Post on 03-Nov-2021
1
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DI KOTA
TANGERANG
Penulis : Marcelina Resti Permata
Pembimbing : Sri Susilih
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik
ABSTRAK Penyimpangan sosial yang banyak terdapat pada hampir seluruh negara adalah prostitusi atau tindakan pelacuran. Tindakan prostitusi merupakan cerminan negatif dari masyarakat, sebab hal tersebut merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sulit diberantas secara menyeluruh. Dalam rangka mencegah dan memberantas pelanggaran terhadap praktek-praktek prostitusi di Kota Tangerang, maka Pemerintah Daerah Kota Tangerang menetapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Hal ini juga tercermin dari motto Kota Tangerang yaitu “Akhlakul Karimah”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan studi pustaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Hasil dari penelitian ini bahwa implementasi dari Perda ini telah berhasil memberantas tindakan prostitusi di Kota Tangerang. Namun demikian, masih banyak ditemukan indikasi dari perbuatan yang melanggar Perda tersebut yaitu dalam bentuk kasus perselingkuhan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sanksi yang mengatur tentang perbuatan perselingkuhan. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah mengikuti SOP (Standard Operational Procedur) yang ditentukan, meskipun terdapat fenomena baru yaitu maraknya kasus perselingkuhan yang terjadi di Kota Tangerang. Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis memberikan saran sebaiknya Kota Tangerang memiliki pusat rehabilitasi bagi pelaku prostitusi sehingga tersangka yang terbukti sebagai seorang PSK dapat selalu diawasi perkembangannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Selain itu, Perlu adanya substansi dalam Perda yang mengatur kasus perselingkuhan karena hal tersebut sangat banyak ditemui dalam operasi. Kata Kunci : Implementasi Kebijakan; Pelarangan Pelacuran; Peraturan Daerah. ABSTRACT There are many features of social deviance in almost all countries is prostitution or acts of prostitution. Prostitution has always existed in society since thousands of years ago. The act of prostitution is a negative reflection of the society, because it is one of social disease that is difficult to eradicate completely. In order to prevent infraction of the practice of prostitution in Tangerang, thus Tangerang Government then assign a policy contained in the Regional Regulation No. 8 of 2005 about the Prohibition of Prostitution. This is also reflected byTangerang motto is "akhlakul Karimah". This research used a qualitative approach with in-depth interviews and literature. Results from this research that the implementation of this regulation has been successfully eradicate prostitution in Tangerang. However, there are
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
2
many indications of an act that violates the law is in the form of affair cases. This is due to the absence of sanctions governing act of affair cases. Keywords: Local Regulation; Policy Implementation; Prohibition of Prostitution. Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Di antara penyimpangan sosial yang banyak terdapat pada hampir seluruh negara
adalah prostitusi atau tindakan pelacuran. Prostitusi sudah ada dalam kehidupan masyarakat
sejak ribuan tahun yang lalu. Tindakan prostitusi merupakan cerminan negatif dari
masyarakat, sebab hal tersebut merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sulit
diberantas secara menyeluruh. Fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah prostitusi
selalu identik dengan wanita, dikarenakan wanita sebagai simbol keindahan, maka setiap
yang indah biasanya menjadi target pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu
menghasilkan uang. Untuk memerangi perdagangan perempuan dan prostitusi di Indonesia,
beberapa daerah di Indonesia menerapkan Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan
perlindungan terhadap masyarakat khususnya para wanita. Salah satu kota yang telah lama
gencar menerapkan suatu kebijakan dalam rangka menekan dan membasmi angka pelacuran
atau pelaku prostitusi adalah kota Tangerang.
Pada dasarnya Peraturan Daerah (Perda) menghasilkan suatu kebijakan yang
diperlukan oleh suatu daerah tertentu untuk mengatur daerahnya sendiri. Tentunya Perda yang
dibuat harus mewakili kepentingan masyarakat. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005
tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kota
Tangerang dengan tujuan melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan
dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek-praktek prostitusi di
Kota Tangerang. Kota Tangerang memiliki motto “Akhlakul Karimah”, yang berasal dari kata
akhlak dan memiliki arti seperti budi pekerti atau kelakuan yang baik. Motto tersebut menjadi
pedoman bahwa akhlak yang baik harus selalu dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Apabila disesuaikan dengan motto Kota Tangerang, maka keberadaan Perda Nomor 8
tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran sudah sejalan. Namun hal terpenting dalam
kesuksesan suatu kebijakan adalah pada tahap implementasi. Seperti yang dikemukakan oleh
Nugroho, bahwa rencana adalah 20% dari keberhasilan, implementasi adalah 60%, dan 20%
sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Dalam rangka mensukseskan
Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran di Kota Tangerang diperlukan
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
3
kerjasama dan partisipasi dari Pemerintah Daerah selaku pembuat kebijakan serta seluruh
masyarakat setempat. Selain itu, tersedianya sumber daya yang mendukung proses
implementasi Perda tersebut baik dalam bentuk materil maupun sumber daya manusia. Untuk
menegakkan perda tersebut, Satpol PP Kota Tangerang telah menjadwalkan kegiatan razia
atau operasi pelarangan pelacuran yang dilakukan sebanyak empat kali dalam sebulan. Razia
terus dilakukan secara rutin, agar Kota Tangerang benar-benar terbebas dari tindakan
prostitusi. Untuk itu, operasi lebih banyak dilakukan di hotel-hotel Kota Tangerang, antara
lain Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek,
Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin
yang berada di wilayah Kota Tangerang.
