Post on 20-Oct-2020
DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI INDONESIA
(Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)
Skripsi Diajukan pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Oleh
Eko Prasetyo NIM: 107033203181
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1434H/ 2013M
LEMBAR PERNYATAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 Juni 2013
Eko Prasetyo
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Eko Prasetyo
NIM : 1070 3320 3181
Program Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan Skripsi dengan judul:
DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI
INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel
Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)
dan telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 16 September 2013
Mengetahui Ketua Program Studi Ali Munhanif Ph.D. NIP 196512121992031004
Menyetujui Pembimbing M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI DEMOKRASI DAN PROBLEM KEPEMIMPINAN POLITIK DI
INDONESIA (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)
Oleh
Eko Prasetyo 107033203181
Telah dipertahankan dalam ujian Skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program Ilmu Politik. Ketua, Ali Munhanif Ph.D. NIP. 196512121992031004
Sekretaris, M. Zaki Mubarak M.Si. NIP 197309272005011008
Penguji I, Drs. Armein Daulay M.Si. NIP. 130892961
Penguji II Agus Nugraha M.A. NIP. 196808012000031001
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 29 Oktober 2013. Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta Ali Munhanif Ph.D. NIP. 196512121992031004
i
ABSTRAK
EKO PRASETYO
Demokrasi dan Problem Kepemimpinan Politik di Indonesia (Pemikiran Politik Politisi Muda: Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) Skripsi ini menganalisa pemikiran politik empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik kaum muda di Indonesia. Penelitian skripsi dilakukan secara kualitatif, dengan metode pengumpulan data perpustakaan dan wawancara, sedangkan untuk kerangka teori penulis menggunakan teori demokrasi dan teori kepemimpinan politik.
Penulis menemukan, bahwa demokrasi kita semenjak merdeka sampai sekarang masih mengalami transisi dan dievaluasi serelevan mungkin agar sesuai dengan karakter bangsa yang Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana tujuan pokok ke depannya, demokrasi tidak sekedar dalam basis politik, melainkan berkehidupan sehari-hari. Meskipun diakui proses pendewasaan demokrasi di Indonesia diwarnai kecurangan, dari yang berwatak otoriter, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan dalam kepemimpinan politik kaum muda, Indonesia terhenti sampai era Soeharto, ia dengan kekuasaannya membuat regenerasi suram, konsekuensinya pasca pelengserannya sampai sekarang pemimpin politik kalangan muda tidak terealisasikan, pos-pos strategis politik masih diisi pemimpin tua, sedangkan pemuda Reformasi setia menunggu giliran. Padahal tujuan terbesar munculnya pemuda dalam kepemimpinan politik tidak didasari regenerasi semata, tetapi dengan bergantinya pemimpin tua pada yang muda, dipastikan akan melahirkan ide segar dan baru, serta normalisasi kepemimpinan politik di Indonesia, karena pemimpin politik ideal adalah kurun usia 35 tahun sampai 55 tahun, selebihnya cukup jadi negarawan dan tidak perlu di parlement. Empat politis muda menghendaki itu, pemuda memiliki semangat dan stamina lebih panjang dari yang tua, pemuda tidak kenal kompromi dan sanggup melawan resiko, meskipun dibalik watak mulia tersebut pemuda memiliki watak negatif, seperti pragmatisme politik dan menjadi politisi kutu loncat. Keywords: demokrasi, pemuda, pemimpin, politik
ii
KATA PENGANTAR
Alḥamdulillāh dengan raḥmat Allāh yang Esa pada akhirnya skripsi tentang
problem demokrasi dan masalah kepemimpinan di Indonesia selesai dibuat. Karya
akademik selain sebagai syarat untuk menyelesaikan program S-1, juga merupakan
ujian bagi penulis tentang sejauh mana pemahaman penulis tentang ruang lingkup
politik selama menempuh kuliah pada Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari, dari sekian lama menempuh perkuliahan hingga dapat
menyelesaikan program S1 ini tidak mungkin berhasil tanpa adanya kontribusi-
kontribusi dari pihak lain baik materi maupun dukungan moral. Untuk itu dengan
tidak mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Jurusan Ilmu Politik bapak Ali Munhanif, Ph.D. dan sekretaris jurusan
Ilmu Politik sekaligus pembimbing bapak M. Zaki Mubarak M.Si. yang
banyak memberikan kritik dan saran juga dukungan moral pada penulis untuk
segera menyelesaikan skripsi.
3. Bapak, ibu, dan saudara di kampung, mereka dengan sabar memberikan
motifasi kepada penulis untuk menyelesaikan sekolah yang sangat panjang,
iii
dan tidak sedikit penulis dengan mereka melakukan perdebatan-perdebatan
tentang berakhirnya perjalanan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Seluruh staf akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Jajaran staf perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kawan-kawan Ilmu Politik angkatan 2005, 2006, 2007, 2008. Kalian semua
adalah bukti sejarah keberadaan penulis di kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Kepada semua yang tidak penulis sebutkan, penulis banyak mengucapkan
terimakasih.
Ciputat, 10 Juni 2013
Eko Prasetyo
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Pernyataan Masalah ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat ........................................................................... 10
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 11
E. Metode Penelitian ............................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 15
BAB II TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN .............. 17
A. Teori Demokrasi ................................................................................. 17
1. Demokrasi ............................................................................... 17
2. Model-model dan Jenis Demokrasi ....................................... 19
3. Demokrasi Negatif ................................................................. 22
B. Teori Kepemimpinan Politik ............................................................. 24
1. Definisi Kepemimpinan ......................................................... 24
2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan ..................................... 25
3. Model Kepemimpinan Demokrasi ........................................ 27
BAB III DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA ................................... 29
A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia .............................. 29
1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959 ........................ 30
2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965 ......................................... 33
3. Demokrasi Pancasila 1965-1998 ........................................... 36
v
4. Demokrasi Pasca Reformasi ................................................. 40
B. Biografi Empat Tokoh Politisi Muda ................................................ 43
1. Yuddy Chrisnandi .................................................................... 43
2. M. Fadjroel Rachman .............................................................. 46
3. Budiman Sudjatmiko ............................................................... 49
4. Fadli Zon .................................................................................. 53
BAB IV PROBLEM DEMOKRASI DAN KEPEMIMPIAN POLITIK KAUM
MUDA ................................................................................................. 58
A. Problem Demokrasi ............................................................................ 58
1. Problem Demokrasi Orde Baru dan Pasca Reformasi .......... 58
2. Argumentasi Rekonstruksi Demokrasi.................................... 66
B. Kepemimpinan Politik Kaum Muda ................................................. 73
1. Gerakan Kepemudaan dan Investasi Kepemimpinan Politik . 73
2. Program Kepemimpinan Politik Kaum Muda ....................... 83
3. Problem Kepemimpinan Politik Kaum Muda ....................... 88
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 92
A. Kesimpulan ......................................................................................... 92
B. Saran-Saran ......................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 95
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................... 104
1. Lampiran Pernyataan Wawancara ................................................... 107
2. Lampiran Teks Wawancara ............................................................... 112
3. Lampiran Foto Wawancara ............................................................... 132
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Kata “demokrasi” sangat familiar dalam kehidupan masyarakat, tidak
hanya menjadi bahan perbincangan bagi para sarjana-sarjana dan elite politik
bangsa, frasa kata “demokrasi” juga asyik diperbincangkan bagi mereka yang
duduk sambil minum kopi di pasar-pasar tradisional dan di pos kampling sambil
main kartu. Demokrasi sebagai sebuah kata yang memiliki arti melalui pemikiran
panjang dan kuno, seringkali penerapan katanya sangat tidak seimbang dengan
arti seharusnya. Mereka memahami demokrasi secara sederhana, demokrasi
diartikan segala sesuatu di tangan rakyat, rakyat dan keputusannya adalah hal
mutlak sebagai sebuah pemenang dan pemegang kekuasaan, sehingga demokrasi
selalu diartikan dalam ranah politik.1
Indonesia sebagai sebuah bangsa besar sejak merdeka telah mengenal
demokrasi, merdeka dan besar dengan demokrasi seharusnya menjadikan bangsa
Indonesia syarat pengalaman terhadap demokrasi, tapi praktiknya bisa kita lihat,
bahwa perjalanan bangsa dan negara Indonesia pasti masalah pokok yang
dihadapi adalah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara?, memang belum sepenuhnya hak-hak
kewarga negaraan terpenuhi, tapi setidaknya sedikit demi sedikit bangsa ini telah
melakukan transisi dari berbagai model demokrasi, yang terhitung ada empat fase
1 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 109.
2
model demokrasi pada negara Indonesia dengan berbagai macam problem di
dalamnya; pasca awal kemerdekaan periode demokrasi Parlementer 1945-1959,
demokrasi Terpimpin periode 1959-1965, demokrasi Pancasila periode 1965-
1998, dan demokrasi periode 1998 (Reformasi) hingga sekarang.2 Sederhananya
demokrasi Parlementer dan Terpimpin ada pada era Soekarno, demokrasi
Pancasila pada era Soeharto – baik keduanya dengan problem otoritarianisme dan
kediktatoran – dan terakhir model demokrasi Reformasi,3 adalah periode pasca
runtuhnya Soeharto yang di dalamnya diisi secara bergantian pemimpin negara
dari B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarno Putri, dan sekarang Susilo
Bambang Yudhoyono.
