Post on 13-Apr-2016
description
TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU DAN PEMBELAJARAN AKTIF DI TINGKAT SMA
ABSTRAK
Mareike S. D. LotulungUniversitas Klabat
mareikelotulung@unklab.ac.id
Penelitian ini mencari korelasi antara tindak tutur direktif (TTD) dan pembelajaran aktif guru (BA). Variabel independent adalah TTD yang dibagi atas (1) perintah, (2) permintaan, dan (3) saran, oleh Keidler (1998). Sedangkan variabel terikat adalah BA. Responden adalah 138 siswa pada dua SMA yang mengisi kuesioner berisi 52 item, dijalankan pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Pengelolaan data menggunakan statistik deskriptif, ANOVA dan korelasi Pearson. Temuan antara lain TTD yang sedang dan dominan dengan permintaan, yang pada sekolah swasta lebih lembut dan mengarah kepada saran. Tingkat BA yang cukup aktif (cukup tinggi), dan pada sekolah negeri lebih tinggi (lebih aktif). Guru yang lebih dekat kepada siswa memiliki BA yang lebih tinggi. Korelasi lemah dan negative antara TTD dan BA juga ditemukan. Rekomendasi pada guru untuk menggunakan berbagai jenis tindak tutur direktif, terutama tuturan yang tegas untuk meningkatkan BA. Rekomendasi lainnya meningkatkan BA dengan kedekatan guru dan siswa yang erat.
This research sought correlation of teacher directive discourse (TDD) and teacher active learning (TAL). The independent variable was TDD, which was divided into command, request, and suggestion by Keidler (1998). The dependent variable is TAL. Respondents were 138 students in two high schools filling up a self-constructed and validated 52-item questionnaire. The questionnaire were distributed twice, in Mathematic and English subjects. Data treatment includes descriptive statistics, ANOVA and Pearson Correlation. Finding includes a moderate level and dominantly request type of TDD, which in the private school was significantly subtler (more on suggestion). The TAL level was quite high (quite active), and in the public school was significantly higher (more active). Teachers who maintain tight closeness have significantly higher TAL. A significant, weak and negative correlation between TDD and TAL were also found. Teachers are recommended to use various types of TTD, and less on suggestion. Firm commands are needed to obtain active participation. Increasing TAL is also recommended by promoting close relationship between teacher and student.
Pembelajaran Aktif
Pembelajaran aktif adalah suatu pendekatan kepada pembelajaran yang
memusatkan orientasi kegiatan kelas kepada siswa bukan kepada guru. Siswa harus aktif
karena tugas utama belajar adalah siswa, bukan guru. Sebaik-baiknya guru mengajar,
1
atau selengkap-lengkapnya fasilitas pembelajaran dan teknologi pendidikan, namun bila
siswa tidak belajar, maka hal itu sia-sia. Pembelajaran aktif dilakukan oleh siswa sendiri,
dimana mereka membentuk pengetahuan baru melalui interaksi belajar mengajar.
Dengan demikian pendalaman suatu materi tidak terbatasi oleh buku teks ataupun
pengetahuan guru, melainkan menggunakan lingkungan dan media. Guru tidak lagi
memegang kendali penuh atas perkembangan pembelajaran, sehingga apa yang dipelajari
tidak terbatas atas apa yang dikuasai guru saja.
Pendekatan belajar aktif sudah dikenal dan dicanangkan dalam sistem
pembelajaran di Indonesia sejak tahun 80-an, melalui program CBSA (Cara belajar siswa
aktif). Sejak itu, program belajar aktif terus digiatkan pemerintah lewat program-
program lailnnya, terutama program pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan (PAKEM) pada akhir tahun 90-an dan CTL (Contextual Teaching and
Learning) pada awal 2000-an. Pada tahun 2005, konsep belajar aktif dimasukan sebagai
bagian dari standar nasional melalui suatu peraturan pemerintah. Pemerintah (PP No 19,
2005: Ps 19 Ay 1) menyatakan bahwa proses belajar-mengajar pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan minat, bakat, dan perkembangan fisik serta
psikologis siswa. Pemerintah Indonesia juga telah mencanangkan program belajar aktif
sebagai bagian dari upaya pembangunan nasional (Puskurbuk, 2012).
