Post on 29-Jun-2015
Laporan Kasus
FARINGITIS KRONIS EKSASERBASI AKUT e.c suspek GERD
Oleh
Dwi Putri Saraswati
H1A 006010
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
2011
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : Tn. B
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pagesangan
Pekerjaan : swasta
Anamnesa
Keluhan utama :
Nyeri pada tenggorok
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan sejak 2 hari yang lalu. Pasien tidak
mengeluhkan nyeri menelan, batuk (-), pilek (-). Pasien merasakan demam yang tidak terlalu
tinggi sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan tenggorokannya terasa kering dan panas.
Pasien juga merasakan ditenggorakannya terasa seperti menganjal. Pasien mengatakan
keluhan ini sudah sering dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, nyeri tenggorokan yang dirasakan
kambuh – kambuhan terutama setelah pasien mengeluhkan maagnya kambuh. Pasein
memilik riwayat menderita penyakit maag, sering mengeluhkan mual dan terasa panas serta
terbakar pada dada yang terutama dikeluhkan saat pasien telat makan dan minum kopi atau
teh.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sering mengalami keluhan serupa.
Riwayat maag ( + ), tekanan darah tinggi ( - ), DM ( - ), Asma ( - )
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa.
Riwayat alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan ataupun obat.
Riwayat pengobatan
Pasien pernah berobat dengan keluhan serupa, kemudian diberikan antibiotik (amoxicillin)
dan as.mefenamat akan tetapi keluhan pasien tidak berkurang. Pasien juga mengaku
mengkonsumsi obat maag (milanta) yang diminum saat pasien merasakan gejala nyeri uluhati
dan mual yang berat.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tensi : 120/70 mmHg, nadi 96x/mnt, respirasi 20x/mnt, suhu palpasi normal.
Status lokalis
Telinga
Kanan Kiri
Telinga Kanan Telinga Kiri
Inspeksi :
Aurikula
Preaurikula
Retroaurikula
Palpasi
Edema (-), hiperemi (-),
massa (-)
Edema (-), hiperemi (-),
massa (-), fistula (-), abses (-)
Edema (-), hiperemi (-),
massa (-), fistula (-), abses (-)
Nyeri pergerakan aurikula (-),
nyeri tekan tragus (-), nyeri
tekan retroaurikula (-)
Edema (-), hiperemi (-),
massa (-)
Edema (-), hiperemi (-),
massa (-), fistula (-), abses (-)
Edema (-), hiperemi (-),
massa (-), fistula (-), abses (-)
Nyeri pergerakan aurikula (-),
nyeri tekan tragus (-), nyeri
tekan retroaurikula (-)
MAE
Membran timpani
Edema (-), hiperemi (-),
secret (-), furunkel (-),
serumen (+)
Intak, berwarna putih,
Cone of light (+)
Edema (-), hiperemi (-),
secret (-), furunkel (-), serumen
(+)
Intak, berwarna putih,
Cone of light (+)
Hidung
Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk (N), inflamasi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Bentuk (N), inflamasi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rhinoskopi anterior
Vestibulum nasi N N
Dasar cavum nasi Bentuk (N), mukosa
hiperemi (-)
Bentuk (N), mukosa
hiperemi (-)
Meatus media Mukosa hiperemi (-), secret (-),
massa (-)
Mukosa hiperemi (-), secret
(-), massa (-)
Meatus inferior Mukosa hiperemi (-),
odema (-)
Mukosa hiperemi (-),
odema (-)
Konka nasi inferior Mukosa hiperemi (-),
odema (-)
Mukosa hiperemi (-),
odema (-)
Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-)
Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-)
Tenggorokan
Keterangan
Mukosa bukal
Mukosa gigi
Mukosa faring
Tonsil kanan kiri
Warna merah muda, hiperemi (-)
Warna merah muda, hiperemi (-)
Hiperemi (+), edema (-), ulkus (-), granul (+), lateral band (-),
neovaskularisasi (+)
Hiperemi (-), ukuran T1-T1, kripte melebar (-), detritus (-)
Diagnosis : Faringitis kronis eksaserbasi akut e.c susp GERD
Usulan pemeriksaan :
Swab tenggorokan
Endoskopi
Pengukuran PH esofagus
Konsul dengan penyakit dalam untuk mengetahui penyebab dari dispepsia yang
dikeluhkan pasien.
