IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

19
1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DI KOTA TANGERANG Penulis : Marcelina Resti Permata Pembimbing : Sri Susilih Program Studi : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik ABSTRAK Penyimpangan sosial yang banyak terdapat pada hampir seluruh negara adalah prostitusi atau tindakan pelacuran. Tindakan prostitusi merupakan cerminan negatif dari masyarakat, sebab hal tersebut merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sulit diberantas secara menyeluruh. Dalam rangka mencegah dan memberantas pelanggaran terhadap praktek- praktek prostitusi di Kota Tangerang, maka Pemerintah Daerah Kota Tangerang menetapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Hal ini juga tercermin dari motto Kota Tangerang yaitu “Akhlakul Karimah”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan studi pustaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Hasil dari penelitian ini bahwa implementasi dari Perda ini telah berhasil memberantas tindakan prostitusi di Kota Tangerang. Namun demikian, masih banyak ditemukan indikasi dari perbuatan yang melanggar Perda tersebut yaitu dalam bentuk kasus perselingkuhan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sanksi yang mengatur tentang perbuatan perselingkuhan. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah mengikuti SOP (Standard Operational Procedur) yang ditentukan, meskipun terdapat fenomena baru yaitu maraknya kasus perselingkuhan yang terjadi di Kota Tangerang. Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis memberikan saran sebaiknya Kota Tangerang memiliki pusat rehabilitasi bagi pelaku prostitusi sehingga tersangka yang terbukti sebagai seorang PSK dapat selalu diawasi perkembangannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Selain itu, Perlu adanya substansi dalam Perda yang mengatur kasus perselingkuhan karena hal tersebut sangat banyak ditemui dalam operasi. Kata Kunci : Implementasi Kebijakan; Pelarangan Pelacuran; Peraturan Daerah. ABSTRACT There are many features of social deviance in almost all countries is prostitution or acts of prostitution. Prostitution has always existed in society since thousands of years ago. The act of prostitution is a negative reflection of the society, because it is one of social disease that is difficult to eradicate completely. In order to prevent infraction of the practice of prostitution in Tangerang, thus Tangerang Government then assign a policy contained in the Regional Regulation No. 8 of 2005 about the Prohibition of Prostitution. This is also reflected byTangerang motto is "akhlakul Karimah". This research used a qualitative approach with in-depth interviews and literature. Results from this research that the implementation of this regulation has been successfully eradicate prostitution in Tangerang. However, there are Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Transcript of IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

Page 1: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

1

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DI KOTA

TANGERANG

Penulis : Marcelina Resti Permata

Pembimbing : Sri Susilih

Program Studi : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik

ABSTRAK Penyimpangan sosial yang banyak terdapat pada hampir seluruh negara adalah prostitusi atau tindakan pelacuran. Tindakan prostitusi merupakan cerminan negatif dari masyarakat, sebab hal tersebut merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sulit diberantas secara menyeluruh. Dalam rangka mencegah dan memberantas pelanggaran terhadap praktek-praktek prostitusi di Kota Tangerang, maka Pemerintah Daerah Kota Tangerang menetapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Hal ini juga tercermin dari motto Kota Tangerang yaitu “Akhlakul Karimah”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan studi pustaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Hasil dari penelitian ini bahwa implementasi dari Perda ini telah berhasil memberantas tindakan prostitusi di Kota Tangerang. Namun demikian, masih banyak ditemukan indikasi dari perbuatan yang melanggar Perda tersebut yaitu dalam bentuk kasus perselingkuhan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sanksi yang mengatur tentang perbuatan perselingkuhan. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah mengikuti SOP (Standard Operational Procedur) yang ditentukan, meskipun terdapat fenomena baru yaitu maraknya kasus perselingkuhan yang terjadi di Kota Tangerang. Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis memberikan saran sebaiknya Kota Tangerang memiliki pusat rehabilitasi bagi pelaku prostitusi sehingga tersangka yang terbukti sebagai seorang PSK dapat selalu diawasi perkembangannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Selain itu, Perlu adanya substansi dalam Perda yang mengatur kasus perselingkuhan karena hal tersebut sangat banyak ditemui dalam operasi. Kata Kunci : Implementasi Kebijakan; Pelarangan Pelacuran; Peraturan Daerah. ABSTRACT There are many features of social deviance in almost all countries is prostitution or acts of prostitution. Prostitution has always existed in society since thousands of years ago. The act of prostitution is a negative reflection of the society, because it is one of social disease that is difficult to eradicate completely. In order to prevent infraction of the practice of prostitution in Tangerang, thus Tangerang Government then assign a policy contained in the Regional Regulation No. 8 of 2005 about the Prohibition of Prostitution. This is also reflected byTangerang motto is "akhlakul Karimah". This research used a qualitative approach with in-depth interviews and literature. Results from this research that the implementation of this regulation has been successfully eradicate prostitution in Tangerang. However, there are

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 2: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

2

many indications of an act that violates the law is in the form of affair cases. This is due to the absence of sanctions governing act of affair cases. Keywords: Local Regulation; Policy Implementation; Prohibition of Prostitution. Pendahuluan

Latar Belakang Masalah

Di antara penyimpangan sosial yang banyak terdapat pada hampir seluruh negara

adalah prostitusi atau tindakan pelacuran. Prostitusi sudah ada dalam kehidupan masyarakat

sejak ribuan tahun yang lalu. Tindakan prostitusi merupakan cerminan negatif dari

masyarakat, sebab hal tersebut merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sulit

diberantas secara menyeluruh. Fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah prostitusi

selalu identik dengan wanita, dikarenakan wanita sebagai simbol keindahan, maka setiap

yang indah biasanya menjadi target pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu

menghasilkan uang. Untuk memerangi perdagangan perempuan dan prostitusi di Indonesia,

beberapa daerah di Indonesia menerapkan Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan

perlindungan terhadap masyarakat khususnya para wanita. Salah satu kota yang telah lama

gencar menerapkan suatu kebijakan dalam rangka menekan dan membasmi angka pelacuran

atau pelaku prostitusi adalah kota Tangerang.