Beberapa pendekatan belajar yang memungkinkan belajar aktif dan interaktif
meliputi pengajaran resiprokal, peer collaboration, cognitive apprenticeship, dan
pengajaran berbasis masalah, pengajaran jangkar (anchored instruction) dan pendekatan
lain yang melibatkan belajar dengan orang lain. Para peserta didik yang memiliki
keterampilan dan latar belakang yang berbeda bekerja sama dalam tugas dan diskusi
untuk mencapai pemahaman bersama yang dibagikan untuk mencapai kebenaran dalam
suatu bidang khusus (Nurhadi, 2002). Menurut pendekatan diatas, belajar aktif
melibatkan suatu interaksi dinamis dan setara antara tugas, guru, dan peserta didik dalam
proses belajar. Ini berarti pengalaman belajar, nilai-nilai, dan latar belakang guru,
menjadi bagian penting dalam interaksi, sehingga siswa membandingkan versi
2
kebenarannya dengan versi guru dan rekan untuk mendapatkan versi kebenaran yang
baru dan teruji.
Pembelajaran aktif juga menekankan pentingnya konteks sebagai tempat terjadi
aktivitas belajar adalah sentral dalam belajar (O'Neil & McMahon, 2005). Pengetahuan
yang terpisah dari konteks (decontextualised knowledge) tidak memberikan keterampilan
menerapkan pemahaman dalam tugas yang otentik. Seorang pelajar butuh untuk
menangani konsep dalam lingkungan yang kompleks dan mengalami interelasi yang
kompleks dalam lingkungan itu yang menentukan bagaimana dan di mana konsep
digunakan. Belajar dalam situasi yang otentik tempat peserta didik berperan serta dalam
kegiatan yang langsung relevan dengan aplikasi belajar dan yang berlangsung dalam
budaya yang mirip dengan setting yang diterapkan (Johnson, 2002).
Selain itu, pengetahuan ditemukan sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi.
dan tidak dibagi-bagi ke dalam mata-mata pelajaran dan kompartemen yang berbeda-
beda, sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi (O'Neil & McMahon, 2005).
Pembelajaran aktif tidak membatasi suatu tugas, masalah dan konteks dalam tinjauan
suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi menggunakan pendekatan dari disiplin ilmu lainnya
(multi disiplin) untuk menganalisa secara komprehensif.
Pendekatan multi-disiplin menekankan pada integrasi ilmu dan pengetahuan.
Proses belajar yang terintegrasi yang memberikan peluang untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan kreatif karena otak peserta didik lebih mudah memahami
keseluruhan daripada bagian-bagian. Pendekatan integrasi menitikberatkan pentingnya
konteks dalam penyajian belajar (Brown, 2001). Dunia tempat peserta didik belajar
bukanlah suatu bentuk mata-mata pelajaran yang berbeda, tetapi sebagai suatu kumpulan
amat banyak fakta, masalah, dimensi, dan persepsi kompleks (Siberman, 2004).
Pembelajaran aktif tidak terbatas pada proses pembelajaran saja, tetapi diperluas
sampai ke proses penilaian. Penilaian dilihat sebagai interaksi dua arah antara guru dan
peserta didik, dan tak terpisahkan dari program pembelajaran. Penilaian terpadu berjalan
bersama-sama dengan proses belajar-mengajar berlangsung dan berlaku baik pada
domain pengetahuan, keterampilan maupun perilaku sebagai suatu proses
berkesinambungan dan interaktif (Siberman, 2004).
3
Belajar aktif menurut Pusat kurikulum (2007) dapat dijabarkan menjadi tujuh
buah prinsip yaitu:
1. Belajar aktif berarti siswa mengkonstruksi makna sendiri, bukannya dibentuk dari
luar sebagaimana dinyatakan dalam prinsip konstruktivisme.
2. Belajar aktif mendorong, menggunakan dan memberikan penghargaan kepada
keunikan dan kompleksitas sebagai bagian integral proses belajar.
3. Belajar aktif membentuk motivasi instrinsik, yaitu perasaan kompeten dan
kepercayaan kepada potensi memecahkan masalah baru berasal dari pengalaman
sebelumnya.
4. Belajar aktif menuntut siswa mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri dalam
pikirannya.
5. Belajar aktif menggunakan peran guru sebagai fasilitator yang membantu siswa
mendapatkan pemahaman sendiri tentang materi, bukanlah sebagai instruktur saja.
6. Belajar aktif memampukan siswa menemukan fakta, prinsip, dan konsep sendiri,
sehingga kegiatan kelas mendorong siswa berasumsi (menebak atau berhipotesis) dan
berpikir secara intuitif.
7. Belajar adalah proses di mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi
pengalaman. Pengetahuan adalah hasil kombinasi mencerap pengalaman dan
mentransformasinya.
