Post on 03-Mar-2019
ELITE LOKAL, KEKUASAAN, DAN OTONOMI
DAERAH (Studi Atas Penerapan Penerapan Peraturan
Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Nagari di Nagari Simabur, Kecamatan
Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Muhammad Ruhul Amin
1112112000015
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
ELITE LOKAL, KEKUASAAN, DAN OTONOMI DAERAH (Studi Atas
Penerapan Penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4
Tahun 2008 Tentang Nagari di Nagari Simabur, Kecamatan Pariangan,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 Mei 2017
Muhammad Ruhul Amin
NIM: 111211200015
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Muhammad Ruhul Amin
NIM : 1112112000015
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
ELITE LOKAL, KEKUASAAN, DAN OTONOMI DAERAH (Studi Atas
Penerapan Penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4
Tahun 2008 Tentang Nagari Di Nagari Simabur, Kecamatan Pariangan,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)
dan telah diuji.
Jakarta, 4 Mei 2017
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Dr. Iding Rosyidin, M.Si.
NIP: 19701013 200501 1 003
Menyetujui,
Pembimbing,
Dr. Chaider S. Bamualim, MA.
NIP: 19660524 199903 1 001
iv
PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI
SKRIPSI
ELITE LOKAL, KEKUASAAN, DAN OTONOMI DAERAH (Studi Atas
Penerapan Penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4
Tahun 2008 Tentang Nagari di Nagari Simabur, Kecamatan Pariangan,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)
Muhammad Ruhul Amin
1112112000015
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4
Mei 2017 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Iding Rosyidin, M.Si. Suryani. M.Si
NIP: 19701013 200501 1 003 NIP: 19770424 200710 2 003
Penguji I,
Idris Thaha, M.Si
NIP: 19660805 200112 1 001
Penguji II
Adi Prayitno, M.Si.
NIP:
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 4 Mei 2017
Ketua Program Studi Ilmu Politik
FISIP UIN Jakarta
Dr. Iding Rosyidin, M.Si.
NIP: 19701013 200501 1 003
v
ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisis kekuasaan elite lokal Minangkabau setelah
berlakunya Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2008
tentang Nagari. Suatu peraturan daerah untuk wacana kembali ke nagari, setelah
otonomi daerah diberlakukan sejak tahun 1999. Sebelum otonomi daerah,
kabupaten-kabupaten di Sumatera Barat menerapkan model pemerintahan desa
hasil dari pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979. Suatu model pemerintahan yang
tidak sesuai dengan budaya masyarakat Minangkabau yang mendiami Provinsi
Sumatera Barat termasuk di Kabupaten Tanah Datar. Masyarakat Minangkabau
sebelum orde Baru bahkan sebelum kemerdekaan menerapkan nagari sebagai
pemerintahan terendah yang mandiri dan independen dalam mengelola sumber
daya yang ada di setiap nagari. Nagari dipimpin oleh tiga poros kepemimpinan
yang menjadikan musyawarah dengan prinsip mufakat untuk mengambil
keputusan untuk setiap permasalahan di nagari. Tiga poros kepemimpinan
tersebut yaitu niniak mamak (adat), alim ulama (rohaniah dan moral), dan cadiak
pandai (cerdik pandai). Niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai menjadi
elite bagi masyarakat Minangkabau di tiap-tiap nagari.
Kerangka teoretis yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori elite dan
teori kekuasan. Dari hasil analisis menggunakan teori tersebut dapat disimpulkan
bahwa struktur formal yang terbentuk berdampak positif terhadap kekuasaan elite
lokal Minangkabau dalam masyarakat nagari. Elite lokal Minangkabau kembali
mendapatkan tempatnya dalam masyarakat nagari, tetapi belum diikuti oleh
kesiapan sumber daya manusia yang ada. Selain kualitas dan kecakapan yang
masih kurang, interaksi yang kurang dengan masyarakat nagari juga membuat
kekuasaan dalam bentuk pengaruh yang dimiliki elite belum berfungsi sesuai
dengan harapan masyarakat.
Kata kunci: kekuasaan, elite lokal, Minangkabau, nagari.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah swt yang telah memberikan nikmat kesehatan dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini pada waktu yang disediakan.
Salawat kepada Muhammad saw selaku tokoh reformasi kehidupan beragama manusia yang
menjadikan agama sebagai pendorong kemajuan di berbagai bidang kehiduapan termasuk
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penulisan skripsi ini secara formal sebagai akhir dari kuliah strata satu bagi penulis.
Namun sejatinya merupakan titik tolak baru bagi penulis dalam perjalanan menuntut ilmu di
dunia ini. Skripsi ini tentu masih banyak kekurangan di sana-sini, penulis membutuhkan
kritik dan saran. Penyelesaian sksipsi ini tentu tak lepas dari campur tangan orang-orang di
sekitar penulis baik langsung maupun tidak langsung. Dengan bangga penulis ucapkan terima
kasih yang kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Zulkifli, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN
Syarif HidayatullahJakarta.
3. Dr. Iding Rasyidin, M.Si. dan Suryani M.Si., selaku Ketua Prodi Ilmu Politik dan
Sekretaris Prodi Ilmu Politik.
4. Dr. Chaider S. Bamualim MA., selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus
pembimbing akademik penulis, yang telah banyak meluangkan waktu untuk
berdiskusi dan bertukar pikiran untuk membimbing penulis.
5. Apa Hasan Basri S.Ag dan ama Fatmawati, kedua orang tua penulis yang menjadi
motivator dan inspirator utama bagi penulis untuk terus menuntut ilmu. Kerja dan
pengorbanan yang tak masuk akal untuk ketiga anaknya tak ternilai dan tak akan
mungkin terbalas sampai kapanpun.
vii
6. Muhammad Zaky Arrafi’iy dan Chairunnisa, kedua adik penulis yang selalu
mengingatkan penulis untuk terus lebih baik agar bisa menjadi contoh bagi mereka.
7. Irsyad Datuak Mangkuto, Pjs. Wali Nagari Simabur dan Ketua BPRN Simabur
periode sebelumnya. Memberikan izin dan informasi berharga, serta bersedia
diwawancarai untuk penelitian skripsi penulis.
8. Muhammad, Wali Nagari Simabur 2009-2015 yang menyempatkan waktu untuk
diwawancarai penulis untuk penelitian skripsi penulis
9. Ibu Las dan Bapak H. Syam, pengasuh panti asuhan Alawiyah Zein Simabaur yang
telah memberikan tumpangan tinggal selama penulis melakukan penelitian di
Nagari Simabur.
10. Irsyafi Idrus Datuak Rajo Lelo Sampono, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM) Tanah Datar yang telah meluangkan waktu untuk
berdiskusi mengenai adat dan budaya Minangkabau.
11. Rasman Datuak Mudo (mantan Kepala Desa dan Wali Nagari Simabur, serta cadiak
pandai Nagari Simabur), Datuak Sinaro (Ketua KAN 2014-2020), Datuak
Mangkudum (Ketua BPRN Simabur sekarang), Helsa Idil Fathi (Kepala Jorong
Tanjuang Limau), Zulbahri (Kepala Jorong Koto Tuo), Uda Sam dan Uda Afriamon
(Jorong Simabur), Ibu Musna, Ibu Fatmawati dan Ibu Rahmalidia (Jorong Koto
Tuo), Ustadz Asrul dan Syahrul (Jorong Tanjuang Limau), dan perangkat Nagari
Simabur beserta seluruh masyarakat Nagari Simabur yang telah menjadi
narasumber dan menerima penulis selama melakukan penelitian di Nagari Simabur
yang indah dan sejuk.
12. Keluarga Pak Anas, Keluarga Pak War, Keluarga Pak Tando dan Keluarga Pak
Buyung, kerabat dari bako penulis yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Etek
Nurfitri dan Etek Nora, kerabat dari keluarga suku penulis yang berada di Jakarta
viii
dan sekitarnya. Seluruh keluarga bako dan suku/ibu penulis di kampung halaman
yang memberikan semangat dan bantuan materil kepada penulis selama kuliah.
13. Abrar, Alfiah, Amin, Alice, Andris, Chendi, Devi, Dipo, Rizqi/Bogel, Fahrul,
Fauzan, Fahmi, Faqih, Ferry, Helmi, Mabrur, Kartika Nisa, Rahmat, Rully,
Reinaldy dan Yusuf dan teman-teman Ilmu Politik 2012 kelas A yang tak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan selama kurang lebih
3,5 tahun di kampus Fisip.
14. Teman-teman PK IMM FISIP - Ciputat, Angga, Hatta, Sofi, Fawaz, Aqil Aulia,
Zulfana, Rizki Ikhwani, Afifah dan Mukhtara Rama serta kanda Beni, kanda Zuhri,
kanda Farhan, kanda Reza, kanda Aly dan senior-senior komisariat terima kasih
atas pengalaman yang luar biasa yang telah penulis dapat.
15. Teman-teman PC IMM Ciputat terutama Angkatan Belati, Nabila, Dliya, Intan,
Faridha, Selly, Rusli, Faisal, Rusdiana, dan yang lainnya. Juga angkatan di
bawahnya yang sekarang menjabat pimpinan cabang, Ummi Latifah, Anisa
Lesmana, Novita Fauziah, Qonita, Eef, Aldinah, Kholik, dan lainnya yang tak bisa
disebutkan satu-persatu. Terimakasih atas kebersamaannya di ikatan tercinta ini.
16. Teman-teman Kontrakan Anti-Gober, Bang Yusran, Bang Isnan, Bang Along,
Ahmad Rifani, Fachry Fauzan, Afif Hasan, Muslih Muhaimin, Vanny El Rachman.
17. Teman-teman primordial Minangkabau, Rony, Ridwan, Hafizh, Oktaviandri,
Ismail, Dayat, Azmi, Septian, dan lainnya, yang telah menyemangati untuk
menyelesaikan skripsi ini walaupun dengan cara yang berbeda.
18. Teman-teman “lorong kemalingan ASPA”, Aziz, Rio, Fahmi, Rahmat, dan Rizky.
19. Teman-teman KKN Lentera, Yazid, Ridwan, Fauzi, Faruqi, Ahmad Rizki, Reza,
Atika, Risma, Sista, Tria, Ayu, Milla, dan Fitri terima kasih ikut mewarnai
kehidupan penulis.
ix
20. Terakhir kepada semua pihak, yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih
atas dukungan moril dan materil selama penulis kuliah dan menyusun skripsi ini.
Segala terima kasih penulis ucapkan kepada mereka yang telah membantu penulis
menyusun skripsi ini. Semoga Allah yang maha bijaksana membalas segala kebaikannya.
Jakarta, 4 Mei 2017
Penulis
Muhammad Ruhul Amin
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………….….……........ iv
DAFTAR ISI …………………………….…..……………………. x
DAFTAR TABEL ………..……………………….……………. xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah……..……………………………… 1
B. Pertanyaan Penelitian …….………………………..…… 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….……………….… 6
D. Tinjauan Pustaka …….……..……….…………….…… 7
E. Metode Penelitian ..………….………..………………… 9
F. Sistematika Penulisan…………..……..……..…….……. 11
BAB II KERANGKA TEORETIS
A. Teori Elite………………….......................................….. 14
B. Teori Kekuasaan...................................………………… 18
C. Otonomi Daerah dan Pemerintahan Desa ....................... 28
D. Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun
2008 tentang Nagari …...................…….………………. 33
BAB III PROFIL ADAT MINANGKABABAU
(NAGARI DAN ELITE LOKAL) DAN PROFIL
NAGARI SIMABUR
A. Nagari…..……......…………………….……………..……. 43
B. Elite Lokal Minangkabau: Tungku Tigo Sajarangan…..…. 47
C. Nagari Simabur
1. Profil Nagari Simabur .....................…....................... 56
2. Potensi Nagari Simabur ................................................. 59
3. Sejarah Nagari Simabur ................................................. 61
4. Elite Lokal Nagari Simabur ........................................... 64
BAB IV KEKUASAAN ELITE LOKAL MINANGKABAU PASCA
PENERAPAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
TANAH DATAR NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG
NAGARI
A. Kekuasaan Elite Lokal Minangkabau
secara Kultural ……......…………...........………………...... 68
B. Kekuasaan Elit Lokal Berdasarkan Peraturan Daerah
yang Mengikatnnya
1. Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor
17 Tahun 2001.......…………………………………. 73
xi
2. Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor
4 Tahun 2008.......…………………………………......... 77
C. Kekuasaan Elite Lokal Minangkabau di Masyarakat
setelah berlakunya Perda Kab. Tanah Datar No.4/2008
1. Dampak Pelaksanaan Perda terhadap Elite Lokal
di Masyarakat Nagari......................................................... 81
2. Kecakapan, Kemampuan dan Kualitas Elite Lokal...... 85
3. Hubungan dan Interaksi dengan Masyarakat Nagari... 95
4. Hubungan dan Peran dalam Pemerintahan Nagari........... 97
D. Analisa Teoretis............................................................................. 101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 108
B. Saran............................................................................................. 110
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 112
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel IV.B.1 Bagan Perubahan Struktur Formal Nagari
di Kabupaten Tanah Datar……...............……………. 80
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.C.1 Pemandangan Alam Nagari Simabur ................... 58
Gambar III.C.2 Kantor Nagari Simabur......................................... 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Sumatera Barat merupakan sebuah provinsi yang didiami mayoritas oleh
suku Minangkabau. Menjadi suatu keunikan tersendiri karena suku tersebut
menganut paham matrelinial dalam aturan persukuan. Dengan paham seperti itu
menempatkan seorang perempuan yang bergelar bundo banduang sebagai pemilik
pusaka suku-nya. Namun yang menjadi perhatian para peneliti sosial dari zaman
pra-Indonesia merdeka, terutama para peneliti dari luar negeri, adalah masalah
kepemimpinan masyarakat Minangkabau yang menunjukan gaya sendiri. Berbeda
dengan masyarakat di Nusantara yang umumnya suatu kesatuan masyarakat
dipimpin oleh satu orang saja yang berpengaruh dalam berbagai urusan,
masyarakat Minangkabau dipimpin oleh tiga kepemimpinan yaitu niniak mamak
(adat), alim ulama (agama), dan cadiak pandai (cerdik pandai). Ketiganya
menjadi poros dalam kepemimpinan masyarakat Minangkabau. 1
Ketiga komponen tersebut menjalin satu kesatuan, yang tercermin dalam
ungkapan “Adat dipimpin penghulu/niniak mamak, agama dipimpin alim ulama,
dan pembangunan dan kemajuan nagari dipimpin cadiak pandai”. Walaupun
terkadang ketiga komponen tersebut terhimpun dalam satu orang atau dua
1 Disebut juga dengan poros kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan, dalam Siti
Zuhro dkk, Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik
Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2009), 102-104.
2
komponennya terhimpun dalam satu orang. 2
Penulis menyebut ketiganya sebagai
elite lokal dalam Minangkabau. Karena mereka lah yang menjadi pengambil
keputusan dalam berbagai urusan dalam masyarakat Minangkabau.
Dalam pengaturan strukur masyarakat Minangkabau yang cukup luas,
Nagari menjadi jawaban akan pengelolaan masyarakat dan sumber daya yang
mereka miliki secara mandiri. Nagari secara teritorial sama dengan pemerintahan
Desa di pulau Jawa, namun semangat kemandirian yang dihasilkan dari adat dan
budaya Minangkabau serta bentuk kepemimpinanan yang khas menjadikan Nagari
berbeda dengan modelnya pemerintahan Desa di Pulau Jawa.3 UU No. 5/1979
yang diberlakukan pemerintah Orde Baru yang menyeragamkan bentuk
pemerintahan Desa ke seluruh provinsi yang ada di Indonesia, menjadikan Nagari
dipandang dan diperlakukan sama oleh pemerintah pusat dengan desa-desa yang
ada di Indonesia. Padahal menurut Kusumaatmadja yang dikutip Yasril Yunus
menyatakan pemerintahan Nagari di Sumatera Barat perlu perhatian khusus
karena masyarakat adatnya mampu bertahan dan beradaptasi kuat dan bagus
terhadap intervensi dari luar.4
2 Audrey Kahin, dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik
Indonesia 1926-1998 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 3-4. 3 Penulis menyebut Desa hampir sama dengan Nagari karena sama-sama
pemerintahan terendah berada di bawah pemerintahan Kecamatan. Namun desa yang
terbentuk di Sumatera Barat setelah berlakunya UU No. 5/1979 bukanlah Nagari yang
diubah menjadi bentuk desa. Terbentuknya desa perubahan dari bentuk Jorong yang
secara budaya dan tradisi Minangkabau berada di bawah Nagari. 4 Yasril Yunus, “Pemerintahan Nagari di Era Orde Baru: Persepsi Aparatur
Pemerintah Aparatur Pemerintah dan Masyarakat terhadap Pemerintahan Nagari dan
Otoritas Tradisional Minangkabau dalam Kaitannya dengan Prospek Otonomi Daerah di
Minangkabau” Tesis (Malang: Universitas Brawijaya, 2000) [jurnal on-line]; tersedia di
https://jurnalskripsitesis.wordpress.com/2008/03/22/pemerintahan-nagari-di-era-orde-
3
Penetapan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah berdasarkan Tap MPR
No. XV/MPR/1998, menjadi momentum oleh masyarakat Minangkabau untuk
membangun kembali Nagari mereka. Karena dalam peraturan UU No. 22/1999
tersebut jelas disebutkan bahwa desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Pemerintah Sumatera Barat
menyambut undang-undang tersebut dengan Perda No. 9 Tahun 2000. Namun
sikap yang tergambar dari Perda tersebut hanyalah sebatas nostalgia dari kejayaan
masa lalu yang cukup lama terebut oleh Orde Baru. 5 Terlihat dari peran dari
Ninik Mamak yang cukup penting dalam pengaturan dan kepemimpinan adat
masih cukup marjinal dan terpecah di sekitar kekuasaan Wali Nagari yang
menjadi pemimpin Pemerintah Nagari.6 Baru pada tahun 2007, Pemerintah
Daerah Sumatera Barat mengeluarkan Perda No. 2 Tahun 2007 untuk
memperbarui struktur Nagari. Dan peraturan daerah terbaru yang dikeluarkan
pemerintah kabupaten Tanah Datar bersama DPRD Tanah Datar guna
menindaklanjutinya adalah Peraturan Daerah Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008
tentang Nagari.
baru-persepsi-aparatur-pemerintah-dan-masyarakat-terhadap-pemerintahan-nagari-dan-
otoritas-tradisional/; diunduh pada tanggal 4 November 2015. 5 Teungku Rika Valentina dkk, Transisi Demokrasi Lokal dalam Komunitas Elite
Politik Minangkabau Modern: Studi Kasus pada Nagari Jawi-Jawi Kabupaten Solok
(Padang: UNAND, 2009); [buku on-line]; tersedia di
http://repository.unand.ac.id/789/1/artikelnya_DIPA_TENGKU_RIKA_V.2009.doc;
diunduh pada tanggal 17 Novemeber 2015. 6 Yasril Yunus, “Model Pemerintahan Partisipatif yang Partisipatif dalam
Masyarakat Minangkabau,” Demokrasi, Vol. VI No. 2 Tahun 2007. [jurnal on-line]
tersedia di http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/viewFile/1141/976; diunduh pada
tanggal 17 November 2015.
4
Perda Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari adalah tindak
lanjut dari Perda Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Nagari. Perda Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 hanya
membicarakan mengenai pemerintahan Nagari secara umum. Sedangkan Perda
Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari mengatur Nagari secara
keseluruhan. Tentu saja nuansanya berbeda, peraturan daerah provinsi hanya
mengatur mengenai pemerintahan Nagari artinya hanya secara umum dan perda
kabupaten Tanah Datar mengatur Nagari secara keseluruhan dan lebih detil.7
Secara tertulis di dalam Perda Kab. Tanah Datar No. 4/ 2008, menyebutkan
bahwa dalam Pemerintahan Nagari terdiri dari Pemerintah Nagari, Badan
Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN). Pemerintah Nagari dipimpin oleh
seorang Wali Nagari yang dipilih melalui panitia pemilihan yang dibentuk BPRN.
Sedangkan BPRN sendiri merupakan badan musyawarah sebagai perwujudan
demokrasi dalam Pemerintahan Nagari yang beranggotakan unsur dari para elite
lokal Minangkabau seperti yang sebelumnya dibahas yaitu niniak mamak, alim
ulama dan cadiak pandai (cerdik pandai) serta ditambah dengan perwakilan dari
bundo kanduang dan dari perwakilan pemuda. Selain itu terdapat institusi
Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang berisikan seluruh niniak mamak dalam nagari
7 Yasril Yunus, “Perbedaan Persepsi Penyelenggara Nagari Luhak dan Rantau
terhadap terhadap Model Pemerintahan Nagari yang Partisipatif,” Tingkap, Vol. IX No. 1
Tahun 2013. [jurnal on-line] tersedia di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=129188&val=1549; diunduh pada
tanggal 7 November 2015.
5
sebagai institusi yang berwenang dalam urusan adat di nagari. KAN bersifat
konsultatif dan koordinatif terhadap Pemerintahan Nagari.
Adanya Perda Kab. Tanah Datar No. 4/2008 tentang Nagari menjadikan
para elit lokal Minangkabau (niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai)
terlembaga secara formal yang diatur oleh peraturan daerah dalam
pelaksanaannya. Peran ketiga komponen kepemimpinan di Minangkabau, niniak
mamak, alim ulama dan cadiak pandai, tidak lagi bisa dihimpun oleh satu orang
saja. Karena dalam perda tersebut mensyaratkan jumlah minimal anggota BPRN
sebanyak 5 orang, yang artinya masing-masing komponen (selain bundo
kanduang dan pemuda) dari ketiga unsur kepemimpinan minimal satu orang dari
satu komponen. Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang terbentuk merupakan
lembaga para niniak mamak. KAN juga menginisiasi pembentukan lembaga unsur
alim ulama, cadiak pandai, pemuda dan bundo kanduang. Akibatnya seseoarang
elite lokal Minangkabau hanya berada pada satu unsur kepemimpinan, walau
punya kualitas lebih dari satu unsur tersebut.
Pertanyaan kemudian adalah apakah benar dengan adanya lembaga formal
yang menampung kepentingan dan kekuasaan mereka dalam masyarakat nagari
melalui BPRN, akan membuat kekuasaan mereka menjadi lebih diberdayakan
atau malah menjadi suatu pembatasan dari kekuasaan mereka sebelum
dilembagakan suatu kebijakan formal berupa perda dengan lembaga BPRN.
Dengan kata lain penulis tertarik melihat kekuasaan dan pengaruh dari elite lokal
Minangkabau dalam struktur Nagari yang terlaksana dari peraturan daerah
setempat yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun 2008.
6
Salah satu Nagari di Kabupaten Tanah Datar yang tentu saja menerapkan
Perda Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 adalah Nagari Simabur, Kecamatan
Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Penelitian akan dilakukan di Nagari Simabur
yang merupakan bagian dari Kecamatan Pariangan yang merupakan daerah awal
(daerah tuo) dari masyarakat Minangkabau. Daerah awal Minangkabau terkenal
akan kekukuhannya menjaga tradisi dan adat-istiadat, sehingga akan sangat
menarik melihat bentuk relasi kekuasaan elite lokal mereka terlembaga atau
terstruktur dalam institusi Nagari. Nagari Simabur akan menjadi studi kasus
dalam melihat relasi kekuasaan elite lokal Minangkabau pasca penerapan Perda
Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008. Sedangkan untuk rentang waktunya akan
diambil dari tahun mulai efektifnya pemberlakuan perda tersebut yaitu tahun 2009
hingga tahun 2015.
B. Pertanyaan Penelitian.
1. Bagaimana relasi kekuasaan elit lokal Minangkabau pasca penerapan
Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No. 4/2008 tentang Nagari?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan kekuasaan elite lokal Minangkabau dalam masyarakat
dan pemerintahan Nagari setelah berlakunya Peraturan Daerah Kabupaten
Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari.
2. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, mampu memberikan pengtahuan dan kontribusi teoritis
terhadap ilmu politik.
7
2. Secara praktis, diharapakan penelititan ini mampu memperluas
pengetahuan peneliti mengenai kekuasaan elit lokal sebagai bagian dari
kajian ilmu politik
3. Secara umum, dapat memberikan gambaran, referensi dan evaluasi
terhadap kekuasaan elit lokal setelah pelembagaan kekuasaan mereka di
era-reformasi ini.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian terdahulu yang mirip dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan Haryanto (2009) dengan judul “Elite Politik Lokal dalam Perubahan
Sistem Politik,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 13, (November 2009). Dalam
penelitian tersebut Haryanto melihat pengaruh struktur pada daya kekuasaan elit
lokal yang telah lama hidup di masyarakat sebelum adanya strukturisasi
kekuasaan mereka secara formal. Menggunakan teori dari Anthony Giddens, yang
melihat dualisme peran struktur terhadap kekuasaan elite yaitu pembatasan atau
pemberdayaan. Karena menurut Giddens yang dikutip Haryanto, struktur terdiri
dari aturan main (rules) dan sumber daya. Dengan adanya kedua hal tersebut,
struktur bisa jadi sebagai suatu pembatasan terhadap elite lokal dan bisa juga
menjadi suatu pemberdayaaan terhadap kekuasaan elite lokal. Hasilnya adalah
elite lokal mengalami kedua hal tersebut yaitu pembatasan dan pemberdayaan.
Elite sendiri yang harus menyiasati struktur tersebut bagaimana struktur
tersebut bisa memberdayakan kekuasaan mereka. Ringkasnya relasi dan
kemampuan menyiasati terhadap strurktur lah, yang menentukan apakah struktur
menjadi pembatas atau pemberdaya kekuasaan elite lokal. Namun penelitian
8
tersebut sangat lah umum, tidak mengambil objek atau studi kasus di daerah-
daerah. Haryanto menggambarkan secara umum situasi nasional mengenai
peranan struktur terhadap kekuasaan elite politik lokal. Haryanto tidak berpijak
pada studi kasus yang jelas, hanya menggambarkan secara umum bagaimana
pengaruh struktur terhadap kekuasaan elite lokal di Indonesia secara keseluruhan.
Penelitian lainnya mengenai nagari adalah yang dilakukan oleh Siti Zuhro
dkk. Hasil penelitian tersebut terbit dengan judul Demokrasi Lokal di Indonesia.
Termasuk di dalamnya juga membahas tentang Nagari yang ada di Kabupaten
Tanah Datar, Sumatera Barat. Penelitian yang dilakukan tahun 2008 tersebut
fokus pada bahasan praktik-praktik demokrasi yang terjadi pada tingkat lokal
dengan studi kasus di beberapa daerah termasuk di Sumatera Barat yang salah
satu sampelnya di salah satu nagari di Kab, Tanah Datar yaitu Nagari
Minangkabau.
