Post on 06-Feb-2018
HADIS ṢALĀT ARBA‘ĪN DI MASJID AL-NABAWĪ AL-MADĪNAH;
Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Abdul Rizal
NIM: 111003400094
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H./2015 M.
iv
ABSTRAK
HADIS ṢALĀT ARBA‘ĪN DI MASJID AL-NABAWĪ AL-MADĪNAH; Studi
Kritik Sanad dan Matan Hadis
Kata kunci : Ṣalāt Arba‘īn, Masjid al-Nabawī al-Madīnah.
Salah satu fenomena yang menarik untuk dicermati ketika para jamaah
haji dan umrah mendapat kesempatan mengunjungi al-Madīnah-kota nabi saw-,
adalah semangat yang berapi-api mereka untuk mengejar Ṣalāt Arba‘īn di Masjid
al-Nabawī , yaitu istilah untuk pelaksanaan Ṣalāt khusus di Masjid al-Nabawī
dengan durasi 40 (empat puluh) kali tanpa putus. Jadi dengan melaksanankan 40
kali Ṣalāt fardu berjamaah sehari semalam dan dengan pahala yang
dilipatgandakan untuk setiap Ṣalātnya 1000 (seribu), maka seseorang akan
mendapatkan pahala sebesar 40.000 (empat puluh ribu). Selain itu, jaminan
terbebas dari api neraka dan juga terhindar dari sifat kemunafikan. Sebuah
kesempatan emas yang sayang jika lewat begitu saja.
Tapi apakah ini disyariatkan dengan berlandaskan dalil yang tenilai
maqbūl/diterima? Tampaknya diperlukan adanya sebuah penelusuran lebih lanjut.
Faktor lain adalah adanya teks dari kitab-kitab fikih modern yang memberikan
keterangan tentang pelaksanaan Ṣalāt ini sekaligus pencantuman sebuah dalil
khusus dari hadis nabi saw. Hal ini dapat kita lihat di antaranya dalam kitab yang
ditulis oleh Wahbah Zuhaili (al-Fiqh al-Islāmi wa ‘Adillatuh); dan Hasan bin
Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf (al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil al-
Mufīdah). Namun sayang, dalil hadis terkait yang dicantumkan dalam kitab-kitab
tersebut tanpa disertai dengan keterangan tentang validitasnya.
Kendatipun banyak digunakan dikalangan jamaah haji atau umrah, serta
materinya banyak menghiasi pengajian di masyarakat. Tidak menutup
kemungkinan para jamaah haji atau umrah, kurang mengetahui kualitas hadis
tersebut. Penulis tertarik untuk mengkajinya lebih dalam lagi, terutama untuk
mengetahui kualitas hadis tersebut baik segi sanad maupun matan hadis.
Dalam melakukan pengkajian dan penelitian, landasan operasional
menggunakan buku-buku yang terkait erat dengan judul yang penulis ambil, maka
bisa dibilang metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ilmiah ini
adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan
data dari sumber primer dan sekunder untuk kemudian disimpulkan.
vi
KATA PEGANTAR
Puji syukur saya ucapkan hanya kepada Allah SWT. yang telah memberi
taufiq, hidayah dan berbagai pertolongan. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir dalam bentuk skripsi dengan judul “HADIS ṢALĀT ARBA‘ĪN DI
MASJID AL-NABAWĪ AL-MADĪNAH; Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis”
dapat terselesaikan berkat bimbingan dari berbagai pihak. Selawat serta salam
kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. semoga kita
semua mendapat syafaatnya kelak di hari kiamat. Dengan terselesaikannya skripsi
ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak pihak sebagai berikut:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta seluruh sivitas Akademika.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan berbagai
fasilitas kepada penulis.
3. Ibu Dr. Lilik Umi Kaltsum, MA. Ketua jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin, dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. Sekretaris Jurusan
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, yang selalu menyempatkan waktunya
untuk memberikan berbagai keperluan yang berkaitan dengan skripsi penulis.
4. Bapak Drs. Maulana, M.ag. Yang selalu meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin khususnya jurusan Tafsir Hadis yang
tanpa henti memberikan pengajaran serta pemahaman.
vii
6. Ibunda tercinta Kartini yang senantiasa menghadirkan kami dalam setiap
doanya, bahkan kami yakin tidak sedikit air matanya yang terjatuh karena
kami, maafkan kami yang belum bisa menjadi kebanggaan ibu, belum bisa
mengganti air mata dengan senyum tersipu bahagia, maafkan kami. Kami
hanya baru bisa mendoakan beliau dalam setiap doa, untuk pengampunan dan
rahmat-Nya. Juga Ayah kami M. Sidiq, kami bangga dengan-Mu, kami
bangga menjadi anak-Mu. Kau memang pahlawan dalam keluarga kami,
mungkin kami tidak bisa menjadi seperti-Mu Ayah, maafkan kami dan
segenap keluarga (Kakak dan Saudara) yang senantiasa mendo’akan dan
memotivasi penulis untuk terus berkreasi dan berpacu dalam mencari ilmu.
7. Istri tercinta, Nur Solikhah (Hananaiki) dan pangeran kecilku Muhammad
Najeeh (Jayeng Palugon). Orang yang senantiasa selalu mendampingi penulis
dalam suka maupun duka, yang selalu sabar dalam setiap keadaan, maafkan
kami yang tidak focus dalam mengemban amanah, tapi doa kami selalu
menyertai kalian semua. Semoga Allah swt membuka jalan hidup yang lebih
baik untuk kita semua.
8. Bapak dan Ibu petugas Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan pelayanan
kepada penulis dalam mencari referensi.
9. Kawan-kawan penulis yang membantu terselesaikannya skripsi ini baik
bantuan moril maupun fasilitasnya. Teman-teman kelas TH C, Paguyuban
IMJA, HIMMAH, PAG, semoga Allah membalas semua kebaikan kalian.
Serta teman-teman IPRMA.
viii
Akhirnya penulis berharap, semoga karya tulis ini merupakan sebuah
refleksi studi S1 dan dapat memberikan sumbangan keilmuan, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca yang berminat dengan tulisan ini. Dan
dengan harapan karya tulis ini dapat dijadikan amal bagi penulis, Amin ya robbal
‘alamin.
Tangerang, 11 Mei 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 9
D. Metodologi Penelitian .......................................................................... 10
E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ṢALĀT ARBA‘ĪN ............................ 15
A. Pengertian Ṣalāt .................................................................................... 15
1. Pengertian Ṣalāt menurut istilah umum dan kedudukannya
dalam Islam .................................................................................... 15
2. Pengertian Ṣalāt Arba‘īn ................................................................ 25
B. Alasan Melaksanakan Ṣalāt Arba‘īn .................................................... 26
BAB III TAKHRĪJ HADIS MENGENAI ṢALĀT ARBA‘ĪN ................................ 30
A. Teks Hadis dan Terjemahannya ............................................................ 30
B. Kegiatan Takhrīj Hadis ......................................................................... 31
1. Penelusuran Hadis Melalui Matan ................................................. 32
C. Kegiatan Penelitian Hadis ..................................................................... 33
1. Penelitian Sanad Hadis .................................................................... 33
x
a. I’tibar Sanad ............................................................................. 33
b. Kritik Sanad .............................................................................. 34
2. Penelitian Matan Hadis ................................................................... 48
1. Meneliti Kualitas Sanad Hadis .................................................. 52
2. Meneliti Susunan Matan Yang Semakna .................................. 53
3. Meneliti Kandungan Matan....................................................... 54
a. Bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an ........................... 54
b. Bertetangan dengan hadis yang lebih kuat .......................... 55
c. Bertentangan dengan akal sehat, indra, dan sejarah ............ 56
d. Susunan pernyataannya tidak menunjukan ciri-ciri
sabda kenabian .................................................................... 56
BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 58
A. Kesimpulan .......................................................................................... 58
B. Saran ..................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
الل هكتاببماتس كتمماتضلوالنأمرينفيكمت ركتقالوسل معليهالل هصل ىالل هرسولأن 1نبيهوسن ة
Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Telah aku
tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian
berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”. (HR. Al-
Imam Malik)
Ada dua wasiat nabi saw untuk seluruh umat Islam, manakala umat
berpegang teguh pada keduanya niscaya ia akan selamat di dunia dan akhirat. Dua
wasiat itu adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah (hadis). Perbedaan antara keduanya,
bahwa al-Qur‟an dalam periwayatan-nya bersifat mutawatir atau tidak ada
keraguan sama sekali atas kebenaran berita yang dibawa, sedangkan hadis masih
harus diteliti lagi dengan sungguh-sungguh apakah hadis tersebut sahih-hasan atau
daif.
Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa hadis adalah perangkat
sunnah nabi dan bahwa hadis merupakan tuntunan yang tidak dapat diabaikan
dalam memahami wahyu Allah. Sebagai salah satu sumber otoritas Islam kedua
setelah al-Qur‟an, sejumlah literatur hadis memiliki pengaruh yang sangat
menentukan dan menjadi sumber hukum dalam agama. Para ulama telah berupaya
1Malik ibn Anas, al-Muwaṭṭa, (al-Imārāt: m. Musṭafa al-„Aẓami, 1425 H/ 2004 M), juz, 5,
h. 1323.
2
keras mengumpulkan dan mengklasifikasi serta memilah hadis-hadis yang otentik
dan yang palsu.2
Di antara tugas Rasulullah saw adalah menjelaskan hal-hal yang masih
global dalam al-Qur‟an yang tentu saja hal ini atas perintah dari Allah SWT. Allah
berfirman:
الذكرإليكوأن زلنا 3(٤٤)ي ت فك رونولعل همإليهمن زلماللن اسلتب ي
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan. (Q.S. al-Nahl:44).”
Tentu saja penjelasan terhadap isi al-Qur‟an itu bukanlah sekedar
membaca al-Qur‟an. Banyak ayat-ayat al-Qur‟an yang memerlukan penjelasan
praktis, dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Karenanya Rasulullah tidak
dapat dilepaskan begitu saja dari tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah saw
terhadap al-Qur‟an juga tidak mungkin, karena al-Qur‟an sendiri telah
menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak penjelasan Rasulullah saw
terhadap al-Qur‟an sama saja artinya dengan menolak al-Qur‟an.4
Hadis atau yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran Islam
yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi Muhammad
saw yang beredar pada masa nabi hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber
2Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah,
2009), cet. 1, h. 1. 3Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. al-Madīnah al-
Munawwarah: Mujamma‟ Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā‟at al-Muṣḥaf
asy-Syarīf:1971. 4 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Prof. H. Ali
Mustafa Yaqub, M.A. (Jakarta: Pustaka Firdaus,2000),h. 27.
3
ajaran Islam setelah al-Qur‟an dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas)
keagamaan. Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi Muhammad saw dan
pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujjah keagamaan yang diikuti
dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat, kepatuhan dan ketulusan.5
Dalam praktek, disamping menjadikan al-Qur‟an sebagai hujjah keagamaan,
mereka juga menjadikan hadis sebagai hujjah yang serupa secara seimbang,
karena keduanya sama diyakini berasal dari wahyu Allah swt. Dalam konteks
dimaksud, hadis mereka tempatkan pada posisi yang penting setelah al-Qur‟an.
Terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang sebagian besar bersifat umum dan garis besar,
hadis selain datang untuk menjelaskan keumumannya, dan datang untuk
menafsirkannya, ia juga datang untuk melengkapi hukum yang sejalan dengan
semangat al-Qur‟an. Dalam keadaan pengamalan agama demikian dapat dipahami
bila umat Islam masa nabi saw memperlihatkan motivasi yang mendalam terhadap
hadis baik melalui penuturan lisan, hafalan, maupun penulisan hadis-hadis yang
naskah tertulisnya sampai ditangan kita sekarang. Jelasnya, hingga wafat nabi
saw, keyakinan umat Islam terhadap hadis tidaklah berubah, bahkan dikuatkannya
dengan bukti-bukti pelestarian khazanah hadis.
Namun, keadaan hadis Nabi Muhammad saw dalam kesepakatan tersebut,
tidaklah demikian keadaannya pasca masa nabi saw. Hadis pasca masa nabi saw
telah berada dalam suatu kondisi yang mulai tidak seimbang dengan posisi al-
Qur‟an, karena ia telah berada di tengah-tengah banyak faktor. Pertama, hadis
5Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Kritik Musthafa al-Siba‟I
terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadīṡ dalam Fajr al-Islam, (Jakarta:Kencana,2003),
h. 3-4.
4
misalnya dalam periwayatan selain berlangsung secara lafaẓ juga berlangsung
secara makna. Kedua, dalam sejarah hadis telah muncul berbagai pemalsuan
hadis. Ketiga, hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur‟an yang
dibukukan dengan memakan waktu jauh lebih lama dari pembukuan al-Qur‟an.
Keempat, periwayatan hadis selain beragam metodenya, juga beragam tingkat
validitas masing-masing metodenya.6 Dari faktor-faktor di atas, maka kondisi
hadis pasca masa nabi saw, dan memiliki banyak peluang untuk diadakan
penelitian dan pengkajian dalam banyak persoalan.
Dengan demikian, pada pasca masa nabi saw sampai dengan memasuki
abad ke-21 sekarang (2015), keadaan hadis sudah sedemikian rupa, yang
membuka tabir melihat keberadaannya sebagai otoritas keagamaan. Melihat posisi
hadis yang sangat sentral dan signifikan dalam ajaran Islam, maka penelitian dan
pengkajian menjadi bagian penting dalam rangka menjaga dan melestarikan hadis
nabi saw.
Suatu proses penelitian dan pengkajian suatu hadis memerlukan tiga
macam ilmu yang berkaitan dengan ilmu hadis itu sendiri, yaitu „Ilmu Mustalāh
al-Hadīṡ, „Ilmu Rijāl al-Hadīṡ, dan „Ilmu Takhrīj al-Hadīṡ. Adapun kualitas suatu
hadis dapat diketahui dengan adanya penelitian melalui takhrīj hadis.