Indikator terjadinya proses belajar-mengajar yang aktif dan kreatif pada setting
kelas menurut Belen (2007), dapat ditinjau dari aktifitas kerja kelompok, kegiatan belajar,
teknik bertanya dan menilai, penggunaan sumber belajar, dan pajangan yang dapat
digunakan sebagai pedoman observasi proses belajar-mengajar dikemukakan berikut ini.
Kerja kelompok dapat diindikasikan dengan aktifitas seperti memberikan
kesempatan yang sama dan cukup bagi semua peserta didik untuk melaksanakan tugas
dalam kelompok kecil (maksimal 6 orang), dan dalam target waktu yang jelas. Kerja
kelompok harus mendapatkan instruksi tugas yang jelas sesuai kompetensi, dan disertai
alat dan bahan yang cukup. Guru memfasilitasi kegiatan dengan menciptakan iklim
saling menghargai antar anggota kelompok, sehingga peserta didik berani mengeluarkan
pendapat, tetapi juga mendapat kesempatan untuk menemukan sendiri.
Kegiatan belajar dalam pembelajaran aktif menunjukkan aktifitas belajar yang
4
mengaitkan satu kompetensi dengan kompetensi lain, dan yang menarik minat,
menggairahkan dan melibatkan peserta didik untuk berpikir aktif dan kreatif. Peserta
didik didorong untuk bertanya dan melakukan eksplorasi, serta mengekspresikan gagasan
dan perasaan, mendapat pujian dan juga saling menghargai pendapat dan hasil karya
teman. Dengan demikian mereka menjadi senang dan tidak takut berbuat kesalahan
Berbagai jenis variasi kegiatan dilaksanakan secara individual, pasangan, kelompok dan
seluruh kelas, dan yang melibatkan banyak indera, alat, bahan atau sarana belajar.
Peserta didik didorong untuk berpikir, mencari informasi, dan menemukan jawaban
sendiri, ataupun membuat pertanyaan kritis. Peserta didik juga bekerja sama
mengembangkan keterampilan sosial, dan membuat suatu hasil karya dan dipajangkan.
Teknik bertanya dan penilaian dalam pembelajaran aktif dapat juga
diindikasikan dengan pertanyaan guru yang terbuka dan membuat siswa berpikir. Setiap
siswa diberi kesempatan yang cukup untuk mencoba menjawab pertanyaaan temannya
secara berani. Guru menggunakan cara penilaian yang bervariasi, sesuai dengan
karakteristik materi dan menghindari penilaian berbentuk pilihan ganda. Guru
memberikan tugas-tugas penilaian yang bermakna, terkait langsung dengan kehidupan
nyata peserta didik. Cara menilai ini disesuaikan dengan kompetensi yang dituju, dan
memberikan umpan balik atau catatan bagi setiap tugas yang diberikan. Guru
menggunakan format pengamatan ataupun rubric penyekorang yang menilai sampai pada
dimensi sikap. Catatan lengkap tersedia tentang perubahan perilaku dan melalui catatan
itu guru memberikan remedial sesuai kebutuhan siswa.
Penggunaan beragam sumber belajar dapat diindikasikan dengan penggunaan
lingkungan sekolah, lingkungan sosial, lingkungan budaya, media cetak, media
elektronik dan pengalaman peserta didik sebagai sumber belajar.
Pajangan dapat mencerminkan terciptanya pembelajaran aktif dengan indikasi
seperti pajangan yang ramai, tersedianya portofolio peserta didik dalam kelas, adanya
hasil kerja peserta didik yang dipajangkan baik secara kelompok maupun individual.
Pajangan ditata rapi dan dapat dibaca peserta didik karena dipajang tak terlalu tinggi, dan
memiliki nilai artistik.
Tindak Tutur Direktif Guru
5
Salah satu kebutuhan utama untuk melaksanakan pembelajaran aktif adalah
kompetensi guru dalam berkomunikasi, terutama menggalakkan siswa supaya berperan
aktif. Tindak tutur guru dalam memimpin kelas yang kondusif diharapkan mampu
meningkatkan partisipasi dan pembelajaran aktif. Hal itu menurut Syah (2004) adalah
bagian dari kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang guru. Setiap guru, menurut
pemerintah (Peraturan Pemerintah No 16 tahun 2007) memiliki kompetensi pedagogik
untuk berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
Reyes (2000) mendefinisikan kepiawaian komunikatif sebagai ketrampilan guru
dalam mengekspresikan dalam bahasa verbal dan non-verbal yang mampu meningkatkan
atau mempertahankan minat dan perhatian siswa dan untuk memfasilitasi pengajaran.