Penelitian terhadap Nagari sendiri cukup banyak dilakukan oleh para
akademisi seperti yang dilakukan Bartoven Vivit Nurdin dengan judul “Antara
Negara dan Nagari: Konstelasi Elite Lokal dalam Rekonstruksi di Minangkabau
pada masa Otonomi Daerah,” Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan
Pembangunan 3, (Juli-Desember, 2009). Penelitian tersebut melihat bagaimana
strategi yang dilakukan para elite lokal dalam rangka berbagai kepentingan.
Difokuskan pada bagaimana elite lokal memandang, menginterprestasi dan
menanggapi kenyataan yakninya dibentuknya pemerintahan Nagari dengan
momentum Otonomi Daerah. Sifat penelitian adalah setting, tidak mengambil
data terfokus pada satu Nagari.
9
Penelitian tentang Nagari lebih luas dilakukan oleh Yusril Yunus dengan
judul “Pemerintahan Nagari era Orde Baru: Persepsi Aparatur Pemerintah dan
Masyarakat terhadap Pemerintahan Nagari dan Otoritas Tradisional Minangkabau
dalam kaitannya dengan Prospek Otonomi Daerah.” Penelitian tersebut
mendeskripsikan banyak hal dan menemukan banyak hal tentang nagari mengenai
strukrur nagari, otoritas tradisional yang demokratis, persepsi aparatur pemerintah
dan masyarakat yang mendukung pembentukan nagari dan juga terdapat
tantangan yang akan dihadapi nagari nantinya ketika terbentuk. Penelitian tersebut
dilakukan di tiga nagari, ketiga nagari tersebut berada pada kabupaten yang
berbeda, dan dilakukan pada tahun 2000. Penelitian tersebut bertujuan melihat
prospek pemerintaha Nagari setelah menghadapi penyeragaman selama masa
orde-baru.
Berdasarkan penelitian diatas, penelitian yang penulis lakukan akan menjadi
sesuatu yang baru terutama melihat bagaimana pengaruh struktur yang terbentuk
akibat penerapan Peraturan Daerah di Kabupaten Tanah Datar. Pengaruh struktur
tersebut terhadap relasi kekuasaan elite lokal Minangkabau, dengan mengambil
studi kasus di Kanagarian Simabur, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah
Datar. Dalam rentang waktu setelah penerapan perda yaitu tahun 2009 hingga
tahun 2015.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Suatu metode penelitian
yang digunakan untuk menemukan pengetahuan terhadap subjek
10
penelitian pada suatu saat tertentu. Penelitian ditujukan untuk
mengumpulkan informasi mengenai subjek penelitian dan perilaku
subjek penelitian pada suatu periode tertentu. Penelitian kualitatif
deskriptif akan mendeskripsikan seluruh gejala atau keadaan yang ada,
yaitu keadaan yang menurut apa adanya saat penelitian dilakukan.8
2. Jenis data yang akan digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer yaitu data yang langsung dapat dari objek penelitian di
lapangan berupa wawancara dengan beberapa narasumber dan
pengamatan langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder didapat dari
hasil bacaan dari buku-buku dan tulisan-tulisan di jurnal atau media serta
keterangan-keterangan terkait dengan masalah penelitian.9
3. Sumber data penelitian adalah hasil wawancara dari para pejabat nagari
baik terutama yang berada pada Badan Permusyawaratan Nagari
(BPRN), Wali Nagari, Kerapatan Adat Nagari (KAN), dan beberapa
warga yang berdomisili lama di nagari tersebut (Kanagarian Simabur)
semenjak perda No. 4/2008 dikeluarkan.
4. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun data dari
lapangan penelitian melalui wawancara dengan instrument tertutup yaitu
wawancara yang seperangkat daftar pertanyaannya dijawab langsung
8 Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualiatatif (Ciputat: Referensi,
2013), 9-11. 9 Mukhtar, Metode Praktis Penelirtian Deskriptif Kualitatif, 100.
11
oleh subjek penelitian. Peneliti tidak menyiapkan jawaban dalam
instrument tersebut.10
5. Teknik pengolahan data dilakukan secara mengalir (flow mode analysis).
Menurut Miles dan Huberman ada empat aktivitas dalam melakukan
analisis data secara mengalir yaitu pengumpulan data, reduksi data,
display data dan verifikasi atau menarik kesimpulan.11
F. Sistematika Penulisan
Bab I berisi latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II berisi penguatan dari kerangka teori yakninya penjelasan teori-teori
yang dipakai dalam penelitian. Dan juga penjelasan isi Perda Kabupaten Tanah
Datar No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari.
Bab III berisi penjelasan mengenai Nagari sebagai konsep pemerintahan
terendah yang mandiri di Minangkabau dan konsep kepemimpinan dalam
masyarakat Nagari. Penjelasan profil Nagarian Simabur, Kecamatan Pariangan,
Kabupaten Tanah Datar. Penjelasan mengenai kewenangan yang didapat dari
institusi Nagari terhadap para elite lokal Minangkabau (ninik mamak, alim ulama,
cadiak pandai).
10
Mukhtar, Metode Praktis Penelirtian Deskriptif Kualitatif, 118. 11
Mukhtar, Metode Praktis Penelirtian Deskriptif Kualitatif, 135.
12
Bab IV berisi pembahasan bagaimana struktur Nagari yang terbentuk
setelah penerapan Perda Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 mempengaruhi
kekuasaan elite lokal Minangkabau (ninik mamak, alim ulama dan cadiak
pandai). Pembahasan akan terfokus pada relasi kekuasaan elite lokal
Minangkabau pasca penerapan Perda Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 dengan
studi kasus Nagari Simabur, Kecamatan Priangan, Kabupaten Tanah Datar dalam
rentang tahun 2009-2015.
Bab V berisi berupa kesimpulan dan saran dari skripsi ini.
Daftar Pustaka berisi buku, jurnal, dokumen elektronik dan wawancara yang
penulis gunakan dan lakukan sebagai rujukan dan sumber informasi dalam
pembahasan penelitian ini.
13
BAB II
KERANGKA TEORI
Bab II(dua) ini, penulis menjelaskan mengenai teori elite dan teori
kekuasaan yang penulis gunakan dalam melihat relasi kekuasaan elite lokal
Minangkabau pasca Perda Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008. Teori elite
penulis kutip dari Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, Harold Laswell dan C. Wright
Mills di dalam beberapa referensi terkait. Teori elite digunakan untuk melihat
posisi niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai dalam masyarakat nagari.
Sedangkan mengenai teori kekuasaan, penulis mengutip dari Ramlan Surbakti,
Wahidin dan Charles F. Andrain, juga dalam beberapa buku referensi. Teori
kekuasaan digunakan untuk melihat hubungan kekuasaan niniak mamak, alim
ulama dan cadiak pandai, dengan masyarakatnya dan juga dengan pemerintahan
Nagari. Sub-bab selanjutnya menjelaskan mengenai otonomi daerah dan
pemerintahan desa. Pemberlakuan dan perluasan otonomi daerah juga berimbas
pada pengelolaan pemerintahan desa di seluruh daerah, termasuk di Kabupaten
Tanah Datar, Sumatera Barat, yang menggunakan Nagari sebagai model
pemerintahan terendah di daerah tersebut. Sub-bab terakhir dari bab II ini adalah
penjelasan mengenai Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun 2008
tentang Nagari. Dijelaskan pada sub-bab tersebut tentang nagari dan elite lokal
yang masuk struktur nagari berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar
No. 4 Tahun 2008.
14
A. Teori Elite
Teori elite bersandar pada asumsi bahwa setiap masyarakat terbagi dalam 2
kategori yang luas yang meliputi:
1. Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya
menduduki posisi untuk memerintah, dan
2. Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.1
Teori elite politik muncul dari diskusi seru para ilmuwan sosial seperti
Joseph Schumpeter (ekonom), Harold Lasswell (ilmuwan politik) dan C. Wright
Mills (sosiolog). Mereka melacak tulisan dari pemikir Eropa pada masa awal
munculnya Fasisme diantaranya Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (Italia),
Roberto Michels (Jerman) dan Jose Ortega Y. Gasset (Spanyol). Pareto percaya
bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang
mempunyai kualitas-kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada
kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Menurut Pareto, masyarakat terbagi
kepada dua kelas yaitu lapisan atas yaitu elite (elite terbagi dua kepada elite
memerintah dan elite yang tidak memerintah), dan lapisan yang lebih rendah yaitu
non elite.2
Konsekuensi logis munculnya elite dalam masyarakat adalah kondisi
alamiah dari masyarakat itu sendiri yakni heterogenitas sosial dalam masyarakat.
Menurut Pareto, dari segi intelektual, moral dan fisik, individu-individu tersebut
tidak lah sama, sehingga terjadi lah perbedaan-perbedaan dalam masyarakat yang
1 SP Varma, Teori Politik Modern (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 197.
2 SP Varma, Teori Politik Modern, 199-200.
15
dapat dilihat pada perbedaan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya. Dalam
masyarakat terdapatlah kelompok keagamaan, profesi (ikatan profesi), ekonomi
(pengusaha), budaya, politik dan lain-lainnya. dan setiap kelompok selalu terdapat
segelintir orang yang lebih cakap dan berpengaruh dibandingkan yang lainnya.
Mereka lah yang disebut dengan elite yang tampil di depan sebagai pihak
berpengaruh dalam kelompok. 3
Dalam pemerintahan dikenal dua elite yang punya cara berbeda dalam
merebut kekuasaan yaitu the lions (singa) dan the foxes (rubah). The lions (singa)
merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kekerasan fisik. Terutama ketika negara
dalam situasi genting, bahaya atau kritis, the lions berpeluang sangat besar dalam
merebut kekuasaan. Sementara the foxes (rubah) lebih mengandalkan taktik dan
strategy dalam merebut dan mengendalikan kekuasaan. Termasuk dalam the foxes
ini adalah para cerdik cendikia, para pemimpin yang mahir dan lihai serta para
pengusaha atau pebisnis. Mereka lebih berperan ketika negara dalam keadaan
damai. 4
Elite menurut Pareto adalah sebagian kecil anggota masyarakat atau
beberapa orang yang memiliki pengaruh, diikuti dan dipatuhi oleh sebagian besar
lain anggota masyarakat. Mereka diikuti karena kecakapan yang memadai dan
kualitas di atas rata-rata anggota masyarakat kebanyakan.
Gaetano Mosca lebih radikal dalam mengenalkan teori elite dan sirkulasi
elite dalam melihat klasifikasi pemerintahan. Seperti yang dikutip SP Varma,
Mosca menolak dengan gigih klasifikasi pemerintahan ke dalam bentuk-bentuk
3 P. Anthonius Sitepu, Teori-teori Politik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), 82-83.
4 Sitepu, Teori-teori Politik, 83.
16
Monarki, Aristrokasi, dan Demokrasi. Gaetano Mosca menegaskan hanya satu
bentuk pemerintahan yaitu Oligarki, yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh
segelintir atau sekelompok orang. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat yang
telah mencapai peradaban hingga masyarakat yang paling maju dan kuat, selalu
muncul dua kelas dalam masyarakat yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang
diperintah. Kelas pertama jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi
politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang
didapat dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua, jumlahnya lebih besar,
diatur dan dikontrol oleh yang pertama, terwakili dan mensuplai kebutuhan kelas
yang pertama. Menurut Mosca, yang membedakan kelas pertama dengan kelas
kedua adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik.5
Elite berdasarkan pandangan Mosca adalah sekelompok kecil manusia yang
punya kemampuan lebih, punya kecakapan dalam memimpin dan mengontrol
masyarkat. Mereka dapat memerintah dalam artian diikuti oleh sebagian besar
anggota masyarakat lainnya.
Elite menurut Laswell, dikutip Soelaeman Soemadi, merupakan suatu
kelas yang terdiri dari beberapa orang yang berhasil mencapai kedudukan yang
dominan dalam masyarakat. Nilai (values) yang mereka bentuk, diciptakan atau
dihasilkan mendapat penilaian yang tinggi dalam masyarakatnya. Nilai-nilai yang
dimaksud berupa kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan sebagainya.
Lanjut Laswell, orang-orang yang berhasil memiliki paling banyak (nilai-nilai)
disebut elite, orang lain selebih dan selain mereka disebut dengan massa. Elite
5 Sitepu, Teori-teori Politik, 85.
17
memiliki sebagian banyak dari nilai-nilai, karena kecakapan serta sifat-sifat
kepribadian mereka.6
Wright Mills, dikutip Soelaeman, mengatakan elite adalah mereka yang
menduduki posisi komando pada puncak-puncak pranta-pranata utama dalam
masyarakat. Kedudukan institusional mereka yang utama utama tersebut,
menjadikan mereka para elite mengambil keputusan-keputusan yang akibatnya
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Kekuasaan mereka bersumber pada
pranata-pranata sosial. Pranata-pranata sosial merupakan saluran-saluran yang sah
untuk memaksakan keputusan. Dalam kata lain, menurut Mills, elite terdiri dari
orang-orang yang menduduki puncak-puncak pranata sosial yang sekaligus
merupakan pula gagasan dari kekuasaan, kekayaan, gengsi sosial dan sebagainya.7
Beberapa ahli yang membicarakan mengenai elite dari yang penulis
paparkan pada pragraf-pragraf sebelumnya, dapat dilihat kesamaan dalam
penjelasannya. Kesamaan yang cukup jelas tergambar adalah jumlah yang sedikit,
memegang kekuasaan baik yang dibekali dengan alat pemaksa maupun hanya
dengan pengaruh, dan memiliki kecakapan dan kualitas lebih dibanding sebagian
lain dalam masyarakat.
Kesamaan sangat bisa dimaklumi karena keempat tokoh tersebut memang
para ilmuwan politik yang menggunakan pendekatan elite dalam penjelasan
mereka terhadap politik. Terutama Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca
merupakan dua tokoh yang lebih dahulu mengenalkan teori elite dalam disiplin
6 Soelaeman Soemardi, “Cara Pendekatan terhadap Kekuasaan sebagai Gejala
Sosial,” dalam Miriam Budiardjo (editor), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa,
cet. 3, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), 37. 7 Soemardi, Cara Pendekatan terhadap Kekuasaan, 36.
18
ilmu politik. Berada pada masa yang sama, sehingga tak heran penjelasan
keduanya terhadap elite hampir sama. Walaupun duluan Pareto yang menjelaskan
teori elite, baru kemudian Mosca. Tulisan keduanya, menurut SP Varma, dilacak
dan diperkenalkan kembali oleh ilmuwan politik selanjutnya dan diantara pelanjut
keduanya adalah Harold Laswell dan Wright Mills. Laswell berkontribusi pada
nilai, sedangkan Mills pada pranata sosial yang menjadi saluran sah elite tersebut.
B. Teori Kekuasaan
Ada beberapa term atau konsep yang sangat terkait dengan kekuasaan.
Menurut Ramlan Surbakti, konsep kekuasaan berkaitan dengan beberapa konsep
lainnya yaitu: influence (pengaruh), persuasion (persuasi), manipulasi, coercion,
force dan authority (kewenangan). Konsep-konsep tersebut merupakan bagian
dari kekuasaan. Masing-masing konsep punya definisi sendiri, sehingga keenam
konsep tersebut tidak lah sama.8
Berikut definisi masing-masing konsep tersebut menurut Ramlan Surbakti.9
1. Influence (pengaruh) definisinya adalah kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi orang lain untuk mengubah sikap dan perilakunya secara
sukarela.
2. Persuasi merupakan kemampuan meyakinkan orang lain dengan
menggunakan argumentasi untuk melakukan sesuatu.
8 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2010), 71.
9 Ramlan, Memahami Ilmu Politik, 71-72.
19
3. Manipulasi adalah penggunaan pengaruh sementara yang dipengaruhi
tidak menyadari bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan
yang memegang kekuasaan.
4. Coercion adalah peragaan kekuasaan dengan paksaan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan
berperilaku sesuai dengan kehendak pemilik kekuasaan. Contoh dalam hal
ini adalah penangkapan oleh polisi dan penginterogasian oleh militer.
5. Force adalah penggunaan tekanan fisik seperti membatasi kebebasan,
penimbulan rasa sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan biologis
terhadap pihak lain agar melakukan sesuatu.
6. Authority (kewenangan) merupakan konsep salah satu yang paling dekat
dengan konsep kekuasaan. Menurut Damsar yang diambil dari gagasan
Weber tentang kekuasaan, kewenangan merupakan suatu legitimasi atau
hak atas dasar suatu kepercayaan untuk memengaruhi orang lain untuk
melakukan sesuatu. Jadi menurut Damsar juga, kewenangan adalah
bentuk kekuasaan yang sah atau yang memiliki legitimasi.10
Menurut Miriam Budiardjo, kebanyakan ahli politik berbicara mengenai
kekuasaan, bertolak dari perumusan Max Weber. Max Weber, seperti dikutip
Miriam, mengatakan “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu
hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami
10
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Edisi Revisi, cet. 2 (Jakarta: Kencana,
2012), 66.
20
perlawanan, dan apa pun dasar kemammpuan ini”.11
Pemikiran Weber yang
banyak dikenal adalah metodologinya dalam perumusan skema konseptual untuk
mengkaji kekuasaan politik.
Kekuasaan menurut Stephen K. Sanderson berhubungan erat dengan
pengaruh dan kewenangan. Ketiganya, kekuasaan, pengaruh dan kewenangan,
terjalin dalam suatu mekanisme politik. Sanderson merangkai ketiganya dalam
suatu mekanisme politik secara berurutan yaitu dimulai dari pengaruh, lalu
kekuasaan dan akhirnya berwujud kewenangan.12
Weber menawarkan dalam mengkaji kekuasaan, menggunakan 3 tipe ideal
dalam otoritas dan legitimasi yakninya: rasional, tradisional dan karismatik.
Menurut Weber, seperti dikutip Henry J. Schmandt, otoritas rasional atau legal
terletak pada keyakinan dalam aturan-aturan dan hak orang-orang untuk meraih
kekuasaan di bawah aturan-aturan ini untuk membuat keputussan. Jabatan dan
kekuasaan dalam tipe ini dibangun dan dibatasi hukum. Otoritas tradisional
didasarkan pada keyakinan kesucian kuno dan status sahnya penguasa berada di
bawah tradisi tersebut. Sedangkan otoritas karisma bersandar pada pribadi yang
mempunyai kualitas tertentu yang membuatnya berbeda dengan orang awam,
dianggap mempunyai kekuatan dan kualitas supranatural dan atau setidaknya
punya kualitas khusus yang luar biasa.13
11
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. 3 (Jakarta:
Gramedia, 2008), 60. 12
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, 66-67. 13
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
sampai Zaman Modern, terjm. Ahmad Baidlowi dan Imam Baihaqi, cet.3 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 630-631.
21
Pengaruh, menurut Sanderson, memiliki wilayahnya di dalam suatu
masyarakat yang sederhana. Di dalam masyarakat tersebut, seorang pemimpin
yang memiliki pengaruh berinteraksi secara intens atau dengan intensitas yang
cukup. Sehingga dari hasil tatap muka dan interaksi yang cukup tersebut
menghasilkan suatu “kontrol sosial” yang cukup ketat. Prosesnya menurut
Sanderson, adalah proses yang informal. Dan kontrol sosial yang dimaksud oleh
Sanderson merujuk atau identik dengan yang dimaksud pengaruh oleh Sanderson
sendiri. Kontrol sosial yang dimiliki oleh seorang pemimpin tadi, dia akan dengan
leluasa untuk memberikan anjuran, himbauan dan tentu saja dengan harapan dapat
dilaksanakan oleh masyarakat. Lebih lanjutnya Sanderson mengatakan tidak ada
jamininan bahwa saran, imbauan dan keputusan dari pemimpin yang memiliki
pengaruh tersebur akan dilaksanakan secara langsung dan oleh semua masyarakat.
Dikutip Damsar, “...tidak menjamin saran dan nasihat yang diberikannya serta-
merta dilaksanakan...”.14
Jadi, menurut Sanderson, pengaruh adalah proses suatu perilaku, keputusan
dan saran akan diikuti dan ditiru oleh orang lain, dalam hal ini adalah masyarakat.
Pengaruh dalam pengertian Sanderson merupakan suatu kekuatan alamiah, yang
didapat dalam keseharian masyarakat yang dapat menarik perhatian dan minat
masyarakat sehingga mengikuti saran, keputusan dan himbauan dari yang
memiliki pengaruh tersebut. Tentu saja pengaruh berlangsung dan menonjol
dalam masyarakat yang sederhana. Poin penting dalam pengertian pengaruh
14
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, 67.
22
menurut Sanderson adalah masyarakat sederhana, berskala kecil, berstruktur
sederhana dan dengan interaksi tatap muka sebagian besar anggotanya.
Menjadi perhatian penulis adalah konsep masyarakat sederhana yang
dimaksud oleh Sanderson. Karena tidak ada penjelasan yang cukup di dalam
kutipan yang dilakukan oleh Damsar di buku Pengantar Sosiologi Politik. Penulis
berpendapat, berdasarkan pengertian pengaruh oleh Sanderson yang dikutip
Damsar, bahwa masyarakat sederhana tersebut merujuk kepada Desa di Jawa,
Dusun di Palembang atau Nagari di Sumatera Barat. Karena masyarakatnya relatif
tidak berjumlah banyak, dengan struktur pemerintahan yang sederhana dan antar
masyarakat baik secara individu atau kelompok secara sebagian besar dapat
berinteraksi tatap muka yang cukup.
Kekuasaan, menurut Sanderson yang dikutip Damsar, adalah kemampuan
untuk mengendalikan perilaku orang lain atau bahkan memadamkan usaha
menentangnya. Ada dimensi paksaan, kekuatan dan penggunaan kekerasan dalam
kekuasaan. Paksaan, kekuatan dan kekerasan digunakan unuk menjamin
tercapainya keinginan dari pemegang kekuasaan dan meredam perlawanan
terhadapnya. Jadi menurut Damsar, yang menjadi pembeda pengaruh dan
kekuasaan oleh Sanderson adalah dalam menjamin tercapainya keinginan dan
meredam perlawanan terhadapnya. Kalau dalam pengaruh, imbauan, saran,
nasihat dan sejenisnya diikuti dengan sukarela oleh masyarakat tanpa jaminan
akan diikuti serta-merta. Sehingganya dalam kekuasaan sudah naik menjadi
23
adanya jaminan kepatuhan dan peredaman terhadap usaha perlawanan yaitu
dengan penggunaan paksaan, kekuasaan dan kekerasan. 15
Kewenangan (authority), menurut Sanderson adalah transformasi dari
kekuasaan. Transformasi yang dimaksud adalah berkembangnya kekuasaan yang
syarat dengan paksaan dan kekuatan kekerasan menjadi suatu kepatuhan atau
ketundukan yang didasarkan atas komitmen psikologis berdasarkan rasionalitas
dan legalitas tertentu. Kepatuhan dalam ranah kekuasaan dikarenkan pengaruh
dari luar yaitu orang yang memiliki kekuasaan. Bukan dari dalam diri berupa
komitmen dari masyarakat atau anggota yang dikuasai. Kepatuhan dalam ranah
kekuasaan menuntut si pemegang kekuasaan untuk terus bisa dan konsiten dalam
penggunaan kekuataan, paksaan dan kekerasan. Tanpa konsistensi demikian,
kepatuhan akan hilang. Sehingga untuk membuat kepatuhan dan ketundukan
tersebut berlangsung terus menerus dan berasal dari dalam diri anggota atau
masyarakat, dikembangkan lah suatu rasionalitas atau legalitas tertentu yang
menjadi dasar komitmen psikologi semua anggota dan masyarakat.
Penggunaan term atau istilah kekuasaan dan pengaruh tampaknya beberapa
ahli membedakannya dengan alat pemaksa sebagai pembedanya. Kekuasaan
mempunyai suatu alat pemaksa yang dilegitimasi oleh suatu aturan yang sah
dalam masyarakat baik dari aturan tradisi dan budaya maupun aturan legal-formal
oleh pemerintahan yang membawahi mereka. Miriam Budiarjo mengatakan
walaupun para ahli kadang-kadang membedakan pengertian kekuasaan dan
pengaruh, tetapi mereka lebih sering tidak membedakan penggunaan kedua istilah
15
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, 67.
24
tersebut. Mereka lebih sering memakai istilah kekuasaan untuk merujuk pada
kemampuan untuk membuat orang lain melakukan hal seperti yang diinginkan si
pemegang kekuasaan.16
Sehingga penulispun dalam penelitian ini memilih
memakai isitilah kekuasaan terhadap elite lokal di Minangkabau.
Menurut Wahidin yang dikutip Anthonius Sitepu, ada enam sumber
kekuasaan dilihat dari teknis dan formal administratif, yaitu :17
1. Kekuasaan balas jasa (reward power) yaitu kekuasaan yang legitimasinya
bersumber dari sejumlah balas jasa yang sifatnya positif (uang,
perlindungan, perkembangan karier dan sebagainya) yang diberikan
kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah perintah atau
persyaratan lain. Faktor ketundukannya adalah harapan atau keinginan dari
yang dikuasai melakukan sesuatu dari yang punya kekuasaan, agar
memperoleh sesuatu seperti yang dijanjikan.
2. Kekuasaan paksaan (coercive power) berasal dari perkiraan orang bahwa
hukuman (dipecat, ditegur, didenda dan hukuman fisik) akan diterimanya
jika tidak melakukan sesuai perintah pemegang kekuasaan. Kekuasaan
disini menjadi suaut motivasi yang bersifat repressif terhadap kejiwaan
seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melaksanakan
seperti apa yang dikehendaki.
3. Kekuasaan legitimasi (legitimate power) merupakan kekuasaan yang
berkembang atas dasar dan berangkat dari nilai-nilai intern yang
16
Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan,” dalam Miriam
Budiardjo (editor), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, cet. 3, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1991), 21. 17
Sitepu, Teori-teori Politik, 54-55.
25
mengemuka dari dan sering bersifat konvensional bahwa seorang
pimpinan mempunyai hak yang sah untuk mempengaruhi bawahannya.
Legitimasi dalam konteks ini diperoleh atas dasar aturan formal akan
tetapi juga bersumber pada kekuasaan muncul karena kekuatan alamiah
dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukan seseorang
untuk memperoleh legitimasi suatu kekuasaan.
4. Kekuasaan pengendalian atas informasi (control of information power).
Kekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan di
mana orang lain tidak memilikinya. Cara seperti ini dipergunakan dengan
pemberian atau menahan informasi yang dibutuhkan oleh orang lain maka
mau tidak mau harus tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik
informasi. Pemilik informasi dapat mengatur sesuatu yang berkenaan
dengan peredaran informasi, atas legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.