Mahmud al-Tahhan mengatakan bahwa secara epistimologi takhrīj berarti
berkumpulnya dua hal yang saling berlawanan. Secara terminologi takhrīj
mempunyai beberapa pengertian di antaranya ialah; Pertama, takhrīj yang
6 Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Kritik Musthafa al-Siba‟I
terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadīṡ dalam Fajr al-Islam, h. 5.
5
disinonimkan dengan al-ikhrāj yang berarti mengungkapkan suatu hadis kepada
orang lain dengan mengemukakan periwayatnya. Kedua, mengeluarkan atau
menampakkan hadis-hadis dari kitab induknya beserta periwayatnya. Ketiga,
bermakna al-Dilālah yaitu mengeluarkan hadis-hadis dari kitab induk dan
meriwayatkannya kembali.7
Kajian ilmu takhrīj hadis sangat penting bagi orang yang menggeluti ilmu-
ilmu syar‟i. Mempelajari kaidah-kaidahnya dan metodenya, agar ia mengetahui
bagaimana bisa sampai kepada hadis tersebut pada sumber-sumbernya yang
orisinil. Manfaat takhrīj amat besar, terutama bagi mereka yang berkecimpung
dalam hadis.8 Mahmud al-Tahhan sendiri lebih memilih bahwa takhrīj adalah
memberikan petunjuk tentang atau letak hadis pada sumber-sumber aslinya
dengan menyebutkan sanadnya kemudian menjelaskan hukum hadis tersebut bila
diperlukan.9
Melihat fungsi dan peran ilmu takhrīj al-hadīṡ yang sangat penting dalam
sebuah penelitian, karena dengan ilmu ini kita dapat mengetahui apakah suatu
hadis itu benar-benar bersumber dari nabi saw.? dan siapa saja yang
meriwayatkan hadis itu sampai kepada nabi saw.?
Sebab itu, penulis akan mencoba meneliti dan mengkaji hadis yang
menyatakan tentang ṣalāt arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah melalui ilmu
takhrīj al-hadīṡ sebagaimana definisi yang Mahmud al-Tahhan sebutkan.
7 Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, Penerjemah H.S. Agil Husin dan
Masykur Hakim, (Semarang: Toha Putra, 1995), h. 7-9. 8 Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, h. 21.
9 Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, h. 10.
6
Mengingat, salah satu fenomena yang menarik untuk dicermati ketika para
jamaah haji dan umrah mendapat kesempatan mengunjungi al-Madīnah-kota nabi
saw-, adalah semangat yang berapi-api mereka untuk mengejar arba„īn, yaitu
istilah untuk pelaksanaan ṣalāt di Masjid al-Nabawī dengan durasi 40 (kali)
tanpa putus. Jadi, dengan melaksanakan 40 kali ṣalāt fardu berjamaah sehari
semalam dan dengan pahala yang dilipatgandakan untuk setiap ṣalātnya 1000,
maka seseorang akan mendapatkan pahala sebesar 40.000. Selain itu, jaminan
terbebas dari api neraka dan kemunafikan juga menanti. Sebuah kesempatan
emas yang sayang jika lewat begitu saja.
Tapi apakah ini disyariatkan dengan berlandaskan dalil yang ternilai
maqbūl/diterima)? Tampaknya diperlukan adanya penelusuran lebih lanjut. Faktor
lain adalah adanya teks dari kitab-kitab fikih modern (mu„āṣir) yang memberikan
keterangan tentang pelaksanaan ṣalāt ini sekaligus pencantuman sebuah dalil
khusus dari hadis nabi saw. Hal itu dapat kita lihat di antaranya dalam kitab yang
ditulis oleh Wahbah Zuhaili (al-Fiqh al-lslāmi wa „Adillatuh)10
; dan Hasan bin
Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf (al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil al-
Mufīdah).11
Namun sayang, dalil hadis terkait yang dicantumkan dalam kitab-
kitab tersebut tanpa disertai dengan keterangan tentang validitasnya.
Hadis yang menjadi sandaran para pengamal ṣalāt arba„īn, sebagai
berikut:
10
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-lslāmi wa „ Adillatuh, (Suriah: Dar al-Fikr, 1989), h. 334. 11
Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil
al-Mufīdah, (Surabaya: Dar al-„Ulūm al-Islamiyah, 2004), cet, 3, h. 521.
7
ث نا عتهالل هعبدالر حنعبدأبوقالموسىبنالكمحد ث ناموسىبنالكممنأناوس عبدحد قالأن هوسل معليهالل هصل ىالن بعنمالك بنأنسعنعمربنن ب يطعنالرجالأببنالر حن
وبرئالعذابمنوناة الن ارمنب راءة لهكتبتصلة ي فوتهلصلة أربعيمسجديفصل ىمن الن فاقمن
“Telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Abu
Abdurrahman Abdullah: Aku mendengar dari Hakam bin Musa (dimana) telah
menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar
dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasannya beliau bersabda: Barangsiapa
melaksanakan ṣalāt (sebanyak) 40 kali ṣalāt di masjidku (dengan) tidak tertinggal
satu pun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa, dan
terhindar dari kemunafikan” ( H R. Ahmad)12
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya dan
mutābi‟nya al-Imam Al-Thabarani dalam kitab Mu‟jam al-Awsāṭ dengan jalur dari
Abu Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik
secara marfū‟ (sampai ke nabi saw). Setelah mencantumkan hadis tersebut. Al-
Thabarani berkomentar: "Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali
Nubaith, dan Abdurrahman bin Abi al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari
Nubaith". Al-Mundzir dalam al-Targīb wa al-Tarhīb, dan Al-Haitsami dalam
Majma‟ al-Zawāid, setelah mencantumkan hadis ini, keduanya berkomentar
menguatkan jalur perawinya, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan
Mu‟jam al-Awsāṭ di atas. Juga menyebut bahwa al-Imam Tirmidzi meriwayatkan
sebagiannya.
Masalah yang diperdebatkan dalam jalur sanadnya adalah adanya seorang
perawi bernama Nubaith bin Umar yang ternilai majhūl (tidak diketahui
12
Abū „Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn
Hanbal, (Muasasah al-Risalah, 2001), juz, 20, h. 40.
8
keadaannya), di mana hanya Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menguatkannya
dengan mendasarkan pada penilaian Ibnu Hibban dalam “Al-Ṡiqāt”. Namun, di
kalangan kritikus hadis , Ibnu Hibban dikenal sebagai kritikus yang dimasukkan
dalam kategori mutasāhil (mudah mengangkat derajat penilaian terhadap perawi
yang majhūl). Pun dalam kitab-kitab biografi para perawi, tidak akan kita
temukan data perawi ini. Matan (isi hadis) yang diriwayatkannya juga berbeda
sendiri dengan apa yang diriwayatkan oleh para perawi lain dari Anas bin Malik
ra. Maka dalam kajian kritik hadis, keadaan perawi demikian disebut dengan
majhūl al-„ain (tidak diketahui data pribadinya sedikitpun). Sementara itu,
kritikus hadis modern, Naṣirudin al-Albani dalam Silsilah Al-Ḍaīfah dan Ḍaīf al-
Targīb, mengomentari hadis di atas dengan munkar (informasi hadis hanya dari
satu jalur).
Kendatipun banyak digunakan dikalangan jamaah haji atau umrah, serta
materinya banyak menghiasi pengajian di masyarakat. Tidak menutup
kemungkinan para jamaah haji atau umrah, kurang mengetahui kualitas hadis
tersebut.
Penulis mencoba untuk menelitinya dengan mencari sumber hadis tersebut
melalui beberapa kamus hadis seperti kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al-
Hadīs al-Al-Nabawī karya A.J. Wensinck, melalui kata kunci atau kata kerja dan
kitab Kanz al-„Ummāl karya muhammad al-Sa‟idi Ibn Basyūni dan kitab kamus
hadis lain yang dibutuhkan apabila tidak ditemukan dalam dua kamus tersebut di
atas.
9
Oleh karena alasan di atas, penulis ingin menuangkan ini kedalam sebuah
karya ilmiah dengan judul “Hadis Ṣalāt a di Masjid Al-Na aw Al-
Mad ah; Studi kritik Sanad dan Matan Hadis.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berkaitan dengan permasalahan ṣalāt arba„īn di Masjid Al-Nabawī Al-
Madīnah, penulis hanya menemukan dua sumber hadis yang dikeluarkan oleh al-
Imam Ahmad bin Hanbal dan al-Imam Al-Thabarani. Ada beberapa permasalahan
di dalam pembahasan ṣalāt arba„īn di antaranya; tentang tata cara ṣalāt arba„īn,
ṣalāt sunnah atau fardu kah yang termasuk dalam kategori ṣalāt arba„īn, tempat
dan waktu pelaksanaan ṣalāt arba„īn, kualitas hadis ṣalāt arba„īn, dan lainnya.
Penulis akan membatasi dan memfokuskan pada pembahasan kualitas hadis ṣalāt
arba„īn tersebut, untuk dikaji, diteliti, dan dianalisis keotentikan kandungannya
dari segi sanad dan matan.
Di samping riwayat hadis pokok di atas yang dijadikan sebagai bahan
penelitian, penulis juga akan mencari hadis-hadis pendukung namun disertai
dengan validitas hadis tersebut secara singkat. Adapun rumusan masalah yang
akan dibahas dalam kajian ini adalah “bagaimana kualitas hadis tentang ṣalāt
arba„īn di Masjid Al-Nabawī Al-Madīnah?” ditinjau dari kritik sanad dan matan
hadis.
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini selain untuk menyelesaikan kuliah pada program S1
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuludin
Jurusan Tafsir Hadis dan hal-hal yang bersifat administratif, juga tidak terlepas
dari tujuan pengembangan keilmuan terutama masalah pemahaman hadis dan
ilmu turunannya. Selain hal tersebut di atas, manfaat penulisan skripsi ini juga
adalah :
1. Mengetahui validitas hadis tentang ṣalāt arba„īn di Masjid Al-Nabawī Al-
Madīnah, umum-nya kepada jamaah haji dan umrah, khusus-nya untuk
penulis.
2. Sebagai upaya untuk mensemarakkan literatur keislaman, utamanya
berkaitan dengan kajian hadis.
3. Menambah khazanah keilmuan pada lembaga-lembaga yang konsern
dalam mengurus perjalanan haji dan umrah.
D. Metodologi Penelitian
Dalam melakukan pengkajian dan penelitian, landasan operasional
penulisan, menggunakan buku-buku yang terkait erat dengan judul yang penulis
ambil, maka bisa dibilang metode yang penulis gunakan dalam membuat karya
tulis ilmiah ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan
mengumpulkan data dari sumber primer dan sekunder kemudian menyimpulkan.
11
Adapun metode dalam kegiatan penelitian hadis ini, yaitu:
1. Melakukan takhrīj hadis dari matan hadis yang telah disebut pada judul,
langkah pertama penelitian hadis ini merujuk melalui lafal hadis dari kitab
al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīs al-Al-Nabawī karya A.J
Wensinck dan kitab-kitab lainnya yang berkaitan dengan ini.
2. Mencari data yang telah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk pada
kitab asli yang ditunjukkan oleh kitab kamus.
3. I‟tibar al-Sanad, menghadirkan hadis lain yang semakna dengan hadis
tersebut.
4. Menguraikan skema jalur-jalur sanad agar terlihat ada tidaknya pendukung
yang berstatus mutābi‟ dan syawāhid.
5. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) dari data yang diambil dari
kitab-kitab Rijāl al-Hadīṡ seperti Tahżib al-Kamāl, Tahżib al- Tahżīb, al-
Jarh wa al-Ta‟dīl, dan lain-lain. Dan penelitian sanad ini yaitu menelesuri
data setiap periwayat dengan menilai keadaannya, hubungan guru dan
murid, tahun kelahiran dan tahun wafat, hingga penilaian para ulama
tentang kredibilitas peperawi tersebut. Untuk kemudian menentukan
kedudukan hadis dari semua jalur.
6. Melakukan penelitian matan dari hasil penelitian sanad di atas dengan
melihat dari segi bahasa, histori, bertentangan atau tidaknya dengan al-
qur‟an, ada atau tidaknya hadis lain yang semakna (dengan hadis tersebut)
yang lebih tinggi atau rendah kualitas hadisnya. Memberikan kesimpulan
dari hasil penelitian di atas dan pesan penting dari hadis tersebut. Sedang
12
dalam pembahasan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis,
yakni melalui pengumpulan data dan pendapat para ulama dan pakar untuk
kemudian diteliti dan dianalisa sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang
ilmiah.
Selain itu juga teknik penulisan ini, penulis mengacu pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2011.
E. Tinjauan Kepustakaan
Untuk mendukung kepustakaan di atas, penulis pun melakukan tinjauan
pustaka atas beberapa karya tulis yang membahas tema yang sama atau
mempunyai kemiripan dengan yang dibahas oleh penulis. Penulis tidak
menemukan satupun dari penelitian terdahulu yang mengangkat tema yang sama.
Hanya saja ada beberapa skripsi yang mengangkat masalah ṣalāt, namun berbeda
di dalam pembahasannya, yang kesemuanya hampir membahas tentang ṣalāt
sunnah dan ada yang membahas ṣalāt fardu dengan berjamaah namun tetap juga
beda fokus obyek penelitiannya. Skripsi-skripsi hasil tinjauan pustaka penulis
sebagai berikut:
1. Ṣalāt Fajar dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Kajian Tematik Hadis,
ditulis oleh Bambang Triatmojo jurusan tafsir hadis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Skripsi di atas menjelaskan waktu dan
dianjurkannya ṣalāt fajar.