Operasi ini lebih fokus dilakukan di beberapa hotel sebab pelaku asusila menganggap
bahwa hotel merupakan tempat yang aman untuk melakukan tindakan tersebut. para pengguna
hotel yang tidak memiliki kartu nikah atau identitas yang sama akan dicurigai telah melanggar
Perda Nomor 8 Tahun 2005. Keberadaan Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini masih terus
diterapkan secara ketat sebagai kebijakan yang mendukung program Pemerintah Kota
Tangerang dalam memberantas HIV Aids (www.tangerangkota.go.id, diunduh pada tanggal
22 Oktober 2012).
Dalam pelaksanaan operasi, petugas Satpol PP menjunjung tinggi Standar Operating
Procedure (SOP) yang telah dimiliki dalam hal mekanisme operasi. Hal tersebut bertujuan
untuk meminimalisasi kesalahan yang dilakukan dalam proses operasi serta mekanisme
operasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya SOP yang dijadikan pedoman
dalam pelaksanaan penertiban, seharusnya tidak ada lagi masalah-masalah yang ditakutkan
oleh beberapa masyarakat khususnya kaum wanita dan implementasi Perda Nomor 8 Tahun
2005 dapat berjalan secara efektif. Berikut merupakan data jumlah pelaku prostitusi dari hasil
penertiban yang dilakukan oleh petugas Satpol PP Kota Tangerang dalam rangka penertiban
Perda Nomor 8 Tahun 2005 :
Tabel 1.1 Rekapitulasi Jumlah Wanita Tuna Susila di Kota Tangerang pada Tahun 2005-2012
Tahun Jumlah PSK 2005 445 Orang
2006 269 Orang
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
4
2007 114 Orang
2008 91 Orang
2009 51 Orang
2010 40 Orang
2011 1 Orang
2012 0
Sumber : Sub Dinas Polisi Pamong Praja pada Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang Tahun 2005-2012 (Telah diolah kembali)
Tabel diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 saat pertama kali Perda Nomor 8
Tahun 2005 diterapkan, terdapat cukup banyak Wanita Tuna Susila atau PSK di Kota
Tangerang yang tertangkap dalam operasi penertiban yaitu berjumlah 445 Orang PSK. Jumlah
tersebut mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya yaitu ditemukan sejumlah 269
Orang PSK di tahun 2006, 114 Orang PSK di tahun 2007, 91 Orang PSK di tahun 2008, 51
Orang PSK di tahun 2009, 40 Orang PSK di tahun 2010, 1 Orang PSK di tahun 2011, serta di
tahun 2012 petugas Satpol PP tidak menemukan satu orangpun PSK saat operasi penertiban
dilaksanakan. Penurunan jumlah PSK yang ditemukan tersebut cukup signifikan dan
menunjukkan bahwa keberadaan Perda Nomor 8 Tahun 2005 yang diimplementasikan
melalui operasi penertiban dapat mengurangi jumlah pelaku prostitusi atau PSK di Kota
Tangerang. Namun keberhasilan Perda ini tidak hanya dilihat dari berkurangnya jumlah
pelaku prostitusi yang ditemukan, tetapi juga dilihat bagaimana proses implementasi serta
adanya fenomena lain yang timbul seperti kasus perselingkuhan dan tindakan prostitusi secara
terselubung.
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah pokok yang dipilih adalah
bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang
telah ditetapkan? Untuk itu, berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang
menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan.
Tinjauan Teoritis
Sebelum berbicara mengenai implementasi kebijakan, penulis akan menjelaskan
terlebih dahulu mengenai definisi kebijakan dan kebijakan publik yang menjadi teori dasar
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
5
munculnya teori evaluasi kebijakan. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih
untuk mengarahkan pengambilan keputusan (Suharto, 2005:7). Menurut Shore dan Wright
dalam Marzali, Kebijakan atau policy berkaitan dengan perencanaan, pengambilan dan
perumusan keputusan, pelaksanaan keputusan, dan evaluasi terhadap dampak dari
pelaksanaan keputusan tersebut terhadap orang banyak yang menjadi sasaran kebijakan
(kelompok target). Kebijakan merupakan suatu alat atau instrumen untuk mengatur perubahan
dari atas ke bawah, dengan cara memberi rewards dan sanction dengan cara intrinsik,
kebijakan adalah instrumen teknis dan rasional untuk menyelesaikan masalah (Marzali, 2012:
14).
