Post on 30-Oct-2020
i
HUBUNGAN ANTARA NILAI OVERACTIVE BLADDER
SYMPTOM SCORE (OABSS) DENGAN STRES, DEPRESI, DAN
KECEMASAN PADA MAHASISWA/WI PREKLINIK
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN (PSKed) YANG
MENDERITA OVERACTIVE BLADDER (OAB)
Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Disusun Oleh:
ROMI RHOMADHON
11151030000088
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M /1440 H
LEMBAR PERNYATAAN I(EASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINC
HUBUNGAN ANTARA NILAI OYERACTIVE BLADDER
SYMPTOM SCOKE (OABSS) DENGAN STRES, DEPRESI, DAN
KECEMASAN PADA MAHASISWA/WI PREKLINIK
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN (PSKEd) YANG
MENDERI'T A OVERACTIVE B LADD E R (OAB)
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarj ana
Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Romi Rhouadlon
NIll: 11151030000088
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Dwi Tyasfriti, MPH, PhD
NIP: 19720717 200501 2 003
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M ll43v H
iii
dr. Nouval Sflahab, Sp.U, PhD, FACS, FICS
NIP.19721103 200604 1 001
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Penelitian berjudul HUBUNGAN ANTARA NILAI ovERACTTvEBLADDER SYMPTOM SCORE (OABSS) DENGAN STRES, DEPRESI, DANKECEMASAN PADA MAHASISWA/WI PREKLINIK PROGRAM STUDIKEDOKTERAN (PSKed) YANG MENDERITA OVERACTIVE BLADDER(OAB) oleh Romi Rhomadhon (1i 151030000088), telah diujikan dalam sidang diFakultas Kedokteran. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syaratmemperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Kedokteran(PSKed).
Ciputat, 22 Oktober 2018DEWAN PENGUJI
a Sidang
U-+dr. Nouval Sh Sp.U, PhD, FICS, FACS
1 103 200604 1 001
fi-r-dr. Nou D, FICS, FACS dr. Dwi Tyastuti, MPH, PhD
NIP: 19720717 2005012 003
Penguji II
NIP: 19721 3 200604 1 001
Penguii I
lAyat Rahayu, Sp.Rad, M.Kes dr. Rizkiani Juleshodia, M. Biomed
NIP: 19640909199603 1 00 1
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan FK U Kaprodi Pendidikan Dokter
d*,"ryF#ouno, ph.D., Sp.pD-KEMD, FTNASTM dr. Achmad Zaki,M.Epid, SpOT
NIP: 19780507 200501 1005
Pembimbing II
@Pembimbing I
':-l9s,tLpz 200312 1 oo3
VI
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah hirobbilalamin, puji syukur penulis panjatkan
atas limpahan Rahmat dan berkah dari Allah SWT sehingga kita bisa
merasakan nikmatnya iman dan Islam, dan karenanyalah kita penulis
dapat menyelesaikan penyusunan proposal skripsi ini.
Sholawat serta Salam tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita semua umat Islam dari
jaman kegelapan kejaman yang jauh lebih baik pada saat ini.
Alhamdulillah setelah penulis melakukan penelusuran literature
mengenai apa itu Overactive Bladder dan apa hubungannnya dengan
stress, depresi, dan kecemasan seseorang. Maka penulis bisa
menentukan penelitian mengenai “HUBUNGAN ANTARA NILAI
OVERACTIVE BLADDER SYMPTOM SCORE (OABSS) DENGAN STRES,
DEPRESI, DAN KECEMASAN PADA MAHASISWA/WI PREKLINIK
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN (PSKed) YANG MENDERITA
OVERACTIVE BLADDER (OAB)” Penulis juga ingin mengucapkan
terima kasih banyak sebesar-besarnya kepada pihak yang sudah
mendukung dan mendoakan agar penelitian ini selesai dan terlaksana
dengan baik tepat pada waktunya.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. H. Hari Hendarto, Ph.D., Sp.PD-KEMD selaku Dekan
Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Achmad Zaki, SpBO, M.epid selaku Kepala Program
Studi Kedokteran (PSKed) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Nouval Shahab, Sp.U., FACS, FICS selaku Pembimbing
1 dalam penelitian ini yang sudah meluangkan waktunya,
vii
menuangkan aspirasi dan idenya, serta memberikan arahan
dan nasehat agar penelitian ini berjalan dengan baik dan
selesai tepat pada waktunya.
4. dr. Dwi Tyastuti, MPH, PhD selaku pembimbing 2 dalam
penelitian ini yang sudah memberikan waktu, ide, saran serta
nasehat mengenai penelitian ini agar berjalan dengan baik
dan selesai pada waktunya.
5. Marta Kusuma & Mirna Wati sebagai orang tua yang tek
henti-hentinya memberikan semangat, dukungan, dan Doa
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan
semangat dan tekun.
6. Riki alfaridzi & Mega Indah Puspita Sari sebagai adik yang
terus memberikan semangat kepada peneliti sehingga
peneliti terus semangat dan optimis untuk menyelesaikan
penelitian ini.
7. Drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung
jawab (PJ) modul riset FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
angkatan 2015.
8. dr. Yona Mimanda selaku Pembimbing Akademik yang
senantiasa memberikan masukan dan arahan selama di
Fakultas Kedokteran UIN.
9. Teman seperjuangan dalam melaksanakan riset ini yaitu
Muhammad Syah Alam Sampurna, Rahayu Muhsi Amalia,
Shofa Samiroh, dan Tiya Aprilian yang bersama dan selalu
berjuang menyelesaikan penelitian ini.
10. Seluruh sejawat AMIGDALA 2015 yang mendukung dan
ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.
viii
11. Seluruh sejawat angkatan 2016 & 2017 yang mendukung
dan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.
12. Organisasi Beasiswa peneliti SANTRI JADI DOKTER
(SJD) yang telah memberikan semangat agar penelitian ini
dapat berjalan dan terlaksanakan
13. Kepada teman satu kontrakan yaitu Rafi Nawawi Mubarok,
Ahmad Aubert Pallas Buay Pemaca, Muhammad Adib
Nauval, Muhammad Fahmi Aprijal, Muhammad Zaerna
Rizki, Ubaidillah Romadlon Alfairuzi dan Sarwan Hardi
yang telah membantu dan memberikan semangat sehingga
penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
14. Serta kepada seluruh pihak yang telah mendukukung,
memberikan semangat dan juga doa yang tidak bisa saya
sebutkan namanya satu-persatu.
Saya menyadari dalam laporan penelitian ini masih banyak
terdapat kekurangan. Kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sangat saya harapkan agar laporan penelitian ini menjadi lebih
baik.
Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga dapat
memberikan banyak manfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya.
Ciputat, 22 Oktober 2018
Romi rhomadhon
ix
ABSTRAK Romi Rhomadhon. Fakultas Kedokteran. Hubungan Antara Nilai Overactive
Bladder Symptom Score (OABSS) Dengan Stres, Depresi, Dan Kecemasan Pada
Mahasiswa/Wi Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed) Yang Menderita
Overactive Bladder (OAB)
Latar belakang: Prevalensi overactive bladder menurut ICS menunjukan dengan
populasi sebanyak 2.418 kasus dengan rentang usia antara 20-91 tahun ditemukan
sebanyak 496 kasus mengalami overactive bladder pada usia 20-29 tahun. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), prevalensi stress masih sukup tinggi
dimana hampir dari 350 juta penduduk dunia mengalami stress dan merupakan
penyakit dengan peringkat ke-4 di dunia, sementara itu The Anxiety and
Depression Assosiation of America menuliskan bahwa gangguan kecemasan dan
depresi di derita oleh 40 juta populasi orang dewasa di amerika serikat pada usia
lebih 18 tahun. Seperti penelitian Henry Lai bahwa pengaruh stress, depresi, dan
kecemasan bisa meningkatkan keparahan pada penderita OAB. Tujuan: Mengetahui hubungan antara OABSS dengan stress, depresi, dan kecemasan pada
penderita OAB. Metode: Penelitian ini menggunakan desain analitik cross
sectional. Sampel penelitian ini sebesar 119 responden dengan total sampling.
Pengumpulan data menggunakan kuesioner, kuesioner yang diberikan yaitu
Overactive Bladder Score Symptom (OABSS) yang telah tervalidasi, serta
kuesioner Depression, Anxiety and Stress Scales-42 (DASS-42) dan analisis data
menggunakan uji Non Parametric Mann Whitney. Hasil: Tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara OABSS dengan stress, depresi, dan kecemasan pada penderita
OAB (p = 0.417, 0.223, 0.352). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara OABSS dengan stress, depresi, dan kecemasan pada penderita OAB.
Kata kunci : Overactive bladder (OAB), Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Overactive
Bladder Score Symptoms (OABSS). Depression, Anxiety and Stress Scales-42
(DASS-42)
x
ABSTRACT
Romi rhomadhon. Medical Faculty. The relationship between Overactive Bladder
Symptom Score (OABSS) with stress, depression, and anxietas in Pre-Clinical
Students of the Medical Study Program Who Suffer Overactive Bladder (OAB)
Background: Trevalence of Overactive Bladder according to ICS shows that with
a population 2418 cases, the age range between 20-91 years was found in 496
cases of Overactive Bladder at the age of 20-29 years. Meanwhile, according to
the World Health Organization (WHO), the prevalence of stress is still quite high
where nearly 350 million of the world‟s population experience stress and is the 4th
ranked disease in the world, while the Anxiety and Depression Association of
America writes that anxiety and depression suffer from 40 million adult
population in the United States over the age of 18. Like Henry Lai‟s research that
the effects of stress, depression, and anxiety can increase the severity of OAB
patients. Objective: To determine the relationship between OABSS values with
stress, depression, and anxiety in OAB patients. Methods: This study used cross
sectional analytic design. The sample of this study was 119 respondents with total
sampling. The dara were collected using a questionnaire, the questionnaires
provided were Overactive Bladder Score Symptom (OABSS) which had been
validated, as well as the depression, anxiety and Stress Scale-42 (DASS-42)
questionnaire and data analysis using the Non Parametric Mann Whitney test.
Result: There was no significant relationship between OABSS values with stress,
depression, and anxiety in patients with OAB (p= 0.417, 0.223, 0.352).
Conclusion: There was no significant relationship betweenOABSS values with
stress, depression, and anxiety in OAB sufferers.
Keywords: Overactive Bladder (OAB), Student Faculty of Medicine, Overactive
Bladder Score Symptoms (OABSS). Depression, Anxiety and Stress Scales-42
(DASS-42)
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
ABSTRACT ........................................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
1.3 Hipotesis ............................................................................................................. 4
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................. 4
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................ 4
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 5
1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti .................................................................................. 5
1.5.2 Manfaat Bagi Perguruan Tinggi .................................................................. 5
BAB II .................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 6
2.1 Kandung Kemih (Vesica Urinaria) ..................................................................... 6
2.1.1. Anatomi Kandung Kemih ........................................................................... 6
2.1.2. Persarafan Kandung Kemih ........................................................................ 8
2.1.3. Pengosongan Kandung Kemih .................................................................... 9
2.1.4. Fase Pengosongan Kandung Kemih.......................................................... 11
2.2. Overactive Bladder (OAB) ............................................................................... 14
2.2.1. Patofisiologi Overactive Bladder .............................................................. 14
2.2.2. Gejala Overactive Bladder ........................................................................ 18
2.2.3. Diagnosis Overactive Bladder .................................................................. 19
xii
2.2.4. Skor OAB Menggunakan OABSS ............................................................ 20
2.2.5. Faktor Resiko Overactive Bladder ............................................................ 22
2.3. STRESS ................................................................................................................. 25
2.3.1. Definisi Stres ................................................................................................. 25
2.3.2. Jenis-Jenis Stres ............................................................................................ 25
2.3.3. Klasifikasi Stres ............................................................................................ 26
2.3.4. Tipe-Tipe Stres .............................................................................................. 27
2.3.5. Aspek Stres ................................................................................................... 28
2.3.6. Faktor-Faktor Penyebab Stres ....................................................................... 28
2.3.7. Fisiologi Stres ............................................................................................... 29
2.3.8. Respon Fisiologis Tubuh Terhadap Stres ..................................................... 30
2.3.9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Seseorang dalam Merespon Stres ....... 32
2.3.10. Gejala Adaptasi Umum Stres ........................................................................ 34
2.3.11. Dampak Stres ................................................................................................ 35
2.3.12. Pendekatan Problem Solving Terhadap Stres ............................................... 35
2.3.13. Cara Mengelola Stres .................................................................................... 38
2.3.14. Cara Mengatasi Stres .................................................................................... 39
2.4. KECEMASAN ....................................................................................................... 40
2.4.1 Epidemiologi Gangguan Kecemasan ............................................................... 40
2.4.2. Definisi Gangguan Cemas Menyeluruh .......................................................... 41
2.4.3 Etiologi Gangguan Kecemasan ........................................................................ 41
2.4.4 Diagnosis Gangguan Kecemasan ..................................................................... 42
2.4.5 Gambaran Klinis Gangguan Kecemasan ......................................................... 44
2.4.6 Diagnosis Banding Gangguan Kecemasan ...................................................... 44
2.4.7 Prognosis Gangguan Kecemasan ..................................................................... 45
2.4.8 Terapi Gangguan Kecemasan .......................................................................... 45
2.5. DEPRESI ............................................................................................................... 45
2.5.1 Definisi Depresi ........................................................................................ 45
2.5.2 Epidemiologi Depresi ............................................................................... 46
2.5.3 Etiologi Depresi ........................................................................................ 47
2.5.4 Perjalanan Penyakit Depresi ..................................................................... 51
2.5.5 Tanda dan Gejala Depresi ......................................................................... 52
2.5.6 Kriteria Diagnosis Depresi Berat .............................................................. 53
2.5.7 Tatalaksana Depresi .................................................................................. 54
xiii
2.5.8 Prognosis Depresi ..................................................................................... 55
2.6. HUBUNGAN ANTARA STATUS PSIKOLOGI DENGAN OAB. ................ 56
2.7. SKALA PERHITUNGAN TINGKAT STRESS, DEPRESI DAN
KECEMASAN .............................................................................................................. 56
2.8 KERANGKA TEORI ....................................................................................... 57
2.9 KERANGKA KONSEP .................................................................................... 58
2.10 DEFENISI OPERASIONAL ............................................................................ 59
BAB 3 ................................................................................................................... 61
METODE PENELITIAN ................................................................................... 61
3.1. Desain Penelitian .............................................................................................. 61
3.2 Waktu Dan Tempat ........................................................................................... 62
3.2.1 Waktu Penelitian ....................................................................................... 62
3.2.2 Tempat Penelitian ..................................................................................... 62
3.3.1 populasi ......................................................................................................... 62
3.3.2 Sampel ....................................................................................................... 62
3.3.3. Besar Sampel ............................................................................................ 63
3.4 Alat Dan Bahan Penelitian ................................................................................ 63
3.4.1 Alat Penelitian ........................................................................................... 63
3.4.2 Bahan Penelitian ....................................................................................... 63
3.5 Identifikasi Variabel .......................................................................................... 64
3.5.1 Variabel Terikat ........................................................................................ 64
3.5.2 Variabel Kontrol ....................................................................................... 64
3.6 Desain Analisis Data ......................................................................................... 64
3.7 Alur Penelitian .................................................................................................. 64
3.8 Cara Kerja Penelitian ........................................................................................ 65
3.8.1 Tahap Persiapan ........................................................................................ 65
3.8.2 Validasi lembar kuesioner OABSS ........................................................... 66
3.8.3 Validasi Lembar Kuesioner DASS-42 ...................................................... 66
3.8.4 Tahap Pengambilan Sampel ...................................................................... 67
3.8.5 Tahap Pengeloloaan dan Analisis Data ..................................................... 67
BAB IV ................................................................................................................. 67
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN ....................................................... 67
4.1 Analisis Univariat ............................................................................................. 67
4.1.1 Karakteristik Responden ........................................................................... 67
xiv
4.1.2 Distribusi Penderita OAB ......................................................................... 68
4.1.3. Analisis Nilai Score OABSS ..................................................................... 70
4.1.4. Penyebaran Pertanyaan Kuesioner DASS-42 ........................................... 71
4.1.5. Distribusi Berdasarkan kategori Stress, depresi, dan kecemasan .............. 75
4.1.6. Distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan Per Angkatan ..... 75
4.1.7. Distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan ............................ 76
4.2 Analisis Bivariat ...................................................................................................... 76
4.2.1 Uji Normalitas Data ......................................................................................... 77
4.2.2. Analisis Nilai Score OABSS terhadap Stress, depresi, dan kecemasan‟ ........ 77
4.3 Pembahasan Penelitian ............................................................................................ 78
4.4 Keterbatasan Penelitian ........................................................................................... 80
BAB V ................................................................................................................... 81
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 81
5.1 Simpulan ........................................................................................................... 81
5.2 Saran ................................................................................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 82
LAMPIRAN ......................................................................................................... 85
Lampiran 1. ................................................................................................................... 85
Lampiran 2 .................................................................................................................... 87
Lampiran 3 .................................................................................................................... 90
Lampiran 4 .................................................................................................................... 93
Lampiran 5 .................................................................................................................. 103
Lampiran 6 .................................................................................................................. 109
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Vesical Urinaria.................................................................... 6
Gambar 2.2 Persarafan Vesical Urinaria ................................................................. 9
Gambar 2.3 Pengosongan Kandung Kemih .......................................................... 11
Gambar 2.4 Fase Pengosongan Kandung Kemih .................................................. 13
Gambar 2.5 Kuesioner Skrinning dan Derajat OAB ............................................. 21
Gambar 2.6 Kuesioner Skrinning dan Derajat OAB ............................................. 22
xvi
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Croanbach‟s Alpha OABSS
Tabel 3.2 Croanbach‟s Alpha DASS-42
Tabel 4.1 Distribusi Usia Mahasiswa/wi Preklinik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang menderita OAB (N=119)
Tabel 4.2 Distribusi Jenis Kelamin, dan Tahun angkatan mahasiswa/wi
Preklinik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB
(N=119)
Tabel 4.3 Distribusi Responden Penderita OAB pada Mahasiswa/wi
Preklinik
Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Gejala Lain OAB
(Inkontinensia
urgensi, inkontinensia, frekuensi, dan nokturia) pada Mahasiswa
Preklinik Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang OAB positive.