5. Kekuatan panutan (referent power), kekuasaan yang muncul didasarkan
atas pemahaman secara kultural dari orang-orang dengan status sebagai
pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol
dari perilaku mereka. Aspek kultural yang muncul dari pemahaman
religiusitas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik
dan sifat-sifat yang tidak ada pada kebanyakan orang .
6. Kekuatan keahlian (expert power), kekuasaan ini ada dan merupakan hasil
dari tempaan yang lama dan muncul karena sesuatu keahlian dan ilmu
pengetahuan. Kelebihan ini menjadikan seseorang pemimpin dan secara
alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam bidang keahliannya.
26
Kekuasaan menurut Charles F. Andrain yang dan dikutip Damsar, adalah
penggunaan sejumlah aset atau sumber daya yang menjadi sumber kekuasaan
untuk menuntut kepatuhan dari sejumlah orang yang dipengaruhi. Dalam
pelaksanaan kekuasaan, menurut Andrain, ada proses mobilisasi, kordinasi dan
penganggulangan akan penolakan terhadap si pemegang kekuasaan. 18
Sedangkan
sumber daya bagi kekuasaan menurut Charles F. Andrain yang dikutip Anthomius
Sitepu ada 5 tipe yaitunya:19
1. Sumber daya fisik, seperti senjata, senapan, rudal, penjara, teknologi dan
aparat yang menggunakan senjata-senjata itu dan yang sejenis dengan itu.
Dorongan untuk mematuh si pemilik atau pemegang kekuasaan oleh
yang dikuasai adalah untuk menghindari cedera fisik yang dapat
disebabkan oleh pemegang kekuasaan dengan sumber daya fisik ini.
2. Sumber daya ekonomi, seperti kekayaan uang, emas tanah, barang-
barang berharga dan surat-surat berharga, dan juga harta benda,
pendapatan, kontrol atas barang dan jasa. Dorongan untuk mematuhi
pemilik kekuasaan adalah untuk memperoleh kekayaan. Para pemilik
kekuasaan setidaknya secara potensial akan memiliki kekuasaan politik.
Diantara mereka adalah para bankir, industrialis, pengusaha dan tuan-
tuan tanah, mereka punya kekuasaan politik yang potensial. Pengaruh
mereka timbul bisa dengan para pembuat keputusan politik yang dapat
“dibeli” secara langsung dan juga secara tidak langsung dapat
mempengaruhi pemerintah lewat lembaga-lembaga ekonomi seperti
18
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, 72. 19
Charles F. Andrain dalam P. Athonius Sitepu, Teori-teori Politik, 55-56.
27
pasar, bank, perdagangan, dan pelayanan masyarakat lainnya yang
menguasai kehidupan masyarakat.
3. Sumber daya normatif, seperti moralitas, kebenaran, tradisi, religius,
legitimasi dan wewenang. Dorongan untuk mematuhi si pemegang
kekuasaan adalah pengakuan bahwa dia memiliki hak moral untuk
mengatur perilaku. Para pemimpin agama dan pemimpin suku/adat,
ditaati oleh anggota masyarakatnya bukan karena senjata atau kekayaan
yang mereka miliki namun kebenaran yang “diwakili” dan
disebarluaskan oleh pemimpin agama, adat dan tradisi yang dipelihara
dan ditegakkan oleh pemimpin tersebut. Lebih jauh lagi, masyarakat
mentaati kekuasaan dan kewenangan pemerintah bukan karena takut
paksaan fisik atau takut kehilangan pekerjaan, melainkan karena
kesadaran hukum demi ketertiban umum dan tercapainya tujuan
masyarakat bernegara.
4. Sumber daya personal, seperti kharisma pribadi, daya tarik, persahabatan,
kasih sayang, popularitas dan sejenis tersebut. Dorongan untuk mematuhi
atau mengikuti adalah mengidentifikasi diri atau merasa dekat atau
merasa tertarik dengan pemilik kekuasaan dengan sumber daya personal
ini. Pengaruh orang-orang seperti bintang terkenal, pemain sepak bola
hebat, penyanyi terkenal atau pemimpin kharismatik, muncul dari
kekaguman orang-orang yang dipengaruhinya.
5. Sumber daya ahli, seperti informasi, pengetahuan, intelegensia, keahlian
teknis dan sebagainya sejenis dengan itu. Dorongan untuk mematuhi
28
dikarenakan si pemilik kekuasaan seperti ini mempunyai pengetahuan
dan keahlian lebih. Para dokter di daerah pedesaan, para ahli ekonomi,
insinyur dan para ilmuwan lain di daerah perkotaan, cenderung memiliki
pengaruh yang cukup besar karena keahlian tersebut.
Berdasarkan sumber daya-sumber daya kekuasaan tersebut, menurut
Andrain, dapat berkembang menjadi tipe-tipe kekuasaan. Tipe-tipe kekuasaan
tersebut adalah: kekuasaan fisik, kekuasaan ekonomi, kekuasaan personal dan
kekuasaan ahli.20
C. Otonomi Daerah dan Pemerintahan Desa
Otonomi daerah disebutkan dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 1 adalah
kewenangan daerah otonom yang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut Mahfud MD yang dikutip
Iswan Saputra, otonomi daerah berkaitan dengan desentralisasi kekuasaan kepada
daerah oleh pemerintah pusat. Menurut Mahfud, desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus daerah mulai dari kebijakan, perencanaan sampai pada
implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi. Sementara otonomi
adalah wewenang yang dimiliki daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan dan dalam rangka desentralisasi.21
20
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, 73. 21
Iswan Kaputra, “Pemberdayaan Masyarakat Era Otonomi Daerah”, dalam
Bungaran Antonius Simanjuntak, ed., Dampak Otonomi Daerah di Indonesia: Merangkai
29
Otonomi daerah dimulai semenjak bergulirnya reformasi yang ditandai
dengan lengsernya Presiden Suharto dan digantikan oleh B.J. Habibie. Ada
6(enam) agenda reformasi yang menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden Habibie
waktu itu yakninya: penghapusan Dwifungsi ABRI, Amandemen UUD 1945,
pemberantasan korupsi, penegakan hukum, perluasan otonomi daerah, dan
demokratisasi. Dalam waktu relatif cepat 4(empat) agenda reformasi berhasil
dilakukan yaitu penghapusan Dwifungsi ABRI, Amandemen UUD 1945,
perluasan otonomi daerah, dan demokratisasi.22
Menurut A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, dalam pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terdapat 11(sebelas) jenis
kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan kota.
Kewenangan-kewenangan tersebut adalah sebagai berikut:23
1. Pertahanan,
2. Pertanian,
3. Pendidikan dan kebudayaan,
4. Tenaga kerja,
5. Kesehatan,
6. Lingkungan hidup,
7. Pekerjaan umum,
Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2013), 66. 22
Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia (Yogyakarta:
PolGov, 2013), 138-140.
23 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media Group, 2014), 185
30
8. Perhubungan,
9. Perdagangan dan industri,
10. Penanaman modal,
11. Koperasi.
Menuru Ubaedillah dan Rozak, renyerahan 11(sebelas) jenis kewenangan
tersebut kepada daerah otonom kota dan kabupaten dilandasi sejumlah
pertimbangan sebagai berikut:24
1. Semakin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga
masyarakat yang dilayani, menjadi tepat sasaran, merata, berkualitas
dan terjangkau,
2. Membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan
sumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk mengajukan
prakarsa, berkreativitas, dan melakukan inovasi. Oleh karenanya, unsur-
unsur budaya lokal berupa pengetahuan lokal (local knowledge),
keahlian lokal (local genius), kearifan lokal (local wisdom), akan dapat
diberdayagunakan secara maksimal,
3. Menarik sumber daya manusia yang berkualitas di kota-kota besar
untuk berkiprah di daerah-daerah otonom, terutama di kabupaten dan
kota,
4. Terjadi diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk
meminimalisasi atau bahkan menghilangkan masalah kemiskinan dan
24
Ubaedillah dan Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani,
185-186.
31
pengangguran, sebagaimana yang dimaksud dari tujuan awal dari
otonomi daerah.
Menurut Mashuri Maschab, salah satu agenda reformasi yang secara
normatif mengalami kemajuan pesat adalah perluasan otonomi daerah. Dalam
waktu singkat pada tanggal 4 Mei 1999, Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22
Tahun 1999 ditetapkan untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979
yang dikenal sentralistik. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 bersama dengan
Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, menjadi landasan yang kuat bagi penyeleggaraan
otonomi daerah yang luas dan belum pernah terjadi sebelumnya. Perluasan
otonomi daerah tersebut berdampak langsung kepada penyelenggaraan
pemerintahan Desa yang tidak lagi menerapkan Undang-Undang No. 5 Tahun
1979.25
Dalam perkembangan otonomi daerah, pemerintah pusat semakin
memperhatikan pembangunan masyarakat desa melalui otonomi pemerintahan
desa. Oleh karenanya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa
harus mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat, mewujudkan peran aktif
masyarakat untuk turut serta bertanggung jawab, terhadap perkembangan
kehidupan bersama sebagai sesama warga desa.
25
Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia, 140.
32
Menurut Mashuri, terdapat beberapa unsur penting yang sangat berbeda
dengan kebijikan masa Orde Baru. Perbedaan tersebut menurut Mashuri adalah: 26
1. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum
2. Desa diberikan hak atau wewenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat desanya sendiri,
3. Diakuinya hak asal-usul dan adat-istiadat desa masyarakat desa
4. Adanya di daerah kabupaten.
Dalam UU. 22 Tahun 1999, desa dijelaskan sebagai berikut:
“ Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan yang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan
berada di daerah kabupaten.”
Sedangkan dalam UU. 32 Tahun 2004, desa dirumuskan sebagai berikut:
“ Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
Dari segi definisi, tidak ada perubahan makna yang berarti hanya ada
perubahan yang bersifat redaksional. Menurut Mashuri Maschab, selain perbedaan
redaksional dari definisi desa, terdapat beberapa perbedaan yang lebih bersifat
teknis dalam pengaturan Desa dari UU. No 22 Tahun 1999 dengan UU No 32
26
Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia, 140-141.
33
Tahun 2004. Perbedaan-perbedaan tersebut menurut Mashuri adalah sebagai
berikut: 27
1. Desa yang semula hanya ada di daerah kabupaten, kemudian juga bisa ada
di wilayah perkotaan,
2. Badan Perwakilan Desa dirubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa.
Fungsinya tetap sama yaitu membuat peraturan desa bersama-sama dengan
kepala desa dan menjadi penampung dan penyalur aspirasi masyarakat
desa,
3. Desa boleh membuat lembaga yang bisa memberikan keuntungan finansial
atau material yang merupakan badan usaha milik desa,
4. Masa jabatan kepala desa dan badan perwakilan desa yang semula sama-
sama 5(lima) tahun dirubah menjadi 6(enam) tahun.
D. Peraturan Daerah Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari
Diakuinya asal-usul dan adat-istiadat dalam pemerintahan desa pasca
penerapan otonomi daerah, menjadi suatu momentum bagi Sumatera Barat
terutamanya di daerah kabupaten untuk menerapkan kembali pemerintahan Nagari
yang pernah dan lama hidup sebelum penyeragaman pemerintahan Desa pasca
penerapan UU. 5 Tahun 1979. Tidak menggunakan nama “Desa” tetapi
menggunakan nama lain, seperti yang disebutkan dalam UU. 32 Tahun 2004,
yaitunya Nagari. Selain itu juga Nagari kembali mengatur batas-batas geografis
dan demografisnya, yang sangat berbeda ketika mereka menerapkan model Desa
27
Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia, 146-147.
34
saat Orde Baru. Karena desa yang terbentuk ketika Orde Baru adalah Jorong yang
diubah langsung menjadi desa, padahal Jorong adalah bagian dari Nagari yang
tidak punya kekuasaan seperti halnya Nagari. Berdasarkan UU. No. 32 Tahun
2004, peraturan daerah yang mengatur pengelolaan pemerintahan desa yang
disebut dengan Nagari di Kabupaten Tanah Datar adalah Perda Kab. Tanah Datar
No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari. Perda tersebut sebelumnya juga mengacu pada
Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Nagari.
Pembahasan pada sub-bab ini akan menjelaskan tentang nagari secara
umum berdasarkan peraturan daerah kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera
Barat. Pembahasan ini akan menguraikan yang dimaksud dengan nagari dan
perangkat yang ada di dalamnya yang diakui perda berdasarkan tradisi masyarakat
Minangkabau. Terutamanya adalah elite lokal Minangkabau yang menjadi fokus
utama penulis dalam studi ini.
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas
wilayah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus ketentuan masyarakat
setempat berdasarkan filosofi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah dan
atau berdasarkan asal usul adat Minangkabu yang diakui dan dihormati.28
Syarat-
28
Filosofi adat basandi syara’ dan syara’ basandi kitabullah merupakan jati diri dan
identitas kultural Minangkabau, yang menjadi rujukan dalam kehidupan pribadi,
keluarga, suku dan masyarakat Minangkabau. Sesuai dengan filosofi tersebut menjadikan
agama Islam menjadi satu-satunya agama yang dianut oleh masyarakat Minangkabau.
Dalam hal terdapat perbedaan dan pertentangan antara kaidah ajaran Islam dan adat
Minangkabau, maka yang diutamakan adalah kaidah ajaran Islam. Penyesuain antara adat
Minangkabau dan kaidah ajaran Islam dilakukan secara damai, bertahap, dan melalui
jalan musyawarah untuk mufakat. Lihat Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman
Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau (Jakarta: Gria Media Prima, 2015), 46-
48.
35
syarat terbentuk atau pembentukan nagari untuk mencapai kehidupan bernagari
berdasarkan falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah adalah: 29
1. Babalai-bamusajik,
2. Balabuah-batapian,
3. Basawah-baladang,
4. Babanda-babatuan,
5. Batanam nan bapucuak,
6. Mamaliaro nan banyao,
7. Basuku-basako,
8. Niniak mamak nan ampek suku,
9. Baadat-balimbago,
10. Bapandam pakuburan,
11. Bapamedanan,
12. Kantua nagari.
Kewenangan Nagari mencakup beberapa urusan yakninya
a. Urusan pemerintahan:
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Nagari
29
Artinya berturut-turut adalah 1. Mempunyai pasar dan masjid 2. Mempunyai
jalan penghubung dan sungai 3. Mempunyai sawah dan ladang 4. Mempunyai kali atau
sungai yang dibuat kemudian biasa untuk irigasi sawah dan ladang 5. Menanam
tumbuhan untuk konsumis atau sayuran 6. Memelihara hewan ternak 7. Mempunyai suku
dan sako(gelar adat dalam suku) 8. Mempunyai niniak mamak yang tersebar minimal di
empat suku 9. Mempunyai adat dan lembaga 10. Mempunyai tempat pandam perkuburan
(pemakamanan umum nagari) 11. Mempunyai medan 12. Mempunyai kantor nagari
(untuk Wali Nagari, BPRN, KAN dan lembaga unsur nagari lainnya)
36
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten yang
diserahkan pengaturannya kepada Nagari
3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan atau
Pemerintah Kabupaten
4. Urusan Pemerintahan lainnya yang oleh Peraturan Perundang-
undangan diserahkan kepada Nagari
b. Urusan adat
c. Urusan perekonomian
d. Urusan ketentraman dan ketertiban.
Jalannya pemerintahan Nagari dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari dan Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari
berdasarkan asal usul Nagari di Wilayah Propinsi Sumatera Barat yang berada di
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah
Nagari dipimpin oleh Wali Nagari dan dibantu Perangkat Nagari berupa staf
sekretariat nagari yang terdiri dari 5 urusan (pemerintahan, pembangunan,
perekonomian, kesejahteraan rakyat serta umum dan keuangan), unsur jorong dan
unsur pelaksana teknis lapangan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Nagari. Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN) adalah lembaga yang
merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Nagari.
Wali Nagari dan BPRN mempunyai hubungan yang tak terpisahkan dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan Nagari. Wali Nagari memimpin
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
37
bersama BPRN. Peraturan Nagari yang mengatur masyarakat Nagari diajukan,
dibahas dan ditetapkan bersama dengan BPRN. Wali Nagari juga mempunyai
wewenang menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan Nagari mengenai
Anggaran Pokok Belanja Nagari untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPRN.
BPRN beranggotakan wakil dari lembaga unsur masyarakat yang ditetapkan
dengan cara musyawarah dan mufakat pada setiap unsur. Unsur yang dimaksud
adalah para elite lokal Minangkabau yaitu niniak mamak, alim ulama dan cadiak
pandai. Keanggotaan BPRN disempurnakan dengan perwakilan dari unsur Bundo
Kanduang dan unsur Pemuda. BPRN mempunyai 3(tiga) fungsi yaitu menetapkan
Peraturan Nagari bersama Pemerintah Nagari, menetapkan APB Nagari bersama
Pemerintah Nagari dan fungsi pengawasan.
Wewenang BPRN adalah:
a. Membahas rancangan Peraturan Nagari bersama Wali Nagari
b. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Wali Nagari
c. Membentuk panitia pemilihan Wali Nagari
d. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan
aspirasi masyarakat,
e. Melaksanakan pengawasan terhadap:
1. Pelaksanaan Peraturan Nagari dan Peraturan Wali Nagari
2. Pelaksanaan APB Nagari
3. Kebijakan Pemerintahan Nagari
4. Pelaksanaan kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah Nagari
38
5. Pengelolaan aset Nagari
Sedangkan hak BPRN adalah sebagai berikut:
a. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban dan keterangan lainnya
kepada Pemerintah Nagari
b. Mengadakan penyelidikan
c. Mengadakan perubahan atas rancangan Peraturan Nagari
d. Menyatakan pendapat
e. Mengajukan rancangan Peraturan Nagari
f. Menetapkan peratura tata tertib BPRN
Selain Wali Nagari dan BPRN, terdapat Kerapatan Adat Nagari sebagai
mitra dalam pemerintahan nagari dengan hubungan bersifat konsultatif. KAN
merupakan lembaga kerapatan niniak mamak pemangku adat yang telah ada dan
diwarisi secara turun temurun sepanjang adat yang berlaku di masing-masing
Nagari dan merupakan lembaga tertinggi dalam penyelenggaraan adat di Nagari.
KAN mempunyai tugas utama mengurus, membina dan menyelesaikan hal-hal
yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan sako, pusako dan syara’.
Terhadap Pemerintah Nagari dan BPRN, KAN bertugas memberikan
pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Nagari dan BPRN dalam
melestarikan nilai-nilai adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah di Nagari.
Jadi memang wilayah KAN adalah dalam urusan adat yang mereka diberi kuasa
penuh dalam mengurusnya. Mengurus dalam artian, melakukan pembinaan
39
kepada anak atau masyarakat nagari dan juga menyelesaikan masalah seputar
adat.
Elite lokal Minangkabau yang menjadi bagian dari judul studi dari skripsi
ini adalah poros kepemimpinan dari niniak mamak, alim ulama dan cadiak
pandai. Mereka memimpin masyarakat Minangkabau dalam teritorial masing-
masing yaitu di nagari. Masyarakat Minangkabau dalam budaya mereka menyebut
poros kepemimpinan tersebut dengan ungkapan “tungku tigo sajarangan”.
Maksud dari ungkapan tersebut adalah tiga unsur yang secara bersama dan saling
terkait untuk memimpin dan menyelesaikan setiap persoalan masyarakat nagari di
Minangkabau. Mereka disebut elite lokal Minangkabau oleh beberapa ahli atau
peneliti mengenai Minangkabau dan masyarakatnya karena mereka lah yang
diamanahkan oleh adat Minangkabau dan diakui serta dipraktekkan secara turun
temurun oleh masyarakat Minangkabau.
Nagari seperti yang telah diulas merupakan kesatuan masyarakat adat secara
turun temurun yang diakui oleh pemerintah. Nagari di Minangkabau merupakan
unit otonom antar satu nagari dengan nagari lainnya. Secara adat, dalam
masyarakat nagari berlaku adat salingka nagari.30
Secara pemerintahan nagari
30
Adat salingka nagari merupakan istilah dalam adat Minangkabau yang merujuk
pada adat nan teradat dan adat istiadat. Dalam adat Minangkabau terdapat 4 pemabagian
adat yakni: 1. Adat nan sabana adat, 2. Adat nan diadatkan, 3. Adat nan teradat, 4. Adat
istiadat. Adat nan sabana adat berisi ketentuan syara’ atau agama berdasarkan quran dan
hadis, serta ketentuan sunnatulah atau hukum alam. Adat nan diadatkan merupakan adat
Minangkabau yang diyakini peninggalan dari Datuak Parpatih Nan Sabatang dan Datuak
Katumanggungan, berisikan niai-nilai dasar adat yang menjadi pegangan dan tak pernah
bergeser dari dahulu hingga sekarang. Sedangkan adat nan teradat berisi hukum dan
ketentuan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama niniak mamak dalam nagari.
Adat isiadat merupakan kebiasaan yang ada dalam setiap nagari. Jadi, adat nan sabana
adat dan adat nan diadatkan berlaku universal bagi setiap masyarakat Minangkabau.
Lalu adat nan teradat dan adat isitiadat berlaku hanya di nagari masing-masing. Lihat
40
langsung bertanggung jawab kepada pemerintah kabupaten dengan bantuan
kordinasi dengan masing-masing kecamatan. Kepemimpinan di setiap nagari,
bertumpu pada poros kepemimpinan tungku tigo sajarangan. Suatu poros
kepemimpinan yang terdiri dari tiga unsur yakninya unsur adat oleh niniak
mamak, unsur agama atau rohani oleh alim ulama dan unsur pendidikan atau hal
umum lainnya oleh cadiak pandai.
Penggunaan teori elite digunakan dalam peneletian ini untuk melihat
bagaimana niniak, mamak alim ulama dan cadiak pandai, penulis menyebutnya
elite lokal Minangkabau, yang ada di nagari menjadi elite bagi masyarakat dalam
nagari. Teori elite mengatakan bahwa ada sedikit orang atau beberapa orang yang
memimpin dan mempunyai kekuasaan atas sebagian banyak orang dalam suatu
wilayah pranata sosial, dan mereka memiliki kecakapan dalam memimpin serta
mempunyai kualitas lebih dibandingkan sebagian besar atau banyak anggota
masyarakat lainnya. Dalam studi ini penulis akan menggunakan teori elite tersebut
untuk melihat terutama sebab mereka menjadi elite dan kualitas apa yang mereka
miliki sehingga niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai tersebut menjadi
elite bagi masyarakat di wilayah pranata sosial mereka yaitu nagari.
Asumsi penulis adalah niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai adalah
pemimpin bagi masyarakat Minangkabau di nagari-nagari. Mereka diamanahkan
oleh adat dan tradisi untuk menjadi elite bagi masyarakat nagari. Kualitas mereka
tentu lebih dari masyarakat umumnya yang mereka pimpin, sehingga jabatan atau
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Pedoman
Hidup Banagari (Sako Batuah: Padang, 2002), 11-16. Dan juga di AA Navis, Alam
Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Grafiti Pers,
1986), 86-88.
41
gelar mereka yang diberikan masyarakat nagari secara adat berfungsi dengan baik
dan berdampak baik terhadap kehidupan bernagari. Penulis akan memakai teori
elite dalam studi ini terutama unsur kedudukan yang dominan atau mendapat
penilaian tinggi oleh masyarakat, seperti disebut Lasswell, dan kualitas yang
mereka miliki sehingga benar dapat atau layak menjadi elite bagi masyarakat
nagari.
Teori kekuasaan digunakan untuk melihat bagaimana para elite lokal
Minangkabau tersebut menggunakan kekuasaan yang diberikan oleh adat secara
tradisi terutama setelah keberadaan dan kekuasaan mereka tersebut diakui dan
diakomodir oleh pemerintah melalui peraturan daerah. Peraturan daerah yang
dalam studi ini adalah Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun
2008 tentang Nagari. Asumsi penulis bahwa ketika wacana “baliak ka nagari”
atau kembali ke nagari mengemuka semenjak diberlakukannya otonomi daerah
(elite lokal tersebut pada masa orde baru terpinggirkan), mulai mendapat tempat
lagi dan mendapatkan kekuasannya. Terlebih peraturan daerah yang mengatur
sudah merinci dengan baik peran mereka dalam pemerintahan nagari.
Kekuasaan para niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai yang sudah
lama menjadi tradisi, kemudian diakui dan diakomodir oleh pemerintah lewat
perda kabupaten. Kekuasaan mereka seharusnya sudah berjalan dengan baik
dalam artian mereka benar-benar menjadi pemimpin dan berpengaruh bagi dan
dalam tataran masyarakat nagari. Teori kekuasaan digunakan untuk melihat
penggunaan kekuasaan elite lokal Minangkabau tersebut dalam memimpin
masyarakat nagari, meliputi apakah mereka benar berkuasa dan berpengaruh,
42
apakah digunakan atau tidak kekuasaan tersebut dan bagaimana mereka
menggunakannya.
43
BAB III
PROFIL ADAT MINANGKABAU (NAGARI DAN ELITE LOKAL) DAN
PROFIL NAGARI SIMABUR
Bab III (tiga) ini akan menjelaskan mengenai profil adat Minangkabau yang
berbicara tentang nagari dan elite lokalnya yakni niniak mamak, alim ulama dan
cadiak pandai. Juga menjelaskan profil dari Nagari Simabur yang merupakan
tempat penelitian mengenai elite lokal Minangkabau ini dilakukan.
A. Nagari
Dalam susunan perundang-undangan tambo alam Minangkabau, nagari
merupakan susunan masyarakat yang sudah sangat lengkap perangkat
pemerintahannya dan bersifat otonom, dalam artian tiap nagari punya kemandirian
dalam mengelola nagarinya masing-masing.1 Kelengkapan atau perangkat yang
dimaksud adalah: babalai-bamusajik, basuku-banagari, bakorong-bakampuang,
bahuma-babendang, balabuah-batapian, basawah baladang, bahalaaman-
bapamedanan, dan bapandam-bapusaro, (berbalai-bermasjid, bersuku-bernagari,
berkorong-berkampung, berhuma-berbendang, berlabuh-bertapian, bersawah-
berladang, berhalaman-berpemedanan, dan berpendam-berpusara).2
1 Tambo berasal dari bahasa Sanskerta, tambay atau tambe yang artinya bermula.
Tambo merupakan salah satu warisan penting kebudayaan Minangkabau yang diceritakan
secara lisan oleh tukang kaba. Terdapat 2 tambo yaitu tambo alam yang mengisahkan
asal-usul nenek moyang serta kerajaan Minangkabau, dan tambo adat yang mengisahkan
adat atau sistem dan aturan pemerintahan Minangkabau pada masa lalu. Karena
diwariskan secara lisan, tidak ada isi atau kisah tambo yang sama persis dengan tambo
lainnya. Lihat A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau (Jakarta: Grafiti Pers, 1986), 45. 2 Menurut A.A Navis urutan syarat kelengkapan Nagari tersebut dalam beberapa
buku Tambo berbeda, namun yang sama ialah letak syarat “babalai-bamusajik” (berbalai-
bermasjid) berada pada urutan pertama. Lihat pada A.A Navis, Alam Takambang Jadi
Guru, 91-92.
