Post on 19-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
HIV/AIDS telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai belahan bumi.
HIV/AIDS adalah salah satu penyakit yang harus diwaspadai karena Acquired
Immunodeficiency Syndrome ( AIDS) sangat berakibat pada penderitanya. Acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala penyakit yang
menyerang tubuh manusia setelah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Cara penularan HIV dapat melalui hubungan
seksual, penggunaan obat suntik, ibu ke anak-anak dan lain-lain. Mengenai penyakit
HIV/AIDS, penyakit ini telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat
dunia, karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan penyakit ini
juga memiliki “window periode” dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relative
panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan pola
perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena).
Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Dari beberapa
cara penularan tersebut, masing-masing penularan memiliki resiko penularan cukup
besar. Oleh karena itu, penularan HIV harus diberi pengobatan agar penyebaran
mengalami perlambatan. HIV tidak dapat disembuhkan karena tidak ada obat yang
dapat sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan penyakit dapat
diperlambat namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang tepat antara
berbagai obat-obatan antiretroviral dapat memperlambat kerusakan yang diakibatkan
oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda awal terjadinya AIDS.
Pengobatan dan perawatan yang ada terdiri dari sejumlah unsur yang berbeda, yang
meliputi konseling dan test mandiri (VCT), dukungan bagi pencegahan penularan
HIV, konseling tidak lanjut, saran-saran mengenai makanan dan gizi, pengobatan
IMS, pengelolaan efek nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi oportunistik (IOS),
dan pemberian obat-obat antiretroviral.
Obat antiretroviral digunakan dalam pengobatan infeksi HIV. Obat-obatan ini
bekerja melawan infeksi itu sendiri dengan cara memperlambat reproduksi HIV
1
dalam tubuh. Perkembangan ilmu pengetahuan dibidang matematika memberikan
peranan penting untuk menganalisa pendekatan dan manajemen penularan penyakit.
Pengobatan penularan penyakit tersebut dapat dimodelkan ke dalam model
matematika yaitu model pandemi SITA (Susceptible, Infected, Treatment, AIDS)
yang dikenalkan oleh F. Nyabadza (2008).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Pria 35 tahun berobat ke rumah sakit karena diare hilang timbul selama 4 minggu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Dalam 3-4 minggu ini pasien merasa demam ringan, batuk-batuk berdahak, merasa
letih dan berat badan turun dalam 3 bulan terakhir ini. Nafsu makan menurun, hingga
sejak 2 minggu lalu pasien sering diare hilang timbul, perut mulas, feces terdapat
lender dan darah. Pasien hanya minum obat warung untuk mengobati penyakitnya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Selama 1 tahun terakhir ini ia sering mengalami batuk, pilek, dan radang
tenggorokan yang bila berobat ke dokter sembuh, kemudian terulang kembali. Ia juga
sering mengeluh sering sariawan. Pasien belum menikah, pernah memakai jasa
pekerja seks komersial.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : Tampak lemah dan agak pucat, TB 165 cm, BB 50 kg
Tanda vital : Suhu 37,5°C, nadi lemah, 90x/menit, tensi 100/70 mmHg,
nafas 24x/menit.
Status Generalis :
Mata : konjungtiva pucat-/-, sclera ikterik-/-, mata cekung (/)
THT : oral trush (+), bibir kering
Paru : vesikuler +/+, rhonki +/+, basah kasar, wheezing -/-
Jantung : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) meningkat, turgor cukup
Eksteremitas : akral hangat, edema -/-, CRT (capillary refill time)<2
3
BAB III
PEMBAHASAN
IdentitasPasien
NamaPasien : X
UmurPasien : 35 tahun
Jeniskelamin : Laki-laki
Keluhanutama : Diare hilang timbul selama 4 minggu.
Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Dalam 3-4 minggu pasien merasa demam ringan, batuk-batuk berdahak,
merasa letih, dan berat badan turun dalam 3 bulan terakhir ini. Nafsu makan
menurun.Hingga sejak 2 minggu lalu pasien sering diare hilang timbul, perut
mulas. Feces terdapat lender dan darah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Selama 1 tahun terakhir ia sering mengalami batuk, pilek, dan radang
tenggorokan yang bila berobat kedokter sembuh, kemudian terulang kembali.
Ia juga mengeluh sering sariawan. Pasien belum menikah, pernah memakai
jasa pekerja seks komersial.
Hipotesis
Berdasarkan keluhan utama pasien, hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
telah dilakukan, kelompok kami menyimpulkan beberapa hipotesis, yaitu:
1) HIV
2) HIV-TB
3) TB Paru
4
4) Keganasan
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Tampak lemah dan agak pucat. TB 165 cm, BB 50 kg. Hasil BMI yang
didapatkan adalah 18,3 yang menandakan dibawah normal, diman anilai
normal BMI adalah 18,5 – 24,9.
Tanda vital
1) Suhu 37,5°C. Menandakan suhu tubuh subfebris, dimana nilai normal
suhu tubuh adalah 36°C.
2) Nadi lemah, 90x/menit. Denyut nadi berada dalam batas normal, dimana
nilai normal denyut nadi adalah 60-100x/menit.
3) Tensi 100/70 mmHg. Menandakan tensi pasien ini adalah hipotensi,
dimana nilai normal tensi adalah 120/80 mmHg.
4) Nafas 24x/menit. Menandakan pasien tachypnoe, dimana nilai normal
nafas adalah 18-20x/menit.
Status Generalis
1) Mata : Konjungtiva pucat-/-,sclera ikterik-/-,mata cekung (-)
Menandakan keadaan mata dalam keadaan normal.
2) THT : Oral trush (+), bibir kering.
Oral trush (+) menandakan adanya candida di dalam
rongga mulut. Hal ini mendukung diagnosis HIV,
HIV-TB.
3) Paru : Vesikuler +/+, rhonki +/+, basah kasar, wheezing -/-
5
Ronkhi +/+, bahas kasar menandakan adanya cairan
di dalam rongga paru. Hal ini mendukung diagnosis
TB Paru, HIV-TB.
4) Jantung : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Menandakan jantung berada dalam batas normal.
5) Abdomen : supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) meningkat,
turgor cukup
Bising usus (+) menandakan adanya peningkatan
motilitas usus yang disebabkan oleh diare yang
diderita pasien. Hal ini mendukung diagnosis HIV,
HIV-TB.
6) Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT (capillary refill time)<2
Menandakan ekstremitas berada dalam batas normal.
Pemeriksaan Laboratorium
1) Darah:
Hb 11,5g/dl. Menandakan hemoglobin pasien rendah, dimana nilai
normal hemoglobin laki-laki adalah 13-18 gr/dl.
Ht 40%. Menandakan hematokrit pasien dalam batas normal, dimana
nilai normal hematokrit adalah 40-48%.
Eritrosit 4jt/uL. Menandakan eritrosit pasien rendah, dimana nilai
normal eritrosit adalah 5 juta – 5,5 juta/µL.
Trombosit 170.000/µL. menandakan trombosit pasien dalam batas
normal, dimana nilai normal trombosit adalah 150.000-450.000/µL.
LED 30 mm/jam. LED pasien mengalami peningkatan, dimana nilai
normal LED adalah 0-10 mm/jam. Peningkatan LED ini memandakan
pasien mengalami penyakit infeksi kronis.
6
2) Hitung jenis : 0/3/4/70/15/8. Menandakan adanya penurunan limfosit
yaitu 15, dimana nilai normal limfosit adalah 20-40. Hal ini mendukung
diagnosis HIV.
3) Anti HIV reaktif, CD4 T cell 200/µL. Menandakan adanya penurunan
kadar CD4 T Cell, dimana nilai normal CD4 T Cell adalah 500-1000/µL.
hal ini mendukung diagnosis HIV.