Tabel 4.5 Penyebaran Pertanyaan Kuesioner DASS-42
Tabel 4.6 Distribusi Berdasarkan Kategori Tingkatan Stress
Tabel 4.7 Distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan Per
Angkatan
Tabel 4.8 Distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan Per Jenis
Kelamin
Tabel 4.9 Uji Normalitas Data
Tabel 4.10 Distribusi Nilai OABSS Berdasarkan Stres, Depresi, dan
Kecemasan
xvii
xvii
DAFTAR SINGKATAN
Ach : Asetilkolin
ACTH : Adrenocorticotropik Hormone
APCAB : Asia Pacific Advisory Board
BCR : Bulbocavernosus
CRH : Corticotropin Releasing Hormone
DASS : Depresi, Anxietas, Stress Score
ESP : Evaluasi Saraf Perkutan
GABA : Gamma-aminobutyric acid
GAD : Generalized Anxiety Disorder
GAS : General Adaptation Syndrom
ICS : International Continence Society
IMT : Indeks Massa Tubuh
IUGA : International Urogynecological Association
LAS : Local Adaptation Syndrom
LUT : Lower Urinary Tract
OAB : Overactive Bladder
OABSS : Overactive Bladder Symptom Score
PET : Positron Emission Tomography
SSP : Susunan Saraf Pusat
WHO : World Health Organization
xviii
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner OABS ............................................................................... 84
Lampiran 2 Kuesioner DASS-42 .......................................................................... 86
Lampiran 3 Lembar Informed Concent ................................................................. 89
Lampiran 4 Hasil SPSS ......................................................................................... 92
Lampiran 5 Google Form DASS-42 ................................................................... 103
Lampiran 6 Daftar Riwayat Hidup ...................................................................... 109
xix
xix
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Overactive Bladder (OAB) adalah suatu keadaan dimana kandung
kemih berkontraksi tidak sewajarnya, sehingga menyebabkan desakan
kontraksi tiba-tiba untuk berkemih.1–3
Gejala Overactive Bladder (OAB)
terdiri dari urgensi (keinginan yang sangat kuat untuk berkemih yang
dating secara mendadak dan sulit untuk ditahan) dengan atau tanpa
inkotinensia urin, yang biasanya disertai dengan frekuensi berkemih yang
meningkat yang bisa lebih dari 8 kali dalam sehari) dan nokturia
(terbangun pada malam hari untuk berkemih biasanya lebih dari 1 kali.4
Menurut International Continence Society (ICS, 2015), disebutkan
gejala OAB bisa ditegakkan apabila telah disingkirkan adanya
kemungkinan kelainan patologis ataupun metabolik (ISK, Cancer, ataupun
BPH). Kontraksi otot detrusor pada buli-buli secara involunter akan
menyebabkan perasaan urgensi, dimana urgensi sendiri merupakan gejala
primer dari OAB. Orang yang menderita OAB akan menyebabkan
terjadinya penurunan dari kualitas hidup mereka.5
ICS (2015) mengklasifikasikan OAB sebagai sebuah sindroma
yang belum diketahui penyebab pastinya, dengan abnormalitas lokal yang
dapat disingkirkan melalui penegakan diagnosis. Namun, banyak penulis
mengartikan OAB sebagai aktivitas berlebihan dari kontraksi otot detrusor
involunter yang terjadi ketika pasien sulit menahan berkemih. Orang yang
mengalami OAB cenderung untuk membatasi keterlibatan diri mereka
dalam aktivitas sosialnya dan mengisolasikan diri mereka sendiri sehingga
bisa mencetuskan depresi dan stress.3,5
Prevalensi keseluruhan dari OAB di Eropa sebanyak 16% dan
17% di Amerika Serikat. Sementara itu penelitian yang berbasis kuesioner
pernah dilakukan di pada wanita di Asia dan didapatkan prevalensi OAB
1
2
sebesar 53.1 %. Rosenberg menyatakan bahwa berdasarkan
penelitian dari National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE),
prevalensi OAB pada perempuan di Amerika Serikat adalah 16,9% dan
nilai tersebut akan meningkat sesuai pertambahan usia. Disebutkan pula
dari NOBLE, bahwa 37% pasien OAB mengalami inkontinensia urin, atau
dikenal dengan OAB basah (wet) dan 63% tanpa disertai inkontinensia
urin atau OAB kering (dry). Prevalensi OAB wet akan meningkat dengan
bertambahnya usia. Didapatkan pula jika jenis OAB „kering‟ lebih sering
didapatkan pada laki-laki daripada perempuan dengan nilai 36% banding
7%. Sementara itu untuk OAB „basah” lebih sering didapatkan pada
perempuan daripada laki-laki dengan nilai 9.3% banding 2.4%.1–3,6
Sementara itu menurut World Health Organization (WHO),
prevalensi stress masih sukup tinggi dimana hamper dari 350 juta
penduduk dunia mengalami stress dan merupakan penyakit dengan
peringkat ke-4 di dunia. Menurut kementrian kesehatan Indonesia pada
tahun 2007 menyatakan bahwa dari populasi orang dewasa di Indonesia
yang mencapai 150 juta jiwa, sekitar 11.6% atau 17.4 juta jiwa mengalami
gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa
gangguan kecemasan dan depresi. Sedangkan data catatan kependudukan
dan catatan sipil DKI Jakarta menunjukkan jumlah penduduk stress
mencapai 1.33 juta jiwa dari 9.5 juta jiwa (14% dari 9.5 juta).7,8
Sedangkan gangguan kecemasan merupakan keadaan prikiatri
paling sering ditemukan di Amerika Serikat dan di deluruh dunia. The
Anxiety and Depression Assosiation of America menuiskan bahwa
gangguan kecemasan dan depresi di derita oleh 40 juta populasi orang
dewasa di amerika serikat pada usia lebih 18 tahun. Data dari CDC
menunjukkan pada tahun 2006-2007 menyatakan bahwa prevalensi
depresi pada usia 12-17 tahun sebesar 6.3 %. Usia tersebut merupakan
kelompok usia remaja awal dan pertengahan serta merupakan usia
pendidikan sekolah menengah. Di Indonesia sendiri data dari Riskesdas
pada tahun 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental dan emosional
yang ditunjukkan
3
dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke
atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6 % dari penduduk Indonesia.7,8
Pada penelitian yang dilakukan oleh Henry lai, dkk yang berjudul
Correlation Between Psychological Stress Levels And The Severity Of
Overactive Bladder Symptoms didapatkan bahwa adanya hubungan antara
PSS (Perceived Stress Scale) dengan derajat keparahan dari OAB yang
menggunakan skala ICIQ-UI (Spearman‟s correlation coefficient=0.39,
p=0.007) and UDI-6, IIQ-7, OAB-q quality of life subscale (Spearman‟s
correlation coefficient=0.32, 0.31, 0.39, and p=0.028, 0.005, 0.029).9
Lalu penelitian yang dilakukan oleh Henry lai, dkk mengenai OAB
dengan anxietas dan depresi. Pada penelitian tersebut hasilnya
menunjukkan adanya hubungan antara tingkat keparahan OAB dengan
anxietas dan depresi.10,11
Melihat angka kejadian OAB dengan Stress yang cukup besar,
serta melihat adanya hubungan antara derajat keparahan stress dengan
derajat OAB, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai
hubungan antara OABSS dengan stress, kecemasan dan depresi pada
penderita OAB pada mahasiswa/wi Program Studi Kedokteran (PSKed)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini belum pernah dilakukan,
terutama di Indonesia dan khususnya di wilayah Jakarta.
1.2 Rumusan Masalah
a. Adakah hubungan antara OABSS dengan stres pada mahasiswa/wi
Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB?
b. Adakah hubungan antara OABSS dengan depresi pada mahasiswa/wi
Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB?
c. Adakah hubungan antara OABSS dengan cemas pada mahasiswa/wi
Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB?
4
1.3 Hipotesis
a. Terdapat hubungan antara OABSS dengan stres pada mahasiswa/wi
Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB.
b. Terdapat hubungan antara OABSS dengan depresi pada mahasiswa/wi
Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB.
c. Terdapat hubungan antara OABSS dengan cemas pada mahasiswa/wi
Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara OABSS dengan stress, depresi,
dan kecemasan pada penderita OAB
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara OABSS dengan stres pada
mahasiswa/wi Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
menderita OAB.
b. Mengetahui hubungan antara OABSS dengan depresi pada
mahasiswa/wi Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
menderita OAB.
c. Mengetahui hubungan antara OABSS dengan cemas pada
mahasiswa/wi Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
menderita OAB.
5
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti
a. Merupakan prasyarat untuk menempuh jenjang pendidikan
klinik Program Studi Kedokteran (PSKed) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
b. Meningkatkan kemampuan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian.
c. Dapat menjawab keingintahuan peneliti hubungan antara
OABSS dengan stres, depresi, dan kecemasan pada penderita
OAB
1.5.2 Manfaat Bagi Perguruan Tinggi
a. Melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi dalam
melaksanakan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagai
lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat.
b. Sebagai data awal bagi penelitian-penelitian selanjutnya dalam
bidang Depresi, Anxietas, dan Stress pada penderita OAB.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kandung Kemih (Vesica Urinaria)
2.1.1. Anatomi Kandung Kemih
Kandung kemih (Vesica Urinaria) terletak dibelakang os pubis
didalam bagian rongga pelvis atau juga terletak di dalam ruang
subperitoneal. Kandung kemih sendiri merupakan suatu ruang otot polos
yang terdiri dari 2 bagian utama: (1) bagian corpus vesicae, yang
merupakan bagian utama kandung kemih dan tempat pengumpulan urin,
serta (2) bagian collum vesicae (leher) berbentuk corong, yang merupakan
perluasan dari kandung kemih, berjalan ke bawah dan ke depan menuju
trigonum vesicae dan berhubungan dengan uretra. Sementara itu, ada juga
yang membaginya menjadi 3 bagian utama: (1) Corpus Vesicae, (2) Apex
Vesicae, dan Fungdus Inferior (Fundus Vesicae). Pada bagian apex
vesicae terdapat Lig. Umbilicale medianum sebagai penggantung dari
vesical urinaria.
Gambar 2.1. Anatomi Vesica Urinaria12
6
7
Dinding vesical urinary terdiri dari lapisan mukosa interna (Tunica
mucosa) yang diikuti oleh 3 lapis otot polos dengan inervasi
parasimpatis (tunica muscularis = M.detrusor vesicae), dan diikuti
dengan Tunica adventitia eksterna atau Tunica serosa kranial
(peritoneum).12
Pada orang dewasa, kapasitas maksimum vesika urinaria sekitar
500-1500 ml urin, meskipun keinginan berkemih dimulai saat volume
250-500 ml. Bentuk dan batasbatasnya sangat bervariasi sesuai dengan
jumlah urin yang dikandungnya. Kandung kemih yang kosong terletak
seluruhnya pada kavum pelvis, namun ketika terisi penuh dinding
atasnya terangkat sampai masuk regio hypogastrium.13,14
Pada kandung kemih terdapat otot detrusor, yang mana serabut
ototnya meluas kesegalah arah. Saat kandung kemih terisi penuh atau
berkontraksi, tekanan dalam kandung kemih dapat meningkat hingga
40-60 mmHg. Sehingga, kontraksi otot polos kandung kemih
(detrusor) merupakan suatu langkah utama pada proses pengosongan
kandung kemih. Sel-sel otot polos pada otot detrusor bergabung satu
sama lain sehingga terbentuk jalur elektrik bertahanan rendah dari sel
otot yang satu ke yang lain. Oleh karena itu, potensial aksi dapat
menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel berikutnya
menyebabkan kontraksi seluruh kandung kemih pada saat yang
bersamaan.13,14
Menurut Guyton & Hall (2014), pada kandung kemih bagian
posterior terdapat trigonum yang pada dasar apeksnya membuka ke
arah uretra posterior, lalu kedua ureter masuk dari kedua sudut atas
trigonum. Lapisan bagian dalam atau mukosa trigonum dikenal dengan
lapisan yang halus. Setiap ureter, ketika memasuki kandung kemih,
berjalan miring melintasi otot detrusor dan kemudian 1 lagi sampai 2
sentimeter dibawah mukosa kandung kemih sebelum mengosongkan
urin dalam kandung kemih. Panjang uretra posterior adalah 2 sampai 3
sentimeter dan dindingnya tersusun atas otot detrusor yang membentuk
jalinan dengan sejumlah besar jaringan elastik. Otot di sekitar ini
8
disebut sfingter interna. Tonus alamiahnya menahan leher kandung
kemih dan uretra posterior untuk mengosongkan urin dan dengan
demikian, mencegah pengosongan kandung kemih hingga tekanan
pada bagian utama kandung kemih meningkat melampaui nilai
ambang.13,14
Setelah melewati uretra posterior, uretra berjalan melalui
diafragma urogenital, yang mengandung suatu lapisan otot yang
disebut sfingter eksterna kandung kemih. Otot ini bekerja dibawah
kendali sistem saraf volunter sehingga dapat digunakan untuk
mencegah berkemih secara sadar bahkan ketika kendali involunter
berusaha mengosongkan kandung kemih.13,14
2.1.2. Persarafan Kandung Kemih
Vesika urinaria dipersarafi oleh percabangan saraf dari pleksus
hipogastrikus inferior. Saraf utama berhubungan segmen S-2 dan S-3
dari medulla spinalis. Ada dua serabut saraf, yakni serabut saraf
sensorik dan motorik. Serabut sensorik mendeteksi regangan kandung
kemih yang berasal dari uretra posterior, dimana ini sinyal yang kuat
dan berperan penting dalam pengosongan kandung kemih. Persarafan
motorik merupakan serabut parasimpatis yang berakhir di sel ganglion
dalam dinding kandung kemih. Kemudian saraf-saraf post ganglionik
yang pendek akan mempersarafi otot detrusor.13
Fungsi kandung kemih juga dipersarafi oleh serabut motorik
skeletal yang dibawa melalui saraf pudendus ke sfingter eksterna. Ini
merupakan serabut sarafsomatik yang mempersarafi dan mengatur otot
rangka volunter pada sfingter tersebut. Kandung kemih juga mendapat
persarafan simpatis dari saraf-saraf hipogastrik, yang terutama
berhubungan dengan segmen L-2 dari medulla spinalis. Serabut ini
terutama merangsang pembuluh darah dan memberi sedikit efek pada
pengosongan vesika urinaria.14
Neurotransmitter asetilkolin (Ach)
sangat mempengaruhi fungsi persarafan kandung kemih ini. Pelepasan
Ach akan menyebabkan kontraksi otot-otot detrusor pada kandung
9
kemih yang mana senyawa kimia ini mengatur respon inervasi vesika
urinaria.15
Gambar 2.2. Persarafan Vesica Urinaria15
2.1.3. Pengosongan Kandung Kemih
Menurut Sherwood, (2017), Miksi atau berkemih, proses
pengosongan kandung kemih yang diatur oleh 2 mekanisme: (1) reflex
berkemih dan (2) control volunter. Reflex berkemih dimulai ketika
reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang. Kandung
kemih pada orang dewasa dapat menampung hingga 250-400 mL urin
sebelum tegangan di dindingnya mulai cukup meningkat untuk
mengaktifkan reseptor regang. Semakin besar tegangan yang melebihi
ukuran ini, semakin besar tingkat aktivasi reseptor. Serat-serat aferen
dari reseptor regang membawa impuls ke korda spinalis dan akhirnya,
melalui antarneuron, merangsang saraf parasimpatis untuk kandung
kemih dan menghambat neuron motoric ke sfingter eksternum.
Stimulasi sarap parasimpatis kandung kemih menyebabkan organ ini
berkontraksi. Tidak ada mekanisme khusus yang dibutuhkan untuk
membuka sfingter internum, perubahan bentuk kandung kemih selama
kontraksi secara mekanis akan menarik terbuka sfingter internum.
Secara bersamaan, sfingter eksternum melemas karena neuron-neuron
10
motoriknya dihambat. Kini kedua sfingter terbuka dan urin terdorong
melalui uretra oleh gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi kandung
kemih. Reflex berkemih ini, yang seluruhnya adalah reflex spinal,
mengatur pengosongan kandung kemih pada bayi. Segera setelah
kandung kemih terisi cukup untuk memicu reflex, bayi secara otomatis
berkemih.14
Control volunter berkemih yang mana selain memicu reflex
berkemih, pengisian kandung kemih juga menyadarkan yang
bersangkutan terhadap keinginan untuk berkemih. Persepsi penuhnya
kandung kemih muncul sebelum sfingter eksternum secara reflex
melemas, memberi peringatan bahwa miksi akan segera terjadi.
Akibatnya, kontril volunteer berkemih yang dipelajati selama toilet
training pada masa anak- anak dini, dapat mengalahkan reflex
berkemih sehingga pengosongan kandung kemih dapat berlangsung
sesuai keinginan yang bersangkutan dan bukan ketika pengisian
kandung kemih pertama kali mengaktifkan reseptor regang. Jika waktu
kemih reflex miksi yang dimulai tersebut kurang sesuai untuk
berkemih, yang bersangkutan dapat dengan sengaja mencegah
pengosongan kandung kemih dengan mengencangkan sfingter
eksternum dan diafragma pelvis. Impuls eksitator volunteer dari
korteks serebrum mengalahkan sinyal inhibitorik volunteer dari
korteks serebrum mengalahkan sinyal inhibitorik, sehingga otot-otot
ini tetap berkontraksi dan tidak ada urin yang keluar.14,16
Berkemih tidak dapat ditahan selamanya. Karena kandung kemih
terus terisi, sinyal reflex dari reseptor regang meningkat seiring waktu.
Akhirnya, sinyal inhibitorik reflex ke neuron motoric sfingter
eksternum menjadi sedemikian kuat yang tidak lagi dapat diatasi oleh
sinyal eksitatorik volunteer sehingga sfingter eksternum melemas dan
kandung kemih secara tak terkontrol mengosongkan isinya.
11
Berkemih dapat juga dimulai dengan sengaja walaupun kandung
kemih tidak teregang, yaitu dengan secara sadar melemaskan afingter
uretra eksternal dan diafragma pelvis. Dengan merendahkan rongga
dasar pelvis, kandung kemih jatuh ke bawah, yang secara bersamaan
menarik sfingter uretra interna terbuka dan meregangkan dinding
kandung kemih. Aktivasi lebih lanjutt reseptor regang menyebabkan
kontraksi kandung keih melalui reflex berkemih. Pengosongan
kandung kemih yang disadari juga dibantu oleh kontraksi dinding
abdomen dan diafragma pernapasan. Hasil dari peningkatan tekanan
intraabdominal memeras kandung kemih untuk memudahkan
pengosongan.
Gambar 2.3. Pengosongan Kandung Kemih14
2.1.4. Fase Pengosongan Kandung Kemih
Dalam keadaan normal, kandung kemih dan uretra berhubungan
secara simultan dalam penyimpanan dan pengeluaran urin. Selama
penyimpanan, leher kandung kemih dan uretra proksimal menutup, dan
12
tekanan intra uretral berkisar antara 20-50 cmH2O. Sementara itu otot
detrusor berelaksasi sehingga tekanan dalam kandung kemih (intravesikal)
tetap rendah (5-10 H2O). Mekanisme berkemih, terdiri dari 2 fase yaitu
fase pengisian dan fase pengosongan kandung kemih.17,18
1. Fase pengisian (Filling Phase)
Untuk mempertahankan kontinensia urin, tekanan intra uretra
selamanya harus melebihi tekanan intravesika kecuali pada saat
miksi (void). Selama masa pengisian, ternyata hanya terjadi sedikit
peningkatan tekanan intravesika, hal ini disebabkan oleh
kelenturan dinding vesika dan mekanisme neural yang diaktifkan
pada saat pengisian vesika urinaria. Mekanisme neural ini
termasuk refleks simpatetik spinal yang mengaktifkan reseptor β
pada vesika urinaria dan menghambat aktifitas parasimpatis.
Selama masa pengisian vesika urinaria tidak ada aktivitas
kontraktil involunter pada detrusor. Tekanan normal intravesika
maksimal adalah 50 cm H2O sedangkan tekanan intrauretra dalam
keadaan istirahat antara 50 – 100 cm H2O. Selama pengisian
vesika urinaria, tekanan uretra perlahan meningkat, mekanismenya
belum jelas tapi EMG (electromyogram) dari pelvis menunjukkan
peningkatan aktivitas pada saat pengisian vesika urinaria, yang
cenderung ke arah peningkatan aktifitas otot lurik spinchter.
Refleks simpatis juga meningkatkan stimulasi reseptor α pada otot
polos uretra dan meningkatkan konstriksi uretra pada saat
pengisian vesika urinaria.
2. Fase miksi (Voiding Phase)
Selama fase miksi terdapat penurunan aktifitas EMG dan
penurunan tekanan uretra yang mendahului kontraksi detrusor.