Pada dasarnya Peraturan Daerah (Perda) menghasilkan suatu kebijakan yang

diperlukan oleh suatu daerah tertentu untuk mengatur daerahnya sendiri. Tentunya Perda yang

dibuat harus mewakili kepentingan masyarakat. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005

tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kota

Tangerang dengan tujuan melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan

dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek-praktek prostitusi di

Kota Tangerang. Kota Tangerang memiliki motto “Akhlakul Karimah”, yang berasal dari kata

akhlak dan memiliki arti seperti budi pekerti atau kelakuan yang baik. Motto tersebut menjadi

pedoman bahwa akhlak yang baik harus selalu dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.

Apabila disesuaikan dengan motto Kota Tangerang, maka keberadaan Perda Nomor 8

tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran sudah sejalan. Namun hal terpenting dalam

kesuksesan suatu kebijakan adalah pada tahap implementasi. Seperti yang dikemukakan oleh

Nugroho, bahwa rencana adalah 20% dari keberhasilan, implementasi adalah 60%, dan 20%

sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Dalam rangka mensukseskan

Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran di Kota Tangerang diperlukan

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 3: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

3

kerjasama dan partisipasi dari Pemerintah Daerah selaku pembuat kebijakan serta seluruh

masyarakat setempat. Selain itu, tersedianya sumber daya yang mendukung proses

implementasi Perda tersebut baik dalam bentuk materil maupun sumber daya manusia. Untuk

menegakkan perda tersebut, Satpol PP Kota Tangerang telah menjadwalkan kegiatan razia

atau operasi pelarangan pelacuran yang dilakukan sebanyak empat kali dalam sebulan. Razia

terus dilakukan secara rutin, agar Kota Tangerang benar-benar terbebas dari tindakan

prostitusi. Untuk itu, operasi lebih banyak dilakukan di hotel-hotel Kota Tangerang, antara

lain Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek,

Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin

yang berada di wilayah Kota Tangerang.

Operasi ini lebih fokus dilakukan di beberapa hotel sebab pelaku asusila menganggap

bahwa hotel merupakan tempat yang aman untuk melakukan tindakan tersebut. para pengguna

hotel yang tidak memiliki kartu nikah atau identitas yang sama akan dicurigai telah melanggar

Perda Nomor 8 Tahun 2005. Keberadaan Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini masih terus

diterapkan secara ketat sebagai kebijakan yang mendukung program Pemerintah Kota

Tangerang dalam memberantas HIV Aids (www.tangerangkota.go.id, diunduh pada tanggal

22 Oktober 2012).

Dalam pelaksanaan operasi, petugas Satpol PP menjunjung tinggi Standar Operating

Procedure (SOP) yang telah dimiliki dalam hal mekanisme operasi. Hal tersebut bertujuan

untuk meminimalisasi kesalahan yang dilakukan dalam proses operasi serta mekanisme

operasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya SOP yang dijadikan pedoman

dalam pelaksanaan penertiban, seharusnya tidak ada lagi masalah-masalah yang ditakutkan

oleh beberapa masyarakat khususnya kaum wanita dan implementasi Perda Nomor 8 Tahun

2005 dapat berjalan secara efektif. Berikut merupakan data jumlah pelaku prostitusi dari hasil

penertiban yang dilakukan oleh petugas Satpol PP Kota Tangerang dalam rangka penertiban

Perda Nomor 8 Tahun 2005 :

Tabel 1.1 Rekapitulasi Jumlah Wanita Tuna Susila di Kota Tangerang pada Tahun 2005-2012

Tahun Jumlah PSK 2005 445 Orang

2006 269 Orang

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 4: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

4

2007 114 Orang

2008 91 Orang

2009 51 Orang

2010 40 Orang

2011 1 Orang

2012 0

Sumber : Sub Dinas Polisi Pamong Praja pada Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang Tahun 2005-2012 (Telah diolah kembali)

Tabel diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 saat pertama kali Perda Nomor 8

Tahun 2005 diterapkan, terdapat cukup banyak Wanita Tuna Susila atau PSK di Kota

Tangerang yang tertangkap dalam operasi penertiban yaitu berjumlah 445 Orang PSK. Jumlah

tersebut mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya yaitu ditemukan sejumlah 269

Orang PSK di tahun 2006, 114 Orang PSK di tahun 2007, 91 Orang PSK di tahun 2008, 51

Orang PSK di tahun 2009, 40 Orang PSK di tahun 2010, 1 Orang PSK di tahun 2011, serta di

tahun 2012 petugas Satpol PP tidak menemukan satu orangpun PSK saat operasi penertiban

dilaksanakan. Penurunan jumlah PSK yang ditemukan tersebut cukup signifikan dan

menunjukkan bahwa keberadaan Perda Nomor 8 Tahun 2005 yang diimplementasikan

melalui operasi penertiban dapat mengurangi jumlah pelaku prostitusi atau PSK di Kota

Tangerang. Namun keberhasilan Perda ini tidak hanya dilihat dari berkurangnya jumlah

pelaku prostitusi yang ditemukan, tetapi juga dilihat bagaimana proses implementasi serta

adanya fenomena lain yang timbul seperti kasus perselingkuhan dan tindakan prostitusi secara

terselubung.

