Post on 01-Feb-2022
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
141
EFEKTIVITAS BAHAN AJAR MATEMATIKA BERBASIS BUDAYA
MANDAILING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN
KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
Sundut Azhari Hasibuan1, Shubuhan Syukri Hasibuan2
1STKIP Padang Lawas, Jl. Ki Hajar Dewantara No. 1 Sibuhuan Kec. Barumun Kab.Padang Lawas 22763, Email:
sundutazharihasibuan@gmail.com 2STKIP Padang Lawas, Jl. Ki Hajar Dewantara No. 1 Sibuhuan Kec. Barumun Kab.Padang Lawas 22763, Email:
Shubuhansyukri93@gmail.com
Abstrak:Penelitian ini bertujuan melihat efektivitas bahan ajar matematika berbasis budaya Mandailing untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Jenis penelitian adalah penelitian pengembangan,
subjek penelitian adalah siswa yang terdiri dari dua kelas masing-masing sebanyak 20 dan 21 orang siswa.
Selanjutnya dilakukan analisis data untuk melihat efektivitas bahan ajar yang dikembangkan dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa bahan
ajar berbasis budaya Mandailing efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.
Kemampuan komunikasi yang paling meningkat adalah kemampuan membuat gambar matematis. Hasil
penelitian ini memberikan motivasi dan dukungan kepada guru untuk mengembangkan bahan ajar sendiri. Guru
dapat menggunakan bahan ajar berbasis budaya Mandailing sebagai alternatif pembelajaran yang digunakan
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.
Kata-kata Kunci: Komunikasi Matematis, Budaya Mandailing, Efektivitas Bahan Ajar.
PENDAHULUAN
Sebelum melaksanakan proses
pembelajaran setiap guru perlu
mempersiapkan bahan ajar yang mereka
desain sendiri untuk digunakan dalam
pembelajaran. Sebab bahan ajar tidak hanya
akan digunakan oleh pribadi namun digunakan
juga oleh orang lain seperti siswa dan guru
lain dalam kegiatan belajar mengajar. Cheng
And Wang (2016) mengatakan bahwa
“mathematics textbooks, an important
component of intended curriculum, are
assumed to influence the enacted curriculum
that teachers developed and the modes of
students’ mathematics learning.” Bahan ajar
yang dirancang seorang guru akan sangat
menentukan keberhasilan siswanya. Di sisi
lain Xenofontos and Christos (2016)
mengatakan bahwa “we believe that, despite
the two series potentials for focusing “on the
developmental and evolutionary aspects of
mathematics as a discipline”, the way teachers
use the textbooks in classrooms does not allow
this to happen”.
Salah satu komponen dalam
pembelajaran yang memegang peranan
penting adalah bahan ajar. Cai, at all. (2009)
menyatakan bahwa “the teacher must be well
prepared and have the lesson well structured,
so as to run a teacher-led, yet student-centered
mathematics lesson”, maksudnya adalah guru
harus menyiapkan pembelajaran yang
terstruktur dengan baik sehingga pembelajaran
dapat terlaksana dan berpusat pada siswa.
Namun Choe and Hwang (2016) mengatakan
bahwa “sometimes they use other instructional
materials with mathematics textbook in their
class”.
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
142
Kendati demikian, dalam
pembelajaran di kelas guru tetap menggunakan
buku teks yang disusun oleh beberapa penerbit
tanpa menganalisis kebutuhan dan karakter
siswa terlebih dahulu. Sehingga dalam proses
pembelajaran sering kali siswa merasa
kesulitan dalam memahami bahasa maupun
konteks dari buku teks tersebut. Lestari (2013)
mengatakan bahwa kemampuan guru dalam
merancang ataupun menyusun materi atau
bahan ajar menjadi salah satu hal yang sangat
berperan dalam menentukan keberhasilan
proses belajar dan pembelajaran. Pembelajaran
membutuhkan berbagai sumber belajar yang
dapat mendorong siswa untuk belajar seperti
bahan ajar. Oleh karena itu, keberadaan bahan
ajar yang meliputi buku guru, buku siswa,
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
Lembar Kerja Siswa (LKS), dan instrument
penilaian sangat diperlukan karena melalui
bahan ajar guru akan lebih mudah dalam
melaksanakan pembelajaran dan siswa akan
lebih terbantu dalam belajar. Harmon dan
Jones (2005), Kaymakci (2012) mengatakan
“instructional materials play an
important role in ensuring the
effectiveness of teaching and learning
activities. Worksheet is a kind of
printed instructional material that is
prepared and frequently used by
teachers in order to help students to
gain knowledge, skills and values by
providing helpful comments”.