4) Rontgen thorax : Infiltrate pada kedua apex pulmo. Hal ini
mendukung diagnosis kerja yang mengarah pada HIV TB.
Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang telah diperoleh, kelompok kami mendiagnosis pasien ini
mengalami HIV Stadium 3 dengan TB Paru.
Patofisiologi
HIV merupakan suatu virus RNA yang akan menginfeksi sel dengan
menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp 120 yang akan berikatan
dengan CD4 di permukaan sel. Selain berikatan dengan CD4, gp 120 juga akan
berikatan dengan reseptor kemokin. Setelah virus berikatan dengan reseptor sel,
membrane virus akan bersatu dengan membrane sel pejamu dan virus masuk ke
sitoplasma dengan bantuan gp 41.
Di sitoplasma envelop virus dilepas oleh enzim protease virus dan RNA
menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transcriptase,
dan kopi DNA virus akan bersatu dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim
integrase. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus diaktifkan dengan
cara membuat virus baru, virus yang belum matang akan melepaskan diri dengan
enzim protease sehingga virus menjadi aktif. HIV mudah mengalami infeksi
oportunistik. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan
tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi
HIV tersebut. Dimana kasus yang paling sering terjadi adalah infeksi
7
oportunistik yang bermanifestasi ke paru sehingga dapat terjadi TB, lalu ke
gastrointestinas pada pasien HIV.
Penatalaksanaan pasien
Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis
HIV/AIDS ditegakkan. Pada saat konseling, pasien perlu diberikan
dukungan psikososial agar pasien mampu memahami status perjalanan
alami HIV/AIDS dan tetap bersemangat dalam melawan penyakit tersebut.
Selain itu edukasi yang baik, dari cara perbaikan gaya hidup, cara
penularan, pencegahan serta pengobatan HIV/AIDS dan IO pun perlu
dilakukan. Tentunya semua ini akan memberi keuntungan, baik bagi ODHA
maupun lingkunganya.
Antiretrovirus
Pada pasien ini perlu diberikan Highly Active Antiretroviral Theraphy
(HAART) untuk menekan replikasi virus . Kombinasi ARV merupakan
dasar penatalaksanaan pemberian antivirus terhadap ODHA, karena dapat
mengurangi resistensi, menekan replikasi HIV secara efektif sehingga
kejadian penularan /IO /komplikasi lainnya dapat dihindari, dan
meningkatkan kualitas serta harapan hidup ODHA.1
KriteriaKombinasi Penghambat
Reverse Transcriptase
Penghambat Protease
Sangat dianjurkan Didanosin+Lamivudin
Didanosin+Stavudin
Didanosin+Zidovudin
Didanosin+Efirenz+Lamivudin
/ Stavudin/Zidovudin
Lamivudin+Zidovudin
Lamivudin + Stavudin
Indinavir
Indinavir+Ritonavir
Lopinavir+Ritovanir
Nelfinavir
Ritonavir+Saquinavir
8
Altematif
Zidovudin+Zalsitabin
Amprenavir
Nelfinavir+Saquinavir
Ritonavir
Saquinavir
Tidak dianjurkan Stavudin+Zidovudin
Zalsitabin+Didanosin
Zalsitabin + Lamivudin
Zalsitabin + Stavudin
Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Oportunistik (IO)
Penyebab utama kematian ODHA adalah infeksi oportunistik.Center of
Disease Control (CDC) menganjurkan pemberian regimen pencegahan bagi
semua pasien dengan status imun yang buruk tanpa kecuali. Untuk pencegahan
dan pengobatan infeksi oportunistik pada pasien ini, pasien dapat diberikan obat
anti diare dan antibiotik. Dan apabila CD4 pasien turun hingga <200 sel/ul
pasien dapat diberikan trimethoprim-sulfamethoxazole untuk mengurangi risiko
terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).2
Prognosis
Ad Vitam : Dubia Ad Malam
Ad Functionam : Dubia Ad Malam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam.
