Post on 04-Oct-2021
HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN
AGAMA SUNGGUMINASA GOWA
(Tinjauan Yuridis Empiris Tentang Perlidungan Anak )
PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh :
MOHAMMAD IQBAL
NIM : 105260014115
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1440 H / 2019 M
KATA PENGANTAR
الحمد لله رب العالمن والصلاة والسلام على أشرف المرسلن سدنا محمد وعلى أله وصحبه
أجمعن
Puji dan syukur ke hadirat Allah swt. yang hanya karena hidayah
dan pertolongan-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Salawat dan
salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpah kepada baginda Nabi
Muhammad saw. serta seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Semoga Allah swt. mengampuni kedua orang tua dan semoga Allah swt.
merahmati keduanya disebabkan keduanya memelihara ketika kecil.
penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan bantuan moril maupun
materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sehubungan dengan
selesainya penulisan skripsi ini, tanpa mengurangi rasa hormat dan terima
kasih kepada mereka yang tidak dapat disebut namanya di sini,
perkenankanlah untuk menyebut nama beberapa pihak dan/atau pribadi
sebagai berikut:
1. Kedua orang tua (Jamri Adam dan Hj. Kartini Parojai) yang telah
memelihara dan mendidik mulai dari masa kecil hingga sekarang ini.
Semoga Allah swt. merahmati dan mengampuni dosa keduanya.
2. Rektor dan para Wakil Rektor UNISMUH Makassar yang banyak
memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini, dan menerima
sebagai mahasiswa pada Program Ahwal syakhsiyah
3. Ketu Prodi Akhwal Syakhsiyah, Dr, M. Ilham Muchtar, Lc. M.A. dan
seluruh jajarannya. Kebaikan hati, kebijakan, dan keramahan mereka
semua tentu tidak bisa dibalas dengan hanya sebuah tanda hormat dan
ucapan terima kasih.
4. Dr. Abbas Baco Miro, Lc, M.A. dan Dr. M. Ali Bakri, M. Pd. Selaku
pembimbing pertama dan kedua yang sangat berjasa dalam membimbing
penulisan skripsi ini. Keduanya tidak jarang harus kehilangan waktu yang
sangat berharga hanya untuk memberi kesempatan guna berkonsultasi.
Kesediaan mereka untuk memberi petunjuk secara amat luas dalam
kaitan dengan pelbagi hal tentang metode dan subtansi isi uraian yang
akan dipaparkan, amat membantu terwujudnya skripsi ini.
Akhirnya, Semoga segala bantuan, partisipasi, dan saran dari siapa
pun datangnya dalam rangka penyempurnaan tulisan ini mendapat
balasan yang berlipat ganda dari Allah swt. amin
Makassar, 2 Agustus 2019
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL .........................................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................
DAFTAR ISI .................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................
A. Latar Belakang Masalah ................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................
C. Tujuan Penelitian ...........................................................
D. Kegunaan Penelitian .....................................................
E. Kerangka Konseptual ....................................................
F. Landasan Teori ..............................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................
A. Tinjauan Umum Mengenai Anak ...................................
B. Pengertian dan Kedudukan Perceraian ........................
C. Tinjauan Umum Tentang Hak Asuh Anak .....................
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................
A. Jenis Penelitian ...............................................................
B. Lokasi Penelitian .............................................................
C. Instrumen Penelitian .......................................................
D. Metode Pengumpulan Data ............................................
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................
A. Keadaan Objektif Pengadilan Agama Sungguminasa
Gowa .............................................................................
B. Analisis Hukum Islam terhadap Perkara Hak Asuh
Anak ..............................................................................
C. Pelaksanaan Putusan Perkara Hak Asuh Anak ............
I
ii
iii
1
1
8
9
9
11
12
16
16
28
32
42
42
43
43
45
48
48
54
70
BAB V. PENUTUP .......................................................................
A. Kesimpulan ....................................................................
B. Implikasi Penelitian ........................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN
77
77
78
79
ABSTRAK
Metodologi penelitian dalam skripsi ini yang dilakukan di
Pengadilan Agama (PA). Yakni Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa.
Jl. Masjid Raya, Kel. Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kab. Gowa.
Termasuk Pengadilan Agama yang ada di propinsi sulawesi selatan. Yang
berkaitan dengan hak asuh anak pasca perceraian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak asuh anak yang dikenal
dengan istilah hadanah secara eksplisit ibulah yang diberi hak untuk
mengasuh anak dengan aturan, bahwa anak tersebut belum mumayyiz
dan apabila ibu tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak asuh,
maka hak asuh beralih kepada kerabat terdekat yang memenuhi syarat,
sebagaimana yang diysaratkan pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI),
Adapun hak asuh bagi anak yang sudah mumayyiz, diberikan hak opsi
untuk memilih di antara ayah atau ibunya. Namun hak opsi tersebut tidak
bersifat mutlak. Artinya bahwa pilihan anak dapat idkabulkan sepanjang
yang dipilihnya memiliki kemampuan untuk menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak yang diasuhnya. Adapun hakim Pengadilan
Agama Sungguminasa Gowa,. Dalam proses penyelesaian perkara hak
asuh, pada umumnya lebih cenderung hanya berasas pada hukum materil
yakni Kompilasi Hukuk Islam (KHI) dan Undang-undang R.I. Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga Undang-undang R.I. Nomor 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Implikasi penelitian skripsi antara lain: pertama, Para praktisi
hukum, khususnya kepada para hakim pada lingkungan pengadilan
agama, agar kiranya lebih cermat dan berhati-hati dalam mengambil
pertimbangan untuk memberikan putusan pada setiap perkara yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Kedua, Pertimbangan maslahat
terhadap anak dalam kasus sengketa hak asuh di Pengadilan Agama
perlu mendapat perhatian secara khusus, tidak hanya mengacu pada
ketentuan formal tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai dari hukum
masyarakat dan kaidah-kaidah agama.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah sunnatullah berlaku bagi semua ummat
manusia guna melangsungkan hidupnya dan untuk memperoleh
keturunan, maka Islam sangat menganjurkan perkawinan. Anjuran ini
dinyatakan dalam bemacam-macam ungkapan yang terdapat dalam al-
Qur‟an dan hadis, hal ini sesuai dengan pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
(KHI), bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan akad
yang kuat untuk menaati perintah Allah swt, dan melakukannya
merupakan ibadah, sebagaiman terdapat di dalam QS al-Nisa‟/4: 21
Terjemahnya:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.1
Maksud perkataan nikah sebagaimana yang terdapat pada ayat
tersebut bukan merupakan perjanjian yang biasa, melainkan suatu
perjanjian yang kuat. Untuk memahami pengertian perkawinan, ada
beberapa pendapat para ahli antara lain:
1 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma
Publishing, 2010), h. 81
Wahbah al-Zuhaily: perkawinan adalah akad yang telah ditetapkan
syariat agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan
istimta‟ dengan seorang perempuan atau sebaliknya.2
Menurut peneliti, inti daripada perkawinan adalah untuk
menciptakan kebahagian antara seorang laki-laki dan perempuan dalam
menjalin hubungan rumah tangga sesuai dengan ketentuan agama yang
diocntohkan baginda Nabi Saw.
Berdasarkan beberapa definisi perkawinan tersebut, apabila
dibandingkan dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 Undang-
undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pada dasarnya
antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan undang-undang
tidak ada perbedaan yang prinsipil, sebab pengertian perkawinan menurut
Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ialah:
“ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3
Sedangkan tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga
yang erat hubungannya dengan keturunan, menyangkut pengasuhan
pemeliharaan dan biaya pendidikan yang menjadi hak dan kewajiban
orang tua.4 Tujuan perkawinan yang diinginkan oleh undang-undang R.I.
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak hanya melihat segi
lahiriah tetapi juga merupakan sutu ikatan batin antara suami dan istri
2 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, Cet. II (Damaskus;
Dar al-Fikr, 1984), h.29 3 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan
HAM RI Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Jakarta: Trinity, 2007), h.7
4 Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003), h.7
yang ditujukan untuk membentuk keluarga yang kekeal, berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa.
Perkawinan dapat dikatakan sah, apabila dilaksanakan sesuai
ketentuan, yaitu memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut perturan yang berlaku. Berdasarkan pasal 2
Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut,
bahwa perkawinan yang sah itu hanyalah dilakukan menurut agama dan
kepercayaannya dari para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
Selain itu juga harus dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.5
Secara ideal suatu perkawinan diharapkan dapat bertahan seumur
hidup dengan tujuan mewujudkan kehidupan keluarga sakinah,
mawaddah dan rahmah sebagaiman disebutkan di dalam QS al-
Rum/30:21
Terjemahnya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.6
Perkawinan dalam kenyataannya dapat putus atau berakhir karena
kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Penjelasan umum dari
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang perkawinan (Jakarta: Prenada Media, 2006), h.40 6 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma
Publishing, 2010), h. 406
Undang-undang R.I. Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
menyebutkan, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini meneganut prinsip
mempersulit terjadinya perceraian, sejauh mungkin menghindarkan
terjadinya perceraian. Perceraian yang dimaksud harus ada alasan-alasan
tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan.
Konflik yang terjadi dalam sebuah rumah tangga adalah suatu
permasalahn yang besar, karena konflik yang terjadi antara suami istri
bisa mempengaruhi kejiwaan anak-anak dan pertumbuhan emosional
mereka. Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam
mengurai kesulitan perjalanan bahtera rumah tannga. Sayangnya,
perceraiaan tidak selalu membewa kelegaan, sebaliknya seringkali
perceraian justru menambah berkobarnya perseteruan. Salah satu pemicu
perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Hak asuh seringkali menjadi
permasalah pasca perceraian, bahkan tak jarang antar mantan suami dan
mantan istri saling berebut mendapat hak asuh anak tersebut.
Perceraian yang terjadi antara suami istri yang telah memiliki anak
tidak saja mengakibatkan terputusnya hubungan antara keduanya (suami
dan istri), akan tetapi berimplikasi buruk terhadap perkembangan dan
kelangsungan hidup anak. Di sisi lain, kadang anak yang diharapkan
sebagai sosok yang berguna tetapi jutru menjadi sengketa antara kedua
belah pihak dengan alasan bahwa mereka masing-masing lebih berhak
mengasuh anak tersebut.
Media elektronik maupun media cetak sering menayangkan
persteruan pada proses maupun pasca perceraian yang dilakukan oleh
para publik figur Indonesia melalui tayangan-tayangan infotaiment. Hotline
service Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menerima
sejumlah pengaduan bertajuk perbuatan anak. Hal ini tidak hanya berasal
dari klangan menengah ke bawah, tetapi juga berasal dari kelas ekonomi
atas, sebagian diantaranya adalah public figure seperti selebritis dan
tokoh yang dikenal publik.
Pasangan tersebut memperebutkan anak mereka laksana piala
bergilir, saling klaim antara kedua pasangan tersebut tidak hanya berakhir
dengan perseteruan pro justisia (pidana), tetapi juga berlanjut pada
pertukaran kecaman yang digencarkan via media penyiaran infotaiment.
Fonomena kehidupan semacam ini seakan menjadi life style beberapa
tahun terakhir ini di kalangan masyarakat.7
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah swt, bahkan anak
dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan
kekayaan harta benda lainnya. Anak sebagai amanah Allah swt. harus
senantiasa dijaga dan dilindungi karena di dalam diri anak melekat harkat,
martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak
asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam
Bab X A Pasal 28B (2) UUD R.I. Tahun 1945; “setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Bahakan secara
internasional dalam konvensi perserikatan Bangsa-bangsa pun memuat
hak-hak anak8.
7 http://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/24-dunia-penyiaran?start=6 8 Kementrian Kabinet Kerja, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (Jakarta,
Bhuana Ilmu, 2016), h. 63
Konvensi Hak Anak tahun 1989 yang termuat dalam pasal 3, yang
disahkan oleh PBB pada tahun 1989 tersebut, ada pula beberapa undang-
undang yang telah disahkan dan sifatnya mendunia; yaitu tahun 1924
disahkannya sebagai pernyataan hak anak oleh liga Bangsa-bangsa,
tahun 1959 diumumkannya pernyataan hak-hak anak oleh PBB dan 1979
diputuskan adanya hari anak Internasional9.
Pasal 3:
1. Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.
2. Negara-negara pihak berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-oranng lain yang secara sah atas dia dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat.
3. Negara-negara pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan dan fasilitas yang bertanggung jawabatas perawatan dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikandiri dengan standar-standar yang idtentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama dibidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf mereka dan juga pengawasan yang berwenang.
Secara normatif, masalah hak asuh anak diatur dalam kitab-kitab
fikhi klasik maupun kontenporer dengan beberapa perbedaan paradigma
dan konsep bahkan di Indonesia masalah hak asuh anak ini juga diatur
dala Undang-undang perkawinan, yaitu Undang-undang R.I. Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).10
9 Hari Harjanto Setiawan, Reintegrasi Praktek Pekerjaan Sosial dengan Anak yang
Berkonflik dengan Hukum (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2012), h. 51 10
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Intruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Bab XIV pasal 98-106 tentang “Pemeliharaan Anak” (Jakarta: Departemen Agama R.I., 2000), h.50
Pada Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, ketentuan menegenai akibat perceraian terhadap anak diatur
pasal 41:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusan.
2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak –anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan, pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa pihak ibu ikut memikul beban biya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban kepada bekas suami11.
Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum
merawat dan mendidik anak adal kewjiban bagi kedua oran tua, 12 karena
apabila anak yang belum mumayyiz tidak mendapatkan pengasuhan,
pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dengan baik, maka akan
berakibat buruk pada diri dan masa depan anak tersebut bahkan bisa
mengancam eksistensi jiwa mereka. Pembehasan mengenai pengasuhan
anak ini kembali muncul menjadi perhatian publik dengan berbagai latar
belakang pemikiran, baik berdasarkan join custodian yaitu lebih
mengedepankan hubungan baik antara mantan pasangan suami istri.
maupun yang didasarkan pada jurigenic effect yaitu mengedepankan
pada realitas psikologis anak saat akan ditetapakan oleh majelis hakim,
bahwa konsep perlindungan, pengasuhan dan perlindungan anak,
seyohyanya dikembangkan lewat basis yang kuat yakni memilih
11 Saptono Raharjo, Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Bhuana Ilmu populer, 2017),
h. 14 12
Muhammad Husain Zahabi, al-Syari’ah al-Islamiyyah: Dirasah al-Muqaranah baina Mazahib Ahlu Sunnah wa al-Mazahib al-Ja’fariyyah (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah), h.170
kepentingan terbaik bagi anak, kepentingan yang mendukung integritas
pertumbuhan dan perkembangan anak, bukan hanya sekedar fisik
biologisnya saja, tetapi juga mencakup psikis, psikologis mental dan
pikiran anak.