Penggunaan LKS dalam pembelajaran juga
sangat menentukan keberhasilan belajar siswa,
LKS seharusnya dapat membantu siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri,
namun sejauh ini efektivitas penggunaan LKS
masih jauh dari harapan, hal ini diindikasikan
bahwa soal-soal yang dirancang pada LKS
kurang memperhatikan karakter siswa, seperti
sosial budaya, kemampuan awal siswa. Soal-
soal yang terdapat dalam LKS seharusnya
memiliki tingkat kesulitan yang berbeda agar
siswa lebih tertantang, dan secara tidak
langsung siswa akan mengkonstruksi
pengetahuannya secara berjenjang pada saat
pembelajaran di kelas. Despina & Harikleia
(2016) mengatakan bahwa “our findings raise
awareness of problems that need to be
addressed in mathematics textbooks when
dealing with addition and subtraction in order
to build children’s complete understanding of
additive situations.”
Banks (2002) mengatakan matematika
merupakan salah satu keterampilan yang
dipandang penting untuk dikuasai siswa,
sehingga salah satu tujuan pendidikan berbasis
budaya adalah membantu mereka agar
menguasai keterampilan matematika. Konteks
budaya dalam pembelajaran di kelas
diharapkan dapat membantu siswa dalam
mengatasi kurangnya minat dan motivasi
siswa dalam belajar. Orey ( 2011) mengatakan
bahwa “Ethnomathematics presents
mathematical concepts of the school
curriculum in a way in which these concepts
are related to the students’ cultural and daily
experiences”. Lawrence (2013) mengatakan
bahwa “Ethnomathematics work ranges from
field reports of mathematical uses by various
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
143
cultural groups, to applications in classrooms,
cross-cultural projects, …”.
Pentingnya pemanfaatan budaya
dalam pembelajaran matematika tidak
dibarengi dengan kondisi remaja saat ini.
Agustin (2011) berpendapat bahwa pengikisan
nilai budaya yang dimiliki remaja saat ini
sangat dipengaruhi oleh arus globalisasi.
Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga
begitu kuat. Jauh sebelum usia remaja,
sekarang anak-anak TK cenderung suka
menonton acara-acara televisi yang semuanya
pengaruh luar. Pengaruh globalisasi tersebut
telah membuat banyak anak muda kita
kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-
gejala yang muncul dalam kehidupan sehari-
hari. Dari cara berpakaian banyak remaja-
remaja tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Tidak banyak remaja yag mau melestarikan
budaya bangsa dengan mengenakan pakaian
yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang
tingkah lakunya kurang sopan santun dan
cenderung tidak peduli terhadap lingkungan.
Contoh nyata adanya geng motor anak muda
yang melakukan tindakan kekerasan yang
menganggu ketentraman dan kenyamanan
masyarakat. Secara umum media telah
menyebabkan penyerapan budaya asing
terhadap budaya remaja. Televisi swasta
nasional dan televisi berlangganan, DVD juga
masuk secara bebas merupakan salah satu
faktor utama yang menyebabkan perubahan
perilaku remaja terhadap amalan budaya
mereka. Sebagian remaja sudah terpengaruh
dengan amalan budaya asing. Para remaja
mungkin merasa bahwa kebudayaan di
negerinya sendiri jauh dari perkembangan
zaman. Sehingga para remaja merasa gengsi
kalau tidak mengikuti perkembangan zaman
meskipun tidak sesuai budayanya. Akhirnya
para remaja lebih menyukai kebudayaan asing,
dibandingkan dengan kebudayaan kita sendiri.
Budaya yang digunakan dalam penelitian ini
adalah budaya Mandailing.