Terjadi peningkatan intravesika selama peningkatan sensasi
distensi untuk miksi. Pusat miksi terletak pada batang otak, dan
pengosongan vesika urinaria yang terkoordinasi bergantung pada
jalur syaraf ascending maupun descending yang utuh. Refleks
simpatis dihambat, aktifitas efferen somatik pada otot lurik
13
spinchter dihambat, dan aktifitas parasimpatis pada detrusor
ditingkatkan. Semua ini menghasilkan kontraksi yang terkoordinasi
dari otot detrusor bersamaan dengan penurunan resistensi yang
melibatkan otot lurik dan polos uretra. Terjadi penurunan leher
vesika urinaria dan terjadi aliran urin. Ketika miksi berakhir secara
volunter, dasar panggul berkontraksi untuk meninggikan leher
vesika urinaria ke arah simfisis pubis, leher vesika tertutup dan
tekanan detrusor menurun.17–19
Gambar 2.4. Fase Pengosongan Kandung Kemih19
14
2.2. Overactive Bladder (OAB)
Overactive Bladder adalah salah satu sindroma klinik yang
merupakan salah satu bentuk dari kelainan overactive detrusor. Overactive
detrusor adalah suatu keadaan dimana terjadi aktivitas atau kontraksi
kandung kemih yang berlebihan.5,20
2.2.1. Patofisiologi Overactive Bladder
Vesika urinaria adalah organ yang dilapisi otot polos
dikendalikan oleh sistem saraf pusat ketika keinginan untuk
melakukan miksi, oleh karena itu gangguan dari sistem saraf
maupun kerusakan otot vesika urinaria sendiri dapat menyebabkan
OAB. Penyebab pasti dari OAB masih diperdebatkan, namun
beberapa teori mengenai penyebab OAB yang dibagi menjadi 3,
yaitu: (1) Teori neurogenic (2) Teori myogenic, dan (3) Teori
neurotransmitter.
Penyebab neurogenik tersebut antara lain adalah penurunan
inhibisi suprapontin terhadap refleks miksi, seperti yang terjadi
pada pasien pasca stroke. Disamping itu, kerusakan jaras akson
pada korda spinalis, meningkatnya input aferen pada Lower
Urinary Tract (LUT), hilangnya inhibisi perifer, dan meningkatnya
neurotransmisi pada jaras refleks miksi, yang kesemuanya bisa
terjadi pada stroke, cedera korda spinalis, dan sklerosis multiple.21
Teori myogenik, dapat terlihat pada pasien yang menderita
obstruksi intravesika, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intravesika; yang berakibat terjadinya denervasi otot polos
detrusor. Bangkitan potensial aksi pada otot polos menjadi
terganggu dan tidak bisa disebarkan dari sel ke sel otot polos yang
lain. Denervasi ini menyebabkan timbulnya gerakan mikro
(micromotion), yang justru meningkatkan tekanan intravesika dan
15
memberikan rangsangan pada reseptor aferen otot polos.
Rangsangan ini akan memberikan umpan balik ke sistem saraf
pusat sehingga timbul sensasi OAB.18
Dalam teori lainnya yaitu teori neurotransmiter
dikemukakan bahwa asetilkolin (Ach) yang dikeluarkan dari
urotelium pada saat distensi vesika urinaria jauh lebih banyak
daripada normal, disamping itu reseptor sensoris pada urotelium
lebih sensitif terhadap Ach yang dikeluarkannya. Kedua hal
tersebut memberikan umpan balik pada susunan saraf pusat yang
memberikan perasaan urgensi dari suatu OAB.18,21
Pada keadaan normal, selama proses pengisian vesika
urinaria, tidak terjadi aktivitas saraf eferen postganglionik. Dalam
hipotesis lain disebutkan bahwa pada pasien OAB, terdapat
kebocoran Ach pada serabut eferen, menyebabkan gerakan mikro
(micromotions) pada otot polos detrusor dan menstimulasi SSP,
yang menyebabkan perasaan urgensi.
Namun, beberapa pendapat mengenai terjadina OAB
biasanya berhubungan dengan kontraksi involunter dari otot
destrusor. Aktivitas yang berlebihan dari otot destrusor dapat
menyebabkan urge inkontinensia, bergantung respon dari sfingter.
Terjadinya overactive bladder (OAB) disebabkan adanya
kontraksi yang berlebihan dari otot detrusor secara involunter
selama fase pengisian, yang menyebabkan adanya urgensi ataupun
urge inkontinensia, tergantung pada respon dari otot sfingter.
Aktifitas yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor otot itu
sendiri. Tes urodinamik memperlihatkan bahwa separuh dari
penderita usia lanjut dengan kontraksi otot detrusor yang
berlebihan dapat mengosongkan sepertiga isi kandung kemih
melalui kontraksi otot tersebut secara involunter.
16
Otot detrusor kandung kemih mengandung reseptor
kolinergik, reseptor muskarinik dan reseptor adrenergik α dan β.
Berdasarkan distribusi reseptor otonom, secara teoritis muskarinik
agonist efektif untuk meningkatkan kontraksi otot polos dan
pengosongan kandung kemih. Α-adrenergic agonist efektif
meningkatkan tonus uretra dan mengurangi inkontinensia
sedangkan β-adrenergic agonist efektif dalam meningkatkan
kapasitas kandung kemih. Sebaliknya antagonis muskarinik efektif
dalam mengurangi hiperaktivitas kandung kemih dan α antagonis
efektif dalam mengurangi tekanan uretra.
Secara farmakologis reseptor muskarinik telah dikenali
sebagai M1, M2, M3, M4 dan M5. Secara umum reseptor M1
terutama terdapat dalam ganglion dan glandula sekretoris, reseptor
M2, terdapat dalam miokardium dan otot polos, reseptor M3
terdapat dalam otot polos dan glandula sekretoris. Reseptor M4 dan
M5 terdapat dalam berbagai sel di tubuh. Berdasarkan distribusi
tersebut, reseptor utama yang terdapat pada kandung kemih adalah
reseptor M2 (60-80%) dan M3 (20-40%). Tehnik kloning
molekuler telah mengenal subtipe tambahan reseptor muskarinik
lain yaitu m1, m2, m3, m4, dan m5 dimana lokasi dan spesifitasnya
berhubungan dengan reseptor M1, M2, M3, M4, dan M5.21,22
Reseptor kandung kemih dan uretra terhadap stimulasi
reseptor diperantarai oleh kegiatan sistim “massenger” yang
spesifik. Aktivitas reseptor m1, m3 dan m5 akan merangsang
fosfolipase C dan akan menyebabkan pecahnya fosfatidil inositol
polifosfat menjadi inositol polifosfat. Inositol-1,4,5-trifosfat (IP3)
yang merupakan salah satu produk hidrolisis akan menyebabkan
pelepasan kalsium intraseluler dari retikulum endoplasma dan
mengakibatkan kontraksi otot polos. Diasil gliserol merupakan
produk hidrolisis lain yang akan mengaktivasi kalsium – protein
kinase yang mengakibatkan terjadinya fosforilasi. Stimulasi
reseptor m2 dan m4 tidak lepas hubungannya dengan membran
17
yang berkaitan dengan protein G1. Stimulasi G1 mengakibatkan
penghambat adenilsiklase dan penurunan siklik AMP intraseluler,
aktivasi potassium channel dan menghambat voltase yang
tergantung pada calcium channel. Stimulasi reseptor α2 seperti
halnya terhadap reseptor M2, mengaktivasi protein G1 dan
menyebabkan inhibisi adenilsiklase. Sebaliknya stimulasi reseptor
α1 tidak berefek pada siklik AMP, tetapi menstimulasi hidrolisis
fosfatidil inositol polifosfat (seperti halnya pada reseptor M1 dan
M3). Aktivasi reseptor β adrenergik menghasilkan stimulasi adenil
siklase dan peningkatan siklik AMP dari ATP.21,22
Peningkatan siklik AMP yang mengaktivasi siklik AMP –
protein kinase menyebabkan terjadinya fosforilasi. Fosforilasi akan
mengaktivasi atau menginaktivasi protein spesifik, tergantung
respon karakteristik organ target. Berdasarkan basis-intraseluler,
kontraksi detrusor, seperti umumnya semua otot polos tergantung
pada interaksi aktin dan miosin melalui fosforilase rantai ringan
miosin.15,17,18,21,22
Asetilkolin yang berinteraksi dengan reseptor muskarinik
pada otot detrusor merupakan neurotransmiter saraf perifer utama
yang bertanggung jawab atas kontraksi kandung kemih. Diantara
kelima subtipe muskarinik yaitu M1 dan M5, pada manusia secara
klinis peranan M3 tampaknya yang paling relevan. Asetikolin
berinteraksi dengan reseptor M3 mengawali suatu kaskade yang
menghasilkan kontraksi otot polos. Data dari hasil penelitian yang
dilakukan pada kandung kemih tikus memperlihatkan bahwa
reseptor M2 kemungkinan juga dapat memfasilitasi kontraksi
kandung kemih.
Serabut saraf sensoris A delta yang bermielin
mengakibatkan distensi kandung kemih secara pasif dan kontraksi
kandung kemih secara aktif.. Serabut saraf C adalah relatif tidak
aktif selama berkemih normal. Beberapa tipe reseptor telahdikenali
18
pada aferen, termasuk reseptor vanilloid, yang diaktivasi oleh
capsaicin dan mungkin oleh endogenous anandamide; reseptor
purinergic (P2X); reseptor neurokinin, yang beraksi terhadap
substansi P dan neurokinin A; dan reseptor – reseptor growth
factor. Substansi lain termasuk nitric oxide, calcitonin gene-related
protein, dan brain-derived neurotropic factor juga mempunyai
peran penting dalam modulasi sensor aferen pada otot detrusor
manusia.15,17–19,21,22
Pemahaman yang lebih baik terhadap pengaruh atau
peranan yang kompleks dari bermacam – macam neurotransmiter
diatas dan substansi lain yang merupakan derivat dari ureopitelium,
sel otot detrusor, serabut saraf aferen sendiri hendaknya
memberikan suatu target terapi yang spesifik dan terbaru sebagai
medikamentosa untuk keadaan Overactive Bladder.
Elbadwi dkk menggunakan mikroskop eletron untuk
melihat hasil biopsi otot detrusor pada pasien – pasien usialanjut
yang memiliki gangguan berkemih berdasarkan pemeriksaan
urodinamik. Hasilnya adalah ditemukan „dysjunction pattern” pada
penderita overactive bladder (OAB).Sedangkan kondisi
psikosomatik sebagai etiologi Overactive Bladder telah lama
diketahui, dimana pasien memiliki tingkat distres dan ansietas yang
tinggi. Sulit untuk menetapkan apakah kondisi ini merupakan
penyebab atau akibat dari Overactive Bladder.
2.2.2. Gejala Overactive Bladder
Gejala klinis gangguan OAB meliputi: 5,19
a. Urgensi
Keinginan yang sangat kuat untuk berkemih, yang sulit untuk
ditunda
b. Inkontinensia urgensiKeluarnya urin secara tidak diinginkan yang
sebelumnya didahului oleh urgensi
19
c. Frekuensi
Terlalu sering berkemih, dalam sehari > 8 kali
d. Nokturia
Terbangun untuk berkemih pada malam hari > 1 kali
2.2.3. Diagnosis Overactive Bladder
Diagnosis OAB dapat dibuat berdasarkan: 23
b. Anamnesis riwayat penyakit
Di dalam menggali riwayat penyakit harus diperhatikan berbagai
hal, yakni :
Berapa kali ia berkemih pada siang atau malam hari ?
Setiap berapa lama (menit/jam) jarak antara berkemih ?
Berapa lama ia dapat menunda berkemih setelah muncul
keinginan berkemih (urge) datang ?
Harus ditentukan kenapa ia seringkali harus berkemih, apakah
karenatimbulnya urgensi, atau hanya karena rasa tidak enak
harus membuang urinnya, atau usaha untuk mencegah
inkontinensia ?
Jika terdapat inkontinensia, harus ditentukan jenisnya, apakah
stress (terjadi pada saat batuk, bersin, merubah posisi dari
duduk ke berdiri atau latihan), urge, atau campuran ?
Apakah pasien menyadari celana dalamnya basah oleh urin ?
Apakah memakai pempers (pembalut) ? apakah pempernya
selalu basah penuh urin ? seberapa sering ia menggantinya ?
Apakah ada kesulitan memulai berkemih ? apakah perlu
mengedan dulu ?
Apakah pancaran urin lemah atau terputus-putus ? pernahkah
mengalami retensi urin ? pada perempuan, pernahkah
mengalami prolaps organ (vagina) ? nyeri daerah sakral, atau
kesulitan defekasi ? Harus dicari kemungkinan adanya gejala
20
neurologis (double vision, kelemahan otot, paralisis, gangguan
koordinasi, tremor, rasa tebal) keadaan neurologis yang
diketahui berefek pada vesica urinaria, antara lain cedera
spinal, penyakit diskus lumbalis, mielodisplasia, diabetes, dan
parkinson.
Riwayat operasi vagina, pernah operasi inkontinensia urin,
operasi desobstruksi uretra, atau pernah radiasi.
Untuk mengetahui derajat keparahan OAB, pasien dapat
mengisi kuesioner (sistem skoring) OAB yang telah dirancang.
c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik difokuskan untuk mendeteksi adanya kelainan
anatomi maupun neurologi yang dapat menyebabkan timbulnya
gejala itu. Pemeriksaan dimulai dari mengamati cara berjalan dan
sikap pasien saat masuk keruang periksa. Perlu diperiksa daerah
abdomen dan pinggang. Colok dubur untuk mengetahui kelainan
prostat. Dermatom sacral dievaluasi dengan memeriksa tonus
sfingter ani, dan refleks bulbokavernosus apabila dibutuhkan.
Beberapa ahli menyarankan pemeriksaan uroflometri
(terutama pada pasien laki-laki), tetapi pemeriksaan urodinamika
diindikasikan pada pasien yang gagal setelah terapi konservatif,
atau bagi pasien yang memiliki sisa urin sangat banyak setelah
miksi, kelainan uroflometri, atau pada kasus yang sulit dan tidak
sederhana.
2.2.4. Skor OAB Menggunakan OABSS
Skoring OAB sendiri memiliki jenis yang sangat bervariasi,
namum setiap kuesioner tersebut menanyakan mengenai aspek urgensi,
nokturia, dan peningkatan frekuensi. Salah satu kuesionernya yaitu
OverActive Bladder Symptom Scores (OABSS) yang mengkategorikannya
menjadi 3 yaitu: Ringan, Sedang, dan Berat.
21
Gambar 2.5 Kuesioner Skrinning dan Derajat OAB
22
Gambar 2.6 kuesioner Skrinning dan Derajat OAB 2012
2.2.5. Faktor Resiko Overactive Bladder
Menurut kepustakaan yang merupakan faktor resiko OAB antara lain
adalah: 5,15,19,24,25
a. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia wanita sangat berhubungan
erat dengan inkontinensia urin.Inkontinensia urin merupakan hal yang
lazim ditemui pada wanita usia lanjut, maka sering dianggap normal dan
23
merupakan hal yang tidak terlepaskan pada wanita tua. Prevalensinya
meningkat secara progresif terhadap umur. Inkontionensia seharusnya
dianggap normal dengan pertambahan usia, dimana terjadi perubahan pada
struktur kandung kemih dan struktur pelvic yang disebabkan oleh
pertambahan usia yang kemudian bermanifestasi menjadi inkontinensia
urin.
b. Paritas
Persalinan dapat merubah elastisitas dasar panggul sebagai konsekuensi
dari melemah dan meregangnya otot-otot serta jaringan ikat selama
persalinan berlangsung. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat laserasi
spontan atau episiotomi. Akibat dari kejadian ini, akan mengakibatkan
gangguan kontraksi pada otot sfingter uretra dan kandung kemih.
c. Index Massa Tubuh
Dari penelitian yang dilakukan oleh Parazzini, Chiaffarino, Lavezzari dan
Giambanco (2003) menemukan bahwa resiko inkontinensia urin meningkat
dihubungkan dengan peningkatan massa indeks tubuh. Banyak penelitian
melaporkan adanya hubungan antara peningkatan berat badan atau
peningkatan massa indeks tubuh dengan inkontinensia. Menurut Doran dkk,
2001, setiap kilogram menambah tekanan terhadap kandung kemih, dimana
hal ini menjadi kontribusi terhadap kejadian inkontinensia urin. Akibat
obesitas dapat menyebabkan peregangan kronik dan melemahkan otot-otot
dasar panggul, saraf serta struktur lainnya di dasar panggul. Hal ini
menyebabkan inkontinensia urin. Obesitas merupakan faktor resiko
independen terhadap kejadian inkontinensia urin. Kehilangan berat badan
yang berlebihan secara signifikan menurunkan kejadian inkontinensia urin
pada wanita obese. Namun, obesitas masih menjadi faktor resiko yang
kontroversial.
d. cara Persalinan
Menurut Rubin (2003), wanita yang menjalani operasi sesar akan lebih
sedikit menderita inkontinensia urin dibandingkan dengan wanita yang
melahirkan secara normal. Proses kelahiran dapat mempengaruhi elastisitas
pada rongga panggul dimana terjadi pereganggan otot-otot dan jaringan
24
sewaktu melahirkan. Akibat peregangan tersebut dapat merusak saraf
pudendal, saraf pelvik, otot serta jaringan pelvik sekitarnya yang dapat
mempengaruhi kemampuan meregang dari sphincter uretra untuk
berkontraksi dalam merespon peningkatan tekanan intra abdominal.
(Morkved, Schei dan Asmund 2003; Viktrup & Lose 2001; Rubin, 2003).
e. Menopause
Gangguan berkemih sering dijumpai pada wanita menopause. Perubahan
atrofi (seperti lemak tubuh, kulit dan otot), penurunan kadar estrogen tubuh
padamenopause dapat menjadi kontribusi dalam peningkatan kejadian
inkontinensia urin. Dengan menurunnya kadar estrogen, maka otot-otot
detrusor kandung kemih menjadi lebih mudah berkontraksi.
f. Riwayat operasi histerektomi.
Dalam pemantauan secara sistematik terhadap bukti yang ada, penelitian
menunjukkan bahwa histerektomi berhubungan dengan inkontinensia urin
(Brown et al., 2000). Dilaporkan seorang wanita yang mengalami
inkontinensia urin segera setelah histerektomi. Inkontinensia urin pasca
histerektomi dapat disebabkan oleh kerusakan saraf sewaktu menjalani
prosedur dan gangguan muskulofasial pada vesika urinaria di sekeliling
dinding pelvik (Hunskaar et al.2000)
g. Riwayat keluarga
Dari hasil penelitian OAB pada wanita di Asia (meliputi 11 negara Asia,
yaitu Thailand, Philipina, Taiwan, India, Pakistan, Korea Selatan,
Hongkong, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Cina) dilaporkan bahwa
usia lanjut, riwayat sering melahirkan dan riwayat keluarga menderita OAB
sering dihubungkan dengan peningkatan kejadian gangguan OAB
h. Stress, depresi dan kecemasan
Penelitian yang pernah dilakukan oleh H.Henry lal mengenai hubungan
antara kecemasan dan OAB mendapatkan adanya hubungan antara kedua
variable tersebut. Sementara itu pada penelitian yang dilakukan oleh Iane
Galuce dkk mengenai depresi dan OAB juga mendapatkan hubungan yang
signifikan. Sebaliknya, pada penelitian dengan hubungan stress dengan
25
OAB tidak didapatkan adanya hubungan dengan derajat keparahan dari
OABnya.