Demokrasi sampai sekarang – pasca Reformasi – masih menjadi topik dan
sangat digemari, dipastikan orang yang mendukung demokrasi jumlahnya lebih
besar daripada yang menolak demokrasi. Karena dalam prinsip demokrasi
merupakan sistem yang konstruktif dan mampu menjadikan keberbedaan bersuku,
beragama, dan berfikir ke arah yang sama, tanpa membedakan faktor-faktor dan
identitas sebagai pemisah, ini yang dicita-citakan masyarakat.4
Namun faktanya, lain istilah lain cara mempraktikkannya, praktik
demokrasi belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, banyak
dijanjikan dipimpin secara demokratis tapi merasa dirinya korban dari demokrasi,
2 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di
Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 61.
3 Lihat perbedaan problem masa Soekarno dan Soeharto pada M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”, 76.
4 Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 71.
3
sebab demokrasi hanya milik kalangan elite politik di Senayan dan golongan yang
dekat dengan itu. Problem Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tetap menjadi tradisi
sebagai kelanjutan masa Soeharto. Fadli Zon sampai memberikan kredit lebih atas
permasalahan demokrasi, jumlah mereka yang KKN pasca Reformasi lebih
banyak dibandingkan era Soeharto, KKN tidak lagi dilakukan kalangan elite
politik, bahkan sampai pada tahap masyarakat biasa. Soeharto sebagai presiden
telah mati, sedangkan politik demokrasi “Soehartois” bersemayam di Senayan.5
Dampaknya masyarakat di daerah seperti diabaikan, melihat begitu banyaknya
permasalahan konflik horisontal di daerah seperti seakan-akan dibiarkan dan tidak
ada tanggung jawab dari pemerintah pusat.
Hal semacam di atas membuat kecewa dan melahirkan kelompok-
kelompok baru mengatasnamakan dirinya perubahan dan pembaharuan.
Eksistensinya justru membuat posisi demokrasi di Indonesia dipertanyakan,
karena gerakan-gerakan itu cenderung separatis bertujuan untuk membentuk
negara baru, ini bisa dilihat atas berdirinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka),
Separatis Bintang Kejora atau OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan masih
banyak lagi bentuk makar atas kekecewaannya terhadap iming-iming demokrasi.
Selain organisasi makar, belakangan banyak ormas keagamaan dan organisasi
politik bersekala nasional ataupun internasional tumbuh subur di Indonesia, baik
organisasi politik fundamental dan kolot ataupun organisasi-organisasi radikal
atas nama gerakan stabilisator nilai beragama. Mereka menginginkan negara
5 A. Sonny Keraf “Tanggapan untuk Fadjroel Rachman: Demokrasi Butuh Kaum
Demokrat,” [artikel online]; tersedia di http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2657 &coid=3&caid=22&gid=2: Internet: diunduh pada 19 Februari 2013.
4
Indonesia tidak lagi menjadi negara bangsa dan meniadakan demokrasi sebagai
asas berbangsa.6
Problem seperti di atas telah menarik perhatian politisi Yuddy Chrisnandi,
M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan terlebih Fadli Zon untuk
menggagas tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Empat tokoh tersebut
memfokuskan argumentasinya tentang eksistensi demokrasi di Indonesia. Bangsa
ini sangat besar dan dihuni beribu-ribu suku dan corak orang di dalamnya,
demokrasi adalah jalan penting terselenggaranya kenegaraan yang kondusif dan
damai, melihat Bhineka Tunggal Ika sebagai kunci bernegara. Masa transisi dari
presiden lama ke presiden baru dianggap sebagai revisi demokrasi, dan hasilnya
penempatan dan relevansi dari substansi demokrasi di Indonesia semakin menjadi
baik.7
Namun di lain pihak, kendornya pemerintah menjamin dan membangun
ketegasan hukum yang kuat terhadap keberlangsungan korupsi, kolusi, nepotisme,
dan radikalisme telah menciderai demokrasi. Masyarakat banyak mengagungkan
kemerdekaan moral, ekonomi, dan sosial yang tanpa disadari mereka terjebak
dalam tindakan main hakim sendiri, sehingga hal itu seperti bentuk teror baru
yang mengganggu hak-hak demokrasi bagi individu dan golongan lain, belum lagi
6 MMI (Majelis Mujahiddin Indonesia) dan Hizbut Tahrir Indonesia adalah contoh,
sebuah ormas dan partai politik Internasional pemuja negara agama yang berhasil dan besar di negara berasas demokrasi, tapi justru mengingkari demokrasi karena dianggap sebagai sistem kafir. Hizbut Tahrir didirikan di al-Quds Jerusalem pada akhir 1952 dan awal 1953. Taqī al-Dīn al-Nabhānī sebagai pendiri sekaligus ketua partai [artikel online] tersedia di http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/; Internet; diunduh pada 10 Desember 2012.
7 Yuddy Chrisnandi, “Kemelut Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 51.
5
akibat konflik tersebut memicu ketidak setabilan di daerah. Konsekuensinya
mereka di daerah semakin miskin dan berlarut-larut dalam perang saudara.8
Runtuhnya otoritarianisme presiden Soeharto melalui gelombang
demonstrasi membawa perubahan. Meskipun disadari bahwa saat itu belum
difikirkan siapa yang berhak menggantikan Soeharto sebagai pemimpin, yang
jelas Soeharto harus turun dari jabatannya.9 Faktanya model demokrasi justru
digemari dan menjadi simbol besar terhadap perubahan bangsa. Transisi negara
justru lahir dari gerakan demokrasi yang ingin menempatkan dirinya serelevan
mungkin, selain yang perlu digaris bawahi mulai munculnya tokoh-tokoh baru
dalam politik bangsa Indonesia. Pembatasan sarana informasi oleh periode Orde
Baru mulai muncul dengan berbagai visi dan misinya, mulanya sekedar sebagai
sarana pencitraan nama baik pemerintah, sekarang menjadi alat kontrol bagi
kebijakan pemerintah dengan berbagai tayangan kritis dan kritiknya.10
Reformasi dengan bendera demokrasi telah melahirkan Individu-individu
kritis menjadi tokoh nasional, di antaranya nama-nama seperti Amien Rais dan
Abdurrahman Wahid sangat akrab saat Indonesia menjalani transisi dari negara
tidur menjadi negara yang mudah untuk berteriak. Meskipun diakui menjadi garda
depan perubahan masa Reformasi penuh resiko, termasuk menghadapi
8 “Fadli Zon: ‘Demokrasi Kriminal’ Akibat Lemahnya Desain Politik,” [berita online];
tersedia di http://www.antaranews.com/berita/356807/fadli-zon-demokrasi-kriminal-akibat-lemahnya-desain-politik; Internet; diunduh pada 20 Februari 2013.
9 David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 102.
10 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), 43
6
pembunuhan sangat terorganisir dan rapi.11 Keberadaan mereka tidak dapat
dilupakan, dari masa-masa kritis kepemimpinan Presiden B.J. Habiebie, Gus Dur,
dan Megawati.12
Masa telah berubah, timbul wacana kepemimpinan ideal untuk Indonesia,
melihat fakta kepemimpinan dari Reformasi sampai saat ini permasalahan bangsa
masih tetap sama, tidak jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun
dibilang tidak setransparan masa Orde Baru, tapi sudah menjadi rahasia umum
praktik tersebut tetap ada hingga sekarang. Perdebatan menarik pemimpin ideal
mengkerucut pada dua hal, antara pemimpin golongan tua dan pemimpin
golongan muda.
Sebagaimana ketetapan WHO manusia di atas usia enam puluh tahun
sudah dikatakan tua, sebab hormon dan daya tahan tubuh akan semakin berkurang
secara signifikan pada usia itu, namun permulaan mulai adanya penurunan pada
hormon sejak manusia menginjak umur lima puluh lima tahun.13 Sedangkan
11 Louwise Wiliams, “Amin Rais: Garis Depan Adalah Tempat Beresiko,” dalam Edward
Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 329.
12 Masa kepemimpinan yang kritis di antaranya bisa dibaca pada Hal Hill, “Habiebie Tidak Akan Mampu Bertahan Lama,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LKiS, 2000), 312.
13 Manusia yang mulai menjadi tua secara alamiah akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya. Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan penduduk lanjut usia, menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yakni ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika ditinjau secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai
7
disebut muda menurut salah satu teori dalam konteks biologis dibatasi oleh umur,
dari 13 sampai 40 tahun, ada pula yang menyatakan konteks kepemudaan adalah
antara umur 20 sampai 40 tahun.14 Sedangkan pada UU No. 40 Tahun 2009
konteks pemuda dimulai umur enam belas tahun sampai tiga puluh tahun, dan itu
yang menjadi pedoman KNPI, meskipun praktiknya ternyata pengurus KNPI
banyak berumur di atas tiga puluh tahun.15 Namun riset oleh Office of National
Statistics Inggris yang melibatkan 2.200 responden menyimpulkan, bahwa banyak
responden berpendapat usia muda dimulai sejak umur empat puluh satu tahun dan
berakhir pada usia lima puluh sembilan tahun.16
Dari penjelasan itu sederhananya bisa disimpulkan, mereka seperti
Megawati Soekarno Putri (65 tahun), Susilo Bambang Yudhoyono (63 tahun),
Jusuf Kalla (70 tahun), Wiranto (65 tahun), Sutiyoso (67 tahun), Sultan
Hamengku Buwono X (66 tahun) sudah bisa disebut tua dan dianggap cukup
dalam urusan birokrasi, selain dilatar belakangi masalah kesehatan dan daya tahan
tubuh yang berpengaruh pada cara berfikir untuk memutuskan masalah dan
beban keluarga dan masyarakat. Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda. Wijayanti, “Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman: Hubungan Kondisi Fisik RTT Lansia Terhadap Kondisi Sosial Lansia di RW 03 RT 05 Kelurahan Tegalsari Kecamatan Candisari” [artikel online]; tersedi di http://eprints.undip.ac.id/20145/; internet; diunduh pada 12 November 2013.
