Post on 26-Dec-2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan
kepatuhan dalam menyembah atau penghambaan kepada Allah SWT.
Penghambaan seorang manusia kepada Allah untuk mendekatkan diri kepada-
Nya sebagai realisasi dari pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk yang
diciptakan Allah. Menilik pada maknanya pengertian secara umum dapat
diterjemahkan bahwa Ibadah sebagai ritual kita sebagai hamba, ibadah
mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT. Ibadah sebagai media
untuk kita berkholwat dengan sang Maha Pencipta, atas bentuk rasa syukur,
pengakuan kita diciptakan sebagai khalifah dan sebagai hamba, pengakuan
bahwa Allah SWT sebagai Tuhan yang menciptakan kita, dan segalanya.
Manusia diciptakan sebagai khalifah dan berstatus sebagai hamba
merupakan perpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika
hidup yang sarat dengan kreatif dan amaliyah yang selalu berpihak pada nilai-
nilai kebenaran. Karena itu hidup seorang muslim akan dipenuhi dengan
amaliah, dan kerja keras tiada henti. Kedudukan manusia sebagai khalifah dan
hamba bukan dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang
padu.
Ibadah merupakan sesuatu hal yang penting karena setiap manusia
wajib melaksanakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang
dilarang oleh Allah SWT. Ibadah menjadi suatu ritual dimana kita mengakui
kita sebagai hamba dan Allah SWT sebagai tuhan yang menciptakan kita.
Ibadah adalah suatu kewajiban yang harus kita tunaikan karena itu adalah
2
bekal untuk kehidupan yang kekal, yaitu kehidupan akhirat. Ibadah menjadi
amal yang akan kita bawa untuk menentukan siapa kita dihadapan Allah
SWT.
Pada zaman yang semakin senja ini, banyak sekali fenomena yang
dapat kita lihat tentang menyembah selain Allah SWT, mempercayai selain
Allah SWT sebagai pemberi petunjuk, dan fenomena ‘Islam KTP’ atau lebih
jelasnya seseorang yang terlahir dari keluarga Islam namun kurang begitu
paham dan mengerti tentang agamanya, karena memang tidak mengetahuinya
atau tidak berusaha untuk mencari tau lebih dalam. Pengetahuan tentang
ibadah dan agama Islam sangatlah penting karena itu yang menjadi pedoman,
petunjuk kita sebagai manusia dalam melaksanakan segala tugas, kewajiban,
hidup di dunia semata-mata untuk mencari akhirat tempat yang sebenar-
benarnya, tempat asal, tempat kembali, dan disanalah kita hidup dengan kekal.
Minimnya pengetahuan ibadah membuat sebagian umat muslim hanya
beribadah seadanya, padahal ibadah merupakan bekal utama manusia untuk
kehidupan setelah mati.
Jadi sangat erat kaitanya antara ibadah dan amalan yang akan kita
bawa mati untuk kehidupan setelah mati, kualitas amalan kita sangat
dipengaruhi oleh proses beribadah kita di dunia, khususnya dalam ibadah
yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Melihat fenomena masa kini,
demi perkembangan pengetahuan ibadah secara teori dari berbagai sumber
dan AL-Quran sebagai sumber dari segala sumber pedoman hidup manusia,
banyak yang harus diperhatikan,dipahami, dan diterapkan oleh kita sebagai
manusia yang kelak akan dan pasti mati. Salah satunya Ibadah dan makna
Ibadah, fungsi ibadah, tujuan ibadah, dan macam-macam ibadah itu sendiri
agar tercipta pelaksanaan ibadah sebagai jalan kita bersyukur, memperbanyak
amalan baik untuk bekal kehidupan akhirat dan mengakui keagungan Allah
SWT yang telah menciptakan kita.
3
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam Ibadah sebagai ritual dalam Islam adalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan ibadah?
2. Apa makna ibadah?
3. Apa macam-macam ibadah?
4. Apa kewajiban ibadah?
5. Apa fungsi ibadah?
6. Apa bentuk-bentuk ibadah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
2. Meningkatkan kualitas keimanan
3. Meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT
4. Meningkatkan kualitas kehidupan kita di dunia dalam bermasyarakat
5. Meningkatkan pengetahuan tentang agama Islam
6. Meningkatkan kecintaan kita terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad
SAW
D. Manfaat Penulisan
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat menghasilkan banyak
manfaat, diantaranya :
1. Dapat mengetahui dan memahami arti dari Ibadah
2. Dapat mengetahui dan memahami makna dari Ibadah
3. Dapat mengetahui dan memahami macam-macam Ibadah
4. Dapat mengetahui dan memahami kewajiban manusia dalam beribadah
5. Dapat mengetahui dan memahami fungsi serta tujuan Ibadah
6. Dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk dari Ibadah
4
7. Dapat mengamalkan Ibadah yang telah diketahui dengan cara yang telah
ditentukan oleh Allah SWT.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ini berjudul “IBADAH SEBAGAI RITUAL DALAM
ISLAM”. Yang memiliki sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN, berisi : Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Sistematika Penulisan.
BAB II PEMBAHASAN, berisi : Definisi Ibadah, Makna Ibadah, Macam-
Macam Ibadah, Kewajiban Ibadah, Fungsi Ibadah, Bentuk-Bentuk Ibadah.
BAB III PENUTUP, berisi : Kesimpulan.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ibadah
Ibadat atau Ibadah adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa
Arab. Dalam terminologi bahasa Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ini meimiliki arti:
1. perbuatan atau penyataan bakti terhadap Allah atau Tuhan yang didasari
oleh peraturan agama.
2. segala usaha lahir dan batin yang sesuai perintah agama yang harus
dituruti pemeluknya.
3. upacara yang berhubungan dengan agama.
Adapun definisi-definisi ibadah secara etimologi, terminologi dan syar’I,
diantaranya :
1. Definisi secara etimologi
Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan
kepatuhan. Menyembah atau penghambaan.
2. Definisi secara terminologi
Penghambaan seorang manusia kepada Allah untuk mendekatkan
diri kepada-Nya sebagai realisasi dari pelaksanaan tugas hidup selaku
makhluk yang diciptakan Allah.
6
3. Definisi secara istilah syar’i
Definisi terbaik dan terlengkap adalah apa yang disampaikan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah
adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah
dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang
tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan
amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan,
menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar,
berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada
tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan
bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan
sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan
lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada
Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal
ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya,
bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-
Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya,
merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk
bagian dari ibadah kepada Allah.”
B. Makna Ibadah
Ja’far Subhani ketika membahas batasan esensi ibadah mengemukakan
bahwa ibadah ialah tunduk meyakini uluhiyah (Ketuhanan) yang disembah,
rububiyah, dan kemerdekaan-Nya dalam berbuat. Amal perbuatan khusus
yang bersifat tertentu yang secara khas bersifat keagamaan, atau sering
disebut dengan istilah ‘ubudiyah menurut Nurcholis Madjid.
7
1. Rububiyah
Secara bahasa Tauhid Rububiyah berasal dari dua kata; ‘Tauhid’
dan ‘Rububiyah’. Dalam bahasa arab ‘Tauhid’, adalah
masdar ‘wahhada’ ‘yuwahhidu’ yang berarti mengesakan sesuatu.
Sedangkan Rububiyah adalah masdar ‘Rabba’ ‘Yurabbi’ yang berarti
adalah memimpin, mengatur, memelihara, memiliki dan memperbaiki.
Dan Rububiyah adalah salah satu sifat Allah yang diambil dari nama-Nya,
yaitu ar-Rabb, yang maknanya adalah Yang Mencipta, Mengatur dan
Menguasai alam semesta ini.
Adapun secara istilah Tauhid Rububiyah maknanya adalah
meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa hanya Allah yang
menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini.
a. Dalil-dalil Tauhid Rububiyah
Dalil tentang Tauhid Rububiyah banyak sekali dan beraneka
ragam, baik dari al-Quran, as-Sunnah, fitrah maupun akal. Semuanya
menunjukkan bahwa hanya Allah yang memiliki sifat rububiyah. Dan
sungguh, Allah telah menjadikan banyak perkara pada makhluk-Nya
yang seandainya direnungkan, niscaya akan menunjukkan bahwa ada
Allah yang menciptakan dan mengatur alam raya ini. Dan berikut ini
beberapa contoh dari dalil-dalil tersebut:
Dalil dari al-Quran di antaranya adalah firman Allah yang
artinya:
1) “Allah lah yang menciptakan dan memelihara segala sesuatu.”