Analisis kebijakan sangat berperan penting untuk mengetahui efektivitas perumusan
dan pelaksanaan kebijakan, sehingga pada akhirnya dapat dibuat kesimpulan apakah
kebijakan dapat terus berjalan, berjalan disertai dengan perbaikan baik penambahan atau
pengurangan peraturan, ataupun mencabut kebijakan karena sudah tidak relevan dengan
situasi yang ada untuk kemudian menggantinya dengan kebijakan yang lebih relevan dengan
kondisi saat ini. Menurut pendapat Dye dalam Wahab, analisis kebijakan merupakan upaya
mengetahui apa yang dilakukan pemerintah, kenapa mereka melakukan hal itu, dan apa yang
menyebabkan mereka melakukannya berbeda-beda (Wahab, 1990:2). Sementara itu pendapat
Dunn dalam Darwin, analisis kebijakan merupakan proses menghasilkan pengetahuan
mengenai proses kebijakan untuk menyediakan informasi kepada pengambil kebijakan untuk
memikirkan kemungkinan pemecahan masalah kebijakan (Darwin, 1998:35). Sedangkan
dalam bukunya yang lain Dunn mendefinisikan analisis kebijakan sebagai suatu aktivitas
intelektual dan praktis untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan
pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 1999:44). Dari kedua pendapat
Dunn dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan bertujuan untuk memberikan informasi,
kritik, serta rekomendasi kepada para pembuat serta pelaksana kebijakan untuk menjalankan
kebijakan dengan tepat sehingga tujuan utama perumusan kebijakan yakni untuk mengatasi
permasalahan dapat dilaksanakan dengan baik.
Implementasi Kebijakan
Salah satu kajian tentang kebijakan publik terkait dengan implementasi kebijakan
yang mengarah pada proses pelaksanaan kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn dalam
Nawawi, implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau
pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
6
tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Nawawi, 2009:131).).
Dalam premisnya, Jones mengemukakan implementasi kemampuan untuk membentuk
hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan
tindakan dengan tujuan (Jones, 1991:295).
Ada beberapa model yang menggambarkan suatu proses implementasi kebijakan,
antara lain :
1. Model Van Meter dan Van Horn
Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari
kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik.
2. Model Mazmanian dan Sabatier
Model kedua adalah model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A.
Sabatier dalam Nugroho yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Duet Mazmanian Sabatier mengklasifiaksikan proses
implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah
tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis
pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel
intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses impelmentasi
dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan
dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan
pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata,
penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang
dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar
(Nugroho, 2011:630).
3. Model Grindle
Model Merilee S. Grindle dikemukakan oleh Wibawa dalam Nugroho. Model Grindle
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa
setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi
kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut :
1. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Kedudukan pembuat kebijakan
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
7
5. Siapa pelaksana program
Metode Penelitian
Pendekatan penelitan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Denzin dan Lincoln dalam Moleong menyatakan bahwa pendekatan penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah, dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode
yang ada (Moleong, 2007:5).
Dalam Jannah dan Prasetyo, jenis-jenis penelitian diklasifikasikan menjadi empat jenis
berdasarkan manfaat penelitian, tujuan penelitian, dimensi waktu dan klasifikasi berdasar
teknik pengumpulan data. Berdasarkan pada manfaat penelitian, jenis penelitian yang
dilakukan oleh peneliti adalah penelitian murni karena dilakukan dalam kerangka akademis
dan ditujukan bagi pemenuhan keinginan atau kebutuhan peneliti di mana peneliti memiliki
kebebasan untuk menentukan permasalahan yang akan diteliti (Jannah dan Prasetyo, 2005:38-
39). Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Menurut
Jannah dan Prasetyo, penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail
mengenai suatu gejala atau fenomena (Jannah dan Prasetyo, 2005:42).
Dilihat dari dimensi waktu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan
penelitian cross sectional karena penelitian ini hanya dilakukan dalam satu waktu tertentu dan
peneliti tidak akan melakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan.
Jannah dan Prasetyo menjelaskan bahwa pengertian satu waktu tertentu tidak dapat hanya
dibatasi pada hitungan minggu, bulan, atau hitungan tahun saja (Jannah dan Prasetyo,
2005:45). Tidak ada batasan yang baku untuk menunjukkan satu waktu tertentu. Akan tetapi,
yang digunakan adalah bahwa penelitian itu telah selesai. Selain itu, Neuman dalam Kumar
mengatakan bahwa cross-sectional research adalah “any research that examines information
on many cases at one point in time” (Kumar, 1999:36).