Uraian diarahkan pada konsep dan aplikasi hasil putusan perkara
hak asuh anak perspektif hukum Islam dan hukum materil, dalam hal ini
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai
tinjauan yuridis tentang perlindungan anak, yang dapat dijadikan rujukan
dalam pengambilan putusan perkara hak asuh anak di lingkungan
peradilan, dengan sentuhan pemahaman dari berbagai sudut pandang,
baik aspek filosofis, historis, yuridis, sosiologis maupun psikologis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan pokok
yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini adalah bagaimana
problematiaka hak asu anak pasca perceraian ditinjau dari berbagai
aspek, terutama sisi yuridi-empiris tentang perlindungan anak tersebut
Berdasarkan sudut pandang tersebut, maka sub masalah menjadi
bagian terpenting untuk menjawab permasalahn pokok, yaitu:
1. Bagaimana konsep hak asuh perspektif hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan di Indonesia tentang perlindungan anak?
2. Bagaimana pertimbangan yang digunakan oleh majelis hakim
Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa dalam menentukan
kepada siapa hak asuh anak diberikan tanpa harus melannggar
ketentuan kepentingan hak asasi anak?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Ilmiah
Secara umum penelitian skripsi ini bertujuan untuk menelah secara
umum antara konsep dan aplikasi keputusan yang dihasilkan majelis
hakim Pengadilan Agama menyangkut perkara perceraian dan hak asuh
pasca terjadinya perceraian. Mengingan seorang anak pada permulaan
hidupnya sampai umur tertentu memerlukan orang lain dalam
kehidupannya, baik dalam kebutuhan fisik, psikisnya maupun dalam
pembentukan akhlaknya. Penelitian ini berupaya untuk mengemukaakan
analisis keputusan pengadilan perihal hak asuh anak yang telah
diputuskan oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Sungguminasa
Gowa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam dan perangkat peraturan
perundang-undangan lain tentang perlindungan anak secara
mendalam.
b. Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang digunakan oleh
majelis hakim di Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa sebagai
implementasi dalam menentukan kepada siapa hak asuh anak
diberikan tanpa harus melanggar ketentuan hak asasi kepentingan
seorang anak, melahirkan keputusan terbaik bagi anak
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaa teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
mengenai hukum pengasuhan anak pasca terjadinya perceraian, terutama
mengenai konsep hak asuh anak pesrfektif hukum Islam, hukum positif
maupun perundang-undangan lain yang punya relevansi dengan hak asuh
anak sekaligus menambah khasanah intelektual dalam pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu-ilmu ke-Islaman pada
khususnya.
2. Kegunaan praktis
a) Dapat digunakan sebagai referensi baru dalam penerapan hak
asuh anak pasca perceraian untuk mencapai penetapan hukum yang
adil.
b) Hasil penelitian ini akan menjadi salah satu pengalaman yang
akan memperluas cakrawala pemikiran dan wawasan pengetahuan,
khususnya mengenai hak asuh anak pasca perceraian.
E. Kerangka Konseptual
Kerangka Pikir Hak Asuh Anak Pasca Perceraian
Pemenuhan segala hak dasar anak:
1. Kasih sayang
2. Hak pendidikan
3. Hak kesehatan
4. Hak mendapat tempat tinggal
Perkawinan
Hak Asuh
Perceraian
Hak Asuh
Kematian
Perempuan
(mantan istri)
Laki-laki
(mantan suami)
anak
1. UUD Negara R.I. Tahun 1945
2. UU R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan
3. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. (KHI)
4. UU R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak
F. Landasan Teori
1. Perceraian
perceraian dalam Islam merupakan jalan keluar dalam perkawinan
yang tidak mungkin lagi dipertahankan. Perceraian disyariatkan dalam
Islam, sebagaimana yang terdapat dalam QS al-Talak/65: 1 berikut:
Terjemahnya:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.13
Beberapa definisi yang diutarakan para ulama, maka pada
hakikatnya perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami
istri yang diantara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan
seksual serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.
2. Yuridis-Empiris
Adanya perkara-perkara yang diterima di peradilan umum,
peradilan agama maupun peradilan lainnya, hal itu memberi kewenangan
13
Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 558
nyata pada pihak peradilan dalam memberi putusan atas setiap perkara.
Putusan-putusan yang merupakan yurisprudensi nantinya, sangat
bergantung pada beberapa perundang-undangan yang berisikan pasal-
pasal sebagai rujukan lahirnya putusan-putusan tersebut.
Penegrtian hukum yuridis yaitu semua hal yang mempunyai arti
hukum yang diakui sah oleh pemerintah. Aturan ini bersifat baku dan
mengikat semua orang di wilayah di mana hukum tersebut berlaku.
Sehingga jika ada orang yang melanggar hukum tersebut bisa dikenai
hukuman. Hal ini karena aturan tersebut memiliki sifat memaksa, sehingga
semua orang tanpa terkecuali termasuk para penegak hukum juga harus
mematuhinya. Hukum yuridis ada yang berbentuk tertulis, ada juga yang
bebentuk lisan. Contoh hukum yuridis dalam bentuk tertulis adalah
Undang-undang peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan
gubernur dan lain sebagainya. Sedangkan contoh hukum yuridis dalam
bentuk lisan yaitu hukum adat. Meskipun hadir dalam bentuk tidak tertulis,
hukum adat wajib diindahkan dan dipatuhi oleh warga masyarakat dimana
hukum adat itu berlaku. Di indonesia, hukum adat berlaku sesuai dengan
adat masing-masing daerah,
Yuridis yaitu pendekatan dengan menggunakan disiplin hukum
Islam dan ilmu hukum. Dalam hal ini, baik Undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, maupun yurisprudensi
yang telah ada menjadi rujukan dalam setiap tahapan pelaksanaan
penelitian. Pendekatan yuridis empiris digunakan untuk menganalisa
berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pengasuhan anak.
Pendekatan yuridis mempergunakan data data sekunder, digunakan untuk
menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan di bidang hukum
perdata Islam (KHI maupun hukum perkawinan), peraturan yang mengatur
mengenai ketentuan-ketentuan perkawinan dan perwalian anak,
perundang-undangan yang mempunyai kolerasi dan relevan yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Sedangkan
pendekatan yuridis empiris digunakan untuk memberikan gambaran
kualitatif tentang hak pengasuhan anaka apabila terjadi perceraian.
Perundang-undangan sebagai tinjauan yuridis yang dimaksud,
kaitannya dengan permasalahan hak asuh anak sudah banyak, karena
masalah anak yang dipandang sebagai suatu permasalahan yang
sederhana, namun untuk perlindungan lebih lanjut terkait masa depan
anak secara nasional maupun internasional, maka masalah anak
dipandang sangat penting saat ini. Perundang-undangan yang terkait
adalah:
a. UUD Negara R.I. Tahun 1945
b. UU R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
c. Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
d. UU R.I. Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
Pengertian empiris adalah suatu cara atau metode yang dilakukan
yang bisa diamati oleh indera manusia. Sehingga carata atau metode
yang digunakan tersebut bisa diketahui dan diamati juga oleh orang lain.
Secara empiris14 adalah kajian yang memandang hukum sebagai
kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lain-lain.
Pengertian tersebut dimaksudkan adalah hukum Islam dalam bentuk
perdata khusus yaitu al ahwal a-syakhsiyah yang berkaitan kewenangan
14
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III, Cer. III, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2005), h.209
peradilan agama. Sedang untuk menunjang data empiris, dengan
menggunakan metode pengumpulan data melalui observasi dan
wawancara langsung dengan para hakim, pegawai pengadilan agama dan
juga person yang terkait dengan perkara hak asuh anak. Dengan
demikian penelitian ini menggunakan pendekatan multidisipliner sehingga
dapat menjawab permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini dengan
sedetailnya.
3. Perlindungan anak
Anak adalah aset masa depan umat mengharuskan semua pihak
memberikan perhatian penuh kepada anak agar mereka dapat tumbuh
dan berkembang menjadi generasi yang berkualitas prima. Keluarga,
masyarakat dan negara bahu-membahu untuk memenuhi hak-hak anak.
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, maka anak perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, psikis maupun sosial dan
berakhlak mulia. Perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadapa
pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak tersebut
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan
yang dapat menjamin pelaksanaannya, maka dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ditetapkanlah Undang-
undang R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Anak
Islam menganjurkan perkawinan dengan maksud untuk
menciptakan hidup bahagia dalam membentuk rumah tangga yang
harmonis, penuh ketenangan dan kecintaan yang diliputi rasa kasih
sayang di antara sesama anggota keluarga (ayah, ibu dan anak).
Manakalah pasangan suami istri telah mampu mewujudkan jalinan kasih
sayang dan kedamaian dalam rumah tangga, secara kooperatif akan
mampu menunaikan misi perkawinan selanjutnya yaitu melahirkan
keturunan yang berkualitas, tumbuh dan berkembang menjadi anak yang
berbakti kepada keluarga, agama, nusa dan bangsa.15 Hal tersebut
sejalan dengan apa yang disampaikan di dalam QS al-Furqan/25: 74
berikut:
Terjemahnya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.16
Tujuan melaksanakan perkawinan adalah untuk menyambung
keturunan yang kelak akan dijadikan sebagai ahli waris. Keinginan
mempunyai anak bagi setiap pasangan suami istri merupakan naluri
insani, yang secara fitrah anak-anak tersebut merupakan amanah Allah
15
Abu Bunyamin, Hadanah dan Problematikanya (Suatu Analisis terhadap Pemegang Hadanah dalam Kaitannya dengan Kepentingan Anak), dalam Mimbar Hukum (Jkarta; PT. Tomasu, 1999), h.24
16 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma
Publishing, 2010), h. 366
swt. kepada pasangan suami istri tersebut. Oleh karena itu, sebagai orang
tua yang diberi amanah oleh Allah swt. harus dapat menerima dan
menjalankan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya.
Bagi semua orang tua, anak diharapkan dapat mengangkat derajat
dan martabat orang tua, keluarga kelak, menjadi anak yang shaleh dan
salehah. Berangkat dari pemikiran inilah, kemudian orang tua selalu
berkeinginan untuk dapat lebih dekat dengan anak-anaknya, agar dapat
membimbing dan mendidik langsung agar kelak setelah anak-anak sudah
dewasa dapat tercapai apa yang telah dicita-citakannya. Demikian pula
anak-anak yang telah terlahirkan,selalu ingin dekat denngan orang
tuanya, karena anak-anak ingin selalu dilindungi dan diberikan kasih
sayang oleh kedua orang tua sampai anak-anak sudah mampu beriri
sendiri.
Dalam Islam, pengasuhan anak disebut dengan hadanah, yang
secara etimologisnya berarti mendekap, memeluk, mengasuh, dan
merawat.17 Sedangkan secara terminologisnya berarti mengasuh, merwat
dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau kehilangan
kecerdasannya karena tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.18 Anak-
anak yang telah lahir dari perkawinan berkeinginan untuk selalu
terlindungi dan mendapatkan kasih sayang kedua orang tua mereka
sampai dapat berdiri sendiri dalam mengarungi kehidupan hingga dewasa
kelak.
17
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pendidikan Pesantren al-Munawwir, 1994), h.295
18 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarat: Ikhtiar BaruVan Hoope,
1990), h. 415
Berikut ini beberapa pengertian anak, macam-macam anak,
hubungan hukum antara orang tua dan anak dengan menegemukakan
pendapat dari beberapa pakar dan yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan.
1. Pengertian Anak
Pengertian anak dalam Hukum Islam dan hukum keperdataan erat
kaitannya dalam hubungan kekeluargaan. Anak dalam hubungannya
dengan keluarga, seperti anak kandung, anak laki-laki dan anak
perempuan, anak sah dan anak tidak sah, anak sulung dan anak bungsu,
anak tiri dan anak angkat, anak piara, anak pungut, anak kemenakan,
anak sumbang (anak haram) dan sebagainya.19
Pengelompokan pengertian anak, memiliki aspek yang sangat
luas. Berbagai makna terhadap anak, dapat diterjemahkan untuk
mendekati anak secara benar menurut sistem kepntingan agama, hukum,
sosial dari masing-masing aspek. Pengertian anak dari berbagai cabang
ilmu akan berbeda-beda secara subtansial; fungsi, makna dan tujuan.
Sebagai contoh, dalam agama Islam pengertian anak sangat berbeda
dengan pengertian anak yang dikemukakan bidang disiplin ilmu hukum,
sosial, ekonomi, politik dan hankam. Pengertian anak dalam Islam
disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan Allah swt. yang arif dan
berkedudukan mulia yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang
bersimensi pada kewenangan kehendak Allah swt.20 secara rasional,
seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transcendental dari proses
ratifikasi sains (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur ilmiah yang
19
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka: Jakarta, 2002), h. 41
20 Imam Jauhari, Advokasi Hak-hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan (Pustaka Bangsa: Medan, 2008), h. 46
diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spritual yang
diambil dari proses keyakinan (tauhid Islam). Penjelasan status anak
dalam agama Islam ditegaskan dalam QS al-Isra‟/17: 70 berikut:
Terjemahnya
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.21
Ayat di atas menunjukkan bahwa al-Qur‟an meletakkan kedudukan
anak sebagai makhluk yang mulia, diberikan rezeki yang baik-baik dan
memiliki nilai plus semua yang diperoleh melalui kehendak sang pencipta
Allah swt.
Menurut ajaran Islam, anak adalah amanah Allah swt. dan tidak
bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak
hati oleh orang tuanya. Sebagai amanah, anak harus dijaga sebaik
mungkin oleh orang tua yang mengasuhnya. Anak adalah manusia yang
memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan
apapun. Anak adalah makhluk Allah yang memiliki sepasang orang tua;
ayah dan ibu. Konsep anak dalam bahasa arab menggunakan beberapa
istilah; الابن (al-Ibn), الطفل (al-Tiflu), الصبان (as-Sibyan), الولد (al-Walad), الغلام
(al-Gulam).