Kepiawaian komunikatif dimanifestasikan dalam 5 bagian yaitu:
1. Ketrampilan berkomunikasi menggunakan bahasa dengan baik, ditandai dengan
kelancaran, artikulasi, bahasa yang jelas dan lainnya.
2. Ketrampilan dalam menggunakan bahasa non-verbal (ekspresi muka, gerakan tangan,
gerakan badan) untuk menjadi media visual terbaik walaupun tidak disadari.
3. Kemampuan membangun komunikasi dua arah, dikarakterisasikan dengan
kemampuan mendengar, dan bersikap terbuka
4. Kejelasan dalam memberikan penjelasan atau instruksi, dalam mengemukakan
pertanyaan sehingga tidak ada pengulangan yang tak perlu.
5. Keterampilan dalam menggunakan bahasa yang memungkinkan interaksi dan
partisipasi kelas.
Dalam teori linguistik, tindak tutur dari seorang guru dapat dibagi dalam tujuh
jenis menurut Kreidler (1998). Pembagiannya adalah assertives, performative,
verdictive, expressive, directive, commisive, phatic (Hal. 183). Ketujuh jenis tindak tutur
guru dapat dirangkum berikut ini:
1. Assertive utterance atau tindak tutur asertif. Fungsi asertif adalah ketika seorang
menggunakan bahasa untuk menyatakan apa yang ia tahu atau percayai, dengan
fungsi untuk menginformasikan. Bahasa asertif berhubungan dengan pengetahuan
dan data, ataupun mengenai apa yang terjadi entah itu benar ataupun salah.
2. Performative utterances atau tindak tutur performatif. Fungsi performatif
berhubungan dengan menyatakan, memberi nama atau menominasikan sesuatu.
6
Bahasa performatif diucapkan oleh seseorang yang memiliki hak untuk membuat
ucapan mereka diterima pada situasi yang memungkinkan.
3. Veridictive utterance atau tindak tutur veridiktif. Fungsi veridiktif adalah untuk
membuat penilaian atau evaluasi terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain. Hal
ini termasuk memberikan nilai, ranking, harga (penghargaan), pujian, atau kecaman.
4. Expressive utterance atau tindak tutur ekspresif. Fungsinya adalah untuk menyatakan
suatu tindakan sebelumnya atau kegagalan untuk bertindak. Tindak tutur ini bersifat
retrospektif di mana pembicara terlibat. Kata kerja ekspresif yang umum adalah
pengakuan, penyangkalan atau permohonan maaf.
5. Directive utterance atau tindak tutur direktif. Fungsinya adalah ketika pembicara
mencoba menggerakkan pendengar untuk melaksanakan sesuatu. Tindak tutur
direktif diklasifikasikan menjadi saran, permintaan dan perintah berdasarkan tingkat
kehalusannya.
6. Commisive utterance atau tindak tutur komisif. Bahasa yang mewajibkan
pembicaranya untuk melaksanakan suatu tindakan disebut komisif. Fungsinya untuk
mengucapkan janji, sumpah, nazar ataupun ancaman.
7. Phatic utterance atau tindak tutur pelengkap. Tindak tutur ini tidak memiliki fungsi
bahasa yang utama, tetapi untuk menjaga tingkat kesopanan antara anggota
masyarakat. Contohnya adalah bermacam istilah kesopanan seperti terima kasih,
selamat datang, permisi tidak bersifat.
Salah satu jenis tuturan yang paling banyak digunakan guru di kelas adalah tindak
tutur direktif. Tindak-tutur ini digunakan guru dalam pemberikan tugas atau instruksi.
Kreidler (1998) membagi tiga jenis tuturan direktif menjadi tiga, yakni (1) perintah
(commands), (2) permintaan (requests), dan (3) saran (suggestions) (pp. 183-194).
Sebuah perintah (commands) dimungkinkan jika penutur memiliki kemampuan untuk
mengontrol kepada mitra tutur. Verba yang terdapat pada tuturan ini adalah: memerintah,
mengharuskan, tidak memperbolehkan, dan sebagainya. Sementara itu, permintaan
(requests) adalah bentuk tuturan yang menyatakan penutur “ingin” agar mitra tutur
melakukan tindakan yang diinginkan. Verba yang menyatakan permintaan diantaranya:
memohon, mengharap, menginginkan, menghendaki, dan sebagainya. Selanjutnya, saran
(suggestions) adalah tuturan yang dibuat penutur berisi saran atau pendapat atau meminta
7
orang lain memberi pendapat atau saran tentang sesuatu untuk dilakukan atau tidak
dilakukan. Verba yang termasuk saran diantaranya: menasihati, menyampaikan pendapat
atau saran, menyarankan, merekomendasikan, mengingatkan, dan sebagainya.