13
2. Fadilah Ṣalāt Sunnah Rawatib dalam perspektif hadis, ditulis oleh Fitriyah
jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006. dalam
skripsi tersebut menjelaskan tentang fadilah ṣalāt sunnah rawatib dan
fungsinya. Skripsi tersebut didapat dari perpustakaan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Kritik Hadis Tentang Keistimewaan Ṣalāt Sunnah Tobat : Studi analisis
Sanad Dan Matan, ditulis oleh Eni Nuraini jurusan tafsir hadis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2009.
4. Ṣalāt Sunnah Istikharah dalam perspektif hadis, ditulis oleh Bahrudin
jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. dalam
skripsi tersebut menjelaskan bagaimana pemahaman Ibnu Hajar al-
Asqalani tentang ṣalāt sunnah istikharah dalam kehidupan sehari-hari.
Manfaat penelitian ṣalāt sunnah istikharah memberikan pemahaman
tentang maksud hadis-hadis yang membahas ṣalāt sunnah Istikharah serta
menggambarkan pemahaman tentang ṣalāt sunnah Istikharah itu sendiri
dari sudut pandang hadis dan ungkapan para ulama fikih.
5. Hikmah Ṣalāt Berjamaah dalam al-Qur‟an menurut penafsiran Ibnu Katsir,
ditulis oleh Ardian Maksal Lintang, jurusan tafsir hadis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Di dalam pembahasannya lebih menitik
beratkan pada hikmah-hikmah ṣalāt berjamaah.
14
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis membahas beberapa bab yang diuraikan dengan
sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab Pertama, Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, merupakan tinjauan umum mengenai ṣalāt arba„īn yang
berisi tentang pengertian ṣalāt di dalamnya meliputi pengertian ṣalāt menurut
istilah umum dan kedudukannya dalam islam dan pengertian ṣalāt arba„īn serta
alasan melaksanakan ṣalāt arba„īn.
Bab Ketiga, merupakan takhrīj hadis mengenai ṣalāt arba„īn yang berisi
tentang teks hadis dan terjemahannya, kegiatan takhrīj hadis, kegiatan penelitian
hadis dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian baik sanad maupun matan
hadis.
Bab Keempat, Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan yang telah
dibahas sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran yang bersifat membangun
serta pada akhirnya adalah daftar pustaka menjadi rujukan penulis juga lampiran.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ṢALĀT ARBA‘ĪN
A. Pengertian Ṣalāt
1. Pengertian Ṣalāt Menurut Istilah umum dan Kedudukannya Dalam Islam
Secara bahasa ṣalāt berasal dari bahasa arab dari kata kerja صلى (ṣallā)
yang dalam bahasa arab diartikan dengan دعا (da„ā).1 Pengertian ini mengandung
banyak arti, yaitu; memanggil, mengundang, minta tolong kepada, meminta,
memohon, mendoakan, menamakan, meratapi, menyebabkan, mengisi,
mendatangkan.2 Sementara kata صلى (ṣallā) sendiri biasanya memiliki arti doa
atau memohon, ada yang berpendapat arti aslinya dalam bahasa adalah
pengagungan.3 Seperti dalam firman Allah swt:
لم من خذ رىم صدقةأم و يهمتطه تكإن علي هم وصلباوت زك عليمسيعوٱلل ول م سكنصلو
﴿٣٠١﴾4 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan5 dan mensucikan
6 mereka dan mendoalah untuk mereka.
1Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah al-„Adab wa al-„Ulūm, (Beirut: al-Mathba’ah al-
Kathulikiyyah, 1960), h. 434. Lihat, Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir Arab-
Indonesia,(Yogyakarta: Pusaka Progresif, 1984), h. 874. 2Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 438.
3Mahir Manshur Abdurrajiq, Mu‟jizat Shalat Berjamaah,(Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2007), h. 24. 4Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. al-Madīnah al-
Munawwarah: Mujamma’ Khādim al-Harāmain al-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā’at al-Muṣḥaf al-
Syarīf: 1971. 5Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-
lebihan kepada harta benda.
16
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)
Yang dimaksud dari ayat di atas adalah berdoalah dan beristighfarlah
untuk mereka.7 Dan Nabi saw bersabda:
ث ناحف صب نغياثعن رب نأبشي بةحد ث ناأبوبك أبىري رةقالحد اب نسريينعن ىشامعن ف ل يصل كانصائما فإن ف ل يجب دعيأحدكم إذا وسل م علي و صل ىالل و الل و كانقالرسول وإن
طراف ل يط عم .مف “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah
menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Hisyam dari Ibnu Sirin dari
Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaknya ia penuhi undangan
tersebut, jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo'akannya, dan jika ia
sedang tidak berpuasa, hendaknya ia memakannya."8
Ṣalāt menurut istilah adalah ibadah kepada Allah swt yang wajib
dilakukan oleh setiap muslim mukalaf, diawali dengan takbir dan ditutup dengan
salam, dilengkapi dengan syarat, rukun, gerakan, dan bacaan tertentu.9 Ṣalāt dapat
juga berarti doa untuk mendapatkan kebaikan atau ṣalawāt bagi Nabi Muhammad
saw.10
Dengan begitu, ṣalāt Allah swt kepada Nabinya adalah pujian Allah swt
kepada Nabinya, dan ṣalāt Malaikat kepada Nabi saw adalah doa.11
6Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.
7Al-Hafiẓ ‘Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Kaṡir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-
Qur‟an al-Azhim,(Beirut: Dar at-Turats al-‘Arabi), jilid 2, h. 386. 8Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim,(Beirut: Dar al-Fikr), juz 2, h.
106. 9Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), cet. VII, h. 866. 10
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 207. 11
Sa’id bin Ali bin Waqf al-Qahthani, Lebih Berkah dengan Salat Berjamaah, (Surakarta:
Qaula, 2008), h. 17.
17
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq ṣalāt adalah “Ibadah yang berisi
perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan khusus yang diawali dengan takbir
dan diakhiri dengan salam.12
Selain dari pengertian di atas, Hasbi Ash-Shiddieqy
juga memberikan pengertian tentang ṣalāt, menurut beliau ṣalāt memiliki dua
macam pengertian, yang keduanya dilatarbelakangi oleh sudut pandang yang
berbeda, yaitu lahiriah dan ruhiah. Dari sudut lahiriah ṣalāt adalah beberapa
perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam
dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan dari sudut ruhiah ṣalāt adalah berharap
kepada Allah swt dengan sepenuh jiwa dan segala khusyuk dihadapan Allah swt
dan berikhlas bagi-Nya serta hadir dalam berdzikir, berdoa dan memuji.13
Dari pengertian di atas mengandung maksud yang sama, yaitu suatu
ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam. Yang dimaksud dengan perkataan disini adalah
bacaan takbir, doa dan sejenisnya. Dan yang dimaksud dengan perbuatan disini
terdiri dari berdiri, ruku’, sujud dan lainnya.
Pada hakekatnya pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas
antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan merupakan suatu unsur yang
tidak dapat dipisahkan. Ṣalāt yang sesungguhnya ialah ṣalāt yang memiliki ruh
dan jasad, dan bukan sekedar ucapan dan perbuatan secara lahiriah saja, akan
tetapi harus dibarengi dengan hati dan pikiran. Hati, pikiran, ucapan dan gerakan-
12
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), jld.1, h. 78. 13
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Salat, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), cet. 5, h. 62.
18
gerakan seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. merupakan unsur penting
dalam ṣalāt.
Ṣalāt mempunyai kedudukan yang tertinggi diantara ibadah-ibadah
lainnya, bahkan dalam Islam menempati kedudukan yang tak dapat ditandingi
oleh ibadah manapun juga. Kedudukan ṣalāt dalam Islam yaitu:
a) Ṣalāt merupakan tiang agama; tidak akan berdiri Islam kecuali
dengannya.14
Rasulullah bersabda:
عاصمب نأبال مع مرعن عانعن ث ناعب دالل وب نمعاذالص ن ث نااب نأبعمرحد أبحد ن جودعن كن تمعالن معاذب نجبلقال تي و ماقريبامن ووائلعن بصل ىالل وعلي ووسل مفسفرفأص بح
الن ارقال ن ةوي باعدنعن خلنال ب نبعمليد ون ننسريف قل تيارسولالل وأخ سأل تنعن لقد وإن و وت ؤ تاعظيم الص لة وتقيم شي ئا بو رك ولتش الل و ت ع بد علي و الل و يس ره لز كاةليسريعلىمن
ري الص و مجن ةوالص د ال ب ي تث قالألأدلكعلىأب وابال طيئةوتصومرمضانوتج قةتط فئال ال عن جو فالل ي لقالث تل}ت تجافجنوب هم مضاجعكمايط فئال ماءالن اروصلةالر جلمن
كلووعموده ر م بكبرأ سال قالألأخ ب لغي ع ملون{ث وذر وةسناموق ل تب لىيارسولالل وحت بكبل قالألأخ هادث لموعمودهالص لةوذر وةسناموال رال س م كلوق ل تقالرأ سال كذلك
ق بلسانو فأخذ الل و نب بوب لىيا ن تكل م لمؤاخذونبا وإن ا الل و نب ف قل تيا علي كىذا كف الإل علىمناخرىم أو الن اسفالن ارعلىوجوىهم يكب حصائدف قالثكلت كأمكيامعاذوىل
لأبوعيسىىذاحديثحسنصحيحأل سنتهم قا“Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Mu'adz ash Shan'ani dari Ma'mar dari 'Ashim bin Abi
an Najud dari Abu Wail dari Mu'adz bin Jabal dia berkata; Saya pernah bersama
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, suatu pagi aku berada
dekat dari beliau, dan kami sedang bepergian, maka saya berkata; 'Wahai
Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang suatu amal yang akan memasukkanku
kedalam surga dan menjauhkanku dari neraka.' Beliau menjawab: "Kamu telah
menanyakan kepadaku tentang perkara yang besar, padahal sungguh ia
14
Ahmad Zubaidi, dkk., Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah, (Jakarta: Al-Mawardi Prima,
2001), cet. I, h. 115.
19
merupakan perkara ringan bagi orang yang telah Allah jadikan ringan baginya,
yaitu: Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa
pun, kamu mendirikan Ṣalāt, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan,
berhaji ke Baitullah." Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku tunjukkan
pada pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai dan sedekah akan
memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan Ṣalāt seorang
laki-laki pada pertengahan malam." Kemudian beliau membaca; "Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya
dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang
Kami berikan kepada mereka. (16) Seorang pun tidak mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang
menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan." (As-Sajdah: 16-17). Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku
tunjukkan pokok perkara agama, tiang dan puncaknya?" Aku menjawab: "Ya,
wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Pokok dari perkara agama adalah Islam,
tiangnya adalah Ṣalāt, sedangkan puncaknya adalah jihad.' Kemudian beliau
bersabda: "Maukah kamu aku kabarkan dengan sesuatu yang menguatkan itu
semua?" Aku menjawab; 'Ya, wahai Nabi Allah.' Lalu beliau memegang lisannya,
dan bersabda: "'Tahanlah (lidah) mu ini." Aku bertanya; 'Wahai Nabi Allah,
(Apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita
ucapkan? ' Beliau menjawab; "(Celakalah kamu) ibumu kehilanganmu wahai
Mu'adz, Tidaklah manusia itu disunggkurkan ke dalam neraka di atas muka atau
hidung mereka melainkan karena hasil ucapan lisan mereka?" Abu Isa berkata;
'Ini hadits hasan shahih”.15
b) Ṣalāt adalah ibadah yang pertama diwajibkan oleh Allah swt atas hamba-
Nya, dan perintah ṣalāt diterima langsung tanpa perantara oleh Rasulullah
saw. pada peristiwa Isra Mikraj-nya Nabi Muhammad saw. pada
pertengahan tahun ke-12 dari kerasulan beliau.16
Ibadah pada waktu itu
belum ada yang diwajibkan. Kalaupun ada menurut sejarah, hanyalah ṣalāt
dua rakaat pagi dan dua rakaat petang, itupun hukumnya sukarela, siapa
yang mau ṣalāt silahkan, dan siapa yang tidak ṣalāt tidak mengapa.
15
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizi,(Beirut: Dar al-Fikr, 1994),
juz IV, h. 240. 16
T.A. Lathief Rousydiy, Kaifiyat Salat Rasulullah s.a.w.,(Medan: Rimbow, 1985), cet.
II, h. 1.