(QS. az-Zumar: 62)
2) “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Huud: 6)
8
3) “Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan siang ke
dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan
yang mati dari yang hidup. Dan Engkau memberi rezeki kepada
siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS.
al-‘Imran: 26-27)
Dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah doa sebelum tidur yang
diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
1) “Ya Allah, Rabb yang memiliki tujuh lapis langit, Pemilik ‘Arsy
yang agung; Rabb segala sesuatu; Yang menciptakan biji-bijian
dan benih tanaman; Yang menurunkan Taurat, Injil dan al-
Furqan (al-Quran);
2) Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan makhluk yang Engkau
pegang ubun-ubunnya. Engkau adalah al-Awwal; tidak ada
sesuatu pun sebelum-Mu. Engkau adalah al-Akhir; tidak ada
sesuatu pun setelah-Mu. Engkau adalah azh-Zhahir; tidak ada
sesuatu pun di atas-Mu. Engkau adalah al-Bathin; tidak ada
sesuatu pun di bawah-Mu. Berikanlah kami kemampuan untuk
melunasi hutang dan bebaskanlah kami dari kefakiran.” (HR.
Muslim 7064)
9
Dalil dari fitrah, Allah telah menciptakan makhluk-Nya dengan
keyakinan terhadap kerububiyahan-Nya. Tidak ada satu makhluk pun
yang mampu menolak keyakinan ini, karena ia adalah perkara yang
sudah tertanam di dalam diri setiap manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, kemudian
orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nashrani, atau pun
majusi.” (HR. Bukhari 1319)
Dalil dari akal, yaitu dengan memperhatikan dan memikirkan
tanda-tanda kekuasaan Allah. Metode dalam perkara ini bermacam-
macam, yang paling terkenal ada dua:
1) Metode yang dikenal dengan istilah ‘dalalatul anfus’; yaitu dengan
memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada
penciptaan manusia. Maka padanya terdapat tanda yang
menunjukkan keesaan Allah dalam sifat rububiyah. Allah
berfirman: “Dan (juga) pada dirimu sendiri (terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah). Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
(QS. adz-Dzariyaat: 20) Jika seseorang memperhatikan ciptaan
Allah yang terdapat pada dirinya, niscaya itu akan
membimbingnya kepada satu keyakinan bahwa ia diciptakan oleh
Dzat Yang Maha Agung dan Maha Bijaksana. Karena seseorang
mengetahui bahwa ia tidak mampu menciptakan nuthfah yang
merupakan asal dirinya, atau mengubah nuthfah itu menjadi
gumpalan darah, kemudian mengubah gumpalan darah itu menjadi
gumpalan daging dan seterusnya dari proses penciptaan manusia.
2) Metode yang dikenal dengan ‘dalalatul afaaq’; yaitu dengan
memperhatikan dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah
dalam penciptaan alam semesta ini. Allah berfirman yang artinya:
10
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah
benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi
saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushilat: 53)
b. Orang-orang Musyrik di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam Meyakini Tauhid Rububiyah
Banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Quran yang menunjukan
bahwa orang-orang musyrik yang diperangi oleh
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengikrarkan
Tauhid Rububiyah; meyakini bahwa Allah adalah Sang Pencipta,
Pengatur, Pemberi rezeki dan Pemelihara alam semesta ini. Allah
berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah
yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan
bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”…” (QS. al-‘Ankabut:
61)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”…” (QS. az-
Zukhruf: 87)
“Katakanlah: “Siapakah Pemilik langit yang tujuh dan ‘Arsy yang
besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”…” (QS. al-
Mu’minuun: 86-87)
Dan kaum musyrikin Arab zaman dahulu mengerti bahwa
berhala-berhala itu adalah makhluk ciptaan Allah, dan bukan pencipta,
pengatur, pemberi rezeki atau pemelihara alam ini. Mereka yakin
bahwa yang memiliki sifat-sifat ini hanyalah Allah. Namun mereka
11
menjadikan berhala-berhala itu sebagai perantara untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Allah berfirman yang artinya:
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. az-
Zumar: 3)
Jadi jelas bahwa kaum musyrikin Arab meyakini
Tauhid Rububiyah. Namun hal tersebut tidak memasukkan mereka ke
dalam Islam. Allah tetap menghukumi mereka sebagai orang-orang
musyrik dan kafir, serta mengancam akan memasukkan mereka ke
dalam neraka selama-lamanya.
Dengan demikian jelaslah bahwa sekedar mentauhidkan Allah
dalam kerububiyahan-Nya, namun tidak mentauhidkan Allah dalam
peribadatan, tidaklah memasukkan seseorang ke dalam Islam dan
menyelamatkannya dari azab Allah.
c. Tauhid Rububiyah bukanlah puncak ketauhidan seseorang
Tauhid Rububiyah adalah kebenaran dan perkaranya amat
penting. Tidak sah keimanan seseorang kepada Allah jika ia tidak
mengimani kerububiyahan-Nya. Namun perlu diketahui bahwa
Tauhid Rububiyah bukanlah alasan diutusnya para Rasul dan
diturunkannya kitab-kitab. Ia bukanlah puncak ketauhidan yang
dengannya ketauhidan seseorang menjadi sempurna. Hal ini karena
beberapa alasan:
1) Allah memerintahkan manusia dan jin untuk beribadah kepada-
Nya, bukan sekedar mengikrarkan bahwa Allah Sang Pencipta,
Pemberi rezeki, Pengatur dan Pemelihara alam ini.
12
2) Orang-orang musyrik di zaman Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga meyakini Tauhid Rububiyah, namun hal ini tidak serta
merta memasukkan mereka ke dalam Islam, dan tetap diperangi
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas.
3) Tauhid Rububiyah adalah perkara yang sudah tertanam pada diri
manusia.
d. Bentuk-Bentuk Penyimpangan Yang Berkaitan dengan tauhid
Rububiyah
Meskipun Tauhid Rububiyah adalah perkara yang sudah
tertanam pada fitrah manusia dan memiliki begitu banyak dalil, tetap
saja terjadi penyimpangan pada sebagian orang dalam masalah ini.
Bentuk-bentuk penyimpangan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Mengingkari keberadaan Allah dan menentang secara total sifat
kerububiyahan-Nya. Seperti yang diyakini oleh orang-orang ateis
atau komunis, dan yang semisal dengan mereka.
2) Mengingkari dan menentang sebagian sifat kerububiyahan Allah
dan makna yang terkandung di dalamnya. Seperti orang yang
mengingkari kemampuan Allah untuk mematikan dan
menghidupkan kembali orang yang sudah mati; atau mengingkari
kemampuan Allah memberi manfaat atau menolak mudarat dari
seseorang, atau yang semisal dengan itu.
3) Memberikan sedikit saja dari sifat rububiyah itu kepada selain
Allah. Seperti meyakini bahwa seorang ‘pawang hujan’ bisa
mencegah atau menurunkan hujan di satu tempat.
13
2. Uluhiyah
Tauhid artinya adalah mengesakan atau menunggalkan. Dalam
arti kita meyakini bahwa Allah itu Maha Esa atau Maha Tunggal.
Uluhiyyah sendiri diambil dari akar kata aliha-ya lahu, ilaahan atau
uluuhan. Secara bahasa, arti kata aliha yaitu bertujuan, mendedikasikan
diri kepada, mencintai sesuatu sepenuh hati, menghambakan diri
kepadanya, bermonoloyalitas. Jadi, kita adalah aalih, atau orang yang
melakukan uluuh. Allah adalah ma-luuuh. Dalam arti yang dicintai
sepenuh hati, yang kepada-Nya kita bermonoloyalitas, yang terhadap-Nya
kita menghambakan diri, dan seterusnya.
Tauhid Uluhiyyah adalah penunggalan dan pengesaan Allah
dalam hal uluhiyyah. Artinya, kita harus meyakini bahwa adalah satu-
satunya yang kita cintai sepenuh hati, yang kita tunggalkan ketaatan secara
mutlak kepada-Nya, yang kita menghambakan diri dan mengabdi
kepadanya. Dan itulah makna sejati dari Laa Ilaaha Illalah.
Laa ilaaha illallah bukan sekadar berarti TIDAK ADA TUHAN SELAIN
ALLAH. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah melalui perbuatan
para hamba berdasarkan niat taqarrub atau mendekatkan diri kepada
Allah, yang disyari’atkan. Artinya, proses penerapan Tauhid Uluhiyyah
adalah melalui perbuatan seorang hamba yang mengesakan Allah dalam
ibadah. Ia hanya beribadah kepada Allah saja tidak kepada selain-Nya.
Dan ibadah itu dilakukan untuk tujuan mendekatkan diri kepada-Nya.
Selain itu, ibadah yang dilakukan kepada Allah hanya dengan cara yang
disyariatkan oleh Allah saja, tidak dengan cara yang dikehendai oleh si
hamba sendiri.
