Sesuai dengan amanat Pasal 55 ayat (1) tersebut maka
pihak bank wajib memiliki pedoman dalam melaksanakan restrukturisasi.
Menurut Surat Edaran No. 15/28/DPNP kepada Semua Bank Umum
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Secara Konvensional di Indonesia,
dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian, Bank harus memiliki
pedoman Restrukturisasi Kredit yang memuat prosedur dan tata cara dalam
melaksanakan Restrukturisasi Kredit yang paling kurang memuat bagian
Analisis dan Dokumentasi. Dalam melakukan analisis terhadap Kredit yang
akan direstrukturisasi, Bank paling kurang memperhatikan analisis,
110
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara
(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014.
111 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara
(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014 dan dawancara dengan Ketut Gede
Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember
2014.
87
kesimpulan, dan rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan
kredit serta prosedur pemantauan.
Analisis terhadap kredit dimulai dengan evaluasi terhadap
permasalahan debitur, yang meliputi evaluasi terhadap penyebab terjadinya
tunggakan pokok dan/atau bunga yang didasarkan atas laporan keuangan,
arus kas (cash flow), proyeksi keuangan, kondisi pasar, dan faktor lain yang
berkaitan dengan usaha debitur. Perkiraan pengembalian seluruh pokok
dan/atau bunga berdasarkan perjanjian Kredit sebelum dan setelah
Restrukturisasi Kredit. Perkiraan tersebut hendaknya didasarkan pada rasio
keuangan, termasuk proyeksi rasio keuangan, yang mencerminkan kondisi
keuangan dan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya.
Evaluasi terhadap kinerja manajemen debitur untuk menentukan
diperlukannya restrukturisasi organisasi perusahaan debitur, antara lain
dapat dilakukan dengan cara penggantian pemegang saham, direksi, dan
perubahan manajerial lainnya. Apabila diperlukan, Bank dapat
menggunakan bantuan tenaga ahli eksternal untuk melakukan restrukturisasi
organisasi tersebut.
Pendekatan dan asumsi yang digunakan dalam perhitungan proyeksi
arus kas (projected cash flows) dan nilai tunai (present value) dari angsuran
pokok dan/atau bunga yang akan diterima. Analisis, kesimpulan, dan
rekomendasi dalam melakukan penyesuaian persyaratan Kredit seperti
penurunan suku bunga, pengurangan tunggakan pokok dan/atau bunga,
perubahan jangka waktu, dan/atau penambahan fasilitas. Penyesuaian
88
tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan siklus usaha dan kemampuan
membayar debitur sehingga debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran
angsuran pokok dan/atau bunga hingga jatuh tempo.
Restrukturisasi kredit yang dilakukan dengan cara pemberian
tambahan kredit wajib memuat tujuan dan penggunaan tambahan kredit
secara jelas. Tambahan kredit tidak diperkenankan untuk melunasi
tunggakan pokok dan/atau bunga. Dalam hal restrukturisasi kredit
mengakibatkan kewajiban debitur menjadi lebih besar, maka bank dapat
mensyaratkan adanya agunan baru. Penyesuaian atas jadwal pembayaran
kembali telah mencerminkan kemampuan membayar debitur. Rincian yang
terkait dengan transparansi persyaratan kredit termasuk kesepakatan
keuangan dalam perjanjian kredit, seperti rencana rekapitalisasi perusahaan
debitur atau adanya klausul bahwa bank dapat meningkatkan suku bunga
sejalan dengan kemampuan membayar debitur. Persyaratan bahwa
perjanjian kredit dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan
restrukturisasi kredit harus mempunyai kekuatan hukum. Kelengkapan
dokumen yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Restrukturisasi Kredit.
Prosedur pemantauan merupakan bagian penting dari pelaksanaan
restrukturisasi. Bank harus memiliki prosedur tertulis untuk memantau
kredit yang telah direstrukturisasi guna memastikan kesanggupan debitur
untuk melakukan pembayaran sesuai persyaratan dalam perjanjian kredit
baru. Beberapa langkah yang harus dilakukan bank dalam rangka
89
pemantauan pelaksanaan restrukturisasi kredit sebagaimana yang diatur
dalam Surat Edaran No. 15/28/DPNP antara lain:
a. meminta debitur untuk menyampaikan laporan keuangan yang
dilengkapi dengan rasio keuangan pokok, perkembangan usaha,
pelaksanaan rencana tindak (action plan), yang diperlukan Bank
dalam rangka memantau kondisi usaha dan keuangan debitur secara
terus menerus. Debitur juga melaporkan dampak dari berbagai
tindakan yang ditempuh sebagai bagian dari Restrukturisasi Kredit,
seperti rekapitalisasi perusahaan debitur dan kebijakan untuk tidak
membagikan dividen;
b. mengevaluasi kredit yang telah direstrukturisasi setiap triwulan,
termasuk apabila terdapat perbedaan yang signifikan antara proyeksi
dan realisasi, terutama dari angsuran pokok dan bunga, jangka
waktu, arus kas, tingkat bunga, dan/atau nilai taksasi agunan; dan
c. menyusun langkah yang akan diambil jika debitur ternyata kembali
mengalami kesulitan membayar setelah Restrukturisasi Kredit.
BTPN dan BPR Aruna Nirmaladuta adalah termasuk bank yang
memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit. 112
Dalam praktik, belum semua bank memiliki pedoman atau ketentuan
internal mengenai restrukturisasi kredit secara tertulis atau hanya diatur
sedikit di dalam standar operasional prosedur bank bersangkutan. Kebijakan
restrukturisasi hanya didasarkan pada analisis kredit bermasalah dan
kebijakan dari masing-masing bank bersangkutan.
Ketentuan mengenai restrukturisasi tidak hanya diatur melalui
Peraturan Bank Indonesia saja. Setiap bank juga diwajibkan memiliki
pedoman tertulis tentang restrukturisasi kredit. Dalam Bagian Ketiga
Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum
112
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin Bank Tabungan Pensiunan Negara
(BTPN), wawancara dilakukan pada 22 Desember 2014 dan wawancara dengan Ketut Gede
Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta, wawancara dilakukan pada 24 Desember
2014.
90
diatur mengenai “Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit.” Pasal 55
menyebutkan:
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai
Restrukturisasi Kredit.
(2) Kebijakan Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris.
(3) Prosedur Restrukturisasi Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib disetujui paling rendah oleh Direksi.
(4) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan secara aktif
terhadap pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan
manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Keputusan restrukturisasi kredit harus dilakukan oleh pihak yang lebih
tinggi dari pihak yang memutuskan pemberian kredit. Dalam hal keputusan
pemberian kredit dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan tertinggi
sesuai anggaran dasar bank maka keputusan restrukturisasi kredit dilakukan
oleh pihak yang setingkat dengan pihak yang memutuskan pemberian
kredit. Dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit, pembentukan satuan kerja
khusus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank dengan tetap
mengikuti ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Untuk menjaga obyektivitas, restrukturisasi kredit wajib dilakukan
oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam pemberian kredit yang
direstrukturisasi, namun dalam praktik, pengajuan kredit dan keputusan
restrukturisasi dilakukan oleh bidang yang sama komite kredit yang terdiri
dari kepala bagian kredit dan direksi. Restruktur diajukan oleh marketing
officer dan credit review disetujui oleh komite kredit. Kebijakan dalam
91
memutuskan restrukturisasi kredit disesuaikan dengan kebijakan internal
masing-masing bank. Adapula bank yang menunjuk petugas khusus yang
memiliki batas wewenang memutus kredit sesuai dengan ketentuan bank.
Dalam praktik, apabila terjadi kredit bermasalah maka pihak bank
memiliki cara masing-masing dalam menangani kredit bermasalah tersebut.