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah pokok yang dipilih adalah

bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang

Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang

telah ditetapkan? Untuk itu, berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan

Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang

menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan.

Tinjauan Teoritis

Sebelum berbicara mengenai implementasi kebijakan, penulis akan menjelaskan

terlebih dahulu mengenai definisi kebijakan dan kebijakan publik yang menjadi teori dasar

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 5: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

5

munculnya teori evaluasi kebijakan. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih

untuk mengarahkan pengambilan keputusan (Suharto, 2005:7). Menurut Shore dan Wright

dalam Marzali, Kebijakan atau policy berkaitan dengan perencanaan, pengambilan dan

perumusan keputusan, pelaksanaan keputusan, dan evaluasi terhadap dampak dari

pelaksanaan keputusan tersebut terhadap orang banyak yang menjadi sasaran kebijakan

(kelompok target). Kebijakan merupakan suatu alat atau instrumen untuk mengatur perubahan

dari atas ke bawah, dengan cara memberi rewards dan sanction dengan cara intrinsik,

kebijakan adalah instrumen teknis dan rasional untuk menyelesaikan masalah (Marzali, 2012:

14).

Analisis kebijakan sangat berperan penting untuk mengetahui efektivitas perumusan

dan pelaksanaan kebijakan, sehingga pada akhirnya dapat dibuat kesimpulan apakah

kebijakan dapat terus berjalan, berjalan disertai dengan perbaikan baik penambahan atau

pengurangan peraturan, ataupun mencabut kebijakan karena sudah tidak relevan dengan

situasi yang ada untuk kemudian menggantinya dengan kebijakan yang lebih relevan dengan

kondisi saat ini. Menurut pendapat Dye dalam Wahab, analisis kebijakan merupakan upaya

mengetahui apa yang dilakukan pemerintah, kenapa mereka melakukan hal itu, dan apa yang

menyebabkan mereka melakukannya berbeda-beda (Wahab, 1990:2). Sementara itu pendapat

Dunn dalam Darwin, analisis kebijakan merupakan proses menghasilkan pengetahuan

mengenai proses kebijakan untuk menyediakan informasi kepada pengambil kebijakan untuk

memikirkan kemungkinan pemecahan masalah kebijakan (Darwin, 1998:35). Sedangkan

dalam bukunya yang lain Dunn mendefinisikan analisis kebijakan sebagai suatu aktivitas

intelektual dan praktis untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan

pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 1999:44). Dari kedua pendapat

Dunn dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan bertujuan untuk memberikan informasi,

kritik, serta rekomendasi kepada para pembuat serta pelaksana kebijakan untuk menjalankan

kebijakan dengan tepat sehingga tujuan utama perumusan kebijakan yakni untuk mengatasi

permasalahan dapat dilaksanakan dengan baik.

Implementasi Kebijakan

Salah satu kajian tentang kebijakan publik terkait dengan implementasi kebijakan

yang mengarah pada proses pelaksanaan kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn dalam

Nawawi, implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau

pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 6: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

6

tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Nawawi, 2009:131).).

Dalam premisnya, Jones mengemukakan implementasi kemampuan untuk membentuk

hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan

tindakan dengan tujuan (Jones, 1991:295).

Ada beberapa model yang menggambarkan suatu proses implementasi kebijakan,

antara lain :

1. Model Van Meter dan Van Horn

Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari

kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik.

2. Model Mazmanian dan Sabatier

Model kedua adalah model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A.

Sabatier dalam Nugroho yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya

melaksanakan keputusan kebijakan. Duet Mazmanian Sabatier mengklasifiaksikan proses

implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah

tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis

pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel

intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses impelmentasi

dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan

dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan

pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata,

penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang

dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar

(Nugroho, 2011:630).

3. Model Grindle

Model Merilee S. Grindle dikemukakan oleh Wibawa dalam Nugroho. Model Grindle

ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa

setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.

Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi

kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut :

1. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

3. Derajat perubahan yang diinginkan

4. Kedudukan pembuat kebijakan

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 7: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

7

5. Siapa pelaksana program

Metode Penelitian

Pendekatan penelitan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Denzin dan Lincoln dalam Moleong menyatakan bahwa pendekatan penelitian

kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah, dengan maksud

menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode

yang ada (Moleong, 2007:5).

Dalam Jannah dan Prasetyo, jenis-jenis penelitian diklasifikasikan menjadi empat jenis

berdasarkan manfaat penelitian, tujuan penelitian, dimensi waktu dan klasifikasi berdasar

teknik pengumpulan data. Berdasarkan pada manfaat penelitian, jenis penelitian yang

dilakukan oleh peneliti adalah penelitian murni karena dilakukan dalam kerangka akademis

dan ditujukan bagi pemenuhan keinginan atau kebutuhan peneliti di mana peneliti memiliki

kebebasan untuk menentukan permasalahan yang akan diteliti (Jannah dan Prasetyo, 2005:38-

39). Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Menurut

Jannah dan Prasetyo, penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail

mengenai suatu gejala atau fenomena (Jannah dan Prasetyo, 2005:42).