2.3. STRESS
2.3.1. Definisi Stres
Menurut American Institute of Stress tahun 2010 disebutkan bahwa
tidak ada definisi yang pasti untuk stres karena setiap individu akan
memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres yang sama, sedangkan
menurut National of Asosiation of School Psychologist tahun 1998
disebutkan bahwa stres adalah perasaan yang tidak menyenangkan dan
diinterpretasikan secara berbeda antara individu yang satu dengan individu
yang lainnya.26
Menurut Hans Selye, stres merupakan respon tubuh yang bersifat
tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dikatakan stres apabila seseorang mengalami
beban atau tugas yang berat tetapi orang tersebut tidak dapat mengatasi
tugas yang dibebankan itu, maka tubuh akan berespon dengan tidak
mampu terhadap tugas tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami
stres. Respons atau tindakan ini termasuk respons fisiologis dan
psikologis.27
Dapat disimpulkan bahwa stres dapat didefenisikan sebagai sebuah
keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuain antara tuntutan
yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya. Sesuatu yang
menyebabkan timbulnya stres disebut stressor.28
2.3.2. Jenis-Jenis Stres
Quick dan Quick mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
29
a. Eustress
Yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat,
positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut
26
termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi
yangdiasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan
adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
b. Distress
Yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak
sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut
termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit
kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran yang tinggi, yang
diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
2.3.3. Klasifikasi Stres
a. Stres Akut (Acute Stress)
Merupakan reaksi terhadap ancaman yang segera, umunya
dikenal dengan respon atas pertengkaran atau penerbangan (fight
or flight). Suatu ancaman dapat terjadi pada situasi apa pun yang
pernah dialami bahkan secara tidak disadari atau salah dianggap
sebagai suatu bahaya. Penyebab-penyebab stres akut antara lain: 29
kebisingan, keramaian, pengasingan, lapar, bahaya, infeksi, dan
bayangan suatu ancaman atau ingatan atas suatu peristiwa
berbahaya (mengerikan).
Pada banyak kejadian, suatu waktu ancaman akut telah
dilalui, suatu respon menjadi tidak aktif dan tingkat-tingkat
hormon stres kembali normal, suatu kondisi yang disebut respon
relaksasi (relaxation response).29
b. Stres Kronis (Chronic Stress).
Kehidupan modern menciptakan situasi stres
berkesinambungan yang tidak berumur pendek. Penyebab-
penyebab umum stres kronis antara lain: 30
kerja dengan tekanan
tinggi yang terus menerus, problem-problem hubungan jangka
panjang, kesepian, dan kekhawatiran finansial yang terus-menerus.
27
2.3.4. Tipe-Tipe Stres
a. Tekanan
Hasil hubungan antara peristiwa-peristiwa persekitaran
dengan individu. Paras tekanan yang dihasilkan akan bergantung
kepada sumber tekanan dan cara individu tersebut bertindak balas.
Tekanan mental adalah sebagian daripada kehidupan harian. Ia
merujuk kepada kaidah yang menyebabkan ketenangan individu
terasa diancam oleh peristiwa di sekitarnya dan menyebabkan
individu tersebut bertindak balas. Tekanan mental yang sederhana
dapat menjadi pendorong kepada satu-satu tindakan dan
pencapaian tetapi kalau tekanan mental anda itu terlalu tinggi, ia
dapat menimbulkan masalah sosial dan seterusnya menggangu
kesehatan anda.30
b. Frustasi
Yaitu suatu harapan yang diinginkan dan kenyataan yang
terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.30
c. Konflik
Berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana
salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.30
d. Kecemasan
Kecemasan itu suatu respon atau sinyal menyadarkan
seseorang tentang prasaan khawatir , gelisah , dan takut yang
sedang ia rasakan. Ini timbul dari emosi seseorang karena merasa
tidak nyaman, tidak aman atau merasakan ancaman dan sering kali
terjadi tanpa adanya penyebab yang jelas ini karena respon
terhadap situasi yang kelihatannya tidak menakutkan.
28
2.3.5. Aspek Stres
a. Stimulus
Keadaan/situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam
atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut
sebagai stressor.
b. Respon
Respon adalah reaksi seseorang terhadap stresor. Terdapat
dua komponen yang saling berhubungan, komponen Fisiologis dan
komponen Psikologis. Dimana kedua respon tersebut disebut
dengan strain atau ketegangan.
1) Komponen Fisiologis, misalnya detak jantung, sakit perut,
keringat.
2) Komponen psikologis, misalnya pola berfikir dan emosi
c. Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stresor dan strain
ditambah dengan satu dimensi yang peting yaitu hubungan antara
manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan
penyesuaian diri yang kontinyu yang disebut juga dengan
istilahtransaksi antara manusia dengan lingkungan, yang
didalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang
lain merasakannya
2.3.6. Faktor-Faktor Penyebab Stres
Stres dapat terjadi karena:
a. Fisik-Biologik
1) Penyakit sulit disembuhkan
2) Cacat fisik
3) Merasa penampilan kurang menarik
b. Psikologik
29
1) Negatif thinking
2) Sikap permusuhan
3) Iri hati
4) Dendam dan sejenisnya
c. Sosial
1) Kehidupan keluarga yang tidak harmonis
2) Faktor pekerjaan
3) Iklim lingkungan.
d. Pekerjaan “occupational stress”
1) Tuntutan kerja, terlalu banyak dan membuat orang
bekerja terlalu keras dan lembur karena keharusan
mengerjakannya.
2) Jenis pekerjaan, misalnya : jenis pekerjaan yang
memberikan penilaian atas penampilan kerja bawahannya
(supervisi), guru, dan dosen.
3) Pekerjaan yang menuntut tanggung jawab bagi
kehidupanmanusia
2.3.7. Fisiologi Stres
Stres fisik atau emosional mengaktivasi amygdala yang merupakan
bagian dari sistem limbik yang berhubungan dengan komponen emosional
dari otak. Respon emosional yang timbul ditahan oleh input dari pusat
yang lebih tinggi di forebrain. Respon neurologis dari amygdala
ditransmisikan dan menstimulasi respon hormonal dari hipotalamus.
Hipotalamus akan melepaskan hormon CRF (corticotropin-releasing
factor) yang menstimulasi hipofisis untuk melepaskan hormon lain yaitu
ACTH (adrenocorticotropic hormone) ke dalam darah. ACTH sebagai
gantinya menstimulasi kelenjar adrenal untuk menghasilkan kortisol, suatu
kelenjar kecil yang berada di atas ginjal. Semakin berat stres, kelenjar
30
adrenal akan menghasilkan kortisol semakin banyak dan menekan sistem
imun.
Secara simultan, hipotalamus bekerja secara langsung pada sistem
otonom untuk merangsang respon yang segera terhadap stres. Sistem
otonom sendiri diperlukan dalam menjaga keseimbangan tubuh. Sistem
otonom terbagi dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem
simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulasi atau stres. Reaksi
yang timbul berupa peningkatan denyut jantung, napas yang cepat,
penurunan aktivitas gastrointestinal. Sementara sistem parasimpatis
membuat tubuh kembali ke keadaan istirahat melalui penurunan denyut
jantung, perlambatan pernapasan, meningkatkan aktivitas gastrointestinal.
Perangsangan yang berkelanjutan terhadap sistem simpatis menimbulkan
respon stress yang berulang-ulang dan menempatkan sistem otonom pada
ketidakseimbangan. Keseimbangan antara kedua sistem ini sangat penting
bagi kesehatan tubuh. Dengan demikian tubuh dipersiapkan untuk
melawan atau reaksi menghindar melalui satu mekanisme rangkap: satu
respon saraf, jangka pendek, dan satu respon hormonal yang bersifat lebih
lama.
2.3.8. Respon Fisiologis Tubuh Terhadap Stres
Hans Selye menyebutkan ada 2 respon fisiologis tubuh terhadap
yaitu : Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation
Syndrome (GAS).
a. Local Adaptation Syndrom (LAS)
Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap stress.
Respon setempat ini termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka,
akomodasi mata terhadap cahaya, dll. Responnya berjangka pendek.
Karakteristik dari LAS :
1) respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua system
2) respon bersifat adaptif; diperlukan stressor untuk menstimulasikannya.
31
3) respon bersifat jangka pendek dan tidak terus menerus.
4) respon bersifat restorative.
b. General Adaptation Syndrom (GAS)
GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap
stres. Respon yang terlibat didalamanya adalah sistem saraf otonom dan
sistem endokrin. Di beberapa buku teks GAS sering disamakan dengan
Sistem Neuroendokrin. Menurut Selye dalam fase GAS ada 3 (tiga)
tingkatan yang berbeda dari respon fisik dan mental atau tanggapan
seseorang terhadap stres yaitu peringatan (alarm), perlawanan
(resistance), dan peredaan (exhaustion).
1) Tahap peringatan dini atau alarm, merupakan tahapan awal dari reaksi
tubuh saat menyadari adanya suatu tekanan atau stres. Reaksi awal pada
umumnya terjadi dalam bentuk suatu pesan biokimia yang ditandai dengan
gejala seperti otot menegang, tekanan darah dan denyut jantung meningkat
dan sebagainya.
2) Tahap perlawanan, yang ditandai dengan adanya gejala ketegangan,
kegelisahan, kelesuan dan sebagainya yang menandakan seseorang sedang
melakukan perlawanan terhadap stres. Perlawanan terhadap stres sering
menimbulkan terjadinya kecelakaan, pengambilan keputusan yang kurang
baik dan sakit- sakitan.
3) Tahap peredaan ditandai dengan runtuhnya tingkat perlawanan. Pada
tahap ini akan muncul berbagai macampenyakit seperti tekanan darah
tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gula darah, dan sebagainya.
c. Reaksi Psikologis
Seperti gelisah, cemas, tidak dapat berkonsentrasi dalam pekejaan
atau belajar, sikap pesimis, hilang rasa humor, malas, sikap apatis, sering
melamun, sering marah-marah bersikap agresif baik secara verbal seperti
berkata-kata kasar, suka menghina, mupun non verbal seperti menendang-
32
nendang, menempeleng, membanting pintu atau memecahkan barang-
barang. Reaksi psikologis yang paling sering terjadi adalah :
1) Kecemasan
Respon yang paling umum merupakan tanda bahaya yang
menyatakan diri dengan suatu penghayatan yang khas, yang sukar
digambarkan adalah emosi yang tidak menyenangkan istilah “kuatir,”
“tegang,” “prihatin,” “takut”fisik antung berdebar, keluar keringat dingin,
mulut kering, tekanan darah tinggi dan susah tidur.
2) Kemarahan dan Agresi
Yakni perasaan jengkel sebagai respon terhadap kecemasan yang
dirasakan sebagai ancaman. Merupakan reaksi umum lain terhadap situasi
stress yang mungkin dapat menyebabkan agresi, Agresi ialah kemarahan
yang meluap-luap, dan orang melakukan serangan secara kasar dengan
jalan yang tidak wajar. Kadang-kadang disertai perilaku kegilaan, tindak
sadis dan usaha membunuh orang.
3) Depresi
Yaitu keadaan yang ditandai dengan hilangnya gairah dan
semangat. Terkadang disertai rasa sedih yang mendalam dan ingin bunuh
diri.
2.3.9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Seseorang dalam Merespon Stres
Respons terhadap stresor yang diberikan setiap individu akan
berbeda berdasarkan faktor yang akan mempengaruhi dari stresor tersebut,
dan coping yang dimiliki individu, di antara stresor yang dapat
mempengaruhi respons tubuh antara lain:
a. Sifat Stresor
Sifat stresor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
respons tubuh terhadap stresor. Sifat stesor ini dapat berupa tiba-
33
tiba atau berangsur-angsur, sifat ini pada setiap individu dapat
berbeda tergantung dari pemahaman tentang arti stresor.
b. Durasi Stresor
Lamanya stresor yang dialami klien akan mempengaruhi
respons tubuh. Apabila stresor yang dialami lebih lama, maka
respons yang dilaminya juga akan lebih lama dan dapat
mempengaruhi dari fungsi tubuh yang lain.
c. Jumlah Stresor
Jumlah stresor yang dialami seseorang dapat menentuka
respons tubuh. Semakin banyak stresor yang dialami pada
seseorang, dapat menimbulkan dampak besar bagi fungsi tubuh
juga sebaliknya dengan jumlah stresor yang dialami banyak dan
kemampuan adaptasi baik, maka seseorang akan memiliki
kemampuan dalam mengatasinya.
d. Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman ini juga dapat mempengaruhi respons tubuh
terhadap stresoryang dimiliki. Semakin banyak stresor dan
pengalaman yang dialami dan mampu menghadapinya, maka
semakin baik dalam mengatasinya sehingga kemampuan
adaptifnya akan semakin baik pula.
e. Tipe Kepribadian
Tipe kepribadian seseorang juga dapat mempengaruhi
respons terhadap stresor. Apabila seseorang yang memiliki tipe
kepribadian A, maka lebih rentan terkena stress dibandingkan
dengan tipe kepribadian B. tipe kepribadian A memiliki ciri
ambisius, agresif, kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah
tersinggung, mudah marah, memiliki kewaspadaan yang
berlebihan, berbicara cepat, bekerja tidak kenal waktu, pandai
berorganisasi dan memimpin atau memerintah, lebih suka bekerja
34
sendirian bila ada tantangan, kaku terhadap waktu, ramah, tidak
mudah dipengaruhi, bila berlibur fikirannya ke pekerjaan dan lain-
lain. Sedangkan tipe kepribadian B memiliki sikap tidak agresif
ambisinya wajar-wajar, penyabar, senang, tidak mudah
tersinggung, tidak mudah marah, cara berbicara tidak tergesa-gesa,
perilaku tidak interaktif, lebih suka kerjasama, mudah bergaul, dan
lain-lain atau merupakan kebalikan dari tipe kepribadian A.
f. Tingkat Perkembangan
Tingkat perkembangan pada individu ini juga dapat
mempengaruhi respons tubuh di mana semakin matang dalam
perkembangannya, maka semakin baik pula kemampuan untuk
mengatsinya. Dalam perkembangannya kemampuan individu
dalam mengatasi stresor dan respons terhadapnya berbeda-beda
dan stresor yang dihadapinya pun beda yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
2.3.10. Gejala Adaptasi Umum Stres
Menurut Ghani seseorang mengalami stres dapat dilihat dari tanda-
tanda, diantaranya adalah :
a. Gejala Fisik
Seperti sakit kepala, tekanan darah naik, dan serangan jantung.
b. Gejala Psikologis
Seperti sulit tidur, mimpi buruk, depresi, kerja gelisah/ tak
bergairah, bingung, mudah tersinggung/impulsif, dan gejala depresi
lainnya.
c. Gejala Perilaku
Seperti membolos, uring- uringan, produktivitas menurun, dan
sering membuat kekeliruan/ kesalahan kerja.
35
2.3.11. Dampak Stres
a. Pengaruh Positif
Stres dapat me ndorong orang untuk membangkitkan kesadaran dan
menghasilkan pengalaman baru.
b. Pengaruh Negatif
Pengaruh negatif dari stres antara lain adalah; menimbulkan
perasaan-perasaan tidak nyaman, tidak percaya diri, penolakan,
marah, depresi, memicu sakit kepala, sakit perut, insomnia,
tekanan darah tinggi, dan stroke. Selain itu, stres pada anak yang
berkepanjangan akan berpengaruh negatif pada pertumbuhan
kepribadiannya, yaitu kurang percaya diri dan takut melakukan
sesuatu.
2.3.12. Pendekatan Problem Solving Terhadap Stres
a. Strategi Koping yang Spontan Mengatasi Stres :
Koping yang digunakan individu secara sadar dan terarah dalam
mengatasi sakit atau stressor yang dihadapinya. Metode koping bisa
diperoleh dari proses belajar dan beberapa relaksasi. Jika individu
menggunaan strategi koping yang efektif dan cocok dengan stressor yang
dihadapinya, stressor tersebut tidak akan menimbulkan sakit (disease),
tetapi stressor tersebut akan menjadi suatu stimulan yang memberikan
wellness dan prestasi. Strategi koping yang berhasil mengatasi stres harus
memiliki empat komponen pokok:
1) Peningkatan Kesadaran terhadap Masalah: mengetahui dan
memahami masalah serta teori yang melatarbelakangi situasi yang tengah
berlangsung.
2) Pengolahan Informasi: suatu pendekatan dengan cara
mengalihkan persepsi sehingga ancaman yang ada akan diredam.
komponen ini meliputi pengumulan informasi dan pengkajian sumber daya
yang ada untuk memecahkan masalah.
36
3) Pengubahan Perilaku: suatu tindakan yang dipilih secara sadar
dan bersifat positif, yang dapat meringankan, meminimalkan, atau
menghilangkan stressor.
4) Resolusi Damai: suatu perasaan bahwa situasi telah berhasil di
atasi.
b. Defence Mechanisms ( Pertahanan Diri )
Menurut Lazanus tahun 2006 penanganan stress atau coping terdiri
dari dua bentuk, yaitu :
1. Problem - Pocused Coping ( Coping yang berfokus pada
masalah ) yaitu istilah Lazarus untuk strategi kognitif untuk
penanganan stress atau coping yang digunakan oleh
individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha
menyelesaikannya .
2. Emotion - Pocused Coping ( Coping yang berfokus pada
emosi ) yaitu istilah Lazarus untuk penanganan stress
dimana individu memberikan respon terhadap situasi stress
dengan cara emosional, terutama denngan menggunakan
penilaian defensif.
c. Strategi Penanganan Stres Dengan Mendekat Dan Menghindar
1) Strategi mendekati (approach strategies) meliputi usaha kognitif
untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi
penyebab stres tersebut dengan cara menghadapi penyebab stres
tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung
2) Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha
kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres
dan usaha yang muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri
atau menghindar dari penyebab stress.
37
d. Adaptasi.
Adaptasi adalah suatu perubahan yang menyertai individu dalam
berespons terhadap perubahan yang ada di lingkungan dan dapat
mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis
yang akan menghasilkan perilaku adaptif.
Macam-macam adaptasi, antara lain :
1) Adaptasi Fisiologis
Merupakan proses penyesuaian tubuh secara alamiah atau
secara fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dan
berbagai faktor yang menimbulkan atau mempengaruhi keadaan
menjadi tidak seimbang contohnya masuknya kuman penyakit,
maka secara fisiologis tubuh berusaha untuk mempertahankan baik
dari pintu masuknya kuman atau sudah masuk dalam tubuh.
Adaptasi secara fisiologis dapat dibagi menjadi dua yaitu: apabila
kejadiannya atau proses adaptasi bersifat lokal, maka itu disebut
dengan LAS (Local Adaptation Syndroma) seperti ketika daerah
tubuh atau kulit terkena infeksi, maka di daerah kulit tersebut akan
terjadi kemerahan, bengkak, nyeri, panas dan lain-lain yang
sifatnya lokal atau pada daerah sekitar yang terkena. Akan tetapi
apabila reaksi lokal tidak dapat diatasi dapat menyebabkan
gangguan secara sistemik tubuh akan melakukan proses
penyesuaian seperti panas seluruh tubuh, berkeringat dan lain-lain,
keadaan ini disebut sebagai GAS (General Adaption Syndrome).
2) Adaptasi Psikologis
Merupakan proses penyesuaian secara psikologis akibat
stresor yang ada, dengan memberikan mekanisme pertahanan dari
dengan harapan dapat melindungi atau bertahan diri dari serangan
atau hal-hal yang tidak menyenangkan. Dalam adaptasi secara
psikologis terdapat dua cara untuk mempertahankan diri dari
38
berbagai stresor yaitu dengan cara melakukan koping atau
penanganan diantaranya berorientasi pada tugas (task oriented)
yang di kenal dengan problem solving strategi dan ego oriented
atau mekanisme pertahanan diri.
3) Adaptasi Sosial Budaya
Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan
melakukan proses penyesuaian perilaku yang sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat, berkumpul dalam masyarakat dalam
kegiatan kemasyarakatan.
4) Adaptasi Spiritual.
Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan
perilaku yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang
dimiliki sesuai dengan agama yang dianutnya. Apabila mengalami
stres, maka seseorang akan giat melakukan ibadah.
2.3.13. Cara Mengelola Stres
a. Coping
Mengelola stres disebut dengan istilah coping. Menurut
R.S. Lazarus coping adalah proses mengelola tuntutan (internal
atau eksternal) yang diduga sebagai beban karena di luar
kemampuan individu. Coping terdiri atas upaya-upaya yang
berorientasi kegiatan dan intrapsikis (seperti menuntaskan, tabah,
mengurangi atau meminimalkan) tuntutan internal dan eksternal.
Adapun menurut Weiten dan Lloyd coping merupakan upaya-upya
untuk mengatasi, mengurangi atau mentoleransi beban perasaan
yang tercipta karena stres.