Prosedur yang dilakukan oleh BPR Aruna Nirmaladuta misalnya
menetapkan dalam jangka waktu keterlambatan 1-30 hari maka yang utama
dilakukan adalah indentifikasi penyebab penurunan kemampuan bayar
debitur dan melakukan komunikasi yang intens untuk mencari solusinya
dengan pihak debitur. Dalam jangka waktu keterlambatan 30 – 60 hari,
maka pihak bank akan melayangkan surat peringatan 1,2,3 dibarengi dengan
penagihan yang intens dan jika keterlambatan > 90 hari maka bank akan
melakukan penyelesaian kredit melalui eksekusi jaminan. Restrukturisasi
dilakukan pada saat keterlambatan 30 – 90 hari. 113
Apabila ada kredit bermasalah maka pihak BTPN akan melakukan
follow up seperti menghubungi nasabah yang bersangkutan melalui telepon
atau mengirimkan surat peringatan. Jika tidak diindahkan juga maka pihak
bank akan melaksanakan layanan kunjungan nasabah untuk melakukan
penagihan langsung ke alamat nasabah yang bersangkutan. Jika nasabah
tidak bisa menyetorkan kekurangan dana angsuran, dilakukan follow up ke
pihak bank terkait untuk dipertimbangkan adanya pembaharuan kredit yang
berfungsi menutup kolektibilitas dengan menambah jumlah plafon pinjaman
113
Wawancara dengan Ketut Gede Mardawa, Komisaris Utama BPR Aruna Nirmaladuta,
wawancara dilakukan pada 24 Desember 2014.
92
dan perpanjangan jangka waktu pinjamanan. Jika nasabah setuju untuk
menambah jumlah plafon yang akan digunakan untuk menutup kekurangan
angsuran yang tertunggak dan persyaratan lainnya terpenuhi, maka dapat
dilakukan proses tersebut. 114
Dalam praktik, restrukturisasi tidak dilakukan terhadap setiap kredit
bermasalah. Restrukturisasi dilakukan sepanjang masih ada kemampuan
membayar dan itikad yang baik dari debitur restrukturisasi kredit dapat
dilakukan. Penetapan kualitas kredit yang direstrukturisasi adalah sebagai
berikut:
1. paling tinggi sama dengan kualitas kredit sebelum dilakukan
restrukturisasi kredit, sepanjang debitur belum memenuhi kewajiban
pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara berturut-turut
selama 3 (tiga) kali periode sesuai waktu yang diperjanjikan;
2. dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas kredit
sebelum dilakukan restrukturisasi kredit, apabila debitur telah
memenuhi kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
angka 1; dan
3. kualitas kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian prospek
usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar:
a. setelah penetapan kualitas kredit sebagaimana dimaksud dalam
angka 2; atau
114
Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin BTPN, wawancara dilakukan pada 22
Desember 2014.
93
b. dalam hal debitur tidak memenuhi syarat-syarat dan/atau
kewajiban pembayaran dalam perjanjian restrukturisasi kredit,
baik selama maupun setelah 3 (tiga) kali periode kewajiban
pembayaran sesuai waktu yang diperjanjikan.
Proses awal pengajuan restrukturisasi sama seperti pengajuan kredit
baru, jika sudah sepakat mengenai jumlah pinjaman, jangka waktu dan total
dana bersih yang diterima nasabah, maka selanjutnya akan dilakukan
penginputan melalui sistem bank untuk diteruskan ke pejabat bank terkait.
Jika kredit telah disetujui dan proses penandatanganan perjanjian kredit
dilakukan oleh kedua belah pihak, akan diteruskan proses ke credit admin
untuk dilakukan posting pada sistem dan dicairkan dananya ke rekening
nasabah yang bersangkutan. Perjanjian ini berfungsi untuk menjamin
kepastian hukum para pihak dalam pemberian kredi baik dalam konteks
preventif maupun represif. Perjanjian kredit disatu sisi berfungsi untuk
mencegah terjadinya wanprestasi dan disisi lain akan berguna sebagai alat
bukti dalam penyelesaian kredit bermasalah.
Sebagaimana halnya pengajuan kredit maka pengajuan restrukturisasi
harus atas inisiatif dari debitur. Analisis untuk memutuskan persetujuan
terhadap restrukturisasi ini perlu dilakukan. Team leader kredit dan
Marketing officer melakukan negosiasi untuk mencari solusi yang
memungkinkan untuk dilakukan restrukturisasi kredit. Debitur membuat
surat permohonan ke manajemen agar dapat dilakukan restruktur kredit.
Analisis terhadap proses restrukturisasi ini dilakukan lebih detail untuk
94
menyelamatkan kredit bermasalah. Penyelamatan kredit bermasalah dengan
restrukturisasi kredit ini dilakukan melalui beberapa cara yakni penurunan
suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan
tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan
fasilitas kredit dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Penurunan suku bunga kredit merupakan salah satu bentuk
restrukturisasi yang bertujuan memberikan keringanan kepada debitur
sehingga dengan penurunan bunga kredit besarnya bunga yang harus
dibayar debitur setiap tanggal pembayaran menjadi lebih kecil dibanding
suku bunga yang ditetapkan sebelumnya. Dengan adanya keringanan suku
bunga maka pembayaran bunga setiap bulannya menjadi lebih kecil
sehingga pendataan dari hasil usaha debitur dapat dialokasikan untuk
membayar sebagian pokok dan sebagian lainnya untuk melanjutkan dan
mengembangkan usaha.115
Dalam perhitungan yang demikian maka dapat
diprediksikan bahwa dalam jangka waktu tertentu kredit dapat dilunasi dan
usaha dapat berjalan kembali, bahkan menjadi lebih besar. Penurunan suku
bunga kredit ini pernah dilakukan oleh BTPN Pernah yakni maksimal 1%
dari bunga kredit sebenarnya. 116
Perpanjangan jangka waktu kredit dilakukan untuk memperingan
debitur dalam mengembalikan utangnya. Dengan memberikan perpanjangan
jangka waktu kredit maka debitur dapat memiliki waktu yang lebih banyak
115
Sutarno, 2009, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 267.
116 Wawancara dengan Indah Trihana, Credit Admin BTPN, wawancara dilakukan pada 22
Desember 2014.
95
dengan angsuran yang tentunya lebih kecil dalam melunasi kredit.
Perpanjangan jangka waktu kredit akan meningkatkan kualitas kredit
menjadi performing loan atau kredit tidak bermasalah. Perpanjangan jangka
waktu kredit ini merupakan cara restrukturisasi yang paling mudah dan
paling lazim digunakan oleh bank dalam penyelamatan kredit bermasalah.
Salah satu tanda kredit bermasalah adalah adanya tunggakan bunga
kredit lebih dari tiga kali pembayaran. Bunga kredit yang seharusnya
dibayar setiap bulan atau dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
perjanjian kredit, tidak dibayar sehingga tunggakan bunga kredit lama
kelamaan menjadi menumpuk yang jumlahnya menyamai hutang pokok.
Pengurangan tunggakan bunga tidak mengakibatkan perubahan akta
perjanjian kredit karena yang dikurangi adalah besarnya tunggakan bunga
yang seharusnya dibayar debitur.117
Pengurangan tunggakan bunga kredit
dilakukan untuk menyelamatkan kredit bermasalah.
Pengurangan tunggakan pokok kredit bertujuan untuk meningkatkan
kualitas kredit. Pengurangan tunggakan pokok ini merupakan pengorbanan
bank yang sangat besar karena aset bank merupakan hutang pokok ini tidak
kembali dan merupakan kerugian yang menjadi beban bank. Besarnya
hutang pokok kredit tercantum dalam perjanjian kredit sehingga dengan
adanya pengurangan pokok kredit yang harus dibayar, perlu dibuat akta
117
Sutarno, op.cit., h. 268.