Budaya sangat menentukan
bagaiamana cara pandang siswa dalam
menyikapi sesuatu. Termasuk dalam
memahami suatu materi matematika. Ketika
suatu materi begitu jauh dari skema budaya
yang mereka miliki tentunya materi tersebut
sulit untuk difahami. Untuk itu diperlukan
suatu pendekatan dalam pembelajaran
matematika yang mampu menghubungkan
antara matematika dengan budaya mereka.
Kurangnya pengembangan budaya dalam
dunia pendidikan dapat dilihat dari minimnya
pembelajaran dan media pembelajaran yang
berbasis budaya. Menurut Martini (2011) guru
dan sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai
yang dikembangkan dalam pendidikan budaya
dan karakter bangsa ke dalam kurikulum,
silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran
yang telah ada. Oleh karena itu, pembelajaran
yang dilakukan harus menampilkan
karakteristik daerah yang diamanatkan dalam
kurikulum 2013. Karena dalam pembelajaran
berbasis budaya, lingkungan belajar akan
berubah menjadi lingkungan yang
menyenangkan bagi guru dan siswa, yang
memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
144
aktif berdasarkan budaya yang sudah mereka
kenal, sehingga dapat diperoleh hasil belajar
yang optimal (Fujiati & Mastur: 2014).
Pembelajaran berbasis budaya ini diharapkan
dapat menunjukkan hasil yang positif sesuai
dengan hasil penelitian (Suwito, dkk, 2016)
yang menyatakan bahwa pembelajaran
berdasarkan budaya Jawa dan Madura
(etnomatematika) menunjukkan hasil yang
sangat positif, yang diindikasikan adanya hasil
pengerjaan LKS yang baik dan hasil tes yang
baik pada materi keluarga segi empat dan
dengan pembelajaran ini juga mampu
meningkatkan kemampuan siswa dalam
mempresentasikan hasil karyanya. Untuk itu,
peneliti ingin mengembangkan bahan ajar
berbasis budaya Mandailing untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis siswa. Budaya Mandailing terdapat
di daerah Tapanuli bagian Selatan
sebuah daerah di Sumatera Utara, Indonesia.
Daerah ini merupakan daerah yang amat luas
yang meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan,
Mandailing Natal, Kota Padang Sidempuan,
Padang Lawas Utara dan Padang Lawas.
Pembelajaran berbasis budaya Mandailing
berfokus pada penciptaan suasana belajar yang
dinamis dengan mengekspresikan keterkaitan
antara konsep matematika dengan budaya
yang dapat dilihat pada benda-benda nyata,
seperti adat istiadat, bahasa, suku, kebiasaan
masyarakat, seni, pariwisata, dan lain-lain.
Dengan demikian, jika bahan ajar
yang digunakan dalam pembelajaran dikaitkan
dengan konteks budya diharapkan para siswa
termotivasi dan tidak merasa bosan dalam
belajarnya, sehingga kemampuan matematika
siswa akan lebih baik terutama kemampuan
komunikasi matematis. Menurut Lomibao
(2016) bahwa “Challenging students to
communicate both orally and in writing in
mathematics class help deepen their
conceptual understanding, improve
mathematics performance and reduce anxiety
towards mathematics. To develop students’
communication skills in writing, the
worksheets were used”.
Pentingnya komunikasi matematis
secara tertulis dikemukakan pada Math
Congress and Bansho (2010) yaitu:
“Written Communication enables
students to think about and articulate
what they know. Mathematical writing
also provides evidence of students’
mathematical understanding.”
Ahmad dan Jazuli (2009) mengatakan “the
mathematical communication is the basic
ability which must be possessed by
mathematics practitioners and users during
teaching-learning process and assessing
mathematics”. Hodiyanto (2017) mengatakan
karena pentingnya kemampuan komunikasi
matematis tersebut, seorang pendidik harus
memahami komunikasi matematis serta
mengetahui aspek-aspek atau indikator-
indikator dari komunikasi matematis, sehingga
dalam pelaksanaan pembelajaran matematika
perlu dirancang sebaik mungkin agar tujuan
mengembangkan kemampuan komunikasi
matematis bisa tercapai. Sefalianti (2014)
mengatakan kemampuan komunikasi menjadi
penting ketika antar siswa dilakukan, dimana
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
145
siswa diharapkan mampu menyatakan,
menjelaskan, menggambarkan, mendengar,
menyatakan dan bekerjasama sehingga dapat
membawa siswa pada pemahaman yang
mendalam tentang matematika.
