Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

127
!PERAN ISLAM DALAM PEMBENT(Jl(AN NEGARA: StJ!tdi Tentang Proses Pembentukan Negara di Madinah Masa Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun Oleh: Abdul Aziz NIM: 03.3.382-BR DISERTASI J)iajukan kepada Program Pascasarjana U1N Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Mencapai Gelar Dok:for dalam Dmu Agama Islam. YOGYAKARTA 2009

Transcript of Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

Page 1: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

!PERAN ISLAM DALAM PEMBENT(Jl(AN NEGARA: StJ!tdi Tentang Proses Pembentukan Negara di Madinah Masa

Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

Oleh: Abdul Aziz

NIM: 03.3.382-BR

DISERTASI

J)iajukan kepada Program Pascasarjana U1N Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Mencapai Gelar Dok:for

dalam Dmu Agama Islam.

YOGYAKARTA 2009

Page 2: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

PERNYATAAN KEASLIAN

.Yang bert:mda tangan di bawah ini:

Nam.a NIM jetjjang

.. , : Drs. Abdul AziZ, MA : 03.3.382-BR : Dokfor

menyatak$n, bahwa disertasi ini secara keseluruhan adalah basil· penelitian/karya ~ saya sendili., kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk. sunibemy~, ·

I .

Y ogyakarta, 14 Juli 2007

Drs. Abdul~ MA. NIM: 03.3.382-BR

11

Page 3: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

DEPARTEMEN AGAMA RI

0NIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALUAGA ~OGYAKARTA

PENGESAHAN

Oisertasi berju~ul : PERAN ISLAM DALAM PEMBENTUKAN NEGARA:

Ditulis oleh

NIM

Studi tentang Proses Pembentukan Negara di Madinah Masa Muhammad saw dan al-Khulafa' ar-Rasyidun

Ors. Abdul Aziz, M.A.

: 03.3.382-BR

Telah ~apat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

I Doktor dalam llmu Agama Islam

2 Januari 2010

iii

Page 4: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

Ditulis oleh

NIM

qEPARTEMEN AGAMA RI

~NIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YoGYAKARTA

DEWAN PENGUJI UJIAN TERBUKA / PROMOSI

: Ors. Abdul Aziz, M.A.

: 03.3.382-BR

Disertasi berjud~I : PERAN ISLAM DALAM PEMBENTUKAN NEGARA: Studi tentang Proses Pembentukan Negara di Madinah

Ketua Sidang 1

Sekretaris Sidan.

Anggota

Masa Muhammad saw dan al-Khulafa' ar-Rasyfdu(n /J Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah . ~

Dr. H. Sukamta, M.A.

1. Prof. Dr. H.M. Bambang Pranowo ( Promotor I Anggota Penguji )

2. Prof. Dr. H. Musa Asy'arie ( Promotor I Anggota Penguji )

3. Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. ( Ansgota Penguji )

4. Prof. Dr. H. Ojam'annuri, M.A. ( Anggota Pehguji )

5. Prof. Dr. M. Abdul Karim, M.A. ( Anggota Penguji )

)

6. Prof. Ors. H. Yudian Wahyudi, M.A., Plf..fr.-. -=~~!!!!l!!!!e!~--k:::~ ( Anggota Penguji )

Diuji di Yogyakart' pada tanggal 22 Januari 2010 '

Pukul 14~00 s.d I 16.00 WIB

Hasil I Nilai ••.•••.•••• ~ ............ .

Predikat : M~muaskan / Sangat memuaskan I Dengan Pujian * I

•) Coret yana tldak ~al • I

I

iv

Page 5: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

- I

P..-omotor1 I

I

·P.-omotor

DHl1ARTI!MliN A<iAMA

tlNl\'l:a.c;rr,\S ISLAl\t N•:GERI St'NAS KAt.IJ,\(i,\

- PROGRAM PASCASAIUANA

. •

• •

Prot: Dr .. R Bambang Pranowo

Prot Dr. R. Musa .Asy'arie

'V

)

)

Page 6: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

NOTADINAS

u 'alaikum. wr. wh

Kepada Yth.

Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Disam aikan dengan.hormat, setelah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi tern penulisan disertasi berjudul:

PER.AN ISLAM DALAMPEMBENTUKAN NEGARA: Studi Tentang Proses Pembentukan Negara di Madinah :Masa

Muhammad saw dan al-Khulafa.., al-Rtiiyidun ·

yang "tulis oleh:

Nama NIM Program

: Drs. Abdul Aziz, M.A : 03.3.382-BR : Doktor

sebag · a yang disarankan dalam Ujian Pendahuluan (Tertutup) pada tanggal 9 Jan · 2008, saya berpendapat bahwa disertasi tersebut sudah dapat diajukan ke Pl'tjgram Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk diujikan dalaln Ujian ITerbuka Promosi Doktor (S3) dalan1 rangka memperoleh gelar Doktor dalamjbidang Ihnu Agama Islam.

I

Wassd/amu 'alaikum wr. wb.

VI

11/Tf'ZnJJ

Pv . Dr. H. Amin Abdullah NIP.: 150216071

Page 7: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

NOTADINAS

I

K.epada Yth.

Direktur Program Pascasarjana UlN Sunan Kalijaga Yogyakarta

aikan <tengan homtat, setelah melakukan bimbingan. arahan, dan koreksi . ap penulisan disertasi ·b~dul:

P.ERAN ISLAMl>.ALA.M :P£MBENTUKAN NEGARA: Studi TentangPro,ses Pembentukan Negara diMadinah.·Masa

.i\iuhammad saw clan al-Khulaji' al-R4tyidUn

yan ditulis oleh:

Nama NlM Piogram

: Drs. Abdul Aziz, M.A : 03.3~382..;BR : Doktor

seb gaimana. yang "1isatankaJi dalam Ujian Pendahuluan (Tertutup) pada tanggal · 9 J uari · 1008, saya betpmdapat bahwa. disertasi tetsel>ut sudah dapat diajukan kc . . gram :Pas.casarjana UIN Sunan Kalijaga Y<>gyakarta. untuk diujikan da1am Uj~ Terbtlka ·Promosi l)oktor (Sl) dalam mngka memperoteh gelar Doktor dal~ ·bidang Ilmti Agama Islam.

wa4alamu 'a/aikum wr. wb.

Yogyakarta,

_promotor,

~~ Prof. Dr. H. Bambang Pranowo

vii

Page 8: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

N011ADINAS

· 'alafkum. wr. wb

Kepada Yth. .

Direktur Program Pascasarjana UIN Slinan Kalijaga Yogyakarta

· paikmt llengan honnat, setelah melakukan bim.bingan, arahan, dan koreksi ap penulisan disertasi b~udul:

PERAN ISLAMDALA.M P~.ENTVKAN NEGARA: Shidi Ten~ Proses Penibentukan Negara di Madinah Masa

Muhammad saw dan al.-K/i.ulafti' aI-R.ti'SyidUn

yan; .· ditulis oleh:

Nama NIM· Pmgnim

: Ors. Abdul Azii, M.A : 03.3.382-BR : Doktor

:l?alllil3Jla· yang disarankan dalatn Ujian Pendahuluan (Tertutup) pada tanggal · · ·. 2008, saya ~dapat bahn <lisertasi tersebut sudah dapat diajukan gram Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Y()gyakarta. untuk diujikan dalam

Uf ferouka Proni.Osi I>Oktor (S3) da1am rangka memperoleh gehir Doktor dalaf bid~g Hmu Agama 1stam.

I

Wasfa!amu 'lilaikum wr. wb. I

Yogyakarta,

Prof. Dr. H. Musa AsY'arie

viii

Page 9: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

N@TADINAS

i. Kepada Yth.

Direktur Program Pascasarjana UiN Sunan Kalijiga Yogyakarta

. aikan tlengan honnat, $etetah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi dap pemdisan disertasi ~udul:

t>ERAN ISLAMDALAM PEMBENWKA.N NEGARA: Stu~ fentang Pros(S Panbentukan Negara di_)fa~~h Masa

. Muhammad sal\r daiJ. al-Khulaf' aJ-llDSyiGn

ditulis oleh:

Nama NIM ;

Program

: Drs. Abdul Aziz, M.A : 03.3.382·BR : Doktor

s gaimana yang disarankan dalam Ujian Pendahuluan (T-ertutup) pada tanggal 9 ·1 · .. iJari 2008, saya 0berpendapat bahwa disertasi tersebut sudah dapat diajukan ke · ·. gram Pascasarjana UlN Sunan Kalijaga Yogyakamumtuk diujikan dalam ut·, Terbuka Promosi Doldor (S3) dalam rangka memperoleh gelar Poktor &ilFi bidang llmu· Agama Islam.

I

Wabalamu ~alaiAum wr. wb.

Yogyakarta,

Anggota Penilai

/v ,_J.x--Prof. Dr. H.Dahlan Thaib, S.H., M.Si.

lX

Page 10: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

NOTJ\DINAS

.,

'a{ailatm. wr. wb

Kepada Yth.

Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan J(alijaga Yogyakarta

"" D" · dengm honnat, ~elah melakukan bimbingan, ~ daii koreksi te · · penulisan disertasi berjudul:

PERAN·ISLAM DA.lAM PEMBENTUKAN NEG.ARA: . Studi Tentang Proses Peinben~il Negara·di Ma~Masa

. Muhammad saw dan aJ...Anuta/a' ~J<dsyidun ,

yang · oleh:

Nama NIM Program

: Des; Abdul Aziz, M.A : 03.3.382•BR : Doktor

seba • yang·disarmikan &dam Ujian Pendahuluan (Tertutup) pada tanggal 9 Jan · : 2008, .saya berpendapat bahwa disertasi tersebut :sudah dapat diajukan ke · Pascasarjana UIN Sunan ·Kttlijaga Yogyakarta wituk diujikan dalam Ujian l'f<erb.uka Prd. ·.m·OSI.· • Dokto . . c (S3) dalam rangka memperoleh gelar Doktor

· dalmn bidang Dm.u Agama Islam. !

I

Wassafamu 'alailaon wr. wb . .. Yogyakarta,

Anggota Penilai

. Dr. H. Ujam'annuri, MA.

x

Page 11: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

NOT1'\. DINAS

"alaikum. wr. wb

Kepada Yth.

Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Di · · . paikail dengan honnat, setelah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi ... t · · . p penulisan diseftaSi b~dui:

.p.ERAN JSLAMDALAMPEMBE~ NEGARA: Studi Tenbulg Proses Pembentuk:an Negara di Madinah Masa

Muhammad saw dan al-Khulafii' al-RtiiyidUn ·

: yang ·tulis meh: Nama N™. Program

: Drs. Abdul Aziz, MA : 03.3.312-BR : Doktor

seba · • · . yang ·disarankan dalarn Ujian Pendahuluan (Tertutup) pada tanggal 9.J · 2008, Saya berpendapat bahwa •rtasi tersebut sudah dapat diajukan kt·· .· · gmm Pasasarjana t.iIN Sunan Kalijaga Yogyakarta_ untulc diujikan dalain Uf . Terbtika Promosi t>oktor (S.l) daJam rangka memperoleh gelar Doktor tf · · bidang llmu· Agama Islam.

I

Wassflamu 'alaikurn wr.. wb. I •• I 1 , Yogyakarta, !

Dr. H. Syamsul Anwar, MA

XI

Page 12: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

c:- (State Formation) a.!J..UI .:.r-fa ~if i'}.,.,,'il ol-1..f....l ~I ~I l..iA JJ~

~lil.;LI -4S- Jr J ~ 11 ~ ~ ¥- J l).rJI ~'}.,.,,'ii~ µ1 r-Jidl ~ _r.)'_;jl

a well org nized ) ~I ~ c_~ ,,t 4ji ~ ~1 .:.r-}:.ill if _#' 01_;1. c,?..UI .:.r-..Ll.1)1

<,?i ,~} J~ I <.? .;Ytil j>-..ill ~ ~\.ill r-~ ~ if ..!.ll~ J ,y'}.,.,, 'il a.I J..UI ~ (pattern

.a.- · :11 a.:......UI ol....,;:, :11 .. l~l.i • .)_r • • • f"' I •

:, y'}.,.,, 'ii · l.J2.;ll J olS' .)-1 ~w j ~i Lb~ .:.r-}:.ill .!..hi} c.>..U ~}:.AJI ~ pll o..iA

t.:.-..11 •. ·I ,J.._µli JLd.11..iA ~} J~)}I <,?}~\ r-fa i..r:?..l.Z Jl c.S.'ll \..: ,JL..":JI if ~..WI

~ ~.?. _ ·11..iA ~ i~ ~ l.l ,y'}.,.,,! a.!J.'I lA.;~\.i o.;_pl t:.!..ill J .;,ts- <,?.i.111./')l.....°'il

I J ols-1..t-} l.'lljf .k.;y .J.i IA! ~ o~ ak..tdl ~1/~/I o..iA .~ ~ ~l:i

·~··.;it~.')

rl..f.... 'ii a$.~ .'lls-! J)l>. if y'}.,.,, 'ii a.I J..ill ~} J~ )11 ~I l..iA ~ .;~I if J.i '}

&" l..iA J ,· . .;":JI ~W,.:. J ~ J ~ 11 ~ ~ ~ ~ a.!J..UI .:.r-fa ~ J i-j.....-:t-J ~Lll

._,..-.11..!J.l' J l)...rJI ~'}.,.,,'ii~ ~~'}I J ~.;L:ll e:'l}I if y).A:ll ~I _;1._,.k:l a...,.,_;AJI

c:r:- J ~I j..iA .'ll~l b ~ { ~ ~ J j_,:..i.. J~ ':)~ ..:.>. y. ~I l..iA

~~'}I ~11.:ll _p-A::jl & il~I { 1..Ll. J ,~UI ~.;81 ~_:?JI. y. J ,~ J oLlW.1

ilJ.>.::....\.i - a+lpl J a.µ:il ~.;L:ll ~l_,1; ~ J &11 l..iA .;~ ~ ~I f .ol;W.1 ~

t_ ~'}I ~ ~\.i t_ ~~I ~ ~ J J JP l..iA J ,olJ.-.U ~~~I j_,:...il\.i U""tll &11 I

.flgurational sociology ~I

,4,_;JI ;; ..r.?..f.-1 ~ J l)...rJI ~ ~_? f wb wlS' i"j.,.,, 'ii -l>.-1.f Ji J! ~I l..iA J.:o y I

~I ~IJ)I ~ i _,z ..:,..;ts- J. ~l:-JI a.I J..UI ilJi; J fa '} ..!J.l~ J:i ..:,..;ts- ~I ~\.:... u p.iU ~

~ts- ~1.µ1 J l.o ..1.PI t:.!..illi (~YI ) ~I --4-l>.- ~~I ~ .:.r-fa J~ if ~_,A y.- lpij o.J+!. J i

§J J ~~_r:..;1 ~ J" a.bL •. :...i~ o.1> J IA~ if ;s1 ~1 .!.LU ~.') o.1> J .# ~\11 o.i,,.

c_.;~ ~ ~_? ./ rUii o.;y J C:="""i J ~)IJ ~L.)11 i~I .;JP; ,~1 o.U. J81 .;_,.k:ll ~Gi I

xii

Page 13: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

o..i.A ~ rJ . t WI ~.) . " pre-state al J..i..ll ,,:_A ... ...l.4.- II Ji "chiefdom ;; .;t ... )'I II ~ .;.,). I

~I ~ * ~u Cs>- o}-·)'1 ~ ~ ~ ..:J1, ~.ill o..i.A 4.f..J ,;;.J_,J.1 ~.ill C.Jl> o} ... )'1

."~.ill ;;.;t ... !" ~ u. ~ ~ ~ ~i ~ v ,Yu, l).i .:r. Js- 'ti')

..,YU:.11 J r"j..... 1 ~ c';:..-1 .;.,..L;... ~~1 r _,+Al pA::J1 .!.lh JJ\.:.:. ~i J! ~i ~' 1..l.A ~ _; w--

. "~.ill ;; )-·! II .J-*1' ~ iJ ~L. ..u .:r-PI .:r-lA '--"" ;JS' 0i <$i ,~\.J,.I .r:u- ..L... ~)_,::.\.I ~..rJI

L.Qjj...1 .1.c-. J )1 .1.c-. .~ "a.:....U1 ;; t...1"_J • 1··-11 Jw.t•1 a.e\S'" ..uz li..i,:) 1;. Jl::.lli > .,-J .)""" -,-i..; - .). ~ ~ - - ~'- .J

~I JW. I o..iA .~ • -· t;i ..J LlA.i ')lh Lt.~lis!I • "a..,."j.....'1\ al ..i..ll " l•i' t,if I..,. • ..Ll.1)1 - - . - ~.) - - { - " J ~ ~ij!.

,aµ1 4,;\.Atll - l...::>.-\11 .r"'~I ifµ~ r-" J ;;~ J:>l~\r J 4-:i y ..::..;\S'" _,..a.JI ~.lh iJ µ if~ J;; y ~~1,fa_ Ideal type J\!.. c~.,i j.$i far J '~ ~f iJ J~ fat J

~.)\II ~\.Ab:. Jr" )I '-"° ~b...w.I ~~. "~.ill ;; .Jl...1 II .# .~L...::>.-1 a;i <$i iJ J ~ <$f ~

t WI ~ -J J \11 rllil iJ - ~ <$..UI i...f"\.,,.;;,,. \fl _pdl 0\S'" ·r-1-t... j iJ o,:) Y"" y c.;\S'" ~I CJ~~

\' ofi iJ U.IJj Jl '-pf V '4:4~ "~.ill o.JL.1 "~ t o~..l>.- u~~ ,:)4:1 iJ ~ ~µ1 j:.W.1

.l...l.P 0. J1 ~

JI a,> Jll .;..+I <S-1>-J J' '1 J.i.ll 01fa .:if P- <,<.ill J.--l1 t t.,,,. ~I r-i" );; ..,._ J if'

~Lo J o.Jl...rl .!.Lt J:>liii ~ yi <$/ alp .J.tt1' J U.IJj J "~.ill ;;.Jt...f' .J.tt1' 0~ ,;; .JWI .:r-fa I • •

~I J i...f"~\fl ..,Y_,:ll <.SY.-... ~ _pi:.ll if a.L.L.. ~~. ~ -<.>_;>-\ ~_,....I ~V if ~~ ~ !

i

<$j ~ Ji fa_\' ~Ip \,k;o:. l..iA ~ .~ .J\..;2.> W Jl ~)> iJ <J..rJI i.,?'°"j..... 'jl ~I ~l.P <$..UI !

J ~'.)~' .)~ 0i ~~JS''--"" r~ v ,~1 ~ J ~..,.k.11 ~ ?' i..?'""j.....1 ~

)2; ~J ~l.J~I o..iA r..u; ,) .• ,a=>-~ ._,..a.JI u~..1.? ~ alJ..i..ll .:r-fa ~ }1! iJ ~ ~\s-1~1 <$i <.>..i..l ;; .)~1 iJ..fa ~}> ~ '--"" "r- al J..u1 .:r-fa iJ i..?'""j..... 'ii rJ....u1 r~1 0i <.>; o~..1>.-

1

I .~lout}~

I

xiii

Page 14: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

ABSTRACT

This dissei!tation examines the contributions of Islam to state formation. This study focuses on the Arab Moslem organiz.ation in the era of Muhammad SAW and .Khulafa' Al­Rashidun, which is understood by many Moslem thinkers as a well-organized pattern of an Islamic State. n1s understanding is based on the interpretation through normative ideological approach by using instant religious assumptions.

The tendency of those Moslem thinkers is then followed by the leaders of modern Moslem movements and organizations in many places. Their normative ideological understanding oflthe formulation ofMadinah Moslem society organization as an Islamic state leads to a thougliit that the fonnulation is sacred. This in turn implies that such fonnulation must be followed if the religious legal consequences are to be avoided. This sacred assumption, however, may lead somebody or a group of people to a wrong religious faith.

The ideolo~cal fonnulation of the Islamic state requires a close examination as to its validity through

1

llie reconstruction of a proportional contribution of Islam to the process of state formation ~y Muhammad SAW and his four Chaliphs. This reconstruction leads to an understanding of development that is close to the sociological historical reality of the Arab Moslem community in that era.

This study is a qualitative descriptive library research. This qualitative descriptive approach is emplbyed in the research preparation, data collection and data analysis. It focuses on the history; therefore, data are analyzed using a sociological historical interpretation. The main weakness , of this method in understanding dynamic and continuous historical indications is resolved by applying the sociological process approach that is known as jigurational soci(i)/ogy.

This research finds that the presence of Islam becomes the centripetal impulses for the Arab society in Arab peninsula. The Arab society that once was stateless and relied on tribal ties underwent a fundamental change in the fonn of new society organization called Ummah in Madinah. Untmah is principally a religious society union as opposed to a politically­authoritarian-based-society union. However, in the next development, the Ummah basic elements develop into a set of centralized power apparatus categorically called as chiefdom or pre-state. Altho~gh the territories of the chiefdom were extended to include regions far beyond the Madi~ah City, the city remained to be the center of power of the Chiefdom until the end period of the leadership of the fourth Chaliph-Ali bin Abi Thalib. Practically, it is called as Chiefdom Madinah.

This research also finds that within the process of Ummah characteristic change, assimilation of I~lam and Arab jahiliyyah tradition occurred. This means that both Islam and jahiliyyah Arab tradition contribute to the emergence of "Chiefdom Madinah." Therefore, it is not appropriate to consider all practices of the ''Chiefdom Madinah" organization in the era of Rasullullah Mµhammad SAW and the four Khulafaur Al-rashidun as an Islamic state and to regard it as lit textual reference that bears certain law consequences. The practice of organizing power in that era is temporary (ad hoc) and absorbs local social cultural elements and has not shown its mature form. Accordingly, this is not the ideal type that can be instantly imita~ and applied by any people in any place. "Chiefdom Madinah" is the answer of Muhammad S~ W and his four Chaliphs to the challenges of their time. The main social changes brought! forth by the extension of the political territories colony leads to new challenges that 4an not be answered by "Chiefdom Madinah". This eventually ends the Chiefdom withinlless than 50 years.

In a sociol<t>gical context, the process by which a state formation evolves as a process that gives birth tp civilizations---the rise and fall of "Chiefdom Madinah" followed by the emergence and ~emise of Bani Umayyah and of the subsequence dynasties-constitutes as

I

XIV

Page 15: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

I

chains of chan~ at both socio-genesis and psychogenesis levels, experienced by the Arab Moslems in the~ journey towards the pinnacle of their civilization. This, indeed, is a unique continuum line which will never be equally shared by other Moslem societies of different times and spaces in their journey. Thus, each Moslem society is inevitably required to develop its own ~reativities and innovations in the formation of the state in accordance with the demand of !its time. In shorts, this study offers a new perspective that places the contribution of ijlam to the formation of a state as an integral part of a long process by which a society or a gn.1up of societies develop their civilization.

xv

Page 16: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

PEOOMAN TRANSLITERASI

Konsonan J 1

r f' m

y b u n

w t J w

~ s i.; y

[ J 0 ah; at ( mu<faf, bentuk

c Q sambung)

t kh JI al- (adiit al-ta'rif, kata sandang)

~ d tanda huruf konsonan

~ dz ganda (misal: haJji)

.) r Vokal Pendek

.) z a

LJ.11 s u

.. ~ sy 1

u.a ~ Vokal Panjang

u.<::i 4 I a

.b i J ii

.b z i..S I

t Diftong

t gh J aw

1.-S f i..S ay

(j q i.; iyy (I pada akhir kata)

~ k J (u pada akhir kata)

XVI

Page 17: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun
Page 18: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

KA TA PENGANTAR

~)\~)\Ai\~

Puji syukur dipersembahkan ke hadirat Allah swt, Tuhan Yang Maha

Agung dan Maha Kuasa, yang senantiasa menebar berkah dan karunia kepada

alam isemesta. Shalawat dan salam dicurahkan ke haribaan nabi besar

M~ saw, utusan Allah swt, yang telah menyampaikan amanah

kerasulannya kepada segenap wnat manusia agar dapat menjalani dan menata

kehidlilpan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaannya.

Penulisan disertasi ini merupakan tantangan tersendiri yang maha berat

bagi penulis yang dalam waktu relatif panjang mengalami masa jeda dari

pergutatan pemikiran akademis. Meskipun penulis memiliki latar belakang

seba~ tenaga fungsional peneliti, penulis merasakan betapa tingkat kesulitan

penulisan disertasi ini jauh lebih tinggi daripada kapasitas penulis sendiri.

Hanya karena pertolongan Allah swt j~ di samping dukungan besar dari

berbagai pihak, akhimya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini

sebaghl salah satu syarat mencapai gelar Doktor dalam Ilnm Agama Islam.

Oleh sebab itulah, pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih

kepada mereka yang telah berperan, semoga Allah swt menerimanya sebagai

amal ~aleh dan melipatgandakan balasannya.

XVll

Page 19: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

Secara khusus, penulis menghaturkan terima kasih kepada kedua

promoJor, yaitu Prof Dr. H Musa Asy'arie dan Prof H.M. Bambang

Pranowo, Ph.D yang di tengah-tengah kesibukan masing-masing, masih tetap

memberikan arahan dan bimbingan akademis yang sangat kritis. Komitmen

tinggi dari kedua promotor untuk selalu memberikan semangat dan

menerapkan kebijaksanaan percepatan penyelesaian tugas-tugas akademis,

mengantarkan penulis kepada titik akhir penyelesaian penulisan. Unruk itu,

ungkapan yang paling tepat hanyalah do'a semoga Allah swt selalu

melin<ilungi, memberkati dan melapangkan jalan sukses bagi keduanya

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr. H.M Amin

Abdullah selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

dan Prof Dr. H Iskandar Zulkarnain, Direktur Program Pascasarjana UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta beserta seluruh jajarannya yang menyediakan

segala fasilitas dan dukungan administratit: sehingga memungkinkan tugas

penulisan disertasi ini selesai.

Terima kasih yang tulus penulis sampaikan pula kepada Prof H.M

Atha Muzhar, M.A., Ph.D. selaku Kepala Badan Litbang dan Diktat

Departemen Agama RI, dan kepada Prof Dr. HM. Ridwan Lubis selaku

Kepalia Puslitbang Kehidupan Keagamaan, yang telah memberikan kemudahan

dan k~longgaran waktu sehingga penulis dapat berkonsentrasi menyelesaikan

studi yang maha berat ini.

XVlll

Page 20: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

Sudah sepantasnya apabila penulis mengenang dan berterima kasih

atas j~ yang telah diberikan kedua orang tua penulis dalam mengasuh,

memb~sarkan dan mendidik penulis tanpa mengenal lelah hingga mereka

berdwt meninggalkan dunia yang fana ini. Jasa besar yang juga patut penulis

kenang dan berterima kasih, diberikan oleh isteri tercinta Lilis Nurul Husna

dan •-anak tersayang Dicky Mustafa Ilz.ami, Muhammad Muz.ammil Ihsani

dan Safiera Syumais Aziz. Banyak: waktu tersita untuk menyelesaikan disertasi

ini, yang sebarusnya dicurahkan untuk: memberikan perhatian kepada mereka

Banyak kesempatan untuk berkumpul bersama, terlewatkan begitu saja karena

secara tulus ikhlas mempersilahkan suami dan ayah mereka menyelesaikan

tugas dengan sebaik-baiknya. Sesungguhnya, sulit untuk menemukan

ungkapan yang sepadan dengan pengorbanan yang mereka berikan.

· Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak:

yang t:elah memberikan dukungannya, baik langsung maupun tidak langsung,

baik moral maupun material. Ketulusan dukungan mereka tidak dapat

diragukan dan peran mereka tidak mungkin diabaikan, meskipun nama-nama

mere~a tidak disebutkan satu persatu di sini. Harapan penulis, kiranya mereka

semua sehat walafiat dan selalu dalam lindungan Allah swt.

; Akhimya, penulis akan merasakan kebahagian yang tak terhingga

apabila kehadiran disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya,

dalam semangat untuk selalu mempedomani ajaran Allah swt yang

X1X

Page 21: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

disamp!llkan melalui Rasul-Nya Muhammad saw. Mudah-mudahan segala I

daya dan upaya yang telah digunakan unruk menyelesaikan disertasi ini dapat

dicatat 1sebagai amal saleh. Amin ya Rabb.