20
Barulah setelah peristiwa itu, ṣalāt diwajibkan atas umat Nabi Muhammad
saw.17
Dalam hal ini sebuah hadis yang berasal dari Anas menjelaskan:
ث ناعب دالر ز اق ث نامم دب ني يالن ي سابوريحد أنسب نمالكقالحد ريعن الزى ب رنامع مرعن أخ حت ث نقصت الص لواتخ سني بو ري أس لة لي وسل م علي و صل ىالل و علىالن ب فرضت جعلت
نودييامم دإن ولي سخ سنيخ ساث م بد لال قو للدي وإن لكبذهال “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya An Naisaburi
berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata; telah
mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Anas bin Malik ia berkata;
"Di malam isra‟ Nabi saw. diberi kewajiban untuk melaksanakan Ṣalāt sebanyak
lima puluh kali. Kemudian bilangan tersebut dikurangi hingga menjadi lima kali,
beliau lalu diseru, "Wahai Muhammad, sesungguhnya ketentuan yang ada di sisi-
Ku tidak bisa dirubah, maka engkau akan mendapatkan pahala lima puluh (waktu
Ṣalāt) dengan lima (waktu Ṣalāt) ini.18
c) Ṣalāt merupakan amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak,
rusak dan tidaknya amal perbuatan itu tergantung pada rusak dan tidaknya
ṣalāt yang dikerjakan.19
Sabda Rasulullah saw.:
ثن قالحد ث ناه ام لب نح ادحد ث ناسه حد ضمي ه ال ب نعلي ر ب ننص ث ناعلي حد عن ق تادةلجليساصال تال مدينةف قل تالل هم يسر حري ثب نقبيصةقالقدم سنعن تال اقالفجلس
ث نبديثسع تو ي ر زقنجليساصالافحد سأل تالل وأن رسولالل وإلأبىري رةف قل تإن من فعنبوف قالسع ت ي ن رسولالل وصل ىالل وعلي ووسل مي قولإن صل ىالل وعلي ووسل ملعل الل وأن
أف لحوأن حو ف قد صلحت فإن صلتو عملو من ال قيامة ي و م ال عب د ياسببو أو لما فسدت إن فريضت ان ت قصمن خابوخسرفإن تطوعف قد لعب ديمن ان ظرواىل وجل عز قالالر ب ء وشي
يكونسائرعملوعلىذلك ال فريضةث ف يكم لباماان ت قصمن “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Nashr bin Ali Al Jahdlami
berkata; telah menceritakan kepada kami Sahl bin Hammad berkata; telah
17
Imam Ghazali, Kesilapan Ketika Sembahyang, (Kuala Lumpur: Kalam Ilham, 1993),
cet. II, h. 21. 18
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizi, juz I, h. 254. 19
Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qahtani, Ensiklopedi Salat Menurut al-Qur‟an dan al-Sunnah
jilid I,(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2006), cet. 1, h. 171.
21
menceritakan kepada kami Hammam berkata; telah menceritakan kepadaku
Qatadah dari Al Hasan dari Huraits bin Qabishah ia berkata; "Aku datang ke
Madinah, lalu aku berdo`a, "Ya Allah, mudahkanlah aku untuk mendapat teman
shalih." Huraits bin Qabishah berkata; "Lalu aku berteman dengan Abu
Hurairah, aku kemudian berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku telah meminta
kepada Allah agar memberiku rizki seorang teman yang shalih, maka bacakanlah
kepadaku hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, semoga dengannya Allah memberiku manfaat." Maka Abu Hurairah
pun berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Pada hari kiamat pertama kali yang akan Allah hisab atas amalan seorang
hamba adalah Ṣalātnya, jika Ṣalātnya baik maka ia akan beruntung dan selamat,
jika Ṣalātnya rusak maka ia akan rugi dan tidak beruntung. Jika pada amalan
fardlunya ada yang kurang maka Rabb 'azza wajalla berfirman: "Periksalah,
apakah hamba-Ku mempunyai ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah
wajibnya yang kurang?" lalu setiap amal akan diperlakukan seperti itu."20
Hadis ini menunjukan bahwa kalah menangya seorang hamba di hari
kiamat nanti, masuk surga atau masuk neraka ditentukan pertama kali oleh
ṣalāt. Demikian penting kedudukan ṣalāt itu.
d) Ṣalāt juga merupakan wasiat Rasulullah saw. yang terakhir yang ditujukan
kepada seluruh umatnya ketika beliau akan menghembuskan nafasnya
yang terakhir, berpisah dengan dunia ini. Ṣalāt merupakan garis pembatas
antara Islam dan Kafir, dalam arti orang yang meninggalkan ṣalāt dengan
mengingkari ke-farduan-nya akan menjadi kafir.21
Dalam hadis Nabi saw
ditegaskan:
ث نا حد معي ث ناأبوغس انال مس عحد أن وس ب رنأبوالزب ري اب نجري جقالأخ الض ح اكب نم لدعن
وب الر جل ب ني ي قول وسل م علي و الل و صل ى الل و رسول سع ت ي قول الل و عب د ب ن الشر كجابر ني
رت ر ك الص لةوال كف
20
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizi, juz I, h. 421-422. 21
Mujiyo Nurkholis, Meraih Pahala 27 Derajat ,(Bandung: Al-Bayan, 1995), cet.1, h. 18.
22
“Telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan al-Misma'i telah
menceritakan kepada kami adl-Dlahhak bin Makhlad dari Ibnu Juraij dia
berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu az-Zubair bahwa dia mendengar Jabir
bin Abdullah berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Yang memisahkan antara seorang laki-laki dengan kesyirikan dan
kekufuan adalah meninggalkan Ṣalāt."22
e) Ṣalāt merupakan benteng terakhir dari agama, kalau ṣalāt lenyap, lenyap
pula agama seluruhnya.23
Sabda Rasulullah saw.:
حاقب نإب راىيمال مر وزي،قال:حد ث ناإس ،قال:حد ب نال مث ن ب رناأح دب نعلي ث ناال وليدب نأخ اعيلب نعب ي دالل وب نأبال مها ثنعب دال عزيزب نإس لم،قال:حد ثنسلي مانب نمس جر،قال:حد
عر حبيب لم س عرىال وسل م:"لت ن ت قضن علي و صل ىالل و الل و قال:قالرسول أبأمامة وةعن عر وة،تشب ثالن اسبال تتل م،وآخرىن :الصلة"عر وة،فكل ماان تقضت ك ضا:ال يها،فأو لن ن ق
“Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna memberitahukan kepada kami, ia
berkata: Ishaq bin Ibrahim al-Muruziy menceritakan kepada kami, ia berkata: al-
Walid bin Muslim menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdul Aziz bin Ismail
bin Ubaidillah bin Abi al-Muhajir mengatakan kepada saya, ia berkata: Sulaiman
bin Habib mengatakan kepada kami dari Abi Umamah berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Sungguh akan runtuhlah tali Islam satu demi satu, maka setiap kali
putus tali yang satu manusia akan bergantung (berpegang) dengan tali
berikutnya. Maka yang pertama runtuh ialah hukum Islam dan yang terakhir
ialah Ṣalāt”.
Hadis ini mengungkapkan, bahwa yang pertama kali akan hilang dan
runtuh dari ajaran Islam ialah hukum dan peraturannya. Banyak orang
yang mengaku muslim dan mukmin, akan tetapi tidak mematuhi dan
memperdulikan hukum dan peraturan Islam. Muhammad Abduh pernah
menjelaskan bahwa tidak ada yang tinggal dari al-Qur’an itu kecuali
hurufnya, dan tidak ada yang tinggal dari Islam itu kecuali namanya.
22
Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, juz 1,h. 347. 23
Dewan Hisbah Persatuan Islam, Risalah Salat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000), cet.1, h. 75.
23
Bahkan lebih dari itu lagi, banyak orang yang mengaku beragama Islam,
tetapi mencaci dan merendahkan ajaran agamanya.24
Runtuhnya ajaran Islam yang terakhir ialah ṣalāt. Maksudnya apabila
perintah ṣalāt sudah tidak dihiraukan lagi, apabila suara azan yang
merupakan panggilan untuk menunaikan ibadah ṣalāt sudah tidak lagi
menggugah perasaan, tidak menarik perhatian lagi dari umat Islam sendiri.
Maka itu artinya Islam sudah terkubur dari muka bumi.
Demikianlah pentingnya kedudukan ṣalāt itu menurut ajaran Islam, sebab
itu Allah swt memperingatkan umat Islam berulang-ulang dalam berpuluh-
puluh ayat untuk menegakkan ṣalāt, baik di rumah maupun dalam
perjalanan, baik waktu aman atau dalam peperangan, baik waktu sehat
maupun sakit. Intinya selama hayat masih dikandung badan, ṣalāt wajib
ditegakkan menurut kemampuan.
f) Ṣalāt merupakan ibadah yang menjadi jaminan untuk masuk surga.25
Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
يزأن اب نمري دب ني يب نحب انعن مم ي يب نسعيدعن مالكعن ثنعن بنوحد رجلمن واجبف قالا ال وت ر ي قولإن مم د أبا يكن رجلبالش ام ع س دجي عىال مخ يد كنانة دجي ل مخ
جدفأ تإلعبادةب نالص امتفاع ت رض تلووىورائحإلال مس بال ذيقالأبومم دف رح ب ر تو خ كذبأبومم دسع ترسولالل وصل ىالل وعلي ووسل مي قولخ سصلوات كتب هن الل وف قالعبادة
م ل يضيع جاءبن وجل علىال عبادفمن عز دأن كانلوعن دالل وعه فافابقهن تخ شي ئااس هن ن شاءأد خ بووإن شاءعذ دإن ف لي سلوعن دالل وعه يأ تبن ل ن ةومن خلوال ن ة.يد لوال
“Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa'id dari
Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz, bahwa ada seorang laki-
laki Bani Kinanah yang bernama Al-Mukhdaji, mendengar seorang laki-laki yang
24
Imam Ghazali, Kesilapan ketika Sembahyang, h. 27. 25
T.A. Lathief Rousydiy, Kaifiyat Shalat Rasulullah s.a.w., h. 3.
24
diberi julukan Abu Muhammad berkata di wilayah Syam, "Witir itu wajib." Al-
Mukhdaji berkata; "Aku kemudian menemui Ubadah bin Shamit, aku
mencegatnya saat ia berangkat ke masjid. Aku lalu kabarkan kepadanya dengan
apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad. Ubadah pun berkata, "Abu
Muhammad telah berdusta. Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Lima Ṣalāt Allah Azza Wa Jalla telah mewajibkannya
kepada-Nya. Barangsiapa melaksanakan dan tidak meninggalkan satupun
darinya karena meremehkan kewajiban, niscaya baginya janji Allah untuk
memasukkannya ke surga. Barangsiapa tidak melakukannya, niscaya dia tidak
mendapatkan janji Allah (untuk memasukkannya ke surga) . Jika berkehendak
Allah akan menyiksanya, dan jika berkehendak maka Allah akan memasukkannya
ke dalam surga.”26
g) Ṣalāt adalah syiar agama Islam yang utama dan merupakan tali
penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Ṣalāt adalah ibadah yang
menunjukan keimanan dan ke-Islaman seseorang dan merupakan ibadah
yang meninggalkan kesan dalam jiwa manusia, karena itulah agama
meninggikan derajat dan membesarkan martabat. Ṣalāt itu merupakan
ibadah yang terbesar yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah
swt.27
Sebab itu Rasulallah saw bersabda:
ث ناعب دالل روب نسو ادقالحد ث ناىارونب نمع روفوعم وحد ارثعن روب نال عم بعن وب نوى أبىري ثعن وانيد عأباصالحذك رأن وس مو لأببك سي رسولالل وعمارةب نغزي ةعن رةأن
ثرواالدعاء.صل ىالل وعلي ووسل مقالأق ربما ربووىوساجدفأك يكونال عب دمن “Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma'ruf dan Amru bin
Sawwad keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb
dari Amru bin al-Harits dari Umarah bin Ghaziyyah dari Sumai, maula Abu
Bakar bahwasanya dia mendengar Abu Shalih Dzakwan bercerita dari Abu
Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Keadaan
seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka
perbanyaklah doa.”28
26
Abu Abdullah bin Malik bin Anas, Al-Muwaṭṭa‟, (Beirut: Dar al-Jil), h. 114. 27
Imam Ghazali, Kesilapan ketika Sembahyang, h. 30. 28
Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, juz II, h. 438.
25
Sujud merupakan posisi yang paling dekat antara seorang hamba dengan
Rabb-nya dan posisi yang paling dicintai Allah swt. Siapa saja yang
memperbanyak sujud, ia akan semakin dekat dengan Allah swt. Karena,
sujud merupakan muara ibadah dan kerendahan. Hanya milik Allah-lah
puncak kemuliaan dan milik-Nya kemuliaan yang tidak terukur. Semakin
seseorang menyelami sifat-sifatNya, semakin dekat ia dengan Allah swt.
2. Pengertian Ṣalāt Arba‘īn
Arba„īn atau Arba„ūn dalam bahasa arab berarti empat puluh. Yang
dimaksud dengan Ṣalāt Arba„īn adalah melakukan ṣalāt empat puluh waktu di
Masjid al-Nabawī secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbirah al-ihrām
bersama imam29
. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat
mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia
dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madīnah al-
Munawwarah selama 8 hari (minimal) agar bisa menjalankan ṣalāt arba„īn.
Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadis dari Anas bin Malik bahwa Nabi
saw. bersabda:
لوب راءةمنالن ار،وناةمنال كتبت جديأر بعنيصلة،لي فوتوصلة، صل ىفمس عذاب،من .وبرئمنالن فاق
“Barang siapa Ṣalāt di masjidku empat puluh Ṣalāt tanpa ketinggalan
sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan
dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad)
29
Sumuran Harahap, Kamus Istilah Haji & Umrah, (Jakarta: Mitra Abadi Press), Jld 1, h,
689.
26
B. Alasan Melaksanakan Ṣalāt Arba‘īn
Ada sejumlah hadis yang menjelaskan keistimewaan Masjid al-Nabawī.
Dalam sebuah hadis disebutkan larangan untuk melakukan perjalanan jauh selain
ketiga masjid, yaitu Masjid al-Harām (Makkah), Masjid al-Nabawī (al-Madīnah),
dan Masjid al-Aqṣā (Palestina). Sabda Rasulullah saw.:
ثلثةإلإل الرحالتشدلقالوسل معلي والل وصل ىالن بعن عن والل ورضيىري رةأبعن جدمساجد رامال مس جدال جدوسل معلي والل وصل ىالر سولومس ق صىومس ال
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidaklah ditekankan untuk berziarah kecuali untuk
mengunjungi tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu 'alaihi
wasallam dan Masjidil Aqsha".(HR. al-Bukhari)30
Orang yang ṣalāt di Rawḍah Masjid al-Nabawī itu sama dengan ṣalāt di
salah satu taman surga. Rasulullah saw. bersabda:
ما ن ةرياضمن رو ضةوب ي تمن بيب ني ال
"Tempat antara mimbarku dan rumahku adalah satu taman dari taman-
taman surga." (HR. Muslim)31
لوب راءةمنالن ار،وناةمنال كتبت جديأر بعنيصلة،لي فوتوصلة، صل ىفمس عذاب،من
.وبرئمنالن فاق
“Barang siapa Ṣalāt di masjidku empat puluh Ṣalāt tanpa ketinggalan
sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan
dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad).32
30
Muhammad ibn Ismaīl Abū ‘Abdillah al-Bukhāri, al-Jāmi’ al-Sahīh, (Dar Tūq al-Najāh,
1422 H), juz, 2, h. 60. 31
Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, juz II, h. 1010.