Faktor-faktor yang mempengaruhi coping:
1) Dukungan sosial.
Dukungan sosial dapat diartikan sebagai “bantuan dari orang
lain yang memiliki kedekatan (orang tua, suami/isteri, saudara
39
atau teman) terhadap seseorang yang mengalami stres.
Dukungan sosial memiliki empat fungsi: (a) sebagai emotional
support, meliputi pemberian curahan kasih sayang, perhatian
dan kepedulian; (b) sebagai appraisal support, meliputi
bantuan orang lain untuk menilai dan mengembangkan
kesadaran akan masalah yang dihadapi, termasuk usaha-usaha
mengklarifikasi dan memberikan umpan balik tentang hikmah
di balik masalah tersebut; (c) sebagai informational support,
meliputi nasehat/pengarahan dan diskusi tentang bagaimana
mengatasi atau memecahkan masalah; (d) sebagai instrumental
support, meliputi bantuan material, seperti memberikan tempat
tinggal, meminjamkan uang dan menyertai kunjungan ke biro
layanan sosial.
2). Kepribadian.
Kepribadian seseorang cukup besar pengaruhnya terhadap
coping atau usaha-usaha dalam menghadapi atau mengelola
stres. Adapun tipe-tipe kepribadian yang berpengaruh terhadap
coping adalah sebagai berikut: (1) Hardiness (ketabahan, daya
tahan) yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan sikap
komitmen, internal locus control dan kesadaran akan tantangan
(challenge); (2) Optimisme, yaitu kecenderungan umumuntuk
mengharapkan hasil-hasil yang baik atau sesuai harapan; (3)
Humoris.
2.3.14. Cara Mengatasi Stres
a. Ringkasan penilaian diri
Mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala-gejala yang
muncul dari aktivitasrespon stres anda akan membantu anda
memonitor reaksi anda terhadap tuntutan dan tekanan yang akan
dihadapi. Tanda-tanda dan gejala ini menjadi indikator bagi anda
untuk mengatasinya. Gunakan ini sebagaialat untuk merefleksikan
apa yang mungkin menjadi penyebab stres anda.
40
b. Mengembangkan kemampuan antisipasi masalah
Mengukur apa yang terjadi selanjutnya dan beban dan
tuntutan apa yang menyebabkan stres. Salnjutnya menyusun
rencana untuk mengatasi masalah dengan mempertimbangkan
akibat yang akan diterima dari tuntutan.
c. Mengubah tuntutan
Mengubah tuntutan dapat dilakukan dengan mengurangi
tuntutan atau meningkatkan tuntutan. Hal ini dilakukan
berdasarkan pengalaman-pengalaman terdahulu yang
menyebabkan anda stres. Cara Mengurangi tuntutan:
1) Tetap waspada terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan
2) Membuat prioritas masalah
3) Menjadi realistis terhadap hal yang ingin dicapai
4) Menghindari bersikap perfeksionis
5) Mencari bantuan ketika beban semakin berat
6) Menghindari ketidakpastian
7) Menemukan pekerjaan atau kegiatan yang sesuai dengan
kepribadian diri sendiri
2.4. KECEMASAN
2.4.1 Epidemiologi Gangguan Kecemasan
Gangguan kecemasan merupakan gangguan yang sangat sering
dijumpai pada klinik psikiatri. Kondisi ini terjadi sebagai akibat interaksi
faktor-faktor biopsikososial, termasuk kerentanan genetik yang
berinteraksi dengan kondisi tertentu, stres atau trauma yang menimbulkan
sindroma klinis yang bermakna.31
41
Angka prevalensi untuk gangguan cemas menyeluruh 3-8% dan
rasio antara perempuan dan laki-laki sebesar 2:1. Pasien gangguan cemas
menyeluruh sering memiliki komorbiditas dengan gangguan mental
lainnya seperti gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan
stres pasca trauma, dan gangguan depresi berat.31
2.4.2. Definisi Gangguan Cemas Menyeluruh
Gangguan cemas menyeluruh (Generelized Anxiety Disorder,GAD)
merupakan kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan
kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan terkadang tidak
realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari.Kondisi ini
dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurangnya selama 6
bulan.26,31
Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan
berhubungan dengan gejala-gejala somatik seperti ketegangan
otot,iritabilitas, kesulitan tidur, dan kegelisahan sehingga menyebabkan
penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial
dan pekerjaan.31
2.4.3 Etiologi Gangguan Kecemasan
a. Teori Biologi
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya GAD adalah
lobus oksipitalis yang mempunyai reseptor benzodiazepin tertinggi
di otak. Basal ganglia, sistem limbik, dan korteks frontal juga
dihipotesiskan terlibat pada etiologi timbulnya GAD. Pada pasien
GAD juga ditemukan sistem serotonergik yang abnormal.
Neurotransmiter yang berkaitan dengan GAD adalah GABA,
serotonin, norepinefrin, glutamat, dan kolesistokinin. Pemeriksaan
PET (Positron Emission Tomography) pada pasien GAD
ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa
putih otak.32
b. Teori Genetik
42
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan
genetik pasien GAD dan gangguan depresi mayor pada wanita.
Sekitar 25% dari keluarga tingkat pertama penderita GAD juga
menderita gangguan yang sama. Sedangkan penelitian pada
pasangan kembar didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik
dan 15% pada kembar dizigotik.32
c. Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa anxietas
adalah gejala dari konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan.
Pada tingkat yang paling primitif anxietas dihubungkan dengan
perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkat yang lebih matang lagi
anxietas dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang
penting. Anxietas kastrasi berhubungan dengan fase oedipal
sedangkan anxietas superego merupakan ketakutan seseorang
untuk mengecewakan nilai dan pandangannya sendiri (merupakan
anxietas yang paling matang).32
d. Teori Kognitif-Perilaku
Penderita GAD berespon secara salah dan tidak tepat
terhadap ancaman, disebabkan oleh perhatian yang selektif
terhadap hal-hal negatif pada lingkungan, adanya distorsi pada
pemrosesan informasidan pandangan yang sangat negatif terhadap
kemampuan diri untuk menghadapi ancaman.26
2.4.4 Diagnosis Gangguan Kecemasan
Kriteria diagnostik gangguan cemas menyeluruh menurut DSM
IV-TR:7
a. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir
setiap hari, sepanjang hari,terjadi selama sekurangnya 6 bulan,
tentang sejumlah aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau
aktivitas sekolah).
b. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya.
43
c. Kecemasan dan kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam
gejala berikut ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih
banyak terjadi dibandingkan tidak terjadi selama 6 bulan terakhir).
Catatan: hanya satu nomor yang diperlukan pada anak. Gejala-
gejala tersebut yaitu:
1) Kegelisahan
2) Mudah merasa lelah
3) Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
4) Iritabilitas
5) Ketegangan otot
6) Gangguan tidur (sulit tidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah,
dan tidak memuaskan)
d. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan
aksis 1, misalnya, kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang
menderita suatu serangan panik(seperti pada gangguan panik), merasa
malu pada situasi umum (seperti pada fobia sosial), terkontaminasi
(seperti pada gangguan obsesif kompulsif), merasa jauh dari rumah
atau sanak saudara dekat (seperti pada ganggaun cemas perpisahan),
penambahan berat badan ( seperti pada anoreksia nervosa), menderita
keluhan fisik berganda (seperti pada gangguan somatisasi), atau
menderita penyakit serius(seperti pada hipokondriasis) serta
kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata selama
gangguan stres pasca trauma.
e. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinis, atau gangguan pada fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
f. Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung
dari suatu zat (misalnya penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi
medis umum (misalnya hipertiroidisme), dan tidak terjadi semata-
44
mata selama suatu gangguan mood, gangguan psikotik, dan gangguan
perkembangan pervasif.
2.4.5 Gambaran Klinis Gangguan Kecemasan
Gejala utama GAD adalah anxietas, tegangan motorik,
hiperaktivitas autonom, dan kewaspadaan secara kognitif. Kecemasan
bersifat berlebihan dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan pasien.
Keteganagan motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan, dan sakit
kepala. Hiperaktivitas autonom timbul dalam bentuk pernapasan yang
pendek, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala pencernaan. Terdapat
juga kewaspadaan kognitif dalam bentuk iritabilitas.
Pasien GAD biasanya datang ke dokter umum karena keluhan
somatik, atau datang kedokter spesialis karena gejala spesifik seperti diare
kronik. Pasien biasanya memperlihatkan perilaku mencari perhatian
(seeking behavior). Beberapa paseien menerima diagnosis GAD dan terapi
yang adekuat, dan beberapa lainnya meminta konsultasi medik tambahan
untuk masalah-masalah mereka.
2.4.6 Diagnosis Banding Gangguan Kecemasan
Gangguan cemas menyeluruh perlu dibedakan adari kecemasan
akibat kondisi medis umum maupun gangguan yang berhubungan
penggunaan zat. Diperlukan pemeriksaan medis termasuk tes kimia darah,
elektrokardiografi, dan tes fungsi tiroid. Klinisi harus menyingkirkan
adanya intoksikasi kafein, penyalahgunaan stimulansia, kondisi putus zat
atau obat seperti alkohol, hipnotik-sedatif, dan anxiolitik.
Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis banding GAD
adalah gangguan panik, fobia, gangguan obsesif kompulsif,
hipokondriasis, gangguan somatisasi, gangguan penyesuaian dengan
kecemasan, dan gangguan kepribadian. Membedakan GAD dengan
gangguan depresi dan distimik tidak mudah, dan gangguan-gangguan ini
sering kali terdapat bersama-sama GAD.
45
2.4.7 Prognosis Gangguan Kecemasan
Gangguan cemas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis
yang mungkin berlangsung seumur hidup. Sebanyak 25% penderita
akhirnya mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan
depresi mayor.
2.4.8 Terapi Gangguan Kecemasan
Terapi kognitif-perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara
langsung,teknik utama yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah
relaksasi dan biofeedback.
Terapi suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang
ada dan belum tampak,didukung egonya,agar lebih banyak bisa beradaptasi
optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
Psikoterapi berorientasi tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah
sadar, menilai egostrength, relasi obyek, serta keutuhan self pasien. Dari
pemahaman akan komponen-komponen tersebut,kita sebagai terapis dapat
memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk menjadi lebih matur.
Bila tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi
dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
2.5. DEPRESI
2.5.1 Definisi Depresi
Gangguan depresi dalam buku Synopsis of Psychiatri termasuk
dalam gangguan mood. Depresi adalah suatu gangguan mood, kondisi
emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir,
berperasaan, dan berperilaku seseorang).27
Sebelum membahas lebih lanjut
tentang gangguan depresi, terlebih dahulu perlu dipahami yang dimaksud
dengan emosi dan mood dan mengapa kedua tanda tersebut harus
46
dipahami. Dalam pembahasan emosi tercakup antara lain afek, mood,
emosi yang lain, gangguan psikologi yang berhubungan dengan mood.27
Emosi merupakan kompleksisitas perasaan yang meliputi psikis,
somatik, dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood. Dalam
buku yang lain arti kata emosi biasa sinonim dengan afek, yaitu susana
perasaan hati seorang individu. Mungkin lebih tepat untuk menggunakan
kata emosi untuk perasaan yang dihayati secara sadar, sedangkan kata afek
dirujuk pada dorongan-dorongan yang lebih mendalam yang mendasari
kehidupan perasaan yang sadar maupun tak sadar.27
Mood merupakan subjektivitas peresapan emosiyang dialami dan
dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; sebagai contoh
adalah depresi, elasi, dan marah. Kepustakaan lain mengemukakan mood
adalah perasaan seseorang khususnya yang dihayati secara batiniah.27
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan
energi dan minat, merasa bersalah, dan sulit berkonsentrasi, mengalami
hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala
lain termasuk perubahan aktivitas , kemampuan kognitif dan fungsi
vegetatif (termasuk tidur, aktivitas seksual, dan ritme biologik yang lain.
Gangguan ini hampir selalu menghasilka hendaya interpersonal, sosial,
dan fungsi pekerjaan.27
2.5.2 Epidemiologi Depresi
Gangguan depresi berat paling sering terjadi dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15 persen. Penderita perempuan dapat mencapai 25
persen, sekitar 10 persen di perawatan primer dan 15 persen dirawat di
rumah sakit.pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2 persen dan
usia remaja 5 persen. Perempuan dua kali lipat lebih besar dibandingkan
laki-laki. Diduga karena adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan,
perbedaan stressor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model
perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan. Rata-rata usia pasien
terkena depresi sekitar 40 tahun. Hampir 50 persen awitan di antara usia
20-50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau
47
lanjut usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berata di usia
kurang dari 20 tahun mungkin berhubungan dengan meningkatnya
penggunaan alkohol dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia
tersebut. Depresi paling sering terjadi pada orang yang tidak emmpunyai
hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau
berpisah. Perempuan yang tidak menikah memiliki kecenderungan terkena
depresi dibandingkan dengan yang menikah. Namun, hal ini berbanding
terbalik untuk laki-laki. Tidak ditemukan korelasi antara status
sosioekonomi dan gangguan depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di
daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan.
2.5.3 Etiologi Depresi
a. Faktor Organobiologik
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi pada
metabolit amin biogenik seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-
HIAA), asam hemovanilic (HVA), DAN 3-methoxy-4-
hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah, urin, dan cairan
serebrospinal (CSF) pasien dengan gangguan mood.
1) Amin Biogenik
Norepinephrine dan serotonin adalah dua neurotransmitters yang
paling terlibat dalam patofisiologi gangguan mood.
2) Norepinephrine
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinis antri
depresi mungkin merupakan peran langsung sistem noradrenergik
pada depresi. Bukti lain yang juga melibatkan reseptor beta 2
presinaptik pada depresi yaitu aktifnya reseptor yang
mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin.
Reseptor beta 2 presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik
dan mengatur jumlah pelepasan serotonin.
3) Dopamin
48
Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan
subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi
regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamin memperkaya
hubungan antara dopamin dengan gangguan mood. Dua teori
terbaru tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan
reseptor dopamin D1 mungkin hipoaktif pada depresi.
4) Serotonin
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin
bertanggungjawab untuk kontrol regulasi afek, agresi, tidur, dan
nafsu makan. Pada bebrapa penelitian ditemukan jumlah serotonin
yang berkurang di celah sinap dikatakan bertanggungjawab untuk
terjadinya depresi.
b. Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan
gangguan mood. Tetapi jalur penurunannya sangat kompleks. Sulit
untuk mengabaikan efek psikososial dan faktor non genetik lainnya
yang berperan dalam penyebab terjadinya gangguan mood.
Penelitian dalam keluarga didapatkan pada generasi pertama, 2
sampai 10 kali lebih sering mengalami depresi berat. Dua dari tiga
studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan secra genetik.
Studi menunjukkan anak biologis dariorang tua yang terkena
gangguan mood berisiko untuk mengalami gangguan mood
walaupun anak tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat. Pada
anak kembar dizigotik gangguan depresi berat terdapat sebanyak
13-28%, sedangkan pada kembar monozigotik 53-69%.
c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa
tertekan (stres) dapat mencetuskan terjadinya depresi. Episode
pertama ini lebih ringan dibandingkan episode berikutnya. Ada
49
teori yang mengemukakan bahwa adanya stres sebelum episode
pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama.
Hal ini menyebabkan perubahan berbagai neurotransmiter dan
sistem sinyal intraneuron, termasuk hilangnya beberapa neuron dan
penurunan kontak sinaps. Dampaknya, seorang individu berisiko
tinggi mengalami episode berulang gangguan mood sekalipun
tanpa stresor dari luar.
Data paling mendukung sehubungan dengan peristiwa
kehidupan atau stresor lingkungan yang sering berkaitan dengan
depresi adalah kehilangan orang tua sebelum berusia 11 tahun dan
kehilangan pasangan. Faktor risiko lain adalah kehilangan
pekerjaan; orang yang keluar dari pekerjaannya berisiko tiga kali
lebih besar untuk timbulnya gejala depresi dibandingkan yang
bekerja. Kehilangan objek yang dicinta pada masa perkembangan
walaupun tidak secara langsung dapat mencetuskan gangguan
depresi, namun berpengaruh pada ekspresi penyakit, misalnya
awitan timbulnya gangguan, episode yang lebih parah, adanya
gangguan kepribadian, dan keinginan untuk bunuh diri.
d. Faktor Kepribadian
Semua orang, apapun pola kepribadiannya dapat
mengalami depresi sesuai dengan situasinya. Orang dengan
gangguan kepribadian obsesif kompulsif, histrionik, dan ambang
berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan
orang yang memiliki gangguan kepribadian paranoid atau
antisosial. Pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik
berisiko mengalami depresi berat. Peristiwa sressfull merupakan
prediktor terkuat untuk kejadian episode depresi.
e. Faktor Psikodinamik pada Depresi
Gangguan hubungan ibu dan anak selama fase oral (10-18
bulan) menjadi faktor predisposisi untuk rentan terhadap episode
50
depresi berulang. Depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang
nyata maupun fantasi kehilangan objek. Introjeksi merupakan
terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi penderitaan
akibat kehilangan objek yang dicintai. Kehilangan objek yang
dicintai diperlihatkan dalam bentuk campuran antara benci dan
cinta srta perasaan marah yang diarahkan pada diri sendiri.
Melanie Klein menjelaskan bahwa depresi termasuk agresi
ke arah mencintai. Edward Bibring menyatakan bahwa depresi
adalah suatu fenomena yang terjadi ketika seseorang menyadari
ketidakmampuannya untuk mewujudkan cita-cita ideal yang tinggi.
Edith Jacobson melihat depresi sebagai berkurangnya kekuatan,
misalnya pada anak yang tidak berdaya terhadap penyiksaan orang
tua. Silvano Arieti mengamati banyak pasien depresi hidup untuk
orang lain dibandingkan untuk dirinya sendiri. Heinz Kohut
mengkonseptualisasikan depresi dimulai dari teori self-psychology,
bahwa perkembangan jiwa mempunyai kebutuhan spesifik yang
harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anaknya yaitu memberikan
rasa positif, kepercayaan diri, dan self-cohesion. Jika orang yang
diharapkan tidak memnuhi kebutuhan ini akan terjadi kehilangan
kepercayaan diri yang besar yang muncul sebagai depresi. John
Bowlby percaya bahwa rusaknya keeratan awal dan trauma akibat
perpisahan pada anak merupakan predisposisi terjadinya depresi.
Kehilangan pada orang dewasa dan trauma kehilangan pada masa
kanak-kanak memudahkan seseorang mengalami episode depresi
pada masa dewasa.
f. Formulasi Lain Penyebab Terjadinya Depresi adalah Teori
Kognitif
Depresi merupakan hasil penyimpangan kognitif spesifik
yang membuat seseorang mempunyai kecenderungan menjadi
depresi. Postulat Aaron Beck menyatakan trias kognitif dari
depresi mencakup (1) pandangan terhadap diri sendiri berupa
51
persepsi negatif terhadap dirinya (2) tentang lingkungan yakni
kecenderungan menganggap dunia bermusuhan terhadapnya (3)
dan tentang masa depan yakni bayangan penderitaan dan
kegagalan.
2.5.4 Perjalanan Penyakit Depresi
Gangguan mood emrupakan suatu gangguan yang berlangsung
lama dan cenderung kambuh. Pada gangguan mood lebih sering ditemukan
adanya stressorkehidupan di awal episode dibandingkan episode
berikutnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa stressor psikososial berperan
sebagai penyebab awal gangguan mood. Meskipun episode awal dapat
diatasi, perubahan biologi yang menetap di otak menimbulkan risiko besar
untuk timbulnya episode berikutnya.
Sebelum episode pertama teridentifikasi, sekitar 50 persen
gangguan depresi berat memperlihatkan gejala depresi yang bermakna.