21
Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 289
a. الابن (al-Ibn)
Lafaz al-Ibn dalam Mu’jam dijelaskan bahwa kata ibn berasal dari
banawa dengan bentuk jamak abna. Lafaz ini memiliki makna yang sama
al-Walad yang berarti sesuatu atau seseorang yang dilahirkan.22 Dalam
tahapan perkembangan manusia, term ibn lebih tepat sebagai tahapan
penyusuan organ-organ tubuh hingga anak dapat mencapai tingkat
kesempurnaan atau kedewasaan. Kata ini terdapat dalam al-Qur‟an dan
terulang sebanyak 162 kali.23
Lafaz ibn ini dipergunakan untuk menjelaskan hubungan antara
anak dengan ibu ketika proses kehamilan dan kelahiran anak. Maryam
diberi amanah mengandung seorang pembawa risalah ketuhanan dengan
melalui tanggung jawab pemeliharaan Isa dalam Kandungan (QS al-
Baqarah/2: 87). Pemeliharaan anak ketika berada dalam suasana kritis,
menghadapi bencana dan kebutuhan anak dalam pembinaan (QS Hud/11:
42 dan 45).
b. Al-Tiflu (الطفل)
Lafaz al-tiflu merupakan bentuk ism dari fi’il: tufula – yatfulu –
tufuulah yang berarti ringan, halus, lembut atau lunak. Anak yang dalam
posisi makna ini dapat berarti sebagai manusia yang berada dalam
tahapan perkembangan fisik yang ringan, halus, lembut, lunak atau belum
kuat, belum dewasa dalam melakukakan sesuatu. Bahkan lafaz al-tiflu
digunakan pula untuk menggambarkan pengaruh usia dan aktifitas
seseorang yang masih berada dalam tahap perkembangan fungsi
22
Al-Ragib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an al-Karim, h. 177 23
Muhammad Fuad Abdul al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alafaz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h.173
biologis, khususnya pada tangan dan kaki sebagai alat yang
memotongkeseimbangan tubuh.24
Dari makna al-tiflu di atas, maka dapat dipahami bahwa al-tiflu
adalah kata yang menunjukkan kepada makna umum terhadap segala
sesuatu dalam kondisi rentan karena kelunakannya. Secara khusus, lafaz
al-tiflu menunjukkan kepada aspek fisik anak yang masih rentan dan
belum mencapai bali, anak yang senangtiasa masih membutuhkan
bantuan untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Lafaz al-tiflu dalam pemaknaan al-Qur‟an secara umum dapat
dipahami, bahwa:
(1) Berhubungan dengan arti dasar; usia anak yang senangtiasa
dalam kesenangan dan tidak mempunyai beban hidup yang
disebabkan karena kelemahan kualitas fisik dan psikis.
(2) Lafaz al-tiflu berkenaan dengan aturan dalam aspek
kekeluargaan dan ayat-ayatya selalu berkaitan dengan prinsip-
prinsip keluarga.
pengungkapan tersebut menunjukkan anak-anak yang masih bayi,
yaitu sekitar usia 0 – 2 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan jiwa bagi
bayi sejak dilahirkan sangat tergantung pada sikap dan perhatian orang
tuanya, terutama perhatian dari ibunya, mengingat kondisi bayi yang
dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak berdaya untuk menolong
dirinya. Allah swt menjelaskan di dalam QS al-Baqarah/2: 233, berikut :
24
Muhammad bin Mukrim bin Mansur, al-Fikr al-Misr (Lisan al-Arab Mujalladad III. 711 H), h. 402
Terjemahnya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.25
c. As-Sibyan (الصبان)
Lafaz sibyan merupakan fi‟il saba: sabawa yang secara etimologi
berarti kecenderungan berbuat salah, tidak mahir.26 Secara terminologi
sobi berarti istilah kepada kelompok anak yang berada dalam tahapan
usia masih menyusui hingga anak tersebut berusia mencapai balig atau
belum menampakkan tanda kedewasaan. Apabila dilihat dari usia, maka
sobi adalah kategori usia anak yang belum mencapai usia tujuh tahun.
Usia ini merupakan batas usia seorang anak untuk diperbolehkan dapat
melakukan puasa.27
Dalama al-Qur‟an, kata sibyan yang berarti anak disebutkan
sebanyak 2 kali yaitu dalam QS Maryam/19: 12, 29. Ayat 12 menceritakan
25
Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 37
26 Muhammad bin Mukrim bin Mansur al-Fikr, Lisan al-Arab (Majallad XIV), h.450
27
Al-Ragib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an al-Karim, h. 775
kisah nabi Yahya yang sejak kecilnya telah mendapatkan berbagai
keistimewaan, salah satunya adalah diberikannya hikmah atau
pengetahuan. Allah swt telah memberikan amanah kepada nabi Yahya
meskipun usianya masih tergolong sangat muda. Adapun dalam ayat 29,
menerangkan kebenaran keyakinan seorang perempuan suci yang hidup
dalam kebingungan karena telah melahirkan seorang anak yang kelak
menjadi seorang rasus.
QS Maryam/19: 12 berikut:
Terjemahnya: Hai Yahya, ambillah Al kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.28
QS Maryam/19: 12 berikut :
Terjemahnya: Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. mereka berkata: "Bagaimana Kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?"29
d. Al-Gulam (الغلام)
Kata a-lgulam berasal dari fi‟il: galima - yaglamu - galaman –
gullaman kata ini dipergunakan untuk menggambarkan perkembangan
fisik seseorang yang ditandai dengan munculnya berbagai perubahan
biologis. Lafaz al-gulam menunjukkan kepada kelompok usia pemuda,
usia seorang anak yang telah memperlihatkan tanda-tanda kedewasaan
dengan ditumbuhinya rambut halus pada bagian-bagian tertentu. Saat
28
Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 306
29 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma
Publishing, 2010), h. 307
perkembangan fisik menunjukkan adanya perubahan, masa ini memasuki
usia 12 tahun ke atas.30
Dalam al-Qur‟an terdapat lafaz al-gulam; menunjukkan kepada
anak yang berada dalam kelompok usia belum mencapai kematangan,
baik secara fisik maupun psikis.31 Pada ayat ini, menjelaskan kondisi fisik
Yusuf yang masih ringan ketika mendapatkan perlakuan zalim dari para
saudaranya dengan dimasukkan ke dalam sumur.
Masa al-gulam ini disebut juga masa remaja. Masa remaja adalah
suatu masa dari umur manusia yang paling banyak mengalami perubahan
sehinnga beralih dari masa anak-anak menuju masa dewas. Perubahan-
perubahan yang terjadi meliputi segala segi kehidupan manusia, baik
jasmani, rohani, pikiran, perasaan dan sosial. Masa remaja berkisar
antara umur 13 samapi 20 tahun.32 Masa remaja merupakan masa
peralihan atau transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, masa
bergejolaknya jiwa seseorang anak untuk mendapat jati dirinya.
e. Al-Walad (الولد)
Dalam kamus kamus bahasa arab, anak disebut juga dengan al-
walad, secara etimologis al-walad berarti sesuatu yang dilahirkan. Kata al-
walad merupakan perubahan bentuk dari susunan fi’il: walada – yalidu –
wiladatan – wiladan – wiladatan. Kata al-walad dipergunakan untuk
menunjukkan makna; anak yang bersifat umum atau menunjukkan kepada
kelompok usia sebelum menginjak dewasa.
30
Al-Ragib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an al-Karim, h. 775 31
QS, Yusuf/12: 19;
32 Zakariah Drajat, Problematika Remaja di Indonesia (Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), h. 80
Kata al-walad merupakan salah satu dari lafaz-lafaz yang
bermakna anak, berdasarkan analisa, kata al-walad dapat dilihat dalam al-
Qur‟an dan diperoleh sejumlah perubahan bentuk dalam 112 tempat.33
Diantaranya Allah swt. menjelaskan di dalam QS al-Nisa/4: 176 berikut:
Terjemahnya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.34
Pendapat Ibnu Abbas, salah seorang ahli tafsir dikalangan sahabat
Nabi Muhammad saw. yang dikutip Abdul Wahab Khallaf dalam
penafsiran kata-kata al-walad pada ayat di atas yaitu: mencakup anak
laki-laki dan juga bisa berarti perempuan. Namu demikian, pengertian al-
walad dalam nas bisa berarti laki-laki dan juga bisa berarti perempuan.35
33
Muhammad Fuad Abdul al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 930
34 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma
Publishing, 2010),
35
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fikh (Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar: Kairo, 1990), h. 95
Kata al-walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan
keturunan, sehingga kata al-walid dan al-walidah diartikan sebagai ayah
dan ibu kandung.
Defenisi mengenai anak juga banyak ditemui dalam beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah anak,
diantaranya:
1. Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, memberikan defenisi:
“Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya”.
2. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, memberikan definisi:
“Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya”.
3. Konvensi tentang Hak-hak Anak, yang disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November
1989 mendefinisikan anak sebagai berikut:
“seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 (delapan belas) tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal”.
B. Pengertian dan Kedudukan Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perkawinan dan perceraian merupakan suatu hal yang sangat
urgen dalam kehidupan manusia, itu sebabnya hukum Islam menaruh
perhatian yang cukup signifikan terhadap kedua hal tersebut. Hal ini bisa
terlihat apabila mengkaji hukum Islam, niscaya akan ditemukan kedua hal
itu menjadi salah satu objek pembahasan hukum Islam. Perceraian tidak
bisa dipisahkan dari perkawinan, tak ada perceraian tanpa diawali
perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara
seorang laki-laki dan seorang wanita untuk membina rumah tangga yang
sakinah, mawaddah warahmah. Namun pada saat tujuan itu tidak
tercapai, makan perceraian merupakan jalan keluar terakhir yang mesti
ditempuh. Perceraian tidak dapat dilakukan kecuali telah ada alasan-
alasan yang dibenarkan oleh agama dan undang-undang. Dalam hukum
islam, alasan-alasan perceraian itu mengalami perkembangan sesuai
dengan keadaan sosial melingkupi hukum tersebut.
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada
perceraian tanpa diawali pernikahan lebih dahulu. Pernikahan merupakan
awal dari hidup bersama antara seseorang laki-laki dan seorang
perempuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam semua tradisi hukum, baik civil law,common law, Islamic
law maupun social law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan
persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan
seorang wanita untuk menjadi suami istri. Dalam hal ini, perkawinan selalu
dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting
bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan
peradaban.36
Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak.
Sayyid Sabiq mendefinisikan menurut bahasa at-talaq berasal dari kata al-
itlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Adapun menurut istilah
talaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan.37
36
Rifyal Ka‟bah, „Permasalahan Perkawinan’ dalam Majalah Varia Peradilan, No 271 Juni 2008, IKAHI, Jakarta, hal 7
37 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003),
h.232
Menurut H.A. Fuad Sa‟id yang dimaksudkan dengan perceraian
adalah putusnya perkawinan antara suami dengan istri karena tidak
terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain dan sebelumnya
telah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah
pihak. Dari uraian diatas dapat diketahui, bahwa pertama; perceraian baru
dapat dilaksanakan apabilah telah dilakukan berbagai cara untuk
mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan keutuhan
rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali hanya
dengan jalan perceraian. Dengan perkataan lain bahwa perceraian itu
adalah sebagai way out bagi suami istri demi kebahagiaan yang dapat
diharapkan sesudah terjadinya perceraian. Kedua; bahwa perceraian itu
merupakan sesuatu yang dibolehkan namun dibenci oleh agama.38
Berdasarkan sabda Rasul:
39 عن ابن عمر عن النب صلى الله عليه وسلم : "ابغض الحلال الى الله تعالى الطلاق"
Artinya:
Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah adalah perceraian.
Al-Qur‟an sebagai sumber hukum Islam pertama, dalam banya
kesempatan selalu menyarankan agar suami istri bergaul secara ma‟ruf
dan jangan menceraikan istri dengan sebab-sebab yang tidak prinsip. Jika
terjadi pertengkaran yang sangat memuncak diantara suami istri
dianjurkan bersabar dan berlaku baik untuk tetap rukun dalam rumah
tangga, tidak langsung membubarkan perkawinan mereka, tetapi
hendaklah menempuh usaha perdamaian terlebih dahulu dengan
mengirim seseorang hakam dari keluarga pihak suami dan hakam dari
38
Ghazali Mukri, Panduan Fikhi Perempuan (Cet 1; Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004), h. 159
39 Abi Daud Sulaiman bin al-Asy‟as al-sajastani, Sunan Abi Daud, Juz II; Kitab
Talaq (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h.334
keluarga pihak istri untuk mengadakan perdamaian. Jika usaha ini tidak
berhasil dilaksanakan, maka perceraian baru dapat dilakukan.
2. Sebab dan Akibat Perceraian
Pasal 39 Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, pasal 19 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan
Kompilasi Hukum Islam Indonesia sebagai bentuk mempositifkan hukum
Islam mengklasifikasi penyebab terjadinya perceraian kepada: (1)
kematian salah satu pihak, (2) perceraian karena talak dan perceraian
karena gugat, (3) keputusan pengadilan.
Suatu perkawinanan yang berujuan untuk mewujudkan keluarga
yang sakinah, mawaddah, warahmah, merupakan keinginan dari setiap
pasangan suami istri. Perkawinan mempunyai tujuan yang mulia, akan
tetapi dalam kenyataannya dapat berakhir karena kematian, perceraian
dan atas putusan pengadilan.40
Islam meberikan hak talaq kepada suami untuk menceraikan
istrinya dan hak huluq kepada istri untuk menceraikan suaminya dan hak
fasakh untuk untuk kedua-duanya suami istri. Putusnya perkawinan
seseorang juga diatur dalam pasal 38-41 Undang RI Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, yang disebabkan beberapa hal, yaitu:
a. Kematian
Yang dimaksud dengan dengan kematian adalah meninggalnya
salah satu pihak (suami atau istri) yang menyebabkan
putusnya/berakhirnya perkawinan. Apabila terdapat halangan maka istri
atau suami yang di tinggal mati berhak mewarisi atas harta peninggalan
atau sisa harta setelah diambil untuk mencukupkan keperluan
40
H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan Agama (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), h. 102
penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai pemakaman,
kemudian untuk melunasi hutang-hutangnya dan melaksanakan
wasiatnya. Mengenai putunya perkawinan tidak diatur dalam Undang-
undang No 1 Tahun 1974 atau Undnag-undang lain, tetapi yang
menyangkut harta peninggalan atau harta warisan dari pasangan
perkawinan yang meninggal, karena hal itu diatur dalam hukum waris.
b. Perceraian
Mengenai perceraian, diatur secara mendetail dalam Undang-
undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan
pelaksanaannya, yaitu peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975, menurut
pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu
menyatakan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Mengenai alasan-alasan
perceraian dalam pasal 39 ayat 2 Undang-undang Perkawinan No. 1
tahun1974 sebagai beruikut: “untuk melakukan perceraian harus ada
alasan cukup, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai
suami istri”
Alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian menurut pasal 19
peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah:
1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan
2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga.41
c. Atas Putusan Pengadilan
Pasal butir (c) Undang-Undang perkawinan yaitu atas putusan
pengadilan berbeda dengan keputusan pengadilan dalam rangka
perceraian. Putusnya perkawinan dimaksud yaitu tanpa adanya
permohonan pembatalan atau gugat cerai dari pihak suami istri atau
keluarganya atau yang diatur dalam pasal 22 sampai pasal 28 Undang-
undang perkawinan, sedangkan menurut pasal 23 Undang-
undangperkawinan permohonan pembatalan perkawinan ini di samping
dapat diajukan oleh keluarga dari suami istri atau masing-masing suami
istri bersangkutan, dapat pula diajukan oleh pemerintah yang berwenang.