44
Berikut penjelasan mengenai perangkat dari nagari yang disebutkan pada
pragraf sebelumnya menurut A.A Navis
1. Babalai bamusajik maksudnya adalah mempunyai balai atau tempat
pertemuan untuk menjalankan roda pemerintahan nagari, dan biasanya
juga merangkap kantor kepala/wali nagari. Juga terdapat masjid yang
menjadi pusat peribadatan masyarakat Nagari;
2. Basuku banagari maksudnya adalah penduduk terbagi pada kelompok
masyarakat yang dinamakan suku yang diturunkan melalui garis ibu
(matrilineal). Setiap nagari minimal mempunyai empat suku dengan
masing-masing suku mempunyai penghulu atau niniak mamak pucuk.
Lazim setiap suku dan kaum dalam persukuan mempunyai hal yang
diwariskan secara turun temurun yang disebut dengan pusako-sako
(benda-non benda) Sedangkan banagari maksudnya juga masing
penduduk harus jelas suku dan asal nagari mereka semula, untuk
menentukan hak dan kewajiban mereka;
3. Bakorong bakampuang maksudnya setiap nagari mempunyai wilayah
kediaman, ada yang berada di lingkaran pusat dengan batas-batas berupa
alam seperti sungai atau dibentuk sendiri oleh masyarakat, dan ada juga
di wilayah satelit yaitu wilayah di luar lingkaran pusat. Wilayah di
lingkarang pusat disebut dengan korong atau jorong. Sedangkan di
wilayah luar lingkaran pusat disebut dengan koto, dusun atau taratak,
yang semuanya disebut kampuang;
45
4. Bahuma babendang maksudnya adalah pengaturan informasi yang
datang dari luar terhadap harta benda dan juga pengaturan informasi
mengenai berbagai hal yang perlu diketahui bersama seperti musim turun
sawah, gotong royong, situasi dan kondisi yang perlu dilaksanakan secara
bersama-sama;
5. Balabuah batapian maksudnya adalah pengaturan perhubungan, lalu
lintas dan perdagangan. Juga tapian yang merupakan sungai yang
berfungsi sebagai tempat mandi;
6. Basawah baladang maksudnya adalah pengaturan sistem usaha pertanian
serta harta benda yang menjadi sumber kehidupan dan hukum
pewarisannya;
7. Bahalaman bapamedanan maksudnya adalah pengaturan rukun tetangga,
pesta keramaian dan permainan;
8. Bapandam bapusaro maksudnya adalah pengaturan masalah kematian
beserta upacaranya. 3
Perda Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 Tentang Nagari juga
mensyaratkan hal yang sama pada pasal 3 Bab 2 mengenai pembentukan Nagari.
Hanya dengan beberapa penambahan seperti mananam nan bapucuak (menanam
tumbuhan/tanaman), mamaliaro nan banyao (memelihara yang bernyawa) yang
maksudnya memelihara hewan ternak. Sedangkan penambahan lain di dalam
perda babanda babatuan (bersungai-berbatuan), niniak mamak nan ampek suku
(niniak mamak dari empat suku), baadat balimbago (beradat-berlembaga), dan
3 A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru, 92-94.
46
kantua nagari (kantor nagari) telah termasuk juga dalam delapan perangkat yang
disebutkan A.A Navis yang diambilnya dari beberapa buku tambo alam
Minangkabau.
Proses terbentuknya nagari dimulai dari taratak, kampuang/dusun,
jorong/koto lalu nagari. Sehingganya menyebut nagari dalam adat Minangkabau
sebenarnnya adalah menyebut suatu pemerintahan tertinggi bagi masyarakatnya.
Karena selain proses terbentuknya nagari tadi, adat Minangkabau tidak menyebut
suatu pemerintahan atau tatanan masyarakatnya yang lebih tinggi lagi setelah
nagari4. Setelah kemerdekaan Indonesia, Minangkabau yang masuk pada provinsi
Sumatera Tengah lalu menjadi Sumatera Barat dan terintegrasi ke dalam sistem
politik dan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nagari pada masa
orde lama diakui dan menjadi pemerintahan terendah di bawah kecamatan. Pada
masa Orde Baru lewat penyeragaman dengan UU No.5/1979, nagari menjadi
terpecah-pecah, jorong-jorong yang menjadi bagian dari nagari menjadi desa-
desa, pemerintahan nagari tidak lagi bisa diberlakukan. Reformasi lewat otonomi
daerah nagari kembali dihidupkan dan menjadi bagian dari pemerintahan di
Sumatera Barat. Luhak Nan Tigo yang dalam pemerintahan disebut Kabupaten
Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota, semuanya mempraktekkan
pemerintahan Nagari sebagai bagian langsung dari pemerintahan kabupaten
dengan kecamatan sebagai kordinator beberapa nagari. Pemerintahan nagari
bertanggung jawab langsung kepada pemerintahan kabupaten dengan dibantu
4 A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru, 94.
47
kecamatan sebagai perpanjangan tangan kabupaten dalam urusan teknis
pemerintahan atau birokrasi.
B. Elite Lokal Minangkabau: Tungku Tigo Sajarangan
Tungku Tigo Sajarangan yang terdiri dari niniak mamak, alim ulama dan
cadiak pandai merupakan salah satu sendi pokok kehidupan masyarakat
Minangkabau. Kepemimpinan dari tiga poros atau tiga unsur tersebut
mencerminkan sifat kekeluargaan, tolong menolong, gotong royong, bukan hanya
karena ikatan darah dan perkawinan, tetapi juga bersifat teritorial.5
Terbentuknya kepemimpinan tungku tigo sajarangan di dalam masyarakat
Minangkabau tentu bukan tanpa proses atau sudah terbentuk dari awal adat
Minangkabau. Kepemimpinan masyarakat Minangkabau semula hanya pada
bidang dan permasalahan adat saja yang dipimpin oleh niniak mamak. Masuknya
agama Islam ke dalam masyarakat Minangkabau menjadikan timbulnya unsur
pemimpin agama dikarenakan agama telah turut menentukan kehidupan
masyarakat. Maka selain kepemimpinan niniak mamak sebagai pemangku adat,
ikut sertalah alim ulama yang bersama-sama memimpin kesatuan-kesatuan sosial
masyarakat dalam adat. Lebih jauh lagi setelah itu, kemajuan-kemajuan yang
dicapai melalui sistem pendidikan dan perekonomian memunculkan pula unsur
kepemimpinan baru yang dinamai dengan cadiak pandai. Karena pendapat dan
5 Herman Sihombing, “Hukum Adat Minangkabau mengenai Tungku Tiga
Sejerangan dan Tali Tiga Sepilin: Hukum Adat Minangkabau Dewasa Ini dan di
Kemudian Hari,” dalam A.A Navis, ed., Dialektika Minangkabau (Padang: Genta
Singgalang Press, 1983), 39.
48
perkataannya juga menentukan dalam kehidupan masyarakat, para cadiak pandai
diikutsertakan pula dalam kepemimpinan masyarakat adat. 6
Dari uraian singkat proses terbentuknya tungku tigo sajarangan di atas,
dapat disimpulkan bahwa adat selalu terbuka dan membuka diri terhadap hal-hal
baru yang dirasakan ikut menentukan dalam kehidupan masyarakat. Dalam adat,
jika ada masalah baru maka akan memerlukan pemecahan dalam artian akan
dibawa ke dalam musyawarah untuk mengambil kata mufakat tentang bagaimana
seharusnya permasalahan tersebut didudukkan atau diletakkan dalam kehidupan
adat masyarakat. Hakikat dari kepemimpinan tungku tigo sajarangan adalah
selalu bisa menampung hal-hal yang paling baru dan modern, jika hal tersebut
bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut dibenarkan dalam
ungkapan adat “cupak usali, cupak buatan, kato dahulu ditepati, kata kudian kato
dicari.” Artinya jika ada hal-hal baru, maka akan dibicarakan dalam musyawarah,
ditimbang baik buruknya, dilihat prakteknya dalam kehidupan bermasyarakat
akhirnya dapat dicari hukum dan ketentuannya.7
Dinamakan dengan tungku karena di sana lah tempat untuk mengolah atau
memasak hal-hal yang masih mentah baik berupa hal lahir dan hal batin, fisik dan
rohaniah untuk kedamaian dan kesejahteraan masyarakat. Mereka lah (niniak
mamak, alim ulama, dan cadiak pandai) tempat untuk membicarakan,
memusyawarahkan dan memufakati apa yang patut bagi masyarakat untuk
dijadikan jasmani sekaligus rohani. Tungku tersebut tidaklah berdiri sendiri. Hal
6 Herman Sihombing, “Hukum Adat Minangkabau mengenai Tungku Tiga
Sejerangan,” 43. 7 Herman Sihombing, “Hukum Adat Minangkabau mengenai Tungku Tiga
Sejerangan,” 43-44.
49
adat, rohaniah/agama, dan kemajuan adalah satu dan menyatu dalam kebutuhan
masyarakat. Eksistensi satu sama lain dari tungku tigo sajarangan itu saling
ditentukan satu sama lain. Salah satunya tidak lebih tinggi dari yang lain. Antar
poros atau tungku tidak lah boleh dipertentangkan atau dibedakan. Ketiganya
sama-sama berfungsi dalam satu urusan, mana yang lebih menonjol akan
tergantung kepada hal apa dari peristiwa atau hal apa yang diatur atau dihadapi
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.8
Menurut Herman Sihombing perkembangan adat tungku tigo sajarangan
dan tali tigo sapilin dalam masyarakat Minangkabau akan terus hidup dan
terpakai sepanjang zaman. Karena secara potensial dapat menampung segala
perubahan nilai-nilai dalam masyarakat. Syaratnya tetap terkait dengan tujuannya
yakni kedamaian, aman dan sejahtera bersama menurut ajaran adat asli.9
Jumlah niniak mamak dalam satu nagari adalah sesuai dengan jumlah kaum
dalam suku yang menempati nagari tersebut. Satu nagari minimal didiami oleh
empat suku, dan suku terdiri dari beberapa kaum. Oleh karenanya dalam satu
nagari terdapat belasan niniak mamak bahkan puluhan. Di antara belasan atau
puluhan niniak mamak yang ada ditunjuk lah satu pemimpin yang dinamakan
dengan niniak mamak pucuak. Sedangkan untuk alim ulama dan cadiak pandai
tidak ada jumlah yang terukur berdasarkan jumlah suku atau kaum dalam nagari.
Mereka lebih ditentukan karena kualitas dan kriterianya, tetapi biasanya minimal
dalam satu suku dan atau satu jorong terdapat satu alim ulama dan cadiak
8 Herman Sihombing, “Hukum Adat Minangkabau mengenai Tungku Tiga
Sejerangan,” 53-54. 9 Herman Sihombing, “Hukum Adat Minangkabau mengenai Tungku Tiga
Sejerangan,”, 54-55.
50
pandainya. Ketika perda kab. Tanah datar diberlakukan, semua niniak mamak
tercatat sebagai anggota KAN (Kerapatan Adat Nagari) sedangkan para alim
ulama dan cadiak pandai menempati lembaga unsur di bawah perlindungan KAN
dengan keanggotaan masing-masing 5 (lima) orang. Sedangkan dalam pengisian
BPRN (Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari), anggota BPRN minimal 7 dan
maksimal 11, jumlah dari niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai relatif
berimbang dan dilengkapi perwakilan dari pemuda dan bundo kanduang.
1. Niniak Mamak
Niniak mamak adalah pemimpin dalam ranah adat. Konsepsi niniak
mamak dalam adat adalah “nan gadang basa batuah, ka pai tampek batanyo, ka
pulang tampek babarito, bapucuak sabana bulek, basandi sabana padek,
bapucuak bulek, baurek tunggang”. Maksudnya adalah menunjukan posisi niniak
mamak yang menjadi tempat bertanya dan memberikan berita dari para
kemenakannya ketika hendak bepergian dan ketika sudah pulang lagi. Juga
menjelaskan niniak mamak sebagai orang yang tegas dan jelas pendiriannya, tidak
membingungkan para kemenakannya.
Prinsip kepemimpinannya adalah “bapantang kusuik indak salasai,
bapantang karuah indak janiah.” Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonseia
menjadi “pantang kusut tidak selesai, pantang keruh tidak terjernihkan”.
Maksudnya adalah setiap persoalan dalam kaum, suku dan nagari dapat dicarikan
solusi dan pemecahannya melalu musyawarah dan mufakat. Penyelesaiannya pun
51
dilakukan secara cermat dan tepat agar tak seorang pun merasa dirugikan atau
merasa dikalahkan.10
Hakikatnya niniak mamak berdiri di pintu adat. Prosedur dalam
melaksanakan kepemimpinannya adalah
“biriak-biriak tabang ka samak, dari samak tabang ka halaman, patah
sayok tabang baranti, tibo di tanah batu. dari niniak turun ka mamak,
dari mamak turun ka kamanakan, patah tumbuah hilang baganti,
pusako lamo baitu juo, kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo
ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana,
nan bana badiri sandirinyo”
“biriak-biriak terbang ke hutan, dari hutan terbang ke halaman, patah
sayap terbang berhenti, tiba di tanah batu. Dari niniak turun ka
mamak, dari mamak turun ke kemenakan, patah tumbuh hilang
berganti, pusaka lama begitu juga, kemenakan ber-raja ke mamak,
mamak ber-raja ke penghulu, penghulu ber-raja ke mufakat, mufakat
ber-raja ke yang benar, yang benar berdiri dengan sendirinya.”11
Kewajiban seorang ninak mamak atau penghulu adalah sebagai berikut:12
1. Manuruik alua nan luruih. Alua atau alur artinya kendali atau arahan-
arahan menurut adat. Alua dibagi dua yaitu alua adat dan alua pusako.
Alua adat adalah sesuatu yang dapat dimufakati. Misalnya dihimbau
manyauik (dihimabu menyahut) , diundang dihadiri. Alua pusako adalah
sesuatu yang tidak dapat dimufakati misalnya alua si anak, alua
10
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah:
Pedoman Hidup Banagari, (Sako Batuah: Padang, 2002), 95. 11
Pepatah tersebut merujuk pada dua hal. Pertama menunjukan penurunan pusako
(harta kaum dalam suku) dan sako (gelar adat) yang terjadi turun temurun secara garis
matrilineal dari mamak ke kemenakan. Kedua semacam hierarki kepemimpinan dari
kemenakan dipimpin atau mematuhi mamak, mamak mematuhi penghulu, penghulu
mematuhi kata mufakat hasil musyawarah, lalu mufakat mematuhi „nan bana‟ merujuk
pada hal yang benar dari sananya (alquran dan hadits) dan juga kebenaran yang universal.
dalam LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, 95-96. 12
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, 101-102.
52
balimbiang atau kata panggilan untuak aluran bapak dan ibu. Walaupun si
anak lebih tua umurnya dari bapak atau ibu, namun karena ia adalah
saudara bapaknya atau suami dari ibu kecilnya. Hal ini tidak bisa
dimufakati untuk merubah panggilan aluran bapak dan ibu
2. Manampuah jalan nan pasa. Manampuah jalan nan pasa dibagi atas jalan
dunia dan jalan akhirat. Jalan dunia yaitu nan baradat, balimbago, nan
bacupak nan bagantang. Maksudnya adalah ada aturan atau ukuran yang
telah disepakati secara umum. Jalan akhirat adalah jalan yang ditentukan
agama Islam dengan dalil, hadis dan iman serta ketaatan.
3. Mempunyai tangan harato pusako (harta pusaka). Maksudnya seorang
penghulu selain mempunyai fungsi memimpin anak kemenakan juga
bertugas untuk menyelamatkan harta pusaka sampai kepada korong
kampuang, koto dan nagari.
4. Mamaliharo anak kemenakan yaitu dengan cara mengayomi dan
membimbing anggota kaum.
Kewajiban niniak mamak terhadap anak kemenakan adalah sering menemui
bahkan mengadakan pertemuan dengan seluruh kemenakan baik yang laki-laki
maupun perempuan serta urang sumando untuk memperkuat silaturahmi dan
persatuan keluarga serta kaum. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut diajak lah
anak dan kemenakan serta sumando untuk mengaji adat, agama dan undang-
undang atau hukum negara. Hal itu dilakukan agar anggota kaum yang dipimpin
seorang niniak mamak mempunyai akhlak moral yang tinggi tercegah dari
pelanggaran terhadap norma adat dan agama serta hukum negara yang berlaku.
53
Pertemuan juga ditujukan dalam beberapa kesempatan untuk membimbing
kemenakan membuat ranji dan memperbaruinya.13
Menginventarisir seluruh
anggota kaum, baik alamatnya, pendidikannya, dan pekerjaannya serta
menentukan letak dan batas tanah pusako. Mengadakan pertemuan juga untuk
mendorong perbaikan dan pengembangan ekonomi. Cukup penting juga untuk
membangun serta melestarikan bangunan rumah adat. Jadi kewajiban niniak
mamak cukup kompleks dan komperehensif meliputi pengetahuan/pendidikan,
akhlak dan moral, ekonomi dan pelestarian adat secara fisik maupun non-fisik.14
Kewajiban niniak mamak lainnya adalah di dalam jorong atau korong
sesama penghulu sepesukuan. Kewajibannya yaitu menanamkan rasa persatuan
sesama penghulu dalam sepesukuan dan mengadakan rapat sesama penghulu suku
untuk memperkuat persatuan.15
Kewajiban yang tak kalah penting seorang penghulu ialah kewajibannya
terhadap nagari. Kewajiban penghulu terhadap nagari adalah sebagai berikut:16
1. Menghadiri setiap sidang adat atau sidang serta rapat pertemuan yang
diadakan oleh pemerintah,
2. Ikut mensukseskan pembangunan nagari dalam berbagai bidang,
13
Ranji merupakan silsilah anggota keluarga dalam adat Minangkabau. Suatu
keluarga dibawah kaum yang disebut paruik perlu membuat ranji agar mengetahui
kedudukan mereka dikeluarga siapa yang lebih tinggi alurnya. Bisa jadi seseorang paman
lebih muda dari pada kemenakannya. Lewat penggunaan ranji bisa diketahui bahwa
walaupun lebih muda, dia merupakan paman dari kemenakan tersebut dan lebih berhak
menjadi seseorang niniak mamak atau mendapat gelar datuak jikalau terjadi pewarisan
sako atau gelar adat di kaumnya. 14
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, 102-103. 15
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, 103. 16
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, 103-104.
54
3. Memusyawarahkan kemajuan anak kemenakan di bidang pendidikan dan
kebudayaan, olahraga serta kesenian,
4. Memusyarahkan bagaimana agar adat istiadat dapat diajarkan kepada anak
nagari,
5. Menanamkan rasa hormat menghormati atau mulia memuliakan antara
sesama niniak mamak di dalam nagari,
6. Menyelesaikan setiap sengketa baik sako maupun pusako yang diajukan
ke Kerapatan Adat Nagari dengan ikhlas dan dengan jalan musyawarah
dengan anggota KAN.
2. Alim Ulama
Alim ulama adalah fungsional agama dalam masyarakat. Konsepsi
kepemimpinan alim ulama adalah “suluah bendang dalam nagari”(obor
benderang dalam nagari). Prinsip kepemimpinannya adalah tahu sah dan batal,
tahu halal dan haram, melaksanakan yang diperintah dan menghentikan semua
larangan Allah dan Rasul. Prosedur kepemimpinananya, mengaji sepanjang kitab,
kitab datang dari Allah, sunnah datang dari Rasul, satitiak bapantang hilang
sabarih bapantang lupo (sedikit pantang hilang, sebaris pantang lupa).17
Alim ulama mengaji hukum-hukum agama tentang sah dan batal, halal-
haram, dan mengerti tentang nahu dan sharaf. Alim ulama membimbing rohani
masyarakat nagari kepada jalan yang sesuai Islam. Seseorang alim ulama
mempunyai syarat atau kriteria: memiliki sikap wara’ atau hati-hati dan penuh
17
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, 96.
55
perhitungan dalam bertindak, taat beribadah, rajin ke surau atau masjid, dan
mampu membimbing anggota masyarakatnya untuk beribadah.18
3. Cadiak Pandai
Cadiak Pandai adalah fungsional masyarakat di bidang ilmu pengetahuan
secara luas. Dalam kehidupan sehari-hari, cadiak pandai adalah orang yang
menguasai ilmu, baik ilmu adat, ilmu agama maupun ilmu pengetahuan. Prinsip
kepemimpinannya adalah “urang cadiak cando kio, capek kaki ringan tangan,
capek kaki indak panaruang, ringan tangan indak pamacah, tahu diereang jo
gendeng, tahu dikieh kato sampai, urang arif-bijaksana”. Artinya adalah orang
cadiak pandai adalah orang yang cepat tanggap akan segala hal yang terjadi di
nagari terutama akan adanya hal-hal baru yang masuk ke dalam nagari baik
berupa fisik atau teknologi atau berupa informasi dan budaya. Kecepat tanggapan
atau kesiap siagaan cadiak pandai tidaklah dilakukan dengan gegabah menabrak
adat dan budaya yang ada sehingga menimbulkan kegaduhan. Sebaliknya mereka
lakukan dengan sigap dengan perencanaan yang baik lalu menjelaskan kepada
masyarakat dan niniak mamak serta alim ulama duduk persoalannya.19
Mereka adalah orang yang arif bijaksana dan selalu memusyawarahkan
suatu persoalan dengan niniak mamak dan alim ulama. Prosedur
kepemimpinannya adalah “mangaji jo ulemu, mahukum jo undang-undang.”
Artinya adalah mengkaji dan memahami dengan menggunakan ilmu pengetahuan.
Lalu menghukum atau menilai sesuatu lewat aturan undang-undang yang berlaku.
18
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, 108. 19
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, 96.
56
Istilah cadiak pandai merujuk pada dua hal yang tercermin dari istilah itu
sendiri. Cadiak artinya adalah orang yang pintar dalam menyelesaikan masalah,
panjang akalnya, otaknya dapat mencari jalan keluar dari kebuntuan suatu
masalah. Pandai adalah orang yang berilmu karena rajinnya dia belajar dan
menuntut ilmu.20
C. Nagari Simabur
1. Profil Nagari
Secara geografis Nagari Simabur merupakan salah satu dari 6 Nagari yang
berada dalam wilayah Kecamatan Pariangan yang letaknya cukup strategis yang
dilintasi oleh jalan propinsi dan negara. Kondisi alamnya berhawa sejuk dan
didominasi oleh hamparan sawah dan cukup dekat dengan kaki Gunung Marapi.21
Nagari Simabur memiliki luas wilayah 975 Ha yang berada pada ketinggian
915 M di atas permukaan laut dengan kelembaban suhu 27-37 derajat celcius.
Curah hujan rata-rata 1.600-1.800 mm/Th. Dengan kondisi alam seperti itu,
Nagari Simabur memiliki lahan pertanian yang subur. 22
Nagari Simabur terdiri dari 3 (tiga) Jorong, yaitu:
1. Jorong Simabur,
2. Jorong Tanjung Limau,
3. Jorong Koto Tuo.
20
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, 109. 21
Ekspose Wali Nagari Simabur Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar:
Dalam Rangka Penilaian Kompetensi Wali Nagari Tingkat Kabupaten Tanah Datar 2013
(Simabur: Pemerintah Nagari Simabur, 2013), 1-2. 22
Ekspose Wali Nagari Simabur Kecamatan Pariangan, 2.
57
Jumlah penduduk Nagari Simabur adalah 3.006 jiwa (data Januari 2013) dengan
rincian laki-laki 1.437 jiwa dan perempuan 1.569 jiwa. Nagari Simabur
berbatasan dengan:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Nagari Sawah Tangah,
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Batu Basa,
3. Sebelah timur berbatasan dengan Nagari Tabek,
4. Sebelah barat berbatasan dengan Nagari Pariangan.
Jarak antara Nagari Simabur dengan ibu kota kecamatan 0 Km, jarak Nagari
Simabur dengan ibu kabupaten 26 Km dan jarak Nagari Simabur dengan ibu
provinsi 103 Km.23
Nagari Simabur merupakan ibu Kecamatan Pariangan, dan bersebelahan
juga dengan Nagari Pariangan. Wilayah Pariangan terutama Nagari Pariangan
diyakini oleh masyarakat Minangkabau sebagai wilayah awal penyebaran
masyarakat Minangkabau. Simabur, Pariangan berada di dalam pemerintahan
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Kabupaten Tanah Datar, dalam tambo
adat alam Minangkabau disebut Luhak Tanah Datar dan disebut juga Luhak Nan
Tuo (Luhak yang Tua). Disebut sebagai Luhak Nan Tuo, karena merupakan Luhak
tertua di daerah alam Minangkabau. Cirinya disebutkan dalam tambo “ayienyo
jernih, ikannyo jinak, buminyo dingin” (Airnya jernih, ikannya jinak, buminya
23
Ekspose Wali Nagari Simabur Kecamatan Pariangan, 2.