27
Pahala orang yang ṣalāt di Masjid al-Nabawī sama dengan orang yang
ṣalāt seribu kali di Masjid lainnya. Beliau bersabda:
جدالرام س امل أل فصلةفيماسواه،إل رمن جديىذاخي صلةفمس
“Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid
lain, kecuali Masjidil Haram”. (HR. al-Bukhari).33
Alasan-alasan inilah yang menunjukkan bahwa berziarah ke Masjid al-
Nabawī memiliki arti sangat penting. Jika ṣalāt sekali di Masjid al-Nabawī itu
sama dengan ṣalāt seribu kali di masjid lain maka ṣalāt arba„īn (ṣalāt 40 kali
secara berjamaah di Masjid Nabawī) itu bisa disamakan dengan Ṣalāt 40.000 kali
di masjid lain atau selama 24 tahun. Mengingat pahala yang sangat besar inilah
Rasulullah saw. menganjurkan umatnya untuk melakukan ṣalāt arba„īn di
Masjidnya. Orang yang ingin mengerjakannya hanya membutuhkan waktu 8 hari
saja.34
Dengan demikian, melaksanakan jamaah ṣalāt arba„īn di Masjid al-
Nabawī bagi orang yang telah selesai menunaikan rangkaian amalan ibadah haji,
atau sebelum melaksanakan ibadah haji adalah termasuk ibadah yang sangat
mulia, pahalanya sebagaimana disebutkan, dijauhkan dari api neraka dan sifat
kemunafikan, akan tetapi ini bukanlah sebagai syarat maupun rukun haji,
melainkan menjadi rentetan kegiatan dari jamaah haji semisal dari Indonesia
atapun dari Negara lain.
32
Abū ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn
Hanbal, (Beirut: Muasasah al-Risālah, 2001), juz, 20, h. 40. 33
Muhammad ibn Ismaīl Abū ‘Abdillah al-Bukhāri, al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, juz, 2, h. 60. 34
‘Ablah Muhammad al-kahlawi, Buku Induk Haji dan Umrah Untuk Wanita,
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin, (Jakarta: Zaman, 2009), cet.1, h, 416.
28
Ṣalāt Arba„īn adalah sebenarnya ṣalāt yang biasa dilakukan oleh umat
Islam pada umumnya, yaitu ṣalāt fardu yang biasa dilakukan dalam sehari-
semalam sebanyak 5 (lima) waktu. Hanya saja di sini, para jamaah haji dituntut
untuk melaksanakannya secara berjamaah di Masjid al-Nabawī sebanyak 40
waktu tanpa terputus satu kalipun. Maka ketika salah satunya ditinggalkan,
gugurlah pahala ṣalāt arba„īnnya. Maka, para jamaah haji yang niatnya sudah
bulat dan ikhlas untuk beribadah kepada Allah swt, mereka akan merasa menyesal
sekali (jika tidak dikatakan berdosa) bila ketinggalan dalam ṣalāt arba„īn ini.
Karena pahala yang akan mereka dapat sungguh sangat besar sekali.
Sesungguhnya ṣalāt berjamaah merupakan suatu perbuatan yang dipenuhi
dengan pahala. Sejak kita keluar dari rumah menuju masjid sampai selesai ṣalāt
dan kembali kerumah, maka para malaikatpun sibuk untuk mencatat pahalanya.
Melaksanakan ṣalāt berjamaah merupakan perbuatan seorang hamba yang hanya
mengharap akan mendapatkan keutamaan dari Allah swt, dan suatu perbuatan
yang menghapus dosa serta mengangkat beberapa derajat kita di sisi Allah swt.35
Mendudukkan ibadah ṣalāt diniatkan untuk mencari pahala tidaklah tepat,
salah satu dari tujuan ṣalāt adalah untuk mengingat Allah swt dan mencari
keridlaan-Nya sebagaimana dalam firman Allah swt:
نوأقمالص لإن نأناالل ولإلوإلأن ري)وافاع بد (٤١ةلذك
35
Abdullah bin Jarullah, Keutamaan Salat Berjamaah, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995),
cet. 1, h. 30.
29
“ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.(Q.S.
Thaaha;14)36
ال عالمني) (٤٦١قل إن صلتونسكيوم يايوماتلل ورب
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(Q.S. al-An’am;162)37
36
Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. (al-Madīnah al-
Munawwarah: Mujamma’ Khādim al-Harāmain al-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā’at al-Muṣḥaf al-
Syarīf:1971). 37
Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya.
30
BAB III
TAKHRĪJ HADIS MENGENAI ṢALĀT ARBA‘ĪN
A. Teks Hadis dan Terjemahannya
Hadis mengenai ṣalāt arba„īn ialah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik yang berbunyi;
Redaksi dalam kitab musnad Ahmad ibn Hanbal :
ث نا كم حد كم م نح أنا وس عحت و اللو عبحد الرححن عبحد أب و قال م وسى بحن الح ث نا م وسى بحن الح الرححن عبحد حد عنح مال ك بحن أنس عنح ع مر بحن ن ب يحط عن الرجال أب بحن صلى منح قال أنو وسلم عليحو اللو صلى النب د ي ف الن فاق م نح وبر ئ الحعذاب م نح وناة النار م نح ب راءة لو ك ت بتح صلة ي ف وت و ل صلة أرحبع ي مسحج
“Telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Abu Abdurrahman
Abdullah: Aku mendengar dari Hakam bin Musa (dimana) telah menceritakan pada
kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan
Nabi saw bahwasannya beliau bersabda: “Barangsiapa melaksanakan ṣalāt
(sebanyak) 40 kali ṣalāt di masjidku (dengan) tidak tertinggal satu pun, dicatat
baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa, dan terhindar dari
kemunafikan” ( H.R. Ahmad)1
Redaksi hadis dalam kitab al-Mu‟jam al-Awsaṭ al- Tabarani:
كم بحن قال: ث نا الح ث نا م مد بحن عل ي الحمد ين ، عنح ن ب يحط حد م وسى قال: ث نا عبحد الرححن بحن أب الرجال د ي أرحبع ي لى اهلل عليحو وسلم: بحن ع مر، عنح أنس بحن مال ك قال: قال رس ول اللو ص منح صلى ف مسحج
ن الحعذاب صلة ل ي ف وت و صلة ، كتب الل ن النار ، وناة م و لو ب راءة م
1Abū „Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal,
(Beirut: Muasasah al-Risālah, 2001), juz, 20, h. 40.
31
“Telah menceritakan pada kami Muhammad bin „Ali al-Madini, berkata
Muhammad bin „Ali: telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata
Hakam bin Musa: telah menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari
Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasanya beliau bersabda:
“Barangsiapa melaksanakan ṣalāt (sebanyak) 40 kali di masjidku (dengan) tidak
tertinggal satu pun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa”
(H.R. al-Tabrani)2
B. Kegiatan Takhrīj Hadis
Sebelum melakukan kegiatan takhrīj, ada baiknya kita memahami terlebih
dahulu apa arti kata takhrīj. Takhrīj berasal dari kata kharaja (خزج) yang berarti
mengeluarkan.3 Dalam kamus al-Munawwir lafaz استخزج : اختزج : اخزج : خزج
bermakna ضذ ادخل (lawannya memasukan).4 Pada kitab usūl al-Takhrīj wa Dirāsat al-
Asānid kata takhrīj diartikan dengan : pertama, Istinbaṭ berarti mengeluarkan. Kedua,
Tadrīb bermakna meneliti atau melatih. Ketiga, Tawjīh artinya memperhadapkan.5
Adapun menurut istilah Takhrīj adalah:
ة اج الح د نح ع و تح ب ت رح م ان ي ب ث ه د ن س ب و تح ج ر خح ا ت ال ة ي ل صح الح ر اد ص م ف ث يح د الح ع ض وح ى م ل ع ة ل ل د ال و ى “menunjukan posisi hadis dalam sumber-sumber asli yang di keluarkan
dengan sanadnya. Kemudian menjelaskan kedudukan hadis ketika dibutuhkan”.
Di dalam men-takhrīj hadis, seorang peneliti harus juga mengetahui metode-
metode dalam men-takhrīj hadis. Metode-metode tersebut adalah:
1. Men-takhrīj hadis melalui periwayat pertama.
2. Men-takhrīj hadis melalui awal matan
2Sulaiman ibn Ahmad al- Tabrani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, (Mesir: Dar al-Qāhirah), juz V, h.
325. 3 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 155.
4A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya Agung : Pustaka
Progresif, 1997), h. 330. 5 Mahmud al-Tahhan, Usūl at-Takhrīj wa al-Dirāsah al-Asānid, (Riyad: Maktabah al-Ma‟arif,
1991), h. 8.
32
3. Men-takhrīj hadis melalui kata-kata yang ada dalam matan
4. Men-takhrīj hadis melalui tema.
5. Men-takhrīj hadis melalui status hadis.
1. Penelusuran Hadis Melalui Matan
Penulis berusaha menelusuri hadis melalui kata-kata yang ada dalam matan
hadis dengan menggunakan kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīṡ, namun
penulis tidak menemukan informasinya, begitu juga penulis mencari pada kitab
Tuhfah al-Asrāf bi Ma‟rifah al-Atrāf, Mausū„ah al-Atrāf, Miftah al-Kunūz, al-Jāmi‟
al-Ṣagīr min Hadīṡ al-Basyīr al-Nażīr, hal yang sama juga penulis tidak mendapatkan
informasinya. Lalu penulis mencarinya dengan menggunakan kitab Kanz al-„Ummāl
yang ditulis oleh „Ali al-Mutqi bin Hisyam al-Din al-Hindi ditemukan keterangan di
kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Redaksi dalam kitab Kanz al-„Ummāl pada bab Faḍāil al-madīnah wa Mā
Hawlaha.
ع ب رح أ يح د ج سح م ى ف ل ص نح " م ئ ر ب و اب ذ ع الح ن م اة ن و ار الن ن م ة اء ر ب و ل تح ب ت ك ة ل ص و ت وح ف ي ل ة ل ص يح )6عن أنس -حم (. " اق ف الن ن م
6 „Ala al-Din al-Muttaqin Ibn Hisyam al-Din al-Hindi, Kanz al-„Ummāl Fi Sunan al-Aqwāl
wa al-Af‟āl, ( Beirut: Mu‟assasah al-Risalah,1989),juz 12,h. 259.
33
Berikut redaksi dalam kitab musnad Ahmad ibn Hanbal :
ث نا كم حد كم م نح أنا وس عحت و اللو عبحد الرححن عبحد أب و قال م وسى بحن الح ث نا م وسى بحن الح الرححن عبحد حد عنح مال ك بحن أنس عنح ع مر بحن ن ب يحط عن الرجال أب بحن صلى منح قال أنو وسلم عليحو اللو صلى النب د ي ف الن فاق م نح وبر ئ الحعذاب م نح وناة النار م نح ب راءة لو ك ت بتح صلة ي ف وت و ل صلة أرحبع ي مسحج
C. Kegiatan Penelitian Hadis
1. Penelitian Sanad Hadis
a. I’tibar Sanad
I‟tibar sanad penelusuran atas jalur-jalur periwayatan sebuah hadis untuk
mengetahui ada atau tidaknya persamaan riwayat dengan jalur lain. Dalam I‟tibar ini
pula, akan diketahui apakah hadis yang diteliti memiliki syawāhid (hadis yang
periwayat di tingkat sahabat Nabi lebih dari seorang) atau mutābi‟ (hadis yang
diriwayatkan lebih dari satu orang dan terletak bukan pada tingkat sahabat) dari jalur
lain. I‟tibar sanad akan jelas terlihat pada skema sanad yang tertera pada berikut ini.
Namun di sini akan diuraikan terlebih dahulu keadaan sanad hadis tersebut secara
rinci.
Melalui penelitian yang dilakukan dengan menelusuri kitab-kitab induk hadis,
nampak bahwa hadis tentang “Ṣalāt Arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah”
hanya memiliki satu jalur riwayat yang berakhir pada sahabat Anas ibn Malik. Berarti
hadis ini tidak memiliki syawāhid karena hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat.
34
Namun hadis ini memiliki mutābi‟ pada thabaqāt kelima setelah al-Hakam ibn Musa.
Hal ini ditunjukkan sebagaimana yang tertera pada skema.
Skema Hadis
د ي ف صلى منح لى اهلل عليحو وسلم:رس ول اللو ص ال ق ل صلة أرحبع ي مسحج الن فاق م نح وبر ئ الحعذاب م نح وناة النار م نح ب راءة لو ك ت بتح صلة ي ف وت و
أنس بن مالك
نبيط بن عمر
عبد الرحن بن أب الرجال
الكم بن موسى
محمد بن علي المديني أحد بن حنبل
الطرباين
35
b. Kritik Sanad
Sanad menurut bahasa berarti “bagian tanah yang tinggi”, “puncak gunung”,
“naik”, “sandaran”7. Sedangkan menurut istilah adalah rangkaian para periwayat
hadis yang mengutip matan dari sumber awal (Rasulullah saw)8
Terbunuhnya Umar ibn al-Khattab pada tahun 24 H tidak banyak
mempengaruhi perkembangan ilmu kritik hadis. Namun terbunuhnya Utsman ibn
„Affan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein ibn Ali pada tahun 61 H,
yang diiringi lahirnya kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam, sangat
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kritik hadis. Karena untuk memperoleh
legitimasinya, masing-masing kelompok itu mencari dukungan dari hadis Nabi saw
apabila hadis yang dicarinya tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis
palsu.