Dengan demikian, mungkin saja suami istri tidak ingin bercerai atau
membetalakn perceraian tersebut, tetapi oleh pejabat pemerintah yang
berwenang dapat mengajukan permohonan pembatalan tersebut.
Perkawinan, jika tidak memenuhi syarat-syarat suatu perkawinan,
sesuai dengan bunyi pasal 22 Undang-undang perkawinan yaitu,
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan, misalnya melanggar larangan
perkawinan pasal 8 Undang-undang perkawinan, yaitu suami istri ternyata
masih saudara kandung dan perkawinan juga berdasarkan suatu agama
tertentu, mungkin pasangan tersebut tidak ingin bercerai tetapi
perkawinan tersebut tidak sah lagi, sehingga pihak yang berwenang perlu
mengusahakan melakukan pembatalan.
41 Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Depok: Kencana, 2017), h. 233
Perkembangan alasan perceraian pada dasarnya hukum Islam
menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu macam saja yaitu
pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan
jiwa yang idsebut “syiqaq” sebagaiman firman Allah dalam QS al-
Nisa/4:35 berikut:
Terjemahnya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.42
Sedangkan perceraian yang menjadi dasar bubarnya perkawinan
adalah perceraian yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan ranjang.
Tentang hal ini ditentukan dalam pasal 209 kitab Undang-undang Hukum
perdata yaitu:
1. Zina, baik yang dilakukan oleh suami maupun istri. 2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja 3. Suami atau isteri dihukum selama 5 (lima) tahun penjara atau
lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan. 4. Salah satu pihak melakukan penganiayaan berat yang
membehayakan jiwa pihak lain (suami/istri)43
C. Tinjauan Umum Tentang Hak Asuh Anak
1. Pengertian Hak Asuh Anak
As-San‟ani menjelaskan bahwa dalam hukum Islam pemeliharaan
anak disebutkan dengan al-hadinah yang merupakan masdar dari kata al-
hadanah yang berarti mengasuh atau memelihara bayi (hadanah al-
42
Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h, 84
43 Juni Soekendara, Berdamai dengan Diri Sendiri (Jakartan: PT. Gramedia, 2014), h. 39
sabiyyah).44 Menurut Muhammad Mugniyah, hadanah merupakan perkara
mengasuh anak, dalam arti mendidik dan menjaganya untuk masa ketika
anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh. Dalam hal ini para ulama
sepakat bahwa itu adalah hak ibu45
Pengertian pengasuhan anak secara etimologis berasal dari kata
hidan yang berarti lambung. Dalam kitab Lisan al-Araby, kata hadanah (al-
hadanah) berarti al-janb yang berarti di samping atau berada di bawah
ketiak46 atau bisa juga berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk
seperti menggendong atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan47
berdasarkan pengertian tersebut, maka pengasuhan dilakukan terhadap
seorang anak yang masih kecil sejak baru lahir hingga ia dewasa, hingga
ia mampu berdiri sendiri. Demikian pula menurut kamal Muchtar bahwa
hadanah berasal dari perkataan al-hidan yang berarti rusuk yang
kemudian perkataan hadanah secara istilah dengan arti pemeliharaan dan
pendidikan anak, karena seorang ibu yang mengasuh atau mengendong
anaknya sering meletakkannya pada sebelah rusuknya atau dalam
pangkuan di sebelah rusuknya.48 Dengan demikian, istilah hadanah tidak
hanya mempunyai makna pemeliharaan tetapi juga yang berarti
mengasuh anak agar dapat hidup, yang mencakup semua aspek
kehidupan anak, baik secara fisik maupun psikis.
Sedangkan secara terminologi menurut ulama fikhi, di antaranya:
44
As-San‟ani, Subulu al-salam (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2004) 45
Muhammad Jawad Mugniyah, al-Fiqh ala mazahib al-Khamzah (Jakarta: Lentera, 2006), h.415
46 Ibnu Mansur, Lisan al-Araby (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 2004), h.911
47 Satria efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer: Analisis
Hukum dengan Pendekatan Usuliyah (Jakarta: Kencana, 2004), h. 166 48
Kamal Muchtar, Azaz-azaz Hukum Islam tentang Perkawinan, cet 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 129
a. Abu Zahra mendefinisikan hadanah sebagai berikut:
تربة الولد ف المدة الت لاستغن فها عن النساء ممن لها حك ف تربة شرع
Artinya:
“pemeliharaan anak dalam masa anak tersebut sangat membutuhkan pemeliharaan dari seseorang perempuan yang berhak memeliharanya menurut hukum.”49
b. M. Yusuf Musa mendefinisikan hadanah dengan:
ومعنى الحضانة حفظ الولد و تربة ماداما محبا لحدمة النساء ف المدة الشرعة50
Artinya:
“pengertian hadanah atau hidanah ialah pemeliharaan dan pendidikan anak selama anak tersebut membutuhkan pelayanan seorang perempuan dalam masa yang ditentukan oleh hukum.”
Dari kedua definisi yang dikemukakan di atas, terdapat perbedaan
pada definisi pertama Abu Zahra menitikberatkan kepada perempuan
yang berhak mengasuh anak menurut hukum, sedang pada definisi kedua
M.Yusuf Musa menitikberatkan pada usia pengasuhan yang ditentukan
oleh hukum.
Definisi yang lebih umum, bahwa hadanah adalah melakukan
pemeliharaan terhadap anak-anak yang masih kecil laki-laki atau
perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz.51
Menyediakan
sesuatu yang menjadikan kebaikan anak, menjaganya dari sesuatu yang
merusak jasmani, rohani, akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam
menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawab apabila sudah
dewasa. Selain memberikan gambaran tentang tugas-tugas
49
Muhammad Abu Zahra, al-Ahwalu al-Syakhsiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957), h. 474
50 M. Yusuf Musa, al-Mabadi al-Syaiyatu al-Qanuniyah (Cet. IV; Beirut: Dar al-
Ilmi, 1967), h. 71 51
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Jilid 2 (Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h.37
pemeliharaan, definisi tersebut juga memberikan pemahaman bahwa laki-
laki bisa melakukan pekerjaan mengasuh, memelihara dan mendidik anak
sebagaimana yang dilakukan oleh perempuan.
Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadanah; mengasuh,
memelihara, merawat dan mendidik anak adalah wajib, namun mereka
berbeda pendapat dalam hal apakah hadanah itu menjadi hak orang tua
(terutama ibu) atau hak anak. Ulama mazhab Hanafi dan Maliki misalnya
berpendapat bahwa hak hadanah itu menjadi hak ibu, sehingga ia dapat
saja menggugurkan haknya. Oleh Jumhur Ulama, hadanah itu menjadi
hak bersama antara orang tua dan anak, bahkan menurut Wahbah al-
Zuhaily hak hadanah adalah hak berserikat antara ibu, ayah dan anak, jika
terjadi pertengkaran di antara orang tua maka yang didahulukan adalah
hak atau kepentingan anak.52
2. Hak Asuh dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis
Anak adalah manusia yang masih kecil, anak aadalah makhluk
Tuhan yang memiliki sepasang ayah dan ibu, yang sedang tumbuh, yang
memerlukan pendidikan karena sejak bayi belum dapat berbuat sesuatu
untuk kepentingan dirinya, baik berbuat untuk mempertahankan hidup
maupun merawat dirinya, semua kebutuhannya tergantung pada orang
tua.
Seorang anak yang lahir telah diberi bekal potensi akal, yang harus
dijaga dan dibimbing dengan baik agar tidak terjerumus kepada hal-hal
mudharat yang dilarang oleh agama dan amanah yang kelak
52
Wahbah al Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa al-Adillatuhu (Cet. X; Damaskus: Dar al-Fikr, 2007) diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Dengan Judul Fiqh Islam wa Adilltuhu: Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan, Jilid 10 (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani, 2011), h.720
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Allah swt telah
memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menjaga, memelihara
diri dan keluarganya dari bahaya api neraka. Salah satu anggota keluarga
yang paling membutuhkan perhatian pengasuhan, penjagaan,
pemeliharaan, pengarahan, pembinaan dan pendidikan adalah anak
sebagai salah satu anggota keluarga. Oleh karenanya, pengawasan,
pembinaan dan pendidikan terhadap anak harus dimulai sejak dini yang
berasal dari situasi kehidupan harmonis keluarga itu sendiri.
Untuk mengatur hubungan timbal balik yang baik dan harmonis
antara orang tua dan anak dalam Islam di samping telah diatur secara
normatif, Allah telah menanamkan rasa kasih sayang antara orang tua
dan anak. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis-hadis Rasul yang
menggambarkan bagaimana seharusnya hubungan kasih sayang dan
tanggung jawab antara orang tua dan anak, diantaranya di dalam QS al-
Baqarah/2: 233 berikut:
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.53
Ayat ini tampak jelas bahwa para ibu diperintahkan untuk
menyusukan anak-anak mereka dan dianjurkan menyempurnakan
penyusuan itu selam dua tahun. Di samping itu juga mempertegas tugas
dan kewajiban ayah untuk mencukupi kebutuhan ibu yang sedang
menyusui anaknya sesuai kemampuannya. Kata al-walidat beberda
dengan kata ummahat kata ummahat digunakan untuk menunjukkan
kepada para ibu kandung sedangkan kata al-walidat ditujukan kepada
para ibu, baik ibuk kandung maupun bukan. Betapa sangat pentingnya
penyusuan anak dilakukan oleh ibu kandung kepada anaknya dan ini
berarti al-Qur‟an sejak dini telah menggariskan bahwa ASI, baik ibu
kandung maupun bukan adalah makanan terbaik bagi bayi hingga usia
dua tahun. Tujuan penyusuuan ini bukan sekedar untuk memelihara
kelangsungan hidup anak tetapi juga untuk menumbuhkembangkan anak
dalam kondisi fisik dan psikis yang prima, agar rasa kasih sayang antara
ibu dan anak telah tumbuh sejak dini dengan masa waktu menyapih dua
tahun tersebut.
Secara ibarat, firman Allah pada ayat di atas menegaskan
kewajiaban seorang ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu
dengan cara yang ma‟ruf. Sedangkan secara isyarat, menunjukkan bahwa
hukum memberi nafkah kepada anak juga menjadi kewajiban khusus bagi
53
Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Publishing, 2010), h. 37
seorang ayah.54 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ayat tersebut
mengandung minimal dua implikasi hukum yaitu pertama kewajiban suami
memberi nafkah kepada istri dan kedua kewajiban suami memberi nafkah
kepada anak-anaknya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, ada
peristiwa seseorang wanita menghadap kepada Rasulullah saw.
حدثنى عمرو بن شعب عن أبه عن جده عبد الله بن عمر وأن امرأة لالت ارسول الله إن
ابن هذا كان بطن له وعاء وثد له سماء وحجري له حواء وإن اباه طلمن وأراد أن
)رواه ابو داود( رسول صلى الله عليه وسلم أنت أحك به مالم تنكحنتزعه من فمال لها 55
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin „Amr bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampas dariku. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepadanya”engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah”.
Mengenai keutamaan kepentingan terbaik anak, bukan berarti
bahwa pengasuhan anak disebut sebagai fitrah ibu. Yang bersifat fitrah
dari seorang ibu adalah melahirkan dan menyusui, bahkan sudah ada
preseden putusan pengadilan yang memberikan hak asuh anak kepada
ayah.
3. Hak Asuh dalam Tinjauan Umum Peraturan Perundang-
undangan
54
Said Agil Husin Almunawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta; Pena Madani, 2004), h. 46-47
55 Abi Daud Sulaiman bin al-Sajastani, Kitab Talak (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h.
351
Pada undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, telah disebutkan tentang penguasaan anak secara tegas
yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan
tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam peraturan
pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara meluas dan terinci. Nanti,
setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradialn Agama dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, maka masalah hadanah menjadi
Hukum Nasional di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untu
memeriksa dan menyelesaikannya.56
Sudah banyak produk hukum yang bisa dijadikan sebagai acuan
dalam membahas tentang anak, khususnya perlindungan anak, sebagai
berikut:
a. UUD RRI Tahun 1945
Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupannya. dan pasal 28B: (1) Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
b. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
56
Abdul Manan, Problematika Hadanah dan hubungannya dengan Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama (Mimbar Hukum; Jakarta: PT. Tomasu, 1999), h. 69
pasal 45 (1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) kewajiban orang tua yang
dimaksud dalam aya (1) pasal ini berlaku terus meskipun perkawinan
antara orang tuan putus. Pasal 47 (1): anak yang belum mencapai umur
18 (delapan belas tahun) atau belum pernah melangsungkan perkawinan
berada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya. (2): orang tua mewakili anak tersebut mengenai
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
c. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak
Pasal 9: orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab
atas terwujudnya kesejahtaan anak baik secara rohani, jasmani maupun
sosial. Pasal 10: (1) orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya
sebagaimana termaksud dalam pasal 9, sehingga mengakibatkan
timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat
dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal
ini ditunjuk orang atau badan sebagai wali. (2) pencabutan kuasa asuh
dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban orang tua yang
bersangkutan untuk membiayai, sesuai dengan kemampuannya,
penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anaknya. (3) pencabutan dan
pengembalian kuasa asuh orang tua ditetapkan dengan keputusan hakim.
Pemberian bantuan dalam pasal ini dimaksudkan agar anak
tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajaar dalam lingkungan
keluarganya sendiri. Kesejahtraan anak dimaksudkan adalah suatu tata
kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya secara wajar, baik secaararohani, jasmani maupun
sosial. Usaha kesejahtraan anak mencakup usaha kesejahtraan sosial
yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahtraan anak utamanya
kebutuhan pokok anak.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian (research) pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan
pencarian kebenaran dari ilmu pengetahuan.suatu penelitian diawali
karena adanya keraguan atau keingin tahuan dari seorang peneliti
terhadap suatu masalah yang ada atau yang dialami. Pada umumnya
permasalahan adalah kesenjangan antara yang seharusnya dengan
senyatanya, antara cita-cita (idea) hukum dengan senyatanya, antara teori
dengan pelaksanaannya.57 Oleh karena itu penelitian merupakan suatu
sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten, maka melalui proses penelitian tersebut perlu
diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan
dan diolah.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang
bertujuan menggambarkan secara sifat-sifat suatu individu, keadaan
gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu
gejala atau untuk menentukan ada ada tidaknya hubungan antara suatu
gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.58 Penelitian ini merupakan
penelitian dengan spesifikasi penelitian secara deskriptif, yaitu
dimaksudkan untuk memberikan data yang akurat tentang keadaan atau
gejala-gejala lainnya.59 Karena penelitian ini diharapakan mampu
memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai
57
Aminuddin dan Zinal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 34
58 Aminuddin dan Zinal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Cet. III;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.25 59
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h.10
segala hal yang behubungan dengan hak asuh anak dan kepentingannya
bagi para pihak.
Pemaparan secara kualitatif dimaksudkan agar dapat
menggambarkan lebih jelas realitas di masyarakat yang terjadi pada hasil
putusan pengadilan mengenai hak asuh anak akibat terjadinya perceraian
diantara orang tua.
B. Lokasi Penelitian
Tempat penelitian adalah Pengadilan Agama (PA). Yakni
Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa. Jl. Masjid Raya, Kel.
Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kab. Gowa. Termasuk Pengadilan
Agama yang ada di propinsi sulawesi selatan. Dan banyak menangani
perkara hak asuh anak pada perkara perceraian.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat bantu yang digunakan peneliti
dalam mengumpulkan data. Oleh karena itu, jenis penelitian ini adalah
kualitatif, maka instrumen penelitian adalah penelitian sendiri. Alat bantu
yang digunakan adalah video-kaset dan kamera.
Instrumen Interview
Suatu bentuk dialog yang dilakukan oleh pewawancara
(interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer)
dinamakan interview. Instrumennya dinamakan pedoman wawancara atau
inter view guide. Dalam pelaksanaannya, interview dapat dilakukan secara
bebas artinya pewawancara bebas menanyakan apa saja kepada
terwawancara tanpa harus membawa lembar pedomannya. Syarat
interview seperti ini adalah pewawancara harus tetap mengingat data
yang harus terkumpul. Lain halnya dengan interview yang bersifat
terpimpin, si pewawancara berpedoman pada pertanyaan lengkap dan
terperinci, layaknya sebuah kuesioner. Selain itu ada juga interview yang
bebas terpimpin, dimana pewawancara bebas melakukan interview
dengan hanya menggunakan pedoman yang memuat garis besarnya saja.
Kekuatan interview terletak pada keterampilan seorang interviewer
dalam melakukan tugasnya, ia harus membuat suasana yang tenang,
nyaman, dan bersahabat agar sumber data dapat memberikan informasi
yang jujur. Si interviewer harus dibuat terpancing untuk mengeluarkan
informasi yang akurat tanpa merasa diminta secara paksa, ibaratnya
informasi keluar seperti air mengalir dengan derasnya.
Instrumen Observasi
Observasi dalam sebuah penelitian diartikan sebagai pemusatan
perhatian terhadap suatu objek dengan melibatkan seluruh indera untuk
mendapatkan data. Jadi observasi merupakan pengamatan langsung
dengan menggunakan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan,
atau kalau perlu dengan pengecapan. Instrumen yang digunakan dalam
observasi dapat berupa pedoman pengamatan, tes, kuesioner, rekaman
gambar, dan rekaman suara.
Instrumen observasi yang berupa pedoman pengamatan, biasa
digunakan dalam observasi sitematis dimana si pelaku observasi bekerja
sesuai dengan pedoman yang telah dibuat. Pedoman tersebut berisi
daftar jenis kegiatan yang kemungkinan terjadi atau kegiatan yang akan
diamati.
Wujud data penelitian kualitatif adalah kata-kata, gambar, dan
angka yang tidak dihasilkan melalui pengolahan statistik. Data yang
deskriptif ini dihasilkan dari transkrif (hasil) wawancara, catatan lapangan
melalui pengamatan, foto-foto, video tape, dokumen pribadi, catatan
memeo, dan dokumen resmi yang lain. Data yang banyak ini dirajut, diulas
satu persatu, dianalisis secara rinci sehingga diperoleh laporan
komprehensif. Untuk melakukan hal ini, analisis dapat dilakukan dengan
interogasi, dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang esensi terkait
dengan permasalahan yang diteliti.60
Dalam penelitian skripsi ini, peneliti hanya menggunakan kamera,
alat perekam suara, dan dokumen pribadi (memo) sebagai instrumen
penelitian dalam melakukan wawancara dengan responden di Pengadilan
Agama Sungguminasa Gowa.
D. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data, metode pengumpulan data ini
mencakup tentang teknik-teknik yang dipergunakan dalam melakukan
pengumpulan data. Menurut Soerrjono Soekanto, dalam penelitian dikenal
adanya tiga jenis alat pengumpul data, yaitu studi dokumen atau bahan
pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview.61
Menggunakan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian
lapangan (field research). Metode library research, dalam arti semua
sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis yang dipublikasikan
oleh media cetak dalam bentuk buku-buku kepustakaan, makalah dan
60
Muhammad, Metode Penelitian Bahasa (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.35
61 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1989),
h.201
majalah maupun media elektronik dalam bentuk yang disajikan dalam
website internet. Sedangkan field research merupakan penelitian yang
dilakukan dengan cara terjun langsung ke lokasi penelitian, dalam hal ini
Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa yang bertempat di Jl. Masjid
Raya, Kel. Sungguminasa, Kec. Somba Opu, Kab. Gowa. Dengan
menggunakan instrumen-instrumen; pengamatan, wawancara atau
intervie, menanyakan langsung pada hakim hasil-hasil putusan perkara
perceraian Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa. Namun juga
mengadakan pengamatan maupun komunikasi pada pengadilan di tempat
lain dan instrumen dokumentasi sebagai salah satu alat yang digunakan
dalam penelitian hukum.
Menurut Wiranto Surachmad, Pelaksanaan observasi adalah
dengan menetapkan metode yang tepat dalam observasi yang akan
dilakukan, bila telah jelas bahwa observasi adalah teknik yang tepat,
peneliti merinci segala unsur data, misalnya: sifatnya, banyaknya dan
unsur lain yang penting dalam memecahkan persoalan. Bila telah jelas
rencana penggunaan data, maka diperkirakan bagaimana cara peneliti
mencatat dan menyusun data. Lalu peneliti melakukan observasi62 teknik
observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang
digunakan peneliti untuk mengadakan pengamatan dan pencatatan
secara sistematis terhadap objek yang diteliti, baik dalam situasi buatan
yang secara khusus diadakan (laboratorium) maupun dalam situasi
alamiah atau sebenarnya (lapangan). Dalam hal ini peneliti melakukan
penelitian yang ilmiah atau lapangan. Peneliti menggunakan observasi tak
berperan serta atau observasi tidang langsung, yaitu observasi dilakukan
62
Winarno Surachmad, Dasar dan Tekhnik Research, Pengantar Metodologi Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1975), h. 158
oleh peneliti terhadap suatu objek melalui perantara, yaitu dengan alat
atau cara tertentu.
Observasi tak berperan serta juga dilakukan dengan teknik
komunikasi tak langsung, di mana peneliti mengumpulkan data dengan
jalan mengadakan komunikasi dengan subyek penelitian melalui
perantara alat, baik alat yang sudah tersedia maupun alat yang khusus
dibuat untuk keperluan penelitian. Pelaksanaannya dapat berlangsung
dalam situasi yang sebenarnya ataupun di dalam situasi buatan.
Wawancara mendalam (in depth interview), peneliti dapat menggali
hal-hal yang tersembunyi dan belum pernah ada sebelumnya, apakah hal
itu terkait menegenai masa lampau, masa kini, maupun masa depan.
Wawancara terstruktur dilakukan dengan melacak berbagai segi dan arah,
guna mendapatkan informasi yang selengkap mungkin dan semendalam
mungkin. Dengan begitu, upaya understanding of understanding bisa
terpenuhi secara memadai. Sesuai dengan itu, peneliti perlu memerankan
diri selaku instrument utama. Bukan menggantungkan diri pada instrument
pengumpulan data semacam pedoman wawancara, panduan observasi,
dan instrumen sejenis lainnya.
BAB IV
HAISL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Objektif Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa
1. Sejarah Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa
Kabupaten Gowa adalah sebuah Kerajaan di Sulawesi Selatan yang
turun temurun diperintah oleh seorang Kepala pemerintah disebut
“Somba” atau “Raja”. Daerah TK.II Gowa pada hakikatnya mulai terbentuk
sejak beralihnya pemerintah Kabupaten Gowa menjadi Daerah TK.II yang
didasari oleh terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1959 Tentang
Pembentukan Daerah TK.II, Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, yang
diperkuat Undang –Undang Nomor 2 Tahun 1959 Tentang Pembentukan
Daerah TK.II di Sulawesi (Tambahan Lembaran Negara RI No. 1822).63
Kepala Daerah TK.II Gowa yang pertama “Andi Ijo Dg Mattawang
Karaeng Lalowang “ yang juga disebut nama Sultan Muhammad Abdul
Kadir Aididdin Tumenanga Rijongaya, dan merupakan Raja Gowa yang
terakhir (Raja Gowa ke XXXVI).
Somba sebagai Kepala pemerintah Kabupaten Gowa didampingi
oleh seorang pejabat di bidang agama Islam yang disebut “kadi” (Qadli).
Meskipun demikian tidak semua Somba yang pernah menjadi Raja Gowa
didampingi oleh seorang Qadli, hanya ketika agama Islam mulai
menyebar secara merata dianut oleh seluruh rakyat kerajaan Gowa
sampai ke pelosok-pelosok desa, yaitu sekitar tahun 1857 M. Qadli
pertama yang diangkat oleh Raja Gowa bernama Qadli Muhammad Iskin.
Qadli pada waktu itu berfungsi sebagai penasehat Kerajaan atau Hakim
63 Www. Pa-Sungguminasa. Go,id
Agama yang bertugas memeriksa dan memutus perkara-perkara di bidang
agama, demikian secara turun temurun mulai diperkirakan tahun 1857
sampai dengan Qadli yang keempat tahun 1956.
Setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957
terbentuklah Kepala Jawatan Agama Kabupaten Gowa secara resmi ,
maka tugas dan wewenang Qadli secara otomatis diambil oleh Jawatan
Agama. Jadi Qadli yang kelima, setelah tahun 1956, diangkat oleh
Depertemen Agama RI sebagai Kantor Urusan Agama Kecamatan Somba
Opu (sekaligus oleh Qadli) yang tugasnya hanya sebagai do‟a dan imam
pada shalat I‟ed.
Berdasarkan SK Menteri Agama Nomor 87 Tahun 1966 tanggal 3
Desember 1966, maka Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah
Sungguminasa secara resmi dibentuk dan menjalankan tugas-tugas
peradilan sebagaimana yang ditentukan didalam Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1957 . Peresmian Pengadilan Agama / Mahkamah
Syariah Sungguminasa ialah pada tanggal 29 Mei 1967. Sejak tanggal 29
Mei 1967 tersebut dapat dipimpin oleh Ketua Pengadilan Agama/
Mahkamah Syariah K.H.Muh. Saleh Thaha (1967 s/d 1976) Pengadilan
Agama / Mahkamah Syariah Sungguminasa menjalankan kekuasaan
kehakiman di bidang Agama membawahi 18 Kecamatan yang terdiri dari
46 Kelurahan dan 123 Desa
2. Profil Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa
Gedung Pengadilan Agama Sungguminasa pertama kali beralamat
di Jalan Andi Mallombassang No. 57 Kelurahan Sungguminasa,
Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, dan gedung baru Pengadilan
Agama Sungguminasa sejak tahun 2009 beralamat di Jalan Masjid Raya
No. 25, Kelurahan Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten
Gowa, yang sudah sesuai dengan prototype dari Mahkamah Agung RI.
a. Kondisi Geografis
(1) Letak astronomi gedung kantor : 5°11'55.6" LS - 119°27'11.3" BT
(2) Batas-batas gedung kantor (Kec. Somba Opu) :
- Utara : Kota Makassar
- Selatan : Kecamatan Pallangga dan Kecamatan Bontomarannu
- Timur : Kecamatan Pattalassang
- Barat : Kecamatan Pallangga
(3) Ketinggian daerah/attitude berada pada 25 meter di atas
permukaan laut
(4) Kota Sungguminasa beriklim tropis
b. Kondisi Demografis
(1). Jumlah penduduk kabupaten gowa pada akhir tahun 2012
sebanyak 617.317 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk
mencapai 328 jiwa/km2
- Laki-laki: 305.202 jiwa (49,4%)
- Perempuan: 312.115 jiwa (50.6%)
3. Ketua Pengadilan Agama Sungguminasa dari tahun ke tahun :
a. K.H. Muh. Saleh Thaha, (1966-1976)
b. K.H. Drs. Muh. Ya‟la Thahir, (1976-1982)
c. K.H. Muh. Syahid, (1982-1984)
d. Drs. Andi Syamsu Alam, S.H, (1984-1992)
e. K.H. Muh. Alwi Aly (Tidak Aktif), ( - )
f. Drs. Andi Syaiful Islam Thahir, (1992-1995)
g. Drs. Muh. As‟ad Sanusi, S.H., (1995-1998)
h. Dra. Hj. Rahmah Umar, (1998-2003)
i. Drs. Anwar Rahman, (4 Peb s/d Sep 2004)
j. Drs. Kheril R, M.H. (4 Okt s/d 14 Des 2007)
k. Drs. H.M. Alwi Thaha, S.H., M.H. (14 Des 2007 s/d 2012)
l. Drs. H. Hasanuddin, M.H. (2012 s/d 2015)
m. Dra. Nur Alam Syaf, S.H., M.H. (2015 s/d 2017)
n. Drs. Ahmad Nur, M.H. (2017 s/d Sekarang)
4. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa
Ketua Drs. Ahmad Nur, M.H.
Wakil Ketua Dra. Hj. Nurbaya
Hakim
Dra. Hj. Hadidjah, M.H.
Drs. Kasang
Dra. Hj. Fahima, S.H., M.H.
Dra. Haniah, M.H.
Drs. M. Thayyib Hp.
Mudhirah, S.Ag., M.H.
Muhammad Fitrah, S.HI., M.H.
Ruhana Faried, S.HI., M.HI.
Panitera Nasruddin, S.Sos., S.H., M.H.
Sekretaris Drs. Muhammad Amin, M.A.
Panitera Muda Gugatan Dra. Nadirah
Panitera Muda Permohonan Nur Intang, S.Ag.
Panitera Muda Hukum Agus Salim Razak, S.H., M.H.
Panitera Pengganti
Dra. Hj. Musafirah, M.H.
Dra. I. Damri
Darmawati, S.Ag.
Rahmatiah, S.H.
Drs. H. Misi, S.Ag.
Hasbiyah, S.H.
Hj. Nurwafiah Razak, S.Ag.
Dra. Jasrawati
Ibrahim, S.H.
Andi Tenri, S.Ag.
Dra. Hj. Aisyah
Achmad Tasit, S.H.
Khairuddin, S.H.
Bulgis Yusuf, S.HI., M.H.
Jurusita
Muh. Aleks, S.H.
Hairuddin, S.H.
Fakhri, S.H.
Jurusita Pengganti
Sirajuddin
Purnama Santi
Kasubbag Kepegawaian, dan Ortala Erni, S.H.
Kasubbag Perencanaan, TI, dan
Pelaporan Andi Suryani M, S.Kom.
Kasubbag Umum dan Keuangan Verry Setya Widyatama, S.Kom.
Staf Aswad Kurnawan, S.HI
5. Visi dan Misi Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa
Visi Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa sebagai berikut:
Terwujudnya badan pengadilan yang agung ( Visi Mahkamah Agung RI
2010 - 2035)
Terwujudnya lembaga Pengadilan Agama Sungguminasa kelas 1 B
yang agung ( Visi Pengadilan Agama Sungguminasa)
Misi Pengadilan Agama Sungguminasa Gowa sebagai berikut:
Menjaga kemandirian Badan Peradilan
Memberika pelayanan hukum yang berkeadilan kepada Pencari
Keadilan
Meningkatkan kualitas kepemimpinan Badan Peradilan
Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Badan Peradilan
Menjaga kemandirian Pengadilan Agama Sungguminasa
Memberikan pelayanan hukum bagi Pencari Keadilan
Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Pengadilan Agama
Sungguminasa
Meningkatkan kinerja Pengadilan Agama Sungguminasa yang berbasis
teknologi informasi
(Misi Badan Peradilan 2010 - 2035)64
64 Www. Pa-Sungguminasa. Go,id
B. Pelaksanaan Putusan Perkara Hak Asuh Anak
Pengadilan Agama Sungguminasa yang memeriksa dan mengadili
perkara-perkara tertentu pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan
dalam perkara gugatan hadanah yang diajukan oleh:
Kasus pertama adalah Rahmawati binti H. Safaruddin, umur 31
tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan wiraswasta,
bertempat tinggal di Tamala‟lang, Desa Tamanyeleng, Kecamatan
Barombong, Kabupaten Gowa, selanjutnya disebut Penggugat; melawan
Syamsuddin S. bin Sei Dg Ngawing, umur 33 tahun, agama Islam,
pendidikan terakhir SMA, pekerjaan buruh bangunan, bertempat tinggal di
Lingkungan Borong, Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu,
Kabupaten Gowa, selanjutnya disebut Tergugat.
Penggugat telah mengajukan surat gugatan hadanah yang terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Sungguminasa di bawah Register
Nomor 217/Pdt.G/2016/PA Sgm. Tanggal 7 Maret 2016 dengan
mengemukakan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat dahulu adalah pasangan suami istri
yang telah bercerai sebagaimana dibuktikan dengan Akta Cerai
Nomor: 438/AC/2013/PA. Sgm. Berdasarkan Putudan Pengadilan
Agama Sungguminasa Nomor 452/Pdt.G/2013/PA Sgm. Tanggal 4
September 2013.
2. Bahwa dari perkawinannya, Penggugat dan Tergugat memiliki satu
orang anak yang bernama Nayla Putri Khadijah (umur 6 tahun) sejak
tanggal 5 Maret 2016 tinggal bersama dan diasuh oleh Penggugat.
3. Bahwa pada saat Penggugat dan Tergugat bercerai, anak tersebut
masih diasuh oleh Penggugat namun pada bulan Januari 2014,
Tergugat datang menemui Penggugat untuk bertemu dan membawa
anak tersebut ke lingkungan Borong Kabupaten Gowa di rumah
Tergugat dengan janji akan membawanya pulang kembali kepada
Penggugat namun ternyata Tergugat tidak membawa anak tersebut
pulang tetapi malah bermaksud mengambil hak asuhnya sehingga
Penggugat tidak bisa bertemu dengan anaknya dan apabila Penggugat
dating mau menemui anaknya maka Tergugat marah dan menghalangi
Penggugat.
4. Bahwa dengan sikap dan perbuatan Tergugat, membuat Penggugat
bermaksud untuk mempertegas hak asuh anak yang bernama Nayla
Putri Khadijah (umur 6 tahun) agar hak asuh anak tersebut jatuh
kepada Penggugat melalui putusan Pengadilan Agama
Sungguminasa.
5. Bahwa berdasarkan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam, maka
Penggugat berhak memperoleh hak asuh / hak pemeliharaan anak
jatuh kepada Penggugat dengan dasar :
- Anak tersebut belum berumur 12 tahun
- Berdasarkan hukum anak yang belum berumur 12 tahun yang
berhak memelihara/ mengasuhnya adalah ibunya/Penggugat
- Selama dua tahun lebih dalam pengasuh Tergugat, anak tersebut
tidak diperhatikan dan tidak terurus secara baik dalam hal
kesehatan maupun kehidupannya sehari-hari dan pada tetangga
menyampaikan hal ini kepada Penggugat, bahkan Penggugat
sendiri yang melihat kalau anak tersebut tidak terawatt
sebagaimana selayaknya, apalagi setelah Tergugat menikah lagi,
Tergugat seringkali meninggalkan anaknya di rumah.
- Bahwa selama dalam pengasuh Tergugat, yang memenuhi
kebutuhan anak tersebut adalah Penggugat sendiri dan Tergugat
selalu marah apabila kebutuhan anak yang dibawah Penggugat
dalam bentuk barang atau makanan tetapi harus dalam bentuk
uang.
6. Bahwa Penggugat mempunyai pekerjaan yang tetap dengan
penghasilan yang cukup untuk membiayai anak.
7. Bahwa berdasarkan pada kenyataan tersebut di atas, maka berdasar
hukum majelis hakim Pengadilan Agama Sungguminasa mengabulkan
gugatan hak asuh anak yang bernama Nayla Putri Khadijah (umur 6
tahun) jatuh kepada Penggugat.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, Penggugat memohon kepada Ketua
Pengadilan Agama Sungguminasa yang memeriksa dan mengadili
perkara ini berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut
Primer:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat.
2. Menetapkan hak asuh anak yang bernama Nayla Putri Khadijah, umur
6 tahun jatuh kepada Penggugat.
3. Membebankan biaya perkara menurut hukum.
Pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara bahwa pada hari-
hari persidangan yang telah ditentukan, Penggugat datang menghadap
sendiri ke persidangan sedangkan Tergugat tidak pernah datang
menghadap atau menyuruh orang lain sebagai kuasa hukumnya
meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut. Maka ketidakdatangan
Tergugat tersebut, tidak disebabkan suatu halangan yang sah maka
perkara ini dapat diperiksa tanpa hadirnya Tergugat.
Majelis hakim telah berusaha mendamaikan dengan menasehati
Penggugat untuk menyelesaiakan masalah hadanah secara kekeluargaan
dengan Tergugat, akan tetapi tidak berhasil.
Proses mediasi dalam perkara a quo sebagaimana kehendak
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan tidak dapat dilaksanakan karena Tergugat tidak
hadir. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 149 ayat (1) R.Bg.
dalam hal putusan dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat, maka gugatan
Penggugat dapat dikabulkan dengan syarat gugatan Penggugat tersebut
beralasan dan berdasar hukum.
Pokok permasalahan dalam perkara ini adalah Penggugat
mengajukan gugatan hak pengasuhan/pemeliharaan anak yang bernama
Nayla Putri Khadijah, umur 6 tahun karena anak tersebut masih dibawah
umur atau belum mumayyiz.
Berdasarkan kesaksian saksi-saksi Penggugat, anak yang bernama
Nayla Putri Khadijah sejak Penggugat dan Tergugat pisah dan bercerai di
tahun 2013, kini anak tersebut dalam pemeliharaan Penggugat sebagai
ibunya yang sebelumnya berada dalam pemeliharaan Tergugat. Anak
tersebut sehat jasmani dan rohani. Penggugat yang mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan anak tersebut. Tergugat sebagai ayahnya tidak
pernah memberikan nafkah kepada anak tersebut. berdasarkan kesaksian
saksi-saksi Penggugat, Penggugat mempunyai pekerjaan yang bisa
memenuhi kebutuhan anak tersebut. Disamping itu, anak tersebut sangat
dekat dengan Penggugat. Penggugat sangat menyayangi anak tersebut.
Di sisi lain, Penggugat juga dikenal sebagai orang yang taat beragama.
Berdasarkan kesaksian saksi-saksi Penggugat, Tergugat sebagai
ayah anak tersebut tidak pernah memberikan atau membantu penggugat
memberikan nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut. Bahkan
Tergugat telah menikah lagi dengan perempuan lain. Di samping itu, anak
tersebut sering ditinggalkan atau dititipkan pada neneknya (orang tua
Tergugat) saat Tergugat pergi ke Bulukumba bersama istri barunya.
Tergugat lebih sering tinggal di Bulukumba. setelah Majelis Hakim
melakukan konstatasi terhadap fakta dalam persidangan berdasarkan
bukti tertulis dan kesaksian saksi pertama Penggugat yang bernama
Syamsiah binti Safaruddin dan saksi kedua Penggugat yang bernama
Syahrul Ramadhan bin Safaruddin dalam persidangan maka ditemukan
fakta hukum sebagai berikut :
a. Penggugat dan Tergugat adalah mantan suami istri yang bercerai
pada tahun 2013. Dari perkawinan keduanya telah dikaruniai seorang
anak yang bernama Nayla Putri Khadijah, umur 6 tahun.
b. Sejak Penggugat dan Tergugat pisah dan bercerai di tahun 2013, kini
Anak yang bernama Nayla Putri Khadijah tersebut dalam
pemeliharaan Penggugat sebagai ibunya yang sebelumnya berada
dalam pemeliharaan Tergugat. Anak tersebut sehat jasmani dan
rohani. Penggugat yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
anak tersebut. Tergugat sebagai ayahnya tidak pernah memberikan
nafkah kepada anak tersebut.
c. Penggugat mempunyai pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan
anak tersebut. Disamping itu, anak tersebut sangat dekat dengan
Penggugat. Penggugat sangat menyayangi anak tersebut. Di sisi lain,
Penggugat juga dikenal sebagai orang yang taat beragama.
d. Tergugat sebagai ayah anak tersebut tidak pernah memberikan atau
membantu penggugat memberikan nafkah untuk memenuhi kebutuhan
anak tersebut. Tergugat bahkan telah mempunyai istri yang lain.
Tergugat lebih sering tinggal bersama istrinya di Bulukumba sehingga
ketika anak tersebut berada pada pemeliharaannya, sering
ditinggalkan atau dititipkan pada orang tua Tergugat.
Penetapan hak pengasuhan/pemeliharaan anak di didasarkan pada
prinsip prinsip perlindungan anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2
dan 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan fakta hukum dalam persidangan, anak yang bernama
Nayla Putri Khadijah berumur lebih dari 6 tahun. Anak tersebut pada umur
tersebut termasuk belum mummayiz, belum bisa membedakan mana yang
baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya. Pada masa tersebut
seorang ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih mampu
mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta bimbingan pada anak.
Demikian pula anak dalam masa tersebut secara psikologis lebih
membutuhkan pengasuhan ibu untuk melindunginya dari segala yang
menyakiti. selama dalam pemeliharaan penggugat, anak tersebut
bahagia, pertumbuhan dan perkembangannya sehat secara jasmani dan
rohani. Penggugat adalah orang yang cakap, tidak mengabaikan atau
mempunyai perilaku buruk serta taat beragama. Di sisi lain, Tergugat
sebagai ayah kandungnya tidak pernah memberikan nafkah atau
membantu memberikan nafkah kepada anaknya melalui Penggugat.
Bahkan Tergugat telah menikah lagi atau mempunyai istri lagi. Tergugat
lebih sering pergi dan tinggal di Bulukumba bersama istrinya. Kalau
berada di Bulukumba, Tergugat menitipkan anak tersebut pada orang tua
Tergugat. Kondisi Tergugat tersebut sangat mempengaruhi
perkembangan jasmani dan rohani anak tersebut bila dalam pemeliharaan
Tergugat.
Anak yang termasuk belum mummayiz, belum mampu menjaga,
mengatur dirinya, belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan
lebih berbahaya bagi dirinya, maka Penggugat lebih layak terhadap anak
tersebut untuk melakukan pemeliharaan (hadhanah) demi kepentingan
terbaik buat anak (the best interest of child). Pertimbangan tersebut sesuai
dengan kandungan filosofis dari Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam
yang disebutkan bahwa anak yang belum mumayiz dalam asuhan dan
pemeliharaan penggugat selaku ibunya.
Memperhatikan ketentuan hukum dan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan dengan perkara ini, mengadili:
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut
untuk menghadap ke persidangan, tidak hadir.
2. Mengabulkan gugatan Penggugat secara verstek.
3. Menetapkan anak yang bernama Nayla Putri Khadijah binti
Syamsuddin S. berada dalam pemeliharaan/pengasuhan Penggugat.
4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp 566.000,00 (lima ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Kasus kedua adalah Penggugat, umur 33 tahun, agama Islam,
pendidikan terakhir S1, pekerjaan Guru Honorer, tempat kediaman Jalan
Kompleks Pondok Pesantren Tanwir As-Sunnah RT.002 RW. 00 1
kelurahan Borongloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten Gowa,
sebagai Penggugat; melawan Tergugat, umur 30 tahun, agama Islam,
pendidikan terakhir S1, pekerjaan wiraswasta, tempat kediaman di Jalan
Poros Malino No. 2 (Belakang Masjid Nurul Iman Yabani) kelurahan Bonto
Ramba Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa, sebagai Tergugat;
Pengadilan Agama tersebut.
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Penggugat datang
menghadap, sedangkan Tergugat tidak datang dan tidak pula menyuruh
orang lain untuk datang menghadap sebagai wakilnya/kuasanya yang
sah, meskipun Tergugat telah dipanggil secara patut berdasarkan relaas
panggilan tertanggal 18 Februari 2016 dan tertanggal 26 Februari 2016,
dan ketidakhadiran Tergugat tersebut tanpa disebabkan oleh suatu
halangan yang sah.
Upaya mediasi terhadap pihak berperkara tidak dapat dilaksanakan
karena Tergugat tidak pernah hadir di persidangan; meskipun demikian,
majelis hakim tetap berupaya menasehati Penggugat agar dapat
menyelesaikan persengketaannya dengan cara yang damai dan
kekeluargaan, namun Penggugat tetap pada gugatannya.
Untuk mempertahankan dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah
mengajukan bukti tertulis berupa Fotokopi Akta Cerai atas nama Asriwani
S.Pd binti Abdullah yang di keluarkan oleh Pengadilan Agama
Sungguminasa Nomor 491/ AC/2015/PA Sgm, tanggal 16 Oktober 2015,
dan bermaterai cukup dan telah sesuai dengan aslinya dan di stempel
pos, kemudian oleh Ketua majelis diberi kode P; selain bukti tertulis
tersebut, Penggugat juga telah memperhadapkan 2 orang saksi masing-
masing Marning binti Abdullah dan Wahdaniah binti Tamrin. Bahwa,
Penggugat menerima dan membenarkan keterangan saksi-saksi tersebut,
lalu menerangkan tidak akan menambahkan bukti-bukti lagi serta
mengajukan kesimpulan yang pada pokoknya tetap pada dalil-dalil
gugatannya serta memohon putusan.
Putusan Hakim dalam pertimbangan Hukum bahwa maksud dan
tujuan gugatan Penggugat adalah sesuai ketentuan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi maka dalam perkara
perdata harus dilakukan mediasi, akan tetapi Tergugat tidak pernah hadir
di persidangan sehingga proses mediasi tidak dapat dilaksanakan;
meskipun demikian majelis hakim tetap berusaha menasehati Penggugat
dengan memberikan dorongan agar Penggugat bisa menyelesaikan
sengketanya dengan cara yang damai dan kekeluargaan, namun tidak
berhasil.
Ketentuan Pasal 49 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama yang dihubungkan dengan posita gugatan
Penggugat, maka gugatan Penggugat dinyatakan merupakan sengketa
perkawinan dan dengan didasarkan kepada dalil Penggugat sendiri
tentang domisili Tergugat yang berada di wilayah hukum Pengadilan
Agama Sungguminasa, karena itu pula dengan didasarkan kepada
ketentuan Pasal 142 R.Bg, Pengadilan Agama Sungguminasa berwenang
menerima, memeriksa, mengadili gugatan Penggugat.
Berdasarkan dalil-dalil gugatan Penggugat, maka yang menjadi
pokok sengketa dalam perkara ini adalah apakah perselisihan Penggugat
dan Tergugat terhadap penguasaan anak Penggugat dan Tergugat
tersebut telah merugikan kepentingan anak? meskipun Tergugat tidak
pernah hadir di persidangan, yang dapat saja gugatan Penggugat
diputuskan dengan verstek sebagaimana ketentuan Pasal 149 ayat (1)
R.Bg, namun menurut pendapat majelis hakim bahwa terkait dengan
pemeriksaan perkara ini yang secara substantif dipandang tidak saja
berkaitan dengan aspek kepentingan Penggugat dan atau Tergugat itu
sendiri tetapi berkaitan dengan kepentingan hidup (asas manfaat) anak
Penggugat dengan Tergugat. Oleh karena itu, kepada Penggugat
dibebani wajib bukti terhadap dalil-dalil gugatannya sesuai dengan
ketentuan Pasal 283 R.Bg; untuk mempertahankan dalil-dalil gugatannya,
Penggugat telah mengajukan bukti bertanda P serta 2 orang saksi;
Berdasarkan bukti bertanda P1 yang secara formil dan materil
dinilai telah memenuhi syarat sebagai bukti autentik, maka harus
dinyatakan terbukti bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri
yang telah bercerai; bahwa 2 orang saksi yang diajukan Penggugat dinilai
telah memenuhi syarat formil, dan berdasarkan keterangan kedua saksi
tersebut masih perlu dipertimbangkan nilai kebenarannya sebagaimana
akan dipertimbangkan sebagai berikut;
Bahwa saksi Marning binti Abdullah, menerangkan dari perkawinan
Penggugat dengan Tergugat telah dikaruniai anak yang saat ini anak
pertama bernama Fadilah (pr) umur 2 tahun 2 bulan berada dalam
pengasuhan Tergugat dan membawanya ke rumah orang tua Tergugat
dan nafkah sehari-hari untuk anak tersebut ditanggung oleh Penggugat
dan Tergugat. Sedangkan anak kedua bernama Abdurrahman (lk) umur 1
tahun 1 bulan, berada dalam pengasuhan Penggugat dan nafkahnya
ditanggung oleh Penggugat sendiri. Bahwa saksi dan Penggugat pernah
datang menemui dan meminta anaknya namun tergugat tidak mau
menyerahkan anak tersebut dan menjauhkan dari Penggugat dan
Tergugat mempersulit. Sedangkan saksi Wahdaniah binti Tamrin, juga
menerangkan menerangkan dari perkawinan Penggugat dengan Tergugat
telah dikaruniai anak yang saat ini anak pertama bernama Fadilah (pr)
umur 2 tahun 2 bulan berada dalam pengasuhan Tergugat dan
membawanya ke rumah orang tua Tergugat dan nafkah sehari-hari untuk
anak tersebut ditanggung oleh Penggugat dan Tergugat. Sedangkan anak
kedua bernama Abdurrahman (lk) umur 1 tahun 1 bulan, berada dalam
pengasuhan Penggugat dan nafkahnya ditanggung oleh Penggugat
sendiri. Bahwa Penggugat pernah datang menemui anaknya dan hanya
sekedar untuk menjenguk anaknya namun komunikasi antara Penggugat
dan orang tua Tergugat tidak begitu baik dan kondisi anak tersebut sangat
berbeda, saat masih tinggal bersama ibunya anak tersebut sehat-sehat
dan selama dalam asuhan Tergugat kondisi anak tersebut kurang sehat
dan keluarga Tergugat mempersulit Penggugat untuk mengambil
anaknya.
Keterangan kedua saksi tersebut di atas, majelis hakim
berpendapat bahwa secara materil dinilai telah saling bersesuaian satu
sama lain dan mendukung dalil-dalil gugatan Penggugat, maka dengan
demikian dalil-dalil gugatan Penggugat tersebut harus dinyatakan terbukti.
Dari pertimbangan terhadap bukti-bukti tersebut di atas, maka
fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan adalah sebagai berikut:
- Bahwa Penggugat dengan Tergugat telah dikaruniai anak bernama
Fadilah (pr) umur 2 tahun 2 bulan yang saat ini berada dalam
pengasuhan Tergugat dan membawanya ke rumah orang tua Tergugat
dan nafkah sehari-hari untuk anak tersebut ditanggung oleh Penggugat
dan Tergugat. Sedangkan anak kedua bernama Abdurrahman (lk)
umur 1 tahun 1 bulan, berada dalam pengasuhan Penggugat dan
nafkahnya ditanggung oleh Penggugat sendiri.
- Bahwa saksi dan Penggugat pernah datang menemui dan meminta
anaknya namun tergugat mempersulit Penggugat dan tidak mau
menyerahkan anak tersebut dan menjauhkan dari Penggugat.
Berdasarkan fakta-fakta di persidangan sebagaimana tersebut di
atas, maka hal-hal yang menjadi fakta tersebut akan dipertimbangkan
lebih lanjut sebagai berikut.
Bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk memelihara dan
mendidik anak/anak-anaknya dengan sebaik-baiknya, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasaannya dan pendidikan
agamanya, sampai anak tersebut dapat berdiri sendiri dan kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus,
sebagaimana dimaksud Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo
Pasal 77 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 105 huruf a ditegaskan yang pada
intinya adalah pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun, maka hak pemeliharaan terhadap anak tersebut
berada pada ibunya, dihubungkan pula dengan ketentuan Pasal 156 huruf
a Kompilasi Hukum Islam ditegaskan yang pada intinya adalah terhadap
anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) berhak
mendapatkan hadlanah dari ibunya; dari ketentuan pasal-pasal tersebut di
atas, bahwa hak hadlanah in casu dimaknai dengan penguasaan anak
tidak sekedar harus dilihat dari aspek kepastian hukum, akan tetapi juga
dapat dilihat dari aspek kemanfaatannya dengan lebih mengedepankan
kepentingan terbaik si anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
sehingga manakala sebuah perkawinan putus karena perceraian,
sementara kedudukan anak dari hasil perkawinan tersebut belum cukup
umur untuk menentukan sebuah pilihan apakah harus ikut ayahnya atau
ibunya, di samping itu pula anak yang belum cukup umur dilihat dari aspek
kedekatan secara emosional cenderung masih mengharapkan belaian
kasih sayang seorang ibunya, kecuali jika terbukti sebaliknya ternyata
ibunya pun tidak mampu berbuat secara hukum untuk memenuhi hak
hadlanah anak tersebut, maka kedudukan ibu dari anak tersebut dapat
digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibunya, dan
kemudian dapat berpindah kepada ayahnya jika ternyata pula kedudukan
wanita-wanita dari pihak ibunya tidak dapat memenuhi secara hukum
terhadap hak hadlanah anak tersebut; dalam Pasal 51 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditegaskan
bahwa setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan
tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal
yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan
kepentingan terbaik bagi anak, sedangkan dalam Pasal 57 ayat (1)
ditegaskan pula bahwa setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara,
dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua
atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan fakta di persidangan, dimana Tergugat memiliki
kesibukan dengan pekerjaannya sebagai Wiraswasta, sehingga tidak
memiliki waktu yang cukup untuk memelihara anaknya tersebut,
sementara itu Penggugat memiliki lebih banyak waktu untuk merawat dan
memelihara anaknya dan tidak ada pula fakta yang menunjukkan bahwa
Penggugat melalaikan kewajibannya untuk memelihara anaknya, oleh
karena itu dengan memperhatikan fakta persidangan tersebut di atas dan
dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 51 ayat (2) dan
Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-
Hak Asasi Manusia yang menegaskan adanya hak dan tanggung jawab
yang sama antara mantan suami dengan mantan istri (akibat putusnya
perkawinan) atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dan
dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak Penggugat dan
Tergugat, maka dengan mempertimbangkan pula asas kepastian hukum
sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang
menegaskan agar setiap orang tidak melakukan perbuatan baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang, demikian pula
dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan dan keadilan serta dengan
lebih mempertimbangkan kepentingan yang terbaik bagi anak Penggugat
dan Tergugat tersebut yang masih berada di bawah umur baik dari segi
pertumbuhan dan perkembangannya di masa sekarang dan masa yang
akan datang hingga anak tersebut telah mampu untuk memilih apakah
akan tinggal dengan ayahnya atau ibunya, maka dengan memperhatikan
pula ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Pasal 59 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga dengan demikian
majelis hakim berpendapat bahwa pemeliharaan terhadap anak
Penggugat dengan Penggugat yang masih berada di bawah umur
tersebut adalah lebih layak dipelihara/dirawat atau diasuh oleh Penggugat.
Dengan ditetapkannya hak pengasuhan dan pemeliharaan
terhadap anak Penggugat dan Tergugat tersebut berada pada Penggugat,
maka secara hukum dalam rangka untuk melindungi hak-hak anak
tersebut berupa kemerdekaannya untuk memperoleh kasih sayang dari
ayahnya juga, tidak dapat dibatasi oleh suatu keadaan sebagai akibat dari
perceraian kedua orang tuanya sebagaimana maksud ketentuan Pasal 14
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
beserta Penjelasannya; bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut
di atas, maka gugatan Penggugat patut untuk dikabulkan; ternyata
tergugat tidak pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil
dengan sepatutnya, dan gugatan penggugat dinilai telah beralasan dan
berdasar hukum, maka berdasarkan ketentuan Pasal 149 ayat (1) R.Bg,
gugatan penggugat tersebut dikabulkan dengan verstek; perkara ini
adalah berkaitan dengan perkawinan sebagaimana pada Penjelasan
Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara ini dibebankan kepada
penggugat sebagaimana ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989.
Mengingat segala ketentuan hukum dan peraturan perundangan
lain yang berlaku serta hukum syara' yang berkaitan dengan perkara ini
mengadili;
1. Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap ke persidangan, tidak hadir.
2. Mengabulkan gugatan Penggugat secara verstek.
3. Menyatakan hak asuh atas kedua anak yang lahir dari perkawinan
Penggugat dengan Tergugat bernama Nama Anak, umur 2 tahun 2
bulan dan Nama Anak, umur 1 tahun 1 bulan, jatuh kepada
Penggugat.
4. Menghukum Tergugat atau siapapun yang menguasai anak bernama
Nama Anak untuk menyerahkan kepada Penggugat jika perlu dengan
bantuan pihak kepolisian;
5. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp 301.000,00 (tiga ratus satu ribu rupiah).
Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan istri
karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain dan
sebelumnya telah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga
kedua belah pihak. perceraian baru dapat dilaksanakan apabilah telah
dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk
tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak
ada jalan lain kecuali hanya dengan jalan perceraian. Dengan perkataan
lain bahwa perceraian itu adalah sebagai way out bagi suami istri demi
kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian.
Penentuan hak asuh anak tidak ditetapkan apabila kedua orang tua
tidak keberatan dan menutut kepada hakim, oleh karena itu walaupun
anak belum mumayyiz boleh memilih kepada siapa ia ingin tinggal dan
diasuh.
C. Analisis Hukum Islam terhadap Perkara Hak Asuh Anak
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua
orang tua. Pemeliharaan anak meliputi berbagai hal, yaitu ekonomi.
Pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak.
Yanggung jawab ekonomi dalam Islam berada dipundak suami sebagai
kepala rumah tangga, meskipun dalam hal ekonomi, tidak menutup
kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung
kewajiban ekonomi, karena hal yang terpenting adalah adanya kerja sama
dan saling pengertian antara kedua pihak dalam pemeliharaan anak.
Ibu adalah orang yang utama dan pertama berhak dalam masala
hadanah. Menempatkan ibu sebagai yang paling berhak mengasuh anak,
para ulama fikih mendasarkannya kepada hadis Abdullah bin Anas
(sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya), disamping itu para
ulam fikih juga berkesimpulan bahw aibu yang dipandang paling mampu
dari pada ayah dalam mengasuh anak, karena rasa kasih sayang ibu
dianggap lebih tinggi, ibu lebih sabar dalam mengajarkan sesuatu dan
mengurus kebutuhan bayi ataupun anak.
Adanya urutan tingkatan orang yang berhak atas pemeliharaan
anak adalah perempuan yang dianggap mampu juga adanya
pertimbangan hubungan muhrim antara yang memelihara (hadinah)
dengan yang dipelihara (mahdun). Wahbah Az-Zuhaili lebih merinci urutan
tingkatan orang yang berhak atas hak asuh:
1. Orang yang berhak untuk mengurus hadanah dari kaum perempuan.
a. Ibu lebih berhak daripada ayah untuk mengurus hadanah anaknya
meski sudah bercerai atau ditinggal mati suaminya kecuali apabila
ia murtad, tidak dapat dipercaya, sehingga menyia-nyiakan anak
seperti menjadi pezina, pencuri dan amoral lainnya.
b. Ibunya ibu atau nenek dari ibu, karena nenek memiliki emosional
yang sama seperti ibu.
c. Saudara perempuan dari anak yang dipelihara
d. Bibi dari ibu (bibinya anak yang dipelihara)
e. Putri-putri dari saudara perempuan, kemudian putri-putri dari
saudara laki-laki.
f. Bibi dari jalur ayah, hal ini telah disepakati para ulama.
2. Orang yang berhak mengasuh (hadanah) dari kaum laki-laki.
Apabila anak yang hendak diasuh atau dipelihara tidak memiliki
kerabat perempuan yang berhak mengasuhnya, maka hak mengasuh dan
memelihara dilimpahkan kepada kerabat laki-laki terdekat sesuai urutan
bagian waris muhrim, yaitu ayah, kakek sampai ke atas, kemudian
saudara dan anak-anaknya sampai ke bawah, kemudian para paman dan
anak-anaknya, ini menurut hanafiyyah dan menurut pendapat yang sahih
mazhab syafi‟iyyah.
Hal menarik yang masih menjadi pembahasan hak asuh anak atau
hadanah ini; apakah hadanah itu hak seoran ibu atau hak seorang anak.
Karena ada pendapat yang dijadikan fatwa menurut mazhab hanafiyyah
adalah bahwa seorang ibu atau yang lainnya jika menolak untuk
mengasuh atau memelihara anak, maka tidak boleh dipaksa untuk
mengasuh, memelihara anaknya, sebagaimana halnya juga tidak dipaksa
jika menolak untuk menyusui.
Berdasarkan pendapat yang masyhur, maka seorang ibu boleh
menggugurkan haknya dalam hal hadanah, namun menurut mazhab
Maliki, ia sudah tidak lagi memiliki hak hadanah jika kemudian hari hendak
memintanya.
Seorang ibu boleh dipaksa untuk mengasuh, memelihara anaknya
jika memang si anak sudah tidak memiliki muhrim. Tujuannya agar hidup
anak tidak tercampakan. Pendapat lain mengatakan, bahwa seorang ibu
boleh dipaksa mengasuh anaknya secara mutlak dan ia tidak memiliki hak
untuk menggugurkannya meski dengan khuluk.
Secara hukum, pengambilan upah dalam hal pengasuhan anak
sama dengan pengambilan upah dalam hal penyusuan anak (rada).
Karena itu, seorang ibu tidak berhak untuk mendapatkan upah susuan
selama ia masih menjadi istri atau berada dalam masa iddah.65 Hal ini
dilakukan karena apbila ia masih resmi menjadi istri dan berada dalam
65 Muhammad Sayyid Sabiq. Op. Cit., h. 147
masa iddah, maka ia tetap mendapatkan nafkah keluarga dan nafkah
iddah dari suaminya, sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 233.
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Adapun jika masa iddah perempuan sudah berakhir, maka ia
berhak mendapatkan upah pengasuhan anak, seperti upah menyusui. Hal
itu di sebutkan dalam Q.S. al-Talaq/65:6
Terjemahnya:
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.66
66
Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma
Publishing, 2010), h. 559
Dalam hal ini, Wahbah az-Zuhaily67 memiliki dua pendapat, yaitu:
a. Menurut mayoritas ulama selain Hanafiyyaj, seorang pengasuh
(hadin) tidak berhak meminta upah mengasuh, baik statusnya
sebagai ibu maupun selainnya karena seorang ibu berhak
mendapat nafkah jika statusnya masih seorang istri, adapun
apabila statusnya selain ibu dari si anak maka nafkahnya
ditanggung ayahnya, akan tetapi jika nak dipeliharah membutuhkan
bantuan lain, seperti memasak dan mencucipakaian maka
pengasuh berhak mendapat upah.
b. Menurut ulama Hanafiyyah, seorang pengasuh (hadinah) tidak
berhak mendapatkan upah mengasuh (hadanah) jika statusnya
sebagai istri atau dalam masa iddah, baik cerai ba‟in maupun raji‟i,
seperti halnya tidak mendapatkan upah rada‟ karena wajibnya
kedua hal tersebut seperti utang, di samping ia juga masih berhak
mendapatkan nafkah sebagai istri maupun dalam masa iddah dan
nafkah itu cukup keperluan hadanah. Adapun setelah selesainya
iddah makah hadinah berhak meminta upah hadanah karena
terhitung upah suatu pekerjaan.
Pada hakikatnya, dalam sebuah putusan hakim adalah
kemaslahatan seharusnya merupakan fundamen yang utama, mengingat
setiap hikmatu al-tasyri’ baik hukum agama maupun hukum positif, akan
selalu mengedepankan unsur maslahat, yaitu unsur kebaikan, manfaat,
kenyamanan, serta keharmonisan.
67 Wahbah az-Zuhaili, op.cit, 73
Putusan hakim Pengadilan Agama yang berkenaan dengan
sengketa hadanah haruslah lebih mengedepankan maslahat, manfaat
bagi anak, asas manfaat ini sesuai dengan amanat Rakernas Mahkama
Agung pada tahun 2007 di Makassar, Pengadilan Agama dalam sengketa
hadanah harus memutuskan dengan mendahulukan 4 hal, yaitu: 1)
kepentingan anak sesuai dengan pasal 10 Undang-undang R.I. nomor 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak, 2) mengupayakan perdamaian
melalui mediasi, 3) menerapkan lembaga dwangsom, 4) menerapkan
ketentuan pasal 225 HIR/259 Rbg. Hal ini dimaksudkan agar kepentingan
masa depan anak tidak tereduksi oleh kepentingan sesaat dari orang tua
yang tidak bertanggung jawab.
Maksud dan tujuan Undang-undang memberikan hak pemeliharaan
anak mumayyiz dilandasi pada pemikiran bahwa kepentingan yang terbaik
bagi anak adalah berada dalam pengasuhan ibunya. Hal ini merupakan
asas atau prinsip hukum yang bersifat universal. Dari kedu kasus yang
peneliti cantumka dalam skripsi ini maka dapat dianalisa bahwa:
Kasus pertama, dalam hal pihak ayah dan ibu sama-sama
menuntut agar ditetapkan sebagai pemegang hak asuh. Di dalam
persidangan pihak ibulah yang lebih berhak untk mengasuh anak tersebut
karena anak itu belum mumayyiz atau berusia 6 tahun. Dan ibu tersebut
cakap menurut undang-undang dalam hak asuh.
Kasus kedua, dalam pihak ayah dan ibu masing-masing mengasuh
anak, pihak ibu mengasuh anak yang kedua berumur 1 tahun 1 bulan dan
pihak ayah mengasuh anak pertama yang berumur 2 tahun 2 bulan. Akan
tetapi pihak ayah selalu menghalang-halangi pihak ibu ketika ingin
menjenguk anak pertamanya yang berada dalam pangkuan ayah. Maka
dari itu ketika pihak ibu menuntut ke Pengadilan Agama tentang hak asuh
anak, maka hakim memutuskan perkara tersebut bahwa hak asuh kedua
anak tersebut jatuh ketangan ibu sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang hak asuh anak akibat perceraian dan
problematikanya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep Islam mengenai hak asuh anak yang dikenal dengan istilah
hadanah, kriteria terjadi perceraian, secara eksplisit ibulah yang diberi
hak untuk mengasuh anak dengan aturan, bahwa anak tersebut belum
mumayyiz dan apabila ibu tidak memenuhi syarat sebagai pemegang
hak asuh, maka hak asuh beralih kepada kerabat terdekat yang
memenuhi syarat, sebagaimana yang diysaratkan pasal 156 Kompilasi
Hukum Islam (KHI), Adapun hak asuh bagi anak yang sudah
mumayyiz, diberikan hak opsi untuk memilih di antara ayah atau
ibunya. Namun hak opsi tersebut tidak bersifat mutlak. Artinya bahwa
pilihan anak dapat idkabulkan sepanjang yang dipilihnya memiliki
kemampuan untuk menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak
yang diasuhnya.
Antara hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU R.I.
Nomor 1 Tahun 1974 terntang perkawinan, Konvensi Internasional dan
beberapa perundang-undangan, ada kesamaan pandang antara prinsip
kepentingan yan terbaik pada anak yang lebih mendasarkan pada
pertimbangan maslahat. Secara yuridis, apabila terjadi sengketa
tentang hak asuh anak bagi yang belum mumayyiz, maka
pengadilanlah yang akan memutuskan berdasarkan kepentingan anak
tersebut.
2. Berdasarka hasil penelitian pada Pengadilan Agama Sungguminasa
Gowa, gugatan perceraian yang diajukan bersamaan tuntutan hak
asuh, lebih banyak diajukan oleh pihak istri. Dalam proses
penyelesaian perkara hak asuh, hakim pada umumnya lebih cenderung
hanya berasas pada hukum materil yakni Kompilasi Hukuk Islam (KHI)
dan Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan juga Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Karena sudah menjadi ketentuan hukum agar
hakim-hakim di Pengadilan Agama mengunakan ketentuan-ketentuan
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI),
B. Implikasi Penelitian
1. Para praktisi hukum, khususnya kepada para hakim pada lingkungan
pengadilan agama, agar kiranya lebih cermat dan berhati-hati dalam
mengambil pertimbangan untuk memberikan putusan pada setiap
perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
2. Pertimbangan maslahat terhadap anak dalam kasus sengketa hak asuh
di Pengadilan Agama perlu mendapat perhatian secara khusus, tidak
hanya mengacu pada ketentuan formal tetapi juga harus
memperhatikan nilai-nilai dari hukum masyarakat dan kaidah-kaidah
agama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an al-karim
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarat: Ikhtiar BaruVan Hoope,
1990
Abdul Manan, Problematika Hadanah dan hubungannya dengan Praktek Hukum
Acara di Peradilan Agama, Mimbar Hukum; Jakarta: PT. Tomasu, 1999
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fikh, Makatabah al-Dakwah al-Islamiyah
Shabab al-Azhar: Kairo, 1990
Abi Daud Sulaiman bin al-Asy‟as al-sajastani, Sunan Abi Daud, Juz II; Kitab
Talaq, Beirut: Dar al-Fikr, 1994
Abu Bunyamin, Hadanah dan Problematikanya, Suatu Analisis terhadap
Pemegang Hadanah dalam Kaitannya dengan Kepentingan Anak, dalam
Mimbar Hukum, Jakarta; PT. Tomasu, 1999
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam disertai Perbandingan Undang-
Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Yogyakarta:
Penerbitan FH/UII,1985
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pendidikan Pesantren al-
Munawwir, 1994
Ali Afandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: Gajah Mada, 2001
Al-Ragib al-Ashfahani, Mu‟jam Mufradat Alfaz al-Qur‟an al-Karim
Aminuddin dan Zinal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. III;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006
As-San‟ani, Subulu al-salam (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2004
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III,
Cer. III, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2005
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Jilid 2 Cet. IV; Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Intruksi Presiden R.I.
Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Bab XIV pasal 98-106
tentang “Pemeliharaan Anak”, Jakarta: Departemen Agama R.I., 2000
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan
HAM RI Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
Jakarta: Trinity, 2007
Ghazali Mukri, Panduan Fikhi Perempuan, Cet 1; Yogyakarta: Salma Pustaka,
2004, h. 159
H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material dalam Praktek Peradilan
Agama, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003
Ibnu Mansur, Lisan al-Araby, Mesir: Dar al-Ma‟arif, 2004
Imam Jauhari, Advokasi Hak-hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan, Pustaka Bangsa: Medan, 2008
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan; Relasi Jender menurut Tafsir al-Sya‟rawi Cet, 1,
Bandung: Teraju, 2004
Kamal Muchtar, Azaz-azaz Hukum Islam tentang Perkawinan, cet 1 Jakarta:
Bulan Bintang, 1974
M. Yusuf Musa, al-Mabadi al-Syaiyatu al-Qanuniyah, Cet. IV; Beirut: Dar al-
Ilmi, 1967
Muhammad Abu Zahra, al-Ahwalu al-Syakhsiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,
1957
Muhammad bin Mukrim bin Mansur al-Fikr, Lisan al-Arab, Majallad XIV
Muhammad Fuad Abdul al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alafaz al-Qur‟an al-
Karim, Beirut: Dar al-Fikr, 1987
Muhammad Husain Zahabi, al-Syari‟ah al-Islamiyyah: Dirasah al-Muqaranah
baina Mazahib Ahlu Sunnah wa al-Mazahib al-Ja‟fariyyah, Mesir: Dar al-
Kutub al-Hadisah
Muhammad Jawad Mugniyah, al-Fiqh ala mazahib al-Khamzah, Jakarta: Lentera,
2006
Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka: Jakarta, 2002
Rifyal Ka‟bah, „Permasalahan Perkawinan‟ dalam Majalah Varia Peradilan, No
271 Juni 2008
Said Agil Husin Almunawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta; Pena
Madani, 2004
Satria efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer: Analisis Hukum
dengan Pendekatan Usuliyah, Jakarta: Kencana, 2004
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003
Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2003
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1990
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1989
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, Cet. II, Damaskus;
Dar al-Fikr, 1984
Winarno Surachmad, Dasar dan Tekhnik Research, Pengantar Metodologi Ilmiah,
Bandung: Tarsito, 1975
Zakariah Drajat, Problematika Remaja di Indonesia, Cet. II; Jakarta: Bulan
Bintang, 1975
L
A
M
P
I
R
A
N
RIWAYAT HIDUP
Mohammad iqbal lahir di Desa soni Kabupaten Toli-Toli
Propinsi sulawei tengah pada tanggal 11 september 1989.
Riwayat pendidikan. SD Negri 1 soni tahun 1995 selesai
tahu 2001. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP
Negri 1 Bangkir Dampal selatan selesai tahun 2004
kemudian SMK Negri 1 Barru Sul-Sel selesai pada tahun
2007. Kemudian Melanjutkan pendidikan D3 Politeknik
pertanian negeri pangkep dengan mengambil jurusan budidaya tanaman
perkebunan selesai pada tahun 2010. Kemudian melanjutkan pendidikan S1
Universitas Islam Makassar dengan konsentrasi Agroteknologi selesai tahun 2013.
Kemudian melanjutkan pendidikan S1 Universitas Muhammadiyah Makassar
dengan mengambil konsentrasi Ahwal Syakhshiyah selesai pada tahun 2019.