Post on 09-Dec-2015
description
Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya
Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 23 DECEMBER 2012 17:24 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 876
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
Ringkasan Disertasi
Sumber daya manusia (intangible capital) perlu
dikelola dengan sebaik- baiknya agar sumber daya tersebut dapat digunakan membangun dan
meningkatkan pembangunan ekonomi. Sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendobrak
perekonomian adalah mereka yang memiliki jiwa luhur, memiliki etika moral, profesional, berkemampuan
untuk berwirausaha sesuai dengan etika kewirausahaan.
Indonesia adalah negara yang memiliki populasi terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika
Serikat (World Bank, 2011), maka sumber daya manusia yang dimiliki apabila dimanfaatkan dengan baik
untuk mengelola sumber daya alam melalui nilai-nilai luhur etika moral akan terbentuklah manusia
Indonesia yang sukses sesuai dengan kebenaran (Yi) dalam mencapai keuntungan (Li’).
Menurut Munarwan (2011:10) hasil kajian Fujitsu Research di Tokyo bahwa 73% perusahaan-
perusahaan di Indonesia dikuasai oleh etnis Tionghoa. Mereka sukses dalam berbisnis disebabkan oleh
beberapa faktor dimana salah satunya adalah pengaruh dari Etika Confucius.
Penelitian ini adalah suatu studi untuk melihat faktor etika yang mempengaruhi kewirausahaan,
kemampuan usaha dan kinerja usaha pedagang eceran etnis Tionghoa di Surabaya. Obyek penelitian
adalah pedagang eceran etnis Tionghoa yang termasuk UKM (usaha kecil menengah) dimana UKM telah
terbukti tangguh dari kolapsnya ekonomi ketika krisis ekonomi 1998.
Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya karena Surabaya merupakan kota terbesar kedua setelah
Jakarta. Surabaya memiliki tempat ibadah Boen Bio di jalan Kapasan yang merupakan satu-satunya
tempat ibadah Confucius terbesar di Asia Tenggara dan dampak dari ajaran Confucius ini masih melekat
di kalangan etnis Tionghoa di Surabaya. Surabaya juga merupakan kota yang jumlah penduduk Etnis
Tionghoa sekitar 200 ribu jiwa atau 7,25% dari jumlah penduduk Surabaya yang berjumlah 2.765.908
jiwa (Wikipedia & sensus 2010). Ada pun pedagang etnis Tionghoa sebanyak 19.258 yang menyebar di
31 kecamatan Surabaya.
Teknik pengambilan sampel dengan metode area sampling dengan jumlah responden sebanyak 240
pedagang eceran etnis Tionghoa yang tersebar di 31 kecamatan di seluruh pelosok kota Surabaya. Cara
pengumpulan data melalui observasi dan kuisioner dengan pengukuran menggunakan skala Likert.
Pengolahan data digunakan teknik analisis Structural Equation Modeling (SEM) dengan program AMOS
(Analysis of Moment Structure) versi 20.
Penelitian ini membuktikan bahwa Etika Confucius (Ren, Yi, Zhi, Yong, Xin, YinYang dan Guanxi) secara
signifikan berpengaruh terhadap kewirausahaan (P Value=0.000< 0.05) dan juga Etika Confucius
berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Usaha (P Value=0.042 < 0.05). Hal ini bisa dilihat juga dari 88%
pedagang eceran etnis Tionghoa di Surabaya yang menjadikan Etika Confucius sebagai way of life dalam
berbisnis terbukti berhasil.
Hasil penelitian ini mendukung kajian Ongkowijoto (1995) dimana ada benang merah di balik sikap dan
pandangan hidup etnis Tionghoa yakni dipengaruhi oleh ajaran Confucius. Penelitian ini menolak thesis
Max Weber yang mengatakan Confucianisme tidak kondusif bagi pencapaian individu yang diperlukan
untuk bahan bakar sistem kapitalistik. Kenyataannya justeru etika Confucius mendorong kinerja usaha.
Penelitian ini juga menolak penelitian Tan dan King (2004) dalam penelitiannya tentang pedagang
kontemporer di Cina dimana praktek yang mengikuti etika Confucius justru akan merugikan.
Penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan teori kewirausahaan, khususnya teori tentang
berani mengambil resiko, mudah beradaptasi, memiliki motivasi yang kuat, memiliki kemampuan untuk
berinovasi dan berkreatifitas (new thingking and new doing), dapat membaca peluang, memiliki visi
dimana semua itu juga dimiliki oleh pedagang eceran etnis Tionghoa dengan etika Confucius (Ren, Yi, Ti,
Xin, Zhi, Guanzi dan Yin Yang.
Adanya penelitian ini diharapkan Etika Confucius yang merupakan etika universal bisa dipraktekkan
bukan hanya di kalangan etnis Tionghoa saja tetapi juga oleh seluruh masyarakat Indonesia. Etika
Confucius dapat berperan sebagai whistle blowing, yakni keberanian untuk mencegah dan menghalangi
penipuan, pemborosan dan penyalahgunaan. Etika Confucius akan memberi spirit atau motivasi guna
meningkatkan etos kerja dalam mencapai keberhasilan, juga sebagai kontrol sosial dalam dunia bisnis.
ABSTRACT
Indonesia is a country with rich human and natural resources. According to the statistic data of the World
Bank about world population, with the population of 230 million people in 2009, Indonesia was the fourth
most populated country after the People’s Republic of China, India, and the United States of America
(World Bank, 2011). Natural resources and human resources play an important role for a country’s
wealth. Therefore, it is important that they are managed properly. With the right management, those
resources then can be used to develop and improve the economy so that it would benefit the people of
the country in terms of improvement in the standard of living.
To achieve such goal, this research is attempting to prove that businesses based on benevolence values
would allow a business venture to grow and develop so that in the end it would reach the success through
significant volume increase of sales and profit. Confucius ethics (Ren, Yi, Zhi, Yong, Xin, Guanxi and Yin
Yang) has been significantly influencing the entrepreneurship, and this is evident from the 88% of the
Chinese retail merchants which put Confucius ethics as their way of life in doing business.
This research titled The Influence of Confucius Ethics on Entrepreneurship, Business Ability, and The
Performace of Chinese Retail Merchants in Surabaya aims to analyze and explain the influence of
Confucius ethics on the performance of Chinese retail merchants in Surabaya through entrepreneurship
and business ability.
The sampling technique is using the sample area method with total respondents of 240 Chinese retail
merchants which are spread in 31 different district all over Surabaya. The data collecting is done through
a questionnaire and is measured using the Likert scale, while the observation is done using Amos 20
analysis.
This research concludes that Confucius Ethics has a significant relationship with the Business Ability,
Confucius Ethics has a significant relationship with the Entrepreneurship, Confucius Ethics has a
significant relationship with Business Performance, while Business Ability does not indicate a significant
relationship with Business Performance.
Keywords: Confucius Ethics, Entrepreneurship, Business Ability, Business Performace.
BAB I Pendahuluan : Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya
Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 06 JANUARY 2013 16:51 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 1151
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi amat penting bagi
pembangunan suatu negara. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memungkinkan suatu negara
memiliki anggaran yang cukup untuk melakukan pembangunan. Dalam mencapai pertumbuhan ekonomi,
suatu negara perlu memberdayagunakan modal dasar yang dimilikinya. Modal dasar tersebut dapat
berupa sumber daya alam (tangible capital) maupun sumber daya manusia (intangible capital).Sumber
daya alam dan sumber daya manusia amat berperan bagi kemakmuran suatu negara. Oleh sebab itu,
sumber daya alam dan sumber daya manusia perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Dengan
pengelolaan yang tepat, sumber daya tersebut dapat digunakan membangun dan meningkatkan
perekonomian sehingga bermanfaat bagi peningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Menurut
Bank Dunia (2011), Indonesia memiliki penduduk sekitar 230 juta jiwa pada 2009. Dengan jumlah
populasi tersebut Indonesia menempati urutan terbanyak keempat di dunia setelah Cina, India, dan
Amerika Serikat. Populasi yang besar tersebut merupakan potensi yang perlu diberdayagunakan untuk
kemakmuran Indonesia. Beberapa studi empiris tentang keterkaitan sumber daya manusia terhadap
kemakmuran suatu negara membuktikan bahwa level sumber daya manusia suatu negara secara
signifikan berpengaruh positif terhadap tingkat pertumbuhan produktivitas total dari faktor produksi dan
peningkatan produk domestik bruto (Benhabib dan Spiegel, 1994; Barro, 1991). Level sumber daya
manusia yang semakin tinggi berpengaruh pada efisiensi dan efektivitas produksi yang akhirnya
meningkatkan produktivitas total faktor produksi (total factor productivity, TPF). Di sisi lain, level sumber
daya manusia yang tercermin pada tingkat pendidikan yang diterima juga berpengaruh positif terhadap
level pendapatan domestik bruto (Gross Domestic Bruto, GDP).
Kekayaan sumber daya manusia Indonesia yang ditambah dengan keanekaragaman budaya merupakan
aset berharga yang berpotensi meningkatkan kemakmuran suatu negara. Sumber daya manusia
Indonesia dan kebudayaan yang beranekaragam ini apabila dikelola dengan benar dan sungguh-
sungguh, maka akan menjadikan manusia Indonesia yang handal dan profesional dalam mengelola alam
untuk kemajuan ekonomi. Mengingat kebudayaan suatu bangsa secara tidak langsung memberi corak
terhadap sumber daya manusia atau budaya itu mempengaruhi sumber daya manusia, maka
menumbuh-kembangkan budaya yang positif akan membawa dampak positif terhadap sumber daya
manusia yang pada akhirnya akan menumbuhkan etos kerja yang positif.
Karakteristik pembangunan ekonomi suatu negara juga amat dipengaruhi oleh karakter budaya yang
berkembang. Awal mula pembangunan ekonomi yang berlandaskan kapitalisme terjadi di negara-negara
Barat yang lebih menggunakan praktek-praktek bisnis yang lebih mengarah kepada kepentingan indidual
untuk memperoleh kekayaan (Brook dan Luong, 1999). Sebaliknya, ideologi kapitalisme tidak serta-
merta mempengaruhi pokok-pokok pembangunan ekonomi di negara-negara Timur. Weber (1958)
berpendapat bahwa budaya Konfusianisme yang menekankan prinsip-prinsip hubungan kekeluargaan
antar sesama manusia telah menghambat perkembangan kapitalisme di negara-negara Timur yang
kental dengan budaya Confucius. Namun banyak penelitian yang menunjukkan sebaliknya dimana
budaya Confucius secara positif mendukung bisnis kontemporer (Chan, 2008:347).
Dalam tatanan budaya, terdapat banyak komponen pembentuk sebuah budaya. Dalam sebuah budaya,
terkandung unsur nilai-nilai informal, dan norma-norma yang membentuk karakter dan pola perilaku
ekonomi manusia. Pengaruh budaya dalam perilaku ekonomi terlihat pada pengaruh budaya terhadap
aktivitas produksi, pola konsumsi dan produktivitas, melalui kemampuan individu untuk menciptakan dan
mengendalikan sebuah institusi, dan melalui kemampuan individu menciptakan jaringan sosial
(Fukuyama, 2001).
Seymour (1992) menjelaskan bahwa etos kerja sangat berpengaruh besar pada kesuksesan Jepang dan
negara-negara industri baru terutama kesuksesan dalam bidang ekonomi.
Penelitian oleh Tu (1989) menemukan keseragaman konsep etika dasar dan sistem nilai pada negara-
negara Cina, Jepang, Korea, dan negara industri baru lainnya. Masyarakat etnis Tionghoa terutama di
negara Cina dan Empat Macan Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura), termasuk
Indonesia, memiliki kesamaan karakteristik dalam berbisnis. Dalam menjalankan bisnis, masyarakat etnis
Tionghoa selalu berpegang pada etos kerja, disiplin, pekerja keras, hemat, jujur dan konsisten dalam
pelaksanaan bisnis. Apabila dikaji, etos-etos kerja ini berakar dari ajaran Confucius yang telah menjadi
budaya etnis Tionghoa. Tipikal budaya Tionghoa tercermin dalam etos kerja para pekerja di negara-
negara industri baru.
Menurut penelitian Jaw et.al. (2007) terhadap para pekerja Tionghoa, terdapat pengaruh antara nilai-nilai
budaya Tionghoa dengan nilai-nilai yang dianut pada saat melakukan bisnis. Pada umumnya, etnis
Tionghoa memiliki etos kerja yang sangat tinggi, mau bekerja keras dalam situasi yang berat, disiplin,
hemat, jujur, dan konsisten dalam berbisnis. Tipikal kerja yang demikian tidak terlepas dari nilai-nilai
Confucius yang ditanamkan dalam keluarga sejak kecil.
Po Keung Ip (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa budaya Confucius, khususnya kolektivisme
keluarga (guanxi 关系 ) dipraktekkan dalam dunia bisnis di berbagai negara seperti Taiwan, Hongkong
dan Singapura. Penelitian ini dianggap sangat relevan dalam konteks keunggulan perusahan-perusahaan
Cina yang semakin banyak menyusul kebangkitan Cina sebagai kekuatan global. Selain itu temuan yang
didapat implikasi organisasi dari kolektivisme keluarga Confucius dalam masyarakat Cina lainnya di
berbagai negara dimana tradisi Confucius didukung dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari
maupun melekat pada dunia manajemen dan bisnis.
Sistem manajemen perusahaan etnis Tionghoa juga tidak terlepas dari nilai-nilai budaya Tionghoa. Nilai-
nilai budaya Tionghoa dipandang memiliki peranan penting dalam menentukan jalannya sebuah
organisasi bisnis dan praktek manajerial perusahaan-perusahaan Tionghoa (Sheh, 2001). Bagi etnis
Tionghoa, perusahaan bisnis merupakan sebuah entitas ekonomi dimana cara-cara menjalankan
perusahaan amat dipengaruhi oleh nilai-nilai Confucius. Nilai-nilai Confucius telah berkembang menjadi
bagian yang tidak dapat terpisahkan dari budaya Tionghoa (Mely G.Tan,1996:52).
Yin Fan (2000:5) mengatakan The traditional Chinese culture encompasses diverse and
sometime competing schools of thought, including Confucianism, Taoism, Buddhism,etc.,and a host of
regional culture.Nevertheless, Confucianism is undisputedly the most influential thought, which forms the
foundation of the Chinese cultural tradition and still provides the basis for the norms of Chinese
interpersonal behavior. (Budaya Cina tradisional mencakup mahzab pemikiran yang beragam dan
kadang berkompetisi, termasuk Confusianisme, Taoisme, Budhisme, dan sebagainya serta kebudayaan
lokal. Meskipun Confucianisme, dengan tidak terbantahkan, merupakan pemikiran yang paling
berpengaruh, yang membentuk pondasi dari tradisi kebudayaan Cina dan masih memberikan dasar untuk
norma-norma perilaku interpersonal Cina). Selanjutnya dalam penelitian Yin Fan didapatkan 31 karakter
budaya Tionghoa yang hampir keseluruhan karakter tersebut merupakan inti dari ajaran Confucius.
Handoco (2011:13) mengatakan ajaran Confucius sudah melekat pada masyarakat Tionghoa sejak
ribuan tahun lalu, dimana kehidupan sehari-hari orang Tionghoa dipengaruhi oleh nilai-nilai filosofis ini.
Confucius adalah guru dan agamawan paling terkenal dalam sejarah kebudayaan Cina. Confucius
menguasai enam jenis kesenian Cina, yaitu panah, kaligrafi, ritual, musik, aritmatika, dan mengendarai
kereta perang.
Konfusianisme merupakan sistem etika dan filosofi yang diajarkan oleh Confucius, seorang filsuf
sekaligus agamawan dari Cina. Pada hakekatnya, ajaran Confucius merupakan sebuah sistem yang
mengajarkan tentang moral, sosial kemasyarakatan, aspek politis, dan filosofis yang menitikberatkan
pada kepentingan komunitas dibandingkan kepentingan individu (Tu, 1989). Konfusianisme berkaitan
dengan moral dan aturan yang mencakup bagaimana seharusnya seorang individu berinteraksi terhadap
Tuhan dan sesamanya, baik dalam lingkungan kecil yakni tingkat keluarga, berinteraksi pada
masyarakat (pada tatanan organisasi), dan meluas ke interaksi dalam bernegara (tatanan pemerintahan)
bahkan interaksi dalam kerjasama internasional (dalam hubungan dengan antar negara).
Budaya Confucius juga menanamkan sikap dan perilaku bekerja keras, hemat, suka menabung, tidak
putus asa dan menjaga nama baik melalui kepercayaan yang telah mengakar pada tradisi Tionghoa.
Mengakarnya ajaran Confucius dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Tionghoa, telah menjadikan
ajaran Confucius sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Tionghoa. Hal inilah yang
menyebabkan setiap membicarakan budayaTionghoa tidak bisa lepas dengan Confucius. Sebaliknya
setiap berbicara Confucius selalu berkaitan dengan budaya Tionghoa. Budaya Tionghoa yang diwakili
Confucius bukan saja membudaya, melainkan telah menjadikan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-
hari. Bahkan telah berpengaruh positif terhadap tingkah laku bisnis orang-orang Tionghoa, seperti
dikatakan Tan bahwa nilai-nilai loyalitas terhadap keluarga yang diajarkan Confucius diyakini menjadi
latar belakang kesuksesan pembangunan ekonomi Singapura (Tan, 1989).
Atmowardono (1995:68) mengatakan bahwa sebagai filsafat sosial Confucius mempengaruhi perilaku
hidup yang juga perilaku ekonomi. Bangsa Jepang dan bangsa Asia lainnya yang mengikuti Jepang
secara ekonomi seperti Korea, Taiwan, Vietnam, Singapura, Hongkong dan sebagian besar dari
golongan etnis Cina di Malaysia, Indonesia, India dan di lain negara, terpengaruh oleh filsafat sosial
Confucius.
Ongkowijaya (1995:103) melalui kajiannya menunjukkan ada benang merah dibalik sikap dan pandangan
hidup etnis Tionghoa yakni dipengaruhi oleh ajaran moral Confucius. Khonghucu (Confucius) telah
mempengaruhi mereka secara turun-temurun sepanjang kehidupannya. Fakta demikian tentu mempunyai
kadar pengaruh tidak kecil terhadap tingkah laku kehidupan, yang pada gilirannya akan terbawa pada
pola bisnis di kalangan mereka.
Kalau melihat beberapa kenyataan, baik data statistik maupun pengamatan pada berbagai kota besar di
tepian Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, pada umumnya di sepanjang jalan raya dipenuhi dengan
pertokoan, perkantoran, restoran, dan sebagian besar dimiliki atau setidaknya dikuasai masyarakat etnis
Tionghoa. Menurut Wastu Pragantha Chong (1996:5) salah satu indikator bahwa dewasa ini mereka telah
berhasil menjalankan bisnis.
Kenyataan tersebut diperjelas oleh Zhihong Gao dan Joe H. Kim (2009:77) yang menyatakan bahwa
masyarakat Confucius telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat pada dekade terakhir, pertama
dipimpin oleh Jepang, kemudian diikuti oleh Four Mini-Dragons, seperti Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong dan Singapura dan yang terbaru daratan Cina.
Perkembangan dan kemajuan masyarakat Confucius di beberapa negara tentu saja juga akan
berdampak pada perkembangan dan kemajuan di negara Indonesia mengingat masih banyak
masyarakat Indonesia yang dalam praktek bisnisnya dipengaruhi oleh nilai-nilai Confucius. Apalagi
dengan dibebaskan kembali ajaran keagamaan Khonghucu (Confucius) di Indonesia sejak pemerintahan
Gus Dur, banyak pengusaha Indonesia yang biasanya bungkam diri, akhirnya mulai berbicara tentang
manajemen dan bisnis seperti Confucius. Hal ini mengingatkan kembali nilai-nilai lama yang telah hilang
dibicarakan dalam satu generasi sejak pemerintahan Orde Baru.
Kemajuan Cina juga diikuti oleh kemajuan Empat Macan Asia (Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan
Hongkong) antara tahun 1975 dan 1988 menaikkan bagian mereka dari total ekspor barang manufaktur
dunia dari 4% menjadi 11%. Antara tahun 1985 dan 1987, mereka meningkatkan bagian mereka dari
ekspor dunia berupa barang-barang elektronik konsumen dari 15% menjadi 30%. Delapan dari sepuluh
pekerjaan di Taiwan bergantung pada ekspor. Dua pertiga dari keluaran total barang dan jasa Singapura
diekspor. Cadangan devisa dari Empat Macan Asia kini berjumlah $100 miliar dan diperkirakan
bertambah terus (Naisbitt and Aburdene, 1990:166).
Angka angka tersebut diatas menunjukan kepada kita betapa pesatnya kemajuan di negara negara yang
memiliki tradisi Confucius. Nilai nilai Confucius telah mengakar dan dipraktekan oleh wirausaha etnis
Tionghoa dimana mereka berada.
Di Indonesia banyak pengusaha Etnis Tionghoa yang sukses dalam berbisnis. Hasil kajian Fujitsu
Research di Tokyo (Munarwan, 2011:10) menunjukkan bahwa 73% dari perusahaan-perusahaan di
Indonesia dikuasai oleh etnis Cina. Hal ini sangat didukung oleh sikap kewirausahaan dan sikap tanggap
etnis Cina terhadap peluang bisnis. Sikap kewirausahaan orang Cina disemangati oleh ajaran
Konfusionisme dan nilai hopeng (haopeng 好 朋 kekeluargaan, haoping 好 评 /sambutan
baik/keakraban), guanxi (guanxi 关系 hubungan), Hee (hexie 和谐 harmoni) dan hokie (fuqi 福气 nasib
baik, mujur). Sikap kewirausahaan yang ditampilkan membuat orang Cina mampu membangun jaringan
yang luas dan potensial dalam berbisnis.
Keberhasilan orang Cina atau etnis Tionghoa di Surabaya apabila dikaji memiliki kesamaan karakter
dengan etnis Tionghoa di beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Taiwan dan Hongkong.
Kesamaan karakteristiknya adalah Etnis Tionghoa dalam berbisnis secara
kekeluargaan, guanxi (guanxi 关系), dan prinsip-prinsip kepercayaan atau dapat dipercaya Xin (xinshi 信实 bonafide, dapat diandalkan), He (hexie 和谐 harmoni). Kesamaan tersebut kalau ditarik ternyata ada
benang merah khususnya berkaitan dengan ajaran Confucius Ren (ren仁), Yi (yi义), Li (li 礼), Zhi (zhi智)
dan Xin(xin信).
Begitu pula dengan etnis Tionghoa di Surabaya yang menyebar hampir di seluruh pelosok wilayah
Surabaya dan mereka memiliki usaha yang menyebar di hampir 31 kecamatan di kota Surabaya. Bahkan
di kecamatan terpencil pun ditemukan pedagang etnis Tionghoa. Bukan pada saat sekarang, melainkan
telah ada jauh sebelum Peraturan Pemerintah 10 (Orde lama) diberlakukan.
Di pusat-pusat perdagangan atau kantong pengusaha etnis Tionghoa berada seperti Kembang Jepun,
Kapasan, Jagalan, Bubutan, Baliwerti, Penghela, Gembong, Bunguran itulah awal mereka berbisnis
sebagai kawasan pencinan, namun belakangan mereka memasuki wilayah-wilayah baru hampir di semua
ruko, pusat-pusat pergudangan, perumahan dan plaza-plaza yang ada di Surabaya, seperti Tunjungan
Plaza, Atom Mall, Surabaya Town Square, Grand City Mall, Mal Galaxy, Surabaya Plaza (Delta Plaza),
Pakuwon Trade Center, Supermal Pakuwon Indah, Royal Plaza, Golden City Mall, Plaza Marina,
Jembatan Merah Plaza, City of Tomorrow, Empire Palace, WTC, Darmo Trade Center, Pusat Grosir
Surabaya, Lemarc Mall, Central Point, East Coast Center, Kapas Krampung Plaza, JS Plaza, BG
Junction, Hi-Tech Mall, Tunjungan Electronic Center, Maspion Square, ITC Surabaya, Dupak Grosir,
Mangga Dua Center, Ciputra World, Modern Sinar Super Market, Sinar Jemur Sari, Carrefour, Makro,
Giant, Tunjungan Elektronik Center, World Trade Center (pusat ponsel). Bahkan di sepanjang jalan raya
di setiap kecamatan, kelurahan dan desa terpencil pun pedagang etnis Tionghoa bisa didapatkan.
Kantong-kantong perdagangan tersebut memiliki kesamaan dengan kota- kota besar lainnya di Indonesia
dimana sistem kekeluargaan, jaringan (Guanxi 关 系), kepercayaan (Xin 信) masih diterapkan.
Pada dasarnya Confucius dan segala yang mewakilinya seperti Confucius (Kongzi 孔子 ) dan Mencius
(Mengzi 孟子 ) merujuk kepada nilai kebudayaan tradisional tentang merekatkan kepentingan terhadap
modal manusia, hubungan interpersonal dan perkembangan yang harmonis (He 和). Namun dilihat dari
perspektif manajemen korporasi, semua pemikiran inti yang diajukan oleh budaya Confucius seperti Ren
仁 (Kemanusiaan), Yong勇(Keberanian), He和 (harmoni), Zhong 忠 (Kesetiaan), Li礼 (Kesusilaan), Xin
信 (Kejujuran) dan Qin 清 (Kebersihan) sangat berhubungan dengan filsafat manajemen modern dan
perilaku operasional, dan bisa menyediakan sumber-sumber budaya dan praktek manajemen bisnis
kontemporer (Wenzhong Zhu, 2008:58).
Sebagai contoh konsep Ren ( 仁 ) adalah “cinta kasih” yang bila dihubungkan dengan manajemen
modern, ia menunjukkan para pemimpin bisnis, manajer, seorang wirausaha seharusnya memiliki hati
yang baik untuk mengasihi para bawahannya dan bertanggungjawab terhadap masyarakat dengan
membantu orang lain untuk bisa memiliki kehidupan yang lebih layak. Seorang wirausaha yang
menerapkan konsep Ren (仁 ) akan disukai oleh anak buah, pelanggan dan rekan bisnisnya sehingga
mereka lebih memiliki peluang untuk berhasil.
Sikap kewirausahaan ditandai dengan adanya semangat inovatif, kreatif, dan selalu mencari peluang
untuk mengembangkan usaha, serta mengatasi segala kesulitan yang dihadapi (Kao,1989:91). Selain itu,
untuk mengembangkan kewirausahaan dibutuhkan gabungan antara kemampuan pribadi dan sistem
penunjang. Hal-hal yang bersifat kemampuan pribadi, antara lain berupa berbagai keahlian, kepribadian
dan karakter, semangat inovatif, keseimbangan antara intuisi dan rasionalitas, visioner, pemimpi, inovator
dan kreator serta kepemimpinan karismatik dan sifat pantang menyerah (Winarno, 2011:2).
Sikap wirausaha sangat diperlukan untuk menangkal masalah-masalah yang dihadapi perusahaan, baik
dalam hal pengembangan kreatifitas ke dalam, misalnya dalam hal perbaikan cara kerja dan peningkatan
produktifitas, maupun dalam menangkap peluang-peluang usaha baru.
Ciri kewirausahaan seperti visi, berani mengambil resiko, adaptasi, perencanaan, motivasi, peluang,
percaya diri merupakan ciri yang juga dimiliki oleh etnis Tionghoa dalam berbisnis. Ciri-ciri tersebut kalau
dikaji tidak jauh dari ajaran Confucius.
Etnis Tionghoa ada di Indonesia sudah berabad-abad lamanya dan jumlahnya cukup besar, berdasar
sensus tahun 1930, jumlah etnis Tionghoa 1,2 juta, kira-kira 2,03% dari jumlah penduduk Indonesia.
Berdasarkan sensus tahun 2000, jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan WNA sekitar 3-4 juta orang atau
sekitar 1,5-2,0 % dari jumlah penduduk Indonesia (Suryadinata, 2010:210).
Etnis Tionghoa di Surabaya sekitar 200 ribu jiwa atau sebesar 7,25% dari jumlah penduduk Surabaya
sebesar 2.765.908 (Wikipedia & Sensus 2010). Mereka mudah beradaptasi dengan lingkungannya
melalui berbagai cara. Kecenderungan ini juga terdapat dalam masyarakat Tionghoa di Surabaya dalam
melakukan pemilihan identitas dan adaptasi dengan lingkungan dalam berbagai bidang, seperti
kebudayaan, ekonomi, politik, agama maupun kepercayaan.
Orang-orang Tionghoa sering dikelompokkan menjadi “peranakan” dan “totok”. Peranakan adalah
mereka yang telah memiliki sejarah yang cukup panjang dan telah mampu mengadakan adaptasi dengan
kebudayaan Indonesia atau kebudayaan setempat. Mereka lahir di Indonesia yang pada umumnya sudah
tidak fasih lagi berbahasa Cina, baik tulis maupun lisan, kecuali mengucapkan beberapa kata tertentu.
Hal ini disebabkan terbatasnya sarana belajar maupun media massa yang berbahasa Tionghoa yang ada
di Indonesia. Namun dewasa ini ada berbagai lembaga swasta atau kelompok-kelompok kecil yang
memberikan kursus-kursus bahasa Tionghoa, namun sebagian besar mereka bukanlah dalam rangka
mempelajari kehidupan sosial secara menyeluruh, tetapi untuk memperlancar komunikasi dan
kesuksesan dalam bidang perdagangan.
Sebaliknya “Totok” adalah mereka yang masih kuat ikatannya dengan kebudayaan, adat istiadat, dan
tanah leluhur mereka. Mereka masih fasih berbahasa Cina, memakai pakaian Cina, atau berpakaian adat
Barat sebagai pengaruh dari warisan jaman kolonial, mereka juga masih makan makanan Cina. Mereka
juga memiliki sistem kekeluargaan yang amat erat, sehingga mereka sulit untuk mengadakan pembauran
dengan masyarakat setempat. Mereka masih memegang teguh tradisi nenek moyang, terutama yang
didasarkan pada ajaran Budhisme, Taoisme, maupun Konfusianisme (Lasiyo, 1992:27).
Permasalahannya berapa besar peran Etika Confucius terhadap kehidupan bisnis etnis Tionghoa di
Surabaya? Mengingat budaya Tionghoa yang didominasi oleh Confucius telah mengakar di kalangan
pedagang etnis Tionghoa dan mempengaruhi tingkah laku mereka dalam berbisnis. Oleh karena itu
peneliti mencoba mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah penelitian tentang: “Pengaruh Etika
Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis
Tionghoa di Surabaya”.
Penelitian ini dilakukan mengingat sepanjang pengetahuan peneliti belum ada penelitian yang lengkap
menggunakan indikator-indikator Ren(仁), Yi (义), Li (礼), Zhi(智), Xin(信), Yong (勇), Yin Yang (阴 阳)
danGuanxi(Guanxi 关 系 ) sebagai variabel etika Confucius untuk dihubungkan dengan kewirausahaan
dan kinerja usaha. Penelitian terdahulu ada yang membahas pengaruh etika Confucius terhadap wistle
blower tetapi belum mengkaji hubungan etika Confucius dengan Kewirausahan, Kemampuan Usaha dan
Kinerja Usaha.
Tesis Weber pun mengelak ada hubungan etika Confucius dengan kinerja. Menurut
Weber, Confucianism did not encourage capitalistic innovations amongst businessmen in China due, in
part at least, to the practice of magic rituals of the Emperor, the emphasis on traditions, the reliance on
the moral cultivation of the scholar-bureaucrat (as opposed to the profit-making activities of the
merchants) and the maintenance of hierarchical relationships. (Confucianisme tidak menganjurkan
inovasi kapitalistik di antara pembisnis Cina, sebagian dikarenakan praktek ritual-ritual oleh Kaisar,
penekanan pada tradisi, kepercayaan atau ketergantungan pada penanaman modal para birokrat
terpelajar (bertentangan dengan aktifitas mencari keuntungan yang dilakukan pedagang) serta
pemeliharaan hubungan-hubungan tradisional) (Tamney & Chiang, 2002:63-64 dalam Gary Kon Yew
Chan,2007: 348). Begitu pula penelitian di Hongkong yang menyimpulkan menggunakan etika Confucius
dalam bisnis akan membawa kerugian bagi pedagang eceran di Hongkong (Tan dan King, 2004 dalam
Chan,2007:349). Oleh karena itu peneliti akan mengisi gap tersebut sebagai rekomendasi dalam
penelitian ini.
Penelitian ini memilih etika Confucius mengingat Confucius merupakan kepercayaan sekaligus budaya
yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan etnis Tionghoa. Kebudayaan dan kehidupan etnis
Tionghoa masih banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, yakni selain Confucius adalah Budha dan
Taoisme. Namun dari tiga kepercayaan itu ajaran Confucius (Khonghucu) lebih berpengaruh dan
mendarah daging dalam kehidupan orang Tionghoa sehari-hari (Hariyono, 1993:19). Hal ini dapat
dipahami di negeri asalnya (Tiongkok) ajaran ini telah dianut selama lebih dari 2.500 tahun, dan telah
menjadi tradisi secara turun menurun. Selama dinasti Han (205 SM-220 SM), ajaran Confucius praktis
menjadi ajaran negara. Tahun 130 SM ajaran itu dinyatakan sebagai ilmu dasar dalam pendidikan
pejabat pemerintah dan pada dasarnya masih berlanjut sampai berdirinya Republik Rakyat Cina tahun
1912.
Ajaran Confucius lebih realistis diterapkan oleh etnis Tionghoa dari pada ajaran Budha dan Taois. Budha
dan Taois cenderung meninggalkan masyarakat dalam mencapai pencerahannya. Sedangkan ajaran
Confucius lebih mengenai kemasyarakatan dan kehidupan kelompok termasuk dalam hubungan bisnis.