Maka sejak saat itu para ulama kritikus hadis dalam menyeleksi hadis tidak
hanya mengkritiknya dari segi matan (materi)-nya, melainkan juga dengan meneliti
identitas periwayat hadis tersebut. Imam Muhammad ibn Sirrin (33-110 H)
menuturkan, “Pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad
(transmisi hadis). Namun setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman ibn „Affan),
apabila mendengar hadis mereka selalu menanyakan dari siapa hadis itu diperoleh.
7Ibn Manzur, Lisān al-„Arab, (Beirut:Dar Beirut, 1968), jilid II, h. 215.
8Muhammad „Ajaj al-Khatib, Uṣūl al-Hadīṡ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 32.
36
Apabila diperoleh dari “Ahl al-Sunnah”, hadis itu diterima sebagai dalil dalam
agama, dan apabila diperoleh dari orang-orang penyebar bid‟ah, hadis itu ditolak9.
Di sinilah sebenarnya letak urgensinya sanad hadis, sebab tanpa sanad, setiap
orang dapat mengaku dirinya pernah bertemu dengan Nabi saw; karenanya, tepat
sekali ucapan Abdullah ibn al-Mubarak (w 181 H), “ Sistem sanad itu merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam. Sebab tanpa adanya sistem sanad
setiap orang dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Bahkan sistem sanad itu
merupakan salah satu keistimewaan umat Islam, dimana sistem itu tidak dimiliki
umat-umat yang lain.
Dalam penelitian ini, penulis hanya mendapatkan keterangan pada kitab
musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal dari kitab Kanz al-„Ummāl, jalur riwayat Imam
Ahmad ibn Hanbal diriwayatkan oleh beberapa periwayat.
Urutan nama periwayat Imam Ahmad ibn Hanbal yang penulis teliti adalah:
Periwayat I : Anas ibn Malik
Periwayat II : Nubaith ibn Umar
Periwayat III : Abdurrahman ibn Aby al-Rijal
Periwayat IV : al-Hakam ibn Musa
Periwayat V : Ahmad ibn Hanbal
9Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. 5, h. 3-4.
37
Dalam kritik sanad ini penulis memulai dari periwayat terakhir (mukharij),
yakni Ahmad ibn Hanbal lalu diikuti oleh periwayat sebelumnya dan seterusnya.
1. Ahmad ibn Hanbal (w 241 H)10
a. Nama Lengkapnya: Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad
al-Syaibani Abu Abdurrahman al-Bagdady. Beliau lahir di Bagdad tahun
164 H dan meninggal dunia di Bagdad pada tanggal 12 Rabiul Awwal
tahun 241 H pada usianya yang ke 77 tahun. Dalam mencari ilmu beliau
berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Selain itu beliau pernah
belajar kepada Imam Syafi‟I pada masa khalifah Mu‟tasim. Beliau pernah
di penjarakan selama kurang lebih dua puluh delapan bulan dikarenakan
tidak mau mengakui bahwa al-Qur‟an itu makhluk. Selama dalam penjara
beliau disiksa dan disakiti sampai beliau tidak berdaya. Setelah tahun 220
H beliau dibebaskan kemudian setelah itu pula ia muncul sebagai seorang
Imam hadis. Ahmad Ibn Hanbal telah banyak menulis kitab, akan tetapi
dari sekian banyak kitab yang paling terkenal adalah al-Musnad . isinya
kurang lebih 300.000 hadis yang terpilih dari 750.000 hadis.
b. Guru-gurunya: Hasyim ibn Basyir, Sufyan ibn Uyainah, Ibrahim ibn
Sa‟ad, Yahya ibn „Adam, Abu Mu‟awiyah al-Duari, al-Hakam ibn Musa,
10
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, (al-Hindi: Dāirah al-Ma„ārif al-Niẓamiyah, 1326
H), Juz, 5, h. 320-383. Al-Mizzy, Tahżīb al-Kamāl, juz, 1, h. 56.
38
Abdul Razzaq al-Maliki ibn Muslim, Imam al-Syafi‟I, al-Qadi Abu Yusuf,
dan lainnya.
c. Murid-muridnya: „Ali ibn al-Madany, Yahya ibn Ma‟in, Duhaim al-
Syamy, Ahmad ibn Shalih al-Mishri, Ahmad Ibn Abi al-Hawari, dan
lainnya.
d. Pendapat Ulama Hadis:
1) Yahya ibn Ma‟in menuturkan; Aku tidak pernah melihat seseorang
yang meriwayatkan hadits karena Allah kecuali tiga orang; Ya‟la Ibn
„Ubaid, Al-Qa‟nabi, Ahmad Ibn Hanbal.
2) Dzahaby; Ahmad Ibn Hanbal adalah orang yang Hāfiẓ, Ṣāduq.
2. Al-Hakam ibn Musa (w 232 H)11
a. Nama Lengkapnya: al-Hakam ibn Musa ibn Abi Zuhair al-Bagdady.
b. Guru-gurunya: Isma‟il ibn „Iyas, al-Khalil ibn Abi al-Khalil, Sabrah ibn
„Abdul „Aziz ibn al-Rabi‟i ibn Sabrah, Sa‟id ibn Maslamah al-Umawi,
Su‟aib ibn Ishaq al-Dimsyiqi, Sadaqah ibn Khalid, „Ubad ibn „Ubad al-
Mahlaby, „Abdullah ibn Ziyyad al-Falisthiny, ‘Abdurrahman ibn Aby
al-Rijal, Ghasan ibn „Ubaid, dan lainnya.
c. Murid-muridnya: al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibrahim ibn Aby
Dawud al-Barlisy, Ahmad ibn Ibrahim al-Dawraqy, Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal, Ahmad ibn Mansur al-Ramady, Abu Bakr
Ahmad ibn „Ali ibn Sa‟id al-Maruzy al-Qadi, dan lainnya.
11
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 440.
39
d. Pendapat Ulama Hadis:
1) Yahya ibn Ma‟in; Laisa Bihi Ba‟ṡ.
2) Abu Hatim; Ṣāduq.
3) Musa ibn Harun; Syaikhu al-Ṣālih
4) Ibnu Hibban; disebutkan dalam “al-Ṡiqāt”
3. Abdurrahman ibn Abi al-Rijal12
a. Nama Lengkapnya: Muhammad ibn Abdurrahman ibn Abdullah ibn
Haritsah ibn al-Nu‟man al-Anshary al-Najjary.
b. Guru-gurunya: Ishaq ibn Yahya ibn Talhah ibn „Ubaidillah, Haritsah ibn
Abi al-Rijal (saudaranya), Rabi‟ah ibn Abi Abdurrahman, Abdullah ibn
Abi Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, Abdurrahman ibn Amr al-
Awza‟iy, dan lainnya.
c. Murid-muridnya: Isma‟il ibn Qais ibn Sa‟ad ibn Zaid ibn Tsabit al-
Anshary, Basyar ibn al-Hakam al-Naisabury, al-Hakam ibn Musa,
Sulaiman ibn Abdurrahman al-Dimsyiqi, Suwai ibn Sa‟id al-Hadatsaniy,
Abdullah ibn Yusuf al-Tanisy, Abdul „Aziz ibn Abdullah al-
Uwaisy,‟Amran ibn Khalid ibn Abi Jamil, dan lainnya.
d. Pendapat Ulama Hadis:
1) Yahya ibn Ma‟in: Ṡiqāh.
2) Abu Hatim: Ṣālih.
12
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 169. Al-Mizzi, Tahżīb al-Kamāl,juz,17, h, 88-
89.
40
3) Ibnu Hibban: disebutkan dalam “al-Ṡiqāt” terkadang juga salah.
4. Nubaith ibn Umar
a. Nama lengkapnya: Tidak dikenal.
b. Guru-gurunya: Tidak dikenal.
c. Murid-muridnya: Tidak dikenal.
d. Pendapat Ulama Hadis:
1) Ibnu Hibban: Ṡiqāh (disebutkan dalam “al-Ṡiqāt”). Hanya Ibnu
Hibban yang memberikan penilaian terhadap Nubaith ibn Umar,
dikuatkan oleh al-Mundziri dan al-Haitsami.
5. Anas ibn Malik (w 92 H)13
a. Nama Lengkapnya: Anas Ibn Malik ibn an-Nadr ibn Damdam ibn Zaid
ibn Haram ibn Jundab ibn „Amir ibn „Ady ibn an-Najar al-Ansary. Anas
ibn Malik adalah urutan ketiga dari sahabat yang banyak meriwayatkan
hadis. Ada 2286 hadis yang ia diriwayatkan. Anas adalah Khādam
(pembantu) Rasulullah ketika berusia sepuluh tahun, Ibunya Ummu
Sulaim, Ayahnya bernama Malik ibn al-Nadir. Anas tidak ikut berperang
dalam peperangan badar akbar, karena pada waktu itu usianya masih
sangat muda, tetapi banyak mengikuti peperangan lainnya sesudah itu.
Pada waktu Abu Bakar meminta pendapat „Umar mengenai pengangkatan
Anas menjadi pegawai di Bahrain, „Umar memujinya: “Dia adalah anak
muda yang cerdas, bisa membaca dan menulis”. Ia terkenal dengan wara‟
13
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 390-392.
41
dan taqwa karena pergaulannya yang lama dengan Rasulullah saw. pada
hari-hari terakhir masa kehidupannya, Anas berpindah ke Basrah. Ia wafat
pada tahun 92 H, ada yang mengatakan 93 H, adalah sahabat terakhir yang
meninggal di Basrah. Usianya melampaui seratus tahun, pada hari
wafatnya, muwarriq berkata: “Telah hilang separuh ilmu, jika ada
seseorang yang suka memperturutkan kesenangannya bila berselisih
dengan kami, kami berkata kepadanya: “Marilah menghadap orang yang
pernah mendengar dari Nabi saw.14
b. Guru-gurunya: Nabi Muhammad saw., Abu bakar, „Umar, „Utsman,
„Abdullah ibn Ruahah, Fatimah Az-Zahra, Abdurrahman ibn „Auf, Abi
Talhah, Mu‟adz ibn Jabal.
c. Murid-muridnya: al-Hasan, Sulaiman at-Tamimy, Abu Qilabah, Ishaq ibn
Abi Talhah, Qatadah, Tsabit al-Banany, Muhammad ibn Sirin, dan
lainnya.
d. Pendapat Ulama Hadis:
1. Ali ibn al-Ja‟di berkata dari Syu‟bah dari Tsabit; Abu Hurairah
berkata: Saya tidak pernah melihat seorang pemuda yang ṣalāt bersama
Rasulallah saw, dari Ibn Ummi Salim. „Ali ibn al-Madiny berkata:
Orang yang terkhir menetap di Basrah dari sahabat-sahabat Rasulallah
saw adalah Anas.
14
Subhi al-Sālih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis(terjemahan),(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.
336.
42
Hadis ini mempunyai mutābi‟ dari Imam al-Tabarani, dalam kitabnya al-
Mu‟jam al-Awsaṭ pada bab “Man Ismuhu Muhammad”.15
Namun al-Tabarani
mengatakan; "Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith, dan
Abdurrahman ibn Abi al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith".
Redaksi hadis dalam kitab al-Mu‟jam al-Awsaṭ al-Tabarani:
كم بحن م وسى قال: ث نا عبحد الرححن بحن أب قال: ث نا الح ث نا م مد بحن عل ي الحمد ين ، عنح ن ب يحط حد الرجال د ي أرحبع ي لى اهلل عليحو وسلم: بحن ع مر، عنح أنس بحن مال ك قال: قال رس ول اللو ص منح صلى ف مسحج
ن الحعذاب ن النار ، وناة م صلة ل ي ف وت و صلة ، كتب اللو لو ب راءة م Urutan nama periwayat Imam al-Tabarani yang penulis teliti adalah:
Periwayat I : Anas ibn Malik
Periwayat II : Nubaith ibn Umar
Periwayat III : Abdurrahman ibn Aby al-Rijal
Periwayat IV : al-Hakam ibn Musa
Periwayat V : Muhammad ibn Ali al-Madiny
Periwayat VI : al-Tabrani
Dalam kritik sanad ini penulis memulai dari periwayat terakhir (mukharij),
yakni al-Tabarani lalu diikuti oleh periwayat sebelumnya dan seterusnya.
15
Al-Tabrani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ,(Mesir: Dar al-Haramain), juz, 5, h. 325.
43
1. Al-Tabarani (w 360 H)
a. Nama Lengkapnya: Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayub ibn
Matir al-Lakhmy al-Syamy al-Tabrani. Yang memiliki tiga kitab al-
Mu‟jam al-Kabīr, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, al-Mu‟jam al-Ṣagīr16
.
b. Guru-gurunya: Aby Zur‟ah al-Dimasyqy, Ishaq ibn Ibrahim al-Dabiry,
Idris ibn Ja‟far al-„Athar, Basyar ibn Musa, Miqdam ibn Dawud al-
Ra‟any, Yahya ibn Ayub al-„Alaf, Abdullah ibn Muhammad ibn Sa‟id ibn
Aby Maryam, Ahmad ibn Abd al-Wahab al-Huthy, Ahmad ibn Dawud al-
Bisry, Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, dan lainnya.
c. Murid-muridnya: Abu Khalifah al-Jamhy, al-Hafidz ibn „Uqdah, Ahmad
Ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Sahaf, ibn Mandah, Abu Bakar ibn
Mardawih, Abu Nu‟aim al-Asbahany, Abu „Umar Muhammad ibn al-
Husain al-Busthamy, dan lainnya.17
d. Pendapat Ulama Hadis:
1) Abu Bakar ibn Abi „Ali: Kaṡīrah hadīṡuh.