Gejala depresi yang teridentifikasi secara dini dan dapat teratasi lebih awal
dapat mencegah berkembangnya gejala-gejala tersebut menjadi episode
depresi penuh. Pada pasien dengan gangguan depresi berat, walaupun
gejala telah ada, umumnya belum menunjukkan suatup pramorbid
gangguan kepribadian. Sekitar 50 persen pasien dengan episode depresi
pertama terjadi sebelum usia 40 tahun. Awitan yang terjadi setelah usia 40
tahun biasanya dihubungkan dengan tidak adanya riwayat gangguan mood
dalam keluarga,gangguan kepribadian antisosial, dan penyalahgunaan
alkohol.
Episode depresi yang tidak ditangani akan berlangsung 6-13 bulan.
Kebanyakan penanganan episode depresi sekitar 3 bulan. Prosedur baku
tatalaksana gangguan depresi setidaknya dilakukan selama 6 bulan agar
tidak mudah kambuh. Penghentian antideprean sebelum 3 bulan hampir
selalu mengakibatkan kambuhnya gejala. Apabila gangguan menjadi
progresif maka episode akan cenderung lebih sering dan berlangsung lebih
lama.
52
2.5.5 Tanda dan Gejala Depresi
a. Kehilangan minat dan berkurangnya energi (97%)
b. Perasaan sedih
c. Tidak mempunyai harapan
d. Perasaan dicampakkan
e. Perasaan tidak berharga
f. Timbul keinginan bunuh diri pada dua per tiga pasien depresi
g. 10-15 persen pasien depresi melakukan bunuh diri
h. Kesulitan menyelesaikan tugas
i. Mengalami hendaya di sekolah dan pekerjaan
j. Menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru
k. Gangguan dan masalah tidur (80%)
l. Terjaga dini hari 12
m. Terbangun malam hari
n. Peningkatan atau penurunan nafsu makan
o. Peningkatan dan penurunan berat badan
p. Mengalami tidur yang lebih lama dari biasanya
q. Mengalami kecemasan (90%)
r. Perubahan pola makan dan asupan serta pola istirahat
menyebabkan timbulnya penyakit lain seperti diabetes, hipertensi,
penyakit jangtung, dan penyakit paru obstruktif kronik.
s. Gejala haid yang tidak normal
t. Menurunnya minat serta aktivitas seksual
u. Rasa lelah berkepanjangan
53
v. Kecenderungan menyalahkan diri sendiri
w. Pada orang tua gejala yang sering tamoak adalah keluhan
somatik. Penyebab depresi pada orang tua seperti ekonomi rendah
dan isolasi.
2.5.6 Kriteria Diagnosis Depresi Berat
pasien mengalami mood terdepresi, misalnya sedih,
perasaan kosong, atau kehilangan minat dan kesenangan selama 2
minggu atau lebih ditambah 4 atau lebih gejala berikut :
a. Insomnia atau hiperinsomnia hampir setiap hati
b. Kehilanagn minat dan kesenangan hampir pada semua kegiatan
hampir sepanjang waktu
c. Perasaan bersalah berlebihan atau tidak sesuai atau rasa tidak
berharga hampir di sepanjang waktu
d. Kehilangan energi atau letih hampir di sepanjang waktu
e. Konsentrasi dan daya pikir menurun serta sulit membuat
keputusan hampir di sepanjang waktu
f. Selera makan menurun atau meningkat
g. Ada agitasi atau retardasi
h. Timbul pikiran berulang tentang mati atau ingin bunuh diri
i. Gejalanya tidak memenuhi untuk kriteria episode campuran
(episode depresi berat dan episode manik)
j. Gejalanya menimbulkan penderitaan atau hendaya sosial,
pekerjaan atau fungsi penting lainnya yang bermakna secara klinik
k. Gejalanya bukanlah merupakan efek fifiologis langsung dari zat
tertentu(sebagai contoh: alkohol atau narkoba) atau suatu kondisi
medik umum (sebagai contoh: hypotiroidisme)
54
l. Gejalanya tidak lebih baik dibandingkan dnegan dukacita,
misalnya, setelah kehilangan seseorang yang dicintai, gejala
menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai hendaya fungsi yang jelas,
preokupasi rasa ketidakbahagiaan yang abnormal, ide bunuh diri,
gejala psikotik atau retardasi psikomotor.
2.5.7 Tatalaksana Depresi
Tujuan penatalaksanaan pasien gangguan mood (depresi):
a. Keselamatan pasien terjamin
b. Kelengkapan evaluasi diagnostik pasien harus dilaksanakan
c. Rencana terapi bukan hanya untuk gejala saja, tetapi juga untuk
memelihara kesehatan jiwa pasien di masa depan.
Macam-macam tatalaksana pada pasien gangffuan depresi :
a. Rawat Inap
indikasi rawat inap adalah ketika ada keinginan untuk
bunuh diri,berkurangnya kemampuan pasien secara menyeluruh
untuk asupan makan dan tempat perlindungan.
b. Psikoterapi
psikoterapi telah dibuktikan bermakna untuk menangani
pasien depresi. Psikoterapi diberikan untuk membantu pasien
mengembangkan strategi coping yang lebih baik dalam mengatasi
stresor kehidupan sehari-hari. jenis psikoterapi yang diberikan
tergantung pada kondisi pasien. Dapat diberikan psikoterapi
suportif atau reedukatif (misalnya: psikoterapi kognitif dan atau
terapi perilaku). Perlu diingat pada pemilihan jenis psikoterapipada
pasien yang sedang dalam kondisi depresi berat, terlebih disertai
adanya ciri psikotik, jangan dihibur atau langsung diberi nasihat
(karena pasien akan bertambah sedih bila tidakmampu
melaksanakan nasihat dokternya). Bila pasien sudah lebih tenang
(tidak dipengaruhi gejala psikotiknya), dapat dipertimbangkan
55
pemberian psikoterapi kognitif, kognitif-perilaku, atau psikoterapi
dinamik.
c. Terapi Keluarga
terapi keluarga tidak umum digunakan sebagai terapi
primer untuk gangguan depresi berat. Bukti klinis mendapatkan
bahwa terapi keluarga dapat mebantu pasien dengan gangguan
mood untuk mengurangi dan menghadapi stres serta mengurangi
kekambuhan. Terapi ekluarga diindikasikan untuk gangguan yang
membahayakan perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau jika
gangguan mood didasari atau dapat ditangani oleh situasi keluarga.
d. Farmakologi
1) Antidepresn (SSRI/Selective Serotonine Re-uptake Inhibitor)
2) Litium
2.5.8 Prognosis Depresi
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan
dan biasanya cenderung untuk menjadi kronik dan kambuh. Episode
pertama gangguan depresi berat yang dirawat di rumah sakit sekitar 50%
angka kesembuhannya pada tahun pertama. Kekambuhan depresi berat
sekitar 25% pada 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, 30-50% dalam 2
tahun pertama, 50-75% dalam periode 5 tahun. Secara umum, semakin
sering pasien mengalami episode depresi, maka akan semakin
memperburuk keadaannya. Banyak pasien yang tidak pulih akan
mengalami gangguan distimik.
Kemungkinan prognosis baik pada depresi ringan tanpa gejala
psikotik, waktu rawat inap singkat, indikator psikososial meliputi
mempunyai teman akrab selama masa remaja, fungsi keluarga stabil, lima
tahun sebelum sakit secara umum fungsi sosial baik, tidak ada
komorbiditas gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari seklai rawat inap
56
dengan depresi berat, dan onset awal pada usia lanjut. Kemungkinan
prognosis buruk pada depresi berat bersamaan dengan distimik,
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala cemas, ada riwayat
lebih dari sekali episode depresi sebelumnya.
2.6. HUBUNGAN ANTARA STATUS PSIKOLOGI DENGAN OAB.
Berdasarkan berbagai factor dan penyebab terjadinya OAB, status
psikologi lebih mengacu kepada teori Neurotransmitter, dimana
neurotransmitter central (eg, glutamate, serotonin, dan dopamine)
memainkan peranan didalam proses buang air kecil. Glutamate adalah
Neurotransmitter eksitatory dalam jalur pengontrolan urinalisis, sementara
serotonergic sebagai facilitate dalam penyimpanan dan penyumpulan
urine, dan dopaminergic memiliki efek inhibitor dan eksitator, dimana D1
reseptor memiliki peran sebagai supresi aktivitas dari kandung kemih, dan
D2 reseptor yang memfasilitasi sebagai respon berkemih. Status psikologi
menurut buku psikiatri UI, jika seseorang mengalami suatu gangguan pada
status psikologinya banyak sekali respon tubuh yang berperan dalam
melakukan kompensasi, selain dari teori CRH mengenai stress, jika
seseorang mendapatkan gangguan terhadap status psikologinya sendiri
akan menyebabkan terjadinya hipoaktif dari reseptor D1 sendiri yang
mana menyebabkan kurangnya respon untuk menahan buang air kecil,
sehingga menyebabkan terjadinya buang air kecil yang sulit dikontrol,
yang merupakan gejala dan tanda dari penyakit Overactive Bladder
(OAB).14,26
2.7. SKALA PERHITUNGAN TINGKAT STRESS, DEPRESI DAN
KECEMASAN
Skala Stres, Kecemasan dan Depresi (DASS) Skala stres,
kecemasan dan depresi disusun oleh peneliti berdasarkan modifikasi
Depression Anxiety Stress Scale (DASS) Clark & Watson (1991) yang
dikembangkan oleh Lovibond & Lovibond (1995) dengan jumlah aitem 42
butir. Tripartite Model dari Clark dan Watson menjadi dasar
pengembangan skala DASS (Depression Anxiety Stress Scale) dari
Lovibond & Lovibond (Mahmoud, Hall, & Staten, 2010). Ketiga faktor
57
DASS konsisten dengan ketiga komponan dasar Tripartite Model, yaitu
komponen stres dengan karakteristik mudah marah, selalu mengalami
ketegangan; mudah frustasi (negative affect) komponen kecemasan dengan
karakteristik autonomic arousal dan ketakutan (psychological
hyperarousal); dan komponen depresi dengan karakteristik afek positif
yang rendah, hilangnya harga diri dan insentif serta rasa keputusasaan
(absence of positive affect). (Brown, Chorpita, Korotitscw & Barlow,
1997). Tripartite model telah mendapatkan dukungan empiris dengan
sampel orang dewasa dan anak-anak yang merupakan sampel klinis (Steer
et al dalam Hughes, Heimberga, Coles, Gibb, Liebowitz & Schneier,
2006) dan non klinis (Lovibond & Lovibond, 1995; Hendry & Crawford,
2005). Berdasarkan informasi diatas, peneliti menyimpulkan Tripartite
Model dapat digunakan pada subjek klinis maupun non klinis untuk
mengukur stres, kecemasan dan depresi penderita OAB. Untuk contoh
kuesionernya akan ditampilkan pada halaman terakhir.
2.8 KERANGKA TEORI
Stress
Depresi
Kecemasan
OAB
IMT
Usia
Penyakit Kronik
Kuesioner OABSS
58
2.9 KERANGKA KONSEP
Riwayat keluarga OAB
Paritas
Histerektomi
Stress
Depresi
Kecemasan
OAB
Kuesioner OABSS
Kuesioner DASS-42
59
2.10 DEFENISI OPERASIONAL
No Variabel Definisi Cara Pengukuran Skala
1 OABSS Score OABSS adalah salah
satu kuesioner yang
bisa digunakan dalam
menentukan
seseorang menderita
OAB ataukah tidak
serta derajatnya
dengan menggunakan
sistem scoring.
OABSS Kuesioner Numeric
2 Stress Perasaan yang tidak
menyenangkan dan
diinterpretasikan
Kuesioner DASS-
42
Kategorik
1. Tidak Stress
60
secara berbeda antara
individu yang satu
dengan lainnya yang
merupakan respon
tubuh yang bersifat
tidak spesifik
terhadap tuntutan
ataupun beban
atasnya.
(skor total
DASS-42
sebesar antara
0-14)
2. Stress
(skor total
DASS-42 ≥15)
3 Kecemasan Kondisi gangguan
yang dirandai dengan
kecemasan dan
kekhawatiran yang
berlebihan dan tidak
rasional bahkan
terkadang tidak
relistik terhadap
berbagai peristiwa
kehidupan sehari-
hari. Kondisi ini
dialami hamper
sepanjang hari,
berlangsung
sekurangnya selama 6
bulan.
Kuesioner DASS-
42
Kategorik
1. Tidak Cemas
(skor total
DASS-42
sebesar antara
0-7)
2. Cemas
(skor total
DASS-42 ≥8)
61
4 Depresi Gangguan mood.
Kondisi emosional
berkepanjangan yang
mewarnai seluruh
proses mental
(berpikir,
berperasaan, dan
berperilaku
seseorang)
Kuesioner DASS-
42
Kategorik
1. Tidak Depresi
(skor total
DASS-42
sebesar antara
0-9)
2. Depresi
(skor total
DASS-42 ≥10)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain Analitik
Obsevasional menggunakan pendekatan Cross Sectional karena penelitian
ini bertujuan untuk melihat hubungan antara OABSS dengan stress,
depresi, dan kecemasan pada mahasiswa/wi preklinik Program Studi
62
Kedokteran (PSKed) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita
OAB.
3.2 Waktu Dan Tempat
3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan juli 2018 sampai september 2018.
3.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Gedung FK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
3.3 Populasi Dan Sampel
3.3.1 populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa/wi Preklinik
Program Studi Kedokteran (PSKed) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
berjumlah 286 orang.
3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa/wi preklinik Program
Studi Kedokteran (PSKed) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
memenuhi kriteria inklusi untuk diikutsertakan dalam penelitian ini.
a. Kriteria Inklusi
Orang dengan OAB positive.
Usia 17-25
Tidak sedang sakit
Tidak sedang dalam pengobatan ISK
Mahasiswa/wi bersedia menjadi responden dalam penelitian.
Tidak memiliki riwayat penyakit serius terutama kardiovaskular,
ginjal dan DM.
b. Kriteria Ekslusi
Sedang masa pengobatan Stress
61
63
Hamil
Sedang mengkonsumsi obat-obat diuretik
3.3.3. Besar Sampel
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan
melalui perhitungan jumlah populasi. Jumlah populasi dalam perhitungan
ini menggunakan rumus cross sectional Slovin sebagai berikut:
Keterangan:
N : Jumlah Sampel yang diinginkan
N: Jumlah Populasi Penderita OAB (134 orang).33
d: Nilai kritis atau batasan ketelitian yang diinginkan (0.05)
Jadi pada penelitian kali ini dibutuhkan jumlah sampel minimal sebanyak
100 orang.
3.4 Alat Dan Bahan Penelitian
3.4.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada saat penelitian adalah :
Prapenelitian : ruang kelas
Penelitian : handphone, pulpen
Post penelitian : tidak ada
3.4.2 Bahan Penelitian
64
kuesioner DASS-42
kuesioner OABSS
google form
3.5 Identifikasi Variabel
3.5.1 Variabel Terikat
OABSS pada Mahasiswa/wi Preklinik Program Studi Kedokteran
(PSKed) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB
3.5.2 Variabel Kontrol
Stress, depresi, dan kecemasan pada Mahasiswa/wi Preklinik
Program Studi Kedokteran (PSKed) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3.6 Desain Analisis Data
Data yang didapatkan secara statistic lalu diuji dengan uji independent T-
test, dengan dilakukan normalisasi data terlebih dahulu, namun bila data
dinyatakan tidak normal, maka digunakan uji non parametric Mann Whitney pada
data kategorik-numerik, untuk menilai adanya hubungan antara OABSS dengan
stress, depresi, dan kecemasan.
3.7 Alur Penelitian
Menentukan subyek yang akan dilakukan
penelitian
Melakukan persiapan penelitian
65
3.8 Cara Kerja Penelitian
3.8.1 Tahap Persiapan
a. Peneliti
Menentukan hipotesis dasar dan tujuan khusus penelitian
Mencari referensi yang mendekati ataupun sama dengan jenis
penelitian yang dilakukan.
Melakukan persamaan persepsi
Menyiapkan peralatan dan aplikasi yang akan digunakan
(google form)
b. Responden
Responden mengisi informed concent yang telah diberikan
Responden mengisi kuesioner OABSS yang telah diberikan
Responden mengisi kuesioner yang telah diberikan yaitu
DASS-42.
Membagikan kuisioner OABSS kepada
subyek yang termasuk kedalam kriteria inklusi
Mengambil data pada yang positive OAB
Melakukan Analisa dan Pengolahan data
dengan program SPSS
Menggolongkan subyek yang termasuk
kriteria inklusi dengan menggunakan
kuisioner yang telah dibuat
Memberikan kuesioner DASS-42
66
c. Ruang Kelas
Perizinan untuk memberikan informasi mengenai tujuan
penelitian.
d. lembar kuesioner
Memvalidasi lembar kuesioner DASS-42
Memvalidasi lembar kuesioner OABSS
3.8.2 Validasi lembar kuesioner OABSS
Croanbach’s alpha digunakan untuk mengukur konsistensi internal
kuesioner. Nilai Croanbach’s alpha dari kumpulan data responden
sebanyak 30 orang yaitu 0,7.
Tabel 3.1 Croanbach‟s Alpha OABSS
Croanbach‟s Alpha Croanbach‟s Alpha
Based on Standardized
Items
N of Items
0,7 0,7 30
3.8.3 Validasi Lembar Kuesioner DASS-42
Croanbach’s alpha digunakan untuk mengukur konsistensi internal
kuesioner. Nilai Croanbach’s alpha dari kumpulan data responden
sebanyak 42 orang yaitu 0,962.
Tabel 3.2 Croanbach‟s Alpha DASS-42
Croanbach‟s Alpha Croanbach‟s Alpha
Based on Standardized
Items
N of Items
67
0,962 0,962 42
3.8.4 Tahap Pengambilan Sampel
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik total sampling.
Memberikan pertanyaan mengenai urgensi dan kuesioner
OABSS dalam bentuk google form kepada seluruh populasi
yang sudah menyetujui menjadi sampel dari penelitian ini.
Menyeleksi sampel yang memiliki tanda urgensi pada populasi
yang telah mengisi google form yang telah diberikan.
Selanjutnya dilakukan pemberian kuesioner DASS-42 kepada
sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi.
3.8.5 Tahap Pengeloloaan dan Analisis Data
Pengelolaan dan analisi data pada penelitian ini menggunakan
program SPSS (Statistic Package for Social Science) versi 22.0. Berikut
ini beberapa tahap yang dilakukan dalam pengelolaan data, yaitu:
a. . Editing
Pemeriksaan kembali kebenaran dan kelengkapan data
kuesioner apakah sudah terisi semua pada Google Form
yang telah diberikan.
b. Coding
Pemberian kode numeric kepada data yang terdiri dari
beberapa kategori unutk tingkat stress, kecemasan, dan
depresi
c. Data Entry
Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam
program SPSS versi 22.0
68
d. Analisis data
Melakukan analisis dara secara Univariat untuk melihat
frekuensi ataupun distribusi data dan analisis Bivariat untuk
meniliha hubungan antara variable dengan menggunakan
SPSS versi 22.
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti. Aspek
yang dicari dan dibahas meliputi karakakteristik responden, gambaran tingkat
stres, gambaran tingkat depresi, gambaran tingakt kecemasan, serta gambaran
score pada penderita OAB dengan OABSS, dan hubungan antara tingkat stress,
depresi, dan kecemasan dengan nilai score OABSS pada penderita OAB
4.1 Analisis Univariat
Analisis univariate dilakukan untuk mengetahui karakteristik data
penelitian dengan menggunakan statistic desktiptif yang dilakukan pada variable
penelitian meliputi karakteristik responden dan distribusi tingkat stress, depresi
dan kesemasan serta nilai score OABSS dengan ukuran presentase dan mean.