Atas dasar pemikiran itu, peneliti mengambil Etika Confucius sebagai wakil dari budaya etnis Tionghoa.
Penelitian ini memfokuskan pada pedagang eceran etnis Tionghoa mengingat pedagang eceran
termasuk pedagang UKM (Usaha Kecil Menengah) yang terbukti tangguh ketika terjadi krisis Ekonomi
tahun 1998. Sektor UKM bisa bertahan dari kolapsnya ekonomi, sementara sektor yang lebih besar
tumbang oleh krisis. Di sisi lain pedagang UKM memiliki andil dalam menyerap tenaga kerja serta
memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan daerah.
Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya, mengingat Surabaya adalah kota terbesar kedua setelah
Jakarta dalam transaksi bisnis. Surabaya memiliki pedagang etnis Tionghoa yang jumlahnya tidak sedikit.
Surabaya juga tempat strategis dalam perniagaan etnis Tionghoa sejak abad ke-16 dengan adanya
pecinan di wilayah Kapasan, Kembang Jepun, Jagalan dan sekitarnya yang merupakan basis etnis
Tionghoa dalam berbisnis. Surabaya salah satu kota yang terdapat tempat ibadah sekaligus pusat
penyebaran Confucius terbesar di Asia Tenggara sejak abad ke-19 yang terletak di jalan
Kapasan. Boen Bio (Wenmiao 文庙 ) salah satu tempat ibadah Confucius sekaligus pusat penyebaran
agama Khonghucu sejak tahun 1900-an.
Selain itu, kota Surabaya yang terdiri dari lima wilayah dimana perdagangan tidak hanya di wilayah
Surabaya Pusat (seperti Kecamatan Tegalsari, Simokerto, Genteng dan Bubutan), melainkan terus
menyebar dengan pesat di wilayah Surabaya Selatan dan Surabaya Timur. Sementara di Surabaya Utara
(Bulak, Kenjeran, Semampir, Pabean Cantikan , Krembangan) dan Surabaya Barat (Benowo, Pakal,
Asemrowo, Sukomanunggal, Tandes, Sambikerep, Lakarsantri) sedang bergeliat secara perlahan
menjadi kantong-kantong perdagangan.
Oleh sebab itu sangat tepat jika Surabaya dipilih sebagai lokasi penelitian ini karena hal itu dapat
digunakan sumber informasi, di mana kantong-kantong bisnis etnis Tionghoa yang tersebar di berbagai
wilayah Surabaya bila diperhatikan pemerintah daerah akan mempercepat proses pembangunan
sekaligus pemerataan pembangunan. Hal tersebut juga sangat menguntungkan bagi pemerintah
daerah, khususnya sebagai pendapatan anggaran daerah (PAD), terutama pajak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang terkait dengan pengaruh etika Confucius
terhadap kewirausahaan, kemampuan usaha, dan kinerja usaha etnis Tionghoa di Surabaya, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh signifikan Etika Confucius terhadap Kewirausahaan Pedagang Eceran Etnis
Tionghoa di Surabaya?
2. Apakah ada pengaruh signifikan Etika Confucius terhadap Kemampuan Usaha Pedagang Eceran
Etnis Tionghoa di Surabaya?
3. Apakah ada pengaruh signifikan Etika Confucius terhadap Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis
Tionghoa di Surabaya?
4. Apakah ada pengaruh signifikan Kemampuan Usaha terhadap Kinerja Usaha Pedagang Eceran
Etnis Tionghoa di Surabaya?
5. Apakah ada pengaruh signifikan Kewirausahaan terhadap Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis
Tionghoa di Surabaya?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis dan menjelaskan pengaruh etika Confucius terhadap kewirausahaan pedagang
eceran etnis Tionghoa di Surabaya.
2. Menganalisis dan menjelaskan pengaruh etika Confucius terhadap kemampuan usaha pedagang
eceran etnis Tionghoa di Surabaya.
3. Menganalisis dan menjelaskan pengaruh etika Confucius terhadap kinerja usaha pedagang eceran
etnis Tionghoa di Surabaya.
4. Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kemampuan usaha terhadap kinerja usaha pedagang
eceran etnis Tionghoa di Surabaya.
5. Menganalisis dan menjelaskan pengaruh kewirausahaan terhadap kinerja usaha pedagang eceran
etnis Tionghoa di Surabaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :
1. Manfaat secara Teoritis
1. Sebagai sumbangan penting dan memperluas wawasan bagi kajian ilmu manajemen dalam
mengembangkan bisnis, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk pengembangan penelitian sumber
daya manusia di masa yang akan datang.
2. Memberikan sumbangan penting dan memperluas kajian ilmu manajemen yang menyangkut
peningkatan bisnis.
3. Menambah konsep baru yang dapat dijadikan rujukan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat secara Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi masyarakat etnis Tionghoa untuk
meningkatkan kualitas dalam menjalankan bisnis.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman tentang penerapan etika
Confucius dalam kewirausahaan, sehingga dapat berguna bagi masyarakat setempat.
c. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kinerja usaha etnis Tionghoa dalam menjalankan bisnis,
sehingga dapat mendapatkan hasil yang optimal.
d. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja pengusaha etnis Tionghoa di
Surabaya dalam menjalankan bisnis.
BAB II Tinjauan Pustaka : Kewirausahaan
Category: DISERTASIPublished on TUESDAY, 26 FEBRUARY 2013 10:40 Written by DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 3263
Oleh : Drs. Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
Pengertian Kewirausahaan
Istilah kewirausahaan banyak dijumpai dalam uraian
yang merupakan kata dasar wirausaha yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan kata
wirausaha. Kata wirausaha atau “pengusaha” berasal dari bahasa Perancis “entrepreneur” yang artinya
pemimpin musik atau pertunjukan (Jhingan, 1999:425).
Dalam bahasa Belanda dikenal sebagai ondernemer dan di Jerman dikenal sebagai unternehmer. Di
beberapa negara, kewirausahaan memiliki banyak tanggung jawab, antara lain tanggung jawab dalam
mengambil keputusan yang menyangkut kepemimpinan teknis, kepemimpinan organisasi dan komersial,
pembelian, penjualan, pemasangan iklan dan sebagainya.
Djatmiko (2011:7) mengatakan wirausaha atau wiraswasta atau saudagar merupakan istilah yang
melekat pada diri seseorang yang mampu berdiri sendiri karena keunggulan yang dimiliki dalam bidang
usaha. Hal itu sesuai dengan arti kata wiraswasta itu, yaitu: Wira: manusia unggul, teladan, berbudi luhur,
berjiwa besar, berani, pahlawan dan pendekar kemajuan dan mempunyai keagungan watak, Swa:
sendiri, dan Sta: berdiri.
Meredith,et.al. (1996) mengatakan wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan, melihat
dan menilai kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil
keuntungan daripadanya serta mengambil tindakan yang tepat, guna memastikan kesuksesan.
Thomas W.Zimmerer (1996) dalam Suryana dkk. (2011:1) mengatakan kewirausahaan adalah hasil dari
suatu disiplin serta proses sistematis penerapan kreativitas dan inovasi dalam memenuhi kebutuhan dan
peluang di pasar.
Suryana lebih lanjut mengatakan inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu
yang baru dan berbeda (created new and different). Melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk
menciptakan peluang. Kewirausahaan pada dasarnya adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan
seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari,
menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam
rangka memberikan pelayanan yang lebih baik atau memperoleh keuntungan yang besar.
Komaruddin (2006) mengatakan Entrepreneur disebut sebagai pengusaha, usahawan, wirausaha.
Menurut Kamus Besar Indonesia, kewirausahaan berasal dari kata entrepreneur (bahasa Inggris) adalah
orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun
operasi untuk mengadakan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Jadi
seorang entrepreneurtidak bisa melakukan produksi dan memasarkan tanpa ada suatu pengalaman atau
setidaknya seorangentrepreneur harus punya jiwa rasa ingin tahu tentang produksi dan barang. Hanya
dengan memahami barang yang akan dijual dan memahami pasar serta berkemampuan untuk
melakukan kalkulasi maka seorangentrepreneur bisa dengan tepat mencapai tujuannya yakni
keuntungan.
Menurut Sudjana (2004:131), kewirausahaan atau entrepreneurship adalah sikap dan perilaku wirausaha
yang inovatif, antisipatif, inisiatif, pengambil resiko, dan berorientasi laba. Sedangkan dalam Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan Nasional
Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, dikemukakan bahwa kewirausahaan adalah
semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang
mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produksi baru
dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau
memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Sanusi (1998:291) mengemukakan bahwa kewirausahaan dapat dipandang sebagai institusi
kemasyarakatan yang mengandung nilai-nilai dan dinyatakan dalam perilaku. Nilai dan perilaku itu
merupakan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis.
Menurut Suherman (2008:11) kewirausahaan merupakan sikap dan perilaku seseorang dalam
melakukan suatu kegiatan. Sehingga dapat diketahui bahwa kewirausahaan merupakan sikap dan
perilaku seseorang dalam melakukan suatu kegiatan.
Winarto (2004) dalam Suherman (2008:11) mengemukakan enterpreneurship adalah proses melakukan
sesuatu yang baru dan berbeda dengan tujuan menciptakan kemakmuran bagi individu dan memberi nilai
tambah pada masyarakat. Sejalan dengan hal itu Hisrick - Peters (1995) dalam Alma (2007:33)
memaparkan bahwaenterpreneurship is the process of creating something with value by devoting the
necessary time and effort, assuming the accompany financial, psychic, and social risk, and receiving the
resulting rewards of monetary and personal satisfaction and independence (Kewirausahaan adalah
proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan
resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi).
Secara etimologi, kewirausahaan merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai sesuatu usaha (start
up phase) atau suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (creative) atau sesuatu yang
berbeda (innovative). Menurut Zimmerer (1996:51), kewirausahaan adalah applying creatibity and
innovation to solve the problem and to exploit opportunities that people face everyday. (Kewirausahaan
adalah perencanaan kreatifitas dan inovasi atau memecahkan masalah dan upaya untuk memanfaatkan
peluang yang dihadapi setiap hari). Kewirausahaan adalah gabungan dari kreatifitas, inovasi, dan
keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara bekerja keras untuk membentuk dan
memelihara usaha baru. Menurut Zimmer (1991:51) kreativitas diartikan sebagai kemampuan untuk
mengembangkan ide-ide dan untuk menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan dan
menghadapi peluang (creativity is the ability to develop new ideas and to discover new ways of looking at
problem and opportunities).
Zimmerer dan Scarborough (2003:3) mengatakan An entrepreneur is one who creates a new business in
the face of risk and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities
and assembling the necessary resources to capitalize on those opportunities. (Seorang pengusaha
adalah seorang yang menciptakan suatu usaha baru, berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian,
untuk tujuan mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan mengindentifikasi kesempatan dan
mengumpulkan sumber daya yang diperlukan untuk dimanfaatkan dalam kesempatan-kesempatan tadi).
Selanjutnya dikatakan seorang wirausaha adalah “someone who takes nothing for granted, assumes
change is possible, and follows through, someone incapable of confronting reality without thinking about
ways to improve it; and for whom action in a natural consequence of thought” (seseorang yang tidak
menyia-nyiakan apapun, beramsumsi bahwa perubahan itu mungkin, dan mengikutinya, seseorang yang
tidak mampu menghadapi kenyataan tanpa memikirkan cara-cara untuk membuatnya menjadi lebih baik;
dan baginya tindakan yang merupakan sebuah konsekuensi alami dari pemikiran).
Apabila dikaji lebih dalam, semua definisi kewirausahaan yang dikemukakan para pakar tersebut selalu
mengandung unsur kreatifitas, inovasi dan resiko, antisipatif. Dengan demikian, setiap pelaku
kewirausahaan atau wirausaha memiliki nilai lebih dibanding dengan pelaku usaha atau pengusaha
biasa. Sri Edi Swasono (1978:38) dalam Suryana (2003:11) menegaskan bahwa dalam konteks bisnis,
wirausaha adalah pengusaha, tetapi tidak semua pengusaha adalah wirausaha. Wirausaha adalah
pelopor dalam bisnis, inovator, penanggung resiko, yang mempunyai visi ke depan, dan memiliki
keunggulan dalam berprestasi di bidang usaha.
Lebih lanjut Suryana (2003:1) mengemukakan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan
inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Sedangkan
Frederick (2006) dalam Wijatno (2009:22) mengatakan ada 17 karakteristik yang melekat pada
diri enterpreneur yaitu: (1) komitmen, (2) dorongan kuat untuk berprestasi, (3) berorientasi pada
kesempatan dan tujuan, (4) inisiatif dan tanggung jawab, (5) pengambilan keputusan, (6) mencari umpan
balik, (7) internal focus control, (8) toleransi terhadap ambiguitas, (9) pengambilan resiko yang
terkalkulasi, (10) integritas dan reliabilitas, (11) toleransi terhadap kegagalan, (12) energi tingkat tinggi,
(13) kreatif dan inovatif, (14) visi, (15) independen, (16) percaya diri dan optimis, (17) membangun tim.
Sementara Prawirokusumo (2010:12) menulis lima belas faktor adalah: (1) creative, (2) open
mind (terbuka), (3)patience (sabar), (4) corage (keberanian), (5) coopetate, (6) understand
of leverage (menghargai bantuan), (7)honesty & integrity (jujur, integritas tinggi),
(8) personal vision (mempunyai visi), (9) ability to organize resources(dapat mengelola sumberdaya),
(10) intuition (intuisi), (11) believe in idieas-motivation (mempunyai ide dan motivasi), (12) action
orientation (orientasi kerja), (13) risk taking (berani mengambil resiko), (14) independence(mandiri),
(15) individualism (percaya diri).
Kewirausahaan sangat dipengaruhi oleh bakat seseorang yang diperolehnya sejak lahir, bakat tersebut
dapat dikembangkan melalui berbagai macam pengalaman dalam bidang kegiatan individu. Tetapi
metode penerapannya dapat dipelajari dan ditiru setiap orang walaupun hasilnya sulit dapat diramalkan.
Kelompok Kewirausahawan
Seorang pengusaha berarti orang yang memiliki kemampuan mendapatkan peluang secara berhasil.
Pengusaha bisa jadi seorang yang berpendidikan tinggi, terlatih dan terampil atau mungkin seorang buta
huruf yang memiliki keahlian yang tinggi. Menurut Jhingan (1999:426) pengusaha mempunyai kriteria
sebagai berikut: (1) energik, banyak akal, siap siaga terhadap peluang baru, mampu menyesuaikan diri
terhadap kondisi yang berubah dan mau menanggung resiko dalam perubahan dan perkembangan; (2)
memperkenalkan perubahan teknologi dan memperbaiki kualitas produknya; (3) mengembangkan skala
operasi dan melakukan persekutuan, mengejar dan menginvestasikan kembali labanya.
Terdapat beberapa macam wirausaha. Winarto (2003), menggolongan dua kategori aktivitas
kewirausahaan. Pertama, berwirausaha karena melihat adanya peluang usaha (entrepreneur activity by
opportunity). Kedua, kewirausahaan karena terpaksa tidak ada alternatif lain untuk ke masa depan
kecuali dengan melakukan kegiatan usaha tertentu, sehingga wirausaha dapat dipandang dari (1) tujuan
wirausaha, dan (2) proses berusaha. Dalam proses berusaha apakah keputusan untuk berusaha berjalan
lambat atau cepat, dan pada waktu masuk dalam bisnis apakah ia sebagai pendiri, atau mendapat usaha
dari proses membeli atau melalui franchising atau, (3) konteks industri dan teknologi, (4) struktur
kepemilikan, yaitu pemilik tunggal, kongsi, kelompok. Namun kewirausahaan bukan untuk sekedar
menghasilkan uang, tetapi menghasilkan sesuatu yang diperlukan masyarakat yaitu gagasan inovatif dan
semangat untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki visi bisnis atau harapan dan mengubahnya menjadi
realita bisnis. Wirausaha adalah seorang pembuat keputusan yang membantu terbentuknya sistem
ekonomi perusahaan yang bebas. Sebagian besar pendorong perubahan inovasi, dan kemajuan di
perekonomian, sehingga wirausaha adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengambil
resiko dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Wirausaha bukan karena memahami yang ada dalam
semua kompleksitasnya, tetapi dengan menciptakan situasi baru yang harus dicoba untuk dipahami oleh
orang lain. Para wirausahwan berada di dunia yang terakhir menjadi yang pertama, tempat penawaran
menciptakan permintaan, tempat keyakinan mendahului pengetahuan. Kets De Vries (1997:268)
menggolongkan wirausaha berdasarkan dari lingkungan mereka berasal, yaitu :
1. Wirausaha craftsmans, berasal dari pekerja kasar dengan pengalaman dalam tehnologi rendah,
mekanik yang genius dan mempunyai reputasi dalam industri.
2. Wirausaha opportunistic, berasal dari golongan kelas menengah sampai Chief Excecutives.
3. Wirausaha dengan bekal pengalaman tehnologi, ia memiliki pendidikan formal.
4. Kewirausahaan ditandai dengan keanekaragaman, yaitu adanya pergantian besar pada masyarakat
dan perusahaan yang berterminologi wirausaha.
Dengan demikian, karakteristik wirausaha dapat dikelompokkan menjadi :
1. Berorientasi pada tindakan, “Mereka melakukan, membetulkannya, mencoba”.
2. Memiliki kemampuan untuk menvisualisasikan langkah-langkah dari gagasan sampai aktualisasi.
3. Menjadi pemikir dan pelaku, perencana dan pekerja.
4. Terlibat, menerapkan langsung
5. Dapat mentolerir ambiguitas
6. Menerima resiko tetapi memahami dan mengelolahnya
7. Mengatasi, bukan menghindari, kekeliruan, mereka tidak mengakui mereka dikalahkan.
8. Memandang diri sendiri sebagai seorang yang bertanggung jawab atas nasib mereka sendiri.
9. Percaya pada penciptaan pasar untuk gagasan mereka, bukan sekedar menanggapi permintaan
pasar yang ada.
Keberhasilan seorang wirausaha mengembangkan bisnisnya tergantung pada kecerdasan, imajinasi, dan
kekuatan keinginan individu yang bersangkutan. Sedikit keberuntungan diperlukan, tetapi dapat
diargumentasikan bahwa tidak ada keberuntungan mengubah visi menjadi realita lebih berupa kerja
keras, di samping imajinasi dan kemampuan yang mampu merubah karir individu menjadi sukses
(Rachbini, 2001:100). Para entrepereneur (wirausaha) sangat besar artinya bagi kemajuan
perekonomian. Para wirausaha mempunyai katalisator dan menunjang perkembangan arus investasi
sehingga ikut memperkuat pembangunan ekonomi yang tengah berlangsung.
Dari definisi di atas maka dalam menjalankan usahanya, wirausaha harus memiliki langkah langkah yang
harus dilakukan sebagai berikut:
1. Berani memulai, artinya seseorang tidak perlu menunggu nanti atau esok untuk memulai
berwirausaha.
2. Berani menanggung resiko, artinya seseorang tidak perlu takut apabila dalam berwirausaha nanti
mengalami kerugian.
3. Penuh perhitungan, maksudnya setiap tindakan yang dilakukan harus diperhitungkan dan
dipertimbangkan secara matang. Jangan bertindak gegabah dalam melangkah atau mengambil
keputusan.
4. Memiliki misi dan visi yang jelas, agar memiliki pandangan kedepan bisnis yang hendak
dilaksanakan.
5. Memiliki rencana yang jelas, artinya pengusaha harus mampu menyusun suatu rencana untuk
sekarang dan masa depan sebagai pedoman dan alat kontrol baginya.
6. Melihat peluang, artinya peka terhadap peluang yang ada.
7. Memiliki motivasi, artinya memiliki dorongan dan keyakinan sehungga tindakkannya selalu diiringi
sikap optimis dan keyakinan karena itulah yang menjadi motivasi untuk melangkah maju.
8. Memiliki adaptasi, artinya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan serta perubahannya.
9. Memiliki tanggungjawab, artinya pengusaha harus selalu bertanggungjawab terhadap aktivitas yang
dilakukan terhadap semua pihak.
10. Memiliki etika dan moral sebagai benteng dalam berwirausaha agar dapat sukses.
Zimmerer dan Scarborough (2003:4) memberikan ringkasan tentang profil wirausaha sebagai berikut :
1. Desire for responsibility (keinginan akan tanggungjawab)
Wirausaha merasakan tanggungjawab pribadi untuk hasil dari usaha yang mereka mulai. Mereka lebih
suka untuk berada dalam posisi mengontrol sumber daya mereka dan menggunakannya untuk mencapai
tujuan-tujuan yang mereka tentukan sendiri.
2 Preference for moderate risk (preferensi untuk resiko moderat)
Wirausaha bukanlah pengambil resiko yang membabibuta, melainkan mereka adalah pengambil resiko
yang penuh kalkulasi (seperti juga konsep Confucius Yong yang diimbangi dengan Yi dan Zhi).Tidak
seperti “penjudi kapal sungai kelas tinggi (high-rolling riverboat gamblers), mereka jarang berjudi.
Wirausaha seringnya memiliki persepsi berbeda soal resiko yang terlibat dalam sebuah situasi bisnis.
Wirausaha telah memikirkan situasinya lebih mendalam dan meyakini bahwa tujuan tujuan mereka
adalah masuk akal dan bisa dicapai.
3. Confidence in their ability to succeed (kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka untuk
sukses).
Wirausaha pada umumnya memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuan mereka untuk
mencapai kesuksesan. Mereka cenderung optimis tentang kesempatan sukses mereka, dan biasanya
keoptimisan tersebut didasarkan pada kenyataan.
4. Desire for immediate feedback (keinginan untuk umpan-balik langsung)
Wirausaha ingin mengetahui bagaimana kinerja mereka dan selalu secara konstan mencari peneguhan.
Tricia Fox, pendiri Fox Day Schools,Inc., mengatakan, “I like being independent and successful” (saya
suka menjadi mandiri dan sukses). Tidak ada yang lain yang memberikan umpan-balik seperti usaha
anda sendiri.
5. High level of energy (energi level tinggi)
Wirausaha lebih enerjik dari pada orang orang pada umumnya. Energi merupakan faktor penting
mengingat perlunya usaha yang besar untuk memulai usaha awal. Jam panjang untuk bekerja dll.
6. Future orientation (orientasi ke masa depan)
Wirausaha cenderung mempunyai mimpi yang besar dan kemudian memformulasikan rencana-rencana
untuk mentransformasikan mimpi-mimpi tersebut menjadi kenyataan. Mereka memandang kedepan dan
kurang mengkhawatirkan apa yang mereka capai kemarin dibandingkan dengan apa yang mereka
lakukan besok. Selalu mewaspadai munculnya kesempatan-kesempatan bisnis baru, pengusaha
mengawasi kejadian-kejadian yang sama dengan orang lain, tetapi mereka melihat sesuatu yang
berbeda.
7. Skill at organizing (kemampuan dalam berorganisasi)
Membangun sebuah perusahaan dari nol (from scratch) sangat mirip dengan menyatukan
satu puzzle raksasa. Wirausaha mengetahui bagaimana menempatkan orang-orang dan sumber daya
yang tepat menjadi satu untuk menyelesaikan satu tugas. Mengkombinasikan orang-orang dan pekerjaan
pekerjaan secara efektif memampukan pengusaha untuk membawa visi mereka pada kenyataan.
8. Value of achievement over money (nilai prestasi dibandingkan uang)
Wirausaha sepenuhnya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan uang. Sebaliknya, prestasi
tampaknya merupakan kekuatan motivasi utama dibalik pengusaha; uang hanyalah sekedar sebuah jalan
untuk mencatat skor (keeping score) dari pencapaiannya-sebuah simbul dari prestasi, uang bukanlah
motif pendorong bagi kebanyakan pengusaha.
Karakter lain yang ditunjukkan oleh wirausaha adalah: (1) komitmen tinggi (high degree of commitment),
(2) toleransi terhadap ambiguitas (tolerance for ambiguity), (3) fleksibilitas (flexibility) dan (4) keuletan
(tenacity).
Seorang wirausahawan yang sukses juga harus mempertimbangkan etika bisnis sebagai landasan dalam
melakukan aktifitasnya. Tanpa adanya etika bisnis wirausaha tidak akan mendapatkan kepercayaan
masyarakat dan pada akhirnya akan mengalami kegagalan dalam jangka panjang. Seorang pengusaha
tidak boleh menghalalkan berbagai cara untuk mengembangkan dan memajukan usahanya dan
seharusnya mematuhi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, dikenal adanya
etika dalam berwirausaha seperti pendapat Djatmiko (2011:103) sebagai berikut :
1. Kejujuran. Seorang pengusaha harus selalu bersikap jujur, baik dalam ucapan maupun tindakannya
sehingga konsumen dan mitra kerja dapat mempercayainya.
2. Bertanggungjawab. Seorang pengusaha harus bertanggungjawab terhadap segala kewajibannya.
Tanggungjawab seorang pengusaha tidak hanya terbatas pada usahanya, tetapi juga kepada para
pendukungnya yaitu karyawan, masyarakat, dan pemerintah.
3. Menempati janji. Seorang pengusaha dituntut untuk mampu memenuhi segala yang dijanjikannya
kepada pihak lain karena hal inilah yang menjadi dasar kepercayaan orang lain kepadanya.
4. Disiplin. Seorang pengusaha diharuskan untuk selalu berdisiplin dalam berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan bidang usahanya karena hal ini akan memberi suatu nilai lebih di mata konsumen
dan mitra kerjanya.
5. Taat hukum. Pengusaha harus selalu patuh terhadap peraturan yang berlaku, baik yang berkenaan
dengan masyarakat maupun dengan pemerintah. Karena jika melanggar hukum akibatnya adalah
berkurangnya rasa hormat dan kepercayaan konsumen dan mitra kerja terhadapnya.
6. Suka membantu. Secara moral pengusaha harus sanggup membantu pihak yang memerlukan
bantuan. Hal ini akan menimbulkan suatu rasa simpatik atau segan di lingkungan masyarakat
sekitar.
7. Berkomitmen dan menghormati pihak lain. Pengusaha harus berkomitmen atau berpegang teguh
pada segala yang dijalankan serta menghargai komitmen pihak lain. Hal ini akan membuat pihak
lain menghargainya juga.
8. Mengejar prestasi. Pengusaha yang sukses harus selalu berusaha mengejar prestasi setinggi
mungkin. Dengan demikian, akan terus lahir inovasi-inovasi dan ide-ide kreatif yang dapat
digunakan dalam mengembangkan dan memajukan bidang usahanya.
Menurut Prawirokusumo (2010:10) ada gejala dalam masyarakat yang menghambat timbulnya kreatifitas
dan kewirausahaan yaitu:
1. Bonek, adalah kelompok orang-orang yang tidak bertanggungjawab, nekat, tanpa peduli dan tidak
berpikir panjang.
2. Budaya menerabas, yaitu orang-orang yang senang jalan kompas tidak sabar.
3. Budaya menghalalkan segala cara, mereka menempuh cara apapun untuk mencapai tujuannya.
4. Budaya spekulatif, tidak berdasarkan perhitungan yang matang, tidak ada perencanaan.
5. Budaya tidak malu, keadaan di mana sifat malu melakukan hal-hal yang terlarang sudah menipis.
Supriyono (1998) dalam Iskandar (2005:30) mengatakan bahwa berbisnis harus memperhatikan perilaku
etis, yaitu: (1) Kejujuran, (2) Integritas, (3) Tepat janji, (4) Kesetiaan, (5) Keadilan, (6) Memperhatikan
pihak lain, (7) Menghormati pihak lain, (8) Tanggungjawab sebagai warga negara, (9) Memburu
keunggulan, (10) Akuntabilitas.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa etika sangat penting bagi kewirausahaan sebagai
meningkatkan keakraban dengan karyawan, konsumen, dan mitra kerja yang berkepentingan. Suasana
penuh keakraban diharapkan dapat memperlancar segala urusan yang berkaitan dengan kegiatan usaha.
Apabila konsumen dan mitra kerja diperlakukan secara etis, maka akan menjadi mitra kerja yang setia
dan pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan. Etika juga berfungsi mempertahankan pelanggan.
Dalam hal ini, pengusaha atau karyawan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan lama
agar mereka selalu merasa senang bila bertransaksi dengan perusahaan (Djatmiko, 2011:104).
BAB II Tinjauan Pustaka : Variabel Etika Confucius
Category: DISERTASIPublished on THURSDAY, 21 FEBRUARY 2013 23:25 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 849
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
Dari uraian sebelumnya akhirnya peneliti mengambil Indikator Etika Confucius (1) Cinta Kasih (Ren仁),
(2) Kebenaran (Yi 义 ), (3) Kesusilaan (Li 礼 ), (4) Kebajikan (Zhi 智 ), (5) Kepercayaan (Xin 信 ), (6)
Kebenaran (Yong勇), (7) Perubahan (Yin Yang阴阳), dan (8) Hubungan (Guanxi关系).
1. Cinta Kasih (Ren仁)
Ren (cinta kasih) sebagai kebaikan / kebajikan bersifat timbal balik.
Menurut Kosasih (1995:58) seorang penguasa atau majikan harus bertindak sopan santun, sebelum ia
berhak memeriksa kesetiaan menterinya dan karyawannya. Sama halnya dengan seorang ayah harus
ramah dan sayang sebelum ia mengharapkan perbuatan bakti anak-anaknya. Etos Ren 仁 di atas
mengandung arti bahwa pengusaha harus memberikan hal terbaik kepada pelanggan atau kolega
bisnisnya agar pelanggan dan kolega memberikan hal terbaik juga kepada pengusaha tersebut.
Cinta kasih sangat penting karena tanpa adanya cinta kasih, maka orang tidak akan mungkin berlaku
hormat, lapang hati, dan sebagainya. Cinta kasih adalah hati manusia. Perasaan belas kasihan itulah
benih cinta kasih, maka orang yang tidak mempunyai perasaan berbelas kasihan itu bukan manusia.
Ada lima pedoman cinta kasih yang terdapat pada Sabda Suci XVII:6:2 halaman 301 yang berbunyi :
“Kalau orang dapat berlaku: hormat, lapang hati, dapat dipercaya, cekatan, dan bermurah hati. Orang
yang berlaku hormat, niscaya tidak terhina, yang lapang hati, niscaya mendapat simpati umum, yang
dapat dipercaya, niscaya mendapat kepercayaan orang, yang cekatan, niscaya berhasil pekerjaannya,
dan yang bermurah hati niscaya diturut perintahnya.“ Contoh antara atasan dan bawahan harus bisa
menjaga sikap atau tingkah laku yang benar, sehingga membawa keharmonisan dalam lingkungan kerja.
Sikap di sini termasuk dapat mengontrol hati.
Dalam Kitab Lun Yu terdapat 100 huruf Ren 仁 dan menurut Confucius bahwa “yang dikatakan
Ren 仁 bila diri sendiri ingin tegak, maka berusaha agar orang lain tegak. Bila diri sendiri ingin berhasil,
maka berusaha agar orang lain pun berhasil“ (Indarto, 2010:1). Confucius bersabda : “Ren 仁 (Cinta
Kasih) ialah mencintai manusia” (Lun Yu / Lun Gie XII:22.1). Selanjutnya dikatakan “Kalau Aku
(Confucius) inginkan cinta kasih itu sudah besertaku.” “Apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan
diberikan pada orang lain (Lun Yu / Lun Gie XV : 24).
Pengertian di atas apabila dihubungkan dengan bisnis maka seorang wirausaha apabila ingin bisnisnya
maju dan sukses, maka berusaha agar kolega bisnis, supplier (pemasok), bahkan pelanggan diusahakan
agar ikut maju dan berkembang juga. Sebaliknya tindakan atau kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh
pengusaha harus diukur dulu terhadap perusahaan sendiri dan apabila kebijaksanaan yang tidak baik
dan tidak bermanfaat bagi perusahaannya, jangan sampai kebijaksanan itu diberikan kepada perusahaan
lain, baik itu kolega bisnis maupun supplier.
Etos Ren merupakan The Golden Rule (Kaidah Emas). Setiap orang adalah manusia yang sama harkat
dan martabatnya. Apa yang Anda inginkan dari orang lain, itulah yang juga Anda lakukan pada orang
lain. Sebagai orang bisnis, karena Anda sendiri ingin agar hak dan kepentingan Anda diperhatikan, maka
hargai dan perhatikan juga hak dan kepentingan orang lain dalam kegiatan bisnis apa pun yang Anda
lakukan. Jika Anda sendiri tidak ingin hak dan kepentingan Anda dirugikan, maka jangan merugikan hak
dan kepentingan bisnis orang lain. Prinsip-prinsip tersebut menurut Keraf (1998), adalah dasar dari setiap
relasi sosial mana pun, termasuk bisnis. Bisnis tidak bisa bertahan dan berhasil kalau prinsip ini dilanggar
(Keraf, 1998:81). Seseorang yang memiliki Cinta Kasih akan banyak sahabat, banyak pelanggan dan ini
merupakan modal dasar untuk suksesnya bisnis yang dijalankan.
2. Kebenaran (Yi 义)
Kebenaran berbeda dengan cinta kasih, meliputi pemikiran yang memerlukan logika dan tindakan dari
sudut pandang seseorang. Perasaan malu dan tidak suka adalah benih kebenaran, yang tidak
mempunyai perasaan malu itu bukan orang lagi. Contoh: sebagai seorang karyawan baru di sebuah
perusahaan, perlu belajar tata cara atau prosedur kerja yang benar sehingga bisa beradaptasi dengan
lingkungan kerja yang baru. Bingcu berkata, “... Hidup, aku menyukai. Kebenaran, aku menyukai juga.