2) Al-Hafidz Abu „Abdillah ibn Mundah: ahad al-hafiẓ al-Manẓūrin18
.
2. Muhammad ibn ‘Ali al-Madini
a. Nama Lengkapnya: tidak dikenal
b. Guru-gurunya: tidak dikenal
16
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah,(Dār ihyā al-Turaṡ, 1408/1988), juz, 11, h. 288.
Lihat juga al-Dzahaby, Siyaru „Alāmi al-Nubalā,( Beirut: Muassasah al-Risālah, 1405/1985), juz, 10,
h. 64. 17
al-Dzahaby, Siyaru „Alāmi al-Nubalā, juz, 10, h. 65. 18
Al-Tabrani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, jld, 1, h, 9.
44
c. Murid-muridnya: tidak dikenal
d. Pendapat Ulama Hadis: tidak dikenal
3. Al-Hakam ibn Musa (w 232 H)19
a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
c. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
4. Abdurrahman ibn Abi al-Rijal20
a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
5. Nubaith ibn Umar
a. Nama lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
6. Anas ibn Malik (w 92 H)21
a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
19
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 440. 20
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 169. Al-Mizzi, Tahżīb al-Kamāl,juz,17, h, 88-
89.
21
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 390-392.
45
c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.
Penelitian sanad hadis di atas tentang ṣalāt arba„īn di Masjid al-Nabawī al-
Madīnah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dan mutābi‟nya Imam al-
Tabarani, setelah penulis mencari data perawi tersebut dari kitab Rijāl al-Hadīṡ,
bahwa ada dua periwayat yang tidak dikenal/tidak diketahui keadaannya (Nubaith ibn
Umar dan Muhammad ibn „Ali al-Madani). Imam al-Tabarani setelah mencantumkan
hadis tersebut beliau berkomentar: “Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali
Nubaith, dan Abdurrahman ibn Abi Al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith”.
Namun ada peneliti terdahulu Al-Mundziri dalam al-Targīb wa al-Tarhīb, dan Al-
Haitsami dalam Majma‟ al-Zawāid wa Manba‟ al-Fawāid nomor hadis 587822
,
setelah mencantumkan hadis ini, keduanya berkomentar menguatkan jalur perawinya,
sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan al-Mu‟jam Al-Awsaṭ di atas.
Masalah yang dipersoalkan dalam jalur sanadnya adalah adanya seorang
perawi yang bernama Nubaith bin Umar, yang ternilai majhūl (tidak diketahui
keadaannya), dimana hanya Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menguatkannya
dengan mendasarkan pada penilaian Ibnu Hibban dalam “Al-Ṡiqāt”23
. Namun, di
kalangan kritikus hadis, Ibnu Hibban dikenal sebagai kritikus yang dimasukkan
dalam kategori mutasāhil (mudah mengangkat derajat penilaian terhadap perawi yang
22
Abu al-Hasan Nur al-Din „Ali Ibn Abi Bakar Ibn Sulaiman al-Haitsami, Majma‟ al-Zawāid
wa Manba‟ al-Fawāid, (Kairo: Maktabah al-Qudsiy, 1414 H/ 1994 M), juz, 4, h. 8. 23
Ibnu Hibban, “al-Ṡiqāt”, (Dairah al-Ma‟arif al-„Utsmaniyah), juz, 5, h. 483.
46
majhūl). Maka dalam kajian kritik hadis, keadaan perawi demikian disebut dengan
majhūl „ain (tidak diketahui data pribadinya sedikitpun). Sementara itu, kritikus hadis
modern, Nashirudin Al-Albani dalam Silsilah al-Ahādīṡ al-Ḍa„īfah24
pada bab 364
dan Ḍa„īf al-Targīb wa al-Tarhīb 25
pada bab Kitāb al-Haj, mengomentari hadis di
atas dengan mengatakan: “Sanad hadis ini daif, Nubaith tidak dikenal kecuali dalam
hadis ini, hadis ini munkar (informasi hadis hanya dari satu jalur). Sementara
Muhammad Ibn „Ali al-Madani tidak diketahui informasinya.
Dalam hal ini,26
penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh al-Albani
bahwa perawi yang bernama Nubaith ibn Umar itu majhūl „ain, tidak diketahui
keadaannya dalam beberapa kitab Rijāl al-Hadīṡ. Menurut disiplin ilmu hadis,
manakala terdapat perawi yang tidak diketahui keadaannya maka sanad perawi hadis
tersebut menurut jumhur ulama hadis, hukum riwayatnya tertolak dan hadisnya
termasuk daif.
24
Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahādiṡ al-
Ḍai'fah,(Riyadh: Dar al-Ma‟arif, 1412 H / 1992 M), juz, 1, h. 540. 25
Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ḍa'if al-Targīb wa al-Tarhīb, juz,
1, h. 189. 26
Dalam hal yang lain, penulis antipati terhadap syekh al-Albani, karena banyak di dalam
karya-karyanya, beliau mengidentifikasi setidaknya ada 990 hadis yang dianggap autentik oleh
mayoritas sarjana Muslim, namun oleh al-Albani dianggap lemah. Memang, ia menyatakan lemah
sejumlah hadis yang terdapat dalam sahih Muslim, salah satu koleksi hadis yang paling bergengsi.
(lihat dalam bukunya Kamarudin Amin; Menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, halaman
72).
47
2. Penelitian Matan Hadis
Untuk mengetahui sahih atau tidaknya suatu matan hadis diperlukan suatu
penelitian matan yang biasa disebut kritik matan (naqd matan). Kritik matan ini
adalah upaya mengkritisi materi atau pembicaraan yang disampaikan oleh sanad yang
terakhir untuk diketahui ke-sahih-an matan hadis tersebut. Perlunya penelitian matan
hadis tidak hanya karena keadaan matan itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan, matan hadis dikenal
adanya periwayatan secara makna (riwayat bil makna).27
Adanya periwayatan secara makna menyebabkan penelitian matan dengan
pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan tersebut terjadi karena matan
tersebut terlebih dahulu telah beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi
dan tidak jarang juga berbeda latar belakang budaya dan kecerdasannya, sehingga
menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman dalam suatu kata
ataupun istilah. Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan sangat
diperlukan selain pendekatan semantik karena sangat membantu kegiatan penelitian
yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan.
Untuk penelitian matan hadis dari segi kandungannya, acapkali diperlukan
penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam.
Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata memang
27
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 26.
48
masih tidak mudah dilakukan, apalagi kandungan matan hadis berhubungan dengan
masalah keyakinan tentang hal-hal yang ghaib dan petunjuk-petunjuk agama yang
bersifat ta‟abudi. Dengan begitu, penelitian matan hadis memang membutuhkan
kecerdasan penelitian dalam menggunakan cara pendekatan yang relevan dengan
masalah yang diteliti. Kesulitan penelitian matan juga disebabkan masih sangat
langkanya kitab-kitab yang secara khusus membahas kritik matan.28
Dalam memahami matan sebuah hadis diperlukan juga sebuah penafsiran
situasional. Sebagaimana yang dikutip oleh Fazlur Rahman, bahwa pemahaman
beberapa doktrin pokok harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali. Harus ditafsirkan
menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang tepat dalam
konteks kesejarahan. Harus dikemukakan secara tegas bahwa suatu revaluasi
terhadap aneka ragam unsur dalam hadis dan reinterpresentasi yang sempurna selaras
dengan perubahan-perubahan kondisi sosial dan moral dewasa ini meski dilakukan.29
Dalam buku metodologi penelitian hadis Nabi saw. karya M. Syuhudi Ismail
dijelaskan langkah-langkah metodologi kegiatan penelitian matan hadis, yaitu:
I. Meneliti matan dengan kualitas sanadnya.
a). Meneliti matan sesudah meneliti sanad.
b). Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya.
28
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 26. 29
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan, 1995), cet. 6, h. 73.
49
c). Kaidah kesahihan matan hadis, yakni terhindar dari syudzudz dan „illat.30
Adapun tolok ukur penelitian matan, Shalahuddin al-Adibi menyimpulkan ada
empat macam yaitu:
a). Tidak bertentangan dengan al-Qur‟an.
b). Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
c). Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera dan sejarah.
d). Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.31
II. Meneliti matan yang semakna
Menurut ulama hadis, perbedaan lafaẓ yang tidak mengakibatkan perbedaan
makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih, dapat ditolerir. Bila terjadi perbedaan
lafaẓ pada berbagai matan yang semakna, maka metode muqaranat (perbandingan)
sangat penting dilakukan. Dengan metode ini dapat diketahui adanya perbedaan lafaẓ
pada matan, adanya ziyādah, idraj dan lain-lain yang berpengaruh pada matan
hadis.32
III. Meneliti kandungan matan
a). Membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan.
30
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 122. 31
Salahuddin bin Ahmad al-Adabi, Manhaj al-Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah, 1993), h. 238. 32
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h 131.
50
b). Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak
bertentangan.33
Ibnu Hajar al-Asqalani menempuh empat cara untuk penelitian terhadap
kandungan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan, yaitu:
1). Al-Jam‟u
2). Al-Naskh wa al-Mansukh
3). Al-Tarjih
4). Al-Taufiq34
Untuk mengetahui status ke-hujjah-an hadis, maka penelitian sanad dan matan
memiliki kedudukan yang sama penting. Meskipun dalam prakteknya penelitian
sanad didahulukan atas penelitian matan. Menurut ulama hadis, barulah suatu hadis
dinyatakan berkualitas sahih (ṣahīh lizātih) apabila sanad dan matan-nya berkualitas
sahih.35
Dalam penelitian ini, langkah-langkah metodologisnya telah penulis
kemukakan di atas, dinukil dari buku M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi saw. Esensi yang menjadi unsur-unsur utama yang harus dipenuhi oleh
33
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 145. 34
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Nuzhatu al-Nazar Syarh Nukhbah al-Fikr,
(Semarang: Maktabah al-Munawar), h. 24-25. 35
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 122.
51
suatu matan yang berkualitas sahih adalah terhindar dari syudzudz dan terhindar dari
„illat.
Dalam kegiatan kritik matan ini, penulis akan berusaha mengikuti dari
langkah-langkah kritik matan yang dikemukakan oleh M. Syuhudi Ismail.
1. Meneliti kualitas sanad hadis.
Dari hasil penelitian sanad yang telah dilakukan di atas, terdapat satu perawi
yang majhūl (tidak diketahui keadaannya), baik guru dan muridnya tidak
mencantumkan perawi tersebut. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan al-Bani yang
mengatakan hadis ini sanadnya daif.
2. Meneliti susunan matan yang semakna.
Susunan matan dari dua mukharrij itu mempunyai makna sama, namun apa
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal ada sedikit penambahan dan ini
tidak menjadikan perbedaan yang menonjol. Untuk mengetahui penambahan tersebut,
berikut penulis cantumkan kedua hadis di bawah ini:
د ي ف صلى منح الحعذاب م نح وناة النار م نح اءة ب ر لو ك ت بتح صلة ي ف وت و ل صلة أرحبع ي مسحج الن فاق م نح وبر ئ
ن النار ، وناة م د ي أرحبع ي صلة ل ي ف وت و صلة ، كتب اللو لو ب راءة م ن منح صلى ف مسحج الحعذاب
52
Dari kedua matan di atas, tampak ada perbedaan sedikit, seperti pada teks
matan hadis mukharrij Imam Ahmad Ibn Hanbal. Ia menggunakan lafaẓ ب راءة لو ك ت بتح
sedangkan pada mukharrij Imam al-Tabrani menggunakan lafaẓ كتب اللو لو ب راءة. Dan
juga terdapat penambahan lafaẓ pada matan hadis Imam Ahmad, tetapi tidak merubah
maksud dari matan hadis tersebut, perubahan dan penambahan dalam matan hadis
tersebut masih dalam koridor yang tidak merubah makna matan hadis tersebut.
3. Meneliti kandungan matan.
Memahami hadis yang sepintas terkandung busyra (kabar gembira) yang
begitu menjanjikan memang perlu dicermati. Karena salah satu faktor kemunculan
dan indikasi sebuah hadis palsu (maudhu‟) adalah berlebih-lebihan dalam hal
keutamaan suatu amalan dan pahala yang didapatnya.
a. Bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an
Para komentator hadis, seperti al-Mubarakfuri memahami hadis di atas
dengan mengatakan, bahwa kebanyakannya mengarah pada anjuran agar setiap
muslim senantiasa berusaha menggiatkan ṣalāt jamaah, dengan salah satu
indikatornya adalah mendapati takbirah al-ihrām bersama imam. Mendapatkan
ganjaran berupa terhindar dari api neraka dan kemunafikan, dimaksudkan bahwa kita
akan dihindarkan di dunia ini dari sifat-ciri beramalnya kaum munafik, seperti rasa
malas dalam menunaikan ṣalāt. sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
53
اد ع ون اللو وى و خاد ة قام وا ك سال ي راء ون الناس ول يذحك ر ون و مح وإ ذا قام وا إ ل الصلع ه إ ن الحم ناف ق ي ي (٢٤١اللو إ ل قل يل )
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka bordiri
dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan ṣalāt) di hadapan manusia. Dan
tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisa: 142)36
Mendudukkan ibadah ṣalāt diniatkan untuk mencari pahala tidaklah tepat,
salah satu dari tujuan ṣalāt adalah untuk mengingat Allah swt dan mencari keridlaan-
Nya sebagaimana dalam firman-firman Allah swt yang artinya:
ين وأق م الصلإ نن أنا اللو ل إ لو إ ل أن ر ي )و ا فاعحب دح (٢٤ة ل ذ كح
“ Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”.(Q.S. Thaaha;14)37
(٢٦١ق لح إ ن صلت ون س ك ي ومحياي ومات ل لو رب الحعالم ي )
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(Q.S. al-An‟am;162)38
b. Bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
ث نا أب و ق ت يحبة سلحم بحن ق ت يحب ضم ي قال حد هح رم ونصحر بحن عل ي الح بة بحن م كح ث نا ع قح ر و حد عحمة بحن عمح ة عنح عليحو وسلم منح صلى ل لو عنح حب يب بحن أب ثاب ت عنح أنس بحن مال ك قال قال رس ول اللو صلى اللو ب رية الح ول ك ت بتح لو ب راءتان ب راءة م نح النار وب ر ر ك التكح 39اءة م نح الن فاق أرحبع ي ي وحم ا ف جاعة ي دح
36
Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. (al-Madīnah al-
Munawwarah:Mujamma‟ Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā‟at al-Muṣḥaf asy-
Syarīf:1971.) 37
Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. 38
Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya.