58
dingin).24
Kondisi atau ciri alam tersebut dikarenakan luhak/kabupaten ini terletak
di sekitar lereng dan lembah Gunung Marapi, Singgalang dan Tandikat.25
Gambar III.C.1 Pemandangan Alam Nagari Simabur
Sumber: Dokumen Pribadi
Dalam syarat-syarat pembentukan nagari di Minangkabau seperti yang
dibahas sebelumnya, mensyaratkan setiap nagari minimal didiami oleh empat
suku. Dalam hal ini, Nagari Simabur mempunyai enam suku yang yaitu :
Simabua, Bendang Ateh, Bendang Baruah, Dalimo, Koto, Piliang.26
24
Edison dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau: Budaya dan
Hukum Adat di Minangkabau (Bukittingi: Kristal Multimedia, 2010), 27. 25
Suardi Mahyudin dan Rustam Ibrahim, Hukum Adat Minangkabau: dalam
Sejarah Perkembangan Nagari Rao-Rao (Jakarta: Citatama Mandiri, 2002), 11. 26
Wawancara pribadi dengan Irsyad Datuak Mangkuto, Pejabat Sementara (Pjs)
Wali Nagari Simabur pada tanggal 13 Juni 2016 di Kantor Wali Nagari Simabur,
Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
59
2. Potensi Nagari Simabur
Potensi Nagari Simabur setidaknya dapat dipetakan dalam tujuh sektor
yaitu: sektor pertanian, sektor pariwisata, sektor kerajinan rumah tangga, sektor
pendidikan, sektor kesehatan, sektor agama dan terakhir sektor ekonmi dan
perbankan. Dari semua potensi yang ada di Simabur, sektor pertanian lah yang
paling dominan dan mencolok. Karena memang Kenagarian Simabur termasuk
salah satu wilayah yang luas untuk pertanian dengan kesuburan tanah yang cukup
dan lancarnya pengairan untuk petani. Data tahun 2013 mengatakan di Nagari
Simabur terdapat sembilan Kelompok Tani, satu Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) dan satu Kelompok Wanita Tani (KWT).27
Sektor pariwisata di Nagari Simabur terdapat pada Alek Nagari “Pacu
Jawi”. Pacu Jawi merupakan satu-satunya event pariwisata yang hanya ada di
Sumatera Barat khususnya Kabupaten Tanah Datar. Event pariwisata ini telah
diakui tingkat dunia dan mengundang minat puluhan wisatawan mancanegara tiap
tahunnya.28
Sektor kerajiinan rumah tangga (home industry), pada umumnya adalah
usaha makanan ringan “dakak-dakak”. Dakak-dakak Simabur cukup terkenal di
Kabupaten Tanah Datar dan berkembang meluas ke daerah lain. Tahun 2013 tidak
kurang dari 13 usaha makanan ringan “dakak-dakak” ada di Nagari Simabur.29
Sektor pendidikan di Nagari Simabur terdapat 10 sekolah dari tingkat TK
sampai tingkat SMA/sederajat. Rinciannya tiga Taman Kanak-Kanak (TK), tiga
27
Ekspose Wali Nagari Simabur Kecamatan Pariangan, 7. 28
Ekspose Wali Nagari Simabur Kecamatan Pariangan, 7-8. 29
Ekspose Wali Nagari Simabur Kecamatan Pariangan, 8.
60
sekolah dasar negeri (SDN), satu sekolah dasar (SD) swasta, satu madrasah
tsanawiyah (MTs) swasta, satu madrasah aliyah (MA) swasta, dan satu sekolah
menengah negeri (SMAN). Sektor pendidikan Nagari Simabur terdapat satu
pondok pesantren yang cukup terkenal di Kabupaten Tanah Datar yakninya
Pesantren Thawalib Tanjung Limau yang terdiri dari tigkat pendidikan madrasah
tsanawiyah (MTs) dan madrasah aliyah (MA). Sedangkan pendidikan umum yang
cukup terkenal juga adalah SMAN 1 Pariangan. Sedangkan di sektor agama di
Nagari Simabur berupa masjid, surau, TPA/TPSA, Pondok Quran dan juga
kelompok Yasinan. Jadi, dalam sektor pendidikan di Nagari Simabur tergolong
cukup lengkap dengan pendidikan bernuansa Islam atau pesantren dan pendidikan
umum yang dikelola pemerintah.30
Sektor kesehatan di Nagari Simabur data 2013 terdapat 5 kelompok
Posyandu dengan kader sebanyak 25 orang tersebar di setiap jorong. Di Simabur
terdapat satu puskesmas yang selalu ramai dikunjungi masyarakat. Sedangkan
pada sektor pereekonomian karena pusat Kecamatan Pariangan, maka cukup
berkembang perekonomian dan perbankan di Nagari Simabur. Diantaranya
terdapat Bank BRI, Bank BMT Darusalam, PT. Pos Indonesia, KUD, BPR
Pariangan dan juga Koperasi Nagari yang bernama Koperasi Sitangko.31
30
Ekspose Wali Nagari Simabur Kecamatan Pariangan, 10 31
Ekspose Wali Nagari Simabur Kecamatan Pariangan, 11.
61
3. Sejarah Nagari Simabur
Nagari Simabur dalam bahasa Minang adalah Nagari Simabua. Dinamakan
demikian dikarenakan kanagarian tersebut tempat awal-awal masyarakat dari
nagari tertua, Pariangan, mencari pemukiman baru. Mereka berhamburan atau
dalam bahasa Minang „bahambua‟. Lalu dinamakan lah nagari tersebut nagari si
mabua artinya tempat orang bahambua. Seiring dengan penggunaan bahasa
Indonesia dalam administrasi pemerintahan yang penulis yakini semenjak
pemerintahan desa sewaktu Orde Baru, nama Nagari yang oleh masyarakat
dinamakan “Simabua” menjadi Simabur.
Hal lain yang penulis berhasil dapatkan adalah salah satu jorong yaitu Koto
Tuo, ternyata adalah termasuk koto (tingkatan di bawah nagari) yang paling tua
hampir bersamaan dengan koto-koto di Nagari Pariangan. Hal tersebut lah yang
membuat di awal penyatuan Jorong Koto Tuo, Jorong Simabua dan Jorong
Tanjung Limau sedikit menemui sedikit penolakan dari tokoh niniak mamak dari
Koto Tuo. Alasan yang dikemukakan dari tokoh Koto Tuo adalah Koto Tuo lebih
tua dibandingkan dengan Simabur dan Tanjung Limau, sehingga penyatuan tiga
jorong yang sewaktu pemerintahan desa merupakan desa-desa tersendiri,
memberatkan hati mereka terlebih menggunakan nama jorong atau koto yang
lebih muda „umurnya‟ dari Koto Tuo.
Kanagarian Simabur secara geografis bersebelahan dengan nagari tertua,
Nagari Pariangan, dan berada di Kecamatan Pariangan. Luhak Tanah Datar
termasuk di daerah Pariangan, banyak disebut sebagai pusat adat Minangkabau.
Hal tersebut tidaklah merujuk pada hierarki tetapi lebih pada rujukan atau suatu
62
barometer pada jalannya adat dan budaya Minangkabau di nagari-nagari.
Sehingganya menjadikan Nagari Simabur menjadi pilihan yang baik karena
berada di daerah Kecamatan Paringan dan dekat dengan Nagari tertua yaitu
Nagari Pariangan. Serta posisi nagari yang strategis menjadikan nagari simabur
cukup terbuka dengan dunia luar baik secara informasi maupun secara fisik.
Terlebih pasar Simabur persis di jalan provinsi, seakan menjadi simbol atau
pertanda nagari simabur merupakan nagari yang terbuka bagi semuanya, termasuk
penulis yang ingin meneliti mengenai elite lokal di nagari tersebut. Kombinasi
antara kuatnya adat di Tanah Datar termasuk Pariangan dan keterbukaan dengan
dunia luar menjadi kelebihan tersendiri dari Nagari Simabur.
Nagari Simabur pada abad 19 terdapat seorang ulama yang menjadi murid
langsung dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, imam besar Madzhab
Syafii di Mekkah. Ulama tersebut bernama Muhammad Yahya.32
Tidak diketahui
dengan pasti dari mana beliau berasal. Kembali dari Makkah usai belajar agama
dengan Syeikh Ahmad Khatib , beliau menetap di Nagari Simabur. Di Simabur,
beliau mengembangkan ajaran agama secara murni menurut hukum Islam seperti
yang terdapat dalam ayat alQuran. Kemudian Muhammad Yahya dikenal dengan
sebuatan Tuanku Simabur.33
Tuanku Simabur mengajarkan kepada anak didiknya ajaran Islam dengan
sistem surau. Sistem yang sudah ada jauh sebelum kedatangan Belanda ke
32
A.A Navis menyebut nama aslinnya Tuanku Ismail. Tetapi ketika balik dari
Mekah dan menetap di Simabur, namanya sama dengan disebutkan di atas yaitu Tuanku
Simabur. Lihat A.A Navis, “Alur Kebudayaan dalam Tingkah Laku Gerakan Politik di
Minangkabau,” dalam A.A Navis ed., Diakletika Minangkabau: dalam Kemelut Sosial
dan Politik (Padang: Genta Singgalang Press, 1983), 73. 33
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebangkitan Nasional
Sumatera Barat (Balai Pustaka: Jakarta, 1982), 28-29.
63
Sumatera Barat. Sistem ini bercirikan murid-murid mengelilingi guru sambil
mendengarkan apa yang diucapkan guru tersebut. Ilmu-ilmu yang diajarkan
diantaranya adalah ilmu Nahu, Tafsir alQuran, Fiqh dan lainnya. Tuanku Simabur
tidak hanya menekankan pada hafalan seperti lazimnya sistem pendidikan surau,
tetapi juga pada pemahaman dan prakteknya di tengah kehidupan sehari-hari dan
bermasyarakat.
Tuanku Simabur dalam pengajaran dan di setiap kesempatan dia berbicara
di khalayak ramai, juga menyinggung tentang warisan dalam adat Minangkabau.
Menurutnya, sistem waris di Minangkabau sangat bertentangan dengan hukum
waris menurut ajaran Islam. Timbul reaksi dari kaum adat dan ulama lainnya yang
membalas semua serangan dari Tuanku Simabur tersebut. Terjadi kegoncangan
dalam masyarakat sampai terjadi pertentangan dengan menggunakan fisik. Akibat
dari pertentangan yang sudah menggunakan fisik, pemerintah Belanda ikut
campur dengan menangkap Tuanku Simabur dan membuangnya ke Cirebon tahun
1904.34
Ulama lain yang terkenal adalah Syeikh Muhammad Zain yang merupakan
murid dari Haji Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka. Dan juga merupakan
teman Buya Hamka ketika belajar di Tabligh Muhammadiyah Padang Panjang.
Muhammad Zain menjadi ketua Cabang Muhammadiyah Simabur pada tahn
1926. Tetapi setelah Muhammad Zain hadir dalam kongres Muhammdiyah di
Pekalongan, dia berpikir bahwa dia “salah masuk” ke Muhammadiyah. Dalam
kongres tersebut, menyadari bahwa Muhammadiyah sama saja dengan gerakan
34
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebangkitan Nasional
Sumatera Barat, 29-30.
64
“Kaum Muda” di Sumatera Barat, yang selama ini ditentangnya. Muhammad Zain
akhirnya berangkat ke Perak, Malaysia dan menjadi mufti di sana.35
4. Elite Lokal di Nagari Simabur
Pemerintah Nagari Simabur, Kecamatan Pariangan selama periode 2009
hingga 2015 dipimpin oleh Muhammad. Muhammad diakui masyarakat Simabur
sebagai bagian dari alim ulama. Dalam kata lain, Muhammad juga merupakan
bagian dari tungku tigo sajarangan dari unsur kepemimpinan alim ulama.
Muhammad selama 6(enam) tahun memimpin Pemerintahan Nagari Simabur
bersama dengan Irsyad Datuak Rajo Mangkuto sebagai ketua BPRN dari kalangan
niniak mamak. Sejak tahun 2015 berakhirnya masa amanah Muhammad sebagai
Wali Nagari Simabur, melalui keputusan Bupati Tanah Datar, ditunjuklah pejabat
sementara atau pelaksana tugas sebagai Wali Nagari Simabur yakni Irsyad Datuak
Rajo Mangkuto yang sebelumnya menjadi ketua BPRN Simabur.
Gambar III.C.2 Kantor Nagari Simabur
35
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi besar Islam di Indonesia.
Didirikan tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Muhammadiyah kemudian juga
didirikan di Minangkabau. Paham Muhammadiyah yang cocok dengan semangat
pembaharuan di Minangkabau, menjadikan Muhamadiyah cukup besar di daerah tersebut.
Tokoh utama Muhammadiyah di Minangkabau diantaranya A.R Sutan Mansur (ketua
umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1950-1959), Haji Abdul Karim Amrullah
atau lebih dikenal Haji Rasul ayah dari Buya Hamka dan Buya Hamka. Lihat Hamka,
Kenang-kenangan hidup, Jilid II, cet.3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 17-21. dan lihat
juga Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942, cet.6, (Jakarta:
LP3S,1991), 84-89.
65
Sumber: Dokumen Pribadi
Pada tahun 2009, terbentuk keanggotaan BPRN yang diketuai I. Datuak
Rajo Mangkuto dari unsur niniak mamak. Jumlah anggota BPRN 9 orang, dengan
keterwakilan 2 orang untuk unsur niniak mamak, 2 unsur alim ulama dan 2 orang
dari unsur cadiak pandai. Dan juga ditambah 2 orang dari pemuda dan 1 orang
dari bundo kanduang. Setelah berakhirnya masa jabatan BPRN tersebut, lalu
terbentuk lagi BPRN dengan keanggotan berkurang menjadi 7 orang (mengacu
pada Perbub Tanah Datar) yang berlaku saat itu. Dengan komposisi anggota 2
orang dari niniak mamak, 2 orang dari alim ulama, 1 orang dari cadiak pandai, 1
orang dari pemuda dan 1 juga dari bundo kanduang.
Adat dan Budaya Minangkabau mengamanahkan masyarakatnya untuk
hidup dalam nagari-nagari yang independen antar satu dengan yang lainnya.
Nagari adalah pemerintahan yang sudah lengkap secara sumber daya alam dan
66
juga sumber daya manusia. Sumber daya alam meliputi tanah, air, sungai, hutan
dan lainnya. Sumber daya manusia mensyaratkan minimal ada empat suku
berbeda yang menempati nagari tersebut. Pemimpin nagari-nagari yang ada di
Minangkaabau adalah niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Selain
bertanggung jawab juga dalam masing-masing bidang yaitu pemeliharaan dan
pelestarian adat (niniak mamak), menjaga akhlak, moral dan rohani masyarakat
(alim ulama) dan berperan dalam kemajuan nagari secara fisik dan non-fisik
(cadiak pandai). Mereka juga dengan prinsip musyawarah dan mufakat
mencarikan solusi atau jalan keluar untuk setiap permasalahan. Adat dan Budaya
Minangkabau tertanam kuat di daerah luhak salah satunya Luhak Tanah Datar
yang sekarang kita lebih dikenal sebagai Kabupaten Tanah Datar. Di antara
puluhan nagari yang ada di Tanah Datar, terdapat Nagari Simabur yang menjadi
ibukota kecamatan Pariangan.36
Suatu wilayah yang diyakini wilayah awal
penyebaran penduduk Minangkabau tempo dulu.
36
Terdapat 75 nagari di Kabupaten Tanah Datar, data berdasarkan Kerjasama
Badan Perencanaan Pembangunan dan Penanaman Modal Tanah Datar dengan BPS
Tanah Datar, Tanah Datar dalam Angka: Tanah Datar in Figures (Batusangkar: BPS
Tanah Datar, 2012), 3.
67
BAB IV
RELASI KEKUASAAN ELITE LOKAL MINANGKABAU PASCA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR NOMOR 4
TAHUN 2008 TENTANG NAGARI
Bab IV (empat) menjelaskan mengenai relasi kekuasaan elite lokal
Minangkabau yakninya niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai dalam
struktur Nagari. Melihat relasi kekuasaan para elite lokal Minangkabau tersebut
akan difokuskan pada masa setelah berlakunya Peraturan Daerah Kabupaten
Tanah Datar Nomor 4 tahun 2008 tentang Nagari (Perda Kab. Tanah Datar
4/2008). Pembahasan pada bab ini dimulai dengan mengulas sedikit kekuasaan
elite lokal berdasarkan atau secara budaya yang penulis kutip dari beberapa
sumber sekunder (buku-buku tentang adat Minangkabau) dan juga dari sumber
primer (wawancara dengan elite lokal di nagari tempat penelitian).1 Lalu
dilanjutkan dengan membahas kekuasaan mereka secara formal berdasarkan perda
terkait pemerintahan nagari sebelum Perda Kabupaten Tanah Datar no. 4 tahun
2008 tentang Nagari, tepatnya setelah otonomi daerah diberlakukan pada antara
tahun 1999 dan 2000. Dilanjutkan dengan mengulas sedikit lagi mengenai
kekuasaan elite lokal Minangkabau sesuai amanah Peraturan Daerah Kabupaten
Tanah Datar no. 4 tahun 2008. Lalu masuk pada pembahasan inti mengenai
kekuasaan elite lokal Minangkabau secara nyata dalam masyarakat Nagari setelah
1 Buku-buku tersebut di antaranya: Elizabeth E. Graves, Asal-usul Elite
Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, terjm. Novi
Andir dkk, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007); Edison dan Nasrun Dt. Marajo
Sungut, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau (Bukittinggi:
Kristal Multimedia, 2010); A.A Navis ed., Diakletika Minangkabau: dalam Kemelut
Sosial dan Politik (Padang: Genta Singgalang Press, 1983), dan juga LKAAM Sumatera
Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Pedoman Hidup Banagari
(Padang: Sako Batuah, 2002)
68
penerapan peraturan daerah tersebut. Pembahasan berdasarkan kepada temuan di
lapangan yaitu di Nagari Simabur, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar
Provinsi Sumatera Barat.
A. Kekuasaan Elite Lokal dalam Budaya Minangkabau
Adat dan Budaya Minangkabau kalau ditelusuri sejarahnya dari zaman
kerajaan, nagari merupakan kesatuan yang merdeka mirip dengan republik-
republik kecil yang otonom. Menurut A.M Batuah dan D.H Bagindo, seperti
dikutip Elizabeth Graves, raja yang baru datang di alam Minangkabau tidak dapat
lagi mengaduk-ngaduk nagari-nagari yang sudah terbentuk ke dalam struktur yang
diinginkannya.2 Menurut Elizabeth Graves keorganisasian, kewenangan, dan
bahkan asal-usul kerajaan dan raja Minangkabau sebenarnya tidak pernah
diterangkan secara memuaskan. Tambo alam Minangkababau menyebutkan
bahwasanya kehidupan mereka sudah dimulai sebelum masehi.3 Namun penulis
tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai sejarah Minangkabau yang sangat
dibanggakan oleh masyarakatnya dan dikagumi oleh para peneliti dari luar negeri.
Penulis hanya akan mengulas mengenai nagari dalam tinjauan sejarah dan
kaitannya dengan tungku tigo sajarangan, elite lokal Minangkabau, yang akan
2 Elizabeth E. Graves, Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX/XX, terjm. Novi Andir dkk, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007), 36-37. 3 Tambo merupakan salah satu warisan penting kebudayaan Minangkabau yang
diceritakan secara lisan oleh tukang kaba. Terdapat dua tambo yaitu tambo alam yang
mengisahkan asal-usul nenek moyang serta kerajaan Minangkabau, dan tambo adat yang
mengisahkan adat atau sistem dan aturan pemerintahan Minangkabau pada masa lalu.
Karena diwariskan secara lisan, tidak ada isi atau kisah tambo yang sama persis dengan
tambo lainnya. Lihat A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau (Jakarta: Grafiti Pers, 1986), 45.
69
dibahas setelah berlakunya peraturan daerah yang pernah dan telah berlaku di
Luhak atau Kabupaten Tanah Datar.
Sejarah mengenai raja yang pernah berkuasa di Minangkabau yang terakurat
adalah mengenai Raja Adityawarman. Bukti mengenai keberadaan Raja
Adityawarman di daerah Minangkabau bisa ditemui pada prasasti-prasti yang
disimpan di museum Adityawarman, Kota Padang dan berbagai prasasti di
Kabupaten Tanah Datar. Raja Adityawarman menjadi raja atau yang dipertuan di
Alam Minangkabau pada tahun 1347-1375 yang berkedudukan di Pagaruyuang,
Kabupaten Tanah Datar sekarang ini.4 Namun menurut A.M Batuah dan D.H
Bagindo, seperti dikutip Graves, raja Adityawarman datang ketika pemerintahan
nagari yang independen dipimpin oleh penghulu atau niniak mamak sudah berdiri
dan berjalan lama sebelumnya.5 Sehingga tidak mengherankan, banyak kalau
berkuasanya para raja-raja yang bersifat politik hanyalah simbol belaka.
Pemerintahan nagari-nagari tetap berjalan secara mandiri dan independen dan
dpimpin oleh penghulu saat itu.
Menurut Graves, sulit untuk mengetahui apakah raja pernah memegang
peranan penting dalam kekuasaan politik. Sumber-sumber dari para pengamat
Eropa tentang raja baru muncul pada abad ke-16. Saat itu, raja dan para
pembantunya hanya berkuasa sebagai kekuatan yang nominal sifatnya dan
malahan terbatas pada kawasan Tanah Datar saja, suatu kawasan yang secara
langsung berada di sekitar istana Kerajaan Pagaruyung. Kekuasaan raja terhadap
4 Edison dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau: Budaya dan
Hukum Adat di Minangkabau (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010), 83. 5 Graves, Asal-usul Elite Minangkabau Modern, 36.
70
nagari hanya terbatas pada waktu raja melakukan kunjungan periodik untuk
menerima upeti seperti beras dan emas sebagai bukti ketundukan penduduk dan
pengikut-pengikutnya yang dianggap berperan dalam kerajaan. Kerajaan
Minangkabau hanya dilihat sebagai nama kolektif dari kelompok negara-negara
kecil yakni nagari, yang merdeka, yang dipersatukan oleh kesamaan identitas
dalam segi keturunan, bahasa dan adat istiadat mereka.6
Dari beberapa paragraf di atas dapat ditangkap setidak beberapa hal
mengenai nagari. Pemerintahan nagari sudah berlangsung cukup lama sebelum
berkuasanya raja Adityawarman. Nagari dipimpin oleh penghulu yang dihormati
oleh seluruh masyarakat nagari, sehingga ketika terjadi permusuhan misalnya
dapat diatasi hanya dengan perantara penghulu nagari atau tidak dengan
peperangan sebagai jalan terakhir. Independennya nagari tidak lah selamanya
menguntungkan bagi nagari dan masyarakat Minangkabau. Revolusi Paderi yang
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh membuat kaum adat
dari berbagai nagari kocar-kacir dan serba kacau-balau menghadapi gerakan
paderi tersebut.7 Gerakan Paderi meruapakan gerakan yang membawa semangat
pembaharuan yang mirip dengan gerakan Wahabi di tanah Arab. Gerakan Paderi
bersifat militan dan puritan dengan garis komando yang jelas. Berbeda dengan
nagari-nagari yang independen antar satu dengan yang lainnya. Ketidakmampuan
menghadapi gerakan Paderi membuat kaum adat meminta bantuan Belanda yang
sudah lama berkedudukan di Padang. Belanda memanfaatkan situasi tersebut
6 Graves, Asal-usul Elite Minangkabau Modern, 37.
7 Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, 49.
71
dengan membantu kaum adat untuk bisa masuk daerah Minangkabau yang
berpusat pada tiga luhak: Tanah Datar, Agam Dan Limapuluh Kota.8
Pertentangan nilai yang telah menjurus fisik antara kaum Adat dan kaum
Paderi yang juga merupakan orang Minangkabau setempat tidak menghasilkan
sama sekali pemenang di antara mereka. Belandalah yang akhirnya menikmati
hasil pertentangan tersebut, mereka memasuki daerah pusat Minangkabau dan
bisa memaksa penduduk lewat para penghulunya untuk menanam kopi. Kopi
menjadi komoditi andalan Belanda yang dijual di pasar Eropa pada saat itu.9
Akibat lain setelah terjadi gerakan Paderi adalah adat Minangkabau yang
dipimpin dijalankan oleh para penghulu di nagari-nagari berbagai posisi dan
kepemimpinan dengan agama Islam dengan ulamanya.. Menurut A.A Navis
gerakan pembaharuan datang dalam dua gelombang lagi setelah gelombang
gerakan Paderi. Gerakan pembaharuan Islam setelah gerakan Paderi, dengan
Tuanku Ismail dari Simabur yang dikenal dengan Tuanku Ismail Simabur.
Gelombang selanjutnya lebih massive menggunakan strategi pendidikan Islam
yang lebih modern, di bawah tiga serangkai haji yakni H. Abdullah Ahmad, H.
Abdul Karim Amrullah dan H. Mohammad Jamil Jambek.10
Namun diterimanya
agama dan ulama sebagai bagian dari adat, juga menandakan masyarakat dan
penghulunya, telah menyadari agama dan ulama sebagai sesuatu yang baru dan
baik bagi kehidupan masyarakat Minangkabau. Bahkan secara puitis mereka
menyebut ulama bagi masyarakat nagari sebagai „suluah bendang dalam nagari’
8 Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, 67.
9 Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, 104-105.
10 A.A Navis, “Alur Kebudayaan dalam Tingkah Laku Gerakan Politik di
Minangkabau,” dalam A.A Navis ed., Diakletika Minangkabau: dalam Kemelut Sosial
dan Politik (Padang: Genta Singgalang Press, 1983), 71.
72
(„suluh benderang dalam nagari) yang maksudnya adalah sebagai penerang dalam
kehidupan bernagari.11
Mungkin selama ini hidup dengan adat hanya lebih banyak
berorientasi dunia, adanya agama dan ulama menerangi mereka untuk hidup juga
menuju jalan akhirat yang abadi.
Masuknya Belanda dengan politik etis yang telah dicanangkan melahirkan
banyak sekolah dengan berbagai tingkatan dan kelasnya. Masyarakat
Minangkabau memanfaatkan kesempatan tersebut agar anak-kemenakannya bisa
baca dan tulis dengan cakap. Efek dari masuknya birokrasi dan edukasi Belanda,
membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Selain itu juga membuka
pandangan dari masyarakat Minangkabau terhadapa dunia luar. Mereka
berpandangan bahwasanya kehidupan bernagari juga harus ikut mengalami
kemajuan mengikuti perkembangan zaman. Kebutuhan atau keinginan untuk maju
bagi nagari membuat adat dan agama yang lebih dulu hadir dalam masyarakat.
Juga berbagi dengan para cadiak pandai yaitu orang yang dianggap mempunyai
intelejensi, pengetahaun dan wawasan yang luas. Masyarakat membutuhkan
mereka agar setiap keputusan yang diambil dari niniak mamak dan alim ulama
juga berdampak pada kemajuan nagari mereka secara fisik dan non-fisik atau
sumber daya manusianya.12
Begitulah ringkasan mengenai hidupnya
kepemimpinan tiga poros: adat, agama dan cendikiawan, yang dikutip dari
Herman Sihombing, dan penulis tempatakan di bab 2 mengenai elite lokal
11
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah:
Pedoman Hidup Banagari (Padang: Sako Batuah, 2002), 108. 12
Herman Sihombing, “Hukum Adat mengenai Tungku Tigo Sejarangan dan Tali
Tiga Sepilin: Hukum Adat Minangkabau Dewasa Ini dan di Kemudian Hari,” dalam A.A
Navis (ed), Dialektika Minangkaabau: dalam Kemelut Sosial dan Politik (Padang: Genta
Singgalang Press, 1983), 43-45.
73
Minangkabau, tungku tigo sajarangan. Jadilah niniak mamak, alim ulama dan
cadiak pandai berada dalam kepemimpinan masyarakat Minangkabau yang
memimpin kesatuan sosial masyarakat adat. Niniak mamak berada pada ranah
adat, alim ulama dalam ranah agama (akhak dan rohani), dan cadiak pandai
dalam kemajuan nagari terutamanya pendidikan dan ekonomi.