Dalam interaksi komunikasi suatu percakapan dapat berlangsung efektif manakala
antara penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang sama terhadap sesuatu yang dipertuturkan. Penutur dan mitra tutur
memiliki kesepakatan bersama yang antara lain berupa kontrak yang tidak tertulis bahwa
ihwal yang dibicarakan itu saling berhubungan. Realisasi adanya hubungan itu dibuktikan
dengan mematuhi dua prinsip utama dalam komunikasi, yakni (a) prinsip kerja sama, dan
(b) prinsip kesantunan dalam bertutur.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mencari hubungan dari tindak tutur direktif guru sebagaimana yang
evaluasi oleh siswa dengan tingkat pelaksanaan pembelajaran aktif. Secara spesifik,
tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mencari tingkat tindak tutur direktif guru yang kondusif dilaksanakan dalam kelas
sebagaimana dievaluasi oleh siswa. Tindak tutur guru kemudian diidentifikasi dan
diklasifikasikan untuk mencari tindak tutur direktif yang dominan.
2. Mencari tingkat pembelajaran aktif dalam kelas, dan mencari perbedaan dalam
pembelajaran aktif berdasarkan kedekatan guru dengan siswa.
3. Mencari hubungan antara tindak tutur guru dan pembelajaran aktif.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tindak tutur direktif guru yang dinilai
siswa. Tindak tutur direktif guru adalah penggunaan bahasa seorang guru untuk
menggerakkan siswa melaksanakan sesuatu. Penelitian ini menggunakan teori Kreidler
(1998) yang membagi tuturan direktif guru menjadi tiga jenis, yaitu (1) perintah
(commands), (2) permintaan (requests), dan (3) saran (suggestions).
Variabel terikat adalah pembelajaran aktif disusun berdasarkan indikator siswa
yang melaksanakan pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif adalah model pembelajaran
yang melibatkan siswa langsung dalam kegiatan-kegiatan. Penelitian mengunakan teori
pembelajaran aktif berdasarkan teori Belen (2007) tentang lima indikator
8
dilaksanakannya pembelajaran aktif, yaitu 1) kerja kelompok, 2) kegiatan kelas, 3) cara
bertanya dan menilai, 4) sumber belajar, dan 5) pajangan kelas.
Variabel demografik adalah kedekatan guru dan siswa adalah evaluasi siswa
mengenai seberapa dekat guru mengenalnya, yang terbagi menjadi kenal dekat, cukup
kenal atau kenal sekilas, dan tidak kenal atau hanya tahu nama saja. Kedekatan guru
mempengaruhi pemahamannya terhadap siswa. Kompetensi pedagogic (Peraturan
Pemerintah No 16 tahun 2007) menuntut kemampuan pemahaman tentang peserta didik
secara mendalam—suatu pemahaman teoritis mengenai psikologi anak dalam tingkat
perkembangan tertentu, maupun pemahaman karakter anak didik sehingga mampu
mampu menilai dan mengembangkan potensinya secara optimal.
Pengenalan siswa secara dekat sangat dibutuhkan sebab dalam pengembangan
desain instruksional modern. Beberapa teori desain instruksional menempatkan
pengenalan peserta didik sebagai dasar atau titik awal dalam menyusun kegiatan maupun
materi pembelajaran (Lever-Duffy et al, 2003). Dengan demikian, dalam langkah awal,
guru harus lebih dahulu mengenal siswa untuk dapat memberikan pengajaran yang sesuai
dengan kebutuhan mereka, pada tingkatan dan kecepatan belajar mereka. Beberapa
informasi yang guru butuhkan untuk menyusun profil siswa secara lengkap antara lain
umur, asal sekolah, tempat tinggal, latar belakang keluarga, agama dan kebutuhan-
kebutuhan tertentu, seperti penyakit/cacad, ataupun kelainan. Guru yang baik mampu
mengidentifikasi nama-nama siswa dan latar belakang pribadi mereka.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, komparatif dan korelasional yang
mengelolah data kuantitatif mengenai tingkat tindak tutur direktif dan pembelajaran aktif
ditentukan. Penelitian dilaksanakan pada dua buah SMA yang ada di Sulawesi Utara,
swasta dan negeri melibatkan 138 siswa menggunakan metode convenience sampling.