Hal ini dikarenakan CD 4 pasien sudah turun hingga 200 /ul dan sudah
termasuk stadium III dari klasifikasi HIV/AIDS WHO yang ditandai dengan
CD4 kurang dari 350/ul, diare kronik, penurunan berat badan, dan deman
dengan penyebab yang tidak jelas, serta infeksi bacteria contohnya
Mycobacterium tuberculosis.
9
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Imunodefisiensi
Terdapat 2 jenis defisiensi imun, yaitu primer dan sekunder. Defisiensi
imun primer merupakan defek genetik yang meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi yang sering sudah bermanifestasi pada bayi dan anak, tetapi kadang
secara klinis baru ditemukan pada usia lebih lanjut. Sedangkan defisiensi imun
sekunder didapatkan selama perjalanan hidup yang dapat diakibatkan oleh
malnutrisi (contoh: kekurangan Zinc, Selenium, vitamin C, vitamin E, pro
vitamin A), kanker yang menyebar, pengobatan dengan imunosupresan, infeksi
sel sistem imun yang nampak jelas pada HIV dan usia lanjut dimana sistem
imun seseorang menurun juga saat bayi dimana sistem imun belum terbentuk
maksimal.3
Infeksi terdapat dua jenis, yaitu infeksi intraselular dan ekstraselular.
Infeksi intraselular akan berdampak pada defeknya T-Cell, Interferon, dan
TNF (Tumor Necrosing Factor). Sedangkan infeksi ekstraselular akan
berdampak pada defeknya antibody dan komplemen. Infeksi intraselular dan
ektraselular dapat menyebabkan mild imunodefisiensi juga severe
imunodefisiensi. Infeksi intraselular yang menyebabkan mild imunodefisiensi
adalah jenis infeksi Herpes Zoster dan Candida sp., sedangkan infeksi
ekstraselular yang menyebabkan mild imunodefisiensi adalah jenis infeksi
PCT, Cytomegalovirus, dan Epstein Bar Virus. Infeksi intraselular yang
menyebabkan severe imunodefisiensi adalah jenis infeksi Pneumococcus, dan
Meningococcus, sedangkan infeksi ekstraselular yang menyebabkan severe
imunodefisiensi adalah jenis infeksi Polio, dsn Mycoplasma.
Arti oral thrush berkaitan dengan jenis dan derajat beratnya imunodefisiensi
Oral thrush disebabkan oleh jamur Candida Albicans yang pada
individu normal yang tidak mengalami imunodefisiensi jamur ini tidak akan
menyerang. Tapi lain halnya apabila individu tersebut mengalami defisiensi
10
sel CD4 atau sel Limfosit T Helper hingga kurang dari 200 uL maka spesies
Candida Albicans tersebut akan menyerang individu tersebut.
Maka dari itu, infeksi dari mikroba ini adalah infeksi oportunistik yang
menyerang individual immunocompromised. Pada individu dengan jumlah
sel CD4 berada dibawah 200uL maka individu tersebut bisa dikatakan ODHA
atau Orang Dengan HIV/AIDS dan oral thrush umumnya menandakan bahwa
individu tersebut sudah sampai ke HIV stage 3 oleh WHO.4
Oral thrush diartikan sebagai intraselular infeksi, dimana terdapat
Candida albicans didalam rongga mulut yang dapat menyebabkan mild
imunodefisiensi. Dimana semakin kronis suatu penyakit, semakin mudah pula
untuk terkena oral thrush. Seperti kita ketahui, defisiensi imun sekunder
adalah penurunan sistem imun yang timbul setelah lahir. Pola hidup yang
buruk ternyata bisa berdampak pada imunodefisiensi antara lain :
Seks bebas, seks bebas disini bisa diartikan berganti-ganti pasangan
dalam hubungan seks ataupun menggunakan jasa pekerja seks komersial.