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan
metode kualitatif. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam. Wawancara mendalam atau wawancara
tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun secara sistematis dengan lengkap untuk pengumpulan
datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan
yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2007:74). Wawancara dilakukan kepada orang-orang yang
terlibat langsung dengan pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
8
Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang sehingga peneliti dapat memperoleh informasi
secara langsung dari narasumber terkait, seperti:
1. Kepala Sub Bagian Hukum Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang;
2. Staf Bagian Hukum Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang
3. Kepala Seksi Bidang Operasional Satpol PP Kota Tangerang;
4. Kepala Bagian Masalah Sosial, Kementerian Pemberdayagunaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI;
5. Masyarakat Kota Tangerang,
6. Petugas hotel di Wilayah Kota Tangerang;
7. Staf Bagian Penanganan Masalah Dinas Sosial Kota Tangerang
8. Kepala RT 03, Keluran Cikokol, Kecamatan Tangerang.
Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dengan mengumpulkan, membaca,
serta menelaah berbagai literatur atau artikel terkait penelitian baik melalui media massa,
buku, dan internet. Data yang terkait dengan penelitian ini adalah:
1. Produk kebijakan terkait dengan penerapan kebijakan Pelarangan Pelacuran di berbagai
daerah di Indonesia pada umumnya dan di Kota Tangerang pada khususnya, baik dalam
bentuk undang-undang maupun perda;
2. Data dalam bentuk kasus yang terjadi saat implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005;
3. Data lain yang terkait.
Dalam penelitian ini, yang menjadi lokasi penelitian adalah Kota Tangerang. Kota
Tangerang merupakan salah satu kota yang menjunjung tinggi nilai sosial dan keagamaan
sesuai dengan motto yang diterapkan, yaitu Akhlaktul Karimah.
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian, penulis menggambarkan bahwa keseluruhan hasil analisis
menyimpulkan implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 cukup dapat dikatakan berhasil
dengan berkurangnya tindakan prostitusi di Kota Tangerang walaupun tidak dapat dipungkiri
bahwa tindakan ini sangat sulit untuk dapat diberantas secara menyeluruh. Hal ini dilihat dari
adanya beberapa pernyataan dan persepsi berbeda antara Satpol PP selaku implementor utama
dari kebijakan ini. Petugas Satpol PP menyimpulkan bahwa rekapitulasi data hasil penertiban
PSK pada tahun 2012 menunjukkan jumlah kosong yang artinya tidak ditemukan seorangpun
PSK dalam proses razia. Namun dari artikel surat kabar yang penulis dapatkan, terdapat PSK
yang ditemukan saat penertiban walaupun pelaku tersebut merupakan “wajah lama” yang
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
9
tertangkap kembali dan kemudian kembali dibawa ke Panti Rehabilitasi. Untuk itu penulis
merasa bahwa data yang di dapat dari Satpol PP masih diragukan tingkat keakuratannya.
Selain itu, terjadi maraknya kasus perselingkuhan. Hal ini menunjukan bahwa
keberadaan perda tersebut justru tidak membuat pelaku perselingkuhan merasa jera. Dengan
ini dapat disimpulkan bahwa Perda tersebut belum efektif mengurangi jumlah kasus
perselingkuhan yang juga melanggar norma agama dan norma susila. Hal ini disebabkan
karena Perda tersebut tidak mengatur adanya sanksi dari tindakan perselingkuhan.
Jika dirangkum, jumlah PSK dan jumlah pasangan selingkuh di Kota Tangerang sejak
Perda Nomor 8 Tahun 2005 diimplementasikan, yaitu dari tahun 2006 hingga 2012 adalah
sebagai berikut :
Tabel 4.10 Hasil Operasi Penertiban
Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran
Tahun Jumlah PSK Jumlah Pasangan Selingkuh
2006 269 orang 275 orang
2007 114 orang 455 orang
2008 91 orang 312 orang
2009 51 orang 326 orang
2010 40 orang 146 orang
2011 1 orang 250 orang
2012 0 312 orang
Sumber : Sub Dinas Polisi Pamong Praja pada Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang Tahun 2006-2012
Dari data hasil penertiban diatas tentu dapat dibandingkan bahwa jumlah PSK di Kota
Tangerang semakin berkurang setelah diterapkannya Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Pelarangan Pelacuran. Namun demikian, kasus yang muncul mengenai pasangan selingkuh
tetap marak dengan jumlah yang fluktuatif setiap tahunnya.
Pembahasan
Sumber Daya Manusia yang Terlibat dalam Proses Implementasi Perda Nomor 8
Tahun 2005 :
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
10
1. Camat, Lurah, dan RT/RW
Camat, Lurah, dan RT/RW merupakan salah satu aktor pelaksana yang memahami
wilayah mana yang perlu dijadikan target operasi. Oleh karena itu, tugas dari pelaksana
tersebut yakni memberikan informasi mengenai lokasi yang menjadi target operasi serta turut
mendampingi proses pelaksanaan operasi di wilayah mereka.
2. Dinas Sosial
Dinas Sosial berperan dalam menunjang pelaksanaan kebijakan mengenai pengawasan
dan pengendalian kependudukan khususnya dalam bentuk kegiatan pengawasan di lapangan.
Dinas Sosial memiliki tugas dan peran yaitu mengatasi warga PMKS (Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial). Dalam hal implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini, Dinas Sosial
Kota Tangerang memiliki tugas menyalurkan wanita yang sudah terbukti sebagai PSK ke
panti rehabilitasi milik Dinas Sosial DKI Jakarta.
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ini bertugas untuk melakukan proses
penyidikan terhadap masyarakat yang terlibat atau terindikasi melakukan proses prostitusi.
Selain itu, PPNS juga bertugas dalam hal melakukan pemberkasan berita acara pemeriksaan.