Kepemimpinan mereka tidaklah lebih tinggi antar satu dengan yang lainnya.
Peran yang dominanan dalam musyawarah mufakat dikaitkan dengan masalah
yang dibahas. Namun keputusan adalah tetap musyawarah dan mufakat ketiga
unsur kepemimpinan masyarakat Minangkabau yang dalam peneletian ini disebut
dengan elite lokal Minangkabau. 13
B. Kekuasaan Elite Lokal secara Formal dalam Peraturan Daerah Yang
Mengikat
1. Sebelum Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun
2008 tentang Nagari
Otonomi daerah menjadi momentum bagi setiap daerah untuk mengatur
daerahnya masing-masing dan menyesuaikannya dengan budaya dan tradisi di
daerah tersebut. Sumatera Barat yang mayoritas didiami oleh suku Minangkabau,
juga tidak ketinggalan memanfaatkan momentum tersebut untuk mengelola
daerahnya sesuai dengan budaya yang sudah mereka miliki sebelum republik ini
berdiri.14
Momentum tersebut digunakan untuk menggulirkan wacana baliak ka
13
Herman Sihombing, Hukum Adat mengenai Tungku Tigo Sejarangan dan Tali
Tiga Sepilin, 53-54. 14
Yasril Yunus, “Pemerintahan Nagari di Era Orde Baru: Persepsi Aparatur
Pemerintah Aparatur Pemerintah dan Masyarakat terhadap Pemerintahan Nagari dan
Otoritas Tradisional Minangkabau dalam Kaitannya dengan Prospek Otonomi Daerah di
74
nagari, suatu wacana yang sebenarnya sudah cukup lama terdengar ketika
penyeragaman pemerintahan di tingkat bawah seluruh Indonesia dengan model
pemerintahan Desa berdasarakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.
Penyeragaman yang mengakibatkan model pemerintahan Nagari yang sudah lama
dipraktekan turun-temurun oleh masyarakat Minangkabau menjadi berantakan.
Karena model desa tersebut tidak hanya mengkoreksi secara budaya juga
mengoreksi secara teritorial dan juga kesatuan adat pada setiap nagari.
Desa yang terbentuk bukanlah nagari yang sudah ada direplikasi atau
ditukar modelnya menjadi desa. Desa yang terbentuk adalah jorong-jorong yang
ada. Jorong merupakan wilayah di bawah nagari, yang tidak punya kekuasaan
dalam masyarakat adat. Kepala jorong hanya menjadi pelaksana dari keputusan
seorang wali nagari. Setiap masalah di masyarakat jorong, kepala jorong
memberitahukannya kepada wali nagari. Lalu wali nagari yang mencarikan
solusinya dengan mengajak para tokoh atau elite yang ada yakninya niniak
mamak, alim ulama dan cadiak pandai untuk bermusyawarah. Model desa
mengacaukan struktur kekuasaan dan kepemimpinan yang sudah ada dan
berlangsung lama, melekat pada masyarakat Minangkabau.
Pemberlakuan otonomi daerah disambut oleh pemerintah daerah Sumatera
Barat dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Lalu ditindak lanjuti oleh pemerintah
Minangkabau” Tesis (Malang: Universitas Brawijaya, 2000) [jurnal on-line]; tersedia di
https://jurnalskripsitesis.wordpress.com/2008/03/22/pemerintahan-nagari-di-era-orde-
baru-persepsi-aparatur-pemerintah-dan-masyarakat-terhadap-pemerintahan-nagari-dan-
otoritas-tradisional/; diunduh pada tanggal 4 November 2015.
75
Kabupaten Tanah Datar, dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Tanah Datar Nomor 17 tahun 2001.
Keinginan kembali pada pemerintahan nagari pastinya sangat kuat dan
sangat diapresiasi oleh para elite lokal di tingkat kabupaten hingga tingkat nagari.
Namun masalah yang dihadapi adalah, menurut Yasril Yunus, adalah bagaimana
bentuk nagari yang sesungguhnya atau idealnya seperti apa tidak lah diketahui
secara pasti oleh masyarakat dan juga stakeholder yang ada. Karena selama
puluhan tahun mereka berada dan menikmati pemerintahan desa akibat Undang-
Undang No.5/1979, wacana baliak ka nagari menjadi nostalgia semata. Ini
terbukti pada tidak jelasnya peranan dan fungsi dari para elite lokal Minangkabau
niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Terutamanya niniak mamak, yang
punya peranan besar dalam masyarakat nagari terutama dalam bidang adat,
terpecah kekuasaannya di sekitar Wali Nagari.15
Hal ini sangat dimungkinkan
karena ada pasal yang mengatur mengenai kewenangan seorang Wali Nagari yang
cukup luas dalam pasal 15 ayat 2 Perda Kab. Tanah datar no. 17 tahun 2001 yang
berbunyi “segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Wali Nagari mengikat
pihak-pihak yang berselisih”. Nampak masih tersisa model desa yang menjadikan
kepala desa punya kekuasaan yang kuat di wilayah desanya.
Badan Permusyawaratan Anak Nagari (BPAN) yang disebutkan dalam
peraturan daerah Sumatera Barat oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar disebut
15
Yasril Yunus, “Model Pemerintahan Partisipatif yang Partisipatif dalam
Masyarakat Minangkabau,” Demokrasi, Vol. VI No. 2 Tahun 2007. [jurnal on-line]
tersedia di http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/viewFile/1141/976; diunduh pada
tanggal 17 November 2015.
76
dengan nama Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN). BPAN/BPRN
merupakan lembaga perwujudan demokrasi masyarakat nagari. Namun, menurut
Yasril Yunus, lembaga lebih mencerminkan demokrasi modern ketimbang
demokrasi adat yang diperankan juga oleh niniak mamak. Pembentukan BPRN
sesuai peraturan daerah Kabupaten Tanah Datar difasilitasi oleh Wali Jorong.16
Harusnya dalam musyararah yang mencerminkan kepemimpinan masyarakat
Minangkabau, tungku tigo sajarangan sajarangan, niniak mamak lah yang
memainkan perannya mengajak alim ulama dan cadiak pandai untuk
bermusyawarah dalam mengurusi masalah nagari. Representasi alim ulama dan
cadiak pandai juga belum mencerminkan struktur nagari secara kultural. Alim
ulama dan cadiak pandai dalam struktur nagari dalam budaya Minangkabau
merupakan representatif nagari, bukan representatif jorong dan suku yang
disebutkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 17 tahun 2001 pasal
15.
Wacana baliak ka nagari sudah digulirkan dan dipraktekan lewat perda
yang mengaturnnya. Namun model ideal nagari dan fungsi tungku tigo
sajarangan yang menjadai kunci akan keberlangasungan nagari dan
kepemimpanan masyarakat nagari masih belum jelas diamanatkan perda dan
dipraktekkan oleh elite lokal Minangkabau bersangkutan. Penelitian-peneletian
menemukan pasca perda-perda tersebut belum terlihat lah nagari yang sebenarnya
baik secara formal maupun secara nyata di masyarakat nagari. Akhirnya tahun
2007 lahir kembali perda tentang pemerintahan Nagari dari pemerintah daerah
16
Yunus, Model Pemerintahan Nagari yang Partisipatif , 9.
77
Sumatera Barat dengan dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2007 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Pemerintah Kabupaten Tanah Datar
menindaklanjuti perda tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Nagari.
2. Kekuasaan Elite Lokal secara Formal berdasarkan Peraturan
Daerah Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Nagari
Sub-bab ini menjelaskan secara singkat kekuasaan elite lokal berdasarkan
Perda Kabupaten Tanah Datar No. 4 tahun 2008 tentang Nagari. Penjelasan dari
perda telah penulis berikan di bab 2. Sehingga sub bab ini hanya menggambarkan
secara umum pengaruh perda tersebut secara formal dalam strukur pemerintahan
Nagari.
Perda Kab. Tanah Datar No. 4/2008 tentang Nagari merupakan tindak lanjut
dari peraturan daerah Sumatera Barat No. 2/2007. Dalam perda sumbar terjadi
beberapa perubahan dengan aturan yang lebih jelas dan detail. Terutama
penempatan Kerapatan Adat Nagari (KAN) secara kelembagaan diposisikan
dengan tinggi namun tidak dijelaskan operasional dalam jalannya pemerintahan
nagari. Operasional dan teknis diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten
masing-masing untuk mengaturnya kembali dengan peraturan daerah kabupaten.
Yasril Yunus menawarkan 3 (tiga) model alternatif dalam menempatkan
kelembagaan Wali Nagari, Bamus/BPRN dan KAN agar berjalan lebih
partisipatif. Maksudnya adalah ketiga institusi dapat memainkan perannya dalam
pemerintahan dengan selalu diikutsertakan dalam mengurus masalah dan
pengambilan keputusan. Ketiga model menempatkan BPRN dan Wali Nagari
78
sejajajar, namun posisi KAN berbeda pada tiap model. Model pertama,
menempatkan sejajar dengan wali nagari. Tetapi tidak dapat memastikan
pendapatnya akan dipakai oleh Wali Nagari dan BPRN. Yasril Yunus menyebut
pisisi KAN ditempatkan pada derajat yang tinggi tapi dilecehkan secara
operasional.
Model kedua menempatakan KAN mempunyai garis komando dengan Wali
Nagari dan BPRN. Namun KAN berada dibawah Wali Nagari, sehingga KAN
menjadi sub-ordinat dari wali Nagari dan BPRN. Model ketiga KAN ditempatkan
di atas Wali Nagari dan BPRN. KAN tidak bisa mempengaruhi langsung Wali
Nagari, tetapi bisa memanfaatkan BPRN untuk mempengaruhi kebijakan yang
akan disepakati bersama Wali Nagari. Yasril Yunus menyebut BPRN menjadi
seperti terminal antara KAN dan Wali Nagari. Alternatif model institusi dalam
Nagari oleh Yasril Yunus, lebih melihat pada posisi KAN dan operasionalnya
dalam pengambilan keputusan pada pemerintahan Nagari.17
Kabupaten Tanah
Datar menggunakan alternatif ketiga dari Yasril Yunus, karena pengisian BPRN
dilakukan oleh KAN melalui lembaga-lembaga unsur yang terbentuk di bawah
pembinaan dan perlindungan KAN.
Peraturan 2008 lebih detail menjelaskan fungsi dan wewenang dari Wali
Nagari, BPRN dan KAN. KAN sebagai institusi dari semua niniak mamak nagari
diberikan wewenang sesuai dengan adat yakninya memutus semua persoalan
mengenai adat terutamanya perkawinan, sako dan pusako. Kedua struktur yang
terbentuk dari dua perda tersebut tidak lah mempunyai perbedaan yang tajam.
17
Yunus, Model Pemerintahan Nagari yang Partisipatif, 11-17.
79
Nagari tetap dipegang secara formal oleh Wali Nagari dan BPRN dilengkapi
KAN yang bersifat konsultatif dan koordinatif. Perbedaan kedua perda tersebut
berdasarkan temuan setidaknya ada dua. Pertama, peran dari ketiga institusi sudah
jelas tidak ada yang saling tumpang tindih pada perda No.4/2008 dibanding perda
No. 17/2001. Kedua, jalannya model pemerintahan nagari pada masa perda 2001
masih merupakan transisi dari masa orde baru ke otonomi daerah. Sehingga
terlihat masih cukup kabur dan meraba-raba format yang tepat untuk bernagari
terutamanya dalam mengakomodir elite lokal Minangkabau. Berjalannya kembali
ke nagari pada masa seletelah perda 2008, mulai mendapat bentuk dan jalannya
pemerintahan dan berfungsinya kembali elite lokal Minangkabau di masyarakat
tergantung kesiapan dan kualitas sumber daya manuasia di tiap nagari.
80
TABEL. IV.B.1 PERUBAHAN STRUKTUR FORMAL NAGARI
Periode Orde
Baru
(1979-1999)
Era Otonomi
Daerah I
(1999-2008)
Era Otonomi
Daerah II
(2008-2015)
Peraturan yang
mengatur
- UU No. 5/1979
- Perda Sumatera
Barat No.
13/1983
- UU No. 22/1999
- Perda Sumatera
Barat No. 9/2000
- Perda Kab. Tanah
Datar No.
17/2001
- UU No. 32/2004
- Perda Sumatera
Barat No. 2/2007
- Perda Kab. Tanah
Datar No.4/2008
Institusi Desa/Kepala Desa - KAN
- BPRN
- Wali Nagari
- KAN
- BPRN
- Wali Nagari
Gaya/corak Birokratis, Terpusat
di Kepala Desa.
- Demokratis
- Sinergi antar
institusi
- Masih tahap
transisi dari Desa
ke Nagar.
- Wali Nagari
masih punya
wewenang lebih.
- Demokratis
- Sinergi antar
institusi
- Sudah lebih detail
dan jelas fungsi
serta wewenang
antar institusi.
Pembentukan
Institusi
Jorong diadopsi
menjadi Desa.
KAN bersama
pemerintah Desa
sebelumnya
membentuk Nagari
– BPRN - Wali
Nagari.
KAN berisikan
seluruh niniak
mamak dalam
Nagari – Lembaga
unsur (Alim Ulama,
Cadiak Pandai,
Bundo Kanduang
dan Pemuda) –
BPRN – Wali
Nagari.
Pemilihan Kepala
Pemerintah
Ditunjuk
pemerintah
kabupaten
- Calon Wali
Nagari diajukan
dan dipilih oleh
masyarakat
Nagari.
- Disahkan BPRN
- Calon Wali
Nagari diajukan
masing-masing
lembaga unsur
(Niniak Mamak
dari KAN, Alim
Ulama, Cadiak
Pandai, Bundo
Kanduang dan
Pemuda)
- Dipilih rakyat
Nagari.
- Disahkan BPRN.
81
Pengisian Badan
Musyawarah
- Dari kalangan
Adat, Agama dan
Cadiak Pandai yang
mewakili Jorong
Mewakili masing-
masing lembaga
unsur yang sudah
terbentuk yakni
Niniak Mamak,
Alim Ulama,
Cadiak Pandai,
Bundo Kanduang
dan Pemuda.
C. Kekuasaan Elite lokal Minangkabau di Nagari Pasca Peraturan Daerah
Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun 2008
1. Dampak Pelaksanaan Perda terhadap Elite Lokal di Masyarakat
Nagari
Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No 4 Tahun 2008 tentang Nagari
berdampak baik terhadap struktur nagari dan para elite lokalnya yang sesuai
dengan budaya dan tradisi masyarakat Minangkabau. Nagari pemerintahannya
dipimpin oleh wali nagari yang dipilih dengan prosedural dari BPRN (Badan
Permusyawaratab Rakyat Nagari) dan KAN (Kerapatan Adat Nagari). Wali
Nagari dan BPRN menjalankan pemerintahan secara bersama, dengan Wali
Nagari dibantu oleh perangkat nagari sebegai eksekutifnya. Program yang
berjalan merupakan hasil kesepakatan Wali Nagari dan BPRN. Selain Wali
Nagari dan BPRN, jalannya pemerintahan Nagari juga dibantu oleh KAN. KAN
beranggotakan seluruh niniak mamak yang ada di nagari. KAN dalam
pemerintahan Nagari bersifat konsultatif dan koordinatif. KAN menjadi tempat
konsultasi dari Wali Nagari dan BPRN ketika mengambil suatu keputusan atau
menyelesaikan suatu masalah. KAN dan Wali Nagari saling berkordinasi terkait
dengan masalah adat menyangkut tanah ulayat (pusako), perkawinan dan
82
kegiatan-kegiatan adat lainnya. Dalam sub-bab ini, akan dijelaskan secara ringkas
ketiga institusi yang ada di struktur Nagari berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Tanah Datar no 4 tahun 2008. Penjelasan ketiga institusi tersebut
terfokus pada keterkaitan dengan elite lokal Minangkabau di Nagari. Karena fokus
penelitian penulis adalah pada elite lokal Minangkabau pada berlakunya perda
tersebut.
Calon Wali Nagari diusulkan oleh lembaga unsur yang ada yakninya unsur
niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai, serta juga dimungkinkan dari
pemuda dan bundo kanduang. Pemuda dan bundo kanduang berdasarkan prosedur
formal dari perda juga memungkinkan terpilih dari unsur mereka. Tetapi secara
budaya dan tradisi, pemimpin bagi mereka adalah niniak mamak, alim ulama dan
cadiak pandai. Kebudayaan dan kebiasaan masyarakat menjadikan pemuda dan
bundo kanduang mencalonkan calon wali nagari dari unsur niniak mamak, alim
ulama dan cadiak pandai. Prosedur dan keadaan masyarakat yang demikian
menjadikan wali nagari terpilih yang akan memimpin pemerintahan nagari
bersama BPRN adalah unsur dari elite lokal yang ada yakni salah satu di antara
niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai.
BPRN merupakan perwujudan dari demokrasi lokal di Nagari yang
berisikan para niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai, serta dilengkapi dari
unsur pemuda dan bundo kanduang. Elite lokal menjadi pengisi utama dalam
institusi BPRN. Sesuai perda jumlah anggota adalah 7, atau 9 dan atau 11. Jumlah
mereka tergantung kebutuhan nagari. Berdasarkan temuan di lapangan, BPRN
Nagari Simabur periode 2009-2015 terdiri dari 9 anggota. Komposisinya 2 niniak
83
mamak, 2 alim ulama, 2 cadiak pandai, 2 pemuda dan 1 dari bundo kanduang.
Menurut Wali Nagari Simabur 2009-2015, jumlah tiap unsur diusahakan merata
tetapi dengan prioritas pada niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Karena
kenggotaan ganjil, yang menjadi lebih sedikit biasanya adalah pemuda dan bundo
kanduang. BPRN menjadi institusi utama dalam struktur pemerintahan nagari
yang menampung kekuasaan elite lokal Minangkabau di nagari dengan wewenang
dan tugas yang cukup luas serta poisisi yang berdampingan dengan Wali Nagari.
KAN beranggotakan murni para niniak mamak yang ada di Nagari. KAN
berfungsi menyelenggerakan urusan adat di nagari, mengurus dan mengelola adat
salingka nagari, melakukan pendidikan dan pengembangan adat di Nagari serta
memberikan kedudukan hukum menurut adat mengenai sako, pusako dan syara’
di nagari serta melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan terhadap
unsur alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan pemuda nagari.18
KAN
bersifat konsultatif dan koordinatif terhadap pemerintahan nagari yakninya Wali
18
Adat salingka nagari merupakan istilah dalam adat Minangkabau yang merujuk
pada adat nan teradat dan adat istiadat. Dalam adat Minangkabau terdapat 4 pemabagian
adat yakni: 1. Adat nan sabana adat, 2. Adat nan diadatkan, 3. Adat nan teradat, 4. Adat
istiadat. Adat nan sabana adat berisi ketentuan syara‟ atau agama berdasarkan quran dan
hadis, serta ketentuan sunnatulah atau hukum alam. Adat nan diadatkan merupakan adat
Minangkabau yang diyakini peninggalan dari Datuak Parpatih Nan Sabatang dan Datuak
Katumanggungan, berisikan niai-nilai dasar adat yang menjadi pegangan dan tak pernah
bergeser dari dahulu hingga sekarang. Sedangkan adat nan teradat berisi hukum dan
ketentuan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama niniak mamak dalam nagari.
Adat isiadat merupakan kebiasaan yang ada dalam setiap nagari. Jadi, adat nan sabana
adat dan adat nan diadatkan berlaku universal bagi setiap masyarakat Minangkabau.
Lalu adat nan teradat dan adat isitiadat berlaku hanya di nagari masing-masing. Lihat
LKAAM Sumatera Barat, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Pedoman
Hidup Banagari (Sako Batuah: Padang, 2002), 11-16. Dan juga di AA Navis, Alam
Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Grafiti Pers,
1986), 86-88.
84
Nagari dan BPRN. KAN menjadi cerminan kekuasaan para niniak mamak sebagai
pemimpin masyarakat yang berada di jalur adat.
Struktur pemerintahan Nagari yang terbentuk berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Tanah Datar No 4 Tahun 2008 menghasilkan tiga institusi
utama yakninya Wali Nagari, BPRN dan KAN. Dalam ketiga insititusi tersebut
diisi oleh para elite lokal Minangkabau. Peraturan daerah mengakomodir
kekuasaan mereka di Nagari lewat institusi-institusi tersebut dalam struktur
pemerintahan Nagari. Sehingga struktur Nagari yang tebentuk tidak lah
menganggu kekuasaan mereka di masyarakat tetapi mengakomodir dan seperti
mengingatkan kembali kepada elite lokal Minangkabau bahwa mereka punya
tugas dan tanggung jawab yang ditunggu oleh masyarakat nagari. Salah satu
cadiak pandai yang pernah menjabat kepala desa, Wali Nagari Simabur serta juga
merupakan niniak mamak yang baru diberi gelar datuak mengakui seperti berikut:
malah saya menilai dengan adanya perda tersebut menjadi lebih terarah dan
terfokus dengan pekerjaan yang diberikan oleh perda. Kadang-kadang ada ninik
mamak itu sendiri tida tau dengan kerja dan tugasnya sendiri. Bagi saya sebagai
warga Nagari mantan kepala desa, mantan wali Nagari dan sekarang menjadi
anggota DPRD, perda tersebut sangat menguntungkan sekali pada ninik mamak.
Dahulunya untuk ninik mamak ini tak pernah dianggarkan, sekarang sudah ada
peng-anggarannya, ada uang operasionalnya.19
Ditambahi lagi oleh beliau juga:
ninik mamak akan menjalankan tugas dan fungsinya seperti yang dulunya, tetapi
setelah adanya perda no. 4 tahun 2008 tadi, ninik mamak dipertajam peran dan
fungsinya, diberikan pembekalan, diberikan ilmu dan pelatihan sebagainya dan
dibantu anggaran.20
19
Wawancara pribadi dengan Rasman Datuak Mudo, cadiak pandai dan niniak
mamak yang baru diserahi gelar adat, Mantan Kepala Desa dan Wali Nagari Simabur.
Pada 19 Juni 2016, bertempat di Masjid Raya Simabur Baitul Makmur. 20
Wawancara pribadi dengan Rasman Datuak Mudo.
85
Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 berdampak
baik bagi elite lokal Minangkabau di Nagari dalam struktur pemerintahan maupun
dan dalam struktur kepemimpinan mereka di masyarakat Minangkabau sesuai
adat dan budaya. Dalam struktur pemerintahan nagari, elite lokal Minangkabau
menempati posisi dominan yang tercerminkan pada institusi Wali Nagari, BPRN
dan KAN. Sesuatu yang tidak mereka dapatkan dengan cukup baik pada struktur
nagari sebelumnya, apalagi pada masa pemerintahan desa di Orde Baru. Dalam
struktur nagari berdasarkan peraturan daerah tersebut, elite lokal dilengkapi oleh
pemuda dan bundo kanduang serta dibantu perangkat nagari untuk urusan
pemerintah Nagari yang dipimpin Wali Nagari. Sedangkan bagi kekuasaan
mereka dalam masyarakat nagari, berdasarkan adat dan budaya, kembali
menerapkan kehidupan banagari (bernagari) yang menempatkan mereka sebagai
poros kepemimpinan tungku tigo sajarangan.
2. Kecakapan, Kemampuan dan Kualitas sebagai Elite Lokal
Selayaknya pemimpin dan yang dihormati masyarakatnya, baik karena
jabatan atau pun gelar pemberian dari suatu tradisi yang berlangsung sejak lama,
semestinya melekat kemampuan atau kualitas pada diri masing-masing pemimpin
dan tokoh tersebut. Elite lokal minangkabau yakninya para niniak mamak, alim
ulama dan cadiak pandai, tentu juga harus mempunyai kualifikasi dan atau
setidaknya memiliki kualitas yang lebih dibandingkan dengan para anggota yang
dipimpinnya yaitu masyarakat nagari.
86
a. Niniak mamak
Niniak mamak seperti yang dibahas pada bab sebelumnya, bahwa mereka
berada di jalur adat yang bertugas mengurusi dan memimpin anak-kemenakan dan
menjaga pusako serta sako kaum dalam sukunyanya. Niniak mamak seminimalnya
kekuasaan mereka adalah pada kaum dalam sukunya. Tiap suku dibagi pada
kaum-kaum yang dipimpin oleh satu niniak mamak. Di setiap suku ada beberapa
niniak mamak. Dalam satu nagari ada minimal 4 (empat) suku, sehingga ada
belasan sampai puluhan niniak mamak dalam satu nagari. Belasan hingga puluhan
niniak mamak di satu nagari ditunjuklah satu pemimpin di antara mereka untuk
menggerakan atau memimpin rapat terkait dengan permasalahan di nagari.
Pemimpin atau kordinator di antara niniak mamak tersebut disebut niniak mamak
pucuak. Dalam struktur Nagari berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah
Datar Nomor 4 Tahun 2008, semua niniak mamak berada sebagai anggota dalam
institusi Kerapatan Adat Nagari.
Beberapa kriteria yang selayaknya dimiliki oleh seorang niniak mamak
adalah:21
1) Paham dan mengerti betul dengan adat Minangkabau,
2) Mempunyai pribadi yang tidak tercela secara agama dan secara adat,
3) Mempunyai kemampuan berbicara secara adat yang dinamakan pepatah
petitih,
21
Wawancara pribadi dengan Kharirunnas Datuak Sinaro, niniak mamak Bendang
Baruah, Jorong Simabur, Wakil Ketua KAN Simabur 2009-2015 dan Ketua KAN
Simabur 2015-2020. Pada 28 Juni 2016, bertempat di Pasar Nagari Simabur.
87
4) Mempunyai sopan santun yang tinggi, bisa menempatkan diri di mana pun
berada, dan menjadi panutan bagi seluruh anak-kemenakannya,
5) Punya sifat teladan dari nabi yaitu sidiq, amanah, fatanah, tabligh.
Kemampuan akan pemahaman tentang adat Minangkabau masih cukup
rendah. Hal tersebut diakui oleh ketua KAN dan anggota BPRN yang berasal dari
unsur niniak mamak. Ketua KAN menyebutkan sangat sedikit sekali niniak
mamak yang paham dengan adat Minangkabau secara menyeluruh. Kalaupun tahu
mengenai adat hanya sepuatar masalah perkawinan dan upacara adat lainnya.