96
addendum perjanjian kredit yang menegaskan besarnya pengurangan pokok
kredit dan besarnya pokok kredit yang harus dibayar setelah dikurangi. 118
Dalam upaya penyelamatan kredit bermasalah, bank seringkali
menggunakan strategi penambahan fasilitas kredit. Penambahan fasilitas
kredit diharapkan usaha debitur akan berjalan kembali dan berkembang
yang akan menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk
mengembalikan utang lama dan tambahan kredit baru. Untuk memberikan
tambahan fasilitas kredit harus dilakukan analisis yang cermat, akurat dan
dengan perhitungan yang tepat mengenai prospek usaha debitur karena
debitur menanggung utang lama dan utang baru. 119
Restrukturisasi kredit dapat dilakukan melalui penyertaan modal
sementara. Mengenai penyertaan modal sementara ini Pasal 62 Peraturan
Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum menyatakan:
(1) Bank dapat melakukan Restrukturisasi Kredit dalam bentuk
Penyertaan Modal Sementara.
(2) Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan untuk Kredit yang memiliki kualitas Kurang
Lancar, Diragukan, atau Macet.
Penyertaan Modal Sementara wajib ditarik kembali apabila telah
melampaui jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau perusahaan
debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba kumulatif. Penyertaan
Modal Sementara wajib dihapusbukukan dari neraca Bank apabila telah
melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.
118
Sutarno, op.cit., h. 267.
119 Sutarno, op.cit., h. 267.
97
Secara normatif sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya cara
yang dapat digunakan dalam restrukturasi dapat berupa penurunan suku
bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan
bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, penambahan fasilitas
kredit dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara, namun
dalam praktik yang paling sering digunakan hanyalah perpanjangan jangka
waktu kredit. Hal ini disebabkan karena cara tersebut merupakan cara yang
paling praktik dan tidak berisiko bagi bank sedangkan cara lain dipandang
lebih sulit, misalnya pengurangan tunggakan bunga kredit tidak pernah
dilakukan karena perhitungan bunga telah ditentukan melalui sistem.
Penyelamatan kredit bermasalah sedianya diberikan kepada semua
debitur sepanjang masing memiliki kesanggupan membayar dan dapat
membuktikan memang ada penurunan pemasukan. Dalam kenyataannya,
bank cenderung memberikan kebijakan diskriminatif dimana kebijakan
restrukturisasi hanya diberikan kepada debibur besar. Bank cenderung
enggan untuk memberikan fasilitas restrukturisasi terhadap portofolio kredit
macet milik debitur UMKM, khususnya debitur mikro dan debitur kecil.
Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa terhadap debitur mikro dan
debitur kecil, pihak bank biasanya cenderung ketat sehingga nilai agunan
kredit debitur UMKM pada umumnya jauh lebih besar dibandingkan dengan
nilai kreditnya. 120
120
Iswi Hariyani, op.cit., h. 138.
98
Besarnya nilai agunan milik debitur UMKM tersebut justru tidak
mendorong pihak bank untuk melakukan restrukturisasi kredit, tetapi
malahan lebih bersemangat untuk segera melelang agunan tersebut. Di sisi
lain, pihak bank pada umumnya lebih banyak memberikan fasilitas
restrukturisasi kredit kepada debitur besar yang memiliki banyak lobi-lobi
khusus. Kenyataan ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat kecil,
khususnya pengusaha mikro dan kecil. 121
Jika restrukturisasi kredit
dilakukan, maka hanya sebatas formalitas saja sambil menunggu jatuh
tempo dan selanjutnya melakukan lelang terhadap agunan. Penjualan juga
dilakukan di bawah tangan dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan
yang besar. Hal ini merupakan bentuk itikad yang buruk dari oknum
pegawai bank yang menangani masalah restrukturisasi kredit.
Dengan nilai agunan yang jauh lebih besar dibandingkan nilai
kreditnya, maka sudah sepantasnya pihak bank memprioritaskan
restrukturisasi kredit macet debitur UMKM karena posisi bank dalam
keadaan aman. Hal ini berbeda dengan kredit macet milik debitur yang pada
umumnya tidak didukung oleh nilai agunan yang memadai, sehingga dapat
berpotensi merugikan bahkan dapat membangkrutkan usaha bank. 122
Itikad baik (good faith) harus ada sejak terjadinya negosiasi,
pelaksanaan perjanjian hingga penyelesaian sengketa, namun dalam praktik
tidak demikian. Marketing atau sales officer seringkali menyamarkan
tentang suku bunga sehingga debitur yang kurang paham tentang perbankan
121
Iswi Hariyani, op.cit., h. 139.
122 Iswi Hariyani, op.cit., h. 139.
99
kerap terkecoh. Hal ini menjadi awal dari kredit bermasalah. Pada awal
terjadi wanprestasi kerap kali kreditur tidak melakukan restrukturisasi tetapi
melakukan pembayaran yang dipaksakan dengan bunga tinggi, dengan
penjualan aset atau jaminan debitur.
Restrukturisasi dapat dilakukan pada semua kategori kredit, namun
dalam praktiknya restrukturisasi hanya dilakukan pada kredit tersebut sudah
masuk dalam kategori macet. Bank seringkali kurang perhatian atas
tindakan nasabah setelah kredit itu cair. Kreditur hanya melakukan
konfirmasi pada saat sebelum kredit cair saja. Jika kreditur melakukan
manajemen pengelolaan nasabah secara baik maka kualitas kredit yang baik
akan dapat dipertahankan.
100
BAB IV
HAMBATAN DALAM RESTRUKTURISASI KREDIT
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Restrukturisasi Kredit
Pemberian kredit dari kreditur terhadap debitur dilindungi dalam
suatu perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan perjanjian jaminan
sebagai perjanjian tambahan. Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah
berlaku mengikat bagaikan undang-undang.123
Hal ini menimbulkan
konsekuensi hukum bahwa para pihak wajib melaksanakan kewajiban
sebagaimana tertuang dalam perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut
membawa akibat hukum bagi kedua belah pihak. Pemenuhan hak dan
kewajiban merupakan salah satu bentuk dari akibat hukum suatu perjanjian.
Akibat hukum di sini tidak lain adalah pelaksanaan dari suatu kontrak itu
sendiri.124
Jika perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit maka debitur
wajib melaksanakan pembayaran yang dilakukan secara berkala dengan
besaran dan bunga yang sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
Pemberian fasilitas kredit oleh bank idealnya mendasarkan pada
faktor finansial, yang tercakup pada tiga pilar, yaitu prospek usaha, kinerja
dan kemampuan calon debitur. Namun demikian, dengan memperhatikan
adanya prudential banking principles, maka faktor finansial saja belum
123
Zaeni Asyhadie, 2008, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 8.
124 Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
h. 71.
101
cukup untuk memberikan keyakinan bahwa fasilitas kredit tersebut akan
kembali dengan aman dan menguntungkan. Sekalipun pada dasarnya
agunan merupakan second way out, tetapi arah perkembangan kredit
perbankan akhir-akhir ini di luar kredit konsumtif telah mengarah pada
faktor agunan sebagai variable dominan yang dapat memberikan keyakinan
kepada bank.125
Keyakinan ini merupakan pelaksanaan dari prinsip kehati-
hatian dalam pemberian kredit kepada debitur.