Dalam penelitian ini kemampuan komunikasi
matematis dapat diartikan sebagai suatu
kemampuan siswa dalam menyampaikan
sesuatu ide atau gagasan yang diketahuinya
secara matematis melalui tulisan yang terjadi
di lingkungan kelas. Indikator kemampuan
komunikasi matematis melalui tulisan yang
diukur adalah:
1. Membuat gambar matematis, yaitu siswa
dapat menyajikan dan memvisualisasikan
masalah matematika ke dalam gambar.
2. Membaca gambar matematis, yaitu siswa
dapat memaknai gambar,dan
menyajikannya dalam ide matematika.
3. Mathematical expression yaitu siswa
dapat membaca dan menafsirkan data ke
dalam model matematika.
4. Writing text mathematics yaitu siswa
dapat mengungkapkan pendapat untuk
memberikan penjelasan atas jawaban.
Kendati kemampuan komunikasi matematika
itu penting, namun ironisnya, pembelajaran
matematika selama ini masih kurang
memberikan perhatian terhadap
pengembangan kemampuan ini, sehingga
penguasaan kompetensi ini bagi siswa masih
rendah. Lebih jauh (Izzati: 2010)
mengemukakan rendahnya kemampuan
komunikasi matematis siswa disebabkan oleh
praktik pembelajaran di sekolah yang
menunjukkan adanya “pergeseran” tujuan
pembelajaran matematika, indikator-indikator
pencapaian yang dirumuskan dalam rencana
pembelajaran lebih banyak berbentuk
pemahaman fakta-fakta dan konsep-konsep
matematik.
Dalam mengatasi permasalahan ini,
peneliti telah mengembangkan bahan ajar
berbasis budaya Mandailing berupa buku guru,
buku siswa, RPP, dan LKS. Efektivitas bahan
ajar menjadi perhatian penting dalam
penelitian ini, bahan ajar dikatakan efektif
apabila mencapai sasaran yang diinginkan,
baik dari segi tujuan pembelajaran dan prestasi
siswa (penguasaan content dan performance)
yang maksimal. Akker (2007) menyatakan
“effectiveness refer to the extent that the
experiences and outcomes with the
intervention are consistent with the intended
aims.”. Berdasarkan pernyataan tersebut
efektivitas dari bahan ajar dapat dilihat dari
bagaimana tingkat pengalaman yang terjadi
ketika bahan ajar tersebut digunakan. Dari segi
tujuan pembelajaran, bahan ajar dikatakan
efektif apabila ketuntasan belajar siswa
mencapai minimal 85% siswa memperoleh
nilai lebih dari atau sama dengan 2,67 dalam
skala 4,0. Selain itu, dari segi pengalaman
bahan ajar dikatakan efektif meliputi respon
siswa terhadap bahan ajar, waktu aktivitas
siswa, dan keterlaksanaan bahan ajar. Dalam
proses pengembangannya peneliti telah
terlebih dahulu melakukan analisis karakter
dan kebutuhan siswa sehingga bahan ajar
tersebut dapat membantu siswa dalam proses
belajarnya.
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
146
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian pengembangan bahan
ajar,subjek dalam penelitian ini melibatkan
dua kelas masing-masing 20 dan 21 orang
siswa. Kedua kelas ini memiliki kemampuan
awal yang sama atau berada pada 2 kelas yang
homogen. Selanjutnya dilakukan uji t untuk
melihat perbedaan efektivitas bahan ajar yang
dikembangkan dari uji coba 1 ke uji coba 2.
Dalam penelitian ini diberikan tes setelah
pembelajaran dilaksanakan.
Instrumen penelitian yang digunakan
adalah bahan ajar yang telah dikembangkan
yaitu buku guru, buku siswa, lembar kerja
siswa, RPP. Sedangkan instrumen pengumpul
data yang digunakan adalah tes kemampuan
komunikasi matematis siswa, angket respon
siswa, angket waktu aktivitas siswa, dan
angket keterlaksanaan bahan ajar.
Angket respon siswa dianalisis dengan
menghitung persentase banyak siswa yang
memberikan respon positif pada setiap
kategori yang dinyatakan dalam angket.