Dilihat dari dimensi waktu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan

penelitian cross sectional karena penelitian ini hanya dilakukan dalam satu waktu tertentu dan

peneliti tidak akan melakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan.

Jannah dan Prasetyo menjelaskan bahwa pengertian satu waktu tertentu tidak dapat hanya

dibatasi pada hitungan minggu, bulan, atau hitungan tahun saja (Jannah dan Prasetyo,

2005:45). Tidak ada batasan yang baku untuk menunjukkan satu waktu tertentu. Akan tetapi,

yang digunakan adalah bahwa penelitian itu telah selesai. Selain itu, Neuman dalam Kumar

mengatakan bahwa cross-sectional research adalah “any research that examines information

on many cases at one point in time” (Kumar, 1999:36).

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan

metode kualitatif. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data

primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam. Wawancara mendalam atau wawancara

tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman

wawancara yang telah tersusun secara sistematis dengan lengkap untuk pengumpulan

datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan

yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2007:74). Wawancara dilakukan kepada orang-orang yang

terlibat langsung dengan pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 8: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

8

Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang sehingga peneliti dapat memperoleh informasi

secara langsung dari narasumber terkait, seperti:

1. Kepala Sub Bagian Hukum Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang;

2. Staf Bagian Hukum Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang

3. Kepala Seksi Bidang Operasional Satpol PP Kota Tangerang;

4. Kepala Bagian Masalah Sosial, Kementerian Pemberdayagunaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI;

5. Masyarakat Kota Tangerang,

6. Petugas hotel di Wilayah Kota Tangerang;

7. Staf Bagian Penanganan Masalah Dinas Sosial Kota Tangerang

8. Kepala RT 03, Keluran Cikokol, Kecamatan Tangerang.

Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dengan mengumpulkan, membaca,

serta menelaah berbagai literatur atau artikel terkait penelitian baik melalui media massa,

buku, dan internet. Data yang terkait dengan penelitian ini adalah:

1. Produk kebijakan terkait dengan penerapan kebijakan Pelarangan Pelacuran di berbagai

daerah di Indonesia pada umumnya dan di Kota Tangerang pada khususnya, baik dalam

bentuk undang-undang maupun perda;

2. Data dalam bentuk kasus yang terjadi saat implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005;

3. Data lain yang terkait.

Dalam penelitian ini, yang menjadi lokasi penelitian adalah Kota Tangerang. Kota

Tangerang merupakan salah satu kota yang menjunjung tinggi nilai sosial dan keagamaan

sesuai dengan motto yang diterapkan, yaitu Akhlaktul Karimah.

Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian, penulis menggambarkan bahwa keseluruhan hasil analisis

menyimpulkan implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 cukup dapat dikatakan berhasil

dengan berkurangnya tindakan prostitusi di Kota Tangerang walaupun tidak dapat dipungkiri

bahwa tindakan ini sangat sulit untuk dapat diberantas secara menyeluruh. Hal ini dilihat dari

adanya beberapa pernyataan dan persepsi berbeda antara Satpol PP selaku implementor utama

dari kebijakan ini. Petugas Satpol PP menyimpulkan bahwa rekapitulasi data hasil penertiban

PSK pada tahun 2012 menunjukkan jumlah kosong yang artinya tidak ditemukan seorangpun

PSK dalam proses razia. Namun dari artikel surat kabar yang penulis dapatkan, terdapat PSK

yang ditemukan saat penertiban walaupun pelaku tersebut merupakan “wajah lama” yang

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 9: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

9

tertangkap kembali dan kemudian kembali dibawa ke Panti Rehabilitasi. Untuk itu penulis

merasa bahwa data yang di dapat dari Satpol PP masih diragukan tingkat keakuratannya.

Selain itu, terjadi maraknya kasus perselingkuhan. Hal ini menunjukan bahwa

keberadaan perda tersebut justru tidak membuat pelaku perselingkuhan merasa jera. Dengan

ini dapat disimpulkan bahwa Perda tersebut belum efektif mengurangi jumlah kasus

perselingkuhan yang juga melanggar norma agama dan norma susila. Hal ini disebabkan

karena Perda tersebut tidak mengatur adanya sanksi dari tindakan perselingkuhan.

Jika dirangkum, jumlah PSK dan jumlah pasangan selingkuh di Kota Tangerang sejak

Perda Nomor 8 Tahun 2005 diimplementasikan, yaitu dari tahun 2006 hingga 2012 adalah

sebagai berikut :

Tabel 4.10 Hasil Operasi Penertiban

Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

Tahun Jumlah PSK Jumlah Pasangan Selingkuh

2006 269 orang 275 orang

2007 114 orang 455 orang

2008 91 orang 312 orang

2009 51 orang 326 orang

2010 40 orang 146 orang

2011 1 orang 250 orang

2012 0 312 orang

Sumber : Sub Dinas Polisi Pamong Praja pada Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang Tahun 2006-2012

Dari data hasil penertiban diatas tentu dapat dibandingkan bahwa jumlah PSK di Kota

Tangerang semakin berkurang setelah diterapkannya Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang

Pelarangan Pelacuran. Namun demikian, kasus yang muncul mengenai pasangan selingkuh

tetap marak dengan jumlah yang fluktuatif setiap tahunnya.

Pembahasan

Sumber Daya Manusia yang Terlibat dalam Proses Implementasi Perda Nomor 8

Tahun 2005 :

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 10: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

10

1. Camat, Lurah, dan RT/RW

Camat, Lurah, dan RT/RW merupakan salah satu aktor pelaksana yang memahami

wilayah mana yang perlu dijadikan target operasi. Oleh karena itu, tugas dari pelaksana

tersebut yakni memberikan informasi mengenai lokasi yang menjadi target operasi serta turut

mendampingi proses pelaksanaan operasi di wilayah mereka.

2. Dinas Sosial

Dinas Sosial berperan dalam menunjang pelaksanaan kebijakan mengenai pengawasan

dan pengendalian kependudukan khususnya dalam bentuk kegiatan pengawasan di lapangan.

Dinas Sosial memiliki tugas dan peran yaitu mengatasi warga PMKS (Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial). Dalam hal implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini, Dinas Sosial

Kota Tangerang memiliki tugas menyalurkan wanita yang sudah terbukti sebagai PSK ke

panti rehabilitasi milik Dinas Sosial DKI Jakarta.

3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ini bertugas untuk melakukan proses

penyidikan terhadap masyarakat yang terlibat atau terindikasi melakukan proses prostitusi.

Selain itu, PPNS juga bertugas dalam hal melakukan pemberkasan berita acara pemeriksaan.

4. Satpol PP Kota Tangerang

Sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam proses implementasi Perda ini

adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang. Satpol PP merupakan pihak

penanggungjawab terkait keamanan dan ketertiban pelaksanaan pengawasan di lapangan.

Satpol PP memiliki tugas dan peran dalam mengupayakan keamanan dan ketertiban jalannya

suatu kebijakan. Dalam implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005, Satpol PP berperan

mengamankan jalannya Perda ini melalui proses operasi atau razia di tempat-tempat yang

terindikasi adanya tindakan prostitusi. Satpol PP pada awalnya dibantu oleh petugas Trantib

di tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Petugas Trantib di Kecamatan dan Kelurahan diberi

mandat oleh Camat atau Lurah untuk melakukan operasi di Kecamatan dan Kelurahan sekitar.

Tim operasi pemberantasan tindakan prostitusi oleh petugas Trantib memiliki tugas-tugas,

antara lain :

1. Melaksanakan pendataan tempat-tempat pelacuran di wilayah Kecamatan Tangerang.

2. Mengadakan operasi penertiban pelacuran di wilayah Kecamatan Tangerang.

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 11: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

11

3. Menyita dan mengumpulkan barang bukti hasil operasi serta menyerahkan kepada yang

berwajib.

4. Mengevaluasi hasil kegiatan dan melaporkan secara periodik setiap bulan kepada

Walikota Tangerang melalui Camat Tangerang.

Sosialisasi Perda Nomor 8 Tahun 2005

Pada tanggal 9 Desember 2005, Walikota Tangerang mengeluarkan suatu instruksi

yang tertuang dalam Instruksi Walikota Tangerang Nomor 5 Tahun 2005 tentang “Sosialisasi

Perda Nomor 7 Tahuun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman

Beralkohol dan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran”. Instruksi tersebut

ditujukan kepada Camat dan Lurah se-Kota Tangerang, dimana perintahnya adalah :

a) Memberikan penjelasan langsung dan/atau melalui surat edaran kepada pemilik hotel,

restoran, tempat hiburan, panti pijat, toko/warung jamu, RT/RW dan masyarakat serta

para penjual minuman beralkohol lainnya;

b) Memasang spanduk di tempat-tempat yang strategis dengan tema/kalimat yang tercantum

dalam lampiran instruksi ini.

Dalam instruksi ini Walikota Tangerang menugaskan Camat dan Lurah se-Kota Tangerang

untuk melakukan sosialisasi dan memberikan laporan mengenai lokasi/tempat-tempat yang

dijadikan tempat pelacuran/berbuat mesum. Tidak lama surat instruksi tersebut diturunkan,

beberapa Kecamatan dan Kelurahan di Kota Tangerang segera melakukan instruksi tersebut,

antara lain Wilayah Kecamatan Periuk, Wilayah Kecamatan Ciledug, Wilayah Kecamatan

Tangerang Kota.

Melalui instruksi ini Pemerintah Daerah juga menghimbau kepada seluruh kalangan

pengusaha di Kota Tangerang baik kepada perusahaan, pemilik toko, pemilik salon, pemilik

restauran, pemilik hotel maupun pemilik panti pijat untuk melakukan sosialisasi kepada

seluruh karyawan dan stake holder bahwa akan diterapkannya Perda Nomor 8 Tahun 2005

tentang Pelarangan Pelacuran. Untuk itu para pengusaha dihimbau untuk memasang billboard

dan spanduk dalam rangka sosialisasi Perda tersebut kepada masyarakat dan seluruh elemen

terkait. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengirimkan surat perintah

sosialisasi Perda Nomor 8 Tahun 2005, antara lain kepada PT. Citra Sarana Promosindo, PT.

Bardie Puritama, PT. Aneka Karya, PT. Indo Promo, PT. Sinar Kreasi Utama, PT. Citra

Nuansa Media, dan PT. Adipati Kencana.

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 12: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

12

Mekanisme Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005

1. Pemilihan dan Penentuan Wilayah Sasaran/Objek Operasi

Penyusunan rencana operasi di lapangan didasari pada pemilihan lokasi yang akan

dioperasi, salah satunya dengan menyusuri hotel-hotel “melati” yang sebelumnya sudah

terbukti adanya indikasi perbuatan pelacuran atau mesum. Selain itu, petugas juga mendapat

laporan dari masyarakat. Untuk itu partisipasi dan kerjasama dari masyarakat dalam hal

memberantas tindakan prostitusi sangat dibutuhkan.

2. Standar Operating Procedure (SOP)

SOP yang dimiliki oleh Satpol PP dalam hal melakukan operasi pelarangan pelacuran

ini sama dengan SOP yang digunakan dalam operasi kebijakan lain di Kota Tangerang. SOP

(Standard Operational Procedure) dalam hal implementasi Peraturan Daerah di Kota

Tangerang terlihat melalui gambar berikut ini :

PROSEDUR PENEGAKAN PERATURAN DAERAH

OPERASIONAL PENEGAKAN PERDA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA TANGERANG

Gambar diatas menunjukkan alur prosedur penegakan semua Peraturan Daerah di

Kota Tangerang oleh Satpol PP termasuk penegakan Perda Nomor 8 Tahun 2005. Pada Tahap

I, kebijakan berupa Perda disosialisasikan dengan membuat surat pemberitahuan dan suarat

edaran kepada masyarakat melalui Camat dan Lurah setempat juga oleh petugas Satpol PP

SATPOL PP KOTA

TANGERANG

Tahap III PENEGAKAN DAN

PENINDAKAN 1. Dalam bentuk fisik Penyetopan Penutupan Pembongkaran Penyitaan Pemusnahan 2. Dalam bentuk

Administrasi Sidang Tipiring Pelimpahan

Pengadilan Keputusan (JPU)

TAHAP I SOSIALISASI :

Surat Pemberitahuan

Edaran

TAHAP II PEMBINAAN:

Peringatan I Peringatan II Peringatan III

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 13: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

13

yang langsung mensosialisasikannya kepada masyarakat. Pada Tahap II petugas Satpol PP

melakukan pembinaan dengan memberikan peringatan satu sampai dengan tiga sebelum pada

akhirnya masuk pada tahap Penegakan dan Penindakan di Tahap III baik penindakan dalam

bentuk fisik maupun administrasi.

Pada mulanya rencana operasi diketahui oleh pejabat tingkat Kepala Seksi (Kasi),

Kepala Bidang (Kabid), hingga Sekretaris. Rencana operasi penertiban pelacuran atau PSK

tersebut tertuang dalam Nota Dinas yang dibuat oleh Kepala Bidang Penertiban kepada

Kepala Satpol PP. Dengan persetujuan dari Kepala Satpol PP, maka proses operasi akan dapat

dilaksanakan. Isi dari Nota Dinas tersebut antara lain menggambarkan :

1) Dasar dilakukan penertiban, dalam hal ini Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8

Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran dan berdasarkan hasil pengawasan atau

pemantauan dan Ketertiban Umum dari operasi sebelumnya.

2) Waktu dan Tempat Pelaksanaan Operasi, dalam hal ini yang dipaparkan adalah

waktu, Lokasi, dan sasaran.

Lokasi yang sering dijadikan target operasi antara lain : Taman Kota, Pintu Air Sewan,

Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek,

Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al

Amin yang berada di wilayah Kota Tangerang.

Sasaran : Hotel, Wisma, Kontrakan, dan di pinggir jalan (ruas jalan) di Wilayah Kota

Tangerang.

3.) Pola Operasi, petugas Satpol PP memiliki Pola Operasi yang diturunkan dari SOP

penertiban yang telah ada dalam pelaksanaan operasi atau penertiban. Hal ini dilakukan

agar proses operasi berjalan dengan baik tanpa mengganggu ketentraman masyarakat

juga pihak yang menjadi target operasi. Sebelum melaksanakan pola operasi, petugas

melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mencari tau lokasi dan

sasaran saat dilakukan penertiban nanti. Biasanya yang melakukan penindakan adalah

petugas intel dari Satpol PP. Petugas intel tanpa mengenakan seragam Satpol PP

memasuki tempat sasaran berupa hotel, wisma, kontrakan, dan taman kota untuk

melakukan pendataan kepada oknum yang terindikasi melakukan pelanggaran Perda

Nomor 8 Tahun 2005. Pola Operasi yang ditetapkan secara tertulis oleh Satpol PP Kota

Tangerang menjadi pedoman dalam mengimplementasikan Perda Nomor 8 Tahun 2005.

Hal tersebut berisi :

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 14: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

14

Melakukan Apel dan Persiapan Operasi

Apel dilakukan untuk mempersiapkan para petugas sebelum melakukan

operasi dengan diberi pengarahan agar para petugas bertindak dengan penuh tanggung

jawab dan menjunjung tinggi etika. Apel ini dipimpin secara bergantian oleh Kepala

Bidang Penertiban maupun Kepala Seksi Operasi. Struktur kegiatan yang dilaksanakan

saat Apel sebelum pelaksanaan operasi adalah dengan pembacaan doa dan pengarahan

bahwa petugas dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap target

operasi. Selain itu para petugas diingatkan untuk menjunjung tinggi SOP yang telah

disepakati

Proses Apel dan Persiapan Sebelum Operasi Sumber : Dokumentasi Satpol PP

Melaksanakan Penindakan

Penindakan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Satpol PP berupa

Pendataan terhadap pasangan selingkuh, pelacuran dan waria. Penindakan berupa

operasi ini dilakukan pada hotel-hotel dan ruas jalan yang sering terindikasi sebagai

tempat prostitusi, seperti Taman Kota, Pintu Air Sewan, Hotel Merdeka I, Hotel

Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek, Wisma PKPN, Hotel

Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin yang berada di

wilayah Kota Tangerang.