14 Aziz Syamsuddin, Kaum Muda Menatap Masadepan Indonesia (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2008), 8.
15 Ralian Jawalsen Manurung “Syarat Usia 16-30 Tahun Berat, KNPI Gugat UU Kepemudaan ke MK,” [berita online]; tersedi http://jaringnews.com/politik-peristiwa/ umum/30369/syarat-usia---tahun-berat-knpi-gugat-uu-kepemudaan-ke-mk; internet; diunduh pada 12 November 2013.
16 “Batasan Usia Disebut Muda dan Tua,” [berita online]; tersedi http://www.berita satu.com/fashion/25895-batasan-usia-disebut-muda-dan-tua.html; internet; diunduh pada 12 November 2013.
8
memimpin sebuah bangsa, namun juga harus dipertimbangkan sudah saatnya
dilakukan regenerasi kepemimpinan politik, untuk itu kelanjutannya biarkan para
pemuda (kurang dari lima puluh tahun) menjadi garda depan bangsa Indonesia.
Bukan berarti mengesampingkan kaum tua, tapi yang muda diharapakan dengan
kesegaran ide bisa menjadi trobosan untuk merubah negara menjadi lebih baik.17
Alasan mengangkat tokoh Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, dan
Budiman Sudjatmiko dalam isu kepemimpinan kaum muda bukan tanpa alasan,
seperti Budiman dan Yuddy misalnya, selain mereka telah menjadi dari bagian
konstitusi Indonesia sejak muda, mereka juga sering menulis tentang
kepemimpinan politik kaum muda. Pada tahun 2009 Yuddy ikut aktif dalam
Dewan Integritas Bangsa, ia sendiri maju dalam bursa capres independen dari
kongres DIB (Dewan Integritas Bangsa).18 Sedangkan M. Fadjroel Rachman
justru lebih gencar mempromosikan kepemimpinan politik kaum muda, ia
menyuarakan capres independen, tujuannya agar kalangan muda bisa menjadi
capres dari jalur independen tanpa terbentur aturan-aturan internal partai politik.
Namun karena terhalang peraturan konstitusi ia mengambil jalan berdasarkan
konstitusi pula, dari pergerakannya melalui konstitusi M. Fadjroel Rachman dan
17 M. Fadjroel Rachman, “Republik Muda: Republik Harapan,” [berita online]; tersedi di
http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg34376.html; internet; diunduh pada 19 Februari 2013.
18 Bersama Marwah Daud Ibrahim, Bambang Sulistomo, dan Rizal Ramli. Mereka bersepakat dalam Dewan Integritas Bangsa untuk mencalonkan salah satu dari tokoh tersebut menjadi alternatif presiden Indonesia. Dewan Integritas Bangsa didirikan oleh delapan organisasi masyarakat, diantaranya Himpunan Pemuda Nahdatul Ulama, Pemuda Muhammadiyah, Gabungan Masyarakat Kristen Katolik, Generasi Muda Budha Indonesia, Komunitas Tiong Hoa Anti Korupsi. Konvensi DIB (Dewan Integritas Bangsa) dilaksanakan di delapan kota besar; yakni Yogyakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makasar, Pontianak, Bandung dan Jakarta. Selengkapnya bisa dilihat pada “Tim 8 Dewan Integritas Bangsa Akan Turuti Keputusan Tim 45”, [berita online] tersedia di http://nasional.kompas.com/read/2009/03/07/22505697/Tim.8. Dewan.Integritas. Bangsa.Akan.Turuti. Keputusan.Tim.45: internet; diunduh pada 12 November 2013.
9
kawan-kawan lain berhasil mendapat restu calon independen dari MK (Mahkamah
Konstitusi) yang saat itu dipimpin Mahfud M.D., namun keberhasilan itu bukan
pada tingkat nasional, hanya pada sekala pemimpin daerah semata.19
Kepemudaan bukan menjadi hal asing bagi bangsa Indonesia, sejarah
bangsa Indonesia adalah milik kaum muda kata pengamat politik nasional Ben
Andreson. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Proklamator kemerdekaan
adalah bukti, dengan umur sangat muda kurang dari tiga puluh tahun mampu
membawa Indonesia menjadi bangsa berdaulat dan diakui oleh negara lain.20
Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 dengan ditandai berdirinya organisasi Budi
Utomo, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah fakta lain, bahwa negara ini
cukup kuat dengan pengalaman kaum muda, ini tidak menutup kemungkinan
pemuda akan kembali memimpin bangsa Indonesia.21
B. Pertanyaan Penelitian
Dalam pembahasan selanjutnya, tulisan ini hanya membahas dua hal dari
pemikiran empat tokoh politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman,
Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon), pertama problem demokrasi di Indonesia,
kedua kepemimpinan politik yang ideal untuk Indonesia.
19 Wawancara dengan M. Fadjroel Rachman, Jakarta 10 Mei 2013. 20 “Budiman Desak Generasi Muda Diberi Kesempatan Maju,” [berita online]; tersedia di
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/03/120211/Budiman-Desak-Generasi-Muda-Diberi-Kesempatan-Maju; internet; diunduh pada 29 Februari 2013.
21 Yuddy Chrisnandi, “Menggagas Kepemimpinan Kaum Muda”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 99.
10
Untuk itu pertanyaan penelitiannya adalah;
1. Bagaimana problem demokrasi di Indonesia dari Orde Baru sampai
sekarang menurut empat politisi muda (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel
Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)?
2. Bagaimana kepemimpinan politik yang ideal dalam keberlangsungan
demokrasi di Indonesia menurut empat politisi muda (Yuddy
Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli
Zon?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah:
Menganalisa gagasan dan mendeskripsikan ide empat politisi muda
(Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon)
terhadap eksistensi dan relevansi demokrasi di Indonesia, serta kepemimpinan
politik yang ideal dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Manfaat penelitian skripsi ini adalah:
Merupakan karya ilmiah dalam ilmu pengetahuan yang memberikan
wawasan terhadap pembaca, serta mempermudah memetakan masalah demokrasi,
dan kepemimpinan pemuda dalam dunia politik di Indonesia.
11
D. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai demokrasi dan kepemimpinan politik bukan hal baru di
Indonesia, di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur karya ilmiyah
yang pernah membahas tentang demokrasi dan kepemimpinan politik, di
antaranya:
Buku Pemikiran Politik Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999
dengan editor David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (2006), penerbit Grafiti Pers
dan Freedom Institute, Jakarta. Buku tersebut membahas tentang problem
demokrasi yang ditulis oleh beberapa tokoh nasional seperti ‘Abdurrahman Wahid
dan Amin Rais, tepatnya adalah kumpulan tulisan beberapa tokoh politik
Indonesia tentang demokrasi dan kenegaraan periode 1965-1999. Dari semua
penulis yang berkontribusi pada buku tersebut tidak menampilkan sosok pemuda
sebagai penyumbang ide tentang problem demokrasi dan kepemimpinan politik
kaum muda di Indonesia, sehingga pembahasan secara komprehensif tentang
problem demokrasi dari kaca mata kaum muda dan gagasan kepemimpinan kaum
muda tidak tersentuh.
Buku yang membahas tentang demokrasi lainnya adalah karya doctoral
Syaiful Mujani (2007), penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dengan
judul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru. Pada buku Syaiful Mujani hanya fokus dalam
masalah Islam dan budaya demokrasi di kalangan kelompok agamawan Muslim,
terutama di NU dan Muhammadiyah. Pada karya ini menyimpulkan adanya
12
keselarasan antara kebudayaan Muslim di Indonesia dengan asas demokrasi,
sedangkan pembahasan tentang problem demokrasi dan ide-ide demokrasi kaum
muda tidak tersentuh.
Karya ilmiyah lain yang membahas demokrasi adalah skripsi Agus
Dwiyono (2007) berjudul, “Pemikiran Bung Hatta Tentang Demokrasi.” Dalam
tulisan skripsi tersebut sangat banyak merujuk pada buku biografi Bung Hatta.
Meskipun secara nasional tulisan biografi Bung Hatta diterbitkan tahun 1979,
namun isinya ditulis sendiri oleh Hatta kira-kira semenjak ia umur dua puluh dua
tahun. Fokus dari penulisan tersebut dengan membahas nilai-nilai dan asas
demokrasi di Indonesia dari pra kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan. Jadi
pembahasan dalam tulisan tersebut lebih pada demokrasi tidak sekedar asas
berkehidupan, melainkan telah sengaja dipersiapkan sebagai landasan berbangsa
semenjak pra kemerdekaan dan untuk dipergunakan sebagai identitas bangsa
sampai kapanpun.
Buku kepemimpinan politik adalah tulisan M. Alfan Alfian (2012),
penerbit Kubah Ilmu, Jakarta. Dengan judul Bagaimana Menjadi Pemimpin
Politik?: Kekuatan Kepemimpinan. Pada buku tersebut ia mendeskripsikan
tentang keberhasilan kepemimpinan politik dari tokoh-tokoh nasional sampai
internasional, baik tokoh politik yang berbicara kepemimpinan politik ataupun
tokoh sastra seperti Rumi dan Ibn Taymiya dalam kalangan agamawan yang
berbicara kepemimpinan politik. Buku tersebut lebih berbicara pada proses untuk
menjadi pemimpin politik yang tidak didasarkan atas kriteria tua ataupun muda,
13
melainkan pemikiran-pemikiran tokoh dalam memperoleh dan cara
mempertahankan posisi tertinggi dalam kepemimpinan politik.