Respon siswa dikatakan positif jika 80% atau
lebih siswa merespon dalam kategori positif
(senang, baru, berminat, jelas, dan tertarik)
untuk setiap aspek yang direspon. Aktivitas
siswa dalam pembelajaran terdiri dari 5 aspek,
tiga aspek dari 1, 2, 3, 4, 5 dipenuhi dan 3, dan
4 harus dipenuhi. Keterlaksanaan bahan ajar
dikatakan berhasil jika terpenuhinya skor
kemampuan pada kategori “Baik” atau
minimal 3,50 dalam skala 5.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pembelajaran matematika berbasis
budaya lokal dirancang untuk berfokus pada
materi yang dikaitkan dengan budaya daerah
tempat siswa berasal. Pembelajaran
matematika berbasis budaya lokal dapat
menggambarkan keterkaitan antar konsep
dalam matematika dengan komunitas siswa,
dan membantu siswa untuk dapat
menunjukkan atau mengekspresikan
keterkaitan konsep matematika yang dipelajari
dengan budaya komunitasnya. Pembelajaran
berbasis budaya lokal merupakan salah satu
cara yang dipersepsikan dapat menjadikan
pembelajaran bermakna dan kontekstual yang
sangat terkait dengan komunitas budaya
dimana suatu bidang ilmu dipelajari dan akan
diterapkan nantinya dengan komunitas dimana
siswa berasal. Akibatnya pembelajaran
menjadi menarik dan menyenangkan karena
terjadi penciptaaan makna secara kontekstual
berdasarkan pengalaman awal siswa sebagai
seorang anggota suatu masyarakat budaya.
Salah satu pemanfaatan budaya
Mandailing dalam bahan ajar seperti acara
diskusi (markobar) para tetuah adat yang
melibatkan dalihan natolu (mora, kahanggi,
anak boru) dapat dilihat pada gambar LKS
berikut ini:
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
147
Gambar 1. Contoh soal matematika berbasis
budaya Mandailing
Hasil penelitian Ontario (2006) juga
menyatakan bahwa komunikasi matematis
tulisan membutuhkan lembar kerja nyata untuk
meningkatkan keaktivan siswa dalam proses
pembelajaran dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Disamping itu siswa
membutuhkan dukungan tambahan dalam
pembelajaran untuk mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis mereka yaitu “guru harus
menerapkan/ menggunakan bahan ajar yang
efektif dalam setiap pemebelajarannya.
Selanjutnya bahan ajar dikatakan efektif
apabila mencapai sasaran yang diinginkan,
baik dari segi tujuan pembelajaran dan prestasi
siswa (penguasaan content dan performance)
yang maksimal. Efektivitas bahan ajar dalam
penelitian ini dapat dilihat dari data hasil tes
kemampuan komunikasi matematis, respon
siswa, waktu aktivitas siswa, dan
keterlaksanaan bahan ajar yang disajikan pada
tabel berikut ini:
Tabel 1. Persentase Ketuntasan Belajar Siswa (Tes
kemampuan komunikasi matematis)
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa
ketuntasan siswa secara klasikal pada uji coba
1 hanya 60%, hal ini belum memenuhi kriteria
ketuntasan klasikal sebesar 85%. Sehingga
bahan ajar pada uji coba 1 belum memenuhi
kriteria keefektivan dan dilakukan uji coba 2.
Setelah uji coba 2 dilakukan dan diberikan tes,
ketuntasan belajar siswa secara klasikal telah
mencapai 90,476%, hal ini telah memenuhi
kriteria ketuntasan yang telah ditentukan.
Peranan bahan ajar dan guru sebagai fasilitator
belajar sangat menentukan keberhasilan
belajar siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hasil penelitian Dewi (2014)
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa yang
belajar dengan model pembelajaran
matematika berbasis komunikasi dan
berbudaya Indonesia (PM berbasis KMBBI) di
SMP Kota Medan. Lawrence (2013)
mengatakan bahwa “Ethnomathematics work
ranges from field reports of mathematical uses
by various cultural groups, to applications in
classrooms, cross-cultural projects, …”.