Contoh dari ibadah yang mendekatkan diri dengan cara yang disyariatkan
itu, diantaranya :
a. berdo’a,
b. bernadzar,
14
c. berkurban,
d. raja’ (Mengharapkan Keridhaan Allah, mengharapkan rahmat,
ampunan dan Surga-Nya),
e. khauf (takut terhadap kemarahan, adzab Allah, dan Neraka-Nya),
f. tawakkal,
g. dan berbagai jenis ibadah lahir maupun batin yang disyariatkan dan
dijelaskan tata caranya oleh Allah, melalui Nabi-Nya, Muhammad
SAW.
Tauhid Uluhiyyah inilah yang menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul
sejak awal, hingga nabi Muhammad SAW.
a. Dalil-Dalil Tauhid Uluhiyah
Banyak sekali dalil dari al-Quran yang menunjukkan
kewajiban mentauhidkan Allah dalam peribadatan, dan metode yang
digunakan pun bermacam-macam. Diantaranya ialah sebagai berikut:
1) Kadang dalam bentuk perintah secara langsung. Seperti firman
Allah yang artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS an-Nisaa: 36)
2) Kadang dengan menjelaskan alasan diciptakannya jin dan manusia.
Seperti firman Allah yang artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. adz-Dzariyaat: 56)
3) Kadang dengan menerangkan tujuan diutusnya para Rasul. Seperti
firman Allah yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang
rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya:
“Bahwasanya tidak ada Sembahan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiyaa: 25)
15
4) Kadang dengan menerangkan tujuan diturunkannya kitab-kitab.
Seperti firman Allah yang artinya: “Dia menurunkan para
malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada
siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu:
“Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada
Sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu
bertakwa kepada-Ku.” (QS. an-Nahl: 2)
5) Kadang dengan memberi peringatan kepada orang yang
menyelisihinya. Seperti firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka Allah
mengharamkan surga baginya, dan tempat kembalinya ialah
neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun.” (QS. al-Maa’idah: 72)
6) Kadang dengan menyebutkan pahala didunia dan akhirat bagi yang
merealisasikannya. Seperti firman Allah yang artinya : “Orang-
orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. al-An’aam: 82)
7) Kadang dengan mengancam akan menghukum orang yang
meninggalkannya. Seperti firman Allah yang artinya: “Dan
janganlah kamu mengadakan sembahan lain selain Allah, yang
menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan
tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS. al-Israa: 39)
Adapun dalil dari as-Sunnah, ia juga menggunakan metode
yang bermacam-macam. Diantaranya adalah sebagai berikut:
16
1) Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz: “Ya
Mu’adz, apakah engkau mengetahui apa hak Allah yang harus
ditunaikan oleh hamba-hamba-Nya?” Mu’adz menjawab: “Allah
dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui,” Nabi bersabda: “Hak
Allah yang harus ditunaikan oleh hamba-hamba-Nya ialah
disembah dan tidak disekutukan dengan apapun.” (HR. al-Bukhari
6938)
2) Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa mati
dalam keadaan beribadah kepada selain Allah, ia masuk neraka.”
(HR. Bukhari 4227)
3) Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa
berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak berbuat syirik, maka
ia akan masuk surga. Dan barangsiapa berjumpa dengan Allah
dalam keadaan berbuat syirik, maka ia akan masuk neraka.” (HR.
Muslim 280)
Dan masih banyak lagi ayat Quran dan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam masalah ini.
b. Keutamaan dan Pentingnya Tauhid Uluhiyah
Dengan melihat dali-dalil di atas dan selainnya yang berkenaan
denngan Tauhid Uluhiyah, tidak ada keraguan lagi bahwaTauhid
Uluhiyah adalah pokok yang paling penting dan utama untuk
kemaslahatan hidup manusia. Hal ini karena bebarapa alasan, di
antaranya:
1) Tauhid Uluhiyah adalah tujuan diciptakannya jin dan manusia.
2) Tauhid Uluhiyah adalah alasan diutusnya para Rasul.
3) Tauhid Uluhiyah adalah alasan ditetapkannya syariat.
4) Tauhid Uluhiyah adalah hak Allah azza wa jalla.
17
5) Tauhid Uluhiyah merupakan sebab orang masuk surga.
6) Tauhid Uluhiyah membebaskan orang dari penghambaan kepada
sesama makhluk.
c. Inti Dakwah Para Rasul Adalah Tauhid Uluhiyah
Telah kita bahas bahwa musyrikin Arab di zaman
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui Tauhid
Rububiyah namun hal itu tidak menjadikan mereka masuk ke dalam
Islam. Allah tetap menghukumi mereka sebagai orang musyrik dan
kafir ketika mereka tidak mau merealisasikan konsekuensi Tauhid
Rububiyah, yaitu mengesakan Allah dalam peribadatan.
Inilah sesungguhnya inti dakwah para rasul, dari yang pertama
sampai yang terakhir. Yaitu, mentauhidkan Allah dalam
peribadatan, Tauhid Uluhiyah. Allah berfirman yang artinya: “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.”
(QS. An-Nahl: 36) “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun
sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya
tidak ada sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah
Aku.” (QS. Al-Anbiyaa: 25)
Oleh karena itu mereka menjadikan Tauhid Uluhiyah sebagai
seruan pertama mereka kepada manusia. Sebagaimana perkataan Nuh,
Hud, Shaleh, dan Syu’aib ‘alaihimushalatu wa salaam kepada
kaumnya: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada
sesembahan (yang hak) bagimu selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf: 59, 65,
73, 85) “Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya:
“Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya.” (QS.
al-‘Ankabuut: 16)
18
Dengan perkara ini pula Allah memerintahkan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman yang
artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama.” (QS. az-Zumar: 11) Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia
sampai mereka bersaksi ‘laa Ilaaha Illallah’ (sesungguhnya tidak ada
sembahan yang benar kecuali Allah) dan ‘Muhammad Rasulullah’
(sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah).” (HR. Bukhari 25)
d. Bentuk-Bentuk Penyimpangan Pada Tauhid Uluhiyah
Banyak sekali orang yang menentang Tauhid Uluhiyah, bahkan
mayoritas kaum para Rasul menolak seruan ini. Dan dengan sebab
inilah terjadi perseteruan antara para Rasul dan kaum-kaum mereka.
Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman tentang kaum Nabi
Nuh ‘alaihi salaam yang artinya: “Dan mereka berkata: “Jangan
kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan
pula kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts,
Ya’uq, dan Nasr!” (QS. Nuh: 23) Tentang kaum kafir Quraisy:
“Mengapa ia menjadikan sembahan-sembahan itu hanya satu
sembahan saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan.” Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya
berkata): “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu,
sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak
pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir, perkara ini
(mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.”
(QS. Shaad: 4-7) Masih banyak lagi ayat Quran yang menunjukkan hal
ini.
19
Bentuk-bentuk penyimpangan terhadap Tauhid Uluhiyah
bermacam-macam, namun secara umum dapat disimpulkan menjadi
tiga:
1) Mempersembahkan peribadatan kepada selain Allah. Perbuatan ini
akan menghilangkan Tauhid Uluhiyah pada seseorang secara total.
2) Beribadah kepada Allah dengan tata cara yang diada-adakan.
Perbuatan ini menghilangkan kesempurnaan yang wajib
dalam Tauhid Uluhiyah.
3) Melakukan perbuatan kedurhakaan kepada Allah. Perbuatan ini
merupakan cacat dan mengurangi pahala Tauhid Uluhiyah pada
seseorang.
3. ‘ubudiyah
Menilik pada maknanya pengertian Ubudiyah secara umum dapat
diterjemahkan sebagai Ibadah(ritual) / yang mengatur hubungan langsung
dengan Allah SWT. Tetapi dalam makna yang lebih khusus Ubudiyah
dapat dipahami sebagai ”Pengabdian”, yang tidak hanya ditujukan
kepada Allah SWT semata tetapi juga harus mampu diterjemahkan lebih
lanjut kedalam bentuk pengabdian kepada Islam, bangsa, dunia serta
umat manusia dan kemanusiaan.
C. Macam-Macam Ibadah
1. Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang murni ibadah, jadi semata-mata
tujuannya untuk cari pahala, yakni beribadah kepada Allaah subhanahu wa
ta’ala.. Contoh : Shalat, puasa, shalawat, dll. Para ulama menjelaskan
bahwa ibadah mahdhoh jika dikerjakan tanpa tuntunan, jelas hal ini adalah
amalan yang sia-sia. Contohnya seperti shalat yang diubah dan tatacaranya
ditambahkan, misalnya penambahan pelafalan niat. Demikian juga shalat
20
yang tak ada asalnya dari Islam, misalnya shalat 100 rakaat dimalam nisfu
sya’ban, shalat hadiyah, shalat raghaib, dan shalat-shalat lain yang tak ada
asalnya dari Nabi Muhammad SAW. Begitu juga dengan mengamalkan
puasa-puasa yang bukan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, semisal
puasa nisfu sya’ban, ngebleng, mutih, pati geni, dll. Begitu juga dengan
shalawat-shalawat yang tidak berasal dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, semisal nariyah, hajjiyah, burdah, dll.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
” Man ahdasa fii amrinaa hadzaa maa laesa minhu fahua roddun. ”
Artinya :
“ Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (agama
/ ibadah) yang tidak ada asalnya (tidak Rosululloh lakukan / perintahkan),
maka perkara tersebut tertolak. ” ( HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no.