Terapi :
Medikamentosa :
Antibiotik : Cefadroxil tablet 500 mg 2x1,
Anti sekretori (PPI) : lanzoperazol
Obat kumur
KIE : mengurangi makanan atau minuman yang berminyak, pedas, dingin, dan panas. Bila
pasien merasakan demam yang tidak terlalu tinggi, dapat di kompres dengan air hangat
dan meningkatkan intake cairan.
Prognosis : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
I. Faringitis Kronis
Definisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma dan toksin. Virus dan bakteri melakukan invasi ke
faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Infeksi bakteri grup A Streptococcus
hemolitikus banyak menyerang anak usia sekolah dan orang dewasa. Penularan infeksi
melalui sekret hidung dan ludah.
Faringitis kronis adalah kondisi inflamasi dalam waktu yang lama pada mukosa faring
dan jaringan sekitarnya. Faringitis kronis terbagi menjadi faringitis kronis hiperplastik
(granular) dan faringitis kronis atropi atau kataralis.
Etiologi
Faringitis kronis bisa disebabkan karena induksi yang berulang-ulang faringitis akut
atau karena iritasi faring akibat merokok berlebihan dan penyalahgunaan alcohol, sering
konsumsi minuman ataupun makanan yang panas, dan batuk kronis karena alergi. Faringitis
kronis akibat gangguan pencernaan pada lambung juga mungkin terjadi namun merupakan
penyebab yang jarang ditemukan. Penyebab lain yang tidak termasuk iritan adalah pemakaian
suara berlebihan misalnya pada orator, sinusitis, rhinitis, inhalasi akibat uap yang merangsang
mukosa faring, debu, serta kebiasaan bernafas melalui mulut karena hidung tersumbat.
Gejala
Gejala subjektif yang dirasakan dapat berupa rasa gatal di tenggorokan, rasa ada yang
mengganjal di tenggorokan, batuk iritatif dan batuk yang berdahak. Penderita faringitis kronis
juga dapat menderita gangguan pada laring yaitu suara serak.
Pada stadium dini, membran mukosa akan tampak merah karena pembuluh darah yang
mengalami kongesti, bengkak dan dilapisi mucus. Pada tahap selanjutnya warna membrane
mukosa faring akan lebih gelap dan seperti ditutupi oleh folikel-folikel yang membesar,
terjadi penebalan mukosa, serta secret berkurang dan kental.
Diagnosis faringitis kronis ditegakkan dengan anamnesis dan inspeksi mukosa faring.
Pasien faringitis harus menghindari sumber-sumber iritan. Kebiasaan merokok,
mengkonsumsi alcohol, makanan panas, dan kontak langsung dengan udara terbuka harus
dibatasi untuk mengurangi gejala faringitis.
Terdapat dua bentuk faringitis kronis yaitu :
Faringitis kronis hiperplastik
Faringitis kronis atrofi
a. Faringitis kronis hiperplastik
Faktor predisposisi :
- Rinitis kronis dan sinusitis
- Inflasi kronik yang dialami perokok dan peminum alcohol
- Inhalasi uap yang merangsang
- Infeksi
- Daerah berdebu
- Kebiasaan bernafas melalui mulut
Manifestasi klinis :
- Rasa gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan dari tenggorokan
- Batuk serta perasaan mengganjal di tenggorokan
Pemeriksaan fisik :
- Penebalan mukosa di dinding posterior faring
- Hipertrofi kelenjar limfe di bawah mukosa
- Mukosa dinding faring posterior tidak rata (granuler)
- Lateral band menebal
Penatalaksanaan :
- Dicari dan diobati penyakit kronis di hidung dan sinus paranasal
- Local dapat dilakukan kaustik dengan zat kimia (nitras argenti, albothyl) atau dengan
listrik (elektrokauter)
- Sebagai simptomatik diberikan obat kumur atau isap, obat batuk (antitusif atau
ekspektoran)
b. Faringitis kronis atrofi
Adalah faringitis yang timbul akibat rangsangan dan infeksi pada laring karena terjadi
rhinitis atrofi, sehingga udara pernafasan tidak diatur suhu dan kelembabannya sehingga
menimbulkan rangsangan infeksi pada faring.