4. Satpol PP Kota Tangerang
Sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam proses implementasi Perda ini
adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang. Satpol PP merupakan pihak
penanggungjawab terkait keamanan dan ketertiban pelaksanaan pengawasan di lapangan.
Satpol PP memiliki tugas dan peran dalam mengupayakan keamanan dan ketertiban jalannya
suatu kebijakan. Dalam implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005, Satpol PP berperan
mengamankan jalannya Perda ini melalui proses operasi atau razia di tempat-tempat yang
terindikasi adanya tindakan prostitusi. Satpol PP pada awalnya dibantu oleh petugas Trantib
di tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Petugas Trantib di Kecamatan dan Kelurahan diberi
mandat oleh Camat atau Lurah untuk melakukan operasi di Kecamatan dan Kelurahan sekitar.
Tim operasi pemberantasan tindakan prostitusi oleh petugas Trantib memiliki tugas-tugas,
antara lain :
1. Melaksanakan pendataan tempat-tempat pelacuran di wilayah Kecamatan Tangerang.
2. Mengadakan operasi penertiban pelacuran di wilayah Kecamatan Tangerang.
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
11
3. Menyita dan mengumpulkan barang bukti hasil operasi serta menyerahkan kepada yang
berwajib.
4. Mengevaluasi hasil kegiatan dan melaporkan secara periodik setiap bulan kepada
Walikota Tangerang melalui Camat Tangerang.
Sosialisasi Perda Nomor 8 Tahun 2005
Pada tanggal 9 Desember 2005, Walikota Tangerang mengeluarkan suatu instruksi
yang tertuang dalam Instruksi Walikota Tangerang Nomor 5 Tahun 2005 tentang “Sosialisasi
Perda Nomor 7 Tahuun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman
Beralkohol dan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran”. Instruksi tersebut
ditujukan kepada Camat dan Lurah se-Kota Tangerang, dimana perintahnya adalah :
a) Memberikan penjelasan langsung dan/atau melalui surat edaran kepada pemilik hotel,
restoran, tempat hiburan, panti pijat, toko/warung jamu, RT/RW dan masyarakat serta
para penjual minuman beralkohol lainnya;
b) Memasang spanduk di tempat-tempat yang strategis dengan tema/kalimat yang tercantum
dalam lampiran instruksi ini.
Dalam instruksi ini Walikota Tangerang menugaskan Camat dan Lurah se-Kota Tangerang
untuk melakukan sosialisasi dan memberikan laporan mengenai lokasi/tempat-tempat yang
dijadikan tempat pelacuran/berbuat mesum. Tidak lama surat instruksi tersebut diturunkan,
beberapa Kecamatan dan Kelurahan di Kota Tangerang segera melakukan instruksi tersebut,
antara lain Wilayah Kecamatan Periuk, Wilayah Kecamatan Ciledug, Wilayah Kecamatan
Tangerang Kota.
Melalui instruksi ini Pemerintah Daerah juga menghimbau kepada seluruh kalangan
pengusaha di Kota Tangerang baik kepada perusahaan, pemilik toko, pemilik salon, pemilik
restauran, pemilik hotel maupun pemilik panti pijat untuk melakukan sosialisasi kepada
seluruh karyawan dan stake holder bahwa akan diterapkannya Perda Nomor 8 Tahun 2005
tentang Pelarangan Pelacuran. Untuk itu para pengusaha dihimbau untuk memasang billboard
dan spanduk dalam rangka sosialisasi Perda tersebut kepada masyarakat dan seluruh elemen
terkait. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengirimkan surat perintah
sosialisasi Perda Nomor 8 Tahun 2005, antara lain kepada PT. Citra Sarana Promosindo, PT.
Bardie Puritama, PT. Aneka Karya, PT. Indo Promo, PT. Sinar Kreasi Utama, PT. Citra
Nuansa Media, dan PT. Adipati Kencana.
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
12
Mekanisme Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005
1. Pemilihan dan Penentuan Wilayah Sasaran/Objek Operasi
Penyusunan rencana operasi di lapangan didasari pada pemilihan lokasi yang akan
dioperasi, salah satunya dengan menyusuri hotel-hotel “melati” yang sebelumnya sudah
terbukti adanya indikasi perbuatan pelacuran atau mesum. Selain itu, petugas juga mendapat
laporan dari masyarakat. Untuk itu partisipasi dan kerjasama dari masyarakat dalam hal
memberantas tindakan prostitusi sangat dibutuhkan.