Tetapi kalau tidak dapat kuperoleh kedua-duanya, akan kulepas hidup dan kupegang teguh Kebenaran.”
(Kutipan salah satu ayat dalam Bingcu VIA: 10 halaman 698).
Confucius berkata : “Seorang Junzi terhadap persoalan di dunia tidak mengiyakan atau menolak mentah-
mentah, hanya kebenaranlah yang dijadikan ukuran“ (Lun Gie Jilid IV:10). Confucius mengatakan :
“Luaskan pengetahuanmu dengan membaca kitab-kitab, dan batasi dirimu dengan Kesusilaan. Dengan
demikian kamu tidak melanggar (Yi义) Kebenaran“ (Lun Gie Jilid XII:16).
Confucius berkata “Seorang Junzi memegang Kebenaran sebagai pokok pendiriannya. Kesusilaan
sebagai pedoman perbuatannya, mengalah dalam pergaulan dan menyempurnakan diri dengan laku
dapat dipercaya“ (Lun Gie Jilid XV:18). Ayat-ayat di atas apabila diterapkan dalam dunia bisnis bahwa
dalam menjalankan perusahaan harus berdasarkan pada kebenaran.
Di Cina etos Yi 义(kebenaran) menjadikan dasar atau pondasi dalam segala aktifitas bisnis. Menurut Lu
Xiaohe, etos Yi 义 yang bersumber pada ajaran Confucius dijadikan landasan moral untuk mencapai
keuntungan bisnis. Bisnis harus diraih berdasarkan moral Yi 义 menuju tercapainya keuntungan (Li’利 )
atau cara Yi 义 menuju Li’ 利 . (Journal of Business Ethics, 16 :1509-1518,1997).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
Perusahaan yang memiliki pimpinan yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih
sukses dalam jangka panjang.
Kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan
kepercayaan pihak lain.
Kepercayaan akan mempercepat transaksi dan praktis.
Dengan kepercayaan akan mempercepat pengiriman barang.
Kepercayaan akan membuat rendahnya biaya transaksai.
Kepercayaan akan memperpendek jalur birokrasi.
Kepercayaan memudahkan mendapatkan kredit dan bantuan keuangan.
Kepercayaan setara dengan modal kerja.
Kepercayaan akan menarik pelanggan pelanggan loyal.
Kepercayaan akan memperbanyak jaringan dan memperkuat bisnis. (Li礼)
3. Kesusilaan
Li 礼 adalah semacam aturan atau tatakrama bisa juga disebut prosedur yang tepat dalam menjalankan
sesuatu. Orang Tionghoa sejak kecil sudah dididik untuk memiliki kepatuhan moral ini untuk mencari
konsesus, pengendalian diri, memiliki tanggungjawab, berterimakasih kepada orang tua serta
menghormati yang lebih senior. Penghormatan kepada senior, orang lain bahkan para pelanggan bisnis
dengan sopan santun dan cara-cara yang benar itu merupakan praktek dari Li礼.
Menurut Thomas Liem Tjoe (2008:51) bahwa Li 礼 sebagai pengetahuan tentang bentuk-bentuk tingkah
laku yang mulia telah menjadi kebiasaan orang Tionghoa dan menjadi tingkahlaku para pelaku bisnis
yang telah terpola dan mendasar dalam prinsip bisnis walau hal itu tidak dipamerkan dalam tulisan dan
dibaca pelanggan tetapi mereka menghayatinya apa yang termasuk perilaku Li dan apa yang
menyimpang dari Li dalam menjalankan bisnis.
Orang awam pun yang berbisnis dengan orang Tionghoa lama kelamaan akan memahami apa yang
disebut dengan Li. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan orang Tionghoa yang mengatakan sesuatu itu tidak
pantas dalam perilakunya dengan kata tidak “Cengli“正理 . Ungkapan tidak cengli umumnya diberikan
kepada pelanggan bisnis yang tidak memiliki aturan dalam bertransaksi bisnis maupun kepada sahabat
yang berbuat menyimpang dari kebiasaan yang benar.
Kesusilaan terdiri dari kesetiaan, sikap baik, tanggungjawab, kesederhanaan, penghormatan, dan
sebagainya. Perasaan rendah hati dan mau mengalah itulah benih kesusilaan. Bagi yang tidak
mempunyai perasaan rendah hati dan mau mengalah itu bukan orang lagi. Contoh: dalam bekerja,
bertingkah laku sesuai dengan kesusilaan agar sesama rekan kerja saling menghormati. Seperti yang
terdapat dalam Bingcu VII B:33:2 halaman 806, yaitu: “Bila segenap gerak, wajah dan tingkah laku dapat
tepat dengan kesusilaan, itu tentu karena sudah mencapai puncak kebajikan sempurna.”
4. Kebijaksanaan (Zhi智)
Kebijaksanaan adalah pengetahuan tentang benar dan salah, baik dan buruk. Penting dalam penerapan
norma-norma moral, tanpa itu seseorang tidak bisa menjadi bijaksana. Tanpa kebijaksanaan, seseorang
tidak akan mempunyai etika atau kemampuan sosial, atau dalam bahasa yang sederhana perlu adanya
bimbingan untuk menuju kebajikan yang lain. Contoh: menjadi seorang manager adalah impian semua
orang, namun perlu diingat tugas dan tanggung jawabnya juga besar. Dalam keadaan yang mendesak,
harus bisa bersikap bijaksana dalam memutuskan sesuatu, sehingga keputusannya tidak akan berat
sebelah. Perasaan membenarkan dan menyalahkan itulah benih kebijaksanaan, yang tidak mempunyai
perasaan membenarkan dan menyalahkan itu bukan orang lagi. (Penggalan ayat suci dari Bingcu
IIA:6:4,5 halaman 439).
Cu-he bertanya tentang kebijaksanaan, Confucius menjawab “Angkatlah orang-orang yang lurus di atas
orang-orang yang bengkok, dengan demikian dapat mengubah yang bengkok menjadi lurus” (Lun Gie
Jilid XII 22:4). Confucius berkata “Bila diri telah lurus, dengan tanpa memerintah semuanya akan
berjalan beres. Bila diri tidak lurus, sekalipun memerintah tidak akan diturut” (Lun Gie Jilid XIII:6).
Ayat-ayat di atas apabila dihubungkan dengan bisnis, maka kebijaksanan yang diterapkan oleh seorang
manajer atau wirausahawan haruslah bertumpu pada nilai-nilai bijak yang berlandaskan pada kebenaran.
Seorang wirausahawan harus bisa memberikan teladan yang baik bagi anak buahnya agar anak buahnya
juga bisa menerapkan kebaikan dalam menjalankan tugas pekerjaan dalam perusahaan.
5. Dapat Dipercaya (Xin信)
Pengusaha Cina di Hongkong dan komunitas etnis Tionghoa di luar Cina daratan termasuk Malaysia,
Singapura dan Indonesia, etika kepercayaan merupakan unsur utama untuk sukses dalam menjalankan
bisnis. Banyak studi empiris menekankan pentingnya nilai kepercayaan ini. Dalam penelitiannya tentang
sebuah pasar grosir sayuran di Hongkong, Robert H.Sillin (1972:337) dalam (Wong Siu-Lun, 1988:169)
menemukan bahwa “xinyongatau kepercayaan merupakan faktor vital dalam mempertahankan jaringan
kompleks hubungan-hubungan dagang”. Tanpa kepercayaan tidak mungkin bisnis bisa berjalan dengan
cepat dan praktis. Misalnya, kepercayaan akan mempercepat proses pengiriman barang dan
memperpendek jalur birokrat. Orang Tionghoa menganggap bahwa bisnis harus cepat dan mencapai
target. Bila seorang Cina perantauan gagal membuktikan bahwa ia layak dipercaya oleh anggota
masyarakat bisnis, maka kecil kemungkinan ia akan mendapatkan kredit dan bantuan keuangan.
Anggota yang didiskreditkan ini kemungkinan akan diasingkan dari jaringan Cina perantauan, baik dalam
lingkup lokal maupun internasional (David, 1995:56).
Suatu bisnis yang tidak dilandasi sistem kepercayaan akan putuslah hubungan dengan para pelanggan
maupun pemasok. Sementara bisnis yang dilandasi kepercayaan akan melanggengkan hubungan
dengan pemasok maupun pelanggan dalam jangka waktu yang relatif panjang. Doug Lennick dan Fred
Kied (2005) dalam (It Pin, 2006) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pimpinan
yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal
sama juga dikemukakan miliuner Jon M.Huntsman (2005) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan,
kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan
kepercayaan pihak lain.
Kepercayaan adalah landasan pokok dalam berhubungan bisnis, tanpa kepercayaan sulit rasanya proses
bisnis dapat berjalan dengan baik, misalnya kecepatan transaksi, pengiriman barang maupun ketepatan
target. Untuk itu berbisnis harus menggunakan etika bisnis yang jujur dan dapat dipercaya.
Ada beberapa keuntungan bagi pengusaha yang menjaga etika, antara lain:
1. Jika jujur dalam berbisnis maka bisnisnya akan maju.
2. Timbulnya kepercayaan.
3. Kemajuan terjaga jika perilaku etos kerja.
4. Perlahan laba akan meningkat.
5. Bisnis akan terjaga eksistensinya.
Dalam masyarakat yang saling percaya, kebutuhan untuk mendokumentasikan perjanjian sangatlah kecil,
tetapi sebaliknya, jika mitranya saling khawatir satu sama lain, mereka perlu sangat jelas tentang batasan
perjanjian mereka, sehingga semua harus didokumentasikan. Kepercayaan mula-mula memungkinkan
perusahaan-perusahaan yang tidak saling kenal merasa cukup nyaman untuk memenuhi interaksi lebih
lanjut, dan mengembangkan hubungan mereka hingga ke tahap kepercayaan yang lebih tinggi (John
Kidd dan Xue Li, 2007).
Wong (1988) mengatakan : “Dalam sebuah studi tentang penduduk etnis Cina di kota dagang kecil di
Jawa menekankan bahwa kepercayaan mempunyai kedudukan sentral dalam masyarakat. Memiliki
kepercayaan oleh orang Cina dianggap penting dalam usaha mengumpulkan kekayaan. Ryan melihat
bahwa pemilikan modal dipandang kurang penting dibanding dengan pemilikan kepercayaan (169).
Menurut Hitt (1997:69) perusahaan yang memajukan dan memelihara praktek etis lebih memungkinkan
mencapai daya saing strategis dan memperoleh keuntungan di atas rata rata. Alasan kunci ialah bahwa
reputasi mereka dalam praktek etis akan menarik pelanggan-pelanggan loyal. Bertindak dengan penuh
kejujuran dan menghindari perilaku perilaku yang tidak baik mutlak diperlukan bagi seseorang wirausaha
bila ingin usahanya maju. Kejujuran adalah harga diri, kehormatan, dan kemuliaan bagi siapa pun.
Sebaliknya tipu daya, licik, dan bohong justru akan menghancurkan kredibilitas perusahaan (Gymnastiar,
2004:8).
Etos kepercayaan di atas tidak terlepas dari ajaran Confucius yang sudah membudaya pada etnis
Tionghoa seperti apa yang dikatakan oleh Confucius “ ……. di dalam pergaulan dengan rakyat
(masyarakat) harus berdasarkan pada sikap dapat dipercaya“ (Tai Hak III:3). Bagi Confucius orang yang
tidak dapat dipercaya itu tidak berguna seumpama kereta besar yang tidak mempunyai sepasang
gandaran atau kereta kecil yang tidak mempunyai sebuah gandaran, entah bagaimana
menjalankannya?” (Lun Gi II:22). Kepercayaan yang dilandasi kebenaran, maka kata-katanya dapat
ditepati (Lun Gi I:13).
Etos kepercayaan dalam pengertian ini adalah mengandung arti kejujuran. Dalam hal ini seperti yang
dikatakan oleh Confucius ketika pangeran Ai bertanya bagaimanakah caranya supaya rakyat mau
menurut? Confucius menjawab; “Angkatan orang-orang yang jujur (dapat dipercaya) dan singkirkanlah
orang-orang yang curang; dengan demikian niscaya rakyat akan menurut. Kalau diangkat orang-orang
yang curang dan disingkirkan orang-orang yang jujur, niscaya rakyat tidak mau menurut“ (Lun Gie 2:19).
Bagi Confucius, kepercayan perlu ditumbuhkan sejak dini mulai dari ruang lingkup keluarga, sehingga
akan membentuk seorang Junzi (manusia unggul) yang penuh kebajikan. Dalam konteks bisnis, seorang
Junzi akan menerapkan kebajikannya dalam mengelola bisnis dengan benar.
Suherman (2008:228) mengatakan “Etika bisnis antara lain meliputi: kejujuran, kepercayaan (harus dapat
dipercaya), ketepatan dalam memenuhi janji, kehandalan dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan,
serta keterbukaan“.
Linda Kleebe Trevino (1995:290) dalam Alma (2003:52) menyatakan “Business Ethics is about building of
trust between people and organizations, an absolutely essential ingredient to conducting business
successfully in long term“ (Etika bisnis merupakan usaha membangun kepercayaan antara masyarakat
dengan organisasi organisasi bisnis, dan ini merupakan elemen yang sangat penting untuk suksesnya
bisnis dalam jangka panjang).
Bisnis yang dilandasi dengan kepercayaan, maka akan mempererat hubungan dan dengan sendirinya
akan memperbanyak jaringan, sehingga ini akan memperkuat posisi bisnisnya. Keyakinan di atas diyakini
oleh Etnis Tionghoa dan digunakan dalam setiap langkah dalam dunia bisnis.
Bila setiap orang Cina perantauan gagal membuktikan bahwa ia layak dipercaya oleh anggota-anggota
yang didiskreditkan ini kemungkinan akan diasingkan dari jaringan Cina perantauan, baik dalam lingkup
lokal maupun internasional (David, 1995:56). Oleh karena itu keluarga bisnis Tionghoa pada umumnya
menjaga nama keluarga dengan baik. Kegagalan melakukan hal tersebut berarti melanggar asas bakti
pada keluarga karena usaha penanganan bisnis secara tidak etis akan membawa malu dan aib bagi
leluhur seseorang, yang biasanya diungkapkan dalam marga seseorang. Menurut Hedding (1990) yang
dikutip oleh David (1995) “Menyelamatkan muka“ adalah dorongan motivasi yang kuat dibalik usaha
nama keluarga di antara para wiraswasta Cina”.
Oleh karena itu, tidak salah apa yang dikatakan ketiga bisnismen sukses: “Orang bisa berkali-kali memilki
uang, tetapi memiliki kehormatan hanya sekali saja“. Fung King - hey, pendiri perusahaan pialang saham
terbesar Hong Kong (Kraar, 1985:92). “Komoditas dalam perbankan bukanlah uang, melainkan
kepercayaan “Mochtar Riady, Ketua Lippo Group Indonesia (Shirdas, 1992:11). “Faktor utama dibalik
hubungan yang lancar adalah kredibilitas“ Li Ka shing, pengusaha properti terkemuka Hong Kong
(Kraar,1992:67).
Begitulah pentingya kepercayaan, sehingga nyawapun bila perlu dikorbankan demi kepercayaan dan
nama baik. Hal ini sangat mendarah daging di sebagian besar etnis Tionghoa. Keyakinan ini bersumber
pada ajaran Confucius sebagai berikut: Tatkala salah satu murid Confucius yang bernama Cu - Khong /
Zhi Gong bertanya tentang pemerintahan yang kuat. Confucius menjawab harus cukup sandang, pangan,
papan, persenjataan (tentara yang kuat) dan kepercayaan. Cu Khong bertanya lagi, kalau ketiganya
terpaksa ada yang tidak dipenuhi, manakah yang dapat ditinggalkan. Lalu Confucius berkata tinggalkan
persenjataan (tentara). Tanpa adanya tentara pemerintahan akan berjalan dengan baik. Cu Khong
bertanya lagi, kalau terpaksa tidak dapat dipenuhi dari dua yang masih itu, manakah yang dapat
ditinggalkan. Lalu Confucius menjawab tinggalkanlah sandang dan pangan, yang penting adalah
kepercayaan, yakni kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.
Kepercayaan (trust) merupakan salah satu faktor penting bagi suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan
apabila perusahaan melakukan pengkianatan terhadap suatu apabila kepercayaan tersebut terus
dipelihara dengan baik, maka dapat menjadi suatu investasi dalam membina hubungan yang saling
menguntungkan dalam jangka waktu yang panjang.
Menurut Moorman et.al. (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai : “A willingness to rely on an
exchange parner in whom one hasconfidence.“ Schurr dan Ozanne (1985) dalam Ndubisi (2009a)
menjelaskan kepercayaan sebagai “The belief that are parner’s word promise is reliable and a party will
fulfill his/her obligations relationship.“
Menurut Reichheld dan Sasser (1990) bahwa “Fulfilling promises that have been given is equally
important as a means of achieving customer satisfaction, retaining the customer base, and securing
long-term profitability.“Sirdeshmukh, Singh and Sabol (2002) menyatakan bahwa ”There is a relationship
between consumer trust and loyalty, when providers act in a way that builds consumer to make confident
predictions about the provider’s future behaviors.“
Menurut Morgan dan Bruhn (2003:65) kepercayaan sebagai “The customer’s willingness to forgot any
additional and just rely on the corporation’s behavior in the future.“
Menurut Doney dan Canon dalam Morgan dan Bruhn (2003:65) terdapat berbagai proses dalam
pembangunan kepercayaan yaitu :
1. Calculated prosess, salah satu kelompok hubungan mengasumsikan perilaku dapat dipercaya dari
yang lain jika keuntungan dari mengasumsikan perilaku dapat dipercaya dari perilaku tidak
terpercaya lebih rendah dari biaya yang dikenakan ketika tertangkap.
2. Predictive process, kepercayaan tergantung pada kapabilitas seorang dalam mengantisipasi
perilaku dari orang lain.
3. Capability process, berhubungan pada perhitungan kemampuan dari kelompok hubungan untuk
menyelesaikan pekerjaannya.
4. Intent process, kepercayaan didasarkan pada tujuan dan maksud dari kelompok yang lain.
5. Transferring process, pembangunan kepercayaan merupakan subyek untuk sebuah perhitungan
kelompok hubungan oleh pihak luar.
Dari definisi tersebut maka kepercayaan pelanggan terhadap suatu perusahaan dianggap sebagai
kepercayaan dalam hal kualitas dan rasa dengan mengandalkan pada jasa yang ditawarkan. Oleh
karena itu kepercayaan dianggap sebagai komponen yang paling penting dalam menjalin hubungan antar
perusahaan (organisasi) dengan pelanggan secara kooperatif.
Kepercayaan pelanggan terhadap suatu produk atau jasa dapat timbul karena pelanggan menilai mutu
produk dengan apa yang terlihat atau pahami. Para peneliti sebelumnya yang dilakukan oleh Ndubisi
(2007a), Reichheld dan Sasser (1990), dan Ribbink, Riel, Liljander dan Streukens (2004). Sirdeshmukh,
Singh dan Sabol (2002) disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif kepercayaan terhadap loyalitas
pelanggan. Adapun beberapa indikator kepercayaan yang digunakan sesuai dengan penelitian Ndubisi
(2007b) dimana merupakan pengujianfirst order yaitu janji-janji yang diberikan oleh penyedia layanan
dapat diandalkan, penyedia layanan konsisten dalam menyediakan layanan yang berkualitas, dan
penyedia layanan memenuhi kewajiban terhadap pelanggan.
Kepercayaan atau saling percaya adalah perekat bagi suatu institusi. Ketika respek sudah tidak ada lagi
dan orang-orang saling mengedepankan kepentingan pribadinya, yang ada adalah rasa saling tidak
percaya. Tanpa kepercayaan, otoritas tidak lagi memberikan makna. Transaksi antar kelompok menjadi
sangat mahal, lambat, dan tidak dapat dipegang kesempatannya (Kasali,2007:277).
Budaya tidak percaya erat hubungannya dengan situasi / ikatan kepercayaan yang berlaku di suatu
negara. Ketika masyarakat suatu bangsa tidak mempercayai pemimpin-pemimpinnya maka biaya
transaksi menjadi sangat mahal. Mereka tidak lagi dipercayai rekan-rekan bisnis dari negara lain, dunia
perbankan, perdagangan, bahkan mereka juga tidak bisa mempercayai sistem peradilan dan mata
uangnya sendiri. Untuk mengatasi semua itu para pelaku usaha cenderung memilih lokasi lubuk di
negara lain, mencatat semua perjanjian secara detail, membayar pengacara, dan membebankan semua
biaya itu pada pelanggan atau mitra bisnisnya. Sebuah institusi yang diwarnai dengan budaya saling
tidak percaya sudah pasti tidak punya masa depan.
Untuk memperjelas hal-hal tersebut di atas, dapat dilihat di gambar berikut
Hubungan Kepercayaan dengan Jaringan, Pelanggan, Pemasok, dsb.
6. Keberanian (Yong 勇 )
Keberanian adalah berani dalam membela kebenaran. Seseorang diharapkan tidak takut menghadapi
setiap permasalahan yang ada, dan seseorang juga diharapkan dapat bertanggung jawab dengan
perbuatan yang telah dilakukan. Jadi berani dapat diartikan pula sebagai bersikap kesatria. Seseorang
dituntut untuk berani dalam menghadapi segala hal, karena dengan keberanian itu akan membuatnya
menjadi seorang yang bijak.
Dalam hal ini Confucius memberikan ilustrasi sebagai berikut: “Kepada orang yang dengan tangan
kosong berani melawan harimau, dengan tanpa alat berani menyeberangi bengawan, sekalipun binasa
tidak merasa menyesal. Aku tidak memakainya. Orang yang kupilih ialah yang di dalam menghadapi
perkara mempunyai rasa khawatir dan suka memusyawarahkan rencana, sehingga dapat berhasil di
dalam tugasnya” (Lun Gi Jilid VII : 11 ayat 3).
Implementasinya dalam dunia bisnis bahwa seorang manajer harus berani mengambil resiko dan berani
melakukan perubahan-perubahan manajemen, berani mencoba peluang bisnis baru. Berani yang
demikian sering disebut dengan “Blue Ocean“
7. Perubahan (Yin Yang阴阳)
Kehidupan orang Tionghoa termasuk dalam bisnis tidak lepas dari konsep Yin Yang yakni konsep bahwa
alam semesta terdiri dari dan ditunjang oleh dua kekuatan, Yin dan Yang, atau positif dan negatif atau
disebut prinsip kegandaan. Konsep Yin Yang 阴阳 merupakan faktor yang dianut orang Tionghoa yang
mempengaruhi banyak keputusan sehari-hari yang dibuat oleh orang Tionghoa dalam bisnis/usahanya.
Menurut Boye De Mente (1994:23) bahwa “Prinsip Yin dan Yang memberikan pada orang Tionghoa
pandangan jauh ke muka dan memungkinkan mereka untuk menerima hal yang tidak diinginkan dengan
wajar “.
Etos Yin Yang juga merupakan konsep orang Tionghoa bahwa hidup harus berubah terus menerus
kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam dunia bisnis, orang Tionghoa harus terus merubah
bisnisnya kearah yang lebih maju, baik itu modal, pelayanan, jaringan maupun manajemen. Konsep ini
didasarkan pada Kitab Yak King(Kitab Iching 易 经 ) salah satu ajaran Confucius (Konghucu) yang
menjelaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang statis melainkan berubah (Babaran Agung
A:23).
Dalam Kitab Iching / Yi Jing 易经 (Babaran Agung B:32) tertulis “Matahari pergi datanglah bulan, bulan
pergi datanglah matahari, matahari dan bulan saling dorong timbullah terang; dingin pergi datanglah
panas, panas pergi datanglah dingin. Musim panas dan musim dingin silih berganti, datanglah pergantian
tahun“ (Tang Duan Zheng:15) (Yak King:154).
Ayat di atas menjelaskan tentang perubahan, manusia hidup di dunia harus berubah kearah yang lebih
baik. Bila dikaitkan dengan dunia bisnis, maka bisnis harus berubah menuju kearah yang lebih baik dari
sebelumnya. Dari konsep ini menjadikan orang-orang Tionghoa tidak mau duduk diam dalam
berwirausaha, melainkan berusaha agar selalu mengembangkan bisnisnya atau mencari peluang bisnis
secara terus menerus sesuai dengan perubahan lingkungan. Etos Ying Yang ini yang bisa mendorong
seseorang untuk berwirausaha tanpa ada keraguan.
Etos Yin Yang seperti dicontohkan oleh raja Shang Thang yang hidup kira-kira lebih dari 3000 tahun yang
lalu dengan ditulis dalam bak mandinya dari perunggu dengan kata-kata sederhana “Bila suatu hari dapat
memperbaharui diri, perbaharuilah terus setiap hari dan jagalah agar baharu selama-lamanya“ (Thai Hak
BAB II:1).
Etos Yin Yang menjadikan keyakinan etnis Tionghoa bahwa hidup ini harus berubah kearah yang lebih
baik atau selalu melakukan pembaharuan dan perubahan (transformasi). Melalui etos Yin Yang akan
memacu seseorang dapat merubah nasibnya menjadi lebih baik, sementara bagi wirausahawan akan
menjadikan wirausaha yang selalu melakukan perubahan bisnisnya kearah yang positif bahkan mampu
mengantisipasi bisnisnya ke depan, sebab bisnis tidak akan pernah stagnan (berhenti) melainkan akan
berkembang dan berubah sesuai dengan kebutuhan pasar.
Sutanto (2006:18) mengatakan bahwa “Dunia usaha sangat concern terhadap perubahan dan perbaikan
terus menerus karena kalau lengah, perubahan bisa punah.“ Ilmu manajemen Jepang pengendalian
mutu terpadu (Total Quality Control dan Kaisen) memahami benar hal ini sehingga menjadikan perbaikan
terus menerus sebagai kegiatan sehari-hari dan tidak pernah berhenti. Melalui memutar Roda PDCA
atau Plan-Do Check-Action, diupayakan standar yang telah dicapai terus diperbaiki, bukan hanya oleh
pemimpin saja (seperti dalam manajemen Barat), tetapi oleh semua karyawan. Bahkan pemasok dan
pelanggannya diajak ikut secara proaktif.
Cina sudah mempunyai tradisi agraris berumur ribuan tahun lamanya dan mempunyai kitab Iching
mengenai Hukum Perubahan Abadi, dan ditulis sejak 3000 tahun SM, tidak hanya sebagai petunjuk
dalam bertani, tetapi mempunyai kearifan hidup sebagai jalan alam (Tao/Dao道). Juga digunakan oleh
etnis Tionghoa sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan dalam pedoman berbisnis.
Perubahan dahsyat yang sedang terjadi akan terus berlangsung dan tidak bisa dicegah lagi. Manusia
tidak bisa lagi mengembalikan masa lalu atau seperti Dinosaurus yang punah ketika Zaman es mencair
yang bisa manusia kerjakan adalah mempelajari hukum-hukum perubahan itu, lalu menyesuaikan diri
untuk bisa Survive dalam perubahan (Sutanto, 2006:17).
Menurut Winardi (2005:3) perubahan dapat dibedakan menjadi dua yakni perubahan yang direncanakan
(planned change) dan perubahan yang tidak direncanakan (unplanned change). Perubahan yang tidak
direncanakan terjadi secara spontan atau secara acak, dan hal itu terjadi tanpa perhatian agen
perubahan. Perubahan demikian dapat bersifat merusak (destruktif). Hal yang mungkin lebih penting bagi
suatu organisasi yaitu perubahan yang direncanakan. Perubahan yang direncanakan merupakan sebuah
reaksi langsung terhadap persepsi seseorang tentang adanya suatu celah kinerja (a performance gap)
yakni suatu diskrepansi antara keadaan yang diinginkan dan keadaan nyata.
Levin (1951) berpendapat bahwa setiap upaya perubahan dapat dipandang sebagai sebuah proses yang
terdiri dari tiga macam fase, yaitu: Pertama, fase “pencarian“ (unfreezing). Kedua, fase “perubahan”
(changing) dan Ketiga, fase “pembekuan kembali“ (refreezing). Fase pertama “pencarian“ merupakan
tahapan dimana orang mempersiapkan sebuah situasi untuk perubahan. Tahapan “perubahan”
mencakup tindakan modifikasi aktual dalam diri manusia, tugas-tugas, struktur dan atau teknologi. Fase
“pembekuan kembali“ merupakan tahapan final dari proses perubahan. Ia didesain untuk memelihara
momentum suatu perubahan, di mana secara positif “dibekukan” hasil-hasil yang diinginkan.
Robbins (1995) menyatakan bahwa makin banyak organisasi dewasa ini menghadapi lingkungan
dinamik, dan yang mengalami perubahan serta menyebabkan timbulnya keharusan untuk berubah. Ada
enam macam kekuatan yang bekerja sebagai stimulan (pendorong) bagi perubahan yakni : (1) Sifat
angkatan kerja yang berubah, (2) Teknologi, (3) Kejutan-kejutan ekonomi, (4) Tren sosial yang berubah,
(5) Politik dunia baru, dan (6) Sifat persaingan yang berubah.
Dalam menghadapi perubahan-perubahan orang Tionghoa umumnya memiliki semangat hidup yang
tinggi. Kemauan kerja kerasnya dan kebiasaan hidupnya yang hemat menyebabkan orang Tionghoa
mampu bekerja dalam waktu yang panjang dan jarang beristirahat. Bagi orang Tionghoa untuk sukses
manusia harus berubah, untuk bisa berubah tentu menghindari kemalasan, sebab malas bagi orang
Tionghoa dianggap levelnya dibawah kebodohan di mana kebodohan merupakan identik dengan
kemiskinan. Bagi ajaran Confucius pemalasan dianggap keadaannya jauh lebih buruk daripada orang
bodoh (Thomas, 2008: 48).
8. Jaringan/Hubungan (Guanxi关系)
Dalam bahasa Cina, guanxi adalah istilah untuk sebuah hubungan personal. Ia mengacu kepada jaringan
hubungan informal dan pertukaran bantuan yang mendominasi segala aktifitas bisnis dan sosial yang
terjadi di seluruh Cina dan negara-negara lain dan area-area yang dipengaruhi kuat oleh budaya Cina
(Kao, 1993; Hwang dan Staley, 2005; Lovett et al., 1999). Menurut Hwang dan Staley
(2005), guanxi telah menjadi sangat penting bagi kebudayaan Cina selama lebih dari 2.500 tahun – sejak
jaman Confucius. Confucius menyebarluaskan lima set hubungan yang sehat di dalam suatu masyarakat:
peraturan/subyek, orang tua/anak, kakak/adik, suami/istri, dan teman-teman. Dari sejarahnya,
masyarakat Cina dibangun mengelilingi klan-klan keluarga. Guanxi dibangun dari konsep klan dengan
memperluas lingkaran pengaruh untuk mencakup saudara-saudara jauh, teman-teman, dan pada
akhirnya individu-individu yang tidak berhubungan dengan keluarga (Hwang dan Baker, 2000; Hwang
dan Stanley, 2005).
Guanxi bekerja menurut satu prinsip dasar: Orang-orang yang berbagi suatu hubungan guanxi saling
terikat pada satu sama lain oleh kode pertukaran timbal balik dan kewajaran yang tidak terucap
(Luo,1997). Penting bagi para individu untuk memenuhi tanggung jawab mereka dalam lingkaran guanxi.
Kegagalan seseorang dalam melakukannya hampir slalu menghasilkan kerusakan serius bagi
reputasinya yang mencakup kehilangan gengsi dalam lingkaran guanxi, kehilangan muka dan kehilangan
kepercayaan dari sesama anggota lingkaran guanxi(Hwang dan Staley, 2005). Sehingga, pengolahan,
pembangunan, dan pengembangan guanxi telah menjadi prioritas bagi banyak masyarakat Cina (Hwang
dan Staley, 2005; Luo, 1995). Di Taiwan dan Cina, para pelaku bisnis pertama-tama berjuang untuk
membangun personal dengan calon pelanggan, setelah diterima dalam klan/keluarga guanxi, bisnis pun
mengikuti. Yang menarik, ketika guanxi telah direalisasi, biaya marketing dan pengeluaran untuk hutang
buruk menjadi lebih rendah, dan bisnis pun dijalankan dengan cara yang lebih efisien
karena guanxi menciptakan satu kewajiban untuk menjalankan bisnis di dalam klan dan untuk membayar
hutang (Hwang dan Baker, 2000; Hwang dan Staley, 2005). Di sisi lain guanxi membantu perusahaan
untuk mengamankan transaksi komersial, memenangkan tawaran untuk proyek-proyek umum, untuk
memeroleh pinjaman dari bank negara. Menurut Po Keung Ip (2009), perusahaan yang
memiliki guanxi yang kuat sangat penting untuk keberhasilan perusahaan.
Yeung dan Tung (1996) menemukan bahwa guanxi merupakan satu-satunya yang secara konsisten
dipilih sebagai faktor kunci kesuksesan dalam berbisnis di Cina oleh sekelompok perusahaan
internasional yang beragam. Luo (1997a,b) menemukan bahwa sebuah korelasi langsung antara
level guanxi suatu perusahaan dan pertumbuhan penjualan domestiknya di Cina.
Hubungan adalah pelicin usaha dan dasar bagi sebagian besar hubungan profesional dan sosial (Boye,
1994:35). Hubungan bisa juga berarti hubungan kekeluargaan. Dalam ajaran Confucius ada lima
hubungan yang wajib dilaksanakan untuk mencapai masyarakat yang harmonis. Hubungan antara atasan
dan bawahan, hubungan antara sahabat dan kawan, hubungan anak dengan orang tua, hubungan kakak
dengan adik, hubungan antara suami dan istri (David, 1995:50).