Yogyakarta, Juli 2007

Penulis,

Abdul Aziz

xx

Page 22: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

11

11

Page 23: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

DAFTARISI

HAI.AMAN .fUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ......... 1

PERNYATAAN KEASLIAN .............................. ······················.. ... . . . ........... 11

PENGESY AJlAN REKTOR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........ ................ . . . . . . ......... .. m DEWAN PENGUJI .................................... ·····································... ........... IV

PENGESAHAN PROMOTOR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. ........................... . . . . . . .............. v NOTA DIN'AS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . ............. VI

ABSTRAK . . • . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ........... .. . . . Xll

PEDOMAN tRANSLITERASI . .. . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . .. . .. . . . . . . . .............. XVI

KATA PENGANTAR ... ... ... ... ... ... ... ... ... . .. ... ... .. . .. . . .. .......... ... ... . . . ... ........ xvu DAFTAR ISi:.......... .. . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . .. . . . ........ XXI

BAB I: PENDAHULUAN .. . . . . .. . . . . ... . . . . . . . .. ... . . . . . . .. . . . . . . . .. . . . . . . . . .. . .. . ....... 1 A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 B. 1Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . 14 C. Signifikansi ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .............. ...... 18 D. 'Kontribusi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... .. ....... ...... 19 E. Telaah Kepustakaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ......... 20 F. Kerangka Teori . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ... . . . ..... 28

1. Islam........................................................................... 28 2. Negara . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ................ 29 3. Pembentukan Negara ....................................................... ~

G. ,Metodologi ...................................................... : ................. \.44 H. Sistematika Pembahasan ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..... ........ 46

BAB II: TEORI-TEORI PEMBENTUKAN NEGARA . . . . .. . .. .. . . .. . . . ............ 48 A. 'Pendekatan Jangka Pendek dan Jangka Panjang dalam

Pembentukan Negara . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . 48 B. Akar dan Perkembangan Pemikiran tentang Peradaban .. . . .. . .. .. . . . . . .. .. . 90 C. Pembentukan Negara Sebagai Fase Perkembangan Peradaban . .. . . . . . 100 D. Mekanisme Berlangsungnya Proses Pembentukan Negara . . . . . . . . . . . . 111

BAB ill: PEMIKIRAN TEORITIS TENTANG NEGARA ISLAM............. 118 A. Benih Pemikiran Tentang Negara Islam..................................... 118 B. Konsep-konsep Teoretik Tentang Negara Islam . . . .......... . . . . . . . . . . . . 159

I. /mamah . . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. ............................................................. 175 2. Ahl al-lfalli wa al-'Aqd ... ... ... ... ... ... ... .................................... 181

C. Idealisasi "Negara Madinah" sebagai cetak biru Negara Islam .. . .. .. . .. 186 D. Pewacanaan dan Ideologisasi Negara Islam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..... ...... 195

BAB IV: KEHIDUPAN MASYARAKAT ARAB SEBELUM ISLAM.......... 206 A. Penggunaan Istilah Arab dan Bahasa Arab . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. .. . .. . . . .. 206 B. Agama dan Adat Istiadat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. .... ... .. 217

XXI

Page 24: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

~~------------------------

C. : Ilmu dan Seni . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 244 D. ' Kehidupan Ekonomi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 253

BAB V: ISLAM SEBAGAI PENDORONG SENTRIPETAL .......................... 262 A 1 Makkah dan Madinah Sebelum Islam: Masyarakat Tanpa Negara .... 262 B. 1 Kelahiran "Chiefdom Madinah" di Masa Muhammad saw............ 287 C. Perkembangan dan Keruntuhan "Chiefdom Madinah ". ................... ... 320

BABVI: PERUBAHAN MENUJU PROSES BERNEGARA P~A MASYARAKAT ARAB........................................................... 362 A. Basis Perubahan: Penerimaan dan Penolakan Islam Atas Figurasi

, Jahiliyah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . .. .. 365 B. : Proses Pembentukan Habitus Baru . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 384

• 1. 'Ali bin Abi Thalib . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . .. . . . . . . . 399 2. Mu'awiyah bin Abi Sufyan ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 405

C. 'Proses Pengembangan Organisasi Kekerasan dan Perpajakan .. ..... ..... 418 D. 'Kontes Eliminasi Kekuasaan dan Pembentukan Ranah Politik . . . . . . ... 442

BAB VII: PENUTUP . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . .. . . . . . . . . .. . . . . . . . .. . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . .. 458 A · lmplikasi Teoretis Keterkaitan Islam dengan Proses Pembentukan

:Negara............................................................................. 458 B. Kesimpulan ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...... 491 C. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 494

DAF"l'ARPUSTAKA ...... ... ... ... ...... ......... ......... ...... ... ...... ... .................. 496 DAFTARRIWAYATBIDUP

XXll

Page 25: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun
Page 26: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

A. 1.4tar Bdakang

BAB I

PENDAHULUAN

Keterkaitan antam Islam dengan pembentukan negara telah menjadi

wilayah pethatian banyak pemikir muslim, baik pada masa klasik seperti

S~uddin ~bin Ab1 al-Rabi' yang dikenal sebagai lbnu Abt Rabi (w. 885

M/272 H) atau Abu Nashar al-Farabi (870-950 M/257-339 H), pada abad

~ Masebi seperti Abii Ifasan 'Ali bin ijab1b al-Mawanli (976-1059

M/361i-450 H) atau Abu Abbas Al}mad bin 'Abd al-ijafnn yang dikenal sebagai

Ibnu Taimiyah (1263-1329 M/661-728 H) maupun masa kontemporer, seperti

Jamal al-Din al-Afgham (1838-1897 M.) atau Mt$mnnad Rasyid Riqa (1865-

1935 M). Hal ini dapat dipahami dari kenyataan bahwa dua sumber utama ajaran

Islam, yaitu al-Qur'an dan Sllllilah Rasul, mengandung sejumlah prinsip dasar

tentaflg pengaturan hubllllgan-hubungan individual dan kemasyarakatan yang

harus · dibangun oleh kaum muslimin. Perintah berlaku santun dan tidak berbuat

z.alim. kepada sesama manusia dan bahkan kepada binatang, bersikap adil, taat

kepada pemimpin, perintah mengeluarkan zakat dan tatacara pembagiannya,

mencatat perjanjian dagang dan mengatur harta warisan, merupakan sebagian

kecil telasi individual dan kemasyarakatan yang dapat dengan mudah ditemukan

di dalam kedua sumber tersebut, yang memerlukan otoritas pengaturan dalam

suatu jaringan organisasional.

Produk-produk pemikiran para sarjana muslim itu sudah pasti berbeda satu

sama Jain, bergantung kepada berbagai faktor yang mempengaruhi proses kreatif

merek.a. Selain pengaruh waktu dan perkembangan pemikiran keilmuan yang

Page 27: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

2

terjadi pada saat mereka bidup, lingkungan sosial politik yang mereka alami juga

memheri andil bagi perbedaan corak produk pemikiran mereka tentang keterkaitan

Islam dengan pembentukan negara. Demikianlah misalnya, tokoh-tokoh pemikir

klasik seperti Ibnu Abi Rabi dan pemikir abad pertengahan seperti al-Mawardi

mengembangkan pemikiran mereka di dalatn suatu lingkungan sosial politik: bum

mus)jmin yang didominasi oleh kekuasaan monarki absolut dalam bentuk

k~esultanan. Asal usul bentuk kekuasaan ini dapat ditelusuri hingga

ke m~ awal kehadiran Islam di semenanjung Arabia ketika para sahabat Nabi

Mnh$nmad saw menggantikan posisi kepemimpinan kaum muslimin segera

setelah wafittnya. Para sahabat itu kemudian mendapat gelar "kbalifith" dan

dipanggil dengan Amir al-Mu 'mimn. GeJar "khalimh" lalu diadopsi oleh keluarga­

keluarga yang membangun kerajaan secara turun temurun. T etapi beherapa di

~ keluarga seperti itu menggunakan gelar lain, yaitu "sultan", seperti

kesuli:anan Ghaznawi di India, atau kesultanan Turlci Usmani di Turlci.

Sementara itu, para pemikir muslim kontemporer seperti al-Afgbiini atau

Riqa, hidup dalam suatu lingkungan sosial politik yang ditandai dengan

keruntuhan kekuasaan sejumlah kekhalifahan muslim dan kesultanan Turlti

Usmani, serta kehadiran banyak negara bangsa (nation states) di kalangan

masyarakat muslim di seluruh dunia, khususnya di Asia dan Aftika. Negara

kekhalifithan/kesultanan yang lazitn di masa klasik dan abad pertengahan, yang

kemudian menjadi rujukan pemikiran politik banyak sarjana muslim generasi itu,

meng~ami percepatan keruntuhan terutama setelah kejatuhan Granada sebagai

pertamman terakhir dinasti muslim di Spanyol ke tangan kekuatan Kristen pada

tahun ! 1492 Masehi, disusul dengan perluasan kolonialisasi bangsa-bangsa (Eropa)

Barat . teihadap wiJayah-wilayah hunian kaum muslimin. Lingkungan sosial

Page 28: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

3

politik barn yang disaksikan para pemikir muslim kontemporer ini juga teJah

meml)awa serta gagasan politik yang tidak pemah dikenal kaum muslimin I

sebelemnya, yaitu nasionalisme.

Gagasan nasionalisme, sebagaimana secara umum diketahui, merupakan

Janda~n pembentukan negara-bangsa (nation state) dan persebarannya di

kalangan masyarakat muslim pada umumnya diusung oleh kaum terpelajar hasil

sist~ pendidikan model (Eropa) Barat, amu mereka yang memiliki akses I

terha4ap kebudayaan Barat, dalam upaya memerdekakan wilayah mereka justru

dari ! penjajahan bangsa-bangsa Barat Nasionalisme dalam kerangka

pemb~tukan negara bangsa di banyak wilayah bekas kekuasaan

kekluilifahan/kesultanan, bukan hanya dianut oleh para terpelajar muslim,

melaibkan juga non muslim, sehingga nasionalisme juga teJah tumbuh menjadi

pijal.Gln kuat bagi non muslim untuk memerdekakan diri dari kekuasaan kolonialis

Barat+

Gagasan nasionalisme dan negara-bangsa berbecla secara fundamental dari

gagaSJlil negara kekhalifahan/kesultanan. SeJain asing bagi kaum muslimin,

gagasan pertama itu juga lahir dan berkembang di kalangan bangsa-bangsa

pen~uk kaum muslimin, yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, sejak abad

pertengahan dan menemukan bentuknya yang relatif permanen sejak memasu:ki

abad tnodem Gagasan negara bangsa lebih bersifat lintas batas agama dalam hal

pengaturan kekuasaan dan secara kewilayahan bersifat lokal. Dua sifat ini, yaitu

sifat Iintas batas agama dan sifat lokalitas, berbeda secara diametral dari gagasan

kedua yang sangat akrab bagi kaum muslimin, yaitu negara

kekbalifahan/kesultanan yang pengaturm kekuasaan di dalamnya bersifat

Page 29: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

4

tertutIJp, banya terbatas bagi pemeluk Islam, bersifilt lintas lokalitas dan lintas

bangsa.

Uraian di atas yang memberi gambaran selintas mengenai pengaruh

berbagai filktor dalam pembentukan pemikiran para sarjana muslim, membuka

kemnngkinan bagi pemahaman yang lebih komprehensif mengenai sebuah

fenomena politik di kalangan kaum muslimin dewasa ini di banyak negara.

Fen~ena itu adalah pewacanaan yang semakin berkembang kuat tentang

pembentukan negara Islam. Dilihat dari perspektif politik, wacana pembentukan

negara Islam merupakan upaya pencarian furmulasi bentuk: negara yang akamya

terutama dapat ditelusuri pada ketegangan (tension) antara pemikiran tentang

negara kekbalifilhan/kesultanan dengan pemikiran tentang negara bangsa.

Negara kekhalifahan/kesultanan telah memudar dalam realitas sejarah.

Namun demikian, tidak mudah bagi banyak pemikir muslim masa kini Wltuk

menghapus demikian saja gagasan negara kekhalifahan/kesultanan yang telah

memiliki bukti empirik selama berabad-abad dan teiah dipandang sebagai

kontinuitas kesatuan politik dan kewilayahan Islam. 1 Sebaliknya, realitas

kehadjran nasionalisme yang menjadi basis negara bangsa, tampaknya tidak

mudah mereka terima begitu saja, karena berbagai alasan, sehingga sebagai

hasilnya, muncullah gagasan-gagasan politik yang relatif berbeda baik dari

gagasan negara kekhalifahan/kesultanan maupun dari gagasan nasionalisme.

Contoh yang cukup representatif untuk pencarian gagasan altematif itu

adalah gerakan Pan Islamisme yang dikumandangkan oleh al-Afghani. Gerakan

ini mensyaratkan ketercakupan seluruh moat Islam di dWlia berdasarkan

1 Tentang negara kekhalifahan sebagai kontinuitas kesatuan politik dan kewilayahan Islam, 1ihat: Munawir Sjadzali Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1990). him. 42- l 07.

Page 30: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

5

persamaan dan solidaritas akidah dalam rangka membangun persatuan Islam.

Gerakan ini juga mensyaratkan sebuah asosiasi politik: yang menghimpun seluruh

pemittlpin negeri-negeri Islam dengan kedudukan yang sederajat. Untuk

rnemenuhi persyaratan bagi pencapaian cita-cita gerakan seperti itu, al-Afghani

menytrukan perlawanan bukan hanya terhadap penjajahan Barat melainkan juga

terhadap sistem pernerintahan yang despotik di negeii-negeri Islam sendiri,

tell118$Uk memerdekakan diri dari kek:uasaan kesultanan Turki Usmani. 2

Contoh berikutnya, tetapi berbeda coraknya dari gerakan Pan Islamisme,

adalab. gerakan-gerakan Islam di berbagai wilayah di Asia dan Aftika yang

menerima gagasan nasionalisme sebagai wujud perlawanan terliadap kolonialisme

Bara!; sekaligus menjadikannya sebagai somber gagasan pembentukan negara

(nasi~) Islam. Penerimaan nasionalisme dengan pengertian seperti itu tidak

hanya sebatas wacana, melainkan telah diadopsi sebagai ideologi gerakan, yang

pada '1dlimya rnembawa rnereka terlibat dalam upaya memperebutkan kekuasaan

politik lokal dalam kerangka membangun negara (nasional) Islam.

Kecenderungan ini terlihat rnisalnya pada gerakan Dar al-Islam di Indonesia, al­

lkhwiJn a/-Muslimim di Mesir, atau Jama 'at-1-Isliimi di Pakistan. 3 Ketiga geralran

tersebut cenderung memandang nasionalisme tidak dalam pengertiannya yang

"non agamis" sebagairnana ditemukan di tempat persemaiannya di Eropa,

melaiokan dalam pengertiannya yang ekslusif Islam, yakni yang agamis. Dalam

hal al':-lkhwiin al-Muslimim, selain menerima nasionalisme dengan basis lokalitas

2 Ibid, hlm. l 26. 3 Untuk: kasus Darul Islam, libat: Al Chaidar, Pemikiran Politik Proldamator Negara

Islam Indonesia S.M Kartosoewirjo (Jakarta: Darul Falah, 1999), him ix dan 70-83. Untuk kasus al-!khwa al-Muslimun, lihat: Utsman Abdul Mu'iz Ruslan, Pendidikan Politik lkhwaul Muslimin, terj. Salafuddin Abu Sayyid, Hawin Murtado, Jasiman (Solo: Era Intennedia, 2000), him. 350-357 dan 460-474. Untuk k:asus Jama'at I lslami, lihat: Yusril lhza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), him. 240-256.

Page 31: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

6

di Mesir, mereka juga menerima gagasan Arabisme yang lebih luas cakupannya

dari sekedar wilayah Mesir, yang diyakini tidak terpisahkan dari Islam.

Penerimaan gagasan nasionalisme yang eksklusif seperti itu dan

pewacanaan Negara Islam sebagai bentuk negara yang harus ditegakkan, dapat

dirujuJr asal usu1nya pada buah pemikiran para tokoh gerakan-gerakan tersebut

dan ~ sarjana muslim lainnya. Inti pemikiran mereka merupakan fonnulasi

bahmt Islam menempati peran sentral sebagai landasan pembentukan negara di

Madinah di masa-masa kepemimpinan Muhammad saw dan keempat Khalifah

sesudalmya yang lazim dijuluki al-Khulafii' al-Rishidiin. Dalam

memfonnulasikan peran sentral Islam itu, baik para tokoh gerakan maupun

kebanyakan sarjana muslim cenderung berangkat dari asumsi-asumsi normatif

ideologis, yaitu asumsi-asumsi yang dibangun berdasarkan pemahaman atas dalil­

dalil al-Qur'an atau HadiS Rasul dan kecendenmgan simplifikasi terhadap realitas

sejarah agar sesuai dengan pemahaman tersebut. Asmnsi-asumsi yang bersifat

sosiologis sangat sedikit digunakan atau bahkan sama sekali diabaikan. Sebagai

impliltasinya, fonnulasi yang mereka hasilkan cenderung bercorak idealisasi

Negara Madinah sebagai negara Islam yang secara instan dapat dijadikan model

acuan: guna mengisi kerangka nasionalisme dan menemukan fonnat negara pasca

kenmi!uhan negara kekhalifilhan/kesultanan.

Sikap abai para pemikir muslim kontemporer terhadap asumsi-asumsi

sosiole)gis daJam memfonnulasikan keterkaitan antara (agama) Islam dengan

pembcmtukan negara, merupakan petunjuk bahwa mereka belmn mengenal tradisi

penggJ.1D3aD analisa sosiologis dalam memaharni kaitan keduanya Dan memang,

para Will ilmu politik atau sosiologi pada mnumnya juga belum banyak

Page 32: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

7

memberikan perhatian terbadap peran agama secara um.um dalam pembentukan

negara.1 Terlepas dari kenyataan tersebut, sebagaimana akan ditunjukkan pada

bagian ' tulisan mendatang, sikap abai para pemikir muslim seperti itu kontra

produ14if bagi pengembangan dunia keilmuan dan pemahaman keagamaan kaum

muslimin sendiri.

'Secara um.um dapat dikatakan, para ahli teori pembentukan negara

mempQD.yai dua fokus utama di dalam teori-teori mereka, yang kedua-duanya

tidak mempertimbangkan peran atau sumbangan agama bagi proses pembentukan

negara; Fokus pertmna berkaitan dengan sebab-sebab pembentnkan negara dan

fokus . kedua berkaitan dengan identifikasi mengenai karakteristik dasar

masyatakat yang telah bernegara (state-societies) dibandingkan dengan

masymrakat yang belum memiliki negara (stateless). 4 Sumbangan yang signifikan

diberikan oleh ahli teori pembentukan negara yang menggunakan konsep

differensiasi strnktural sebagai tolok ukur kehadiran negara. Asumsi dasar dari

konsep yang bercorak evolusionistik ini ialah "ketika wilayah pranata sosial

semaldn terdifferensiasi dan terspesialisasi, maka struktur politik masyarakat juga

semakin terspesialisasi dengan fungsi dan organisasi politik yang semakinjelas".

Pendekatan evolusioner tersebut kemudian dielaborasi lagi di tangan

mazhap struktural fungsional, dengan cara memberi perbatian pada proses

spesifik, yaitu ketika pelembagaan solidaritas dan makna-makna, serta pola-pola

pengotganisasian dalain pembagian kerja (division of labor) dan pengaturan

4 S.N. Eisenstadt, Michel Abitbol dan Naomi Chaz.an "The Origins of the State Reconsidered" dafarn S.N. Eisemtadt, Michel Abitbol dan Naomi Cha.zan (eds.) The Early State in AfriamPerspective, (Leiden: E.J. Brill, 1988), him 1-2.

Page 33: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

8

k~ sating terkait satu sama lain di dalam struktur masyarakat. Di dalam

proses jspesifik yang saling tali temali dan kait mengait seperti itulah, sumbangan

agamai (Kristen) terbadap pembentukan negara dapat dideteksi, sebagaimana

diun~pkan oleh ahli sosiologi Talcott Parsons. Hams diakui bahwa Parsons

sendiri tidaldah secara khusus mengulas keterkaitan peran agama dalam proses

pembclltukan negara, oleh karena konteks pemikiran Parson adalah bagaimana

mempOsisikan agama (Kristen) di dalam keseluruhan teori sistem (systems theory)

yang dibangunnya.

Menurut Parsons, differensiasi atau keterpisahan sistem politik ( dari

sistem1 sosial Jain) dengan segala keadaan yang dihasilkannya seperti otonomisasi

dan pelembagaan proses-proses politik, memberikan andil bagi kelahiran sebuah

negara. Proses differensiasi sistem politik tersebut berlangsung pada suatu

momentum yang khas, yaitu ketika di satu sisi sumber-sumber (ekonomi)

mengalami mobilisasi di dalam kerangka pelembagaan bangunan sub sistem

ekonoW dan di sisi lain, differensiasi dimungkinkan di dalam kondisi-kondisi

kultu1*1 tertentu yang kondusif dan dibutuhkan bagi pelembagaan perubalmn-

perubahan dalam sub sistem politik. Parsons melihat bahwa agama Kristen

be~ sebagai sumber "kode budaya" (cultural code) yang memungkinkan sub

sistem politik sama sekali otonom (dari sistem lain).5 Dengan kata lain, agama

Kristen adalah sumber bagi terciptanya kondisi kultural yang memungkinkan

otoOOlillisasi sub sistem politik.

5 Bertrand Badie and Pierre Birnbaum, The Sociology of the State, trans. Arthur Goldha$Ilmer (Chicago: The University of Chicago Press, 1983), hlm. 28. Libat juga: Peter Hamiltqn, Talcott Parsons, (Sussex: Ellis Horwood, 1983), hlm. 117-129. Parsons menempatkan agama ,sebagai "informational control" atau swnber nilai dalam sistem budaya berdasarkan paradi~ empat dimeosi fungsional dalam systems theory, yaitu (A)daptation, (G)oal attainment, (l)ntegrlttion dan (L)atency.

Page 34: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

9

Bryant Tumer6 berpendapat, sedikitnya perhatian para ahli ilmu sosial

terhadap peran agama dalam pembentukan negara antara lain karena dihantui oleh

tema sekularisasi yang mengasumsikan bahwa agama tradisional akan melemah

sejalan dengan menguatnya kapitalisme. Padahal menurutnya, agama Kristen

telah . menyediakan basis legitimasi yang menentukan bagi kelahiran negara-

negara bangsa di Eropa. Kesimpulan yang senada dengan Turner diberikan oleh

Benntdict Anderson yang menyatakan bahwa koalisi antara agama Protestan dan

kapitalisme penerbitan (print-capitalism) memegang peran penting dalam

penyebarluasan kesadamn nasional di kalangan bangsa-bangsa Eropa 7 Kesadaran

inilah yang menjadi salah satu faktor penting pembentukan negara-negara

nasiol)al di daratan benua itu, walaupun pada akhimya format negara yang mereka

bangttn bercorak sekuler.

Islam juga mengalami perlakuan sama dari para ahli ilmu sosial. Meskipun

mereka yang tergolong Orientalis seperti Hodgson atau Guillaume memberikan

petunjuk adanya pertautan antara agama Islam dengan pembentukan negara

bahkan pada masa awal kehadiran Islam, tidak ada penjelasan sosiologis yang

rnemadai untuk memahami persoalan itu. 8

Sesungguhnya, fakta-fakta sejarah di masa Nabi Muhammad saw merintis

pemb~tukan komunitas Madinah memberikan petunjuk awal bahwa Islam

6 Bryan S. Turner, "Religion and State Formation: a Commentary on Recent Debates", dalainJournal of Historical Sociology, vol. I, no.3 (1988). him 322-330.

7 Benedict Anderson, Imagined Communities, Reflections on the Origins and Spread of Nationiillism (London: Verso, 1983), him 41-44.

8 Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, vol. I (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), him 187-230. Lihat juga: Alfred Guillaume, Islam (Middlesex: Penguin, 1954), him 78-87.

Page 35: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

10

memberikan kontribusi pen.ting bagi proses menuju pembentukan sebuah negara.

Ada beberapa aspek yang dapat dijelaskan lebih rinci pada uraian mendatang

terkait dengan peran tersebut. Untuk kali ini uraian dicukupkan banya gambaran

sekilas saja

Pertama, Islam menyediakan ajaran yang potensial mengubah struktur

masy~ (Madinah) dari pola kesukuan (kinship) menuju pola keluarga batih

yang 1ebih menekankan tanggung jawab pada individu dalam lingkup kehidupan

ibu-bapak dan anak-anak mereka. Melalui penekanan pada pelaksanaan ajaran

Islam yang bercorak individual, seperti shalat atau puasa, setiap pemeluk

berkesempatan membentuk dirinya sendiri yang relatif otonom. Kelahiran

kel~ga batih sangat potensial mendorong kompleksitas masyarakat dan

selanjutnya akan membutuhkan pola pengorganisasian secara baru.

Kedua, sebagai penopang model keluarga batih itu, Islam mengenalkan

hukum perkawinan yang ketat dan juga hukum waris. Terutama melalui hukum

waris, posisi keluarga batih diperteguh sebagai landasan utama pengorganisasian

masyarakat menggantikan pengorganisasian model kesukuan Arab yang tidak

mengenal pewarisan harta benda secara pasti, kecuali bagi laki-laki anggota

kelumtga yang kuat perang. Hukum waris ini memungkinkan proses kepemilikan

harta secara perorangan dan merdeka (private ownership)9 bukan hanya bagi laki-

laki ~pi juga bagi perempuaa

9 Untuk persoalan kepemilikan individu sebagai faktor dalam proses pembentukan negara,: lihat: George M.Thomas clan John W. Meyer, "The Expansion of the State" dalam.Annual Review' of Sociology vol. IO (Annual Review Inc., 1984), him 464-466.

Page 36: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

11

Ketiga, Islam juga mengenalkan pengorganisasian perpajakan yang

mew~jibkan setiap anggota masyarakat untuk menyetor kekayaan secara invidual

untukt digunakan secara kolekti( baik da1am bentuk zakat, infilq, atau jizyah.

Pen~rganisasian sumber-sumber keuangan ini memberi kemungkinan

tumbUhnya pembagian kerja dan differensiasi profesi berbasis upah (wages,

salary).

Keempat, melalui praktik yang dicontobkan Nabi Muhammad saw, juga

diperkenalkan pengorganisasian instrumen kekerasan fisik: (instruments of

physi<XJl violence) dalam bentuk ketentaraan,10 meskipun sosok organisasinya

yang lebih jelas barn terlibat setelah melampaui masa kepemimpinan keempat

khalifah pengganti Muhammad saw yang dikenal dengan al-Khulara' al-Rasidiin.

Sumbangan Islam bagi proses pembentukan Negara di Madinah secara

sosiologis tentu memiliki batasnya sendiri, mengingat Agama ini hadir dalam

setting ruang dan waktu tertentu yang telah ada di kota itu dan kota kelahirannya

M~. Maka, selain peran penting yang diberikan Islam, terdapat peran yang

disuntbangkan faktor-filktor lain dalam proses pembentukan negara, suatu hal

yang imemerlukan elaborasi Iebih Ianjut. Namun sebagai ilustrasi, di sini akan

dikemnkakan tiga faktor penting.

Faktor pertama adalah komposisi penduduk Madinah yang terdiri dari

kabilah-kabilah Arab yang telah memeluk Islam, utamanya Aus dan Khazraj;

kabilah-kabilah penganut agama Y ahudi; kabilah-kabilah yang masih menganut

10 Mengenai pentingnya kedua aspek terakhir ini dalam proses pembentukan negara, libat: Norbert Elias, "Violence and Civilization: The State Monopoly of Physical Violence and its Infrinpent" daJam John Keane (ed.) Civil Society and the State (London: Verso, 1988), hJm l 77.

Page 37: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

12

agama berhala; serta kabilah Arab muslim yang hijrah dari Makkah, utamanya

cabang-cabang kabilah Quraisy. Faktor ini turut mewarnai proses pembentukan

komUJ!ritas barn Madinah dan proses politik selanjutnya menuju pembentukan

sebuah negara, jauh sepeninggal Rasulullah saw.

Faktor kedua ada.lah warisan semangat fanatisme kekabilahan yang belum

sepenuhnya dituntaskan oleh kehadiran agama Islam. Faktor ini turut memberi

sumbangan bagi proses-proses politik dalam kerangka pembentukan Negara,

khususnya dalam konteks perebutan kepemimpinan elite politik puncak. Warisan

ini tam.bah lama terlihat cenderung tambah menguat dan memberi landasan bagi

kehadi.ran model negara dinastik, setelah berakhimya masa al-Khulafii' al­

Rasidiin.