Ini dapat membuat seseorang rentan terinfeksi HIV. karena Transmisi
virus ini terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan
seksual.
Penggunaan obat-obat terlarang. Selain melalui hubungan seksual
transmisi virus HIV juga dapat menular lewat penggunaan jarum yang
terkontaminasi virus HIV. Para pengguna obat-obatan telarang sering
kali menggunakan jarum suntik secara bergantian sehingga apabila ada
11
satu orang terinfeksi HIV akan menularkannya ke yang lain lewat jarum
suntik tersebut.
Merokok, merokok merupakan salah satu faktor pemicu kanker. Terapi
kanker meliputi pembedahan, kemoterapi dan penyinaran. Hal inilah yang
membuat defisiensi sistem imun. Seperti pemakaian obat kemoterapi
jumlah neutrofil yang berfungsi sebagai fagosit dapat menurun. Dan
penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan
dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
Pola makan, malnutrisi dan diabetes juga salah satu sebab
imunodefisiensi. Pola makan yang buruk seperti kekurangan protein,
kalori ataupun elemen gizi tertentu dapat menyebabkan malnutrisi.
Sedangkan pola makan yang berlebihan serta mengandung banyak
glukosa meningkatkan faktor resiko diabetes. Dan diabetes erat sekali
hubungannya dengan infeksi yang menekan sistem imun.5
Human Immunodeficiency Virus
Virus imunodifisiensi manusia (human immunodeficiency virus) adalah
suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang
manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga tubuh
menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus ini
dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun.
Struktur virus
12
Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya,
atau viral, terdiri dari, lemak lapis ganda yang mengandung banyak tonjolan
protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein gp 120 dan gp41. Gp 120
adalah selubung permukaan eksternal duri dan Gp 41 adalah bagian
transmembran.Terdapat protein matriks yang disebut p17 yang mengelilingi
segmen bagian dalam membrane virus.
Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24.
didalamnya terdapat dua untai rantai RNA identik dan memiliki 3 enzim
penting reverse transciptase , integrase, dan protease yang sudah terbentuk.
HIV adalah suatu retrovirus sehingga materi genetiknya RNA bukan DNA.
Reverse transciptase adalah enzim yang mentranskripkan RNA virus menjadi
DNA setelah virus masuk ke sel sasaran. Enzim lain yang menyertai RNA
adalah integrase dan protease.
13
Seperti virus lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan
memanfaatkan sel inang. Siklus hidup HIV diawali dengan penempelan
partikel virus (virion) dengan reseptor pada permukaan sel inang, di antaranya
adalah CD4, CXCR5, dan CXCR5. Sel-sel yang menjadi target HIV adalah sel
dendritik, sel T, dan makrofaga. Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan
lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina, dan oral yang biasanya menjadi
tempat awal infeksi HIV. Selain itu, HIV juga dapat langsung masuk ke aliran
darah dan masuk serta bereplikasi di noda limpa.
Setelah menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan
membran sel sehingga isi partikel virus akan terlepas di dalam sel. Selanjutnya,
enzim transkriptase balik yang dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang
14
berupa RNA menjadi DNA. Kemudian, DNA virus akan dibawa ke inti sel
manusia sehingga dapat menyisip atau terintegrasi dengan DNA manusia.
DNA virus yang menyisip di DNA manusia disebut sebagai provirus dan dapat
bertahan cukup lama di dalam sel. Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu
yang dimiliki sel inang akan memproses provirus sama dengan DNA manusia,
yaitu diubah menjadi mRNA.
Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan
untuk membuat protein dan enzim HIV. Sebagian RNA dari provirus yang
merupakan genom RNA virus. Bagian genom RNA tersebut akan dirakit
dengan protein dan enzim hingga menjadi virus utuh. Pada tahap perakitan ini,
enzim protease virus berperan penting untuk memotong protein panjang
menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus. Apabila HIV utuh telah
matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan menginfeksi sel
berikutnya. Proses pengeluaran virus tersebut melalui pertunasan (budding), di
mana virus akan mendapatkan selubung dari membran permukaan sel inang.