Dari kelima hubungan tersebut berkembang menjadi enam hubungan yaitu hubungan antara murid
dengan guru. Orang-orang Cina di Asia Tenggara memelihara struktur sosial yang terjalin erat yang
memungkinkan hubungan ekstensif dan informal di antara anggota-anggotanya. Hubungan-hubungan
sosial dimulai pada tingkat keluarga dan meluas pada hubungan kekerabatan non keluarga yang terkait
oleh nama keluarga yang sama, daerah asal yang sama, atau kelompok dialek yang sama (David,
1995:45).
Praktek bisnis orang-orang Cina perantauan muncul terutama sekali dari pengaruh Confucius ini menjadi
alasan untuk bekerja dan raison d’etre (alasan keberadaan) dari kecakapan berwiraswasta orang-orang
Cina (David, 1995:51).
Kotkin (2005) menggambarkan jalinan unsur keuangan dan guanxi ini sebagai berikut: Seperti hanya
orang Yahudi di Polandia dan di negara-negara Eropa lainnya, masyarakat Cina di Asia Tenggara
mendominasi setiap celah komersial yang penting melalui pekerjaannya sebagai pedagang, perajin kayu
dan pekerja-pekerja terampil, dan seringkali mengisi peran “menengah“ antara golongan elit yang terdiri
dari para pedagang Eropa, pemilik perkebunan, dan pejabat-pejabat kolonia dan para petani pribumi.
Terbuang dari tanah airnya sendiri, seperti halya bangsa Yahudi, mereka tidak memiliki banyak pilihan
selain melibatkan diri dalam kegiatan perdagangan dan peminjaman uang. Sani (2006) seorang
cendekiawan senior di Malaysian Institute for Strategis andinternasional Studies, menjelaskan, “Mereka
tak memiliki pilihan selain menerjunkan diri dalam bidang bisnis, dalam kegiatan perdagangan. Orang-
orang Melayu dapat menarik diri dari tanah ini karena merekalah yang memiliki wilayah ini. Mereka dapat
pulang ke kampungnya. Namun orang-orang Cina tak memiliki pilihan selain melanjutkan bisnisnya,
mereka menjadi kuat karenanya.“ Jadi timbulnya kewirausahaan Etnis Tionghoa disamping karena etos
yang melandasi juga didorong oleh suatu tuntutan kehidupan yang tidak ada pilihan lain.
Ikatan guanxi masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara menurut N.Mark Lam (2007:360) dikelompokkan
menjadi lima macam yakni :
1. Marga yang didasarkan pada nama keluarga.
2. Kedaerahan yang didasarkan pada tempat asal di Cina.
3. Dialek yang didasarkan pada bahasa.
4. Keahlian yang didasarkan pada bidang pekerjaan.
5. Kepercayaan yang didasarkan pada pengalaman atau rekomendasi.
Ran Charam (2007) melaporkan sebuah cara di mana guanxi dapat meningkatkan daya saing: ”Jaringan
dirancang untuk memperdayakan para manajer agar mau berbicara secara terbuka, diam-diam, dan
emosional tanpa rasa takut, memperkaya kualitas keputusan mereka, menguji niat orang lain dan
membangun kepercayaan, dan menyemangati mereka untuk menelaah masalah dari sudut pandang apa
yang terbaik bagi konsumen dan perusahaan ketimbang dari kepentingan fungsional atau kelompok yang
lebih sempit.“ Guanximembawa keuntungan semakin berkurangnya biaya transaksi antar anggotanya
dimana dengan guanxi tak perlu berkeliling dari satu penjual ke penjual lainnya untuk mendapatkan harga
terbaik.
Guanxi juga dapat menjadi sumber pengaruh yang penting selama berlangsungnya negosiasi. Kebuntuan
pembicaraan dapat dipecahkan melalui konsultasi dengan anggota jaringan yang berpengaruh. Bahkan,
referensi dari seorang anggota guanxi yang berpengaruh dapat memperkuat posisi dalam negosiasi
ketimbang segudang informasi teknis yang akurat. Dengan pentingnya peran guanxi dalam budaya bisnis
Cina telah dapat menebak bahwa mitra bisnis Cina akan memperlihatkan jaringan hubungannya. Bila
Amerika menghargai keahlian, orang-orang Cina menghargai guanxi.
Orang Tionghoa mengganggap penting jaringan hubungan bisnis yang bersifat lintas negara melalui jalur
kesamaan etnis dan subetnis dengan semangat kekeluargaan itu. Sesama migran etnis Tionghoa di
mana pun berada harus saling menjaga dan membantu. Manfaat jaringan itu sangat terasa terutama bagi
pendatang baru di bumi mana pun yang mereka tempati sebagai tanah harapan.
Menurut Thomas (2008:45) ada tiga keuntungan dari adanya jaringan antar etnis yaitu :
Memaksimalkan “contact points” untuk informasi bisnis atau pekerjaan.
Tukar-menukar berita atau komoditi dagangan.
Memberi atau mendapatkan dukungan psikologis maupun dukungan modal.
BAB II Tinjauan Pustaka : Hubungan Etika dengan Perilaku Ekonomi
Category: DISERTASIPublished on TUESDAY, 19 FEBRUARY 2013 10:57 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 1181
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
Yang mula-mula membahas hubungan antara nila-nilai agama
dengan perilaku ekonomi adalah Max Weber (Abdullah, 1978:4). Max Weber dalam karyanya yang
terkenal “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme”, Weber (1958:79-92) dalam (Gorde, 1995:4)
berusaha menjelaskan mengapa kapitalisme modern berkembang di Eropa Barat dan Amerika, tetapi
tidak di wilayah lain. Untuk menjelaskan teorinya, Weber mengemukakan fakta dan pertimbangan bahwa
di Eropa Barat telah terjadi suatu peristiwa religius dan idiologis yang unik, yaitu Reformasi Protestan.
Peristiwa tersebut telah menjadi tanah subur yang menumbuhkan kesadaran baru masyarakat Barat
akan nilai universalitas dan keharusan berprestasi. Kesadaran baru ini bisa diterangkan dalam
hubungannya dengan Kalvinisme. Kalvinisme adalah suatu sekte dalam gerakan Protestantisme, yang
memandang kerja sebagai panggilan (Beruf, calling), suatu tugas suci yang bukan bertujuan sekedar
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari melainkan sebagai panggilan Tuhan.
Semangat kerja keras dan hidup sederhana di kalangan penganut Kalvinisme dalam perjalanan sejarah
kemudian menjadi tulang punggung sistem ekonomi kapitalis di bagian bumi yang telah disebutkan.Di
pihak lain, Weber mengemukakan bahwa nilai-nilai agama Timur, berbeda dengan nilai-nilai
Protestanisme, karena yang disebut terdahulu menghambat tumbuhnya kapitalisme.
Dari paparan di atas, tampak alur tesis Weber tentang agama Protestan. Weber berkeinginan keras untuk
mempertanyakan atau mungkin lebih daripada itu, mencari hubungan antara penghayatan agama
dengan pola-pola perilaku. Weber setidak-tidaknya telah mengarahkan pada suatu model pemikiran atau
pendekatan, yakni faktor struktural dan pola-pola pemikiran (ide dan nilai) harus dianalisis secara
bersamaan dengan cermat. Antara perilaku agamis dan perilaku ekonomi harus dipahami dengan sebaik-
baiknya.
Confucius sebagai agama dan filsafat memang mendorong pada umatnya khususnya Etnis Tionghoa
untuk bekerja keras, hemat, dan tekun disamping menjalankan ibadah kepada Thian (Sang Penciptanya).
Tentu saja ajaran Confucius mendorong bisnis yang mengutamakan Kebajikan terlebih dahulu baru
kekayaan atau keuntungan (Thai Hak Bab X:7). Pengertian tersebut bukan berarti kekayaan itu
diabaikan, melainkan kekayaan boleh dikejar berdasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran (Yi).
Confucius mengajarkan manusia untuk sukses dalam kehidupan termasuk keberhasilan kerja.
Keberhasilan kerja seseorang antara lain ditemukan oleh adanya etos kerja yang tinggi dan berakar
dalam dirinya. Dengan cara memahami dan meyakini ajaran-ajaran agama yang berhubungan dengan
penilaian ajaran agama tersebut terhadap kerja akan menumbuhkan etos kerja pada diri seseorang.
Pada perkembangan selanjutnya etos kerja ini akan menjadi pendorong keberhasilan kerjanya.
Atmowardoyo (1995:68) berpendapat ada semacam prinsip paduan yang tidak terlihat atau “Hidden
Principles”. Selanjutnya dikatakan apabila hendak mencari misteri atau mencari “Hidden Principles“ dari
perilaku orang-orang Tionghoa, maka harus melihat tradisi dan kebudayaannya. Prinsip paduan yang
diterapkan dalam perilaku ekonomi mungkin tidak terlihat oleh orang-orang yang berada di luar
lingkungan bangsa atau kelompok kebudayaan tersebut. Walaupun prinsip itu nyata bagi orang yang
berada dalam kebudayaan itu sendiri, tetapi tidak ada orang yang membicarakannya. Kecenderungan
untuk menjauhkan ”prinsip-prinsip yang tidak terlihat” ini tidak hanya terbatas pada diskusi formal bidang
ekonomi saja tetapi telah menyusup ke seluruh tubuh masyarakat. Dalam hal ini Widyahartono (1996)
membenarkan bahwa “Banyak orang-orang Tionghoa tingkahlakunya sesuai dengan Confucius, walau ia
sendiri tidak mau mengakui sebagai pengikut Confucius“. Banyak orang Tionghoa yang dulunya
beragama Khonghucu (Confucius) lalu pindah agama lain, baik Kristen, Katholik maupun Islam, tetapi
tingkah lakunya tetap beretika Confucius. Kenyataan ini semakin memperjelas bahwa nilai-nilai Confucius
telah begitu melekat pada orang-orang Tionghoa berabad-abad lamanya sehingga tidak salah bahwa
beberapa pakar sejarah, seperti Hegel, Mely G.Tan dengan tegas mengatakan kalau seseorang ingin
memperdalam tingkah laku orang-orang Tionghoa, maka seseorang harus belajar Confucius. Orang-
orang Tionghoa umumnya sudah karakteristiknya identik dengan Confucius.
Indarto (2010) mengatakan budaya Tionghoa tidak lain indentik dengan budaya Confucius. Budaya
Confucius telah melekat pada Etnis Tionghoa dan mempengaruhi bisnis. Banyak penelitian dari beberapa
perusahaan sebagai contoh pemilik Hyundai di Korea, Chung Ju Yung sebagai seorang yang sukses
karena menempatkan nilai-nilai Confucius dalam pengembangan bisnis otomotifnya (Kristan, Gemaku),
dan sekarang menjadi pabrik mobil terkenal di Korea, bahkan telah melakukan ekspor di beberapa
negara Eropa termasuk Amerika dan negara Asia, salah satunya Indonesia. Contoh tersebut
menjelaskan bukan lagi menjadi rahasia umum terutama kaum intelektual, bahwa nilai-nilai Confucius
adalah nilai yang melekat secara turun temurun melalui petuah-petuah tauladan orang tua seperti nilai-
nilai kejujuran, kekeluargaan, tahan banting, mau bekerja keras serta hidup sederhana.
Yang menjadi salah satu kunci mengapa orang-orang keturunan Cina (Tionghoa) meraih kesuksesannya,
terutama dalam bidang ekonomi dan bisnis. Mereka adalah pribadi yang mempunyai talenta. Talenta itu
lalu dikembangkan dalam pola asuh keluarga secara turun temurun untuk mencapai kesuksesan dalam
hidupnya. Dalam hal ini filosofi Confucius adalah dasar kehidupan yang secara umum dipakai oleh
keluarga Cina untuk membangun keluarganya (Sugiarto, 2009:13).
Confucius selain mengajarkan pendidikan dan kebijaksanaan, ia juga telah meletakkan dasar-dasar
tradisi berupa sikap mental yang kuat, yang mendasari orang-orang Cina dalam berdagang, sampai
sekarang melegenda dalam ajaran Cina. Berkaitan dengan bisnis, orang Cina terkenal erat dalam hal
bisnis “berbisnis sama artinya dengan membangun persahabatan”. Begitulah filsafat bisnis yang terilhami
dari ajaran Confucianisme. Kekerabatan yang kental ini telah lahir dari ajaran Confucius yang
menganggap penting persaudaraan, kekeluargaan, dan cinta kasih kepada sesama (Sugiarto, 2009:19).
Dalam hal ini ajaran Confucius mengatakan : (1) Penghasilan harus lebih besar daripada pemasukan, (2)
Bekerja setangkas mungkin, (3) Berhemat (tidak boros) (Thai Hak Bab X :19). Seorang Junzi itu
sederhana dan tangkas bekerja (Lun Gi Jilid I:14). Seorang Junzi lambat bicara tetapi tangkas bekerja
(Lun Gi Jilid IV:24). Kerja keras seorang yang berwatak Junzi mempengaruhi sikap kerja orang Tionghoa
yang banyak dihubungkan dengan bakti keluarga, penerimaan akan disiplin, rasa takut, ketidakamanan,
toleransi besar terhadap rutinitas, dan prakmatisme yang ditanamkan dengan kuat (David, 1995:52).
Harrell (1985) dikutip oleh David, menyajikan tiga penjelasan yang saling berhubungan tentang etos kerja
orang Cina. Pertama, ia mengusulkan dimana orang Cina dibesarkan dengan nilai-nilai yang berbeda.
Nilai positif tentang “kerja keras” secara kuat ditanamkan dalam diri anak-anak Cina pada usia dini. Bagi
komunitas Cina perantauan, kerja dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup
pengorbanan diri, saling ketergantungan, rasa percaya, dan hemat yang dipandang sebagai dasar bagi
terkumpulnya kekayaan.
Kedua, orang Cina bekerja keras untuk mendapatkan ganjaran materi. Dalam komunitas Cina
perantauan, kemakmuran, perasaan nyaman dan aman dalam usia lanjut menduduki posisi sentral dalam
persepsi bersama tentang kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, insentif untuk bekerja keras
secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dan jaminan masa depan.
Ketiga, etos kerja orang Cina mempunyai orientasi kelompok individu tidak bekerja semata-mata untuk
keuntungan pribadi, melainkan pertama-tama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan kemudian
untuk kebaikan bersama masyarakat. Membangun hubungan dan kepercayaan adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Kredibitas dan posisi seseorang di kalangan komunitas Cina perantauan biasanya
merupakan hasil dari kepercayaan yang telah dibina seseorang selama bertahun-tahun dalam menjalin
hubungan.
Ongky (2000:22) dalam The Key of Harmonious Life mengatakan beberapa pokok penting hubungan
ajaran Confucius berkaitan dengan bisnis diantaranya :
1. Konsep Yin Yang 阴 阳 (Perubahan)
Konsep Yin Yang adalah konsep dimana ada Langit ada Bumi, ada pria pasti ada wanita, ada siang pasti
ada malam. “Bila matahari telah mencapai rembang turunlah ia, dan bila bulan menjadi purnama,
susutlah ia, bila dingin pergi, panas datang dan bila panas datang, dingin pergi.
Konsep di atas menjadikan prinsip orang-orang Tionghoa selalu optimis dalam menghadapi kehidupan di
masa mendatang. Apabila saat sekarang masih belum sukses, ia akan berusaha dengan sekuat tenaga
tanpa putus asa dengan harapan suatu saat mereka akan berhasil. Sebaliknya ketika orang Tionghoa
telah mencapai kesuksesan hidup, mereka selalu berhati-hati jangan sampai salah langkah sehingga
jauh dari kejayaannya.
2. Konsep Zhong = Chung = Tiong 忠 (Tengah Sempurna)
Konsep Tengah Sempurna adalah konsep yang tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Seorang yang
berbisnis jangan terlalu takut dan juga jangan terlalu “gambling“. Mereka yang terlalu “gambling” akan
membahayakan bisnis walaupun kadangkala dengan “gambling” justru bisa meraih keuntungan yang
besar. Selanjutnya mereka yang terlalu takut tidak akan menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Zhong 忠
juga berarti elastis (tidak ekstrim), bisa mengikuti situasi dan kondisi yang ada.
3. Konsep Keseimbangan
Keseimbangan dan keserasian sangat penting dalam setiap aktifitas bisnis, bahkan dalam mengatur
organisasi perusahaan. Keseimbangan pemasukan dan pengeluaran, keseimbangan modal kerja dengan
hutang harus dijaga, keseimbangan biaya operasi dan volume pejualan. Konsep tersebut seperti yang
dikatakan oleh Confucius : “Mengurus harta pun ada jalannya yang besar, bila penghasilan lebih besar
dari pada pemakaian dan bekerja setangkas mungkin sambil berhemat, niscaya harta benda itu akan
terpelihara“ (Da Xue X:19).
4. Semangat Maju dan Sukses
Orang Tionghoa tidak pernah diam, melainkan selalu berusaha untuk mengubah hidupnya dengan
bekerja keras, semangat maju untuk mencapai cita-citanya. “Bila orang lain dapat melakukan hal itu
dalam satu kali, diri sendiri harus berani melakukan seratus kali, bila orang lain dapat melakukan dalam
sepuluh kali, diri sendiri harus berani melakukan seribu kali“ (Zhong Yong XIX:20).
Konsep tersebut mencerminkan ketekunan dan pantang menyerah seperti yang diungkapkan Zhong
Yong 中庸 bahwa : “Memang ada hal yang tidak dipelajari, tetapi hal yang dipelajari bila belum dapat
janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak ditanyakan, tetapi hal yang ditanyakan bila belum sampai
benar-benar mengerti janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak dipikirkan, tetapi hal yang dipikirkan bila
belum dapat dicapai janganlah dilepaskan, ada hal yang tidak diuraikan, tetapi hal yang diuraikan bila
belum tercapai jelas janganlah dilepaskan dan ada hal yang tidak dilakukan, tetapi hal yang dilakukan
bila belum dapat dilaksanakan sepenuhnya jangan dilepaskan.“
Etika tersebut sebagai pendorong agar manusia dalam mengerjakan sesuatu dengan tekun, teliti,
sungguh-sungguh dan tidak kenal menyerah. Apabila etika tersebut diterapkan dalam dunia bisnis, maka
akan menjadikan seseorang bekerja secara sempurna.
5. Membuat baru dan modern
Dalam Ajaran Confucius dikatakan: “Bila suatu hari dapat memperbaharui diri, perbaharuilah dan jagalah
agar baharu selama lamanya“ (Da Xue 大学 II:1). Hal tersebut mengajarkan perlunya perubahan
(change) dalam kehidupan manusia termasuk dalam urusan bisnis. Perlunya adanya perubahan dalam
inovasi baru, pengembangan produk, mutu, penataan ruang etalase, pembaharuan manajemen, sistem,
organisasi selalu diadakan pembaharuan kearah yang lebih baik.
Masih banyak nilai-nilai Confucius yang mendorong kearah sukses dalam berbisnis, misalnya bisnis
harus dilandasi kepercayaan, kebenaran, keadilan, dan kebijaksanaan. Nilai-nilai ini ada pada manusia
sejak lahir. Manusia wajib menggali nilai-nilai pemberian Tuhan itu untuk digunakan sebaik mungkin
dalam kehidupan, pergaulan maupun dalam hubungannya dengan bisnis. Mengingat kesuksesan adalah
hasil upaya yang terus-menerus belajar dan memperbaharui diri agar sikapnya berubah menjadi baru.
Sedangkan menjadi insan yang berbudi mulia adalah cita-cita tertinggi yang menganut ajaran Confucius.
Sebelum mengatur keluar, tugas utama manusia adalah mampu mengatur dirinya sendiri. Seseorang
harus mampu meluruskan hati, menegakkan tekat, melengkapi dirinya dengan pengetahuan membina
orang lain. Confucius percaya bahwa masyarakat yang makmur dapat dibentuk oleh mereka yang
memiliki tekad, berpengetahuan luas, dan memiliki budi pekerti baik. Nilai-nilai agama inilah yang selalu
ditransfer oleh orang tua kepada anak cucunya sampai saat ini.
Confucius selalu menggaris-bawahi hubungan saling tergantung antara pemerintah dan keluarga. Hal itu
disebabkan dalam masyarakat tradisional Cina, keluarga dianggap sangat berperan mengurangi
kekacauan dalam institusi–institusi publik. Maka kewajiban bagi orang tua untuk selalu menekankan
ketentuan sosial dan kesejahteraan setiap anggota keluarga. Ikatan persaudaraan merupakan motor
penggerak dalam politik idiologi kekeluargaan Cina. Implikasi politik dari sistem ini adalah membangun
ekonomi Cina yang ditekankan adalah jaringan (guanxi), yaitu sebuah relasi untuk saling tolong
menolong. Prinsip Jaringan kekeluargaan ini menjadi pilar cara pandang dalam kerangka kerja ekonomi
Cina. Selain itu, yang menyebabkan Cina mampu menguasai perekonomian secara global adalah etos
kerja yang menekankan keuletan dan kerajinan.
Menurut Ying Fan (2000:7) ada beberapa nilai budaya Cina khususnya yang didominasi Confucius
sebagai berikut (1) bearing hardship (menanggung penderitaan); (2) governing by leaders instead of by
law (mengatur dengan pemimpin bukan hukum); (3) equality/egalitarianism (kesetaraan);
(4) Li /propriety; (5) people being primarily good (orang-orang pada intinya baik);
(6) kinship (kekerabatan); (7) veneration for the old (hormat yang mendalam terhadap senior);
(8) deference to authority (segan terhadap otoritas); (9) conformity/group orientation(kepatuhan/orintasi
kelompok); (10) a sense of belonging (rasa menjadi bagian); (11) reaching consensus or
compromise (mencapai konsensus atau kompromi); (12) avoiding confrontation (menghindari
konfrontasi); (13)collectivism (kolektifisme); (14) not guided by profit (tidak dibimbing oleh keuntungan);
(15) guanxi (jaringan atau hubungan personal); (16) attaching importance to long-lasting relationship not
gains (melekatkan kepentingan kepada hubungan yang bertahan lama bukan pada orentasi keuntungan);
(17) morality (moralitas); (18) Te (virtue, moral standard) (kebajikan, standar moral);
(19) wisdom/resourcefulness (kebijaksanaan/banyak akal); (20) being gentleman anytime (menjadi
susilawan kapan saja); (21) obligation for one’s family, and nation (kewajiban bagi keluarga dan negara
seseorang); (22) pracmatic/to suit a situation (pragmatis/menyesuaikan situasi); (23)contented with one’s
position in life (merasa cukup puas dengan posisi diri dalam kehidupan); (24) orientation to the
past (orientasi pada masa lalu); (25) continuity/being part of the history (kesinambungan/menjadi bagian
dari sejarah); (26) taking a long range view (mengambil pandangan rentang panjang); (27) the
way (dao/tao) (cara/jalan besar); (28) fatalism/karma (believing in one’s fate) (percaya pada nasib); (29)
Yuarn; (30) harmony between man and nature (harmony antara manusia dan alam); (31) unity of Yin and
Yang (kesatuan Yin danYang).
BAB II Tinjauan Pustaka : Pendekatan Kepribadian dan Etika Confucius Yi, Ren, Li, dan Zhi
Category: DISERTASIPublished on MONDAY, 11 FEBRUARY 2013 11:00 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 936
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
Yi 义 (righteousness) atau peri keadilan merupakan
sebuah kewajiban moral. Kewajiban moral ini bersifat mutlak atau bersyarat (unconditional obligation)
(Fung Yu-Lan,1947 dalam Riana 2008:33). Perikeadilan ini merupakan hakekat formal kewajiban
manusia dalam masyarakat, yaitu perbuatan yang seharusnya dilakukan. Setiap manusia memiliki hal-hal
tertentu yang harus dikerjakan dalam masyarakat. Hal-hal tersebut ditinjau dari segi moral merupakan
hal-hal yang harus dikerjakan karena benar. Oleh karena itu, hal-hal tersebut akan dikerjakan dengan
sebaik-baiknya. Namun jika seseorang mengerjakan hal-hal tersebut dikarenakan pertimbangan-
pertimbangan lain di luar segi moral, maka perbuatannya itu bukan merupakan perbuatan yang adil.
Manusia yang mengerjakan hal-hal hanya demi tujuan mendapatkan keuntungan, bukan karena
pertimbangan moral maka hal ini dalam Confucianisme dipahami sebagai pemisahan
antara Yi 义 (perikeadilan / kebenaran) dan Li’ 利 (Keuntungan). Confucius sangat menekankan
pemisahan ini. Pemisahan Yi dan Li’ ini dicatat di dalam Lunyu yakni “The superior man understands
righteousness; the inferior man understands profit” (Lunyu IV:16). Fung Yu-Lan menyatakan pemisahan
ini sebagai pemisahan antara kehidupan moral (moral life) dan kehidupan utilitarian (utilitarian life). Jika
seseorang melakukan tindakan dengan tidak terlepas dari tujuan akhir yang utilitarian, maka kehidupan
yang dijalani adalah kehidupan utilitarian bukan kehidupan moral (Riana,2008:34).
Banyak kritik yang menyatakan Confucius tidak konsisten dalam hal pemisahan antara Yi dan Li’ ini.
Mereka menyatakan ketidak-konsistenan Confucius ini terlihat dari ucapan Confucius, misalnya yang
tercatat di dalam Lunyu yakni: “When the Master went to Wei, Zan Yu acted as driver of his carriage. The
Master observed, ’How numerous are the people!’ Yu said,’Since they are thus numerous, what more
shall be done for them?’ ‘Enriched them,’was the reply,’And when they have been enriched, what more
shall be done? ‘The Master said,’Teach them” (Lunyu XIII: 9).
Berdasarkan uraian tersebut, Confucius sangat menekankan pada kekayaan dan jumlah penduduk. Para
pengeritik menganggap hal tersebut merupakan penekanan pentingnya “keuntungan” bagi masyarakat.
Alasan dari timbulnya pertanyaan dan kritik terhadap Confucius menurut Fung Yu-Lan adalah
ketidakpahaman para pengeritik terhadap makna hakiki dari pemisahan antara Yi 义 (perikeadilan)
dan Li’ 利 (keuntungan) dalam Confucianisme. Mereka tidak memahami bahwa yang dimaksud dengan
keuntungan dalam pemisahan antara Yidan Li’ adalah keuntungan pribadi (private profit). Tindakan yang
dilakukan seseorang dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi disebut sebagai tindakan mencari
keuntungan (profit seeking actions). Tetapi jika keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan bukanlah
keuntungan pribadi bagi individu melainkan keuntungan umum (public profit) bagi orang lain atau
masyarakat, maka tindakan tersebut merupakan tindakan peri keadilan bukan tindakan mencari
keuntungan.
Setiap tindakan yang memiliki nilai moral merupakan tindakan-tindakan moral. Tindakan moral ini adalah
tindakan-tindakan keadilan (righteous actions). Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan peri keadilan
karena sasaran dari semua tindakan yang dilakukan secara tak bersyarat dan mengandung nilai moral di
dalamnya adalah untuk mencari keuntungan bagi orang lain. Contoh: seorang anak yang melakukan
tindakan tertentu secara tak bersyarat untuk mendapatkan keuntungan bagi orang tuanya, dan orang tua
yang penuh kasih melakukan tindakan tertentu secara tak bersyarat untuk memperoleh keuntungan bagi
anaknya. Tindakan tertentu yang dilakukan secara tak bersyarat untuk mendapatkan keuntungan bagi
orang tua ataupun anak merupakan sasaran dan tindakan-tindakan orang tua dan anak. Bakti anak (filial
duty) atau kasih sayang orang tua (parental kindness) adalah nilai-nilai moral dalam tindakan-tindakan
mereka (Riana, 2008:36).
Jika hal yang disebut sebagai “keuntungan” itu merupakan keuntungan bagi pribadi individu maka
keuntungan tersebut bertentangan dengan peri keadilan (Yi). Namun, jika hal yang disebut sebagai
“keuntungan” itu merupakan keuntungan umum bagi orang lain atau masyarakat luas maka keuntungan
tersebut tidak bertentangan dengan peri keadilan tetapi keuntungan tersebut merupakan isi yang
terkandung dalam peri keadilan. Keuntungan umum bagi orang lain atau masyarakat ini lalu menjadi
kewajiban mutlak/tak bersyarat bagi setiap individu dalam masyarakat.
Dalam Confusianisme, mencari keuntungan bagi orang lain atau masyarakat merupakan tujuan dari
tindakan keadilan (righteous action). Dengan kata lain, mencari keuntungan umum adalah upaya untuk
bertindak secara adil atau melakukan Yi义.
Pendekatan Etika Confucius terhadap perilaku individu juga perilaku bisnis melalui pendekatan
kepribadian (personality) yang menyatakan tingkat religiusitas akan menjadi bagian identitas diri
seseorang. Personalitiy itu sendiri pada gilirannya akan menjadi faktor penting menentukan perilaku
dalam organisasi maupun sikap kerja karyawan (Januarti dkk, 2006:15). Confucius beranggapan
kepribadian (personality) harus dilandasi oleh kebajikan, khususnya Ren 仁 (Cinta Kasih) agar dapat
membentuk kelompok masyarakat yang bajik pula. Suatu kepribadian yang berkebajikan akan
mempengaruhi tingkah laku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Confucius mengatakan: “Maka
pemerintahan itu tergantung pada orangnya, orang itu tergantung pada diri pribadinya; untuk membina
diri itu harus hidup dalam Tao/Dao 道 (Jalan Kebenaran) dan membina Tao/Dao 道 itu harus hidup
dalam Ren 仁 (Cinta Kasih)” (Tiong Yong BAB XIX : 4, halaman 60).
Kepribadian juga mempengaruhi sikap kepemimpinan. Pemimpin yang bijak tentu menerapkan tiga
konsep Confucius (Tripusaka) yaitu Ren 仁(Cinta Kasih), Yong 勇(berani) dan Zhi 智(bijaksana) (Tiong
Yong Bab XIX, 8 hal. 61).
Etika Confucius sebagai etika moral merupakan nilai-nilai kinerja yang dijadikan sebagai landasan bisnis
pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja. Nilai-nilai itu disebut sebagai Kinerja Confucius yang
bersumber pada ajaran agama Khonghucu. Kinerja Confucius tidak bedanya dengan Kinerja Islam
dimana seseorang bekerja memiliki tujuan ibadah. Namun kinerja Confucius memiliki perbedaan yang
sangat prinsipil dengan Kinerja Islam. Kalau Kinerja Islam tujuan bekerja untuk ibadah dan tujuan
akherat, bagi Confucius motif bekerja adalah untuk menyempurnakan kehidupan di dunia (sebagai
sarana pembelajaran manusia dalam kehidupan di dunia). Perbedaan ini terletak pada konsep Confucius
yang memandang orang bekerja di dunia sebagai pelaksanaan bakti (Hau 孝 ) kepada orang tua dan
keluarga. Bekerja memiliki tujuan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan keluarga pada saat kita
hidup di dunia. Bagi Confucius manusia harus mengisi kehidupan di dunia ini secara benar, hal akherat
tidak usah dibicarakan karena itu merupakan hukum Tuhan (Thian Li 天理 ). Apabila manusia bisa
menciptakan keharmonisan di dunia dengan benar, maka hal kematian (akherat) sudah tidak ada lagi
yang perlu dikawatirkan. Dalam hal ini Confucius mengatakan sebelum mengenal hidup untuk apa
mengenal mati, artinya menyempurnakan kehidupan di dunia wajib dijalankan untuk mencapai
kesempurnaan di luar dunia. Konsep tersebut yang mendasari orang-orang Tionghoa bekerja untuk
tujuan kemakmuran keluarga. Mereka merasa malu dan takut apabila tidak bisa memberi kehidupan dan
kemakmuran kepada keluarganya. Mereka yang gagal dalam memenuhi kewajiban kemakmuran kepada
keluarga merasakan sebagai rasa malu yang sungguh mengusik harga dirinya. Untuk itulah orang
Tionghoa selalu bekerja keras membanting tulang agar rasa malu ini terhindar. Bagi orang Tionghoa
kemakmuran dan kesejahteraan harus dikejar sebagai sarana belajar membangun kehidupan yang akan
datang untuk nama besar keluarganya apabila telah meninggal dunia. Hanya menjaga nama baik
keluarga merupakan bagian dari bakti sebagai kewajiban dari Agama.
Etika Confucius menjadikan kepribadian yang memahami Li‘ 利 (beda dengan Li 礼 ) yang
mempertimbangkan Yi 义 yakni hubungan antara Yi 义 (Kebenaran) dan Li’ 利 (bisnis/keuntungan) atau
antara bisnis dan etika. Hubungan tersebut ditegaskan oleh Lu Xiaohe (1997:1511) sebagai berikut: “A
person of noble character can understand Yi, but a low person only knows Li”(Seorang dengan
karakteristik mulia (Junzi 君子) dapat memahami Yi 义, tapi seorang yang dangkal pemikirannya hanya
mengenal Li 利). Although Confucians are not completely against “Li” and want to put “Yi” into “Li” or to
achieve “Li” in a moral way (that is “Yi”), they pay more attention to “Yi” than to “Li”. (Meskipun penganut
pandangan Confucius tidak sepenuhnya menentang Li’ 利 dan bermaksud
menempatkan Yi 义 kedalam Li’ 利 atau untuk mencapai Li’ 利 dengan cara yang bermoral, mereka lebih
memperhatikan Yi 义 ketimbang Li’ 利 ).