Sedangkan faktor ketiga adalah kond.isi perekonomian komwiitas Madinah

yang 'berbasis pertanian, yang sulit diharapkan dapat menopang kebutuban

ekonomi dan keuangan sebuah Negara, tanpa dukungan sumber-sumber lain. Di

masa sebelum Islam, penduduk Madinah hidup dari pertanian dan sedikit

perdagangan yang secara diametral membedakannya dari Makkah yang secara

luas telah diakui sebagai pusat dagang dan per.ziarahan yang kuat. Pertikaian dan

peperangan antara penduduk Madinah setelah Islam dengan Makkah sebelum

ditaklµkkan, bukan saja telah mengganggu kekuatan perekonomian Makkah,

melainkan terlebih lagi Madinah. Dalam konteks ini, ketergantungan penduduk

Madinah sangat besar terlladap sumber penghidupan lain, utamanya harta

rampasan perang. Hal ini secara nyata akan mewamai proses konsolidasi

Page 38: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

13

kekuaSaan dan pembentukan negara, baik di masa Nabi saw maupun al-Khulafii'

al-R.asidiin. 11

' Kelangkaan penjelasan secara komprehensif yang lebih bercorak

sosiol<)gis dari para ahJi ilmu sosial tentang sumbangan Islam dalam pembentukan

ne~, khususnya di masa-masa nabi Muhammad saw dan para sahabat

penerqsnya di Madinah, sangat boleh jadi memberikan andil besar bagi formulasi

peran :Islam yang lebih bercorak ideologis di kalangan para tokoh dan pemikir

Islam rpasca kehancuran negara kekbalifahan/kesultanan. Hubungan di antara

ketiga faktor di atas dan antara ketiga fuktor tersebut dengan faktor kehadiran

Islam ~ filktDr lainnya, belum berbasil dilacak secara komprehensif oleh para

pemikir Islam, sehingga kesimpulan mereka mengenai formulasi Negara Islam

cendetung distortif dan instan.

· Oleh sebab itu, diperlukan eksplorasi yang lebih mendalam terhadap

kondi$i-kondisi sosiologis yang melatarbelakangi proses pembentukan negara

yang ~prakarsai nabi Muhammad saw dan peran Islam di dalamnya. Dalam

kaitan) ini Bellah12 memberikan sedikit petunjuk yang menarik. Menurutnya,

masyarakat Arab di bawah Muhammad saw telah menciptakan lompatan ke

depan1 dalam hal kompleksitas sosial dan kapasitas politik. Ketika struk:tur

masyarakat yang disiapkan oleh Muhammad saw itu dikembangkan oleh para

khalifith penerusnya, hasilnya adalah sesuatu yang untuk saat itu benar-benar

11 Tentang perekonomian Madinah sebelum Islam, lihat: Mahmud Arfah Mahmud, A/­Arab (labia al-Iskim, AlJwtiluhum al-Siytisiyyah wa a/-/Jiniyyah wa Ahammu Ma;tihiri lfaifartfiihim (Kairo: Dar al-Tsaqafah al-Arabiyyah, 1998), hlm 288 dan 330. Mengenai pengaruh konflik

1

terhadap ekonomi penduduk Makkah dan Madinah, lihat: Ahmad Ibrahim al-Syarif, Dau/ah, ar-Rasiil ft al-Maclin.ah (Kairo: Dar al-Fikri al-Araby, 1972), hlm. 122-125.

• 12 Robert N. Bellah, Beyond Belief. Esei-esei tentang Agama di Dunia Modem, terj. R.H.

Alam (Jakarta: Paramadina, 2000), him 208-211.

Page 39: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

14

modern, baik dalam pengertian tingginya komitmen dan partisipasi semua lapisan

masyaiakat maupun keterbukaan posisi kepemimpinan berdasarkan kemampuan

dan persyaratan universal lainnya. Bagi Bellah, kegagalan masyarakat muslim

awal mempertahankan kondisi tersebut dengan kembali kepada prinsip

pengotganisasian sosial pm-Islam, menunjukkan bahwa hal itu terlalu modem

untuk dapat berhasil karena infrastuktur sosial yang dapat mendukung

keberltasilannya belum tercipta. Pendapat seperti ini atraktif: meskipun masih

perlu diperdebatkan kesahihannya.

R. Rumusan Massiah

Kecenderungan para tokoh gerakan dan pemikir muslim kepada

pemal$mum yang lebih normatif ideologis terbadap fonnulasi Negara Madinah

sebag~ Negara (nasional) Islam, telah menempatkan fonnulasi itu dalam posisi

yang 'fsakral", yang mengandung konsekuensi hokum (keagamaan) tertentu jika

tidak ditegakkan. Penempatan seperti ini mengandung bahaya terjerumusnya

seseonmg ke dalam keyakinan kea~maan yang belum tentu sahib.. Namun, ju~

sama bahayanya apabila penolakan atas fonnulasi seperti itu dilakukan dengan

pemabaman yang sama ideologisnya, misalnya melalui penggunaan premis­

premi~ keagamaan secara instan. Pemahaman yang lebih sosiologis akan

membt.Jka ruang bagi pengembangan premis-premis yang dihasilkan secara lebih

propmrsional.

Sebagai sebentuk pemahaman yang dihasilkan melalui proses pencarian di

dalam. ketegangan (tension) antara kehancuran negara kek:balifahanlkesultanan

dan kehadiran negara bangsa, fonnulasi ideologis Negara Islam harus terlebih

Page 40: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

15

dahulu • ditinjau secara kritis dan diuji kesahibannya melalui rekonstruksi yang

lebih ~corak sosiologis atas sumbangan Islam bagi proses pembentukan negara

oleh Muhammad saw dan empat sahabat sesudahnya yang berpusat di Madinah,

untuk kemudian dilakukan refonnulasi peran Islam tersebut di dalam keseluruhan

proses.• Dengan mengingat pendekatan metodologis yang digunakan. penelitian

ini dimaksudkan untuk menyodotkan pemikiran altematif tentang bagaimana

sumbangan Is1am dalam proses pembentukan negara dapat dipahami secara

proporsional.

Penelitian ini berupaya menggali, adakah arah tertentu yang dituju oleh

Muhammad saw dalam membangun masyarakat muslim Arab di Madinah

Identifikasi terlladap arah ini akan dilakukan melalui penggalian terlladap faktor

Agama Islam dan faktor-faktor lain di luar Agama Islam yang memotivasi

pengm1ganisasian secara barn masyarakat Arab di bawah Muhammad saw.

Penelitian ini juga berupaya mencari jawaban, infrastruktur sosial rnacam apa

yang telah dibangun oleh Muhammad saw di Madinah dan apa sumbangan Islam

dalam pembangunan infrastruktur tersebut. Melalui penggaJian seperti ini akan

dapat diidentifikasi, langkah-Iangkah seperti apakah yang seharusnya

dikembangkan oleh kaum muslimin para penerus Muhammad saw agar dapat

meneladaninya dalam kehidupan politik dan kenegaraan. Selain itu juga akan

diteliti, mengapa pola pengorganisasian masymakat dan kepemimpinan yang

dikembangkan Muhammad saw dan keempat sahabat penggantinya kemudian

berubah di masa sesudah itu menjadi pola pengorganisasian sosial lain yang pada

dasamya berbeda dengan pola yang telah dirintis Muhammad saw.

Page 41: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

16

. Masalah utama yang akan diangkat daJam penelitian ini ialah, bagaimana

memfonnulasikan sumbangan Islam di dalam proses pembentukan negara yang

lebih q:tendekati realitas sosiologis masyarakat Madinah di masa Muhammad saw

dan keempat khalifah penerusnya? Secara spesifik, masalah utama tersebut

setictaanya akan diurai dengan jalan mempertanyakan hal-hal sebagai berikut:

1. El¢men-elemen barn apa saja di ran.ah sosial, ekonomi, politik dan budaya

masyarakat Arab yang dihasilkan oleh kebadiran Islam, terutama jika

dibandingkan dengan periode pra-Islam?

2. Mengapa proses pembentukan negara pada masyarakat Arab di semenanjung

Arabia bagian Tengah terjadi setelah kemunculan Islam dan bukan

sebelumnya dan adakah hubungan signifikan an.tam kedua fenomena i~ yakni

proses pembentukan negara dengan kehadiran Islam? Atau dengan kata lain,

ap*1cah Islam itu sendiri memiliki konsep tentang pembentukan negara?

3. Bagaimanakah penjelasan sosiologis yang proporsional terhadap perluasan

Islam ke luar semenanjung Arabia bagian Tengah dan apa saja konsekuensi­

kottsekuensi perluasan itu bagi proses pembentukan negara selanjutnya, serta

bagaimana penjelasan sosiologis atas penggunaan pola pengorganisasian

sosial yang berbeda an.tam masa Muhammad saw dan keempat sahabat

pe$erusnya dengan masa-masa setelah itu?

4. Basaimana kemungkinan memfonnulasikan wacana atau teori barn tentang

pet!tautan Islam dengan pembentukan negara dan landasan konseptual apa saja

yatltg harus dikembangkan agar dapat diterapkan secara lebih praktis di masa

depan?

Page 42: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

17

Pertanyaan pertama menghendaki jawaban deskriptif analitis mengenai

perub~an sosial, ekonomi, politik maupun budaya yang relatif fundamental di

kalangan masyarnkat Arabia Tengah, khususnya masyarakat kota Madinah setelah

kelahiran Islam. Jawaban ini penting untuk mengetahui perubahan sosial apa yang

secara proporsional ch'bawa oleh Islam dan apa saja sumbangan aspek lain di luar

Islam.

Melalui jawaban atas pertanyaan kedua akan diperoleh deskripsi yang

lebih 1spesifik mengenai sumbangan Islam bagi proses pembentukan negara.

Prasyarat-prasyarat yang diperlukan dalam proses pembentukan negara akan

dianalisa dalam kont.eks masyarakat Madinah khususnya dan Arabia T~

umumnya dan posisi Islam di dalam keseluruhan proses itu akan dipetakan. Ke

dalam1 pemetaan ini akan termasuk analisa atas posisi dan kinerja ~ah (yang

sering diterjemahkan dengan "Piagam Madinah" atau "Konstitusi Madinah") yang

diberl~ bagi penduduk Madinah di bawah pimpinan Muhammad saw

sehingga dari analisa ini dapat dilihat apakah Islam memiliki, atau tidak memiliki,

konsep tentang negara dan pembentukannya.

Jawaban atas pertanyaan ketiga akan memberikan gambaran mengenai

mata tantai proses pencarian bentuk negara yang pada hakikatnya belum final,

suatu ·mata rantai yang melukiskan tahap-tahap (stages) pembentukan negara,

yaitu tahap yang diselesaikan oleh Muhammad saw, lalu kemudian tahap-tahap

yang dikembangkan oleh keempat khalifah penerus beliau, serta tahap yang

dilanjmkan oleh para penguasa muslim sesudah mereka. Dalam jawaban ini akan

diberikan analisa mengenai bagian-bagian dari tahap-tahap tersebut yang berubah

Page 43: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

18

secara1tajam dari pencapaian Muhammad saw sendiri dalmn proses pembentu.kan

negara.

· Jawaban atas pertanyaan keempat diharapkan dapat menyedialam

fonnuJasi altematif atas wacana dan ideologi Negara Islam. Tanpa harus secara

langsung menampilkan pembandingan, jawaban yang tersedia akan dengan

sendirinya meretleksikan tinjauan kritis atas wacana dan ideologi tersebut dan

sekaligus memmtut refunnulasi atas peran atau sumbangan Islam bagi proses

pem*tukan negara yang dapat dijadikan acuan pengembangan konseptual

secara kreatif oleh masyarakat muslim yang memerlukannya Dengan kata lain,

studi ini merupakan eksplorasi menemukan pemahaman yang lebih sosiologis

terh•p fenomena apa yang sering dipersepsikan sebagai Negara Islam Madinah

di masa Nabi saw dan empat sahabatnya yang utama (al-Khulafii' al-Rasidlin),

serta proporsi sumbangan Islam di dalamnya

C. Signifikansi

Pembentukan sebuah negara tidak berlangsung dalam situasi vacum dan

bers~ instan. Ia memerlukan prasyarat kondisional (conditional prerequisite)

yang ~gkali sating tali temali, bersifat kompleks dan bahkan terlihat tanpa

di~ yang memungkinkan proses pembentukannya terjadi Maka, memposisikan

basil :usaha Muhammad saw dan keempat sahabat penerusnya dalam bentuk

Negalra Islam Madinah sebagai cetak biru bagi pembentukan Negara Islam secara

instan di mana saja, akan membawa orang kepada idealisasi peran atau

sumb$1gan Islam yang tidak selaras dengan proporsi yang sebenamya di dalam

realitas sosiologis masa itu.

Page 44: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

19

Dilihat dari perspektif di atas, signifikansi penelitian ini dapat dilihat dari

dua hal. Pertama, penelitian ini akan memberi kejelasan tentang bagaimana

prasy.-at-prasyarat kondisional sating berinteraksi dan berfali temali di dalam

prose~ pembentukan negara di Madinah dan bagaimana proporsi sumbangan Islam

bagi proses itu. Kejelasan seperti ini sekaligus akan mengisi ruang kosong yang

belum: banyak diisi oleh para ahli ilmu sosial dan studi Islam tentang sumbangan

agam~ khususnya Islam, bagi proses pembentukan negara (state formation).

Kedua, penelitian ini akan memberikan perspektif yang berbeda dalam

memahami ajaran agama, yaitu suatu pemabaman yang lebih mempertimbangkan

realitas yang membumi, yang presedennya dapat ditemukan dalam bentuk

asbabUn 11Uzid bagi ayat Qur' an atau asbabul wuriid bagi HadiS. Jika fenomena

apa y'1tg disebut dengan Negara Islam Madinah akan diletakkan dalam domain

keagamaan dengan asumsi bahwa Islam tidak mengenaJ pemisahan di antara

berbagai aspek kehidupan, maka pemahaman mengenai hal tersebut perlu

didukUng oleh pernahaman atas berbagai kondisi yang menyertai kelabirannya,

sehingga dapat membantu tumbuhnya pemahaman keagamaan yang lebih

proporsional.

D. K()ntribusi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi dunia

keilmuan, khususnya ilmu sosial dan studi keislaman, berupa infonnasi ilmiah

tenta.Qg kontribusi agama (Islam) dalam proses pembentukan sebuah negara.

Mengingat demikian minimnya infonnasi tentang hubungan antara kedua bal

tersebut, basil penelitian ini diharapkan turut memperkaya perbendaharaan

Page 45: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

20

pengetahuan eksploratif tentang bal dimaksud. Hasil penelitian ini juga

diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pembentukan wacana altematif tentang

bagau.na seharusnya Islam dipabami dalam kaitan dengan pencarian bentuk

negara pasca kejatuhan negara kekhalifahan/kesultanan. Di atas semua itu, basil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan mentah bagi pemahaman

ten.tang Islam yang lebih kreatif dan aplikatif dalam menjawab kehendak

masyanikat untuk membangun negara yang maju dan sejahtera, kbususnya dalain

lingkungan pergaulan masyarakat dunia dewasa ini yang sudah demikian

kompleks.

E. Telaah Kepustakaan

Persoalan pembentukan negara telah menjadi perhatian banyak kaum

intelektual. Di dalam tradisi keilmnan Barnt, perbatian tetbadap persoalan ini

ditemukan pada karya-karya setua karya Plato dan Aristoteles sekitar 400 tahun

sebelU1;Il Masehi, yang mengupas mengenai pembentukan negara kota. Sebagai

filoso£. keduanya mengajukan teori tentang negara kota yang ideal dan mengingat

pada saat itu tradisi agama besar belum terbentuk di kalangan masyarakat di mana

kedwmya hidup, keterkaitan antara agama dengan pembentukan negara sulit

diharapkan. Dalam tradisi (Eropa) Barat ini, teori pembentukan negara

dikembangkan dalam konteks teori-teori tentang negara nasional. Dalam konteks

ini pull, para filosof abad Pencerahan seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John

Locke (1632-1704) atau Jacques Rousseau (1712-1778) mengajukan teori mereka

tentang negara dan pembentukannya. Meskipun tradisi agama besar, yakni

Kristeu, telah lama berakar ketika mereka hidup, para filosof itu justeru

Page 46: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

21

merupakan tokoh-tokoh perlawanan terhadap dominasi gereja, khususnya gereja

Katolik, sehingga sulit pula mengharapkan teori-teori mereka membahas

keterkaitan antara proses pembentukan negara dengan agama Kristen. 13

Pembahasan mengenai persoalan pembentukan negara oleh banyak

intelektual Barat generasi modern, seringkali juga terlepas dari keterkaitannya

dengrui kontnbusi agama (Kristen), meskipun perlawanan terhadap dominasi

gereja tidak selruat para pemikir pendahulu mereka di abad pencerahan.

Sebagaimana telah disinggung sekilas di atas, Bryan Turner telah menunjukkan

keengganan para ilmuwan Barat untuk membahas persoalan itu, terutama karena

asums~ yang mereka anut mengenai proses sekularisasi. Meskipun Turner

mengakui adanya keterpautan antara agama (Kristen) dengan pertumbuhan negara

bangsa di Eropa, dia sendiri tidak melakukan kajian secara khusus dan serius

mengepai kontnbusi agama dalam pembentukan negara bangsa di Eropa. Dapat

dipastikan bahwa dengan kondisi seperti ini kaum intelektual Barat tidak

membtrikan perhatian yang cukup untuk mengbasiJkan karya yang

mempertautkan agama, apalagi agama Islam, dengan pembentukan negara.

Oleh karena demikian halnya, maka untuk memahami teori-teori tentang

negara dan pembentukannya dalam tradisi keilmuan (Eropa) Barat, pusat

perhatian tidak diarahkan kepada agama, melainkan kepada individu yang bebas

dan kepada masyarakat. Para teoritisi yang sangat mementingkan individu yang

bebas,, pada umumnya mengajukan teori-teori yang mengandung perspektif statis

13 Studi mengenai teori kenegaraan mereka secara rinci dapat dilihat dalam: George H. Sabine, !A History of Political Theory (London: George G. Harrap & Co, Ltd., I %3).

Page 47: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

22

jangkai pendek.1' Termasuk ke dalam perspektif ini adalah teori atau filsafat politik

yang bersifat nonnatif, sebagaimana telah dihasilkan oleh Plato dan Aristoteles di

jaman!lamo, atau oleh Hobbes (1588-1679) dan Locke (1632-1704), dua tokoh

Liberallisme dari jaman Pencerahan. Teori-teori ini menekankan pada apa yang

seharuSnya berlangsung dalmn pembentukan negara dan apa yang sebarusnya

dilakukan oleh negara terhadap individu yang bebas. Ke dalam teori yang

nonnatif ini tercakup pula pemikiran para ilmuwan politik generasi baru yang

tidak memandang penting evolusi politik masyarakat dan lebih memilih memberi

perhatian pada persoalan kekinian seperti perubaban organisasi negara atau cara

peru.m:usan kebijakan oleh negara.

Sedangkan para teoritisi yang memberi perhatian pada masyarakat dalam

pemb¢ntukan negara, pada umumnya mengajukan teori-teori yang memiliki

persp~f dinamis jangka panjang, yaitu teori-teori yang bersifat deskriptif

ekplaI)atoris, yang melihat proses serta dukungan data dan fakta di lapangan

sebagai hal yang krusial. Perspektif seperti ini terutama banyak ditemukan pada

p~ para sosiolog seperti Karl Marx (1818-83) atau Norbert Elias (1897-

1990)~ serta para antropolog seperti Lewis H. Morgan (1818-1881) atau Julian

Steward (1902-1972).

Persoalan hubungan agama dengan pembentukan negara memang lebih

banyak diangkat oleh para intelektual Muslim yang sangat menekankan

pentingnya agama manus1a dan kurang mempertimbangkan aspek

14 Penggolongan ini, termasuk perspektif lrebalikannnya yakni dinamis jangka panjang dipinjatn dari kategorisasi yang dibuat oleh Norbert Elias. Lihat Norbert Elias, "Processes of State Fo~on and Nation Building" dalam Transactions of th World Congress of Sociology 1970, vol. 3 (Sofia, International Sociological Association, 1972), him 274-284.

Page 48: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

23

kemasyarakatannya, sehingga mereka umumnya mengbasilkan teori-teori politik

yang I>ercorak nonnatif dan cenderung doktriner. Pada masa ketika negara

kekhali&hanlkesultanan sedang da1ain puncak perkembangann~ para ilmuwan

muslinl masa klasik seperti Ibnu Abi Rabi atau al-Farabi1s telah memberikan

perllaillm pada keterkaitan Islam dengan pembentukan negara, walaupun

pembahasan mengenai hal itu sangat sedikit mereka lakukan mengingat keduanya

mendapat pengaruh pemikir Y unani seperti Plato dan Aristoteles. Ibnu Abi Rabi

yang bidup di lingkungan politik kerajaan Abbasiyah yang sedang berkembang

bagus di bawah al-Mu'tashim pada abad IX Masehi, berpendapat bahwa manusia

diciptakan Allah untuk saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi hajat

hidup 1 mereka, baik pangan, sandang maupun papan. Interdependensi antar

manusµt selain menghasilkan pembagian kerja, juga menumbuhkan struktur

pengmJganisasian masyarakat yang kelak membentuk negara. Dengan kata lain, ia '

melihalt negara muncul sebagai mata rantai proses pemenuhan kebutuhan hidup

manusia. Ia juga berpendapat bahwa negara kekbalifuhan dengan seorang

pemi~pin puncak (khali:fah) yang memperoleh kekuasaannya secara turun

temurun, merupakan bentuk negara yang terbaik. Kecuali uraian tentang asal-usul

negarai yang hanya sedikit diulas, uraian teoretik tentang hubungan Islam dengan

pemb~tukan negara kurang mengedepankan pendekatan sosiologis.

Sedangkan al-Farabi yang jauh lebih masyhur dari Ibnu Abi Rabi tetapi

hidup ~i lingkungan dinasti Abbasiyah yang sedang kacau di masa al-Mu'tamid,

meng~ukakan teori tentang negara yang tampaknya sangat teoretik dan belum

. 15 Mmiawir Sjadz.ali, Islam, him. 42-57.

Page 49: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

24

diuji k«sthihannya dalatn realitas. Hal ini dapat dipahami karena posisi al-Farabi

jauh dari lingkaran kekuasaan politik dan hidup lebih banyak bergelut dengan

dunia keilmuan. Menurutnya, ada tiga bentuk masyarakat, yaitu "masyarakat

semputna besar", "masyarakat sempurna se<iang" dan ''masyarakat sempuma

kecil". 1 Bentuk masyarakat yang terakhir ini merupakan kesatuan politik terbaik

yang membentuk negara kota. Menurutnya, bentuk negara (kota) terdiri dari

beberapa macam lagi: Negara Utama, Negara Bodol4 Negara Rusak, Negara yang

Merosot dan Negara yang Sesat. Mengenai asal usul negara, pendapat al-Farabi

sama ~ pendapat Abi Rabi, yang ntamanya bersumber dari pemikinm Plato.

Kalangan pemikir muslim abad pertengahan seperti alAMawardi atau Ibnu

Khald'1! (1332-1406 M), juga menulisk.an teori mereka dalam konteks model

kekhaliifahan. Demikianlah misalnya al-Mawardi, lebih menekankan teorinya pada

pentingnya imamah (kepemimpinan mnat ), posisi khalifah sebagai imam dan

kewajiban serta fungsi imam. Sentralitas imam dalam pemerintahan menjadi

perhatian utama dan bukan pada bagaimana proses pembentukan negara

berlangsung dan bagaimana peran atau sumbangan yang diberikan Islam dalam

proses1 tersebut. Dengan kata lain, dalarn mempertautkan Islam dengan

pembentukan negara, pendekatan yang dibuat al-Mawardi lebih bersifat normatif

dan doktriner dan tidak memperhatik:an pendekatan sosiologis16

· Sebagaimana al-Mawardi, pendekatan yang digunakan Ibnu Khaldun

dalam membangun teorinya tentang n~ juga bersifat normatif dan doktriner,

sebagaimana terlihat pad.a pendapatnya tentang imamah dan fungsi imam, yang

16 Qamar-ud-din Khan, Kekuasaan, Pengkhianatan dan Otoritas Agama, Telaah Kritis Teori al-Mawardi tentang Negara (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), h1m. 39-87.

Page 50: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

25

tidak berbeda jauh dengan pendapat al-Mawardi. Meskipun demikian, Ibnu

Khaldtm telah mulai memberikan perhatian kepada pendekatan sosiologis, ketika

ia berpendapat bahwa solidaritas kesukuan ( ~iyyab) dan kekuatan tentara

merupakan pilar pen.ting sebagai kekuatan penyangga negara. Dalam konteks ini,

Ibnu : Khaldun tidak melakukan analisa mengenai pembentukan negara

(kek:h'1ifahan) secara spesifik dan sumbangan Islam di dalamnya, melainkan

membuat generalisasi sosiologis yang cenderung bercorak umum. 11

Karya yang jauh lebih relevan dengan penelitian ini adalah studi yang

dilakulmn oleh para intelektual muslim setelah kebancumn negara kekbalifaban

dan munculnya negara-bangsa. Namun karya terdahulu seperti yang dibuat oleh

al-Mawardi, atau Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun, tetap memiliki relevansinya

sendiri mengingat karya-karya itu banyak dijadikan rujukan oleh para intelektual

generasi berikutnya Relevansi tersebut semakin nyata ketika para intelektual itu

lebih cenderung menggunakan pendekatan nonnatif dan doktriner, atau

katakanlah "ideologis" seperti para pendahulunya Karya para intelektual

generasi baru tersebut belum mampu lagi mengembangkan pendekatan sosiologis

sebagaimana telah dirintis oleh Ibnu Khaldun. Demikianlah misalnya, gagasan

kenegaraan Abul A'la Maududi (1903-1979) yang adalah tokoh utama Jama'at

Islami, juga merujuk kepada karya terdahulu dengan tetap menggunakan

pendekatan normatif ideologis. Pandangannya tentang negara bertolak dari konsep

al-I/ah dan al-Rabb, yang harus diartikan penyerahan semua hak pembuatan

undang-undang kepada Allah. la menolak: konsep demokrasi karena mengandung

17 Untung Wahono, Pemi/dran Politik Islam dalum Pasang Surut Peradoban (Jakarta: Pustaka Tarbiyanma, 2003), hlm. 143-161.

Page 51: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

26

arti :rakyat memiliki kedaulatan membuat undang-undang dan sebagai

padanannya, mengajukan konsep theo-demokrasi, yakni pemberian kewenangan

kepacJa rakyat Wltuk membentuk dewan eksekutif yang dibatasi oleh undang-

undang Tuhan. Maududi juga masih menggunakan terminologi khilafah untuk

merujuk kepada kepemimpinan dalmn pemerintaban menurut Islam. 111

Pola studi seperti dilakukan Maududi seolah-olah menjadi trend bagi para

intelc.fdual muslim, di mana pendekatan sosiologis lrurang memperoleh tempat

F~-fakta sejarah dinukil .dan diinterpretasikan dengan tetap menggunakan

pendekatan normatif Untnk menyebut contoh, tulisan Abdul Qadim z:allum

tentm!Ig sistem pemerintahan Islam yang merupakan penyempumaan katya tokoh

HizbUt Tahrir Taqiyyuddin An-Nabhani (1909-1977), atau tulisan tokoh partai

MaS)filmi Zainal Abidin Ahmad (1911-1983) tentang Negara Islam, masih belum

memll>eri tempat bagi interpretasi yang lebih sosiologis terbadap peran Islam

dalam pembentukan negara. 19

Studi yang lebih sosiologis tentang kaitan Islam dengan pembentukan

negmJi dilakukan oleh Khalil Abdul Karim. Dalam pemahamannya, kehadiran

Islam.1 sangat terkait dengan proses pembentukan Negara Quraisy di Yatsrib yang

mengllkuhkan hegemoni suku itu di atas seluruh suku-suku Arab di Arabia

Teng$h. Negara yang didirikan oleh Muhammad bin Abdillah di Yatsrib

(Madinah) bukanlah prototipe Negara Islam melainkan peneguhan kekuasaan dan

Negata Quraisy. Dalam. konteks ini, kehadiran Islam tam.paknya tidak

13 Abul A'la M.aududi, N~i}Uh al-Iskiin al-Si;riSiyah (Kuwait: Maktabah al-Manar, t.t. ), hbn. 1-15 dan seterusnya.

19 Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, terj. Maghfur (Bangil: Al-lzzah, 2002) .. Lihat juga: Zainal Abidin Ahmad, Memlxmgun Negara Islam (Yogyakarta: Pustaka Iqra, 2001).

Page 52: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

27

ditempatkan sebagai persoalan kebenaran daJam beragama, melainkan terkait

dengan legitimasi atas kekuasaan yang telah lama dimiliki kaum Quraisy. 20

Meskipun studi ini telah sangat maju dalam menggunakan pendekatan sosiologis,

penuliSnya telah gagal mengidentifikasi sumbangan Islam bagi proses

pembentukan negara di Madinah., melebihi kapasitasnya sebagai landasan

legititnasi bagi kelanggengan kekuasaan Quraisy. Memposisikan Islam seperti itu

akan tlistortif terhadap makna penting Islam bagi mereka yang secara tulus dan

sunggµh-sungguh menerima agama ini sebagai pegangan bidup, serta bagi

perubahan kehidupan yang diaJami masyarakat Arnb secara luas pada saat itu.