Penilaian terhadap prospek usaha meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen sebagai berikut potensi pertumbuhan usaha, kondisi
pasar dan posisi debitur dalam persaingan, kualitas manajemen dan
permasalahan tenaga kerja, dukungan dari grup atau afiliasi; dan upaya yang
dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Penilaian
terhadap kinerja debitur meliputi penilaian terhadap komponen-komponen
perolehan laba, struktur permodalan, arus kas, dan sensitivitas terhadap
risiko pasar. Penilaian terhadap kemampuan meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen antara lain ketepatan pembayaran pokok dan bunga,
ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan debitur, kelengkapan
dokumentasi kredit, kepatuhan terhadap perjanjian kredit, kesesuaian
penggunaan dana dan kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Dalam menjalankan usaha perbankan, terkadang terjadinya kredit
bermasalah sulit untuk dihindari, walaupun pada saat pengajuan kredit telah
dilakukan analisis kredit secara mendalam. Menurut Burhanuddin Abdullah,
125
Try Widiyono, 2009, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia,
Bogor, h.. 2.
102
kredit bermasalah atau non-performing loan dapat disebabkan oleh bencana
alam atau keadaaan darurat di luar kemampuan manusia, usaha debitur yang
memburuk, sulit berkembang, banyak pesaing, kesulitan manajerial, praktik
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) antara debitur dan pihak perbankan
dan debitur tidak mempunyai niat baik untuk melaksanakan tanggung
jawabnya.126
Sebagian besar kredit bermasalah timbul karena hal-hal yang terjadi
pada pihak debitur, antara lain:
1) Menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan yang disebabkan
merosotnya kondisi ekonomi umum dan/ atau bidang usaha dimana
mereka beroperasi.
2) Adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan,
atau karena kurang berpengalaman dalam bidang usaha yang
mereka tangani.
3) Problem keluarga, misalnya perceraian, kematian, sakit yang
berkepanjangan, atau pemborosan dana oleh salah satu atau
beberapa orang anggota keluarga debitur.
4) Kegagalan debitur pada bidang usaha atau perusahaan mereka yang
lain.
5) Kesulitan likuiditas keuangan yang serius.
6) Munculnya kejadian di luar kekuasaan debitur, misalnya perang
dan bencana alam.
7) Watak buruk debitur (yang dari semula memang telah
merencanakan untuk tidak akan mengembalikan kredit).127
Kredit bermasalah harus segera ditangani, sebab tingginya persentase
kredit bermasalah akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank.
Restrukturisasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian kredit
126
Iswi Hariyani, op.cit., h. 35.
127 Iswanto Sutojo, 2007, The Management of Commercial Bank, Damar Mulia Pustaka,
Jakarta, h.. 171-172
103
bermasalah. Menurut Badriyah Harun ada hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam penanganan kredit bermasalah yakni: 128
a. Keinginan debitur untuk menyelesaikan kewajiban.
b. Tingkat kerjasama dan keterbukaan debitur.
c. Kemampuan finansial debitur.
d. Sumber pengembalian pinjaman.
e. Prospek usaha debitur.
f. Mudah tidaknya menjual jaminan.
g. Kelengkapan dokumentasi jaminan.
h. Ada tidaknya tambahan jaminan baru.
i. Sengketa tidaknya jaminan.
j. Ada tidaknya sumber pembayaran dari usaha lain.
Ditinjau dari efektivitas kebijakan restrukturisasi ada beberapa hal
yang mempengaruhi kebijakan ini yakni faktor hukumnya. Kebijakan
restrukturisasi diatur dalam Undang-undang di bidang perbankan, Peraturan
Bank Indonesia serta ketentuan internal bank sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya. Substansi hukum yang mengatur mengenai kebijakan
restrukturisasi telah tertuang baik dalam bentuk pengaturan maupun dalam
bentuk teknis yuridis. Ketentuan mengenai restrukturisasi telah diatur secara
lengkap dalam peraturan kebijakan, namun peraturan tersebut seringkali
berganti dan tersebar di beberapa peraturan kebijakan. Hal ini menimbulkan
kesulitan dalam pelaksanaan restrukturisasi yang sesuai dengan amanat
Bank Indonesia.
Analisis mengenai apakah suatu kredit bermasalah dapat
direstrukturisasi atau tidak perlu dilakukan dengan cermat dan
mempertimbangkan beberapa hal. Dalam Pasal 57 Peraturan Bank Indonesia
tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum ditentukan bahwa:
128
Badriyah Harun, op.cit., hal 117.
104
(1) Kredit yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan
prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai proyeksi
arus kas.
(2) Kredit kepada Pihak Terkait yang akan direstrukturisasi wajib
dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin
usaha dan reputasi yang baik.
(3) Setiap tahapan dalam pelaksanaan Restrukturisasi Kredit dan hasil
analisis yang dilakukan Bank dan konsultan keuangan independen
terhadap Kredit yang direstrukturisasi wajib didokumentasikan secara
lengkap dan jelas.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
berlaku juga untuk Restrukturisasi ulang atas Kredit.
Kebijakan restrukturisasi perlu mendapatkan dukungan secara holistik
oleh pemegang kebijakan. Faktor yang juga mempengaruhi pelaksanaan
restrukturisasi kredit adalah faktor penegak hukum serta sarana dan fasilitas
dalam penegakan hukum. Penegak hukum disini adalah pihak bank itu
sendiri. Pihak bank sedianya memiliki pengetahuan dalam kemampuan
dalam mengenal nasabah, menentukan kualitas kredit, menganalisis
kemampuan membayar dari debitur, dan menentukan cara restrukturisasi
yang mana yang tepat bagi nasabah yang memiliki kredit bermasalah
tersebut.
Pihak bank wajib menyediakan fasilitas dalam upaya restrukturisasi
kredit, yakni dengan melibatkan konsultan keuangan independen untuk
menganalisis setiap tahapan dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit. Dalam
Pasal 58 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank
Umum selanjutnya ditentukan bahwa:
(1) Kualitas Kredit setelah restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut:
a. paling tinggi sama dengan kualitas Kredit sebelum dilakukan
Restrukturisasi Kredit, sepanjang debitur belum memenuhi
kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga secara
105
berturut turut selama 3 (tiga) kali periode sesuai waktu yang
diperjanjikan;
b. dapat meningkat paling tinggi 1 (satu) tingkat dari kualitas
Kredit sebelum dilakukan Restrukturisasi, setelah debitur
memenuhi kewajiban pembayaran angsuran pokok dan/atau
bunga secara berturut turut selama 3 (tiga) kali periode
sebagaimana dimaksud huruf a; dan berdasarkan faktor
penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10:
1) setelah penetapan kualitas kredit sebagaimana dimaksud
pada huruf b; atau
2) dalam hal debitur tidak memenuhi syarat-syarat dan/atau
kewajiban pembayaran dalam perjanjian Restrukturisasi
Kredit, baik selama maupun setelah 3 (tiga) kali periode
kewajiban pembayaran sesuai waktu yang diperjanjikan.
(2) Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi sampai dengan
jumlah Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dilakukan sebagai
berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Kredit yang sebelum
dilakukan restrukturisasi kredit tergolong Diragukan dan Macet
dan tetap sama untuk Kredit yang tergolong Kurang Lancar dan
Dalam Perhatian Khusus, sampai dengan 3 (tiga) kali periode
kewajiban pembayaran;
b. selanjutnya ditetapkan berdasarkan faktor penilaian atas
ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.
(3) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi dapat ditetapkan berdasarkan
faktor penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dalam hal
pelaksanaan Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan analisis
dan dokumentasi yang memadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57.
(4) Dalam hal periode pemenuhan kewajiban angsuran pokok dan/atau
bunga kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan paling cepat dalam
waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Kredit.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat
(4) berlaku juga untuk restrukturisasi ulang atas Kredit.