Dimensi Etika sangat penting dalam penerapan bisnis. Bisnis bukanlah suatu aktivitas yang netral secara
moral. W.Michael Hoffman dan Robert E. Frenderick (Hoffman et.al.,1995) dalam (Lu
Xuiaohe,1997:1517) menuliskan: “Memang benar bahwa tujuan dari bisnis adalah laba, tetapi proses
mendapatkan laba bukanlah satu aktivitas yang netral secara moral. Menurut tradisi, kita telah
mendorong bisnis untuk mengejar laba karena kita yakin bahwa pencarian laba tidak melanggar hak apa
pun dan merupakan hal yang terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan. Namun dalam dua dekade
terakhir, muncul keberatan terhadap kepercayaan bahwa bisnis secara keseluruhan memberikan
kontribusi positif terhadap kesejahteraan umum”. Masyarakat Cina seharusnya tidak hanya
mempertimbangkan dampak ekonomi pasar terhadap moralitas dan hubungan timbal balik keduanya.
Melainkan juga mengkaji bisnis itu sendiri dari perspektif etis. Misalnya dimensi etika dan bisnis yang
tidak datang dari luar, melainkan suatu yang bersifat internal, komponen yang berkaitan dengan bisnis itu
sendiri. Kita mestinya peduli dengan cara etis untuk mendapatkan keuntungan, atau
cara Yi 义 menjadi Li’ 利 (Kebenaran dalam menuju Keuntungan) (Lu Xiaohe,1997).
Bisnis secara Confucius dari Yi 义 menuju Li’ 利 dapat dilihat dari proses yang dilandasi etika Confucius
seperti Gambar berikut
Gagasan Ren 仁 (perikemanusiaan atau humanis) lebih konkrit ketimbang gagasan Yi 义 yang bersifat
agak formal. Hakekat formal kewajiban manusia dalam masyarakat adalah “perbuatan yang seharusnya
dilakukan”, karena segala kewajibannya adalah apa yang seharusnya dilakukan. Sedangkan, hakekat
material kewajiban-kewajiban ini adalah mengasihi manusia-manusia lainnya (Riana, 2008:37). Tindakan
apa pun yang dilakukan secara tak bersyarat sebagai keuntungan bagi masyarakat atau orang lain
merupakan sebuah tindakan perikeadilan (Yi 义 ). Namun, jika seseorang melakukan tindakan tertentu
tidak hanya dikarenakan kewajiban tak bersyaratnya tetapi dikarenakan rasa cinta kasih yang tulus dan
rasa persaudaraan (fellow-feeling) dengan orang lain atau masyarakat maka tindakan itu disebut sebagai
tindakan Ren 仁(perikemanusiaan).
Ini berarti tindakan Ren terwujud dalam bentuk mengasihi manusia lainnya. Hal ini seperti diungkapkan
Confucius di dalam Lunyu:…..”Fan Ch’ih asked about humanity. The Master said,” it is to love all men”…
(Lunyu XII:22). Manusia yang benar-benar mengasihi manusia lainnya adalah manusia yang mampu
melaksanakan kewajibannya dalam masyarakat. Dengan kata lain, sebuah tindakan perikemanusiaan
(Ren 仁) sudah pasti merupakan sebuah tindakan perikeadilan (Yi义). Karena seseorang yang mampu
melakukan kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh orang tersebut merupakan tindakan perikeadilan.
Para pemikir Confucius mengganggap sikap saling mengasihi (feeling of fellowship) sebagai prinsip dasar
utama dalam “struktur bangunan” kemasyarakatan (Riana,2008:38). Sikap saling mengasihi mendasari
munculnya sikap timbal balik dan saling menguntungkan karena dalam Confucianisme hubungan
interaksi dalam masyarakat tidak hanya didasarkan pada satu kekuatan saja terhadap yang lain, tetapi
terletak pada konsep yang saling menguntungkan dan timbal balik. Ini berarti pengamalan Ren terjadi
pada bentuk memperhatikan orang lain.
Seorang manusia Ren 仁 pastilah mempunyai kemampuan yang baik dalam memikirkan keadaan orang
lain. Ia dapat memperhitungkan keadaan orang lain dan mengetahui keinginan mereka karena, terlebih
dahulu ia mengetahui apa yang diinginkan bagi dirinya. Hal ini seperti yang dikatakan Confucius dalam
Lunyu :
“The Master said …… A man of humanity, wishing to establish him self, seeks also to establish
others;and wishing to be enlarged himself, he seeks also to enlarge others. To be able to judge of others
by what is nigh in ourselves;this may be called the method of realizing humanity (Lunyu VI:28). Dengan
kata lain, lakukanlah perbuatan terhadap orang lain yang engkau sendiri ingin hal tersebut terjadi pada
dirimu. Inilah yang dalam Confucianisme disebut sebagai zhong (ketulusan: tenggang rasa atau tepo
salira atau conscientiousness).
Seorang manusia Ren 仁 juga mampu mengetahui hal apa yang tidak diinginkan oleh orang lain karena
ia terlebih dahulu mengetahui hal apa yang tidak diinginkan terjadi pada dirinya. Hal ini seperti dikatakan
Confucius dalam Lunyu, yaitu tidak melakukan perbuatan terhadap orang lain yang engkau sendiri tidak
ingin hal itu terjadi pada dirimu. “Chung-kung asked about humanity. The Master said,…not to do to
others as you would not wish done to your self…(Lunyu XII:2). Inilah yang dinamakan shu 恕 (kesabaran:
tahan diri atau altruism) dalam Confusianisme. Kombinasi antara Zhong 忠 dan Shu 恕 dalam
Confusianisme ini dikenal sebagai jalan agungZhong 忠 dan Shu 恕 (the great way of zhong and shu).
Zhong sama seperti Shu menyangkut hal pengembangan diri seseorang yang mengikut-sertakan
pengembangan diri orang lain. Zhong merupakan pengungkapan segi positif dari pengembangan diri
seseorang yang mengikut-sertakan pengembangan diri orang lain. Sedangkan Shu merupakan
pengungkapan segi negatif dari pengembangan diri seseorang yang sekaligus juga pengembangan diri
orang lain. Prinsip Zhong Shu 忠恕 masing-masing menegaskan bahwa “tolok ukur” untuk menentukan
perilaku seseorang terletak pada diri sendiri bukan pada hal-hal lain (Riana,2008:40).
Prinsip Zhong Shu 忠 恕 sekaligus merupakan prinsip Ren 仁 , sehingga
pengamalan Zhong dan Shu berarti mengamalan Ren. Jadi pengamalan Zhong dan Shu merupakan
jalan untuk mengamalkan Ren. Pengamalan ini mengakibatkan pelaksanaan tanggung jawab serta
kewajiban seseorang dalam masyarakat yang di dalamnya terkandung prinsip Yi 义 (perikeadilan). Oleh
karena itu, prinsip Zhong dan Shu menjadi awal dan akhir moral seseorang .Hal ini seperti yang
dikatakan Confucius dalam Lunyu: “The Master said,’Shan, there is one thread that runs through my
doctrines.’Tsang Tzu said,’Yes.’After the Master had left,the disciples asked him,’what did he
mean?’Tsang Tzu replied,’The doctrine of ouw master is none other than conscientiousness (zhong) and
altruism(shu).’(Lunyu论语 IV:15).
Dengan demikian, prinsip Ren 仁 adalah inti dari filsafat Confucius, serta zhong dan shu merupakan
langkah awal dari pengamalan Ren. Sedangkan Li 礼 (ritual atau ceremonies atau tatakrama/aturan
perilaku atau rule of propriety). Menurut Confucius bahwa hanya dengan Li 礼, maka barulah seseorang
bisa mencapai Ren 仁 atau perikemanusiaan (Thompson, 1999:137). Ada dua penjelasan mengenai hal
ini. Pertama, seperti yang dikatakan oleh Confucius dalam Lunyu: “The Master said,….’Without an
acquaintance with the rules of propriety, it is imposible for the character to be established.’(Tanpa
mengenal Li, maka tidaklah mungkin karakter seseorang dapat dibentuk) (Lunyu XX:3). “Memiliki karakter
yang terbentuk” (establishment of character) berarti telah mampu mengikuti dan mematuhi Li 礼 . Jika
seseorang bisa melakukan hal tersebut, maka hal yang mungkin untuk “menahan keinginan dan
menemukan kembali penempatan Li 礼 ” dalam diri seseorang.
Penemuan kembali atas penempatan Li 礼 ini berarti sama seperti yang dikatakan Confucius berikut :
“The Master said Do not look at what is contrary to propriety, do not listen to what is contrary to
propriety,do not speak to contrary to propriety, and do not make any movement which is contrary to
propriety.’ (Lunyu XII:1). Menahan keinginan diri berarti sama dengan menahan keegoisan dalam diri
seseorang. Bagi seorang yang hidup dalam lingkungan yang utilitarian, maka semua tindakan yang
dilakukan adalah untuk mencapai keuntungan pribadi bagi dirinya sendiri. Manusia seperti inilah yang
disebut sebagai manusia egois. Untuk bisa bertindak dengan moral maka seseorang harus terlebih
dahulu mengatasi keegoisannya.Oleh karena itu, ketika Yan Yuan (salah satu murid Confucius) bertanya
kepada Confucius mengenai Ren仁, Confucius menjawab dengan kata-kata: “To subdue one’s self and
recover the propriety disposition; this is human-heartedness.”….(Lunyu XII:1). Penjelasan yang lainnya
adalah seperti ini. Pada masa hidup Confucius, tatakrama istana dianggap sebagai suatu kumpulan
ketentuan-ketentuan yang bersifat tetap. Kita bisa mendapatkan petunjuk-petunjuk yang sangat terinci
mengenai tingkah laku dalam suatu upacara atau ritual. Misalnya, petunjuk yang sangat cermat
mengenai dimanakah harus meletakan masing-masing jari tangan ketika mengambil suatu benda
upacara. Tetapi, Confucius sendiri berbeda sekali dalam memahami tatakrama atau Li 礼 ini. Hal ini
seperti yang tercatat di dalam Lunyu : “Lin Fang asked what was the first thing to be attended to in
ceremonies. The Master said,’ A great question indeed! ’In festive ceremonies, it is better to be sparing
than extravagant. In the ceremonies of mourning,it is better that there be deep sorrow than a minute
attention to observances’(Lunyu III:4).
Mengetahui hal yang tepat yang harus dilakukan dalam situasi apapun (sebagai contoh dalam
menghadapi suasana berkabung) membantu membentuk kepekaan seseorang, walaupun hal tersebut
terlihat formal dan karenanya tidak memiliki spontanitas. Tetapi rasa kepekaan tersebut justru
meningkatkan Ren(perikemanusiaan) seseorang.
Confucius benar-benar meegaskan pentingnya tatakrama atau Li. Karena menurut Confucius tatakrama
(Li 礼) dapat menyeimbangkan kehidupan. Penjelasan Confucius mengenai hal ini tercatat dalam Lunyu:
“The Master said, ’Respectfulness, without the rules of propriety, becomes laborious bustle; carefulness,
without the rules of propriety, becomes timidity; boldness, without the rules of propriety, becomes
rudeness’ (Lunyu VIII:2). (Penggormatan tanpa Li, maka akan menguras banyak tenaga; kehati hatian–
hatian, tanpa adanya Li, maka akan menjadi sifat takut; keberanian, tanpa adanya Li 礼 , maka akan
menjadi kedurhakaan (pembangkangan); keterus-terangan / kejujuran, tanpa Li 礼 , maka akan menjadi
bersifat kasar).
Namun Confucius sendiri mengatakan ia tidak akan ragu menyimpang dari tatakrama yang sudah
diterima oleh kebiasaan. Ia melakukan hal itu manakala ia merasa bahwa penyimpangan dari kebiasaan
tersebut dapat dibenarkan karena alasan yang masuk akal dan sopan santun. Hal ini seperti yang
tercatat dalam Lunyu: “The Master said,’The linen cap is that prescribed by the rules of ceremony, but
now a silk one is worn. It is economical, and I follow the common practice. The rule of ceremony prescribe
the bowing below the hall, but now the practice is to bow only after ascending it. That is arrogant. I
continue to bow below the hall, though I oppose the common practice’ (Lunyu IX:3).
Seorang bisa mengikuti dan menjalankan Li 礼 hanya jika orang tersebut mengetahui kedudukan dan
bagaimana di dalam skema universal dari semua hal (universal scheme of thing). Dalam Confucianisme,
hal tersebut menyangkut apa yang disebut sebagai zhengming 正 名 (pelurusan nama-nama
atau rectification of names). Confucius berpendapat bahwa agar tercipta masyarakat yang teratur, maka
hal yang terpenting ialah terlebih dahulu melakukan zhengming正名(pelurusan nama-nama). Penjelasan
Confucius mengenai pentingnyazhengming 正名 untuk menciptakan masyarakat yang teratur tercatat
dalam Lunyu: “……. If names are not rectified, language is not in accordance with the truth of things. If
language be not in accordance with the truth of things, affairs cannot be carried on to success. When
affairs cannot be carried on to success, rule of propriety and music will not flourish. When rule of propriety
and music do not flourish, punishment will not be properly awarded. When punishments are not properly
awarded, the people do not know how to move hand or foot. Therefore a superior man considers it
necessary that the names he uses may be spoken appropriately, and also that what he speaks may be
carried out appropriately. What the superior man requires is just that in his words there may be nothing
incorrect’ (Lunyu XIII:3).
Jadi setiap orang sudah seharusnya berbicara, berpikir, dan bertindak secara tepat sesuai dengan pesan
dan peranannya di dalam masyarakat, maka akan tercipta masyarakat yang teratur.
Berdasarkan penjelasan Confucius mengenai pentingnya zhengming正名 dapat terlihat bahwa Li礼 juga
memperhitungkan sebuah hirarki sosial (tingkatan hubungan sosial kemasyarakatan). Setiap ming 名
(nama; sebutan; panggilan; gelar) dalam hubungan sosial bermasyarakat menyandang tanggungjawab
dan kewajiban tertentu. Jika setiap orang tahu tanggungjawab dan kewajibannya, serta bertindak sesuai
dengan tanggungjawab dan kewajibannya, maka ketertiban sosial akan terjaga. Hal tersebut seperti
dikatakan Confucius: “Confucius replied, ’Let the prince be a prince, the minister be a minister, the father
be a father , and the son be a son.’ (Lunyu XII:11). Dengan kata lain, biarkanlah setiap individu memenuhi
tanggungjawab dan kewajibannya sesuai dengan kedudukan sosialnya. Misalnya, seorang ayah harus
membimbing anaknya dengan penuh kasih sayang, dan sebaliknya sang anak harus berbakti pada
ayahnya. Hal ini dalam Confucius dikenal dengan istilah wulun 五伦 (lima hubungan). Dengan demikian,
fungsi Li dirumuskan dalam konsep zhengming正名 dan wulun/ngolun五伦.
Sementara Zhi 智 (kebijaksanaan atau wisdom) dapat dijelaskan sebagai berikut: dimana seorang
manusia harus terlebih dulu memiliki pemahaman terhadap Ren 仁 sebelum ia bisa melakukan
tindakan Ren 仁 , hal yang sama berlaku pada Yi 义 dan Li 礼 . Tindakan-tindakan yang dilakukan
seseorang mungkin saja sesuai dengan Ren 仁 , Yi 义 , dan Li 礼 . Tetapi tindakan tersebut bukanlah
tindakan Ren,Yi, dan Li jika orang tersebut tidak memiliki pemahaman terhadap Ren, Yi, dan Li. Ini berarti
walaupun tindakan yang dilakukan seseorang sesuai dengan moralitas, tetapi tindakan tersebut bukanlah
tindakan moral. Oleh karena itu hidup yang dijalankan orang tersebut bukanlah kehidupan moral
melainkan sekedar kehidupan yang tidak mementingkan diri sendiri (unselfconsciously natural life)
(Riana, 2008: 47).
Oleh karena itu, dibutuhkan tahap lebih lanjut sebelum seseorang memiliki pemahaman yang sempurna
akanRen,Yi, dan Li. Tahap lebih lanjut disebut dengan Zhi 智 (kebijaksanaan). Dengan kata lain,
seseorang harus terlebih dulu memiliki kebijaksanaan barulah ia bisa memiliki pemahaman
terhadap Ren, Yi, dan Li. Hal ini seperti dikatakan oleh Confucius dalam Lunyu: “The Master said,”The
man of wisdom are free from perplexities…..” (Lunyu IX:28).
Confucius ingin mengatakan manusia yang memiliki kebijaksanaan (memiliki pemahaman dan
pengetahuan) maka hasilnya ia tidak memiliki lagi keragu-raguan dalam hidupnya. Hanya setelah
seseorang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang sempurna atau Zhi 智 barulah ia bisa mulai
melakukan tindakan-tindakan Ren 仁 , Yi 义 , dan Li 礼 . Jadi kehidupan yang ia jalankan pun adalah
kehidupan moral. Berarti dalam kebijaksanaan (Zhi智) terkandung pengertian perikemanusiaan (Ren仁),
perikeadilan (Yi义) serta tatakrama (Li礼).
Wenzhong Zhu & Yucheng Yao (2008:58-59) mengatakan Confucianisme dan segala yang mewakilinya
seperti Confucius dan Mencius pada dasarnya merujuk pada nilai budaya tradisional tentang merekatkan
kepentingan terhadap moral manusia, hubungan interpersonal dan perkembangan yang harmonis.
Namun, dilihat dari perspektif manajemen korporasi, semua pemikiran inti yang diajukan oleh
kebudayaan Confucius seperti “Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 义 (kebenaran), He 和 (harmoni), Zhong
忠 (kesetiaan), Xin 信 (Dapat dipercaya) dan kebersihan”, bisa jadi berhubungan dekat dengan filsafat
budaya dan praktek manajemen bisnis kontemporer.
Selanjutnya Wenzhong Zhu menjelaskan nilai-nilai Confucius sebagai berikut :
a. “Ren = Humanity”, namely the ”love” and kindheartedness mentioned by Confucius in the article
called Yanyuan (“kemanusiaan” ialah “kasih” dan kebaikan hati yang disebutkan oleh Confucius
dalam aertikel yang disebut Yanyuan).
Sehubungan dengan praktek manajemen modern, ia menunjukkan para pemimpin bisnis dan
manajer seharusnya memiliki hati yang baik untuk mengasihi para bawahannya dan untuk
bertanggungjawab terhadap masyarakat dengan membantu orang-orang untuk bisa memiliki
kehidupan yang lebih “kaya”.
b. “Yi = Richteousness”, namely the personal character and moral value of”righteousness is essential
for a man with honor” mentioned by Confucius in the article called Yanhuo. (“kebenaran” ialah
karakter pribadi dan nilai moral “kebenaran itu penting bagi seseorang yang terhormat” yang
disebutkan oleh Confucius dalam artikel yang disebut Yanhuo).
c. “He = Harmoni” , namely the philosophy of “syncretism for sky and human” and “harmonius
coexistence” contained in the Book of Changes as well as the development law of interactive
influences and restrictions between individuals, nation, society and nature. (“Harmoni” yaitu filsafat
tentang “penyatuan aliran untuk langit dan manusia” serta ”koeksistensi yang harmonis” termasuk di
dalam buku Perubahan (易经 I Ching/Yaking) sebagaimana perkembangan hukum pengaruh dan
pembatasan interaktif antara para individu, negara, masyarakat dan alam.
Sehubungan dengan praktek manajemen modern, ia mungkin menunjukkan organisasi sebagai bagian
dari masyarakat haruslah mencari derajat keseimbangan dan harmoni antara kepentingan-kepentingan
diri dengan kepentingan-kepentingan masyarakat. Untuk mengejar kepentingan seseorang sementara
menelantarkan kepentingan yang lain pastilah tidak akan lama karena ini merupakan pelanggaran hukum
yang harmonis. Oleh karena itu, para manajer modern penting memahami bagaimana mencapai sebuah
hasil pengembangan yang harmonis bagi semua pemegang kepentingan seperti organisasi-organisasi,
karyawan, pelanggan, investor, dan masyarakat, serta untuk menekankan solusi damai dalam persaingan
dan sebuah situasi ”menang-menang”, bukan mencoba “membunuh” para pesaingnya supaya
organisasinya bisa mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.
d. Zhong’ = ”Loyalty”, namely the ethical value of “loyalty and allegiance” advocated by Confucius and
Mencius. (“Kesetiaan”, ialah nilai etika”kesetiaan dan kepatuhan” yang dianjurkan oleh Confucius
dan Mencius).
Sehubungan dengan praktek manajemen modern, ia menunjukkan kesetiaan yang setara diantara orang-
orang, kesetiaan dan kepatuhan para bawahan kepada atasannya, semangat berkomitmen dan setia
para pekerja terhadap pekerjaan mereka, dan kejujuran para manajer serta kepercayaan mereka
terhadap koordinator mereka. Kualitas dari ”menjalankan tugas dan menjaga iman” dianggap sebagai
jaminan fundamental untuk perkembangan para individu serta organisasi.
BAB II Tinjauan Pustaka : Lima Hubungan Confucius, Lima Nilai Confucius, Lima Etika Kerja Confucius
Category: DISERTASIPublished on SATURDAY, 02 FEBRUARY 2013 22:42 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBA
Hits: 1564
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
Lima Hubungan Confucius, Lima Nilai Confucius,
Lima Etika Kerja Confucius
Menurut Rarick (2007:23) ada karakteristik yang dipraktekkan oleh orang-orang Cina yang berkaitan
dengan Lima hubungan Konfusianisme, Lima Kebajikan dan Etika kerja Confucius yang mementingkan
kerja keras, loyalitas dan dedikasi kerja, berhemat serta cinta belajar.
These practices are influenced by the Five Relationships of Confucianism, the Five virtues, and the
Confucian Work Ethic. The Five Relationship dictate appropriate behavior and roles organizational
members; the Five Virtues provide a moral framework for society and stress the importance of harmony;
and the Confucian Work Ethic stresses the important of hard work, loyalty and dedication, frugality, and a
love of learning (Rarick 2007:23).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan lima hubungan Confucius sebagai landasan manajerial yang
ditunjang nilai-nilai Ren 仁 , Yi 义 , Yong 勇 , Zhi 智 dan Xin 信 untuk menghasilkan etos kerja yang loyal,
dedikasi yang tinggi, pekerja keras, berhemat, cinta belajar yang juga tercapainya keberhasilan (kinerja).
A. Lima Hubungan Confucius
Pendekatan manajerial Confucius yang berkarakteristik umum kolektivitas, harmoni, kekeluargaan,
kontrol terpusat, kepemimpinan otoriter dan panternalistik, bisnis keluarga, harapan karyawan dan
jaringan organisasi yang kuat dan koneksi bisnis. Karakteristik ini dipraktekkan baik di Cina dan di luar
negeri. Nilai-nilai ini dapat ditelusuri dari praktek yang dipengaruhi oleh hubungan lima
Confucius(Ngo Lun), lima kebajikan (Ren 仁 ,Yi 义 , Li 礼 , Zhi 智 dan Xin 信 ) dan Etika Kerja Confucius
(kerja keras, loyalitas, dedikasi, berhemat, cinta belajar) (Rarick, 2007:23).
Aspek penting dari lima hubungan Confucius yakni hubungan seseorang dengan atasan, orang tua,
suami istri, orang tua dan teman-teman. Kelima hubungan ini merupakan praktek manajerial Cina.
1. Loyalitas bawahan kepada pimpinan (atasan)
Confucius mengusulkan hirarki sosial yang kuat berdasarkan posisi, di mana hirarki akan dipertahankan
melalui pemimpin yang baik dan bertindak untuk kepentingan terbaiknya. Dalam organisasi khas Cina,
keputusan dibuat oleh para pemimpin di bagian atas organisasi dan setiap orang diharapkan untuk
melaksanakan arahan tanpa adanya pembantahan. Karyawan diharapkan setia dan loyal sementara
organisasi wajib memberi imbalan dan kesejahteraan kepada karyawan.
Menurut Tanggok (2005:63) untuk melihat bagaimana pandangan Confucius tentang hubungan atasan
dengan bawahan, dapat dilihat ungkapan Confucius sebagai berikut “Seorang raja memperlakukan
menterinya dengan Li 礼 (kesopanan atau penuh dengan budi pekerti yang baik). Seorang menteri
mengabdi kepada raja dengan Zhong 忠 (kesetiaan)” (Lun Gie 论 语 III: 19).
Perkataan Confucius tersebut menggambarkan seseorang pemimpin haruslah bersifat arif dan bijaksana
terhadap orang yang dipimpinnya. Begitu juga seorang bawahan haruslah dapat menghormati atasannya
sebagaimana layaknya seorang atasan. Seorang atasan tidak semestinya bersifat otoriter terhadap
bawahannya, dan bawahan harus dapat memberikan masukan-masukan kepada atasannya demi
kebaikan bersama.
2. Hubungan antara Ayah dengan Anak
Confucius merasa ada hubungan khusus antara ayah dengan anak. Ayah harus membimbing anak, dan
anak harus menunjukkan cara hormat dan hasil sarannya ayahnya. Sama seperti seorang ayah ingin
menasehati, mengajar, dan memberikan arahan seorang putra, manajer Cina diharapkan melakukan hal
yang sama dengan karyawan. Dalam masyarakat Konfucian, manajer Cina berinteraksi dengan karyawan
banyak yang sama seperti seorang ayah dalam mencari keluar untuk kepentingan terbaik dari anak
anaknya. Dalam organisasi Cina modern hubungan diperpanjang sekarang untuk sebagian besar
mencakup kedua jenis kelamin. Confucius merasa sebuah organisasi yang peduli dan memelihara
dipromosikan kepercayaan dan keharmonisan diantara para anggota.
3. Tugas antara suami dan istri
Perempuan harus dibimbing oleh suami mereka dan memberi mereka kesetiaan dan pengabdian.
Perempuan tidak diizinkan untuk mengambil posisi penting dalam birokrasi Cina, peran perempuan
dalam dalam Tiongkok kuno adalah satu domestik dan tunduk, dan bahkan saat ini ada kesenjangan
antara kedua jenis kelamin. Pada sisi yang positif, prinsip Confucius dapat diambil untuk menjelaskan
peran sebagai tokoh dalam organisasi. Ketika organisasi dipandang sebagai perpanjangan keluarga,
maka peran utama dari pemimpin adalah bertindak sebagai tokoh orang tua dalam menjaga harmoni
dalam organisasi. Semua anggota organisasi memiliki tugas sebagai peran khusus untuk bermain di
organisasi tersebut. Kontrol sosial dipertahankan melalui orientasi klan yang kuat dan hubungan yang
dibentuk berdasarkan peran yang telah ditentukan dan perilaku yang sesuai dan mengalir dari peran itu.
4. Ketaatan kepada Sesepuh (orang yang lebih tua)
Confucius mengatakan kaum muda harus menghormati senior mereka. Hormat usia masih merupakan
aspek penting dari budaya Cina, dan usia juga penting dalam menentukan mobilitas ke atas dalam
organisasi. Hal ini biasa bagi manajer muda untuk memajukan lebih dari manajer yang lebih senior,
bahkan jika manajer muda yang lebih berkualitas dan dengan standar Barat, lebih tepat untuk promosi.
Manajer muda diharapkan mendengarkan, taat, dan menghormati senior mereka, dan menunggu giliran
untuk kemajuan. Manajer senior dipandang sebagai boneka penting, mewakili usia, kebijaksanaan, dan
kepedulian untuk semua anggota organisasi. Organisasi menangani anggota muda yang diharapkan
untuk menunjukkan rasa hormat kepada senior mereka.
5. Saling percaya antara teman
Confucius menekankan pentingnya kerjasama antara orang-orang, dimana anggota organisasi harus
bekerjasama untuk menjaga keharmonisan kelompok. Dalam budaya Barat adalah tepat untuk
memusatkan perhatian pada individu, memberikan tanggungjawab individu dan memberi pujian pada
individu yang luar biasa. Praktek semacam itu tidak dapat diterima dalam budaya Cina. Ini akan terlihat
sebagai tidak patut untuk keluar tunggal salah satu anggota kelompok untuk memuji atas orang lain.
Perilaku seperti itu mengganggu keharmonisan kelompok. Tanggungjawab kolektif juga disukai oleh
tanggungjawab individu. Fokus pada individualisme merusak kepercayaan bahwa anggota kelompok
dapat mengembangkan satu sama lain. Confucius merasa ketika individu diperlakukan sebagai
kelompok, dan didorong untuk mempertahankan keharmonisan dalam kelompok, maka hasil yang lebih
besar dapat dicapai.
Lima Kebajikan
Selain menjaga keharmonisan melalui hubungan, Konfusianisme mempromosikan lima kebajikan,
yaitu: Ren 仁 (Cinta Kasih), Yi 义 (kebenaran), Li 礼 (kepatutan), Zhi 智 (kebijaksanaan), dan Xin 信 (dapat
dipercaya). Manajer Konfusianisme diharapkan peduli, bermoral, menjaga martabat mereka, memiliki
kearifan, dan benar untuk kata-kata mereka The “gentleman”. Confusius diharapkan hidup sampai
dengan standar yang lebih tinggi.
Dalam budaya Conficius, manajer diharapkan menampilkan “Ren” yang berarti kebajikan atau
humanisme, Ren 仁 kadang diterjemahkan sebagai ”good will” atau kebaikan terhadap orang lain.
Manajer Konfusianisme diharapkan menjadi manajer yang baik hati dan mengelola dengan kebaikan.
Manajer diharapkan fokus pada membangun hubungan dan menjadi lebih ramah. Manajer Cina secara
tradisional dihargai dedikasi, kepercayaan, dan kesetiaan lebih dari kinerja. Setiap karyawan melakukan
yang terbaiknya / kemampuan dan bekerja untuk kebaikan kelompok. Perbedaan dalam kinerja individu
tidak dianggap penting asalkan fungsi kelompok secara efektif. Peran manajer adalah menjaga
keharmonisan dan good will dalam seluruh organisasi.
Aspek penting pemikiran Confusius adalah Yi 义 (kebenaran). Berarti manajer diharapkan menegakkan
standar tertinggi perilaku moral. Kepentingan individu harus dikorbankan demi kebaikan organisasi.
Dalam banyak kasus manajer Cina menjunjung tinggi Yi 义 , tetapi dalam beberapa kasus standar
terganggu lebih berarti menyelamatkan muka pelaku.
Orientasi etika Confucius telah diadopsi lebih erat oleh manajer Barat. Misalnya, Romar (2002)
menyarankan etika Confusius yang konsisten dengan membentuk dasar dari banyak ide-ide manajerial
seperti dikembangkan oleh pemikir Barat yakni Peter Drucker.
Perilaku yang sesuai atau Li 礼 , didedikasikan melalui pemikiran Confucius dalam kerangka hubungan.
Seorang dengan atasan, orang tua, suami/istri, orang tua dan teman-teman (Lima hubungan). Confucius
sangat prihatin dengan hubungan dan kepatutan social. Istilah Konfusianisme “Li” sebenarnya mengacu
pada Ritual. Ritual diwujudkan tidak hanya dalam hal perilaku yang sesuai dan peran, tetapi juga upacara
dan proses sosial lainnya. Budaya Cina dan praktek bisnis yang kadang-kadang dianggap sebagai
panjang pada formalitas, dan perencanaan yang berlebihan dan dikelola oleh standar Barat. Seorang
Cina mengatakan ”air menetes dan waktu tertentu. Akan mengebor sebuah lubang di granit” (Chien,
2006) mengungkapkan pentingnya kesabaran dan orientasi jangka panjang. Peran yang tepat dan ritual
di Cina bisa tampak tidak fleksibel dan memakan waktu untuk pengamat Barat.
Untuk Cina, perolehan kebijaksanaan selalu dijunjung tinggi. Kebijaksanaan dan usia yang terkait erat
dalam budaya Cina, dan tidak mengherankan menemukan penghormatan besar yang dibayarkan kepada
anggota yang lebih tua dari masyarakat. Hal ini tercermin dalam pilihan personil, dan kemungkinan
bahwa karyawan yang lebih tua akan orang-orang yang posisinya lebih senior di organisasi, terlepas dari
kemampuan seperti Cina yang terus berbaris kearah kapitalisme pasar. Tampaknya menjadi
kesenjangan generasi berkembang antara tingkat manajer junior dan senior di Cina (Tang & Ward, 2003)
dan perusahaan kewirausahaan di Cina tidak mempertahankan sepenuhnya derajat penghormatan untuk
usia lebih dari kemampuan. Namun kebijaksanaan, baik melalui usia atau pendidikan masih dihormati di
organisasi Tionghoa.
Manajer Khonghucu diharapkan bisa memiliki Xin 信(dapat dipercaya), selain menjadi orang yang dapat
dipercaya. Manajer akan setia pada misi organisasi. Para manajer Cina bertanggung jawab untuk
menjaga kontrol dan menjamin semua bawahan mengikuti kebijakan yang konsisten dengan misi
organisasi. Di Cina ditemukan orientasi yang kuat untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan.
Kepercayaan dimulai dengan pemimpin dengan mempertahankan organisasi yang harmonis. Bahkan
karyawan diindroktinasi di “garis perusahaan”. Jadi sifat-sifat pribadi seperti kepercayaan dapat dilihat
sebagai lebih penting dari pada kemampuan kinerja.