54
“Telah menceritakan pada kami Uqbah bin Mukram dan Nashr bin Ali: Telah
menceritakan pada kami Salam bin Qutaibah dari Tu'mah bin Amru dari Habib bin
Abi Tsabit dari Anas bin Malik berkata: bersabda Rasulullah: "Siapa mengerjakan
shalat dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh hari berjamaah dengan
mendapatkan takbiratul ihram, dicatat untuknya dua kebebasan, yaitu bebas dari
neraka dan bebas dari kemunafikan.” (H R.Tirmidzi)
Di akhirat nanti Allah swt akan menyelamatkan dari berbagai amal yang
menyebabkan orang munafik disiksa Allah swt. Dan Allah swt akan menjadi saksi,
bahwa dia bukanlah seorang munafik. Maka barang siapa yang menjaga ṣalāt
jamaahnya di masjid mana pun, baik di Makkah, Madinah, Jakarta, Medan, Surabaya,
atau di Eropa dan belahan bumi mana pun, hingga dapat mempertahankannya selama
empat puluh hari, maka ia akan mendapatkan balasan dari Allah berupa terhindar dari
api neraka dan kemunafikan.
c. Bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah.
Perlu direnungkan, bagaimana mungkin amalan dengan pahala sebesar ini
tidak populer di kalangan sahabat dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh
satu tabi‟in yang tidak dikenal keadaannya dan tidak memiliki riwayat sama sekali
(tidak dalam hadis sahih maupun daif) kecuali hadis ini?40
Maka sesungguhnya
pensahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadis ini adalah
pendapat yang lebih kuat.
39
Muhammad Ibn „Isa Ibn Saurah Ibn Musa Ibn al-Dahhak al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,
(Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1395 H/ 1975 M), juz, 2, h. 7. 40
Al-Bahṡul Amin fī Hadiṡ al-Arba„īn, diterbitkan dalam Majalah al-Jāmi‟ah al-Islāmiyyah
edisi 41.
55
d. Susunan pernyataannya tidak menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Pada hal ini bisa kita lihat dari matan hadis yang diteliti, tidak menunjukkan
susunan bahasa kenabian, juga tidak termasuk kalam arab yang baligh. Di dalam
matan hadis itu ada pembedaan antara النار dengan العذاب , dengan bukti pemisahan
dua kalimat tersebut dengan maksud yang sama, padahal seyogyanya memang satu,
apakah memakai neraka atau azab. Bukankah neraka itu azab/siksaan? Bukankah
azab/siksa itu juga pelaksanaan dari neraka?. Setelah orang itu selamat dari neraka
dan azab dikabarkan lagi dia terbebas dari sifat munafiq, tentu sudah menjadi
maklum, orang yang dijamin selamat dari neraka/siksa bukanlah orang yang munafiq
baik di waktu sekarang ataupun kemudian.41
Dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas maka telah memenuhi
syarat matan hadis dinyatakan tidak terhindar dari syudzudz dan „illat. Itu pula berarti
kaidah kesahihan matan tidak terpenuhi. Jadi kesimpulannya matan hadis yang diteliti
berkualitas daif, mengingat sanad hadisnya juga berkualitas daif, maka dengan
demikian hadis tersebut berkualitas daif. Jelasnya hadis tersebut tidak bisa dijadikan
hujjah.
41
Al-Bahṡul Amin fī Hadiṡ al-Arba„īn, diterbitkan dalam Majalah al-Jāmi‟ah al-Islāmiyyah
edisi 41.
56
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas yang cukup panjang, menurut disiplin ilmu hadis,
manakala terdapat perawi yang tidak diketahui keadaannya maka sanad perawi hadis
tersebut (jumhur ulama hadis), hukum riwayatnya tertolak dan hadisnya termasuk
daif. Dari kesimpulan ini dapat diketahui beberapa poin yang perlu digaris bawahi
sebagai berikut:
Pertama dari segi sanad:
1. Setelah penulis meneliti hadis dari mukharrij Ahmad ibn Hanbal juga
pada semua perawi yang ada di dalamnya seperti; al-Hakam ibn Musa,
‘Abdurrahman ibn Aby al-Rijal, Nubaith ibn Umar, Anas ibn Malik dan
sampai kepada Nabi s.a.w. terdapat satu orang periwayat yang bernama
Nubaith ibn Umar bersifat Majhūl „ain (tidak diketahui keadaannya),
dikarenakan ada perawi yang Majhūl „ain maka penulis menyimpulkan
hadis ini daif sebagaimana juga yang telah disimpulkan oleh syekh al-
Albani.
2. Setelah penulis meneliti hadis dari mukharrij al-Tabarani sebagai mutābi‟
juga pada semua perawi yang ada di dalamnya seperti; Muhammad ibn
57
‘Ali al-Madani, al-Hakam ibn Musa, ‘Abdurrahman ibn Aby al-Rijal,
Nubaith ibn Umar, Anas ibn Malik dan sampai kepada Nabi s.a.w.
terdapat dua orang yang tidak diketahui keadaannya yaitu; Muhammad ibn
‘Ali al-Madani dan Nubaith ibn Umar. Dari sini pula penulis mengambil
kesimpulan yang sama terhadap sanad hadis ini yaitu sanad hadis ini daif.
Kedua, dari segi matan penulis memberi kesimpulan pada hadis tersebut
bahwa matan hadis ini tidak memenuhi syarat-syarat kesahihan yang ada pada matan,
maka dari itu matan hadis ini juga berkulitas daif. Al-Hasil hadis yang menerangkan
tentang salāt arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah tidak bisa dijadikan hujjah.
B. SARAN
Di dalam menjalankan suatu amalan ibadah bagi umat Islam seyogyanya
berdasarkan dalil-dalil yang sudah ter-Nash, baik di dalam al-Qur’an maupun al-
Sunnah/al-Hadis. Hadis sebagai sumber hukum ke-dua setelah al-Qur’an, tentu
mempunyai peran yang sangat signifikan. Oleh karena hadis di dalam proses
perjalanannya mengalami berbagai macam kondisi, yang terkadang juga tidak sedikit
yang mempunyai kepentingan pribadi ataupun kelompok dengan menisbatkan kepada
hadis Nabi, guna memperoleh kepentingannya itu. Maka oleh karena itu, perlu
diadakan pengkajian atau penelitian hadis agar dapat diketahui apakah hadis-hadis
tersebut bernilai sahih dan berasal dari Rasulallah s.a.w. atau sebaliknya.
58
Penelitian ini jauh dari kata sempurna, karena penulis menyadari betul akan
kelemahan yang ada pada diri penulis. Maka penulis berdoa agar kiranya tulisan ini
bisa menjadi manfaat untuk diri sendiri juga kepada khalayak yang cinta akan ilmu
pengetahuan. Penulis juga berharap, kepada para pembaca untuk sudi kiranya
memberikan saran dan masukan serta ilmunya, guna pencapaian hasil yang lebih baik
lagi.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Jarullah. Keutamaan Salat Berjamaah, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.
Abdurrajiq, Mahir Manshur. Mu‟jizat Salat Berjamaah, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2007.
Abū Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. Sunan al-Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Abū Abdullah bin Malik bin Anas. Al-Muwaṭṭa‟, Beirut: Dar al-Jil.
Abū Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Musnad al-Imām Ahmad ibn
Hanbal, Beirut: Muasasah al-Risalah, 2001.
al-Adabi, Ṣalahuddin bin Ahmad. Manhaj al-Naqd al-Matan, Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah, 1993.
Adnan Amal, Taufik. Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Fazlur
Rahman, Bandung: Mizan, 1995.
al-‘Asqalāni, Ibnu Hajar. Tahżīb al-Tahżīb, al-Hindi: Dāirah al-Ma‘ārif al-Niẓamiyah,
1326 H.
----------. Nuẓatu al-Nażar Syarh Nukhbah al-Fikr, Semarang: Maktabah al-Munawar.
al-Albani, Abu Abdurrahman Muhammad Naṣiruddin. Silsilah al-Ahadīṡ al-Ḍa„ifah,
Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1412 /1992a.
---------. Ḍa„if al-Targīb wa al-Tarhīb, Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1412 /1992b.
Amin, Kamarudin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta:
Hikmah, 2009.
Al-‘Aẓami, M.Musṭafa. Hadīṡ Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Prof.
H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Al-Bahṡul Amin fī Hadīṡ al-Arba‘īn, diterbitkan dalam Majalah al-Jāmi‘ah al-
Islamiyyah edisi 41.
60
al-Bukhāri, Muhammad ibn Ismaīl Abū ‘Abdillah. al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, Dar Tūq al-
Najāh, 1422 H.
Dewan Hisbah Persatuan Islam. Risalah Salat, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000.
Ensiklopedi Islam. Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Harahap, Sumuran. Kamus Istilah Haji & Umrah, Jakarta: Mitra Abadi Press.
Al-Hafiẓ ‘Imāduddin Abul Fidā’ Ismā‘il bin Kaṡir al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Tafsir al-
Qur‟an al-Aẓim, Beirut: Dar at-Turaṡ al-‘Arabi.
al-Haiṡami, Abu al-Hasan Nur al-Din ‘Ali Ibn Abi Bakar Ibn Sulaiman. Majma‟ al-
Zawāid wa Manba‟ al-Fawāid, Kairo: Maktabah al-Qudsiy, 1414 H/ 1994 M.
al-Hindi, ‘Ala al-Din al-Muttaqin Ibn Hisyam al-Din. Kanz al-„Ummāl Fi Sunan al-
Aqwāl wa al-Af‟āl, Beirut: Mu’assasah al-Risalah,1989.
Ibnu Hibban. “al-Ṡiqāt”, Dairah al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah, 1393/1973.
Ibnu Katsir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Dār ihyā al-Turaṡ, 1408/1988.
Ibn Manzur. Lisān al-„Arab,Beirut: Dar Beirut, 1968.
Imam Ghazali. Kesilapan ketika Sembahyang, Kuala Lumpur: Kalam Ilham, 1993.
Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
al-Kahlawi, ‘Ablah Muhammad. Buku Induk Haji dan Umrah Untuk Wanita,
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin, Jakarta: Zaman, 2009.
al-Kaf, Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim. al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-
Masāil al-Mufīdah, Surabaya: Dar al-‘Ulum al-Islamiyah, 2004.
al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. Uṣūl al-Hadīṡ, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. al-Madīnah al-
Munawwarah:Mujamma’ Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain al-Mālik Fahd li
ṭibā’at al-Muṣḥaf asy-Syarīf:1971.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah al-„Adab wa al-„Ulum, Beirut: al-Mathba’ah
al-Kathulikiyyah, 1960.
61
Al-Mizzy. Tahẓīb al-Kamāl, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1400/1980.
Muslim bin al-Hajjaj, Imam Abul Husain. Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr.
Nurkholis, Mujiyo. Meraih Pahala 27 Derajat, Bandung: Al-Bayan, 1995.
al-Qahtani, Said bin ‘Ali bin Wahf. Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur‟an dan as-
Sunnah jilid I, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2006.
--------. Lebih Berkah dengan Shalat Berjamaah, Surakarta: Qaula, 2008.
Rousydiy, T.A. Lathief. Kaifiyat Salat Rasulullah s.a.w., Medan: Rimbow, 1985.
Sābiq, Sayid. Fiqhus Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
al-Sālih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terjemahan), Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002.
Al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis,Jakarta:Bulan
Bintang, 1976.
---------. Pedoman Salat, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986.
Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Kritik Musthafa al-Siba’I
terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadīṡ dalam Fajr al-Islam,
Jakarta: Kencana,2003.
Al-Tabarani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, Mesir: Dar al-Haramain.
al-Tahhan, Mahmud. Usūl at-Takhrīj wa al-Dirāsah al-Asānid, Riyad: Maktabah al-
Ma’arif, 1991.
---------. Dasar-Dasar Ilmu Takhrīj, Penerjemah H.S. Agil Husin dan Masykur
Hakim,Semarang:Toha Putra,1995.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
al-Tirmidzi, Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah Ibn Musa Ibn al-Dahhak. Sunan al-
Tirmidzi,Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1395 H/ 1975 M.
62
Warson Munawir, Ahmad. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Progresif, 1984.
Wensink, A.J. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadīṡ al-Nabawi „an al-Kutub al-
Sittah wa „an Sunan al-Darimi wa Muwatta Malik wa Musnad Ahmad bin
Hanbal,Leiden: Maktabah Bril,1936.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989.
al-Żahaby. Siyaru „Alāmi al-Nubalā. Beirut: Muassasah al-Risālah, 1405/1985.
Zubaidi, Ahmad dkk. Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah, Jakarta: Al-Mawardi
Prima, 2001.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-lslāmi wa „Adillatuh, Suriah: Dar al-Fikr, 1989.