Suwito (2016) yang menyatakan bahwa
pembelajaran berdasarkan budaya Jawa dan
Madura (etnomatematika) menunjukkan hasil
yang sangat positif, yang diindikasikan adanya
hasil pengerjaan LKS yang baik dan hasil tes
yang baik pada materi keluarga segiempat dan
Keteran
gan
Uji Coba 1 Uji Coba 2
Jumlah
Siswa (%)
Jumlah
Siswa (%)
Tuntas 12 60 19 90,476
Tidak
tuntas 8 40 2 9,524
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
148
dengan pembelajaran ini juga mampu
meningkatkan kemampuan siswa dalam
mempresentasikan hasil karyanya. Selain itu,
respon siswa terhadap bahan ajar berada pada
kategori positif, karena rata-rata seluruh aspek
respon siswa lebih besar dari 80%, hal ini
dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 2. Data hasil respon siswa
No Aspek
Rata-
Rata
(%)
Krite
ria
(%)
1 Perasaan senang siswa
terhadap bahan ajar. 94,29
80
2 Respon siswa terhadap
kebaruan bahan ajar. 95,24
3 Respon siswa terhadap
keberminatan
mengikuti
pembelajaran
selanjutnya.
95,24
4 Respon siswa terhadap
kejelasan bahasa yang
digunakan pada bahan
ajar.
97,62
5 Respon siswa terhadap
ketertarikan pada
penampilan bahan
ajar.
92.85
Tabel 3. Data waktu aktivitas siswa
Secara keseluruhan, kelima kategori
aktivitas siswa telah mencapai persentase
waktu ideal yang ditetapkan karena berada
pada batas toleransi.
Tabel 4. Data hasil keterlaksanaan bahan ajar
Berdasarkan hasil analisis data uji coba 2,
bahan ajar yang dikembangkan sudah
memenuhi kriteria efektif, karena semua
indikator keefektifan yakni ketuntasan belajar
secara klasikal, respon siswa, waktu aktivitas
siswa, dan keterlaksanaan bahan ajar sudah
memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Selanjutnya, peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
Gambar 2. Nilai Tes Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa
Indikator membuat gambar adalah indikator
yang paling meningkat dibandingkan dengan
indikator yang lain dengan nilai N-Gain
sebesar 0,73 dan berada pada kategori
“tinggi”. Sedangkan indikator membaca
gambar, mathematical expression, dan written
text berada pada kategori “sedang”. Menurut
Penga
mat
Rata-Rata Skor
Pertemuan- Rata-
Rata
total 1 2 3
1 4,53 4,47 4,59
4,39 2 4,05 4,18 4,53
Rata-
Rata 4,29 4,32 4,56
Kriteri
a
Sangat
Baik
Sangat
Baik
Sangat
Baik
Sangat
Baik
Persentase Setiap Jenis Aktivitas (%)
Aktivi
tas 1
Aktivi
tas 2
Aktivi
tas 3
Aktivi
tas 4
Aktivi
tas 5
Rata-
rata 24.75 17.78 28.15 26.30 4.07
Kriteria
20 % ≤
PWI ≤
30 %
10 % ≤
PWI ≤
20 %
25 % ≤
PWI ≤
35 %
25 % ≤
PWI ≤
35 %
0 % ≤
PWI ≤
5 %
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
149
Ontario (2010) hal ini disebabkan oleh
“Another student might have a different, yet
equally valid, answer to the same question,
and that student’s understanding would be
revealed in his or her explanation”.
Maksudnya adalah setiap siswa memiliki cara
yang berbeda-beda dalam mengembangkan
kemampuan komunikasi matematisnya, dan
hal yang paling sering dilakukan siswa dalam
memahami masalah adalah dengan membuat
gambar terlebih dahulu agar lebih mudah
dipahami. Selain itu, Yoshida (2002)
menyatakan bahwa such board writing
includes the use of figures and diagrams of
students’ solutions and strategies to a lesson
problem.. Dengan demikian, sangat wajar
ketika indikator membuat gambar merupakan
indikator yang lebih baik dari indikator yang
lain. Hal ini dapat dilihat dari hasil jawaban
siswa seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 3. Hasil jawaban siswa pada uji coba 1
Pada test uji coba 1, kemampuan
siswa dalam membuat gambar belum lengkap
dan sempurna, hal ini terlihat dari jawaban
siswa yang hanya mampu membuat diagram
cartesiusnya saja, tanpa dilengkapi dengan
grafiknya. Namun, pada tes uji coba 2
kemampuan membuat gambar siswa sudah
lebih baik, hal ini dapat dilihat dari jawaban
siswa yang lebih lengkap seperti pada gambar
di bawah ini.