Meskipun penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis sebagaimana

dilakukan Khalil Abdul Karim, perlakuannya terliadap posisi Islam berbeda dari

perlakuan Abdul Karim terhadap posisi agama ini. Ketika Karim menempatkan

Islam daJam posisi legitimator terbadap Negara Qura.isy, penelitian ini

meneJ!npatkan Islam sebagai kontributor penting bagi proses pembentukan negara

di Madinah sehingga penelitian ini sejak awal tidak menempatk:an Islam dalam

posisi pinggiran, melainkan posisi sentral dan menentukan. Walaupun demikian

perlakuan penelitian ini terbadap posisi Islam, penelitian ini berbeda dengan

karya.:.karya yang menggunakan pendekatan nonnatif ideologis dalam memahami

fenomena apa yang disebut Negara Madinah. Jadi, melalui penelitian ini,

kontiibusi Islam dalam proses pembentukan negara akan ditempatkan secara

propotsional melalui pendekatan sosiologis, sehingga diharapkan dapat

meng~liminir distorsi, baik yang terdapat pada karya-karya yang menggunakan

. 20 Khalil Abdul Karim, Hegemoni. Quraisy, Agama, Budaya, Kelcuasaan, terj. Faisol

Fatawi:(Yogyakarta: LKIS, 2002), hlm. xi-xxv.

Page 53: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

28

pendekatan normatif ideologis maupun pendekatan sosiologis model Kbalil Abdul

Karimi

F. Ketangka Teori

Dalain rangka menjawab pertanyaan sebagaimana diuraikan dalam

rumusan masalah, penelitian ini menggunakan tiga kata kunci sebagai kerangka

teori, yaitu kerangk:a teori ten.tang IsJam, tentang negara dan tentang pembentukan

l. Ishim

Al-Jurjam, sebagaimana dikutip oleh Muhammad 'Imiirah,

mengartikan Islam sebagai " ... ketundukan dan kepatuhan kepada Allah swt

se$Wli dengan ajaran-ajaran dan hukum-hukum yang datang dari Allah dan

diwartakan oleh Rasul saw". Sesuai dengan arti ini, Imarah memandang Islam

sebagai agama sekaligus negara dan oleh karena Rasul saw adalah pembawa

aj~ Islam, maka beliaupun adalah juga pendiri negara Islam (al-Dau/ah al-

Mengingat ajaran Islam terbentuk dalam proses sepanjang hayat Rasul

saw, maka penggunaan konsep "Islam" dalam penelitian ini tidak semata-mata

merujuk kepada arti Islam yang normatif dan menyeluruh sebagaimana

ditunjukkan oleh pengertian di atas, melainkan kepada nonna atau aturan

yang bersumber dari ajaran yang telah memperoleh pijakan empiriknya,

kb.ususnya di tengah masyarakat Arab di Madinah di masa Rasul saw dan

keempat Khalifahnya. Dengan demikian, apabila penelitian ini menggunakan

21 Muhammad 'lmalab., Al-Iskiin wa al-Siytisah, al-Rodd 'ala Shubuhtii al- 'AlmOiliyjin (Kairo: oar al-Tauzt' wa al-Nashr al-Islainiyyah, 1993), him 7-11.

Page 54: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

29

istilah "peran Islam" atau "sumbangan Islam" maka akan diartikan sebagai

perwujudan ajaran yang secara nyata bekerja dan mempengaruhi proses

petnbentukan negara. Dalam konteks ini, kutipan ayat atau Hadis akan

dilakukan sejauh filkta sosiologis memperlihatkan bahwa ajaran yang

telbndung dalam ayat atau HadiS itu bekerja dan mempengaruhi

kelangsungan proses. Demikianlah misalnya, apabila ajaran Islam tentang

ke;warisan yang memberi bak kepada perempuan untuk menerima harta

warisan peninggalan ayahnya, memberikan andil dalam mengubah

pengorganisasian sosial dan kepemilikan, maka hal itu akan diulas.

2. N~gara

Konsep "negara" dalam penelitian ini diartikan sebagai sebentuk

pemerintahan di mana terdapat otoritas yang terpusat, perbedaan hierarkis di

antara individu masyarakat dalam hal akses kepada kekuasaan dan sumber­

SUJilber, yang dikukuhkan melalui pemaksaan yang terlembagakan dan

biasanya diikuti dengan melemahnya struktur kesukuan. Namun penggunaan

konsep ini akan dilakukan secara hati-hati, oleh karena dalam pembentukan

n~gara (state formation) sangat: boleh jadi salah sat:u dari karakteristik tersebut:

tidak terpenuhi, sehingga dalam penelitian ini "negara" tidak diartikan secara

statis dalam batas-batas karakteristik tadi, melainkan dipandang sebagai

sesuatu yang dinamis. Dalam hal ini, konsep tersebut akan bertautan dengan

konsep lain seperti "evolusi politik" (political evolution) yang diartikan

sebagai proses di mana masyarakat mengalami perubahan dalam struktumya

Page 55: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

30

sepanjang waktu yang pada umumnya mengarah kepada kompleksitas yang

lebih besar.22

Dalam konteks evolusi politik yang berjangka panjang, pembentukan

negara merupakan suatu fase perkembangan yang mengarah kepada

pembentukan peradaban (civilization) melalui apa yang dilukiskan oleh

Norbert Elias sebagai "civilizing process".23 Dalam konsep "civilizing"

terkandung arti bahwa peradaban itu tidak pernah menemukan bentuknya yang

sempurna, sekaligus tidak memiliki awal yang tegas. Standard tentang

"perilaku beradab" hanya dapat dijamin dalam suatu kondisi atau keadaan

terttntu, seperti disiplin diri (self discipline) yang secma konsisten dilakukan

olehi individu; pemeliharaan standar kehidupan masyarakat oleh negara;

ketersediaan barang clan jasa; serta adanya ketertiban dan kedamaian sosial.

Dengan kata lain, pembentukan dan kehadiran negara merupakan kondisi

yaµg diperlukan dalam sejarah manusia menuju pembentukan peradaban.

Proses-proses pembentukan peradaban ini berbeda dari satu komunitas

manusia ke komunitas Jainnya, baik daJam bentuk, lingkup maupun skalanya.

3. Pembentukan Negara

Konsep teoretik tentang "pembentukan negara" memerlukan

penjelasan panjang, karena meskipun pembentukan negara merupakan salah

satu pencapaian sejarah manusia yang demikian jauh, menurut Carneiro24

tak

ada satupun teori hingga dewasa ini yang dapat memberi penjelasan secara

22 Steve Chrisomalis, State Formation A Historical Sistem Approach (Http://phrontistety.

1997), him. 2. 23 Norbert Elias, "Processes of State Formation and Nation Building", dalam

International Sociological Association. vol. 3 (Sofia, 1972). him. 274--284. 24 Robert L. Carneiro, "A Theory of the Origin of the State" dalam Science, new series,

vol. 169 (Aug, 1970), hlm. 733.

Page 56: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

31

memuaskan tentang bagaimana suatu negara muncul. Para penulis klasik

seperti Aristoteles, bahkan tidak begitu akrab dengan bentuk-bentuk organisasi

politik sehingga cenderung berpendapat bahwa negara terbentuk secara

alamiah dan dengan begitu tidak memerlukan penjelasan. Teori-teori tentang

•I mula negara dimulai ketika orang-orang Eropa menyadari bahwa banyak

mcµiusia di dunia yang hidup tidak di dalam suatu organisasi politik yang

bernama negara melainkan hanya di dalam lingkungan perkampungan,

kesukuan, atau pengorganisasian politik berkategori "chiefdom " sehingga

"negara" bnkanlah gejala yang muncul secara alamiah, melainkan sesuatu

yang memerlukan penjelasan.

Para teoritisi tentang pembentukan negara secara um.um terbagi

menjadi dua mazhab, yaitu: a) Teori-teori yang lebih meµekankan pada

kdnflik sosial dan peran koersif negara dalam melegitimasikan dirinya; dan b)

Teori-teori yang menekankan pada integrasi atau kontrak sosial dan

k$Dampuan negara untuk mengintegrasikan dan sekaligus mendistribusikan

berbagai kepentingan. Mazhab pertama secara umum dianut oleh para teoritisi

berlatar Marxis atau materialis, sementara mazhab kedua dianut oleh para

te<>ritisi yang lebih cenderung fungsionalis. Keduanya mengembangkan

berbagai model (teoritis) pembentukan negara dengan mengadopsi pendekatan

lain, utamanya pendekatan evolusi sosia~ serta pendekatan tinier dan

si$temik. 25 Guna ilustrasi lebih lanjut, di bawah ini disajikan tiga model, yaitu

model yang mewakili teori integrasi sosial, model yang mewakili teori konflik

sosial dengan pendekatan linier, serta model konflik sosial dengan pendekatan

25 Disarikan dari Steve Christomalis, "State Formation", him. l-23. Lihat juga: Mathieu Defle111, "Warfare, Political Leadership, and State Formation: The Case of Zulu Kingdom" dalam Ethnok>gy. 38 (1999), hlm. 371-391.

Page 57: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

32

sistemik: (1) Model Perang (karena} Keterbatasan (Circumscription-Waifare

Mo,Jel) yang digunakan oleh Robert L. Carneiro; (2) Model Kepemimpinan

Yab.g Terlembagakan (Institutionalized Leadership Model) dari Elman R

Setivice; dan (3) Model Pengulangan (Iteration Model) yang digunakan oleh

Chase-Dunn dan Hall.

Menurut Carneiro, perang merupakan mekanisrne utama yang

meµggerakkan proses pembentukan negara. T etapi, perang sangat bergantung

setjdaknya kepada tiga kondisi sosio-ekologis. Pertama, sempitnya lahan

pel!tanian yang terlrungkung dalain suatu lingkup geografis ( dibatasi gunung,

laut atau padang pasir) mendorong timbulnya peperangan untuk menguasai

smJiber-sumber pertanian. Maka perkampungan subur diserang dan direbut

oleh tetangganya yang lebih kuat dan dominan. Pahlawan perangpun muncul

menguasai pusat perpolitikan, menegakkan hnkum, mengumpulkan pajak dan

seterusnya. Kondisi ini disebut "environmental circumscription". Kedua,

pemusatan sumber-sumber (resource concentration), yaitu kondisi di rnana

laban subur yang dapat digarap sepanjang tahun menumpuk di suatu wilayah,

seperti bibir sungai Hal ini mendorong peperangan, terutama dilakukan oleh

grup yang berada di tanah yang kurang subur. Ketika persediaan makanan

mereka tipis sementara tanah tidak bisa digarap lagi, terjadi peperangan

memperebutkan pusat sumber-sumber dan dari sinilah muncul kekuasaan

politik yang mempersatukan dan melalui proses penaklukan politik,

terbentuklah negara. Ketiga, tekanan jumlah penduduk dan "keterbatasan

sosial" (social circumscription) di pusat-pusat pennukiman mendorong

penguasaan wilayah-wilayah tetangga yang lebih jarang menduduknya,

sebingga kekuasaan politik pusat melebar dan membesar.

Page 58: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

33

Elman R Service meletakka.n pembentukan negara pada proses

in$titusionalisasi kepemimpinan pusat. Kepemimpinan merujuk kepada

kemampuan relatif seseorang atau suatu grup untuk memerintahkan kepatuhan

atau menundukkan perlawanan. Agar suatu komunitas/grup menjadi sebuah

negara, maka organisasi politiknya hams berkembang sedemikian rupa

sehingga kekuasaan kepemimpinannya tidak hanya didasarkan atas otoritas

berl>asis hubungan hierarl.chis me)ainkan juga sistem hukum yang

mengesahkan monopoli kekuat.an fisik (monopoly of force). Proses

in$titusionalisasi itu berkembang dari kepemimpinan masyarakat egaliter

(band atau tribe) yang tidak mengenal hierarlti kecuali pemimpin puncak, ke

arah bentuk chiefdom yang telah mengenal hierarki kepemimpinan yang

fungsionaJ bagi pembagian kerja, barang dan jasa. Bentuk negara tercapai

kelika differensiasi kerja semakin ~ semakin jelas dan terikat secara

teiitorial, serta ketika kekuat.an fisik hanya dimonopoli negara, baik untuk

keperluan internal (seperti sistem peradilan) maupun eksternal (tentara

p¢manen). Fred Halliday26 menyebut proses ini dengan pembentukan

"primary state" (negara awal), dengan skema sebagai berikut:

26 Fred Halliday, 'The Origins of States", dalam Formulation (Free Nation Foundation, Autumm, 2000). dilrutip dari: hltp//:libertariannatron.orgl, him 8.

Page 59: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

The qrigin of Prim$ry State

State

Chiefdom (Prestate)

Monopoly of Force & Hierarchical Authority

.. t •

34

K~atuhan & Perlawanan .___...._. ___ __. .. . ....._ ______ __.

.. . : Band Kepatuhan &

Perlawanan .. . Band Band .. . Kepatuhan & Band Perlawanan .. .

Sedangkan skema menyangkut "Iteration Model" tergambar sebagai

berikut:

+

+

Hierarchy formation

Basic (and Shortcuts) Iteration Model (Kutipan Asli)

Population Growth

+

:;;; + -

Environments I degradation

Population pressure

7/ I circumcsription j ,. + f emigration I

Page 60: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

Keterangan: + ~ .... lntens~fication

Popul~tion Pressure

Circumscription

Technplogical Change Iterati~

35

Pengaruh Positif Pengaruh Negatif

= JabJT pintas ke arah Pembentukan negara (Hierarchy Formation). Peningkatan kebutuhan akan tanah, air, energi, mineral, dan lain-lain.

= Peningkatan biaya ( waktu dan tenaga) untuk mengbasilkan kebutuhan akan barang dan bahan baku. Keterbatasan (sosial atau geografis merujuk model Carneiro).

= Tennasuk teknologi produksi dan teknologi perang. = Balikan positif memunculkan pengulangan proses

yang sama secara terns menerus menuju skala yang

lebih luas.

Di antara penulis klasik kaum muslimin, mungkin hanya lbnu Khaldun

yang sedikit memberikan penjelasan secara garis besar bagaimana sebuah negara

(daultih) terbentuk. lbnu Khaldun.27 berpandangan bahwa landasan utama

pembentukan sebuah negara adalah " 'a¥Jbiyyah" atau tribalisme, yaitu hubungan

pertaUan darah dalam suku atau subsuku, atau yang bennakna sejenis itu seperti

sahabat yang memperoleh perlindungan atau orang-orang yang terikat perjanjian.

Tujuan akbir tribalisme tiada lain adalah superioritas kekuasaan (al-taghallub al­

mulkyj. Karena tabiatnya seperti itu, maka ketika tribalisme telah kuat pada suatu

batas · suku atau subsuku tertentu, ia cenderung menggunakan superioritas

kekua~aan tersebut terhadap wilayah 'a~abiyyah yang lain, demikian seterusnya,

sehingga otoritasnya mencapai derajat sebuah negara (daulah). Khusus untuk

orang Arab, lbnu Khaldun berpendapat, 'a~abiyyah mereka tak akan mampu

samp~ pada derajat seperti itu kecuali dengan simbol agama. Barulah, ketika

27 Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldiin al-Maghribi, Al- '!bar wa Diwan al­Mubtai/a wa al-Khabar fl Ayyam al- 'Arab wa al 'Ajam wa al-Barbar wa man 'ASarahum min Dmwi t;d-Sul/Qit. al-Akbar (Riyadh dan Amman: Bait al-Afkar al-Dauliyyah, t. t. ), bhJ{ 72-73, 148,

dan 153.

Page 61: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

36

kekuaSaan sebuah negara sudah mapan, kekuatan 'tJ¥1hiyyah tersebut dapat

di-fonnasikan menjadi kekuatan militer (tentara), sehingga negara dapat

meng.dalkannya, sekaligus meninggalkan ·~abiyyah. Pada tahap seperti itu,

kekua$8all selain ditopang oleh tentara, juga oleh harta dan pajak sebagai

peno~g kehidupan tentara dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Ibnu Khaldtm juga

mengt,.-pas persoalan peradaban ('umran) yang terkait dengan organisasi sosial (al­

ijtima -r al-hasyar) dan yang terkait pula dengan suatu kepemimpinan yang

membuat aturan berlandaskan agama maupun pikiran rasional. Namun demikian,

tidak 'begitu jelas apa saja batas-batas peradaban itu (misalnya organisasi

masyarakat yang sederhana atau yang kompleks) bagi Ibnu Khaldun dan apa saja

keterlcaitan antara peradaban dengan pembentukan negara. Sama tidak jelasnya

adalah pandangan Ibnu Khaldun tentang konseptualisasi negara itu sendiri,

seolall-olah apa yang disebut dawlah atau 'imarah itu sesuatu yang given yang

tidak memerlukan penjelasan lagi.

Menurut Ibnu Khaldun, setiap negara memiliki umur tertentu seperti

manu$ia. Suatu negara yang pada awalnya berkembang besar dan kuat, bisa

menwrun dan mengalami pemekanm melalui dua cara. Pertama, para gubemur

yang berkuasa di daerah-daerah yang jauh dari kontrol dan pengaruh pusat,

mene~ kekuasaan mereka secara bertabap hingga menjadi negara sendiri.

Merela mewarisi kekuasaan itu karena posisi mereka sebagai anak-anak atau

orang1kepercayaan dari pemimpin negara. Cara ini bersifat damai karena di antara

mereka tidak ada yang berusaha mencaplok negara-negara pecahan itu. Cara

ked~ adalah melalui pemberontakan massal dalam negeri yang disokong oleh

Page 62: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

37

bangsaJ atau suku-suku tetangga, atau pemberonta.kan dalain negeri oleh suku yang

memiliki 'O$abiyyah dan piranti kekerasan (shaukah) yang kuat.

Pada teori-teori yang bersifat koersif maupun voluntaristik (kontrak

sosial); pengaruh agama terhadap pembentukan negara tidak tampak. Sedangkan

pada tµlisan Ibnu Khaldun, pengaruh itu tampak tetapi tidak ditempatkan pada

banguiilan teoritik yang utuh. Oleh sebab itu, diperlukan bangunan teoretik

a~tif yang memungkinkan pemahaman lebih komprehensif mengenai

sumbahgan Islam dalam pembentukan negara. Kerangka teoretik yang akan

digumtJam untuk tujwm ini adaJah model yang disebut dengan "civilizing

process", yang dikembangkan oleh Norbert Elias. Model ini pada dasamya

meog-aµdung unsur evolusioner tetapi tidak selalu bermakna tinier, tidak juga

selalu ,sistemik. Model ini menyediakan peluang menempatkan pengaruh perang

dan d$Jai da1ain proses pembentukan negara. Walaupun model teoretik ini tidak

secara!eksplisit mengaitkan persoalan agama dengan pembentukan negara, model

tersebut berpeluang menjelaskan motif-motif keagamaan dalam pembentukan

negam. Kekurangan yang terdapat dalam model yang dikembangkan Elias, akan

diatasi1 dengan menggunakan bagian-bagian tertentu dari model-model yang telah

diulas di muka.

Menurut Elias,28 pembentukan negara hams dipahami dalam konteks

perj~ sebuah masyarakat menempuh proses berperadahan (civilizing

process). Pemahaman tersebut bertolak dari gagasan bahwa perubahan dan

perkembangan struktur masyarakat berhubungan erat dengan perubahan habitus

28 Stephen Mennen, "Asia and Europe: Civilising Processes Compared", Working Paper, No. 41~ (Melbowne: Department of Anthropology and Sociology, Monash University, 1992), him. l-3.

Page 63: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

38

(k.arakter sosial dan individual) manusianya. Ketika struktur suatu masyarakat

berub$ ke arah yang lebih kompleks, maka baik kebiasaan, laku lampah maupun

buday• masyarakat tersebut dan juga tiap-tiap anggotanya turut berubah menuju

suatu ~ yang wujudnya dapat disaksikan di antara kaum elite dan secara

bertabap di tengah masyarakat luas.

! Demikianlah misalnya, kedamaian internal suatu wilayah mendorong '

~gan yang memudahkan pertumbuban kota-kota; menciptakan pembagian

kerja (division of labor); memungkinkan penarikan pajak dan penggunaan uang

sebagaii alat tukar, mendukung pertumbuhan organisasi administrasi, aparatur

birokrasi dan militer, serta merangsang pertumbuhan penduduk yang pada

giliranpya mendorong kedamaian internal pada wilayah yang lebih luas dan

seteru$nya sehingga menjadi proses kumulatif yang secara saling melengkapi

dialam~ oleh orang-orang yang berada di wilayah itu. Di dalam proses kumulatif

yang sating tali temali itulah pembentukan negara berlangsung, sekaligus

menyerap individu-individu ke dalam jejaring interdependensi yang semakin Jama

semakfn meningkat kompleksitasnya.

' Selanjutnya, bersamaan dengan perubahan struktural sebagaimana

dijelaskan di muka, standar-standar kebiasaan penguasaan diri (self constraint)

yang melekat pada tiap-tiap individu anggota masyarakat, secara gradual terns

menin~at pula dan pada akhimya memberi sumbangan bagi pembentukan suatu

penganiran ekstemal yang lebih efektif dan dapat diperkirakan. Pengaturan-

pengatµran yang bersifat ekstemal (external constraints) ini dapat terbentuk

mudah karena ditransformasikan menjadi pengaturan ke da1am diri setiap individu

(intemallself constraints).

Page 64: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

39

Proses pembentukan negara seperti diuraikan di atas merupakan bentuk

konkrit tendensi kekuatan-kekuatan sentripetal yang mengarah pada penguatan

pemerintah pusat Namun demikian, proses pembentukan negara juga seringkali

menjumpai tendensi sentrifugal, ketika para pemegang kekuasaan pada level lebih

rendah seperti para pangeran (prince/lord), gubemur dan komandan perang

(warrior/knight), atau bahkan kawn borjuasi (burghers) sating berkompetisi

menggFl'ogoti kekuasaan pusat dan bila mungkin melepaskan diri dari pengaruh

pusat di daerah yang dikuasainya sendiri atau yang berada di dalam wilayah

pengaruhnya 29 Apabila hal yang terakbir ini berlangsung, maka tendensi

sentripetal kembali bekerja sebagai bagian dari proses pembentukan negara;o

negara barn.

· Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Elias tidak menganalisis proses

pembentukan negara secara terpisah dari proses--proses lainnya di tengah

masyarakat dan oleh sebab itu, penting untuk terlebih dahulu dijelaskan sejwnlah

konsep yang digimakan Elias dalatn kerangka pendekatan "sosiologi figurasional"

(figura,tional sociology), atau "sosiologi prosesual" (processual sociology). Ada

lima prinsip konseptual yang sating berhubungan dalam kerangka sosiologi

figurasional ini. 30 Pertama, walaupun anggota masyarakat terdiri dari manusia

yang $3ling terlibat dalam tindakan yang disengaja, keluaran (outcome) dari

komb~asi tindakan-tindakan itu cenderung di luar rencana dan kesengajaan. Apa

yang 4isebut dengan "masyarakat" mencalrup keterjalinan yang terbangun dari

29 Norbert Elias, The Civilizing Process: Power and Civility, vol. II, trans. Ed.mood Jephrott (New York: Pantheon Books, 1982), him 15-30dan131-148.

30 Robert van Krieken, "Norbert Elias" dalam Anthony Elliot and Larry Ray (eds.), Key Contemporary Social Theorists (Oxford: Blackwell, 1990).

Page 65: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

40

berbagai tindakan yang berbeda-beda dari sekian banyak manusia (human agent)

yang membawa tujuan masing-masing dan menghasilkan bentuk-bentuk sosial

seperti "kekristenan", "kapitalisme", "modemitas" dan bentuk-bentuk budayaatau

identitas kelompok lainnya. Kedua, individu-individu manusia hanya dapat

dipabami daJmn interdependensi mereka satu dengan lainnya sebagai bagian dari

jejaring hubungan·hubungan sosial (networks of social relations) yang biasa

disebut Elias dengan "figuration". Dengan kata lain, apa yang disebut dengan

"masyarakat", atau bahkan "negara" sesungguhnya adalah bentuk sosial sebagai

perwujUdan "figuration" dan interdependensi antar manusia tersebut senantiasa

dibangun di sekitar dinamika kerja kekuasaan (power). Di sini individu tidak

dipandang sebagai identitas yang otonom, melainkan individu hanya ada di dalmn

dan melalui hubungan dengan individu lain, mengembangkan habitus yang

terbangun secara sosial (socially constructed). Habitus sendiri adalah struktur

kepribadian bersifat psikis yang membentuk landasan kolektif bagi perilaku

individu manusia. Ketiga, kehidupan sosial manusia barus dipabami dalam arti

hubun$3Il-hubungan (relations) daripada dipahami dalam arti "keadaan" (states)

atau '4sesuatu" (things). Sebagai contoh., Elias tidak menjeJaskan kekuasaan

sebagai "sesuatu" yang diperoleh individu atau kelompok, melainkan lebih

CQndoJilg menjelaskannya sebagai "relasi kekuasaan" dengan segala perubahan

keseimbangan atau rasio kekuasaan yang selalu berubah di antara individu atau

unit sosial Keempat, masyarakat manusia ban.ya dapat dipabami mencakup

proses•proses perkembangan dan perubahan jangka panjang daripada dipahami

sebagai keadaan atau kondisi yang melampaui waktu (timeless). Dalam konteks

masyarakat, Elias lebih condong menggunakan peristilahan dalam karaktemya

Page 66: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

41

yang prosesual, seperti ketika berbicara tentang rationality atau market, ia lebih

condoµg menggunakan istilah rationalization atau marketization. Kelima,

pemikjran sosiologis selalu bergerak di antara suatu posisi keterlibatan sosial dan

emosional (social/emotional involvement) dengan posisi ambit jarak (detachment)

dalam: topik studi tertentu. Kelima prinsip di at.as mungkin bukan hal yang khusus

dimiliki Elias, namwi hal baru yang dikembangkannya ialah sintesis di antara

keliimplya dalmn memaharni dan menggunakan teori sosial.

Sintesis sebagaimana dilakukan Elias tentu sulit digambarkan dalam

skemai sederhana seperti terdapat pada model lain. Namun guna memabami

sintesis seperti itu skema yang digunakan Latour mwigkin membantu. Menurut

Latout, pada tataran praktis kita sebenamya telah mencampurbaurkan politik,

budayll, ilmu pengetahuan, manusia, benda, agama, ekonomi dan sebagainya,

namun kita tetap mengkonseptualisasi sem.ua itu sebagai entitas yang berbeda­

beda. Secara khusus kita misalnya membedakan sains dan pengetahuan alam dari

politik, masyarakat dan dmria kehidupan manusia. Praktek yang pertama disebut

Lato~ de~gan "kerja translasi" atau "mediasi", suatu kreasi menyampur dan

membµat jaringan serta kolektifitas. Sedangkan praktek kedua disebut dengan

"kerja1 purifikasi" yakni membangun dan memelihara dikhotomi antara manusia

dan 1¢budayaannya dengan non manusia dan alam. Kedua praktik itu sating

bergantung: tanpa kerja translasi dan hibridifikasi, kerja purifikasi tak akan

bermakna. Sebaliknya tanpa purifikasi, kerja translasi akan lamban atau bahkan

tidak l1>erjalan sama sekali. Skema yang dibuat Latour adalah sebagai berikut:

Page 67: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

42

Non Human! Fitst Human! lndividuaV First

Society/ Nature Dichotomy Culture Agency Dichotomy

Structure

10 0 =~7NQ 0 2

Networks

3 Hybrids Networks

WORK OF TRANSLATION

3 Hybrids

Secara diagramatis, relasi kerja translasi dan kerja purifikasi dalam

konteks dualisme antara alam dengan masyarakat/manusia dan hibridifikasinya

adalah sebagaimana tampak pada gambar kiri. Sedangkan gambar kanan

merupakan penerapan bagi berbagai dualisme yang dikenal dalam sosiologi,

seperti antara individual/agency dengan masyarakatlstrocture.31 Dalam konteks

sosiologi prosessual, hibridifikasi dapat berupa figuration, habitus atau bentuk-

bentuk hybrids/networks lainnya.

Teori "Civilizing Process" mengandung makna bahwa dalam proses

berperadaban tersebut, yang terjadi tidak selalu civilizing melainkan bisa pula

seb.ya, yaitu decivilizing, atau bisa pula dua hal itu silih berganti dalam

perk:embangan suatu masyarakat Dalam memahami perk:embangan tersebut,

31 Diadaptasi dari Robert Van Krieken, "'Beyond the Problem of Order: Elias, Habit and M~ Sociology or Hobbes was Right", Paper disampaikan pada Konperensi Australian Sociological Association (Hobart: 4-7 Desember 1996), him 7-8.