4.1.1 Karakteristik Responden
Jumlah responden yang termasuk dalam kriteria pada penelitian ini
sebanyak 134 orang yang menderita OAB. Terdapat 15 orang yang tidak
dimasukkan kedalam penelitian ini karena tidak mengisi kuesioner DASS-
42 sehingga total responden pada penelitian ini adalah 119 orang yang
menderita OAB. Karakteristik responden yang diamati oleh peneliti adalah
jenis kelamis, usia, tahun angkatan, dan hasil nilai score OABSS serta
distribusi kejadian stress, depresi, dan kecemasan pada penderita OAB
tersebut.
Tabel 4.1 Distribusi Usia Mahasiswa/wi Preklinik UIN Syarif Hidayatullah
jakarta yang menderita OAB (N=119)
Mean Minimum Maksimum SD
Usia
(N=119)
19.51 17
(n=4, 3,36%)
22
(n=7, 5,88%)
1,227
67
68
Berdasarkan table 4.1 diketahui responden dalam penelitian ini berjumlah 119
orang dengan usia bevariasi mulai dari yang termuda yaitu 17 tahun sebanyak 4
orang (3.36%) hingga yang tertua yaitu 22 tahun sebanyak 7 orang (5.88%)
dengan standar deviasi sebesar 1,227 dan rerata usianya adalah 19.51 tahun.
Tabel 4.2 Distribusi Jenis Kelamin, dan Tahun angkatan mahasiswa/wi Preklinik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB (N=119)
Data demografi Jumlah Persentase
(N) (%)
Jenis Laki-laki 14 11,8
Kelamin Perempuan 105 88,2
Tahun 2015 45 37.8
Angkatan 2016 31 26.1
2017 43 36.1
Berdasarkan table 4.2 Jenis kelamin responden mayoritas adalah wanita
yaitu sebanyak 105 orang (88.2%) dan laki-laki sebanyak 14 orang (11.8%).
mayoritas responden merupakan angkatan tahun 2015 yaitu 45 orang (37.8 %),
angkatan 2016 yaitu 31 orang (26.1%) dan angkatan 2017 yaitu 43 orang (36.1%)
responden.
4.1.2 Distribusi Penderita OAB
Penderita OAB dilihat menggunakan kuisioner OABSS dengan
kriteria awal adalah ada atau tidaknya gejala urgensi yaitu keluhan berupa
keinginan yang sangat kuat untuk berkemih yang datang secara mendadak
dan sulit ditahan. Terdapat 119 orang yang mengalami OAB positive.
Sebagaimana tabel 4 dibawah ini:
Tabel 1.3 Distribusi Responden Penderita OAB pada Mahasiswa/wi Preklinik
Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Variabel Kategori Jumlah
N Persentase
69
(119) (%)
Urgensi- Seberapa sering
Anda mengalami desakan
yang kuat dan tiba-tiba
untuk buang air kecil yang
membuat Anda takut
mengopol jika Anda tidak
segera ke kamar mandi
OAB Positif: 119 100
Kadang
Sekitar satu kali sehari
Sekitar tiga kali sehari
Sekitar separuh waktu
Hampir selalu
104
11
4
0
0
87.4
9.2
3.4
0
0
Berdasarkan tabel 4.3 diperoleh sebanyak 104 orang (87.4%) mengalami
OAB Positive dengan kategori kadang sedangkan sisanya memiliki kategori
sekitar satu kali sehari dan sekitar tiga kali sehari mengalami gejala urgensi.
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Gejala Lain OAB (Inkontinensia
urgensi, inkontinensia, frekuensi, dan nokturia) pada Mahasiswa Preklinik
Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang OAB positive.
Variabel Kategori Jumlah
N
(119)
Persentase
(%)
Inkontinensia Urgensi-
Seberapa sering Anda
mengompol setelah
merasakan desakan untuk
kencing? (terlepas Anda
memakai pembalut/pelindung
atau tidak)
Sama sekali tidak 86 72.3
Sindrom Inkontinensia
Urgensi:
33 27.7
Kadang 31 26.1
Sekitar satu kali sehari 0 0
Sekitar tiga kali sehari 2 1.7
Sekitar separuh waktu
Sering sekali
0
0
0
0
Inkontinensia- Menurut Anda,
sebanyak apa air kencing
yang biasanya bocor (terlepas
Anda memakai
pembalut/pelindung atau
Tidak ada 66 55.5
Sindrom Inkontinensia: 53 44.5
Tetesan 44 37.0
1 sendok teh 4 3.4
1 sendok makan 0 0
70
tidak) ¼ cangkir 5 4.2
Seluruh kandung kemih 0 0
Frekuensi- Seberapa sering
Anda buang air kecil disiang
hari
1-6 kali 119 100
Sindrom Frekuensi: 0 0
7-8 kali 0 0
9-10 kali 0 0
11-12 kali 0 0
13-14 kali 0 0
15 kali atau lebih 0 0
Nokturia- Berapa kali
biasanya Anda bangun
setiap malam untuk buang
air kecil, dari ketika Anda
tidur sampai Anda bangun
dipagi hari
Tidak ada 51 42.9
Sindrom Nokturia: 68 57.1
1 kali 62 52.1
2 kali 4 3.4
3 kali 1 0.8
4 kali
5 kali atau lebih
1
0
0.8
0
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui responden dengan gejala OAB lain terbanyak
ialah memiliki kategori gejala inkontinesia urgensi kadang sebanyak 31 orang
(26.1%), kategori gejala inkontinesia tetesan sebanyak 44 orang (37.0%), kategori
gejala frekuensi tidak ditemukan data (0%), dan kategori gejala nokturia 1 kali
sebanyak 62 orang (52.1%).
4.1.3. Analisis Nilai Score OABSS
Dari analisis nilai score OABSS didapatkan nilai mediannya yaitu
2, dan minimal nilai yang didapatkan adalah 1 dan maksimal nilai yang
didapatkan adalah 11.
Median
(Minimal-Maksimal)
Nilai score OABSS 2 (1-11)
71
4.1.4. Penyebaran Pertanyaan Kuesioner DASS-42
Dalam kuesioner DASS-42 responden ditujukan untuk memilih
satu poin pada kuesioner tersebut yang menurut responden paling
menunjukkan keadaan diri pasien, dalam poin pertanyaan DASS-42
menghasilkan pilihan terbanyak untuk Tidak pernah (0) pada pertanyaan
38 sejumlah 104 orang (87.4%), kadang-kadang (1) pada pertanyaan 1
sejumlah 83 orang (69.7%), lumayan sering (2) pada pertanyaan 9
sejumlah 38 orang (31.9%), dan sering sekali (3) pada pertanyaan 2
sejumlah (16.8%)
72
Tabel 4.5 Penyebaran Pertanyaan Kuesioner DASS-42
Poin
Pertanyaan
DASS-42
Tidak
pernah
(0)
Kadang-
kadang
(1)
Lumayan
sering
(2)
Sering
sekali
(3)
TOTAL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
13
(10.9%)
13
(10.9%)
74
(62.2%)
81
(68.1%)
76
(63.9%)
42
(35.3%)
81
(68.1%)
45
(37.8%)
18
(15.1%)
94
(79.0%)
32
(26.9%)
51
(42.9%)
40
(33.6%)
26
83
(69.7%)
54
(45.4%)
40
(33.6%)
29
(24.4%)
38
(31.9%)
59
(49.6%)
34
(28.6%)
62
(52.1%)
55
(46.2%)
22
(18.5%)
69
(58.0%)
50
(42.0%)
61
(51.3%)
61
20
(16.8%)
32
(26.9%)
3
(2.5%)
8
(6.7%)
4
(3.4%)
16
(13.4%)
4
(3.4%)
11
(9.2%)
38
(31.9%)
2
(1.7%)
16
(13.4%)
14
(11.8%)
14
(11.8%)
23
3
(2.5%)
20
(16.8%)
2
(1.7%)
1
(0.8%)
1
(0.8%)
2
(1.7%)
0
(0%)
1
(0.8%)
8
(6.7%)
1
(0.8%)
2
(1.7%)
4
(3.4%)
4
(3.4%)
9
119
(100%)
73
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
(21.8%)
81
(68.1%)
64
(53.8%)
87
(73.1%)
29
(24.4%)
72
(60.5%)
55
(46.2%)
100
(84.0%)
61
(51.3%)
96
(80.7%)
78
(65.5%)
68
(57.1%)
62
(52.1%)
47
(39.5%)
40
(33.6%)
41
(34.5%)
37
(51.3%)
31
(26.1%)
46
(38.7%)
24
(20.2%)
73
(61.3%)
35
(29.4%)
50
(42.0%)
15
(12.6%)
45
(37.8%)
21
(17.6%)
32
(26.9%)
37
(31.1%)
48
(40.3%)
56
(47.1%)
60
(50.4%)
56
(47.1%)
60
(19.3%)
5
(4.2%)
8
(6.7%)
5
(4.2%)
16
(13.4%)
7
(5.9%)
10
(8.4%)
3
(2.5%)
12
(10.1%)
2
(1.7%)
4
(3.4%)
12
(10.1%)
5
(4.2%)
11
(9.2%)
12
(10.1%)
15
(12.6%)
17
(7.6%)
2
(1.7%)
1
(0.8%)
3
(2.5%)
1
(0.8%)
5
(4.2%)
4
(3.4%)
1
(0.8%)
1
(0.8%)
0
(0%)
5
(4.2%)
2
(1.7%)
4
(3.4%)
5
(4.2%)
7
(5.9%)
7
(5.9%)
5
119
(100%)
74
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
(31.1%)
67
(56.3%)
47
(39.5%)
51
(42.9%)
85
(71.4%)
69
(58.0%)
67
(56.3%)
102
(85.7%)
104
(87.4%)
52
(43.7%)
42
(35.3%)
56
(47.1%)
47
(39.5%)
(50.4%)
43
(36.1%)
58
(48.7%)
52
(43.7%)
25
(21.0%)
39
(32.8%)
44
(37.0%)
14
(11.8%)
9
(7.6%)
52
(43.7%)
54
(45.4%)
49
(41.2%)
49
(41.2%)
(14.3%)
7
(5.9%)
12
(10.1%)
13
(10.9%)
5
(4.2%)
7
(5.9%)
5
(4.2%)
1
(0.8%)
2
(1.7%)
10
(8.4%)
15
(12.6%)
12
(10.1%)
18
(15.1%)
(4.2%)
2
(1.7%)
2
(1.7%)
3
(2.5%)
4
(3.4%)
4
(3.4%)
3
(2.5%)
2
(1.7%)
4
(3.4%)
5
(4.2%)
8
(6.7%)
2
(1.7%)
5
(4.2%)
119
(100%)
Dari data nilai kuesioner DASS-42 dikategorikan menjadi 3, yaitu stress,
tingkat depresi, dan tingkat kecemasan.
75
4.1.5. Distribusi Berdasarkan kategori Stress, depresi, dan
kecemasan
Setelah dikategorikan pada tingkat stess tertentu, maka muncul
responden yang tidak mengalami stress sejumlah 36 orang (30.3%) dan
yang mengalami stress sejumlah 83 orang (69.7%). Setelah dikategorikan
pada depresi, maka muncul responden yang tidak mengalami depresi
sejumlah 21 orang (17.6%) dan yang mengalami depresi sejumlah 98
orang (82.4%). Lalu, setelah dikategorikan pada kecemasan, maka muncul
responden yang tidak mengalami cemas sejumlah 14 orang (11.8%),
sedangkan yang mengalami kecemasan sejumlah 105 orang (88.2%).
Table 4.6. Distribusi Berdasarkan Kategori Tingkatan Stress
Kategori Stress Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Tidak Stres (0-14)
Stress (≥15)
36
83
30.3
69.7
Tidak Depresi (0-9)
Depresi (≥10)
21
98
17.6
82.4
Tidak Cemas (0-7)
Cemas (≥8)
14
105
11.8
88.2
4.1.6. Distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan Per
Angkatan
Distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan Per
Angkatan pada mahasiswa/wi preklinik yang menderita OAB terdiri dari
angkatan 2015, 2016 dan 2017. Pada angkatan 2015 berjumlah 45 orang
yang menderita stress sebanyak 32 orang (71.1%), depresi 39 orang
(86.7%), dan kecemasan 38 orang (84,4%), untuk angkatan 2016
berjumlah 31 orang yang menderita stress 15 orang (48.4%), depresi 27
orang (87.1%), dan kecemasan 22 orang (71.0%), dan untuk angkatan
76
2017 berjumlah 43 orang yang menderita stress sebanyak 36 orang
(83.7%), depresi 39 orang (90.7%), dan kecemasan 38 orang (88.4%).
Tabel 4.7 Distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan Per
Angkatan
4.1.7. Distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan
Per Jenis Kelamin
Distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan Per Jenis
kelamin pada mahasiswa/wi preklinik yang menderita OAB terdiri dari
wanita sebanyak 105 orang yang menderita stress sebesar 75 orang
(71.4%), depresi 95 orang (90.5%), dan kecemasan 89 orang (84.8%) dan
pada Pria sebanyak 14 orang yang menderita stress sebesar 8 orang
(52.1%), depresi 10 orang (71.4%), dan kecemasan 9 orang (69.3%).
Tabel 4.8 distribusi Stress, depresi, dan kecemasan berdasarkan Per Jenis
Kelamin
4.2 Analisis Bivariat
Analisis ini berfungsi untuk mendeskripsikan atau mejelaskan hubungan
antara OABSS dengan stress, depresi dan kecemasan pada Mahasiswa/wi
Preklinik Program Studi Kedokteran (PSKed) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang menderita OAB.
Angkatan Stress Depresi kecemasan
N % N % N %
2015 (45) 32 71.1 39 86.7 38 84.4
2016 (31) 15 48.4 27 87.1 22 71.0
2017 (43) 36 83.7 39 90.7 38 88.4
Jenis kelamin Stress Depresi kecemasan
N % N % N %
Wanita (105) 75 71.4 95 90.5 89 84.8
Pria (14) 8 52.1 10 71.4 9 69.3
77
4.2.1 Uji Normalitas Data
Table 4.9 Uji Normalitas Data
Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnov
DASS-42
Tidak stres
Stress
Statistic
.231
.221
df
36
83
Sig.
.000
.000
TIdak depresi
Depresi
.302
.223
21
98
.000
.000
Tidak Cemas
Cemas
.222
.211
14
105
.060
.000
Didapatkan nilai p = .000
Jadi dapat disimpulkan bahwa data pada tidak stress dan stress tidak terdistriibusi
normal (p = .000), sedangkan untuk yang tidak depresi dan depresi tidak
terdistribusi normal (p = .000), dan data tidak cemas berdistribusi normal (p =
.060) sedangkan cemas tidak terdistribusi normal (p = .000).
Jadi dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi tidak normal, sehingga
tidak dapat dilakukan uji independent T-test Sehingga, uji dilakukan dengan Non
Parametric Mann Whitney.
4.2.2. Analisis Nilai Score OABSS terhadap Stress, depresi, dan kecemasan’
Menjelaskan dan menjabarkan jumlah dari setiap tingkatan stress
berdasarkan nilai score OABSS Mahasiswa/wi Preklinik Program Studi
Kedokteran (PSKed) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menderita OAB.
Table 4.10 Distribusi Nilai OABSS Berdasarkan Stres, Depresi, dan Kecemasan
Nilai OABSS
78
Rerata
(SD)
Median
(Minimal-Maksimal)
Nilai p
Stress Tidak Stress (n=36)
Stress (n=83)
2.64
(1.930)
2.76
(1.527)
2.00
(1-11)
2.00
(1-8)
0.417
Depresi Tidak Depresi (n=21)
Depresi(n=98)
2.67
(2.394)
2.73
(1.461)
2.00
(1-11)
2.00
(1-8)
0.223
Cemas Tidak Cemas (n=14)
Cemas (n=105)
2.43
(1.651)
2.76
(1.656)
2.00
(1-7)
2.00
(1-11)
0.352
Pada hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai p= 0.417 (<0.05) pada
kategori tidak stress dan stress, nilai p= 0.223 (<0.05) pada kategori tidak depresi
dan depresi, dan nilai p= 0.352 (<0.05) pada kategori tidak cemas dan cemas, hal
ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara stress, depresi
dan kecemasan dengan nilai OABSS.
4.3 Pembahasan Penelitian
Penelitian ini menghasilkan insidensi atau angka kejadian stress, depresi,
dan kecemasan dengan DASS-42 berbahasa indonesia dengan hasil stress 83
orang (69.7%), depresi 98 orang (82.4%) dan kecemasan 105 orang (88.2%).
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Carolin (2010) dan
Oktavia (2012) yang menyebutkan bahwa tingkat stress pada mahasiswa
kedokteran berkisar antara 45.8 -71.6%.
Analisa berdasarkan tingkat pendidikan di kedokteran, angkatan 2017
paling banyak menderita stress, depresi dan kecemasan yaitu 36 orang (83.7%),
39 orang (90.7%), dan 38 orang (88.4%). Hal ini selaras dengan penelitian yang
dilakukan oleh Vilaseeni (2009) yang menyebutkan bahwa angkatan pertama
memiliki tingkat stress yang lebih tinggi. Menurut Moffat (2011) stressor paling
79
besar pada mahasiswa FK tahun pertama yaitu adaptasi dengan kurikulum yang
baru, mempertahankan kompetensi diri, akomodasi, dan tinggal jauh dari rumah.
35 Sedangkan menurut Shah (2010) menyebutkan bahwa penyebab tahun pertama
lebih merasakan stress karena jadwal perkuliahan yang padat dan praktikum yang
lebih banyak pada tahun pertama, yang membuat mahasiswa sulit untuk mengatur
waktu dalam belajarnya.36
Pada hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai p= 0.417 (<0.05) pada
kategori tidak stress dan stress, hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara stress dengan nilai OABSS.
Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendri
Lai dkk (2015). Mengenai hubungan antara stress dengan OAB. Pada penelitian
tersebut, didapatkan adanya hubungan antara stress dengan OAB itu sendiri9.
Sedangkan hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai p= 0.223 (<0.05) pada
kategori tidak depresi dan depresi, hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara depresi dengan nilai OABSS.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Iane Glauce dkk (2017).
Mengenai hubungan antara depresi dengan OAB. Pada penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara depresi dengan
OABnya sendiri. Orang yang depresi memiliki nilai ataupun derajat OAB yang
lebih berat10
. Begitupun dengan penelitian penelitian yang dilakukan oleh Henry
Lai dkk (2016). Mengenai hubungan antara depresi dengan OAB. Pada penelitian
tersebut didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
depresi dengan OABnya sendiri. Semakin tinggi depresi penderita OAB, maka
semakin tinggi pula derajat OAB dan nilai score yang dialami pasien tersebut11
.
Lalu pada hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai p= 0.352 (<0.05) pada
kategori tidak cemas dan cemas, hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara cemas dengan nilai OABSS.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh H Henry Lai dkk (2017).
Mengenai hubungan antara kecemasan dengan OAB. Pada penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat cemas
dengan OABnya sendiri. Orang yang lebih cemas mendapatkan nilai ataupun
derajat OAB paling banyak dibandingkan dengan kasus kontrolnya34
.
80
4.4 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini hanya dilakukan menggunakan metode cross sectional
dimana peneliti tidak mengikut perkembangan pssikologis responden.
2. Penelitian hanya mencari hubungan antara stress, depresi dan kecemasan
dengan skor OABSS saja. Namun, penelitian mengenai prevalensi, factor-
faktor penyebab dari stress, depresi dan kecemasan tersebut tidak
dilakukan pada mahasiswa/wi Program Studi Kedokteran (PSKed) UIN
syarif hidayatullah Jakarta.
3. Penelitian ini hanya menggunakan kuesioner DASS-42 sebagai
pengkategorian stress, depresi, dan kecemasan yang tidak menggunakan
setiap klasifikasi berdasarkan stress, depresi, dan kecemasan itu sendiri.