Petugas Satpol PP mendatangi tempat sasaran berupa hotel dengan membawa

Surat Tugas atau Surat Perintah Melakukan Operasi yang ditunjukkan kepada petugas

hotel atau resepsionis. Petugas satpol PP dengan didampingi petugas hotel lalu

menyusuri kamar-kamar yang berisi tamu hotel. Operasi atau razia dilakukan secara

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 15: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

15

sopan sebab petugas Satpol PP sebelumnya telah diberi pengarahan untuk

mengedepankan etika dalam melakukan operasi. Hal tersebut ditunjukan bahwa

petugas selalu mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk kamar hotel agar target

operasi dapat diajak bekerjasama dengan baik.

Proses Operasi/Razia di Hotel Flamboyan

Sumber : Dokumentasi Satpol PP

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa petugas Satpol PP yang

melakukan razia sudah cukup mengikuti arahan dan SOP yang ditentukan. Target yang

terindikasi PSK ataupun pasangan selingkuh segera diminta menunjukkan kartu

identitas dan kemudian dibawa ke Kantor Satpol PP untuk dimintai keterangan lebih

lanjut dengan menggunakan mobil operasi Satpol PP. Dalam sekali razia, jumlah

personil yang digerakan kurang lebih 20 orang.

Dalam kegiatan operasi, masing-masing unit melakukan tugas pokok dan

fungsinya. Para target yang terindikasi sebagai PSK ataupun pasangan selingkuh yang

telah dibawa ke Kantor Satpol PP segera ditempatkan dalam suatu ruangan untuk

dimintai keterangannya satu persatu disamping diberikan penjelasan dan penyuluhan

tentang Perda Nomor 8 Tahun 2005 oleh petugas Satpol PP. Setelah diberikan

pengarahan, tersangka yang terkena kasus perselingkuhan serta PSK diminta untuk

mengisi Surat Keterangan yang berisi identitas lengkap serta pernyataan bahwa

bersedia untuk di proses menurut Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun

2005 tentang Pelarangan Pelacuran atau sesuai dengan hukum yang berlaku.

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 16: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

16

Tersangka diberi Pengarahan oleh Kabid Pembinaan dan Penyuluhan

Sumber : Dokumentasi Satpol PP

Jika tersangka terbukti telah melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2005, yang

dalam hal ini adalah pelaku PSK, maka Satpol PP dan pihak kepolisian bekerja sama

dengan Dinas Sosial di DKI Jakarta melakukan rehabilitasi terhadap pelaku prostitusi

tersebut. Kota Tangerang tidak memiliki Panti Rehabilitasi yang diperuntukan bagi

para PSK yang hendak dibina, untuk itu Pemerintah Kota bekerjasama dengan dinas

sosial di DKI Jakarta untuk menempatkan para PSK asal Kota Tangerang pada Panti

Rehabilitasi yang terletak di Kelurahan Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Melakukan Apel dan Evaluasi Pasca Operasi Penertiban.

Para petugas yang telah selesai menjalankan tugas operasi kembali melakukan

apel sebagai laporan bahwa kegiatan operasi telah terlaksana. Setelah itu, diadakan

evaluasi mengenai proses dan hasil dari operasi yang telah dilaksanakan. Evaluasi

dilakukan oleh seluruh tim yang bertugas dalam operasi tersebut di hadapan Kepala

Seksi Operasional dan Kepala Bidang Ketertiban untuk di dokumentasikan dan

sebagai pembelajaran dalam kegiatan operasi selanjutnya.

Hambatan dalam Implementasi Kebijakan Perda Nomor 8 Tahun 2005.

Secara keseluruhan, pelaksanaan sebuah kebijakan tidak selalu berjalan dengan lancar

dan selalu sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang akan dicapai. Secara garis besar

implementasi Perda ini memang mampu mengurangi adanya tindakan prostitusi di Kota

Tangerang. Namun dalam proses implementasinya tidak terlepas dari beberapa hal yang

menjadi hambatan dan kendala dalam proses implementasi, antara lain :

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 17: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

17

1. Adanya Sikap Kontra dari Masyarakat saat Awal Implementasi Perda Nomor 8

Tahun 2005.

Dalam pembentukan suatu kebijakan publik, tentu ada pihak yang memberikan

dukungan juga sanggahan atas implementasi Perda tersebut. Walaupun tujuan awalnya

sangat mulia, tetapi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda dari masyarakat ketika ada

ketidaksesuaian dalam substansi kebijakan dengan proses implementasi. Tidak terkecuali

pada kebijakan Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini. Sikap kontra dari masyarakat muncul

dikarenakan adanya beberapa kaum wanita yang takut untuk keluar di malam hari. Pada

Pasal 4 ayat 1 yang bertuliskan : “Setiap orang yang sikap atau perilakunya

mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang

berada di jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, dirumah penginapan, losmen, hotel,

asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat

tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah”.

Isi dari Perda tersebut sempat dianggap multitafsir karena petugas lalu dapat mencurigai

setiap wanita yang memenuhi kriteria diatas meskipun wanita tersebut bukanlah pelacur

atau pelaku tindakan prostitusi.