Dari riwayat kepustakaan di atas memberikan gambaran, bahwa sudah
banyak yang mengupas masalah demokrasi dan kepemimpinan politik di
Indonesia, namun untuk dinamika masadepan demokrasi pasca Reformasi dan
problem kepemimpian politik nasional yang ideal khususnya pemimpin muda
belum tersentuh. Oleh karena itu penulis meyakini bahwa kajian yang penulis
tawarkan untuk diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah aktual dan belum
secara komprehensif diteliti dan dijadikan karya ilmiyah di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Metode Penelitian
Untuk menelaah sekripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif:
adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam,
peneliti terjun langsung dan berinteraksi dengan obyek di lapangan serta
menggambarkan kondisi atau hasil temuan masalah daripada melihat
permasalahan untuk penelitian generalisasi.22 Jadi tujuan dari metodologi
kualitatif bukan suatu generalisasi, tetapi pemahaman secara teliti terhadap suatu
masalah yang kemudian data temuannya dideskripsikan.23
22 Septiawan Santana, Menulis Ilmiyah Moetode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007). 27. 23 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1997), 5.
14
Sedangkan teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua cara, yaitu
pengumpulan data perpustakaan (library research) dan pengumpulan data
lapangan/ field research (wawancara). Untuk pengumpulan data perpustakaan,
yaitu menelaah buku ataupun tulisan (sumber primer) berkaitan dengan tema
tersebut, seperti Yuddy Chrisnandi buku Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus
Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional. M. Fadjroel Rachman seperti buku
Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara
Kesejahteraan. Budiman Sudjatmiko seperti tulisannya tentang “Kepemimpinan
Baru Indonesia Melintasi 'New Frontier'” dan “Mengusir Macan Tua” yang ada
dalam website resminya www.budimansudjatmiko.com. Fadli Zon dengan
bukunya “Politik Huru-Hara Mei 1988“ yang menerangkan sebab turunnya
Soeharto. Untuk itu buku dan tulisan tersebut di atas adalah refrensi primer dalam
penelitian ini.
Sedangkan teknik pengumpulan data lapangan/ field research,
dilaksanakan dengan wawancara empat tokoh (Yuddy Chrisnandi, M. Fadjroel
Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon) berkenaan dengan pemikirannya
sesuai rumusan masalah yang telah disebutkan di atas. Wawancara ini dilakukan
karena keempat tokoh tersebut masih hidup.
Mengenai teknik penulisan skripsi, penulis berpedoman pada buku
Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis
15
oleh Tim Penyusun Panduan Akademik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, penjabarannya adalah sebagai
berikut :
Pada bab satu atau pendahuluan, dikemukakan latar pernyataan masalah,
pertanyaan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
teoritis, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Pada bab dua membahas tentang teori demokrasi dan teori kepemimpinan
politik.
Pada bab tiga membahas demokrasi di Indonesia, meliputi corak dan
adopsi demokrasi di Indonesia sebagai periodisasi sejak Orde Lama sampai pasca
Reformasi. Serta membahas biografi empat tokoh politisi muda Yuddy
Chrisnandi, M. Fadjroel Rachman, Budiman Sudjatmiko, dan Fadli Zon.
Pada bab empat membahas probelmatik demokrasi di Indonesia masa Orde
Baru dan pasca Reformasi, serta argumentasi rekonstruksi demokrasi. Selain itu
membahas pemimpin politik kaum muda, meliputi gerakan kepemudan dan
investasi kepemimpinan politik, program kepemimpinan politik kaum muda, dan
problem mewujudkan kepemimpinan politik kaum muda.
16
Pada bab lima atau terakhir adalah penutup sekaligus kesimpulan dan
saran.
17
BAB II TEORI DEMOKRASI DAN TEORI KEPEMIMPINAN
A. Teori Demokrasi 1. Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani Demos (rakyat) dan Cratos
(kekuasaan),1 telah menjadi praktik politik bangsa Yunani sekitar (300-400 SM.)
Demokrasi dalam istilah adalah; keadaan negara di mana sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, keputusan tertinggi berada dalam keputusan
bersama rakyat.2 Demokrasi secara modern dirumuskan sebagai sebuah sistem
pemerintahan dengan didasarkan atas prinsip kedaulatan dari, oleh, dan untuk
rakyat, seperti dikatakan Presiden Amerika ke-16 Abraman Lincoln (1808-1865)
1 Demokrasi dikenal sejak abad ke-5 SM., dilandasi atas dasar pengalaman buruk negara
Kota di Yunani akibat sering peralihan sistem negara dari monarki ke aristokrasi, dari aristokrasi ke tirani, sehingga membuat para pemikir besar Yunani bekerja keras menentukan sistem ideal kenegaraan untuk bangsa Yunani, sehingga muncullah dari tirani ke demokrasi. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71. Lihat pula pada Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & Pernada Media, 2003), 110. Lihat pula pada Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka: 2007), 28.
2 Ada tiga peradaban besar dalam membentuk demokrasi; Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam. Ketiga kebudayaan tersebut dengan segala pengalaman berpolitik di dalamnya membantu revisi demokrasi dari masa ke masa. Hal yang dewasa ini menjadikan demokrasi dengan banyak model, seperti demokrasi terpimpin, demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan masih banyak lagi model-model demokrasi hasil asimilasi antar peradaban besar dunia. Banyak bersinggungan dengan berbagai macam peradaban tidak berarti perjalanan demokrasi damai, damai dalam artian tidak ada benturan-benturan pemikiran yang kontra terhadap demokrasi, contoh sederhana bisa dilihat dari kebencian Sokrates atas demokrasi. Demokrasi adalah sistem bertele-tele, dan mengesampingkan nilai moralitas karena ia hanya berlandaskan pada sistem vooting. Mayoritas bukan ukuran kebenaran, karena seringkali kebenaran bisa dimanipulasi melalui opini publik untuk mempengaruhi moralitas masyarakat. Masyarakat bisa ‘dibeli’ sebanyak-banyaknya untuk mendukung kepentingan yang dikehendaki oleh penguasa. Di titik ini sedikit memberikan celah bahwa terdapat sisi lemah pada sistem demokrasi. Suhelmi, PEMIKIRAN POLITIK BARAT; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, 3.
18
“democracy is government of the people, by the people and for people”.3 Melalui
sistem pemilihan tertentu, transformasi kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan
dalam proses pemberian suara untuk meraih jabatan politik tertentu. Dalam
kekuasaannya, aspirasi masyarakat akan diperjuangkan melalui mekanisme yang
telah disepakati.4
Banyak pakar yang menjelaskan tentang praktik demokrasi, Thomas
Meyer dalam buku Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan
menyebutkan ada empat praktik teori demokrasi, yaitu; teori demokrasi
ekonomis, teori demokrasi langsung, teori demokrasi media populistik, dan teori
demokrasi partisipasi partai.5 Sedangkan pemerintahan dikatakan mampu
mewujudkan prinsip demokrasi bila memenuhui tujuh syarat: kontrol atas
keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih,
kebebasan berpendapat tanpa ada ancaman, kebebasan mengakses informasi, dan
kebebasan berserikat.6
Poin pentingnya, asas utama dalam demokrasi adalah posisi rakyat sebagai
penguasa, kontrol, sekaligus kebebasannya menyuarakan pendapat dan mengkritik
kebijakan yang mewakilinya di parlemen. Sehingga hakikat demokrasi adalah:
3 Dedy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatra, Ilmu Negara Dalam Multi Perspektif
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), 119. 4 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia
& Masyarakat Madani, 111. 5 Selengkapnya bisa dibaca pada Thomas Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk
Penerapan, (Jakarta: Friedrich-Erbert-Stiftung, 2003), 6-11. 6 Selengkapnya bisa dibaca pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 122.
19
pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk
rakyat.7
2. Model-model dan Jenis Demokrasi
Model dan jenis demokrasi sangat banyak, di antaranya:8
a. Demokrasi Liberal: yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-
undang dan pemilihan umum bebas diselenggarakan dalam waktu
rutin. Banyak negara-negara di Afrika mencoba menerapkan model
ini, tetapi hanya sedikit yang bisa bertahan. Sedangkan dalam
pandangan hidup, demokrasi Liberal ditujukan memberikan
kebebasan bagi individu untuk melakukan kegiatan sosial, agama, dan
bernegara tanpa dituntun dan dicampuri oleh urusan negara, selama
ekspresi hidupnya tidak bertentangan dengan pandangan hidup
masyarakat lain dan pokok-pokok ideologi bangsa yang didiami.
Dampak terebesarnya dalam sistem ini adalah sektor ekonomi, yaitu
negara menghormati segala bentuk aktifitas ekonomi dan kepemilikan
barang/jasa atas nama pribadi/individu.9
b. Demokrasi Terpimpin: para pemimpin percaya bahwa tindakan
mereka dipercayai rakyat, tetapi menolak persaingan dalam pemilihan
7 Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah
Dunia yang Sedang Berubah. Penerjemah I. Made Krisna, Tadjuddin Noer Effendi, ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 38.
8 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121.
9 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, 5.