Gambar 4. Hasil jawaban siswa pada uji coba 2.
Untuk menunjukkan bagaimana peran
bahan ajar (textbooks) dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa
seperti yang diharapkan dalam pembelajaran
matematika., pembelajaran harus
menggunakan bahan ajar (textbooks) karena
bahan ajar dapat memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengembangkan kemampuan
komunikasi matematisnya. Penelitian Vui
(2013) menyatakan bahwa “Communication is
a tool which can help students to form
questions or ideas about concepts. Most of
teachers in Vietnam really need a practical
framework to develop students’ mathematical
communication in their actual classrooms.”
Maksudnya adalah sebagian besar guru di
Vietnam membutuhkan lembar kerja untuk
membangun kemampuan komunikasi
matematis siswa. Pentingnya kemampuan
komunikasi matematis siswa dikembangkan
juga dikatakan oleh Margareth dan Syahputra
(2017) yang menyatakan bahwa “students’
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
150
mathematical communication ability is really
need to be developed, because through
mathematical communication students can
think mathematically both oral and writing.”
Wood (2012), Vale dan Barbosa (2017)
mengatakan “mathematical communication is
the ability to communicate mathematical
knowledge properly and effectively.
Communication is an essential process in
learning mathematics”.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data di atas,
diperoleh kesimpulan bahwa bahan ajar
berbasis budaya Mandailing efektif untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis siswa, karena semua indikator
keefektivan bahan ajar telah memenuhi kriteria
yang ditetapkan yakni ketuntasan belajar
klasikal mencapai 90,467%, respon siswa
positif terhadap bahan ajar, waktu aktivitas
siswa berada pada waktu ideal, dan bahan ajar
terlaksana dengan sangat baik. Oleh karena itu
guru hasrus mampu mengembangkan bahan
ajar yang sesuai dengan karakter siswa. Peran
budaya dalam pembelajaran harus
dimaksimalkan agar siswa lebih tertarik untuk
mengikuti pembelajaran yang akan berakibat
kepada kemampuan matematis siswa semakin
baik. Peningkatan kemampuan komunikasi
matematis siswa pada indikator membuat
gambar matematis berada pada kategori
“tinggi”, indikator membaca gambar
matematis, mathematical expression, dan
written text berada pada kategori “sedang”.
Indikator kemampuan komunikasi matematis
yang paling meningkat adalah kemampuan
membuat gambar matematis.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
kesimpulan di atas, maka dapat disarankan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Para guru agar dapat menggunakan bahan
ajar berbasis berbasis budaya Mandailing
untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis siswa.
2. Siswa dapat menggunakan bahan ajar ini
dalam belajar kelompok maupun mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, D. (2011). Penurunan Rasa Cinta
Budaya Dan Nasionalisme Generasi
Muda Akibat Globalisasi. Jurnal
Sosial Humaniora, Vol 4 No. 2,178-
185
Ahmad Dan Jazuli. (2009). Jigsaw Type Of
Cooperative Learning As A Means
Of Improving High School Students’
Mathematical Communication
Ability. International Journal For
Educational Studies,207-217
Akker, J.V.D. dkk. (2007). Design Approaches
and Tools in Education and
Training. Kluwer Academic
Publisher.
Bansho and Math Congress, (2010).
Communication in the Mathematics
Classroom. ISSN: 1913 8482.
Toronto: The Literacy and Numeracy
Secretariat.
Cai, J. et all (2009). Effective mathematics
teaching from teachers perspective
(Eds).. Rotterdam: Sense Publishers.
Cheng,Q and Wang, J. (2016). Curriculum
Opportunities for Number Sense
Development: A Comparison of
First-Grade Textbooks in China and
the United States. Department of
Teaching and Learning University of
Nevada, Las Vegas,52-1
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
151
Dewi, I. (2014). Pengembangan Model
Pembelajaran Matematika Berbasis
Komunikasi Berkarakter dan
Berbudaya Indonesia (PM Berbasis
KMBBI) Siswa SMP di Kota Medan.