1718 )
Jadi harus dan perlu dasar dalam ibadah jenis ini. Sehingga ada kaedah
dalam ibadah :
“Al Ashlu fil ‘ibaadah butlaanun hatta yaquumuddaliilu’alal amri”
Artinya :
Asalnya urusan Ibadah adalah batal/tidak sah kecuali ada dalil yang
memerintahkannya
2. Ibadah Ghoiru Mahdhah
Ibadah ghoiru mahdhoh adalah ibadah yang tidak murni ibadah. Satu
sisi ibadah ini bisa bernilai ibadah (ada pahalanya) jika diniatkan karena
21
Allah, dan bisa tidak bernilai ibadah jika hanya berniat untuk dunia.
Contohnya :
a. Bekerja untuk mencari nafkah
b. Tersenyum dengan orang lain
c. Tolong menolong sesame
d. Menafkahkan harta di jalan Allah
e. Membangun sekolah, madrasah, jembatan, dll
Sedangkan ibadah ghoiru mahdhoh, ini baru jadi ibadah dan
berpahala jika diniatkan untuk ibadah, misalnya mencari nafkah untuk
menghidupi keluarga diniatkan karena Allah, karena Allah memang
memerintahkan agar menafkahi keluarga. Namun jika diniatkan hanya
untuk cari kerja saja karena untuk sekedar memenuhi kebutuhan, atau
sekedar mengumpulkan harta, maka ini tidak bernilai pahala. Jadi amalan
ini asalnya mubah. Jika diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.
Namun perlu diperhatikan bahwa ibadah ghoiru mahdhoh ini jika
dijadikan sebagai ibadah murni, maka bisa terjatuh dalam perkara yang
mengada-ada dalam agama (baca : bid’ah), misalnya dikhususkan dengan
cara dan dikerjakan pada waktu tertentu. Contonya ziarah kubur sebelum
masuk ramadhan. Ziarah kubur boleh kapan saja. Namun jika
dikhususkan pada waktu tertentu semacam ini, bahkan sampai dianggap
memiliki keutamaan didalamnya, maka hal ini bernilai bid’ah. Contoh
lainnya ketika jabat tangan setelah shalat. Jabat tangannya asalnya boleh
kapan saja, bahkan jabat tangan dapat menggugurkan dosa. Namun jika
jabat tangan dikhususkan ketika selesai shalat, apalagi pengkhususan
tersebut sampai dianggapnya mempunyai keutamaan, bahkan dianggap
sebagai sunnah, maka ini yang mengada-ada. Jadi tidak bisa dikatakan
mubah.
D. Kewajiban Ibadah
22
Allah Subahan Wata'ala berfirman:
"Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku"
(QS Adz-Dzaariyaat[51]:(56))
Allah SWT tidak menciptakan jin dan manusia sebagai sesuatu yang
sia-sia dan tidak berguna. Dia juga tidak menciptakan mereka untuk makan,
minum, senda gurau, bermain dan tertawa. Dia menciptakan mereka untuk
suatu perkara yang besar, yakni menyembah-NYA, mengesakan-NYA,
mengagungkan-NYA, membesarkan-NYA dengan melakukan segala
perintah-NYA dan menjauhi semua larangan-NYA.
Allah SWT telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah
kepada-NYA. Bahkan, kegiatan ibadah ini tidak saja dilakukan oleh manusia
saai ini (setelah Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam), melainkan
sebelum beliau ada. Oleh karena itu, manusia hidup untuk ibadah, bukan
selainnya. Setiap gerak dan langkah manusia adalah ibadah; baik saat bekerja
di kantor, istirahat di rumah, menuntut ilmu di sekolah, dan dimana pun.
Dengan demikian, ibadah adalah tugas manusia yang perlu dihayati
dan diamalkan tanpa terkecuali. Hal ini sudah menjadi hak Allah, yang telah
menciptakan manusia dengan sebaik-baik peciptaan-NYA terhadap penduduk
langit dan bumi adalah mereka menyembah-NYA dan tidak menyekutukan-
NYA dengan sesuatu pun. Ibadah merupakan kewajiban manusia terhadap
Allah Subahana Wata'ala, dengan cara mendekatkan diri kepada-NYA,
melakukan perintah-NYA, dan menjauhi larangan-NYA. Ibadah meliputi
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh-NYA, baik beruoa ucapan
maupun perbuatan lahir dan bathin. Akan tetapi, secara spesifik,
23
implementasinya mengacu pada tatanan atau konsep ibadah-ibadah tertentu
yang sudah diperintahkan oleh-NYA dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad
Salallhu Alaihi Wasallam, mulai dari shalat, puasa, zakat, shadaqah,
hingganjenis ibadah lainnya.
Sebagai hamba-NYA, kita harus senantiasa melaksanakan ibadah yang
telah diperintahkan oleh-NYA dan rasul-NYA dengan penuh kesadaran,
keikhlasan, dan rendah hati terhadap-NYA. Dengan demikian, semangat
ibadah yang benar merupakan perwujudan dari rasa syukur atas nikmat yang
telah diberikan oleh-NYA, yang didasarkan pada rasa keagungan-NYA di
alam semesta. Dengan adanya rasa syukur itulah, kita termotivasi untuk
mengabdi hanya kepada-NYA.
E. Fungsi Ibadah
Manusia berfungsi sebagai khalifah dan berstatus sebagai hamba
merupakan perpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika
hidup yang sarat dengan kreatif dan amaliyah yang selalu berpihak pada nilai-
nilai kebenaran. Karena itu hidup seorang muslim akan dipenuhi dengan
amaliah, dan kerja keras tiada henti. Kedudukan manusia sebagai khalifah dan
hamba bukan dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu
dan tak terpisahkan. Kekhalifahan adalah realisasi dari pengabdian seseorang
kepada Allah SWT.
Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim
sedemikian rupa. Ketidaksetimbangan diantara keduanya akan melahirkan
sifat-sifat yang menyebabkan derajat manusia meluncur ketingkat yang paling
rendah, sebagaimana firman Allah SWT :
24
Artinya : “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ketempat yang
serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan
beramal shaleh”(Q.S. al-Tin:4-5)
Dari ayat diatas dapat dipahami jika tinggi atau rendahnya derajat seseorang
bukan karena sosok tubuh atau fisiknya saja namun bagaimana keimanan dan
amal perbuatan yang ia lakukan. Dan menurut Q.S Ali Imran ayat 112 dapat
dipahami bahwa kualitas kemanusiaan itu sangat bergantung pada kualitas
komunikasi manusia dengan Allah SWT melalui Ibadah dan kualitas interaksi
sosialnya dengan sesama manusia.
Adapun fungsi dari Ibadah antara lain :
1. Kewajiban manusia dibumi hanya untuk beribadah kepada Allah SWT
2. Tanda Syukur atas segala nikmatnya yang tak terhingga
3. Wajib beribadah karena merupakan konsekuensi dari janjinya saat berada
didalam rahim
4. Syarat dari memperoleh rahmat Allah
5. Beribadah kepada Allah merupakan tugas para rasul yang diajarkan
kepada manusia
6. Karena ialah yang paling tepat untuk di sembah.
F. Bentuk-Bentuk Ibadah
1. Shalat (Sendi dan Induk Ibadah)
Salat (bahasa Arab: صالة; transliterasi: Sholat), merujuk kepada
ritual ibadah pemeluk agama Islam. Menurut syariat Islam, praktik salat
harus sesuai dengan segala petunjuk tata cara Nabi Muhammad, sebagai
figur pengejawantah perintahAllah. Umat muslim diperintahkan untuk
mendirikan salat, karena menurut Surah Al-'Ankabut dapat mencegah
perbuatan keji dan mungkar:
25
Artinya :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-
Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya, mengingat
Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang
lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." – (QS.29:45)
a. Pengertian Shalat
Secara bahasa salat berasal dari bahasa Arab yang memiliki
arti, doa. Sedangkan, menurut istilah, salat bermakna serangkaian
kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul
ihram dan diakhiri dengan salam. Sedangkan menurut istilah syara’,
shalat berarti perbuatan khusus seorang muslim yang berisi bacaan-
bacaan dan gerakan-gerakan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.
b. Hukum Shalat
Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad telah memberikan
peringatan keras kepada orang yang suka meninggalkan salat wajib,
mereka akan dihukumi menjadi kafir dan mereka yang meninggalkan
salat maka pada hari kiamat akan disandingkan bersama dengan orang-
orang, seperti Qarun, Fir'aun, Haman dan Ubay bin Khalaf.