(6) Kualitas tambahan Kredit sebagai bagian dari paket Restrukturisasi
Kredit ditetapkan sama dengan kualitas Kredit yang direstrukturisasi.
(7) Kualitas Kredit yang direstrukturisasi sebelum ketentuan ini berlaku
tidak perlu disesuaikan dengan Pasal 58 ayat (1) huruf a dan b.
(8) Selanjutnya penetapan kualitas Kredit sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) dilakukan berdasarkan faktor penilaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, paling lambat 3 (tiga) bulan sejak PBI ini
berlaku.
106
Dalam Penjelasan Pasal 58 dijelaskan misalnya Bank X melakukan
restrukturisasi Kredit kepada debitur A yang kualitasnya diragukan. Setelah
direstrukturisasi penetapan kualitas Kredit debitur A adalah sebagai berikut:
a. Sebelum debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran
pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali berturut turut sesuai waktu
yang diperjanjikan, penetapan kualitas kredit paling tinggi Diragukan.
b. Setelah debitur dapat memenuhi kewajiban pembayaran angsuran
pokok dan/atau bunga selama 3 (tiga) kali berturut-turut sesuai waktu
yang diperjanjikan, ditetapkan kualitas Kredit 1 (satu) tingkat lebih
tinggi menjadi Kurang Lancar.
c. Selanjutnya penetapan kualitas Kredit dilakukan berdasarkan faktor
penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Dalam melakukan Restrukturisasi Kredit, Bank dapat memberikan
fasilitas kemudahan berupa pemberian tenggang waktu pembayaran (grace
period). Kualitas Kredit setelah direstrukturisasi dengan pemberian tenggang
waktu pembayaran diatur secara berbeda, yaitu selama tenggang waktu
pembayaran kualitasnya ditetapkan sama dengan kualitas kredit sebelum
dilakukan restrukturisasi. Pada umumnya, tenggang waktu pembayaran dapat
diberikan Bank kepada debitur, dalam bentuk penundaan pembayaran pokok
pinjaman, bunga pinjaman, atau kombinasi dari keduanya.
Penetapan kualitas Kredit yang direstrukturisasi dengan pemberian
tenggang waktu pembayaran (grace period) pokok dan bunga ditetapkan
bahwa selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Kredit sebelum
107
dilakukan restrukturisasi; dan setelah grace period berakhir, kualitas Kredit
mengikuti penetapan kualitas. Penetapan kualitas aset produktif berlaku pula
bagi Kredit yang direstrukturisasi. Dalam hal kredit yang direstrukturisasi
berjumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah), penetapan
kualitas kreditnya tidak dipengaruhi oleh kualitas Kredit yang diberikan oleh
Bank lain kepada debitur atau proyek yang sama dengan jumlah kurang dari
atau sama dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Dalam kebijakan penanganan kredit bermasalah, hal-hal yang
diperhatikan, diantaranya administrasi kredit, kredit yang perlu mendapat
perhatian khusus, perlakuan terhadap kredit yang tunggakan bunganya
dikapitalisasi (kredit plafondering), prosedur penyelesaian kredit
bermasalah, dan prosedur penghapusbukuan kredit macet; serta tata cara
pelaporan kredit macet dan tata cara penyelesaian barang agunan kredit
yang teah dikuasai bank yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit. Dari
kebijakan di atas, yang paling penting pula, yaitu pelaksana dan institusinya
itu sendiri. Dari institusinya diharapkan bahwa:129
a. Bank tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit
bermasalah.
b. Bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau
diduga akan menjadi kredit bermasalah.
c. Penanganan kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit
bermasalah juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin.
129
Muhamad Djumbana II, op.cit., h. 55-552.
108
d. Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara
menambah plafond kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan
mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau lazim dikenal dengan
praktik plafondering kredit.
e. Bank tidak oleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit
bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak
yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu.
Sumber daya bank sangat menentukan pelaksanaan kebijakan
restrukturisasi kredit dalam rangka penyelamatan terhadap kredit
bermasalah. Bagian analis wajib memiliki kemampuan untuk mendeteksi
secara dini adanya kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit
bermasalah guna melakukan upaya optimal dalam melaksanakan
penyelamatan terhadap kredit bermasalah. Gejala-gejala yang muncul
sebagai tanda akan terjadinya kredit bermasalah adalah sebagai berikut:130
a. Penyimpangan dari berbagai ketentuan dalam perjanjian kredit,
b. Penurunan kondisi keuangan perusahaan,
c. Frekuensi pergantian pimpinan dan tenaga inti,
d. Penyajian bahan masukan secara tidak benar,
e. Menurunnya sikap kooperatif debitur,
f. Penurunan nilai jaminan yang disediakan,
g. Problem keuangan atau pribadi.
130
Siswanto Sutojo, op. cit. h. 173.
109
Cara bank menangani kredit bermasalah juga dipengaruhi oleh jumlah
dana milik debitur yang diharapkan dapat dipergunakan untuk
mengembalikan kredit, jumlah kredit yang dipinjam debitur dari kreditur
lain, status dan nilai jaminan yang telah terikat, maupun sikap debitur dalam
menghadapi bank.131
Sikap debitur ini memiliki peranan penting dalam
pelaksanaan restrukturisasi kredit bermasalah dalam penyelematan dan
penyelesaian kredit perbankan.
Faktor masyarakat dan budaya juga mempengaruhi pelaksanaan
restrukturisasi kredit bermasalah. Masyarakat dan budaya disini adalah cara
pandang dari nasabah selaku debitur untuk memiliki itikad baik dalam
melaksanakan prestasi. Menurut I Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada
Mitra Usaha, pihaknya telah berupaya untuk melaksanakan pembayaran,
namun karena usahanya yang semakin menurun maka ia tidak mampu lagi
melakukan pembayaran tepat pada waktunya. Peminat kerajinan kayu
menurutnya menurun dari tahun ke tahun, akibatnya omzet usahanya pun
semakin menurun.132
Begitu pula yang terjadi dengan Dickin Alyansyah,
nasabah PT BPR Aruna Nirmaladuta yang mengalami keterlambatan
membayar karena penurunan omzet usaha.133
Utar Sutar mengajukan restrukturisasi kredit karena
ketidakmampuannya membayar kredit sesuai dengan jumlah yang
131
Siswanto Sutojo, op. cit., h. 178
132 Wawancara dengan I Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pada
tanggal 3 Januari 2015.
133 Wawancara dengan dengan Dickin Alyansyah, nasabah PT BPR Aruna Nirmaladuta
pada tanggal 4 Januari 2015.
110
ditentukan lebih dari empat kali secara berturut-turut. Kondisi tersebut
disebabkan karena kredit yang telah dicairkan pertama kali digunakan untuk
membiayai usahanya yang lain yaitu warung klontong di rumah yang
dikelola istrinya. Namun, warung klontong tersebut tidak berjalan baik.134
Inisiatif dari nasabah sangat menentukan persetujuan restrukturisasi
kredit, karena restrukturisasi kredit hanya dapat diajukan atas permintaan
debitur. Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha,
mengajukan permohonan restrukturisasi perpanjangan jangka waktu dan
penambahan fasilitas kredit, walaupun yang disetujui hanyalah
perpanjangan jangka waktu kredit saja.135
Hal itu disebabkan karena usaha
debitur yang mengalami penurunan, sehingga penambahan fasilitas tidak
dapat diberikan agar tidak memberatkan debitur dikemudian hari. Oleh
sebab itu, nasabah harus memiliki pengetahuan dan informasi mengenai hak
untuk mengajukan restrukturisasi kredit apabila mengalami kesulitan
membayar.