20
umum untuk menduduki kekuasaan. Sederhananya demokrasi
Terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana setiap keputusan
berpusat pada pemimpin negara, tidak melalui kesepakatan
referendum anggota konstitusi. Sedangkan menurut Soekarno
demokrasi Terpimpin dikutip dari pembukaan UUD 1945
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan”.10
c. Demokrasi Sosial: yaitu menaruh kepedulian pada keadaan sosial dan
egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan
politik. Demokrasi Sosial menjunjung tinggi derajat kemanusiaan
tanpa membedakan kelas, karenanya sosialisme dalam demokrasi
mencita-citakan persamaan derajat setiap manusia dari orang per-
orang.11
d. Demokrasi Partisipasi: yaitu menekankan hubungan timbal balik
antara penguasa dan yang dikuasai. Komitmennya adalah bahwa
manusia dapat hidup bersama dalam semangat kemanusiaannya, selain
isu tentang keadilan, kesejahteraan, kebebasan, kerakyatan,
10 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di
Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no 3 (Desember 2007), 71.
11 M. Fadjroel Rachman, “Merintis Jalan Demokrasi Ke Sosialisme Partisipatif”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 258.
21
kesetaraan, dan solidaritas, sehingga memerlukan hubungan timbal
balik yang sangat erat antara sumber dan muara.12
e. Demokrasi Consociational: yaitu menekankan pada proteksi khusus
bagi kelompok-kelompok budaya dan menekankan kerja sama yang
erat di antara elite yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.13
f. Demokrasi Deliberatif: menurut istilah “deliberasi” berasal dari kata
Latin deliberatio, kemudain diserap dalam bahasa Inggris menjadi
deliberation. Istilah ini berarti “konstitusi” atau “menimbang-
nimbang”. Sedangkan penyatuan kata “demokrasi dan deliberatif”
memiliki arti formasi opini dan aspirasi politis yang diolah dengan
proseduralisme atau kedaulatan rakyat menjadi inti dari berdemokrasi.
Jadi demokrasi deliberatif di mana legitimitas hukum tercapai karena
hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil, sehingga
dengan ditetapkannya peraturan-peraturan dalam demokrasi akan
mudah diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat.14
Demokrasi dalam penerapannya dibagi dalam dua hal, yaitu demokrasi
secara langsung dan demokrasi tidak langsung:15
12 M. Fadjroel Rachman, “Demokrasi Partisipatif dan Kepemimpinan Politik Baru”, dalam
M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 302.
13 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 121.
14 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 128-130. 15 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia & Masyarakat Madani, 122.
22
a. Demokrasi Langsung: adalah rakyat melakukan kedaulatannya secara
langsung. Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya
mengawasi jalannya pemerintahan. Sedangkan pemilihan pejabat
eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota) dipilih langsung
oleh rakyat melalui pemilihan umum, bigitu pula pemilihan pejabat
legislatif (DPR, DPD, DPRD).
b. Demokrasi Tidak Langsung: adalah paham demokrasi yang
dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Corak pemerintahan
demokrasi yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat, dan
dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab terhadap rakyat.
3. Demokrasi Negatif
Demokrasi hanyalah salah satu sistem bernegara, hal yang ditawarkan
bukan merupakan bentuk final sebuah sistem bernegara. Oleh karena itu sangat
memungkinkan terdapat sisi-sisi negatif dari yang ditawarkan, di antaranya:
a. Demokrasi Oligarkis atau Demokrasi Terbatas; adalah demokrasi
yang didominasi oleh kelompok dan kalangan tertentu. Mereka
menggunakan demokrasi sebagai tujuan mempergemuk kepentingan
politik, yang konsensusnya tidak saja berhubungan dengan materi,
melainkan juga bersifat non materi. Seperti membangun pengaruh
dalam masyarakat untuk mencari jabatan tertentu. Legalitas
kepemimpinan mereka dibentuk melalui badan-badan peradilan,
23
legislatif, dan eksekutif yang sebelumnya telah dipersiapkan dan diisi
oleh aktor-aktor oligarkis, sederhananya kelompok elite tersebut
memiliki hak untuk mengintervensi proses lajunya demokrasi.16
Kesimpulannya dominasi elite tertentu sangat merusak
keberlangsungan demokrasi.17
b. Demokrasi yang Didominasi Massa; adalah sistem dengan aktor
massa yang memiliki kekuatan kolektifitas dan berkuasa di atas
penguasa tradisional. Mereka menggerakkan reformasi dari bawah
untuk menyerang kekuatan-kekuatan para elite ploitik. Proses
penyampaian aspirasi terkadang terlalu berlebihan dan cenderung
anarkis karena merasa menang secara jumlah kolektifitas, hasilnya
konfrontrasi-konfrontrasi antara dominasi massa dan elite politik
malah menghancurkan demokrasi.18
c. Demokrasi Totalitersime; adalah bentuk berdemokrasi yang di
dalamnya rakyat tidak bisa bebas berkehendak, karena urusan individu
dan pribadi rakyat tidak terlalu penting. Sebaliknya setiap rakyat harus
menjunjung tinggi cita-cita yang digariskan dalam sistem politik
16 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang
Berubah, 83. 17 Tim Penulis Demos, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan Indonesia
(Jakarta: Demos, 2005), 93. 18 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang
Berubah,153-155.
24
negara. Contoh sederhananya adalah porblem Jerman dengan ideologi
Nazi pada masanya.19
d. Otoritarianisme Demokrasi; adalah faham demokrasi yang di
dalamnya dipimpin oleh penguasa otoriter, fungsi parlemen hanya
syarat berdemokrasi, kerjanya hanya berbasa-basi bermusayawarah
untuk mufakat, padahal bentuk final suatu keputusan tetap berada
pada tangan penguasa yang otoriter. Rakyat berada pada jalur
terlemah, rakyat tidak diberikan ruang untuk menuntaskan
keinginannya apabila bertentangan dengan pengusa. Ciri-ciri sistem
politik model demikian biasanya didukung oleh kekuatan bersenjata
dari pihak militer. Praktik demokrasi yang otoriter banyak diterapkan
di negara-negara Afrika, pada masyarakat internasional mengatakan
negaranya menjunjung demokratisasi, namun dipraktikkan dengan
cara otoritarianisme.20
B. Teori Kepemimpinan Politik
1. Defenisi Kepemimpinan
Pemimpin, kepemimpinan, dan kekuasaan adalah tiga hal yang memiliki
defenisi masing-masing, tapi ketiganya berhubungan erat. Pemimpin adalah
seseorang dengan wewenang kepemimpinannya bertujuan mengarahkan orang
19 Miriam Budiarjo, ed. Masalah Kenegaraan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1982), 92. 20 Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek Dunia yang Sedang
Berubah, 91.
25
lain yang memiliki posisi di bawahnya, baik tingkatan posisi yang disepakati
dalam struktural ataupun proses pengakuan pemimpin tanpa kesepakatan (proses
alami).21
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang (kelompok) untuk
mempengaruhi orang (kelompok) lain sesuai kehendak dan tujuan yang disepakati
bersama, wujudnya bisa motivasi dan menginspirasi.22 Kekuasaan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi (memerintah lebih memaksa) orang lain dalam
menjalankan hal yang dikehendaki pihak lain (pemilik kekuasaan).23 Karenanya
kekuasaan memiliki beberapa karakteristik, pertama kekuasaan meruapakan
sesuatu yang abstrak, kedua kekuasaan milik interaksi sosial, ketiga pemegang
kekuasaan yang egois cenderung menyalahgunkan kekuasaan.24 Sedangkan arti
sebutan ketua atau raja yang dapat ditemukan dalam beberapa bahasa hanyalah
untuk menunjukan adanya pembedaan anatara pemimpin dan yang dipimpin.
2. Konsep Dasar Teori Kepemimpinan
Manusia sebagai makhluk sosial tidak ada bedanya dengan makhluk yang
lain, semua saling terikat dan membutuhkan, dari faktor saling ketergantungan
tersebut menjadikan manusia hidup secara kelompok, baik dalam suku, ras,
agama, ataupun dalam kelompok-kelompok lebih kecil. Dalam komunitas
21 Selengkapnya bisa dibaca pada M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2007), 18. Sebagai tambahan tentang perbedaan antara pemimpin, kepemimpinan dan kekuasaan bisa dibaca pada Veithzal Rivai dan Dedy Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 341.
22 Eko Maulana Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan. Nugraha, ed. (Jakarta: Multi Cerdas Publishing, 2012), 67.
23 Mulyadi, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, 342. 24 Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 230.
26
tersebut, pasti memunculkan individu-individu unggulan yang melebihi mayoritas
lainnya dan cenderung berpengaruh terhadap lingkungannya, sehingga berpotensi
sebagai pemimpin sebuah kelompok.
Peradaban manusia yang sering berubah merupakan salah satu faktor
alamiah munculnya pemimpin-pemimpin dalam kelompok manusia, baik politik
maupun keagamaan, tidak hanya berlandaskan kekuatan seperti hukum rimba,
melainkan seleksi seorang pemimpin dalam kehidupan manusia terjadi karena
banyak faktor, hasilnya teori terjadinya kepemimpinan sangat beragam. Para ahli
sejarah dan filsafat sejak masa lalu telah menawarkan kurang lebih tiga ratus lima
puluh definisi tentang kepemimpinan, di antaranya:25
Teori Greath Man dari 1869-1930: Kepemimpinan terbentuk karena
pengakuan masyarakat sekelilingnya.
Teori Trait sekitar tahun 1940: Pembedaan antara pemimpin dengan
pengikutnya, sebab pemimpin memiliki kualitas tinggi daripada pengikutnya.
Kualitas ini bisa berupa kecerdasan, kekuatan, dan ketangkasan di atas mayoritas.
Teori Charismatic sekitar tahun 1950: Penekanan perilaku pemimpin
dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya, dalam teori ini didukung oleh dua
pendekatan:
1. Koneiderasi; kecenderungan seorang pemimpin yang menggambarkan
hubungan akrab dengan bawahannya, seperti kedekatan emosional dan
25 Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan. 59.