26
Hukum salat dapat dikategorisasikan sebagai berikut:
1) Fardu , Salat fardhu ialah salat yang diwajibkan untuk
mengerjakannya. Salat fardhu terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
a) Fardu ain adalah kewajiban yang diwajibkan
kepada mukallaf langsung berkaitan dengan dirinya dan tidak
boleh ditinggalkan ataupun dilaksanakan oleh orang lain,
seperti salat lima waktu, dansalat Jumat (fardhu 'ain untuk
pria).
b) Fardu kifayah adalah kewajiban yang diwajibkan kepada
mukallaf tidak langsung berkaitan dengan dirinya. Kewajiban
itu menjadi sunnah setelah ada sebagian orang yang
mengerjakannya. Akan tetapi bila tidak ada orang yang
mengerjakannya maka kita wajib mengerjakannya dan menjadi
berdosa bila tidak dikerjakan, seperti salat jenazah.
2) Salat sunah (salat nafilah) adalah salat-salat yang dianjurkan atau
disunnahkan akan tetapi tidak diwajibkan. Salat nafilah terbagi lagi
menjadi dua, yaitu:
a. Nafil muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan dengan
penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti salat
dua hari raya, salat sunah witir dan salat sunah thawaf.
b. Nafil ghairu muakkad adalah salat sunah yang dianjurkan tanpa
penekanan yang kuat, seperti salat sunah Rawatib dan salat
sunah yang sifatnya insidentil (tergantung waktu dan keadaan,
seperti salat kusuf/khusuf hanya dikerjakan ketika terjadi
gerhana).
27
c. Rukun Shalat
1. Berdiri bagi yang mampu.2. Takbiratul ihram.3. Membaca surat Al Fatihah pada tiap rakaat.4. Rukuk dan tuma’ninah.5. Iktidal setelah rukuk dan tuma'ninah.6. Sujud dua kali dengan tuma'ninah.7. Duduk antara dua sujud dengan tuma'ninah.8. Duduk dan membaca tasyahud akhir.9. Membaca salawat nabi pada tasyahud akhir.10. Membaca salam yang pertama.11. Tertib melakukan rukun secara berurutan.
d. Fungsi Shalat
Dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 103 Allah Swt berfirman
yang artinya : " Shalat merupakan suatu kewajiban bagi orang-orang
beriman yang sudah ditentukan waktunya ". Sebagai kewajiban yang
bersifat sentral, maka shalat tidak cukup dikerjakan sekaligus, akan
tetapi dikerjakan secara bersistem sepanjang hidup manusia. Oleh
karena itu perintah shalat bukan untuk mengerjakan, tetapi mendirikan
( iqaam al-shalaat ), yaitu mengerjakan dengan mengikuti sistemnya
atau dengan kata lain dikerjakan menurut kaidah-kaidah tata cara yang
telah ditentukan dalam syari'at islam. Karena apabila tidak demkian,
maka shalat itu tidak akan pernah memiliki fungsi sebagaimana
maksud atau tujuan diperintahkannya shalat oleh Allah Swt. Jika
shalat dikerjakan tanpa mengikuti sistemnya, maka yang tertinggal
hanyalah bentuk ritual shalat yang tidak relevan dengan fungsinya.
Adapun fungsi-fungsi shalat tersebut adalah :
28
1. Shalat Sebagai Media Komunikasi Seorang Hamba Dengan
Sang Khaliq
Komunikasi antara seorang hamba dengan sang Khaliq, dapat
berupa permintaan ( do'a ), pengaduan, konsultasi, permohonan dan
bahkan bisa juga sebagai pelepas kerinduan. Shalat Istikharah
misalnya, dimana shalat ini merupakan suatu bentuk permintaan
seorang hamba kepada sang khaliq agar diberikan kemampuan atau
petunjuk tentang suatu pilihan yang sulit untuk diputuskan oleh
seorang hamba. Sikap percaya seorang hamba kepada Allah Swt yang
maha mengetahui tentang baik dan buruknya suatu perkara, yang maha
kuasa untuk memberi petunjuk terhadap suatu pilihan, membuat
seorang hamba untuk bergantung pada petunjuk yang diberikan oleh
Allah Swt. Ini tergambar pada teks do'a Shalat Istikharah sebagaimana
yang diajarkan Rasulullah Saw. ( baca do'a Shalat Istilharah ).
Tentang jawaban dari do'a istikharah ini dapat diketahui
melalui isyarat-isyarat, yaitu : nawmiyah ( isyarat mimpi ), melalui
nasihat atau saran dari para tokoh atau orang banyak yang bisa masuk
akal dan menyejukkan, melalui isyarat ketajaman nurani atau mata
bathin kita dimana hati kita menjadi sangat yakin atas pilihan kita
walaupun banyak orang yang menentangnya.
Jika seorang hamba mempunyai permintaan khusus kepada
Allah, maka kita dianjurkan untuk melaksakan shalat hajat,
selanjutnya jika seorang hamba ingin bermesraan dan melepas
kerinduan, atau ingin taqarrub kepada Allah, maka dapat kita
lakukan shalat tahajjud karena didalamnya adanafilah-nafilah ( nilai
plus ) dari Allah terhadap yang tetap menegakkannya, sebagaimana
Allah menjelaskan dalam firmannya pada Surat Al-Isra yang
29
artinya : " Dan pada sebahagian malam bertahajjudlah kalian sebagai
tambahan, semoga Allah mengangkat derajatmu ketempat yang terpuji
"
2. Shalat Sebagai Zikir
Didalam Al-Qur'an surat Thaaha secara tagas Allah Swt
sebutkan bahwa tujuan shalat adalah agar manusia selalu ingat kepada
Allah Swt. Dengan demikian maka shalat secara fungsional memang
dimaksudkan agar manusia selalu ingat kepada Allah Swt ( wa aqim-i
'l-shalaata li zikri ) dirikan shalat untuk mengingat Ku. Mengapa shalat
diwajibkan lima kali sehari ? ini nampaknya sangat relevan dengan
tabi,at manusia yang suka lupa, mudah tergoda, mudah terpengaruh
oleh bisikan-bisikan yang silih berganti. Itulah sebabnya waktu-waktu
antara shalat yang satu dengan shalat yang lainnya sudah ditentukan,
dan ketika jarak antara waktu shalat yang satu dengan yang lainnya
cukup lama, maka ada shalat-shalat tertentu yang memiliki fadhilah-
fadhilah yang luar biasa dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah Saw
seperti antara waktu Isya dan subuh ada shalat tahajjud, antara waktu
subuh dan zhuhur ada shalat d, ini terkait dengan hati manusia yang
selalu berubah-ubah.
Selanjutnya tentang bacaan shalat yang diajarkan oleh Rasulullah
Saw pada umumnya merupakan zikir kepada Allah Swt baik dalam
bentuk pujian maupun do'a. Kalimat zikir mengandung arti mengingat
dan menyebut. Bagi orang-orang awam, sekurang-kurangnya dalam
lima waktu setiap harinya menyebut nama Allah, bagi orang alim dan
arif, shalat lima waktu berfungsi sebagai rangkaian waktu untuk
memelihara keakraban hubungannya dengan Allah, dan selanjutnya
bagi orang-orang yang termasuk katagori arifin ( arif billah ) yang
30
pusat perhatian dan hidupnya adalah shalat dan senantiasa menunggu
tibanya waktu shalat berikutnya, sehingga tak sedikitpun ada waktu
yang terlewatkan untuk mengingat Allah Swt.
3). Shalat Sebagai Pembentuk Tingkah Laku
Dari segi jadwal, jika seorang mukmin disiplin dalam mengerjakan
kewajiban shalat, apalagi jika ditampah dengan memperbanyak shalat-
shalat sunnat yang mengiringinya ( shalat rawatib ), maka padanya
akan terpola aktifitas hidup kita selama sehari semalam ( 24 jam ), dari
sejak kita bangun tidur hingga kita kembali ketempat tidur, bagaimana
menyangkut kebersihan diri kita baik dari na'jis ataupun kotoran-
kotoran lainnya, bagaimana menutup aurat, bagaimana tutur kata kita,
bagaimana kita harus berprilaku secara sopan dan rendah hati
sebenarnya sudah terpola dalam setiap gerakan shalat yang telah
diajarkan kepada kita, bagaimana kita berdiri, rukuk, sujud duduk dan
lain sebagainya.