2. Standar Operating Procedure (SOP)
SOP yang dimiliki oleh Satpol PP dalam hal melakukan operasi pelarangan pelacuran
ini sama dengan SOP yang digunakan dalam operasi kebijakan lain di Kota Tangerang. SOP
(Standard Operational Procedure) dalam hal implementasi Peraturan Daerah di Kota
Tangerang terlihat melalui gambar berikut ini :
PROSEDUR PENEGAKAN PERATURAN DAERAH
OPERASIONAL PENEGAKAN PERDA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA TANGERANG
Gambar diatas menunjukkan alur prosedur penegakan semua Peraturan Daerah di
Kota Tangerang oleh Satpol PP termasuk penegakan Perda Nomor 8 Tahun 2005. Pada Tahap
I, kebijakan berupa Perda disosialisasikan dengan membuat surat pemberitahuan dan suarat
edaran kepada masyarakat melalui Camat dan Lurah setempat juga oleh petugas Satpol PP
SATPOL PP KOTA
TANGERANG
Tahap III PENEGAKAN DAN
PENINDAKAN 1. Dalam bentuk fisik Penyetopan Penutupan Pembongkaran Penyitaan Pemusnahan 2. Dalam bentuk
Administrasi Sidang Tipiring Pelimpahan
Pengadilan Keputusan (JPU)
TAHAP I SOSIALISASI :
Surat Pemberitahuan
Edaran
TAHAP II PEMBINAAN:
Peringatan I Peringatan II Peringatan III
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
13
yang langsung mensosialisasikannya kepada masyarakat. Pada Tahap II petugas Satpol PP
melakukan pembinaan dengan memberikan peringatan satu sampai dengan tiga sebelum pada
akhirnya masuk pada tahap Penegakan dan Penindakan di Tahap III baik penindakan dalam
bentuk fisik maupun administrasi.
Pada mulanya rencana operasi diketahui oleh pejabat tingkat Kepala Seksi (Kasi),
Kepala Bidang (Kabid), hingga Sekretaris. Rencana operasi penertiban pelacuran atau PSK
tersebut tertuang dalam Nota Dinas yang dibuat oleh Kepala Bidang Penertiban kepada
Kepala Satpol PP. Dengan persetujuan dari Kepala Satpol PP, maka proses operasi akan dapat
dilaksanakan. Isi dari Nota Dinas tersebut antara lain menggambarkan :
1) Dasar dilakukan penertiban, dalam hal ini Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8
Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran dan berdasarkan hasil pengawasan atau
pemantauan dan Ketertiban Umum dari operasi sebelumnya.
2) Waktu dan Tempat Pelaksanaan Operasi, dalam hal ini yang dipaparkan adalah
waktu, Lokasi, dan sasaran.
Lokasi yang sering dijadikan target operasi antara lain : Taman Kota, Pintu Air Sewan,
Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek,
Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al
Amin yang berada di wilayah Kota Tangerang.
Sasaran : Hotel, Wisma, Kontrakan, dan di pinggir jalan (ruas jalan) di Wilayah Kota
Tangerang.
3.) Pola Operasi, petugas Satpol PP memiliki Pola Operasi yang diturunkan dari SOP
penertiban yang telah ada dalam pelaksanaan operasi atau penertiban. Hal ini dilakukan
agar proses operasi berjalan dengan baik tanpa mengganggu ketentraman masyarakat
juga pihak yang menjadi target operasi. Sebelum melaksanakan pola operasi, petugas
melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mencari tau lokasi dan
sasaran saat dilakukan penertiban nanti. Biasanya yang melakukan penindakan adalah
petugas intel dari Satpol PP. Petugas intel tanpa mengenakan seragam Satpol PP
memasuki tempat sasaran berupa hotel, wisma, kontrakan, dan taman kota untuk
melakukan pendataan kepada oknum yang terindikasi melakukan pelanggaran Perda
Nomor 8 Tahun 2005. Pola Operasi yang ditetapkan secara tertulis oleh Satpol PP Kota
Tangerang menjadi pedoman dalam mengimplementasikan Perda Nomor 8 Tahun 2005.
Hal tersebut berisi :
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
14
Melakukan Apel dan Persiapan Operasi
Apel dilakukan untuk mempersiapkan para petugas sebelum melakukan
operasi dengan diberi pengarahan agar para petugas bertindak dengan penuh tanggung
jawab dan menjunjung tinggi etika. Apel ini dipimpin secara bergantian oleh Kepala
Bidang Penertiban maupun Kepala Seksi Operasi. Struktur kegiatan yang dilaksanakan
saat Apel sebelum pelaksanaan operasi adalah dengan pembacaan doa dan pengarahan
bahwa petugas dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap target
operasi. Selain itu para petugas diingatkan untuk menjunjung tinggi SOP yang telah
disepakati
Proses Apel dan Persiapan Sebelum Operasi Sumber : Dokumentasi Satpol PP
Melaksanakan Penindakan
Penindakan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Satpol PP berupa
Pendataan terhadap pasangan selingkuh, pelacuran dan waria. Penindakan berupa
operasi ini dilakukan pada hotel-hotel dan ruas jalan yang sering terindikasi sebagai
tempat prostitusi, seperti Taman Kota, Pintu Air Sewan, Hotel Merdeka I, Hotel
Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek, Wisma PKPN, Hotel
Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin yang berada di
wilayah Kota Tangerang.