2. Hambatan dalam Restrukturisasi Kredit Perbankan
Kredit adalah sebuah kepercayaan (trust). Dengan demikian,
pemberian fasilitas kredit haruslah berdasarkan suatu kepercayaan, yaitu
fasilitas yang diberikan tersebut digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan
134
Wawancara dengan Utar Sutar, nasabah PT BPR Aruna Nirmaladuta pada tanggal 4
Januari 2015.
135 Wawancara dengan I Nyoman Sutapa, nasabah Bank Mayapada Mitra Usaha, pada
tanggal 3 Januari 2015.
111
permohonan calon debitur.136
Dalam praktiknya kemacetan suatu kredit
disebabkan oleh dua unsur yaitu:137
a. Dari pihak perbankan. Artinya dalam melakukan analisisnya, pihak
analisis kurang teliti, sehingga apa yang seharusnya terjadi, tidak
diprediksi sebelumnya atau mungkin salah dalam melakukan
perhitungan. Dapat pula terjadi akibat kolusi dari pihak analis kredit
dengan pihak debitur sehingga dalam analisisnya dilakukan secara
subjektif dan akal-akalan.
b. Dari pihak nasabah. Dari pihak nasabah, kemacetan kredit dapat
dilakukan akibat dua hal yakni:
1) Adanya unsur kesengajaan. Dalam hal ini nasabah sengaja untuk
tidak bermaksud membayar kewajibannya kepada bank
sehingga kredit yang diberikan macet. Dapat dikatakan tidak
adanya unsur kemauan untuk membayar, walaupun sebenarnya
nasabah mampu.
2) Adanya unsur tidak sengaja. Artinya si debitur mau membayar
akan tetapi tidak mampu. Sebagai contoh kredit yang dibiayai
mengalami musibah seperti kebakaran, hama, kebanjiran dan
sebagainya, sehingga kemampuan untuk membayar kredit tidak
ada.
Dalam dunia perbankan penyelesaian kredit bermasalah dalam
lingkungan administrasi perkreditan merupakan suatu kelaziman. Hal
136
Try Widiyono, loc.cit.
137 Kasmir, 2006, Dasar-dasar Perbankan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h, 128-129.
112
tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kualitas kredit.
Menuju langkah-langkah alternatif demikian, secara nyata para pihak pasti
mendapatkan perbedaan-perbedaan yang dengan sendirinya pula apabila
difungsikan lembaga alternatif penyelesaian sengketa karena melalui
lembaga tersebut dimungkinkan perbedaan pendapat bisa direduksi
sedemikian rupa sehingga mendapatkan jalan keluar yang saling
menguntungkan (win win solution).138
Restrukturisasi ini dijalankan
berdasarkan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi dan penilaian ahli
antara pihak kreditur dan debitur serta pihak ketiga yang netral seperti
akuntan publik dan sebagainya.
Restrukturisasi kredit dalam penyelamatan kredit bermasalah
merupakan suatu upaya yang ditawarkan dan menguntungkan baik dari
pihak kreditur maupun dari pihak debitur, namun menurut Wahyudi
Santoso, dalam proses restrukturisasi kredit, ada beberapa kendala yang
dihadapi, antara lain:139
b. Tidak adanya keterbukaan antara kreditur dengan debitur. Hal
demikian tidak lepas dari sifat hubungan yang antagonistik antara
keduanya. Pihak kreditur, dalam hal ini bank, dalam praktiknya
menetapkan persyaratan yang lebih mencerminkan besarnya
kerugian yang dapat ditolerirnya serta kepastian pembayaran
sesegera mungkin tanpa memperhatikan kondisi bisnis dan keuangan
138
Muhamad Djumbana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 560.
139 Wahyudi Santoso, 2008, h. 21.
113
debiturnya. Pada sisi lain pihak debitur selalu berupaya memperoleh
keringanan yang maksimal dengan menyerahkan agunan seminimal
mungkin.
c. Adanya keterbatasan baik finansial maupun tenaga staf yang ahli di
bidang restrukturisasi pada lembaga-lembaga fasilitas seperti Satgas
maupun Prakarsa Jakarta, sementara pada sisi yang lain nasabah
debitur maupun bank kreditur terlalu berharap banyak pada lembaga
tersebut secara fakta sebenarnya juga tidak mempunyai kekuatan
memaksa.
d. Kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat sebagai
fasilitator dalam restrukturisasi, karena masing-masing lembaga
tersebut mempunyai agenda atau prioritas yang berbeda satu dengan
yang lain.
Dari faktor hukum, kebijakan restrukturisasi tertuang dalam aturan
yang tersebar. Sampai saat ini belum ada ketentuan khusus yang mengatur
mengenai restrukturisasi kredit. Peraturan kebijakan mengenai
restrukturisasi kredit juga sering berubah-ubah. Misalnya SK Direksi Bank
Indonesia No. 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Restrukturisasi Kredit merupakan perubahan dari SK Direksi Bank
Indonesia tertanggal 27 Februari 1998 dan diubah kembali melalui
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/ 15 /PBI/2000 Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 2/ 15 /PBI/2000 Tentang Perubahan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR Tanggal 12 November
114
1998 Tentang Restrukturisasi Kredit. Perubahan yang terjadi secara terus-
menerus ini bukanlah merupakan indikator hukum yang baik.
Dalam ketentuan mengenai perbankan tidak ditegaskan apakah
restrukturisasi kredit merupakan hal yang wajib atau hanya merupakan
upaya penyelamatan kredit. Dalam ketentuan Pasal 54 Peraturan Bank
Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum hanya ditentukan
bahwa “Bank wajib menerapkan perlakuan akuntansi Restrukturisasi Kredit
sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.” Perlakuan
akuntansi untuk Restrukturisasi Kredit antara lain diterapkan untuk
pengakuan kerugian yang timbul; dan pengakuan pendapatan bunga dan
penerimaan lain. Hal ini dapat menjadi celah hukum dari bank untuk tidak
melaksanakan restrukturisasi terhadap kredit bermasalah.
Dalam pelaksanaannya, program restrukturisasi kredit dan
restrukturisasi perusahaan yang dilaksanakan selama ini mengalami
berbagai kendala dan salah satunya adalah berupa adanya ketentuan yang
berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan Bank.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut serta dengan
mempertimbangkan bahwa restrukturisasi kredit dan restrukturisasi
perusahaan pada gilirannya dapat memperbaiki sisi aktiva perbankan dan
mendorong pergerakan sektor riil maka perlu dilakukan penyesuaian
ketentuan kehati-hatian khususnya mengenai batas waktu penarikan
Penyertaan Bank dalam rangka restrukturisasi kredit.
115
Peraturan Bank Indonesia sangat mempengaruhi operasional bank,
tidak hanya dalam akuntansi, tetapi mencakup struktur organisasi, teknologi
informasi, dan pola pikir sumber daya manusia bank. Oleh karena itu
dibutuhkan strategi-strategi untuk menghadapi permasalahan-permasalahan
yang akan timbul sehubungan dengan kebijakan restrukturisasi dalam
penyelamatan kredit bermasalah seperti perhitungan present value cash flow
ketika terjadi restrukturisasi kredit.
Faktor penegak hukum serta sarana dan fasilitas dalam penegakan
hukum juga mejadi faktor penghambat dalam pelaksanaan restrukturisasi
kredit manakala terjadi keterbatasan baik finansial maupun tenaga staf yang
ahli di bidang restrukturisasi serta koordinasi antar lembaga. Pemahaman
mengenai peraturan tentang restruktukrisasi perlu dilakukan. Penentuan
kebijakan mengenai restrukturisasi dalam praktik dilakukan oleh bidang
yang sama dengan yang menentukan pemberian kredit. Hal ini dapat
menimbulkan subjektivitas dalam memberikan persetujuan restrukturisasi.