Etika Kerja Confucius
Max Weber (1905) dalam Rarick (2007:26) menyatakan Konfusianisme yang akan menjadi kekuatan
dianggap menghambat pembangunan ekonomi Asia. Weber beralasan ikatan kuat yang diciptakan oleh
ajaran Konfusianisme tidak kondusif bagi pencapaian individu yang diperlukan untuk bahan bakar sistem
kapitalistik. Weber berpendapat orientasi rohani Protestantisme yang paling kondusif bagi
perkembangan kapitalisme. Ia merasa Protestantisme mendorong individu untuk mencari keuntungan
material dalam kehidupan itu karena kerja keras dan prestasi dianggap sebagai bagian dari rencana
Tuhan bagi umat manusia. Sedangkan Katolik terlalu banyak penekanan pada memiliki masalah
perhatian terlalu banyak untuk kesejahteraan kelompok untuk menghasilkan keuntungan ekonomi.
Orientasi yang kuat terhadap pencapaian individu dan duniawi diperlukan untuk masyarakat dalam
mencapai kemakmuran.
Menurut Rarick (2007:26) Weber mungkin belum benar dalam asumsinya. Dasar-dasar filosofi
Konfusianisme telah menciptakan etos kerja tertentu di Cina dan Asia Timur yang tidak terlalu jauh dari
Protestan yang diusulkan oleh Weber. Etika Kerja Confucius terdiri dari keyakinan nilai-nilai kerja keras,
kesetiaan kepada organisasi, hemat, dedikasi, harmoni sosial, cinta pendidikan dan kebijaksanaan, dan
keperdulian untuk kesopanan sosial. Unsur-unsur etika kerja Confucius semua memiliki aspek positif bagi
pembangunan ekonomi. Unsur-unsur itu juga memiliki nilai positif bagi perkembangan sosial. Confucius
mengakui bahwa untuk membangun sebuah bangsa, pengorbanan tertentu harus dibuat oleh individu,
pengorbanan pribadi dalam rangka memajukan kepentingan bangsa ditemukan dalam semua
masyarakat Confucius.
Etika Kerja Confucius mempertahankan interkoreksi sosial yang tidak umum ditemukan dalam
kebudayaan Barat. Jaringan informal di seluruh dunia antara Tionghoa perantauan telah membantu
bahan bakar dan ledakan kapitalisme Cina. Jaringan (Guanxi 关系 ) sekarang dapat dilihat di Cina telah
mengadopsi ekonomi pasar lebih didorong. Sukses untuk Cina difasilitasi melalui guanxi atau koneksi
(Chtterjiee, Pearson dan Nie 2006 dalam Rarick, 2007:27).
Pendekatan Etika Confucius terhadap Bisnis dan Kapitalisme
Argumentasi Confucius terletak pada pemeliharaan moral oleh diri sendiri dan pengembangan nilai
kebajikan manusia, yang terintisarikan dalam diri gentleman Confucius (Junzi 君 子 , manusia ideal
Confucius), dari pada mefokuskan pada keuntungan. Pendekatan Confucius menganjurkan seseorang
fokus kepada perjuangan untuk nilai kebajikan manusia (dalam hal ini Yi 义 ) dan Li 利 (keuntungan)
secara berimbang.
Untuk meneguhkan poin ini, dapat disampaikan argumen bahwa dunia ekonomi atau kegiatan bisnis
hanyalah satu aspek dari kehidupan manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk ekonomi atau memiliki
nilai ekonomi dalam kerangka kapitalis, dan manusia tidak hanya terbentuk dari nilai ekonomi semata.
Dunia atau kegiatan bisnis hanyalah satu tempat cadangan dari keseluruhan perjuangan manusia (yang
terdiri dari keseluruhan aktivitas hidup dan kepercayaan manusia). Perjuangan manusia ini mungkin
mencakup satu keyakinan pada Tuhan (supernatural), juga pencarian intelektual atau pengetahuan
sebagai kesenangan dalam hidup serta kebahagiaan.
Tidak adanya kecocokan antara Etika Confucius dan Kapitalisme, Nuyen (1999) dalam (Chan,
2008:351) berpendapat filsafat Cina, termasuk Confucianisme, cocok dengan persaingan sempurna dan
kapitalisme klasik. Nuyen mengacu pada Francois Quesnay, sang pemikir klasik mengatakan ekonomi
adalah satu mekanisme yang mengatur dirinya sendiri sesuai dengan hukum alam, dan karenanya
kebijaksanaan laissez-fairesemestinya diambil. Sebagaimana dijelaskan oleh Nuyen, hal ini diadopsi
dengan pandangan untuk mencapai “tujuan harmoni sosial dan pada puncaknya harmoni seluruh alam
semesta” (Nuyen, 1999:351) adalah konsisten dengan konsep chung yung 中庸 (Tiong Yong) menurut
Confucius dan dengan Jalan Tao道.
Untuk mengintegrasikan etika dan bisnis secara holistik, fakta yang tertinggal adalah tidak bisa
sepenuhnya mengelak dari kenyataan bahwa tujuan bisnis dan tujuan hidup mungkin bertentangan,
setidaknya dalam beberapa keadaan. Konflik yang berpotensi muncul antara moralitas pribadi dari
seorang pegawai perusahaan atau agen dengan perusahaan. Ini tidak berarti bisnis dan segala aspek
lainnya dalam hidup manusia adalah seharusnya secara kategori diperlakukan sebagai komponen
terpisah. Seperti dikemukakan Solomon (2004), bahwa dia berusaha mengintegrasikan etika dengan
bisnis dengan cara yang lebih holistik. Tetapi kenyataannya terdapat konflik antara pencapaian
keuntungan bisnis dan tujuan fundamental dari keseluruhan kehidupan. Sangatlah logis bahwa yang
belakangan (tujuan fundamental kehidupan) sangat diharuskan. Tujuan memajukan nilai kebajikan
manusia seharusnya memang dari kepentingan ekonomi yang lebih sempit.
Chan (2008:351) mengatakan “Business is not necessarily an activity or practice which seeks material
wealth at the expence of human virtues. Further, as business activities (based on profits) are only a part
of the whole life (based on human virtues), one ought not to seek material wealth at the expense
of human virtues”. (Bisnis tidak selalu merupakan kegiatan atau praktek mencari kekayaan materi dengan
mengorbankan nilai-nilai kebajikan manusia. Sebagai kegiatan bisnis (berdasarkan pada keuntungan)
hanya merupakan sebagian dari keseluruhan hidup (berdasarkan pada nilai kebajikan manusia), seorang
tidak semestinya mencari kekayaan materi dengan mengorbankan kebajikan manusia.
Mencari pendekatan dari ajaran Confucius, maka bisa diambil hikmah bahwa tidak ada larangan dari
Confucius untuk mengejar Li’利 (keuntungan) melainkan Confucius menganjurkan agar Li’利 dikejar
dengan jalan Yi 义 (kebenaran).
Sepaham dengan pendapat Setiawan (2000:18) bahwa “Ajaran Confucius (Khonghucu) tidak berpikir
bahwa kebenaran berlawanan dengan keuntungan pribadi, apa yang beliau tidak setuju ialah bila
kekayaan dan kemuliaan diperoleh secara tidak layak dan tidak benar atau dapat dikatakan hanya untuk
kepentingan diri sendiri (selfishness) atau mental mencari untung melulu.”
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan ajaran Confucius tidak bertentangan dengan upaya manusia
menuju pada kapitalisme yang dilandasi dengan nilai-nilai moral. Kapitalisme yang menumbuhkan
keseimbangan dan keharmonisan kehidupan manusia secara adil. Confucius mengajarkan pemerataan
kemakmuran dengan melarang adanya penimbunan kekayaan yang bisa mencerai-beraikan masyarakat.
BAB II Tinjauan Pustaka : Hubungan Etika Confucius dengan Etika Bisnis
Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 27 JANUARY 2013 14:35 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 1972
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
Hubungan Etika Confucius dengan Etika Bisnis
Confucius muncul pada abad ke 4-5 SM sebelum jaman industri
dan pengetahuan ekonomi modern ada. Etika bisnis yang ada hari ini sebagian besar berorentasi ke
Barat dengan kerangka kapitalis. Etika bisnis melalui teori etis yang umumnya diajarkan dan diteliti di
bidang etika bisnis kontemporer seperti etika Aristoteles berasal dari jaman Aksial (begitu pula
Confucius), mayoritas dari filsuf-filsuf moral besar yang ditampilkan dalam tulisan tulisan yang datang dari
Barat.
Etika bisnis khususnya di Cina didorong oleh beberapa faktor yakni warisan Etika Tradisional Cina
(termasuk Etika Confucius), Filosofi Markisme, cerminan reformasi ekonomi dan pada dekade terakhir ini
saling dipengaruhi dan mempengaruhi etika bisnis dari luar negeri (Barat).
Menurut Lu Xiaohe (1997:1509) “The emergence of business ethics in China is something like the
emergence of Chinese culture. That means that at beginning it was not influenced by the studies of
business ethics abroad”. (Kemunculan etika bisnis di Cina adalah sesuatu yang mirip dengan munculnya
budaya Cina. Artinya pada awalnya hal tersebut tidak dipengaruhi oleh studi atas etika bisnis diluar
negeri).
Menurut Lu Xiaohe Etika Bisnis China yang didalamnya dipengaruhi Etika Confucius telah muncul dan
berkembang sebagai respon terhadap reformasi ekonomi yang terjadi dalam tiga tahap (1) 1979-1984;
(2) 1984-1994; (3) 1994. Pada tahap terakhir itulah terjadi perpaduan Etika Bisnis China dengan Etika
Bisnis Kontemporer Barat. Maka dapat disimpulkan berdirinya Etika Bisnis China dan berkembang
sendiri tanpa pengaruh dari lingkungan ekternal (Barat), tetapi belakangan ada semacam perkawinan
anatara Etika Bisnis China dengan Etika Bisnis kontemporer.
Sementara Etika Confucius yang dianggap Etika Lokal Cina telah menyatu membaur dan berkembang
bersama-sama dengan Etika Bisnis kontemporer Barat. Hal ini bisa terjadi karena status ekonomi Cina
dalam transaksi bisnis internasional tumbuh sangat cepat dan saling mempengaruhi etika bisnis
kontemporer.
Chan (2007:349) menekankan kegunaan dari Etika Confucius dalam mencapai pemahaman dan analisis
yang lebih kaya di bidang Etika Bisnis kontemporer. Etika Confucius menawarkan perspektif filosofis dan
intelektual kedalam studi Etika Bisnis kontemporer.
Oesman Arif (dalam dialog dengan penulis) mengatakan: ”Etika Confucius berdiri sendiri sebagai bagian
dari filsafat nilai yang dibagi menjadi tiga, Logika, Etika dan Estetika. Sejak abad 16 oleh Wang Yang
Ming, Etika Confucius itu disamakan menjadi Etika Bisnis Confucius Kontemporer. Dia mengatakan
negara akan kuat kalau memiliki banyak pengusaha, sebaliknya negara yang punya tentara banyak akan
lemah karena rakyatnya miskin”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan Etika Confucius bukan bagian dari etika bisnis secara umum
melainkan belakangan ini Etika Confucius memberikan corak kepada Etika bisnis kontemporer.
Sebaliknya Etika Bisis Konteporer memperkaya Etika Bisnis Confucius. Sebagai contoh
tentang Guanxi (Guanxi 关系 ), dorongan kapitalisme, prinsip prinsip timbal balik dan makna Kebajikan
(Ren仁, Yi 义, Li 礼, Zhi 智 dan Xin 信). Wilayah-wilayah tersebut jauh dan lengkap. Sumber utama dari
Confucius dalam Empat Buku Klasik (The Analects, TheGreat Learning dan The Doctrine of the Mean).
Kontribusi Etika Bisnis Dalam Berbisnis
Terdapat beberapa argumen yang menyatakan bahwa pada dasarnya di dalam menjalankan kegiatan
bisnis diperlukan etika. Menurut Permadi dan Kuswahyono(2007:43) argumen tersebut sebagai berikut :
1. Bisnis tidak hanya bertujuan untuk profit melainkan perlu mempertimbangkan nilai-nilai manusiawi,
kalau tidak akan mengorbankan hidup banyak orang, sehingga masyarakat pun berkepentingan
agar bisnis dilaksanakan secara etis.
2. Bisnis dilakukan di antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, sehingga
membutuhkan etika sebagai pedoman dan orientasi bagi keputusan, kegiatan dan tindak tanduk
manusia dalam berhubungan (bisnis) satu dengan yang lainnya.
3. Bisnis sekarang ini dilakukan dalam persaingan yang sangat ketat sehingga orang bisnis yang
bersaing tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis yang semakin profesional justeru
akan menang.
4. Legalitas dan moralitas berkaitan, tetapi berbeda satu sama lain, karena suatu kegiatan yang
diterima secara legal belum tentu dapat diterima secara etis.
5. Etika harus dibedakan dari ilmu empiris yang mendasarkan pada suatu gejala atau fakta yang
berulang terus menerus dan terjadi dimana-mana akan melahirkan suatu hukum ilmiah yang berlaku
universal.
6. Situasi khusus yang menyebabkan pengecualian terhadap etika tidak dapat dijadikan alasan untuk
menilai bisnis tidak mengenal etika.
7. Aksi protes yang terjadi dimana-mana menunjukkan bahwa masih banyak orang atau kelompok
masyarakat yang menghendaki agar bisnis dijalankan secara baik dan mengindahkan norma etika
Hubungan Nilai-nilai, Budaya dan Kinerja
Nilai-nilai sangatlah penting dalam pengambilan keputusan dan membawa implikasi terhadap perilaku
manajer-pemilik serta pendekatan dalam mengatur organisasi. Nilai-nilai pribadi para manajer-pemilik
mempengaruhi manajemen dan praktek bisnis yang mereka gunakan dalam mengoperasikan usaha-
usaha mereka dan pada akhirnya mempengaruhi juga kinerja mereka (Thompson dan Strickland (1996)
dalam Pushpakumari, 2009:2).
Menurut Hofstede et.al. (1990) dalam Rawwas (2000:192) Values are a major dimension of culture.
Values are ”basic convictions that people have regarding what is right and what is wrong. These values
are learned from the culture in which the individual is reared, and they help direct the person’s behavior.
Cultural values influence how people think and behave. (Nilai-nilai merupakan sebuah dimensi utama dari
kebudayaan. Nilai-nilai adalah tuduhan dasar bahwa orang-orang telah menentukan apa yang benar dan
salah. Nilai-nilai ini dipelajari dari budaya yang dihadapi individu, dan nilai-nilai ini membantu
mengarahkan perilaku orang yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya mempengaruhi bagaimana seseorang
berpikir dan bersikap).
Kilby (1993) mencatat bahwa nilai sangatlah penting dalam memajukan pemahaman yang konstruktif
akan perilaku manusia serta perubahaan yang pasti ada. Karenanya, akan terlihat sepertinya nilai-nilai
pribadi memiliki maksud tertentu, tidak hanya terhadap keputusan untuk mengejar kewirausahaan, tetapi
juga cara yang digunakan para manajer-pemilik untuk menjalankan usahanya (Gasse, 1977; Bird, 1989;
Bryan, 1999). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa nilai yang merupakan standar yang menuntun
dan menentukan tindakaan seseorang akan mempengaruhi orang lain dalam bertindak. Apabila nilai-nilai
itu dianut seseorang manajer maka akan mempengaruhi kebijaksanan dalam mengatur perusahaan yang
tentunya akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Hal ini disebabkan pimpinan yang membawa nilai-nilai
maupun budaya sangat berpengaruh dan berperan dalam menerapkan nilai-nilai untuk diterapkan dalam
usahanya. Mengingat manajer memiliki peran (role), kegiatan dan skill. Pimpinan memiliki
peran interpersonal roles, informational roles, decisional roles. Kegiatan mereka adalah Routine
Communication, Traditional Management, Networking, dan Human Resource Management. Skill bagi
pemimpin adalah : (1) komunikasi verbal, (2) mengelola waktu dan stress, (3) mengelola pengambilan
keputusan, (4) mengakui, menjelaskan, dan memecahkan permasalahan, (5) memotivasi dan
mempengaruhi orang lain, (6) mendelegasikan wewenang, (7) menetapkan tujuan dan menjelaskan visi,
(8) memiliki kesadaran diri, (9) membangun kerja tim, dan (10) mengelola konflik (Luthan, 2002 dalam
Thoyib, 2005:65).
Hasil penelitian Pushpakumari di Jepang menyimpulkan nilai-nilai seperti kepercayaan, ambisi,
tanggungjawab, kreatifitas, kesetiaan, energi kerja, tugas, kerja keras yang merupakan nilai pribadi-
manejer pemilik perusahaan berpengaruh pada kinerja usaha dalam UKM manufaktur. Menurut Schein
(1991) dalam Thoyib (2005:66) budaya diciptakan oleh pemimpin-pemimpin, sementara pemimpin-
pemimpin diciptakan oleh budaya. Berdasarkan pada perspektif teori, budaya itu muncul melalui tiga
proses, yaitu (1) Socio Dynamic Theory, (2) Leadership theory; dan (3) Organizational Learning.
Sejalan dengan pemikiran John W.Amstrong dan Keith Davis dalam Prawirosentono (1999:123)
dikatakan budaya mempengaruhi tingkah laku seseorang yakni lingkungan yang menciptakan suasana
kepercayaan iman, kebiasaan, pengetahuan dan prakek-prakteknya. Budaya yang mempengaruhi
seseorang tercermin dari cara dia mengambil keputusan, rasa hormat kepada atasan, perlakuan
terhadap wanita, tipe kepemimpinan yang diterima, dan lain-lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan budaya mempengaruhi nilai-nilai pribadi manajer atau pengusaha,
sedangkan nilai-nilai pribadi pengusaha akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Atau nilai-nilai pribadi
manajer perusahaan akan mempengaruhi budaya, dan budaya akan mempengaruhi kinerja perusahaan.
Bucar and Hisrich (1999:3) dalam makalah yang berjudul “Ethics and Entrepreneurs: An
InternasionalComparative Study“ mengatakan di negara-negara yang memiliki standar etika rendah,
biaya untuk menjalankan usaha lebih tinggi. Begitu pula di negara-negara yang standar etika tinggi, biaya
untuk menjalankan usaha lebih rendah.
Doug Lennick dan Fred Kiel (2005) dalam It Pin (2006) menulis buku Moral Intelligence, beragumen
bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang
tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal yang sama juga dikemukakan milliuner Jon M
Hunstman (2005) dalam It Pin (2006) dikatakan kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai
pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Jadi ada hubungan yang jelas
antara etika dengan kinerja perusahaan, artinya tindakan-tindakan etika lebih membawa keuntungan
perusahaan dalam jangka panjang terutama mencapai kinerja perusahaan. Adanya hubungan sinergis
antara etika dan laba dapat dilihat dari kondisi saat sekarang dengan kompetisi yang ketat. Reputasi
yang baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Mereka yang menerapkan etika
dalam bisnis akan menaikkan laba perusahaan. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah
bagaimana Johnson & Johnson (J & J) menangani kasus Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang
dinyatakan meninggal secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago, karena Tylenol
mengandung racun sianida. Meskipun penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang
bertanggungjawab. J & J bertindak secara etika dengan menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan
mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut. J &
J bekerjasama dengan polisi, FBI, dan FDA. Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan pihak lain
yang sengaja memasukkan sianida ke dalam botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J & J dalam
kasus itu lebih 100 juta dollar AS. Namun, kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan,
perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu
diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera
kembali memimpin pasar (market leader) di Amerika Serikat.
Etika Confucius
Di Indonesia, Konfusius atau Confucius dikenal dengan istilah Khonghucu (Kong Fuzi 孔夫子). Sebagian
orang menyebut Confusianisme (Confucianisme) adalah penerus Ji Kau/ Ru Jiao 儒教 (agama kaum
lemah lembut) yakni Agama Khonghucu sebagai tokoh sentralnya adalah Confucius (Khonghucu) itu
sendiri. Confucius merupakan orang pertama dalam sejarah Cina yang mengabdikan seluruh hidupnya
bagi pendidikan. Confucius merupakan pemrakarsa dari berdirinya sekolah perorangan di Cina
(Riana,2008:30). Anak-anak para penguasa serta kaum bangsawan Cina pada jaman dahulu telah lama
memiliki guru-guru pribadi. Mereka memang direncanakan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu di
dalam istana. Jenis pengajaran yang diberikan kepada mereka adalah semacam pelatihan dalam teknik-
teknik tertentu yang memungkinkan mereka menduduki jabatan-jabatan tertentu di istana. Tetapi bentuk
pengajaran Confucius berbeda. Confucius tidak hanya memberikan pelatihan, melainkan hendak
mendidik mereka dalam arti mengembangkan serta meningkatkan taraf pemikiran dan moralitas mereka.
Confucius menawarkan pendidikan bagi pembentukan karakter manusia sebagai pengganti pendidikan
untuk jabatan tertentu.
Secara berangsur-angsur sejumlah orang tertarik kepadanya, dan kemudian menjadi muridnya, atau
yang biasa disebut cantrik yang terkenal sejumlah 72 dan hampir 3.000 murid yang tercatat waktu itu.
Confucius telah membuka pintu pendidikan bagi semua orang. Di antara murid-muridnya terdapat kaum
bangsawan dan juga rakyat jelata yang sangat miskin. Semakin lama jumlah cantrik Confucius semakin
banyak, sehingga membentuk sebuah kelompok cendekiawan (gentleman-scholars). Kelompok ini
merupakan cikal bakal institusi kaum terpelajar Cina yang kelak memberikan pengaruh besar bagi
sejarah dan masyarakat Cina. Sejumlah pendiri sekolah perorangan di masa-masa awal, skala pendirian
sekolah Confucius adalah yang terbesar. Kelompok cendekiawan inilah yang dinamakan dengan Ru
Chia. Ru Jia儒家 adalah nama yang diberikan kepada para pemikir Confucius yang berarti cendekiawan
atau orang terpelajar (scholar).
Menurut Lasiyo (1992), Khonghucu (Confucius) mengarah pada dua istilah Ju Chiao 儒教 yaitu mengarah
pada keagamaan, sedangkan yang lainnya disebut Ju Chia 儒家 (tanpa o) yang mengarah pada suatu
aliran filsafat. Baik filsafat maupun keagamaan telah menjadi satu yang disebut Confucius.
Gagasan dan pemikiran Confucius serta interprestasi cantrik–cantrik Confucius terhadap ajarannya yang
terpadu menjadi satu pemikiran utuh inilah disebut sebagai Confucianisme (Thomson, 1999:148).
Gagasan dan pemikiran Confucius dapat diketahui dengan secara paling baik dalam Lunyu 论语 (Lun
Gie). Lunyu merupakan kumpulan ajaran-ajaran atau percakapan Confucius dengan cantrik-cantriknya
yang terpisah pisah yang dihimpun oleh sejumlah cantriknya (Fung Yu-Lan,1990:49).
Para pemikir utama Confucius yang mengembangkan Confucianisme setelah Confucius adalah Meng
Zi 孟子 atau Mensius atau Bingcu (371-289 SM) dan Xun Zi 荀子 (298-238 SM). Confucius adalah tokoh
yang menyempurnakan kepercayaan dan tradisi yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya. Dari Raja
Fuxi 伏羲 sampai sekarang hampir 5000 tahun yang lalu, sedangkan Confucius sekitar 2.563 tahun yang
lalu. Sejarah yang panjang itu menjadikan budaya dan etika Ji-kau 儒教 (Confucius) melekat pada orang-
orang Tionghoa sepanjang sejarah. Ajaran Confucius juga meringkas dari beberapa tokoh terdahulu
hampir 2.500 tahun sebelum Confucius sehingga berkembang hingga kini hampir 5.000 tahun. Dalam
hal ini Confucius berkata “Aku bukanlah pencipta melainkan aku menyukai ajaran-ajaran kuno tersebut“
(Kitab Lun Gi / Lunyu 论 语 VII:1). Artinya Confucius adalah penegak dan pelengkap sekaligus
menggenapi ajaran kuno itu sebagai etika moral dan agama yang melekat pada etnis Tionghoa yang
masih menerapkan ajarannya.
Selain itu Confucius adalah suatu ajaran filsafat dan etika moral, juga suatu agama yang didalamnya
terdapat ritual yang harus dilakukan oleh pengikutnya (Nugroho, 2008:13). Secara agama atau
kepercayaan dan etika moral, ajaran Confucius mendorong pengikutnya untuk mencapai kesejahteraan,
kemakmuran, dan kebahagiaan hidup secara harmonis melalui persembahan kepada Tian 天 (Tuhan
YME). Sebagai agama, Confucius mengajarkan suatu kepercayaan dan keyakinan pada pengikutnya
bahwa seorang yang bijak itu pasti mendapat berkah: rejeki dan kesuksesan seperti yang dikatakan
Confucius “Maka seorang yang berkebajikan besar niscaya mendapat berkah, kedudukan, nama dan
panjang umur“ (Kitab Zhong Yong 中庸 XVI:2). Kepada yang berbuat baik akan diturunkan beratus
berkah, kepada yang berbuat tidak baik akan diturunkan beratus kesengsaraan (Kitab Shu Jing 书经 IV.IV.8). Keyakinan akan perbuatan kebajikan tersebut yang pada akhirnya membawa berkat, rejeki,
kesuksesan dan panjang umur yang menyebabkan orang Tionghoa bekerja keras berdasarkan pada
nilai-nilai kebajikan. Bagi orang Tionghoa hanya berbisnis berdasarkan kebajikan, maka Tuhan akan
meridhoinya. Hal ini sesuai dengan ajaran Confucius yang mengatakan “Wi Tik Thong Thian / Wei De
Dong Tian“惟 德 动 天(Hanya dengan Kebajikan saja Tuhan akan berkenan).
Ajaran Confucius dalam konteks rasional tersebut sebenarnya menjelaskan tentang hubungan antara
etika dengan kesuksesan (kebajikan dan berkah) seperti tesis Max Weber yang sebenarnya membahas
antara hubungan motif dengan tindakan (Abdullah, 1988:17). Ajaran tersebut menjadikan orang
Tionghoa tidak berani tidak berbuat Kebajikan karena diyakini akan menjadikan kemakmuran dan
kesuksesan dalam hidupnya. Sebaliknya mereka akan takut berbuat yang menentang etika moral (tidak
bajik) dikarenakan takut akan kesengsaraan. Untuk itulah orang-orang Tionghoa berusaha bekerja keras
sesuai dengan jalan Tuhan (kebajikan) untuk mencapai kesuksesan yang benar. Dalam hal ini mereka
menerapkan konsep Yi 义 menuju Li’ 利 (konsep kebenaran dalam mencapai keuntungan).
Dari ajaran Confucius itu kemudian berkembang dan istilah-istilah seperti rejeki, keberuntungan
(hokkie 福 气 ), dan kemakmuran menjadi tujuan hidup utama orang-orang Tionghoa. Semua praktek
tradisi ditujukan untuk mengejar hokkie. Dalam hal ini terletak pentingnya ciamsi (konsultasi
nasif), gwamia (ramalan), shio (horoskop), dan hongsui/ fengsui 风 水 (tata letak bangunan) yang
berhubungan dengan hawa (chi 气 ). Banyak pula istilah-istilah seperti cengli 正 理 (masuk
akal), Cinjay (tidak terlalu hitungan) dan Cuan (keuntungan). Istilah tersebut menjadi umum dan selalu
dibicarakan ketika berhubungan bisnis dengan orang Tionghoa. Secara umum pergaulan orang
Tionghoa dalam bisnis selalu harus Cingcay dan Cengli 正理 dan jangan sampai Ciak (tidak membayar
hutang) akhirnya Cao (berlari). Istilah-istilah tersebut kalau dikaji tidak jauh dari ajaran Confucius.
Pokok ajaran Confucius adalah manusia dilahirkan didunia ini memiliki kebajikan-kebajikan yang
diberikan Tuhan berupa Ren 仁 (Cinta Kasih), Zhi 智 (Keijaksanaan) dan Yong 勇 (Keberanian) yang
disebut dengan Tri Pusaka. (Kitab Tiong Yong 中 庸 BAB XIX:8).
Menurut Xs.Tjhie Tjay Ing (2006:4) Ren 仁 (cinta kasih) sebagai landasan dan sandaran bagi motif
perbuatan dalam segala aspek kehidupan yang wajib dilakukan semua umat manusia. Apabila hal
tersebut diterapkan dalam dunia bisnis harus dilandasi nilai-nilai cinta kasih. Apabila bisnis yang tidak
dilandasi nilai Ren akan mengalami suatu kemunduran.
Dengan Zhi (arti: pengetahuan; Mandarin: 智 ) manusia mampu menangani dan memecahkan segala
persoalan secara tepat dan harmonis. Bila dikaitkan dengan dunia bisnis, maka akan menjadikan
seorang wirausaha bijak dan tepat sasaran dalam mengambil segala keputusan manajemen.
Dengan Yong (arti: keberanian; Mandarin: 勇 ), manusia mendapat semangat dan ketahanan dalam
menghadapi tantangan atau meraih cita-cita. Semangat tanpa putus asa dengan keberaniannya akan
mendorong jiwa-jiwa berwirausaha. Selanjutnya oleh Meng-zi (Bingcu), pengikut Confucius, Kebajikan itu
dikembangkan dan bertambah satu kebajikan Li (arti: aturan-aturan kesusilaan dan tata krama; Mandarin:
禮,礼 ) (Kitab Bingcu VIIA,22:4). Dengan Li (aturan-aturan susila dan tata krama), akan menjadikan
seorang Wirausahawan bersopan santun, bertata krama dalam menerapkan bisnisnya.
Selanjutnya dikembangkan oleh Tung Zhong Shu (179-104) dengan menambahkan Xin (arti:
kepercayaan; Mandarin: 信 ). Dengan Xin (Kepercayaan) akan mempercepat proses transaksi dan
pengiriman barang dan sekaligus menghemat biaya dan pada akhirnya berpengaruh pada kelangsungan
hidup perusahaan dalam jangka panjang.
Pada prakteknya, nilai-nilai Confucius ini berkembang dari waktu ke waktu. Abad XXI kebajikan
jumlahnya menjadi enam yakni Ren (cinta kasih, 仁 ), Yi (nilai-nilai kebenaran, 義 /义 ), Li (aturan-aturan
susila dan tata krama, 禮 /礼 ), Zhi (pengetahuan, 智 ), Xin (kepercayaan, 信 ). Bahkan di Jepang ajaran
Confucius berkembang menjadi etika kerja Bushido sebagai kunci sukses bangsa Jepang, terdiri dari
tujuh prinsip, yaitu: Yi ( 義 / 义 , nilai-nilai kebenaran), Li (aturan-aturan susila dan tata krama,
禮 / 礼 ),Yong (keberanian, 勇 ), Ren (cinta kasih, 仁 ), Xin(kepercayaan, 信 ), Yu (reputasi, 誉 ),
dan Zhong (kesetiaan, 忠) (Maria, 2010:16).
Kebajikan-kebajikan tersebut merupakan inti ajaran Confucius yang dibahas secara filosofi dan
dibicarakan dengan murid-muridnya. Dengan Kebajikan-kebajikan tersebut manusia wajib
mengembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan dalam dunia bisnis. Kebajikan
itu bisa dilakukan manusia karena memang manusiawi melalui belajar dan dilatih. Hanya dengan
belajarlah manusia bisa menjadi Junzi 君 子 (manusia ideal pandangan Confucius) yang tentu saja
memiliki kemampuan manajerial dan sikap moral yang memadai.
Chun Tzu (Mandarin: 君子 ; pinyin: Junzi 君子 ) adalah orang yang agung dan dalam bahasa Inggris
disebut (gentlemen), seorang dapat menjadi pimpinan bukan karena keturunan tetapi karena keagungan
watak dan tingkah laku yang baik. Menurut Confucius, setiap manusia berpotensi menjadi Junzi (Chun
Tzu). Beberapa pengertian Junzi (Mandarin: 君子) menurut Confucius : Chun Tzu (Junzi) adalah seorang
pemberani yang dapat menyelaraskan berbagai macam hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan
senantiasa berusaha meningkatkan kualitas moral kepribadiannya (Dawson, 1981:54).
Adapun sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang Junzi adalah : (1) setia dan selalu berbuat baik serta
berusaha untuk mawas diri, (2) mencintai sesuatu yang benar dan tidak mementingkan dirinya sendiri,
(3). mengutamakan masalah moral (Dawson, 1981:55).
Seorang Junzi selalu berusaha hidup dan bekerjasama dengan masyarakat di mana pun ia berada, agar
ia mempunyai jiwa sosial yang tinggi mau beramal apa saja demi kepentingan masyarakat bangsa dan
negaranya. Confucius dalam membahas masalah Junzi lebih banyak bicara tentang masalah moral,
karena moral merupakan dasar dari keberhasilan pembangunan suatu bangsa, tanpa landasan pada
moral suatu bangsa akan segera mengalami keruntuhan.
Etika Confucius adalah nilai-nilai, aturan, moral yang bersumber pada ajaran Confucius sendiri yang
mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat khususnya masyarakat
Tionghoa. Umumnya Etika Confucius diajarkan secara lisan secara turun temurun dari orang tuanya
dan ini berjalan berabad-abad lamanya sehingga terbentuk masyarakat Confucius tradisional.
Karakteristik masyarakat Confucius tradisional biasanya menjalankan tradisi tanpa adanya tata laksana
agama yang benar. Namun ada kalanya Etika Confucius didapat dari kitab-kitab Confucius yang dibawa
oleh para pendatang (saudagar) ke Indonesia dan sebagian kaum cendekia dan mengembangkan di
Indonesia. Mereka akhirnya membentuk wadah Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia)
dan mengangkat penebar, guru dan pendeta (Js=Jiaosheng 教 生 sebagai penyebar
agama, Ws=Wenshi 文 师 sebagai guru agama dan Xs=Xueshi 学 师 sebagai pendeta) dan
mengajarkannya lewat upacara-upacara maupun kebaktian di Li Thang (Litang 礼堂 Tempat Ibadah
umat Confucius).