Petugas Satpol PP mendatangi tempat sasaran berupa hotel dengan membawa
Surat Tugas atau Surat Perintah Melakukan Operasi yang ditunjukkan kepada petugas
hotel atau resepsionis. Petugas satpol PP dengan didampingi petugas hotel lalu
menyusuri kamar-kamar yang berisi tamu hotel. Operasi atau razia dilakukan secara
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
15
sopan sebab petugas Satpol PP sebelumnya telah diberi pengarahan untuk
mengedepankan etika dalam melakukan operasi. Hal tersebut ditunjukan bahwa
petugas selalu mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk kamar hotel agar target
operasi dapat diajak bekerjasama dengan baik.
Proses Operasi/Razia di Hotel Flamboyan
Sumber : Dokumentasi Satpol PP
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa petugas Satpol PP yang
melakukan razia sudah cukup mengikuti arahan dan SOP yang ditentukan. Target yang
terindikasi PSK ataupun pasangan selingkuh segera diminta menunjukkan kartu
identitas dan kemudian dibawa ke Kantor Satpol PP untuk dimintai keterangan lebih
lanjut dengan menggunakan mobil operasi Satpol PP. Dalam sekali razia, jumlah
personil yang digerakan kurang lebih 20 orang.
Dalam kegiatan operasi, masing-masing unit melakukan tugas pokok dan
fungsinya. Para target yang terindikasi sebagai PSK ataupun pasangan selingkuh yang
telah dibawa ke Kantor Satpol PP segera ditempatkan dalam suatu ruangan untuk
dimintai keterangannya satu persatu disamping diberikan penjelasan dan penyuluhan
tentang Perda Nomor 8 Tahun 2005 oleh petugas Satpol PP. Setelah diberikan
pengarahan, tersangka yang terkena kasus perselingkuhan serta PSK diminta untuk
mengisi Surat Keterangan yang berisi identitas lengkap serta pernyataan bahwa
bersedia untuk di proses menurut Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Pelarangan Pelacuran atau sesuai dengan hukum yang berlaku.
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
16
Tersangka diberi Pengarahan oleh Kabid Pembinaan dan Penyuluhan
Sumber : Dokumentasi Satpol PP
Jika tersangka terbukti telah melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2005, yang
dalam hal ini adalah pelaku PSK, maka Satpol PP dan pihak kepolisian bekerja sama
dengan Dinas Sosial di DKI Jakarta melakukan rehabilitasi terhadap pelaku prostitusi
tersebut. Kota Tangerang tidak memiliki Panti Rehabilitasi yang diperuntukan bagi
para PSK yang hendak dibina, untuk itu Pemerintah Kota bekerjasama dengan dinas
sosial di DKI Jakarta untuk menempatkan para PSK asal Kota Tangerang pada Panti
Rehabilitasi yang terletak di Kelurahan Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Melakukan Apel dan Evaluasi Pasca Operasi Penertiban.
Para petugas yang telah selesai menjalankan tugas operasi kembali melakukan
apel sebagai laporan bahwa kegiatan operasi telah terlaksana. Setelah itu, diadakan
evaluasi mengenai proses dan hasil dari operasi yang telah dilaksanakan. Evaluasi
dilakukan oleh seluruh tim yang bertugas dalam operasi tersebut di hadapan Kepala
Seksi Operasional dan Kepala Bidang Ketertiban untuk di dokumentasikan dan
sebagai pembelajaran dalam kegiatan operasi selanjutnya.
Hambatan dalam Implementasi Kebijakan Perda Nomor 8 Tahun 2005.
Secara keseluruhan, pelaksanaan sebuah kebijakan tidak selalu berjalan dengan lancar
dan selalu sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang akan dicapai. Secara garis besar
implementasi Perda ini memang mampu mengurangi adanya tindakan prostitusi di Kota
Tangerang. Namun dalam proses implementasinya tidak terlepas dari beberapa hal yang
menjadi hambatan dan kendala dalam proses implementasi, antara lain :
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
17
1. Adanya Sikap Kontra dari Masyarakat saat Awal Implementasi Perda Nomor 8
Tahun 2005.
Dalam pembentukan suatu kebijakan publik, tentu ada pihak yang memberikan
dukungan juga sanggahan atas implementasi Perda tersebut. Walaupun tujuan awalnya
sangat mulia, tetapi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda dari masyarakat ketika ada
ketidaksesuaian dalam substansi kebijakan dengan proses implementasi. Tidak terkecuali
pada kebijakan Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini. Sikap kontra dari masyarakat muncul
dikarenakan adanya beberapa kaum wanita yang takut untuk keluar di malam hari. Pada
Pasal 4 ayat 1 yang bertuliskan : “Setiap orang yang sikap atau perilakunya
mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang
berada di jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, dirumah penginapan, losmen, hotel,
asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat
tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah”.
Isi dari Perda tersebut sempat dianggap multitafsir karena petugas lalu dapat mencurigai
setiap wanita yang memenuhi kriteria diatas meskipun wanita tersebut bukanlah pelacur
atau pelaku tindakan prostitusi.