Berita yang dikutip dari surat kabar Suara Pembaruan, pada hari Kamis, 10 Maret

2006 menjelaskan bahwa seorang karyawati Hotel Ibis Tamarin sempat mengusahakan

meminta surat keterangan dari perusahaan tempatnya bekerja yang menyebutkan bahwa ia

memang pekerja hotel yang harus pulang malam. Hal lain juga dijelaskan oleh Siti

Istikharoh, aktivis pada Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang menjelaskan bahwa

kebijakan ini juga dianggap akan membawa dampak buruk bagi investasi karena makin

tingginya tuntutan buruh yang menyulitkan perusahaan seperti tuntutan untuk

menyediakan bus bagi karyawan yang pulang di malam hari.

Sikap kontra tersebut tentunya menjadi perhatian Pemerintah Daerah Kota Tangerang

selaku perumus Perda tersebut. Namun demikian hal tersebut tidak menyurutkan langkah

Pemerintah Daerah untuk terus melanjutkan kebijakan ini. Untuk itu, Pemerintah

mengambil langkah dengan cara melakukan sosialisasi atas implementasi Perda ini hingga

akhirnya terbentuk himpunan pro dari masyarakat yang sepakat bahwa Perda ini terus

dijalankan.

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 18: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

18

2. Tidak Tersedianya Sarana Panti Rehabilitasi di Kota Tangerang

Selama ini Dinas Sosial Kota Tangerang bekerjasama dengan Dinas Sosial DKI

Jakarta dalam rangka menempatkan pelaku yang telah terbukti sebagai seorang PSK. Dinas

Sosial Kota Tangerang mengantarkan pelaku tersebut ke Panti Rehabilitasi Sosial Karya

Wanita Mulya di Wilayah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tidak tersedianya sarana Panti

Rehabilitasi ini membuat Dinas Sosial Kota Tangerang harus melakukan koordinasi

terlebih dahulu dengan Dinas Sosial DKI Jakarta mengenai penempatan PSK yang akan

dikirim ke Panti Rehabilitasi tersebut. Walaupun demikian, Dinas Sosial Kota Tangerang

tetap melakukan pengawasan terkait PSK asal dari Kota Tangerang yang sedang menjalani

rehabilitasi.

3. Adanya Perlawanan dari Tersangka

Tidak jarang petugas Satpol PP merasa kesulitan dalam operasi penertiban PSK ini.

Target operasi seringkali menolak untuk dimintai keterangan mengenai identitas dan

menolak untuk dilakukan pendataan. Sebagian besar dari mereka yang melakukan

perlawanan pada umumnya pelaku tindakan perselingkuhan. Karena merasa malu maka

mereka menolak untuk dimintai keterangan dan dibawa ke kantor Satpol PP.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun

2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, dapat disimpulkan bahwa penertiban

yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah mengikuti SOP (Standard Operational

Procedur) yang ditentukan, oleh sebab itu kegiatan operasi atau razia yang dilakukan selama

empat kali dalam sebulan di hotel-hotel serta ruas jalan telah dapat mengurangi jumlah

pelacur atau PSK di Kota Tangerang sejak tahun 2006 hingga tahun 2012. Hasil penertiban

Perda Nomor 8 Tahun 2005 menunjukkan tingkat pelacuran atau prostitusi berkurang sejak

tahun 2006 hingga 2012 meskipun terjadi perbedaan persepsi antara data tersebut dengan

hasil penelitian penulis di lapangan pada narasumber berbeda yang menunjukkan bahwa

tahun 2012 terjadi operasi penertiban yang menghasilkan beberapa PSK “wajah lama”

diciduk kembali. Selain itu, hasil penertiban yang dilakukan oleh petugas satpol PP

menunjukan fenomena maraknya kasus perselingkuhan. Hal ini menunjukan bahwa

keberadaan perda tersebut justru tidak membuat pelaku perselingkuhan merasa jera. Dengan

ini dapat disimpulkan bahwa Perda tersebut belum efektif mengurangi jumlah kasus

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013

Page 19: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 …

19

perselingkuhan yang juga melanggar norma agama dan norma susila. Hal ini disebabkan

karena Perda tersebut tidak mengatur adanya sanksi dari tindakan perselingkuhan.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, penulis memberikan saran sebagai

berikut :

1. Untuk lebih mengoptimalisasi efektivitas dari Perda ini, sebaiknya Kota Tangerang

memiliki pusat rehabilitasi bagi pelaku prostitusi sehingga tersangka yang positif sebagai

seorang PSK dapat selalu diawasi perkembangannya sehingga tidak mengulangi

perbuatannya kembali.

2. Perlu adanya substansi dalam Perda yang mengatur kasus perselingkuhan karena hal

tersebut sangat banyak ditemui dalam operasi. Selain itu tindakan perselingkuhan

merupakan suatu penyakit masyarakat yang harus diberantas, oleh karena itu pelakunya

juga perlu untuk diberi sanksi agar merasa jera.

Kepustakaan

Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Samodra Wibawa, dkk, Penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Marzali, Amri. 2006. Antropologi&Kebijakan publik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung: Rosdakarya.

Jones, Charles, O. 1991, Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: Rajawali Press. Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta:

PT. Elex Media Komputindo.

Prasetyo, Bambang & Jannah, Lina Miftahul. 2005. Metode Penulisan Kuantitatif, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta. Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik (Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan

Kebijakan Sosial). Bandung: CV Alfabeta.

Implementasi kebijakan..., Marcelina Resti Permata, FISIP-UI, 2013