Page 68: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

43

diperl-.oom penelusuran mendalam melalui keterkaitan dua poros jaringan, yaitu

kete~tan antara sosiogenesis (sociogenetic) dengan psikogenesis

(psychogenetic). 32 Poros pertama menjelaskan perkembangan jaringan struktur

sosial~ termasuk di dalamnya pembagian fungsi-fungsi sosial dan pembentukan

n~ sementara poros kedua menjelaskan "rute berperadaban" tingkah laku dan

perub'1ian habitus (struktur kepribadian individu).

• Menurut pandangan Elias, dalam hal proses pembentukan negara, jaringan

stmktur sosial yang tumbuh dan berkembang ditandai secara kuat oleh lahimya

mekaQisme mon.opoli kekerasan (monopoly of violence) dan monopoli perpajakan

(mondpoly of taxation). Pandangan ini harus dipahami sebagai salah satu wujud

pengatuh pandangan Max Weber tentang "negara" yang didefinisikan dengan

"orgaD.isasi yang berhasil mengelola pendakuan (claim) superioritas kekuasaan

~p wilayah teritorial tertentu melalui perintah penggunaan kekerasan yang

sah dan monopolistik". Hanya saja, Elias lebih memusatkan perhatian padaproses

di ~ mon.opoli alat-alat kekerasan (dan perpajakan) dibangun dan

dik~bangkan.

• Arti kata "civilization" sendiri sebagaimana digunakan Elias bersumber

dari pemabaman khas Jerman terhadap kata itu, yang berbeda dengan pemahaman

Pranc~s, Inggeris dan bangsa Eropa lain. Dalam tradisi Prancis atau Inggeris,

civiliz;fltion merujuk kepada fakta-filkta pencapaian (accomplishment) politik,

ekonoµri., teknologi, sosial, moral dan keagamaan yang dalam padanan Jermannya

lebih d.iwakili oleh kata kultiviert (cultivated). Sedangkan kata zivilisation dalam I

bahasa Jerman dimaknai sebagai "kesopanan dan keadaban sosial'' yang tampak

· 32 Mengenai keduaistilah tersebut, lihat: Stephen Mennell: "Asiaand Europe", him. 7.

Page 69: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

44

di penD.ukaan., ditampilkan dan dimiliki seseorang atau kelompok orang tanpa

hams 4isertai accomplishment seperti apabila orang ingin menguasai teknologi.33

Namun unruk keperluan studi ini, perbedaan pemahaman di atas tidak selalu bisa

secara ,rigid diterapkan dalam memahami proses-proses pembenrukan negara dan

sumbangan Islam di daJamnya. Perbedaan kedua arti kata di atas penting

dikemtilka.kan unruk memungkinkan fleksibilitas rujukan teoritis, sepanjang masih

sejalan dengan prinsip-prinsip sosiologi figurasional.

G. MeJodologi

. Penelitian ini bercora.k penelitian kepusta.kaan dan dalam pela.ksanaannya

akan menggimakan pendekatan kualitatif. Sebagaimana tergambar dalam

kerangka teori, pendekatan historis dipinjam unruk diterapkan dalam memahami

gejala..gejala sejarah masa lalu. Sedangkan unruk memahami tahap-tahap

pembentukan negara, diguna.kan pendekatan antropologis. Namun karena kedua

pend.ekatan ini cenderung bersifut statis, da1atn arti tidak menyediakan perangkat

teoretis yang memungkinkan pemahaman yang berkesinambungan, akan dipinjam

pendekaran lain, yaitu pendekatan sosiologi prosesual atau jigurational sociology

sebagaimana diuraikan di atas.

Dalam pengumpulan data, studi dokumenter akan menjadi acuan utama.

Model pencatatan dengan menggunakan berbagai kartu, seperti kartu ikhtisar,

kartu ~pan atau kartu ulasan, a.kan diterapkan. Data yang terkumpul akan

dianalisa berdasarkan jenisnya dan kebutuhan penyajiannya. Hubungan yang

33 Norbert Elias, The Civilizing Process: The History of Manners, vol I, trans. Edmund Jephcott (Oxford: Basil Blackwell, 1978), him. 4-5.

Page 70: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

45'

terjalin di antara data-data yang ada dideskripsikan secara analitik dan data-data

yang memerlukan penjelasan akan disajikan secara interpretatif

Lingkup studi ini dtbatasi hanya pada proses-proses politik dan kekuasaan

kaum muslimin pada periode Rasulullah saw dan keempat sahabatnya yang utama

yang lazim disebut al-Khu/afa-. al-RQ_sidUn. Beberapa alasan pembatasan pada

periode ini dapat dikemukakan di sini. Alasan pertama, kedudukan Madinah

seb• pusat kekuasaan politik kaum muslimin berlangsung pada periode ini

hingga pada masa Ali bin Abi Thalib memindahkan kedudukan politiknya ke kota

Kufuh pada tahun 36 H terutama sebagai upaya meredam pengaruh politik

Mu'awiyah, gubemur Syria yang menjadi pendukung utama Utsman bin Affan

yang posisinya digantikan Ali Alasan kedua, periode ini merupakan periode

krusial yang menyediakan rujukan paling sahih bagi mereka yang memahami

konsep negara Islam dengan pendekatan ideologis. Alasan ketiga, proses-proses

politik dan kekuasaan pada periode ini di Madinah memperlihatkan corak yang

berbeda dengan proses-proses politik dan kekuasaan yang lazim terjadi pada masa

itu di· tempat lain yang berkecenderungan monarkis dengan kekuasaan mutlak.

AJasan terakhir, corak: proses politik dan kelruasaan kaum muslimin sesudah

periode Madinah bergerak ke arah yang sama seperti lazimnya terjadi di tempat

lain di masa itu, yakni monarki dengan kekuasaan mutlak. Pergerakan proses

politik ke arah monarki ini sangat mungkin menimbulkan persepsi seolah-olah

proses tersebut terpisah dan sudab sebarusnya dibedakan dari proses politik

sebelumnya.

Page 71: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

46

H. Sis(ematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dan penulisan laporan basil penelitian ini dibuat

dengart memperhatikan keterkaitan organik di antara bagian-bagiannya, sehingga

susunan penulisan bah demi bah laporan ini sebagaimana tampak pada daftar isi.

Bab pertama adalah pendahuluan, yang menguraikan latar belakang mengapa

penelitjian tentang sumbangan Islam dalam proses pembentukan negara di masa

Rasul $aw dan keempat Khalifilbnya penting dilakukan; apa saja masalah-masalah

penelitian yang hams dicarikan jawabannya; apa manfaat penelitian ini bagi

pengetPJ>angan keiJmnan; bagaimana penelitian ini diposisikan di tengah karya­

karya yang telah ada sebelumnya; serta bagaimana penelitian ini dilakukan secara

teoreti$ dan metodologis.

• Selanjutnya bab kedua menguraikan tentang . teori-teori pembentukan

n~ baik yang mengandung perspektif statis jangka pendek maupun perspektif

dinarrtjs jangka panjang, guna menyediakan landasan teoritis bagi analisa tentang

kecenderungan disproporsionalitas penempatan agama dalam konteks

pembelitukan negara sebagaimana diuraikan pada bah berikutnya.

Bab ketiga berisi pemetaan pemikiran teoretik para sarjana muslim tentang

negarai Islam. Pemetaan tersebut penting dilakukan pada bah ini guna memahami

pergulatan pemikiran yang menjadi titik pangkal munculnya gagasan penelitian

dan betapa pentingnya penelitian ini dilakukan. Melalui pemetaan tersebut,

sejumllili pemikiran teoretis tentang negara Islam dikenali secara relatif mendalam

guna menemukan dan menunjukkan akar-akar disproporsionalitas pada

pemik~pemikiran teoritis tersebut, .sekaligus memperoleh pijakan analitik bagi

pembahasan selaajutnya.

Page 72: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

47

Teori-teori pembentukan negara yang mengandung perspektif dinamis

jangka panjang sebagaimana dijelaskan pada bab kedua, kemudian dijadikan

acuan ~guna menunjukkan cara pandang dan pemahaman yang lebih proporsional

mengenai posisi dan sumbangan Islam dalam proses pembentukan negara di masa

Rasulullah saw dan keempat Khalifahnya Untuk maksud itu, uraian pada bab

keemnat difokuskan pada fakta-fukta empiris historis mengenai kehidup~

masyanikat Arab sebelum kedatangan Islam, baik dari segi bahasa, agama, adat

istiadat, ilmu dan seni, maupun kehidupan sosial ekonomi mereka. Pemaparan

tentang fakta-fakta empiris historis ini dilanjutkan pada bab kelima dengan

mengupas proses pembentukan negara dan tahapan yang telah dicapai oleh proses

tersebut di masa Rasulullah saw dan empat Khalifah penggantinya. Guna

mengenali tahapan secara spesifik, digunakan pendekatan antropologis yang

teorinya disinggung secara singkat pada bab pendahuluan dan secara panjang

lebar JJ>ada bab kedua.

Penafsiran yang lebih proporsional atas fukta-fakta empiris historis yang

terkanpung pada bab keempat dan kelima, dipaparkan pada bah keenam dengan

fokus pada sumbangan Islam yang proporsional bagi proses bemegara masyarakat

Arab, dilanjutkan dengan bab ketqjuh sebagai penutup yang memuat tiga bagian.

Bagian pertama memuat diskusi tentang implikasi teoretik dari keterkaitan Islam

dengan pembentukan negara yang perlu pemikiran lebih mendalam dari kaum

muslimin. Bagian kedua adalah kesimpulan, memaparkan jawaban atas masalah

penelitian sebagaimana terurai pada bab pendahuluan, sedangkan bagian terakhir

saran, memuat langkal1 tindak lanjut bagi pengembangan pemikiran di masa depan

oleh ~baga-lembaga keilmuan.

Page 73: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun
Page 74: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

BAB VII

PENUTUP

A. I•plikasi Teoritik Keterkaitan Islam dengan Pembentukan Negara

· Uraian pada bab-bab terdahulu menjelaskan bagaimana kehadiran Islam di

Sem~anjung Arabia bagian tengah telah membawa berbagai perubahan yang

men~ pada proses pembentukan negara di kalangan masyarakat Arab muslim

di wi~yah itu. Intisari berbagai perubahan tersebut akan diuraikan di bawah ini

agar 4aJ>at dijadikan acuan untuk mengenali keterkaitannya dengan Islam dan

posisi :agama ini di dalam perubahan tersebut: I

Pertama, perubahan terjadi dari kehidupan bercorak kabilah menuju

kehidt,tpan bercorak Ummah. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab

khusU$nya di bagian tengah Semenanjung Arabia, berada dalam keadaan tidak

bemegara (stateless). Mereka hidup berkelompok berdasarkan ikatan dan

fanatisme kekabilahan yang sangat bebas merdeka antara satu kabilah dengan

yang lain dan selalu menegaskan kemerdekaan mereka itu dengan berbagai cara

se~ sangat rentan terhadap pertikaian atau bahkan perang antar kabilah.

Demikian kuatnya independensi dan fanatisme itu sehingga kabilah besar Quraisy

yang mendominasi kota Makkah sebagai kota utama di wilayah itu, hams

mengendalik:an kota tersebut secara kolektif melalui pembagian peran-peran di

antara ,cabang-cabang kabilah Quraisy yang sating bemmsuhan dan kadangkala

saling :berperang, melalui mekanisme musyawarah di Dar al-Nadwah. Dalam

konteb kehidupan orang Arab yang lebih luas, kelangsungan hidup mereka

Page 75: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

459

senditi di tengah kebebasan seperti itu dibangun melalui penghormatan clan

kepatUhan bersama kepada agama (penyembahan berhala) beserta seluruh ritusnya

dan kq>ada adat istiadat, tanpa ada satupun kabilah yang benar-benar dominan.

Kehidupan masyarakat Arab tersebut mengalami perubahan fundamental

ketika Islam mulai didakwahkan oleh Rasulullah saw. Seman Muhammad saw

kepada penduduk Makkah untuk hanya menyembah Allah Tuhan Yang Esa,

men~ Muhammad saw sebagai Rasul-Nya dan berakhlak mulia, telah

menUJlllbuhkan suatu figurasi baru dalam wujud dakwah Islamiyah, yang saling

~i dengan figurasi lama dalmn wujud kebiasaan beragama melalui

peny~bahan berhala. Ketika figurasi lama ini temyata berkaitan sangat erat clan

bahkan merupakan landasan figurasi lama lainnya dalam wujud kehidupan

perekonomian warga Makkah, maka interaksi antar figurasi berkembang secara

dinamjs bahkan komplikatif Di sana berlangsung kekerasan, penyiksaan fisik,

pengasingan diri, bahkan boikot ekonomi terhadap Muhammad saw dan kabilah

pendukungnya. Figurasi lama dalam wujud solidaritas kekabilahan yang secara

subst~al tidak bisa diterima dalam konteks figurasi Islam, pada kenyataannya

justeru' turut andil dalam menyelamatkan Muhammad saw dan dakwah

Islamiyahnya baik pada masa-masa pennulaan, maupun pada masa selanjutnya.

Komplikasi semacam itu dan berbagai komplikasi lainnya di dalam

interaksi antar figurasi yang sejak awal ditimbulkan oleh munculnya figurasi

Islam, semakin lama semakin rumit sehingga mendorong adanya proses-proses

yang mengarah pada pembentukan suatu tata masyarakat baru yang disebut

Ummah di Madinah Tujuan pembentukannya sebagaimana tertuang dalam

$<1/Jifah, sekurang-kurangnya mencakup lima hal, yaitu sebagai sarana untuk

Page 76: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

460

mengajak masyarakat Arab memeluk Islam, menjamin keamanan melaksanakan

ajaran Islam bagi pemeluknya, menjamin kebebasan beragama bagi pemeluk

agatn4 lain yang tidak bersedia menerima Islam, menerapkan akhlak: mulia dan

menumbuhkan persaudaraan antar anggota masyarakat Madinah. Dalam mencapai

lima tnjuan itu, tradisi kekabilahan dan adat istiadat Arab yang sejalan dengan

ajaran Islam tetap dihonnati dan dijadikan sebagai sumber penetapan fia}J[fah.

Kedua, perubahan terjadi dari Ummah menuju Chiefdom. Ummah sebagai

figurasi barn yang dibangun Rasulullah di Madinah itu pada dasarnya lebih

meruplkan unit perikatan kemasyarakatan bercorak religius daripada sebuah

kesatuan kekuasaan yang otoritatif Akan tetapi keterlibatannya dalam interaksi

yang t~ menerus dan dinamis dengan figuras-figurasi lain, lama maupun barn,

telah mengubah watak dasar Ummah, sehingga selain sebagai unit

kemasyarakatan bereorak religius, juga berkembang menjadi sebentuk pranata

kekua$aan terpusat yang dalam tulisan ini disebut "Chiefdom Madinah". Dengan

kata Iain, Ummah dalam perwujudannya sebagai Chiefdom lebih merupakan

anugerah (blessing) dari upaya-upaya dakwah Islamiyah yang dilakukan

RasuluJjah saw dan di dalam proses-proses perubahan watak dasar Ummah itu,

perpaduan antara Islam dengan tradisi Arab terns berlangsung.

Ketika Ummah muncul segera setelah Rasulullah saw sampai di Madinah,

:figurasi yang barn terbangun itu terns menunjukkan dinamikanya, baik secara

internal maupun ekstemal. Dinamika internal dapat dideteksi sekurang-kurangnya

pada lima persoalan. Pertama, tidak: selalu mudah bagi seseorang untuk

men~sasi suatu figurasi barn dalam wujud kepemelukan agama Islam,

dengan 1 mengorbankan figurasi lama yang lazim disebut dengan praktik

Page 77: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

461

keagamaan Jahiliyah. Oleh sebab itu tampak bahwa Islam sendiri sebagai

landa$an pembentukan Ummah tidaklah seluruhnya baru, melainkan mengadopsi

pula berbagai elemen figurasi kejahiliyahan, sehingga membantu lebih

mem~dahkan proses intemalisasinya oleh mereka yang telah menyatakan

memeluk Islam. Pengabsahan terhadap elemen-elemen figurasi barn maupun

figuraSi lama yang dipandang cocok, berlangsung melalui wahyu yang turun

seiring dengan datangnya kebutuhan lDltuk itu. Dengan proses-proses seperti

inilah,: intemalisasi Islam ke dalam diri individu pemeluknya telah melahirkan

habitus barn di tengah m.asyarakat

Persoalan internal kedua menyangkut bimbingan dalam menjalani

kehidupan sehari-hari bagi mereka yang telah mengubah keyakinan dari

penyt$bahan berhala menjadi menyembah Allah, mencakup penataan hubungan

kekeluargaan dan kekerabatan yang hams berubah sebagaimana dituntut Islam. Di

sinipun, elemen-elemen figurasi barn diperkenalkan dan elemen-elemen figurasi

lama yang dipandang cocok, tetap dipertabankan guna mengatur pranata siklus

hidup mulai dari kelahiran, perkawinan, kematian hingga kewarisan. Dengan

pengatUran seperti ini, Ummah sebagai unit perikatan kemasyarakatan yang

bercorak religius maupun sebagai "chiefdom", mendapat landasan yang Iebih

kokoh.

Persoalan internal ketiga menyangkut hubungan sosial antara kaum

muslimin pendatang dengan penduduk Madinah, baik muslim maupun non

muslim. Hubungan ini memerlukan pengaturan secara barn berdasarkan

kebutuhan mengembangkan dakwah Islamiyah, dengan tetap mempertimbangkan

elemen lama yang masih hidup sebagai tradisi masyarakat Madinah. Di satu sisi,

Page 78: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

462

penekanan pada tanggung jawab individu yang lebih besar daripada tanggung

jawab kolektif kekabilahan mulai diintemalisasikan kepada setiap warga Ummah.

Tetapi di sisi lain. ikatan-ikatan sosial berasas kekabilahan tetap dimanraatkan,

baik untuk menciptakan ketertiban sosial (social order) agar Ummah tetap tegak

sebagai sebuah kesatuan sosial, maupun untuk mobilisasi massa, khususnya

pembentukan milisi bersenjata.

Persoalan internal selanjutnya terkait dengan kehidupan ekonomi warga

Umml.lh yang mengalami gangguan serius sebagai dampak dari proses-proses

interaksi dinamis antara figurasi keislaman dengan figurasi kejahiliyaban.

Kerusakan moda ekonomi perdagangan yang menjadi moda ekonomi utama

m~t Arab, khususnya yang dialami warga Madinah yang dibawa serta oleh

konflik antara mereka dengan warga Ma.kkah; kondisi ekonomi kaum Quraisy

Muhajirin yang kehilangan pekerjaan dan banyak hart.a benda; keterbatasan

potensi ekonomi kaum Anshar, serta pengabsahan elemen figurasi lama masa

Jahili)WI yang menjadikan perang sebagai sumber pendapatan ekonomi; menjadi

faktor•faktor penting yang mendorong tumbubnya moda ekonomi ghanfmah

(rampasan perang), suatu moda ekonomi yang tidak asing Iagi bagi masyarakat

Arab pada umumnya.

Persoalan internal terakhir berkenaan dengan penjaminan rasa aman warga

Ummah dan pemeliharaan keanuman Madinah sebagai wilayah permukiman

mereka. Persoalan ini diatur melalui butir-butir ketentuan fialJifah yang

mengikat seluruh kabilah penduduk Madinah. Namun karena fial]ifah tampaknya

dideklarasikan secara sepihak oleh Rasulullah dengan dukungan tiga pilar kabilah,

yaitu Quraisy Muhajirin, kabilah Khazraj dan sebagian kabilah Aus, maka

Page 79: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

463

keterlkatan kepada $a}Jifah oleh kabilah-kabilah utama Y ahudi boleh dikatakan

lemallt, sehingga menimbulkan proses-proses yang membawa dampak

penghancman atau pengusiran mereka keluar dari Madinah dan menjadikan kota

itu secara ekslusif sebagai murni wilayah hunian kaum muslimin dan dengan

demilian, figurasi Ummah juga menjadi bersifat ekslusif muslim.

Selain persoalan internal, Ummah sebagai figurasi baru juga mengalami

dinmnika ekstemal sebagaimana ditunjukkan oleh persoalan-persoalan berikut ini.

Pertmna, figurasi kejahiliyahan dalam wujud masyarakat penyembah berhala

mas~ bertahan kuat di kalangan penduduk Makkah clan masyarakat Arabia pada

umumnya, sehingga kedua figurasi tersebut terlibat dalam sejenis kontes

elimiqasi. Keterkaitan figurasi Jahiliyah ini sebagai basis kehidupan ekonomi

Qurai$y dan penduduk Makkah sekutu mereka, membawa dampak pada proses­

proses yang menentukan (decisive) clan bersifat hidup mati bagi Makkah, lalu juga

bagi tµmmah di Madinah. Proses-proses inilah yang kelak memberikan sebagian

andil bagi tumbuhnya sejenis kekuasaan terpusat di Madinah setelah berhasil

meng~tasi persoalannya dengan Makkah.

Persoalan ekstemal kedua adalah perluasan dakwah Islamiyah kepada

seluruh masyarakat Arab di Semenanjung Arabia, telah memperluas pula skala

interaksi baik secara geografis maupun sosial. Jadi, proses-proses interaksi yang

bersifut hidup mati, sekarang meluas ke seluruh Semenanjung Arabia dan

meliba'tkan seluruh kabilah penghuninya Dalam konteks ini, elemen-elemen lama

dari fi~i Jahiliyah dalam wujud kehidupan nomaden yang seringkali diwarnai

perampokan bersenjata, atau perang antar kabilah, atau elemen baru yang mun.cul

dari figurasi lama dalam wujud pengakuan kenabian oleh tokoh kabilah yang

Page 80: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

464

relatift besar dan berpengaruh di luar kabilah Quraisy seperti Musailimah dari

Banu ·Hanifith di Yamamah, merupakan persoalan yang proses penyelesaiannya

menghasilkan dorongan sentripetal ke arah pembentukan otoritas kekuasaan

terpuSa! pada Chiefdom Madinah.

Persoalan eksternal lainnya berkaitan dengan penanganan hubungan kaum

muslimin dengan warga non muslim (Y ahudi dan Kristen) semenanjung yang

mengalami perubahan signifikan setelah berubahnya watak dasar Ummah dan

tetap kuatnya penolakan hegemoni kekuasaan Madinah oleh non muslim,

khusUSllya para pemeluk Y ahudi Teks dan isi $a1Jlfah bukan banya tidak dapat

diterapkan secara luas di semenanjung, khususnya kepada orang Y ahudi di

wilayah Khaibar, Fadak dan sekitarnya, melainkan juga kepada orang-orang

Nasrani di perbatasan dengan Syam di utara dan di wilayah Najran di bagian

selatan. Proses penanganan hubungan ini melalui pembersiban mereka dari

wilayah yang selama ini mereka diami, semakin mempersempit kontes eliminasi

di antara potensi-potensi sentrifugal menuju tumbuhnya otoritas kekuasaan

terpusat di Madinah yang pada akhirnya eksklusif hanya bagi warga muslim.

Ketiga, perubahan menyangkut pengorganisasian kekuasaan.. Perubahan

watak dasar Ummah menjadi sebentuk kekuasaan terpusat, mendorong munculnya

kebutuban tentang bagaimana kekuasaan tersebut diorganisasikan di tengah

masyatakat Arab. Oleh karena organisasi kekuasaan yang mereka kenal dan

akrabi banyalah berwujud organisasi kekuasaan kabilah, maka pengaturan

kekua$1all model itulah yang digunakan sebagai landasan pengorganisasian

kelruas$m pada "Chiefdom Madinah ", sudah tentu dengan ~jumlah modifikasi.

Ajaran Islam yang menjadi landasan pengembangan tanggung jawab individu dan

Page 81: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

465

keseU'nbangan antara kewajiban individual dengan kewajiban kolektit: belum

dapati terwujudkan secara efektif dalam proses-proses pengorganisasian kekuasaan

tersebut. Sebagaimana telah diuraikan, kekuasaan pWlcak dalam kehidupan

kabilah berada di tangan Syaikh a/-Qabi/ah yang ditetapkan baik dengan cara

pewatisan, penWljukan maupWl pemiliban di antara para tokoh dan tetua yang

dianggap memenuhi kualifikasi dan kebutuhan kepemimpinan kabilah itu Wltuk

~ hidup atau mengembangkannya menjadi besar. Posisi Syaikh al-Qabilah !

I

dipe~g Wltuk seumur hidup, meskipWl kekuasaannya itu sendiri tidaklah terlalu

mutJak, karena pada setiap kabilah selalu ada sebuah institusi yang disebut dengan

Majelis Kabilah yang memiliki kekuasaan menetapkan kata putus menyangkut

kepenJ]ngan seluruh anggota kabilah. Tradisi kepemimpinan seorang Syaikh al-

Qabi/Qh yang baik ialah apabila dia mendengarlcan pendapat Majelis Kabilah,

walaupWl dia memiliki hak untuk memutuskan sesuatu tindakan atau

kebijaksanaan.

BagaimanapWl, "Chiefdom Madinah" adalah gejala barn, yang pilarnya

bukan • hanya satu kabilah melainkan setidaknya terdiri dari tiga kabilah utama.

Oleh · karena itu dapat dipahami apabila ada sebagian cara penetapan

kepe-pinannya belum memiliki preseden dalam tradisi kekabilahan.

Kedudlukan Muhammad saw sebagai Rasul, sekaligus sebagai pemimpin

Chiefdom yang dibangunnya, tidak mengacu kepada contoh sebelumnya dan tidak

dapat itergantikan oleh siapapWl. Demikian pula cara penetapan Abu Bakar

sebagaj Aniir al-Mu'miriin adalah cara yang tiba-tiba m\Dlcul karena desakan

situasi., Abu Bakar bukan hanya dipilih oleh tokoh-tokoh kabilah Quraisy,

melainpn juga didukWlg oleh pemimpin kabilah Aus dan Khazraj. Hal yang tidak

Page 82: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

466

ada presedennya juga berjalan ketika Abu Bakar menunjuk Umar yang bukan

anabya atau keluarga dekatnya sendiri sebagai penggantinya, atau penetapan

Utsman oleh sebuah tim yang Utsman sendiri salah satu anggotanya. Sedangkan

penetapan Ali sebagai khalifah mirip dengan cara yang dialami Abu Bakar, tetapi

dengan dibayangi oleh tekanan kekerasan dari sejumJah kaum muslimin

pemberontak.

Sesllllgguhnya, baik penunjukan maupllll pemilihan memiliki akar

tradisinya sendiri pada masyarakat Arab Jahiliyah, meskipun pelaksanaannya

secara teknis dapat saja berbeda-beda. Hanya saja, tradisi pemilihan yang mereka

miliki tidak memberikan peluang kepada individu muslim untuk menyuarakan

aspirasi mereka, melainkan cukup diwakili oleh para pemimpin kabilah. Begitu

pula balnya dengan penegasan Abu Bakar atas supremasi Quraisy terhadap dua

kabilah lain (Khazraj dan Aus) sehingga menempatkan hak kepemimpinan kaum

musfunin menjadi hak istimewa kabilah Quraisy, merupakan tindakan yang

sejalan dengan logika dan tradisi kekabilahan orang Arab.

Hal yang juga sejalan dengan pengorganisasian kekuasaan model

kekabilahan adalah kecenderungan penetapan Aniir al-Mu'minln sebagai

peminJpin yang berlaku untuk seumur hidup, seperti juga posisi Syaikh al-Qahi/ah

pada lcabilabnya sendiri. Pada "Chiefdom Madinah" tidak ditemukan adanya

suatu institusi yang persis sama seperti Majelis Kabilah. Akan tetapi baik

Rasulqlllah maupun keempat Amlr al-Mu'minln selalu menjalankan kebiasaan

untuk meminta pendapat dan bermusyawarah mengenai tindakan dan

kebijaksanaan yang akan diambil, dengan sejumlah sahabat terkemuka dari

berbaga.i unsur, khususnya unsur kabilah Quraisy Muhajirin, Kbazraj dan Aus,

Page 83: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

467

sehingga mereka berfungsi ibarat Majelis Antar Kabilah. Umar bahkan melarang

sejumlah besar sahabat unruk meninggalkan Madinah tanpa seizinnya antara lain

dengan maksud unruk memudahkannya berkonsultasi dengan mereka, di samping

menghindari kemungkinan fitnah kekuasaan mengingat masih kuatnya fanatisme

kekabilahan di sebagian kalangan mereka.