Selain pemahaman tentang adat, ninik mamak juga haruslah mengerti agama
walaupun tidak sama dengan kualitas alim ulama. Menurut adat Minangkabau,
antara adat dan agama tidak lah terpisah dalam kata lain agama juga menjadi nafas
dan patokan dalam hidup bermasyarakat. Adat berhubungan dengan agama
dinyatakan sebagai “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. Basandi
atau bersendi artinya bukan lah berdasarkan, namun keduanya bersendi atau
berhunbungan erat.22
Selain paham betul dengan adat, niniak mamak juga
merupakan orang yang beragama dengan baik dan juga mempunyai ilmu
pengetahuan cukup. Ketidak pahaman atau kurang memahami adat, tidak
memahami agama dan kurang berilmu pengetahuan akan membuat seorang niniak
mamak tidak mempunyai wibawa di depan anak-kemenakannya. Seperti
dijelaskan dan diakui oleh Wali Nagari Simabur 2009-2015:
kalau sekarang fungsi dari ninik mamak sudah mulai kurang dan melemah.
Sekarang terliat hanya sekedar memberikan izin kepada anak-kemenakannya untuk
melangsungkan pernikahan. Lalu mungkin hadir ketika ada acara-acara adat
22
Wawancara pribadi dengan Muhammad, alim ulama Nagari Simabur dan Wali
Nagari Simabur Tahun 2009-2015. Pada 26 Juni 2016, bertempat di kediaman pribadi di
Nagari Rambatan, Kec. Rambatan, Kab. Tanah Datar.
88
termasuk pesta/upacara pernikahan. Kebanyakan ninik mamak hanya diangkat
menempati posisinya hanya memenuhi syarat garis keturunan. Jarang
memperhatikan kualitas dalam artian pemahaman tentang adat, syara,/agama dan
juga pendidikan atau pengetahuannya. Sehingga fungsinya di tengah masyarakat
menjadi tidak berjalan.23
Pribadi para niniak mamak Simabur tidak ada yang tercela secara agama dan
adat. Seleksi oleh kaum mereka sendiri menempatkan alasan pribadi menjadi
harga yang tidak bisa ditawar. Niniak mamak akan menjadi wakil mereka dalam
setiap rapat adat dan menjadi simbol dari kaum tersebut. Tentu kaum dalam suku
tidak mau nama kaumnya dipandang rendah oleh kaum atau suku lainnya karena
diwakili oleh seorang niniak mamak yang tercela pribadinya.
Kemampuan berpepatah-petitih, bisa dikatakan sangat minim. hal-hal yang
normatif saja mungkin yang dapat dikuasai oleh niniak mamak. Hal ini diakui
oleh niniak mamak yang cukup sepuh, yang sering diminta untuk mengajarkan
pepatah-petitih kepada calon niniak mamak. Banyak yang tidak menguasai,
kalaupun menguasai hanya sekedar untuk berbasa-basi dalam suatu jamuan.
Sopan santun seorang niniak mamak tentu menjadi hal yang penting
disoroti. Sopan santun seorang niniak mamak akan menjadi panutan dan contoh
bagi semua anak-kemenakannya. Sopan santun para niniak mamak relatif baik.
Sopan santun dalam hal ini tidak hanya soal perliaku atau perbuatan. Tetapi juga
mengenai cara membawakan diri di tengah pergaulan masyarakatnya. Hal yang
paling mencolok dalam pergaulan tersebut tentu adalah cara berpakaian dan juga
cara berbicara seorang niniak mamak. Penelitian menemukan ada beberapa niniak
mamak yang berpakain celana pendek pergi ke pasar atau duduk di warung. Hal
ini diakui masyarakat sedikit menurunkan rasa hormat mereka kepada niniak
23
Wawancara pribadi dengan Muhammad.
89
mamak. Wibawa niniak mamak berkurang karena berpakaian kurang pantas di
tempat keramaian yang dilihat orang. Seperti dijelaskan sebagai berikut:
Contoh saja ninik mamak tadi pakaian rapi ketika acara adat, tapi setelah itu
memakai stelan celana pendek. Kan diri mereka sendiri yang menjatuhkan wibawa
mereka. Terus juga ketika berbicara tidak lagi memakai nada yang rendah dan
bahasa yang bagus. Sudah sama saja dengan masyarakat biasa. Kan kalau ninik
mamak itu bahasanya kalau dapat yang ada kiasnya. Ditambah juga hubungan
dengan masyarakat cukup renggang tidak erat seperti seharusnya.24
b. Alim Ulama
Alim ulama bertanggung jawab dalam hal agama dan kerohanian di nagari.
Mereka adalah orang surau yang paham dengan agama dan juga berpengalaman di
suatu surau atau institusi pendidikan agama tertentu. Mereka paham dengan seluk-
beluk agama terutama hukum-hukum agama.25
Jumlah mereka dalam nagari tidak
lah menentu dan terukur seperti halnya jumlah dari niniak mamak di nagari yang
bisa ditentukan dari jumlah kaum dan suku yang ada di nagari. Sesuai dengan
Perda Kab. Tanah Datar No. 4 Tahun 2008, minimal 5 (lima) orang alim ulama
menempati Lembaga Unsur Ali Ulama yang diinisiasi pembentukannya dan
dilindungi oleh KAN (Kerapatan Adat Nagari). Biasanya dalam tiap suku dan atau
tiap jorong minimal terdapat satu orang alim ulama. Jadi jumlah alim ulama
dalam nagari sangat memungkin lebih dari 5 (lima) yang tercatat dalam lembaga
unsur.
Tugas utama mereka adalah melakukan dakwah bagi masyarakatnya.
Dakwah dengan lisan dan juga dakwah dengan perbuatan.26
Mereka menempati
surau untuk mengajarkan pelajaran agama atau mengaji kitab. Mereka juga harus
24
Wawancara pribadi dengan Elsha Idil Fathi, Wali Jorong Tanjuang Limau. Pada
27 Juni 2016, bertempat di kediaman pribadi di Jorong Tanjuang Limau, Nagari Simabur. 25
Wawancara pribadi dengan Muhammad. 26
Wawancara pribadi dengan Muhammad.
90
turun langsung ke lingkungan masyarakat nagari, dalam rangka da’wah bil hal.
Mengajak masyarakat nagari terutama kaum muda untuk menjaga moral dan
perbuatan. Terlebih dahulu alim ulama sendiri memberikan contoh kepada
masyarakat yang diajaknya untuk beprilaku baik tersebut. Singkatnya selain
mengajarkan pelajaran agama Islam dan berdakwah di surau atau masjid, juga
menjadi contoh langsung bagi kehidupan bermasyarakat sesuai ajaran Islam. Alim
ulama karena mereka menempati pos kepemimpinan dalam bidang agama, sudah
lazim mereka menjadi tempat bertanya dan mencari solusi mengenai masalah
keagamaan.
Kondisi alim ulama di Simabur sekarang digambarkan dan dijelaskan
alim ulama sekarang sangat jauh bedanya dengan alim ulama yang dahulu. Alim
dahulu dakwahnya tidak hanya dengan lisan tapi juga dakwah bil hal
(perbuatan/contoh). Sedangkan alim ulama sekarang hanya dakwah dengan lisan,
dalam bahasa lain hanya pintar bicara atau retorika saja, tidak dibarengi dengan
perbuatan. Sehingga sekarang masyarakat kebanyakan tidak begitu menyegani alim
ulama. Alim ulama itu selain paham betul dengan ilmu agamanya, dia juga
bertugas untuk mengarahkan para generasi muda untuk berbuat baik, dan dia yang
lebih dahulu mempraktekan atau memberi contoh kepada generasi muda yang
dipimpin dan diarahkannya kepada agama tadi.27
Masyarakat lain juga mengakui demikian
tidak berapa orang alim ulama yang bisa kita identifikasi lagi. Seharusnya alim
ulama itu, pertama dia harus bisa tampil di depan masyarakat berbicara mengenai
ilmu agama. Kedua, cara berpakaian dan tingkah lakunya yang benar-benar terjaga
dan dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Sekarang kebanyakan alim ulama cuma
modal suara bagus untuk jadi imam saja.28
Alim ulama di Minangkabau sepertinya mempunyai standar yang cukup
tinggi di mata masyarakatnya. Alim ulama benar-benar harus matang dengan ilmu
agama Islam. Setidaknya dengan hukum-hukum dalam agama. Kalau berbicara
27
Wawancara pribadi dengan Muhammad. 28
Wawancara pribadi dengan Elsa Idhil Fathi.
91
hukum dalam Islam berarti minimal alim ulama menguasai ilmu fiqh yang untuk
memahaminya butuh pendidikan yang cukup. Pendidikan tersebut bisa dengan
jenjang pendidikan formal di pendidikan Islam atau belajar di surau dengan guru
yang bagus dan matang juga. kepandaian mereka dalam memahami ilmu agama
juga harus dibarengi dengan kelihaian mereka dalam menyampaikan ilmu tersebut
kepada masyarakatnya. Menyampaikan ilmu tersebut tidak hanya lewat
penyampaian lisan namun juga dengan perbuatan memberi contoh berakhlak baik
sesuai Islam kepada masyarakat nagari.
c. Cadiak Pandai
Cadiak pandai punya kriteria cukup sederhana yaitu orang yang
berpendidikan. Punya pengalaman cukup dalam hal dan untuk kemajuan nagari.
Dan berinteraksi cukup dengan masyarakat nagari untuk membagikan
pengetahuan dan pengalaman mereka tersebut. Dalam hal pendidikan tidak ada
aturan baku harus lulusan di tingkat pendidikan tertentu, tapi setidaknya harus
lebih tinggi dari pendidikan masyarakat nagari umumnya. Kalau masyarakat
nagari umumnya tamatan SMA, cadiak pandai tentu setidaknya mereka lulusan
perguruan tinggi yang bergelar diploma atau sarjana strata satu. Interaksi menjadi
poin penting juga. Mereka harus bergaul cukup akrab dengan masyarakat nagari.
Kalau tidak tentu, akan menyulitkan mereka sendiri menyampaikan ilmu dan
pengalamannya kepada masyarakat. Poin seperti ini menurut penelusuran penulis
bukanlah amanat dari adat, tetapi adalah suatu alamiah lingkungan sosial yang
menginginkan pemimpinnya dekat dengan masyarakatnya.
92
Mengenai pengalaman atau latar belakang pekerjaan juga, tidak ada aturan
baku. Namun umumnya para cadiak pandai adalah orang bekerja di institusi
pendidikan sebagai guru atau dosen, dan juga punya pengalaman lebih di birokrasi
dan pemerintahan. Selain itu cadiak pandai juga harus mempunyai jaringan di
luar nagari mereka untuk bisa mengembangkan akses nagari baik bersifat
birokrasi dari camat hingga bupati bahkan gubernur, ekonomi untuk
pengembangan usaha, dan juga informasi serta teknologi dan hal-hal lain yang
menunjang kemajuan nagari secara pemerintahan, ekonomi dan budaya seperti
yang disebutkan dalam kutipan wawancara di bawah ini:
cadiak pandai ini adalah orang yang punya pendidikan yang tinggi dan punya
wawasan luas yang berkontribusi untuk kemajuan nagari ini. Orang cadiak pandai
ini juga harusnya punya jaringan ke pemerintahan yang lebih tinggi dari nagari
seperti kecamatan dan kabupaten, bisa mengusahakan bagaimana nagarinya ini
akan maju secara fisik dan juga sumber daya manusianya. Cadiak pandai selain
punya pendidikan dan wawasan yang luas, dia juga harus bisa berhubungan secara
vertical dengan para pemerintahan yang lebih tinggi. Sehingga hubungan cadiak
pandai tidak hanya dengan masyarakat nagari tapi juga ke atas pemerintahan atau
jaringan di luar nagarinya. Beda dengan ninik mamak yang hubungannya cukup
dengan anak-kemenakan di nagari saja. Ninik mamak tida perlu membangun relasi
ke pemerintahan dan jaringan lain di luar nagari. Karena memang tugas ninik
mamak hanya perihal adat dan anak-kemenakan dalam kaum di suku Nagari
tersebut. Alim ulama juga sama halnya dengan ninik mamak, tidak harus tahu
dengan bupati atau jaringan lain di luar nagari. Jadi singkatnya, cadiak pandai
dalam berkontribusi untuk membangun nagarinya harus punya jaringan luas
terutama dalam pemerintahan, tanpa adanya hal dan kemampuan seperti itu akan
sulit bagi cadiak pandai untuk menjalankan fungsinya. Cadiak pandai selain
pengetahuan dan pendidikan yang tinggi, juga harus bisa bangun komunikasi dan
jaringan untuk kemajuan pembangunan nagarinya.29
Kepemimpinan cadiak pandai tidak lah dibatasi dalam kaum atau suku
seperti niniak mamak. Kalau niniak mamak lazim dipanggil gelar datuaknya lalu
gelar itu merujuk pada kaum dan sukunya. Kepemimpinan cadiak pandai adalah
29
Wawancara pribadi dengan Muhammad.
93
untuk masyarakat nagari keseluruhan. Sehingga untuk menyebutnya cadiak
pandai bersanding nama dengan nagari masing-masing.
Inti dari kualitas seorang cadiak pandai adalah mempunyai wawasan yang
luas dan tahu juga dengan aturan-aturan pemerintahan yang berlaku di daerah dan
nagarinya.30
Wawasan yang luas tentu didapat dari pengalaman yang
ditempuhnya. Sedangkan pengetahuan dan ilmu didapat dari pendidikan yang
telah mereka jalani. Cadiak pandai dalam pos kepemimpinan tungku tigo
sajarangan relatif lebih fleksibel kriterianya. Namun tidaklah mengurangi sama
sekali arti penting kepemimpinan mereka bagi masyarakat nagari. Penulis
menyebutkannya mereka lebih fleksibel karena syaratnya melihat gairah
pendidikan di Minangkabau umumnya cukup bagus, menjadi orang yang berhak
menjadi cadiak pandai seperti cukup banyak sekali. Kalau niniak mamak dibatasi
satu kaum dengan satu niniak mamak, dan alim ulama dibatasi oleh kemampuan
atau kualitas, pengalaman serta tugas yang melekat cukup berat. Cadiak pandai
hanya dibatasi oleh pendidikan dan pengalaman. Pendidikan menjadikan mereka
itu orang yang pandai. Sedangkan pengalaman menjadikan mereka orang yang
cadiak.
Cadiak lebih didahulukan dari kata pandai dalam istilah cadiak pandai.
Pandai mungkin cukup banyak dimiliki orang karena pendidikan. Namun soal
cadiak tidak semua orang yang pandai memilikinya. Cadiak adalah kemampuan
mengambil tindakan yang cepat dan tepat. Bisa mencari solusi akan permasalahan
dengan cepat dan tepat. Tentu hal tersebut didapat dari pengalaman yang dilalui.
30
Wawancara pribadi dengan Muhammad.
94
Nagari Simabur memiliki para cadiak pandai yang berlatar cukup beragam.
Mereka berlatar pekerjaan di pemerintahan atau birokrasi, pedagang atau
pengusaha dan di pendidikan sebagai guru dan dosen. Jumlah cadiak pandai
cukup banyak, dan ini dapat dilihat dari keadaan fisik Nagari Simabur yang cukup
bagus. Akses jalan hingga ke kampung-kampung, listrik dan air yang bisa
dinikmati seluruh masyarakat nagari.
Kriteria cadiak pandai yang dipahami oleh masyarakat nagari dan tentu juga
menjadi harapan masyarakat terhadap para cadiak pandai adalah:
Cadiak pandai adalah orang yang menjadi penggerak bagi setiap kegiatan dan
lapisan masyarakat nagari, terutama bagi para pemuda-pemudi. Walaupun
misalnya kegiatan tersebut semacam kemalangan itu adalah wilayah bagi alim
ulama, tetapi cerdik pandai lah yang membuka jalan, mempersiapkan dan
memberitahukan kepada masyarakat mengenai kegiatan tersebut. Jadi cadiak
pandai ini yang diperlukan bagi masyarakat ini tidak hanya ilmu namun juga
tenaganya.31
Cadiak pandai harusnya lebih bisa menunjukkan pengaruhnya dalam
masyarakat nagari. Hal ini karena perkembangan dunia dewasa ini menuntut
penguasaan ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi agar tidak tertinggal oleh
zamannya. Ditunjang juga oleh posisi nagari yang cukup strategis secara geografis
dan juga berada di ibu kota Kecamatan Pariangan. Seharusnnya para cadiak
pandai bisa mendapatkan informasi dan juga jaringan yang cukup untuk
dimanfaatkan demi kemajuan Nagari Simabur secara fisik dan sumber daya
manusianya. Jaringan yang penulis maksud adalah jaringan birokrasi yang relatif
lebih mudah aksesnya karena berada di ibu kota kecamatan. Juga jaringan secara
ekonomi karena letak Nagari Simabur dilintasi jalan propinsi yang
31
Wawancara dengan uda Sam, Pemuda Simabur. Pada 21 Juni 2016, bertempat di
Surau Kolam, Jorong Simabur, Nagari Simabur.
95
menghubungkan antar kabupaten/kota di Sumatera Barat dan juga jalan kabupaten
yang menghubungkan antar kecamatan.32
Namun tampaknya peran mereka masih
tetap seperti diserahkan kepada pemerintah Nagari. Pembangunan Nagari Simabur
lebih banyak diusahakan oleh wali nagari sekarang dan terdahulu. Walaupun tak
dipungkiri jalannya program adalah kesepakatan wali nagari dan BPRN yang juga
diisi oleh cadiak pandai.
3. Hubungan dan Interaksi dengan Masyarakat Nagari
Para elite lokal Minangkabau agak kurang interaksinya dengan masyarakat
Nagari, terutama niniak mamak yang mempunyai tugas cukup banyak bagi
kaumnya. Niniak mamak jarang berinteraksi dengan anak-kemenakannya. Padahal
sudah tugas pokok mereka untuk setidaknya seminggu sekali naik atau
mengunjungi rumah kemenakannya baik yang di rumah gadang kaum atau di
rumah keluarga.33
Hal ini berdasarkan penelitan dan wawancara penulis lakukan
setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor.
Faktor pertama, banyaknya niniak mamak yang tinggal tidak di Nagari
Simabur dan disekitarnya. Kebanyakan mereka merantau ke luar daerah Tanah
Datar bahkan di luar Sumatera Barat. Kedua, ketidakpahaman akan fungsinya
sendiri sebagai niniak mamak. Ketiga, yang mungkin menjadi faktor penting
adalah, kesibukan akan rumah tangga sendiri yang sudah menyita waktu dari
niniak mamak. Mereka banyak bekerja seharian dan di hari libur kerja juga tersita
oleh rumah tangga sendiri.
32
Jalan provinsi yang melintasi Simabur menghubungkan Kota Padang, Padang
Panjang, dan Bukittinggi menuju kota Batusangkar dan Payakumbuh. Melewati Nagari
Simabur juga bisa menjangkau Kota Solok dan Kabupaten Solok serta Sawahlunto. 33
Wawancara pribadi dengan Kharirunnas Datuak Sinaro.
96
Dahulu ketika tanah ulayat masih diakui negara dan banyak lahan yang
dikelola masyarakat nagari sendiri secara mandiri. Niniak mamak mempunyai
porsi atau jatah dari hasil pengelolaan tanah seperti sawah, ladang atau kebun.
Niniak mamak tidak terlalu memikirkan akan kesejahteraan mereka, walaupun
mereka tidak mungkin tidak bekerja juga. Kalau mereka tidak bekerja sama sekali,
wibawa mereka di hadapan kemenakan yang telah bekerja dan berekonomi baik
tentu akan turun juga. Setidaknya dengan jatah yang didapat mereka tidak terlalu
pusing dan menyibukan diri untuk menafkahi keluarga sendiri. Sehingga mereka
punya cukup waktu setidaknya sehari dalam seminggu untuk menemui para
kemenakannya. Tambahan pula dengan pemberian hasil dari pengelolaan tanah
suku, mereka jadi lebih merasa punya tanggung jawab karena ada hak juga yang
diberikan kaum dan suku.
Sementara interaksi alim ulama dengan masyarakat digambarkan sebagai
berikut:
Kalau alim ulama tadi hanya berdiam diri di surau atau masjid, sementara di luar
surau atau masjid tidak tahu apa yang telah dilakukan masyarakatnya, tentu tidak
tersampaikan kewajiban yang dipegangnya tersebut. Makanya kalau dia duduk‟
atau nongkrong di warung atau kedai-kedai kopi, dengan misi atau tujuan tadi
(amar ma‟ruf nahi munkar) sangat dimaklumi. Singkatnya dia harus tahu dan akrab
dengan masyarakat. Kewajiban untuk dakwah tidak hanya di surau/masjid, tetapi
seluruh lingkungan masyarakat Nagari.34
Alim ulama juga dituntut interaksi dan keakrabannya dengan masyarakat
nagari. Pengaruh mereka di masyarakat nagari lebih luas dan fleksibel. Mereka
tidak terikat hanya pada kaum atau sukunya. Masyarakat nagari menjadi tanggung
jawabnya bersama dengan alim ulama lainnya. Alim ulama bertugas untuk
menyampaikan dakwahnya kepada semua anggota masyarakat dan berinteraksi
34
Wawancara pribadi dengan uda Sam.
97
cukup, agar semua anggota masyarakat bisa dan mau hadir di surau-surau atau
masjid. Kalaupun ingin masyarakat hadir ke surau-surau atau masjid tersebut
tentu harus melalui ajakan yang dilakukan alim ulama langsung kepada
masyarakat nagari. Interaksi alim ulama Nagari Simabur dengan masyarakat
digambarkan sebagai berikut:
kalau kuantitas mungkin menurut saya cukup ada, tetapi yang sangat terlihat
sosialisasi, hubungan dekat para ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai
dengan masyarakat sangat lah kurang. Di tambah juga menurut saya, masing-
masing kepemimpinan tadi tidak tahu dengan fungsi dari bidang mereka masing-
masing. Ilmu yang mereka miliki sebelum dan sesudah mereka menjadi tokoh
masyarakat tidak mau ditambah lagi oleh mereka. ... . Lalu sekarang lihat saja di
masjid dan surau-surau, kurang sekali kelihatannya para pemuda yang beribadah
baik rawatib maupun qiyamul lail/tarawih. Berarti kan kurang sekali peran alim
ulama dalam mengarahkan masyarakat terutama para pemuda. 35
Alim ulama diakui masyarakat kurang interaksinya dengan masyarakat
terutama dengan generasi muda. Sehingga dalam kegiatan agama dan ruhaniah di
surau dan masjid terasa sepi. Kurangnya interaksi menyebabkan mereka kurang
bisa menyentuh hati para generasi muda. Akibatnya para generasi muda lebih
asyik dengan hobi mereka masing-masing.
4. Relasi dan Peran dalam Pemerintahan Nagari
Dalam pemerintahan nagari peran elite lokal Minangkabau sangat terasa.
Pengelolalaan pemerintahan lebih efektif dan efisien. Pemerintahan sangat
terbantu karena wali nagari sebagai kepala pemerintahan masalah memberitahu
kepada elite lokal untuk bermusyawarah jika ada masalah. Paling nyata adalah
persoalan tanah dan perkawinan. Hal tersebut telah diatur oleh adat dan
wewenangnya ada pada niniak mamak. Jadi, niniak mamak lah yang memutuskan
35
Wawancara pribadi dengan uda Sam.
98
berdasarkan hasil musyawarah baik hanya sesama niniak mamak maupun dengan
alim ulama dan cadiak pandai. Ketika sudah ada keputusan atau persetujuan
(perkawinan dan jual beli tanah harus ada persetujuan dari niniak mamak
bersangkutan), wali nagari tinggal menyetujui dan menandatangani untuk
mendapat surat-surat administrasi untuk pengurusan lebih lanjut di birokrasi
pemerintahan.
Masalah atau sengketa di masyarakat nagari tidak langsung naik ke hukum
formil. Pemerintahan nagari yang dipimpin wali nagari akan meminta para elite
lokal menyelesaikannya secara kekeluargaan berdasarkan musyawarah. Niniak
mamak kedua belah pihak akan dihadirkan selain dimintai juga pendapat dari alim
ulama dan cadiak pandai dalam nagari.
Pemerintahan nagari sebagai pemerintahan terendah di Sumatera Barat
terutama di Kabupaten Tanah Datar, dengan diakomodirnya para elite lokal dalam
struktur pemerintahan nagari mendapat beberapa keuntungan. Keuntungan
pertama adalah pengakuan dan rasa hormat atau diakuinya pemerintahan tersebut
oleh anggota masyarakatnya. Dalam kata lain, struktur pemerintahan terendah di
wilayah tersebut, mendapat legitimasi dari masyarakat Minangkabau yang
mendiami wilayah tersebut. Tanpa ada keterlibatan para elite lokal, atau
pemerintahan nagari diisi oleh hanya birokrat semata. Masyarakat tidak
meligitimasi struktur pemerintahan tersebut seperti pemerintahan desa yang lama
di wilayah mereka. Masyarakat hanya sekedar memanfaatkan untuk pengurusan
administrasi kependudukan mereka. Tidaklah mereka memanfaatkan untuk
99
menyuarakan aspirasi dan ide mereka mengenai kemajuan dan pembangunan
nagari.
Yasril Yunus dalam peneletiannya, mengatakan bahwa persepsi tokoh dan
masyarakat Minangkabau terhadap pemerintahan nagari sangat bagus. Hal
tersebut tentu dipengaruhi terutama oleh budaya masyarakat sendiri.
Pemerintahan nagari berdasarkan penelitian Yasril Yunus, lebih mencerminkan
aspirasi masyarakat Minangkabau dan juga lebih sesuai secara sosio-kultural
masyarakat Minangkabau.36
Ditambah sekian lama mereka mendambakan struktur
pemerintahan yang tetap menjaga kesatuan adat mereka. Masyarakat mengakui
pemerintahan nagari karena sesuai dengan budaya tradisi mereka dicerminkan
dengan keterlibatan para pemimpin mereka di struktur nagari yakninya niniak
mamak, alim ulama dan cadiak pandai. Pemimpin mereka berada terutama di
BPRN yang bersama dengan Wali Nagari menjalankan pemerintahan Nagari.
Selain itu ada KAN wadah bagi semua niniak mamak yang menjadi pemimpin
dalam hal adat. KAN membentuk lembaga-lembaga unsur alim ulama, cadiak
pandai, pemuda dan bundo kanduang.
Kondisi pemerintahan nagari sekarang benar-benar dilihat oleh masyarakat
sebagai pemerintahan yang cocok dengan mereka terutamanya karena para
pemimpin mereka, elite lokal Minangkabau yang terdiri dari niniak mamak, alim
ulama dan cadiak pandai berada di dalam struktur formal nagari tersebut.
Sekarang ninik mamak beserta alim ulama dan cadiak pandai sudah diikutsertakan
dalam jalannya pemerintahan Nagari baik dalam pembangunan Nagari maupun
dalam pembuatan peraturan-peraturan Nagari. Pembuatan peraturan Nagari
dilakukan oleh BPRN yang di dalamnya terdapat ninik mamak, alim ulama dan
36
Yunus, Pemerintahan Nagari pada Orde Baru, 12-14.