Selanjutnya didalam shalat berjama'ah juga telah terpola etika
berjama'ah yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat,
seperti bagaimana memilih seorang imam ( pemimpin ), bagaimana
keharusan sebagai makmum untuk mematuhi pemimpin yang
disepakati, bagaimana hak makmum jika imam ( pemimpin )
melakukan kekeliruan semuanya sudah diatur.
2. Puasa (Ibadah yang melibatkan Hawa Nafsu)
Saum (bahasa Arab: صوم, transliterasi: Shuwam) adalah
menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa
membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari,
31
dengan syarat tertentu, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim.
Berpuasa (saum) merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Saum
secara bahasa artinya menahan atau mencegah.
a. Jenis-Jenis Puasa
Puasa dibagi menjadi dua hukum, wajib dan sunnah (dianjurkan). Berikut penjelasan lebih rincinya:
Puasa wajib
Puasa yang hukumnya wajib adalah puasa yang harus dikerjakan dan akan mendapatkan pahala, kemudian jika tidak dikerjakan akan mendapatkan dosa. Puasa-puasa wajib adalah sebagai berikut:
1) Puasa Ramadan,
2) Puasa karena nadzar,
3) Puasa kifarat atau denda.
Puasa sunnah
Puasa yang hukumnya sunnah adalah puasa yang jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Puasa-puasa sunnah adalah sebagai berikut:
1) Puasa 6 hari di bulan Syawal selain hari raya Idul Fitri,
2) Puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah bagi orang-orang yang
tidak menunaikan ibadah haji,
3) Puasa Tarwiyah pada tanggal 8 Dzulhijah bagi orang-orang yang
tidak menunaikan ibadah haji,
4) Puasa Senin dan Kamis,
5) Puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak), bertujuan untuk
meneladani puasanya Nabi Daud,
6) Puasa 'Asyura (pada bulan muharram), dilakukan pada tanggal 10,
7) Puasa 3 hari pada pertengahan bulan (menurut kalender islam)
(Yaumul Bidh), tanggal 13, 14, dan 15,
32
8) Puasa Sya'ban (Nisfu Sya'ban) pada awal pertengahan bulan
Sya'ban,
9) Puasa bulan Haram (Asyhurul Hurum) yaitu bulan Dzulkaidah,
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
b. Syarat dan Rukun Puasa
Dalam menjalankan saum ini ada beberapa syarat wajib dan syarat syah yang harus diperhatikan menurut syariat Islam.
Syarat wajib puasa
1) Beragama Islam,
2) Berakal sehat,
3) Baligh (sudah cukup umur),
4) Mampu melaksanakannya.
Syarat sah puasa
1) Islam (tidak murtad),
2) Mummayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk),
3) Suci dari haid dan nifas (khusus bagi wanita),
4) Mengetahui waktu diterimanya puasa.
Rukun puasa
1) Islam,
2) Niat,
3) Meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit
fajar hingga terbenam matahari.
c. Haram dan Makruh Berpuasa
Umat Islam diharamkan berpuasa pada waktu-waktu berikut ini:[1][2]
33
1) Hari raya Idul Fitri, yaitu pada (1 Syawal),
2) Hari raya Idul Adha, yaitu pada (10 Zulhijjah),
3) Hari-hari tasyrik, yaitu pada 11, 12, dan 13 Zulhijjah,
4) Hari syak, yaitu pada 30 Syaban,
5) Puasa selamanya,
6) Wanita saat sedang haid atau nifas,
7) Puasa sunnah bagi wanita tanpa izin suaminya.
Kemudian waktu makruh untuk berpuasa adalah ketika puasa dikhususkan pada hari Jumat, tanpa diselingi puasa sebelumnya atau sesudahnya.
d. Hal-Hal yang membatalkan Puasa
Puasa akan batal jika;
1. Masuknya benda (seperti nasi, air, asap rokok dan sebagainya) ke
dalam rongga badan dengan disengaja,
2. Bersetubuh,
3. Muntah dengan disengaja,
4. Keluar mani (istimna' ) dengan disengaja,
5. Haid (datang bulan) dan Nifas (melahirkan anak),
6. Hilang akal (gila atau pingsan),
7. Murtad (keluar dari agama Islam).
Dari kesemua pembatal puasa ada pengecualiannya, yaitu makan, minum dan bersetubuhnya orang yang sedang berpuasa tidak akan batal ketika seseorang itu lupa bahwa ia sedang berpuasa.
e. Hal-Hal yang membatalkan Puasa
Berikut ini adalah orang yang boleh membatalkan puasa wajib (puasa Ramadhan):
1) Wajib mengqadha
34
Orang-orang yang tersebut di bawah ini, boleh tidak berpuasa,
tetapi wajib mengganti puasanya di hari lain (qada), sebanyak
hari yang ditinggalkan.
a) Orang yang sakit, yang ada harapan untuk sembuh,
b) Orang yang bepergian jauh (musafir) sedikitnya 89 km dari
tempat tinggalnya,
c) Orang yang hamil, yang khawatir akan keadaannya atau bayi
yang dikandungnya,
d) Orang yang sedang menyusui anak, yang khawatir akan
keadaannya atau anaknya,
e) Orang yang sedang haid (datang bulan), melahirkan anak dan
nifas,
f) Orang yang batal puasanya dengan suatu hal yang
membatalkannya selain bersetubuh,
2) Wajib mengqadha dan wajib fidyah
Orang-orang di bawah ini tidak wajib qada (menggantikan puasa
di hari lain), tetapi wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan
orang miskin setiap hari yang ia tidak berpuasa, berupa bahan
makanan pokok sebanyak 1 mud (576 gram),
a) Orang yang sakit yang tidak ada harapan akan sembuhnya,
b) Orang tua yang sangat lemah dan tidak kuat lagi berpuasa.
3) Wajib mengqadha dan kifarat
Orang yang membatalkan puasa wajibnya dengan bersetubuh,
wajib melakukan kifarat dan qadha. Kifarat ialah memerdekakan
hamba sahaya yang mukmin. Jika tidak ada hamba sahaya yang
mukmin maka wajib berpuasa dua bulan berturut-turut (selain
qadha' menggantikan hari yang ditinggalkan), jika tidak bisa,
wajib memberi makan 60 orang miskin, masing-masing
sebanyak 1 mud (576 gram) berupa bahan makanan pokok.
35
f. Fungi/Keutamaan, dan Hikmah Puasa
Keutamaan
Ibadah puasa Ramadhan yang diwajibkan Allah kepada setiap mukmin adalah ibadah yang ditujukan untuk menghamba kepada Allah seperti yang tertera dalam sebuah surah dalam al-Qur'an, yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al-Baqarah 2:183)”
Keutamaan puasa menurut syariat Islam adalah, orang-orang yg berpuasa akan melewati sebuah pintu surga yang bernama Rayyan, dan keutamaan lainnya adalah Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka, sejauh 70 tahun perjalanan.
Hikmah
Hikmah dari ibadah shaum itu sendiri adalah melatih manusia untuk sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah gigih dan ulet seperti yang dimaksud dalam Ali ‘Imran/3: 146. Di antara hikmah dan faedah puasa selain untuk menjadi orang yang bertakwa adalah sebagai berikut:
Pendidikan/latihan rohani,
1) Mendidik jiwa agar dapat menguasai diri,
2) Mendidik nafsu agar tidak senantiasa dimanjakan dan dituruti,
3) Mendidik jiwa untuk dapat memegang amanat dengan sebaik-
baiknya,
4) Mendidik kesabaran dan ketabahan.
Perbaikan pergaulan
36
Orang yang berpuasa akan merasakan segala kesusahan fakir miskin yang banyak menderita kelaparan dan kekurangan. Dengan demikian akan timbul rasa suka menolong kepada orang-orang yang menderita.
Kesehatan
Ibadah puasa Ramadhan akan membawa faedah bagi kesehatan rohani dan jasmani jika pelaksanaannya sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan, jika tidak maka hasilnya tidaklah seberapa, malah mungkin ibadah puasa kita sia-sia saja.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A'Raaf 7:31)
3. Zakat (Wujud Ibadah Sosial)
a. Pengertian Zakat
Zakat secara bahasa berasal dari kata “zaka” yang berarti
mensucikan. Secara istilah syara’, Sayid Sabiq mengartikan zakat
sebagai nama atau sebutan dari sesuatu hak Allah yang dikeluarkan
seseorang kepada fakir miskin. Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid,
zakat yaitu kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak
menerimanya dengan beberapa syarat. Jadi zakat ialah sebagian
kekayaan yang diambil dari milik seseorang yang punya dan diberikan
kepada orang yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan.
Zakat dapat dikatakan sebagai usaha mensucikan diri dari
kemungkinan pemiliknya cinta yang berlebih-lebihan kepada harta dan
dari kemungkinan memiliki harta kotor yang disebabkan
bercampurnya harta yang bersih dengan harta yang menjadi hak orang
lain dengan jalan memberikan sebagian hartanya kepada orang yang
berhak menerimanya.