Berita yang dikutip dari surat kabar Suara Pembaruan, pada hari Kamis, 10 Maret
2006 menjelaskan bahwa seorang karyawati Hotel Ibis Tamarin sempat mengusahakan
meminta surat keterangan dari perusahaan tempatnya bekerja yang menyebutkan bahwa ia
memang pekerja hotel yang harus pulang malam. Hal lain juga dijelaskan oleh Siti
Istikharoh, aktivis pada Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang menjelaskan bahwa
kebijakan ini juga dianggap akan membawa dampak buruk bagi investasi karena makin
tingginya tuntutan buruh yang menyulitkan perusahaan seperti tuntutan untuk
menyediakan bus bagi karyawan yang pulang di malam hari.
Sikap kontra tersebut tentunya menjadi perhatian Pemerintah Daerah Kota Tangerang
selaku perumus Perda tersebut. Namun demikian hal tersebut tidak menyurutkan langkah
Pemerintah Daerah untuk terus melanjutkan kebijakan ini. Untuk itu, Pemerintah
mengambil langkah dengan cara melakukan sosialisasi atas implementasi Perda ini hingga
akhirnya terbentuk himpunan pro dari masyarakat yang sepakat bahwa Perda ini terus
dijalankan.
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
18
2. Tidak Tersedianya Sarana Panti Rehabilitasi di Kota Tangerang
Selama ini Dinas Sosial Kota Tangerang bekerjasama dengan Dinas Sosial DKI
Jakarta dalam rangka menempatkan pelaku yang telah terbukti sebagai seorang PSK. Dinas
Sosial Kota Tangerang mengantarkan pelaku tersebut ke Panti Rehabilitasi Sosial Karya
Wanita Mulya di Wilayah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tidak tersedianya sarana Panti
Rehabilitasi ini membuat Dinas Sosial Kota Tangerang harus melakukan koordinasi
terlebih dahulu dengan Dinas Sosial DKI Jakarta mengenai penempatan PSK yang akan
dikirim ke Panti Rehabilitasi tersebut. Walaupun demikian, Dinas Sosial Kota Tangerang
tetap melakukan pengawasan terkait PSK asal dari Kota Tangerang yang sedang menjalani
rehabilitasi.
3. Adanya Perlawanan dari Tersangka
Tidak jarang petugas Satpol PP merasa kesulitan dalam operasi penertiban PSK ini.
Target operasi seringkali menolak untuk dimintai keterangan mengenai identitas dan
menolak untuk dilakukan pendataan. Sebagian besar dari mereka yang melakukan
perlawanan pada umumnya pelaku tindakan perselingkuhan. Karena merasa malu maka
mereka menolak untuk dimintai keterangan dan dibawa ke kantor Satpol PP.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun
2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, dapat disimpulkan bahwa penertiban
yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah mengikuti SOP (Standard Operational
Procedur) yang ditentukan, oleh sebab itu kegiatan operasi atau razia yang dilakukan selama
empat kali dalam sebulan di hotel-hotel serta ruas jalan telah dapat mengurangi jumlah
pelacur atau PSK di Kota Tangerang sejak tahun 2006 hingga tahun 2012. Hasil penertiban
Perda Nomor 8 Tahun 2005 menunjukkan tingkat pelacuran atau prostitusi berkurang sejak
tahun 2006 hingga 2012 meskipun terjadi perbedaan persepsi antara data tersebut dengan
hasil penelitian penulis di lapangan pada narasumber berbeda yang menunjukkan bahwa
tahun 2012 terjadi operasi penertiban yang menghasilkan beberapa PSK “wajah lama”
diciduk kembali. Selain itu, hasil penertiban yang dilakukan oleh petugas satpol PP
menunjukan fenomena maraknya kasus perselingkuhan. Hal ini menunjukan bahwa
keberadaan perda tersebut justru tidak membuat pelaku perselingkuhan merasa jera. Dengan
ini dapat disimpulkan bahwa Perda tersebut belum efektif mengurangi jumlah kasus
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013
19
perselingkuhan yang juga melanggar norma agama dan norma susila. Hal ini disebabkan
karena Perda tersebut tidak mengatur adanya sanksi dari tindakan perselingkuhan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, penulis memberikan saran sebagai
berikut :
1. Untuk lebih mengoptimalisasi efektivitas dari Perda ini, sebaiknya Kota Tangerang
memiliki pusat rehabilitasi bagi pelaku prostitusi sehingga tersangka yang positif sebagai
seorang PSK dapat selalu diawasi perkembangannya sehingga tidak mengulangi
perbuatannya kembali.
2. Perlu adanya substansi dalam Perda yang mengatur kasus perselingkuhan karena hal
tersebut sangat banyak ditemui dalam operasi. Selain itu tindakan perselingkuhan
merupakan suatu penyakit masyarakat yang harus diberantas, oleh karena itu pelakunya
juga perlu untuk diberi sanksi agar merasa jera.
Kepustakaan
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Samodra Wibawa, dkk, Penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Marzali, Amri. 2006. Antropologi&Kebijakan publik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung: Rosdakarya.
Jones, Charles, O. 1991, Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: Rajawali Press. Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo.
Prasetyo, Bambang & Jannah, Lina Miftahul. 2005. Metode Penulisan Kuantitatif, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta. Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik (Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial). Bandung: CV Alfabeta.
Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013