81
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
a. Mahasiswa yang menderita OAB. Terdeteksi Dengan DASS-42 yang
menderita Stress sebanyak 83 orang (69.7%), depresi 98 orang
(82.4%), dan kecemasan 105 orang (88.2%)
b. Berdasarkan Faktor sosiodemografi pada penelitian ini adalah factor
jenis kelamin menunjukkan wanita sebanyak 105 orang dan pria 14
orang paling banyak mengalami depresi yaitu 95 orang (90.5%), dan
10 orang (71.4%)
c. Untuk factor sosiodemografi pada penelitian ini analisa berdasarkan
tingkat pendidikan di kedokteran, angkatan 2015, 2016, dan 2017
cenderung menderita depresi yaitu sebanyak 39 orang (86.7%), 27
orang (87.1%), dan 39 orang (90.7%)
d. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat stress, kejadian kecemasan, dan depresi dengan nilai score
OABSS pada mahasiswa/wi Preklinik Program Studi Kedokteran
(PSKed) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
menderita OAB.
5.2 Saran
a. Penelitian perlu dilakukan dengan sampel yang lebih homogen.
b. Untuk melengkapi penilitian ini diharapkan melakukan penelitian
mengenai factor-faktor apa saja penyebab dari stress, kecemasan, dan
depresi pada mahasiswa/wi Program Studi Kedokteran (PSKed) UIN
syarif hidayatullah Jakarta.
c. Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai prevalensi stress, kecemasan
dan depresi pada mahasiswa/wi Program Studi Kedokteran (PSKed)
UIN syarif hidayatullah Jakarta.
d. Sebaiknya penelitian berikutnya dilakukan menggunakan sampel yang
lebih banyak lagi, agar nilai yang didapat dan tingkat kepercayaannya
lebih besar.
79
82
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo B. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. jakarta: Saung Seto;
2011. 165-172 p.
2. Abrams P, Cardozo L, Khoury S, Wein A. Incontinence volume
1 basic & evaluation. 2005;1.
3. Eapen R, Radomski S. Review of the epidemiology of
overactive bladder. Res Reports Urol [Internet]. 2016;8:71–6.
Available from: http://dx.doi.org/10.2147/rru.s102441
4. Albo ME, Richter HE, Brubaker L, Norton P, Kraus SR,
Zimmern PE, et al. Burch Colposuspension versus Fascial Sling
to Reduce Urinary Stress Incontinence. N Engl J Med [Internet].
2007 May 24 [cited 2018 Sep 29];356(21):2143–55. Available
from: http://www.nejm.org/doi/abs/10.1056/NEJMoa070416
5. ICS. International Continence Society [Internet]. 2015. p. 1–40.
Available from:
www.ics.org/Documents/Documents.aspx?DocumentID=3102
6. Semijurnal Farmasi & Kedokteran Ethical Digest. Overactive
bladder. Jakarta; 2009. 28-37 p.
7. Kementerian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar [Internet]. 2013. p. 213–48. Available from:
www.depkes.go.id/resource/download/general/Hasil Riskesdas
2013.pdf
8. Kementerian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar [Internet]. 2008. p. 217–64. Available from:
www.depkes.go.id/resource/download/general/Hasil Riskesdas
208.pdf
9. Lai H, Gardner V, Vetter J, Andriole GL. Correlation between
psychological stress levels and the severity of overactive bladder
symptoms. BMC Urol. 2015;15(1):1–7.
10. Lai HH, Rawal A, Shen B, Vetter J. The Relationship Between
Anxiety and Overactive Bladder or Urinary Incontinence
Symptoms in the Clinical Population. Urology. 2016;98:50–7.
11. Lai HH, Shen B, Rawal A, Vetter J. The relationship between
depression and overactive bladder/urinary incontinence
symptoms in the clinical OAB population. BMC Urol [Internet].
2016;16(1):1–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1186/s12894-016-0179-x
12. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. 23rd ed.
Jakarta: EGC; 2012.
83
13. Guyton A., Hall J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12th ed.
Jakarta: EGC; 2014.
14. Sherwood L. Fisiologi Manusia dasi Sel ke Sistem. 9th ed.
jakarta: EGC; 2017. 499-502 p.
15. Ouslander J. Management of Overactive Bladder. New Engl J
Med 350. 2004;786–885.
16. Ganong W. Buku Ajar Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.
22nd ed. jakarta: EGC; 2008. 753-756 p.
17. Newman D. Program of Excellence in Extended Care.
Understanding Bladder Conditions. 2006;59–81.
18. Gillespie J. The autonomous bladder : a view of the origin of
bladder overactivity and sensory urge. 2004;478–561.
19. The Overactive Bladder [Internet]. Available from:
www.overactivebladder.ca/
20. Ahn K, Hong H, Kweon H, Ahn A, Oh E, Choi J, et al.
Correlation between Overactive Bladder Syndrome and
Obsessive Compulsive Disorder in Women. 2016;25–30.
21. Andersson K. new roles for muscarinic receptors in the
pathophysiology of lower urinary tract symptoms. 2000;36–43.
22. Mansfield K. Lower Urinary Tract : Molecular characterization
of M2 and M3 muscarinic receptor expression in bladder from
women with refractory idiopathic detrusor overactivity.
2007;1433–71.
23. University of Texas at Austin. Family Nurse Practitioner
Program. Recommendation for Managemen of Stage and Urge
Urinary Incontinence in women. 2002;
24. Yudistirani A. Insidensi penderita oab (overactive bladder) pada
ibu- ibu pengajian di kecamatan medan sunggal tahun 2012
dengan menggunakan oabss (overactive bladder symptoms
score). 2012;
25. Permana UR, Obstetri D, Ginekologi D a N. Prevalensi Dan
Faktor – Faktor Resiko Overactive Bladder Pada Paramedis
Perempuan Di Rsup H . Adam Malik Medan Penelitian Ini Di
Bawah Bimbingan Tim-5. 2008;
26. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri
Klinis. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2015.
27. Kaplan H, Saddock B, Grebb J. Sinopsis psikiatri Jilid 1. 7th ed.
Kusuma TWi, editor. Jakarta: BIna Rupa Aksara; 1997. 86-108
p.
28. Willy FM, Albert AM. Ilmu Kedokteran Jiwa. 2009;
84
29. Yusuf M. Kesehatan Mental. Bandung: RIZQI PRESS; 2008.
54-60 p.
30. Smert Bart. Psikologi Kesehatan. Gramedia; 1994. 77-85 p.
31. Sulvian G, Gorman J. Anxiety Disorder, Coprehensive Texbook
of Psychiatry. 2007. 1441-1503 p.
32. Howard E. Anxiety Disorder, Synopsis of Psychiatry. 10th ed.
2007. 594-628 p.
33. Aprilian T. Skrinning Overactive Bladder (OAB) dengan
Kuesioner Overactive Bladder Symptom Score Pada Mahasiswa
Preklinik Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017-2018. 2018;
34. Melotti IGR, Juliato CRT, Tanaka M, Riccetto CLZ. Severe
depression and anxiety in women with overactive bladder. Vol.
37, Neurourology and Urodynamics. 2018. 223-228 p.
35. Moffat KJ, Mcconnachie A, Ross S, Morrison JM. First year
medical student stress and coping in a problem-based learning
medical curriculum. Medical Education. 2004. 38(5):482-491
36 Shah M, Hasan S, Malik S, Sreeramareddy CT, Perceived stress,
sources and severity of stress among medical undergraduates in
a Pakistani medical school. BMC Medical Education. 2010.
10(1):2
85
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Kuesioner OABSS
Kuisioner ini terdiri dari 4 pertanyaan yang berkaitan dengan keseharian dalam
buang air kecil Anda serta terdapat lima pilihan jawaban yang disediakan untuk setiap
pertanyaannya yaitu 0-5. Anda diminta untuk menjawab kuisioner di kolom skor dengan
cara menuliskan angka (0-5) yang tertera pada salah satu kolom yang paling sesuai
dengan keseharian anda dalam buang air kecil. Setelah itu, anda diminta untuk
menjumlahkan skor dari semua pertanyaan yang ada telah isi dan tuliskan di kolom total
skor. Tidak ada jawaban yang benar atau salah, karena itu isilah sesuai dengan keadaan
yang anda alami.
NO PERTANYAAN Tidak
Pernah
Kadang-
kadang
1 Kali
Sehari
3 Kali
Sehari
Separuh
Waktu
Sering
Sekali
Skor
1. Seberapa sering
anda merngalami
dorongan kuat dan
tiba-tiba untuk
BAK, sehingga
membuat anda takut
mengopol bila anda
tidak segera ke
toilet?
0 1 2 3 4 5
2. Seberapa sering
anda mengompol
karena sulit
menahan keinginan
mendadak untuk
kencing?
0 1 2 3 4 5
Tidak
ada
Tetes 1
sendok
teh
1
sendok
makan
¼
cangkir
Seluruh
kandung
kemih
3. Berapa banyak air 0 1 2 3 4 5
86
seni yang biasanya
anda keluarkan saat
mengompol?
1-6 kali 7-8 kali 9-10
kali
11-12
kali
13-14
kali
≥ 15
kali
4 Seberapa sering
anda BAK saat
siang hari?
0 1 2 3 4 5
Tidak
sama
sekali
1 kali 2 kali 3 kali 4 kali ≥ 5 kali
5 Berapa kali
biasanya anda
terbangun untuk
BAK, dari mulai
anda tidur di malam
hari sampai anda
bangun di pagi hari
0 1 2 3 4 5
TOTAL SKOR
87
Lampiran 2
Kuesioner DASS-42
TES DASS-42
Petunjuk Pengisian
Kuesioner ini terdiri dari berbagai pernyataan yang mungkin sesuai dengan
pengalaman Bapak/Ibu/Saudara dalam menghadapi situasi hidup sehari-hari. Terdapat
empat pilihan jawaban yang disediakan untuk setiap pernyataan yaitu:
0 : Tidak sesuai dengan saya sama sekali, atau tidak pernah.
1 : Sesuai dengan saya sampai tingkat tertentu, atau kadang kadang.
2 : Sesuai dengan saya sampai batas yang dapat dipertimbangkan, atau lumayan
sering.
3 : Sangat sesuai dengan saya, atau sering sekali.
Selanjutnya, Bapak/Ibu/Saudara diminta untuk menjawab dengan cara memberi
tanda silang (X) pada salah satu kolom yang paling sesuai dengan pengalaman
Bapak/Ibu/Saudara selama satu minggu belakangan ini. Tidak ada jawaban yang benar
ataupun salah, karena itu isilah sesuai dengan keadaan diri Bapak/Ibu/Saudara yang
sesungguhnya, yaitu berdasarkan jawaban pertama yang terlintas dalam pikiran
Bapak/Ibu/ Saudara.
No PERNYATAAN 0 1 2 3
1 Saya merasa bahwa diri saya menjadi marah karena hal-hal sepele.
2 Saya merasa bibir saya sering kering.
3 Saya sama sekali tidak dapat merasakan perasaan positif.
4
Saya mengalami kesulitan bernafas (misalnya: seringkali
terengah-engah atau tidak dapat bernafas padahal tidak
melakukan aktivitas fisik sebelumnya).
5 Saya sepertinya tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan.
6 Saya cenderung bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi.
88
7 Saya merasa goyah (misalnya, kaki terasa mau ’copot’).
8 Saya merasa sulit untuk bersantai.
9
Saya menemukan diri saya berada dalam situasi yang membuat
saya merasa sangat cemas dan saya akan merasa sangat lega
jika semua ini berakhir.
10 Saya merasa tidak ada hal yang dapat diharapkan di masa
depan.
11 Saya menemukan diri saya mudah merasa kesal.
12 Saya merasa telah menghabiskan banyak energi untuk merasa
cemas.
13 Saya merasa sedih dan tertekan.
14
Saya menemukan diri saya menjadi tidak sabar ketika
mengalami penundaan (misalnya: kemacetan lalu lintas,
menunggu sesuatu).
15 Saya merasa lemas seperti mau pingsan.
No PERNYATAAN 0 1 2 3
16 Saya merasa saya kehilangan minat akan segala hal.
17 Saya merasa bahwa saya tidak berharga sebagai seorang
manusia.
18 Saya merasa bahwa saya mudah tersinggung.
19
Saya berkeringat secara berlebihan (misalnya: tangan
berkeringat), padahal temperatur tidak panas atau tidak
melakukan aktivitas fisik sebelumnya.
20 Saya merasa takut tanpa alasan yang jelas.
21 Saya merasa bahwa hidup tidak bermanfaat.
22 Saya merasa sulit untuk beristirahat.
23 Saya mengalami kesulitan dalam menelan.
24 Saya tidak dapat merasakan kenikmatan dari berbagai hal yang
saya lakukan.
25 Saya menyadari kegiatan jantung, walaupun saya tidak sehabis
89
melakukan aktivitas fisik (misalnya: merasa detak jantung
meningkat atau melemah).
26 Saya merasa putus asa dan sedih.
27 Saya merasa bahwa saya sangat mudah marah.
28 Saya merasa saya hampir panik.
29 Saya merasa sulit untuk tenang setelah sesuatu membuat saya
kesal.
30 Saya takut bahwa saya akan ‘terhambat’ oleh tugas-tugas
sepele yang tidak biasa saya lakukan.
31 Saya tidak merasa antusias dalam hal apapun.
32 Saya sulit untuk sabar dalam menghadapi gangguan terhadap
hal yang sedang saya lakukan.
33 Saya sedang merasa gelisah.
34 Saya merasa bahwa saya tidak berharga.
35 Saya tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi
saya untuk menyelesaikan hal yang sedang saya lakukan.
36 Saya merasa sangat ketakutan.
37 Saya melihat tidak ada harapan untuk masa depan.
38 Saya merasa bahwa hidup tidak berarti.
39 Saya menemukan diri saya mudah gelisah.
40 Saya merasa khawatir dengan situasi dimana saya mungkin
menjadi panik dan mempermalukan diri sendiri.
41 Saya merasa gemetar (misalnya: pada tangan).
42 Saya merasa sulit untuk meningkatkan inisiatif dalam
melakukan sesuatu.
90
Lampiran 3
Lembar Informed Concent
Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Assalamualaikum wr. wb.
Saya, Romi Rhomadhon (11151030000088) mahasiswi S1 Fakultas Kedokteran
UIN Syarif Hidayatullah, bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai
Hubungan Antara Nilai Skor Overactive Bladder Symptom Score (OABSS)
dengan Stres, Depresi, Dan Kecemasan Dengan Pada Mahasiswa/Wi Preklinik
Program Studi Kedokteran (PSKed) Yang Menderita Overactive Bladder (OAB).
Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan studi saya di Fakultas
Kedokteran UIN Syarif Hidyatullah Jakarta.
Penelitian ini akan dilakukan dengan cara mengisi kuesioner OABSS dan
DASS-42 yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan keadaan
fungsi berkemih dan psikologis anda. Semua informasi dari hasil kuesioner ini
akan saya gunakan untuk penelitian ini dan akan saya jaga kerahasiannya. Oleh
karena itu, saya berharap Saudara/i dapat mengisi kuisioner ini dengan lengkap.
Jika Saudara/i bersedia untuk mengisi kuesioner ini, silahkan mengisi
identitas dan tanda tangan di lembar berikutnya. Terima kasih atas waktu yang
telah Saudara/i berikan untuk mengisi kuesioner ini.
Wassalamualaikum wr. wb.
Peneliti,
Romi Rhomadhon
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tlp. 081272051219
91
KUISIONER OABSS dan DASS-42 PADA MAHASISWA PREKLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2017-2018
Tanggal Pengambilan
:
No Kuisioner :
PERSETUJUAN PENGAMBILAN DATA
(INFORMED CONSENT)
Nama :
NIM :
Angkatan :
Fakultas : Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Usia :
Jenis Kelamin :
TTL :
Nomor HP :
Alamat :
Saya telah mendapatkan penjelasan dengan sejelas-jelasnya dari penelitian
mengerti mengenai penelitian yang berjudul Hubungan Antara Nilai Skor
Overactive Bladder Symptom Score (OABSS) dengan Stres, Depresi, Dan
Kecemasan Dengan Pada Mahasiswa/Wi Preklinik Program Studi Kedokteran
(PSKed) Yang Menderita Overactive Bladder (OAB).yang dilakukan oleh
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta angkatan 2015 bernama Romi Rhomadhon (11151030000088). Saya
92
bersedia mengisi kuisioner OABSS sebagai bentuk partisipasi saya terhadap
penelitian ini.
Ciputat,
Agustus 2018
Peneliti Responden
(……………………..) (……………….…….)
93
Lampiran 4
Hasil SPSS
2. Analisis univariate
a. Jenis kelamin
b. Usia
c. Angkatan
94
d. Distibusi penderita OAB
e. Ditribusi Stress
f. Distribusi Depresi
g. Distribusi kecemasan
95
h. Nilai croanbach‟s alpha DASS-42
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.962 42
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance
if Item Deleted
Corrected Item-
Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
VAR00001 33.51 433.035 .647 .961
VAR00002 33.11 439.377 .309 .963
VAR00003 34.19 427.880 .817 .960
VAR00004 34.30 444.104 .290 .962
VAR00005 34.19 431.602 .655 .961
VAR00006 33.84 428.195 .675 .961
VAR00007 34.19 432.991 .582 .961
VAR00008 33.89 433.655 .635 .961
VAR00009 33.08 429.410 .580 .961
VAR00010 34.38 437.075 .544 .961
VAR00011 33.41 433.637 .545 .961
VAR00012 33.59 431.526 .535 .962
VAR00013 33.73 425.758 .715 .961
VAR00014 33.30 432.715 .618 .961
VAR00015 34.43 447.363 .240 .963
VAR00016 34.00 431.333 .668 .961
VAR00017 34.22 426.841 .737 .961
VAR00018 33.54 429.755 .612 .961
VAR00019 33.89 443.044 .228 .963
VAR00020 33.95 421.275 .830 .960
VAR00021 34.43 443.641 .408 .962
VAR00022 33.97 439.138 .402 .962
96
VAR00023 34.57 448.919 .199 .963
VAR00024 34.32 431.947 .719 .961
VAR00025 34.00 432.889 .563 .961
VAR00026 34.11 429.766 .726 .961
VAR00027 33.84 426.917 .712 .961
VAR00028 33.76 422.578 .762 .960
VAR00029 33.68 426.059 .662 .961
VAR00030 33.59 420.192 .724 .961
VAR00031 33.92 437.299 .530 .962
VAR00032 33.68 429.892 .653 .961
VAR00033 33.89 426.710 .724 .961
VAR00034 34.24 430.245 .636 .961
VAR00035 33.89 424.155 .741 .960
VAR00036 34.16 424.640 .775 .960
VAR00037 34.59 440.637 .520 .962
VAR00038 34.59 440.248 .537 .962
VAR00039 33.84 425.695 .747 .960
VAR00040 33.62 424.686 .783 .960
VAR00041 34.00 434.889 .504 .962
VAR00042 33.59 426.748 .713 .961
97
i. Distribusi Kuesioner DASS-42
98
3. Analisis Bivariat
a. Hasil uji Normalitas Stress
99
b. Hasil uji Normalitas Depresi
100
c. Hasil uji Normalitas Kecemasan
101
d. Mann Whitney (score OABSS-Stress)
e. Mann Whitney (Score OABSS-Depresi)
f. Mann Whitney (Score OABSS-Cemas)
102
103
Lampiran 5
Google Form DASS-42
104
105
106
107
108
109
Lampiran 6
Daftar Riwayat Hidup
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Romi Rhomadhon
Tempat/Tangal Lahir : Musi Banyuasin, 12 Januari 1998
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Jln. Palembang Jambi KM 161. Desa
Pinang Banjar Kecamatan Sungai Lilin
Kabupaten Musi Banyuasin
No.Hp : 081272051219
Email : Romi.Rhomadhon@Gmail.Com
PENDIDIKAN
2002-2003 : TK Matahari
2003-2009 : SDN 1 Sungai Lilin
2009-2012 : MTS Assalam Alislamy
2012-2015 : MA Assalam Alislamy
2015–sekarang : Program Studi Kedokteran (PSKed)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta