KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

34
KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN Achmad Asfi Burhanudin ABSTRAK Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun tidak jarang dalam perkawinan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab lain yang kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi dan harus bercerai. Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan. Sementara itu masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam mencukupi kehidupannya. Juga perlakuan orang tua terhadap anaknya mengenai pelaksanaan perlindungan hak-hak anak pasca perceraian selama ini bertolak belakang dengan ketentuan pelaksanaan pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang perlindungan anak. Bila perceraian terjadi biasanya yang menjadi permasalahan ialah menyangkut tentang anak, siapa yang memeliharanya dan siapa pula yang menanggung biaya nafkahnya. Oleh karena itu perlu dikaji prinsip hukum tentang kewajiban orang tua atas biaya nafkah Anak setelah terjadinya perceraian. Pelaksanaan pemenuhan hak anak pasca perceraian selama ini belum mampu untuk melaksanakan ketentuan perlindungan hak anak, disebabkan beberapa faktor yang manjadi kendala, antara lain keterbatasan ekonomi, kelalaian orang tua, rendahnya pendidikan orang tua, serta rendahnya moral orang tua. Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan kewajiban sebagai orang tua terutama pelaku perceraian sangat minim terbukti dengan pengetahuan hanya sebatas hak anak tentang biaya hidup saja. Kata kunci: Kewajiban Orang Tua, Hak-hak Anak, Perceraian. Pendahuluan Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdata biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik antara suami dan istri serta anak- anak yang lahir dalam perkawinan. Namun dalam pergaulan antara suami istri tidak jarang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian. Perceraian selama ini seringkali

description

 

Transcript of KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

Page 1: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA

PERCERAIAN

Achmad Asfi Burhanudin

ABSTRAK

Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun tidak jarang dalam

perkawinan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab

lain yang kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak

dapat dipertahankan lagi dan harus bercerai.

Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa

akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan.

Sementara itu masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam

mencukupi kehidupannya. Juga perlakuan orang tua terhadap anaknya mengenai pelaksanaan

perlindungan hak-hak anak pasca perceraian selama ini bertolak belakang dengan ketentuan

pelaksanaan pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang

perlindungan anak. Bila perceraian terjadi biasanya yang menjadi permasalahan ialah

menyangkut tentang anak, siapa yang memeliharanya dan siapa pula yang menanggung biaya

nafkahnya. Oleh karena itu perlu dikaji prinsip hukum tentang kewajiban orang tua atas biaya

nafkah Anak setelah terjadinya perceraian.

Pelaksanaan pemenuhan hak anak pasca perceraian selama ini belum mampu untuk

melaksanakan ketentuan perlindungan hak anak, disebabkan beberapa faktor yang manjadi

kendala, antara lain keterbatasan ekonomi, kelalaian orang tua, rendahnya pendidikan orang

tua, serta rendahnya moral orang tua. Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan

kewajiban sebagai orang tua terutama pelaku perceraian sangat minim terbukti dengan

pengetahuan hanya sebatas hak anak tentang biaya hidup saja.

Kata kunci: Kewajiban Orang Tua, Hak-hak Anak, Perceraian.

Pendahuluan

Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdata

biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu

perkawinan mempunyai tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di

samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik antara suami dan istri serta anak-

anak yang lahir dalam perkawinan.

Namun dalam pergaulan antara suami istri tidak jarang terjadi perselisihan dan

pertengkaran yang terus menerus, maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang

menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat

dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak

maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya jalan

keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian. Perceraian selama ini seringkali

Page 2: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

menyisakan problem-problem, terutama persoalan hak-hak anak yang mencakup seluruh

hak yang melekat pada anak yaitu hak memperoleh pendidikan, kesehatan, biaya

pemeliharaan dan lain sebagainya.

Sehingga pemenuhan hak-hak anak masih terdapat sebagian besar orang tua belum

memenuhi hak-hak anak pasca perceraiannya. Akibat perceraian terkadang hak-hak anak

ada yang dikesampingkan, terutama yang berkaitan dengan hak-hak pokok anak yaitu

biaya pemeliharaan, pendidikan, tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya.

Terlebih lagi ketika orang tuanya sudah memiliki keluarga baru sehingga memungkinkan

berkurangnya waktu untuk memenuhi hak-hak anaknya. Meskipun orang tua sudah tidak

lagi dalam satu keluarga akan tetapi persoalan hak-hak anak tetap menjadi tanggung jawab

orang tua dan tidak boleh dialihkan kepada orang lain selain kedua orang tuanya.

Ada sebagian orang tua cenderung melalaikan tanggung jawabnya dalam memenuhi

hak-hak anak, sehingga yang terjadi adalah anak seringkali dititipkan kepada keluarga

terdekat ayah atau ibu. Tidak hanya itu, akibat dari perceraian selama ini psikologi anak

mengalami perubahan. Sebagai dampaknya adalah anak jarang berkomunikasi dengan

kedua orang tuanya, cenderung pendiam, malas, minder serta cenderung nakal dan

sebagainya. Ini semua disebabkan karena adanya kurang perhatian orang tua terhadap hak-

hak anaknya.

Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian

membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang

dilahirkan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu keluarga yang tidak harmonis

sebagaimana mestinya misalnya harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua

tunggal seperti dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja.

Sebagaimana diketahui bahwa anak merupakan penerus bangsa yang mengemban

tugas generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara, anak

diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat rohani dan

jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Untuk itu, anak tersebut

harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan, dan pengarahan yang tepat.

Dalam ajaran Islam, anak adalah amanat Allah kepada kedua orang tuanya,

masyarakat, bangsa dan negara sebagai pewaris dari ajaran Islam. Anak menerima setiap

ukiran dan mengikuti semua pengarahan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu perlu

dididik dan diajari dengan kebaikan agar bisa menjadi khalifah yang meneruskan

Page 3: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

keberlangsungan kehidupan.1 Dalam keluarga yang orang tua bercerai pertumbuhan anak

dalam standar yang ideal kemungkinan sulit tercapai karena kebutuhan jasmani dan

rohaninya tidak dapat dipenuhi secara sempurna. Apabila dikaitkan pula dengan

kebutuhan materi/jasmani anak yang hidup dalam keluarga yang kedua orang tuanya

sudah bercerai, pertumbuhan dan perkembangan anak tentu akan mengalami hambatan

yang serius apabila kebutuhan materi/jasmani anak berupa biaya pemeliharaan dan biaya

pendidikan anak sampai dewasa tidak ada kejelasannya.

Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga, individu,

masyarakat, bangsa dan negara maka negara mengatur melalui undang-undang hak-hak

anak misalnya dalam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Konvensi Hak Anak

yang dituangkan dalam Kepres Nomor 36 Tahun 1990, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak2, dan berbagai

peraturan perundang-undangan lain. Demikian pula hak-hak anak diakui oleh sejumlah

putusan pengadilan.

Di samping hak-hak anak memperoleh pengakuan dalam peraturan perundang-

undangan nasional, hak-hak anak juga memperoleh pengakuan dalam peraturan

perundang-undangan Internasional. Hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai konvensi-

konvensi Internasional yang memfokuskan perhatiannya terhadap persoalan anak seperti

misalnya Convention on The Rights of Child Tahun 1989, ILO Convention No. 182

ConcerningThe Prohibition and Amediate Action for The Worst Forms of the Child

Labour tahun 1999 dan lain sebagainya.

Namun meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan

adanya kecenderungan Internasional yang memfokuskan perhatian terhadap anak, pada

kenyataannya masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam

mencukupi kehidupannya.

Akibat Hukum Perceraian

1. Akibat perceraian dalam Undang-undang

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan apabila

perkawinan putus karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas

1 Hadi Supeno, Menyelamatkan Anak (Jakarta: Graha Putra, 2010), 13.

2 Mufidah, Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Press, 2008), 340-341.

Page 4: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

suami/istri dan harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah apabila terjadi

perceraian, maka baik ayah atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-

anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan

mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya. Jadi ayah yang

bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.

Bilamana ayah kenyataanya tidak dapat memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan

dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.3

2. Akibat perceraian dalam hukum adat

Pada umumnya menurut hukum adat yang ideal, putus perkawinan karena kematian

dan perceraian membawa akibat hukum terhadap kedudukan suami dan istri, terhadap

pemeliharaan, pendidikan dan kedudukan anak, terhadap keluarga dan kerabat juga

terhadap harta bersama. Segala sesuatunya berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-

masing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dan yang lain.4

3. Akibat perceraian dalam hukum Islam

Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka akan menimbulkan

akibat hukum tertentu, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, akibat putusnya

perkawinan karena perceraian ialah:

1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila

ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :

a) Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu.

b) Ayah.

c) Wanita-wanita dalam garis Iurus ke atas dari ayah.

d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.

e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu

f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah

atau ibunya.

3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan

rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas

permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak

hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

3Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum

Agama (Bandung: Mandar Maju,1990), 188-189. 4Ibid, 189-190.

Page 5: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut

kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus

diri sendiri (21 tahun).

5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama

memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah

biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.5

Hak dan Kedudukan Anak Setelah Perceraian Orang Tuanya

Di antara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah, seorang

ayah berkewajiban untuk memberikan jaminan nafkah terhadap anaknya, baik pakaian,

tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun hubungan perkawinan orang tua si anak

putus. Suatu perceraian tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi

nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.

Peristiwa perceraian, apapun alasannya, merupakan malapetaka bagi anak, anak tidak

akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua secara bersamaan yang sangat penting bagi

pertumbuhan mentalnya, tidak jarang pecahnya rumah tangga mengakibatkan terlantarnya

pengasuhan anak. Itulah sebabnya dalam ajaran Islam perceraian harus dihindarkan sedapat

mungkin bahkan merupakan perbuatan yang paling dibenci Allah . Bagi anak-anak yang

dilahirkan, perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya

dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga biasanya

anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orang tuanya.6

Setelah terjadinya perceraian, Pengadilan memutuskan siapa di antara ayah dan ibu

yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan pemeliharaan dan pengasuhan

anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-masing bekas suami

isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak asuh.

Dalam ajaran Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam hubungannya dengan

hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz (anak belum bisa membedakan antara

yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir sampai berumur tujuh atau

delapan tahun, menurut Kompilasi Hukum Islam sampai berusia 12 tahun, dan sesudah

mumayyiz. Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu

lebih mengerti kebutuhan anak dengan kasih sayangnya apalagi anak pada usia tersebut

sangat membutuhkan hidup di dekat ibunya.

5Kompilasi Hukum Islam, 72.

6Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta:Kencana, 2004), 166-167.

Page 6: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

Masa mumayyiz dimulai sejak anak secara sederhana sudah mampu membedakan

mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur tujuh tahun sampai

menjelang dewasa (balig berakal). Pada masa ini anak sudah dapat memilih dan memutuskan

apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi tertentu ketika pilihan anak

tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh mengubah putusan itu

dan menentukan mana yang maslahat bagi anak.7

Sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa harta putusan

hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi putusan hak asuh sama sekali

tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan anak yang disengketakan, sehingga tidak

sepatutnya sengketa hak asuh dipertajam ketika sudah diputuskan oleh Pengadilan. Sehingga

lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah, biasanya

putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu

tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan dengan anaknya demikian juga

sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap bebas berhubungan dan

mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.8

Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami

untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

istri. Sebagai ibu atau ayah mereka tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak

dan jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan

semata-mata mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang ayah bertanggung jawab atas

semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan jika ayah ternyata tidak

dapat memenuhi kewajibannya pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya.9

Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut

kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri

sendiri atau sampai usia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan

nafkah anak maka pengadilanlah yang memutuskannya.10

Kewajiban orang tua untuk

memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua

putus.

Apabila pemegang hadlanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani

anak, pengadilan dapat memindahkan hak hadlanah. Semua biaya hadlanah dan nafkah anak

7Ibid, 181.

8Ibid, 200.

9Undang-undang Perkawinan di Indonesia pasal 41 (Surabaya: Arkola, 2007), 18

10Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf (d) dan (e).

Page 7: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya sampai anak dewasa dan dapat mengurus

diri sendiri (21 tahun).

Sehubungan dengan kewajiban nafkah dan hadlanah, pihak ayah atau ibu yang

merasa dirugikan, sebagai akibat adanya pelanggaran kewajiban hadlanah, dapat mengajukan

gugatan ke Pengadilan Agama agar pihak yang lalai memenuhi kewajibannya.11

Karena

orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan

melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan

minatnya. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas kesejahteraan anak,

kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan

berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti

luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan

meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila. Orang tua yang terbukti melalaikan

tanggung jawabnya, dapat dicabut kuasa asuhnya dengan putusan Hakim. Pencabutan kuasa

asuh tidak menghapuskan kewajiban orang tua untuk membiayai penghidupan, pemeliharaan

dan pendidikan anak sesuai kemampuan penghidupannya.

Selagi anak belum berusia 18 tahun atau belum menikah ia berada di bawah

kekuasaan orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukum di dalam dan di

luar pengadilan. Meskipun memegang kuasa, orang tua tidak boleh memindahkan hak atau

menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki.

Jika orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya

terhadap anak dapat dicabut untuk waktu tertentu, pencabutan kekuasaan orang tua dapat

dimintakan ke pengadilan oleh salah satu orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas,

saudara kandung yang telah dewasa atau oleh pejabat berwenang, kekuasaan orang tua yang

dicabut tidak menghilangkan kewajibannya untuk tetap memberi biaya pemeliharaan kepada

anak.12

Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai

anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orang tua untuk memelihara dan

mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus.

Orang tua dan keluarga serta pemerintah bertanggung jawab menjaga kesehatan anak

dan merawat anak sejak dalam kandungan. Wajib mengusahakan agar anak yang lahir

11

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet-3 (Jakarta:

Kencana, 2005), 433. 12

Undang-undang Perkawinan di Indonesia pasal 41 (Surabaya: Arkola, 2007), 21.

Page 8: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan atau menimbulkan

kecacatan. Melindungi anak dari upaya transplantasi, pengambilan atau jual beli organ atau

jaringan tubuh, dijadikan obyek dalam penelitian kesehatan tanpa izin orang tua dan yang

bukan mengutamakan kepentingan terbaik anak.13

Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua

juga memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk mendapatkan penghidupan

yang layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak

(alimentasi) yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau

pun setelah terjadi perceraian.

Namun nafkah anak seringkali dilalaikan ayah setelah terjadinya perceraian,

sebenarnya nafkah anak yang dilalaikan dapat dimintakan eksekusi oleh ibu atau anak. Jenis

eksekusi nafkah anak adalah eksekusi dengan membayar sejumlah uang yang dimulai dari

permohonan, aanmaning, sita eksekusi, dan diakhiri dengan lelang. Bahkan Seorang PNS

pria yang bercerai sudah tidak berhak penuh atas gajinya, di situ ada hak isteri dan anak, hak

PNS hanya 1/3 dari gajinya jika ia punya anak dan ikut isteri atau ½ jika tidak memiliki

anak.14

Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau tidak

diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang

memenuhi syarat dapat ditunjuk menjadi wali melalui penetapan pengadilan. Agama wali

harus sama dengan agama anak, wali wajib mengelola harta milik anak dan mewakilinya

melakukan perbuatan hukum di dalam atau pun di luar pengadilan. Selama belum ada

penetapan pengadilan mengenai wali, harta kekayaan anak dapat diurus Balai Harta

Peninggalan atau lembaga lain yang berwenang yang bertindak sebagai wali pengawas

mewakili anak. Jika wali di kemudian hari tidak cakap bertindak hukum atau

menyalahgunakan kekuasaannya status walinya dicabut, ditunjuk orang lain oleh Pengadilan

begitu juga jika wali meninggal.

Apabila seorang anak yang belum berusia 18 tahun tidak berada di bawah kekuasaan

orang tuanya, ia berada di bawah perwalian yang akan mengurusi masalah mengenai pribadi

dan harta bendanya. Penunjukan wali dapat dilakukan oleh orang tua yang menjalankan

kekuasaan anak sebelum ia meninggal melalui surat wasiat ataupun secara lisan dengan

disaksikan 2 orang saksi. Wali diutamakan berasal dari keluarga anak dan dapat juga ditunjuk

13

Pasal 45, 46 dan 47 UU. Perlindungan Anak 14

Deasy Caroline Moch. Dja’is, SH, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di Pengadilan Agama, (Artikel

Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam No. 42 Tahun X 1999), 39.

Page 9: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

orang lain dengan syarat sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

Selama menjalankan perwalian seorang wali wajib mengurus anak dan harta bendanya

dengan sebaiknya dan menghormati agamanya, Ia wajib membuat daftar dan perubahan-

perubahan harta benda anak bahkan wali bertanggung jawab terhadap kerugian akibat

kesalahan atau kelalaiannya selama menjalankan perwalian. Wali juga tidak diperbolehkan

memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap si anak kecuali kepentingan anak

menghendaki tindakan itu. Kekuasaan wali dapat dicabut atas permintaan keluarga anak

dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung yang telah dewasa jika terbukti sangat

melalaikan kewajibannya atau berkelakuan sangat buruk untuk kemudian ditunjuk wali yang

lain.

Definisi Anak

Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu

anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan spiritualnya secara

maksimal.15

1. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak

Dalam UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ditegaskan bahwa

anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.16

Ketentuan dalam undang-undang di atas menerangkan

bahwa anak yang masih dalam kandungan pun di kategorikan anak sampai dengan berusia

18 tahun.

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara eksplisit. Pengertian anak

selalu dihubungkan dengan kedewasaan sedangkan kedewasaan tidak ada keseragaman

dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (BW) anak belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21

tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

3. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai kapan seorang

digolongkan sebagai anak, secara tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan bahwa

syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin

15

Darwan Prints dalam Iman Jauhari (1), Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Bangsa

Press, 2003), 80 16

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang RI Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , 119.

Page 10: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

orangtuanya, Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia

anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.17

Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang

belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan

orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya.

4. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam batas usia

dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang

anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melakukan

perkawinan.

5. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap

dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Soepomo tentang hukum perdata Jawa

Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan sesorang diukur dari segi: 1) Dapat bekerja

sendiri (mandiri); 2) Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan

bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.

Dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri

tertentu yang nyata.18

Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut

diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia

dibawah 21 tahun.

Pengertian anak diatas, meskipun dikutip dari beberapa sumber akan tetapi yang

menjadi acuan utama disini adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang spesifik

menjelaskan tentang perlindungan anak. Jadi dengan demikian dari semua pengertian anak

diatas hanya sebagai komparasi dari undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang ada, baik

dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang pekawinan, Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam , Undang-undang hukum perdata ataupun hukum adat.

Ketentuan Hak-hak Anak Perspektif Undang-undang

17

Undang-undang Perkawinan di Indonesia pasal 41 (Surabaya: Arkola, 2007), 9. 18

Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 19.

Page 11: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

Pasal 34 Undang-undang dasar 1945 menyatakan bahwa negara memberikan

perlindungan kepada fakir miskin dan anak terlantar. Di Indonesia perhatian dalam bidang

perlindungan anak menjadi salah satu tujuan pembangunan.

Pengertian kesejahteraan anak dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 adalah

anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rohani,

jasmani maupun sosial. Sementara dalam hal perlindungan anak adalah disebutkan segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dikriminasi.19

Pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

merumuskan hak-hak anak sebagai berikut:

a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan

kasih sayang baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh

dan berkembang dengan wajar.

b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan

sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi warga negara yang

baik dan berguna.

c. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.20

Sementara dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak yang mengatur hak-hak anak adalah pasal 4 sampai dengan pasal 18 menyebutkan:

1) Pasal 4 mengatur tentang hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar.

2) Pasal 5 mengatur tentang hak memperoleh nama sebagai suatu identitas diri.

3) Pasal 6 hak untuk beribadah

4) Pasal 7 ayat (1) dan pasal 14 mengatur tentang hak memperoleh asuhan.

5) Pasal 8 mengatur tentang hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan

sosial.

6) Pasal 9 ayat (1) mengatur tentang hak memperoleh pendidikan.

7) Pasal 10 hak untuk berpendapat.

8) Pasal 11 mengatur tentang hak untuk berekreasi dan berkreasi.

19

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang RI Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ( Surabaya: Media Centre, 2006), 119. 20

Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 17.

Page 12: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

9) Pasal 12 dan pasal 9 ayat (2) mengatur tentang hak memperoleh pelayanan khusus.

10) Pasal 13, 15, 16, pasal 17 ayat (1) dan (2) serta pasal 18 mengatur tentang hak

memperoleh perlindungan kekerasan, penganiayaan dan hukum.

Hak-hak anak yang disebutkan di atas pada hakikatnya adalah merupakan hak yang

sejatinya diberikan oleh orang tua pasca perceraiaanya dan segala aspek tersebut merupakan

bagian dari kegiatan pembangunan khusus di dalam memajukan kehidupan berbangsa dan

bernegara. Hak-hak tersebut diperjelas dalam BAB III Undang-undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut:

a) Pasal 4 menyatakan: setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.21

Hak yang dimaksudkan dalam pasal 4 ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 28 B

ayat (2) Undang- undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam

konvensi hak- hak anak.22

b) Pasal 5 menyatakan: setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan. Dalam pasal ini cukup jelas bahwa setiap anak berhak untuk

mendapatkan nama yang baik sebagai identitas diri.

c) Pasal 6 menyatakan: setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir,

dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang

tua.23

Ketentuan pasal 6 di atas dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada anak dalam

rangka mengembangkan kreatifitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan

tingkat usia anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan tersebut

masih tetap harus berada dalam bimbingan orang tuanya.24

d) Pasal 7 ayat (1) dan pasal 14 menyatakan: Setiap anak berhak untuk mengetahui orang

tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.25

Ketentuan pasal 7 ayat (1) mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang

tuanya,dalam arti asal- usulnya(termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari

terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya,

21

Undang –undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, 122. 22

Undang- undang RI Nomor 13 tahun 2006 tentang Peradilan Saksi dan Korban (Jakarta : CV Medya

Duta Jakarta 2006), 85. 23

Undang –undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak, hlm 122. 24

Undang –undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hlm 85. 25

Undang –undnag RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, hlm122.

Page 13: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

sedangkan untuk dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat

patuh dan menghormati orang tuannya.26

Sementara dalam pasal 14 menyebutkan: setiap anak berhak diasuh oleh orang tuanya

sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa

pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan

terakhir. Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan

anak dengan orang tuanya.

e) Pasal 8 menyatakan: setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan

sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Dalam pasal ini cukup jelas bahwa anak berhak untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisiknya.

f) Pasal 9 ayat (1) menyatakan: setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan

pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai

dengan minat dan bakatny.

Pasal ini cukup jelas mengatur tentang hak seorang anak untuk mendapatkan

pendidikan dan pengajaran dengan tujuan mengembangkan pribadi dan kecerdasannya.

g) Pasal 10 menyatakan: setiap anak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi

pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan.

Pasal ini cukup jelas mengatur hak anak untuk dapat didengar pendapat, menerima,

mencari informasi sesuai dengan kecerdasannya serta usianya.

h) Pasal 11 menyatakan: setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu

luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain dan berekreasi, dan berkreasi sesuai

dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal ini cukup jelas bahwa anak berhak untuk dapat meluangkan waktu untuk

istirahat, bergaul, dan bermain serta berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya.

i) Pasal 12 menyatakan: setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh

rehabilitasi, bantuan sosial, pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.27

Ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa ini dimaksudkan semata-mata untuk

menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya

26

Undang –undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hlm 85. 27

Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.123.

Page 14: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara.28

Dalam konteks Indonesia, meskipun undang-undang No.39 tahun 1999 tentang hak

asasi manusia telah mencantumkan hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab

orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan

pada anak masih diperlukan undang-undang mengenai perlindungan anak sebagi landasan

yuridis bagi pelaksanaan dan tanggung jawab tersebut.

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan

memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.

Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak. Secara tegas undang-

undang ini menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-

menerus demi terlindunginya hak-hak anak.29

Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin

pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.30

Selanjutnya mengenai tanggung jawab orang tua terhadap anaknya disebutkan dalam Bab

III Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 mengatur tentang tanggung jawab orang tua

terhadap kesejahteraan anak. Di mana dikatakan pertama-tama yang bertanggung jawab

atas kesejahteraan anak, adalah: orang tua (pasal 9). Orang tua terbukti melalaikan

tanggung jawabnya, yang mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan

perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anak (pasal

10 ayat 1) apabila hal terjadi, maka ditunjuk orang atau badan sebagai wali.31

Ketentuan Hak Anak Perspektif Hukum Islam

1. Hak Anak Menurut Fikih

Pemeliharaan anak dalam konteks fikih dikenal dengan istilah “Hadhanah”. Dalam

istilah bahasa hadhanah berarti “meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk atau

dipangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga

“hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak

28

Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.86. 29

Ibid, 83. 30

Ibid, 84. 31

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), 82.

Page 15: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat

anak itu.32

Hadhanah yang dimaksudkan lebih identik kepada pemeliharaan anak yang masih

belum mumayyiz, dengan memelihara dari jasmani dan rohni. Bahkan hingga anak

mampu untuk mandiri dan bertanggung jawab. Dalam hal ini para ulama fikih

mendifisikan : hadhanah yaitu meletakkan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik

laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan

sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan

merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri menghadapi

hidup dan memikul tanggung jawab .33

Tidak hanya persoalan pemeliharaan akan tetapi juga dalam hal pengasuhan yang

dilakukan orang tua dengan segala potensi yang dimilikinya. Anak akan merasa nyaman

jika senantiasa dalam asuhan orang tuanya dengan penuh kasih sayang dan segala potensi

orang tua diberikan sepenuhnya untuk anak.

Dalam konteks fikih dijelaskan bahwa pendidikan terbaik bagi seorang anak adalah

apabila ia berada di bawah asuhan kedua orang tuanya: ayah dan ibunya yang

membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang dan memberinya pendidikan yang

baik, sehingga tumbuh subur dan sehat jasmaninya, demikian pula kecerdasan akalnya,

keluhuran akhlaknya, dan kehalusan perasaannya. Akan tetapi seandainya kedua orang tua

terpaksa berpisah (bercerai), maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum

dapat membedakan antara baik dan yang buruk, kira-kira di bawah 12 tahun) menjadi hak

ibunya. Dan jika si anak sudah di anggap mumayyiz, ia dipersilahkan memilih antara ikut

dengan ibu ataupun ayahnya .34

Sejumlah ayat al-Qur’an secara garis besar mengemukakan hak-hak anak sebagai

berikut:

1) Hak Anak untuk Hidup

Islam menghapus tradisi Arab Jahiliyah dalam hal pembunuhan terhadap anak karena

kekhawatiran tidak mampu menanggung biaya hidup sebagaimana QS. Al-Isra’: 31

32

Abd.Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 175. 33

Ibid, 176. 34

Muhammad Bagir, Fiqih Praktisi II Menurut al-Qur’an, as-Sunnah dan pendapat para ulama

(Bandung: Karisma, 2008),237.

Page 16: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. Kamilah

yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya

membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.35

Dalam ayat yang lain juga memberi gambaran tentang sikap Islam terhadap bangsa

Arab Jahiliyah dengan tradisinya membunuh anak perempuan mereka. Hal ini dijelaskan

dam Firman Allah QS.al-An’am: 140

“Sesungguhnya rugilah orang-orang yang membunuh anak-anak mereka, karena

kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah

rizkikan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah.

Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk”.36

Kedua landasan teologis di atas menunjukkan bahwa Islam memberikan penghargaan dan

perlindungan yang sangat tinggi kepada hak hidup anak baik ketika masih dalam

kandungan maupun ketika dilahirkan.

2) Hak Anak dalam Kejelasan Nasabnya

Salah satu hak dasar diberikan Allah sejak anak dilahirkan adalah hak untuk

mengetahui asal usul yang menyangkut keturunannya. Kejelasan nasab sangat urgen

dalam menentukan statusnya untuk mendapatkan hak-hak dari orang tuannya, dan secara

psikologis anak juga mendapatkan ketenangan dan kedamaian sebagaimana layaknya

manusia. Kejelasan nasab berfungsi sebagai dasar bagaimana orang lain memperlakukan

terhadap anak dan bagaimana anak seharusnya mendapatkan hak-hak dari lingkungan

keluarganya.37

Mengenai kejelasan nasab ini Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 5.

35Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung : Diponegoro, 2006), 227

36Ibid, 116

37Mufidah Ch. Psikologi Keluarga Islam, 305 – 306.

Page 17: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak

mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-

bapak mereka, Maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu dan maula -

maulamu”.38

Kata “bapak” dalam hal ini merupakan kebiasaan masyarakat penganut budaya

patriarkhi, di mana anak selalu dinasabkan kepada bapaknya. Kata “bapak” dimaksud

untuk memberikan perlakuan sosial yang sama sekalipun status dia sebagai anak angkat.

3) Hak Anak dalam Pemberian Nama yang Baik

Salah satu hak anak yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah

member nama. Inilah yang diajarkan oleh agama Islam kepada anak hukumnya adalah

wajib. Memberi nama kepada seorang anak sesungguhnya merupakan wujud dari

keberadaan, kebudayaan, dan peradaban manusia itu sendiri. Hadis Nabi telah

memberikan penjelasan untuk memberikan perhatian dalam memberikan nama anak dan

memilih nama yang baik.

39انكم تدعون يوم القيامة بأسمائكم فأحسنوا أسما ءكم

“Sesungguhnya engkau akan dipanggil nanti di hari kiamat dengan nama-namamu

sekalian dengan nama-nama bapak-bapakmu, maka baguskanlah nama-namamu”.

Nama adalah simbol yang sangat berharga bagi seseorang. Ia merupakan simbol

immaterial yang diberikan orang tua kepada anaknya agar selalu dikenang orang

lain.40

Nama tidak hanya sebagai simbol semata akan tetapi lebih kepa identitas yang harus

dimiliki dan nama tersebut adalah merupakan do’a.

4) Hak Anak dalam memperoleh Air Susu Ibu (ASI)

Hak mendapatkan ASI bagi bayi selama dua tahun sebagaimana yang tertulis dal al-

Qur’an, merupakan hak dasar anak dan juga hak dan sekaligus kewajiban ibu kandungnya,

tetapi peran menyusui anak sesungguhnya bukan menjadi kewajiban formal dan formatif,

sebab suami yang bertanggung jawab penyedia ASI. Ibu menyusui merupakan tanggung

jawab moral yang bersifat sunah karena kebaikan ASI untuk jelas manfaatnya terutama

ibu kandungnya sendiri . ditegaskan dalam QS. al-Baqarah : 233.

38

Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 334. 39

Abu Dawud Sulaiman bin Al Asy’at al Sijistaiy, Sunan Abu Dawud Juz II (Beirut: Dar al fikr, 2003),

472 40

Ali Ghufran, Lahirlah Dengan Cinta Fikih Hamil dan Menyusui (Jakarta: Amzah, 2007), 117.

Page 18: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

“Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi

yang ingin menyempurnakan penyusuan”.41

Ayat di atas secara jelas menitik beratkan kepada seorang ibu untuk menyusukan

anaknya dua tahun untuk membentuk kepribadian anak tahap awal. Dengan menyusui,

anak (bayi) dapat terpenuhi kebutuhan fisiknya dan juga terpenuhi kebutuhan emosinya

yang berupa kasih sayang, kelembutan, kehangatan dekapan ibu, dan perhatian. Ibu lebih

berhak untuk menyusui anak yang dilahirkannya karena kasih sayang, kecintan,

kelembutan, dan hubungan baik denganya.42

Memang tidak semua ibu bisa menyempurnakan penyusuan ini, yang disebabkan

banyak faktor seperti makanan, lingkungan, dan sebagainya. Namun demikian yang

terpenting adalah bagaimana orang tua memberikan perhatian dan pendekatan yang cukup

kepada anaknya sehingga anak dapat berkembang dengan baik.

Persoalan pemberian ASI al-Qur’an secara tegas menetapkan tentang radha’ah

(penyusuan). Peraturan ini ditujukan untuk melindungi kepentingan anak-anak baik dalam

keluarga yang utuh maupun ketika kedua orang tuanya bercerai. Jika ikatan perkawinan di

antara kedua orang tuanya masih berlangsung, maka mereka berdua bertanggung jawab

memelihara anaknya tanpa mengabaikannya, karena anak belum mampu mengurus

sendiri. Seandainya perkawinan mereka bubar karena cerai, maka mereka dapat

merumuskan dengan wajar dan adil untuk merawat anaknya. Radha’ah merupakan

kewajiban kedua orang tua dan kalau mereka menelantarkannya niscaya mereka akan

ditanyakan dan dituntut Allah pada Hari Peradilan kelak.

Masa menyusui ini paling lama dua tahun seperti yang termaktub ketentuannya dalam

al-Qur’an. Bila si anak merasa khawatir bahwa pihak ibunya akan mengabaikannya. Maka

si ayah harus mencarikan ibu asuhnya. Pada masa kini, hal ini termasuk menyediakan susu

formula bagi anak.43

Menyusui anak, merupakan anjuran Islam seperti yang telah dikemukakan di atas

bahwa al-Qur’an menyuruh ibu menyempurnakan penyusuannya. Dengan menyusui, anak

(bayi) dapat terpenuhi kebutuhan fisiknya dan juga dapat terpenuhi kebutuhan emosinya

41

Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 27. 42

Ali yusuf As-Subki, penerjemah Nur Khozin, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam

(Jakarta: Amzah, 2010), 279. 43

Abdul Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 138

Page 19: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

yang berupa kasih sayang, kelembutan, kehangatan, dekapan ibu, dan perhatian. Memang

tidak semua ibu bisa menyempurnakan penyusuan ini, yang disebabkan banyak faktor

seperti makanan, lingkungan, dan sebagainya. Namun demikian yang terpenting adalah

bagaimana orang tua memberikan perhatian dan kedekatan yang cukup kepada anaknya

sehingga anak dapat berkembang dengan baik.

5) Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan

Setiap anak dilahirkan memerlukan perawatan, pemeliharaan, dan pengasuhan untuk

mengantarkannya menuju kedewasaan. Pembentukan jiwa anak sangat dipengaruhi oleh

cara perawatan dan pengasuhan anak sejak dia dilahirkan. Tumbuh kembang anak

diperlukan perhatian yang serius, terutama masa-masa sensitif anak, misalnya balita (bayi

di bawah lima tahun) . Kaitannya dengan pemeliharaan anak dalam hal ini Allah berfirman

dalam QS. al-Tahrim: 6

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka

yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”.44

Dalam menafsirkan ayat ini, Ali bin Abi Thalib berkata: “Yang dimaksud dengan

menjaga keluarga dari api neraka adalah mengajari dan mendidik mereka”. Dengan

demikian, mengajar, membina, dan mendidik anak adalah surga; sedang mengabaikan

kegiatan-kegiatan itu berarti neraka. Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi seseorang

mengabaikan tugas mulia ini.45

Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah

orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan perawatan orang tua.

Oleh karena orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui

orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta

pola pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya.

Mengasuh anak bukan hanya merawat atau mengawasi anak saja, melainkan lebih dari

itu, yakni meliputi: pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab,

pengetahuan pergaulan dan sebagainya, yang bersumber pada pengetahuan kebudayaan

yang dimiliki orang tuanya.

44

Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 446. 45

Ali Ghufran, Lahirlah Dengan Cinta, 70.

Page 20: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

Mengenai ketentuan batas waktu pengasuhan, para Imam Mazhab berpendapat

diantaranya adalah Imam Hanafi mengatakan: Masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-

laki dan Sembilan tahun untuk wanita. Sedang Imam Syafi’I berpendapat: Tidak ada

batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa

menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Apabila anak sudah sampai

pada tingkat ini, anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu ataukah ayahnya.

Apabila seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka anak boleh

tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya di siang hari, agar ayah bisa

mendidiknya. Sedangkan apabila anak itu anak perempuan dan memilih tinggal bersama

ibunya, maka dia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam. Tetapi anak memilih

tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian, apabila anak diam (tidak

memberikan pilihan) dan ikut bersama ibunya.46

Menurut pendapat Imam Syafi’i ini tidak ada batas waktu yang jelas mengenai

pengasuhan akan tetapi ada catatan bahwa sebelum anak bisa menentukan pilihan apakah

tinggal bersama ibu atau ayahnya. Maka tetap anak tersebut tinggal bersama ibunya

selama anak bisa menentukan pilihannya. Sementara pendapat Imam Hanafi ada batasan

waktu dan ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki masa asuhannya

tujuh tahun, sedangkan untuk anak perempuan Sembilan tahun. Dan di sini tidak

dijelaskan kepada siapa anak memilih untuk mengasuh dan kapan waktunya, yang jelas

ada batas waktu ditentukan pengasuhannya.

Berbeda halnya dengan pendapat Imam Maliki bahwa masa asuh anak laki-laki adalah

sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga menikah. Ketentuan ini

batas waktu untuk laki-laki lebih rendah yaitu sejak baligh dan perempuan hingga

menikah, ini artinya jauh perbedaan masa asuh laki-laki dan perempuan. Pendapat lain

adalah Imam Hambali dan Imamiyah. Masing-masing berpendapat, Imam Hambali: masa

asuh anak laki-laki sama dengan perempuan yaitu tujuh tahun, dan setelah itu ada

kebebasan untuk memilih antara ibu atau ayahnya. Sementara pendapat yang terakhir

adalah pendapat Imamiyah: masa asuh anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan

tujuh tahun. Pendapat-pendapat di atas menunjukkan adanya perbedaan tentang batas

waktu pengasuhan anak, tentu pendapat-pendapat para Imam Mazhab di atas masing-

masing memiliki argument yang kuat untuk kemaslahatan pengasuhan anak.47

6) Hak Anak dalam Kepemilikan Harta Benda

46

Muhammad Jawaz Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta : Lentera, 2008), 417 47

Ibid, 418

Page 21: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

Hukum Islam menetapkan anak yang baru dilahirkan telah menerima hak waris. Hak

waris maupun harta benda lainnya, tentu belum dapat dikelola oleh anak karena

keterbatasan kemampuan untuk melakukan. Sementara itu untuk menjaga kemaslahatan

dan melindungi hak property anak ini, Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah: 220

“Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim,

katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu

bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan perbaikan dan Jikalau

Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi maha Bijaksana”.48

Dalam ayat yang lain Allah mengancam kepada orang-orang yang melakukan

perbuatan aniaya terhadap hak anak yatim sebagaimana dalam QS. al-Nisa’ : 10

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,

sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke

dalam api yang menyala-nyala (neraka).”49

7) Hak Anak Dalam Memperoleh Pendidikan dan Pengajaran

Semua anak yang terlahir di dunia mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan

dan pengajaran. Hak pendidikan ini bagi anak bersifat komprehensif, baik dalam

mengembangkan nalar berfikirnya (pengembangan intelektual), menanamkan sikap dan

perilaku yang mulia, memiliki keterampilan untuk kehidupannya, dan menjadikan sebagai

manusia yang memiliki kepribadian yang baik.50

Dikatakan dalam Q.S al-Anfa>l ayat 28 bahwa anak-anak merupakan ujian Allah bagi

manusia.

48

Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 27. 49

Ibid, 62 50

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam, 311.

Page 22: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

“Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan

Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.51

Jika manusia merasa senang dengan anaknya, berarti ia telah sukses menempuh ujian ini.

Jika ia berusaha untuk mendidiknya dan mengajarkannya agama, menyiapkan sarana bagi

perkawinannya sesuai dengan kemampuannya, menghargainya, menghormatinya, dan

menghargai hak-hak anaknya, maka ia akan memperoleh pahala besar. Hal ini ditegaskan

dalam QS. al-Kahfi: 46

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang

kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk

menjadi harapan”.52

Fase anak-anak merupakan yang paling cocok, paling panjang dan paling penting

bagi orang tua untuk menanamkan prinsip-prinsip lurus dan pengarahan yang benar ke

dalam jiwa dan perilaku anak. Kesempatan untuk itu terbuka lebar. Jika orang tua dapat

memanfaatkan fase ini dengan baik, maka peluang keberhasilan membina fase-fase

berikutnya akan lebih besar. Dengan demikian, anak akan menjadi seorang mukmin yang

tangguh, kuat dan energik.53

Cara memelihara anak adalah dengan mendidik, membina dan mengajarinya akhlak

terpuji dan menjauhkannya dari teman-teman yang berperangai buruk. Mendidik dan

mengajar anak merupakan hak asasi dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang

komit kepada agama. Mendidik dan mengajar anak merupakan perintah dari Allah Yang

Mahatinggi.54

Menurut ketentuan hukum perkawinan meskipun telah terjadi perceraian antara suami

istri, mereka masih berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang

51

Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 143 52

Ibid, 303. 53

Ali Ghufran, Lahirlah Dengan Cinta, 68. 54

Ibid, 69-70.

Page 23: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

semata-mata ditujukan bagi kepentingan anak. Dalam pemeliharaan tersebut walaupun

pada praktiknya dijalankan oleh salah seorang dari mereka, tidak berarti bahwa pihak

lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap pemeliharaan tersebut.55

Pemeliharaan anak mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk

mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari

seorang anak oleh orang tua.56

Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa

pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai

anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu

berdiri sendiri. Disamping itu juga, pendidikan dalam hal ini dimaksudkan adalah

kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan

anak menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali

dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut.57

Proses pemeliharaan anak dan pendidikannya akan dapat berjalan dengan baik, jika

kedua orang tua saling membantu. Tentu saja ini dapat dilakukan dengan baik jika

keluarga tersebut benar-benar keluarga yang sakinah dan mawaddah. Permasalahannya

sekarang adalah bagaimana pemeliharaan anak jika terjadi perceraian. Bila terjadi

pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban

memelihara dan mendidik ana-anaknya semata-mata demi kepentingan si anak.58

Sebagaimana yang sudah dikemukakan di dalam hukum Islam yang dibebani tugas

kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedangkan ibu bersifat

membantu. Ibu hanya berkewajiban menyusui anak dan merawatnya. Sesungguhnya

dalam hukum Islam sifat hubungan hukum antara orang tua dan anak dapat dilihat dari

segi materialnya, yaitu memberi nafkah, menyusukan (irdha’) dan mengasuh (hadlanah),

dan dari segi immaterial yaitu curahan cinta kasih, penjagaan dan perlindungan serta

pendidikan rohani dan lain-lain.59

Kewajiban orang tua (khususnya ibu) setelah melahirkan dan menyusui seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya adalah membesarkan anak, yaitu dengan mendidiknya sesuai

dengan dengan syari’at Islam. Untuk membesarlan anak, Allah memberi kita rizki agar

55

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 296. 56

Ibid, 293 57

Ibid, 294 58

Ibid, 195 59

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (menurut: perundangan hukum adat hukum Islam)

(Bandung: Mandar Maju, 2003), 144.

Page 24: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

dapat menyekolahkannya serta mendidiknya dengan baik. Didalam surah al-Isra: 70 Allah

berfirman:

“Dan sesungghnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di

daratan dan dilautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan

mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami

ciptakan”.60

Masa kanak-kanak merupakan tahap pembuatan pondasi atau tahap pembentukan

kepribadian dari seorang manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan

serta mampu berdiri tegar dalam meniti kehidupan. Pendidikan yang baik, akan

menghasilkan generasi penerus yang baik pula. Dan sebaliknya, pendidikan yang keliru,

akan menghasilkan generasi penerus yang tidak dapat diharapkan, sehingga pada

gilirannya hanya akan menciptakan sebuah masyarakat yang sakit.

2. Hak anak menurut Kompilasi Hukum Islam

Pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak dan harta

jika terjadi perceraian terdapat dalam pasal 105 dan 106 yaitu:

Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian:

1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak

ibunya;

2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih

diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;

3) Biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.61

Pasal 106

1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum

dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau

menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan

60

Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya, 231. 61

Kompilasi Hukum Islam, 52.

Page 25: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

keslamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan

lagi.

2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan

kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).62

Dari ketentuan pasal di atas semua menitik beratkan kepada kewajiban orang tua

terutama ketika anak belum berumur 12 tahun, sementara dalam hal pemeliharaan anak

yang sudah mumayyis sepenuhnya diserahkan kepada anak atau hak anak untuk memilih

di antara keduanya ayah atau ibunya untuk memegang hak pemeliharaan. Pada ketentuan

lainnya biaya pemliharaan anak sepenuhnya merupakan tanggung jawab ayah.

Mengenai hak anak dalam mendapatkan kepemilikan harta dari orang tua ditegaskan

pada pasal 106 ayat (1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta

anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan

memindahkan atau mengendalikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika

kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak

dapat dihindarkan. Dan ayat (2) menegaskan: Orang tua bertangggung jawab atas kerugian

yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian.63

Pada ayat (2) ini memberikan

ketegasan bahwa jika terjadi kerugian atas harta anak tersebut yang disebabkan karena

faktor kelalaian dan kesalahan, maka semuanya menjadi tanggung jawab orang tua, baik

ayah atau ibunya.

Mengenai ketentuan hak anak dalam mendapatkan biaya penyusunan, dijelaskan

dalam pasal 104 ayat (1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada

ayahnya. Dan ketegasan batas waktu menyusukan anak, dijelaskan pada ayat (2)

Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam

masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya. Dua ketentuan di atas

mengenai biaya penyusuan dan batas waktu penyusuan dengan jelas memberikan

ketegasan bahwa biaya penyusuan sepenuhnya dibebankan kepada ayah, pengecualian

ayat (1) tersebut, apabila ayahnya telah meninggal maka beban tersebut baru diserahkan

kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya. Sementara dalam ayat

(2) Menegaskan tentang tentang batas waktu penyusuan dengan ketentuan 2 tahun penuh

tanpa mengurangi, hal tersebut dilakukan untuk memaksimalkan anak memperoleh ASI

sebagai asupan pertama. Ayat tersebut tidak ada pengecualian harus mengubah batas

waktu memberikan penyusuan.

62

Ibid, 53. 63

Ibid, 264.

Page 26: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

Hak-hak Anak Perspektif HAM (Hak Asasi Manusia)

Sejarah konvensi hak-hak anak dalam konteks Internasional sebelumnya telah diawali

sejarah perjalanan panjang. Dalam sebuah rumusan draft hak-hak anak yang dilakukan

Mrs.Eglantynee Jebb, pendiri Save The Children Fund.64

Setelah melaksanakan programnya

merawat para pengungsi anak-anak di Balkan setelah Perang Dunia Kedua pertama, Jebb

membuat draft “Piagam Anak” ia menulis: “Saya percaya bahwa kita harus menuntut hak-hak

tertentu bagi anak-anak dan memperjuangkannya untuk mendapat pengakuan universal” .

Dari tujuh butir draft yang disusun oleh Jebb, empat diantaranya adalah

1. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga.

2. Bagi anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal,

baik materi, moral dan spiritual.

3. Anak yang lapar harus diberi makanan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat

mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus

diurus/diberi perumahan.

4. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan

dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat

dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus dilindungi dari segala bentuk

eksploitasi.65

Itulah empat draft dari tujuh butir gagasan yang dikeluarkan oleh Jebb yang kemudian

dijadikan sebagai awal mula peletakan batu pertama konvensi hak-hak anak. Awal sejarah

perkembangan hak-hak anak dari tahun 1923 yang pada waktu itu disetujuinya hak-hak anak

oleh Save The Children International Union. Selanjutnya diakhiri pada tahun 1989 yang

ketika itu terbentuknya konsep konvensi telah disiapkan dengan lengkap serta disetujuinya

konvensi oleh Majelis Umum PBB.

Pada tanggal 20 November 1989, Majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah

menyetujui Konvensi Hak-Hak Anak. Konsiderans Konvensi itu memuat pokok-pokok

pikiran, pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat

dicabut yang dimiliki seluruh anggota keluarga manusia. Ini menjadi landasan dari

kemerdekaan, keadilan dan perdamaian diseluruh dunia.66

64

Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi

Hak Anak (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999) 29. 65

Muhammad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi

Hak Anak (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), 29. 66

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), 103.

Page 27: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

Konvensi hak anak terdiri dari 54 pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur

mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara peserta yang

meratifikasi Konvensi Hak Anak.67

Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi

Hak Anak tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 kategori hak-hak anak, yaitu:

a) Hak terhadap kelangsungan hidup ( survival rights), yaitu hak-hak dalam konvensi hak

anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup ( the rights

of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang

sebaik baiknya (the rights to the higest standart of health and medical care attainable).

b) Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi

Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan

keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

c) Hak untuk tumbuh kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi

Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak

untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual,

moral dan sosial anak.

Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak

Anak yang meliputi hak anak untuk manyatakan pendapat dalam segala hal yang

mempengaruhi anak (the rights of a child express her/his views in all affecting that

child).68

Pelaksanaan Perlindungan Hak Anak Pasca Perceraian

Pelaksanaan perlindungan hak anak pasca perceraian masih jauh dari ketentuan

undang-undang, dimana masih banyak dijumpai beberapa kasus penelantaran hak anak.

Padahal hakikatnya pelaksanaan pemenuhan hak anak adalah untuk memberikan jaminan

agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi, demi terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Hal

ini sesuai dengan asas dan tujuan dari undang-undang N0.23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

Dalam undang-undang perlindungan anak telah mencakup beberapa hak-hak anak

diantaranya adalah pasal 4 yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup,

tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

67

Ibid, 34. 68

Ibid, 35.

Page 28: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan.69

Hak-hak anak dimaksudkan

dalam pasal 4 ini menegaskan bahwa anak berhak hidup berkembang hingga mendapatkan

perlindungan hukum dari kekerasan dan diskriminasi.

Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan kewajiban sebagai orang tua terutama

pelaku perceraian sangat minim terbukti dengan pengetahuan hanya sebatas hak anak tentang

biaya hidup saja. Pengamatan yang dilakukan informan terkait dengan kendala yang

menyebabkan tidak dilaksanakan tanggung jawab memenuhi hak anak adalah karena

keterbatasan ekonomi atau biaya hidup.

Persoalan pengasuhan apabila anak tinggal bersama dengan ibunya maka ibu yang

dominan membiayai segala kebutuhan anak, sebaliknya jika anak tinggal bersama dengan

ayahnya maka ayah lebih dominan membiayai segala kebutuhanya. Terkadang yang sering

terjadi pihak ayah atau ibu menangguhkan segala biaya kebutuhan anak, di Kabupaten Blitar

rata-rata apabila terjadi perceraian pihak anak mayoritas ikut ibunya walaupun usia anak

sudah dewasa. Jika kedua belah pihak antara ayah ataau ibu kurang mengurus atau bahkan

meninggalkan anaknya maka anak sering dititipkan kepada keluarga ayah atau ibu.

Dalam undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 26 ayat

(2) tentang kewajiban dan tanggung jawab orang tua menyatakan bahwa dalam hal orang tua

tidak ada atau tidak diketahui keberadaanya, atau karena suatu sebab, tidak dapat

melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga.70

Namun walaupun ada

ketentuan pengecualian demikian akan tetapi bukan berarti tidak ada upaya sama sekali untuk

melaksanakan seluruh kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepada keduanya.

Pada dasarnya tidak ada ruang atau dalih apapun untuk mengelak dari kewajiban dan

tanggung jawab orang tua sesuai dengan ketentuan pasal 26 ayat (1) bahwasanya orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan

melindungi anak; b) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan

minatnya; dan c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.71

Ketentuan di atas sama dengan ketentuan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun

1974 menyebutkan pasal 41: baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.72

Sementara dalam poin b “Ayah

69

Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), 68. 70

Ibid, 72. 71

Ibid 72

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 67.

Page 29: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan

anak itu, bilamana ayah dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,

pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”. Itulah ketentuan yang

ada dalam undang-undang perkawinan mengenai kewajiban pengecualian orang tua, hanya

ada satu pengecualian yaitu jika ayah tidak mampu dalam memenuhi kewajibanya maka ibu

juga ikut memikul biaya atau beban pemeliharan. Undang-undang perkawinan diatas garis

hukum yang terkandung dalam pasal 41 tersebut tampak tidak membebankan antara tanggung

jawab pemeliharaan yang mengandung nilai materiil dengan tanggung jawab pengasuhan

anak yang mengandung nilai non materiil atau yang mengandung nilai kasih sayang. Undang-

undang perkawinanan penekanannya berfokus pada nilai materiilnya, sedangkan Pasal 105

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penekanannya meliputi kedua aspek tersebut, yakni

sebagai berikut:

Pasal 105 KHI dalam hal perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak

ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih

diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Ketentuan KHI tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab seorang ayah kepada

anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai dengan istrinya atau ia sudah kawin

lagi. Dapat juga dipahami bahwa ketika anak itu masih kecil (belum baligh) maka

pemeliharaanya merupakan hak ibu, namun biaya ditanggung ayahnya.73

Meski usia anak

belum baligh dan pemeliharaanya berada dalam otoritas ibu, akan tetapi segala yang

menyangkut biaya sepenuhnya ditanggung ayahnya.

Selain itu, anak yang belum mumayyiz maka ibu mendapat prioritas utama untuk

mengasuh anaknya. Apabila anak sudah mumayyiz maka sang anak berhak memilih diantara

ayah atau ibunya yang ia ikuti. Tergantung dari anak dalam menentukan pilihanya.

Tidak demikian halnya yang terjadi di Kabupaten Blitar selama ini mengenai

tanggung jawab pemeliharaan anak. Ketentuan mengenai batas usia jika anak belum baligh

maka haknya ibu untuk memelihara, dan biaya sepenuhnya ditanggung ayah meskipun anak

tinggal bersama dengan ibunya. Keadaan yang terjadi selama ini adalah tidak ada ketentuan

73

Ibid, 67-68.

Page 30: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

apapun kapan anak berada dengan ibunya atau ayahnya. Jika anak tinggal bersama dengan

ibunya maka ibu yang sepenuhnya membiayai.

Salah satu hak anak yang biasa diberikan pasca perceraian adalah menyangkut

masalah pendidikan. Hak tersebut harus diberikan oleh orang tua untuk dapat

mengembangkan kepribadian dan kecerdasanya. Hal ini sesuai dengan undang-undang

Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, setiap anak berhak memperoleh pendidikan

dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasanya sesuai

dengan minat dan bakatnya.74

Ini artinya bahwa anak harus mendapat pendidikan dengan

tujuan yang sangat mulia untuk menjadi insan yang berkepribadian luhur dan cerdas sehingga

dengan pendidikan inilah diharapkan anak dapat tumbuh berkembang sesuai dengan minat

dan bakat yang dimiliki.

Pada hakikatnya selain hak-hak yang telah disebutkan diatas ada hak yang sangat

penting yang harus diberikan para orang tua kepada anaknya yaitu hak memperoleh kasih

sayang, karena dengan kasih sayang yang penuh akan menjadi pondasi awal orang tua untuk

dapat memenuhi hak-hak anak lainnya. Bagaimana mungkin hak-hak lain akan diberikan jika

tidak diberikan kasih sayang yang penuh. Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang

kesejahteraan anak N0. 4 Tahun 1979 pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa anak berhak atas

kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang yang baik dalam

keluarganya maupun di dalam asuhan khusus, untuk tumbuh dan berkembang dengan

wajar.75

Ketentuan dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang

menegaskan bahwa pengakuan negara atas keseluruhan hak-hak anak serta kewajiban dan

tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua dalam memenuhi

hak-hak anak. Bukan hanya orang tua yang bertanggung jawab akan tetapi negara dan

masyarakat serta komponen lainya.

Dalam Undang-undang tersebut juga menegaskan partisipasi anak yang berbunyi

“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan

memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan

dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”. Hal ini dapat dipahami bahwa

hak seorang anak pada taraf seusianya dapat diposisikan sebagai individu yang bebas,

merdeka, belum terpengaruh lingkungan dengan masalah dan konfliknya, tidak peduli dengan

status dan derajatnya dengan bebas menyampaikan keinginan dan perasaanya. Artinya anak-

74

Undang-undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, h lm. 123. 75

Ibid, 55.

Page 31: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

anak mempunyai hak menyampaikan pendapat, menyampaikan keinginan dan perasaanya,

mulai dari menangis, murung, gembira, senyum, bersuara manis untuk menyampaikan

keinginan dan perasaannya.

Mendapatkan perlindungan merupakan hak dari setiap anak, dan diwujudkanya

perlindungan bagi anak berarti terwujudnya keadilan dalam suatu masyarakat. Asumsi ini

diperkuat dengan pendapat Age, yang telah mengemukakan dengan tepat bahwa “melindungi

anak pada hakekatnya melindungi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara di masa

depan”.76

Dari ungkapan tersebut nampak betapa pentingnya upaya perlindungan anak demi

kelangsungan masa depan sebuah komunitas, baik komunitas yang terkecil yaitu keluarga,

maupun komunitas yang terbesar yaitu negara. Artinya, dengan mengupayakan perlindungan

bagi anak komunitas-komunitas tersebut tidak hanya telah menegakkan hak-hak anak, tapi

juga sekaligus menanam investasi untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Di

sini, dapat dikatakan telah terjadi simbiosis mutualisme antara keduanya.

Pelaksanaan perlindungan terhadap anak serta jaminan atas hak-haknya diatur dalam

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Yang memiliki kewajiban

dalam perlindungan anak bukan hanya Negara, melainkan juga oleh orang tua, keluarga,

masyarakat, dan pemerintah. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat 12 yang berbunyi, “Hak

anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh

orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.”

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam

peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin

terwujudnya perlindungan hak-hak anak. Pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa

anak-anak merupakan golongan yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya, baik rohani, jasmani, maupun sosial.

Dengan demikian yang menjadi dasar pelaksanaan perlindungan anak yaitu: 1.Dasar

filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan sekeluarga,

bermasyarakat bernegara dan berbangsa serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

2.Dasar estis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang

berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan berkewenangan,

kekuasaan dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak. 3.Dasar yuridis, pelaksanaan

perlindungan anak harus didasarkan pada UUD1945 dan berbagai peraturan perundang-

undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integrative, yaitu

76

Arief, Gosita. Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan Tanggung Jawab

Bersama, Seminar Nasional Perlindungan Anak, diselenggarakan Oleh UNPAD, Bandung.(5 Okober 1996).

Page 32: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum

yang berkaitan.77

Dalam melaksanakan kewajibanya sebagai orang tua pasca perceraian ada beberapa

kendala dalam pelaksanaanya, itu tidak bisa dipungkiri namun bukan berarti menjadikan

kewajiban orang tua gugur. Kendala yang sering dijumpai para orang tua adalah karena

keterbatasan ekonomi. Hal ini didasari dari pengamatan para ulama dan juga yang dialami

sebagian orang tua. Namun tidak hanya karena keterbatasan ekonomi saja akan tetapi juga

karena faktor kelalaian orang tua, faktor rendahnya pendidikan, dan juga rendahnya moral

orang tua.

Apabila ada kendala dalam melaksanakan kewajibanya dalam hal pemenuhan hak

anak karena keterbatasan ekonomi tidak ada alasan yang menjadikan kewajiban orang tua

gugur. Akan tetapi kewajibanya tetap melekat dan harus memberikan segalanya untuk anak

demi kelangsungan hidupnya. Menurut jumhur fukaha, jika ayah dalam keadaan fakir, tetapi

mampu bekerja dan memang benar-benar telah bekerja, tetapi penghasilanya tidak

mencukupi, kewajiban nafkah kepada anak itu tetap, tetapi tidak menjadi gugur.78

Kesimpulan

Pelaksanaan pemenuhan hak anak pasca perceraian selama ini belum mampu untuk

melaksanakan ketentuan perlindungan hak anak, disebabkan beberapa faktor yang manjadi

kendala, antara lain keterbatasan ekonomi, kelalaian orang tua, rendahnya pendidikan orang

tua, serta rendahnya moral orang tua. Pemahaman masyarakat dalam melaksanakan

kewajiban sebagai orang tua terutama pelaku perceraian sangat minim terbukti dengan

pengetahuan hanya sebatas hak anak tentang biaya hidup saja. Dalam melaksanakan

kewajibanya sebagai orang tua pasca perceraian ada beberapa kendala dalam pelaksanaanya,

itu tidak bisa dipungkiri namun bukan berarti menjadikan kewajiban orang tua gugur.

Kendala yang sering dijumpai para orang tua adalah karena keterbatasan ekonomi. Namun

tidak hanya karena keterbatasan ekonomi saja akan tetapi juga karena faktor kelalaian orang

tua, faktor rendahnya pendidikan, dan juga rendahnya moral orang tua.

Apabila ada kendala dalam melaksanakan kewajibanya dalam hal pemenuhan hak

anak karena keterbatasan ekonomi tidak ada alasan yang menjadikan kewajiban orang tua

gugur. Akan tetapi kewajibanya tetap melekat dan harus memberikan segalanya untuk anak

demi kelangsungan hidupnya. Maka peran masyarakat menjadi amat penting untuk turut

77

Ibid, 52. 78

Ahmad Azhar Basir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2007), 110.

Page 33: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

berpartisipasi, yakni para pihak yang mempunyai kepedualian masa depan anak, baik

organisasi keagamaan, yayasan atau LSM.

Daftar Pustaka

Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Basir, Ahmad Azhar. 2007Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press

Ch, Mufidah.2008. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN Press.

Departemen Agama, Al-Aliyy al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung : Diponegoro,

2006

Effendi, Satria. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta:

Kencana

Ghazali, Abd.Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.

Gosita, Arief. Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan

Tanggung Jawab Bersama, Seminar Nasional Perlindungan Anak, diselenggarakan Oleh

UNPAD, Bandung

Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Perkaawinan Indonesia Menurut: Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama . Bandung: Mandar Maju. Jawaz, Muhammad Mughniyah. 2008. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera

Joni, Muhammad Zulchaina Z. Tanamas. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak

Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak (Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Agama. Jakarta: Kencana

Prints, Darwan. 1997. Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Pustaka Yustisia. 2010. Perundangan tentang Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia

Setyowati, Irma. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi Aksara

Supeno, Hadi. 2010. Menyelamatkan Anak. Jakarta: Graha Putra.

Undang-undang RI nomor 13 tahun 2006. 2006. Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban, Jakarta: CV Medya Duta.

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997. 2006. tentang Peradilan Anak dan Undang-

Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Surabaya: Media Centre.

Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1979. 2006. Tentang Kesejahteraan Anak.

Surabaya: Media Centre

Page 34: KEWAJIBAN ORANG TUA ATAS HAK-HAK ANAK PASCA PERCERAIAN

Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1979. 2006. Tentang Kesejahteraan Anak.

Surabaya: Media Centre.

Undang-undang RI. 2006. Tentang Peradilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 dan Tentang

Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Surabaya: Media Centre.