Kebijakan restrukturisasi seringkali diabaikan karena pelaksanaan
kebijakan ini justru mengurangi margin keuntungan. Restrukturisasi
memerlukan proses yang panjang. Kredit yang bermasalah harus dianalisis
ulang dan bahkan melibatkan kantor pusat. Jika kredit bermasalah dibiarkan
saja dan pihak bank tidak mengkonfirmasi nasabah wanprestasi untuk
membayar, maka pihak bank akan mendapat keuntungan dari penumpukan
bunga dan denda. Apabila debitur masih tidak sanggup membayar maka
akan dilakukan lelang yang biasanya dilakukan di bawah tangan. Kondisi ini
116
tentu sangat menguntungkan pihak kreditur yang dapat mempermainkan
harga lelang jaminan.
Oknum pihak bank melaksanakan restrukturisasi kredit hanya untuk
kepentingan formalitas saja, debitur juga kurang mendapatkan informasi
mengenai restrukturisasi ini. Memang dalam hal ini pihak bank tidak
memiliki kewajiban untuk menyamakan pemahaman dari para debitur
sebagaimana pula yang dinyatakan Alix Adams sebagai berikut:
Bank does not even have a duty to ensure that a customer takes
independent advice prior to entering into a transaction with it. However,
failure to do so may prevent the bank from enforcing a contract in its
favour, if it is perceived as having constructive notice of undue influence
or misrepresentation which led the customer into the transaction. Such
notice may be given by the nature and substance of the agreement and
the relationship between the customer and any other party involved in or
benefiting from the transaction140
.
Dalam Peraturan Bank Indonesia sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya ditentukan bahwa kredit kepada Pihak Terkait yang akan
direstrukturisasi wajib dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang
memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. Keterlibatan konsultan
keuangan independen seringkali diabaikan karena melibatkan konsultan
keuangan independen berarti menambah biaya yang dikeluarkan untuk
mengatasi kredit bermasalah. Biaya ini akan memberatkan pihak debitur
yang dalam kondisi tersebut memang memiliki kesulitan untuk membayar,
dan jika dibebankan kepada kreditur, kreditur pun akan dirugikan lebih
banyak lagi.
140
Alix Adams, 2008, Law for Business Students Fifth Edition, Pearson Education,
England, h. 146.
117
Restrukturisasi kredit sangat mudah dilakukan sepanjang ada itikad
baik dari nasabah selaku debitur. Hambatan yang selama ini sering terjadi
pelaksanaan restrukturisasi kredit adalah nasabah yang tidak kooperatif.
Penggilan via telepon dan kunjungan ke rumah nasabah seringkali
diabaikan. Negosiasi dalam restrukturisasi kredit juga seringkali tidak
menemukan kesepakatan. Setelah ada kesepakatan, hasil kesepakatan tidak
pula dilaksanakan dengan alasan bahwa pihaknya merasa dirugikan. Dalam
kondisi tersebut biasanya penyelesaian masalah dilakukan melalui
pengadilan. 141
Pelaksanaan restrukturisasi kredit dalam penyelamatan kredit
bermasalah merupakan pelaksanaan dari aturan yang mengatur tentang
restrukturisasi. Menurut Munir Fuady, salah satu cara untuk memberikan
perlindungan kepada nasabah adalah dengan melaksanakan peraturan yang
ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter,
khususnya peraturan yang bertujuan melindungi nasabah sehingga dapat
dijamin law enforcement yang baik. Peraturan Perbankan tersebut harus
ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau
pemegang saham dari bank yang bersangkutan. 142
Peraturan mengenai
retrukturisasi merupakan upaya untuk melindungi nasabah dari hak
eksekutorial kreditur untuk melelang langsung objek jaminan.
141
Wawancara dengan Ketut Enda Raharja, Head Office Mayapada Mitra Usaha,
wawancara dilakukan pada 27 Desember 2015.
142 Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 104.
(selanjutnya disebut Munir Fuady III)
118
3. Tanggung Jawab Hukum Pihak Kreditur dalam Restrukturisasi Kredit
Risiko yang sering terjadi dalam usaha perbankan pada umumnya
adalah risiko kredit macet atau Non Performing Loan (NPL). Faktor
penyebab risiko kredit macet antara lain karena kesalahan penggunaan
kredit, manajemen penggunaan kredit yang buruk, serta kondisi
perekonomian yang mempengaruhi iklim usaha dalam negeri.143
Kredit
bermasalah akan berdampak pada kelancaran operasi bank pemberi kredit
dimana aktiva produktif bank diragukan kolektibilitasnya serta menurunkan
profitabilitas bank bersangkutan.
Tingginya jumlah kredit bermasalah akan mengakibatkan turunnya
pemasukan dan mengurangi modal bank. Kondisi ini menimbulkan turunnya
likuiditas yang berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada
bank. Dalam hal kepercayaan masyarakat menurun, maka peranan bank
sebagai lembaga intermediasi tidak dapat berfungsi optimal, yang artinya
akan memperkecil kesempatan peluang bisnis, proyek baru, lapangan kerja
baru dan sebagainya. Secara sistemik, kondisi tersebut akan berpengaruh
terhadap kehidupan ekonomi dan moneter negara.
Pelaksanaan program pemulihan perekonomian nasional dimulai
dengan penerapan berbagai langkah-langkah dalam rangka restrukturisasi
perbankan nasional yang antara lain dilaksanakan melalui program
penjaminan pemerintah, program rekapitalisasi perbankan dan pelaksanaan
restrukturisasi kredit perbankan. Langkah selanjutnya dalam program
143
Badriyah Harun, op.cit., hal 11.
119
pemulihan perekonomian nasional tersebut adalah melalui restrukturisasi
perusahaan. Program restrukturisasi perusahaan sangat erat kaitannya untuk
mendukung perbaikan sisi aktiva perbankan melalui program restrukturisasi
kredit.
Pelaksanaan restrukturisasi kredit menimbulkan tanggung jawab bank
selaku kreditur. Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia seluruh
restrukturisasi kredit yang dilakukannya. Restrukturisasi kredit yang telah
dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Laporan Berkala Bank Umum. Bank memiliki kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Perbankan perubahan yakni sebagai
berikut:
1. Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala
keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2. Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan
kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang
ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan
dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan,
dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang
bersangkutan.
3. Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan
dan bersifat rahasia.
Tanggung jawab pelaporan kepada Bank Indonesia ini terkait dengan
tanggung jawab Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan dan
pembinaan. Bank Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan restrukturisasi kredit.
Kebijakan restrukturisasi merupakan kebijakan yang dituangkan dalam
Peraturan Bank Indonesia. Peraturan tersebut merupakan salah satu bentuk
120
pembinaan dan pengawasan terhadap bank oleh Bank Indonesia. Dalam
Pasal 29 UU Perbankan perubahan ditentukan bahwa:
1. Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
2. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan
dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian.
3. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
4. Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan
dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
5. Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Dalam Pasal 65 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas
Aset Bank Umum ditentukan bahwa:
Bank Indonesia berwenang melakukan koreksi terhadap penetapan
kualitas Kredit dan perhitungan PPA, apabila:
a. menurut penilaian Bank Indonesia, Restrukturisasi Kredit dilakukan
dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53;
b. Restrukturisasi Kredit tidak didukung dengan dokumen yang
lengkap dan analisis yang memadai mengenai kemampuan
membayar dan prospek usaha debitur;
c. debitur tidak melaksanakan perjanjian Restrukturisasi Kredit (cidera
janji/wanprestasi);
d. Restrukturisasi Kredit dilakukan secara berulang dengan tujuan
hanya untuk memperbaiki kualitas Kredit tanpa memperhatikan
prospek usaha debitur; dan/atau
e. Restrukturisasi Kredit tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Restrukturisasi kredit merupakan upaya penyelamatan kredit
bermasalah. Apabila penyelamatan kredit bermasalah ini tidak berhasil
maka bank melakukan tindakan lanjutan berupa penghapusan kredit macet
121
(write-off). Penghapusan kredit macet tersebut dilakukan dengan dua tahap
yakni hapus buku dan hapus tagih. Hapus buku dan hapus tagih ini dianggap
sebagai kerugian bank.