Di antara petunjuk yang paling jelas dalam penggunaan model kabilah

sebag'ai landasan pengorganisasian kekuasaan .. Chiefdom Madinah" adalah

peng$uan kepemimpinan pada masing-masing kabilah. Para Syaikh al-Qabi/ah

dari kabilah-kabilah yang telah menyatakan memeluk Islam banyak yang

dikukuhkan kembali sebagai pemimpin kabilahnya masing-masing dan

diperankan sebagai aparat pemungut zakat atau pajak. Di atas semua itu,

instrutnen kabilah telah digunakan secara efektif unruk rekrutmen milisi

berseqjata kaum muslimin, baik di masa Rasulullah saw maupun keempat sababat

pengg~tinya. Oleh sebab itulah maka "Chiefdom Madinah" tidak memiliki

pasukan militer reguler yang digaji karena boleh jadi belum dirasakan perlu atau

tidak sesuai dengan situasi sosial saat itu, sehingga tidak diperlukan pula barak

militetr khusus unruk penempatan milisi bersenjata, karena setiap anggota pasukan

bersenjata adalah rakyat biasa yang akan kembali ke kabilahnya masing-masing

setelah selesai perang.

Keempat, perubahan yang berkaitan dengan ketidakmampuan

pengmtganisasian kekuasaan berlandaskan model kabilah dalam memenuhi

kebutuban yang berkembang pesat sejalan dengan perluasan wilayah taklukan

"Chiefdom Madinah ". Ketahanan hidup "Chiefdom" ini relatif singka~ yakni

tidak melampaui masa 50 tahun (setengah abad) sejak Ummah dideklarasikan

Page 84: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

468

Mnh$Dmad saw melalui fjolfifah pada tahun kesatu Hijriyah hingga terbunuhnya

Am1r al-Mu'minm keempat Ali bin Abi Thalib pada tahun ke-40 Hijriyah. Masa

hidup yang singkat ini juga pen.uh dengan pergolakan demi pergolakan sosial

yang telah mengakibatkan tewasnya tiga dari empat Am1r al-Mu'minin di tangan

pembµnuh (bahkan Abu Bakarpun menurut riwayat al-Thabari diduga wafat

karen~ diracun1) dan telah membawa bencana perang di antara sesama kaum

muslin.tin. Dengan hanya mengandalkan pengorganisasian kekuasaan model

kabil4h, proses pasifikasi wilayah yang diperlukan bagi terbentuknya sebuah

n~ menjadi ikut terbambat.

Kepedulian Rasulullah saw tampaknya memang tertuju hanya kepada

Umm;;,h sebagai ikatan religius dan dakwah dan bukan pada kekuasaan terpusat

yang bercorak duniawi. Jadi sangat masuk akal apabila Rasulullah saw tidak

m~ggalkan pesan apapun terkait dengan persoalan Ummah yang paling vital,

yakni isuksesi kepemimpinan (kekuasaan) setelah wafatnya. Karena keistimewaan

posisi !Muhammad saw sebagai rasuL maka selama masa hayatnya, keseimbangan

antara dua sisi Ummah itu tetap terjaga. Namun ketika posisi kerasulan

Muhammad saw tidak tergantikan setelah beliau wafat, maka sisi kepemimpinan

Ummah sebagai ikatan religius mulai terkesampingkan, sementara sisi

kepen:timpinan Ummah sebagai kekuasaan terpusat (chiefdnm) semakin

mengemuka dan menjadi ajang pertarungan berbagai kepentingan. Dalam kondisi

seperti itulab, ikatan dan funatisme kekabilahan yang telah diupayakan oleh

Rasulltllah saw untuk ditekan dan dikurangi, mulai menguat kembali. Di tengah

1 Sebagaimana dikutip oleh Jawad Ali, Al-Muf~~al Ji Tari/Ji al- 'Arab Qabla al-Iskim, jilid ke-8 (Baghdad: Jami' ah Bughdad, 1993), him 383.

Page 85: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

469

kontes eJiminasi kepemimpinan ini, tiga blok kekabilahan yang menjadi pilar

utama "Chiefdom Madinah" di masa Rasulullah mengalami keretakan, bahkan

keretakan cenderung meluas kepada hampir seluruh kabilah Arab, yang berhasil

diatasi oleh Abu Bakar selaku Amlr al-Mu'minln pertama, melalui penegasan

supremasi kabilah Quraisy dan penumpasan bersenjata.

Kecenderungan independensi yang sangat kuat pada kabilah-kabilah Arab

yang di masa Abu Bakar ditumpas dengan kekuatan senjata dan penghancuran

kekabilahan mereka sebagaimana berlaku umum pada masyarakat Arab saat itu,

merupakan gejala yang berhenti sejenak untuk sewaktu-waktu tumbuh lagi

menunggu saat yang tepat, oleh karena demikianlah adat kebiasaan masyarakat

Arab $Cjak masa Jahiliyah. Akan te~ Jangkah Abu Bakar dan kemudian Umar

menaklukkan wilayah-wilayah luar Semenanjung Arabia telah membantu

mengatasi sekurang-kurangnya dua masalah sekaligus, yaitu kelangsungan

fasi:fikasi internal di wilayah "Chiefdom Madinah" yang cukup Iuas dan

penyalunm energi perang yang dilahirkan oleh ikatan dan fanatisme kekabilahan.

Meskipun penumpasan bersenjata memberikan keuntungan ekonomis berupa

rampasan perang dari kabilah Arab yang dibancurkan, penumpasan itu tidak akan

mampu memadamkan energi yang lahir dari ikatan kekabilahan sehingga

memetlukan penyaluran agar tidak bersifat destruktif bagi "Chiefdom Madinah"

sendiri.

Keberhasilan penaklukan wilayah ke luar semenanjung Arabia telah

menjadikan "Chiefdom Madinah" sebagai sebuah kekuasaan terpusat dengan

wilayah yang amat luas. Akan tetapi perluasan wilayah ini tidak disertai dengan

penumbuhan birokrasi kekuasaan yang sesuai dengan kebutuhan pengelolaan

Page 86: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

470

wi~ah yang demikian luas itu, melainkan masih bertumpu pada "birokrasi"

kabilah yang nyata-nyata rawan konflik clan perpecahan. Meskipun terdapat

mekainisme musyawarah (syu-raJ yang dapat digunakan sebagai sarana mengamsi

kera"Yanan itu, alam pikiran orang Arab melihat syura sesungguhnya tidak

melaiµpaui kerangka majelis kabilah. Jadi, potensi sentrifugal kekabilahan ini

yang imelekat pada "Chiefdom Madinah '', tidak berhasil dirombak oleh keempat

Aniir al-Mu'minln dan tinggal menunggu saat yang tepat untuk datang dan

meru$ak keutuhan Chiefdom, sampai kemudian muncul Mu'awiyah dengan model

n~ dinastiknya

Dengan kreatifitasnya mengembangkan birokrasi kekuasaan baik dalam

bentuk organisasi kekerasan maupun perpajakan, Mu'awiyah telah berhasil bukan

hanya menjaga keutuhan wilayah (bekas) "Chiefdom Madinah ", tetapi bahkan

mengUkuhkannya dalam sosok sebuah negara dinastik, memperluasnya sekaligus

memajukannya seiring dengan semakin subumya pembagian dunia kerja. Dengan

kata lain, "Chiefdom Madinah" merupakan satu dari sekian banyak figurasi yang

saling! berintera.ksi satu sama lain dan kemudian menjadi sumber bagi lahirnya

negara demi negara dinastik di kemudian hari. Da1am ungkapan yang lebih

ekspli$it, kekuasaan dinasti Banu Umayyah dan seterusnya adalah kelanjutan yang

legitimatif dan perlu dari "Chiefdom Madinah" bagi kelangsungan perjalanan

masyatakat Arab muslim menuju puncak-puncak peradaban mereka.

Mengacu pada keempat lingkup perubahan sebagaimana diuraikan di atas,

maka 'tergambarlah keterkaitan dan posisi Islam dalam proses pembentukan

negara: di tengah masyara.kat Arab di Semenanjung Arabia bagian tengah.

Meskipun Islam telah memainkan peran yang berpengaruh terhadap proses-proses

Page 87: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

471

muncuJnya "Chiefdom Madinah", Islam bnkanlah satu-satunya faktor yang

mempengaruhi proses tersebut, karena sebagian tradisi Arab Jahiliyah juga

memberi andil bagi terjadinya proses itu. Dengan demikian tidaklah tepat untuk

mempersepsi atau memandang seluruh praktik pengorganisasian kekuasaan

"Chiefdom Madinah" di masa Rasulullah saw dan keempat Aniir al-Mu'mitiin

sebagai sebuah teks suci yang harus dijadikan rujukan tekstual bagi

penyelenggaraan kekuasaan di masa modem sekarang ini sebagainuma diutarakan

oleh pandangan yang mengidealisasikan ''negara Madinah" sebagai cetak biru

negara Islam. T erlebih lagi, praktik pengorganisasian kekuasaan di masa ini yang

masih bersifat sementara, ad hoc, menyerap banyak elemen dari lingkungan sosial

budaya yang khas Semenanjung Arabia dan belum memperlihatkan bentuknya

yang matang, bukanlah sebuah tipe ideal {ideal type) yang dapat ditiru secara

instan untuk diterapkan oleh siapa saja dan di lingkungan sosial mana saja, atau

dipersepsi sebagai praktik kenegaraan paripuma yang memiliki tujuan jelas. Sama

tidak tepatnya adalah mempersepsi atau memandang seluruh praktik

pengorganisasian kekuasaan pada periode negara-negara kekhalifahan dinastik,

seperti posisi khalifdh dan pembagian jenis-jenis menterinya, serta pembagian

kerja pemerintahan lainnya sebagai teks suci dan ideal, tempat rujukan tekstual

bagi praktik kekuasaan masa kini, sebagaimana dikemukakan oleh pandangan

yang mendambakan negara kekhalifahan.

Dilihat dari perspektif sosiologi figurasional, pranata kekuasaan terpusat di

Madinah belum memenuhi kriteria sebuah negara, melainkan barn sebuah proses

menuju pembentukannya. Dengan menggunakan kriteria yang diajukan sejumlah

ahli antropologi dan sosiologi, pranata kekuasaan terpusat itu barn dapat

Page 88: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

472

dikategorikan sebagai sebuah Chiefdom, atau pra-negara. Tahap ini terbentuk

dalam proses-proses penyelesaian terhadap berbagai persoalan internal maupun

ekstetnal Ummah yang memunculkan perubahan berskala luas, tanpa disain dan

seolah-olah berlangsung mengalir begitu saja, sehingga kehadiran kekuasaan

terpl1$8t di Madinah, bahkan di masa Rasulullah saw juga bersifat demikian saja,

tanpa • disain. Walaupun pembentukan Ummah sebagai perikatan kemasyarakatan

religi~ memiliki tujuan yang jelas, tidaklah demikian dengan perkembangannya

sebagai sebuah masyarakat politik dan sebentuk kekuasaan terpusat. Lebih jauh

Iagi, badirnya kelruasaan terpusat ini dalam interaksinya dengan beibagai faktor,

telah melahirkan banyak perubahan lanjutan yang lebih luas lagi skalanya dan

menjaµgkau masa-masa yang jauh setelah Rasulullah wafat dan kelak

memberikan sumbangan bagi kelahiran negara demi negara yang menjadi bagian

dari s-qatu rute panjang pembentukan peradaban kaum muslimin Arab.

Penjelasan rnengenai keterkaitan dan posisi Islam dalarn proses

pembentukan negara sebagairnana diuraikan di atas masih rnemerlukan diskusi

elaboratif, khususnya jika dikaitkan dengan kebutuhan perumusan teoretik tentang

kekuasaan dan tentang negara.

Elaborasi pertama perlu dilakukan dalam kaitan dengan adanya

seperangkat ajaran Islam universal yang pada dasamya memberi jaminan kepada

manusia dalam mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan bagi mereka, serta

menghindarkan mereka dari kemu4azatan dan kerusakan Akan tetapi Islam tidak

hadir dalam kekosongan, melainkan dalam suatu lingkungan sosial masyarakat

Arab yang khas, yang telah terbentuk dari generasi ke generasi sehingga tidak

mungkin untuk dinafikan begitu saja. Dalam lingkungan sosial itulah berbagai

Page 89: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

473

ni1a4 nonna dan adat istiadat diterapkan oleh seluruh anggota masyarakat Maka

pen~pan ajaran Islam yang universal tersebut di tengah masyarakat Arab yang

berqnk partikular, memerlukan adaptasi sosial agar dapat diterima dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat pada saat itu. Sungguh beruntung bahwa

pro.proses adaptasi itu memperoleh keabsahan melalui wahyu dan praktik

lang$llllg Rasulullah saw dan para sahabatnya. Namllll keabsahan itu pulalah yang

justetu menimbulkan persoalan besar bagi kaum muslimin generasi selanjutnya.

Y alaµ persoalan bagaimana seharusnya menempatkan dan memperlakukan sisi

Ummah daJain pengertiannya sebagai unit perikatan kemasyarakatan yang

bercdrak religius, sekaligus sisinya sebagai masyarakat politik dengan pranata

ke~ terpusat yang mengandllllg praktik pengorganisasian kekuasaan model

kabilah sebagaimana dikenal secara umum oleh masyarakat Arab.

Itulah sesungguhnya akar permasalahan mengapa sebagian kaum muslimin

men~dealisasikan "negara Madinah" sebagai cetak biru negara Islam, sementara

sebagian lagi mengidealisasikan negara kekhalifahan, yaitu bagaimana

memperlakukan Ummah dalam kedua sisinya, yang telah memperoleh legitimasi

baik melalui wahyu maupun praktik langsung Rasulullah saw dan sahabat­

sahab~ya. Problemnya adalah, jika seluruh apa yang dipraktikkan Rasulullah

saw dan para sahabatnya dipandang sebagai teks yang memiliki nilai qadasah,

sebag~i teks yang sakral yang mengandung konsekuensi hukum apabila tidak

diterapkan, maka hal itu akan bermakna bahwa baik ajaran yang universal

maupun praktik yang partikular yang banyak mengadopsi adat istiadat setempat,

se1Wl$lya bemilai qadasah dan menjadi standar hukum yang secara instan

bersifut mengikat, yang sangat mungkin tidak mampu mengimbangi

Page 90: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

474

perkembangan masyarakat, sebagaimana telah ditunjukkan oleh sejarah perjalanan

"Chi¢/dom Madinah" sendiri.

Apabila ajaran-ajaran yang universal dipandang sebagai teks yang bemilai

qada~h, bersifat sakral, lalu kemudian dipisahkan dari praktik yang partikular,

maka bagaimanakah status keabsahan yang telah diterima oleh wilayah yang

p~ ini baik melalui wahyu maupun meJalui tindakan langsung Rasulullah

saw dan para sahabatnya? Problem ini sudah selayaknya dicarikan jalan keluar,

namun tidak mungkin dilakukan melalui tulisan ini, karena memerlukan penulisan

tersendiri yang lebih mendalam. Tulisan ini hanya akan menawarkan jawaban

tentatif secara ringkas beserta kem1mgkinan konsekuensinya.

Elaborasi kedua yang diperlukan menyangkut ajaran universal Islam

tentang penghonnatan kepada hak-hak sekaligus tanggung jawab individu

melampaui batas-batas solidaritas kekabilahan dan menjadikan keluarga inti

(batih) sebagai unit perikatan sosial terlcecil dalam masyarakat Dengan ajaran ini,

Islam sesungguhnya menyediakan landasan bagi pengembangan struktur

masyarakat altematif yang wujudnya sangat mungkin berbeda dengan struktur

masyarakat kekabilahan sebagaimana dikenal masyarakat Arab. Akan tetapi

st:ruktur masyarakat altematif tersebut belum terbangun hingga masa kehancunm

"Chiefdom Madinah '', antara lain karena menguatnya kembali ikatan-ikatan

kekabilahan. Bagaimanapun, ajaran penghonnatan kepada hak dan tanggung

jawab individual telah menjadi sisi penyeimbang bagi kehidupan kolektif

kekabilahan masyarakat Arab yang relatif sangat ketat. Dapat dimaldumi apabila

dalam , prktik pengorganisasian kekuasaan "Chiefdom Madinah", hak dan

tan~ jawab setiap individu masih belum memperoleh tempat yang

Page 91: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

475

pro~sional. Di dalain situasi ketidak- seimbangan seperti itu1ah terjadi fitnah

besaii berupa pertumpahan darah pertama di antara sesama kaum muslimin yang

diikuti dengan prahara demi prahara lainnya. Belajar dari pengalaman sejarah ini,

kaum muslimin memerlukan pengembangan pemikiran yang memungkinkan

terwujudnya keseimbangan antara hak dan tanggung jawab individu dengan hak

dan tanggung jawab kolektif di dalam praktik pengorganisasian kekuasaan dan

proses bemegara. Dalam bahasa sosiologis, diperlukan pengembangan pemikiran

untuk! merumuskan konsep "agenf' dan "structure" dalam Islam dan

kontekstualisasiny ter:hadap praktik kekuasaan dan kenegaraan.

Elabora.si selanjutnya yang diperlukan menyangkut realitas bahwa

dengan memeluk Islam, masyarakat Arab telah mengalami perubahan-perubahan

fundawental ke arah berlangsungnya proses-proses bernegara dan berperadaban

sesuai: dengan lingkungan sosial mereka yang khas. Bagaimanapun, tanpa

kehadiran "Chiefdom Madinah" sebagai bagian dari proses bemegara, masyarakat

Arab niuslim mungkin belum sampai pada puncak-puncak peradaban mereka.

Demil¢ian pula proses-proses bernegara dan berperadaban orang Arab tersebut

berlangsung dengan swnbangan peran yang sangat besar dari kaum Mawali yang

telah terlebih dahulu mengenal peradaban tinggi sebelum orang Arab

menaklukkan wilayah pemukiman mereka Hal yang terjadi pada masyarakat

Arab dapat terjadi pada kelompok etnis manapun yang bersedia memeluk Islam.

Akan tetapi, proses-proses bernegara dan berperadaban yang akan berlangsung

pada kelompok etnis yang bersangkutan, tidak dapat didesain oleh siapapun dan

sangat bergantung pada k:reatifitas masing-masing kelompok etnis muslim dalain

mengeJinbangkan potensi mereka pada lingkungan sosial yang khas mereka

Page 92: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

476

sen<Uri, sebab sebagaimana ditunjukkan oleh perjalanan sejarah Chiefdom

Madinah, tidak ada disain tertentu untuk proses-proses semacam itu. Dalam

kerangka merangsang kreatifitas mengembangkan potensi tersebut, keterbukaan

terhadap unsur-unsur peradaban lain yang lebih maju menjadi sangat menentukan.

Ringkasnya, kennmgkinan pengembangan peradaban kaum muslimin di luar

peradaban Arab muslim, terbuka Iuas melalui interaksi antar peradaban.

Terutama menyangkut problem universalitas-partikularitas yang

dilegitimasi oleh wahyu serta praktik langsung Rasulullah saw sebagaimana yang

telah diuraikan pada diskusi elaboratif pertama, jawaban apapun yang diberikan

untuk. keluar dari problem itu sudah pasti akan mencakup wilayah perdebatan

yang bras terlcait Syari'at Islam. Jika dikatakan bahwa seluruh praktik

pengorganisasian kekuasaan Chiefdom Madinah adalah teks suci universal yang

selurubnya hams diikuti, maka apakah tindakan seperti yang dilakukan Rasulullah

saw t!erhadap Yahudi Banu Quraidlah dan Banu Nadlir benar-benar harus

dilaksanakan persis seperti itu, atau dapat menerima penafsiran? Apakah

penghancuran para pembangkang (terhadap penguasa) oleh Abu Bakar dan

perampasan barta maupun diri mereka sehingga menjadi budak di negerinya

sendiri, boleh dipandang sebagai hukum Syari'at yang harus diikuti? Apakah

tindakan Abu Bakar membakar hidup-hidup Fuja'ah sebagai hukuman atas dirinya

yang telah membunuh orang Islam, juga dipandang sebagai hukum Syari'at yang

hams dilaksanakan? Mungkinkah tindakan-tindakan seperti itu ditafsllkan,

meskipun tersurat secara tekstual, sebagaimana Umar bin Khattab telah

menafSirkan secara berbeda dari bunyi teks ayat al-Qur'an tentang pembagian

harta rampasan perang? Dengan demikian, perdebatan akan menyangkut banyak

Page 93: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

477

aspe]4. dari batang tubuh Syari'at Islam, baik yang terkandung dalam ayat-ayat al­

Qur' an, Had.is maupun Atsar para sahabat. Dengan cara pandang seperti itu,

Syarrat Islam dipahami bukan sebagai sesuatu yang telah selesai atau telah

menjadi baku, melainkan sebagai "bahan mentah" yang memerlukan proses

pematangan terns menerus sepanjang masa Bagian Syari'at yang telah selesai

hanya menyangkut tatacara ibadat dan nilai-nilai yang bersifat universal saja,

semcmtara bagian terbesar batang tubuhnya memerlukan pembaharuan yang

berkelanjutan.

Guna mencari jalan keluar dari problem sebagaimana terungkap dalam

disku$i-diskusi elaboratif di atas, tulisan ini akan menawarkan setidaknya dua

agend~ teoretik. Agenda pertama, yang dimaksudkan sebagai jawaban atas

proble!m yang dikemukakan pada dislrusi elaboratif pertama, adalah

mem~bangkan penggunaan teori Maqa~d al-Syan'ah sebagaimana diajukan

oleh sejumlah ahli hukum Islam, khususnya Imam Abu Ishaq al-Syathibi, seorang

ahli fiqh mazhab Maliki yang karya-kmyanya menyangkut Maq~id al-SyarT'ah

telah n:iemperoleh banyak: komentar dari para sarjana masa kini, khususnya kitab

Al-Muwafaq<it fi U~l al-Syan'ah ( ~ ~ i,.,i ciiit.,,.J). Diharapkan, melalui

penggunaan teori ini, kemungkinan pengembangan pemikiran teori-teori politik di

lingkuttgan kaum muslimin dapat lebih terbuka luas tanpa hams meninggalkan

rub keislaman atau terjebak di da1am kerangka pemikiran "kembali ke belakang",

yaitu kembali ke "negara Madinah" dengan menggunakan setting politik abad­

abad permulaan Hijriyah sebagai tipe ideal kehidupan politik masa kini.

Konsep Maq~id al-Syan'ah sendiri sebenamya juga merupakan hasil

karya pemikiran para ahli fiqh dan ushul fiqh abad-abad permulaan hijriyah, yang

Page 94: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

478

luput dari pengembangan intensif selanjutnya di tangan para sarjana muslim,

sehmgga kontribusinya dalam pengembangan teori-teori legislasi bagi masyarakat

musl~ sendiri, tidak sebanding dengan potensinya. Kerangka berpikir "kembali

ke ®lakang" yang terakhir ini, dengan memanfaatkan potensi teoretik yang

terpendam dalam konsep Maq~id al-Syan'ah, jauh lebih memberi peluang

keteqmkaan dan produktifitas pemikiran yang sejalan dengan perkembangan masa

kini daripada kerangka berpikir "kembali ke belakang" yang pertama.

Al-Syathibi sendiri bukanlah sarjana pertama yang mengupas persoalan

Maq~id al-Syan'ah, oleh karena banyak sarjana-sarjana sebelumnya yang telah

lebih ' dahulu menjelaskan persoalan itu dan sebagian mereka mempengaruhi

pan~gan-pandangan al-Syathibi, seperti Abu Bakar al-Abhari (wafat 375 H.)

dan Abu Bakar al-Baqillani (wafat 403 H.) keduanya dari mazhab Maliki, Imam

al-Hatmnain Abdul Malik al-Juwaini (wafat 478 H.) serta Abu Hamid al-Ghazali

(wafat 505 H.) keduanya dari mazhab Syafi'i. Akan tetapi adalah al-Syathibi,

mele~ sarjana-sarjana sebelumnya, yang mengupas persoalan Maqti_sid al-

SyarT''Oh secara lebih rinci dan relatifholistik.2

Menurut salah seorang sarjana yang secara khusus membahas teori

Maqa~id al-Syan'ah karya al-Syathtbi yaitu Ahmad al-Raisuni, al-Syathibi tidak

mengajukan definisi tertentu tentang Maq~id al-S)'On'ah. Al-R.aisuni menduga

; 2

Di antara para sarjana itu adalah Muhammad Hashim Kamali yang antara lain menulis tentang f.Maqashid al-Shari' ah, The Objectives of Islamic Law" dalam http://www.aml.org.uki dan "Law a1'Cf Society: The Interplay of Revelation and Reason in the Shari' ah" dalam Oiford History of Isla», (Oxford: Oxford University Press, 2000), tersedia dalam http:llarabworld.nitle.orgl; MuhanUnad Khalid Mas'ud yang menulis: Filsafat Hukum Islam, Studi tentang Hidup dan Pemiki~ Abu Ishoq al-Syathibi, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1996) dan Ahmad al-Raisuni, Nadlariyyah al-Moqashid 'inda al-Imam al-Syathibi (Rabat: Dar al-Aman, 2003). Karya t~rakhir inilah yang menjelaskan kelebihan karya al-Syathibi dibandingkan karya para sarjana sebelumnya

Page 95: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

479

hal itu karena al-Syathibi menganggapnya sebagai istilah yang sudah jelas,

menipngat istilah itu telah dibahas oleh banyak sarjana sebelwnnya dan

mengingat bu.lrunya sendiri ditujukan bagi para ah1i ilmu. Sebagai titik berangkat

memahami Maqa!id al-Syarf'ah seperti diteorikan oleh al-Syathibi, al-Raisuni

kem~an mengajukan definisi Maqtirid al-Syarl'ah:

~ ~ ~"*" ~_,,.111 ~.,c,;a ~ ~ ~ .M111.. ut

"Maqashid al-Syari 'ah adaJah tujuan-tujuan yang mana Syari'ah dilembagakan

wituki mencapainya, demi kemaslahatan manusia". 3

, Sejalan dengan kesimpulan al-Raisuni, komentator al-Syathibi lainnya,

Muhammad Khalid Mas'ud, menyatakan bahwa doktrin maqashid al-Syathibi

adala.4 kelanjutan dan pengembangan dari konsep ~lalJah (~ ,

kemaslahatan) sebagaimana telah dibahas oleh para sarjana sebelumnya. Menlll1lt

Mas'ud, al-Syathibi memandang Syari'at Islam adalah sebuah kesatuan dan

berk~pulan bahwa memahami hukum Islam sebagai satu kesatuan berarti

kesatuan dalam asal-usulnya dan terlebih lagi dalam tujuannya. Bagi al-Syathibi.,

tujuan:Syari'at Islam adalah satu, yakni menegakkan kebaikan dan kesejahteraan

('~,,,,,~I jamak: ~ ) wnat manusia dan menghindarkan mereka dari

kerusakan ( •~ jamak .UW ) . Karena tujuan Syari'at adalah ma$lalJ,ah

manus~, maka istilah maqfi.sid dan mtJ¥1lih biasa dipertukarkan dalam

pembahasan yang dilakukan al-Syathibi. 4

3 Ibid., hJm. 5 dan 7. 11

Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Huban Islam, Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Isluiq al-Syathibi, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1996), him 239-244. Untuk konf~ mengenai tujuan Syari'at, lihat Abu Jshaq Ibrahim bin Musa al-Syathibi., Al­Muwtifaqat, jilid I, hJm. 350-353.

Page 96: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

480

Al-Syathibi5 berpendapat bahwa tujuan-tujuan (maq~id) Syari'at terbagi

menjadi tiga jenis, yaitu mewujudkan ma~lalJah manusia yang bersifat <!aniriyyah

( ~ mesti, harus), ma~lalJfih yang bersifat lufjiyyah ( ~ perlu) dan

ma~lalJah yang bersifat ta4siniyyah ( ~ terpuji). Ma~lalJah <!arnriyyah

mencakup lima hal, yaitu perlindungan agama ("' ~ .r.b.), perlindungan jiwa (

~1.t:.b.), perlindungan keturunan (J..a • ), perlindungan harta benda ( ~

JL.JI) :dan perlindungan akal (Ji-J Jib.). Ma~alJah lufjiyyah adalah pemenuhan

ma~/qfJah manusia yang diperlukannya guna memperlapang clan mengurangi

kes~itan yang timbul ketika pelaksanaan (hukum) Syari'at yang akan

mengakibatkan kesulitan dan kerusakan pada tujuan itu sendiri. Jadi bila ha]iyyah

tidak . dipertimbangkan hersama <!aruriyyah, maka manusia akan menghadapi

kesul~tan. Misalnya ibadah seperti shalat dan puasa bertujuan melindungi agama

(<fam#yyah) sedangkan keringanan dalam shalat dan puasa karena sakit atau

dalam perjalanan, merupakan ha]iyyah yang apabila tidak ada, pasti menimbulkan

kesulitan bagi manusia yang melaksanakannya. Sedangkan ma~lalJah tahsiniyyah

adalab ma~lalJah yang membawa manusia kepada keterpujian, seperti tegaknya

akhlak mulia, adat istiadat kesopanan seperti ketika makan atau minum, atau

terhindar dari hal-hal yang dipandang tercela oleh akal sehat seperti memakan

m~kotor.