Manifestasi klinis :
- Tenggorokan terasa kering dan tebal
- Mulut berbau
Pemeriksaan fisik :
Pada mukosa faring terdapat lendir yang melekat, dan bila lendir itu diangkat akan
tampak mukosa dibawahnya kering.
Penatalaksanaan :
Terapi sama dengan rhinitis atrofi, ditambah obat kumur, obat simtomatik dan
menjaga hygiene mulut.
II. Penyakit Refluks Gastro Esofageal
Definisi
Gastroesophageal Reflux Disease adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat
refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
dari keterlibatan esophagus, faring, laring, dan saluran nafas.
Etiologi
Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat terjadi oleh
karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier diantara esophagus
dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karena sfingter esophagus bagian bawah
yang inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara,
terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia hiatus.
Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah
ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat
rendah (< 3 mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3
mekanisme:
Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan
asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga).
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan),
mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian, derajat berat ringannya
keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang
timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pectoris.
Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barrett’s esophagus. Odinofagia (rasa sakit saat menelan
makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik dan sangat
bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara serak,
laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma.
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya
GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone
akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya teofilin).
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau
keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD
memerlukan penatalaksanaan secara medik.
Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan penunjang
dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks).
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari
mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini
disebut non-erosive reflux disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn
atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.
Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih
berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis
GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari
endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan
gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan
ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES
dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1
jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien
dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang
biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka
test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri
yang berasal dari esophagus.
Penatalaksanaan
Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan
timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esophagus ataupun esophagus
barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat
penatalaksanaan yang adekuat.
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Target
penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan
gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnya komplikasi.
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun
bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk
mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah meninggikan posisi
kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk
meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke
esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel,
mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat badan pada pasien
kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan
intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan
minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan
menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin,
diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.
Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan
GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan
atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun
dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif
daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat
dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila
gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down
pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2
atau prokinetik atau bahkan antacid.
Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih
ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan
pendekatan terapi step up.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan
GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan
PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80%
dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi
pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy)
yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada
kekambuhan sampai gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya
respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih
praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD :
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi
tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini
dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat
golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare
terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis
untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini
lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan
GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.
Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam
mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali
dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton.
Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf
pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang
lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi
esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan
tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan
lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan
dengan domperidon.
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek
langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan
pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat
mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena
bekerja secara topikal (sitoproteksi).
Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan
obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan
golongan antagonis reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-
demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
PEMBAHASAN
Pasien ini di diagnosis dengan faringitis kronis eksaserbasi akut et causa suspek
GERD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan. Dari anamnesis didapatkan
bahwa keluhan nyeri tenggorokan yang di alami pasien ini berulang dan sudah diberikan
terapi dengan amoxicillin dan anti inflamasi akan tetapi tidak menghilangkan keluhan pasien
secara menyeluruh. Gejala dari faringitis kronis yang didapatkan pada anamnesis dari pasien
ini adalah pasien sering merasakan tenggorokkannya terasa kering dan mengganjal. Pada
anamnesis didapatkan pasien memiliki riwayat sakit maag, dengan gejala rasa terbakar di
bagian dada, mual dan sering merasakan nyeri epigastrium. Hal ini yang menunjang
diagnosis refluks gatroesofageal pada pasien ini. Menurut literatur, refluks gastroesofageal
merukan salah satu penyebab terjadinya faringits kronis. Sehingga berdasarkan anamnesis
dapat dibuat diagnosis pada pasien ini adalah faringitis kronis yang disebabkan oleh refluks
gastro esofageal.