Instrument berupa kwesioner berisi 109 pernyataan, yang disusun sendiri oleh peneliti
berdasarkan kedua teori dasar variabel. Kuesioner kemudian divalidasikan melalui uji
reliabilitas dan uji validitas. Percobaan statistik yang dilakukan adalah Mean score,
Presentasi, ANOVA dan PEARSON Product Moment Correlation Coefficient, dengan
nilai signifikansi pada tingkatan α .05.
9
Data diinterpretasikan menurut 7 tingkatan skala Likert (Fraenkel & Wallen,
1994), dengan urutan tingkatan dari yang paling tinggi untuk Tindak Tutur Direktif
adalah sangat halus (saran lembut), halus (saran), cukup halus (permintaan lembut),
sedang (permintaan), cukup keras (permintaan tegas), keras (perintah), dan sangat keras
(perintah tegas). Sedangkan urutan tingkatan dari yang paling tinggi untuk Pembelajaran
aktif adalah sangat tinggi (sangat aktif), tinggi (aktif), cukup tinggi (cukup aktif), sedang
(sedang), cukup rendah (cukup pasif), rendah (pasif) dan sangat rendah (sangat pasif).
Temuan dan Rekomendasi
Temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Penelitian menemukan bahwa tingkat tindak tutur direktif guru (TTD) sebagaimana
yang dievaluasi oleh siswa memiliki mean score (M) = 4.04. Hal ini berarti dalam
pandangan siswa, guru cenderung menggunakan tindak tutur direktif dengan tingkat
kehalusan yang sedang yang pada umumnya adalah permintaan. Temuan ini juga
mendapati dari 2 mata pelajaran yang diteliti, keduanya berada pada tingkatan
sedang, yaitu Matematika dengan M = 3.99 dan Bahasa Inggris dengan M = 4.09.
Selain itu, jenis tindak tutur direktif yang dominan digunakan guru dalam kelas
adalah permintaan (63.77%) dan diikuti oleh permintaan lembut (22.46%). Analisa
lebih lanjut mendapati mean score item yang dominan tinggi ada pada item no 2
dengan M = 5.26. Hal itu berarti “ketika guru mencegah murid-muridnya melakukan
sesuatu yang tidak baik”, kata-kata yang terdengar cenderung untuk menggunakan
kata-kata anjuran (menasehati) atau cukup halus. Sebaliknya item yang dominan
rendah pada item No 9, dengan M =2.43. Hal itu berarti “ketika seorang guru
mencoba meredakan murid yang mengejek temannya”, maka ia akan menggunakan
kata-kata menegur berupa perintah atau tutur direktif yang keras.
2. Tingkat pembelajaran aktif (BA) memiliki mean score = 5.41. Hal ini berarti siswa
menganggap dirinya cukup aktif dan memiliki pembelajaran aktif yang cukup tinggi
dalam kelas. Pada dua mata pelajaran yang diteliti, keduanya berada pada tingkatan
cukup aktif, yaitu Matematika dengan M = 5.43 dan Bahasa Inggris dengan M = 5.39.
Pada tingkatan sub-variabel BA, didapati 3 sub-variabel yang berada pada tingkat
aktif, yaitu sub-variabel kerja kelompok (M = 5.74), kegiatan kelas (M = 5.56), dan
10
cara bertanya dan menilai (M = 5.52). Pada ketiga sub-variabel ini, siswa menilai
bahwa mereka memiliki tingkat pembelajaran aktif yang tinggi. Sedangkan kedua
sub-variabel lainnya, yaitu Sumber belajar (M = 5.29) dan Pajangan kelas (M = 4.70)
berada pada tingkat cukup aktif, di mana siswa memiliki tingkat pembelajaran aktif
yang cukup tinggi. Kedua sub-variabel terakhir berhubungan dengan akses dan
kemampuan pembiayaan dari siswa ataupun dari sekolah. Pada bagian-bagian
tersebut pembelajaran aktif masih berada pada tingkatan yang lebih rendah dari
bagian-bagian lainnya.
3. Temuan ketiga mendapati dalam variabel TTD SMA Swasta memiliki mean score (M
= 4.14), yang lebih tinggi sebesar dan pada SMA Negeri (M = 3.85). Perbedaan
dalam jenis SMA didapati signifikan dengan nilai P sebesar .003 dan F = 9.04.