Sementara Etos Confucius bersumber pada Kitab Suci Agama Konghucu (Confucius) yang terdiri dari
dua kelompok, yaitu: Wu Jing 五 经(Kitab Suci Yang Lima) dan Si Shu四书 (Kitab Suci Yang Keempat)
serta Xiao Jing 孝经 (Kitab Bakti). Kitab Wu Jing terdiri dari :
1. Shi Jing (诗经 Kitab Sanjak)
2. Shu Jing (书经 Kitab Dokumen Sejarah Suci)
3. Yi Jing (易经 Kitab Kejadian dengan Segala Perubahan dan Peristiwa)
4. Chun qiu Jing (春秋经 Kitab Sejarah Jaman Chun Qiu)
5. Yue Jing (乐经 Kitab Musik)
Kitab Si Shu 四书 terdiri dari :
1. Da Xue (大学 Kitab Ajaran Besar)
2. Zhong Yong (中庸 Kitab Tengah Sempurna)
3. Lun Yu/ Lun Gie (论语 Kitab Sabda Suci)
4. Meng Zi (孟子 Mencius) (Lin Khung Sen,2010:31)
Kitab-kitab tersebut sebagai sumber ajaran Confucius dan digunakan sebagai dasar dalam bertingkah
laku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi yang dimaksud dengan Etika Confucius itu
menyangkut keseluruhan ajaran Confucius yang dihimpun dari Nabi Fuxi 伏羲 dan Hok Hi (2.953-2.838
SM), lalu Yu Agung 大 禹 atau I Agung (2.205 – 1.766 SM), Wenwang (文 王) dan akhirnya Confucius
(Khonghucu) sampai dengan Rosul Bingcu (Meng Zi).
Chong (1996:9) mengatakan etika Confucius yang dikenal sekarang tidak hanya ditemukan oleh satu
orang saja tetapi merupakan hasil perkembangan lebih 2.500 tahun yang lalu sampai sekarang.
Etos Confucius atau etika Confucius (Confucian Ethic) menurut Lin Yu Tang (1936) dalam Chong (1996:
9) dalam bukunya “My Country and My People“ adalah upaya manusia memperoleh kebajikan di dalam
(inner Sageliness) dan berpenampilan sebagai Raja (outer kingliness). Artinya nilai-nilai Confucius
dipelajari ke dalam (Inner Sageliness) sebagai moral kebajikan sedangkan keluar merupakan wujud
perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan tersebut dipertegas oleh Indarto bahwa Etika
Confucius disebut juga dengan “Nei-sheng Wai-wang“ 内圣 外王 yang mencakup pendidikan moral atau
budi pekerti untuk membina diri ke dalam seperti Nabi dan keluar memimpin dunia menjadi manajer yang
tangguh (Indarto, 2010:32).
Etika Confucius mengandung nilai-nilai seperti toleransi pada sesama manusia, baik antar kawan, atasan
bawahan, antar sesama saudara; berlaku bakti kepada orang tua serta saudara yang lebih tua; kesetiaan
dan dapat dipercaya kepada negara bangsa, hormat kepada lebih tua dan kasih sayang kepada anak
dan saudara yang lebih muda.
Pada prinsipnya etika Confucius mengajarkan akan pentingnya pembinaan diri (self cultivation) serta
nilai-nilai moral, baik kepada diri pribadi, keluarga, masyarakat dan negara bahkan dunia. Menurut Po
(2009:464) Etika Confucius terdiri dari Ren 仁 , Yi义 , Li礼 disamping Zhi 智 dan Xin 信 yang merupakan
komponen penting dalam sistem moral yang membentuk manusia Junzi. Junzi melambangkan berbudi
luhur, siap dan mampu melakukan tindakan bajik tanpa henti secara konsisten selama hidupnya,
terutama kaum intelektual dan elit penguasa. Bahkan semua orang didesak untuk menjadi Junzi dalam
pikiran dan perbuatan dan terus mengejar kehidupan yang dicontohkan Junzi. Ciri khas Junzi 君子 dalam analects Confucius (Lun Gi 论语 ) adalah bertindak benar, tekun dalam tindakan, bertindak
sebelum bicara, kehati-hatian dalam ucapan, tindakan menyelaraskan kata-kata, menunjukkan bakti
kepada orang tua, menampilkan menghormati untuk saudara-saudara, bergaul dengan orang yang
memegang prinsip moral, suka belajar, mencintai orang lain, bersopan santun dan tahu aturan, berbuat
baik kepada orang lain, akomodatif, berwibawa tapi tidak sombong, berani, tabah, memiliki motivasi,
berpikiran adil dan ZhongShu 忠 恕 (Tiong Si). Zhong Shu ini disebut Golden Rule dimana “Jangan
lakukan pada orang lain apa yang Anda tidak ingin orang lain lakukan untuk Anda.“
Lee T.Oei dalam Ongky (1996) memberikan ciri-ciri seorang Junzi diantaranya orang yang bertujuan,
berusaha sungguh-sungguh, menyeluruh, tulus hati, jujur, murni dalam pikiran dan tindakan, cinta akan
kebenaran, adil dan tidak miskin, berkebajikan, bijaksana, longgar hati, tabah hati, berwibawa, teguh,
rukun, tidak menjilat, berkembang keatas, berkemampuan, bersifat terbuka, baik hati, berpandangan
luas, bercinta kasih, tenggang diri, tepo saliro, dan bertenaga dalam.
BAB II Tinjauan Pustaka : Pengertian Etika Bisnis
Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 20 JANUARY 2013 21:47 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 4374
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
Pengertian Etika (Ethos)
Ethos adalah salah satu kata Yunani kuno yang masuk dalam
banyak bahasa modern persis dalam bentuk seperti yang dipakai oleh bahasa aslinya dulu. Sepintas lalu,
kata ethos merupakan asal usul dari kata etika dan etis. Dalam bahasa modern, ethos menunjukkan ciri-
ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok. Dalam Concise Oxford Dictionary (1974) ethos
disifatkan sebagai characteristic spirit of community, people or system, suasana khas yang menandai
suatu kelompok, bangsa atau sistem.
Menurut Bertens (2007:224) etika berasal dari bahasa Yunani kuno mempunyai banyak arti yakni tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, dan cara
berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan.
Secara etimologis, istilah ethos berarti “tempat hidup“ yang dimaknai sebagai adat istiadat atau
kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks.
Dari kata yang sama muncul istilah Ethikos yang berarti “teori kehidupan”, yang kemudian menjadi “etika”
(Noviliadi, 2009:4).
Secara terminologis, ethos digunakan dalam tiga pengertian, yaitu (1) suatu aturan umum atau cara
hidup, (2) suatu tatanan dari perilaku, (3) penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan
tingkah laku. Dari kata ethos, terbentuklah kata ethic yaitu pedoman, moral dan perilaku, atau etiket yaitu
cara bersopan santun. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral). Jadi etika sama dengan ethos yang secara etimologis memiliki arti adat
kebiasaan yang oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Sedangkan menurut Webster’s New Word Dictionary 3rd College Edition, etos didefinisikan
sebagai kecenderungan atau karakter, sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau
kelompok.
Dalam bahasa Inggris ethos diartikan sebagai watak atau semangat fundamental suatu budaya, berbagai
ungkapan yang menunjukkan kepercayaan, kebiasaan, atau perilaku suatu kelompok masyarakat.
Menurut Poespoprodjo (1999:18) dalam bahasa Latin, kata untuk kebiasaan adalah mos, dan dari sinilah
asal kata moral, moralitas, dan mores. Etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri dari
konvensi-konvensi, seperti cara berpakaian, tata cara, tata krama, etiquette, dan semacam itu.
Dalam bahasa Inggris, Ethos diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain ‘starting point’, ’to
appear’, dan ‘disposition’ hingga disimpulkan sebagai ‘character’. Dalam bahasa Indonesia kata etos
diterjemahkan sebagai ‘sifat dasar’, ’pemunculan’ atau ‘disposisi/watak’. Aristoteles menggambarkan etos
sebagai salah satu dari tiga mode persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai
‘kompetensi moral’. Tetapi Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini hingga ‘keahlian’ dan
‘pengetahuan’ tercakup didalamnya. Aristoteles menyatakan bahwa etos hanya dapat dicapai dengan
apa yang dikatakan seorang pembicara, tidak dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya
sebelum ia mulai berbicara.
Di sini etos dikenali berdasarkan sifat-sifat yang dapat terdeteksi oleh indera. Webster Dictionary
mendefinisikan etos sebagai; guiding beliefs of a person, group or institution; ethos adalah keyakinan
yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi.
Koentjaraningrat (1980) dalam Asifudin (2004) mengemukakan pandangannya bahwa etos merupakan
watak khas tampak dari luar dan terlihat oleh orang lain. Etos artinya ciri, sifat, atau kebiasaan, adat
istiadat atau kecenderungan moral, pandangan hidup yang dililiki seseorang, suatu kelompok orang atau
bangsa.
Hornby (1995) dalam The New Oxford Advances Learner’s Dictionary mendefinisikan etos sebagai the
characteristic spirit, moral values, ideas or beliefs of a group, community or culture (karakteristik rohani,
nilai-nilai moral, idea atau keyakinan suatu kelompok, komunitas, atau budaya). Madjid (1995)
mengatakan etos adalah karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat
khusus tentang seorang individu atau kelompok manusia. Dari kata etos terambil pula perkataan “etika”
yang menunjuk pada makna akhlak atau bersifat akhlaqi yaitu kualitas esensial seseorang atau
sekelompok manusia termasuk suatu bangsa. Etos juga berarti jiwa khas suatu kelompok manusia yang
dari padanya berkembang pandangan bangsa sehubungan dengan baik dan buruk yakni etika.
The American Heritage Dictionary of English Language, menyebutkan etos diartikan dalam dua
pemaknaan; the disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that
distinguishesit from other people’s or group ; fundamental values or spirit; mores (disposisi, karakter, atau
sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai
atau jiwa yang mendasari; adat istiadat).
Sinarno (2005) mengatakan lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan bahwa kata etos
mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas tetapi
mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode
etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip dan
standar-standar.
Menurut Syukur (2004) istilah etika sering digunakan dalam tiga perbedaan yang saling terkait, yaitu: (1)
merupakan pola umum atau jalan ”hidup” (2) seperangkat aturan “kode moral” dan (3) penyelidikan jalan
hidup dan aturan-aturan perilaku, atau merupakan penyelidikan filosofis tentang hakekat dan dasar-dasar
moral. Etika merupakan salah satu cabang filsafat, maka pengertian etika menurut filsafat ilmu yang
menyelidiki mana yang baik dan buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang
dapat diketahui oleh pikiran.
Dengan demikian etika dapat berarti: Pertama, Etika atau Ethos dapat dipakai sebagai nilai-nilai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Misalnya etika protestan (The protestant Ethik and the Spirit of Capitalism karya Max
Weber), Etika Confucius, Etika Islam, dan sebagainya. Kedua, etika atau ethos adalah The governing or
central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like, yaitu prinsip utama atau
pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi atau sejenisnya. Jadi etos
merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar
mempengruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan dan cara berekspresi yang khas pada
sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.
Dari uraian di atas, etika atau ethos apabila dikaitkan dengan Etika Confucius akan menjadi etika yang
berpengaruh terhadap tingkah laku manusia, khususnya orang Tionghoa dan penganut Confucius dalam
mendorong tingkah laku nyata yang berkaitan dengan kinerja. Hal ini diperkuat pendapat Elashmawi dan
Haris (dalam Prawirosentono, 1999:113) bahwa segala perilaku manusia dalam menjalankan bisnis atau
kehidupan sosial lainnya dipengaruhi oleh sistem kepercayaan mengenai kehidupan, kematian, agama
dan nilai-nilai lainnya. Kepercayan-kepercayaan tersebut diambil oleh manusia sebagai norma
yang diterima, dan hal ini berkaitan dengan kinerja seseorang maupun kelompok (organisasi).
Etika Bisnis
1. Pengertian Etika Bisnis
Bertens (2000:36) mengatakan bahwa etika bisnis dalam bahasa Inggris disebut business ethics. Dalam
bahasa Belanda dipakai nama bedrijfsethick (etika perusahaan) dan dalam bahasa Jerman
Unternehmensethik (etika usaha). Cukup dekat dengan itu dalam bahasa Inggris kadang-kadang dipakai
corporate ethics (etika korporasi). Narasi lain adalah “etika ekonomis” atau”etika ekonomi” (jarang dalam
bahasa Inggris economic ethics; lebih banyak dalam bahasa Jerman Wirtschaftsethik). Ditemukan juga
nama management ethics atau managerial ethics (etika manajemen) atau organization ethics (etika
organisasi).
Yosephus (2010:79) mengatakan bahwa Etika Bisnis secara hakiki merupakan Applied Ethics (etika
terapan). Di sini, etika bisnis merupakan wilayah penerapan prinsip-prinsip moral umum pada wilayah
tindak manusia di bidang ekonomi, khususnya bisnis. Jadi, secara hakiki sasaran etika bisnis adalah
perilaku moral pebisnis yang berkegiatan ekonomi.
Pengertian tersebut menjelaskan bagaimana para pelaku bisnis bertindak secara moral dalam melakukan
bisnisnya. Atau etika bisnis mengacu pada tindakan bisnis yang benar sesuai dengan norma-norma yang
ada. Prinsip moral tersebut pada dasarnya saling bertautan dalam kesatuan kerangka yang utuh dan
sistematis yang disebut teori. Etika bisnis sangat penting bukan saja bagi pengusaha, melainkan juga
bagi masyarakat / konsumen.
Suatu tatanan sosial yang memiliki nilai, norma, peran, status, pranata, dan struktur yang terlembaga
akan hancur jika salah satu etika (yaitu etika berkompetisi dalam meraih kekayaan) terabaikan atau tidak
dilandasi etika dalam perilaku bisnis / ekonomi. Dengan prinsip saling menguntungkan, maka itulah
sesungguhnya yang diharapkan masyarakat. Bila bisnis dijalankan tanpa dilandasi etika moral, maka
bukan hanya masyarakat / konsumen yang akan mengalami kerugian, tapi sesungguhnya pelaku bisnis
itu sendiri akan mengalami kerugian.
2. Teori Etika Bisnis
Ada beberapa teori tentang etika bisnis seperti yang diungkapkan oleh Yosephus (2010) sebagai
berikut :
a. Teori Kebahagiaan
Teori kebahagiaan mencakup hedonisme dan utilitarisme. Baik hedonisme maupun utilitarisme sama-
sama merupakan teori etika normatif yang mempersoalkan tujuan hidup manusia. Secara umum, baik
penganut hedonisme maupun utilitarisme sependapat bahwa kebahagiaan merupakan satu-satunya
tujuan hidup semua manusia, maka prinsip pokok yang mendasari setiap perilaku manusia adalah
bagaimana mencapai kebahagiaan sebagai satu-satunya tujuan hidup.
b. Utilitarisme
Utilitarisme berasal dari kata utilis dalam bahasa Latin yang berarti berguna atau berfaedah. Menurut
utilitarisme, suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika tindakan tersebut bermanfaat atau berguna.
Persoalnnya berguna atau bermanfaat untuk siapa dan dalam kondisi seperti apa? Pada pertannyaan
seperti itu, kaum utilitarisme menjawab bahwa suatu perbuatan atau tindakan adalah baik jika berguna
atau bermanfaat bagi si pelaku maupun bagi semua orang yang terkena dampak dari perbuatan atau
tindakan itu.
Sebagai teori etika, utilitarisme sering disebut the greatest happiness theory atau teori kebahagian
terbesar. Dibedakan antara utilitarisme tindakan dan utilitarisme peraturan, tergantung apakah kriteria
utilitaristik itu ditetapkan pada tindakan atau pada peraturan.
Prinsip yang dipegang teguh oleh utilitarisme tindakan adalah: “bertindaklah sedemikian rupa, sehingga
tindakanmu itu menghasilkan kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang”. “Bertindaklah menurut
peraturan yang pelaksanaannya akan menghasilkan kebaikan atau kebahagiaan terbesar bagi sebanyak
mungkin orang”. Maksudnya suatu tindakan adalah baik secara moral jika menghasilkan kebaikan atau
kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Secara
psikologis, kedua penguasa tersebut memberikan perasaan-perasaan tertentu, maka yang terjadi bagi
manusia dalam kehidupan nyata adalah menghindari pahit, atau rasa sakit atau mendekatkan diri kepada
pleasure (rasa nikmat). Kebahagiaan akan tercipta jika manusia mendekatkan dirinya pada rasa nikmat
atau menjauhkan diri dari rasa sakit.
Ada sejumlah art mill ini. Pertama-tama, John Stuart Mill (1806-1873) dalam (Yosephus,2010:93)
mengkritik gagasan Jeremy Bentham. Menurut Stuart Mill, karena ada tingkatan dalam kesenangan atau
kebahagiaan, maka aspek kualitas dari kesenangan atau mutlak perlu diperhatikan. Apalagi kualitas
kesenangan manusia pasti menegaskan “it is better to be a human being dissatisfied than a pig satisfied,
better to be socrate than a fool satisfied.” Menurut Stuart Mill, lebih baik menjadi seorang manusia yang
tidak puas dari pada menjadi seekor babi yang puas, lebih baik menjadi Socrates yang tidak puas dari
pada seorang tolol yang puas dan kita harus bertindak demikian rupa agar tindakan kita menghasilkan
akibat baik sebesar mungkin bagi jumlah orang sebanyak mungkin.
Dengan penegasan itu, Stuart Mill menggaris-bawahi kebahagiaan masing-masing atau kebahagiaan
semua orang yang terlibat dalam satu orang. Maksudnya suatu tutur kata atau tindakan adalah baik
secara moral, jika menghasilkan lebih besar kebahagiaan dari pada penderitaan. Hal itu harus diukur dari
pengalaman semua orang yang melakukan tindakan tersebut, bukan satu orang yang terlibat dalam
tindakan itu. Dengan gagasan itu, Stuart Mill tidak hanya memperbaiki gagasan utilitarisme Jeremy
Bentham, melainkan juga memperkokohnya. Itulah alasannya mengapa utilitarisme Stuart Mill sebagai
“utilitarianisme”, bukan utilitarisme Jeremy Bentham (1748-1832). Secara kodrati, manusia telah
ditempatkan di bawah dua penguasa yang berdaulat, yakni : rasa sakit dan rasa nikmat. Dengan kata
lain, Bentham menegaskan bahwa dalam keseharian hidup manusia selalu berada di antara kedua
penguasa tersebut.
c. Hedonisme
Hedonism berasal dari kata hedone dalam bahasa Yunani yang berarti ”nikmat atau kegembiraan”.
Sebagai paham teori moral, hedonisme bertolak dari asumsi dasar bahwa manusia hendaknya
berperilaku sedemikian rupa agar hidupnya bahagia. Dengan singkat namun tegas, kaum hedonisme
merumuskan : “carilah nikmat dan hindarilah rasa sakit!”. Berdasarkan rumusan ini, bagaimana hedonism
(terutama Aristippos dan Epikuros) memaknai hidup. Bagi mereka hidup adalah upaya menjauhi rasa
sakit dan mendekatkan diri pada rasa nikmat.
Motivasi yang paling kuat di balik tujuan-tujuan yang luhur, seperti: penegakan kebenaran dan keadilan
serta tujuan-tujuan suci, misalnya penyebaran iman, bahwa dalam melakukan kegiatan apapun juga
secara kodrati manusia selalu tergerak mencari dan mendapatkan kenikmatan hidup. Sebuah penipuan
diri dan kemunafikan jika ada orang yang mengatakan segala kegiatannya ditunjukkan demi cita-cita
luhur atau demi membantu atau menolong orang-orang lain. Jadi, menurut paham hedonism psikologis,
manusia itu pada dasarnya sangat egois karena segala tindakannya hanya ditunjukkan untuk
mendapatkan kenikmatan dirinya sendiri.
Epikus (341-270 SM) memandang kenikmatan sebagai tujuan hidup manusia dan secara kodrati manusia
selalu tergerak untuk mencari kenikmatan bagi dirinya sendiri. Hal itu disebabkan secara fisik, tubuh
manusia merupakan dasar sekaligus akar dari segala kenikmatan manusiawi. Menurut Epikus, ada tiga
jenis keinginan dalam diri manusia yang dapat memotivasi seseorang mengupayakan kenikmatan, yaitu :
(1) Keinginan alamiah yang mutlak perlu, seperti keinginan untuk makan dan minum. Keinginan alamiah
seperti ini selalu berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan yang paling primer dari manusia, (2)
Keinginan alamiah yang dapat ditunda, misalnya keinginan untuk makan enak atau keinginan untuk
mendapatkan televisi baru yang lebih besar padahal sudah memiliki televisi kecil, (3) Keinginan yang sia-
sia atau keinginan yang belum pasti realisasinya, seperti ingin menjadi kepala negara atau ingin memiliki
lukisan karya Leonardo da Vinci.
Epikos menganjurkan agar manusia selalu memandang kehidupan sebagai sesuatu keseluruhan yang
terdiri dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Epikos telah menyatu dalam satu
keinginan saja yang sekaligus mencirikan derap jelajah bisnis kontemporer, yaitu meraup keuntungan
sebesar-besarnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Upaya meraup keuntungan kini telah bergeser dari
upaya-upaya yang bersifat co-speed menjadi co-present. Semua strategi bisnis kontemporer
sebagaimana dapat ditelusuri melalui analisis jitu terhadap akurasi penetapan SWOT dan SWAN
menunjukkan bahwa maximizing profit telah menjadi tujuan, sekaligus mengilhami dan memotivasi para
pebisnis kontemporer untuk memenuhi keinginan para pembisnis kontemporer ”to have more”. Pada
tatanan ini, menjadi orang bijak yang menurut sang hedonis, Epikos lalu menjadi sesuatu yang hampir
tidak mungkin dicapai oleh para pebisnis kontemporer.
d.Teori Kewajiban (deontologisme)
Teori deontology justru mengukur baik atau buruknya suatu tindakan dari segi wajib dan tidaknya
perbuatan tersebut dilakukan. Kata “deon” (Yunani) dari istilah deontology berarti kewajiban atau apa
yang wajib dilakukan. Sistem atau teori moral ini pertama kali diajukan oleh filsuf-etikawan Jerman,
Immanuel Kant (1724-1904).
Menurut Immanuel Kant inti ajaran deontology yang disebut baik dalam arti yang sesungguhnya,
hanyalah “good will” atau kehendak baik. Jadi, good will, hanya bisa dikatakan baik jika memenuhi
persyaratan tertentu. Pada tataran ini, politik, bisnis, kepandaian, atau kekuasaan adalah good will atau
kehendak baik.
Menurut Kant, kehendak itu menjadi baik, kalau yang menjadi dasar dari suatu tindakan adalah
kewajiban. Dengan demikian Kant menggaris-bawahi, bahwa suatu perbuatan secara moral adalah baik
jika orang yang melakukannya menghormati atau menghargai hukum moral. Hukum moral yang
dimaksudkan Kant adalah kewajiban seorang berkehendak baik jika ia hanya menghendaki untuk
melakukan yang wajib baginya. Apa yang wajib baginya, yaitu: Pertama, ia dapat memenuhi
kewajibannya karena hal itu menguntungkan dirinya, misalnya mendapatkan nama baik atau
penghargaan dari orang lain. Kedua, ia melaksanakan kewajibannya karena merasa adanya dorongan
langsung dalam hatinya untuk melakukan hal itu, misalnya membantu orang yang mengalami musibah
karena terdorong oleh rasa belas kasihan atau rasa iba yang merupakan dorongan langsung dari dalam
hatinya. Ketiga, ia melakukan kewajibannya karena ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya.
Bagi Immanuel Kant, satu-satunya kriteria untuk kewajiban moral adalah imperative kategoris yang
berbunyi: ”bertindaklah secara moral!” imperative disini berarti perintah yang bernada wajib (das sollen)
bukan permintaan, pertama imperative hipotesis, yakni perintah atau keharusan bersyarat, misalnya
kalau ingin mempunyai uang, bekerjalah. Kedua imperative tanpa syarat.
e. Teori Keutamaan (virtue ethics)
Apapun pekerjaan dan profesinya selalu ingin menjadi orang menjadi kuat secara moral yang berarti
memiliki kepribadian yang mantap sehingga selalu sanggup bertindak sesuai dengan apa yang diyakini
sebagai baik dan benar. Kepribadian yang kuat dan mantap secara moral disebut “keutamaan moral”.
Ada beberapa keutamaan moral diantaranya sebagai berikut :
1. Kejujuran
Secara umum kejujuran diakui sebagai keutamaan atau sikap moral pertama sekaligus terpenting yang
harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya para pebisnis sebagai makhluk beretika, sampai saat ini
diakui bahwa kejujuran identik dengan kesesuaian antara kata-kata atau ucapan dengan fakta atau
perbuatan. Dalam praksis hidup, orang lebih cenderung memaknai kejujuran dalam format negatif seperti
tidak berbohong atau tidak menipu. Seorang pebisnis kontemporer disebut “orang jujur” jika segala
perkataan yang diucapkan, termsuk janji-janjinya sesuai dengan fakta atau tindakannya, yakni menepati
janji-janjinya. Apa yang dijanjikan dalam kontrak atau kesepakatan (transaksi) entah dengan pihak luar
(mitra bisnis dan pelanggan konsumen) atau dengan pihak dalam perusahaan (KKB) selalu ditepati.
Pebisnis yang jujur tentu akan menganggap kebohongan sebagai sesuatu yang tabu untuk dilakukan,
sebab kejujuran kerap dirasakan sebagai sesuatu yang sangat mahal.
2. Kepercayaan
Sebagai keutamaan yang wajib dimiliki oleh para pebisnis kontemporer, kepercayaan selalu bersifat
timbal balik. Maksudnya, pembisnis yang selalu percaya kepada pihak lain mengandaikan bahwa pihak-
pihak lain, apakah karyawan atau mitra bisnis dan pelanggan akan mempercayainya juga. Ciri timbal
balik dalam hal kepercayaan juga menuntut sikap kritis dari seorang pebisnis. Implikasinya, seorang
pembisnis memang harus bersikap selektif dalam memilih mitra bisnis, termasuk menyeleksi dan memilih
karyawan atau stafnya.
Tujuan mengendalikan strategi dan taktik merupakan hal-hal yang sangat menentukan bagi keberhasilan
sebuah bisnis untuk mencapai tujuan tersebut. Pada tatanan strategi dan taktik inilah sikap-sikap moral
yang kuat, khususnya kepercayaan selalu mendapatkan tanggapan berat. Kesamaan tujuan
mengindikasikan bahwa sikap yang bertentangan dengan kepercayaan bukan tabu untuk dilakukan oleh
pebisnis kontemporer. Pada tatanan ini, ”selektivitas” dalam memilih mitra bisnis atau dalam menerima
karyawan merupakan kata kunci yang tidak bisa ditawar-tawar.
3. Tanggung Jawab
Sebagai keutamaan moral, tanggungjawab pertama-tama merupakan sikap terhadap tugas yang
membebani seorang pebisnis dan karyawan atau stafnya. Baik pengusaha maupun karyawan merasa
terikat untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas yang dipercayakan atau yang diemban. Dalam
implikasinya, tanggung jawab tidak pernah memberi ruang untuk sikap-sikap, seperti malas, acuh tak
acuh, dan ragu-ragu. Sikap tanggungjawab menuntut bahwa sesuatu itu dilakukan dan diselesaikan
dengan sebaik-baiknya.
Dalam bahasa moral, tugas yang dilakukan secara bertanggungjawab disebut sebagai tugas mulia
karena harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, termasuk jika tidak ada yang melihat atau mengawasi
pelaksanaannya. Di sini, kesediaan untuk bertanggung jawab merupakan entry-point yang dapat
mengantarkan seseorang ke singgasana moralitas sebagai good risk-taker.
Tugas yang dilakukan secara bertanggung jawab merupakan tugas mulia karena harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya, meskipun tidak ada pimpinan yang melihat atau supervisor yang mengawasi
pelaksanaannya adalah sama dengan mengatakan bahwa secara hakiki tanggungjawab mengatasi etika
peraturan yang pada dirinya sendiri tak terpisahkan dari pengawasan atau pengontrolan. Pada tatanan
ini, wawasan orang, apakah manajer atau karyawan yang selalu bersedia untuk bertanggungjawab atas
tugas yang dipercayakan kepadanya bersifat tak terbatas. Mereka merasa bertanggung jawab kapan dan
di mana pun berada. Pebisnis, manajer, dan karyawan yang memiliki sikap seperti ini merupakan pribadi-
pribadi yang selalu bersikap positif, kreatif, kritis, dan objektif terhadap kondisi riil perusahaan.
Selanjutnya pribadi-pribadi yang bertanggungjawab pastilah orang-orang yang selalu bersedia dimintai
dan memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan kewajiban, termasuk jika mereka lalai
dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab. Orang-orang yang bertanggung-jawab selalu siap menjadi
good risk-taker. Mereka tidak pernah melemparkan tanggungjawab.
4. Keberanian Moral
Keberanian moral selalu berkaitan dengan kemampuan intelektual untuk menentukan penilaian sendiri
terhadap sesuatu. Keberanian moral terlihat dengan sangat jelas ketika mereka menolak tegas untuk
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma moral dan hukum yang ditawarkan kepada
mereka, meskipun mereka sebenarnya membutuhkan atau ada kesempatan yang memadai untuk
melakukan hal itu, misalnya kesempatan untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme atau mengambil
keuntungan pribadi walaupun untuk penolakan dalam hal-hal seperti itu mereka akan dikucilkan atau
dicela oleh yang lain.
Orang yang memiliki keberanian moral selalu menjadikan dirinya sendiri pijakan bagi kaum yang lemah,
atau yang mederita karena tingkah serta tindakan kelompok kuat atau pihak yang berkuasa.
5. Fairness
Sering orang mengidentikkan dengan “rasa adil”, namun ketika diterapkan ternyata tidak sama dengan
keadilan. Terkadang juga diidentikkan dengan sikap sportif, ketika diterapkan dalam kondisi konkret
ternyata tidak juga persis sama dengan sportifitas. Sesuatu kondisi yang persis mewakili pengertian
istilah fairness adalah “kesediaan memberikan apa yang patut diberikan kepada semua orang”. Pada
tatanan bisnis, kata “patut” di sini menunjuk kepada apa yang dapat diterima atau disetujui oleh semua
pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis.
Seorang pebisnis dapat dikategorikan sebagai seorang yang memiliki keutamaan ini jika pebisnis
tersebut selalu bersedia memberikan apa yang patut diberikan kepada pihak lain, apakah karyawan,
pemasok, dan pelanggan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban. Sebaliknya, pebisnis yang
berkeutamaan moral seperti ini selalu bersedia menerima apa yang patut diterima dari pihak lain,
misalnya menerima hasil pekerjaan yang telah dipercayakan kepada karyawannya. Itulah indikasi
keutamaan fairness yang patut dimiliki oleh seorang pebisnis kontemporer yang berkepribadian moral
yang kuat. Pebisnis seperti itu tidak hanya bersikap selalu realistik memainkan tetapi juga kritis dalam
melaksanakan bisnisnya.
6. Realistik-kritis
Keutamaan sikap moral ”realistik” dan “kritis” lebih berkaitan dengan wilayah kognitif atau wilayah
intelektual manusia, termasuk para pebisnis kontemporer. Dalam proses bisnis, setiap pengusaha akan
menghadapi berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang, seperti sosial, budaya, ekonomi,
pendidikan, agama dan sebagainya. Dalam keberagaman itu para manajer dan karyawan memiliki
harapan, komitmen dan tingkat loyalitas yang berbeda.
Dalam menghadapi keberagaman latar seperti itu, seorang pembisnis terpanggil untuk bertanggungjawab
terhadap hidup mereka. Para manajer dan karyawan yang berasal dari latar belakang berbeda adalah
identik dengan menegaskan orang-orang seperti itu (manajer dan karyawan) adalah orang-orang riil.
Konsekuensinya, seorang pebisnis kontemporer harus berlaku riil dalam tanggungjawabnya terhadap
mereka. Pembisnis wajib membuka mata fisik dan mata pikiran terhadap realita yang ada, baik yang
menyangkut perusahaan atau usahanya maupun menyangkut kondisi riil manajer dan karyawannya.
Dengan cara seperti itu seorang pebisnis kontemporer yang baik secara moral akan melaksanakan
tanggung-jawabnya dengan baik. Seorang pebisnis kontemporer harus bersikap realitis dalam tutur kata
dan tindakannya, bukan bersembunyi dibalik ungkapan-ungkapan yang kabur maknanya.
7. Rendah Hati
Pertama-tama harus digaris bawahi bahwa sikap moral dan rendah hati tidak ada sangkut pautnya
dengan “rasa sungkan” kepada atasan atau rekan kerja yang lebih tua usianya, enggan untuk membela
suatu pendirian atau merendahkan diri ke kuasa pimpinan. Seseorang melihat dirinya sendiri apa adanya,
apakah sebagai karyawan, manajer atau sebagai pimpinan puncak sebuah bisnis. Dalam konteks bisnis
kontemporer, sikap rendah hati merupakan kekuatan batin yang membuat semua pihak yang terlibat
untuk melihat diri dan menampilkan dirinya apa adanya.