27
sering memberikan masukan terhadap bawahan, serta selalu terbuka
berkonsultasi dengan bawahan.
2. Struktur Inisiasi; pemimpin yang memberikan batasan terhadap
bawahannya, dan cenderung memberikan instruksi terhadap bawahan
dengan target, waktu, dan cara pelaksanaanya. Sehingga dalam teori ini
pemimpin baik adalah yang memiliki loyalitas terhadap bawahan dan
memiliki target terhadap suatu pekerjaan.26
3. Model Kepemimpinan Demokrasi
Banyak tokoh yang mencetuskan tentang model-model kepemimpinan,
baik kepemimpinan yang bersifat politik ataupun administratif, di antaranya
model kepemimpinan demokrasi: kepemimpinan model ini mau mendengarkan
dan menerima masukan dari pengikut, karena penekanan model demokrasi ada
pada mutu yang dihasilkan sesuai kesepakatan bersama. Berikut ciri dari gaya
kepemimpinan demokrasi:27
a. Memiliki pandangan, betapapun besarnya sumber daya dan dana
yang tersedia bagi organisasi, kesemuanya itu pada dirinya tidak
berarti apa-apa kecuali digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia
dalam organisasi demi kepentingan pencapaian tujuan dan berbagai
sasaran organisasi.
26 Ali, Kepemimpinan Transformasional; Dalam Birokrasi Pemerintahan, 60. 27 Alfian, Menjadi Pemimpin Politik; Perbincangan Kepemimpinan dan Kekuasaan, 205.
28
b. Dalam kehidupan organisasi tidak mungkin, tidak perlu, bahkan tidak
boleh semua kegiatan dilakukan sendiri oleh pemimpin, oleh karena
itu selalu mengusahakan adanya pendelegasian wewenang yang
praktis dan realistis tanpa kehilangan kendali organisasi nasional.
c. Para bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri
melalui peran sertanya dalam proses pengambilan keputusan.
d. Kesungguhan yang nyata dalam memperlakukan bawahan sebagai
makhluk politik, makhluk ekonomi dan makhluk sosial sebagai
individu dengan karakteristik dan jati diri yang khas mempunyai
kebutuhan kompleks. Seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan,
namun yang lebih penting adalah pengakuan setatus sebagai anggota
sebuah organisasi.
29
BAB III DINAMIKA DEMOKRASI DI INDONESIA
A. Adopsi dan Periodisasi Demokrasi di Indonesia
Demokrasi memang lahir pada masa peradaban Yunani,1 tapi penerimaan
besar-besaran terhadap demokrasi terhitung sejak berakhirnya perang dunia ke-II.
Karena periodisasi ini adalah tidak hanya sebagai pertarungan perebutan
kedikdayaan dan pengakuan internasional siapa yang superior di dunia, melainkan
juga perang ideologi antara Fasisme, Komunisme, dan Demokrasi, hasilnya
demokrasi dan komunisme adalah ideologi paling diminati atas bencana perang
terbesar sepanjang sejarah.2 Perlahan pasca perang dunia ke-II negara-negara
mulai berbenah dan memperkenalkan demokrasi untuk negerinya, Jerman, Itali,
dan Jepang yang dulunya dikuasai oleh Barat mulai terbiasa dan berusaha
menerapkan demokrasi Liberal.3
Indonesia adalah satu-satunya negara sejak merdeka sampai sekarang
mampu mengadopsi demokrasi di kawasan Asia Tenggara, meskipun seiring
pergantian dan periodisasi kepemimpinan politik bangsa turut andil dalam
merubah model-model demokrasi di dalamnya, terhitung setelah terjadinya
1 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1930 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 71.
2 Ideologi Fasisme merupakan sebuah paham politik penjunjung kekuasaan absolut dan kontra dengan demokrasi. Ideologi Fasisme juga diartikan memandang rendah bangsa lain dan menjujung tinggi negeri sendiri, sedrehananya Fasisme merupakan nasionalisme yang sangat fanatik dan otoriter. Lihat pada Evriza, Ilmu Politik (Depok: ALFABETA Bandung, 2008), 106.
3 Hal demikian juga terjadi pada negara-negara di kawasan Asia Selatan (India-Pakistan), dan Asia Tenggara (Filipia, India, Indonesia, dan Malaysia). Usaha penerapan demokrasi tidak selamanya sesuai, ada di antara negara-negara tersebut berhasil, bahkan ada juga sampai sekarang tidak menemukan pangkal dan ujung dari demokrasi. Deliar Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, dalam M. Amin Rais, Demokorasi dan Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), 70.
30
perdebatan antara demokrasi Liberal atau demokrasi sesuai identitas bangsa pra
kemerdekaan, Indonesia mengalami empat fase model demokrasi;4
1. Demokrasi Parlementer (Liberal) 1945-1959.
Masa awal kemerdekaan belum sepenuhnya ditentukan Indonesia akan
menggunakan demokrasi model apa sebagai sistem bernegara, apakah demokrasi
Liberal seperti banyak dilakukan di negara Barat, sebagaimana banyaknya
sarjana-sarjana Indonesia belajar di Belanda dengan doktrinnya tentang demokrasi
Liberal?, atau akan menggunakan demokrasi-nya sendiri sesuai dengan
kepribadian bangsa?. Mulailah tersusun agenda-agenda politik dan birokrasi
pemerintahan pada masa awal kemerdekaan untuk menyusun identitas demokrasi
Indonesia.5
Gagasan tentang demokrasi telah banyak disampaikan para tokoh nasional
jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Soekarno mengemukakan “Demokrasi
Sosial”, itu pula diterapkan sebagai landasan PNI (Partai Nasional Indonesia),
yaitu demokrasi kontra Liberal, tetapi juga demokrasi yang memberikan hak-hak
ekonomi. Soekarno mempertegas dengan panitia perancangan UUD dalam sidang
BPUPKI pada 1 Juni 1945 mengatakan, “Apabila kita ingin mengadopsi
demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawarahan yang
memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial”. Muhammad Hatta telah menulis tentang demokrasi sejak
4 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Abdul Rozak, dkk., ed. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kerjasama The Asia Foundation & PERNADA MEDIA, 2003), 111.
5 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 71.
31
tahun 1933 dengan judul, ”Ke arah Indonesia Merdeka”.6 Hatta memiliki peran
besar setelah kemerdekaan dalam mendidik masyarakat Indonesia mengenal
tentang demokrasi Moderen. Hatta dalam gagasannya tentang fungsi parlemen
dalam berdemokrasi didasari atas dua hal, kemudian dua hal ini menjadi
perdebatan pemimpin-pemimpin bangsa sebelum kemerdekan pada dua dekade
pertama abad ini, pertama adalah hak berserikat dan berkumpul secara politik,
kedua adalah tentang perwakilan rakyat dalam parlemen.7
Hatta menyatakan tidak mudah mengembangkan gagasan demokrasi atas
dasar dua poin tersebut, tapi hal itu juga bukan semacam angan-angan dan
keniscayaan, karena semua bisa dilaksanakan meskipun syaratnya sangat berat.
Kewajiban rakyat pertamakalinya harus insyaf sekaligus faham antara posisi hak
dan kewajibannya. Seorang pemimpin tidaklah seperti dewa dengan apapun
kehendaknya seolah-olah itu sebagai sebuah kebenaran, posisi pemimpin sama
dengan rakyat, berdampingan. Kemudian pertanyaan muncul, apakah ada dasar
sistem pemerintahan sesuai dengan kebudayaan kita? Hatta dengan jelas
menyatakan ada, kemudian Hatta menganalogikan dengan kehidupan di desa, itu
setidaknya memenuhi syarat demokrasi dengan menekankan tiga hal, yaitu; cita-
cita rapat untuk mufakat, cita-cita protes masa dan berwatak kritis untuk
memonitor setiap keputusan konstitusi, dan terakhir adalah dasar kolektifitas,
6 M. Zaki Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di
Indonesia”, Jurnal Politika: Jurnal Pencerahan Politik Untuk Demokrasi III, no. 3 (Desember 2007), 66.
7 Dua poin politik tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia, keduanya sama sekali tidak mendapatkan toleransi ke permukaan, karena kekawatiran pemerintah Hindia-Belanda atas posisinya di Indonesia, meskipun belakangan pemerintah Hindia-Belanda melunakkan diri dan membiarkan dua poin politik di atas berkembang, namun dengan pengawasan sangat ketat. lihat pada Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72.
32
wujudnya bisa bentuk tolong-menolong dalam berbagai sektor, termasuk sosial
dan ekonomi koperasi (cikal bakal bahwa Hatta adalah pencetus sekaligus bapak
koperasi di Indonesia). Cita-cita demokrasi dalam bentuk miniatur masyarakat
desa menurut Hatta bisa diperjuangkan ke level dan sekala lebih besar, seperti
konstitusi ditingkat nasional. Oleh karena itu kenapa Soekarno dan Hatta sepakat
mengatakan bahwa demokrasi Indonesia tidak sama dengan demokrasi di Barat,
mereka menyatakan bahwa demokrasi Barat hanya pada sektor politik, tidak
dijumpai demokrasi pada sektor ekonomi dan sosial, karenanya mengakibatkan
perebutan hak milik secara individu dan pengakuan umum atas dasar kekuasaan
politik meningkat di Barat.8
Selanjutnya Hatta menandatangani maklumat No/ X pada 3 November
1945, dalam maklumat tersebut Hatta menyatakan pemerintah mengharuskan
pentingnya membentuk partai politik sebagai ornament demokrasi, pemerintah
berharap partai-partai peserta pemilu telah tersusun sebelum pemilu badan
perwakilan rakyat pada Januari 1946.9 Maklumat tersebut direspon sangat positif
dan ditandai banyak lahirnya partai politik sebagai peserta pemilu, akan tetapi
rencana awal pemilu pada tahun 1948 harus tertunda akibat banyak kendala, di
antaranya agresi militer Belanda II dan pembrontakan PKI di Madiun 1948.10
Perkembangan terpenting dan peralihan sistem politik pada periode ini
adalah tahun 1950. RIS (Republik Indonesia Serikat) dirubah dalam bentuk
8 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 72 dan 75. 9 Hatta, Untuk Negeriku (Jakarta: Kompas, 2011). 115-116. 10 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”,
67.