Patogenesis
Virus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel langerhans di
mukosa rectum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi d
KGB setempat. Virus kemudian disebarkan melalui viremia yang disertai
dengan sindrom dini akut berupa panas, mialgia dan artralgia. Pejamu
memberikan respons seperti terhadap infeksi sebelumnya. Virus menginfeksi
sel CD4, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid. Antigen
virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase ini
kemudian dikontrol sel T CD8 dan antibody dalam sirkulasi terhadap p42 dan
protein envelop gp 120 dan gp41. Efikasi sel tc dalam mengontrol virus terlihat
dari menurunnya kadar virus. Respon imun tersebut menghancurkan HIV
dalam KGB yang merupakan resvoir utama HIV selama fase selanjutnya.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks
imun. Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten,
destruksi sel CD4 berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah CD4
15
dalam sirkulasi menurun. Hal ini dapar memerlukan beberapa tahun. Kemudian
menyusul fase progesif kronis dan penderita menjadi rentan terhadap berbagai
infeksi oleh kuman nonpatogenik.
Setelah HIV masuk ke dalam sel dan terbentuk dsDNA, intergrasi
DNA viral ke dalam genom sel pejamu membentuk provirus. Provirus tetap
laten sampai kejadian dalan sel terinfeksi mencetuskan aktivitasnya, yang
mengakibatkan terbentuk dan penglepasan partikel virus. Walau CD4 berikatan
dengan envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan reseptor kedua supaya dapat
masuk dan terjadi infeksi.
Galur tropik sel T HIV-1 menggunakan koreseptor CXCR$,
sedangkan galur tropik makrofag menggunakan CCR5.kedua reseptor ini
yang merupakan reseptor kemokin dan ligan normalnya dapat menghambat
infeksi HIV ke dalan sel. Subyek baru terinfeksi HIV dapat disertai gejala
atau tidak.6
Golongan ARV dan Cara Kerjanya.
Pengobatan HIV pada jam sekarang menggunakan ARV (Anti retro
virus). ARV ini sebenarnya tidak dapat menghilangkan virus yang telah
bereplikasi dalam tubuh penderita ataupun menyambuhkan penderita. Terapi
ini hanya berguna sebagian besar untuk menghambat aktivitas dari virus itu
sehingga akan memperlambat replikasinya. ARV sendiri terdiri dari beberapa
golongan, yaitu
1. Inhibitor reverse trancriptase nukleosida ( NRTI )
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat enzim reverse
transcriptase HIV & menghentikan pertumbuhan untai DNA. Beberapa
contoh obat dari golongan ini yaitu Zidovudine, Lamivudine, Abakavir,
Didanosin, Sitavudine, Zalsitabine, dll. Dari obat – obatan ini yang paling
sering digunakan adalah Zidovudine dan Lamivudine.
2. Inhibitor reverse trancriptase non nukleosida ( NNRTI )
16
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat transkripsi RNA HIV
menjadi copy DNA. Beberapa contoh obat dari golongan ini yaitu
Efavirenz, Nevirapine, Delaviridine. Obat yang paling sering digunakan
adalah Efavirenz.
3. Protease inhibitor
Obat ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas protease HIV dan
mencegah pemutusan poliprotein HIV yang esensial untuk pematangan
HIV sehingga yang akan terbentuk bukan HIV matang tapi partikel virus
imatur yang tidak menular. Contoh obat dari golongan ini yaitu Indinavir,
Ritonavir, Nelfinavir, Sakuinavir, ampenavir, dan Lopinavir.