37
Bagi orang yang mengeluarkan zakat (muzakki), zakat
memiliki fungsi sebagai wujud dari ketaatan atas perintah Allah dan
sekaligus merupakan cara pembersihan dan pensucian harta yang
dimilikinya, serta merupakan wujud kepedulian sosial dari orang yang
mapu kepada orang yang lemah.
Zakat lebih diarahkan pada panyantunan kaum dhu’afa yang
secara langsung diberikan dalam bentuk bahan konsumtif atau dengan
cara diarahkan pada kegiatan produktif guna peningkatan kemampuan
golongan ekonomi lemah sehingga mereka dapat keluar dari
kemiskinan.
b. Fungsi Zakat
Zakat memiliki fungsi yang besar, baik bagi muzakki, mustahiq
maupun bagi masyarakat muslim pada umumnya. Bagi muzakki zakat
berarti mendidik jiwa untuk suka berkorban dan membersihkan jiwa
dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang biasanya menyertai
pemilikan harta yang banyak dan berlebihan.
Bagi mustahiq, zakat memberikan harapan adanya perubahan
nasib dan sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan
terhadap orang-orang kaya. Dengan demikian, jurang pemisah antara
orang kaya dan orang miskin dapat dihilangkan.
Bagi masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat
pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di kalangan umat islam.
Dalam tata masyarakat muslim tidak terjadi monopoli, melainkan
sistem ekonomi yang menekankan kepada mekanisme kerja sama dan
tolong menolong. Sedangkan zakat fitrah lebih bermakna praktis, yaitu
pemberian yang bersifat konsumtif mendorong kebersamaan umat
38
dalam menandai dari raya dengan kegembiraan bersama,
menghilangkan kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.
Zakat merupakan ibadah materi atau harta benda yang harus
dikeluarkan oleh orang kaya untuk dapat memberikan pertolongan
kepada orang miskin sehingga mereka dapat memnuhi kebutuhannya
atau memberikan bantuan guna kepentingan umum di tengah
masyarakat. Zakat itu hukumnya wajib atas orang kaya yang
mempunyai harta lebih daripada apa yang dihajatkannya serta hajat
kaum keluarga yang wajib dibiayainya, diambilkan dari harta bendanya
yang berupa uang atau nilai barang-barang perniagaannya, seperti
ternak dan hasil panen sawah dan ladang menurut ukuran yang telah
diketahui oleh kaum muslimin yang hasilnya dapat menutupi hajat
orang-orang fakir miskin serta kepentingan umum dan tidak akan
mencekik leher orang-orang yang mempunyai harta benda tersebut.
Dengan ibadah zakat ini islam telah berdiri dalam menghadapi
kemusykilan persoalan harta benda bagi kaum muslimin pada suatu
batas pertengahan yang akan memelihara mereka daripada
kesewenang-wenangan harta benda yang merusak, yang menyebabkan
harta-harta itu tertumpuk pada beberapa gelintir manusia saja pada
suatu bangsa, sementara bagian terbesar dari bangsa itu tidak
mempunyai apa-apa. Demikian pula ibadat zakat ini akan memelihara
kaum muslimin daripada kejahatan anarkisme yang licik yang dapat
membawa terhadap keruntuhan masyarakat yang dapat menghilangkan
kegiatan-kegiatan pribadi dan tertimbunnya harta kekayaan dalam
tangan yang memerintah atas nama masyarakat.
Ibadah zakat juga merupakan peraturan agama yang akan
memelihara kemerdekaan dan kebebasan bagi perseorangan dalam
39
bekerja, berusaha dan menjaga hak masyarakat atas perseorangan di
dalam bentuk pertolongan dan gotong royong. Dengan demikian, zakat
menampakkan prinsip islam yang umum yaitu memikulkan kepada
perseorangan sebagian dari hak-hak masyarakat dan sebaliknya
memikulkan kepada masyarakat sebagian dari hak-hak perseorangan.
Zakat merupakan ibadah yang bersifat materi dari umat untuk
umat, khususnya dari yang mampu kepada yang tidak mampu, karena
zakat merupakan pembelanjaan sebagian harta orang-orang kaya
kepada fakir miskin. Dengan kata lain zakat merupakan pemindahan
harta kekayaan umat dari suatu tangan (yaitu tangan yang diberi tugas
oleh Allah untuk memelihara, memperkembangkan dan
mempergunakannya secara leluasa, yaitu orang-orang kaya) kepada
tangan-tangan yang lain (yaitu orang-orang fakir miskin yang hidupnya
menderita, yang hasil usahanya tidak dapat mencukupi hajatnya sendiri
atau bahkan sama sekali tiada kuasa untuk berusaha dan rezekinya
dijadikan Allah tergantung kepada dan dari harta orang-orang kaya
tadi).
4. Haji (Puncak Ibadah dan Pengorbanan Lahir Batin)
a. Makna dan Tujuan
Haji secara bahasa artinya menyengaja sesuatu. Sedangkan secara
istilah syara’ yang dimaksud haji itu ialah menyengaja mengunjungi
ka’bah untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan syarat-syarat
yang tertentu.
Haji merupakan suatu ibadah yang sudah dikenal sejak zaman
sebelum Nabi Muhammad SAW yang menuntut dari orang yang
melaksanakannya supaya dikerjakan dengan hati, badan dan hartanya
yang berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya. Haji ini wajib dikerjakan
40
oleh orang muslim yang sanggup melakukannya di masa-masa tertentu
dan tempat-tempat yang tertentu pula, yang harus dilakukan atas dasar
karena Allah dan semata-mata mengharap ridha Allah. Dan ibadah haji
itu dimulai dengan niat haji karena Allah, dilakukan dengan penuh
keikhlasan dengan tanpa memakai pakaian yang berjahit, dan barang-
barang mewah. Dalam ibadah haji, tidak ada perbedaan antara kaya dan
miskin , antara pejabat dan rakyat biasa.
Ibadah haji pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s yang
disuruh membangun Baitullah di Mekkah agar supaya orang-orang
thawaf di sekelilingnya dan menyebut nama Allah sewaktu
mengerjakannya . Nabi Ibrahim a.s kemudian melaksanakan perintah
Allah SWT dan membangun Baitullah, dan mengajak manusia untuk
melakukan haji ke sana dan disuruhnya pula anak cucunya untuk
bertempat tinggal di tempat itu. Sejak itu, orang-orang Arab pun
berdatangan mengunjungi Baitullah yang telah dibina oleh Nabi
Ibrahim a.s itu untuk melakukan ibadah haji, menyembah Allah
menurut apa yang telah ditentukannya. Ibadah haji ini selanjutnya
diwajibkan kepada setiap orang muslim yang mempunyai kemampuan
satu kali seumur hidup . Allah SWT dalam salah satu firman-Nya
menjelaskan : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah” (Q.S 3:97)
b. Tata Cara Haji
Ibadah haji dilakukan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang
dikerjakan secara fisik berupa ihram, thawaf, sa’i, wuquf, mabit,
melempar jumrah, dan tahallul. Penjelasan dari masing-masing
tindakan ibadah haji tersebut adalah sebagai berikut:
41
1) Ihram (Berniat melakukan haji atau umrah)
Niat haji dilakukan bersamaan dengan mengenakan pakaian
ihram, yaitu pakaian tanpa berjahit, sebagai simbol kehidupan yang
mempunyai dua makna sebagai berikut:
Pertama, melepaskan diri dari kemewahan-kemewahan jasmani
dan kesenangan-kesenangan duniawi, seperti berdandan, bersolek
dengan harum-haruman, dan mencukur rambut dan meninggalkan
apa-apa yang dilarang Allah, sebagaimana dijelaskan dalam
firmanNya: “Tidak boleh melakukan jima’, perbuatan jahat dan
pula tidak boleh berbantah-bantahan di waktu haji” (Q.S Al-
baqarah:179)
Kedua, sebagai sambutan atas panggilan Allah, yang berupa
seruan keras dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma labbaik”.
Seruan ini disebut dengan “Talbiyah”. Seruan ini merupakan
lambang pengakuan bahwa yang berhaji mendengar dan siap
menuruti perintah Allah SWT; senantiasa bersegera untuk
menunaikan perintah-perintah tersebut; dan bahwasannya Allah
SWT adalah Tuhan yang menguasai segala yang ada serta
penegasan bahwa tidak ada sesuatu pun yang berhak dipuji,
disyukuri nikmatnya dan ditunaikan perintah-perintahNya kecuali
Dia.
Ihram dilakukan pada tempat-tempat tertentu yang telah
ditetapkan oleh Nabi SAW yang disebut dengan “miqat makani”.