33
kesatuan baru, yaitu sistem Parlementer yang kemudian dipimpin Perdana Menteri
Natsir, penunjukkan Natsir sebagai Perdana Menteri hasil kesepakatan koalisi
kabinet saat itu – tercatat empat pergantian Perdana Menteri dari Natsir, Sukiman,
Wilopo, dan Ali Sastroamidjoyo – dari keempat Perdana Menteri tersebut pada
era Wilopo pemilu Indonesia untuk pertama kalinya berhasil dilaksanakan dengan
ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953, yaitu tepat pada 29 September 1955
(pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (anggota konstituante) untuk
pertama kalinya pemilu berhasil dilaksanakan,11 dengan diikuti seratus tanda
gambar peserta pemilu ditambah dua puluh satu partai serta wakil tidak berkoalisi,
sehingga terdapat dua puluh delapan partai termasuk partai perseorangan.12
Gagasan tersebut menandakan demokrasi pada periode awal kemerdekaan 1945-
1959 kemudian dikenal dengan istilah demokrasi Parlementer.13
2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965.
Seperti disinggung di awal, Soekarno menyatakan bahwa generasi
kepemimpinan berikutnya disebut sebagai demokrasi Terpimpin, apa maksud dari
pernyataan ini? Dalam catatan sejarah peralihan antara demokrasi Parlementer ke
demokrasi Terpimpin dituliskan sejak tahun 1959, namun istilah demokrasi
11 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”,
66. 12 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004).
432. 13 Demokrasi Parlementer 1945-1959 hancur disebabkan banyak faktor, namun catatan
khususnya adalah ketidak mampuan anggota-anggota partai politik di parlemen dan konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara dan undang-undang dasar baru, kemudian mendorong Ir. Soekarno sebagai Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli dengan pernyataan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai dasar negara, ini menandai berakhirnya demokrasi Parlementer. Lihat pada Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131.
34
Terpimpin sudah dinyatakan oleh Presiden Soekarno sejak tahun 1957 ketika
banyak tokoh mulai gelisah tentang warna demokrasi Indonesia.14 Dalam
pidatonya dengan judul “Respublika Sekali Lagi Respublika” pada sidang pleno
konstituante di Bandung 22 April 1959, Soekarno menyerang konstituante karena
mempraktikkan cara-cara demokrasi Liberal, sambil menawarkan solusi
mengembalikan demokrai Indonesia pada bentuk demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin menurut Soekarno adalah bentuk relevan untuk Indonesia,
dan bukan sebagai kamuflase kediktatoran dan sentralisme seperti faham
Komunis, dan berbeda pula dengan demokrasi Liberal. Pondasinya sesuai
pembukaan UUD 1945 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan”, seperti rapat suku yang dipimpin ketua
adat, jadi tidak sekedar dalam bidang politik, melainkan dalam sosial, dan
ekonomi.15
Demokrasi Terpimpin mendapat tentangan banyak kalangan, seperti Deliar
Noer mengatakan bahwa demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin menempatkan
Soekarno sebagai ayah dalam keluarga besar bernama Indonesia dengan
kekuasaan terpusat berada di tangannya.16 Karena menganggap dirinya sebagai
ayah dalam konteks bernegara, sehingga Soekarno memiliki kebijakan sendiri
sebagai orang yang tidak akan berpihak pada siapapun. Sikap demikian
14 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. 15 Mubarak, ”Demokrasi dan Kediktatoran: Seketsa Pasang Surut Demokrasi di Indonesia”,
71. 16 Dengan demikian kekeliruan sangat besar dalam demokrasi Terpimpin Soekarno adalah
adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai penting dalam demokrasi, yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif. Lihat Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 131.
35
diterapkannya dalam berpolitik tanpa partai, dengan tujuan independensi tanpa
adanya unsur-unsur mendiktenya. Perinsip ini kemudian membuat Soekarno
banyak ditentang oleh banyak lawan-lawan politiknya, entah lupa atau tidak sadar,
jelasnya dengan menerapkan politik tanpa partai mengakibatkan dirinya masuk
dalam lingkaran pencidera demokrasi. Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa
kesepakatan dari konstituante ditegaskan oleh Hatta bahwa anjuran untuk
bergabung dengan partai politik bagi penghuni konstitusi negara (3 November
1946). Kritikan Hatta mendapat dukungan dari M. Natsir dan Ki Hadjar
Dewantara – pemimpin Taman Siswa – secara pedas menyatakan demokrasi
Terpimpin tidak ada bedanya dengan “liederschap” (kepemimpinan). Hatta pada
tahun 1961 menulis dalam bentuk brosur dengan judul, “Demokrasi Kita” isinya
menentang ketetapan Presiden Soekarno tentang demokrasi Terpimpin, di
dalamnya sangat banyak bertentangan dengan asas-asas kesepakatan
berdemokrasi.17
Di antara hal-hal yang dianggap janggal dalam periode demokrasi
Terpimpin adalah:18
1. Penyimpangan terhadap UUD 1945, di antaranya tentang ketetapan
MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) No. III/1963
yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup,
padahal undang-undang sebelumnya sangat jelas, jika periode
Presiden menjabat adalah lima tahun.
17 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 82. 18 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia & Masyarakat Madani, 131.
36
2. Tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Presiden telah membubarkan
DPR hasil pemilu 1955, padahal dalam UUD 1945 ditentukan
bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat
demikian.19
3. Presiden boleh ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan
legislatif, sesuai peraturan Presiden No. 14/1960. Presiden juga
diperbolehkan ikut campur dalam pengambilan produk ketetapan
yudikatif, sesuai UU No. 19/1964. Selain itu terbatasnya peranan
partai politik, berkembangnya pengaruh Komunis dan meluasnya
peranan ABRI sebagai unsur sosial.
4. Pers dan lembaga publik banyak dibredel, saluran-saluran aspirasi
rakyat diawasi sangat luar biasa ketat, sehingga teks dan naskah
pidato harus disortir sebelum dibacakan di depan umum.
3. Demokrasi Pancasila 1965-1998.
Orde Baru berhasil memperoleh simpati sangat besar dari masyarakat
Indonesia, keberhasilan figur perwira tentara Soeharto menumpas habis ideologi
Komunis di Indonesia sampai anak cucunya hingga ke akar-akarnya dianggap
prestasi luar biasa,20 termasuk di dalamnya Soeharto mampu menjinakkan usaha
kudeta oleh Partai Komunis Indonesia tahun 1965.21 Berbondong-bondong
masyarakat menumpukan harapan besar atas koreksi total tidak hanya dalam segi
politik, tapi juga sosial terlebih kembalinya kondusif hidup beragama, berbangsa,
19 Alasan pembubarannya karena DPR menolak anggran belanja rancangan pemerintah
eksekutif saat itu. Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 83. 20 Penumpasan ideologi Komunis di Indonesia memakan korban kurang lebih lima ratus
ribu jiwa. Selengkapnya lihat David Jenkins, “Runtuhnya Sebuah Rezim,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 103.
21 Edward Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 2.
37
dan bernegara.22 Semua lapisan masyarakat menyambut era baru demokrasi,
terkecuali segelintir orang Komunis yang terancam kehidupannya karena agenda
politik Soeharto menghabisi ideologi Komunis di Indonesia.23
Gebrakan mulainya Orde Baru terjadi dalam banyak sektor, paling menjadi
sorotan adalah mengembalikan fungsi UUD akibat penyelewengan masa
Soekarno, di antaranya ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan Soekarno
sebagai presiden seumur hidup telah dibatalkan, dan jabatan pemimpin negara
kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Selain itu kebijakan-kebijakan
hasil ketentuan masa Orde Lama kembali mengalami koreksi dengan
ditetapkannya MPRS No. XIX/1966 untuk peninjauan kembali produk legislatif
demokrasi Terpimpin.24
Semangat mengembalikan fungsi UUD pada tempatnya dan kembali
menempatkan Pancasila sebagai asas tertinggi dan tunggal bagi semua golongan
dalam bernegara menjadikan sistem pemerintahan pada periode ini adalah
demokrasi Pancasila, sesuai UUD 1945, dan Ketetapan-ketetapan MPRS.25
Berikut beberapa rumusan tentang Demokrasi Pancasila:26
22 Inu Kencana dkk., Sistem Politik Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), 115. 23 Noer, “Perkembangan Demokrasi Kita”, 85. 24 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia & Masyarakat Madani, 133. 25 S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang
Politik dan Pemerintahan (Jakarta: Bina Aksara, 1985), 8. 26 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia & Masyarakat Madani, 134.