Dengan demikian H01 yang menyatakan tidak ada perbedaan signifikan dalam TTD
berdasarkan jenis SMA ditolak. Dengan kata lain, SMA Swasta memiliki tingkatan
TTD guru yang lebih tinggi secara signifikan dari SMA Negeri. Interpretasi lainnya,
guru-guru pada SMA swasta memiliki tindak tutur direktif yang lebih halus atau
permintaan yang lebih mengarah kepada saran, dari pada guru pada SMA negeri. Hal
tersebut dapat disebabkan karena kontrol sosial pada SMA swasta yang lebih tinggi,
sehingga guru memperlakukan murid dengan lebih halus dan sopan.
4. Penelitian menemukan bahwa nilai TTD guru berdasarkan kedekatan guru dengan
siswa dalam mata pelajaran Matematika mendapati siswa dengan kedekatan yang
sangat dekat (X) memiliki mean score sebesar (M) = 4.12 (N = 21); kedekatan yang
cukup dekat (Y) dengan (M) = 3.99 (N = 96); dan kedekatan siswa yang tidak dikenal
guru (Z) dengan (M) = 3.83 (N = 21). Sedangkan pada kelas Bahasa Inggris
kedekatan X memiliki mean score sebesar (M) = 4.32 (N = 16); kedekatan Y dengan
(M) = 4.08 (N = 93); dan kedekatan Z dengan (M) = 3.99 (N = 29). Namun
berdasarkan uji ANOVA perbedaan tidak signifikan, dan HO2 tidak ditolak. Hal ini
berarti guru tidak membeda-bedakan siswa berdasarkan siapa yang dekat ataupun
yang kurang dekat dalam melaksanakan tindak tutur direktifnya.
5. Temuan berikutnya mendapati bahwa dalam nilai BA siswa dari SMA Swasta
memiliki mean score sebesar (M) = 5.30, dan dari SMA Negeri sebesar (M) = 5.61.
Dengan demikian terdapat perbedaan dalam BA di mana siswa kelas XI SMA B lebih
11
tinggi dari SMA A. Perbedaan antara jenis SMA dalam variabel BA siswa signifikan
dengan nilai P sebesar .032 yang lebih kecil dari nilai α .05 (F = 9.04). Dengan
demikian, H03 yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan pada BA
berdasarkan jenis SMA ditolak. SMA negeri memiliki tingkatan BA siswa yang lebih
tinggi secara signifikan, atau memiliki pembelajaran aktif yang lebih aktif/
pembelajaran aktif yang lebih tinggi secara signifikan, dari siswa pada SMA swasta.
SMA Negeri juga memiliki mean score BA yang lebih tinggi dari SMA Swasta
secara signifikan pada keseluruhan lima sub-variabel-nya: 1) kerja kelompok (SMA
A M = 5.66 dan SMA B M = 5.88). 2. Kegiatan Kelas (M = 5.79 dan 5.44). 3) Cara
bertanya dan menilai (M = 5.76 dan 5.38). 4) Sumber belajar (M = 5.43 dan 5.21),
dan 5) Pajangan kelas (M = 4.90 dan 4.58).
6. Temuan ke-enam mendapati dalam kelas matematika, tingkat BA siswa dengan
kedekatan X (sangat dekat) (M = 5.83, N = 21), siswa dengan kedekatan Y (cukup
dekat) (M = 5.39, N 96), dan siswa dengan kedekatan Z (tidak dikenal guru) (M =
5.21, N = 21) Pada kelas bahasa Inggris, 16 siswa dengan kedekatan X (tidak kenal)
(M) = 5.83, 93 dengan kedekatan Y (M) = 5.28, dan 29 dengan kedekatan Z (M) =
5.51. Sebagaimana diharapkan, pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris,
jenis kedekatan siswa dan guru yang sangat dekat memiliki tingkat BA guru yang
paling tinggi (aktif), sedangkan jenis kedekatan siswa dan guru yang paling kurang
memiliki tingkat BA siswa yang paling rendah. Uji ANOVA menemukan bahawa
perbedaan antara jenis kedekatan dalam variabel BA siswa didapati signifikan pada
kedua mata pelajaran dengan nilai P lebih kecil dari α .05 (Matematika P = .046 dan
Bahasa Inggris P = .043). Dengan demikian temuan ini menolak H04 yang
menyatakan tidak ada perbedaan signifikan pada BA berdasarkan jenis kedekatan
guru dan siswa. Dengan kata lain, besaran selisih mean score BA lebih tinggi secara
signifikan pada kedekatan X dari kedekatan Y dan Z. Guru yang dekat dengan siswa,
baik dalam mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris memiliki pembelajaran
aktif yang lebih tinggi (aktif) dibanding dengan guru yang tidak dekat dengan siswa.