100
cadiak pandai disamping juga diisi oleh pemuda dan bundo kanduang. Dan
peraturan itu yang nantinya akan dijalankan dan dilaksanakan oleh Wali Nagari.
Jadi jalannya pemerintahan Nagari adalah hasil pemikiran dan kerja para ninik
mamak, alim ulama dan cadiak pandai yang masuk pada struktur BPRN.37
Keuntungan lainnya adalah berkurangnya beban pemerintahan Nagari
dalam mengurus permasalahan masyarakatnya. Lewat kepemimpinan tungku tigo
sajarangan, setiap permasalahan akan dimusyawarahkan dan dicarikan jalan
keluarnnya. Wali Nagari tinggal menyetujui dan memfaisilitasi mereka saja.
Misalnya terjadi perselisihan atau pertengkaran antara dua pemuda. Wali Nagari
akan memanggil niniak mamak kedua dari kedua pemuda tersebut. Lalu
dipertemukan difasilitasi untuk bermusyawarah. Dibantu juga oleh alim ulama
dan cadiak pandai didapatlah jalan keluar dengan memuaskan kedua belah pihak.
Sehingganya Wali Nagari tidak perlu menyelesaikan permasalahan tersebut
dengan melapor kepada pihak kepolisian. Begitu pula dengan sengketa tanah, ada
KAN lembaga para niniak mamak yang mengurusi harta dan tanah di Nagari.
Wali Nagari akan meminta para niniak mamak menentukan duduknya persoalan.
Diminta lah keputusan dari para niniak mamak tersebut. Sehingga tak perlu Wali
Nagari menyelesaikannya lewat pengadilan.
37
Wawancara pribadi dengan Muhammad.
101
D. Analisa Teoretis
Niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai menjadi elite yaitu sebagian
kecil orang yang memimpin sebagian banyak orang lainnya. Mereka menjadi
elite karena adat dan tradisi Minangkabau yang memberikan posisi tersebut dalam
pranata sosial nagari. Proses menjadi elite dari ketiga elite lokal Minangkabau
tidak sama persis. Niniak mamak menjadi elite dipengaruhi oleh faktor keturunan
yang dibuktikan oleh silsilah yang dibuat oleh kaum dalam suatu suku yang
disebut dengan ranji.38
Status atau posisi yang tinggi dalam silsilah atau ranji
kaum menentukan keterpilihan seorang niniak mamak. Keluarga-keluarga di
dalam kaum akan mencalonkan seoarang lelaki dewasa yang dianggap memenuhi
syarat. Hasil musyawarah dan mufakat dari kaum akan menentukan siapa niniak
mamak sebagai pemangku adat kaum mereka. Kriteria dan kualitas seorang niniak
mamak diantaranya adalah punya pemahaman cukup mengenai adat, tidak tercela
secara adat dan agama, dan bisa membimbing anak-kemenakan se-kaum.
Alim ulama dan cadiak pandai tidaklah mensyaratkan mengenai keturunan
atau silsilah ranji dalam menentukan keelitan mereka. Alim ulama dan cadiak
pandai yang lebih ditekankan adalah kualitas personal. Alim ulama merupakan
orang yang paham betul dengan agama meliputi terutamanya hukum-hukum
dalam ajaran Islam, menjadi imam dan berdakwah menyeru kepada rakyat nagari
38
Ranji merupakan silsilah anggota keluarga dalam adat Minangkabau. Suatu
keluarga dibawah kaum yang disebut paruik perlu membuat ranji agar mengetahui
kedudukan mereka dikeluarga siapa yang lebih tinggi alurnya. Bisa jadi seseorang paman
lebih muda dari pada kemenakannya. Lewat penggunaan ranji bisa diketahui bahwa
walaupun lebih muda, dia merupakan paman dari kemenakan tersebut dan lebih berhak
menjadi seseorang niniak mamak atau mendapat gelar datuak jikalau terjadi pewarisan
sako atau gelar adat di kaumnya.
102
untuk selalu menerapkan ajaran Islam. Cadiak pandai kualitasnya adalah orang
cerdik atau pintar yang mampu mencarikan jalan keluar untuk segala sesuatu yang
disebut dalam bahasa Minang orang yang cadiak. Lalu punya kualitas pandai
yakninya kemampuan atau keahlian yang didapat dari pendidikan atau keahlian
yang telah lama ditempuh dan dijalani. Ketiga elite lokal Minangkabau dibarengi
dengan fungsi dan tugas dalam masyarakat nagari. Elite adat, niniak mamak,
berfungsi menjaga nilai adat, tradisi dan budaya Minangkabau yang dikenal tak
lapuak dek hujan tak lekang dek paneh. Niniak mamak menjadi pemimpin kaum
dalam hal mengurus gelar adat (sako) dan tanah ulayat kaum (pusako). Niniak
mamak menjadi panutan seluruh anggota kaum terutama para kemenakannya.
Menjadi panutan mensyaratkan niniak mamak tidak hanya mengikuti alur dari
ranji tetapi juga kepatutan dari kualiatas seorang niniak mamak.
Alim ulama berfungsi sebagai pemimpin dalam agama dan ruhaniah
masyarakat nagari. Mereka mengkaji mengenai hukum-hukum agama, berdakwah
dengan lisan dan juga dengan perbuatan. Masyarakat diarahkan dan diajak untuk
beribadah di surau-surau dan masjid, menjaga dan membimbing para generasi
muda untuk mempunyai moral dan akhlak yang Islami.
Cadiak pandai berfungsi dalam memberikan pertimbangan atau masukan
dalam kemajuan nagari secara fisik dan non-fisik. Nagari terintergarasi dalam
hukum positif Negara Republik Indonesia, sehingga cadiak pandai juga dituntut
paham dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemajuan nagari
terutamanya adalah menyangkut pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta pengembangan perekonomian masyarakat nagari.
103
Elite lokal Minangkabau adalah elite yang dipengaruhi oleh budaya dan
tradisi, tetapi juga mensyaratkan kualitas tertentu untuk menjadi atau mencapai
elite tersebut. Mereka berbeda dengan elite dalam suatu tradisi budaya lain yang
dominan dipengaruhi keturunan dan status sosial keluarga. Menempati posisi elite
Minangkabau di nagari harus dibarengi dengan kualitas. Elite lokal Minangkabau,
berdasarkan pemahaman teori elite dari Pareto dan Mosca, merupakan sedikit
orang yang memimpin sebagian banyak lagi masyarakat dalam suatu nagari.
Menurut Mills, elite adalah mereka yang menduduki posisi komando pada
puncak-puncak pranta-pranata utama dalam masyarakat. Kedudukan institusional
mereka yang utama tersebut menjadikan mereka para elite mengambil keputusan-
keputusan yang akibatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Niniak
mamak, alim ulama dan cadiak pandai adalah orang-orang yang berada di atas
struktur masyarakat nagari. Mereka mengambil keputusan dengan cara
musyawarah terkait dengan nagari dan keputusan tersebut dirasakan oleh seluruh
masyarakat nagari.
Elite menurut Laswell, tidak hanya karena posisi mereka yang dominan di
dalam masyarakat. Elite juga memiliki sebagian banyak dari nilai-nilai, karena
kecakapan serta sifat-sifat kepribadian mereka. Nilai-nilai yang dimaksud berupa
kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan dan sebagainya. Niniak mamak,
alim ulama dan cadiak pandai menjadi elite karena selain dari posisi yang
dominan juga karena kecakapan yang dimiliki dan kepribadian yang baik serta
menjadi panutan massanya yakni masyarakat nagari.
104
Elite lokal Minangkabau dibekali dengan kekuasaan yang dengan kekuasaan
tersebut mereka melaksanakan tanggung jawab mereka sebagai elite yang
diamanahkan masyarakat berdasarkan adat dan budaya. Kekuasaan masing-
masing elite tidak lah sama. Niniak mamak mempunyai kuasa terhadap
kemenakan dalam kaumnya. Sedangkan alim ulama dan cadiak pandai
mempunyai kuasa tidak terbatas pada kaum dan suku, mereka menjadi memimpin
masyarakat se-nagari. Kekuasaan niniak mamak pada kaum menyangkut harta
benda seperti rumah gadang dan tanah ulayat milik kaum (pusako) dan mengenai
gelar adat (sako). Alim ulama dan cadiak pandai tidak lah menguasai suatu harta
benda seperti niniak mamak. Mereka lebih dihandalkan adalah kemampuan atau
kualitas personalnya. Kekuasaan mereka lebih ditunjukan dalam bentuk pengaruh.
Pengaruh alim ulama tentu dalam bidang agama. Pengajaran di surau atau
lembaga agama milik nagari, hukum-hukum agama menjadi wilayah khusus bagi
mereka. Jikalau terjadi suatu perselisihan atau masalah dan berkaitan dengan
moral, akhlak dan agama, maka alim ulama lah yang paling dominan untuk
berbicara dalam forum musyawarah dan mufakat.
Begitupun dengan cadiak pandai, kekuasaan mereka juga ditujukan dalam
bentuk pengaruh. Ide dan gagasan mereka untuk kemajuan nagari sangat lah
penting bagi masyarakat nagari. Kombinasi antara cadiak (cerdik) sebagai
kemampuan berpikir mencari jalan keluar dan pandai sebagai hasil dari
pendidikan dan pengalaman, menjadikan cadiak pandai begitu berpengaruh dalam
pengembangan kegiatan atau program yang akan dijalankan di nagari.
105
Temuan di lapangan banyak dari kelompok elite lokal tidaklah mempunyai
kualitas yang menyertai keelitan mereka. Posisi elite yang mereka terima adalah
keharusan dalam struktur nagari secara struktural dan juga formal. Sehingga elite
yang terpilih tidak atau belum tentu punya kualitas seperti yang disebutkan secara
adat dan budaya dalam tradisi masyarakat Minangkabau. Kualitas yang mereka
miliki tidak seperti yang diharapkan masyarakat nagari. Kualitas yang dimiliki
tentu tidak begitu berpengaruh pada posisi elite mereka, karena ketika mereka
terpilih atau dianggap sebagai bagian dari posisi elite bisa jadi mereka yang
terbaik dari yang lain walaupun belum seperti yang ideal masyarakat syaratkan.
Kualitas mereka berpengaruh terhadap kekuasaan mereka terhadap masyarakat
nagari. Niniak mamak menjadi dihormati atau terlihat berwibawa dan berbeda
ketika hanya dalam forum, kegiatan atau upacara adat. Di luar kegiatan atau
upacara adat mereka tidak terlihat berbeda, mereka sama saja dengan masyarakat
kebanyakan tidak mempunyai wibawa. Kondisi tersebut menjadikannya sulit
mengharapkan niniak mamak bisa menggunakan kekuasaan dalam bentuk
pengaruh untuk membimbing kemenakannya dan menjadi panutan anggota
kaumnya. Begitu juga dengan alim ulama dan cadiak pandai, kekuasaan mereka
yang hanya dalam bentuk pengaruh tidak lah seperti yang diharapkan karena
kualitas yang mereka juga kurang dari ideal.
Kekuasaan dan pengaruh para elite lokal yang berkurang karena kualitas
yang mereka miliki diperparah oleh interaksi yang kurang dengan anggota
masyarakat nagari. Niniak mamak banyak yang tinggal di rantau dan yang tinggal
di nagari atau sekitar nagari pun banyak disibuki oleh urusan rumah tangga
106
mereka sendiri. Sehingga anak kemenakan jarang atau bahkan jarang dikunjungi
untuk menjaga kekompakan dan membimbing mereka untuk menjaga budaya dan
tradisi Minangkabau dalam kaum. Alim ulama kurang interaksinya dibuktikan
dengan kurangnya gairah masyarakat untuk ikut kegiatan agama di surau-surau
dan masjid. Kenakalan remaja juga menjadi bukti lain kurangnya interaksi para
alim ulama. Cadiak pandai peran mereka lebih banyak diperankan pemerintahan
nagari untuk kemajuan nagari, walaupun dalam forum musyawarah pasti ada
wakil dari cadiak pandai tampaknya hanya untuk menggenapi keputusan
musyawarah mufakat untuk tetap berpatokan pada tungku tigo sajarangan.
Masyarakat bahkan banyak yang tidak tahu siapa saja cadiak pandai dalam
nagari, mungkin yang tahu hanyalah karena ada lembaga unsur cadiak pandai
yang dibentuk dan dilindungi KAN. Bahkan kompisisi cadiak pandai dalam
lembaga unsur juga banyak dinilai asal tunjuk, asal terisi komposisi lembaga
unsur tersebut.
Kekuasaan dan pengaruh elite lokal Minangkabau dalam nagari dianggap
kurang karena faktor kualitas personal elite dan interaksi yang kurang dengan
masyarakat nagari. Penggunaan kekuasaan melalui paksaan hanya bisa dilakukan
dalam bentuk denda dan sanksi adat (misalnya diusir oleh dari nagari dan dibuang
sepanjang adat). Penggunaan kekuasaan dalam masyarakat sederhana seperti yang
disampaikan Sanderson adalah dalam bentuk pengaruh yang membuat orang
berbuat seperti yang kita inginkan tetapi tidak dibarengi dengan paksaan dan
penggunaan kekerasan (fisik). Pengaruh dalam masyarakat yang sederhana seperti
nagari, hanya bisa berfungsi dengan baik ketika interaksi yang cukup intens
107
dengan masyarakatnya. Elite lokal Minangkabau belum bisa menggunakan
kekuasaan dalam bentuk pengaruh karena interaksi yang kurang dengan anggota
masyarakatnya. Elite lokal Minangkabau adalah pemimpin yang diberikan secara
kultural dan akhirnya juga diakui secara legal-formal. Sumber kekuasaan mereka
adalah kekuatan panutan (referent power) yang menjadikan perilaku elite sebagai
panutan masyarakat terefleksi pada kharisma, sifat yang simpatik dan sifat lain
yang harus dimiliki pemimpin dan berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Elite
lokal Minangkabau juga mulai kehilangan kharisma dan perilaku yang tidak
berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sehingga mereka kehilangan sumber
kekuasaan mereka yaitu kekuatan panutan yang didapat dari masyarakat secara
kultural.
108
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Struktur nagari berpengaruh secara baik atau positif terhadap elite
lokal Minangkabau di nagari. Hal ini disebabkan struktur formal yang
terbentuk mengakomodir kekuasaan yang mereka miliki dalam
masyarakat nagari berdasarkan adat dan budaya Minangkabau.
2. Struktur nagari berpengaruh secara baik terhadap elite lokal di nagari,
juga dikarenakan antara struktur formal dan struktur secara kultural
tidak lah saling bertolak belakang atau bersifat kontradiksi seperti yang
terjadi pada struktur pemerintahan desa. Struktur formal dan struktur
kultural saling mendukung, karena semangat dan tujuan peraturan
daerah yang mengatur adalah untuk mengembalikan kehidupan
bernagari atau yang dikenal dengan wacana baliak ka nagari. Elite
lokal Minangkabau mendapat tempat di pemerintahan nagari dan
menempatkan tempat kembali di masyarakat yakni dalam struktur
nagari.
3. Kembalinya fungsi elite lokal Minangkabau dalam masyarakat nagari
belum diikuti oleh kesiapan secara kualitas elite lokal Minangkabau
sendiri. Masyarakat (secara persepsi) dan pemerintahan telah siap
untuk wacana kembali ke nagari. Namun yang ditemukan belum
didapat kualitas yang diharapkan dari elite lokal yang ada di nagari.
109
4. Kekuasaan elite lokal Minangkabau yang diamanahi tradisi secara
kultural, baru berfungsi dan digunakan dalam hal-hal normatif seperti
masalah pusako-sako, sengketa tanah, perkawinan dan acara adat
lainnya. Kekuasaan yang dimilik belum berfungsi sesuai yang
diharapkan masyarakat nagari yaitu menjadi pemimpin tempat segala
masalah anak nagari diberitakan. Elite lokal Minangkabau tugasnya
adalah memimpin adat dan menjaga tradisi Minangkabau (niniak
mamak), menjaga akhlak, moral dan rohaniah (alim ulama) dan
berperan bagi kemajuan nagari secara fisik dan non-fisik (cadiak
pandai).
5. Kekuasaan yang dimiliki elite lokal Minangkabau belum berfungsi
dengan baik, selain kualitas yang dimiliki kurang, juga karena
kurangnya interaksi dengan masyarakat. Masyarakat yang sederhana
seperti nagari sangat mengharapkan keakraban pemimpin dengan yang
mereka pimpin. Hal ini menyebabkan kurangnya rasa percaya atau
trust dan modal sosial yang dimiliki pemimpin, sehingga mereka
berkurang pengaruhnya bagi masyarakat nagari. Pengaruh sebagai
bagian dari kekuasaan akhirnya tidak dimiliki elite lokal Minangkabau.
Akibatnya kekuasaan elite lokal belum bisa digunakan semestinya.
Hasil temuan membuktikan masyarakat masih sangat kuat persepsinya
(dipengaruhi adat dan tradisi) menganggap tungku tigo sajarangan
sebagai pemimpin atau elite bagi mereka. Hal ini berarti kewenangan
sebagai kekuasaan yang diberikan legitimasinya oleh adat dan budaya,
110
masih dimiliki oleh elite lokal Minangkabau. Tetapi, berdasarkan
temuan, elite lokal Minangkabu tidak menggunakannya.
6. Penulis tidak menyimpulkan baliak ka nagari (kembali ke nagari)
hanya tinggal wacana dan menganggap Peraturan Daerah Kabupaten
Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2008 berjalan sia-sia. Karena dampak
dari perda terhadap struktur nagari secara kultural yang dipimpin elite
lokal Minangkabau cukup baik, setidaknya sebagian dari elite menjadi
pejabat pemerintahan nagari. Birokrasi merupakan salah satu sumber
kekuasaan. Hal itu bisa menjadi semacam pengingat kepada elite lokal
Minangkabau bahwa mereka adalah pemimpin bagi masyarakat nagari.
Pemimpin yang ditunggu peran dan fungsinya di nagari.
B. Saran
1. Masyarakat harus tetap optimis untuk hidup bernagari dan tetap
menghormati elite lokal Minangkabau yang memimpin di nagari.
Kalau mereka tidak dihormati dan dihargai, mereka bertambah tidak
peduli dengan fungsi dari kekuasaan mereka.
2. Elite lokal Minangkabau, tungku tigo sajarangan, agar menambah
pengetahuan baik tentang adat, agama, dan wawasan umum lainnya
agar mempunyai kualitas beda dengan masyarakat nagari yang
dipimpin. Menjaga interaksi akrab dengan masyarakat, bersikap
terbuka, mengakui pendapat mereka benar jika memang benar dan
mengoreksi jika salah. Dan tak kalah penting adalah melakukan
regenerasi, menyiapkan generasi muda untuk paham dengan adat,
111
agama dan punya pendidikan yang bagus. Hal itu perlu dilakukan agar
kelak generasi muda tersebut ketika giliran mereka menjadi pemimpin
atau elie bagi masyarakat nagari, menjadi elite lokal Minangkabau
yang bisa menggunakan kekuasaan secara baik dan memimpin
masyarakat nagari untuk kemajuan baik fisik maupun non-fisik. Tentu
saja kemajuan tersebut tetap mempertahankan identitas masyarakat
Minangkabau yang berfalsafah ‘adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah’ (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah).
3. Pemerintah Kabupaten Tanah Datar dapat mempertahankan Peraturan
Daerah Nomor 4 tahun 2008 tentang Nagari. Kalau pun harus diganti
mengikuti peraturan perundang-undangan di atasnya, diganti dengan
peraturan daerah yang lebih baik lagi dalam mengakomodir elite lokal
Minangkabau. Elite lokal Minangkabau atau tungku tigo sajarangan,
merekalah pemimpin sesungguhnya dalam dan bagi masyarakat nagari.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberikan pelatihan dan
pembekalan kepada niniak mamak, alim ulama dan cadiak pandai
secara rutin dan berkelanjutan. Tujuannya agar kualitas yang dimiliki
mereka memadai dan dapat memimpin masyarakat nagari dengan baik.
112
DAFTAR PUSTAKA
Sumatera Barat, LKAAM. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah:
Pedoman Hidup Banagari. Sako Batuah: Padang, 2002.
Budiardjo, Miriam, ed. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1991.
________. Dasar-dasar Ilmu Politik. Edisi Reisi, cet. 3. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Cahyono, Heru, ed. Konflik Elite Politik Pedesaan. Yogyakata: Pustaka Pelajar,
2005.
Chilcote, Ronald. H, Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma. terj.
Haris Munandar dan Dudy Priatna. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Damsar. Pengantar Sosiologi Politik. Edisi Revisi. Jakarta: Pranada Media, 2012.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Kebangkitan Nasional
Sumatera Barat. Balai Pustaka: Jakarta, 1982.
Edison dan Nasrun Dt. Marajo Sungut. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum
Adat di Minangkabau (Bukittingi: Kristal Multimedia, 2010.
Graves, Elizabeth E. Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX/XX, terjm. Novi Andir dkk. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007.
Giddens, Anthony. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial
Masyarakat. terj. Maufur dan Daryatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Hamka. Kenang-kenangan hidup. Jilid II, cet. 3. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Kahin, Audrey. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik
Indonesia 1926-1998. terj. Azmi dan Zulfahmi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2005
Navis, AA. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: Grafiti Pers. 1986.
_____, ed. Dialektika Minangkabau. Padang: Genta Singgalang Press, 1983.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942. cet. 6. Jakarta:
LP3S,1991.
113
Mahyudin, Suardi dan Rustam Ibrahim. Hukum Adat Minangkabau: dalam
Sejarah Perkembangan Nagari Rao-Rao. Jakarta: Citatama Mandiri, 2002.
Maschab, Mashuri. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta: PolGov,
2013.
Schamndt, Henry J. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
sampai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Simanjuntak, Bungaran Antonius, ed. Dampak Otonomi Daerah di Indonesia:
Merangkai Sejarah Politik dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. 2013.
Sitepu, Anthonius P, Teori-teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 2010.
Ubaedillah, A dan Rozak, Abdul. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media Group.
2014.
Varma, SP. Teori Politik Modern. terj. Kritiarto dkk. Edisi keenam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2001
Jurnal
Haryanto, Elite Lokal dalam Perubahan Sistem Politik. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Vol. 13 No. 2 November 2009.
Nurdin, Betoven Vivit. “Antara Negara dan Nagari: Konstelasi Elit Lokal dalam
Rekontruksi Nagari di Minangkabau pada Masa Otonomi Daerah.” Jurnal
Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan. Vol. 3 No. 7. Juli-Desember
2009. [jurnal on-line] tersedia di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=258386&val=7023&titl
e=ANTARA%20NEGARA%20DAN%20NAGARI%20:%20KONTESTAS
I%20ELIT%20LOKAL%20DALAM%20REKONSTRUKSI%20NAGARI
%20DI%20MINANGKABAU%20PADA%20MASA%20OTONOMI%20
DAERAH; diunduh pada tanggal 4 November 2015.
Valentina, Teungku Rika dkk. Transisi Demokrasi Lokal dalam Komunitas Elite
Politik Minangkabau Modern: Studi Kasus pada Nagari Jawi-Jawi
Kabupaten Solok. [buku on-line] (Padang: UNAND, 2009); tersedia di
http://repository.unand.ac.id/789/1/artikelnya_DIPA_TENGKU_RIKA_V.2
009.doc; diunduh pada tanggal 17 Novemeber 2015.
114
Yunus, Yasril “Pemerintahan Nagari di Era Orde Baru: Persepsi Aparatur
Pemerintah Aparatur Pemerintah dan Masyarakat terhadap Pemerintahan
Nagari dan Otoritas Tradisional Minangkabau dalam Kaitannya dengan
Prospek Otonomi Daerah di Minangkabau” Tesis (Malang: Universitas
Brawijaya, 2000) [jurnal on-line]; tersedia di
https://jurnalskripsitesis.wordpress.com/2008/03/22/pemerintahan-nagari-di-
era-orde-baru-persepsi-aparatur-pemerintah-dan-masyarakat-terhadap-
pemerintahan-nagari-dan-otoritas-tradisional/; diunduh pada tanggal 4
November 2015.
_____________. “Perbedaan Persepsi Penyelenggara Nagari Luhak dan Rantau
terhadap terhadap Model Pemerintahan Nagari yang Partisipatif,” Tingkap.
Vol. IX No. 1 Tahun 2013. [jurnal on-line] tersedia di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=129188&val=1549;
diunduh pada tanggal 7 November 2015.
_____________. Model Pemerintahan Partisipatif yang Partisipatif dalam
Masyarakat Minangkabau,” Demokrasi, Vol. VI No. 2 Tahun 2007. [jurnal
on-line] tersedia di
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/viewFile/1141/976; diunduh
pada tanggal 17 November 2015.
Tim Penyusun Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Panduan Penyusunan Proposal dan Penyusunan Skripsi. 2015.
Dokumen Undang-Undang dan Peraturan Daerah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (file-pdf).
Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datat No. 17 Tahun 2001 tentang
Pemerintahan Nagari. (file-pdf).
Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Nagari. (file-pdf).
Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari (file-
pdf).
115
Wawancara
Asrul dan Syahrul, alim ulama Simabur. Wawancara pribadi pada 28 Juni 2016.
Afriamon, Pemuda Simabur. Wawancara pribadi pada 20 Juni 2016.
Datuak Mangkudum, Ketua BPRN Simabur. Wawancara pribadi pada 26 Juni
2016.
Helsa Idhil Fathi, Wali Jorong Tanjuang Limau. Wawancara pribadi pada 26 Juni
2016.
Irsyad Datuak Mangkuto, Pjs Wali Nagari Simabur dan Ketua BPRN Simabur
periode sebelumnya. Wawancara pribadi pada 19 Juni 2016.
Irsyafi Idrus Datuak Rajo Lelo Sampono, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM) Tanah Datar. Wawancara pribadi pada 30 Juni
2016.
Khairunnas Datuak Sinaro, Ketua KAN 2014-2020, niniak mamak Bendang
Baruah. Wawancara pribadi pada 28 Juni 2016.
Muhammad, Wali Nagari Simabur 2009-2015, alim ulama Simabur. Wawancara
pribadi pada 26 Juni 2016.
Rasman Datuak Mudo, mantan Kepala Desa Simabur dan Wali Nagari Simabur.
Wawancara pribadi pada 19 Juni 2016.
Sam, Pemuda Simabur. Wawancara pribadi pada 21 Juni 2016.
Musna, Fatmawati, dan Rahmalidia, Masyarakat Jorong Koto Tuo-Nagari
Simabur. Wawancara pribadi pada 26 Juni 2016.