Hapus buku adalah tindakan administratif Bank antara lain untuk
menghapus buku kredit macet dari neraca sebesar kewajiban debitur tanpa
menghapus hak tagih Bank kepada debitur. Hapus tagih adalah tindakan
Bank menghapus semua kewajiban debitur yang tidak dapat diselesaikan.
Kebijakan dan prosedur hapus buku dan hapus tagih antara lain memuat
kriteria, persyaratan, limit, kewenangan, dan tanggung jawab serta tata cara
hapus buku dan hapus tagih. Pelaksanaan hapus buku dilakukan terhadap
seluruh penyediaan dana yang diberikan dan diikat dalam satu perjanjian.
Hapus tagih dalam rangka restrukturisasi kredit dan penyelesaian
kredit dimaksudkan untuk kepentingan transparansi kepada debitur. Upaya
yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada debitur,
restrukturisasi kredit, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan
garansi atas aset produktif dimaksud, dan penyelesaian kredit melalui
pengambilalihan agunan.
Hapus buku adalah penghapusan secara bersyarat atau conditional
write-off dan hapus tagih adalah penghapusan secara mutlak absolute write-
off. Hapus buku dilakukan dengan cara mengeluarkan semua portofolio
kredit macet dari pembukuan bank, namun bank tetap melakukan tagihan
kepada debitur sedangkan dalam program hapus tagih, bank tidak lagi
122
melakukan penagihan kepada debitur.144
Program hapus buku dan hapus
tagih merupakan upaya untuk mengurangi rasio kredit bermasalah dan
berarti meningkatkan kesehatan bank.
Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus
buku dan hapus tagih. Kebijakan tersebut wajib disetujui oleh Dewan
Komisaris. Prosedur mengenai hapus buku dan hapus tagih wajib disetujui
paling rendah oleh Direksi. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan
secara aktif terhadap pelaksanaan kebijakan hapus buku dan hapus tagih.
Kebijakan dan prosedur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kebijakan manajemen risiko bank sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 67 Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aset
Bank Umum menentukan bahwa:
(1) Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan terhadap
penyediaan dana yang telah didukung perhitungan CKPN sebesar
100% dan kualitasnya telah ditetapkan Macet.
(2) Hapus buku tidak dapat dilakukan terhadap sebagian penyediaan
dana (partial write off).
(3) Hapus tagih dapat dilakukan baik untuk sebagian atau seluruh
penyediaan dana.
(4) Hapus tagih terhadap sebagian penyediaan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan dalam rangka
Restrukturisasi Kredit atau dalam rangka penyelesaian Kredit.
Hapus buku dan/atau hapus tagih hanya dapat dilakukan setelah Bank
melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali Aset Produktif yang
diberikan. Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan serta
144
Iswi Hariyani, op.cit. h. 41.
123
dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan/atau hapus tagih. Bank
wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aset Produktif
yang telah dihapus buku dan/atau dihapus tagih. Apabila program hapus
buku dan hapus tagih ini tidak berhasil maka bank selaku kreditur dapat
menyelesaikan permasalahan kredit macet ini melalui jalur litigasi maupun
non litigasi (alternatif penyelesaian sengketa).
124
BAB V
PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1) Implementasi ketentuan restrukturisasi kredit belum optimal
diterapkan dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah
pada kredit perbankan. Hal tersebut dapat dilihat dari penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan dalam pelaksanaan restrukturisasi
kredit. Faktor internal yang menyebabkan belum optimalnya
ketentuan restrukturisasi adalah analisis kredit yang kurang teliti dari
pihak bank, indikasi itikad buruk dari pihak bank untuk mengabaikan
proses restrukturisasi serta ketidaktahuan nasabah bahwa jika
mengalami ketidaksanggupan membayar dapat mengajukan
restrukturisasi. Faktor eksternal yang menyebabkan belum optimalnya
ketentuan restrukturisasi yakni kebijakan restrukturisasi sebagaimana
yang diuangkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang sering
berubah-ubah.
2) Hambatan yang dihadapi dalam implementasi ketentuan
restrukturisasi kredit dalam penyelamatan dan penyelesaian kredit
bermasalah pada kredit perbankan dapat ditinjau dari faktor hukum,
penegak hukum, sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum,
125
masyarakat serta kebudayaan. Faktor hukum yang menghambat yakni
pengaturan eksternal dalam Peraturan Bank Indonesia yang tersebar
dan sering berubah serta pengaturan internal di bank bersangkutan
mengenai restrukturisasi yang belum ada atau belum sesuai dengan
substansi sebagaimana yang diamanatkan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia. Faktor penegak hukum dan sarana penegakan hukum yang
dalam hal ini adalah bank dan sarananya adalah belum adanya
pemahaman yang komprehensif dan prosedur yang benar mengenai
proses restrukturisasi serta pengabaian keterlibatan konsultan
keuangan independen dalam restrukturisasi kredit. Faktor masyarakat
dan budaya yang menghambat restrukturisasi kredit adalah adanya
itikad buruk debitur, kurangnya informasi dan inisiatif debitur dalam
mengajukan restrukturisasi kredit.
2. Saran
Rekomendasi yang dapat disampaikan mengenai implementasi
ketentuan restrukturisasi kredit bermasalah pada kredit perbankan adalah:
1) Bank Indonesia hendaknya tidak terlalu sering mengganti kebijakan
mengenai restrukturisasi kredit dalam penyelamatan kredit
bermasalah. Masing-masing bank hendaknya memiliki kebijakan dan
prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit, memiliki divisi
khusus yang menentukan restrukturisasi dan membedakannya dengan
divisi pengajuan kredit. Bank hendaknya memberikan pelatihan bagi
126
pegawainya dalam meningkatkan pengetahuan mengenai kebijakan
restrukturisasi dan prediksi dalam mengukur kesanggupan dan
kemampuan membayar melalui prospek usaha debitur yang menjadi
sumber pendapatan untuk melaksanakan pembayaran. Pihak kreditur
hendaknya memberikan informasi yang benar mengenai pengajuan
kredit dan suku bunga serta melakukan upaya antisipasi sebelum
terjadinya kredit bermasalah dengan selalu memonitor pembayaran
debitur.
2) Debitur hendaknya mempelajari perjanjian kredit antara dirinya dan
kreditur dan memiliki pemahaman yang cukup di bidang perbankan
yang meliputi syarat pengajuan kredit, perihal pembayaran, suku
bunga, model perhitungan pembayaran dan ketentuan apabila nantinya
tidak sanggup membayar. Debitur yang dalam hal ini adalah nasabah
bank hendaknya memiliki itikad baik untuk melaksanakan prestasi,
mau kooperatif dalam setiap tahapan pengajuan restrukturisasi,
memberikan informasi dan data yang benar guna mencapai
kesepakatan dalam restrukturisasi. Jika debitur telah kooperatif dalam
hal ketidaksanggupan membayar, maka pihak bank hendaknya
memberikan kesempatan dalam memberikan kesempatan
restrukturisasi kredit kepada nasabah sebelum mengambil keputusan
untuk menjual agunan guna menutupi pembayaran kredit.