Ketiga jenis ma~lalJah tersebut berhubungan satu sama lain secara

berjenj~g, sehingga tahsiniyyah bersifat pelengkap bagi Jufjiyyah yang adalah

s Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syathibi, Al-Muwafaqat ft U~u7 al-Syari 'ah, jilid II (Beirut: lJar al-Ma'rifah, 2004), him 324-327.

Page 97: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

481

juga1 pelengkap bagi tfaniriyyah. Hubllllgan tersebut mempunyai aturan sebagai

berikut: 6

1. Ma~lalJah efarunyyah adalah dasar bagi semua jenis ma~lalJah.

2. Kerusakan (ikhtilal, J ~) pada ~lalJah tfarunyyah akan secara mutlak menimbulkan kerusakan pada m~alJah Iain.

3. Kerusakan (ikhtilal) pada ~alJah lain tidak secara otomatis membawa kerusakan pada m~lalJah efaniriyyah.

4. Dalam kasus-kasus tertentu, i/rhtilal pada Tna$la1Jah ha]iyyah atau tahsiniyyah secara mutlak merusak mshlahah efarunyyah, seperti apabila mashalih tersebut bersama-sama dengan ma#alJah efaruriyyah membentuk suatu keseluruhan sehingga gangguan pada bagian, bermti gangguan pada keseluruhan dan karena itu.

5. Pemeliharaan m~lalJah ha]iyyah dan tahsiniyyah adalah perlu demi tegaknya ma~lalJah <faruriyyah.

Analisa' mengenai pendapat al-Syathibi tentang asal-usul Syari'at

memperlihatkan bahwa konsepnya tentang Syari'at berkaitan erat dengan

konsepnya tentang wahyu. Syari'at sinonim dengan wahyu, akan tetapi karena

wahyu adalah proses, sedangkan Syari'at bukan, maka Syari'at hams dipahami

sebagai substansi, sementara wahyu sebagai proses penyampaiannya. Dalam

kondisi sebelum ada Syari' at, manusia mengejar tujuan-tujuan mereka secara acak

dan ~ kecenderungan mereka kepada hawa nafsu, akal mereka tidak mampu

menemukan ma~lalJah bagi semua. Tuhan lalu menunjukkan rahmatNya dengan

mengirim nabi kepada setiap kaum dengan membawa Syari'at yang diwahyukan.

Rangkaian wahyu Tuhan yang terakhir diturunkan kepada Muhammad bin

Abdullah dalam wujud al-Qur'an yang adalah totalitas Syari'at itu sendiri dan

memiliki ciri-ciri mubarakah ( ~>.i-- diberkati), menggunakan bahasa Arab,

ummiyyah (4-t cocok bagi keadaan masyarakat Arab yang tak pandai tulis baca ),

6 Tentang saling hubungan dan aturannya, Iihat: Muhammad Khalid Mas'ud, Filsqfat,

hlm 247-249. 7 Ibid, hlm 219-220.

Page 98: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

482

samhah (~ lapang, ltias), sahlah (~ mudah dilaksanakan) dan ma'slnim

(fl,,.... terpelihara). Jadi Syari'at di sini bukanlah fiqh.

Kandungan al-Qur'an mula-mula diwahyukan di Makkah, kemudian di

Ma~ah. Ayat-ayat atau surah-surah yang diwahyukan di Makkah tunm guna

mem~hami atau menjelaskan ayat-ayat atau surah-surah lain yang telah

diwahyukan di kota itu sebelumnya, sesuai tertib turunnya. Ayat-ayat atau surah-

surab yang diwahyukan di Madinah tunm guna memaharni dan menjelaskan ayat-

ayat atau surah-surah yang diwahyukan di Makkah. Ayat-ayat atau surah-surah

Madaniyyah hams menjelaskan satu sama lain sesuai urutan turunnya. Yang

demikian itu baik melalui cara menerangkan yang samar (mujmal, ~ )

mengkhususkan yang umum, membatasi yang mutlak, merinci yang belum dirinci

atau nienyempumakan yang belum ada penyempurnaannya. Kalau tidak demikian

maka tidak sah karena berdasarkan (metode) al-Jstiqrti, makna ungkapan (khithah

~ ) ayat atau surah Madaniyyah didasarkan atas ayat atau surah Makkiyah,

sebagaimana ayat atau surah mutakhir didasarkan atas ayat atau surah yang

terdahulu: 8

t.i-T ~ ~ u.5.J ~ ~.J u.5.J ~ f"fill c) "ijl. WS:J d c.M ~ ()4 ~ w i} ~ -WI ~ ~ D I im j > Jfl Jll.J ~ ~ 'll.J J,i_jJ:i.11 c) "+fJ.; ~ > im j ~ J "'~.Ii:&.~~~ al.J JS ()4 ~ rJ l..s ~ ~ r.;+-~ i"1 t.. ~ .;I JllM ~ j fl-"' ~ .;I ~ ~ (JAJ LJ .al j.J ~l_;tl,..'ll

-~A1"1t..~.;1~

• Abu Isbaq Ibrahim bin Musa al-Syathibi, Al-Muwafaqat, jilid llL him 369.

Page 99: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

483

Al-Qur' an yang mula-mula diwahyukan di Makkah menyangkut prinsip-prinsip

dasat, sedangkan yang kemudian diwahyukan di Madinah melengkapi dan

menjabarkan prinsip-prinsip dasar tersebut. Al-Syathibi menulis: 9

~: .JA ~ ~t .JA L. c,sl l ~ l:fl_R. • ~ ~ ~ ~ ~ ~ i) ~.J llt ~~ UfJll ~.J t.-a. ~ ~ ~l+ ~ ~ J~I UA '413 j d-M.J c,slS ~"l

-JLJ.J J.,.a .J Jia.11.J

Pen$hih penerbitan Al-Muwafaqat, Ibrahim Ramadlan, memberi contoh jihad

sebagai bagian (juz) dari Amar Ma-ruf Nahi Munkar dan larangan meminum

khamµr sebagai penyempurna (takmil) bagi kebarusan meninggalkan dosa dan

permusuhan, sementara al-Raisuni memberi catatan kaki bahwa yang dimaksud

dengcµt Madaniyyat di sini adalah hukum-hukum yang disyari'atkan di Madinah.

Mengomentari pendapat al-Syathibi di atas, al-Raisuni menulis: I

~ ~ ~ L. tf;i ~.J cJ.J ~ ~ ~t+ ~ ~~ cJ ~ 1:.. CJ.- .... _,... .J ~ ~ ~"' oljl ~ ~.J ~"ll.J ~"ll ~ ~.J.J JiaJ lfl.i ~ ·~.J J,.4 ~ ~ c,sll ~ ~ u I.Jill <,) tA,;t...J ~ c,F,.HSll ~ I .J ~ ~

-lf.-...1 .J i¥aJ!

"Yang dimaksud olehnya (al-Syathibi) dengan perkataan ini ialah bahwa 1penetapan hukum-hukum yang turun di Madinah, meskipun ditemukan di dalamnya sesuatu yang dianggap prinsip univeral dan kaidah umum, semuanya itu dianggap sebagai cabang-cabang dari (prinsip-prinsip) universal yang lebih um.um dan lebih penting, yaitu yang karena demikian pentingnya, diturunkan di Makkah. Maka tujuan-tujuan penetapan hukum tertinggi dan dasar-dasarnya yang terpokok telah selesai berlabuh dalam al­Qur' an Makkah, sating kuat menguatkan dengan pokok-pokok dan dasar­dasar aqidah". 10

Kelima prinsip universal sebagaimana disebut al-Syathibi itulah yang

dinamakan ma~a?il] <faniriyyah ( ~ ~ ) yang karena universalitasnya

bersimt qath 'iyyah (sebagai landasan hukum yang pasti). Di samping itu, prinsip-

9 Ibid, jilid III. blm 42. 10 Ahmad al-Raisuni, Nadlariyyah, blm 153.

Page 100: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

484

prinsjp dasar yang diwahyukan di Makkah bersifat permanen, tidak pernah

berubah atau dibatalkan. Dengan kata lain, keabadian dan finalitas Syari'at yang

telah 'selesai di masa hidup Nab~ berarti tidak bisa diubah-ubahnya prinsip-prinsip

dasat Syari'at yang universal tersebut, sementara perubahan masih dimungkinkan

pada kasus-kasus di luar itu. 11

Pemikiran al-Syathibi tentang perubahan berangkat dari pemahamannya

tentang ma~laljah sebagai konsep adaptabilitas terhadap kebutuhan-kebutuhan

manuSia berdasarkan pembedaan-pembedaan tertentu yang dihasilkan melalui

anali~ya terhadap konsep tersebut. Di antaranya yang terpenting adalah

pemb~aan antara '<idah ( '# adat istiadat, jamak: 'awald Ji..JP- ) dengan

Syari'at dan antara 'adah dengan 'ibadah (i-¥-, ibadat). Al-Syathibi

menggunakan istilah 'adah untuk beberapa pengertian, antara lain 'awtiid

syar 'iyyah (¥ .,JJi JJ..JP- kebiasaan yang terbentuk berdasarkan Syari'at) yang

berhulfJim tetap sebagaimana hukum Syari'at seperti menutup aurat atau

membersihkan diri dalam rangka bermunajat kepada Tuhan. Berikutnya adalah

'adah yang dikontraskan dengan 'ihadah, sehingga 'adah bermakna sama dengan

mu 'amalah. Kemudian juga 'adah dalam arti kebiasaan umum manusia al-

'awald al-jariyah baina al-khalqi <JWI U:H ~ JJ_,.JI ) baik yang menetap

(sabitah ~ ) seperti gairah makan, minum atau berpakaian, maupun yang

berubah-ubah (mutabaddilah ~ ~) seperti cara berpakaian atau membiarkan

kepala · terbuka yang dianggap buruk di negeri-negeri (muslim) Timur tetapi

dianggap tidak buruk di negeri-negeri (muslim) Barat. Menurut al-Syathibi,

Syari'at dengan sendirinya mempertimbangkan 'awmd tersebut sehingga kita

11 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat, hlm 222-223.

Page 101: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

485

meneuiukan bahwa Syari,at Muhammad saw mengukuhkan sebagian besar 'adah

Jahiliyyah seperti diyat (~ .i») qasamah (t.l....U) qiraq ( '-'4...iU, pinjaman modal

u•) dan sebagainya12• Bahkan menurut al-Syathibi, cara menjelaskan Tauhid

juga disesuaikan dengan adat orang Arab:

Al-Syathibi juga membahas hubungan Syari,at dengan 'adah dalam

kontdcs perubahan, yaitu bahwa Syari'at bisa mengubah 'adah dan sebaliknya,

bila tcrjadi perubahan dalam suatu 'adah, maka akan menimbulkan perubahan

dalam hukum Syari'at. Bila suatu 'adah berubah dari baik menjadi buruk, atau

sebalilrnya dari buruk menjadi baik, karena sebab perbedaan nilai sosiaI antar

bangsa maupun karena sebab-sebab lain, maka Syari'at harus menyesuaikan

dirinya. Al-Syathibi menjelaskan beberapa contoh perubahan perubahan 'adah

yang disebabkan oleh:

1. Perbedaan nilai sosial tentang baik dan buruk, seperti pada contoh membiarkan kepala terbuka di atas, antara Timur dan Barat,

2. Perbedaan tingkat penggunaan teknologi, baik antar bangsa maupun di dalam suatu bangsa, yang mengakibatkan peruahan dari satu makna kepada makna lain yang terkandung dalam suatu 'adah,

3. Perbedaan dalam bennu'amalah, seperti perbedaan kebiasaan penerimaan mahar (~adaq, mas kawin) dalam perkawinan,

4. Perbedaan pertimbangan-pertimbangan ekstemal terkait kewajiban tertentu, seperti kriteria kematangan (bu/ugh) di antara bangsa-bangsa,

• apakah berdasarkan pubertas atau usia, yang terkait dengan kewajiban syar,i (taklfl},

5. Perubahan dari tidak teratur menjadi teratur, baik yang dialami oleh sebagian bangsa maupun individu, seperti seseorang yang karena Iuka

12/bid, hlm. 320-322. Untuk konfinnasi mengenai jenis-jenis 'awa-id, liliat Abu Jshaq

Ibrahim bin Musa al-Syathibi, Al-Muwafaqat, jilid ll, him. 570-571. 13 Ibid., hlm. 388.

Page 102: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

486

tertentu., tidak bisa lagi buang air kecil secara lazim. Cara buang air yang tidak lazim itulah menjadi 'adah bagi yang bersangkutan. 14

Sebagaimana tampak, al-Syathibi sendiri menggunakan setting sosial di

masanya sendiri untuk menjelaskan prinsip-prinsip universal dalam kaitannya

dengJl.n 'adah. Meskipun begitu, teorinya mengenai maqa~id menyediakan

kerangka kerja umum (general framework) untuk menggali ma¥J1ilJ yang sejalan

dengan perkembangan masyarakat masa kini. Teori Maqa~d al-SyarT'ah yang

dikemukakan al-Syathibi sebagaimana secara ringkas diuraikan di atas sangat

relev~ dengan persoalan yang telah disampaikan pada uraian sebelum ini, karena

mem~uka kemungkinan penafsiran bahwa praktik-praktik pengorganisasian

kekuasaan di Madinah yang banyak menyerap 'awald Jahiliyyah, merupakan

aturan-aturan hokum Madinah (Madaniyyat) yang merujuk kepada dan

merupakan penjabaran atas prinsip-prinsip dasar yang universal (Makkiyyat) di

dalam suatu setting dan lingkungan budaya yang khas, yaitu masyarakat

semenanjung Arabia abad keenam Masehi.

Aturan-aturan hukum Madaniyyat tersebut dipahami dapat saja berubah

ketika terjadi perubahan-perubahan pada 'awa-id baik di semenanjung Arabia

sendiri maupun di tempat-tempat lain. Hanya saja, al-Syathibi is mengingatkan

bahwa sejauh menyangkut 'ibadah, maka maksud Pembuat Syari'at (Syari ')

adalah1kebarusan manusia tunduk kepada teks tertu1is (man~~) dan menerima apa

adanya teks-teks tersebut tanpa harus menyelami makna-maknanya, sementara

yang menyangkut 'adah, tujuan Syari' adalah keharusan manusia mengikuti

14 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat, hlm. 324. Rujuk pula Abu Ishaq Ibrahim bin

Musaal~~~bi,Al-Muwajizqat. hlm. 571-572. Ibid., hlm. 585-592.

Page 103: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

487

makha-makna (ma 'ani) yang terkandung pada teks-teks dan tidak berhenti pada

bunyi teks-teks tersebut:

't1 ~~ J.w:i1 .J ~ ~ ~ '11 OJ J ~~ UlMll ~ ~ W1Jl,d t.J ~ ~ ~..ti,JJ "' , ~ e~ lf.:ii ~ e_;..u r:; ~ j u.-~ .... ~ ~ ~ "" ~ ji ~ ~ Jo)..J 1j&i ... ~ j ~ ~ f!'.JlW (jJ c.::.1Jl.:d ~ ~ ' ""~

..... ct.s.a t.J '1~ ~ "".J'oGlJ' ~ u.Ji,JJ.J ~

Agenda teoretik kedua menyangkut eksplorasi atas prinsip-prinsip

individualitas manusia yang ditekankan Islam, dalam kaitan dengan proses

pembentukan unit perikatan sosial terkecil, yaitu keluarga inti dan dengan proses

pembentukan masyarakat sebagai unit perikatan sosial yang lebih luas. Eksplorasi

ini juga relevan untuk mencakup saling hubungan antara pembentukan struktur

masyarakat di dalam suatu bingkai sosial budaya kaum muslimin yang khas,

dengan penghonnatan atas individualitas manusia yang terlibat di dalamnya, yang

memungkinkan tumbuhnya proses-proses pembentukan peradaban mereka sendiri

yang .khas pula.

Sejauh ini belum ada sarjana muslim baik Arab maupun non-Arab yang

melakukan eksplorasi semacam itu secara berkelanjutan. Gagasan pen.ting tentang

Mtiqa$id al-Syan'ah sebagaimana dikembangkan al-Syathibi temyata berhenti

begitu; saja tanpa ada upaya signifikan yang terns menerus untuk menjadikannya

produktif hingga ke masa kini, suatu hal yang kontras dengan para sarjana Eropa

KristeJiJ. yang demikian subur menulis mengenai konsep-konsep tentang individu

dan ten.tang masyarakat sebagaimana telah secara ringkas diungkap pada bab

penda.Quluan tulisan ini. Brian Morris, 16 seorang antropolog, menggambarlcan

19%).

16 Brian Morris, Western Conceptions of the Individual (Oxford and Washington: Berg,

Page 104: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

488

secai;a kronologis bagaimana para sarjana Eropa telah melakukan eksplorasi

semacam itu tanpa henti, terutama sejak masa Rene Descartes, Thomas Hobbes

dan Jainnya pada abad ke-17 terns berlanjut ke masa David Hume, lmmanuel

Kant~ Sigmund Frued dan semisalnya pada abad berikutnya, hingga Marx,

Durldteim, Heidegger dan Derrida pada abd ke-20.

Perkembangan pemikiran Eropa Kristen yang sekarang mendominasi

pemikiran di seluruh dunia ini tidak datang dengan sendirinya. Kuntowijoyo17

meml>erikan analisa mengenai perlcembangan pemikiran tentang manusia di Eropa

~yang dikontraskan dengan pemikiran tentang manusia dalam tradisi Islam.

MenUrut Kuntowijoyo, pada jaman pertengahan, alam pikiran masyarakat Eropa

pada dasamya adalah alam pikiran mitologis yang berakar pada mitologi Yunani

di Ill$la manusia diposisikan seolah-olah terbelenggu oleh dominasi Tuhan. Alam

pikirain ini berubah ketika mun.cul pemikiran bahwa manusia adalah pusat segala

sesuatu. Pemikiran humanisme ini beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat

pada Tuhan atau dewa-dewa melainkan pada manusia. Bukan Tuhan, tetapi

manu$ia sendirilah yang menguasai realitas, menguasai alam dan menentukan

nasib i diri mereka sendiri. Humanisme muncul sejalan dengan datangnya

Rasio~sme yang menekankan kemampuan akal manusia untuk menemukan dan

menet;ipkan kebenaran. Rasionalisme inilah yang melahirkan Renaisans, yaitu

gerakan kebangunan kembali manusia yang bercita-cita mengembalikan

keda$tan manusia dari k:ungkungan mitos-mitos dan dogma-dogma. Akan tetapi,

perubahan yang dibawa oleh kemajuan teknologi dan revolusi industri pada

17 Kuntowijoyo, Paradigma. Islam, Interpretasi untuk Alesi (Bandung: Miz.an. 1991), hlm.159-165.

Page 105: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

489

masyarakat Eropa yang pada awalnya ditujukan untuk membebaskan manusia dari

kerja temyata telah menjadi alat perl>udakan barn. Manusia yang semula merdeka

dan merasa menjadi pusat segala sesuatu, kini tereduksi menjadi hanya bagian

dari .Iogika produksi dan elemen pasar, yang digambarkan oleh para pemikir

sepet!ti Kierkegaard sebagai mengalami kesepian luar biasa dan menderita rasa

kesiai-siaan.

Sementara itu, konsep manus1a dalam Islam digambarkan oleh

Kun~wijoyo sebagai makhluk yang merdeka dan karena itu memiliki kedudukan

terhotmat. Posisi manusia menurut Islam sangat penting dan berderajat tinggi,

sehingga mendapat predikat sebagai khalifah Allah di muka bumi. Daiam

hubungan dengan Tuhan, Islam menurut Kuntowijoyo mengajarkan pembebasan,

bukan pengekangan dan aktualisasi diri manusia dapat terwujud dengan sempurna

hanya melalui pengabdian kepada Penciptanya, bukan kepada sesembahan lain

atau llllitos-mitos lain. Menurut Islam, kemajuan, kemuliaan dan kejayaan hanya

dapat dicapai dengan jalan membersihkan diri secara terns menerus, karena cita­

cita ali-Qur'an mengenai kemajuan manusia sesungguhnya bersifilt spiritual, yaitu

mencapai ridla Allah, sehingga tugas sebagai khalifahNya adalah untuk

menguasai dan mengatur dunia sesuai dengan kehendakNya. Sedangkan menurut

para $Ii filsafat (Eropa) Barat, kemajuan dapat dicapai justeru hanya jika kita

memfxrbaskan diri dari alam pikiran agama.

Berangkat dari analisa Kuntowijoyo tersebut dapatlah dikemukakan,

bahwa 1 sementara alam pikiran Barat menempatkan manusia sebagai pusat

sehingfc! mereka menggunakan akal dengan sangat bebas dan produktif, alam

pikiran Islam masih menempatkan Tuhan sebagai pusat, meskipun manusia

Page 106: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

490

men:µIiki kedudukan tinggi senbagai wakilNya di bumi. Sementara alam pikiran

Baral mengandalkan alcal manusia semata-mata untuk menemukan kebenaran dan

menguasai realitas, alam pikiran Islam mengandalkan wahyu clan akal manusia

ham$ tunduk pada otoritas wahyu. Persoalannya kemudian, bagaimana

men~ukan suatu formulasi alam pikiran, yang mendorong akal manusia dapat

digw)a.kan secara optimal untuk mendefinisikan dan menguasai realitas tanpa !

I

h~ mencederai kebenaran wahyu. Persoalan ini sangat relevan dalam konteks

agenda eksplorasi yang ditawarkan tulisan ini, mengingat terdapat sejumlah besar

elemen partikularistik dalam praktik pengorganisasian kelruasaan di Madinah

yang memperoleh legitimasi wahyu al-Qur' an, Hadis dan Atsar para sahabat.

Apabila dua agenda teoretik di atas dapat diterima, maka akan terbuka

pelua:pg bagi penyusunan teori-teori politik barn di bawah sinaran Syari'at. Atau,

katakanlah, dengan menggunakan istilah yang selama ini telah populer, terbuka

kesempatan untuk menyusun fiqh siyasah dengan alam pikiran barn, yang

terbebas dari ikatan setting politik abad-abad permulaan Hijriyah, yang terfokus

pada pola-pola kepemimpinan sentralistik untuk seumur hidup, menganalogikan

konsep Ahlu al-Sy1irti atau Ahlu al-lfalli wa al- 'Aqdi dengan lembaga parlemen

modern, atau memikirkan pengisian Bait al-Ma1 dengan somber kekayaan

konvensional seperti jizyah. Dengan fiqh siyasah barn, terbuka untuk merumuskan

aktualisasi dari Iima al-ma~a1i}J al-<farunyyah (memelihara agama, jiwa, akal,

keturunan, harta) di dalam proses kehidupan individu, di dalam struktur keluarga

dan struktur masyarakat dan di dalam proses-proses berkebudayaan dan

berperadaban. Juga dapat dirumuskan hubungan antara kelima ma!a1i1J tersebut

dengan pola-pola kepemimpinan yang menghormati asas individualitas sekaligus

Page 107: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

- ----,---------------------------------

491

kolektifitas, cara memperoleh dan menggunakan kekuasaan dari clan di antara

manusia sebagai khalifah Allah dan pola hubtmgan antara elite dengan rakyat

yang sama-sama memiliki predikat sebagai khalifah Allah juga. Dengan fiqh

siyasqh barn, dapat pula dirumuskan pengembangan kelima ma~a1ifJ itu secara

satu demi satu, seperti konsep "memelihara akal" dikembangkan menjadi konsep

op~alisasi kemampuan akal manusia dalam menyelami realitas dan

mengllasainya., atau konsep "memelihara keturunan" sebagai konsep membangun

kehidUpan spesies manusia yang sesuai dengan fitrahnya dalam suatu tatanan

politik global.

Jika kedua agenda yang ditawarkan dapat diterima, maka pemanfaatan

kmya+karya dari alam pikiran manaptm, termasuk alam pikiran (Eropa) Barat,

haruslah menjadi pertimbangan, sebagaimana para sarjana terdahulu telah

memanfaatkan kba1A1nah intelektual masa mereka semacam logika Aristoteles

untuk mengembangkan ilmu-ilrnu ke-Islaman seperti fiqh dan ushul :fiqh.

B. Kesimpulan

Merujuk kepada seluruh uraian terdahulu, dapat disimpulkan beberapa hal:

1. Kehadiran agama Islam di Semenanjung Arabia yang dibawa oleh Muhammad

saw telah menghasilkan perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat

Arab. Selain meneguhkan sejumlah besar elemen kehidupan masa pra-Islam

yang dipandang sejalan dengan misi kehadiran agama Islam, agama ini juga

telah mengenalkan banyak elemen kehidupan barn, seperti penghormatan yang

lebih besar pada hak-hak individu, penempatan keluarga inti sebagai basis

hubungan sosiaL pengembangan organisasi masyarakat yang memungkinkan

Page 108: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

492

tUmbuhnya pengaturan monopolistik baik pada sarana kekerasan (means of

violence) maupun perpajakan, tumbuhnya segmen masyarakat dengan

k~terampilan hidup dan hahitus yang barn, serta perubahan-perubahan lainnya

yang mengarah pada proses pembentukan negara. Pengalaman masyarakat

Arab di semenanjung Arabia bagian tengah menunjukkan, bahwa Islam tidak

menyediakan konsep teoritik yang baku tentang negara dan pembentukannya,

melainkan mengandung norma dan nilai yang dapat mendorong para

p¢meluknya menempuh proses-proses sentripetal pembentukan negara yang

arahnya dapat bervariasi dan tergantung linglrungan sosial budaya masing­

m~g.

2. B¢rbagai arte:fuk sejarah menunjukkan bahwa di bagian-bagian tertentu

Semenanjung Arabia, terdapat masyarakat yang telah lama mengenal sejenis

kekuasaan terpusat yang sebenarnya hanya wilayah kekuasaan kekabilahan,

seperti raja-raja pada kabilah Arab Kindah di selatan atau raja-raja pada

kabilah Ghassan di utara. Kekuasaan sejenis itu justeru tidak pemah

d•ukan di bagian tengah kecuali setelah kehadiran Isl.am yang dibawa oleh

MWiammad saw. Melalui agama Islam, Muhammad saw berhasil mendorong

betbagai perubahan dn membangun Ummah di antara kabilah-kabilah Arab

yaIJg saling bermusuhan, yang kemudian berkembang menjadi sebentuk

ke~ terpusat berbasiskan hubungan antar kabilah yang Iebih luas.

Secara kategoris, kekuasaan terpusat itu barn mencapai tahap yang disebut

chiefdom (imarah, lreamiran}, yakni suatu tahap yang sudah melampaui

tingkat integrasi sosial politik kesukuan (tribes) yang berbasis pertalian

sed{t.rah atau persaudaraan (kin-based), tetapi belum mencapai tahap integrasi

Page 109: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

493

~ial politik yang disebut negara (state). Melalui serangkaian proses,

t~asuk di dalamnya kontes eliminasi kepemimpinan antar kabilah-kabilah

i.sis, kekuasaan terpusat ini setelah wafatnya Muhammad saw berkembang

menuju terbentuknya negara demi negara dinastik yang menjadi bagian dari

proses berperadaban masyarakat Arab muslim.

3. ptoses berperadaban yang berkembang pada masyarakat Arab yang bennukim

di semenanjung Arabia bagian tengah tersebut hanya dimungkinkan melalui

wiuasan penaklukan ke luar wilayah mereka sendiri. Interaksi yang terus

~nerus antar berbagai figurasi menyusuli pembentukan Ummah, telah

mendorong masyarakat Arab muslim di Semenanjung Arabia bagian tengah

UIJtuk melakukan ekspansi teritorial, sekaligus berlmbungan langsung dengan

~syarakat pemilik peradaban besar dan menyerap berbagai elemen kultural

kawn Mawa/i yang menjadi taklukan mereka. Ekspansi teritorial ini telah

m~dorong perubahan-perubahan lebih lanjut, baik pada level sosiogenesis

~pun psikogenesis.

4. Persepsi para pemik:ir muslim tentang "Negara Madinah" sebagai format

negara Islam atau negara kekbalifahan yang wajib dicontoh untuk ditegakkan

ol~h kaum muslimin, merupakan persepsi yang mengabaikan realitas

sosiologis masyarakat Arab saat itu. Suatu proses menuju pembentukan

negara tidak tepat dijadikan contoh baku atau tipe ideal dan oleh karena itu

diperlukan rekonstruksi atas format teoretik tentang pertautan antara Islam

dengan pembentukan negara.