International Confrence on
Mathematics, Science, Technology,
Education and their Aplication.
Despina,D and Harikleia, L. (2016). Addition
and Subtraction Word Problems in
Greek Grade A and Grade B
Mathematics Textbooks: Distribution
and Children’s.
Fujiati & Mastur. (2014). Keefektifan Model
Pogil Berbantuan Alat Peraga
Berbasis Etnomatematika Terhadap
Kemampuan Komunikasi Matematis.
UNNES Journal of Mathematics
Education.
Hodiyanto. (2017). Kemampuan Komunikasi
Matematis Dalam Pembelajaran
Matematika. Admathedu Vol.7 No.1
Juni 2017,9-18
Hwang and Choe. (2016). Actual Conditions
of Operating Mathematics
Instruction In Accordance With The
Current 7th National Curriculum In
Korea. (Seoul : Korea Institute of
Curriculum and Evaluation), 21-1
Izzati,N. (2010). Komunikasi Matematik dan
Pendidikan Matematika
Realistik.Prosiding UNY. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Kaymakci, Selahattin. (2012). A Review
of Studies on Workseets in Turky.
Turky: US-China Education
Review, p. 57-64, ISSN 1548-6613.
Lawrence, S and Palhares, P. (2013). The Role
of Ethnomathematics in
Mathematics education. Colombia:
Revista Latinoamericana de
Etnomatemática, 6(3), 4-6.
Lestari, I. (2013). Pengembangan bahan ajar
berbasis kompetensi. Padang:
Akademia Permata.
Lomibao, dkk. (2016). The Influence of
Mathematical Comunication on
Students’ Mathematics Performance
abd Anxiety. American Journal of
Educational Research, Vol. 4, No. 5,
378-382.
Margareth, EG dan Syahputra, E. (2017). The
Difference of Students’ Ability on
Mathematics Communication
Through Numbered Heads Together
Combined with Inductive Deductive
Approach and Expository Method.
Advances in Social Science,
Education and Humanities Research,
volume 104,326-329
Martini. ( 2011). Pembelajaran Standar
Proses Berkarakter. Jakarta: Prenada
Ontario Ministry of Education. (2006). A
guide to effective instruction in
mathematics, Kindergarten to grade
6: Volume 2 – Problem solving and
communication. Toronto: Queen’s
Printer for Ontario.
Ontario Ministry of Education. (2010).
Communication in the Mathematics
Classroom. Toronto: Ontario
Sefalianti,B. (2014). Application Of
Supervised Enquiry Approach On
Students Skills In Mathematical
Communication And Mathematical
Disposition. Jurnal Pendidikan Dan
Keguruan Vol. 1 No. 2, 2014, Artikel
2 . Issn : 2356-3915 11-20
Suwito, dkk. (2016). Pengembangan Model
Pembelajaran Matematika SMP
Kelas VII Berbasis Kehidupan
Jawara (Jawa dan Madura) Di
Kabupaten Jember. Jember: Jurnal
Ilmiah Pendidikan Matematika Vol.
4 No. 2. 79-84
Vale,I And Barbosa,A. (2017). The
Importance Of Seeing In
Mathematics Communication.
Journal Of The European Teacher
Education Network 2017, Vol. 12,
49-63
Vui, T. (2013). Enhancing Classroom
Communication To Develop
Students' Mathematical
Thinking.Vietnam: Hue University
Wood, L. (2012). Practice And Conceptions:
Communicating Mathematics In The
Workplace. Educational Studies In
Mathematics, 79(1), pp. 109-125.
MAJU, p-ISSN: 2355-3782 Volume 7 No. 2, September 2020 e-ISSN: 2579-4647 Page : 141-152
152
Xenopontos and Christos, EP. (2016).
Opportunities of Learning Through
The History of Mathematics: The
Example Of National Textbooks In
Cyprus And Greece. International
Journal for Mathematics Teaching
and Learning,18-1
Yoshida, M. (2002). Developing Effective Use
of The Blackboard Study. Retrieved
June 12, 2007, from RBS Lesson
Study Conference 2002: 429-445