Ada lima tempat untuk mulai melakukan ihram.
a) Dzul-Hulaifah, sebagai miqat bagi jemaah haji yang datang dari
arah Madinah.
42
b) Juhfah, sebagai miqat bagi jemaah haji yang datang dari arah
Siria
c) Dzatu ‘irqin, sebagai miqat bagi jemaah haji yang datang dari
arah timur-laut Mekah.
d) Qarnul-Manazil, sebagai miqat bagi jemaah haji yang datang
dari arah timur Mekah.
e) Yalamlam, sebagai miqat bagi jemaah haji yang datang dari
arah selatan mekah.
2) Thawaf
Yaitu bentuk ibadah yang berupa tindakan mengelilingi Kabah
sebanyak tujuh kali putaran, bergerak berlawan dengan arah jarum
jam. Dimulai dari sudut Kabah tempat beradanya Hajar Aswad.
Ada tiga jenis thawaf dalam ibadah haji, yaitu:
a) Thawaf qudum, yakni thawaf selamat datang yang dilaksanakan
begitu masuk ke Mesjid Haram, yang merupakan penghormatan
terhadapnya dan sebagai ganti shalat tahiyyatul-masjid.
b) Thawaf Ifadhah, yakni thawaf yang merupakan rukun haji.
Dilakukan mulai tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah.
c) Thawaf wada’, yakni thawaf selama tinggal, yang dilakukan
oleh jemaah haji tatkala akan meninggalkan kota suci Mekkah.
3) Sa’i antara Shafa dan Marwah
Sa’i artinya berjalan cepat. Sa’i sebagai tindakan ibadah haji
adalah berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, sebanyak tujuh
balikan, yang dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit
Marwah. Tindakan Sa’i ini termasuk ke dalam wajib haji, yang
43
dilakukan setelah thawaf qudum di dalam Sa’i tersebut, seorang
haji meminta ampunan dari permohonan maaf kepada Allah.
Sa’i juga merupakan ibadah napak tilas, mengingat kembali
perjuangan Siti Hajar tatkala mencari air untuk minum bagi diri dan
anaknya, Ismail alaihissalam.
4) Wuquf di Arafah
Yang dimaksud wuquf adalah hadir di padang Arafah, yaitu suatu
dataran yang luas tanpa penduduk di luar kota Mekah, pada tanggal
9 Dzulhijjah. Wuquf di Arafah berguna untuk mengingat kejadian
sejarah masa lampau dan berdzikir memuji Tuhan, baik dalam
keadaan duduk maupun berbaring. Wuquf dapat dipandang sah
dengan berada di sana pada suatu waktu di antara hari yang ke
sembilan itu, sejak dari waktu dzuhur hingga terbit fajar pada hari
ke sepuluh. Memperpanjang waktu wuquf hingga mencapai
sebagian malam adalah lebih utama dan lebih sempurna. Wuquf di
Arafah ini adalah merupakan upacara ibadah haji yang terpenting
hingga Rasulullah pernah bersabda: “Haji itu adalah wuquf di
Arafah”.
5) Mabit di Muzdalifah
Mabit artinya bermalam atau lewat malam. Setelah selesai
melakukan wuquf di Arafah, yang berhaji berangkat menuju
Muzdalifah. Di sini ia melewatkan malam tanggal 10 Dzulhijjah,
sebelum sampai di Mina.
6) Mabit di Mina
44
Pada pagi hari tanggal 10 itu haji berada di Mina untuk
melaksanakan mabit selama dua malam atau tiga malam. Selama di
Mina yang berhaji melakukan tindakan melontar jumrah dan pada
hari nahar (pengorbanan) melakukan penyembelihan hewan qurban.
7) Melontar Jumrah
Di Mina yang berhaji melakukan lontaran pada Jumrah sebagai
simbol yang menyatakan ketetapan hatinya untuk meninggalkan
dorongan-dorongan jiwa syaitoniah yang jahat. Ia mengulang-ulang
perbuatan itu guna menguatkan ketetapan tersebut.
Ada tiga jumrah, yang disebut dengan Jamarat, tempat seorang
haji melakukan lontaran, yaitu Jumrah Aqabah, Jumrah Wustha,
dan Jumrah Ula. Masing-masing lontaran dilakukan dengan tujuh
buah batu. Selama di Mina, seorang haji melontar ketiga Jumrah
tersebut setiap hari, kecuali pada hari pertama, ia hanya melakukan
lontaran pada Jumrah Aqabah saja. Sedangkan pada hari-hari
selanjutnya, ia melakukan lontaran pada ketiga Jumrah setiap
harinya, dimulai dari Jumrah Ula, kemudian Jumrah Wustha dan
diakhiri dengan Jumrah Aqabah.
8) Tahallul (Melepaskan diri dari Ihram)
Tahallul artinya melepaskan diri dari keadaan ihram, yaitu
kondisi mengharamkan segala kegiatan sehari-hari di luar ibadah
haji, selain yang dibolehkan. Tahallul dilakukan dengan cara
bercukur rambut kepada atau memotong sebagian daripadanya dan
kemudian melepaskan pakaian ihramnya.
45
Ada dua jenis tahallul dalam haji, yaitu: tahallul pertama, yaitu
tahallul setelah melakukan lontar Jumrah Aqabah pertama pada hari
10 Dzulhijjah, sebelum thawaf ifadhah. Tahallul kedua, yaitu
tahallul yang dilakukan setelah melakukan thawaf ifadhah.
Apabila seorang haji telah menyelesaikan pekerjaan hajinya dan
dia telah melakukan thawaf ifadhah, kemudian dia sudah akan
berangkat pulang ke negerinya, maka dia pun diharuskan
melakukan thawaf sekali lagi, yang disebut thawaf wada’, yaitu
thawaf selamat tinggal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan
kepatuhan. Menyembah atau penghambaan. Penghambaan seorang manusia
kepada Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya sebagai realisasi dari
pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk yang diciptakan Allah.
46
Batasan esensi ibadah ialah tunduk meyakini uluhiyah (Ketuhanan)
yang disembah, meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa hanya Allah yang
menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini (rububiyah), Amal
perbuatan khusus yang bersifat tertentu yang secara khas bersifat keagamaan,
atau sering disebut dengan istilah ‘ubudiyah
Macam-Macam Ibadah terbagi atas 2 bagian yaitu Ibadah Mahdhah
yang artinya ibadah yang murni ibadah, jadi semata-mata tujuannya untuk cari
pahala, yakni beribadah kepada Allaah subhanahu wa ta’ala. Dan yang kedua
adalah Ibadah Ghoiru Mahdhah yaitu ibadah yang tidak murni ibadah. Satu
sisi ibadah ini bisa bernilai ibadah (ada pahalanya) jika diniatkan karena
Allah, dan bisa tidak bernilai ibadah jika hanya berniat untuk dunia.
Ibadah adalah tugas manusia yang perlu dihayati dan diamalkan tanpa
terkecuali, yang merupakan kewajiban dari umat muslim sebagai hamba Allah
SWT. Karena Allah SWT tidak semata-mata menciptakan manusia
melainkan supaya mengabdi dan beribadah kepada-Nya.
Manusia berfungsi sebagai khalifah dan berstatus sebagai hamba
merupakan perpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika
hidup yang sarat dengan kreatif dan amaliyah yang selalu berpihak pada nilai-
nilai kebenaran. Karena itu hidup seorang muslim akan dipenuhi dengan
amaliah, dan kerja keras tiada henti. Kedudukan manusia sebagai khalifah dan
hamba bukan dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu
dan tak terpisahkan. Kekhalifahan adalah realisasi dari pengabdian seseorang
kepada Allah SWT.
Bentuk-bentuk ibadah antara lain adalah Shalat sebagai sendi dan
induk dari ibadah, Puasa sebagai ibadah yang melatih hawa nafsu, zakat
sebagi Ibadah yang berwujud sosial, dan haji sebagi puncak ibadah dan
pengorbanan lahir & batin.
47
DAFTAR PUSTAKA
Fauz. 2013. Fungsi Shalat,
http://kang-fauz.blogspot.com/2013/06/fungsi-sholat-dalam-al-quran.html.
Hamba Allah.2010. Kewajiban Ibadah,
http://tausiyahhidup.blogspot.com/2010/01/kewajiban-beribadah.html.
Yefri. 2013. Macam-macam
ibadah,http://udayefri.wordpress.com/2013/10/08/ibadah-madhoh-dan-
ghoiru-mahdhoh/
48
Mazinu. 2014. Contoh Penulisan Daftar Pustaka,
http://mazinubersahabat.blogspot.com/2014/02/contoh-penulisan-daftar-
pustaka-yang.html
Wikipedia. 2014. Pengertian shaum.
http://id.wikipedia.org/wiki/Saum
Rohendi, Edi, Titing Rohayati, Jenuri. 2014. Rizki Press