5. BeJajar dari pengalaman berperadaban masyarakat Arab, maka dalam konteks

pe111.carian format teoretik tersebut baik nilai-nilai keislaman universal maupun

Page 110: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

494

praktik-praktik tradisi lokal dan elemen-elemen budaya asing yang tidak

bertentangan dengan nilai universal Islam, diperlakukan sama pentingnya

<Warn menghasilkan formulasi tentang negara yang bersifat umum. Landasan

teoritiknya adalah konsep ma~lalJah dalam konteks Maqa~id al-SyarT'ah.

Pengembangan konsep m~la}µih atau m~Olil] al- 'ibad, adalah kunci bagi

pengembangan teori kekuasaan dan kenegaraan yang secara fleksibel dan

kreatif dapat dirumuskan oleh masyarakat muslim kapanptm dan di manaptm.

Bagian kesimpulan ini jelas menolak gagasan bahwa "Islam adalah agama

sdcaligus negara" dan gagasan Iain yang menyatakan bahwa Islam banya

agama semata. Bagian kesimpulan tulisan ini cocok dengan gagasan bahwa

Islam adalah "agama sekaligus (tmtuk kehidupan) dunia", namtm tulisan ini

tidak menempatkan kelanggengan cita-cita tauhid sebagai arah pembentukan

negara, melainkan membangun ma¥J1ih al- 'ibad yang secara alamiah sesuai

dengan pola pembentukan negara yang cenderung tidak dapat diprediksi.

C. Sa.ran-saran

Mengakhiri bagian penutup ini, penulis mengajukan saran-saran sebagai

berikut:

I. Agar Universitas Islam Negeri Stman Kalijaga Yogyakarta atau lembaga

keijmuan lain kiranya dapat memprakarsai pengembangan lebih lanjut teori

Maqa.Jid al-Syari'ah dan konsep-konsep turunannya seperti ma.Ja1ilJ dan

'adah dalam konteks pencarian format teoretik tentang kekuasaan dan tentang

negara. Melalui prakarsa ini diharapkan tumbuh pemikiran-pemikiran politik

Page 111: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

495

visioner guna merevisi fiqh siyasah yang ada selama ini clan kurikulum­

kurikulum turunannya.

2. Agar ada prakarsa dari lembaga keilmuan atau Iembaga kajian keislaman

t¢rtentu untuk mendorong kaum muslimin menemukan suatu formulasi alam

pikiran (mindset) yang benar-benar menghormati manusia sebagai individu

(agent) daJam perhadapannya dengan struktur masyarakat (strocture), serta

optimalisasi penggunaan akal manusia hingga ke puncak kekuatannya untuk

inendefinisikan dan sekaligus menguasai realitas, tanpa barns mencederai

k~benaran wahyu .

Page 112: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun
Page 113: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

496

DAFTAR PUSTAKA

Aber¢rombie, Nicholas, Stephen Hill and Bryan S. Turner, The Penguin Dictionary of Sociology, London: Penguin, 1988.

~d, Zainal Abidin, Membangun Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Iqra, 2001.

~d bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1978.

Al-'Aqqad, Abbas Mahmud, Ketaqwaan Khalifah Ali bin Abi Thalib, terj. Bustami A Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang., 1979.

Al-' Asali, Khalid, Dirasat Ji Tarlkh al- 'Arab qabla al-Islam wa al- 'UIJua al­Isltimiyyah al-Mubakkirah, Baghdad: Dar al-Syuun al-Tsaqafiyyah al­' Ammab, 2002.

Al-ASqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Bu/ugh al-Martim min Adil/ah al-AIJkam, Kairo Iskandariyah: Dar al-Salam, 2005.

Al-B~ Hasan, Risa/ah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, buku I, terj. Anis Matta, dkk., Solo: Era Intermedia, 1998.

Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, $alJjlJ al-Bukhari, Kairo: Dar al-Hadits, 2004.

Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proldamator Negara Islam Indonesia S.M Kartosoewirjo, Jakarta: Darul Falfil4 1999.

Al-Dilnyathi, Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Hasyiyah !'anah al-'[a1ibTn, Dar Ihya al-Kutub al-' Arabiyyah, t.t.

Al-Jabiri, Muhammad Abid, Takwin al- 'Aqli al- 'Arabi, Beirut: Markaz Dirasat al­Wihdah al-' Arabiyyah, 1989.

___ , al-'Aqlu al-SiyasT a/-'Arabi, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al­' Arabiyyah, 1999.

---'· Agama, Negara dan. Penerapan Syari 'ah, terj. Mujiburrahman, Y ogyakarta: Fa jar Pustaka Baru, 2001.

_ _____,_, Kritik Nalar Arab, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCISoD, 2003.

Page 114: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

497

, Syura, Tradisi, Partikularitas, Universalitas, terj. Mujiburrahman, -~-

Yogyakarta: LKIS, 2003.

Al-Jazairi, Abdurrahman, Al-Fiqh 'ala al-Ma;anib al-Arba 'ah, Beirut: Dar al­Kutub al-'Ilmiyyah, 2004.

Al-Kandahlawi, Muhammad z.akariyya, Kitab Fadhail A 'ma/, (eds.) Mustafa Sayani et.al. Bandung: Pust.aka Ramadlan, 2002.

AI-Maghribi, Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Al- '!bar wa Diwan al­Mubtada wa al-Khabar Ji AY.Ytim al- 'Arab wa al 'Ajam wa al-Barbar wa man 'A¥Jrahum min dzawi al-$uftan al-Akbar, Riyadh dan Amman: Bait al-A1kar al-Dauliyyah, t.t.

Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Bughdadi , Kitab al-Alf/aim al-Sulfaniyyah, Beirut: Dar al-Fikri, 2002.

Al-Naishaburi, Abu Husain Muslim bin Haijaj al-Qusyairi, $a}JflJ Muslim bi Syarf]i al-Nawawf, Beirut: Dar al-Kutub al-' Ilmiyyah, t.t.

Al-Najjar, Husain Fauzi, Al-Islam wa al-Siy<isah, Bal'}Sun ft U~?i al-Na~ariyyah al-Siyasiyyah wa Ni;am al-lfukmi ft al-Jsl<im, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1%9.

Al-Quthub, Samir Abd al-Razzaq, Ansab al-'Arab, Amman Yordan: Dar al­' Arabiyyah li al-Tauzi' wa al-Nasyr, 1989.

Al-Raisuni, Ahmad, Na;ariyyah al-Maqd¥d 'Inda al-Imam al-Syafiol, Rabat Dar al-Aman, 2003.

Al-Suyuthi, Jalaluddin, Tarfkh al-Khulafti, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, t.t.

Al-Syari( Ahmad Ibrahim, Daw/ah al-Rastil Ji al-Madinah, Kairo: Dar al-Filcri al-'Araby, 1972.

Al-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa, Al-Muwafaqat ft U~1 al-Syari 'ah, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 2004.

Ayubi~ Nazih, Political Islam, Religion and Politics in the Arab World, London and New York: Routledge, 1991.

Ali, H,A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modem di Timur Tengah, Jakarta: Jambatan, 1995.

Amal, 'Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean., Politik Syariat Islam, Dari Indonesia Htngga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004.

Page 115: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

498

~ Ahmad, I!ulJti al-Islam, Beirut: Dar al-Kitab al-' Arabi, 1935.

---, f!uhr al-Islam, Beirut: Darul Kitabil Araby, Atthab'ah al-Khamisah, 1969.

___ , Fajr al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdliyah al-Misbriyah, Atthab'ah Arrabi Asyar, 1987.

AndeFSOn, Benedict, Imagined Communities, Reflections on the Origins and · Spread of Nationalism, London: Verso, 1983.

Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni I945, Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Repuhlik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Audab, Ali, Ali bin Ahi Thalib Sampai Kepada Hasan dan Husein, Bogor: Litera AntarNusa, 2003.

Avineri, Shlomo, "Political and Social Aspect of Israeli and Arab Nationalism" dalam Eugene Kamenka (ed.) Nationalism, The Nature and Evolution of an Idea, Canberra: ANU Press, 1975.

Badiei Bertrand and Pierre Birnbaum, The Sociology of the State, trans. Arthur Goldhammer, Chicago: The University of Chicago Press, 1983.

Bella4 Robert N., Beyond Belief, Esei-esei tentang Agama di Dunia Modem, terj. RH. Alam, Jakarta: Paramadina, 2000.

Braudel, Femand, A History of Cilizations, New York: Penguin Books, 1995.

Carneiro, Robert L., "A Theocy of the Origin of the State" dalam Science, new series, vol. 169, Aug, 1970.

Choueiri, Youssef M., Arab Nationalism: a History, Nation and State in the Arab World, Oxford: Blackwell, 2000.

Deflem, Mathieu, "Warfare, Political Leadership, and State Formation: the Case of Zulu Kingdom, 1808-1879" dalamEthnology, number 38, 1999.

Dhayfi Syauqi, Tari1ch al-Adah al- 'Arabi, al- 'A~r al-JahllT, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1960.

Dutton, Yasin, Asal Mula Humm Islam, al-Qur 'an, Muwatta' dan Praktik Madinah, terj. M. Maufur, Yogyakarta: Islamika, 2003.

Earle, :Timothy (ed.), Chiefdom, Power, Economy and Ideology, Cambridge: Cambridge University Press, 1991.

Page 116: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

499

Eisenstadt, S.N., Michel Abitbol and Naomi Chazan (eds.), The Early State in African Perspective, Leiden: E.J. Brill, 1988.

Elias, Norbert, "Processes of State Fonnation and Nation Building" dalam Transactions of fh World Congress of Sociology 1970, vol. 3, Sofia, International Sociological Association, 1972.

___ ,, The Civilizing Process: The History of Manners, vol. I, trans. Edmund Jephcott, Oxford: Basil Blackwell, 1978.

__ ____,, The Civilizing Process: Power and Civility, vol. I, trans. Edmund Jephcott, New York: Pantheon Books, 1982.

--~'' On Civilization, Power and Knowledge, Selected Writings, Chicago and London: University of Chicago Press, 1998.

Elliot, Anthony and Larry Ray (eds.), Key Contemporary Social Theorists, Oxford: Blackwell, 1990.

Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi 'ah, terj. Asep Hikmat, Bandoog: Pustaka, 1988.

Engels~ F., The Origins of the Family, Private Property and the State, Moscow: Progress Publishers, 1977.

Flecher, Jonathan, Violence and Civilization, an Introduction to the Work of Norbert Elias, Cambridge: Polity Press, 1997.

GiddetJS, Anthony (ed.), Durkheim on Politics and the State, trans. W.D. Hall, Cambridge: Politi Press, Paperback, 1996.

Guilla~me, Alfred, Islam, Middlesex: Penguin, 1954.

Hae~, Muhammad H~ Umar bin Khattah, terj. A.Ii Audah, Bogor: Litera AntarNusa, 2002.

________ ,_ Usman bin Ajfan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, terj. Ali Audah, Bogor: Litera AntarNusa, 2002.

____ ,. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, Bogor: Lentera AntarNusa, 2003.

Hall, David et.al. (eds.) States and Societies, Oxford: Basil Blackwell, 1983.

Page 117: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

500

Hanks, Patrick (ed.), Collins Dictionary of the English Language, Sydney, Auckland, Glasgow: William Collins Sons & co. ltd. second edition,

1986.

Hamilton, Peter, Talcott Parsons, Sussex: Ellis Horwood, 1983.

Harakat, Ibrahim, Al-Siy<isah wa al-Mujtama 'fl al- 'A~ al-Nabawi, al-Magbrib: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1989.

Hasan~ Hasan Ibrahim, TariK:h al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Saqafi wa al­ljtima 'i, Kairo: Maktabah al-Nahdliyyah al-Mishriyyah, 1967.

Hitti, lf>bilip K, History of the Arabs, terj. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Hodgson, Marshall G.S, The Venture of Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 197 4.

__ _, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradahan Dunia, Masa Klasik Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 2002.

Ibnu !aimiyah, Pedoman Islam Bemegara, terj. Firdaus AN., Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Imarah, Muhammad, Al-Islam wa al-Siytisah, al-Radd 'ala Syulmhat al­'Almaniyyin, Kairo: Dar al-Tauzi' wa al-Nasyr al-Islamiyyah, 1993.

Karim; Khalil Abdul, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, Kekuasaan, terj. Faisol Fatawi, Yogyakarta: LKIS, 2002.

--~-" Syari 'ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj. Kamran As'ad, Yogyakarta: LKIS, 2003.

___ , Negara Madinah, Politik Penaldukan Masyarakat Suku Arab, terj. Kamran A Irsyady, Yogyakarta: LKIS, 2005.

Keane~ John (ed.), Civil Society and the State, London: Verso, 1988.

Kennedy, Hugh, The Armies of The Caliph, Military and Society in The Early Islamic State, London and New York: Routledge, 2001.

Khan, Qamaruddin, Kekuasaan, Pengkhianatan dan Otoritas Agama, Telaah Kritis Teori al-Mawardi tentang Negara, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Kradet, Lawrence, Formation of the State, Englewood Cliffs: Prentice-Hall and Foundations of Modern Anthropology, 1%8.

Page 118: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

501

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991.

Mahendra, Yusril Ihza, Modemisme dan Fundamentalisme da/am Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.

Mahmud, Mahmud Arfah, 'Al-Arab Qabla al-Islam, Ahwaluhum al-Siyasiyyah wa al-DTniyyah wa Ahammu MO¥Jhiri Hatjaratihim, Kairo: Dar al-Tsaqafah al-Arabiyyah, 1998.

Mass¢los, Jim, Indian Nationalism, a History, New Delhi: Sterling Publisher, 1985.

Mas'~, Muhammad Khalid, Filsafat Hulaon Islam, Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Jshaq al-Syathibi, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1996.

Maud:Udi, Abul A'la, Na?ariyah al-Islam al-Siytisiyah, Kuwait: Maktabah al­Manar, t.t.

MaudUdi, Abul A'la, Hulaon dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat, Bandung: Miz.an, 1990.

Mcllwain, Charles Howard, Constitutionalism Ancient and Modem, Ithaca New York: Great Seal Books, 1958.

Mennell, Stephen, "Asia and Europe: Civilising Processes Compared" Working Paper, no. 4/92, Melbourne: Department of Anthropology and Sociology, Monash University, 1992.

MerrU!un-Webster, Webster's New Explorer Desk Encyclopedia, Massachusetts: Federal Street Press, 2003.

Morris, Brian, Western Conceptions of the Individual, Oxford and Washington: Berg, 1996.

Mufid, Nur dan Nur Fuad, Bedah al-Ahkamus Sulthaniyah al-Mawardi, Surabaya: Pustaka Progressif, 2000.

Nasution, Debby M., Kedudukan Militer Dalam Islam dan Peranannya pada masa Rasulullah saw, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

Nasutibn, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, edisi kedua, cet. pertama, Jakarta: UI Press, 2002.

Page 119: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

502

Noer Deliar Gerakan Modem Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, ' '

1996.

Power, David S., Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan, Kritik Historis Hukum Waris, terj. ArifMaftuhin, Yogyakarta: LKIS, 2001.

Qutb, Sayyid,Ma'alimfi al-fanq, Daral-Syuruq, 1973.

Ruslan, Utsman Abdul Mu'iz, Pendidikan Politik Ikhwaul Muslimin, terj. Salafuddin Abu Sayyid, Hawin Murtado, Jasiman, Solo: Era Intennedia,

2000.

Sabin~, George H., A History of Political Theory, London, George G. Harrap & Co, Ltd., 1963.

Sahli$, Marshall D., Tribesmen, Englewood Cliffs: Prentice-Hall and Foundation of Modem Anthropology, 1968.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990.

Sou'yb, Y oesoe:t: Sejarah Dau/at Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam, Sukarno vs.Natsir, Jakarta: Teraju, 2002.

Syabab Hizbut Tahrir Inggris, Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004.

Thaib,, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni'matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999.

Thomas, George M. and John W. Meyer, "The Expansion of the State" dalam Annual Review of Sociology, vol. 10, Annual Review Inc., 1984.

Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi terbaru, Gitamedia Press, t.t.

Tlas, Muhammad As'ad, Tarikh al- 'Arab, Beirut: Dar al-Andalus, t.t.

Turner, Biyan S., "Religion and State Formation: a Commentaty on Recent Debates" dalamJournal of Historical Sociology, vol. I, no. 3, 1988.

Krieken van, Robert, "Violence, Self-discipline and Modernity: Beyon the Civilizing Process" dalam Sociological Review, vol. 37, no.2, Rotledge, 1989.

Page 120: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

503

----+-'' "Beyond the Problem of Order: Elias, Habit and Modem Sociology or Hobbes was Right", Paper dalam Konperensi Australian Sociological Association, Hobart, 4-7 Desember 1996.

___ ,, Norbert Elias, London: Routledge, 1998.

Wahono, Untung, Pemikiran Politik Islam dalam Pasang Sur'Ut Peradaban, Jakarta: Pustaka Tarbiyatuna, 2003 .

.zallufil, Abdul Qadim, Sistem Pemerintahan Islam, terj. Maghfur, Bangil: Al­Izz.ah, 2002.

Page 121: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

504

WEBSITE

Ahmed, Sufia, "Khilafat Movement" dalam http://www.saerch.com. bdlbanglapedia

Chrisomalis, Steve, "State Formation A Historical Sistem Approach" dalam http://phrontistery, 1997

Hall, Thomas D., "World-System and Evolution, An Appraisal" dalam Journal of World-System Research, vol. 2, no. 4, 1996. tersedia dalam http:l~sf colorad-0. edulwsystems/

Hallicfiay, Fred, "The Origins of States" dalam Formulation (Autumm, 2000) Free Nation Foundation, dikutip dari, http//:libertariannation.orgl

Helm, June, "Horde, Band and Tribe: Northern Approaches", dalam http://sdrc.lib.uiowa.edu/

"How Were Societies Organized" dalam http://thamesandhudsonusa.com/

"Islan) in India", dalam http://reference.allrefer.com

Kamali, Muhammad Hashim, "Maqashid al-Shari'ah, The Objectives of Islamic Law" dalarn http://www.aml.org.uk/

___ , "Law and Society: The Interplay of Revelation and Reason in the Shari'ah", dalam Oxford History of Islam, Oxford, Oxford University Press, 2000. tersedia dalam http://arabworld.nitle.org!

Khan, Rabil, "Maulana Abul Kalam Azad'', dalam http://www.sscnet.ucla.edu.

Murphy, M.D., "Anthropological Theories", Department of Anthropology, College of Arts and Science, the University of Alabama), dalam http:/ !Www.as. ua.edu/

O'Neil, Dennis, "Glossary of Terms", dalam http://anthro.palomar.edu/

"Pakistani Movement and Jamaat-e-Islami", dalam http://wwwjamaat.org/

Qasmi, M. Burhanuddin, "Recounting Untold History, Darul Uloom Deoband, a Heroic Struggle Against the British Tyranny", dalam http:// www.markazulmaarif.org

Scarre dan Fagan, "Pre-state and State Organized Societies" dalam http://www.mc.maricopa.edu/

Page 122: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

505

Scba~r, Wolf, "Global Civilization and Local Cultures", dalmn International Sociology, vol. 16, London: SAGE, 2001. Terdapat juga dalam http:1/www.sine.sunysb.edu/

Service, Ebnan R, "Leslie Alvin White 1900-1975", American Anthropologist number 78/1976), Dikutip dari http:llwww.aaanet.org/

"South Asian History", dalam http://lndia resource.tripod.com

Steimhetz, George, "Cultural Studies and the Historical Study of State Formation", Paper dalam The Ideas, Culture and Political Analysis Workshop, Princeton: Princeton University, 1998. Dikutip dari http://www. claonet. org

"T~ of Societies", dalam http://www.mc.maricopa.edu/

Upadh.yay, R, "Shah Wali Ullah's Political Thought", Paper South Asian Analysis Group, no. 629, Maret 2003. Dikutip dari

http://www.saag.org

Usman, Hafidz, "Presiden Perempuan", dalam http://www.nu.or.id

van Bruinesse14 Martin, "Muslims of the Dutch East Indies and the Caliphate Question", dalam http://www.let.uu.nl/martin. vanhruinessen

Waluchow, Will, "Constitutionalism", Stanford hncyclopaedia of Philosophy, 2007), tersedia pada http://plato.stan{Ord.edu/entries

Wikipedia Indonesia, "Ensiklopedi bebas berbahasa Indonesia", http:/ !en. wikipedia.org/

Page 123: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun
Page 124: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

DAFTARRIWAYAT HIDUP

A. Identitas I.Nam a 2. Tempat dan T gl Lahir 3. Pekerjaan

4. Pangkat/Golongan 5. Alamat

a. Rwnah

b. Kantor

5. Status

6. Pendidikan Formal:

: Abdul Aziz bin Ahmad Junaidi : Cianjur, Jawa Barat, 24 September 1954. : Peneliti Senior Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang dan Diktat Departemen Agama,

: Peneliti Utama IV /d (Non Aktif)

: Jalan Pemuda Nomor: 25 Kranji, Bekasi 17135 Phone:(021)8855769;HP.08121053893

: Puslitbang Kebidupan Beragama, Dep. Agama RI. Gedung Bayt al-Qur'an, Taman Mini Indonesia Indal1 Jakarta, Phone (021) 87790189, Fax (021) 87793540.

: Menikah

a. Sekolah Dasar, lulus tahun 1965. b. Pendidikan Guru Agama 6 Tahun, Lulus 1971. ~- Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Arab, Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta (B.A. lulus 1974 dan Ors. lulus 1981 ). d. Deparlment of Anthropology and Sociology, Monash University,

Melbourne, Australia (M.A. lulus 1992).

7. Pendidikan Lainnya: a. Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa, 1974. b. Pendidikan Awak Kabin Garuda, 1975. c. Pendidikan Dakwah Asia Tenggara, Malaysia, 1978. d. Pendidikan Demografi, Lernbaga Demografi UI, 1982. e. Kepemimpinan Pemuda Intemasional, Mesir, 1988. ( Pelatihan Manajemen Pengembangan Masyarakat Saemaul Undong,

Korea Selatan, 2002. g. Diklatpim Tk. II, LAN, 2004.

8. Pengalaman Organisasi: a. Ketua Komisariat Mahasiswa Jurusan Bahasa Arab, 1973. b. Wakil Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, 1974. c. Ketua PMII Cabang Ciputat, 197 5 d. Sekretaris Bidang Kekaderan Pengurus Besar PMII,1974-1977. e. Kepala Sekretariat Lembaga Missi Islam PBNU, 1978-1982. f Kepala Sekretariat Lembaga Kemaslahatan Keluarga PBNU, 1983-

1986. g. Sekjen Pimpinan Pusat GP Ansor, 1985-1990. 1;L Ketua OPP KNPI, 1987-1990. i. Ketua Pimpinan Pusat GP Ansor, 1990-1995.

Page 125: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

J Anggota Dewan Pembina PP GP Ansor, 1995-2000. k. Wakil Sekjen PBNU, 2000-2005. I. Ketua PBNU, 2005-2010.

9. Riwayat Pekerjaan: a. (]mum

1) Dosen Tidak Tetap Matakuliah Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah, 1975-1981.

2) Awak Kabin Garuda dan Merpati Musim Haji, 1974, 1975, dan 1979. 3) Wartawan Majalah Risalah Islamiyah, 1979-1981. 4) Pekerja Sosial dan Editor Buletin "Bina Desa" INDHRRA, 1981-1983. 5) Manajer Program Kependudukan dan KB, LKK PBNU, 1983-1986. 6) Peneliti Sosial pada Balai Penelitian Keagamaan dan Kemasyarakatan

Jakarta, Departemen Agama, 1986-1996. 7) Pelaksana Tugas (Plt.) Kasubbag Perundang-undangan, Sekretariat

Balitbang Departemen Agama, 1996-1997. 8) Kasubbag Perencanaan Puslitbang Kehidupan Beragama, Balitbang

Departemen Agama., 1997-1998. 9) Kepala Bidang Bina Sarana, Puslitbang Kehidupan Beragama,

Balitbang Departemen Agama, 1998-1999. l 0) Kepala Bagian Program dan Penyusunan Undang-undang, Sekretariat

Balitbang Departemen Agama, 1999-2000. 11) Sekretaris Direktorat Jenderal Binbaga, Departemen Agama, Mei­

Nopember 2000. 12)Direktur Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Umum Negeri (Ditbinpaisun), Ditjen Binbaga Departemen Agama, Nopember 2000- Mei 2001.

l 3) Direktur Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Ditpekapontren), Ditjen Bagais, Departemen Agama, 2001- 2002.

l4)Direktur Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah (Ditmapenda), Ditjen Bagais, Departemen Agama, 2002-2005.

15)Peneliti Utama Bidang Agama dan Kemasyarakatan, Puslitbang Kehidupan Beragama., Balitbang dan Diklat Departemen Agama, 2005-Sekarang (Non Aktif sejak pelantikan sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum pada 23 Oktober 2007).

b. Spesifik Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan Pendidikan 1) Anggota Dewan Redaksi Penamas (Jurnal Penelitian Agama dan

Masyarakat), Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan, Departemen Agama, 1992-1994.

2) Ketua Dewan Redaksi Penamas (Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat ), 1994- 1996.

3) Sekretaris Redaksi Dialog (Jurnal Penelitian dan Informasi Keagamaan) Badan Litbang Departemen Agama, 1996-1998.

4) Anggota Dewan Redaksi Publikasi Hasil Penelitian Balitbang Departemen Agama., 1998-1999.

Page 126: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

)

$) Sekretaris Dewan Redaksi Publikasi Hasil Penelitian Balitbang Departemen Agama 1999-2000.

t>) Ketua Panitia Pelaksana Dialog Antar Umat Beragama untuk Kalangan Cendekiawan dan Ketua Panitia Pelaksana Dialog Antar Umat Beragama untuk Lembaga Keagamaan, 1999.

7) Ketua Tim Pelatihan Kebijaksanaan Pendidikan Islam bagi Pejabat Senior Departemen Agama, Bendigo Australia, 1999.

$) Ketua Tim StU<li Banding Pendidikan Islam AsiaTenggara (Philipina, Thailand, Malaysia, Singapura) bagi Pejabat Eselon II Departemen Agama, 2003.

10. Seminar Terakhir: a. ; Senimar Nasional Tentang Pendidikan Nasional dan Otonomi Daerah,

, BAPPENAS, Jakarta, 2000. b. Trialog Cendek:iawan lntemasional (Kristen, Muslim, Yahudi),

Masyarakat Dialog Antar Agama (Madia), Jakarta, 2000.

11. Pu~likasi: a. ; Penulisan berbagai artikel basil penelitian di Jurnal Penamas, Jumal

, Penelitian Agama dan Masyarakat, 1986-1996. b. : Penulisan berbagai artikel basil penelitian . di Jurnal Dialog, Jurnal

· Penelitian Keagamaan, 1986-1996. c. · Penerbitan buku "Gerakan Islam Kontemporer" (Editor dan Penulis

Naskah Pengantar Buku), Penerbit Pustaka Firdaus 1988 dan 1989, serta Diva Pustaka, 2004.

d. , Penerbitan buku "Orientasi Keagamaan Pada Masyarakat Yang Sedang • Berubah" (Editor dan penyumbang naskah), Penerbit Badan Litbang Departemen Agama, 1996.

e. Penerbitan buku "50 Tahun Departemen Agama, Perjuangan dan •Pengabdian" (Editor Bersama dan penyumbang naskah), Penerbit ! Departemen Agama RI, Jakarta, 1996.

f Penerbitan buku "Menteri-Menteri Agama RI., Biografi Sosial Politik" '(Penywnbang naskah Menteri Agama K.H. A.Wahib Wahab), Penerbit · Balitbang Departemen Agama, 1998.

g. Penerbitan buku "Islam dan Masyarakat Betawi", Penerbit LP3ES 1998 :dan Logos 2002.

h. 1Penerbitan buku "Esai-Esai Sosiologi Agama'', Penerbit Diva Ptistaka, 2003.

i. Penerbitan buku "Varian-varian Fundamentalisme Islam di Indonesia", Penerbit Diva Pustaka, 2004.

j. Artikel-artikel hasil penelitian dan pengembangan pada Jurnal Penelitian Harmoni Dan Jumal Penelitian Edukasi, sepanjang 2005-2006.

k. .Artikel-artikel Iepas pada Majalah Gatra, 2006.

Page 127: Muhammad saw dan al-Khulafa""' al-Rasyidun

12. Bahasa Asing: a. Bahasa Arab ( aktif dan pasit) b. $ahasa Inggris (aktif dan pasit)

Jakarta, Oktober 2007

Abdul Aziz