38
a. Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah
menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian
hukum.
b. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah
kehidupan yang layak bagi semua warga negara.
c. Demokrasi dalam bidang hukum pada hakekatnya bahwa
pengakuan dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia),
peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Suatu semangat dan pembenahan sangat signifikan jika kita membaca
rumusan di atas, tapi jika ada pertanyaan apakah demokrasi kita sama dengan
rumusan di atas? Jawabannya bermacam-macam, tapi dari sekian jawaban,
sebagain besar akan mengatakan tidak.27 Demokrasi Pancasila adalah nama dan
hanya awal dari periodisasinya, Pancasila hanyalah retorika dan sekedar gagasan
tidak sampai pada tataran parktik bermasyarakat dan bernegara. Pancasila
diagungkan bahkan sangat sakral masa itu, tapi nilai-nilai di dalamnya tidak
menjadi landasan dan jaminan hidup. Kepemimpinan Orde Baru lebih
menyedihkan berkali lipat dibandingkan Orde Lama, bahkan kekuasaan Presiden
27 Demokrasi Pancasila seharusnya menanamkan nilai-nilai Pancasila, tetapi Orde Baru
menggunakan nama itu tidak untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila, melainkan Pancasila hanya sebagai simbol dan tidak menyentuh pada tataran praktik bernegara. Untuk itu bagaimanakah seharusnya demokrasi Pancasila diterapkan di Indonesia bisa dibaca secara jelas pada Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila (Jakarta: Aksara Baru, 1978), 48.
39
Soeharto sampai diberikan gelar “rezim,” satu kata tapi maknanya luar biasa
kejinya.28
Peran dalam struktural yang tadinya dikoreksi total dari kecerobohan
birokrasi masa Soekarno kembali diterapkan pada masa kepemimpinan Soeharto,
M. Rusli Karim menandai setidaknya ada tujuh sektor yang dianggap menyakiti
hati rakyat Indonesia. 1. Dominannya peranan ABRI, tidak hanya dalam masalah
keamanan, tapi juga dalam birokrasi kenegaraan, bahkan menjadi alat politik,29 2.
Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, 3. Pembatasan
fungsi dan jumlah partai politik jadi tiga, 4. Campur tangan pemerintah dalam
urusan internal partai politik, 5. Massa mengambang, artinya partai politik hanya
diperbolehkan membuka cabangnya sebatas sampai tingkat kecamatan, kecuali
Golkar yang memiliki perwakilan di desa melalui lurah, 6. Monolitisasi ideologi
negara, 7. Inkorporisasi lembaga pemerintah.30 Dengan demikian bisa
disimpulkan, nilai-nilai demokrasi tidak sepenuhnya diterapkan pada masa
pemerintahan Soeharto.31
28 Tentang apa saja prestasi dan kegagalan tentang periode Orde baru bisa dibaca pada S.
Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional: Satu Analisa di Bidang politik dan Pemerintahan,85-89.
29 Selengkapnya tentang fungsi ABRI masa Orde Baru bisa dibaca pada Yuddy Chrisnandi, “TNI dalam Arus Demokrasi”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 269.
30 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, 135.
31 “Secara ekonomi Soeharto memiliki sisi keunggulan dengan menerapkan Trilogi pembangunan, Soeharto memperkenalkan ekonomi pasar, merancang pemerataan pembangunan, dan mengharuskan stabilitas politik sebagai dasar pertumbuhan ekonomi. Namun di balik itu semua demokrasi hancur,” praktik koruspi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur, tidak hanya dalam kawasan elit nasional, tapi sudah masuk ke segala bidang, termasuk plosok-plosok pedesaan. Lihat sepenuhnya dalam Yuddy Chrisnandi, “Soeharto dalam Sejarah”, dalam Yuddy Chrisnandi dan Amir, ed., Beyond Parlemen; Dari Politik Kampus Hingga Suksesi Kepemimpinan Nasional (Jakarta: Transwacana, 2007), 28.
40
Anarkisme penggulingan rezim Soeharto sudah dimulai tahun 1997,
ketegangan sosial luar biasa hingga mengakhiri karir politiknya sebagai pemimpin
bangsa. Pemicu terbesar adalah mulai terjadinya krisis ekonomi di Asia, negara
Asia Tenggara sebelum Indonesia adalah Thailand terlebih dahulu merasakan
dampak krisis moneter, hingga merembet ke Indonesia dan kesetabilan ekonomi
benar-benar terguncang, akibatnya kerusuhan di berbagai daerah tidak dapat
dihentikan.32 Puncaknya terjadi unjuk rasa besar-besaran oleh para pemuda
pembaharu, para mahasiswa yang berhasil menduduki DPR RI di Senayan pada
akhir Mei 1998M.33
4. Demokrasi Pasca Reformasi.
Tahun 1998 adalah babak baru, demokrasi Indonesia tidak lagi dipaksa
dengan satu asas tunggal Pancasila, melainkan reformasi total, semangat timbul
bukan lagi koreksi total, tetapi penggantian total terhadap apapun berbau dan
beraliran rezim Orde Baru. Tumpuan besar setelah krisis moneter mencekik
masyarakat diharapkan ada solusi untuk itu. Masa ini adalah masa terberat dalam
32 Himpitan ekonomi memaksa Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan hutang
dengan IMF – International Monetery Fund – (15 Januari 1998 disaksikan oleh direktur IMF Michel Camdessus dengan melipat tangan), akibat terus merosotnya nilai tukar rupiah dan mulai melambungnya harga di pasaran. Pemerintah juga mengambil langkah menutup beberapa aktifitas perbankkan, dan mulai berfikir ulang untuk membatalkan mega proyek besar yang direncanakan sebelumnya. Lihat Aspinal, ed., dkk., “Pendahuluan,” 9.
33 Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti (Elang Mulyana, Hery Hartanto, Hendriawan, Hafidhin Royan, Sofyan Rahman, Tammu Abraham Alexander Bulo, Fero Prasetya) pada tanggal 12 Mei 1998 seluruh elemen masyarakat Indonesia murka. Akibatnya, tragedi ini diikuti dengan peristiwa anarkis di Ibukota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13-14 Mei 1998, selengkapnya lihat Keith B. Richburg, “Syuhada Tak Disengaja: Penembakan Empat Mahasiswa Yang Menggubah Sebuah Bangsa”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 138.
41
sejarah, transisi tidak hanya dalam bidang politik, namun pemimpin baru
diharapkan mampu menyelesaikan problem ekonomi dan berbuat menghidupkan
lembaga hukum untuk mengadili Soeharto, keluarga, dan kaki tangannya.34
Tapi lagi-lagi rakyat dibuat kecewa, penggantian total atas rezim berbau
Soeharto hanya sekedar wacan dan omong kosong. Banyak elite politik
berkepribadian ganda, tadinya sangat tunduk dengan Soeharto tiba-tiba menentang
Soeharto. Sistem demokrasi Reformasi memang berbeda dengan rezim demokrasi
Soeharto, tapi pelaku di dalamnya tetap orang-orang Soehartois.
Pidato Soeharto tentang pengunduran dirinya 21 Mei 1998 adalah hari
kebangkitan nasional kedua bagi masyarakat Indonesia, kepemimpinan tertinggi
kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Ing B.J. Habibie sesuai aturan tertulis pada
Pasal 7 UUD 1945 yang menjelaskan apabila Presiden berhenti atau tidak dapat
menjalankan kewajiban dalam masa jabatannya, maka digantikan oleh wakilnya.35
Reformasi berhasil merombak beberapa keputusan konstitusi Orde Baru
menjadi lebih demokratis, di antaranya mengembalikan sistem pemilu pada multi
partai, yang tadinya Orde Baru menggebiri partai peserta pemilu dengan tiga
partai politik, masa Reformasi diikuti lebih dari tiga puluh partai, yang dimulai
34 Sampai sekarang tidak ada penjelasan tentang setatus hukum Soeharto dan harta
korupsinya, lembaga hukum seolah-olah digiring untuk tidak mempopulerkan dan memperkarakan kejahatan Soeharto, dan rakyat secara perlahan dibuat amnesia. M. Fadjroel Rachman, “Merayakan Matinya Reformasi”, dalam M. Fadjroel Rachman dan Taufiqurrahman, ed., Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat: Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan (Depok: Koekoesan, 2007), 120.
35 Detik-detik prosesi pelantikan Habibie sebagai Presiden menggantikan Soeharto bisa dibaca pada Peter Waldman, dkk., “Perubahan Yang Menempatkan Soeharto di Luar Arena”, dalam Edward Aspinal, ed., dkk., Titik Tolak Reformasi; Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Penerjemah A. Wisnu Hardana (Yogyakarta: LkiS, 2000), 227.
42
dari pemilu tahun 1999, 2004, dan tahun 2009. Adanya keputusan pencabutan
Dwi fungsi ABRI, ABRI semula ikut dalam percaturan politik dan ikut duduk
dalam parlement dikembalikan pada tugas pokoknya, yaitu menjaga keamanan
negara dan dilarang ikut aktif dalam politik praktis berada dalam konstitusi.36
Pasca Reformasi mengalami pergantian empat Presiden, dimulai Prof. Dr.
Ing B.J. Habibie,37 KH. ‘Abdurrahman Wahid,38 Megawati Soekarno Putri, dan
Susilo Bambang Yudoyono.39 Keempat pemimpin negara pasca Reformasi tidak
sesibuk Soekarno dan Soeharto yang memberikan lebel demokrasi pada masa
kepemimpinannya. Demokrasi Reformasi tetap menjadi identitas hingga sekarang,
hal ini menandakan bahwa Reformasi tidak sekedar momentum peralihan sebuah
kekuasaan, melainkan juga transisi kebangsaan yang sangat memiliki nilai-nilai
nasionalisme, karena tidak sedikit nyawa dan kerugian materi untuk
memperjuangkan Reformasi, untuk itu sampai sekarang belum ada kata yan