8. Hormat kepada Diri Sendiri dan Diri-diri lain
Sebagai keutamaan moral, hormat terhadap diri sendiri atau orang lain merujuk kepada suatu kewajiban
yang sebenarnya ditujukan kepada diri sendiri dan terhadap orang lain. Hormat terhadap diri sendiri dan
orang lain atau sesama berarti bahwa manusia wajib memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain
sebagai bernilai. Hal ini didasarkan pada prinsip umum bahwa manusia merupakan pusat dari segala
pengertian, kehendak, memiliki kebebasan, dan suara hati serta merupakan insan yang berakal budi.
Model Etika Dalam Bisnis
Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara
para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya.
1. Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-
prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak
mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun
bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya
memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan
dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu
menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam
menjalankan bisnisnya.
2. Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen.
Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan
tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama,
manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer
yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung
atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan
bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer
tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas
bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih
berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam
beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya
memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar
etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan
efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi
kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari
pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.
Widyahartono (1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis dan etika
adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai berikut :
Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego-
pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat berbeda dari aturan yang
ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada dalam
posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang
menghasilkan segala cara.
Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku
dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru menyatakan bahwa
praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri
itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi
tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan
mematikan usaha mencapai laba.
3. Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen.
Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala
bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan
mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam
kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam
bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada
dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku.
Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan
tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer
yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan
aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.
BAB II Tinjauan Pustaka : Pengaruh Etika Confucius Terhadap Kewirausahaan, Kemampuan Usaha dan Kinerja Usaha Pedagang Eceran Etnis Tionghoa di Surabaya
Category: DISERTASIPublished on SUNDAY, 13 JANUARY 2013 22:26 Written by JS.DRS.ONGKY SETIO KUNCONO, MM, MBAHits: 1073
Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM, MBA
Manajemen Strategis
Strategi sebagai sebuah kosa kata pada mulanya berasal dari bahasa Yunani, yaitu ’strategos’. Kata
’strategos’ berasal dari kata stratus yang berarti militer dan ‘ag’ yang artinya pemimpin (Purnomo dan
Zulkieflimansyah, 2005:8 dalam Triton, 2011:13).
Oxford English Dictionary memperkuat pernyataan bahwa strategi dalam konteks bahasa lebih dekat
dengan bidang kemiliteran. Strategi menurut Oxford English Dictionary mengandung arti sebagai ‘the art
of commander-in-chief: the art of projecting and directing the larger military movements and operationsof
a campaign” (seni seorang panglima tertinggi: seni memproyeksikan dan mengarahkan gerakan-gerakan
yang lebih besar dari militer dan pengoperasian suatu kampanye). Arti kata disini menunjukkan relasional
yang lemah dengan penggunaannya dalam bisnis dan manajemen.
Amstrong (2003:39-42) dalam Triton (2011:16) menambahkan setidaknya terdapat tiga pengertian
strategi, yaitu: Pertama, strategi merupakan deklarasi maksud yang mendefinisikan cara untuk mencapai
tujuan, dan memperhatikan dengan sungguh sungguh alokasi sumber daya perusahaan yang penting
untuk jangka panjang dan mencocokkan sumberdaya dan kapabilitas dengan lingkungan ekternal.
Kedua, strategi merupakan perspektif dimana isu krisis atau faktor keberhasilan dapat dibicarakan, serta
keputusan strategis bertujuan untuk membuat dampak yang besar serta jangka panjang kepada perilaku
dan keberhasilan organisasi. Ketiga, strategi pada dasarnya adalah mengenai penetapan tujuan (tujuan
strategis) dan mengalokasikan atau menyesuaikan sumber daya dengan peluang (strategi berbasis
sumber daya) sehingga dapat mencapai kesesuaian strategis antara tujuan strategis dan basis sumber
dayanya.
Strategi merupakan pilihan kritis untuk perencanaan dan penerapan serangkaian rencana tindakan dan
alokasi sumber daya yang penting dalam mencapai tujuan dasar dan sasaran, dengan memperhatikan
keunggulan kompetitif, komparatif, dan sinergis yang ideal berkelanjutan, sebagai arah, cakupan, dan
perspektif jangka panjang keseluruhan yang ideal dari individu atau organisasi.
Strategi memperhatikan dengan sungguh-sungguh arah jangka panjang dan cakupan organisasi. Strategi
juga secara kritis memperhatikan dengan sungguh-sungguh posisi organisasi itu sendiri dengan
memperhatikan lingkungan dan secara khusus memperhatikan pesaingnya. Strategi memperhatikan
secara sungguh-sungguh tentang keunggulan kompetitif, yang secara ideal berkelanjutan sepanjang
waktu, tidak dengan manufer teknis, tetapi dengan menggunakan perspektif jangka panjang secara
keseluruhan.
Adapun manajemen strategis menurut David (2009:5) dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan
dalam merumuskan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi keputusan-keputusan lintas-fungsional
yang memampukan sebuah organisasi mencapai tujuannya. Sebagaimana disiratkan oleh definisi ini,
manajemen strategis berfokus pada usaha untuk mengintegrasikan manajemen, pemasaran,
keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi komputer
untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Robinson (2009:5) mendefinisikan manajemen strategis (strategic management) sebagai satu set
keputusan dan tindakan yang menghasilkan formulasi dan implementasi rencana yang dirancang untuk
meraih tujuan suatu perusahaan. Selanjutnya Robinson mengelompokkan manajemen strategis menjadi
sembilan tugas penting, yakni :
1. Merumuskan misi perusahaan, termasuk pertanyaan yang luas mengenai maksud, filosofi, dan
sasaran perusahaan.
2. Melakukan suatu analisis yang mencerminkan kondisi dan kapabilitas internal perusahaan.
3. Menilai lingkungan eksternal perusahaan, termasuk faktor persaingan dan faktor kontekstual umum
lainnya.
4. Menganalisis pilihan-pilihan yang dimiliki oleh perusahaan dengan cara menyesuaikan sumber
dayanya dengan lingkungan eksternal.
5. Mengindentifikasikan pilihan paling menguntungkan dengan cara mengevaluasi setiap pilihan
berdasarkan misi perusahaan.
6. Memilih satu set tujuan jangka panjang dan strategi utama yang akan menghasilkan pilihan paling
menguntungkan tersebut.
7. Mengembangkan tujuan tahunan dan strategi jangka pendek yang sesuai dengan tujuan jangka
panjang dan strategi utama yang telah ditentukan.
8. Mengimplementasikan strategi yang telah dipilih melalui alokasi sumberdaya yang dianggarkan,
dimana penyesuaian antara tugas kerja, manusia, struktur, teknologi, dan sistem penghargaan
ditekankan.
9. Mengevaluasi keberhasilan proses strategis sebagai masukan pengambilan keputusan di masa
mendatang.
Sebagaimana diindikasikan oleh sembilan tugas tersebut, manajemen strategis mencakup perencanaan,
pengarahan, pengorganisasian dan pengendalian atas keputusan dan tindakan terkait strategi
perusahaan. Strategi diartikan bagi manajer adalah rencana yang memiliki skala besar, dengan orientasi
masa depan, guna berinteraksi dengan kondisi persaingan untuk pencapaian tujuan perusahaan, baik
tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Strategi merupakan rencana permainan
perusahaan (taktik perusahaan). Meskipun tidak merinci seluruh pemanfaatan SDM, keuangan, dan
material di masa depan. Rencana tersebut menjadi kerangka bagi keputusan manajerial. Strategi
mencerminkan pengetahuan perusahaan mengenai bagaimana, kapan, dan dimana perusahaan akan
bersaing dengan siapa perusahaan sebaliknya bersaing dan tujuan apa perusahaan harus bersaing.
Jauch dan Glueck (1999) mengatakan manajemen strategik (strategic management) merupakan arus
keputusan dan tindakan yang mengarah pada perkembangan suatu strategi, atau strategi-strategi yang
efektif untuk membantu mencapai sasaran perusahaan. Proses manajemen strategis ialah cara dengan
jalan mana para perencana strategi menemukan sasaran dan membuat kesimpulan strategis. Keputusan
strategis (strategic decision) merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir. Keputusan ini mencakup
definisi tentang bisnis, produk dan pasar yang harus dilayani, fungsi yang harus dilaksanakan dan
kebijaksanaan utama yang diperlukan untuk mengatur dalam melaksanakan keputusan ini demi
mencapai sasaran.
Gunigle dan Moore (1994) mengatakan manajemen strategis berkaitan dengan keputusan kebijakan
yang akan mempengaruhi seluruh organisasi, mempengaruhi seluruh sasaran sehingga menempatkan
organisasi untuk mengatasi lingkungan secara efektif.
Manajemen strategik diartikan sebagai usaha manajerial menumbuh-kembangkan kekuatan perusahaan
untuk mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang telah
ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan. Pengertian ini membawa implikasi bahwa
perusahaan berusaha mengurangi kelemahannya, dan berusaha melakukan adaptasi dengan lingkungan
bisnisnya serta berusaha mengurangi efek negatif yang ditimbulkan oleh ancaman bisnis.
Strategi sebagai suatu rencana dasar yang luas dari suatu tindakan organisasi untuk mencapai suatu
tujuan, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Dengan demikian, dapat disimpulkan
strategi adalah suatu kesatuan rencana perusahaan yang menyeluruh, lengkap (komprehensif), dan
terpadu yang digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan. Sedangkan manajemen strategik adalah
suatu tindakan manajerial yang mencoba untuk mengembangkan potensi perusahaan di dalam
mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan
berdasarkan misi yang telah ditetapkan. Implikasi dari pengertian tersebut adalah perusahaan berusaha
meminimalkan kekurangan (kelemahan), dan berusaha melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar,
baik mikro maupun makro. Definisi tersebut juga menunjuk bahwa perusahaan berusaha untuk
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh ancaman-ancaman bisnis sehingga perusahaan akan
bisa berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
1. Manajemen Strategik Sebagai Proses
Proses manajemen strategi terdiri atas tiga tahap, yaitu: perumusan strategi, penerapan strategi, dan
penilaian strategi. Perumusan strategi mencakup pengembangan visi dan misi, identifikasi peluang dan
ancaman eksternal suatu organisasi, kesadaran akan kekuatan dan kelemahan internal, penetapan
tujuan jangka panjang, pencarian strategi-strategi alternatif, dan pemilihan strategi tertentu untuk
mencapai tujuan. Isu-isu perumusan strategi mencakup penentuan bisnis apa yang akan dimasuki.
Keputusan perumusan strategi mendorong suatu organisasi untuk komit pada produk , pasar,
sumberdaya, dan teknologi spesifik selama kurun waktu yang lama. Strategi menentukan keunggulan
kompetitif jangka panjang.
Manajemen strategik sebagai suatu proses mengandung beberapa implikasi penting. Pertama, suatu
perubahan pada sembarang komponen akan mempengaruhi beberapa atau semua komponen yang lain.
Kebanyakan tanda panah dalam model ini menunjuk ke dua arah, mengisyaratkan bahwa arus informasi
biasanya ulang-alik. Sebagai contoh, kekuatan-kekuatan dalam lingkungan ekstern dapat mempengaruhi
sifat misi perusahaan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi lingkungan ekstern dan mempertajam
persaingan di medan operasinya (Robinson 2009:20).
Lingkungan ekstern telah mempengaruhi misi perusahaan, dan misi ini mengisyaratkan adanya kondisi
persaingan tertentu dalam lingkungan. Kedua, dari memandang manajemen strategik sebagai suatu
proses bahwa penurunan dan implementasi strategi terjadi secara berurutan. Proses dimulai dengan
pengembangan atau re-evaluasi misi perubahan. Langkah ini berkaitan dengan pembuatan profil
perusahaan dan penilaian terhadap lingkungan eksternal. Kemudian mengikuti secara berurutan: pilihan
strategik, penetapan sasaran jangka panjang, rancangan strategi umum, penetapan sasaran jangka
pendek, rancangan strategi operasional, pelembagaan strategi, serta tinjauan dan evaluasi.
Proses yang tampaknya kaku ini perlu dijelaskan. Pertama, sosok strategik suatu perusahaan mungkin
perlu di re-evaluasi sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan pada faktor-faktor penting yang
menentukan atau mempengaruhi kinerjanya.
Kedua, tidak setiap komponen proses manajemen strategik menerima perhatian yang sama pada setiap
kali kegiatan perencanaan dilakukan. Perusahaan yang berada dalam lingkungan yang sangat stabil
mungkin tidak perlu melakukan penilaian situasi secara mendalam setiap lima tahun. Perusahaan
seringkali sudah puas dengan rumusan misi semula meskipun usianya sudah berpuluh-puluh tahun dan
hanya menggunakan sedikit waktu untuk membahas soal ini. Selain itu, meskipun perencanaan strategik
formal mungkin hanya dilakukan lima tahun sekali, tetapi sasaran dan strategi mungkin diperbaharui
setiap tahun, dan penilaian kembali yang diteliti pada tahap-tahap awal perencanaan strategik jarang
sekali dilakukan pada kesempatan itu.
Ketiga, akibat memandang manajemen strategik sebagai suatu proses adalah perlunya umpan balik dari
pelembagaan, tinjauan ulang (review), dan evaluasi terhadap tahap-tahap awal proses. Umpan balik
(feedback) didefinisikan sebagai kumpulan hasil pasca-implementasi untuk memperkokoh pengambilan
keputusan di masa yang akan datang. Karenanya, seperti ditunjukkan pada gambar, manajer strategik
harus menilai dampak strategi yang diimplementasikan terhadap lingkungan ekstern. Jadi perencanaan
yang akan datang dapat mencerminkan setiap perubahan yang disebabkan oleh tindakan tindakan
strategik. Manajemen strategik menganalisa dampak strategi terhadap kemungkinan perlunya modifikasi
perusahaan.
Keempat, bagaimana memandang manajemen strategis sebagai proses adalah kebutuhan untuk
menanggapi manajemen strategis sebagai sistem yang dinamis. Istilah dinamis (dynamic)
menggambarkan kondisi perusahaan secara terus menerus yang mempengaruhi aktivitas strategis yang
saling bergantung dan berkaitan.
2. Komponen Manajemen Strategik
Suwarsono (1996) dalam Welsa (2009:24) mengatakan bahwa komponen Manajemen Strategik adalah :
1. Analisis lingkungan bisnis yang diperlukan untuk mendeteksi peluang dan ancaman bisnis.
2. Analisis profil perusahaan untuk mengindentifikasi kekuatan dan kelemahan perusahaan.
3. Strategi bisnis yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan memperhatikan misi
perusahaan.
Hubungan lingkungan bisnis dan profil perusahaan memberikan indikasi pada apa yang mungkin dapat
dikerjakan (what in possible). Dari sini posisi perusahaan di pasar dapat diketahui. Sedangkan
keterkaitan antara analisis lingkungan bisnis, profil perusahaan, dan misi perusahaan menunjukkan pada
apa yang diinginkan (what is desired) oleh pemilik dan manajemen perusahaan.
3. Tahap Penyusun Strategi Manajemen
Penyusunan strategi adalah individu-individu yang paling bertanggungjawab bagi keberhasilan atau
kegagalan sebuah organisasi. Penyusunan strategi membantu sebuah organisasi mengumpulkan,
menganalisis, serta mengorganisasi informasi. Mereka melacak kecenderungan-kecenderungan industri
dan kompetitor, mengembangkan model peramalan dan analisis skenario, mengevaluasi kinerja korporat
dan individual, mencari peluang-peluang pasar, mengidentifikasi ancaman terhadap bisnis, dan
mengembangkan rancangan aksi yang kreatif. Para perencana strategis umumnya berperan sebagai
pendukung atau staf. Para penyusun strategi berbeda-beda dalam hal sikap, nilai-nilai, etika, kesediaan
untuk mengambil resiko, memperhatikan tanggungjawab sosial, keuntungan, tujuan jangka pendek
versus tujuan jangka panjang, dan gaya manajemen.
a. Visi Perusahaan
Banyak organisasi dewasa ini mengembangkan suatu pertanyaan visi untuk menjawab pertanyaan, ”Kita
ingin menjadi seperti apa?“ Mengembangkan visi sering dipandang sebagai langkah pertama dalam
perencanaan strategis, bahkan mendahului pembuatan pernyataan misi (David, 2009:16).
Visi manajemen merupakan suatu perspektif gambaran besar yang diinginkan tentang : siapa kita ini
sebenarnya (who we are), apa yang kita kerjakan (what we do) dan kemana kita akan pergi (where we
are headed) (Hariadi, 2003 dalam Welsa 2009:30).
Visi merupakan gambaran perubahan pada masa datang yang ingin kita ciptakan. Sedangkan, misi
adalah jalan yang perlu ditempuh (the chosen track) agar visi dapat tercapai. Misi berfungsi sebagai peta
dalam perjalanan organisasi untuk mencapai cita-cita yang diharapkan tercapai pada masa akan datang.
Setiap organisasi harus berusaha merumuskan misi dan visi dalam hidupnya agar mampu menciptakan
keyakinan (core beliefs) pada setiap anggota organisasi akan kebenaran cita-citanya serta nilai-nilai
mulia (core values) yang terkandung didalamnya.
Suatu visi strategi yang baik dalam pikiran merupakan syarat untuk menjalankan kepemimpinan strategis
yang efektif (efective, strategic, leadership). Seorang pemimpin harus punya konsep mengenai apa yang
harus dilakukan organisasi dan yang tidak perlu dilakukan untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
Seorang pemimpin yang baik mampu mengungkapkan realita sebenarnya yang dihadapi organisasi
berupa kekuatan yang dimiliki, kelemahan yang diatasi, peluang terbuka yang harus diraih, dan ancaman
yang dapat menggagalkan rencana organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
b. Misi Perusahaan
Misi perusahaan (company mission) adalah peryataan luas mengenai niat suatu perusahaan. Misi ini
mencakup filosofi dari para pengambil keputusan strategis perusahaan, menyatakan citra yang ingin
diproyeksikan oleh perusahaan, mencerminkan konsep diri perusahaan, dan mengindikasikan bidang
produk atau jasa utama perusahaan, serta kebutuhan utama konsumen yang berusaha untuk dipenuhi
oleh perusahaan.
Menurut Robinson (2009:32) misi umumnya menggambarkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Mengapa perusahaan berada dalam bisnis ini?
2. Apa saja yang menjadi sasaran ekonomis perusahaan?
3. Apakah filosofi operasi perusahaan dalam hal kualitas, citra, serta konsep diri perusahaan?
4. Apakah kopetensi inti dan keunggulan kompetitif perusahaan?
5. Apakah yang dilakukan oleh pelanggan perusahaan dan apakah perusahaan dapat melayani
mereka?
6. Bagaimana perusahaan memandang tanggungjawabnya terhadap pemegang saham, karyawan,
masyarakat, lingkungan, masalah sosial, dan pesaing?
Bisnis pada umumnya dimulai dengan keyakinan, keinginan, dan aspirasi seorang pengusaha. Misi
seseorang pemilik sekaligus manajer tersebut biasanya didasarkan pada keyakinan dasar sebagai
berikut :
1. Produk atau jasa perusahaan yang memberikan manfaat paling tidak sesuai dengan harganya.
2. Produk atau jasa perusahaan dapat memuaskan kebutuhan konsumen dari segmen pasar tertentu
yang saat ini belum terpuaskan secara memadai
3. Teknologi yang digunakan dalam produksi atau menghasilkan produk atau jasa yang kompetitif dari
segi biaya maupun kualitas.
4. Dengan kerja keras dan dukungan pihak lain, perusahaan tersebut tidak hanya dapat bertahan
melainkan juga akan tumbuh dan menghasilkan laba
5. Filosofi manajemen perusahaan akan menghasilkan citra publik yang menguntungkan serta
menyediakan manfaat keuangan dan psikologi bagi mereka yang bersedia menginvestasikan
tenaga dan uangnya untuk membantu perusahaan meraih keberhasilan.
6. Konsep diri pengusaha mengenai bisnis tersebut dapat dikomunikasikan kepada dan diadopsi oleh
para karyawan dan pemegang saham.
Pernyataan misi ini akan menyatakan jenis produk atau jasa dasar yang akan ditawarkan, pasar atau
kelompok pelanggan utama yang akan dilayani: teknologi yang digunakan dalam produksi atau distribusi,
pandangan utama perusahaan mengenai kelangsungan hidupnya melalui pertumbuhan dan profitabilitas;
filosofi manajerial perusahaan; citra publik yang diinginkan oleh perusahaan; serta konsep diri yang harus
dimiliki oleh para pihak yang terkait denggan perusahaan.
c. Sasaran Jangka Panjang
Tujuan dapat didefinisikan sebagai hasil-hasil spesifik yang ingin diraih oleh suatu organisasi terkait
dengan misi dasarnya. Jangka panjang berarti lebih dari satu tahun. Tujuan sangat penting bagi
keberhasilan oeganisasional sebab menyatakan arah; membantu dalam evaluasi; menciptakan sinergi;
menjelaskan prioritas; memfokuskan koordinasi; dan menyediakan landasan bagi aktivitas
perencanaaan, pengorganisasian, pemotivasiaan, serta pengontrolan.
Para manajer strategik menyadari bahwa maksimasi laba jangka pendek jarang sekali merupakan cara
terbaik untuk melestarikan pertumbuhan dan kemampulabaan perusahaan. Tujuan perusahaan yang
pokok adalah kelangsungan hidup melalui pertumbuhan dan profitabilitas yang harus menjadi kriteria
utama dalam pengambilan keputusan strategis. Pertumbuhan suatu perusahaan sangat terikat dengan
kelangsungan bisnis serta profitabilitasnya. Para manajer strategis mengakui bahwa memaksimalkan
laba jangka pendek jarang menjadi pendekatan terbaik untuk mencapai pertumbuhan dan frofitabilitas
berkelanjutan perusahaan.
Robinson (2009:250) memberikan ilustrasi bahwa lebih baik memberi pancing dari pada ikan. Jika orang
miskin diberi makanan, mereka akan memakan makanan itu dan tetap miskin. Jika diberi pancing serta
umpan dan diajari cara memancing, mereka dapat memperbaiki kondisi mereka secara permanen.
Pilihan serupa yang dihadapi oleh para pembuat keputusan strategis adalah :
1. Apakah mereka sebaiknya menjual pancing dan umpan yang diberikan guna memperbaiki
gambaran laba jangka pendek serta membayar deviden dalam jumlah besar yang diperoleh dari
tindakan tindakan penghematan biaya seperti menghentikan pekerja selama periode permintaan
yang rendah, menjual habis persediaan,atau mengurangi anggaran pengembangan dan penelitian?
2. Apakah mereka sebaiknya mulai melemparkan tali pancing yang sudah diberi umpan ke sungai
untuk memperoleh imbalan jangka panjang dengan cara menginvestasikan kembali laba pada
peluang pertumbuhan, membuat komitmen atas sumberdaya untuk pelatihan karyawan, atau
menambah pengeluaran iklan?
Bagi kebanyakan manajer strategis, solusinya adalah mendistribusikan sejumlah kecil laba saat ini tetapi
menanamkan kembali sebagian besar dari laba tersebut untuk meningkatkan kemungkinan perolehan
laba dalam jangka panjang. Inilah alasan yang paling sering digunakan dalam memilih tujuan.
Robinson (2009:251) mengatakan untuk mencapai kemakmuran jangka panjang, para perencana
strategis umumnya menetapkan tujuan jangka panjang dalam tujuh bidang yaitu :
1. Profitabilitas
Kemampuan dari perusahaan untuk beroperasi dalam jangka panjang bergantung pada tingkat perolehan
laba yang memadai. Perusahaan yang dikelola secara strategis pada umumnya memiliki tujuan laba,
yang biasanya dinyatakan dalam laba per saham atau tingkat pertumbuhan atau ekuitas.
2. Produktivitas
Para manajer strategis secara terus menerus mencoba meningkatkan produktivitas sistem mereka.
Perusahaan yang dapat memperbaiki hubungan input-output pada umumnya dapat meningkatkan
profitabilitas. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan hampir selalu menyatakan suatu tujuan
produktivitas. Tujuan produktivitas yang umum digunakan adalah jumlah barang yang diproduksi atau
jumlah jasa yang diberikan per unit imput. Namun tujuan produktivitas kadangkala dinyatakan dalam
bentuk penurunan yang diinginkan. Misalnya, tujuan dapat diterapkan untuk mengurangi produk cacat,
keluhan pelanggan yang mengarah pada litigasi, atau lembur. Pencapaian atas tujuan semacam ini
meningkatkan profitabilitas jika jumlah unit output yang dihasilkan tetap.
3. Posisi Kompetitif
Salah satu ukuran keberhasilan adalah dominasi relatifnya di pasar. Perusahan-perusahaan yang lebih
besar pada umumnya menetapkan tujuan dalam hal posisi kompetitif, seringkali menggunakan penjualan
total atau pangsa pasar sebagai ukuran posisi kompetitifnya. Tujuan yang berkaitan dengan posisi
kompetitif dapat mengindikasikan prioritas jangka panjang perusahaan.
4. Pengembangan karyawan
Karyawan menghargai pendidikan dan pelatihan, sebagian karena hal tersebut mengarah pada
kopensasi dan jaminan kerja yang lebih tinggi. Menyajikan peluang semacam itu seringkali meningkatkan
produktivitas dan mengurangi perputaran karyawan. Oleh karena itu, para pembuat keputusan strategis
seringkali memasukan tujuan pengembangan karyawan dalam rencana jangka panjangnya.
5. Hubungan dengan karyawan
Apakah terikat dengan kontrak serikat pekerja atau tidak, perusahaan-perusahaan secara aktif mencoba
mengembangkan hubungan baik dengan karyawannya. Bahkan, langkah langkah proaktif dalam
mengantisipasi kebutuhan dan harapan karyawan merupakan karakteristik dari manajer strategis. Para
manajer strategis yakin bahwa produktivitas berhubungan dengan loyalitas karyawan dan apresiasi atas
perhatian manajer terhadap kesejahteraan karyawan. Oleh karena itu mereka menetapkan tujuan untuk
memperbaiki hubungan dengan karyawan. Beberapa tujuan itu mencakup program keselamatan kerja,
perwakilan pekerja dalam komite manajemen, dan rencana kompensasi berbasis saham.
6. Kepemimpinan Teknologi
Perusahaan harus memutuskan apakah akan menjadi pemimpin atau hanya menjadi pengikut di pasar.
Setiap pendekatan dapat berhasil, tetapi masing-masing membutuhkan postur strategi yang berbeda.
Oleh karena itu, banyak perusahaan menyatakan suatu tujuan berkaitan dengan kepemimpinan
teknologi.
7. Tanggungjawab kepada masyarakat
Para manajer memahami tanggung jawab mereka terhadap pelanggan dan masyarakat secara umum.
Bahkan, banyak perusahaan mencoba memenuhi tanggung jawab sosialnya terlampaui persyaratan
pemerintah. Perusahan-perusahan tersebut bukan hanya untuk mengembangkan reputasi sebagai
produsen dari produk dan jasa dengan harga yang layak, melainkan juga menjadi warga negara yang
bertanggungjawab.
d. Filosofi Perusahaan
Pernyataan mengenai filosofi suatu perusahaan, seringkali disebut kredo perusahaan (company creed),
biasanya menyertai atau muncul dalam pernyataan misi. Kredo perusahaan mencerminkan atau
menspesifikasikan keyakinan, nilai, aspirasi, dan prioritas filosofi dasar yang menjadi komitmen para
pengambil keputusan strategis dalam mengelola perusahaan. Untungnya, filosofi ini hanya sedikit
bervariasi dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Pemilik dan manajer secara implisit menerima suatu
etika perilaku umum, yang tidak tertulis namun mengikat, yang mengatur tindakan bisnis serta
memungkinkan tindakan bisnis tersebut untuk mengatur diri sendiri. Namun, pernyataan filosofi
perusahaan seringkali sederhana dan terlalu umum sehingga lebih mirip publikasi humas, bukan
komitmen terhadap nilai yang merupakan tujuan awalnya.
e. Jati Diri Perusahaan
Penentu utama keberhasilan suatu perusahaan adalah sejauh mana perusahaan tersebut dapat berelasi
secara fungsional dengan lingkungan eksternalnya. Untuk memperoleh posisi yang layak dalam situasi
yang kompetitif, perusahaan harus secara realitis mengevaluasi kekuatan dan kelemahan kompetitifnya.
Gagasan ini bahwa perusahaan harus mengenal dirinya sendiri merupakan inti dari konsep diri
perusahaan. Pemikiran ini tidak terlalu terintegrasi dengan teori manajemen strategis, meskipun arti
pentingnya bagi individu telah diakui sejak lama (Robinson, 2009:39). Akibatnya, beberapa kasus,
perusahaan memiliki kepribadiannya sendiri. Sebagian besar perilaku di perusahaan berbasis organisasi.
Hal ini berarti suatu perusahaan bertindak atas nama anggotanya dengan cara yang berbeda dari
interaksi individual. Dengan demikian, perusahaan merupakan entitas yang kepribadiannya lebih penting
dibandingkan kepribadian anggotanya.
Secara sederhana, jati diri merupakan refleksi inti strategi. Ada perusahaan yang menyatakan diri
sebagai perusahaan terdiversifikasi, berkemampuan kewirausahaan yang unggul, dan memiliki banyak
unit usaha yang otonom. Dengan bekal tersebut perusahaan bersaing dengan perusahaan lain. Ada juga
perusahaan yang menyatakan diri sebagai perusahaan yang selalu siap bersaing dengan cara
memberikan keleluasaan penuh pada manajemen dan karyawan untuk mengembangkan energi kreatif
yang dimiliki. Ada juga perusahaan yang bersaing dengan cara unggul dalam teknologi. Oleh karena itu
perusahaan memberikan tekanan pada strategi diferensiasi. Harga bukan merupakan faktor yang amat
diperhatikan. Ada pula perusahaan yang mengandalkan mutu pelayanan yang diberikan dengan
memberikan jaminan kepuasan kepada konsumen.
f. Analisis dan Pilihan Strategis
Welsa (2009:39) mengatakan bahwa analisis dan pilihan strategis merupakan langkah dalam proses
manajemen strategik yang dilakukan manajer untuk mempertimbangkan alternatif-alternatif strategi dan
pemilihan mana yang akan digunakan perusahaan. Langkah-langkah ini biasanya berupa pemilihan
bidang usaha (bisnis) yang akan diterjuni perusahaan dan kemudian pemilihan strategi bersaing yang
akan digunakan oleh masing-masing kegiatan bisnis. Analisis dan pemilihan strategik setiap korporasi
berbeda-beda menurut kompleksitas ketertiban bisnis dari keseluruhan perusahaan. Bagi perusahaan
yang berada dalam satu lini bisnis, strateginya berkaitan dengan keputusan apakah akan berkonsentrasi
hanya pada lini bisnis tersebut atau melibatkan diri dalam lini bisnis yang lain, baik yang terkait ataupun
yang tidak terkait. Bagi perusahaan yang sudah terlibat dalam beberapa lini bisnis, strateginya berkaitan
dengan keputusan apakah akan menambah atau mengurangi keterlibatan dalam suatu lini bisnis dan
apakah akan melibatkan diri dalam lini bisnis lain baik yang terkait ataupun tidak. Salah satu cara untuk
menentukan analisis dan pemilihan strategi adalah melihat pada evolusi strategi dimana yang lazim
perusahaan perusahaan kebanyakan mulai dari satu lini bisnis. Strategi ini menawarkan keuntungan
yang menarik, memperkuat kesatuan tujuan di seluruh perusahaan. Strategi ini biasanya dipimpin oleh
manajer puncak yang telah merangkak dari bawah dan sangat mengetahui apa yang membuat
perusahaan berhasil. Strategi ini membuat perusahaan-perusahaan peka terhadap perubahan-perubahan
kebutuhan pelanggan dan kondisi industri lain. Oleh karenanya perusahaan berpeluang membangun
keunggulan bersaing yang tangguh.
g. Sumber Daya Perusahaan
Amirullah dan Cantika (2002) dalam Welsa (2009: 41) mendefinisikan sumber daya perusahaan adalah
merupakan input proses produksi perusahaan seperti halya barang modal, kemampuan pekerja, paten,
keuangan, pemasaran, produksi, serta manajer yang berbakat. Sumber daya dapat dikelompokkan
menjadi dua macam. Pertama, sumberdaya yang berwujud (tangible) yang merupakan aktiva perusahaan
yang dapat dilihat, disentuh dan dihitung. Kedua, sumber daya yang tidak berwujud (intangible) yang
meliputi hak properti intelektual seperti paten, merk dagang, hak cipta hingga sumberdaya manusia
dalam kaitannya sebagai bagian dari masyarakat dan subyektif seperti jaringan kerja, budaya organisasi,
dan reputasi perusahaan.
Dalam kerangka kajian manajemen sumber daya manusia (SDM) disamping kualitas inti, fleksibilitas dan
integritas strategis perlu dikaji secara seksama tentang komitmen yang tinggi dalam rangka sukses
organisasi. Sejalan dengan itu beberapa organisasi yang sukses secara menakjubkan di dunia modern
telah mengakui bahwa motivasi dan komitmen pekerja merupakan senjata yang paling kompetitif dan
ampuh.
h. Kemampuan Perusahaan
Amirullah dan Cantika (2002) dalam Welsa (2009:42) mengatakan bahwa kemampuan perusahaan
adalah kapasitas perusahaan dalam menggunakan sumber daya yang terintegrasi untuk mencapai apa
yang diharapkan. Sejumlah pengetahuan manusia dan modal merupakan salah satu kemampuan
perusahaan yang paling signifikan dan merupakan akar dari segala keunggulan bersaing. Pengetahuan
manusia dipandang sebagai penjumlahan segala sesuatu yang diketahui setiap orang dalam perusahaan
yang memberikan perusahaan tersebut memiliki kemampuan bersaing dalam pasar.