Obat obat ARV yang digunakan dalam HAART
Dalam praktek pengobatan HIV, digunakan dua sampai tiga kombinasi
obat – obat ARV. Terapi ini disebut HAART ( Highly Active Anti Retrovial
Therapy ). Prinsip dari terapi ini yaitu menggunakan kombinasi 2 golongan
obat NRTI dengan 1 golongan NNRTI, dimana ini biasanya menjadi first line
therapy. Atau juga bisa menggunakan kombinasi 2 obat golongan NRTI
dengan 1 obat golongan PI dimana kombinasi ini menjadi pilihan second line
therapy.7
Ketidakprotektifan Anti-HIV
Anti-HIV dianggap tidak protektif karena menimbulkan infeksi laten,
sangat variable, dan melumpuhkan unsur kunci sistem imun, yaitu sel yang
mengekspresikan molekul CD4 di permukaan nya. Selain itu, anti-HIV
dianggap tidak protektif juga karena HIV merupakan suatu virus yang
menyerang intrasel sel host. Sedangkan suatu anti-HIV memproduksi antibody
atau respon imun humoral yang bekerja di ekstrasel sel host. Oleh karena itu,
anti-HIV disini tidak protektif.
Faktor Genetik Memengaruhi Angka Kejadian dan Perjalanan Penyakit
Human Immunodeficiency Virus
17
Faktor genetik yang memengaruhi angka kejadian dan perjalanan
penyakit HIV adalah akibat polimorfisme di HLA (Human Leucosyte Antigen)
dan polimorfisme pada CCR5 sehingga virus HIV tidak dapat masuk.
Mekanisme HIV menghindari sistem imun :
1. Integrasi DNA virus ke dalam DNA sel host, menyebabkan infeksi
persisten.
2. Mutasi gen envelope milik virus.
3. Menghambat regulasi MHC kelas I yang diperlukan T sitotoksik untuk
mengenali dan membunuh sel yang terinfeksi HIV dengan memproduksi
protein Tat dan Nef.
Catatan :
Tat : gen regulator yang ditemukan pada HIV, diperlukan untuk replikasi.
Fungsinya adalah untuk mengaktifkan proses transkripsi dari gen virus.
Nef : gen regulator yang ditemukan pada HIV, tidak diperlukan untuk
replikasi. Fungsinya adalah untuk menurunkan jumlah protein CD4 dan
MHC kelas I di permukaan sel terinfeksi dan menginduksi kematian sel T
sitotoksik yang tida terinfeksi.7,8
Pencegahan Terhadap Infeksi HIV
Melakukan hubungan seksual secara aman
Menggunakan jarum suntik yang streril dan tidak digunakan secara
bergantian dengan orang lain
Melakukan persalinan dengan cara sesar bagi Ibu yang mengidap HIV dan
tidak memberikan ASI kepada anaknya
18
BAB V
KESIMPULAN
19
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Guidelines for The Use of Antiretroviral Agents in HIV-Infected Adults and
Adolescents. Department of Health and Human Services US. MMWR 2001;
50: 1-115.
2. A Pocket Guide to Adult HIV/AIDS Treatment. [Department of Health and
Human Services Website]. February 2006 [cited 2012 September]. Available:
http://hab.hrsa.gov/tools/HIVpocketguide/PktGPEP.htm
3. Baratawidjaja, Karnen Garna dkk. Imunologi Dasar. 10th Ed. Badan Penerbit
FKUI: Jakarta; 2012. p. 479
4. Greenspan D. Oral Manifestations of HIV. June 1998 [cited 2012 September
19]. Available: http://hivinsite.ucsf.edu.
5. Corwin JE. Buku Saku Patofisiologi. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2009. p. 172
6. HIV. National Institute of Allergy and Infectious Disease. [cited 2012
September 14]. Available: http://www.niaid.nih.gov/topics/hivaids.
7. Price,Wilson. Patofisiologi. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Asih
D,Editors. 6th ed. Jakarta: Penerbit EGC; 2006.
8. Amin Z. Tuberkulosis Paru. In: Sudoyo AW, Editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 988-1000
20