7. Temuan terakhir mendapati suatu hubungan signifikan antara TTD guru dengan BA
siswa, dengan nilai signifikansi p = .005. Dengan ditemukannya korelasi signifikan
dari kedua variabel maka hipotesis nol (H05) yang menyatakan tidak ada hubungan
12
signifikan antara TTD guru dan BA siswa ditolak. Terdapat korelasi signifikan antara
TTD dan BA. Korelasi antara TTD dan BA memiliki nilai r sebesar -.235, berarti
hubungan yang lemah dan negatif. Nilai r yang negatif merujuk kepada hubungan
berlawanan arah dari kedua variabel, yaitu semakin bila TTD meningkat maka BA
cenderung menurun. Dengan demikian, guru yang tegas dan jelas dalam memberikan
perintah masih diperlukan untuk mengatur kelas agar siswa terlibat dalam belajar
aktif. Dengan melaksanakan TTD yang tegas, murid mengerti menyadari bahwa guru
bersungguh-sungguh dan tahu kemauan guru tersebut, hal yang sangat dibutuhkan
supaya pembelajaran aktif tetap terkontrol dalam kelas, dan semua siswa terlibat
dalam pelajaran, gantinya melaksanakan hal-hal yang lain di kelas.
Penelitian ini memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Meningkatkan pembelajaran aktif yang masih berada pada tingkatan yang cukup aktif
atau pembelajaran aktif yang cukup tinggi dalam kelas. Peningkatan terutama
difokuskan pada sumber belajar dan pajangan kelas.
2. Meningkatkan pembelajaran aktif khususnya pada SMA Swasta dengan mengadakan
studi banding pada SMA Negeri.
3. Meningkatkan pembelajaran aktif dengan menggunakan jenis kedekatan yang erat
antara guru dan siswa. Karena ketika guru dan siswa menjadi sangat dekat, maka
siswa akan lebih melaksanakan pembelajaran aktif.
4. Guru menggunakan berbagai jenis tindak tutur direktif. Tuturan yang tegas dan jelas
dalam memberikan perintah masih diperlukan agar guru dapat mengatur kelas dengan
baik, dan meningkatkan pembelajaran aktif.
Pengakuan
Mareike Seska Diana Lotulung, M.Pd (Kandidat Doktor) adalah dosen tetap pada
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Klabat, Airmadidi-Manado sejak
tahun 2009, dengan bidang ilmu Manajemen Pendidikan. Artikel ilmiah ini disadur dari
penelitian, yang dibiayai oleh Dana Penelitian Dosen, Universitas Klabat, 2014.
13
Referensi
Amy B. M. Tsui, (1995). Introducing classroom interaction. Series Editors: Ronald Carter and David Nunan. Pinguin English.
Alan, K. (1986). Linguistik meaning. London: Routledge and Kegan Paul.
Kreidler (1998). Introducing English semantics. New York: Routledge.
Leech, G. N, (1993). Prinsip-prinsip pragmatik (edisi terjemahan). Jakarta: UI Press.
Depdikbud (2004). Standar kompetensi guru Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdikbud.
Departemen Pendidikan Nasional RI (2005). Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Jakarta: Depdiknas
Departemen Pendidikan Nasional RI (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007, tentang Kompetensi Guru.
Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E. (1994). How to design and evaluate research in education. Philippines: Mc.Graw-Hill.
Belen, S. (2007). Kompetensi, indikator & penilaian dalam belajar aktif KTSP. Jakarta: Ditjen Manajemen Dikdasmen, Depdiknas.
Pusat Kurikulum Balitbang Depdikbud. 1995. Pengembangan sistem pembinaan
profesional dan cara belajar siswa aktif. Jakarta: Pusat Kurikulum.
Pusat Kurikulum (2007). Kurikulum masa depan: Mengandalkan
kreativitas. Belen, S. (Ed). Jakarta: Pusat Kurikulum.
Pusat Kurikulum Balitbang Depdikbud. (2010). Bahan pelatihan penguatan metode pembelajaran: Panduan pengembangan pembelajaran aktif. Jakarta: Pusat Kurikulum.
Reyes, F. C. (2000). A Filipino model of teaching expertise in higher education. (Research Report) CHED Philippines.
Syah, M. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung Remaja Rosdakarya
14