Untuk memastikan diagnosis faringitis akut pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
fisik pada daerah tenggorokan, dimana ditemukan pada bagian posterior dari dinding faring
terdapat banyak granul dan terdapat neovaskularisasi yang menandakan adanya proses
inflamasi yang kronis pada bagian tersebut. Pada pemeriksaan ditemukan mukosa faring
hiperemis yang menandakan sedang terjadi reaksi inflamasi akut disana. Dari hasil
pemeriksaan ini dapat ditarik suatu diagnosis bahwa pada pasien ini terjadi faringitis kronis
dengan eksaserbai akut. Berdasarkan pemeriksaan fisik, belum dapat dipastikan penyebab
dari faringitis kronis pada pasien ini, oleh karena itu pasien di diagnosis dengan suspek
GERD berdasarkan anamnesis. Untuk memastika diagnosis GERD yang di alami pasien
diperlukan pemariksaan penunjang lebih lanjut seperti pengukuran PH esofagus yang
merupakan gold standar untuk mendiagnosis GERD dan melakukan endoskopi untu melihat
keadaan mukosa dari esofagus. Pada pasien ini kemungkinan penyebab dari faringitis
kronisnya lenih mengarah kepada GERD hal ini dikarenakan pasien mengaku sudah berobat
berulang kali dan mendapatkan terapi antobiotik akan tetapi keluhan pasien tidak kunjung
membaik, oleh karena itu lebih di curigai ke arah GERD.
Terapi yang di berikan pada pada pasien ini adalah selain memebrikan antibiotik, juga
diberikan anti sekretorik untuk mengurangi keluhan dari GERD. Pemberian terapi anti
sekretorik juga dapat dilakukan sebagai penunjang diagnosis dimana bila keluhan pasien
membaik dengan pemberian anti sekretorik maka dapat dipastikan faringitis kronis yang
dikeluhakan pasien berasal dari GERD. Antibiotik yang diberikan adalah cefadroxil yang
merupakan golongan sefalosporin. Hal ini di pertimbangkan karena pasien sudah sering
menggunakan amoxicillin akan tetapi keluhannya tidak membaik. Pemberian Proton Pump
Inhibitor pada pasien ini untuk mengurangi produksi asam lambung sehingga keluhan dapat
menghilang. Proton pump inhibitor merupakan pilihan utama pada GERD, dimana apabila
keluhan tidak membaik barulah dilakuakn endoskopi. Pemeberian obat kumur pada pasien ini
dimaksudkan untu menjaga hygiene mulut untu mencegah infeksi yang lebih berat terjadi.
Pasien juga diberikan penjelasan untuk mengatur pola makan agar tidak terjadi faringitis
kronis dengan eksaserbasi akut yang berulang. Prognosis pada pasien ini adalah baik,
biasanya dengan obat pasien sudah merasakan keluhannya menghilang, akan tetapi pasien
harus tetap menjaga pola makannya agar tidak muncul lagi gejala yang serupa.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Boies Higler. 1997. Penyakit Sinus Paranasalis dalam Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
Anonim, 2010. Faringitis Kronis. Available from : http://isbronchitiscontagious.net/chronic-pharyngitis (accessed : 22 februari 2011)
Chamberlain, 2002, “Infection Of Upper Respiratory Tract” Available from www.henriettesherbal.com (Accessed : 22 februari 2011)
Makmun, dadang, 2006. Penyakit Refluks Gastroesophageal. Jakarta : FKUI
Soepardi, ES., Iskandar M. 2007. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5. FKUI. Jakarta.